2 minute read
resensi media
UNTUK menulis, seseorang tidak harus berlabel penyair, cerpenis, novelis, sastrawan, budayawan, bahkan wartawan. Untuk menulis, ia tidak pula mutlak harus berpredikat seniman. Namun, menulis menuntut seni, ‘the art of writing’, agar tulisan seseorang tidak hanya untuk dinikmati sendiri. Predikat penulis pun tidak semata pengakuan terhadap diri sendiri.
Statement di atas kiranya cukup menggetarkan hati dari pemilik tangantangan yang sesungguhnya sangat kreatif. Sangat tepat adanya penggetar semangat itu tercetak di cover belakang pada buku ini. buku yang mengupas tuntas tentang menulis, buku yang menjawab pertanyaan, “Mengapa menulis?”, dan buku yang memotivasi pembacanya untuk melakukan satu hal yaitu menulis! Walaupun demikian, kalimatkalimat dalam buku ini tidaklah melulu berisi materi tentang kepenulisan ataupun teori menulis yang terkesan sangat menjemukan. Solichin M. Awi –penulis buku tersebut– juga menuturkan bahwa sebaiknya buku ini
Advertisement
tentang menUlis, mengapa menUlis, dan menUlislah! penulis: solichin m. awi • penerbit: new digossia, 2011 • tebal: 118 + x halaman
dipersepsi sebagai “cermin” bagaimana sebaiknya –bukan seharusnya– menulis. Dari penuturannya tersebut, Solichin menjadi tidak berkesan menggurui pembacanya. Namun, ia seolah ingin meyakinkan pembacanya agar tidak ragu untuk mulai menulis. ia juga banyak berbagi tentang perjalanan jurnalistik dan pengalaman kepenulisannya. Jawa Pos, SEPUTAR INDONESIA, dan Jurnal Nasional adalah beberapa nama yang pernah mewarnai perjalanan jurnalistiknya.
Solichin dalam menuturkan buku ini terbilang cukup runtut, yaitu dimulai dengan pengantar yang lagilagi mam
Ayo Menulis!
Oleh riNA NAVi UTAMi
pu memberikan percikan semangat untuk menulis. Di dalam pengantar ini, ia juga meyakinkan bahwa setiap orang sejatinya adalah penulis. isi buku selanjutnya terbagi menjadi tujuh bab. Solichin memulainya dengan memberikan keyakinan agar pembaca tidak ragu menulis, lalu mengajak mereka agar banyak membaca. ia berpendapat bahwa penulis yang baik pasti pembaca yang baik pula. Tetapi pemalamannya bekerja di berbagai media massa. Misalnya tentang kaidah penyebutan nama, tentang katakata yang dianggap mubadzir, juga mengenai tuntutan deadline di meja redaksi yang biasanya mengabaikan kaidah bahasa indonesia yang benar di saatsaat tertentu. buku setebal 118 halaman yang bercover depan putih ini kiranya memang cocok dibaca oleh berbagai kalangan.
baca yang baik belum tentu sebagai penulis yang baik. Mengapa demikian? Solichin memaparkannya di bagian bab dua dalam buku ini. Selain berbagi ilmu mengenai berita yang baik (yang menghasut), menyelami feature, dan menjawab tantangan opini di babbab selanjutnya, Solichin juga seolah memberikan pencerahan mengenai tata bahasa. ia mengingatkan pembaca tentang penulisan kata, penulisan huruf kapital, penulisan huruf kursif, bahkan juga menyampaikan tentang penggunaan tanda baca. Tidak lupa ia menyampaikan pula beberapa kasus sepele namun penting yang dipetik dari pengMembaca buku ini, pembaca akan menemukan materi kepenulisan sekaligus motivasi untuk menulis. Pada setiap pergantian bab, terdapat pula ilustrasi yang mendukung serta adanya untaian katakata mutiara dari berbagai tokoh di dunia. Tentunya, hal ini akan semakin memperbesar ledakan di dalam dada para pembaca untuk mulai menulis. “Menulis, menulis, dan mulailah menulis!” kata Solichin, sang penulis buku ini.
rina naVi Utami mahasiswa Universitas muhammadiyah purworejo