9 minute read
opini
rAMBU-rAMBU SEni MEnUrUT PAnDAnGAn iSLAM
Oleh Dr. kUn SETyAninG A STUTi, M.Pd.
Advertisement
Secara alamiah manusia membutuhkan rasa keindahan sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seni mudah menarik minat dan perhatian. Sebagai ungkapan perasaan, seni bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga berfungsi sebagai media pendidikan, sarana ritual keagamaan atau media dakwah, dan ungkapan estetis.
Sebagai media pendidikan, seni banyak dimanfaatkan untuk pembentukan karakter. ki hadjar Dewantara mengungkapkan bahwa musik dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kepekaan pendengaran yang dapat membentuk kehalusan budi dan perilaku. rudolf Steiner dalam teorinya anntroposofisch onderwijs, mengungkapkan bahwa irama musik dapat memudahkan kerja fisik, mendukung kerja otak, memperbaiki moral, dan memberikan semangat hidup. Jurnal-jurnal penelitian pada dekade 1990-an banyak mengungkap pengaruh musik pada kecerdasan. Sementara itu khan menyatakan bahwa musik mengandung nilai-nilai pskologi. Suara mengekspresikan suatu makna. Seseorang yang peka mampu mengenali kepribadian seseorang hanya dengan mendengar suaranya.
Sejarah membuktikan bahwa seni juga merupakan media yang efektif sebagai media dakwah keagamaan. Penyebaran agama islam di indonesia tidak lepas dari peranan seni. Walisongo menggunakan media seni dan budaya untuk kepentingan dakwah islam seperti yang disampaikan Birgit Berg dalam bukunya Presence and Power of the Arab Idiom in Indonesian Islamic Musikal Art (2007). Lebih lanjut Berg mengungkapkan bahwa Walisongo memanfaatkan budaya Jawa seperti wayang kulit dan gamelan untuk mengajarkan islam. Dewi Candraningrum Soekirno dalam blognya menguatkan pendapat Berg yang menyatakan bahwa lagu ilir-ilir merupakan salah satu lagu ciptaan Walisongo yang digunakan untuk media dakwah.
Pada dasarnya, penggunaan musik dalam menyerukan dakwah sudah dilakukan pada zaman rasulullah yaitu dengan diperdengarkannya adzan untuk memanggil shalat dan dzikir dengan membaca Lailahaillallah (Tiada Tuhan Selain Allah), yang berupa nyanyian pendek sebagaimana diungkapkan Elizabeth Siddiqui dalam situsnya Middle east Studies Association. islam juga mempunyai lagu yang sangat monumental yaitu Thala’al Badru ‘Alaina yang menurut Tengku Zulkarnaen merupakan lagu islam tertua. Lagu tersebut dinyanyikan secara beramai-ramai oleh masyarakat Madinah, diiringi alunan suara rebana yang dipukul secara bersama-sama menyambut datangnya rasul ketika berhijrah dari Mekah ke Madinah. Selanjutnya dijelaskan bahwa Sholawat Badar adalah nasyid abadi yang merupakan nasyid Thala’al Badru sebagai pujian untuk nabi Muhammad dan telah menjadi budaya umat islam hingga saat ini.
Di samping itu, menurut irene Markoff dalam artikelnya yang berjudul Introduction to Sufi Music and Ritual in Turkey (1995), para sufi sering menggunakan musik sebagai media untuk mengajarkan doktrin dan ajaran islam, bahkan musik juga digunakan untuk media meditasi. kegiatan musikal dzikir merupakan ekspresi ketauhidan yang digunakan dalam upacara keagamaan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dengan bacaan pujian kepada Tuhan yang dilakukan secara ritmis berulang-ulang.
Ekspresi islam juga tercermin pada seni baca Al Qur’an dan berbagai bentuk kesenian yang lain. kesenian islam yang berkembang di indonesia antara lain shalawatan, Indang, Salawek Dulang,dan Saman yang merupakan kombinasi antara pantun dan tarian, dan nasyid. Uraian di atas membuktikan bahwa seni mempunyai kaitan yang sangat erat dengan dakwah. namun demikian, kita tidak menutup mata bahwa mengaitkan seni dengan agama mengundang banyak kontroversi. Pemanfaatan
seni sebagai media dakwah, terutama dalam islam banyak mengundang perdebatan. ibnul Qayyim menyatakan bahwa nyanyian merupakan media bagi musuh Allah untuk mendekatkan manusia pada kemaksiatan. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Ahmad bin hanbal yang menyatakan bahwa nyanyian itu akan melemahkan iman, dan seandainya ada manfaat bagi orang muslim dan bagi agama sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu (yusuf Al Qardlawy dalam Nasyid versus Musik Jahiliyah, 2003: 43—52). Pendapat Ahmad bin hanbal tersebut dibantah dengan alasan bahwa pada periode Mekah kaum muslimin sibuk menyampaikan dakwah islamiyah dan menghadapi berbagai tantangan dan cobaan, sedangkan pada periode Madinah mereka diuji dengan tuntutan berjihad untuk mempertahankan ajaran islam sehingga jumlah peperangan yang langsung diikuti rasullulah mencapai 27 kali dan peperangan yang tidak secara langsung disertai rasullullah sebanyak 59 kali.
Peristiwa tersebut membuat kaum muslimin pada jaman rasullulah tidak mempunyai waktu untuk bernyanyi sebagaimana dinyatakan oleh Qardlawy dalam Nasyid versus Musik Jahiliyah, halaman10. Adjie Esa Poetra juga mempertanyakan perlakuan yang tidak adil terhadap musik dengan menyatakan, “Jika membuat pedang dan senjata-senjata lainnya tidak pernah dipermasalahkan, mengapa seni musik yang lebih punya “budi” tidak mendapatkan perlakuan yang paling tidak sama.”
Al Ghozali (dalam Qardlawy, 2003:71) menyatakan bahwa musik dalam islam hukumnya relatif, tergantung pada taraf kemanfaatannya. Apabila nyanyian tidak mempunyai manfaat bagi orang yang mendengarkan atau yang melagukan, maka hukum nyanyian tersebut menjadi mubah. Dengan demikian, nyanyian yang memberi manfaat bagi yang menyanyikan maupun dengan mendengarkan, maka hukum nyanyian tersebut halal. Demikian juga sebaliknya, nyanyian yang membawa kemudharatan, hukumnya adalah haram.
Pernyataan tersebut dapat dijadikan pijakan utama bagi para seniman, pendidik, dan penikmat seni dalam menggeluti kesenian. Apabila suatu sajian seni lebih banyak memberikan manfaat maka kesenian tersebut diperbolehkan. Demikian juga sebaliknya, apabila lebih banyak membawa kemudharatan maka tidak diperbolehkan.
Landasan yang sangat kuat tentang hukum seni dalam islam dinyatakan dalam hadist nabi Muhammad yang menyatakan “Inn Allaha jameel wa-yuhibbul-jamaal” yang artinya “Tuhan itu indah dan menyukai keindahan” hadist ini berasal dari hadist sahih Muslim seperti yang dsampaikan irene Siddique. Para sarjana muslim menjadikan hadist tersebut sebagai pijakan. Berdasarkan hadist tersebut maka dikatakan bahwa seni bukanlah hal yang dilarang dalam agama. noeng Muhadjir dalam Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif (2001:2) mengatakan bahwa produk seni tampil dengan kriteria kreatif, indah, dan harmonis. Bila etik dimasukkan, perlu ditambah dengan mensucikan batin manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara seni dengan agama. Qardlawy (2003: 21) mengungkapkan kriteria dalam berkesenian agar hukumnya menjadi boleh, antara lain: (1) tidak bertentangan dengan ajaran islam, aqidah, syariah, dan akhlak; (2) gaya penyampaiannya tidak mengundang maksiat; (3) tidak dibarengi dengan sesuatu yang diharamkan; dan (4) tidak berlebihan.
Berdasarkan uraian di atas maka kriteria yang harus dipenuhi dalam menyajikan karya seni dalam islam adalah: (1) lebih banyak membawa manfaat dari pada mudharat, (2) tidak bertentangan dengan aqidah, syariah, dan akhlak, (3) gaya penyampaiannya tidak mengundang maksiat, (4) tidak disertai dengan sesuatu yang diharamkan, dan (5) tidak melampaui batas.
opini
istimewa
dr. kUn setYaninG astUti, m.Pd. dosen fBs UnY
opini
SEJArAh inTEGrASi iriAn BArAT kE nkri SUDAh FinAL
Oleh VinSEnSiUS F JEGAUT
Adanya orang-orang yang mempertanyakan kembali sejarah integrasi Papua ke dalam negara kesatuan republik indonesia atau nkri dengan beberapa alasan misalnya, pelaksanaan new york Agreement (nyA) yang hanya diikuti tokoh-tokoh masyarakat dan kepala suku tertentu yang ada di Papua saja pada tahun 1969 silam. Apakah mungkin hal itu dilaksanakan saat itu? Mungkin saja walaupun masyarakat waktu itu pola pikirnya belum seperti zaman modern sekarang ini. Tapi minimal kelompok intelektual seharusnya waktu itu juga dilibatkan, bukan hanya tokoh-tokoh masyarakat dan kepala suku saja.
Tapi apapun perbedaan pandangan orang tentang integrasi ini sudah selesai yang ditandai dengan adanya UU no. 12 tahun 1969 tentang pemberian Otonomi Daerah kepada irian Barat (Papua). Sekarang banyak ribut-ribut soal dialog Jakarta-Papua yang selalu ditiupkan oleh sekelompok orang yang setidaknya punya kepentingan politik tertentu, juga dibalik tuntutan agenda dialog nasional tersebut. Tentu saja dialog itu harus dilaksanakan dalam bingkai nkri juga, bukan minta dialog dengan pemerintah pusat agar bisa keluar dari nkri. Bukan hanya orang Papua saja yan perilu dialog dengan pemerintah pusat, tapi seluruh rakyat indonesia juga perlu dilibatkan dalam pelaksanaan dialog nasional tersebut nanti. karena dialog itu penting untuk brain storming, untuk menciptakan komitmen bersama, guna membicarakan bagaimana rekrutmen politik, kepemimpinan nasional, alokasi kegiatan pembangunan.
Masih adanya sebagian orang Papua saat ini yang selalu menuntut diadakannya referendum dan pelurusan kembali sejarah Papua masuk ke wilayah nkri tahun 1969 merupakan suatu kekeliruan yang besar dan tidak punya argumentasi historis serta didukung dasar hukum internasional yang kuat dan memadai akuntabilitasnya kepada dunia internasional nanti. Tentunya, hal yang sangat krusial seperti ini harus sudah dipertimbangkan dengan matang dan jernih oleh semua orang Papua saat ini. Sebab,fakta hukum internasional hasil penentuan pendapat rakyat [pepera] dengan rakyat irian Jaya tahun 1969 tersebut yang dilaksanakan bulan Juli—Agustus 1969 dimana hasil pepera tersebut dapat diterima sepenuhnya oleh Majelis Umum PBB dengan dikeluarkanya resolusi no. 2504 pada tanggal 19 november 1969. Dalam resolusi itu PBB mengakui irian Barat sebagai bagian yang sah dari nkri dan sudah final keberadaanya. Sejak saat itulah, PBB mengakui keabsahaan irian Barat sebagai bagian integral dari negara kesatuan republik indonesia yang bentangan wilayahnya dari Sabang sampai Merauke. Sejak saat itu pula pemerintah indonesia mengubah nama irian Barat menjadi irian Jaya. hal ini merupakan sebuah fakta hukum internasional yang sulit terbantahkan oleh dunia internasional saat ini. Dengan adanya pepera di atas memang bermasalah karena tidak diatur dengan baik dan jelas mekanisme pelaksanaannya oleh PBB karena sepenuhnya diserahkan kepada indoneia dan Belanda pada waktu itu. namun, permasalahan politis tersebut menurut pandangan penulis, yang kebetulan juga seorang sejarawan, merupakan hal yang sama sekali tidak mengurangi legalitas kekuatan hukum formalnya bagi keabsahan Papua masuk dalam wilayah nkri.
Mengingat hal tersebut hanyalah alasan administrasi semata bagi PBB itu sendiri yang menaungi semua kepentingan perdamaian dan keamanan sosial politik bagi seluruh anggotanya. Dengan berpegang teguh pada faktor sejarah yang otentik tersebut di atas, hal itu merupakan suatu kekuatan dasar hukum yang sudah final bagi nkri bahwa keabsahan Papua seba-
opini
gai propinsi yang paling timur dari wilayah indonesia sudah sah bergabung dengan yang namanya nkri. Aneh rasanya kalau masih ada sekelompok orang di negeri ini, yang masih mau mengotak-atik lagi keabsahan Papua masuk dalam wilayah nkri tadi. Pada waktu pelaksaanaan pepera, pemerintah indonesian sudah sangat sah secara hukum untuk melakukannya apalagi telah mendapat pengawasan langsung dari Badan Dunia internasional yakni PBB sendiri. karena pepera tersebut dalam pelaksanaan juga di Papua pada waktu itu dapat diikuti semua utusan kepala suku kampung yang ada di seluruh distrik Papua. Walaupun dalam pelaksanaannya yang diadakan tahun 1969 di Papua tidak representative sebab tidak secara holistik pemerintah ri mengakomodir semua satu persatu suara politik warga Papua saat itu.
Akan tetapi, hal ini tidak bisa dijadikan suatu alasan pembenaran sebagai dasar hukum bagi orang Papua itu sendiri untuk menuntut diadakanya dialog nasional dengan pemerintah pusat di Jakarta saat ini guna meluruskan kembali sejarah Papua masuk dalam wilayah administrasi pemerintahan ri pada tahun 1969 silam. Mengingat hasil pepera tersebut dengan suara bulat pada tahun tersebut PBB dan masyarakat dunia telah mengakuinya juga, meski dari aspek politisnya ada sedikit kelemahan yuridis formal dalam implementasinya di tengah masyarakat Papua itu sendiri.
Semestinya, hal ini dapat kita maklumi sepenuhnya mengingat kondisi geografis wilayah tanah Papua sangatlah tidak memungkinkan untuk terlaksanaya pepera tersebut secara aspiratif dengan penuh akomodatif melibatkan semua keinginan orang Papua tadi. Dengan demikian, tidak pada tempatnya sekarang keabsahan Papua masuk ke nkri pada tahun 1969 yang lalu harus diluruskan kembali oleh pemerintah pusat hanya dengan dalil meluruskan sejarah yang bengkok menurut versi orang Papua semata. Permintaan tersebut di atas jelas sangat tendensius karena tidak memiliki argumentasi hukum internasional yang kuat bagi publik di negeri ini.
Adapun hasil akhir dari pepera di irian Barat pada tahun 1969 tersebut berdasarkan resolusi PBB no. 2504 pada tanggal 19 november 1969 yakni dengan perincian: 84 setuju, 0 menentang, dan 30 abstain. hal ini sudah menjadi fakta hukum internasional yang kuat legalitas hukum formalnya, yang sulit bagi kita semua untuk membatahkannya lagi hanya dengan dalil politik semata. Perlu juga kita sadari bahwa sebuah fakta politik apabila kita mau mengujinya ke ranah hukum pasti kita menemui kesulitan besar untuk membuktikannya bahwa dalam pepera tersebut telah melanggar hukum internasinal tadi.
Dengan demikian, sebagai kesimpulan persetujuan new york Agereement di atas, maka pemerintah Belanda menyerahkan wilayah kekuasaannya atas irian Barat sepenuhnya kepada pemerintah republik indonesia. Sejak saat itu secara resmi irian Barat menjadi propinsi ke-27 dari negara kesatuan republik indonesia yang disingkat nkri. Dengan menggunakan dalil sejarah saja untuk minta diadakan dialog nasional oleh warga Papua dengan Jakarta jelas sulit dipahami, dari pandangan aspek hukumnya juga sangatlah lemah. Akan tetapi, mungkin sedikit berbeda apabila tuntutan dialog nasional dengan Jakarta dimaksudkan agar pemerintah membangun Papua secara sungguh-sungguh lagi sehingga tidak ada lagi ketimpangan pembangunan antara pulau Jawa dan Papua dewasa ini. hal itu jauh lebih penting dan bermakna guna memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup orang Papua sekarang ini.
kalam
VinsensiUs f JeGaUt sejarawan dan pengamat masalah pemerintahan dan demokrasi