7 minute read

opini

Next Article
dari pemBaca

dari pemBaca

lEVEl BElaJaR YaNG KOMPlEKS

Oleh aGUNG PRIHaNTORO,S.Pd., M.Pd

Advertisement

Siswa-siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Solo, Semarang, Banten, Makassar,dan kota-kota lain mampu menciptakan mobil. Prestasi mereka ini tentu patut diapresiasi dan dihargai setinggitingginya. Sebab, prestasi semacam ini sudah lama dinanti-nantikan oleh rakyat Indonesia untuk membangkitkan kepercayaan diri dan memajukan bangsa.

Keberhasilan dalam menciptakan mobil adalah prestasi atau hasil belajar, sedangkan membuatnya merupakan proses belajar. Hasil dan proses belajar ini bisa dibaca dengan pelbagai perspektif. Salah satunya adalah perspektif taksonomi pendidikan, yang juga disebut taksonomi Bloom. Taksonomi pendidikan menjelaskan level belajar siswa-siswa SMK itu secara anatomis. Tulisan ini membacanya dengan taksonomi pendidikan.

Kognisi, afeksi, dan Psikomotor

Sebagaimana kita ketahui, taksonomi pendidikan merupakan kerangka pikir untuk mengklasifikasikan apa yang akan diajarkan guru (tujuan dan rencana belajar), dipelajari siswa (proses belajar), dan dievaluasi (hasil belajar). Secara garis besar, tujuan, rencana, proses dan hasil belajar ini diklasifikasikan jadi kognisi, afeksi, dan psikomotor.

Pada ranah kognisi, lorin W. anderson dan David R. Krathwohl (A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing, 2001) merevisi klasifikasi kognisi yang dibuat oleh Benjamin Bloom, Max Engelhart, Edward Furst, Walker Hill, dan David Krathwohl. anderson dan Krathwohl membedakan pengetahuan (apa yang dipelajari) dan proses kognitif (proses belajar). Pengetahuan diklasifikasikan jadi empat, yakni faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Proses kognitif diklasifikasikan jadi enam, yaitu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Jenisjenis pengetahuan dan proses kognitif ini, juga jenis-jenis sikap dan keterampilan pada ranah afektif dan psikomotorik, disubklasifikasikan lagi jadi kategori-kategori yang lebih detail.

Pada ranah afeksi, Krathwohl, Bloom, dan Bertram Masia (Taxonomy of educational objectives The Classification of educational Goals Handbook ii: Affective Domain, 1970) mengategorisasikan sikap dan perilaku jadi lima, yakni menerima (memperhatikan), merespons, menilai, mengorganisasi, dan karakterisasi.

Pada ranah psikomotor, R. H. Dave (dalam R. J. armstrong, Developing and Writing educational objectives, 1970) mengklasifikasikan keterampilan jadi lima, yaitu imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi.

Sebenarnya, terdapat buku-buku lain yang mengkaji dan membuat klasifikasi-klasifikasi taksonomi pendidikan. Namun, klasifikasi-klasifikasi pada ketiga buku di atas menjadi rujukan bagi para pendidik dan pembuat kebijakan di banyak negara karena sederhana dan mudah diaplikasikan. Meski demikian, seperti kata para penggagasnya, klasifikasi-klasifikasi tersebut “selalu berkembang, tak pernah selesai, dan tak pernah menjadi baku”. artinya, para ahli diharapkan untuk senantiasa merevisi, memodifikasi, atau mengembangkannya sesuai dengan kemajuan zaman, ilmu, dan teknologi.

Proses yang Kompleks

Menciptakan mobil merupakan proses kognitif keenam, proses yang paling tinggi dan kompleks. Di sini, siswa-siswa SMK itu “memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang koheren dan fungsional, atau untuk membuat suatu pola atau struktur baru” (anderson

Keberhasilan dalam menciptakan mobil adalah prestasi atau hasil belajar, sedangkan membuatnya merupakan proses belajar. Hasil dan proses belajar ini bisa dibaca dengan pelbagai perspektif. Salah satunya adalah perspektif taksonomi pendidikan, yang juga disebut taksonomi Bloom.

dan Krathwohl, 2001: 31). Mereka memadukan pengetahuan-pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Mobil bukanlah barang baru, tetapi mobil-mobil Kiat Esemka, SMKN1, Tawon, dan Moko berbeda dengan Toyota, Honda, Daihatsu, BMW, dan lain-lain. Jadi, mobil buatan siswa-siswa SMK itu dapat disebut sebagai pola atau struktur baru.

Proses mencipta berisikan sub-subproses merumuskan, merencanakan atau mendesain, dan memproduksi atau mengonstruksi. Dalam membuat mobil, siswa-siswa tersebut melewati sub-subproses yang panjang dan berulang-ulang: merumuskan hipotesis-hipotesis tentang cara kerja mobil, mendesain, dan kemudian memproduksinya.

Proses kognitif tersebut disertai dengan proses-proses afektif dan psikomotorik yang kompleks pula. Secara afektif, siswa-siswa itu melakukan karakterisasi, yakni membangun karakter diri mereka dengan suatu sistem nilai yang adiluhung. Mereka melihat sesuatu secara objektif dan siap mengubah penilaian dan perilakunya jika ditemukan bukti-bukti baru. Mereka menata sikap dan berperilaku secara konsisten dan efektif dalam rangka menciptakan mobil.

Secara psikomotorik, siswa-siswa itu telah melakukan naturalisasi, benar-benar menguasai keterampilan dalam merakit mobil. Mereka mampu merumuskan tujuan, pendekatan, dan strategi dalam menggunakan keterampilan itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka mendesain, mencipta, dan mengelola proyek pembuatan mobil.

Seluruh proses ini berada pada level belajar yang paling kompleks. level belajar yang kompleks membuahkan prestasi-prestasi individual dan kolektif yang tinggi. Pada gilirannya, prestasi-prestasi yang tinggi ini akan memajukan bangsa menuju kejayaan, kemakmuran dan keadilan.

Maka, sepatutnyalah lembaga-lembaga pendidikan, pemerintah, dan pihak swasta secara serius merumuskan tujuan dan rencana pembelajaran, menyelenggarakan aktivitas-aktivitas belajar siswa, dan melakukan evaluasi pada level-level yang lebih kompleks.

agung Prihantoro ketua departemen riset, lembaga advokasi Pendidikan yogyakarta (lapy)

opini

istimeWa

istimeWa

opini

MaHaSISWa DaN PENDIDIKaN aNTIKORUPSI

Oleh aHMaD SIDIK

Setiap hari di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, hampir tidak ada yang tidak menampilkan berita tentang korupsi. Dari kasus korupsi “ringan” hingga kasus korupsi “berat”, semuanya beramai-ramai memenuhi beranda kehidupan masyarakat Indonesia. Bila melihat semakin banyaknya kasus korupsi yang seakan tiada habisnya itu, lantas sebenarnya apa yang salah dengan negara ini? apakah lazimnya seperti itukah mental seseorang ketika sudah berkuasa?

Sebelum mencari tahu jawaban dari pertanyaan di atas mari kita coba sejenak bercermin pada diri masing-masing. Hampir semua bidang profesi sudah barang tentu memiliki peluang untuk korupsi. Semua bergantung pada seberapa kuat kekuatan pengendalian diri setiap individu yang menjalani. Untuk amanah godaan selalu ada dan kesempatan selalu terbuka namun, berbagai “rayuan setan” yang muncul cukup numpang lewat di dalam hati tanpa diimplementasikan menjadi tindakan nyata.

Secara faktual korupsi tidak hanya laten menjangkiti para pejabat saja. Namun, juga profesi lain tidak terkecuali mahasiswa. Bahkan mahasiswa yang selalu berdemonstrasi meneriakkan kata “antikorupsi” sekalipun bisa saja melakukan tindakan korupsi. Contohnya ketika terlambat datang kuliah, menyontek saat ujian, atau plagiat pada karya orang lain. Bukankah kesemuanya itu juga merupakan bagian dari tindakan korupsi?

Tidak ada salahnya menganalisis atau mengkritisi perilaku korupsi para pejabat. Namun, alangkah lebih bijaksana sebelum mengkritisi perilaku korupsi orang lain terlebih dahulu kritisilah diri kita sendiri agar tidak korup.

Kita sebagai mahasiswa bisa ikut memotong budaya korupsi dengan memulai semuanya dari diri sendiri. Sebelum berteriak-teriak pada gendang telinga orang lain terlebih dahulu teriakilah gendang telinga kita sendiri. Dengan datang kuliah tepat waktu atau sebelum perkuliahan dimulai. Dalam ujian percaya pada kemampuan diri sendiri dalam mengerjakannya. Tidak mengakui karya orang lain sebagai karya pribadi. langkah-langkah sederhana tersebut jika dilakukan secara masif oleh seluruh mahasiswa di tanah air yakinlah hasilnya akan sangat dahsyat.

Menanti Pendidikan antikorupsi

Dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi, hal tersebut membuktikan bahwa imbauan dan Instruksi Presiden terbukti sudah tidak efektif lagi. Jika hanya berwacana melalui imbauan dan Instruksi Presiden (Inpres) saja, pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini hanya akan terjebak pada suatu jalan buntu yang tiada berujung. Melihat realitas kenyataan yang ada tersebut kita tidak boleh hanya diam saja berada dalam “zona nyaman” . Diperlukan upaya pendekatan baru yang lebih efektif jika misi pemberantasan korupsi masih ingin dilanjutkan.

Sudah banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi di Indonesia, termasuk dengan melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003 silam. Namun, ternyata korupsi tidak bisa diberantas begitu saja. Bahkan setiap tahun jumlah kasus korupsi yang terjadi cenderung mengalami peningkatan.

Demi mengurai permasalahan korupsi yang sudah menjadi budaya, pemerintah bermaksud menerapkan pendekatan baru guna memberantas korupsi. Sebuah pendekatan pencegahan sejak dini melalui jalan pendidikan. Mencegah lebih baik dari pada mengobati, pepatah tersebut kiranya yang melatarbelakangi pemerintah memilih alternatif “jalan pencegahan”.

Bahkan mahasiswa yang selalu berdemonstrasi meneriakkan kata “antikorupsi” sekalipun bisa saja melakukan tindakan korupsi.

opini

gestha / aCCh.kPk.go.id

Penerapan pendidikan antikorupsi yang dirintis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemenbud) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan terobosan baru dalam upaya pemberantasan korupsi. langkah itu diambil lantaran makin mengguritanya korupsi yang terjadi hampir di semua instansi pemerintah maupun swasta. Kebijakan yang rencananya mulai akan diberlakukan pada tahun ajaran 2012/2013 di sekolah-sekolah tersebut diharapkan akan menjadi solusi yang lebih efektif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pendidikan antikorupsi bertujuan untuk membudayakan sikap dan perilaku antikorupsi. Sebuah terobosan yang visioner, cerdas, dan akurat pasalnya anak bangsa merupakan tulang punggung negara di masa yang akan datang. apalagi saat ini korupsi sulit diberantas lantaran terindikasi sudah membudaya. Untuk itu salah satu cara yang paling efektif ialah dengan jalur penanaman pendidikan pada anak.

Untuk mewujudkan sukses pendidikan antikorupsi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak faktor-faktor yang perlu dipersiapkan guna mendukung sukses pendidikan antikorupsi. Beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum launching pendidikan antikorupsi agar pendidikan antikorupsi berhasil di antaranya sebagai berikut.

Pertama, mematangkan dulu kurikulum yang akan digunakan. Kurikulum pendidikan antikorupsi harus berbeda dari kurikulum pelajaran yang lain. Hal ini penting karena kurikulum dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.

Kedua, pendidik pendidikan antikorupsi harus orang yang bisa diteladani. Nantinya lembaga pendidikan tidak boleh sembarangan dalam memilih pendidik pendidikan antikorupsi. Pendidik yang dipilih harus mempunyai trackrecord yang jelas dan bersih serta bisa diterima oleh semua kalangan.

Ketiga, yang dibenahi tidak hanya faktor internal saja namun juga external. Modal perbaikan karakter pada individu saja masih belum cukup jika lingkungan sosialnya masih belum bersih. Sama halnya dengan anjuran pola hidup sehat namun lingkungan sekitarnya masih tercemar.

Pada hakikatnya berhasil atau tidaknya pendidikan antikorupsi nanti bergantung pada integritas dalam usaha menyukseskan pendidikan antikorupsi itu sendiri. Untuk itu dukungan maksimal dari pemerintah, pelaku dunia pendidikan, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Jangan sampai pendidikan antikorupsi hanya menjadi sebuah bunga yang layu sebelum merekah. Semoga!

ahmad sIdIk ketua hima Pendidikan kewarganegaraan dan hukum unY

This article is from: