2 minute read

resensi BUkU

Next Article
dari pemBaca

dari pemBaca

Melejitkan DNA Kenabian

oleh NDIKA MAHReNDRA

Advertisement

HASAN Al-Bana benar, syarat mutlak agar manusia mengalami peningkatan dari keadaan semula menuju tingkat yang lebih tinggi, hingga ia akan berbeda dengan orang-orang lain ialah pendidikan. Pendidikan yang mampu mempersiapkan setiap individu agar cakap untuk menghadapi hidup pada zamannya. Sebab setiap generasi memiliki zaman yang berbeda, dengan tantangan yang tentu saja berlainan.

Untuk itulah, proses pendidikan harus diarahkan agar setiap individu bertumbuh, berkembang untuk membentuk manusia yang kamil (holistik), yang seluruh potensinya berkembang dengan optimal. Proses semacam ini mendorong setiap individu untuk selalu mengembangkan dirinya melalui proses pembelajaran tiada henti (longlife learning). Mereka akan mempersiapkan dirinya menjadi sosok yang multi talenta, yang mampu menjawab semua kebutuhan zaman, tak mengalami alienasi dari kehidupan, dan tentu saja tak terputus dari jalur vertikal antara manusia dan Sang Pencipta.

Melalui konsep pendidikan semacam inilah manusia akan menjadi pembelajar yang menyadari sepenuhnya bahwa dirinya merupakan bagian dari potensipotensi individu lainnya. Kesadaran ini mendorong mereka untuk berhimpun, belajar, dan berkarya bersama sehingga membentuk komunitas pembelajar (learner society) yang memiliki banyak keunggulan (khairah ummah). Individuindividu tersebut belajar untuk hidup dalam kolektivitas (learn how to live together) melalui proses leading.

Namun, pendidikan tidak hanya berhenti sampai tahap itu. Dalam pandangan profetik (kenabian), manusia-manusia pembelajar itu harus diarahkan untuk selalu memberikan kontribusi positif (added value) kepada lingkungan

propethic learning

dwi budiyanto • pro u media 2009•22 2009•22 • 22 halaman

dan masyarakatnya. Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan kalimat ukhrijat linnas. Dalam hal ini, para siswa dididik untuk belajar berkontribusi (learn how to contribute).

Gugus gagasan di ataslah yang tampaknya menjadi arus utama manusia terbaik (chosen people) masa depan yang diidam-idamkan oleh penulis buku “Propethic Learning” ini.

Chosen people yang diharapkan oleh Dwi Budiyanto bukanlah sosok manusia terbaik yang tak bertanggung jawab, tetapi sosok manusia terbaik yang memiliki kualifikasi khairu ummah, yaitu terlibat aktif dalam aktivisme sejarah (ukhrijat linnas) dengan semangat untuk menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemungkaran (nahi munkar), dan mengembalikan seluruh aktivitas kemanusiaanya hanya kepada ridha Allah (tu’minuna billah).

Dalam bahasa yang lebih bersifat sosiologis, Kuntowijoyo menyebut kualifikasi khairu ummah itu sebagai aktivitas memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan manusia dari penindasan (liberasi) dimana semangat aktivisme kemanusiaan tersebut hanya diniatkan untuk menggapai ridha Sang Pencipta, yang Mahatransenden (Transendensi).

Sehingga, konsep pendidikan yang diharapkan mampu mempersiapkan setiap individu menghadapi zamannya, akan dikonstruksi dalam konsep pendidikan profetik. Karena, dalam diri setiap manusia terdapat DNA Kenabian, yaitu tugas mulia menjadi khalifah di muka bumi. yang membedakan adalah, nabi dan rasul adalah manusia biasa yang mendapatkan wahyu.

Dengan konsep pendidikan profetik, diharapankan, tiap-tiap individu akan menjadi manusia terbaik yang memiliki aktivisme sejarah, memiliki kontribusi kepada lingkungan kemanusiaan. wujud artefak dari khairu ummah itu berupa memanusiakan manusia dari dehumanisasi berupa objektivasi, l’hommemachine, masyarakat dan budaya masa, serta agresivitas dan individuasi (loneliness); membebaskan manusia dari penindasan, baik berupa penindasan individu, golongan, sistem, bahkan negara; di mana seluruh aktivitas khairu ummah itu memiliki ruh penghambaan kemanusiaan kepada sang pencipta.

Hem..., Hasan Al-Bana benar. Tapi yang dibutuhkan tidak hanya sekadar pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman. Dibutuhkan juga yang menjawab tantangan zaman, dengan kerangka mampu melejitkan DNA Kenabian dalam diri setiap manusia. Dan buku ini mencoba menjawabnya.

ndIka mahrendra mahasiswa sastra Indonesia uny

This article is from: