resensi buku
Melejitkan DNA Kenabian O l e h Ndika Mahr endra Hasan Al-Bana benar, syarat mutlak agar manusia mengalami peningkatan dari keadaan semula menuju tingkat yang lebih tinggi, hingga ia akan berbe da dengan orang-orang lain ialah pendi dikan. Pendidikan yang mampu mempersiapkan setiap individu agar cakap untuk menghadapi hidup pada zamannya. Sebab setiap generasi memiliki zaman yang berbeda, dengan tantangan yang tentu saja berlainan. Untuk itulah, proses pendidikan ha rus diarahkan agar setiap individu ber tumbuh, berkembang untuk memben tuk manusia yang kamil (holistik), yang seluruh potensinya berkembang dengan optimal. Proses semacam ini mendorong setiap individu untuk selalu mengem bangkan dirinya melalui proses pem belajaran tiada henti (longlife learning). Mereka akan mempersiapkan dirinya menjadi sosok yang multi talenta, yang mampu menjawab semua kebutuhan za man, tak mengalami alienasi dari kehi dupan, dan tentu saja tak terputus dari jalur vertikal antara manusia dan Sang Pencipta. Melalui konsep pendidikan semacam inilah manusia akan menjadi pembelajar yang menyadari sepenuhnya bahwa di rinya merupakan bagian dari potensipotensi individu lainnya. Kesadaran ini mendorong mereka untuk berhimpun, belajar, dan berkarya bersama sehingga membentuk komunitas pembelajar (lear ner society) yang memiliki banyak ke unggulan (khairah ummah). Individuindividu tersebut belajar untuk hidup dalam kolektivitas (learn how to live toge ther) melalui proses leading. Namun, pendidikan tidak hanya ber henti sampai tahap itu. Dalam pandang an profetik (kenabian), manusia-manu sia pembelajar itu harus diarahkan untuk selalu memberikan kontribusi positif (added value) kepada lingkungan 40
Pewara Dinam i ka a g u s t u s 2 0 0 9
Propethic Learning Dwi Budiyanto • Pro U Media 2009������� ����������� • 212 Halaman
dan masyarakatnya. Al-Quran mengisya ratkan hal ini dengan kalimat ukhrijat linnas. Dalam hal ini, para siswa dididik untuk belajar berkontribusi (learn how to contribute). Gugus gagasan di ataslah yang tam paknya menjadi arus utama manusia terbaik (chosen people) masa depan yang diidam-idamkan oleh penulis buku “Pro pethic Learning” ini. Chosen people yang diharapkan oleh Dwi Budiyanto bukanlah sosok manusia terbaik yang tak bertanggung jawab, tetapi sosok manusia terbaik yang memi liki kualifikasi khairu ummah, yaitu terli bat aktif dalam aktivisme sejarah (ukh rijat linnas) dengan semangat untuk menyeru kepada kebaikan (amar ma’ ruf), mencegah kemungkaran (nahi mun kar), dan mengembalikan seluruh aktivi tas kemanusiaanya hanya kepada ridha Allah (tu’minuna billah). Dalam bahasa yang lebih bersifat so
siologis, Kuntowijoyo menyebut kualifi kasi khairu ummah itu sebagai aktivitas memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan manusia dari penindasan (liberasi) dimana semangat aktivisme kemanusiaan tersebut hanya diniatkan untuk menggapai ridha Sang Pencipta, yang Mahatransenden (Transendensi). Sehingga, konsep pendidikan yang diharapkan mampu mempersiapkan se tiap individu menghadapi zamannya, akan dikonstruksi dalam konsep pendi dikan profetik. Karena, dalam diri setiap manusia terdapat DNA Kenabian, yaitu tugas mulia menjadi khalifah di muka bumi. Yang membedakan adalah, nabi dan rasul adalah manusia biasa yang mendapatkan wahyu. Dengan konsep pendidikan profetik, diharapankan, tiap-tiap individu akan menjadi manusia terbaik yang memiliki aktivisme sejarah, memiliki kontribusi kepada lingkungan kemanusiaan. Wu jud artefak dari khairu ummah itu beru pa memanusiakan manusia dari dehu manisasi berupa objektivasi, l’homme machine, masyarakat dan budaya masa, serta agresivitas dan individuasi (lone liness); membebaskan manusia dari pe nindasan, baik berupa penindasan indi vidu, golongan, sistem, bahkan negara; di mana seluruh aktivitas khairu um mah itu memiliki ruh penghambaan ke manusiaan kepada sang pencipta. Hem..., Hasan Al-Bana benar. Tapi yang dibutuhkan tidak hanya sekadar pendidikan yang mampu menjawab tan tangan zaman. Dibutuhkan juga yang menjawab tantangan zaman, dengan kerangka mampu melejitkan DNA Kena bian dalam diri setiap manusia. Dan buku ini mencoba menjawabnya.
Ndika Mahrendra Mahasiswa Sastra Indonesia UNY