Matematika insaniyah

Page 1

Matematika Berwawasan Insaniah Lange (2006) menyatakan bahwa banyak negara mempunyai tiga tujuan utama dalam pendidikan matematika dalam kerangka agar warga negaranya

menjadi insan yang melek (literasi) matematika, yaitu: 1. Menyiapkan siswa untuk bermasyarakat; 2. Menyiapkan siswa untuk melanjutkan sekolah dan bekerja; dan 3. Memperlihatkan kepada siswa tentang indahnya disiplin ( the

beauty of discipline).

Pertanyaannya kemudian adalah pembelajaran yang bagaimana yang dapat

meningkatkan literasi matematika sehingga siswa menjadi insan yang berdaya guna bagi masyarakatnya? Dalam bukunya yang berjudul Cognition, Matlin

(2003) menekankan agar konsep-konsep (matematika) bermanfaat dan

tersimpan lama dalam Long-Term Memory siswa, tidak sekedar tersimpan dalam short-term memory, maka pembelajaran yang dilakukan hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip berikut. 1. Pelajaran harus bermakna

(meaningfull) bagi siswa. 2. Siswa didorong untuk mengembangkan apa yang dipelajari secara kaya. 3. Siswa melakukan encoding ketika mempelajari

matematika dalam bentuk elaborasi. 4. Siswa mengaitkan materi pelajaran dengan

pengalaman

diri

sebagai

bentuk

dari

self-reference

effect.

Pembelajaran bermakna (meaningfull) merupakan kata kunci dalam memberdayakan siswa.

Gagasan pembelajaran bermakna pertamakali dikemukakan oleh David Ausubel (Budiningsing, 2005; Ruseffendi, 2006). Ems dkk (2005) memberi

nama belajar bermakna dengan Natural Learning. Ciri-ciri belajar natural


menurutnya adalah: (1) Belajar akan menjadi natural bila bermakna, (2)

Siswa mempelajari bagaimana menerapkan apa yang dipelajari bagi

kehidupan profesionalnya, dan (3) Siswa mengembangkan kualitas diri untuk mampu menyelesaikan masalah realitas yang kompleks.

Kembali ke pengertian bahwa siswa yang berdaya guna harus mempunyai

kemampuan literasi matematika. Lange (2006) menyebutkan bahwa kata literasi terkait dengan masalah “nyata� yang berarti bahwa masalah tersebut bukan “murni� matematika. Pada dasarnya, siswa mempunyai kemampuan

menyelesaikan masalah nyata dengan menggunakan apa yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan pengalaman di luar sekolah. Proses yang mendasari hal itu adalah proses matematisasi.

Gagasan proses matematisasi dari Lange (2006) sejalan dengan proses penyelesaian masalah dari Polya. Ciri-ciri proses matematisasi tersebut adalah

(1) bermula dari masalah realitas, (2) pengidentifikasian konsep

matematika yang relevan dengan masalah tersebut, (3) secara bertahap

membawa masalah realitas ke dalam dunia matematika, (4) menyelesaikan masalah matematika yang diperolehnya, dan (5) memberikan makna penyelesaian terhadap masalah semula.

Problem kontekstual yang diberikan kepada siswa adalah mereka diminta menentukan banyaknya kubus maksimal yang dapat termuat dalam kotak makanan. Para siswa membawa berbagai ukuran kardus tempat makanan

seperti tempat snack, tempat roti, dan tempat kue. Sedangkan kubus-kubus disediakan namun dengan jumlah yang dibatasi yakni paling banyak hanya


cukup untuk menutupi alas. Dalam menyelesaikan problem, siswa bekerja

secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Dari hasil

observasi, para siswa ternyata menyelesaikan masalah tersebut melalui tahapan-tahapan dalam teori Bruner yakni melalui aktivitas enaktif , ikonik, dan kemudian simbolik (Ruseffendi, 2006: h. 151).

Dari sudut pandang RME (Realistic Mathematics Education), aktivitas matematisasi dimana melalui materi non-matematis para siswa menggunakan

bahasa simbol yang informal kemudian membawanya menjadi lebih matematis (Suryanto, 2000: h. 111). Secara lebih khusus Gambar 3. a dan b merupakan

aktivitas

matematisasi

horizontal

dimana

siswa

masih

menggunakan alat peraga dan bahasa informal matematika sedang pada Gambar 3.b siswa menunjukkan sudah berada dalam matematisasi vertikal

dimana mereka telah bekerja dalam simbol-simbol matematika dalam menyelesaikan masalah (Armanto, 2003: p. 36; Hadi, 2005: h. 21-22).

Permasalahan di atas dikerjakan siswa di dalam kelas secara kolaboratif dalam kelompok kecil 3-5 orang tiap kelompok. Secara teoritis, melalui

kegiatan kolaborasi memungkinkan apa yang dipelajari siswa melebihi batas

yang dituntut guru dan terjadinya loncotan belajar (Sato, 2007). Dalam contoh pembelajaran di atas, loncatan belajar terjadi dalam bentuk siswa mulai menggagas rumus menghitung volum kubus. Loncatan belajar ini merupakan scaffolding yang efektif ketika nanti siswa belajar volume


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.