Performance Art - Teater Tangan
“ku-Partai Batu� Tata Letak & Sampul Ade Awaluddin Firman Art Mayor Asmiratul Aslah Tomo Performer Asmiratul Aslah Tomo Taufik Dhani Sambredet Affan Niar Dokumentasi Suhud Madjid Ibrahim Massidenreng Indra Kamera Igon Pute Ippi Yoai Ubek Subhan Ode Afdal Jimpe
Sketch Dhany R Sharing Space Somba Opu Institut Laboratorium UKM Seni UMI Kampung Buku Penanggung Jawab Pengurus UPKSBS UMI 2012-2013 Website laboratoriumukmseniumi.wordpress.com Email laboratoriumukmseniumi@gmail.com Katalog Online ww.issuu.com/upksbsumi LaboaratoriumUKMSeniUMI@2012 Jln. Urip Sumohardjo KM 5 Kampus II UMI
Daftar Isi
1 3 4 7 10 11 12 14 18 22 24 28 31
Ku-Partai Batu Deskripsi Logo Biografi Kerja Alur Gerak ku-Partai Batu Lokasi Performance Art Batu Sebuah Perspektif Ku-Partai Batu dan Makassar Diskusi dan Sharing Berburu Ruang Outdoor; Ruang Outdoor Ruang Bertarung Kisah Properti Skeptisisme Seni Modern (Penjara Teater Modern) Museum Teater (Kandang Katanya Seniman) Ketika Aktor dan Penonton Menjadi Warga
“ Ku Mandatkan Tanah, Air, Api, Udara dan Kepulauanku pada Batu...”
ku-Partai Batu “ Ku Mandatkan Tanah, Air, Api, Udara dan Kepulauanku pada Batu...� Dalam teks dan konteks performance art “Ku-partai Batu�, kami melihat Batu sebagai sesuatu yang metafisik, sebagai sebuah imajinasi kekuasaan yang menguasai kepemimpinan nasional kita. Kepemimpinan yang penuh dengan pencit raan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/dinasti batu yang sarat konspirasi kepentingan tertentu. Batu juga mewakil kata yang merepresentasikan kedazaliman, apatis, keras, kaku, korup, individualisme, yang telah mengalami kebuntuan dan tak mampu lagi keluar dari masalah. Sedangkan Partai kami pandang sebagai sebuah kata yang menandai kelompok-kelompok yag sejatinya sebagai wadah yang menampung aspirasi dan cita-cita masyarakat untuk disuarakan pada pemimpin, yang kini tak lagi bergerak sesuai fungsinya. Partai telah menjadi kendaraan para penguasa untuk megangkat singgasananya ke tempat tertinggi. Proses revolusi yang berlangsung di indonesia kemudian melahirkan anak yang bernama Demokrasi, dimana kedaulatan ada ditangan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semua berhak mengaspirasi kepentingan. Sehingga, Partai-partai tumbuh layaknya jamur di musim penghujan, hadir sebagai payung yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat. Akhirnya atas nama kedaulatan rakyat, partai-partai pun seketika menjadi sebuah kendaraan kekuasaan untuk menguasai. Masing-masing partai mendaulat wilayah kekuasaanya masing-masing dan bertarung untuk menjadi penguasa rimba demokrasi Indonesia.
|1
Kedaulatan rakyat pun hanya tinggal slogan, partai-partai bak binatang dalam rimba raya saling bertarung, saling berebut piring demi kepentingan individu dan kelompoknya saja. Lihat saja eksploitasi tambang, alih fungsi lahan pertanian dan peresapan air, gedung-gedung pencakar langit semakin subur menjamur, gunung-gunung dirobohkan untuk penimbunan laut, limbah pabrik-pabrik dialirkan kesungai & laut, adalah bagian rencana konspirasi busuk para penguasa yang tak memikirkan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulknnya. Ikan-ikan telah mati, padi-padi terus mengering, tanah-tanah tak bisa lagi ditanami, rakyat semakin lapar sementara mereka (penguasa) tengah asyik bertarung diatas meja makan. Konspirasi kapitalis juga masuk sebagai ilusi di media - media informasi dan komunikasi, yang seakan membangun instalasi teks antara penguasa dan masyarakatnya. Media melahirkan pencitraan - pencitraan dan rekayasa semu yang membangun pemahaman massa yang konsumeristik, pragmatis, individualis. Masyarakat kita menjadi ikut terbuai fantasisme partai yang memberi jarak ekstrim antara fakta dan realita yang berlangsung, hingga akhirnya menyerah pada berbagai kondisi sosial akibat konflik para penguasa kelas atas, masyarakat batu, yang membatu pada kerasnya masalah, seakan tak ada jalan keluar, pasrah menjadi batu. Ku Partai batu mencoba mendeskripsikan konflik/pertarungan kekuasaan kelompok yang beragam untuk saling menguasai. Dalam konteks saat ini, kita menemukan partai sebagai wadah yang sejatinya adalah penampung aspirasi masyarakat untuk disuarakan pada pemimpin tak lagi bergerak sesuai fungsinya. Partai telah menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan multipolaritas kepentingan. Pemimpin batu diangkat oleh koalisi beragam partai yang berkarakter batu untuk memuluskan misinya, para penguasa partai semakin serakah dan tak pernah puas hingga akhirnya saling berperang untuk memperebutkan kekuasaan - kekuasaan baru, tanah air udara pulau semuanya ingin ditelannya. Terus - menerus kelompok partai tersebut saling berebut kuasa, tanpa melihat kesengsaraan rakyat yang terjadi akibat konflik yang mereka timbulkan, rakyat semakin miskin, kelaparan, hasil laut dan tani tak ada lagi semuanya telah mengeras menjadi Batu. Maka kekuasaan batu dengan segala strukturnya, harus dihancurkan dan mengembalikan pada esensinya. Kedaulatan.
|2
Deskripsi Logo Appa Sulappa
Merupakan simbol dari mitologi orang Bugis-Makassar yang mengandaikan alam semesta ini adalah sulappa eppa (segi empat belah ketupat), juga melambangkan empat unsur alam yang menjadi sifat manusia (tanah, air, api dan udara)
Simbol Segitiga
Juga berasal dari mitologi orang Bugis-Makassar dalam naskah I - Lagaligo. Dalam gambaran mitologi tersebut, orang bugis menggambarkan dunia terdiri atas dunia atas (botting langiq) yaitu dunia para dewa, dunia tengah (ale kawaq) yang dihuni manusia dan dunia bawah (peretiwi) dunia dasar bumi/ bawah laut/bawah tanah Dalam gambar ini, dunia atas di isi oleh batu yang menyimbolkan pemimpin konteks saat ini yang berwatak batu. Dunia tengah dihuni oleh manusia yang senang berebut kekuasaan, dan dunia bawah yang kami simbolkan dunia dasar lautan yang berisi arwah-arwah.
Batu
Dalam simbol ini, kami menganalogikan batu sebagai sifat, watak, atau karakter. Sifat batu yang melebur pada karakter penguasa keras, kaku, dzalim, apatis, individualis, dan sejenisnya.
Timbangan Batu
keadilan batu yang diterapkan oleh pemimpin berwatak batu.
|3
Biografi Kerja Ide awal penggarapan karya ini bermula saat diskusi dan sharing kami pada sabtu malam, 31 Maret 2012, di Somba Opu Art Gallery bersama Firman Djamil. Saat itu kami berencana mengikuti Pekan Performing Art di Bali yang digelar di Bali. Saat itu yang hadir dalam diskusi diantaranya Dhany, Sambredet, Affan, Ammy, Kak Suhud, dan Kak Bram. Kami berdiskusi dan sharing tentang bagaimana metode atau pola dalam merancang sebuah pertunjukan. Mulai dari menemukan gagasan atau ide, menerjemahkan gagasan dalam karya, dan merancang kerangka konsep karya. Kami memulai dengan memaparkan gejala sosial apa yang menarik untuk menjadi tema pertunjukan. Dalam sharing ini, semua harus terlibat aktif mengajukan ide dan gagasan. Saat itu diskusi kami mengerucut pada masalah negara dan politik yang belakangan sangat ramai di mediamedia. Hingga akhirnya kak Bram mengusulkan “partai� sebagai masalah nasional yang dialami bangsa kita. Partai sebagai
kendaraan kekuasaan menjadi alat politik dalam perebutan kekuasaan di kelas atas. Partai yang berkarakter batu yang merepresentasikan sikap apatis, individualis, pragmatis, kaku, dan lain-lain. Diskusipun semakin berkembang. Tema telah ditemukan. Sekarang mulai menyusun konsep pertunjukannya.
|4
|5
Dalam diskusi tersebut lahir Main Concept sebagai berikut : Judul : Ku-Partai Batu Deskripsi konsep : Ku mandatkan untuk air, tanah, udara dan kepulauanku pada Batu Ku batu mukamu anjing, kamu kebo’, kamu ular, kamu tikus, kamu buaya, kamu topeng, kamu leak Ku batu mu hiu, ubur-ubur, lintah daratmu, kamu gurita Kepulauanku, lapar batu, kupartai batu mu sampah. Statement : Aku memandang batu sebagai sebuah kata yang mewakili makna jiwa-jiwa penguasa dzalim dalam sistem demokrasi pembagian kekuasaan legislasi yang kita hadapi bermasalah pada moralitas, etika, yang memiiki kecenderungan korup dan dzalim. Sistem demokrasi tersebut dilakoni secara over confidence, dan konspiratif ini merugikan semua kepentingan terutama kepada kelas sosial masyarakat bawah. Para penguasa mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang memiliki konsekuaensi pengrusakan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki. Penguasa mengelola kekuasaan dengan pencitraan-pencitraan yang hanyalah sebagai topeng untuk menipu. Pencitraan - pencitraan kekuasaan ini mengalami kebuntuan, pengerasan seperti batu yang tidak mungkin bekerja secara bertanggungjawab, karena kekuasaan seperti ini tidak memiliki kreativitas untuk keluar dari masalah. Kami ingin mempresentasikan ku-partai batu kedalam sebuah bentuk performance art untuk membangun kritik dan penyadaran-penyadaran khususnya kepada pemain semoga ini bisa membangun perspektif penyadaran pula kepada audiens.
|6
Konsep awal telah jadi, kami pun mengolah konsep tersebut di Laboratorium UKM Seni UMI. Kami mulai membentuk tim kerja, menentukan pemain dan menyusun jadwal latihan. Dalam metode penggarapan karya ini, kami tidak menerapkan metode seperti biasa dilakukan ketika menggarap sebuah karya. Tidak penulis naskah, sutradara, dll. Kami mencoba menerapkan kedaulatan dalam proses berkarya kami. Semua pemain dan orang-orang yang terlibat dalam sharing adalah fasilitator ide. Semua ide-ide baik dari hasil sharing dan diskusi, kami dokumentasikan dan kami kumpulkan kemudian kami ramu menjadi sebuah gerak artistik. Para pemain diantaranya Dhany, Sambredet, Affan, Ammy dan Niar. Berangkat dari berbagai latar belakang, Dhany yang mempunyai background seni rupa, affan dari musik, Sambredet dari teater, serta Ammy dan Niar adalah penari. Kami bekerja partisipatif, mengolah ide ke bentuk artistik dengan beragam perspektif kami. Kami mulai proses sejak awal April 2012, sepanjang April hingga Mei, kami banyak menghabiskan waktu dengan mengumpulkan referensi, berdiskusi, merancang instalasi artistik pertunjukan, dan lain sebagainya. Hingga pada awal Juni, 70 % persiapan telah rampung, kami pun mulai mengeksplorasi gerak, beradaptasi dengan beberapa artistik yang telah kami tentukan seperti batu, pattapi, dupa, instalasi bambu segitiga, dan lain-ainnya.
Alur Gerak Ku-Partai Batu
Seorang membawa api ditangannya. Dibelakangnya, empat penguasa partai membopong rumahnya masing-masing, berjalan beriringan, mereka sedang berjuang untuk satu visi dan tujuan. Seperti bebek mereka begitu cerewet seperti sedang berpidato pada rakyatnya. Para penonton yang sementara berdatangan mencari posisi masing-masing dimana mereka bisa nyaman untuk menyaksikan pertunjukan. Instalasi bambu berbentuk segitiga berdiri menjulang, dengan timbangan diatasnya adalah dunia, dunia yang membagi kekuasaan atas dunia atas dunia tengah dan dunia bawah. batu-batu bergantungan disana. Keadilan seolah berada diatasnya. Yang berdiri di puncak akan mengendalikan keadilan dan kedaulatan. Empat penguasa mengitarinya. Seorang yang membawa dupa naik membawa batu menuju puncak segitiga (dunia atas) dan empat penguasa partai yang mengelilingi empat sudut,mengangkat batu ke atas kepalanya, seolah bersumpah, mereka memandatkan kekuasaan yang mereka miliki pada pemimpin batu. Kini kedaulatan telah ada pada Batu.
|7
|8
Para penguasa partai itu kemudian membawa batu ke daerah kekuasaannya masing-masing, ada yang menguasai wajan, lesung, pattapi, dan cobek-cobek. Mereka begitu rakus dan beringas mengeksploitasi wilayah kekuasaanya, hingga akhirnya habis dan ingin mengeksploitasi wilayah lainnya. Piring telah kosong, dimanakah piring yang masih ada makanan…??? Penguasa-penguasa partai itu melihat negara ini layaknya meja makan, perebutan piring terjadi sementara dibawah meja makan kucing-kucing kurus, lapar, menunggu sisa-sisa itupun kalau ada sedikit yang bisa mereka nikmati. Lapaaar…lapaar…hauss..hauuss….tangkaap…rampaass… begitu para penguasa partai itu bersahutan saling berebut. Pemimpin batu turun kedunia tengah, dunia para penguasa-penguasa berebut. Namun Perebutan tak pernah usai. Dari mereka tak ada yang kalah melainkan rakyat yang semakin sengsara. Partai yang sejatinya memberi kesejahteraan dan menampung aspirasi masyarakat kini telah menjadi mesin perang untuk berebut kekuasaan.
|9
Kesengsaraan berkepanjangan. Rakyat pun menggugat. Kedaulatan harus dikembalikan pada esensinya. Maka, kekuasaan batu harus diturunkan dan kemudian dihancurkan. Para penguasa akhirnya mengambil batu dari wilayahnya masing-masing, kemudian di hancurkan dengan palu godam hingga berkeping. Kemudian melepas kain yang melilit tubuhnya dan melilitkannya pada rumah segitiga kemudian ditumpuk dan dibakar. Dibakar untuk menghilangkannya. biarkan menyatu bersama api, asap abu dan udara. Seorang performer turun dari dunia tengah ke dunia bawah, menyapu sisa-sisa pecahan batu dan dikumpulkan dalam wadah yang diletakkan di dunia bawah. Empat performer kemudian membawa pecahan batu untuk diantarkan ke laut. Biar hilang dalam debur ombak lautan menyatu bersama samudera.
Lokasi
Performance Art
ku-Partai Batu
Jln. Metro Tanjung Bunga depan Siloam Hospital, lokasi pembangunan Mega Proyek Wisama Negara Republik Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan
| 10
Batu sebuah Perspektif Batu sebagai sebuah representasi kekuasaan yang apatis. Dalam hal ini, kita melihat batu sebagai sesuatu yang metafisik, sebagai sebuah imajinasi kekuasaan yang menguasai kepemimpinan nasional kita. Kepemimpinan yang penuh dengan pencitraan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/dinasti batu yang sarat konspirasi kepentingan tertentu. Konsep Ku-Partai Batu berupaya membaca kekuasaan pada batu melalui eksplorasi artistik dan estetika yang kontekstual dewasa ini. Kekuasaan batu melahirkan pecahan konspirasi yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin batu yang kemudian membentuk instalasi teks dengan masyarakat yang dipimpinnya melalui ilusi media dan informasi. Budaya informasi melalui imaji media yang terbangun dalam sistem nasional kita, adalah logika yang mengabsahkan rekayasa citra dalam sistem kapital untuk membangun selera massa yang
seragam dan konsumeristik. Hingga tanpa sadar, kita pun menjelma masyarakat batu yang apatis, non kreatif, asosial, dan pragmatis. Kita menjadi sangat terbuai fantasisme yang memberi jarak ekstrem terhadap fakta dan realita yang berlangsung, dan Menyerah pada berbagai kondisi sosial seperti korupsi, harga bahan pokok yang naik, krisis bahan bakar, penggusuran, PHK, dll. Kekuasaan batu sebagai sistem kapitalis telah menguasai politik dan ekonomi nasional kita, hanyalah menguntungkan golongan yang berkoalisi dengannya. Sehingga dengan otomatis, masyarakat kelas bawah menjadi tumbal atas praktek ini. tak ada jalan lain selain merobohkan “batu-batuâ€? itu dan kedaulatan harus dikembalikan pada rakyat. KU-PARTAI BATU‌!!!
| 11
ku-Partai Batu dan Makassar Gedung-gedung tinggi menjulang, aktivitas kerja proyek pembangunan, tetumpukan batu, gundukan tanah, sampah berserakan dibibir pesisir, lalu lintas kendaraan , bising, dan debu tanah kering, seakan larut bersama peluh anak-anak kecil yang seharian menjaga parkir di area itu, sore itu. Area itu memang merupakan bagian dari proyek pembangunan pesisir tanjung bunga, terkesan kumuh, dengan tumpukan sampah, timbunan tanah dan batu sisa-sisa pekerjaan penimbunan yang sampai saat ini masih terbengkalai pembangunannya. Namun tempat itu rupanya cukup ramai oleh masyarakat kota yang sekedar menghabiskan waktu luangnya demi melepas penat menikmati pemandangan senja. Maka tak heran tempat ini menjadi sasaran warga sekitar untuk menagih jatah parkir. Suasana itulah kemudian yang akan menjadi landskep ruang performance art “ku-Partai Batu�. Konteks pembangunan dan proyek penimbunan wilayah pesisir yang merupakan bagian dari rancangan mega proyek Makassar menuju kota dunia, menurut kami mewakili sistem kapitalisme kelompok, golongan ataupun partai yang kongkalikong dan saling suap dengan pejabat daerah setempat demi melancarkan segala
urusan perijinan, dan lain-lain. Pembangunan menjadi tak terkontrol, besi-besi dipancang ke perut bumi, gunung-gunung dirobohkan untuk menimbun laut, laut menghitam, ikan - ikan menelan racun limbah industri raksasa dan sampah - sampah meluap ke laut. Pembangunan menjadi sangat brutal sarat muatan politis dan tanpa kajian mendalam, hanya akan membawa kerusakan terhadap lingkungan fisik hingga persoalan sosial masyarakat. Tempat ini berjarak kurang lebih sekitar 200 meter dari gedung CCC dan berhadapan seberang jalan dengan Siloam Hospital. Dilokasi itulah kami menggelar performance pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 pukul 16.30 WITA. Mengenai urusan ijin tempat ini, kami bertemu lagi untuk kedua kalinya dengan tukang parkir di area itu, yang katanya dipercayakan oleh kontraktor untuk menjaga keamanan daerah itu. Kami pun sudah menyampaikan maksud kami dan setelah melalui negosiasi, akhirnya kami diberi ijin untuk melakukan acara kami ditempat itu. Yah, walaupun nantinya tentu kami harus mengerti bahwa tak ada yang selesai hanya dengan ucapan terima kasih.
| 13
Diskusi dan Sharing Anak UMI bilang ini “Halaka�, istilah yang sangat tak asing bagi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar. Malam ini lagi-lagi hujan deras, dan tak memungkinkan untuk latihan di luar. Kami pun mengalihkan dengan berdiskusi seputar konsep yang akan kami pentaskan di Pekan Performing Art V (PPA) Bali. Tak terasa proses penggarapan PPA V sudah berjalan kurang lebih sebulan dan jika berdasarkan jadwal pelaksanaan PPA V, maka itu berarti tinggal sebulan lebih pula waktu kami untuk berproses. Saat itu, belum ada tambahan personil. Kami masih bertahan dengan formasi awal Pandawa Lima di antaranya Ammy sebagai art major, Dhany, Affan, Aden, dan Sambredet. Latihan kami di intensifkan tiap hari (kecuali hari Minggu). Beberapa kendala yang dihadapi selama proses adalah masalah cuaca dimana saat sore, hujan deras sering mengguyur hingga lepas maghrib. Dan juga kesibukan - kesibukan lain para performer. Properti-properti utama telah kami adakan diantaranya; Batu berbagai ukuran, sapu, pattappi, tempat dupa, tungku, cobek-cobek, dan wajan besar. Sedangkan instalasinya, masih dalam tahap pengerjaan namun sebagian besar telah kami rampungkan. Jauh hari sebelumnya, konsep rancangan instalasi telah kami diskusikan bersama. Instalasi terbuat dari kerangka konstruksi bambu yang dibentuk segitiga dengan timbangan diatasnya. Konsep bentuk ini menjelaskan struktur pemerintahan kita yang kapitalis. Struktur yang hanya memberi kesejahteraan bagi kelas atas dan menengah sebagai penguasa modal sedangkan kelas bawah hanyalah pekerja yang akan terus tertindas. Dan tentunya atak akan ada keadaulatan bagi mereka yang tertindas. Bangunan instalasi ini dibuat cukup besar dengan ukuran tinggi kurang lebih 4 meter dengan tangga dibelakangnya sebagai tempat naik performer. Di ujung segitiga nantinya akan diletakkan sebuah batu besar, melambangkan sifat atau watak pemimpin kita yang dianggap telah mengeras seperti batu, sehingga tak ada lagi rasa malu, pencitraan, apatis, individual, dan asosial.
| 14
Sedangkan dikedua sisi timbangan, akan diletakan dupa yang berasap tebal, melambangkan telah terbakarnya keadilan di negeri ini oleh angkara dan keserakahan. Tanah, air, udara, dan api adalah elemen-elemen kosmos yang menyatu dalam tubuh manusia. Sebuah potensi alamiah manusia dijewantahkan melalui perwujudan sifat dan perilakunya dalam kehidupan. Dalam tradisi Bugis-Makassar dikenal sebagai sullappa eppa. Oleh pencitaraan kekuasaan batu melalui imajinasi media yang seragam, sifat-sifat tersebut mengalami pengerasan dan menjadi batu. Batu-batu itu kemudian menjadi penguasa-penguasa kecil (Partai) dalam tatanan struktural kapitalis yang sarat konspirasi. Kondisi ini berlangsung terus menerus, menggerus kedaulatan masyarakat kelas bawah. Kesengsaraan, kelaparan, kemiskinan, penindasan adalah hal mutlak yang tak terhindarkan sebagai konsekuensi praktek tersebut. Untuk merebut kembali kedaulatan, maka kekuasaan tersebut harus di HANCURKAN‌!!! Penghancuran kekuasaan dalam performing ini diwakili dengan penghancuran batu menggunakan palu beton hingga berkeping-keping. Kemudian dilanjutkan dengan ritual pensucian dengan membawa pecahan-pecahan batu ke laut. Ritual ini mengambil inspirasi dari tradisi jene’jene’ sappara yang sampai saat ini masih dilaksanakan di kabupaten Takalar provinsi Sulawesi Selatan.
selalu ada ruang kos
song untuk berkarya
Berburu Ruang Outdoor; Ruang Outdoor Ruang Bertarung
Oleh: Dhany R
Yah, kembali lagi pada proses ku-partai batu. Kembali saya menulis lagi tentang proses kami dalam penggarapan performance art “Ku-Partai Batu�. Performance Art yang direncanakan akan dipentaskan di PPA V (Pekan Performing Art V) 27-30 Juni 2012 di Denpasar Bali tersebut, terpaksa panitia sejak akhir bulan Mei lalu telah mengkonfirmasikan kepada kami jadwal PPA V diundur hingga akhir September 2012 nanti. Pengunduran jadwal ini secara psikologis sedikit menganggu kami yang telah jauh hari mempersiapkan diri untuk event ini. Namun persoalan karya bukanlah persoalan tempat. Show must go on. Dan akhirnya setelah melalui sharing dan diskusi panjang dengan tim yang terlibat akhirnya kami memutuskan untuk tetap melanjutkan proses karya ini dan mementaskannya di Makassar akhir bulan Juni 2012, sesuai rencana awalnya. Dan banyak pertimbangan logis juga yang menguatkan kami bahwa teks performance art ku-Partai Batu sesuai dengan konteks ruang di Makassar. Pada tulisan saya yang lalu, telah saya tulis bahwa rencana space untuk performance akan digelar di pesisir pantai karena sesuai dengan konsep artistik dalam performance ku-partai batu. Untuk itu, beberapa tempat pesisir pantai telah kami survei, diantaranya di tanjung Bayang dan disekitar pantai Layar Putih yang menurut kami punya view ruang yang cocok. Beberapa kali juga kami telah latihan dan adaptasi ruang di tempat-tempat tersebut. Dan hari ini tanggal 16 juni 2012, berarti tinggal seminggu lebih menjelang akhir bulan dimana waktunya kami akan menggelar performance art ini. Sesuai jadwal latihan kami, sudah saatnya untuk latihan ruang di pantai. Kami pun mengemas segala properti instalasi bambu, wajan, palu, sapu, batu2, dan alain-lain yang
sejak malam telah kami list karena hari ini kami akan membawa semua properti tersebut ke Tanjung Bayang untuk memulai latihan ruang disana. Kami menyewa mobil Daihatsu di jalan Pettarani, untuk mengakomodasi barang-barang tersebut yang cukup banyak, hingga sulit juga ketika menaikan barang-barang tersebut ke atas mobil.
Melihat kembali ruang
Sebelum berangkat, kak Bram yang kami temui di sekret, sempat bertanya dan berpesan kepada kami; “coba temukan ruang yang lain. Jangan terjebak dengan konteks pesisir pantainya saja, coba cari ruang yang lebih kontekstual dengan teks ku-partai batu, beberapa tempat alternatif yang bisa menjadi opsi adalah pembangunan dan penimbunan laut sepanjang pantai losari atau disekitar rumah susun�. Bagi saya, menarik tawaran ini karena ada landscape kontradiktif dan isu sentral yang bisa kita citrakan dalam performance tersebut. Landscape rumah susun, rumah-rumah kumuh disekitarnya, bangunan CCC, Trans Studio, dan bangunan lain disekitarnya adalah sedikit dampak dari kekuasaan “ku-Partai Batu’ yang coba kita kritisi. Lanjut bro... jam empat sore, matahari masih terik
menggantung dan kami melaju menuju tanjung bayang. Selama perjalanan, tawaran ide dari kak Bram tersebut cukup menganggu otak kanan kami untuk berimajinasi kembali. Kami pun sepakat hari ini akan mensurvei tempat-tempat tersebut. Kami tiba di Tanjung Bayang, barang kami telah turunkan dan siap untuk memulai latihan, namun kami harus mencari dahulu tempat dimana barang-barang ini akan kami titipkan ketika kami telah selesai latihan. Ternyata cukup sulit juga karena tempat yang kami rencanakan di pantai layar putih banyak pondok-pondok yang disewakan warga sekitar, yah biasanya dipakai buat pacaran apalagi tempat yang sepi, deburan ombak yang mendayu-dayu mendukung romantisnya suasana. hahayyyy.... Seorang warga menghampiri kami yang saat itu sedang membawa properti instalasi bambu kami dan menanyakan maksud kami. Saya juga lupa namanya siapa, dia mengatakan bahwa tempat ini adalah mata pencaharian utama penduduk sekitar, dan ketika ada keramaian tentunya akan membuat pengunjung yang sebagian besar dari pasangan remaja
| 19
| 20
akan terusik dan tentunya tak ada yang berani memesan tempat disitu, “Anakku tiga kodong, satu mau masuk SMP satunya juga mau masuk SMA, banya’na itu na pake uang, ini mami ini sumber pendapatanku kodong”. Waduuuh curhat iniee… kami pun memutuskan untuk tidak jadi memakai tempat ini dengan berbagai pertimbangan tersebut. Matahari jingga dan anak–anak kecil yang bekejaran di pesisir seakan mengantar senja ini untuk pulang. Kami akhirnya harus mencari tempat untuk menitipkan properti kami, dan setelah melalui lobi panjang akhirnya kami harus membayar uang jaga sebesar Rp. 50.000, untuk memuluskan maksud kami, yah kata teman saya Sambredet, masyarakat disini cuma kenal dua warna untuk segala urusan yaitu kalau bukan Merah yaaah Biru…hehehe... Perjalanan pulang kami menyempatkan untuk singgah di rumah susun untuk melihat kondisi sekitar disana, cukup menarik juga ruang disana. Kondisi sosial masyarakat dan lingkungan disana benar-benar sangat kontradiktif dengan pembangunan disekitarnya. Ada bangunan kumuh, penimbunan laut, bagunan megah CCC, Trans studio, dan gedung-gedung disekitarnya. Tak lama, kami melanjutkan perjalanan menuju sekitar pembangunan relokasi pantai losari yang sementara dalam tahap pengerjaan tepatnya disekitar mesjid yang baru dibangun diatas penimbunan pantai. Tempat ini bagi kami cukup representatif dan cukup kontekstual
dengan teks performance art kami, ada pesisir pantai, banyak bebatuan, tanah timbunan, landscape bangunan megah pembangunan pesisir pantai losari, dan lain-lain. Namun kami harus melobi lagi dengan pihak yang berkepentingan atau yang mengelola tempat tersebut. Akhirnya kami mendatangi tukang parkir disitu yang kebetulan katanya dialah yang menjaga dan mengelola tempat tersebut. Namanya Jenk, masih muda, tubuhnya tegap kekar. Kami juga membutuhkan komunikasi efektif, sederhana dan mudah untuk dimengerti oleh mereka agar menjelaskan apa yang hendak kami lakukan. Kami mengatakan padanya bahwa kami akan memakai tempat ini untuk setting pembuatan film teater. Hehehehe. Bahasa ini cukup mudah dimengeti olehnya, dia menyambut, “ Oh iya bisa ji itu, karena seringmi juga ini tempat dipake itu artis-artis kalo mau menyanyi-menyanyi‌â€?. Dia pun mengatakan siap akan menjamin keamanan daerah sekitar ketika hari acara. Saya pun langsung meminta nomor handphone bang Jenk ini untuk dihubungi suatu saat. Akhirnya malam menjelang, lampu-lampu menari di sepanjang jalan, memacu kuda besi kami kembali ke kampus UMI....
Kisah Properti Oleh : Sambredet
Berbincang mengenai kisah, ditiap detik yang berganti selalu saja ada kisahnya baik itu kisah sedih maupun kisah bahagia. Begitu pun dengan properti Ku-Partai Batu yang memiliki kisah dalam perjalanannya mengikuti kami. Dalam kisah property Ku-Partai Batu, yang lahir menjadi anak pertama adalah Si Cobek selanjutnya Si Kwali, Si Dupa, Si Lesung dan yang menjadi anak bungsu Si Pattapi. Yah, mari mendengarkan curhatan curhatan terlahirnya properti Ku-partai Batu. Ketika kita bercerita pastilah kita akan memulai dari anak pertama, yah si COBEK. Asal muasal Si Cobek berasal dari rumah Sambredet yang terletak di daerah utara Makassar. Si cobek dipakai di rumah Sambredet untuk meramu tomat, lombok, kemiri dan lain-lain yang berhubungan dengan bumbu dapur, namun melihat kondisi proses ku-partai batu akhirnya sambredet mengambil keputusan untuk mengikutkan Si Cobek pada garapan Ku-Partai Batu. Sambredet pikir sudah tak ada masalah pada kelahiran Si Cobek pada proses ku-partai batu, ternyata di rumah Sambredet mengalami kalangka-
| 22
but utamanya kakaknya yang ingin meramu lombok, tomat, garam dan kawan-kawan. Kakak Sambredet mengomel dan berkesimpulan, ‘’betapa bodohnya seorang pencuri ketika hanya mencuri cobekan, di sudutsudut rumah telah di cari kesana kemari ini seperti lagunya Ayu Ting - ting ’’. Akhirnya Kakak Sambredet bertanya kepada sang pelaku yang memasang wajah tak bersalah. Kakak : “Kau liat kah itu cobekan ??” Sambredet : “Cobekan yang mana ??” Kakak : “Cobekan” (Dengan nada penegasan) Sambredet : “Owww cobekan, ada di kampusku “(Wajah tak bersalah) Kakak : “Edededeee, nu apakanki itu cobekan ??” Sambredet : “Ku pake main teater” Kakak : “Bawa’ pulangi” Sambredet : “Dua bulan lagi, karena adaji itu blender” Kakak : “Kau kira bisa semua di blender” Berhubung Sambredet laki-laki. mana mungkin dia mengerti dengan alat dapur, apalagi dia anak bungsu. Setelah Si cobek lahir Si Kwali pun akan segera dilahirkan, berhubung Sambredet di warning di rumah, kini giliran si Ammy yang akan melahirkan Si Kwali menjadi anak kedua pada proses Ku-Partai Batu. Bermula dari
pesta perikahan dari keluarga Ammy, dia pun meletup pada diskusi ku-partai batu bahwa ‘’Ada kwalinya tanteku kemarin dipake’ masak-masak pengantin’’. Dengan penuh rayuan dari Ammy akhirnya tantenya pun luluh dan menyerahkan Si Kwali dan menjadi kelahiran kedua Si Kwali pada ku-partai batu. Namun ada masalah ketika dalam proses ini yaitu si kwali terluka parah bocor dan retak. Mari menyiasati sebelum ke pulangannya. Berhubung anak kedua dan anak pertama telah lahir akhirnya anak ketiga ingin di lahirkan yaitu si dupa, namun historinya ini cukup pendek dengan merogoh kocek sebesar Rp 10.000 dan akhirnya Si Dupa lahir dari samping jembatan gantung-Fly Over. Berhubung Si Lesung akan dilahirkan menjadi anak ke empat, karena cukup sulit untuk diadakan akhirnya Sambredet kembali merampok rumahnya untuk melahirkan Si Lesung. Sambredet pikir kesalahan kemarin yang dibuat dirumahnya telah terlupakan seperti debu yang di sapu angin. Dengan mengendap-endap Sambredet menunggu penghuni rumah tidur untuk melarikan Si Lesung, berhubung tuhan maha adil sehingga dia menurunkan hujan tuk merayu semua mata untuk terlelap. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Sambredet dengan membawa Si Lesung tuk kelahirannya, namun telah terpikirkan dengan berbagai resiko.
Setelah kelahiran si lesung tak lengkap rasanya tanpa soulmatenya yaitu Si Alu, dengan sigap Kak Alli merespon wacana teman-teman yang mencari soulmate dari Si Lesung. Alu ada di rumahku ambil saja sebentar, dengan sigap teman-teman mengambil Si Alu. Anak bungsu akan dilahirkan si Pattapi, kisah dari Si Pattapi tidak jauh beda dari kisah Si Dupa, karena dana telah keluar jadi Si Pattapi terlahir dari pasar tradisional yaitu pasar Pa’baeng-baeng. Dengan dana Rp 150.000 dari Ammy si bungsu terlahir.
Skeptisisme Seni Modern (Penjara Teater Modern) Sebuah catatan tentang Modernisme Teater dan Seni Rupa. Oleh : Taufik Dhani Seni modern hadir dengan segala aturan dan konvensi formalnya berusaha membangun eksklusifitasnya sendiri. Seakan membangun jarak yang kontras antara seni dan masyarakatnya. Seni modern melahirkan pengkotak-kotakan dengan persepsinya sendiri dan melahirkan bintang-bintang yang semakin menjelaskan sebuah kemapanan struktural. Panggung seni (teater) menjadi sebuah istana yang semakin menjauhkan diri dari realitas, seni semakin individual dan mapan sebagai sebuah disiplin ilmu. Seni pun (teater) tak lebih dari sebuah pilihan hiburan bagi masyarakat-masyarakat yang lelah dengan aktifitas kesehariannya. Sistem ini, melahirkan pula masyarakat yang praktis dan formal. Seni semakin terlarut dalam eksplorasi estetikanya dengan mengabaikan aspek humanis/etika. Saat ini, membicarakan persoalan absurd dan realis adalah sebuah kegamangan, sama seperti kita melihat lukisan kemudian mengklasifikasikannya atas nilai historis, aliran abstrak, naturalis, surealis, dan lain - lain.
Semua hanyalah persoalan sejarah teknik yang telah jelas konvensinya dalam seni modern. Persoalannya sekarang adalah seni modern tersebut dianggap gagal karena tak mampu membangun negosiasi dan edukasi dengan lingkungannya. Seni menjadi ruang kekuasaan para seniman untuk melakukan eksplorasi estetikanya. Kesenian menjadi objek para seniman untuk beronani dan melakukan eksploitasi. Harusnya kesenian adalah sebuah media dalam hal ini sebagai subjek yang menghubungkan masyarakat dengan konteks sosialnya melalui kerja artistik sang seniman. Kesalahpahaman saat ini adalah semacam kecerobohan memandang teater dalam generalisasi yang justru menjauhkan pemahaman dan pengkajian terhadap kehidupan teater sendiri (kehidupan teater yang membuka mata pada realitas). Pembicaraan tentang teater saat ini, selalu saja menuju pada persoalan yang jauh berada diluar wilayah kerja teater itu sendiri. Misalnya membicarakan teater hanya pada histori,
nilai dan teater harus menjelaskan partisipasinya dengan memberi bentuk pada gejala komunikasi dalam masyarakat yang mau ditandainya, sehingga bersifat temporer kontekstual. Penyimpangan konsep seni konvensional (pemberontakan seni rupa)
aliran, gaya, dan bentuk. Upaya semacam ini sering menjauhkan publik dari kemungkinan untuk memahami teater sebagai media yang menandai gejala sosialnya. Teater saat ini, seolah hanya melakukan reduplikasi terhadap pikiran masyarakat sendiri tanpa menyediakan santunan pikiran atau solusi kepada masyarakatnya. Seni teater sejatinya mampu mentransformasi nilai menjadi solusi untuk beragam masalah yang dihadapi saat ini. Sekali lagi teater jangan menjadi sebuah kemalasan primordial yang melekat pada kemapanan struktural. Kini ,Teater harus bergerak pada tataran yang lebih jauh, yaitu aspek fungsional. Apa dan bagaimana fungsi teater dalam kehidupan. Bukan hanya berkutat pada persoalan histori, bentuk, teks, atau apalah. Semua wacana itu sudah selesai dalam tataran teknis, sebagai sebuah mainstream dalam dalam konteks zamannya masing-masing. Dunia yang kontemporer saat ini bergerak begitu cepat dengan inkonsistensi
Di eropa, gerakan penyimpangan terhadap seni konvensional telah dimulai sejak akhir abad ke 19, menjelang abad ke 20. Konsep estetika di Eropa, mulai berubah dan bergeser. Muncul aliran dan gelombang baru yang menghempaskan bentuk-bentuk konvensional kesenian. Muncul berbagai macam aliran seperti abstract, expresionis, seurrealis, postmodernis, dll. Semuanya hadir saling kait mengait dan acapkali merupakan gerakan-gerakan penolakan dan keyakinan atas pemahaman-pemahaman baru yang lebih individual, memperhatikan hak-hak dasar dan independensi manusia yang cenderung liberal dan anti kemapanan. Konsep ini sebetulnya tak pernah lepas dari sejarah sebelumnya dimana gerakan “non art� yang menisbihkan konsep estetika. Dipelopori oleh seorang pelukis Prancis, Henri de Saint Simon yang kemudian menelurkan istilah seni “avant garde�. Ia menghimpun pemikiran-pemikiran dari para seniman, ilmuwan dan industrialis untuk melakukan pendobrakan atas pemahaman konvensional seni dengan menolak paris salon dalam ruang-ruang akademis. Gerakan ini kemudian secara sporadik berlanjut dan meluas di negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman, Italia, Rumania, bahkan hingga di Asia yaitu Jepang.
| 25
Para seniman yang kebanyakan berasal dari seni rupa menempatkan dirinya sebagai seniman avant garde, pendobrak awal sekaligus pendukung postmodernis menjadi sebuah ranah tersendiri diantara mainstream modernisme yang ada. Bagi mereka, seni menjadi sesuatu yang perlu di oposisi. Hal ini adalah sebuah proses dialektika yang terus menerus dilakukan dalam menyikapi kesadaran akan berbagai hal yang hadir didunia ini sebagai sesuatu yang sementara saja, hanya pada jamannya, bersifat kontemporer. Hegel pernah mengatakan bahwa “tidak ada seni dalam masyarakat yang adil, hanya ada satu seni revolusioner yakni seni yang mengabdi pada revolusi”. Tetapi Hegel juga mengatakan bahwa “ seni bukanlah untuk segala jaman, tetapi dipengaruhi oleh zamannya”. Tulisan ini, menegaskan kepada kita pada dua situasi yang saling berlawanan namun kemudian keduanya dibenturkan kembali. kemudian disadarkan untuk tidak mencari cari romantisme secara keliru dan pada akhirnya akan menjebak kita kedalam masa lalu yang tertinggal dari masa datang. Performance art sebagai sebuah gerakan yang menandai serangkaian pemberontakan terhadap idiom-idiom mainstream tersebut secara liar dan sporadis mermbah keseluruh kawasan
Eropa, Asia bahkan di Indonesia. Jika berangkat dari sejarah gerakan performance art, mulanya berangkat dari para perupa-perupa Eropa menjelang abad-abad ke-20 yang tak lagi merasa katarsis dengan media seni rupa mereka. Mereka pun hadir dan turun ke jalan-jalan membawa tubuh mereka sebagai medium ekspresif yang tak terbatas lagi oleh medium konvensional seni rupa. Di Indonesia, gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan di bidang kesenian tidak terlepas dari situasi paska kolonialisme dan kapitalisasi modernisme yang diterapkan rezim Soeharto ketika menumbangkan pemerintahan Soekarno. Sejalan dengan itu, dunia seni rupa Indonesia pun bergejolak hingga lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) yang dimotori beberapa seniman muda di yogyakarta dan bandung, antara lain FX Harsono dan Bachtiar Zainoel. Gerakan ini, mendobrak tatanan apik romantisme seni rupa konvensional saat itu dan menentang seluruh praktik modernisme yang mendasari perkembangan senirupa Indonesia sejak 1940 hingga 1960 dan tidak lagipada tradisi fine art semata. Mereka memberikan penekanan pada kritik sosial sebagai tema utama karya mereka dan mengembangkan “message art” yang berpihak pada masalah kemiskinan perkotaan, pencemaran lingkungan,
ketidakbebasan berpikir dan meyampaikan hak, dan sebagainya. Ulah para perupa ini seakan mengejek keterkungkungan konsep artistik di masa itu yang mereka anggap tidak realistis dengan berbagai persoalan sosial yang ada. Penyimpangan - penyimpangan yang terjadi pada dasarnya mengajak kita untuk kembali mempertanyakan apa dan bagaimana sebenarnya fungsi seni secara umum, bagai kehidupan sosial masyarakat kita. Apakah kesenian itu menandai sebuah gejala sosial yang sedang berlangsung ataukah akan menjadi seperti mobil sedan mewah yang melaju mulus di antara jejeran masalah kemiskinan kota, kelaparan, penindasan HAM, dan lain sebagainya.
| 28
Museum Teater (Kandang katanya Seniman) Oleh : Muhammad Affan Ada pengrajin batu yang khusuk memahat nisannya, disebidang tanah wakaf penggali kubur memangkas cacing, ulat dan ular dengan paculnya, pemeti menjahit kayu menjadi kamar, diritmis dengan pelatuk tenunan kain putih, maka jadilah instrumen rambu kematian. Instrumen yang kokoh dengan tempo dan aksen harmoninya seperti bergejolak menuntun biramanya dalam vokalitas antiklimaks. Pengrajin batu dengan palunya meyulap bentuk jadi batu dan batu menjadi bentuk, penenun kain dan pemeti kayu menyulam abu jadi benang, serat jadi tekstur, tekstur jadi warna, warna jadi benang. Ini seperti aktivitas waktu dalam gerak.
Membaca teater dikolom seni Kompas, ‘tifa’ Media Indoneasia, majalah Gong dan baru-baru ini Drama kala, seperti wisata kuliner mencicipi wacana-wacana baru, lama, yang sebelum lama dan yang akan baru. Seperti menguak peristiwa media yang meniupkan kabar terdini dari tumbuh kembang teater yang menembus batas kontemporer. Walau bermula dari kepentingan setiap komoditi, setidaknya bisa memediasi diskusi yang terus bermetafor disetiap kontemplasi gerak-geraknya. Kompas yang mengelolah imaji dengan aktualisasi peristiwa teater seperti menjalin kontrak isu, Gong dengan gerakan penyegaran budaya dengan akultruasi seni pertunjukannya, media indonesia disetiap sentilunnya membiaskan kontradiksi dalam bahasan kolomnya, drama kala yang seperti peramal disetiap langkah Teater Jakarta dan sekitarnya, juga terus menguntit di Taman Ismail Marzuki. Keseharian ini seperti lakon yang berderit dalam detik. Terus-menerus mendesain konstruktif teater modern pada kekiniannya bah implementasi estetik dari teks-teks penutur, walau dikebiri tetap saja lari ditempat, media lebih mampu mengelola reportori menjadi sebuah bacaan apik, sebaliknya teater seakan tersesat didalam kotak koreknya seperti lakon ‘aktor tersesat dalam drama tanda tanya’ memenjarakan setiap pertunjukannya pada teknologi cahaya, artistik dan alat musik. Menjadi defenisi baru, seni pertunjukan dikerdilkan menjadi seni pemanggungan dengan didomplengi seperangkat mesin panggung hingga mampu menciptakan dimensi imaji yang sangat nyata,
jadi tidak sekedar mengilustrasikan artistik lagi, teknologi panggung bahkan menjadi aktor dalam seni pemanggungan. Produksi teater yang kemudian sangat dimanjakan dengan pencapaian teknologi sekarang, mungkin dari itu industri teater seolah menjadi penyeragaman, hampir disetiap daerah yang saya jumpai memimpikan antrian panjang penonton teaternya, fenomenalnya ini terjadi sampai di teater kampus yang mulai autis dengan teknologi panggungnya. Berbondong-bondong mentas di Graha Bakti Budaya, Teater Kecil, Gedung Idrus Tintin, Teater Salihara, dan gedung - gedung serbaguna lainnya yang memhimpuni fasilitasnya, atau terkadang bosan dengan suasana gedung kembali lagi kekampusnya dengan menyewa lighting canggih, sound sistem, serta seprangkat panggung lengkap yang kadang juga dibuatnya sendiri. Ini terus menerus digeluti, sampai melibatkan teknologi panggung jadi pembaharuan pelakonannya karna selalu ada yang baru dipanggung esok!. Katanya. Teknologi panggung dianggap seperti ornamen terpenting juga setelah teks yang meski terus dieksplorasikan. Konon pertunjukan teknologi panggung juga berdampak pada gengsi disetiap produksi dan lebih bisa memanjakan penonton apalagi dengan sedikit polesan desain artistik yang atraktif dan imajinatif. Padahal pertunjukannya tidak lebih dari produk splending tanpa implementasi berarti yang mendramatisasi bentuk keadaan yang terkadang sangat hiperbolais. Pada penyeolah-olahan sekunderial emosi pasar, yang seolah-olah ternaturalisasikan sendiri, seolah-olah suasana hutan, pasar, seolah-olah menjadi siang,
seolah-olah sebagai seorang ibu, pak tua, seolah-olah menjadi anak tujuh tahun, seolah-olah berada diistana, panti asuhan. penyeolah-olahan yang kaya imaji ini hanya mendikte emosi penontonnya, yang menentukan kapan kita menangis, tertawa, terharu semua aktifitas menonton kita dicabut ketika menonton penyeolah-olahan ini. Seakan tidak percaya dengan imajinasi yang menonton. jadinya seperti wisata visual di sinema elektronik yang menikmati kemolekan artis-artisnya saja. Teater kemudian tampak usang dengan warnanya sekarang dan teksturnya yang terkesan menjemukkan. Lucunya sampai hari ini Arifin C Nur, WS Rendra, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Nano Riantiarno, masih ‘getol’ dibahas mengenai aliran dan sejarahnya bahkan dipentaskan naskahnya diberbagai event bergengsi, sampai menjadi ketentuan naskah Arifin C Nur, Iwan Simatupang, Nano Riantiarno di berbagai festival teater, hingga pengkultusan Putu Wijaya dengan pemuatan festival monolog Putu Wijaya. Indikasi ini menunjukkan generaslisasi panggung teater modern sudah menjangkau terlalu jauh hingga tidak berjarak sama sekali dengan ruang teritorial kita sangat dekat diurat kepala. Karna sudah menjadi pembiasaan sejak lama, jadi panggung prosenium teater modern nampak berfasad dinasti yang saling berkecamuk diranah estetika. Dikejar dengan indeks prestasi, perteateran lalu seperti pragmatis dengan membangun kebudaannya didinastinya sendiri tanpa acuh dengan lingkungannya. Jadinya teater sekarang nampak seperti artefak
dalam museum atau museum dalam artefak yang saling memploklamirkan sejarah satu sama lain, artefak situs memamerkan museum dalam wisata sejarah, museum sebaliknya memamerkan artefak dengan sedikit memodifikasi warnanya agar seolah-olah nampak usang dan seperti tembikar berabad-abad, karna sudah menjadi ketergantungan museum dengan seberapa banyak pengunjung yang datang setiap harinya untuk mengecap situ-situs dari sejarah-sejarahan. Begitupun teater modern yang saling mengkontrofasi dengan seni pemanggungan dari naskah-naskah lawas, terus berkutat membolak-balikkan dimensi prosenium. Hari ini bicara konstitusi negara, kemarin bicara agresi kebudayaan majapahit, besok mungkin tentang tubuh aktor yang tersesat dalam prosenium. Tak jauh bedah dengan kerja museum, pencapain akhir dari teater juga sangat bergantung pada jumlah penontonnya, seberapa banyak penjualan tiket. “Alhamdulillah laku sampai 800 tiket, bisa menutupi biaya produksi hari ini heehhee..�. Seperti menjadi rifal film teater membangun industrinya sendiri. Cenderung tidak variatif dalam kerja kreartifnya dengan lakon itu-itu saja yang terulang. Pertanyaannya sekarang apa pencapaian dari teater setelah teater?
| 30
| 31
Ketika Aktor dan Penonton Menjadi Warga
Oleh : Anwar Jimpe Rachman
Hal-hal apa saja yang menarik ketika menyaksikan pertunjukan seni di luar ruangan? Ini catatan saya saat menjadi bagian performance arts Ku-Partai Batu yang difasilitasi oleh UKM Seni Universitas Muslim Indonesia (UMI), akhir Juni 2012. BANYAK ORANG KAGET, termasuk saya, ketika menyusuri jalan menuju kawasan Metro Tanjung Bunga. Di sana rupanya sudah berdiri megah Rumah Sakit Siloam. Saya tidak pernah masuk ke kawasan ini sejak beberapa bulan. Tanjung Bunga, kawasan yang dikembangkan belakangan di Makassar, mengharuskan terjadinya penimbunan sekitar Pantai Losari hingga pesisir perbatasan Makassar-Gowa.
memungut bayaran parkir pada para pengunjung pertunjukan.
Semakin dekat kian jelas bahwa bangunan bambu itu rupanya rangkaian bambu berbentuk segitiga setinggi sepuluhan meter, berdiri di atas jembatan beton penghubung timbunan luar dan timbunan dalam. Bangunan bambu itu tampak berdiri anggun disinari matahari sore dan tak goyah diterpa angin laut. Sebatang bambu di ujung atas terDi seberang jalan, berdepaikat melintang seimbang— nan RS Siloam, tampak sesebagai neraca keadilan. Kota Batu (foto: Anwar Jimpe Rachman) jumlah orang berkumpul di tanah timbunan yang Tanah timbunan, lokasi berlangsung performance berada sekisar 200 meter lebih ke dalam. Di dekat art Ku-Partai Batu, merupakan kawasan pembanmereka sudah berdiri bangunan bambu. Jalan ma- gunan Center Point of Indonesia (CPI). Berdasarkan suk ke sana dijaga tukang parkir. Beberapa kera- kabar yang beredar, mintakat ini rencananya akan bat kerja pertunjukan sudah berada di balai bera- dibangun Wisma Negara. Titik ini diambil karena tap tukang parkir. untuk memastikan tidak salah Makassar menganggap titik ini adalah titik tengah
| 32 Kepulauan Indonesia bila ditarik garis dari Sabang sampai Merauke (barat ke timur) dan Sangir Talaud ke Pulau Rote (utara ke selatan). Sayangnya, penimbunan itu berakibat pada kawasan sekitar Makassar, seperti yang terjadi di Desa Bontosunggu, Galesong Utara, Kabupaten Takalar. Seorang warga menyebut abrasi melanda Bontosunggu ditengarai akibat perubahan pola arus karena semakin tingginya sedimentasi di sekitar muara Sungai Barombong atau Sungai Jeneberang (http://panyingkul.com/view.php?id=1178, diakses pada 8 Juli 2012, 22.56 Wita). Pementasan Ku-Partai Batu menjadi salah satu bentuk kritik atas pembangunan kawasan ini, dalam bentuk performance art. KU-PARTAI BATU merupakan konsep pertunjukan yang mengimajinasikan batu sebagai kekuasaan
para pemimpin. Kepemimpinan ini penuh pencitraan semu yang terbangun dalam sistem kerajaan/dinasti batu. ‘Batu’ dalam judulnya menjadi kata yang merepresentasikan kezaliman yang teramat bebal. Bangunan bambu segitiga yang berdiri anggun itu berasal dari mitologi I La Galigo. Dalam alam pikiran mitologi masyarakat Bugis dan Makassar, dunia terdiri dari tiga dunia: botting langi’ (dunia atas), ale kawa’ (dunia tengah), dan peretiwi (dunia bawah). Di rangkaian bambu itu bergantungan pula bebatuan yang diikat menggunakan tali rotan. Terdapat lima aktor dalam alur gerak Ku-Partai Batu. Seorang membawa api di tangannya. Empat penguasa partai membopong rumah segitiga masing-masing. Mereka berjalan beriringan seolah berjuang untuk satu tujuan. Si pembawa api lalu
Empat penguasa mengusung rumah masing-masing. dan Latar kota, salah satu bagian penting dalam pementasan. (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Latar kedirian dalam mengolah pengalaman kota dan kosmis. Latar kosmis menjadi bagian penting. (foto: Anwar Jimpe Rachman)
menapaki bangunan tersebut hingga ke atas. Di sana ia meliukkan gerak gemulai. Sementara empat penguasa masing-masing bergerak menguasai wajan, lesung, nyiru, dan ulekan. Mereka menggaruk dan membisingkan benda-benda tadi—tentu dengan gerakan yang berbeda dan seperti saling berebut perhatian pengunjung. Setelah semua tandas dan dunia bawah berubah seperti meja makan, sang pemimpin turun ke dunia tengah. Sementara pula, keempat penguasa di bawah membuka kain, menumpuknya dengan semua rumah segitiga, lalu membakarnya. “KAWASAN INI bakalan ditutup dan hanya diakses kalangan tertentu saja. Jadi mumpung masih berupa timbunan, ayo kita pakai,” ujar Ibrahim, salah seorang fasilitator performance itu. Ujaran Bram, demikian panggilan akrab saya padanya, merupakan
karakter sifat pertunjukan sebuah perfomance art. Ia memberi kita pengalaman baru dalam menyikapi ruang, terutama berkaitan dengan latar berlangsungnya seni jenis ini. Seni ini mengabarkan dan memberitahu kita tentang perkembangan terakhir kota (dalam hal ini Makassar). Ragam seni semacam yang disajikan anak-anak seni UMI itu mengajak kita melihat kondisi kekinian Makassar. Bukankah kekinian adalah akumulasi dari masa lalu? Karenanya, ketika bagian membincangkan performance art ini di Kampung Buku dua hari setelah pertunjukan, saya dengan naif dan berani mengajukan istilah ‘seni keperistiwaan’ untuk mencakupi dua istilah ‘happening art’ dan ‘performance art’, yang tampaknya sempat membuat bingung beberapa peserta diskusi. “Jangan-jangan ini soal peristilahan saja,” kata salah seorang penanggap.
| 33
Saya mengerti kebingungan yang dimaksud. Karena, pada dasarnya, kedua seni ini agaknya berkarakter serupa, yakni: [1] memberi ruang yang sama antara pelakon dan penonton untuk berpartisipasi, baik segi interpretasi maupun komunikasi; [2] titik tumpu gagasan berorientasi fenomena/peristiwa kekinian (yang terjadi dalam rentang waktu yang tak berapa lama); dan [3] kerap penyajiannya berlangsung di luar ruangan. Bagi saya, istilah itu bisa membingungkan. Padahal ranah bahasa kita masih sangat luas dan membutuhkan penggalian serta pemaknaan dari penggunanya. Mengapa tak kita berpikir bersama mencari padanan istilah demi mengayakan perbincangan terkait soal ini? ‘Seni keperistiwaan’ bagi saya istilah paling cocok untuk menyebut genre ini karena seluruh rangkaian dari gagasan sebuah pertunjukan sebagai sebuah ‘peristiwa’.Penggodokan dan penyebaran gagasan tetap menjadi bagian penting dalam pertunjukan. Para kerabat kerja dan aktor menjadi peramu gagasan (fasilitator). Bagaimana pun, keterlibatan
semua kalangan adalah salah satu hal utama. Bahkan apa yang dilakukan, semisal, oleh tukang parkir demi kelancaran pertunjukan itu tetap masuk dalam hitungan ‘berpartisipasi’ dalam pertunjukan ini.
Demikian juga ketika pementasan berlangsung. Penonton dan fasilitator lebih menyatu. Mereka lalu menjadi warga biasa. Penonton disarankan lebih mengambil posisi sebagai pihak yang turut bergerak dan berpartisipasi. Mereka boleh ‘mengganggu’ pertunjukan dengan melintas di Suasana pementasan di lokasi pembangunan C depan fasilitator untuk mengambil gambar—sesuatu yang tidak terjadi dalam pementasan konvensional (memakai panggung).
| 34
Kalangan penonton perlu mengabadikan peristiwa seni yang tidak akan terulang itu, berikut dengan situasi kota ketika pertunjukan berlangsung. Mereka dapat mengambil gambar dari mana saja. Penonton lebih berdaulat menentukan posisi di mana saja, tergantung selera menyaksikan pementasan dari arah mana. Seni keperistiwaan membebaskan penonton kok. Peristiwa yang berlangsung di ketiga jagat memang serba tersebar, yang menyebabkan fokus kita terpecah, meski sejatinya pertunjukan itu satu peristiwa yang saling berkait. Perubahan peran yang saya jelaskan di atas tersebab terdapat tiga ranah dalam seni keperistiwaan itu, tempat kita mendudukkan diri, yakni latar kosmis (jagat raya), latar sekitar (jagat
CPI, Makassar. (foto: Anwar Jimpe Rachman)
Kedua dunia yang paling awal disebut adalah bagian terluar yang berbentuk dan terjadi tanpa campur tangan penonton karena tanpa peran dan rekayasa sutradara sebagaimana yang terjadi dalam pementasan konvensional.Namun kedua latar itu memberi kita gambaran kabar tentang lingkungan (kota), tempat hidup warga sehari-hari. Keberhasilan seni jenis ini, menurut hemat saya, tidak ingin menyeret kita berlama-lama dalam melankoli tentang ekstensial kedirian saja (penonton). Lebih dari itu, peristiwa ini mengundang kita peduli pada latar dan tempat seni ini berlangsung, yang memungkinkan penonton berubah menjadi warga.