Refleksi Temu Teater Mahasiswa Nusantara I “Membidik Manusia Perempuan Dalam Pigura�
Penyusun: Amah Carpova
Penanggung Jawab: Pengurus UPKSBS UMI Periode 2010-2011
Korektor: Subhan Makkuaseng Mamat Mariamang
Tim Redaksi: Iwan Zaenul Syamsul Alam Bahri Affan Lubist Andy Jabulany
Desain Sampul: Dhany Rupawan
Daftar Isi Terima Kasih….
iii
Oleh-oleh dari Samarinda
1
Suatu malam : Kasak-kusuk di Café UMI
5
Ruang 4x15 ; Secangkir Kopi yang Menjemukan
9
Kisah Sembilan Ratus Perak
13
Tamu Tak Diundang
17
Tak-Tik Praktis Dengan Bapak Walikota
20
Superhero
23
Tragedi Lubang Tikungan
27
Deklarasi Somba Opu
29
Sebar Isu ; “Membidik Manusia Perempuan Dalam Pigura”
33
Saksi Bisu Terseksi
37
Perempuan dalam Arena Teater
44
“Gagap” Gugup Seniman dan Pak Polisi
47
Si Rambut Gimbal yang Latah
52
Gatal ; Kado Merah Temu Teman I
53
Kata Kita
60
Biografi Penulis
66
Terima Kasih ‌ Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika kita dapat melihat dan rasakan sebuah impian dalam bentuk kenyataan. Dan bagi penulis, rangkaian kata dalam buku ini adalah suatu keindahan yang tak ternilai meskipun masih jauh dari kata sempurna. Segala puji bagi Allah, Sang Mahahati, Sang Maha Pengasih dan Penyayang dan maha segalanya. Tak putus-putusnya penulis memuja dan memuji atas nikmat yang tak terhingga dan cinta yang tak berujung, berjuta
kesempatan
untuk
menengok
ke
atas
mensyukuri atas segala nikmat dan cobaan yang menjadi pelajaran yang sangat berharga, atas berjuta waktu
mendengarkan
doa
dalam
ketertundukan.
Sembah sujud Kepada Nabi Muhammad saw atas segala perjuangan dan ajaran yang tak pernah padam hingga akhir zaman. Semua
pihak
yang
telah
banyak
menyumbangkan ide, tenaga, doa dan waktu demi
tercapainya niat dalam menyelesaikan buku ini, karena itu saya merasa berhutang budi kepada nama-nama di bawah ini: Kedua orang tua yang tak putus-putusnya menghantarkan doa dipenghujung malam mereka. Terima kasih untuk Kanda Mamat Mariamat yang rela “menurunkan derajatnya� menjadi korektor
setiap
paragraph yang saya todongkan setiap berkunjung ke Laboratorium UKM SENI dan (mungkin) sudah merasa bosan dengan sms-sms yang sama setiap saat. Kanda Subhan atas komentar “pedasnya� yang semakin menambah gairah untuk kembali melanjutkan yang pernah ada. Kanda Achin yang sudah mau menulis panjang lebar sejak awal dan diminta untuk mengarang bebas tentang Temu Teman I. Kanda Bram yang kerap kali diberondongi pertanyaan di depan Laboratorium UKM SENI ketika masih lelah dari kantor dan tetap memberikan jawaban-jawaban memuaskan. Kanda Mimit yang kadang menjadi dongkol dengan sms-sms dan sapaan-sapaan membosankan di dunia maya hampir tiap hari hanya untuk berbagi kisahnya di Temu
Teman I silam. Kanda Iip yang juga sudah merasa jenuh dengan permintaan “traktiran” untuk menuliskan sepenggal kisahnya di Temu Teman, terima kasih untuk kalajingganya,
Kanda
Ancha
yang
sudah
mau
meluangkan malam minggunya untuk diwawancarai. Terima kasih untuk Kanda Begho yang masih mau meladeni obrolan di dunia maya dengan pertanyaan yang agak “memaksa” ketika masih bau keringat setelah pulang kantor. Kanda Iqbal yang sudah diganggu jam kerjanya dengan pesan panjang namun pasti tujuannya, menagih tulisannya ☺. Kanda Ally yang sudah kerepotan membongkar kembali “arsip” lama demi kelengkapan Tim Redaksi. Kanda Nunggeng yang sudah mau membaca secara detail semua coretan-coretan yang masih amburadul. Kanda Imhe yang sudah mau diganggu moment “nostalgianya” bersama teman-teman ketika main ke sekret. Dhany Rupawan dengan kesabarannya telah membantu diantara kesibukannya sebagai Ketua Umum UKM SENI UMI. Sambredet yang sudah mau mengantar kesana kemari demi kelengkapan data. Affan yang telah mengembalikan kejenuhan untuk
kembali menyusun buku ini dengan celoteh “tajamnya” selama ini, terima kasih. Salma yang sudah rela menemani pengambilan gambar di Benteng Somba Opu di siang bolong dan merelakan setengah kulitnya jadi belang-belang karena sengatan matahari ☺. Para “banker ide “UKM SENI UMI yang tanpa ide dan penawaran dari mereka semua tak akan berarti apa-apa. Teman-teman di UKM SENI UMI (UPKSBS) yang telah berbagi waktu dengan kebersamaan, menyentuh hidup ini dengan cara yang berbeda, membantu untuk melihat sisi baik dari segala hal saat terjatuh mengajarkan banyak hal tentang hidup dan rajin menghembuskan semangat untuk segera menyelesaikan buku sederhana ini. Terakhir, semua teman-teman se-Nusantara yang
telah
meluangkan
sedikit
waktunya
untuk
menikmati secangkir cerita-cerita cinta dan perjuangan penggugah semangat berkesenian dalam Temu Teater Mahasiswa Nusantara I ini.
OlehOleh-oleh dari Samarinda Awalnya hanya seperti biji padi yang tumbuh pada pertengahan tahun 2001. Namun diluar dugaan biji inilah cikal bakal lahirnya Temu Teater Mahasiswa Nusantara (TEMU TEMAN I). Saat
itu pekerja seni
kampus Makassar mendapatkan undangan yang sama untuk mengikuti ajang FESTIVAL TEATER MAHASISWA NASIONAL (FESTAMASIO I) yang diselenggarakan oleh salah satu kelompok teater yang ada di kepulauan besar tanah seberang kawasan timur Indonesia yakni Teater Yupa Universitas Mulawarman (UNMUL) Kalimantan Timur. Kegiatan ini adalah ajang kompetisi karya dan silaturahmi kelompok teater/lembaga kesenian antar kampus se Indonesia. Tak heran jika Festamasio I dengan Temu Teman I seperti saudara kembar yang berbeda karakter. Setelah event sebelumnya seperti PEKSIMINAS, Katimuri, Cak Durasin yang selama ini dikenal ajang perhelatan kampus lahir duluan. TEMU TEMAN
baru menyusul Tahun 2002 memilih jalur
berbeda tanpa festival. Pukulan gong pertamapun dimulai. Festamasio ini biasanya diadakan setiap dua tahun sekali. Pada saat itu Teater Tangan belum memiliki nama, jadi ia hadir mengatasnamakan diri Unit Pengembangan Kreatifitas Seni Budaya dan Sastra (UPKSBS) Universitas Muslim Indonesia (UMI). UPKSBS adalah payung induk teater tangan itu sendiri sampai saat ini. Kehadiran UPKSBS masih berumur jagung, tiga tahun lalu hanya ditetapkan sebagai peserta peninjau saja di sana, karena tidak membawa apa-apa termasuk membawa kado pertunjukan guna diperlombakan. Para “penggeliat” yang hadir mewakili UPKSBS pada saat itu diantaranya adalah Ancha Ardjae Lalilo, Ahmad Fardi, Mamat
Mariamang,
Imran
Jaya
“Imhe”,
Alfiandi
Abdullah “Begho” dan Muh. Fadli Abduh “Ally”. Ally merupakan peserta paling culun sehingga mendapat julukan “Si Bocah” yang ingin mengetahui lebih banyak dunia luar. Sedangkan rekan-rekan yang lain dari Makassar, yang memang siap berlomba yakni, Ilham
Rachomi, Fail, Anto, Zuhdi dkk, Teater Kampus Unhas (TKU), Dede Leman, Tahir, Syarif dkk, Teater Talas (Unismuh). Nehru dkk UKM Seni eSA, dan UKM Seni UNM dkk. Setelah berakhirnya kegiatan Festamasio I di Samarinda ini, ide mengadakan Temu Teman mulai diwacanakan dalam kamar-kamar peserta dan forumforum diskusi. Temu Teman ini murni berasal dari UPKSBS oleh Ancha Ardjae Lalilo. Sedangkan konsep dan bentuk kegiatan merupakan gagasan absolut dari teman-teman UPKSBS (Teater Tangan), yang tak luput dari diskusi teman-teman pekerja seni kampus di Makassar, termasuk TKU Unhas, UKM seni Talas Unismuh, UKM Seni eSA UIN, UKM Seni UNM, Bestra UNM banyak memberi sumbang dan sambung saran. Meskipun
konsep
event
yang
akan
dilaksanakan tersebut tetap menjiplak LO (LowOfficer) dari kegiatan FESTAMASIO I dengan bantuan para PSK (Pekerja Seni Kampus) di Makassar.
Setibanya di Makassar Anca Ardjae Lalilo yang akrab disapa Ancha dan merupakan salah satu pendiri UPKSBS yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum UPKSBS. Seorang pemuda berambut gondrong sampai punggung dengan model keriting jatuh –tapi jatuhnya tergulung-gulung- (maaf Gan, ane cuma menulis☺), menghidangkan “oleh-oleh” dari Samarinda tersebut kepada anggota UPKSBS dalam sebuah rapat pengurus, yang pada masa antara lain Iqbal Adam, Imran Jaya, Fardi Dg Mattorang, Mamat Mariamang, Hapsa dg. Maralla dan Alfiandi Abdullah, Firman Anwar dan Subhan Makkuaseng. ж
Suatu malam :Kasak:Kasak-kusuk di Café Chimank Pembicaraan di atas kapal dari Batu Licin dan Pelabuhan Makassar kemudian berlanjut di Café Chimank di Jalan Kakatua depan Kampus I UMI Makassar. Café beratap
terpal
warna
biru
dan
pemiliknya bernama Chimank maka disebut café ini Café Chimank. Jika malam tiba, di sanalah anggota UPKSBS kumpul dan banyak melontarkan uneg-uneg dengan bergelas-gelas kopi dan teh. Diskusi seakan disaksikan oleh tiang-tiang listrik dan cahaya lampu jalanan yang remang dan kendaraan yang lewat di Jalan Kakatua semakin larut malam semakin lambat. Maka, teman-teman di UPKSBS (Teater Tangan) kembali membahas rencana kegiatan tersebut. Inisiatif pertama adalah mengadakan suatu kegiatan pementasan teater, tapi bukan dalam bentuk festival. Alasan tidak mengadakan dalam bentuk festival karena saat itu teman-teman berpendapat bahwa kesenian bukanlah
kegiatan yang lahir dalam bentuk instant dan dieksekusi oleh juri pilihan, tapi semestinya memerlukan sebuah proses
apresiasi
Membicarakan
langsung
karya
tidak
oleh dinilai
penontonnya. dari
sebuah
penghargaan baik atau buruknya tapi ditonton dengan enak, tanpa ada beban siapa yang akan mendapatkan juara nantinya. Dorongan melaksanakan event bukan dalam bentuk festival juga lahir ketika teman-teman UPKSBS (Teater Tangan) mengikuti perlombaan teater yang diadakan oleh TKU Unhas di Taman Budaya Makassar (Gedung Mulo) Jl. Sam Ratulangi. Kala itu Jacob Maralla dan Iwan Prapanca selaku dewan juri mengkritik karya Teater Tangan yang mengatakan bahwa karya mereka tidak layak di pentaskan karena teaternya adalah teater eksperimen (ekperimental). Menurut dewan juri teater ini sulit diketahui mana actor utama, mana actor pembantu dan peran antagonis. Hal ini yang tidak dapat diterima oleh teman-teman adanya “hakim karya� oleh dewan juri lomba. Juri seperti mematok kebebasan
berkreasi bagi insan teater dengan cara khusus. Meskipun
pada
akhirnya
UPKSBS
tetap
diberi
penghargaan pertunjukan mereka sebagai artistik terbaik buat Teater Tangan.
Beberapa Panitia Temu Teman I dengan latar belakang sekretariat lama UPKSBS di Kampus I UMI Makassar Pemberian nama TEMU TEMAN waktu itu entah terlontar dari mulut siapa, tapi ada beberapa ide yang muncul. Berdasarkan sumber informasi, pencarian nama kegiatan waktu itu melewati suatu pembicaraan yang cukup panjang, sehingga muncullah nama TEMU TEATER NUSANTARA yang oleh Fardy disingkat
TETE’NU. Tapi karena TEMU TEATER NUSANTARA itu terkesan
umum,
mahasiswa,
maka
dan
memang
ditambahkan
targetnya kata
adalah
mahasiswa,
manjadi TEMU TEATER MAHASISWA NUSANTARA yang saat itu disingkat TETE’ MANU. Tiba-tiba Fardy angkat bicara, “Adakah @#$%nya
ayam
???”,
dan
lagi-lagi
setelah
melewati
pertengkaran mulut yang saaaaaaaaaaaaangat panjang, akhirnya hasil kesepakatan bersama rapat menetapkan memberi nama kegiatan tersebut “TEMU TEATER MAHASISWA NUSANTARA” atau disingkat TEMUTEMAN (bukan TTM) yang tidak hanya berarti singkatan, tapi juga bermakna pertemuan dengan teman-teman pekerja seni kampus di seluruh nusantara untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman khususnya dalam dunia teater. Selanjutnya para pengurus UPKSBS berkumpul untuk menyusun kepanitiaan, waktu itu Muh. Yasin Yunus diberi tanggung jawab sebagai Ketua Panitia, Mimit Pakasi Dewo sebagai Sekretaris dan Sifa sebagai
Bendahara. Serta peran serta beberapa pihak yang memberikan masukan berupa buah pemikiran untuk memoles kegiatan ini termasuk beberapa pengurus inti UPKSBS saat itu diantaranya Ikbal Adam, Imran Jaya, Fardi, Mamat Mariamang dan Hapsah dg. Marala.
Ruang 4x15 ; Secangkir Secangkir Kopi yang Menjemukan Pembicaraan
di
café
masih
berlanjut
di
sekretariat. Secara kebetulan, waktu itu UPKSBS kedatangan seorang tamu yang awalnya “nyasar” bernama Arif Kriying, dengan tampangnya yang (maaf) terkesan culun, berkacamata, rambut pendek dengan belahan samping, kemeja selalu rapi dan diselipkan ke dalam celana serta bersepatu kulit, maka tak jarang beliau sering jadi korban “ma’calla” (objek penderita) oleh Alfiandy Abdullah yang akrab disapa “Begho” dan merupakan maskot UPKSBS
yang selalu dirindukan
oleh teman-teman karena orangnya yang kocak dan bego sehingga mendapat gelar kebangsawanan ala UKM SENI UMI yaitu “Begho”. ☺
Beliau
adalah
alumni
ISI
(Institut
Seni
Indonesia) Yogyakarta Jurusan Teater. Beliau juga merupakan dosen di almamaternya dan informasi terakhir (tahun 2003) sedang menggarap
lawatan
pertunjukan Korea dan Jepang. Beliau mengajarkan banyak hal seperti materi-materi teater, manajeman kegiatan, pengetahuan baru tentang proses berkesenian sampai hal-hal yang kecil sekalipun. Workshop pertama dilakukan di Malino, entah pada bulan berapa. Kemudian kami ajak mereka keliling-keliling kampus ke semua kelompok teater yang ada di Makassar.
Suatu waktu ketika Arif Kriying membantu teman-teman membuat proposal kegiatan, terlontar dari mulut Beliau bahwa teman-teman UPKSBS terlalu berani untuk mengadakan sebuah kegiatan yang berskala nasional sebesar ini jika dibanding dengan umur UPKSBS waktu itu masih sangat terbilang muda dan kurang popular dikalangan komunitas kesenian di daerah Jawa. Namun kata-kata itu malah menjadi sebuah
boomerang
membakar
dalam
semangat
benak
untuk
melangsungkan kegiatan tersebut. Đś
mereka
tetap
yang
termotivasi
Kisah Sembilan Ratus Perak Kembali pada persiapan kepanitiaan, segala bentuk persiapan mulai dilakukan, seperti memasukkan proposal bantuan dana ke berbagai instansi. Demikian pula setelah nama-nama undangan terkumpul, proposal pun
diterbangkan
melalui
jasa
Pos
dengan
menggunakan dana patungan dari teman-teman. Suka duka teman-teman waktu itu sungguh menggugah semangat diantara keterbatasan fasilitas, dana dan SDM. Pengorbanan yang cukup besar juga dilakukan teman-teman waktu itu seperti Imran Jaya “Imhe� yang rela menjual motornya untuk membeli seperangkat
komputer
untuk
memudahkan
administrasi kepanitiaan, padahal waktu itu temanteman di UPKSBS yang memiliki motor hanya beliau dan Fardy. Seperti dikisahkan Ketua Panitia waktu itu Muh.
Yasin
Yunus
yang
akrab
disapa
Achin
mengungkapkan
bahwa
basecamp
panitia
selalu
berpindah-pindah, mulai dari sekretariat UPKSBS, asrama putera Bulukumba tepatnya di kamar Imran Jaya yang akrab disapa “Imhe� (awalnya saya mengira cewek) dan terletak di Jl. Baji Gau bahkan sampai rumah Iqbal di Jl. Baji Pamai. Sampai pada suatu hari di kamar Imhe yang telah disulap menjadi sekretariat, ada kejadian lucu saat proses kegiatan. Sekitar jam lima subuh, Achin, Iqbal dan Imhe setelah menyelesaikan pekerjaan kepanitiaan dan sedang siap-siap untuk istirahat. Sebelumnya mari sama-sama kita membayangkan kamar cowok yang disulap menjadi base camp, dimana segala sesuatu tidak pada tempatnya, pakaian yang tergantung dimanamana, bahkan nyamuk yang bersemedi disana langsung terhipnotis, gelas bekas kopi dan puntung rokok yang jadi miniatur unik, layaknya kamar yang telah dilanda tsunami (hyperbolis mode on). Imhe membuka jendela kamar agar terjadi sirkulasi udara yang penuh dengan asap rokok (jarak pandang hanya 50 cm). Tiba-tiba
terdengar suara seorang cewek dari luar jendela yang ternyata berasal dari rumah seberang, yang (sangat) kebetulan Asrama Bulukumba bersebelahan dengan Asrama Puteri Tarakan. Cewek tadi menyapa dari balik jendela kamarnya sambil tersenyum manis –rejeki di pagi hari-. “Tawwa, rajinnya cowok di sebelah, bangun subuh-subuh terus membersihkan kamar”, dengan dialeg Makassar yang khas. Kontan para ksatria ini langsung tertawa. Tau sendiri kan kalau Achin tertawa (maaf Kanda ☺), membahana ke segala penjuru ruang, dan bisa saja semua orang subuh itu terbangun karena kebisingan yang terjadi diantara mereka. Si cewek rupanya salah sangka, mereka bukannya sudah bangun tidur dan rajin membersihkan kamar, tapi baru mau tidur setelah begadang dan membersihkan agar bisa istirahat dengan nyaman karena kamar yang berantakan. ж
Kisah lainnya juga terjadi di rumah Iqbal. Bersama Begho, Ardy Yusuf, Wiwin dan Mimit (maaf jika ada yang terlupakan namanya). Suatu hari sekitar pukul enam pagi, mereka sudah bangun dan siap untuk “berjuang�, Iqbal mau masak untuk sarapan, tapi ternyata yang ada hanya sisa nasi semalam, sedangkan mie instan dan telur sudah habis. Jadi mau tidak mau mereka diminta patungan untuk membeli lauk. Betapa sedihnya ketika uang yang terkumpul hanya Rp. 900,00,- itupun didapatkan dari sela-sela dompet, tas, bahkan kantong celana, baju dan jaket yang tergantung di pintu pun sudah dijarah, sedangkan Iqbal pun sudah membongkar lemari untuk cari tambahan. “Yah, kali aja ada yang nyelip di antara lipatan pakaian�. Celutuk Iqbal saat itu. Namun jumlah uang tetap tidak bertambah, masih berupa koin-koin dengan jumlah Rp. 900,00. Akhirnya uang itu digunakan untuk membeli kecap sachet, merica dan kerupuk. Setelah berdemo di dapur dengan wajan dan kompor, maka jadilah sepiring
nasi goreng, Alhamdulillah pagi ini masih ada sarapan. Tapi ternyata kisah sedih pagi itu belum berakhir. Sesedih-sedinya film India, tapi lebih sedih lagi jika setelah makan tidak mengisap rokok â˜ş. Dan itulah yang terjadi. Tak seorang pun diantara mereka yang punya rokok. Dalam keadaan demikian otak Begho yang punya tingkat kecerdasan di atas rata-rata pun bekerja, dengan sigap mengumpulkan sisa-sisa puntung rokok semalam, dan kebetulan beliau membawa kertas papir. Berhasil, jadilah sebatang rokok baru dan diisap secara estafet. Setelah mandi (maaf) kecuali Begho, makan dan merokok, mereka memanaskan mesin motor dan berangkat untuk mencari sebongkah berlian (bukan Bang Toyib) dan seikat uang (juga bukan Gayus) untuk TEMU
TEMAN
yang diiringi
teriakan:
Semangat
!!!Semangat !!!Semangat !!!–jangan lupa mengepalkan tangan dan diangkat ke atas-
Tamu Tak Diundang Menjelang kegiatan hingga akhir kegiatan TEMU TEMAN, buuaaanyak (saking banyaknya) sekali suka dukanya. Dalam penggalangan dana teman-teman juga memasang target di berbagai instansi yang ada di daerah. Seperti perjuangan yang dilakukan Haryadi Wiryawan “Wiwin” sebagai kordinator team, Muhlis Amin “Moch”, Ibrahim Massidenreng “Bram” dan Mimit Pakasi Dewo melakukan pencarian dana di beberapa kabupaten dengan menyusuri Kota Gowa sampai Sinjai selama dua minggu, bahkan mereka harus rela melewati moment Idul Adha di kampung orang dengan segala suka duka yang dihadapi.
Kiri : Mimit Pakasi, Mukhlis, Subhan Makkuaseng dan Ibrahim Massidenreng Disamping
itu
mereka
juga
mempunyai
pengalaman lucu dan unik. Tepatnya di Kabupaten Bantaeng, mereka bertemu dengan kembang desa dan akhirnya menawarkan tempat untuk menginap dan mengisi kampoang tengah (makan) di rumahnya. Di Kabupaten Bulukumba, mereka menginap di Desa Bontonye’leng, tepatnya di rumah Imhe. Kerana kebetulan berada di Bulukumba, mereka pun diminta untuk
mewakili
pernikahan
UPKSBS
Fatma
(salah
UMI satu
menghadiri anggota
acara
UPKSBS
Angkatan I). Setelah mencari lokasi pesta, akhirnya mereka menemukan sebuah pesta pernikahan. Para ksatria UPKSBS ini mendapat sambutan hangat dari keluarga mempelai dan dipersilahkan untuk menikmati jamuan, tanpa menunggu lama mereka pun memenuhi panggilan demi kampong tengah yang sudah bercuapcuap karena lapar. Setelah mengisi perut, mereka pun mengucapkan selamat kepada mempelai. Alangkah terkejutnya mereka karena ternyata yang punya hajatan bukan Fatma yang dimaksud, tapi orang lain yang jika tak salah juga alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI). Keluarga mempelai yang menyambut tamu, mengira bahwa para Ksatria UPKSBS ini adalah utusan dari UMI karena saat itu mereka menggunakan jas almamater hijau lambang kebesaran kampus mereka, UMI. Disela-sela kisahnya, Achin mengungkapkan rasa bangga kepada para Ksatria UMI tadi, walaupun Beliau sendiri sebagai Ketua Panitia didukung Ancha serta teman-teman
lain
yang
tidak
berangkat
sudah
memberikan wewenang kepada mereka berlima untuk menggunakan uang yang sudah didapatkan untuk
memenuhi kebutuhan mereka selama dalam perjalanan (makan, bensin dan rokok), tetapi tak sepeser pun yang kurang karena tidak digunakan. Salut !!!
TakTak-Tik Praktis Dengan Bapak Walikota Pencarian dana di Kota Makassar pun punya kisah sendiri yang tak kalah unik. Saat audiensi dengan Walikota Makassar -saat itu masih dijabat oleh bapak Amiruddin Maula-. Karena berkali-kali mengajukan surat permohonan audiensi dengan Walikota Makassar, tetapi selalu dilimpahkan ke asisten, akhirnya temanteman mengambil sebuah tindakan. Pukul 07:00, Achin dan beberapa teman sudah stand by di Balaikota. Melihat mobil dinas Walikota memasuki gerbang, Ardi yang bertugas untuk menunggu kedatangan Bapak Walikota langsung menginformasikan kapada temanteman di lantai dua yang juga menunggu di depan ruangan Walikota. Karena melihat ada mahasiswa yang menunggu, Sang Ajudan langsung bertindak. Achin yang bertugas mengalihkan perhatian Sang Ajudan dan sempat terjadi perdebatan karena dia menganggap bahwa apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan prosedur dan memang hari itu tidak ada audiensi karena esoknya Bapak Walikota akan menyampaikan
LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) di DPRD Kota Makassar. Begitu melihat Walikota dan teman-teman yang lain memasuki ruangan, Achin pun berkata kepada Sang Ajudan, “Maaf Pak, teman-teman sudah masuk dengan Bapak Wali, jadi saya juga mau menyusul mereka”, yang menuturkan kisahnya dengan sopan sambil senyamsenyum (dalam hati) karena melihat muka ajudan yang kebingungan
sambil
geleng-geleng
kepala
karena
merasa telah masuk ke dalam “jebakan”. Setelah diterima oleh Bapak Walikota, walaupun dengan wajah agak jengkel, mereka menyampaikan tujuan mereka untuk mengajukan permohonan bantuan dana dan menawarkan kepada Beliau agar penutupan TEMU TEMAN dilaksanakan di Baruga Anging Mamiri, rumah jabatan walikota. Dengan tujuan dan harapan agar peserta TEMU TEMAN dijamu langsung oleh Walikota sebagai Kepala Pemerintahan Kota Makassar. Tetapi Bapak Wali hanya memberikan satu pilihan, yaitu siap menjamu perserta TEMU TEMAN dalam acara Ramah
Tamah dengan Walikota sekaligus menutup kegiatan. Berhubung hanya diberikan satu pilihan dan dana kepanitiaan sudah sangat menipis, jadi mereka hanya meminta bantuan dana. Keesokan harinya, dana sebesar Rp. 3.000.000,- telah cair dari Walikota Makassar sebagaimana dikisahkan Achin bersama teman-teman. Đś Di tempat yang terpisah, Mamat dan Ally melakukan pencarian dana ke Jakarta waktu itu. Mereka mendatangi beberapa tokoh ternama dalam dunia kesenian di Indonesia seperti Ratna Surampaet dan WS Rendra untuk meminta sebagai pemateri/fasilitator dalam kegiatan TEMU TEMAN nantinya, namun usaha ini
tidak
membuahkan
hasil
karena
tersandung
besarnya biaya yang dibutuhkan apalagi membayar pemateri. Đś
Superhero Dari data-data yang diperoleh dan kisah dari beberapa
“penoreh
sejarah�
yang
ditemui
mengungkapkan bahwa terdapat berbagai kendala yang dihadapi, diantaranya minimnya dana dan tidak adanya sponsor pendukung atau lebih tepatnya (maaf) pihakpihak yang harusnya berperan dalam desahan napas kesenian saai itu enggan menoleh pada kegiatan yang digagas oleh PSK (Pekerja Seni Kampus) saat itu.
Panitia Temu Teman I
Hal ini diungkapkan pula oleh Mimit Pakasi Dewo yang menjabat sebagai sekretaris umum kegiatan bahwa, saat itu panitia menghadapi beberapa kendala diantaranya karena tingginya patokan biaya penyewaan Gedung Kesenian Makassar Societeit de Harmonie yaitu sebesar Rp. 2.400.000,- selama empat hari diluar sewa pemakaian lighting dan pemeliharannnya. Panitia bingung harus mendapatkan dana dari mana sedangkan mereka hanya membebani konstribusi kepada peserta sebesar Rp. 250.000,-.
Kesibukan panitia Temu Teman I di salah satu ruangan Baruga Somba Opu
Suatu hari pihak panitia mendapat telepon dari pihak pengelola gedung kesenian Bapak Ridwan Efendi yang menyampaikan bahwa gedung kesenian tidak dapat digunakan apabila belum ada panjar. Sampai akhirnya panitia disuguhkan pilihan dalam bentuk perjanjian hitam di atas putih untuk menandatangani surat perjanjian diatas materai oleh Bapak Ismet Sahopala yang saat itu juga sebagai pengelola Gedung Kesenian Makassar (GKM). Masalah ini pun diterbitkan di salah satu media cetak lokal Makassar. Kejadian inilah yang menjadi salah satu point lahirnya Deklarasi Somba Opu (DSO) yang dihadiri dan disepakati oleh beberapa PSK (Pekerja Seni Kampus) yang menjadi peserta Temu Teman. Dalam situasi yang demikian, diakui bahwa Subhan
Makkuaseng
yang
menjadi
Koordinator
Perlengkapan sering mendengar kata-kata yang kurang “enak� di hati dari pihak pengelola Gedung Kesenian Makassar. Misalnya, “kalau tidak punya uang, tidak usah
mengadakan kegiatan disini, apalagi kegiatan besar�. Sejak saat itu sampai beberapa waktu, hubungan PSK khususnya UPKSBS dengan penghuni dan pengelola GKM kurang harmonis. Sikap
ini
menggambarkan
wajah
dunia
kesenian saat itu (Makassar khususnya) telah terjadi stagnasi (pergeseran fungsi), dimana pihak-pihak pendukung dunia seni yang harusnya menjadi “kiblat“ bagi para pelaku kesenian tak lagi mampu mengawal pergerakan langkah dunia kesenian khususnya bagi teater kampus. Đ–
Tragedi Lubang Tikungan Kembali pada persiapan panitia jelang event TEMU TEMAN, sehari menjelang pembukaan, beberapa peserta yang sudah tiba di Makassar, dikarantinakan di kawasan Benteng Somba Opu.Kontingen Teater Bahana UNTAD yang dipimpin oleh pembinanya Drs. Sigit tiba di Terminal Panaikang (sekarang Terminal Regional Daya) dan minta dijemput. Beberapa peserta lainnya, Teater Wasi Putih Banjarmasin Tenggarong dan Teater Orok Bali yang hanya mengutus Ketua Umumnya Dedi Gimbal tiba di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. Sore harinya, Ancha dan Fadly berangkat ke Pare-pare untuk menjemput kontingen Teater Yupa Unmul Samarinda. Suatu hari, ketika panitia sedang makan malam di Baruga Somba Opu, Achin menerima telepon dari Ancha, �Dinda, kami mengalami kecelakaan tetapi tidak terlalu parah, hanya lecet di siku dan lutut, velg ban depan bengkok tapi Ally mulus�, ungkap Ancha melalui
telephon. Pastinya saat itu Achin langsung kaget, tidak langsung menyampaikan kejadian itu kepada temanteman dengan pertimbangan mereka sedang makan malam. Ternyata Ancha yang sedang menyetir motor tidak melihat kalau ditikungan tengah jalan ada lubang besar sedalam setengah ban motor. Ancha terseret dan Ally mulus, kenapa ??? Ternyata ketika jatuh, dia menindih dan memeluk Ancha, walhasil tetap mulus dan Ancha yang habis alias lecet, hehehehe... Đś
Deklarasi Somba Opu Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan saat itu adalah pertunjukan dan presentase karya setelah pertunjukan. Setiap malamnya juga digelar forum diskusi terbuka dengan tema berbagai macam, yang pada beberapa hari terakhir lebih meruncing pada eksistensi lembaga seni kampus dan kaitannya dengan Badan Pembina Seni (Bapesmi) yang kemudian menjadi BSMI (Badan Seni Mahasiswa Indonesia).
Suasana forum diskusi setelah pementasan di Baruga Somba Opu
Tema diskusi ini lebih fokus lagi pada salah satu program dan mungkin satu-satunya program dari BSMI yaitu PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional Indonesia).
PEKSIMINAS
kemudian
dibedah
oleh
peserta diskusi berdasarkan pengalaman peserta yang pernah mengikuti, melihat dan mendengar tentang PEKSIMINAS di daerah masing-masing. Dari diskusi yang inilah, akhirnya lahir “Deklarasi Somba Opu� yang merupakan pernyataan kesamaan sikap dan pandangan tentang eksistensi BSMI bagi perkembangan teater kampus se-nusantara. DEKLARASI SOMBAOPU (DSO) 1.
Merekomendasikan kepada Teater Yupa Universitas Mulawarman, Unikarta Universitas Kertanegara dan Teater Kaca Mata Widiyagaa Kalimantan Timur sebagai penyelenggara konsolidasi lanjutan pada bulan Juli 2002 tentang tindak lanjut dari Deklarasi Somba Opu.
2.
Menolak metode pencarian dana BSMI yang sifatnya pungutan liar.
3.
Merevitalisasi melibatkan
kelembagaan mahasiswa
BSMI
secara
aktif
dengan dalam
kepengurusan dengan persentase 80% dan 20% birokrasi kampus. 4.
Merekomendasikan kepada BSMI pusat untuk merobah metode perlombaan dalam PEKSIMINAS menjadi Temu Seni Mahasiswa.
5.
BSMI senantiasa memposisikan dirinya sebagai wadah
pembinaan
kesenian
kampus
secara
langsung dan intens. 6.
Apabila point kedua hingga point kelima tidak direalisasikan oleh BSMI di masing-masing daerah pencetus deklarasi ini, hingga batas waktu dua bulan setelah deklarasi ini, maka BSMI dengan tegas diboikot. Ditetapkan di Somba Opu, 28 April 2002 Pukul 00.30 wita. Đś
Arsip Deklarasi Somba Opu
Sebar Isu ; “Membidik Manusia Perempuan Dalam Pigura” Temu Teman I yang berlangsung selama sepekan di Kota Daeng ini bertajuk, “Membidik Manusia Perempuan Dalam Pigura” dan kegiatan inti saat itu berlangsung di dua tempat, yaitu Benteng Somba Opu dan Gedung Pertunjukan Indoor Sociated De Harmony. Enam puluh komunitas teater dari beberapa Institusi Perguruan Tinggi di Indonesia (Sulawesi, Kalimantan dan Bali) diundang dengan menggunakan jasa weselpos.
Opening ceremonial Temu Teater Mahasiswa Nusantara dengan menampilkan Tari Khas daerah Sulawesi Selatan (Tari Paduppa) Berdasarkan data peserta yang memenuhi undangan hanya kisaran 25 komunitas se-Indonesia, termasuk juga rekan-rekan komunitas teater kampus ada di Makassar sendiri turut ambil bagian. Diantaranya Wasih Putih, Bahana Antasari, Annida, YUPA, Tirani, Bengkel Seni Tadulako, Orok, Bengkel Seni Kendari. Sedangkan dari Makassar sendiri, TKU Universitas Hasanuddin, Teater Talas Unismuh Makassar, Teater eSA UIN Alauddin, Teater Titik Dua, STIMIK Dipanegara
dan STIMIK Handayani, Bengkel Seni Sastra (Bestra) UNM. Ditemui dalam kesempatan yang berbeda disela-sela
kesibukannya,
salah
seorang
penoreh
sejarah dalam Temu Teman I, Ancha Ardjae lalilo mengungkapkan
bahwa,
kegiatan
Temu
Teater
Mahasiswa Nusantara ini bertujuan untuk membuka cakrawala dan pikiran para pekerja seni tentang bagaimana berkesenian dan mengubah istilah monolitas dalam kesenian atau yang beranggapan bahwa seniman yang hanya “bernapas� ketika berada di gedung kesenian saja.Sedangkan sebagian pihak berpendapat bahwa
kemerdekaan
kebebasan
dan
menuangkannya
dalam
dunia
keberanian dalam
wujud
seni
berimajinasi karya
di
adalah serta arena
pertarungan kreatifitas. Berbicara tentang perempuan tak akan pernah ada habisnya, sehingga saat itu teman tertantang untuk mengangkat isu tentang PEREMPUAN. Dengan alasan ingin
menyinkronkan
isu
gender
sebagai
efek
modernisasi yang saat itu sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Karena persepsi tentang perempuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka teman-teman saat itu mengangkat tema “Membidik Manusia Perempuan dalam Piguraâ€?, dimana kalimat itu terlontar dari mulut Iqbal Adam ketika Ancha Ardjae Lalilo, Mamat Mariamang, Arif Kriying dan Imran Jaya sedang membahas tentang pelaksanaan event nasional ini. Publikasi kegiatan waktu itu juga diadakan dengan memasang baligho di beberapa titik seperti Area Pelabuhan, Benteng Somba Opu, dan Kampus II UMI. Peroses pergulatan atau persiapan ini berlangsung kurang lebih selama sembilan bulan. Đś
Saksi Bisu Terseksi Terseksi Benteng Somba Opu adalah salah satu situs sejarah Sulawesi Selatan abad ke 15 tahun 1525. Dibangun oleh Sultan Gowa ke IX, Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna. Ini adalah situs benteng, sekaligus pusat kota.
Kerajaan Gowadi abad ke 15 saat ini dihuni miniatur rumah adat Sulawesi Selatan Pada pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-
rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa. Pada tanggal 24 Juni 1669, benteng ini dikuasai oleh VOC dan kemudian dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuan. Pada tahun 1990,
bangunan
benteng
yang
sudah
rusak
direkonstruksi sehingga tampak lebih indah. Kini, Benteng Somba Opu menjadi sebuah obyek wisata yang sangat
menarik,
yaitu
sebagai
sebuah
museum
bersejarah.
Tembok Pertahanan di Salah Satu Sudut Benteng Somba Opu
Seorang ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan bahwa Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun di Indonesia. Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya. Dalam kawasan Benteng Somba Opu, dapat terlihat gambarkan sistem pertahanan yang sempurna pada zamannya. Meski terbuat dari batu bata merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapat terbayangkan betapa
benteng
ini
amat
sulit
ditembus
diruntuhkan.
Baruga Somba Opu tampak depan
dan
Dalam area Benteng Somba Opu ini terdapat sebuah rumah adat khas Sulawesi Selatan dengan aula yang cukup luas, di rumah inilah menjadi salah satu pusat kegiatan Temu Teman kala itu seperti pementasa komunitas Bengkel Seni Kendari dan juga sebagai tempat diskusi pada malam hari. Sedangkan miniaturminiatur rumah adat yang berada di sekitar Benteng Somba Opu itu disulap menjadi tempat penginapan para peserta di masa itu.
Miniatur Rumah Adat Suku Kajang di dalam Area Benteng Somba Opu Peserta
juga
diberikan
kebebasan
untuk
memilih tempat pertunjukan di sekitar lokasi Benteng Somba Opu pada waktu itu, misalnya Teater Kampus
Unhas (TKU) yang lebih memilih tempat pertunjukan di space outdoor halaman rumah adat Suku Kajang dengan memanfaatkan rumah adat tersebut menjadi backdrop pertunjukannya.
Tempat bersejarah lain bagi terlaksananya Temu Teman I adalah Gedung Societeit de Harmonie yang dibangun pada tahun 1896 di sebuah tanah lapang di Jalan Prins Hendrik yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Riburane. Jaraknya sekitar 600 meter sebelah
barat
pusat
Kota
Makassar
(Lapangan
Karebosi). Gedung yang dibangun oleh pemerintah Belanda ini berdampingan dengan kantor gubernur saat masih berstatus Gubernur Celebes dan berdekatan dengan Fort Rotterdam serta pemukiman orang-orang Belanda yang disebut Vladingen. Societeit
de
Harmonie
berarti
gedung
perkumpulan harmoni. Dahulu, gedung ini tidak hanya digunakan untuk acara kesenian, tetapi juga sebagai tempat pertemuan gubernur, walikota, dan petinggi militer Belanda. Selain itu, tak jarang pula gedung ini dipakai
sebagai
tempat
diadakannya
pesta
oleh
Gubernur Jenderal Belanda. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), gedung ini dijadikan sebagai balai kota masyarakat.
Pada masa setelah kemerdekaan, gedung ini silih berganti fungsi, mulai sebagai kantor hingga sebagai gedung pertunjukan. Tahun 1998, para praktisi kesenian berhasil mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk memfungsikan Societeit de Harmonie sebagai gedung kesenian secara total, sekaligus
merenovasi
dan
menambah
peralatan
pertunjukan. Sejak itu, gedung bersejarah ini disebut Gedung
Kesenian
Sulawesi
Selatan
Societeit
de
Harmonie atau disingkat GKSdH. Bangunan Societeit de Harmonie berciri Eropa abad XIX ini bergaya Renaisance atau Yunani Baru (Neo Griekse Stijl) yang merupakan perkembangan dari gaya Rokoko. Namun tak sedikit yang menyebutnya bergaya Empire yang menjadi tren di Eropa pada masa itu. Bangunan asli yang dibangun pada tahun 1896 ini pernah mengalami pemugaran pada tahun 1910-an. Bangunan awal abad ke-20 itulah yang nampak sampai sekarang. Đ–
Perempuan dalam Arena Teater Di tengah-tengah kesibukan para peserta dalam menyiapkan pementasan, panitia juga mengadakan seminar yang menghadirkan tiga orang pembicara dari elemen yang berbeda, yaitu : Asdar Muis RMS kritikus dalam kesenian (teater) ; Ibu Emma selaku pemerhati perempuan di Sulawasi Selatan pada waktu itu yang berkecimpung dalam suatu wadah LSM perempuan ; serta Ram Prapanca selaku teaterawan. Diskusi ini berjalan dengan begitu antusias dalam memberikan pertanyaan dan gagasan seputar tema “perempuan�, yang tentunya dipandang dari berbagai sisi yang berbeda.
Diskusi peserta Temu Teman I di Baruga Somba Opu Kala
itu
setiap
pementasan
mampu
“menelanjangi� kehidupan kaum perempuan secara jelas dan nyata di dalam arena dari berbagai persepsi yang berbeda pula yang disesuaikan dengan tema pementasan mereka. Hal ini tak jauh dari ruang lingkup yang masih sering terjadi pada perempuan seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, atau masalah buruh dan tenaga kerja perempuan yang dirampas haknya, bahkan hal seperti ini masih menjadi menu sarapan spesial di layar kaca yang ngetrend dibicarakan. Misalnya
dari komunitas
mahasiswa
Unhalu Kendari yang mengangkat kasus Marsinah dalam pementasan Monolog ; Psyco oleh Sanggar Bahana Antasari ; Teater Kampus Unhas (TKU) dengan
lakon Zag-zag naskah/sutradara Ilham Rachomi; Lipa Sikoi oleh Teater Titik Dua UNM Makassar ; Sampar oleh Teater Yupa Unmul Samarinda dan masih banyak lagi. Berani tampil bego (baca: beda â˜ş), komunitas mahasiswa BSI-Lekmaf Kendari dalam lakon Mati Muda Muda Mati yang menggambarkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara dalam menjalani
kehidupan
tanpa
persamaan gender. Đś
memandang
adanya
“Gagap” Gugup Si Seniman dan Pak Polisi Setiap panitia kala itu memiliki kisah unik yang beraneka warna, tapi bukan balon ☺. Salah satunya Subhan Makkuaseng yang bertanggung jawab pada teknis di bagian perlengkapan dan dibantu oleh Firman Anwar dan Iwan “sabar”, dimana mereka bertanggung jawab untuk menangani dan mencatat permintaan property pertunjukan tiap peserta, serta menjaga panggung saat peserta akan melakukan gladresik. Beliau mengungkapkan
bahwa,
posisi
kuli
teknis
membutuhkan kerja dan tenaga ekstra karena mereka harus standby dan menunggu peserta di tempat pertunjukan (Gedung Kesenian Makassar) dari pukul 13.00 Wita siang hari sampai pukul 19.00 malam. Usai pertunjukan kembali ke Baruga Somba Opu bersama para peserta, tak ada jeda apalagi mengikuti diskusi sepanjang malam. Maka ketika tiba di Baruga Somba Opu langsung “terkapar”, lelah tak terkira. Jarak Gedung
Kesenian Makassar dan Baruga Somba Opu kira-kira kurang lebih 20 km dengan angkot yang lelet di tengah kemacetan kota. Pekerjaan seperti ini cukup menguras tenaga. Hal ini diungkapkan berdasarkan pengalaman pribadi.
Hingga pada suatu malam pada pukul 22:00 wita ketika semua orang sudah istirahat, pertunjukan dan diskusipun ditutup. Tersisa peserta yang masih kuat begadang diteras rumah-rumah adat sambil curhat. Pada suatu waktu selaku koordinator perlengkapan, Subhan dimintai pertolongan oleh salah seorang peserta dari Teater Yupa Unmul untuk mengantarkannya ke Gedung Kesenian (Sociated de Harmoni) dengan keperluan pemasangan property dan set artistik
panggung. Karena jarak penginapan Somba opu dan Gedung Kesenian lumayan jauh dan supir “pete-pete� (sebutan angkot di Makassar) sudah pulang kerumah masing-masing sesuai dengan perjanjian panitia, maka beliau
menyarankan
agar
pemasangan
set
bisa
dilakukan besok pagi saja. Berhubung, sudah larut malam. Akan tetapi peserta ini tetap ngotot minta diantar malam itu juga. Karena besok pagi, katanya harus mengurus persiapan-persiapan lain. Akhirnya Subhan nekad meminjam motor dari salah seorang panitia bernama Ardi Yusuf, meski dalam hati ragu karena waktu itu beliau belum mahir memainkan porseneling motor. Jalur jalan gelap menuju pintu dan jembatan keluar area Somba Opu, tembus ke Jl. Abd. Kadir, Jl. Cendrawasih. Namun tepat di Jl. Penghibur Pantai Losari, tiba-tiba seorang polisi lalu lintas menyetop sepeda motornya dan si seragam coklat ini mengisyaratkan untuk menepi. Karena panik, Subhan yang hendak “ngerem� sepeda motor kurang lincah, ternyata sepeda motor tetap melaju dan nyaris menabrak Pak Polisi yang berdiri pinggir jalan. Pak
Polisi spontan marah-marah dan langsung menanyakan surat-surat kendaraan, ditambah lagi boncengannya yang tidak menggunakan helm. Sambil mencari alasan yang tepat dan menjelaskan tujuan mereka bahwa mereka ada acara pertunjukan di Gedung Kesenian dia “memamerkan” bahwa yang dibonceng saat itu adalah salah satu tamu jauh yang datang dari Kalimantan. “O, seniman yah ?”, ujar Pak Polisi menaggapi. “Iya Pak”, jawabnya dengan sopan. Setelah melalui dialog yang panjang, akhirnya Pak Polisi luluh hatinya dan membiarkan mereka lewat. “Tunggu, janganmi kau yang bawa motor, karena kayaknya kau belum lancar, tadi saja hampir kau tabrak saya, kurang ajar…!!”. Kata Pak Polisi marah-marah. Setelah terlihat agak jauh dari Pak Polisi, tamu yang dibonceng baru angkat bicara dan sedikit tertawa. “hehehe... Saya memang curiga sejak tadi, abang pasti tak
lancar naik motor kan? â€?, katanya memanggil Subhan dengan sebutan “Abangâ€?. Karena dia merasakan gerakan oleng sana sini saat mau berhenti. Dan kesulitan mengontrol rem dan oper perseneling, gigi dua, tiga dan empat, tanpa menyadari orang yang di belakang merasakan H2C (harap-harap cemas) sampai kejadian lucu tadi terjadi. Đ–
Si Rambut Gimbal yang Latah Selama pelaksanaan kegiatan, tenaga panitia TEMU TEMAN dan pengurus UPKSBS benar-benar terkuras. Meskipun demikian mereka tetap semangat. Saat itu Dedi “Gimbal” utusan dari Teater Orok Bali yang datang sendiri hanya membawa dua lembar baju, satu lembar celana jeans, calana panjang dan jaket. Padahal ketika itu Beliau datang dengan membawa kerel berkapasitas 1000 liter. Cek per cek ternyata isi kerelnya adalah sepuluh botol arak Bali untuk oleh-oleh teman-teman di Makassar. Lebih lucu lagi, dibalik tampangnya yang sangar, bertatto dan rambutnya yang gimbal ternyata Beliau itu punya kebiasaan latah yang parah. ☺ Dan kehilangan
ketika beberapa
kembali
ke
rambut
Bali,
dia
gimbalnya,
harus karena
“dirampok” oleh panitia dan teman-teman peserta lainnya sebagai kenang-kenangan.
Gatal;Kado Merah Temu Teman I Kupu-kupu gatal berwarna putih berbadan rapuh ini begitu kurang ajar terhadap peserta dan panitia. Ia tamu yang tak diundang, namun seenaknya tampil disekeliling bola neon malam hari mengganggu acara diskusi. Ia membawa kado merah pada kulit. Jika serbuk
sayapnya
terlepas
dan
mengenai
badan,
tunggulah beberapa saat kemudian akan muncul bercak merah pada kulit. Dan akhirnya menimbulkan gatalgatal, bukan main menyiksa. Maka, semua peserta menghujat kegagalan kami selaku panitia, karena menjadikan lokasi Somba Opu sebagai arena TEMU TEMAN dinilai kurang tepat. Padahal, itu bukan kesengajaan, yang secara kebetulan saat itu masyarakat Somba Opu habis panen bulan April 2002, sehingga serangga
kecil
wereng
padi
ini
ikut
campur.
“Waaddohhhh ... gatal,� sebut, Opik salah seorang peserta dari Palu, Sulawesi Utara saat itu.
Akan tetapi yakin dan percaya mereka pasti tak akan lupa. Bintik-bintik merah itu, meski seperti tanda kenangan yang kurang bisa diterima oleh para peserta namun ia membawa kesan, bahwa itulah kenangkenangan alam bentuk fisik TEMU TEMAN I. Bahkan dengan peristiwa itu menyimpan perasaan "dendam" dan sekaligus kerinduan cinta dalam hati, janji sumpah tak mau kembali lagi kesana gara-gara kupu-kupu gatal. Akan tetapi selalu dikenang setiap saat. Apalagi dengan kenangan kado merah si kupu-kupu gatal itu. Namun beberapa bulan kemudian ternyata menjadi topik pengantar pembicaraan awal ketika mengenang Temu Teman I, selalu tak terlepas dari soal kupu-kupu gatal masih membekas. Selain kupu-kupu ada beberapa petisi telah disepakati
bersama
sebagai
upaya
gerakan
pembangkangan hal kreatifitas dalam kampus begitu dilanjutkan. Kemudian atas nama rekan peserta dari Palu, saudara Opik, dan Fahmi meminta untuk menjadi tuan rumah untuk TEMU TEMAN II berikutnya. Pada
akhirnya sukses berlangsung pada tahun 2004 di Taman Budaya Palu Sulawesi Tengah.
Penyerahan plakat oleh ketua panitia (Muh. Yasin Tunus) pada acara penutupan Temu Teater Mahasiswa Nusantara I
Plakat Temu Teater Mahasiswa Nusantara I
Mewujudkan mimpi ini menjadi kenyataan tidak semudah membalikkan telapak tangan, pada akhirnya setiap tetes peluh dan tangis terbayar dengan berlangsungnya kegiatan Temu Teman I selama sepekan di Kota Makassar yang berani memanjakan lidah kita dengan olahan daging sapi menjadi Coto Makassar
yang ditukar dengan begitu banyak
pengalaman dan pembelajaran yang teramat sangat mahal karena begitu berharga. Meskipun dibayangbanyangi oleh berbagai keterbatasan panatia saat itu, terkhusus pada masalah teknis. Hal ini dimaklumi oleh panitia karena bagi mereka dengan fasilitas dan pendanaan yang minim, peserta pasti akan merasa tidak nyaman. Akan tetapi hal tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan panitia kepada semua peserta tentang kondisi kepanitian saat itu. Bahkan ketika salah seorang peserta TEMU TEMAN I, Sukmawati, Pimpinan Produksi Teater Yupa Unmul Samarinda menangis saat diantar ke pelabuhan. Dia menyesal karena selalu mengkritik pedas panitia (khususnya Subhan Makkuaseng sabagai Koordinator Perlengkapan) dan belakangan dia baru
tentang berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi panitia, dimana Pemerintah Sulawesi Selatan berbeda dengan Pemerintah Kalimantan Timur yang mendukung kegiatan kesenian kampus seperti ketika mereka sebagai penyelenggara FESTAMASIO I di Samarinda tahun lalu. Dan Alhamdulillah yah (ala Syahrini â˜ş) TEMU TEMAN sampai saat masih berlangsung di beberapa kota setelah Makassar, yaitu di Kota Palu (2004), Gorontalo (2005), Banjarmasin (2006), Malang (2007), Surabaya (2008), Singaraja-Bali (7-15 Agustus 2009), Bogor (18-24 Oktober 2010) dan insyaallah akan berlangsung di Riau pada tanggal 23-30 Oktober 2011. Đś Sebuah cita-cita dari TEMU TEMAN itu sendiri pernah diungkapkan oleh Iip Pasoloran dalam sebuah tulisannya bahwa hal-hal yang ditawarkan TEMU TEMAN pada saat TEMU TEMAN I adalah event pertunjukan teater yang mengedepankan apresiasi, dan
sharing antara segenap komunitas teater kampus yang menjadi peserta, sehingga ada semacam dialektika intelektual
yang
terjadi
di
dalamnya.
dialektika itu sangat diperlukan, karena
Mengapa banyak
perbedaan persepsi ataupun konsep yang ada di setiap komunitas. Tidak perlu mencapai persamaan dalam hal tersebut tetapi lebih pada bentuk kesepahaman perbedaan yang tentunya akan memberi dampak positif berupa ilmu pengetahuan untuk perkembangan teater kampus
di
Indonesia,
terciptanya
transformasi
pengetahuan dan informasi antar pulau sehingga perkembangan teater kampus di Indonesia akan bersifat menyeluruh. Tentu ini hal yang sangat kita idamidamkan. Beliau beranggapan (dan dibenarkan oleh sebagian teman-teman di Nusantara), bahwa dengan adanya kesamaan gagasan temu teman, mungkin ini juga bisa mengurangi asumsi peserta untuk tidak lebih memilih menjadikan temu teman sebagai ajang jalanjalan, hura-hura, foya-foya. Karena hal-hal seperti itulah
yang akan menjadi boomerang untuk kelangsungan temu teman di masa akan datang. Tentunya semua berharap oleh-oleh untuk lembaga masing-masing bukan sekedar acsesoris-acsesoris unik atau kisah asmara, tetapi ada wacana baru dan paparan yang jelas untuk lembaga sehingga bisa melakukan langkahlangkah strategis dalam pelaksanaan temu teman berikutnya. Temu Teman juga seharusnya membuka mata dan mencoba menganalisa kondisi mahasiswa kekinian khususnya yang terlibat dalam teater kampus. Sehingga secara tidak langsung konsep ini akan terolah dengan pertimbangan data-data yang di dapat dari seluruh nusantara. Jika hal ini bisa terjadi, mungkin tiap lembaga kesenian kampus akan terus bergeliat dan gelisah dengan temu teman. Semua akan dengan tidak sabar menunggu berlangsungnya event yang “seksi� ini. Temu Teman boleh berbeda bentuk item-item acaranya, tetapi harus ada kesamaan gagasan agar tiap lembaga bisa menularkan pada anggota-anggota barunya yang akan menjadi penerus penggerak roda temu teman.
Sehingga bisa dijamin bahwa semua pihak berhak mengharapkan dengan adanya dan terus berlangsungnya event dalam skala nasional ini setiap komunitas dapat melahirkan konsep-konsep baru, menguatkan konsep yang ada dan menyatukan persepsi sehingga dapat merangsang gerakan-gerakan budaya yang
kesenian
diperhitungkan.
yang
luar
biasa
yang
patut
Kata Kita Iqbal Adam "Proses
persiapan
sangat
menentukan.Kendala
pun
bukan pada hal teknis tetapi lebih kepada hal pendanaan". Muh. Yasin Yunus (Achin) “Kalau
orang-orang
bijak
mengatakan bahwa: Sesuatu yang Besar
berawal
Sederhana,
dari bahkan
sebuah
Ide
tempat
munculnya pun sering di tempat yang sederhana pula, maka saya mengatakan setuju dengan mereka. Ide TEMU TEMAN pun tercetus karena ingin bersilaturrahmi dengan teman-teman Pekerja Seni Kampus di seluruh Indonesia, dan ide ini pun lahir di sebuah warung kaki lima pinggir jalan yang tepat berada di depan sekretariat UPKSBS UMI. Tidak ada
alasan untuk tidak berbuat, karena apapun kendala dan kesulitannya pasti akan bisa dilewati�. Saya pun ingin berterima kasih kepada seluruh teman-teman Panitia Temu Teman I yang dengan semangat sangat luar biasa demi terselenggaranya Event Nasional ini, Mimit Pakasi Dewo, Subhan Makkuaseng, Ibrahim Massidenreng, Ardi Yusuf, Wiwin PLYT, Fardi Mattotorang, Begho, Dhedey Walla, Yanti Ariyani, Sifa, Fadly Abduh, Fitriyani Pitto, dan teman-teman yg lain agak susah disebutkan satu persatu. Juga Pengurus UPKSBS saat itu, Kanda Ancha Ardjae Lalilo, Kanda Iqbal Adam, Kanda Imran Jaya. Yang Pasti, kami tidak pernah menyangka bahwa TEMU TEMAN akan terus berlanjut hingga sekarang. Tiga kata yang selalu berkumandang saat persiapan hingga akhir kegiatan�. Semangat...Semangat‌ Semangat !!!
Ibrahim Massidenreng “Temu
Teman
alternatif komunitas
dalam teater
adalah
ruang
proses
kreatif
kampus
se-
Nusantara, ruang alternatif terhadap teater-teater yang dilombakan. Temu Teman sejatinya menjadi ruang perjumpaan kebudayaan, laboratorium social dan secara ideologis menjadi ruang berpikir yang akhirnya dapat melahirkan teater yang berpikir pula”.
Mimit Pakasi Dewo “ Kisah itu ternyata belum usai, dan saya bersyukur pernah terlibat di dalamnya”.
Imran Jaya “Imhe” “Lanjutkan perjuangan Temu Teman sehingga tidak hanya menjadi sekedar “omongan”.
Muchlis “Moch” “Temu Teman sebagai ruang berpikir, mengeksplor metode dan
mengapresiasikan
setiap
potensi gagasan yang bersifat independen, dalam arti memiliki
cirri
dan
pola
yang
berbeda
dalam
berkesenian. Disisi lain, Temu Teman adalah wadah silaturrahmi mahasiswa pecinta teater di seluruh kampus di Indonesia. Temu Teman bukanlah ajang yang bersifat bisnis maupun entertain”.
Alfiandy “Begho� Abdullah “Panitia
yang
tidak
pernah
menyerah baik dalam peregistrasian peserta, pencarian dana, hingga tempat sendiri.
acara
pementasan
Walaupun
ada
itu uang
proposal yg sempat hilang (cukup besar hitungannya buat kalangan mahasiswa dulu, entah sekarang, mungkin hanya dengan tutup mata sudah bisa tergantikan). Saya pribadi merasa tidak nyaman ketika itu karena disebabkan oleh dua hal, yaitu karena adanya pemungutan biaya administrasi di Gedung Kesenian Makassar setiap kali pementasan dan adanya kupukupu di sekitar lokasi penginapan TEMU TEMAN I, hampir semua peserta dan panitia merasa terganggu sehingga harus mandi berkali-kali untuk menghilangkan rasa gatal di badan�. Iip Pasoloran
“...karena TEMU TEMAN adalah sebuah gagasan yang sederhana tapi mampu berdiri dan berjalan sampai saat ini walaupun terseok-seok. Biarlah TEMU TEMAN hadir di tengah sesaknya gemerlap festival teater, mungkin dia sebagai pilihan alternatif atau bahkan tempat pelarian saja. Tetapi semoga kehadirannya lebih bermanfaat untuk geliat teater kampus yang sering dijuluki “teater amatir” itu”. Ж
Biografi Penulis Amah Carpova yang bernama lengkap Marhamah Halim lahir pada tanggal 20 Mei. Putri pasangan dari Bapak Drs. Abd. Halim Saddi dan Ibu Maryam ini menghabiskan masa kecilnya di Kota
Raha,
Sulawesi
Tenggara.
Melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Modern Rahmatul Asri di Kota Enrekang karena mengikuti orang tua yang dipindahtugaskan. Menghabiskan masa “putih abu-abu� di Sekolah Menengah Analisis Kimia Makassar. Putri
sulung
dari
lima
bersaudara
ini
sedang
menjalankan pendidikan di bangku kuliah di Universitas Muslim Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat.