Kata Pengantar: Hendra Gunawan
JALAN TERJAL MENUJU 100 TAHUN INDONESIA MERDEKA
ii
JALAN TERJAL MENUJU 100 TAHUN 1NDONESIA MERDEKA URUQUL NADHIF DZAKIY
iii
Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka Hak CiptaŠUruqul Nadhif Dzakiy Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Majalah Ganesha ITB Press, Oktober 2014 Sunken Court E-04, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 E-mai : redaksi.mgitb@gmail.com website : majalahganesha.com Editor : Uruqul Nadhif Dzakiy Sampul : Soraya Rizka Keumala Logo : Muhammad Avenzoor Diperbolehkan mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini asalkan tidak untuk dikomersialkan
iv
Teruntuk para aktivis ITB yang semoga tidak lelah berjuang mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
v
DAFTAR ISI Daftar isi ....................................................................................................................................... v Prolog ......................................................................................................................................... vii Kata Pengantar ........................................................................................................................ ix
Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka ........................................ 1 Restorasi Pendidikan Melalui Penghapusan Ujian Nasional .................... 12 Mengugat Kurikulum 2013 .......................................................................................... 18 Riset Sebagai Ujung Tombak Perguruan Tinggi ............................................... 24 Pasal 33 UUD 1945 ; Mewujudkan Kemandirian Ekonomi ........................ 30 India, Gila ! ............................................................................................................................. 36
Referensi ................................................................................................................................... 42 Riwayat Penulis ..................................................................................................................... 46
vi
PROLOG
I
ndonesia tepat berusia 100 tahun pada 2045 nanti. Berbagai lembaga survei internasional memprediksi negara ini akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada tahun tersebut. Salah satu faktor
terpenting penguat survei adalah bahwa di tahun tersebut Indonesia mengalami bonus demografi biarpun puncaknya pada tahun 2030. Jumlah angkatan kerja produktif saat itu mayoritas. Namun di lain sisi, hasil survei tersebut justru menimbulkan pertanyaan, bagaimana kondisi angkatan kerja yang disebut bonus demografi itu ?. Angkatan kerja produktif yang dimaksud adalah mereka yang berumur 35-54 tahun pada 2045 yang saat ini berusia 4-13 tahun atau setara dengan mereka yang menempuh jenjang pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar. Buku ini menyinggung tentang bagaimana usia 4-13 tahun diperlakukan oleh pemerintah. Kurikulum 2013, Ujian Nasional, dan budaya riset adalah sedikit masalah urgen dari pendidikan yang punya andil besar dalam peningkatan kualitas SDM kita di masa mendatang. Ketiga hal tersebut akan dikupas dalam buku ini. Juga tentang bagaimana seharusnya visi ekonomi diwujudkan. Melalui buku ini, pembaca terutama generasi muda akan distimulus untuk siap menjadi generasi emas di masa yang akan datang. Generasi yang siap berkiprah total untuk bangsa dan negara.
vii
Melalui buku ini penulis berharap kepada generasi muda khususnya aktivis mahasiswa ITB untuk tetap selalu bergerak, membaca, dan menulis. Penulis yakin ke depan akan terbit buku-buku hasil karya mahasiswa ITB yang berisi pengupasan secara mendalam terkait masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini terutama di bidang sains dan teknologi. Mahasiswa ITB memiliki kesempatan besar untuk melakukan itu. Intelektualisme mahasiswa yang terkompilasi dalam sebuah buku, penulis rasa dapat menjadi warna baru dalam gerakan mahasiswa ITB di era saat ini. Biarpun mungkin cenderung kurang posmo, namun efeknya jauh lebih besar dibandingkan dengan sekedar selenggarakan seminar-seminar tematik. Mengutip pesan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer "Menulis adalah bekerja untuk keabadian". Pada akhirnya, penulis memohon maaf apabila dalam penulisan buku ini banyak ditemui kesalahan. Kritik dan saran pembaca dapat dikirimkan melalui email nadhif.dzakiy@gmail.com.
Lamongan, 4 Oktober 2014 Uruqul Nadhif Dzakiy
viii
KATA PENGANTAR Oleh: Hendra Gunawan *)
B
erbicara tentang masa depan memang perlu, dan tentunya juga penting. Terlebih membayangkan negara tercinta, Indonesia, pada saat berusia 100 tahun nanti, yaitu pada tahun 2045. Seperti apa ya
negara kita nanti? Konon, menurut sebuah lembaga konsultan internasional, pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara Top 7 dalam perekonomian dunia. Bila hal ini terjadi, maka sebagian kalangan memprediksi bahwa negara kita dapat menjadi Top 5 atau bahkan Top 3 dunia pada tahun 2045. Suatu masa depan yang cerah. Tetapi, benarkah itu akan terwujud? Dalam buku yang berisi enam esei ini, Uruqul Nadhif Dzakiy (yang saat buku ini diterbitkan masih berusia 24 tahun) justru mengkhawatirkan keadaan Indonesia di masa depan. Pasalnya, banyak data tidak mendukung ramalan indah tadi. Berbicara Indonesia yang maju dan beradab serta bermartabat sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa memang bukanlah hanya soal ekonomi semata. Uruqul menyoroti rendahnya kualitas manusia Indonesia dan banyaknya permasalahan dengan penyelenggaraan program pendidikan oleh Pemerintah yang terungkap dalam 10 tahun belakangan ini. Bila pun benar perekonomian Indonesia meningkat, siapa sebetulnya yang menikmati uang berlimpah itu? Kenyataannya, mayoritas rakyat Indonesia masih miskin dan tidak ada tanda-tanda bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud dalam satu atau dua dekade ke depan.
ix
Tentu kita tidak boleh pesimis, dan 2045 masih lama, tepatnya masih 30-31 tahun lagi dari sekarang. Banyak yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan mimpi kita itu. Namun, jangan lupa, manusia Indonesia yang kita bicarakan sudah ada di depan kita. Mereka adalah anak-anak, remaja, dan pemuda-pemudi yang pada saat ini berusia 4-24 tahun. Dalam 31 tahun ke depan, mereka akan berusia 35-55 tahun, angkatan kerja produktif yang diharapkan menggerakkan roda perekonomian pada usia emas Indonesia. Bila anak-anak dan remaja saat ini sedang menjalani Kurikulum 2013 yang bermasalah itu, sebanyak 25 hingga 30 persen pemuda-pemudi sedang menimba ilmu di perguruan tinggi. Di sini, Uruqul juga gelisah, karena kinerja perguruan tinggi kita jauh dari menggembirakan. Apalagi bila kinerja riset dijadikan sebagai ukuran. Padahal, negara yang kurang-lebih senasib dengan Indonesia, yaitu India, dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar dari Indonesia, secara pelan tapi pasti telah meninggalkan Indonesia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlebih Tiongkok yang saat ini sudah menunjukkan taring dan aumannya. Perekonomian mereka, selain besar volumenya, juga diwarnai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai. Jadi, bagaimana dong? Dalam salah satu eseinya, Uruqul mengajak para pemuda-pemudi untuk 'bangun dari tidurnya'. Jalan terjal ada di depan mereka. Masa depan Indonesia bergantung pada mereka. Apakah harus menunggu tahun 2020 untuk mendeklarasikan Kebangkitan Nasional 2.0? Sambil membaca buku ini, waktu pun berjalan terus, tik-tok tik-tok ... Bandung, 13 Oktober 2014 *) Guru Besar FMIPA ITB, Pendiri dan Inisiator anakbertanya.com dan indonesia2045.com.
x
JALAN TERJAL MENUJU 100 TAHUN INDONESIA MERDEKA1 Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan elemen terpenting maju dan mundurnya suatu negara. SDM yang mumpuni dan berdaya saing akan mampu menggerakkan roda perekonomian suatu negara menuju arah positif kepada kemakmuran dan kesejahteraan. Begitu pula sebaliknya, jika kualitas SDM rendah, negara akan berada diambang kehancuran. Indonesia yang dikaruniai SDM lebih dari seperempat milyar memiliki potensi besar untuk menjadi negara besar jika memang SDM tersebut benar-benar diberdayakan secara maksimal. Sebelum kita berbicara jauh, terlebih dahulu kita elaborasi kualitas SDM kita hari ini. Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) belum lama ini merilis Laporan Pembangunan Manusia 2014. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2013 sebesar 0,684 atau naik 0,44 persen dari 2012 sebesar 0,681. Indonesia berada di urutan 108 dari 287 negara dan belum beranjak dari kelompok menengah. IPM mengukur kualitas pembangunan manusia dalam tiga aspek ; hidup sehat dan umur panjang berdasarkan harapan hidup, akses ilmu pengetahuan berdasarkan rata-rata lama bersekolah, dan standar hidup layak berdasarkan pendapatan nasional bruto per kapita. 1
Essay dibuat untuk diikutsertakan dalam kompetisi essay nasional yang diadakan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada September 2014 dengan judul asli "Menengok Kualitas Manusia Indonesia di Tahun 2030".
1
Laporan UNDP tersebut juga menunjukkan bahwa akselerasi pembangunan manusia Indonesia boleh dibilang sedikit lambat. Sepanjang 2000-2013, pertumbuhan IPM rata-rata 0.9 persen per tahun. Angka ini di bawah ratarata pertumbuhan IPM negara-negara kelompok pembangunan menengah (1,17 persen) serta Asia Timur dan Pasifik (1,29 persen). Perlambatan tersebut tercermin dalam perubahan peringkat IPM Indonesia, hanya naik empat peringkat sepanjang 2008-2013. Pendidikan yang merupakan bagian dari medium penilaian IPM merupakan jantung bagi kemajuan suatu bangsa. Dalam laporan UNDP tersebut, ratarata lama bersekolah manusia Indonesia adalah 7,5 tahun (hanya tamat sekolah dasar), padahal lama rata-rata yang diharapkan bersekolah adalah 12,7 tahun (tamat sekolah menengah atas). Ditambah lagi dengan kualitas pendidikan kita yang belum bisa dikatakan baik. Sebuah lembaga internasional yang meneliti kualitas pendidikan matematika dan sains dari berbagai negara yakni Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) merilis risetnya pada 2011 bahwa nilai rata-rata matematika kelas VIII kita hanya menempati urutan ke-38 dari 42 negara yang diriset. Negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura berada di atas kita. Penilaian TIMSS tersebut lebih menekankan pada penguasaan konsep. Sementara
penilaian
lembaga
internasional
lain,
Programme
for
International Student Assesment (PISA) yang menekankan pada aspek penerapan ilmu dalam kehidupan sehari-hari merilis surveinya pada 2012 bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah di antara 65 negara peserta. Posisi Indonesia satu tingkat lebih baik dari Peru. Adapun pelajaran yang disurvei di PISA yaitu matematika, membaca , dan sains.
2
Sementara itu, penilaian lembaga internasional lain, The Learning Curve, merilis hasil surveinya pada 2013 bahwa Indonesia berada pada posisi paling buncit. Indonesia berada di urutan 40 dari 40 negara yang disurvei dengan z-score sebesar -2,03. Indonesia ditempatkan di grup lima - satu standar deviasi di bawah rata-rata - bersama Turki, Argentina, Kolombia, Thailand, Meksiko, dan Brazil. Penilaian ini berfokus pada kecerdasan kognitif dan capaian pendidikan (global index of cognitive skills and education attainment). Tiga penilaian internasional di atas memang hanya berfokus pada pendidikan dasar sehingga tidak menggambarkan pendidikan kita secara keseluruhan. Namun hal tersebut merupakan inputan bagi kualitas SDM perguruan tinggi atau setingkat dengan itu. Perguruan Tinggi yang identik dengan kegiatan riset ternyata tidak seproduktif yang kita bayangkan. Data scopus sampai 6 Februari 2014 menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5 lembaga penelitian negara sejumlah 19.974 buah, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yakni sejumlah 16.571 buah. Tak hanya hasil publikasi ilmiah, paten yang merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada penemu (inventor) atas hasil temuannya berupa proses dan produk teknologi ternyata sangat minim. Berdasarkan data United States Patent and Trademark Office (UNSPTO) pada 2010 paten dari Indonesia hanya enam, sedangkan dari Jepang mencapai 44.811 buah. Sementara data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia, permohonan paten dalam negeri tahun 2011 berjumlah 820 permohonan, sementara permohonan paten asing berjumlah 5.432 permohonan.
3
Tahun-tahun setelah itu ternyata tidak banyak berubah. Selain iklim riset dan inovasi yang kurang begitu mendapat perhatian lebih dari pemerintah, ternyata jumlah peneliti kita juga sangat minim. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah peneliti saat ini hanya sekitar 8.000 orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi dan swasta sekitar 160.000 orang. Sedangkan, berdasarkan laporan Kompas (13/8/2013), perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia mencapai 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Perbandingan yang terlampaui besar. Penjelasan di atas mempertegas bahwa sejatinya perguruan tinggi kita belum menjadi pabrik lahirnya konsep-konsep pengembangan ilmu, melainkan hanya mempersiapkan SDM yang siap kerja 2. Pendidikan Berkualitas Sebagai Penentu Dalam sebuah tulisan di Suara Pembaruan, Elwin Tobing menceritakan bagaimana keterkaitan pendidikan berkualitas dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara.3 Berawal dari studi yang dilakukan oleh profesor ekonomi dari Universitas Harvard, Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat pada rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.
2
Konsep dipopulerkan di akhir Orde Baru oleh Wardiman Djoyonegoro dengan konsep Link and Match antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja. 3 Artikel berjudul "Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi (1)" yang pertama kali dipublikasikan di Suara Pembaruan pada 31 Desember 1994.
4
Dalam studi tersebut memang faktor modal manusia memegang faktor terbesar kedua dalam pertumbuhan ekonomi Amerika, namun para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas bagi faktor pembentukan modal dan kemajuan teknologi. Alasan mereka seperti data diatas bahwa kedua faktor tersebut menyumbang 70 persen pertumbuhan ekonomi Amerika pada periode 1948-79. Tetapi, sejatinya teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Pada akhir 1994, faktor manusia mendapat porsi yang lebih dalam perkembangan ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua ilmu tersebut umumnya sepakat bahwa modal manusia berperan secara signifikan bahkan lebih penting dari pada faktor teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia ini tidak hanya terkait kuantitas, tetapi yang lebih penting adalah dari segi kualitas. Lantas apa ukuran yang menentukan kualitas manusia ? Berbagai aspek seperti kesehatan,
pendidikan,
kebebasan
berbicara
dan
lain
sebagainya
merupakan penentu kualitas manusia. Di antara berbagai aspek tersebut, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Setidaknya ada tiga perspektif secara teoretis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi, dan teori reproduksi strata sosial. Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ini, manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur dengan lamanya
5
waktu bersekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Jika upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi maka pertumbuhan ekonomi akan semakin tinggi. Namun, pada tahun 70an, teori ini mendapat kritik tajam bahwa tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Melalui perkembangan teknologi, proses produksi semakin dapat disederhanakan sehingga orang yang berpendidikan rendah pun dapat melakukan asalkan mendapatkan pelatihan yang cukup. Argumen tersebut diformalkan dalam suatu teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979). Teori ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personal secara sosial menurut strata pendidikan. Tegasnya seorang menempuh pendidikan lebih tinggi untuk mendapatkan status yang lebih tinggi. Namun biarpun demikian, peningkatan proporsi orang yang berpendidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi. Perspektif ketiga yaitu teori pertumbuhan kelas atau strata sosial. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan pada kelompok elite lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan
6
terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976). Lantas dari tiga teori ini mana yang lebih relevan dengan kondisi saat ini ?. Pandangan baru dalam pertumbuhan produktivitas, yang dimulai pada akhir 1980-an dengan pionir seperti Paul Romer dan Robert Lucas, menekankan pada aspek pembangunan modal manusia. Menurut Romer (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Karena modal manusia memiliki hubungan positif dengan implikasinya
pendidikan
juga
pertumbuhan ekonomi, maka
memiliki
hubungan
positif
dengan
produktivitas atau pertumbuhan ekonomi. Secara implisit menurut Elwin Tobing, pendidikan menyumbang pada penggalian pengetahuan. Ini sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pendidikan tetapi juga lewat penelitian
dan
pengembangan
ide-ide.
Karena
pada
hakikatnya,
pengetahuan yang sama sekali tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia adalah mubazir. Oleh karenanya, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan menjadi agenda wajib bagi suatu bangsa yang ingin maju. Pendapat para ahli di atas diamini oleh dua tokoh pendidikan kita berikut. Daoed Joesoef dalam tulisannya di Kompas (7/4/2014) mengungkapkan bahwa suatu bangsa bisa maju dalam peradaban hanya bila sub-komunitas ilmiahnya lebih maju dibandingkan dengan sub-komunitas lainnya. Sementara itu, mantan Gubernur Lemhanas, Sayidiman Suryohadiprojo, mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia hanya dapat hidup bahagia dan sejahtera bila kita bergotong-royong mengembangkan iptek modern, sesuai
7
dengan tuntutan zaman (Kompas, 7/4/2014). Tegasnya pengembangan iptek sangat berperan dalam kemajuan perekonomian suatu negara. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh pendidikan tinggi (universitas/institut), lembaga riset negara, maupun perusahaan yang kredibel dan berdaya saing. Bonus atau Kutukan Demografi ? McKinsey Global Institute memprediksi bahwa pada 2030 Indonesia berada pada top 7 ekonomi dunia (saat ini top 16), Peluang pasar di bidang layanan pertanian dan perikanan, Sumber Daya Alam (SDA), dan sektor pendidikan mencapai USD 1,8 Trilyun (saat ini USD 0,5 Trilyun), 113 juta tenaga terdidik dibutuhkan (saat ini 55 juta tenaga terdidik tersedia), dan 71 persen penduduk perkotaan menyumbang 86 persen dari PDB (saat ini 53 persen penduduk kota menyumbang 74 persen PDB). Pada selang tahun 2010-2040, diprediksi bahwa dependency ratio (rasio kebergantungan usia tidak produktif dengan usia produktif) semakin kecil dengan ditandai dengan semakin besarnya jumlah usia produktif (35-54 tahun). Puncak dari periode tersebut berada pada tahun 2030. Bagaimana dengan ketika Indonesia berusia 100 tahun pada 2045 ? Tidak berbeda jauh, bisa jadi lebih fantastis !. Periode dimana usia produktif menduduki persentase terbanyak dalam piramida penduduk Indonesia dapat dikatakan bonus demografi jika memang usia produktif tersebut memiliki kompetensi yang mumpuni dan mampu berproduksi secara maksimal. Tegasnya mereka memiliki kualifikasi pendidikan yang berkualitas sehingga memiliki daya saing tinggi untuk menggerakkan roda perekonomian seperti yang disinggung pada teori di atas. Generasi emas 2030 akan kita alami tak lama lagi, sekitar 16 tahun lagi. Sedangkan pada 2045, sekitar 31 tahun lagi. Praktis mereka yang
8
akan berumur 35-54 tahun pada 2030 tersebut adalah mereka yang kini berusia 19-28 tahun atau setara dengan umur mereka yang menempuh jenjang pendidikan tinggi (Strata-1 s.d. Strata 3), sedangkan pada 2045 adalah mereka yang kini berusia 4-13 tahun. Bagaimana kondisi mereka yang berusia 19-28 tahun dan 4-13 tahun tersebut ?. Di muka telah dijelaskan bagaimana kondisi pendidikan dasar (SD-SMA) yang menjadi gambaran kualitas SDM kita di perguruan tinggi atau lembaga setingkat dan juga di lapangan kerja. Kondisi perguruan tinggi kita pun ternyata sangat tertinggal dalam hal riset yang menjadi nafasnya. SDM-SDMnya ternyata kurang produktif menghasilkan riset-riset bermutu. Ditambah dengan perhatian pemerintah terkait hal ini sangat minim 4. Kondisi lembaga pendidikan kita yang relatif tertinggal tersebut diperparah dengan kerusakan moral anak muda kita yang sangat memprihatinkan seperti halnya kasus narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat bahwa pengguna narkotika dan obat terlarang pada 2012 mencapai sekitar 5 juta orang. Diprediksi pada 2015, pengguna narkoba mencapai 5,8 sampai 6 juta orang. Ironisnya dari jumlah tersebut, kelompok usia 20-34 tahun sebagai pengguna terbanyak. Hasil survei BNN juga menunjukkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar-mahasiswa mencapai 4,7 persen atau sekitar 921.695 orang. Narkoba adalah salah satu dari permasalahan moral bangsa. Selain masalah tersebut ada juga masalah lain seperti pornografi, free sex, dan sebagainya. Masalah moral tersebut harus ditangani dengan serius oleh 4
Pemerintah memang telah melaksanakan program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sejak 2013 sebagai persiapan menghadapi bonus demografi pada 2030. Namun program tersebut penulis rasa belum cukup untuk mengatasi kondisi pendidikan bangsa ini secara fundamental. Dibutuhkan kebijakan pendidikan (dasar dan tinggi) yang mendesak. Perbaikan sistem seperti yang penulis jelaskan di bawah harus menjadi agenda yang secepatnya dilaksanakan.
9
pemerintah bersamaan dengan masalah pendidikan guna memperoleh bonus demografi pada 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045. Kita telah setuju bahwa riset - nafas dari pendidikan tinggi dan lembaga sejenis- memiliki peran luar biasa besar dalam memajukan perekonomian negara seperti yang telah disinggung di muka. Terkait hal ini, Terry Mart dalam tulisannya di Kompas (13/8/2014) mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah, yaitu perbaikan sistem, infrastruktur riset (termasuk didalamnya menganggarkan dana riset minimal 2 persen dari PDB), serta kualitas SDM. Selanjutnya mengembalikan fungsi universitas sebagai pusat riset seperti yang ditulis Syamsul Rizal di Kompas (5/8/2014). Menurutnya rektor universitas harus dibebaskan dari masalah non-akademik yang sampai saat ini menjadi beban terberat rektor. Rektor harus fokus pada masalah akademik demi menggenjot produktivitas riset universitas. Untuk mengejar ketertinggalan. pemerintah dapat mencontoh lembaga riset dunia yang dikenal berhasil seperti Spanyol yang pada tahun 1989 membentuk National Commission for the Evaluation of Research Activity (CNEAI). Melalui lembaga tersebut, keberhasilan Spanyol terlihat saat
menempati
urutan
ke-9
dalam
produktivitas
saintifik
(www.scimagojr.com). Riset yang masif tentunya juga akan mendongkrak kuantitas jumlah paten kita yang sampai saat ini sangat rendah. Paten ini dapat berasal dari berbagai kampus dan lembaga riset maupun perusahaanperusahaan. Selain dalam ranah pendidikan tinggi yang ditandai dengan riset, pemerintah harus meningkatkan kualitas pendidikan dasar (Sekolah Dasar sederajat sampai Sekolah Menengah Atas sederajat) secara holistik. Mulai dari peningkatan kualitas guru, pemerataan persebaran guru, meningkatkan infrastruktur sekolah, dan membentuk suasana belajar yang menyenangkan
10
di kelas. Juga menjamin akses setiap anak bangsa terhadap pendidikan. Semua hal tersebut didasarkan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan yang memperhatikan hakikat STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics) yaitu ciri budaya ilmiah di balik kemajuan ilmu pengetahuan yang diserasikan perkembangannya dengan pembangunan karakter bangsa dalam menghadapi dunia di masa depan (Majelis Guru Besar ITB, 2013) 5. Sebagai
keluarannya,
peringkat
Indonesian
di
berbagai
penilaian
internasional seperti PISA, TIMSS, dan Learning Curve tidak lagi menduduki peringkat bawah, melainkan mampu meraih posisi tengah bahkan puncak. Indeks Pembangunan Manusia kita juga. Oleh karenanya, pemerintah tidak hanya sekedar mengganti kurikulum baru yang seolah serampangan, melainkan mampu mencetak anak bangsa berdaya saing tinggi melalui pendidikan berkualitas. Anak bangsa yang siap menghadapi keniscayaan kompetisi antarbangsa, antarnegara, dimasa yang akan datang. Jika pemerintah tidak segera melakukan upaya serius merevolusi pendidikan dibarengi dengan perbaikan moral bangsa sepeti yang penulis paparkan di atas, maka tak akan terjadi bonus demografi, melainkan kutukan demografi dimana banyaknya penduduk usia muda yang menganggur lagi rusak akibat tidak memiliki kemampuan bekerja dan bermoral
buruk.
Mereka
adalah
kalangan
dengan
keterbatasan
keterampilan disebabkan pendidikan yang rendah ataupun juga pendidikan yang tidak berkualitas serta memiliki kebiasaan buruk seperti yang disinggung di atas. Karena kondisi inilah, negara harus membayar mahal dengan terpuruknya kondisi perekonomian Indonesia di masa generasi emas pada 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045. 5
Pendapat Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung tentang Rancangan Kurikulum 2013 yang diterbitkan pada 12 April 2013.
11
RESTORASI PENDIDIKAN MELALUI PENGHAPUSAN UJIAN NASIONAL1 Terpilihnya Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 membawa angin segar dalam dunia pendidikan. Pasalnya Ujian Nasional yang menurut banyak pakar pendidikan mengebiri hakekat pendidikan akan dihapuskan. Surat terbuka Nurmillaty Abadiah, siswa SMA Khadijah Surabaya, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh beberapa hari pasca berlangsungnya Ujian Nasional (UN) SMA tahun ini membuat tensi penolakan UN sebagai parameter kelulusan semakin meninggi. Surat itu menantang M. Nuh mengerjakan soal matematika seperti yang diujikan di UN tahun ini. Jika menteri pendidikan ini sanggup mengerjakan dengan benar 50 persen soal saja, Nurmillaty akan mengakui M.Nuh layak sebagai seorang menteri. Selain itu, Nurmillaty juga menulis dalam surat terbuka itu berbagai alasan penolakan UN sebagai instrumen utama kelulusan siswa di tingkat satuan pendidikan tertentu. Hadirnya surat terbuka dari seorang murid SMA tersebut merupakan tamparan keras bagi pemerintah selaku pemangku kebijakan dan menguatkan perspektif publik bahwa kebijakan UN selayaknya dihentikan. Alasan Penolakan Setiap tahun pemerintah memperbaiki kualitas keberjalanan UN, tetapi penolakan oleh publik tidak pernah padam. Belum lama ini, banyak pakar
1
Artikel ini menjadi artikel terbaik ketiga dalam kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) pada Agustus 2014.
12
pendidikan, guru besar, dan tokoh masyarakat membuat petisi di change.org guna menolak UN sebagai indikator kelulusan siswa. Tidak hanya itu, seorang warga yang anaknya tidak lulus UN mengajukan banding ke MK guna pemerintah tidak lagi menerapkan sistem UN. Biarpun demikian, pemerintah tetap saja kukuh menerapkan kebijakaan ini. Alasan rakyat menolak UN bukan karena pelaksanaannya yang dirasa kurang namun esensi dari dilaksanakannya kebijakan UN ini yang dirasa melumpuhkan kualitas pendidikan. Sejak pertama kali kebijakan UN dilakukan sampai saat ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita berada pada status quo. Berikut adalah beberapa alasan yang mendasari penolakan terhadap sistem UN saat ini. Pertama, pola soal di UN merupakan low order thinking atau berfikir tingkat rendah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan perkembangan abad 21 yang menonjolkan problem solving dimana menuntut kreativitas para siswa dan berprinsip selalu baru, menantang dan aman (Iwan Pranoto, Kompas, 31/7/2014). Lembaga survei pendidikan internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA), The Learning Curve, dan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) yang fokus pada pemahaman di bidang matematika, science, dan bahasa menunjukkan bahwa secara umum siswa kita rendah. Sebagai contoh untuk tes PISA terakhir untuk mata pelajaran matematika, 50 persen siswa kita hanya mencapai level 1 (terendah), 25 persen berikutnya mencapai level 2, dan tidak satu pun yang mencapai level 5 dan 6 (tertinggi). Kedua, UN merupakan faktor utama kelulusan siswa. Sampai pada tahun ajaran 2013/2014, UN masih berperan besar menentukan kelulusan siswa dengan 60 persen. Sisanya ditentukan oleh Ujian Sekolah (US). Dominasi ini yang membuat sekolah lebih memprioritaskan UN dibandingkan US. Apalagi
13
UN memiliki fungsi lain disamping kelulusan yakni sebagai bahan pertimbangan
masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya termasuk di
dalamnya Perguruan Tinggi Negeri. Multifungsi hasil UN inilah yang menggerogoti otentisitas proses belajar serta memiliki dampak psikologis, pedagogis, ataupun kultural (Doni Koesoma A, Kompas, 22/10/2013). Akibatnya kejahatan sistemik seperti kecurangan kerap terjadi saat penyelenggaraan UN. Sebagai contoh di Kabupaten Lamongan pada UN tahun ini 70 kepala sekolah dan guru terindikasi berkomplot mencuri soal UN. Ketiga, UN simbol stardardisasi kemampuan siswa. Manusia berbeda dengan produk pabrik yang dapat distandardisasi outputnya sesuai dengan rencana awal (logika pabrik). Manusia memiliki kreativitas yang harus terus dilatih. Praktis, UN membendung kreativitas karena siswa di-drill agar mampu menjawab berbagai macam variasi soal biarpun ia sejatinya tidak faham. Hal ini ditambah dengan pemaksaan sepihak pemerintah agar sekolah-sekolah
menjalankan
kurikulum
2013.
Melalui
penerapan
kurikulum baru ini, sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri. Bahkan guru diminta untuk menjalankan lesson plan dari tim pusat, buku ajar dan materi lain juga dipasok dari pusat. Implikasinya, materi ajar dan proses pengajaran untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa pelosok terpencil diharapkan sama. Guru pada akhirnya sekedar sebagai penyampai informasi yang minim akan kreativitas mengajar. Akibatnya, sekolah tak ubahnya rumah ibadah dan guru sebagai pengkhotbah dengan segala hal yang terucap dari mulutnya sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah oleh siswa.
14
Fungsi Pemetaan Mendikbud, M. Nuh, dalam tulisannya di Kompas (23/10/2013) berujar bahwa pelaksanaan UN sebagaimana tertuang dalam PP No.32/2013 tentang standar nasional pendidikan, menjadi satu kesatuan baik pemetaan, seleksi, kelulusan, maupun pembinaan untuk meningkatkan mutu. Terkait hal ini barangkali pertimbangan pemerintah efisiensi yakni borongan ; satu UN multi-tujuan. Akibatnya selain berdampak buruk, tak satupun tujuan tercapai. Hasil UN tidak menunjukkan realita sebenarnya dari kondisi pendidikan kita (M. Abduhzen, Kompas, 3/10/2013). Ujian Nasional ibarat termometer rusak atau dalam istilah Kreshna Aditya ibarat kuda mati (Media Indonesia, 15/10/2012). Pasalnya sejak UN dipakai sebagai ujian kelulusan siswa secara nasional, tidak ada perubahan signifikan kualitas pendidikan kita seperti yang ditunjukkan penilaian internasional di atas. Penghentian UN sebagai parameter kelulusan siswa sudah menjadi keniscayaan saat ini. Fungsi UN cukup sebagai pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan yang penyelenggaraannya bisa empat atau lima tahun sekali. Selanjutnya pertimbangan kelulusan siswa sepenuhnya diberikan kepada guru sebagaimana tertuang dalam pasal 58 UU No.20/2003 dan UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pemaksaan UN sebagai faktor utama kelulusan siswa cerminkan ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung tombak pendidikan (Anindito Aditomo, Media Indonesia, 19/5/2014). Selain guru diberikan hak profesionalnya, pemerintah juga melakukan pemeraatan distibusi guru dan juga meningkatkan kapasitas guru dimana sejauh ini masih menjadi kendala serius di republik ini.
15
Data BPSDMP-PMP Kemdikbud (2011) menunjukkan persebaran guru masih sentralistik. Di perkotaan guru berkelebihan hingga 52 persen, di pedesaan juga kelebihan sampai 68 persen. Namun, di wilayah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) kekurangan guru hingga 66 persen. Hal ini dipertegas studi World Bank Indonesia (2011) bahwa kita kelebihan jumlah guru. Selain masalah pemerataan, masalah kualitas guru patut mendapat perhatian serius bagi pemerintahan Jokowi-JK kedepan. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan oleh Kemdikbud seperti yang dihimpun
Amich
Alhumami
dalam
Media
Indonesia
(8/7/2013)
menunjukkan bahwa gabungan kompetensi profesional dan pedagogi guruguru yang diuji (sekitar 878 ribu orang) rata-rata hanya 45,85 persen. Sangat jauh di bawah kemampuan ideal menurut standar guru profesional. Setidaknya ada dua cara untuk meningkatkan kapasitas mutu guru seperti yang ditulis Amich Alhumami dalam Media Indonesia (8/7/2013). Pertama, program continous proffesional development yakni berupa pelatihan sistemik kepada guru-guru di Indonesia. Program ini perlu dilakukan untuk mengatasi kegamangan guru dalam meramu metode pengajaran yang tepat bagi murid. Juga sebagai jawaban atas kebijakan sertifikasi guru yang dinilai gagal oleh Bank Dunia. Kedua, memulai dari hulu yakni pre-service education yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Lembaga ini menseleksi ketat serta mendoktin bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian kepada calon guru. Di samping kedua hal ini, rekruitmen Pegawai Negeri Sipil (PNS) berdasarkan akademik merit dan kesadaran guru untuk selalu belajar menjadi hal yang penting pula.
16
Restorasi Arah Pendidikan Terpilihnya Jokowi-JK dalam pilpres tahun ini memunculkan harapan bagi perbaikan pendidikan secara fundamental. Dalam visi-misinya, Jokowi-JK memaparkan bahwa pendidikan sebagai ujung tombak pembentukan karakter bangsa melalui sepuluh program prioritas. Poin ketiga berbunyi ; Kami tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional – termasuk di dalamnya Ujian Nasional. Ini menegaskan bahwa
Jokowi-JK
serius
mengakhiri
polemik
UN
dengan
tidak
menjadikannya sebagai faktor penentu kelulusan siswa. Kebijakan
penghapusan
UN
Jokowi-JK
patut
diapresiasi.
Publik
mengharapkan langkah ini bukan sekedar retoris dan jargonistik, namun benar-benar diaplikasikan kedepan. Langkah ini juga harus dibarengi dengan restorasi pendidikan secara menyeluruh. Setidaknya berikut ini menjadi masukan Jokowi-JK terkait agenda pendidikan kedepan seperti yang ditulis M. Abduhzen dalam Kompas (1/8/2014). Pertama, kebijakan pendidikan berdasarkan strategi pembangunan budaya. Kedua, pola pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan strategi pembangunan ekonomi. Ketiga, mengangkat Mendikbud yang kredibel dan faham masalah pendidikan. Keempat, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan. Keempat agenda ini dibarengi dengan paradigma berfikir sebagai bangsa maritim, bangsa pejuang, bangsa Indonesia.
17
MENGGUGAT KURIKULUM 20131 Penerapan kurikulum 2013 telah berjalan sekitar setahun. Namun, justru berbagai masalah baru hadir seperti halnya terlambatnya percetakaan dan distribusi buku dan belum berhasilnya program pelatihan guru . Selain permasalahan teknis tersebut, ternyata ada hal yang jauh lebih penting untuk disorot yakni substansi dari kurikulum 2013. Banyak pakar pendidikan menilai bahwa landasan teoretis-konseptual kurikulum ini rapuh. Hal inilah yang menjadi sebab inti berbagai aksi penolakan publik terhadap implementasi kurikulum pengganti KTSP ini. Pendidikan ibarat benih yang siap disemai. Benih ini selanjutnya bertransformasi menjadi buah yang siap dikonsumsi. Kualitas buah bergantung pada proses penyemaian benih ini. Jika proses penyemaian berlangsung secara terukur, jelas, dan berkualitas akan hasilkan buah yang berkualitas pula. Sebaliknya, jika proses penyemaian berlangsung secara serampangan, maka akan hasilkan buah dengan kadar kualitas rendah. Dalam ilustrasi tersebut, proses belajar-mengajar merupakan proses penyemaian dan kurikulum sebagai salah satu instrumen terpenting dalam proses tersebut. Kurikulum menjadi semacam road map arah capaian pendidikan. Oleh karenanya, konsep kurikulum perlu difikirkan secara matang landasan teoretis-konseptualnya apakah relevan atau tidak. Jika landasan teoretis-konseptual dari kurikulum dibuat atas dasar kepentingan jangka pendek lagi politis, maka dampak dari pengubahan kurikulum sekedar menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan. Masa 1
Artikel ini diikutkan dalam kompetisi essay nasional tentang pendidikan yang diadakan oleh Sentra Kegiatan Islam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada 30 September 2014.
18
depan Indonesia melalui fungsionalisasi pembangunan jiwa dan badan anak-anak kita dipertaruhkan. Perlu diingat bahwa usaha membangun sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi pertanyaan how should we live atau what kind of educated people do we want our citizens to be ?.2 Jika memang kurikulum 2013 tidak mampu menjawab secara eksak (tidak normatif) akan pertanyaan tersebut, maka opsi kembali ke kurikulum 2006 atau penyempurnaan kurikulum menjadi semacam wacana yang perlu ditindaklanjuti. Substansi Kurikulum Hal pertama yang patut disorot dari substansi kurikulum 2013 adalah agamanisasi kurikulum seperti yang ditulis oleh Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema A..3 Menurut Doni, kurikulum 2013 menimbulkan kekacauan dalam memahami kompetensi disiplin ilmu dengan kompetensi karakter. Pemaksaan integrasi antara kompetensi pendidikan karakter, yang diredusir pada pendekatan kerohanian dan sikap, serta kompetensi disiplin ilmu (pengetahuan dan keterampilan) melahirkan untuk pertama kalinya dalam sejarah kurikulum nasional proses agamanisasi kurikulum. Satu kekeliruan fundamental dalam kurikulum 2013 adalah usaha untuk spiritualisasi semua mata pelajaran. Alhasil, setiap mata pelajaran akan dinilai keberhasilannya berdasarkan terpenuhinya kompetensi inti 1 (sikap spiritual), kompetensi inti 2 (sikap sosial), kompetensi inti 3 (pengetahuan), dan kompetensi inti 4 (keterampilan). Bayangkan satu mata pelajaran harus mengandung empat kompetensi diatas. Bagaimana menilai sikap spiritual dan sikap sosial dalam 2 3
Daoed Joesoef, "Jangan Mempermainkan Pendidikan", Kompas, 17 September 2014. Doni Koesoema A.," Sandera Kurikulum 2013", Kompas, 20 September 2014.
19
matematika?. Memasukkan dua kompetisi ini dalam pengajaran matematika di sekolah seperti pada bentuk soal merupakan bentuk pemaksaaan. Di mata pelajaran lain juga sama. Hal ini membuat proses pembelajaran justru jauh dari rel utamanya yaitu akuisisi ilmu pengetahuan. 4 Lagi-lagi yang menjadi korban adalah siswa dan guru. Jadwal siswa di kelas menjadi sangat padat, penuh dengan tugas-tugas sekolah setiap harinya. Siswa menjadi tidak enjoy dalam belajar di sekolah. Sementara guru juga dipusingkan dengan lembar penilaian observasi. Katakan dalam satu kelas guru memiliki 30 siswa, maka setidaknya ada 210 kolom yang harus diisi oleh guru untuk menilai kompetensi sikap siswa mengingat lembar penilaian observasi tersebut terdiri dari tujuh kompetisi yang harus dinilai yaitu tanggung jawab, jujur, peduli, kerja sama, santun, percaya diri, dan disiplin. Apakah mungkin guru mampu mengisi secara mendalam penilaian sikap ini dalam dua atau tiga jam tatap muka ?. Faktor agamanisasi dalam kurikulum 2013 dengan proses pelaksanaan yang ribet yang dipaparkan diatas belum cukup. Faktor lain yang perlu disorot adalah naskah dari rancangan kurikulum 2013. Setidaknya ada enam poin yang menjadi kelemahan.5 Pertama, rancangan kurikulum 2013 belum dituliskan ke dalam format dokumen negara maupun naskah budaya layaknya sebuah dokumen negara, sebagai rujukan hukum negara. Kedua, gagasan inti dalam rancangan kurikulum 2013 belum tersampaikan dengan lugas, bahkan dalam beberapa hal justru menunjukkan keraguan. Ketiga, sejumlah istilah yang tidak dikenal secara luas telah digunakan dalam rancangan kurikulum 2013, menyebabkan kurikulum ini tidak mudah
4
Ibid. Pendapat Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung tentang Rancangan Kurikulum Nasional 2013, http://mgb.itb.ac.id/?p=16 diakses tanggal 30 September 2014. 5
20
dipahami dalam tataran implementasi. Utamanya bila diterapkan oleh para pendidik di lapangan. Keempat, rancangan kurikulum 2013 belum mampu mengungkapkan gagasan intinya dengan bahasan yang lugas tanpa mengandung keraguan dan pengertian multitafisir, guna mendudukan untaian pemikiran yang menjadi tujuan sehingga mudah dipahami oleh para pendidik di lapangan. Kelima, rancangan kurikulum 2013 belum menunjukkan keterkaitan basis filosofi yang digunakan dengan perwujudannya para tataran teknis, kompetensi inti dan kompetensi dasar. Keenam, rancangan kurikulum 2013 belum mencantumkan sikap dan nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang memperhatikan
hakikat
STEAM
(Science-Technology-Engineering-Art-
Mathematics), yaitu ciri budaya ilmiah di balik kemajuan ilmu pengetahuan yang diserasikan perkembangannya dengan pembangunan karakter bangsa dalam menghadapi dunia di masa depan. Pelaksanaan Kurikulum Dalam pelaksanaannya di lapangan, muncul banyak permasalahan. Pertama, kurikulum ini tidak memberi ruang kemerdekaan berfikir kritis kepada guru.6 Lebih lanjut menurut Ifa H Misbah, pemaksaan buku kurikulum 2013 yang isinya sama untuk semua wilayah di Indonesia jelas berlawanan dengan prinsip menghilangkan keseragaman dalam pendidikan karakter yang ingin diperbarui
pemerintahan mendatang.
Argumen bahwa
kurikulum 2013 meringankan guru karena pusat yang membuatkan silabus menunjukkan betapa kaum elite di pusat tidak percaya bahwa guru mampi berfikir mandiri. Guru diposisikan sebagai pihak inferior.
6
Ifa H Misbach, "Potret Guru Indonesia", Kompas, 17 September 2014.
21
Kedua, ketidaksiapan pemerintah menyediakan infrastruktur implementasi kurikulum. Banyak guru yang mengampu pelajaran di kelas belum mendapat pelatihan kurikulum 2013. Padahal, salah satu indikator keberhasilan kurikulum ini adalah semua guru telah dilatih kurikulum 2013 dan mampu mengimplementasikannya. Ketiga, indikator keberhasilan lain kurikulum 2013 adalah tersedianya buku bagi murid dan guru di sekolah pada awal tahun pejaran 2014/2015, namun yang terjadi adalah murid dan guru sampai kini belum kunjung memegang buku kurikulum 2013. Menangnya perusahaan kecil di tender pengadaan buku disinyalir menjadi biang keladi permasalahan. Perusahaan yang menang tender ternyata berkapasitas produksi rendah sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pemerintah. Di sini terlihat kelalaian pemerintah di mana kurang melakukan vitasi ke perusahaan percetakan. Pemenang lelang hanya didasarkan pada penawaran terendah saja. Keempat, kurikulum 2013 diprediksi akan layu sebelum berkembang. Ini disebabkan karena pemerintahan SBY-Boediono akan berakhir di Oktober 2014 dan diikuti dengan penggantian Mendikbud. Perubahan politik akan berimbas pada intensitas dukungan birokrasi Kemendikbud terhadap kurikulum 2013. 7 Tindak Lanjut Seperti yang telah dijelaskan dimuka, landasaan teoretis-substansial kurikulum 2013 tidak kuat. Ditambah dengan implementasi di lapangan dari kurikulum ini ditemui banyak cacat dan permasalahan. Oleh karenanya
7
Febri Hendri AA, "Layu Sebelum Berkembang", Kompas, 19 September 2014.
22
perlu adanya langkah strategis untuk menindaklanjuti hal ini bagi pemerintahan mendatang. Ada tiga opsi yang dapat dilakukan. 8 Pertama, kurikulum 2013 dihentikan dan kembali menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 2006 ini telah berjalan relatif lama. Guru sudah terbiasa menjalankannya. Buku-buku pelajaran yang memuat kurikulum ini masih terjual bebas di pasar. Tinggal bagaimana pemerintah terus menyempurnakan kurikulum ini. Kedua, kurikulum 2013 tetap berjalan sampai maksimal dua tahun setelah berhasil disusunnya kurikulum baru berdasarkan sintesis antara Kurikulum 2013 dan KTSP atau tidak sama sekali. Penyusunan kurikulum dimulai sejak kajian dan evaluasi atas dua kurikulum selesai dilaksanakan. Ketiga, merevisi sebagian kurikulum 2013, menyiapkan guru lebih matang, dan mencetak kembali buku berdasarkan revisi. Kerugian materi dari opsi ketiga ini lebih kecil, namun tidak menjawab permasalahan mengingat inti penolakan kurikulum 2013 terletak pada substansi dari kurikulum ini yang bermasalah.
8
Ibid.
23
RISET SEBAGAI UJUNG TOMBAK PERGURUAN TINGGI1 Riset (penelitian) merupakan salah satu dari pilar Tridharma Perguruan Tinggi yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap kampus di Indonesia. Tanpa riset, kampus ibarat lembaga kursus yang hanya sekedar menyiapkan para pekerja baru di berbagai lapangan pekerjaan. Hampir dapat dipastikan negara maju identik dengan riset yang masif. Berdasarkan laporan scimagojr.com, lima negara dengan jumlah publikasi terbanyak berturut-turut ; Amerika Serikat (7.063.329 dokumen), Tiongkok (2.680.395 dokumen), Britania Raya (1.918.650 dokumen), Jerman (1.782.920 dokumen), dan Jepang (1.776.473 dokumen). Kita bersama tahu bahwa kelima negara tersebut merupakan negara yang maju secara ekonomi. Negara lain yang digadang-gadang menjadi salah satu kekuatan baru ekonomi dunia yakni India dan Brazil berturut-turut menduduki peringkat 10 dan 15 dengan 750.777 dan 461.118 dokumen. Sementara Indonesia terpuruk di posisi 61 dengan 20.166 dokumen. Mengapa Riset Dalam tulisannya di Kompas (7/4/2014), Daoed Joesoef mengungkapkan bahwa suatu bangsa bisa maju dalam peradaban hanya bila sub-komunitas ilmiahnya lebih maju dibandingkan dengan sub-komunitas lainnya. Tulisan Daoed diperkuat oleh pernyataan mantan Gubernur Lemhanas, Sayidiman Suryohadiprojo, di media yang sama bahwa bangsa Indonesia hanya dapat hidup bahagia dan sejahtera bila kita bergotong-royong mengembangkan 1
Artikel ini diikutkan dalam kompetisi essay nasional tentang pendidikan yang diadakan oleh Sentra Kegiatan Islam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada 30 September 2014.
24
iptek modern, sesuai dengan tuntutan zaman (Kompas, 7/4/2014). Secara tidak langsung, dua tokoh ini mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar segera sadar untuk menciptakan iklim riset yang masif. Riset berperan besar bagi peningkatan ekonomi suatu negara. Sebagai contoh Amerika Serikat. Ketika kebanggaan bangsa Amerika tersentuh karena Uni Soviet sudah lebih dulu mengirim satelit Sputnik ke luar angkasa pada 1957, anggaran riset AS melonjak dari 0,5 persen PDB menjadi 2,2 persen PDB. Hasilnya ? AS bukan hanya megejar Uni Soviet dengan mengirim Aldrin dan Armstrong untuk menginjak bulan, melainkan juga embrio revolusi di bidang teknologi informasi (ponsel, internet, dan lain-lain). Namun, sejak akhir 1970-an dan awal 1980-an, anggaran riset AS turun hingga di bawah 1 persen PDB dan bertahan hingga pemerintahan Obama. Sementara Jepang dan China melipatgandakan anggaran riset. Akibatnya ? General Motors kalah melawan Toyota dan lain-lain hingga Detroit pun bangkrut. 2 Iklim Riset di Indonesia Riset ternyata kurang mendapatkan tempat di Indonesia. Sejauh ini anggaran terkait pengembangan iptek di tanah air, baik Perguruan Tinggi maupun lembaga litbang, berkutat di bawah 0,1 persen dari PDB. Sangat jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yakni sebesar 2 persen dari PDB. Fakta tersebut diperkuat dengan ungkapan Mendikbud beberapa bulan lalu bahwa alokasi anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 Triliun.
2
Hermawan Sulistyo, "Riset untuk Masa Depan Bangsa", Kompas, 21 September 2013.
25
Sebagai perbandingan, anggaran National University of Singapore (NUS) pada 2013 mencapai Rp 18 triliun. Sangat timpang. Wajar saja jika publikasi kita sangat tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia. Data scopus per 6 Februari 2014 menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5 lembaga penelitian negara sejumlah 19.974 buah, sedikit lebih banyak dibandingkan dengan satu universitas di Malaysia yaitu Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yakni sejumlah 16.571 buah. Selain jumlah publikasi internasional, paten yang merupakan hak eksklusif yag diberikan kepada penemu (inventor) termasuk di dalamnya para ilmuwan atas hasil temuannya berupa proses dan produk teknologi ternyata sangat minim. Berdasarkan data United States Patent and Trademark Office (UNSPTO) pada 2010, paten dari Indonesia hanya enam, sedangkan dari Jepang mencapai 44.811 peten. Sementara data yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), permohonan paten dalam negeri tahun 2011 berjumlah 820 permohonan, sementara permohonan paten asing berjumlah 5.432 permohonan. Tahun-tahun selanjutnya ternyata tidak jauh berbeda. Kendala Kultur riset belum membudaya di tanah air kita disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, anggaran riset. Data Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Heru Susanto dalam Kompas (5/8/2014) menunjukkan bahwa dana pengembangan riset nasional masih berkisar 0,08 persen dari PDB. Nilai tersebut jauh dari yang disarankan oleh UNESCO seperti yang telah disinggung di muka yakni sebesar 2 persen dari PDB. Kedua, kapasitas SDM. Dana riset yang tidak diimbangi dengan kualitas SDM riset yang mumpuni
26
akan menghasilkan riset berkualitas rendah. Saat ini kita kekurangan peneliti. Mengutip Heru Susanto3, dosen berkualifikasi doktor masih di bawah 10 persen dari jumlah keseluruhan dosen. Doktor sejumlah tersebut termasuk di dalamnya yang sudah mengalami pembusukan akademik 4. Ketiga, produktivitas riset. Berdasarkan indeks scopus dan scimagojr.com seperti yang telah disinggung di atas, publikasi ilmiah kita sangat rendah. Bahkan di Asia Tenggara, kita berada di urutan keempat setelah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Secara khusus, produktivitas karya ilmiah internasional Indonesia dibandingkan dengan Malayia adalah 1:7. Keempat, manajemen anggaran. Penganggaran riset masih mengikuti pola APBN. Akibatnya pencairan dana penelitian untuk tahun anggaran tertentu selalu dilakukan di tengah tahun anggaran atau paling cepat di kuartal pertama. Sementara proses penelitian harus dilakukan tepat waktu. Selain itu pembiayaan penelitian sering juga disamakan dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Kelima, tata kelola riset. Saat ini, lembagalembaga kementerian maupun non-kementerian sama-sama mengelola riset. Akibatnya saling tumpang tindih. Selain itu, tidak tampak adanya road map pengembangan tema-tema penelitian yang menunjang pembangunan bangsa.5 Langkah Selanjutnya Terry Mart dalam tulisannya di Kompas6 mengungkapkan bahwa ada tiga hal yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki kualitas riset kita yakni perbaikan sistem, infrastruktur riset, dan kualitas SDM. Perbaikan sistem 3
Heru Susanto, "Momentum Reformasi Riset", Kompas, 5 Agustus 2014. Terry Mart, "Darurat Riset", Kompas, 13 Agustus 2014. 5 Heru Susanto, Loc.Cit. 6 Terry Mart, Loc.Cit. 4
27
mencakup peningkatan investasi riset besar-besaran serta perubahan sistem penggunaan dana yang banyak dikeluhkan menguras tenaga dan membingungkan periset. Perbaikan infrastruktur
termasuk pengadaan
peralatan baru yang tentu tidak murah. Syamsul Rizal menambahkan dalam media yang sama7 bahwa untuk menggenjot kualitas dan kuantitas riset di Perguruan Tinggi diperlukan rektor yang fokus pada masalah akademik, sementara masalah non-akademik seperti halnya administrasi diserahkan kepada manajemen non-akademik yang terdiri atas orang-orang yang berkompetensi tinggi di bidang keuangan, administrasi, dan lain-lain. Menjawab kendala yang diterangkan di muka, Heru Susanto dalam tulisannya8 mengungkapkan bahwa untuk mereformasi riset diperlukan beberapa hal berikut. Pertama, peningkatan efektivitas tata kelola riset. Hal ini untuk menjawab tumpang-tindih pengelolaan riset baik dalam penentuan tema penelitian, jenis penelitian, maupun skema penelitian antarlembaga pengelola riset. Kedua, meningkatkan anggaran riset seperti yang disarankan UNESCO yakni sebesar 1 persen dari PDB. Ketiga, meningkatkan kapasitas SDM seperti halnya memanggil peneliti-peneliti Indonesia di luar negeri untuk pulang membangun riset tanah air dengan jaminan kesejahteraan dan dukungan infrastruktur riset. Sembari menunggu kemauan politik bangsa ini untuk riset, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah. 9 Pertama, segera bebaskan "penghasilan" institusi untuk setor sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kebijakan PNBP menggusur minat funding agencies, swasta, dan lain-lain karena tidak pas ke dalam sistem mereka. Kedua, lebih 7
Syamsul Rizal, "Meningkatkan Kualitas Riset", Kompas, 5 Agustus 2014. Heru Susanto, Loc.Cit. 9 Hermawan Sulistyo, Loc.Cit. 8
28
fokus pada proses dan produk riset ketimbang birokratisasi parameter capaian, seperti presensi atau aturan teknis lainnya. Ketiga, penghargaan bagi peneliti yang berhasil. Keempat, menambah dana paket-paket penelitian seperti pada Program Riset Unggulan. Demi menambah kapasitas, pemerintah perlu memfasilitasi swasta yang menyediakan dana seperti itu, misalnya melalui program CSR dan tax holiday.
29
PASAL 33 UUD 1945 ; MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN EKONOMI1 Pendahuluan Perekonomian yang kuat merupakan prasyarat sebuah bangsa yang kuat. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak awal mula berdiri berinisiatif untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bung Karno menggagas ide Trisakti yakni berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Dalam konteks ekonomi, bangsa ini sejatinya menginginkan suatu kemandirian ekonomi sehingga tercipta suatu masyarakat yang makmur. Untuk meraihnya, founding fathers kita tidaklah menggunakan sistem ekonomi model Barat yang saat itu menguasai peradaban dunia, melainkan membentuk sistem ekonomi sendiri. Mubyarto menyebutnya sebagai sistem ekonomi pancasila. Ekonomi pancasila adalah sistem ekonomi, atau sistem perekonomian, tetapi berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi komunis. Sistem ekonomi pancasila adalah ekonomi yang dijiwai oleh ideologi pancasila, yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional. Kegotongroyongan nasional, bukan hanya kegotong-royongan di pedesaan, di rukun kampung, tetapi kegotongroyongan pada tingkat nasional.2 Sistem ekonomi tersebut bersifat unik yang murni diambil dari kepribadian bangsa Indonesia kemudian diwujudkan dalam pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut 1
Artikel diikutsertakan pada kompetisi essay tingkat nasional yang diadakan oleh Departemen Pertahanan RI pada september 2014. 2 Mubyarto, Ekonomi Pancasila, Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, Jakarta, 1993, hlm. 32.
30
selain mencakup gotong-royong sebagai nafas ekonomi kita, juga menegaskan bahwa negara memiliki kuasa penuh terhadap cabang-cabang produki yang menguasai hajat hidup orang banyak dan juga sumber daya alam. Semuanya itu digunakan untuk semata-matakemakmuran rakyat. Rakyat disini diartikan sebagai konsepsi politik, bukan konsepsi artimatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah the common people, rakyat adalah orang banyak. Pengertian rakyat berkaitan dengan kepentingan publik, yang berbeda dengan kepentingan orang-seorang. Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut public interest atau public wants, yang berbeda dengan private interest dan private wants. Istilah rakyat memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat publik itu.3 Inti Pasal 33 UUD 1945 Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan pasal 33 UUD 1945 di bawah judul kesejahteraan sosial itu, berarti
pembangunan
ekonomi
nasional
haruslah
bermuara
pada
peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan tes untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang mulia, pasal yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang3
Sri Edi Swasono, “Pasal 33 UUD 1945 Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat�, diakses dari http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10688/2404/ pada tanggal 18 September 2014 pukul 22.19 WIB.
31
perorang. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi. 4 Ayat 1 pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Perkataan disusun artinya direstruktur. Seorang strukturalis pasti mengerti arti disusun dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya dengan demokrasi ekonomi (yang participatory dan emancipatory). Asas kekeluargaan hanya dapat dimengerti oleh mereka yang memahami cita-cita perjuangan dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu merasakan sesamanya sebagai saudara, sederek, sedulur, sawargi, kisanak, sanak, sameton, dan seterusnya. Jadi asas kekeluargaan yang brotherhood ini bukanlah asas keluarga atau asas kekerabatan
(bukan
family
system
atau
kinship)
yang
nepotistik.Kebersamaan dan kekeluargaan adalah asas ekonomi kolektif (cooperativism) yang dianut Indonesia merdeka, sebagai lawan dari asas individualisme yang menjadi dasar sistem ekonomi kolonial. 5 Sementara ayat 2 dan ayat 3 menegaskan bahwa negara berkuasa atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Semuanya itu harus dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Terkait masalah penguasaan negara, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa dikuasai negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna 4 5
Ibid. Ibid.
32
kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula pengisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.6 Sementara itu, ayat 4 dalam pasal tersebut menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkendala, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Demokrasi ekonomi diartikan sebagai turut sertanya masyarakat secara aktif dalam kegiatan pembangunan. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi ekonomi itu. Dalam demokrasi ekonomi ini tiga hal yang patut dihindari yaitu sistem free fight liberalismdimana semuakegiatanekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, sistem etatisme dimana negara sangat dominan, dan monopoli sepihak oleh golongan tertentu. 7 Pada akhirnya, pelaksanaan dari pasal 33 diatas tak hanya berdampak pada meningkatnya pendapatan nasional, melainkan juga pembagian pendapatan yang merata. Pelaksanaan pasal tesebut mencegah terjadinya kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian, pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan nasional. Ketahanan nasional yang tangguh akan lebih mendorong bagi pembangunan nasional.8
6
Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Mutiara, Jakarta, 1977, hlm. 28. 7 Lemhanas, Kewiraan Untuk Mahasiswa, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 104-105. 8 Petikan bunyi ketetapan MPR No. IV/1978.
33
Kondisi Saat Ini Pada praktiknya, pasal 33 UUD 1945 belum sepenuhnya dipegang teguh oleh pemerintah. Sistem ekonomi yang kita jalankan bahkan mengarah ke sistem ekonomi neoliberal. Campur tangan pemerintah sebisa mungkin diminimalisasi dalam kegiatan ekonomi, sementara itu pasar diberikan porsi yang lebih besar untuk bisa bersaing secara bebas. Sebagai contoh investasi asing. Indonesia memulai memfasilitasi investasi asing sejak 1967 via UU No 1/1967, yang kemudian terus disempurnakan lewat PP No 20/1994 dan UU Penanaman Modal No 25/2007. Sejak 2000-2010 terdapat peningkatan peran penanaman modal asing (PMA) terhadap total investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 65 persen terhadap total investasi. Tetapi, pada 2010 peran PMA tersebut sudah melonjak menjadi lebih dari 70 persen. Dengan kata lain sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30 persen. Investasi pada mulanya diharapkan berperan untuk mendorong muunculnya kewirausahaan lokal, ternyata dalam realitasnya malah mendesak dan mematikan pelaku ekonomi domestik.9 Ichsanuddin Noorsy dalam tulisannya di harian Investor Daily menilai bahwa saat ini perekonomian kita terjajah bangsa asing. Indikatornya ada lima. Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi, dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa
9
Sindo, 21 Desember 2011.
34
ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.10 Tragisnya kelima indikator di atas telah terpenuhi. Indikasinya terlihat pada berbagai kondisi berikut ; (1) Banyaknya jumlah perusahaan asing dari 200 korporasi besar di Indonesia, yakni sekitar 70 persen, (2) Ketergantungan Indonesia pada impor energi, impor bahan pangan, ketergantungan pada modal asing dan dominannya asing di sektor, dan dominannya asing dalam memiliki, membangun, dan mengelola proyek infrastruktur, (3) Sistem dan strategi transportasi kita ditentukan Jepang, (4) Jika pada era Orba liberalisasi perekonomian masih malu-malu, maka setelah reformasi Konsensus Washington malah menjadi sumber utama inspirasi kebijakan, dan (5) Penguasaan modal asing pada pasar modal, SUN, privatisasi dan utang luar negeri– yang meningkat.11 Epilog Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perekonomian kita saat ini berada dalam masa kritis. Semakin jauh dari nilai-nilai yang dikandung pasal 33 UUD 1945. Oleh karenanya, dibutuhkan pemimpin yang kuat, yang berani mewujudkan sistem ekonomi yang benar-benar sesuai dengan citacita para founding fathers.
10 11
Harian Investor Daily, 16 Agustus 2007. Ibid.
35
INDIA, GILA !1 Di tengah media nasional ramai menyorot berita terkait disahkannya RUU Pilkada oleh DPR RI, muncul berita mengejutkan dari India. Negara Bollywood ini sukses lakukan misi penerbangan ke Mars yang menjadikannya negara pertama Asia dan keempat di dunia yang mampu mengirim wahana antariksa ke Mars. Gilanya, biaya misi ke Mars India hanya 74 juta dollar, seper sembilan dari proyek serupa yang dilakukan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat, NASA. India rasanya tak henti-hentinya membuat kejutan. Kini beritanya tidak lagi sebuah kecelakaan transportasi, kemiskinan, atau robohnya gedung, melainkan kemajuan sains dan teknologi. Negara yang mayoritas penduduknya beragama hindu ini ternyata memiliki visi besar dalam mengembangkan sains dan teknologi. Adalah Mangalyaan, wahana antariksa buatan putera-puteri India, yang sampai di orbit Mars pada 24 September lalu setelah diluncurkan pada Desember 2013. Suksesnya Mangalyaan, menjadikan India sejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa yang lebih dulu melakukan misi serupa. Jepang pernah melakukannya namun gagal. Prinsip India ; Murah Kualitas Sama India memang masuk dalam kelompok BRIC yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok, namun negara ini masih berkutat dengan masalah kemiskinan. Tetapi bukan namanya India jika terut terlarut dalam permasalahan dalam negeri. Negara ini justru memiliki visi yang jauh lebih 1
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di uruqulnadhif.com
36
besar yang konon hanya dimiliki negara maju. Mangalyaan adalah buktinya. Wahana antariksa India ini sukses mengorbit ke Mars. Kita bersama tahu bahwa teknologi antariksa merupakan teknologi supercanggih yang hanya mampu dikembangkan oleh negara yang memiliki kualifikasi SDM mumpuni dan disertai dukungan politik yang kuat dari pemerintah. Di sini terlihat visi luar biasa besar dari India. India sadar bahwa PDB-nya tidak sebanding dengan Amerika, namun negara ini ingin melakukan hal yang pernah dilakukan Amerika. Solusinya, India menciptakan kreativitas dan inovasi berbiaya murah. Proyek Mangalyaan hanya butuh 74 juta dollar AS. Sementara itu, misi wahana MAVEN yang dijalankan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) menelan biaya sampai 671 juta dollar AS. Sepersembilannya !. Tak hanya itu, biaya misi Mangalyaan juga lebih murah daripada ongkos produksi film Gravity (2013), yakni sebesar 100 juta dollar AS dan juga harga pesawat kepresidenan RI yakni sebesar 89,6 juta dollar AS.2 Kualitas Mangalyaan tidak jauh berbeda dengan wahana antariksa yang dibuat oleh tiga negara sebelumnya. Seperti diberitakan Kompas (29/9/2014) bahwa pada Kamis (25/9), Mangalyaan mulai mengirim fotofoto permukaan Mars dari posisinya di orbit. Kamera di wahana itu juga akan memotret dua bulan Mars, Phobos dan Deimos. Semua itu menjadi bukti bahwa India tidak hanya asal mengirim benda buatan manusia ke planet itu, tetapi satelit ilmiahnya juga berfungsi penuh. Kunci dari biaya murah proyek Mangalyaan ini terletak dari ukuran wahana yang kecil. Berat muatannya hanya sekitar 15 kilogram saja. Namun biarpun demikian, India
2
Kompas, 29 September 2014. Hal 15.
37
membawa perangkat yang menyasar objek penerbangan paling penting saat ini di Mars, yakni pengukur kadar gas metana di atmosfer planet itu. 3 Penguasaan teknologi antariksa seperti halnya proyek Mangalyaan jelas akan menggairahkan segmen pengembangan teknologi lainnya seperti teknologi satelit yang mampu berperan dalam memantau permukaan bumi dengan beragam tujuan juga komunikasi luar angkasa (deep space communication) yang dapat dimanfaatkan untuk banyak hal misalnya kendali pesawan nirawak (drone) jarak jauh sampai kontrol peluru kendali antarbenua.4 Murahnya biaya perngembangan sains dan teknologi ternyata tak hanya di proyek Mangalyaan saja, berbagai riset teknologi tepat guna India ternyata banyak yang terapkan konsep berinovasi hemat-cerdas. Dalam tulisannya,5 Iwan pranoto mengisahkan Das Kanak, seorang tak lulus SMA di India yang sukses membuat energi bagi sepedanya dari gundukan dan lubang di jalan yang tak rata. Inspirasi ini didapatkannya dari jalan berlubang yang selalu dilewatinya dan tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah setempat. Setidaknya tiga prinsip yang dapat diambil dari kisah Das Kanak.6 Pertama, perilaku inovasi ini adalah kaum awam, masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Ini menegaskan bahwa berinovasi bukanlah hak esklusif kaum elite saja. Kedua, tempat berinovasi tidak hanya di labolatorium canggih, tetapi bisa di rumah sederhana di desa. Ketiga, solusi yang dibuat bukan sekadar tambal-sulam sementara, melainkan solusi mendasar permanen, menyeluruh, dan berparadigma baru. Das Kanak tak hanya berfikir "di luar kotak" melainkan juga "menciptakan sebuah kotak baru". 3
Ibid. Ibid. 5 Iwan Pranoto dan Gautam Kumar Ja, Berinovasi Hemat-Cerdas, Tempo.co, 1 Oktober 2014. 6 Ibid. 4
38
Indonesia Bagaimana ? Ketika India menghentak dunia dengan keberhasilan ekspedisi ke Mars, Indonesia masih berkutat pada masalah politik dalam negeri. Setelah energi rakyat habis oleh masa Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres), kini masih menyisakan masalah politik lain yang benar-benar menguras energi. Disahkannya RUU Pilkada oleh DPR RI, ditambah lagi dengan pertikaian antarkubu di parlemen menambah ricuhnya perpolitikan nasional. Negara seolah hanya dimiliki oleh para elite dan lagi-lagi rakyat sekedar sebagai penonton. Rakyat seolah tidak diberikan ruang untuk memimpikan Indonesia di masa depan. Berbeda halnya dengan India. Misi ke Mars memicu generasi muda India untuk bergegas kembangkan sains dan teknologi. Pemerintah India sadar bahwa untuk menjadikan India menjadi negara besar dibutuhkan penguasaan sains dan teknologi. Di Indonesia, karena energi habis di urusan politik, riset sebagai bagian terpenting dari pengembangan sains dan teknologi seolah berjalan di tempat. Sebagai contoh jurnal internasional. Data scopus sampai 6 Februari 2014 menunjukkan bahwa jumlah publikasi 100 Perguruan Tinggi dan 5 lembaga penelitian negara sejumlah 19.974 buah. Bandingkan dengan satu universitas di Malaysia, Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yakni sejumlah 16.571 buah. Benar-benar tertinggal jauh.
Banyak hal yang
sebabkan bangsa kita tertinggal dengan nagara-nagara lain dalam produktivitas riset. Salah satunya adalah minimnya jumlah peneliti. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa jumlah peneliti saat ini hanya sekitar 8.000 orang, sedangkan pengajar di lembaga perguruan tinggi dan swasta sekitar 160.000 orang. Fakta tersebut diperkuat laporan Kompas (13/8/2013) bahwa perbandingan jumlah
39
peneliti dengan penduduk di Indonesia mencapai 205 peneliti dari setiap 1 juta jiwa. Perbandingan yang terlampaui besar. Selain masalah minimnya jumlah peneliti, anggaran riset kita sangat kecil. Data Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Heru Susanto7 menunjukkan bahwa dana pengembangan riset nasional masih berkisar 0,08 persen dari PDB. Sangat jauh dari angka ideal yang disarankan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yakni sebesar 2 persen dari PDB. Fakta tersebut diperkuat dengan ungkapan Mendikbud beberapa bulan lalu bahwa alokasi anggaran tahun 2014 untuk pendidikan tinggi (di seluruh Indonesia) hanya Rp 3,2 Triliun. Bandingkan dengan anggaran National University of Singapore (NUS) pada 2013 mencapai Rp 18 triliun. Sangat timpang. Pelajaran untuk Generasi Muda Kesuksesan India dalam melakukan misi ke Mars harus mampu menyetrum motivasi generasi muda Indonesia dalam mengembangkan sains dan teknologi di masa mendatang. Kita tidak boleh terus terlarut dalam masalah kontraproduktif seperti halnya isu politik yang terus digoreng oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. India dulu bukan apa-apanya Indonesia, lantas sekarang ? Kita kesalip sekian generasi dalam pengembangan sains dan teknologi. Kita harus bergegas. Sebagai generasi muda yang akan memegang roda pemerintahan di masa mendatang, kita harus sadar bahwa bangsa ini jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa lain dalam hal penguasaan sains dan teknologi. Mulai dari
7
Heru Susanto, Kompas, 5 Agustus 2014.
40
sekarang, mari kita bersama-sama fikirkan bagaimana mengelola Sumber Daya Alam (SDA) mentah sehingga menghasilkan nilai tambah (hilirisasi). Juga tentang bagaimana mengembangkan teknologi tepat guna untuk masyarakat sekitar. Intinya bagaimana kita kedepan mampu mamacu semangat seluruh elemen bangsa agar bergegas kembangkan sains teknologi. Dana minim bukanlah alasan. Generasi kita nanti harus mampu menciptakan rasa optimis seluruh warga Indonesia bahwa bangsa ini layak disebut bangsa besar. Kita dulu pada 1995 pernah bangga dengan proyek pesawat N250, namun setelah tiga tahun berselang nama besar N250 tidak terdengar lagi. N250 adalah masa lalu, kita harus berfikir untuk masa depan. India sudah, tinggal kita !.
41
REFERENSI
Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia 1.
Tobing, Elwin, "Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi (1)", SUARA PEMBARUAN, 31 Desember 1994.
2.
Majelis Guru Besar ITB. 2013. "Pendapat Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung tentang Rancangan Kurikulum Nasional 2013". Sumber http://mgb.itb.ac.id/?p=16 diakses tanggal 30 September 2014.
3.
Rachman, Okie Fauzi. 2013. "Pendidikan dan Alienasi". Sumber majalahganesha.com/blog/2013/10/27/pendidikan-dan-alienasi/ diakses tanggal 7 Oktober 2014.
4.
Redaksi Kompas. 2013. "Minimnya Paten di Indonesia". KOMPAS, 13 Agustus 2013.
5.
Redaksi Kompas. 2013. "Mundur demi Komersialisasi Paten". KOMPAS, 13 Agustus 2013.
6.
Joesoef, Daoed. 2014. "Memikir Ulang Pendidikan". KOMPAS, 7 April 2014.
7.
Suryohadiprojo, Sayidiman. 2014. "Membangun Masyarakat Gotong Royong Modern". KOMPAS, 7 April 2014.
8.
McKinsey Global Institute, presentasi LPDP di ITB pada 22 Agustus 2014.
9.
Mart, Terry. 2014. "Darurat Riset". KOMPAS, 13 Agustus 2014.
10. Rizal, Syamsul. 2014. "Meningkatkan Kualitas Riset". KOMPAS, 5 Agustus 2014.
42
11. Syakrani. 2013. "Paradoks dan Lapis-Lapis Keterpurukan Bangsa". Makalah pada Sarasehan Nasional Refleksi Awal Tahun Universitas Lambung Mangkurat pada 26 Januari 2013. Restorasi Pendidikan Melalui Penghapusan Ujian Nasional 1.
Pranoto, Iwan. 2014. "Belajar". KOMPAS, 31 Juli 2014.
2.
A., Doni Koesoema. 2013. "Kanibalisasi Evaluasi Pendidikan". KOMPAS, 22 Oktober 2013.
3.
Nuh, M..2013."UN, Upaya Pengendalian Mutu Pendidikan". KOMPAS, 23 Oktober 2013.
4.
Abduhzen, M.. 2013. "Ujian Nasional Konvensional". KOMPAS, 3 Oktober 2013.
5.
-----------------. 2014. "Agenda Pendidikan Kita". KOMPAS, 1 Agustus 2014.
6.
Aditya, Kreshna. 2012. "Kuda Mati Bernama Ujian Nasional". MEDIA INDONESIA, 15 Oktober 2012.
7.
Aditomo, Anindito. 2014. "Otonomi Profesional Guru dan Kualitas Pendidikan". MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2014.
8.
Alhumami, Amich. 2013. "Guru dan Mutu Pendidikan". MEDIA INDONESIA, 8 Juli 2013.
Menggugat Kurikulum 2013 1.
Joesoef, Daoed. 2014. "Jangan Mempermainkan Pendidikan". KOMPAS, 17 September 2014.
2.
A., Doni Koesoema. 2014. "Sandera Kurikulum 2013". KOMPAS, 20 September 2014.
43
3.
Majelis Guru Besar ITB. 2013. "Pendapat Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung tentang Rancangan Kurikulum Nasional 2013". http://mgb.itb.ac.id/?p=16 diakses tanggal 30 September 2014.
4.
Misbach, Ifa H..2014. "Potret Guru Indonesia". KOMPAS, 17 September 2014.
5.
AA, Febri Hendri. 2014. "Layu Sebelum Berkembang". KOMPAS, 19 September 2014.
Riset Sebagai Ujung Tombak Perguruan Tinggi 1.
Scimagojr.com.
2014.
Country
Rankings.
Sumber
http://scimagojr.com/countryrank.php diakses pada 8 Oktober 2014. 2.
Joesoef, Daoed. 2014. "Memikir Ulang Pendidikan". KOMPAS, 7 April 2014.
3.
Suryohadiprojo, Sayidiman. 2014. "Membangun Masyarakat Gotong Royong Modern". KOMPAS, 7 April 2014.
4.
Sulistyo, Hermawan. 2013. "Riset untuk Masa Depan Bangsa". KOMPAS, 21 September 2013.
5.
Susanto, Heru. 2014. "Momentum Reformasi Riset". KOMPAS, 5 Agustus 2014.
6.
Mart, Terry. 2014. "Darurat Riset". KOMPAS, 13 Agustus 2014.
7.
Rizal, Syamsul. 2014. "Meningkatkan Kualitas Riset". KOMPAS, 5 Agustus 2014.
Pasal 33 UUD 1945 ; Mewujudkan Kemandirian Ekonomi 1.
Mubyarto (1993). Ekonomi Pancasila, Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.
44
2.
Mohammad Hatta (1977). Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Mutiara.
3.
Lemhanas
(1992).
Kewiraan
Untuk
Mahasiswa.
Jakarta
:
PT.Gramedia Pustaka Utama. 4.
Swasono, Sri Edi. Pasal 33 UUD 1945 Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah,
Boleh
Ditambah
Ayat.
http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10688 /2404/ diakses tanggal 18 September 2014. 5.
Yustika, Ahmad Erani. 2011. “Investasi dan Waralaba”. SINDO, 21 Desember 2011.
6.
Wijayanti, Dian Marta. 2013. “GBHN dan Kedaulatan Ekonomi”. KORAN JAKARTA, 18 Desember 2013.
7.
Noorsy, Ichsanuddin. 2007. “Menakar Kemandirian Ekonomi Indonesia”. INVESTOR DAILY, 16 Agustus 2007.
India, Gila ! 1.
Harian KOMPAS, 29 September 2014. Hal 15.
2.
Susanto, Heru. 2014 . "Momentum Reformasi Riset", KOMPAS, 5 Agustus 2014.
3.
Redaksi Kompas. 2013 . "Minimnya Paten di Indonesia", KOMPAS, 13 Agustus 2013.
4.
Redaksi Kompas. 2013 . "Mundur demi Komersialisasi Paten", KOMPAS, 13 Agustus 2013.
5.
Pranoto, Iwan, Ja, Gautam Kumar,
"Berinovasi Hemat-Cerdas",
TEMPO.CO, 1 Oktober 2014.
45
RIWAYAT PENULIS
Uruqul Nadhif Dzakiy lahir di Lamongan, Jawa Timur, pada tanggal 19 Desember 1990. Masa kecilnya Ia habiskan di kota kelahirannya. Ia lulus Sekolah Dasar dari MI Muhammadiyah 1 Sukodadi pada 2003, kemudian merantau ke kota Yogyakarta untuk melanjutkan studi di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta selama enam tahun. Ia lulus dari sekolah tersebut pada tahun 2009 dan kemudian melanjutkan studi di jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia lulus dari kampus tersebut pada Oktober 2014. Pengalaman menulis Ia dapatkan selama aktif di unit Majalah GaneshaKelompok Studi Sejarah Ekonomi Politik (MG-KSSEP) ITB. Di organisasi tersebut, Ia pernah menjadi Pemimpin Umum (PU) pada periode 2011/2012 dengan sukses menerbitkan majalah sebanyak empat edisi. Kemampuan kepenulisannya terus diasah saat menjadi peserta asrama kepemimpinan PPSDMS Nurul Fikri (2010/2012), Kepala Divisi Media Majelis Wali Amanat Wakil Mahasiswa ITB (2013/2014), dan kontributor ITB Magz (2013-sekarang). Ia pernah mendapatkan juara tiga dalam kompetisi essay nasional Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) pada Agustus 2014 silam. Lebih lanjut tentang penulis, pembaca dapat mengunjungi web pribadinya, uruqulnadhif.com.
46
47