Buku Peran Teknologi dalam Pembangunan

Page 1


Peran Teknologi dalam Pembangunan Uruqul Nadhif Dzakiy

1


PERAN TEKNOLOGI DALAM PEMBANGUNAN

Oleh : URUQUL NADHIF DZAKIY

Layout dan desain sampul : Aditya Firman Ihsan

Diterbitkan secara mandiri Boleh mengkopi/mencetak sebagian atau seluruh isi buku

www.uruqulnadhif.com

2


Daftar Isi Kata Pengantar.......................................................................................................................4 Matematika Pembangunan ..................................................................................................7 Inovasi dan Kemampuan Nasional ..................................................................................10 Ekonomi Inovasi dan Pembangunan Berkelanjutan ......................................................13 Menelaah ITB Sebagai Entrepreneurial University ........................................................16 PPT dan Upaya ITB Membumikan Teknologi ................................................................19 Tentang Profesor .................................................................................................................23 Technopark Berbasis Komunitas ......................................................................................27 Peran Teknologi dalam Pembangunan ............................................................................31 Kembali ke Pendidikan Basis Keluarga ...........................................................................33 Nasib Bahasa Indonesia dan Postmodernisme ...............................................................36 Relativisme dalam Postmodernisme ................................................................................37 Mobil Nasional Itu Bernama Proton.................................................................................39 Membumikan Nilai Islam dalam Berbangsa dan Bernegara ........................................43 Anak Muda Muhammadiyah Bijak dan Cerdas dalam Berjaring Sosial ....................48 Dasep Ahmadi dan Kado Harteknas 2015 ......................................................................57 Institut Kelautan Indonesia (IKI) ......................................................................................61 Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan tentang Lautan Nusantara ......................................61 Menjadikan Indonesia sebagai Pusat Riset Gunung dan Laut .....................................64 Saat Berkunjung ke ITB di Usia Saya ke-50 .....................................................................68 Analisis Konten Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech : Antara KUHP dengan UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ...........................71 Konflik Penambangan Pasir Besi di Kulon Progo dalam Perspektif Prinsip Feminitas dan Maskulinitas Menurut Vandana Shiva ....................................82 Potret Pedagang Asongan Mamat ..................................................................................102 dalam Konteks Realitas Pembangunan Saat Ini ...........................................................102 Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme .......................................112 Tentang Penulis .................................................................................................................124 3


Kata Pengantar

Menulis adalah salah satu upaya untuk mendomentasikan sebuah gagasan. Selain itu menulis adalah upaya kecil untuk turut serta berpartisipasi dalam membangun bangsa. Atas dasar itulah saya mencoba rutin menulis dan saya akui memang sangat berat ditengah disibukkan dengan aktivitas lain seperti kuliah dan bekerja. Buku ini adalah kumpulan tulisan pilihan saya sepanjang tahun 2014. Totalnya ada sejumlah 17 artikel dan semuanya telah penulis publikasi di berbagai media. Satu artikel dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, satu artikel sebagai artikel terbaik keempat di kompetisi blog dari PP Muhammadiyah, empat artikel dimuat di portal selasar(dot)com, dan sisanya saya publikasi di web pribadi saya uruqulnadhif(dot)com. Adapun konten tulisan adalah seputar kebijakan inovasi dan teknologi, pembangunan, pendidikan, sosial budaya, keislaman, dan politik. Beberapa artikel ditulis berdasarkan kajian pustaka baik berasal dari buku maupun artikel dari para penulis lain, diskusi dengan dosen dan teman-teman sesama mahasiswa, dan juga hasil kontempelasi. Penulis berterima kasih sekali khususnya kepada Aditya Firman atas desain sampul buku ini, juga kepada guru dan teman-teman diskusi ; Dr. Sonny Yuliar, Indra Budiman Syamwil, PhD., Dr. Muhammad Tasrif, Prof. Hendra Gunawan, Prof. Widyo Nugroho Sulasdi, Dr. Agus Ekomadyo, Difa Kusumadewi, Idhar Resmadi, Ismail Al Anshori, Anshori Muslim, Gennady Pati, Naufal Firas Lubaba, Ignatius Yudki Utama, Rahmi Khoerunisa, Abdul Haris Wirabrata, Choirul Muttaqin, Kukuh Samudra, Irfan Nasrullah, dan teman-teman kampus lain yang 4


tidak dapat penulis sebut satu per satu. Kepada teman-teman Studi Pembangunan ITB penulis juga aturkan banyak terima kasih khususnya kepada Ari Uliana, M. Hanif, Bambang, Miraya, dan Xenia yang atas diskusi dalam tugas inovasi, kami dapat mempublikasi paper perdana kami di jurnal LIPI setelah sebelumnya mengikuti konferensi internasional IPTEKIN dan ASIALICS 2015 di Yogyakarta september silam. Juga tak lupa penulis aturkan terima kasih juga kepada temanteman satu asrama PPSDMS Nurul Fikri khususnya Abdullah Kholifah, Furkon, Fahmi Atriadi, Deden Amwar, dan Taufik Nurcahyo, dan kepada teman-teman Sekolah Politik Anggaran (SEPOLA) angkatan 2015 Universitas Padjajaran serta Deni Lawang Buku. Tak lupa rasa terima kasih atas dukungan keluarga saya yang mengizinkan dan men-support penuh pendidikan saya : Ayah, Ibu, dan dua saudara saya Isni Lailatul Maghfiroh, dan Farokhah Muzayinatun Niswah. Penulis berharap di tahun 2016 lebih produktif dalam menulis khususnya di media massa cetak dan juga lebih giat menulis paper di berbagai jurnal.

Bandung, 23 Desember 2015

5


6


Matematika Pembangunan

Secara sederhana saya mendefinisikan matematika sebagai sebuah alat untuk memahami alam semesta. Asalkan ada suatu fenomene yang memiliki dinamika pasti dapat dimodelkan dengan matematika. Jadi matematika tak terkotak pada ranah sains dan engineering saja. Fenomena sosial yang memiliki dinamika mahaluas dengan melibatkan variabel superbanyak dapat dipahami dengan mudah melalui pendekatan matematika. Biarpun penyederhanaan ini mendelete aneka variabel. Salah satu alat matematika untuk memahami fenomena sosial adalah dengan system dynamics. Saya tidak akan menceritakan panjang lebar terkait tool ini. Poin kedua, pembangunan. Saya definisikan pembangunan sebagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstusi nasional yang sangat kompleks dan dalam pengkajiannya dibutuhkan multidisiplin keilmuan. Definisi diatas saya dapatkan dari kuliah Widyo Sulasdi (2015). Kekompleksan suatu fenomena dapat diurai dengan pertama kali mengidentifikasi unsur-unsurnya. Unsur yang dimaksud merupakan suatu komponen penyusun fenomena yang keberadaannya tak dapat dihapus karena saking pentingnya. Tingkat "penting" sangat bergantung pada model mental masing-masing pendefinisi. Sangat subjektif memang. Namun, biarpun sangat subjektif harus dapat diuji dimana sang pendefinisi kudu mampu menjawab beyond the element alias menjawab pertanyaan "why". Bayangkan seberapa banyak komponen dari suatu fenomena pembangunan. Sebagai contoh mudahnya, fenomena gagalnya mahasiswa A menembak mahasiswi B. Dalam model mental saya, fenomena cinta seorang mahasiswa adalah fenomena pembangunan. Bayangkan seorang mahasiswa yang bercinta dan 7


akhirnya menikah akan mengalami dinamika yang menarik seperti halnya ngobrol masalah Rumah Tangga sampai negara bahkan dunia. Tidak hanya ngobrol, bahkan aksi seperti halnya jalan-jalan manjat gunung atau sekedar refreshing di Freeport trus ditambah aksi membuat gerakan seperti gerakan mahasiswa jomblo merdeka bangun desa. Ini jelas berimbas pada pembangunan. Oke, kembali ke poin fenomena gagalnya mahasiswa A menembak mahasiswi B. Fenomena tersebut

libatkan

aneka

unsur

penting

:

lama

mengenal,

tingkat

kegantengan/kecantikan, pengalaman bercinta, kesiapan bercinta, tingkat ke-PDan, dan strategi menembak. Terkait hal ini jika ada waktu dan tidak malas, saya pengen buat modelnya. Rumus Pembangunan Jika

fenomena

gagalnya

bercinta

saja

kompoleks, jelas fenomena

pembangunan suatu negara lebih kompleks lagi. Dalam kuliah Ekonomi Pembangunan lanjut dimana didekati dengan pendekatan sistem, Tasrif (2015) jelaskan bahwa pembangunan (development) didefinisikan oleh : đ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇđ??ˇ = đ?‘Ąđ?‘Ąđ?‘Ąâ„Žđ?‘›đ?‘›đ?‘›đ?‘›đ?‘›đ?‘› đ?‘Ľ đ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Žđ?‘Ž đ?‘Ľ đ?‘&#x;đ?‘&#x;đ?‘&#x;đ?‘&#x;đ?‘&#x;đ?‘&#x;đ?‘&#x;đ?‘&#x; Definisi diatas menceritakan bahwa pembangunan itu diperoleh mulai kombinasi yang harmoni antara teknologi, dukungan subjek pembangunan (dalam konteks negara : rakyat), dan sumber daya. Tanda kali (multiple) mengandung makna bahwa jika salah satu komponen bernilai nol (tidak ada sama sekali) maka bisa dipastikan pembangunan tidak akan terjadi. Kembali ke persolan gagalnya bercinta diatas. Jika mahasiswa A dan mahasiswi B ada (resource =1), keduanya saling suka dalam diam (acceptance = 1), namun malu untuk sekedar say hello (technology=0), maka jelas percintaan tak akan pernah terjadi (Development = 0). Maka ketiga elemen tersebut bisa disebut elementer dalam pembangunan.

8


Kembali ke persolan pembangunan yang lebih luas yakni dalam skala negara,. Mengidentifikasi unsur-unsur penyusun technology, acceptance, dan resource jelas sangat rumit dan kompleks. Ini jelas dibutuhkan analisis yang mendalam guna nantinya didapatkan perilaku (behavior) yang representatif. Dalam modeling terkait hal ini akan digunakan pendekatan system dynamics. Salah satu keunggulan metode ini adalah mampu menggambarkan keterkaitan antar elemen untuk kemudian diamati perilakunya. Selain itu, alat ini mampu menerobos dinding pembatas antarkeilmuan, jadi tidak terkotak-kotak.

9


Inovasi dan Kemampuan Nasional Masalah utama peningkatan inovasi dan kemampuan nasional adalah dana dan pasar serta kebijakan pemerintah lain yang mendukungnya. Dana hanya tersedia apabila kita mengalokasikannya sedangkan pasar hanya akan terbentuk apabila ada keberpihakan akan penelitian, perusahaan, dan produk nasional.

Ekonomi adalah ilmu memilih seperti yang diutarakan Told G. Buchholz dalam bukunya "New Ideas From Dead Economists". Dalam buku tersebut, Told bukan memberikan petunjuk terhadap pilihan-pilihan apa yang seharusnya kita ambil melainkan membantu kita untuk mengerti konsekuensi-konsekuensi dari pilihan kita. Dalam kasus di Indonesia, kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit karena sumber daya yang ada serba terbatas. Sebagai contoh kebijakan energi nasional. Pilihan menghapus subsidi BBM adalah pilihan sulit untuk merespon pembangunan meliputi peningkatan kesejahteraan dan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, inovasi dan kemampuan nasional. Penghematan juga bisa diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya. Seperti topik tulisan ini, inovasi berperan penting dalam pembangunan. Seperti yang digambarkan dalam Causal Loop Diagram 1 berikut :

Causal Loop Diagram adalah sebuah diagram sebab-akibat yang membantu dalam memvisualisasikan bagaimana variabel-variabel yang berbeda dalam sebuah sistem saling berkaitan (interrelated). Untuk menentukan jika sebuah causal loop memperkuat (reinforcing, tanda +) atau menyeimbangkan (balancing, tanda -), dapat dimulai dengan sebuah asumsi. Misalkan node 1 naik diikuti kenaikan node lainnya. (sumber en.wikipedia.org dengan pandangan penulis)

1

10


SDM dan SDA

+ Produksi

+

+ + Investasi + +

Permintaan -

+ Keuntungan usaha +

+

Ilmu dan Teknologi +

Lingkungan +

-

-+ Harga

+Demokrasi

+

-

+

+ Peraturan dan + Peradilan

Birokrat +

Risiko

Biaya

+ + +Pembangunan+ + + + Anggaran pemerintah + +

+ Desentralisasi Subsidi Subsidi harga KKN

Pajak dan Bukan Pajak

Pinjaman Privatisasi Penjualan aset

Cicilan dan bunga hutang

Gambar 1 : Causal Loop Diagram Sistem Pembangunan Gambar di atas menceritakan bahwa, pembangunan disokong oleh demokrasi yang kuat, peraturan dan peradilan yang adil, investasi yang besar, lingkungan yang asri, anggaran pemerintah yang cukup, desentralisasi yang berjalan sesuai, dan ilmu dan teknologi (inovasi) yang berjalan dengan optimal. Ketujuh elemen tersebut tak dapat dipisah begitu saja, semuanya merupakan variabel yang sangat penting dalam pembangunan. Inovasi merupakan investasi yang hasilnya mungkin tidak dapat dirasakan secara cepat, namun jika pemerintah abai dengan hal ini, pembangunan akan terseok-seok yang berdampak kalahnya negara dalam persaingan global. Keberpihakan Negara Pada Inovasi Perkembangan inovasi sains dan teknologi di negeri kita masih jauh dari maju. Penyebabnya seperti yang dijelaskan dalam gambar di atas yakni karena anggaran pemerintah yang rendah, peraturan dan peradilan yang masih lemah, dan investasi baik asing maupun domestik terkait masih kecil. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa keberpihakan negara pada inovasi masih rendah sekali.

11


Inovasi adalah langkah bangsa ini untuk mandiri. Dengan menjadi negara yang mandiri, negara ini akan mampu menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Seperti halnya negara besar seperti Jepang, Rusia, India, dan Cina yang memiliki tekad kuat untuk menjadi bangsa maju, Indonesia seharusnya punya tekad yang sama. Para founding fathers kita seringkali menggembar-gemborkan ide berdikari (mandiri), gotong-royong (perduli), dan bebas aktif dan cinta damai (bersahabat). Seperti yang diajarkan oleh Bung Hatta bahwa negara berkembang seharusnya berusaha untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya. Akhirnya, peningkatan inovasi dan kemampuan nasional hanya akan berhasil apabila ada keberpihakan pemerintah serta kerja keras, cerdas, tekad untuk mandiri dan moral yang baik dari badan usaha, akademisi, dan masyarakat. Negara yang baik membutuhkan adilnya pemimpin, amalnya pengusaha, ilmunya ulama (akademisi) serta kesabaran, keperdulian, dan kerja keras dan semangat cinta tanah air masyarakatnya.

12


Ekonomi Inovasi dan Pembangunan Berkelanjutan In an era of man made brain power industries, those who win will learn to play a new game with a new rules requiring new strategies. Tomorrow's winners will have very different characteristic than today's winner" 2 Lester Thurow (Guru besar Messachussets Institute of Technology)

Dalam era industri seperti sekarang ini, para pemenang industri akan memainkan permainan baru dan tentunya dengan strategi-strategi baru. Pemenang masa depan akan memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan pemenang masa kini. Diprediksi masa depan akan kembali beralih ke belahan dunia Timur. Terlepas benar tidaknya prediksi tersebut, kita hanya bisa bersaing di era globalisasi ini jika kita dapat mempraktikkan keadilan dan moralitas dalam pembangunan masyarakat kita. Salah satu aspek yang penting dalam pembangunan adalah teknologi. Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah baik yang dapat diperbaharui (hutan, air, tanah, dsb) maupun tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, batu bara, dsb) jelas membutuhakan manusia-manusia terampil yang bisa mengelolanya sendiri. Perlu adanya upaya serius untuk itu seperti halnya mengalihkan subsidi untuk human investment seperti Research and Development (R&D). Manusia-manusia yang terampil inilah yang akan berperan besar dalam pembangunan. Mereka tak hanya Dalam era industri yang mengandalkan kekuatan otak, mereka yang menang akan belajar untuk memainkan sebuah permainan baru dengan peraturan-peraturan baru yang memerlukan stategi – strategi baru. Pemenang masa depan akan memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda dengan pemenang masa kini. 2

13


memahami pembangunan secara deterministik yakni hanya berfikir sektoral, namun mereka memiliki pola pikir kolaboratif. Sebagai contoh seorang insinyur faham akan masalah sosial, begitu pula sebaliknya. Berfikir sektoral merupakan problem krusial dalam pembangunan. Oleh karenanya, masyarakat yang sanggup berkompetisi di masa mendatang adalah masyarakat yang berkualitas. Kualitas suatu masyarakat sangat bergantung pada partisipasi warganya, seperti yang disinggung oleh William E. Deming, "Quality is only achieved if everyone believes in it, if everyone is always concerned first of all to improve their own quality at work. You get quality people trusted to work possitively for the good of the whole community" 3. Adapun yang paling penting untuk segera dibenahi di negara kita adalah jaringan komunikasi. Demokrasi, birokrasi, dan desentralisasi akan efektif dan efisien dengan adanya sistem informasi, komunikasi, serta jaringan kerja dan kontrol yang baik antara masyarakat yang concern atas kemajuan bangsa dan negaranya. Melalui sistem informasi, monitoring devisa dan pengontrolan imigrasi hanya dapat dilakukan dengan baik. Korupsi pun bisa ditekan karena transparansi telah dilalukan. Epilog Keberlanjutan pembangunan di masa depan jelas diperlukan manusiamanusia unggul yang dapat memecahkan masalah dunia yang semakin kompleks. Salah satu bukti keunggulan manusia adalah tidak terbuktinya prediksi Klub Roma terkait kelangkaan sumber daya alam yang menjadikan manusia sangat menderita (doomstay) pada 2000 4. Berkat kecerdasan otak, manusia dapat menemukan sumber

Kualitas hanya dicapai jika setiap orang percaya padanya, jika setiap orang selalu mempunyai perhatian utama untuk meningkatkankualitasnya di tempat kerja. Anda memperoleh kualitas dari orang-orang yang berkualitas yang dipercaya untuk bekerja secara positif demi kebaikan seluruh rakyat. 4 Prediksi Club of Rome (1972) yang diterbitkan dalam buku "The Limits to Growth" karya Meadows dkk. 3

14


daya terbarukan yang dapat menjadi subtitusi dari ketergantungan terhadap sumber daya fosil. Juga selain itu diperlukan manusia yang menjunjung tinggi moralitas. Melalui inilah pembangunan diabdikan hanya semata-mata untuk kemaslahatan seluruh umat manusia, bukan untuk mencari pengaruh politik dunia semata.

15


Menelaah ITB Sebagai Entrepreneurial University

Beberapa bulan yang lalu, civitas akademika Institut Teknologi Bandung (ITB) baru saja memilih Kadarsah Suryadi sebagai rektor baru periode 2014/2019 menggantikan Akhmaloka yang jabatannya berakhir. Terpilihnya Kadarsah menarik untuk disimak terutama terkait dengan visi-misi dan program kerja yang akan dilakukan dalam periode lima tahun mendatang. Sebagai kampus teknik tertua di Indonesia, ITB melalui kepemimpinan Kadarsah diharapkan mampu menjadi kampus penyelesai berbagai masalah Indonesia khususnya di bidang sains, teknologi, dan seni. Saat maju sebagai salah satu kandidat rektor ITB, Kadarsah membawa visi mewujudukan entrepreneurial university di lingkungan kampus ITB. Menurut Kadarsah entrepreneurial university dapat diwujudkan melalu lima hal. Pertama, peningkatan publikasi ilmiah pada jurnal dan forum ilmiah bereputasi. Kedua, peningkatan jumlah paten, prototype, dan karya kreatif serta penerapannya. Ketiga, peningkatan pendanaan kegiatan penelitian Kelompok Keahlian. Keempat, reorientasi fokus penelitian yang berhubungan dengan sektor unggulan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia seperti teknologi maritim/kelautan, biodiversity dan ring of fire, serta yang berhubungan dengan sektor kehidupan yang mendesak diselesaikan

dalam

jangka

pendek

seperti

teknologi

untuk

pengentasan

kemiskinan, ketahanan pangan, ketahanan air dan obat-obatan, teknologi kesehatan, energi baru dan terbarukan, teknologi informasi dan komunikasi, terknologi transportasi, kewilayahan, infrastruktur, material, produk budaya serta lingkungan.

16


Merujuk Inti Entrepreneurial University Sepintas melihat rencana program kerja Kadarsah di atas sangat mendukung dalam mewujudkan ITB sebagai entrepreneurial university. Namun, sejatinya paparan program Kadarsah di atas hanyalah sebagian dari beberapa poin penting terkait konsep entrepreneurial university. Artinya konsep entrepreneurial university ala Kadarsah kurang lengkap. Merujuk buku yang dibuat oleh Direktur Triple Helix Research Group di Newcastle University Business School UK, Henry Etzkowitz, yang berjudul The Triple Helix, disebutkan bahwa entrepreneurial university adalah bentuk dari kapitalisasi pengetahuan (capitalization of knowledge). Ia menjadi kemudi (driver) dari konsep triple helix. Triple helix sendiri merupakan interaksi yang sangat terkait antara universitas, industri dan pemerintah. Lebih lanjut, Henry memaparkan lima norma entrepreneurial university. Pertama, kapitalisasi. Kapitalisasi pengetahuan menjadi dasar untuk ekonomi dan pembangunan yaitu sebagai upaya untuk memperbesar peran universitas dalam masyarakat. Kedua, Kesalingberhubungan (interdependence). Entrepreneurial university berinteraksi secara dekat dengan industri dan pemerintah dan tidak menjadi menara gading bagi masyarakat. Ketiga, mandiri. Entrepreneurial university merupakan institusi yang secara relatif mandiri. Ia tidak bergantung dengan lingkungan institusi lainnya. Keempat, perkawinan silang

(hybridization).

Ketegangan

antara

prinsip

kesalingbergantungan

(interdependence) dan mandiri (independence) memunculkan daya pendorong sebagai upaya mewujudkan format organisasi perkawinan silang

(hybrid) untuk

merealisasikan secara serentak keduanya secara objektif. Kelima, refleksivitas yaitu melanjutkan renovasi struktur internal dari universitas sebagai relasinya terhadap perubahan industri dan pemerintah. Norma di atas ditambah Pertama,

kepemimpinan

empat pilar entrepreneurial university berikut.

akademik

yang

mampu

memformulasikan

dan 17


mengimplementasikan sebuah visi strategis. Kedua, kontrol hukum (legal control) pada sumber daya akademik, mencakup properti fisik seperti gedung universitas dan intellectual property yang memancar dari riset. Ketiga, kapasitas organisasi untuk mentransfer teknologi melalui paten, lisensi, dan inkubasi. Keempat, sebuah etos entrepreneurship di antara pengelola, fakultas, dan mahasiswa. Langkah ke Depan Program kerja yang akan dilakukan Kadarsah belum cukup untuk menjawab visi entrepreneurial university. Penerapan hasil riset (paten, prototype, karya kreatif) sangatlah kurang dalam menjadikan ITB sebagai entrepreneurial university. Lebih lanjut dibutuhkan kepemimpinan dan etos kerja entrepreneurship di kalangan pimpinan kampus. Juga ditambah dengan lima norma entrepreneurial university yang telah penulis paparkan di muka. Dengan ini diharapkan ITB menjadi entrepreneurial university yang mampu menjawab berbagai tantangan bangsa khususnya di bidang sains, teknologi, dan seni.

18


PPT dan Upaya ITB Membumikan Teknologi

Mungkin Anda sekalian baru pertama mendengar kata PPT. PPT adalah singkatan dari Pusat Penelitian Teknologi yang berdiri pada tahun 1973. Lembaga ini berdiri seperti yang diungkapkan Kusmayanto Kadiman adalah sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan dan menjaga kelestarian alam melalui inovasi teknologi. Namun sayang dalam keberjalanannya, lembaga ini harus bubar entah karena sebab apa. Biarpun demikian, serpihan-serpihan ideologis lembaga ini tersebar ke berbagai lembaga lain seperti jurusan Magister Studi Pembangunan (MSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), dan Lembaga Pengembangan Inovasi, dan Kewirausahaan (LPIK). Biarpun PPT secara fisik sudah tidak ada, menarik untuk mengulas sejarah singkat berdirinya lembaga ini dan juga karya serta ide-ide yang telah diusungnya selama ini. Pusat Penelitian Teknologi ITB hadir dalam peralihan Orde Lama-Orde Baru. Peralihan ini dinilai sebagai penulis sebagai fase yang belum tuntas dalam pembangunan bangsa secara keseluruhan. Orde lama menekankan pada character building setelah bangsa Indonesia ratusan tahun dijajah oleh bangsa asing, sementara itu Orde Baru menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Jelas dua hal ini tak dapat berjalanan beriringan. Akibatnya pendidikan karakter demi mewujudkan bangsa Indonesia yang percaya diri dan maju menjadi tersendat. Di zaman Orba budaya sendiko dawuh (menaati peraturan) menjadi faham yang lumrah di masyarakat. Mayoritas masyarakat enggan untuk berubah (berinovasi, berwirausaha, menjadi intelektual kritis) dan lebih memilih 'status quo'.

19


Dampak lain dari penjajahan adalah sikap meremehkan kualitas. Orang senatiasa menganggap sinis atas penemuan-penemuan baru yang didasarkan pada intelektual. Seperti yang diungkapkan oleh Koetjaningrat bahwa mentalitas meremehkan mutu adalah akibat dari kemelaratan yang melindis kita semasa penjajahan. Selain itu, lanjut Koetjaningrat mentalitas mencapai tujuan secepatnya tanpa mau menempuh jenjang demi jenjang (mentalitas menerabas) adalah mentalitas lain akibat penjahan. Nampaknya mentalitas tersebut masih terjadi sampai detik ini dimana ijazah palsu merebak, plagiat di Perguruan Tinggi, korupsi,

nepotisme,

dan

sebagainya.Padahal

kemerdekaan

sejati

adalah

kemerdekaan yang memerlukan pencerahan atau penyadaran seperti yang diungkapkan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas. Pendirian PPT Keadaan mental terjajah (inlander) bangsa ini disikapi oleh ITB dengan mendirikan lembaga yang diberi nama Pusat Penelitian Teknologi (PPT). Pendirian PPT diawali dengan keadaan kesejahteraan dan kemampuan wirausaha masyarakat di akhir 60-an dan di awal 70-an begitu memprihatinkan. Mental sendiko dawuh membuat bangsa ini bersikap pasif karena hanya menunggu instruksi atasan yang sebagian besar orang Belanda. Seperti dalam dunia keinsinyuran dimana kita masih harus banyak bergantung pada kebaikan hati para insinyur dari Belanda. PPT menangkap fenomena demikian dengan mengusung ide mensejahterakan masyarakat melalui inovasi teknologi. Teknologi yang dimaksud bukanlah teknologi canggih yang berkembang di negara maju saat itu melainkan teknologi tepat guna. Merujuk ide Schumacher (penulis buku Small is Beautiful), PPT memproduksi teknologi-teknologi yang berorientasi pada pensejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Saat itu, teknologi 'ferosemen' salah satu produk unggulan yang diproduksi PPT. Melihat produksi hardware tidak cukup, PPT memberikan seminar-seminar kewirausahaan 20


yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun sayang, dua program ini tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat akibat sikap pesimis di kalangan mereka yang merebak. Sebagai contoh ide kapal 'foresmen' dianggap masyarakat serupa dengan batu dan batu akan tenggelam di air. Logis tapi sejatinya para masyarakat tersebut lupa bahwa serupa batu belum tentu sama nasibnya. Meredupnya Kiprah PPT Selain masalah klasik keterbatasan dana, masalah lain yang muncul yakni kebijakan Orba yang lebih menekankan pada teknologi yang cepat hasilkan keuntungkan dipandang sebagai faktor yang berpengaruh. Imbasnya teknologi tepat guna yang secara keekonomian hanya berimbas pada masyarakat tertentu tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya produk hardware yang dikembangkan PPT tak lagi menjadi kefokusan. PPT kembangkan teknologi dari aspek software dan humanware saja demi upaya untuk survive. Hal inilah yang menunjukkan kerancuan dari visi PPT. Dalam sebuah obrolan dengan Sonny Yuliar, Ia mengungkapkan bahwa lembaga PPT saat ini sudah tidak ada. Namun, lembaga-lembaga lain yang idenya sama dengan PPT muncul seperti Magister Studi Pembangunan (MSP), Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK), dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Biarpun nilai dasar PPT masuk dalam lembagalembaga tersebut di atas namun jelas tidak sepadan dengan PPT di awal-awal pembentukannya. PPT seakan mengikuti siapa yang menjadi pimpinanannya saat itu. Pada masa Filino, titik berat pengembangan teknologi adalah pada teknologi tepat guna yang didukung dengan pelatihan penggunaan teknologi dan pengembangan kewirausahaan. Pada masa Bambang Bintoro, PPT memperluas ruang geraknya ke bidang perancangan wilayah dan transmigrasi. Sejak masa Gede Raka, penelitian 21


di bidang hardware menurun intensitasnya. PPT banyak memusatkan perhatian pada pengembangan industri kecil, khususnya dari manajemen dan SDM-nya. Susahnya menentuan peran ini diakui oleh pendiri PPT, Sudjana Sapiie. Beliau mempersoakan kejelasan peran yang hendak dimainkan PPT dalam dua hal ; pertama, ruang lingkup dan kedua, fungsi yang akan dijalankan. Pada tahun 1998 ketika buku ini diterbitkan PPT masih berdiri, namun berdasarkan info dari salah satu penulis buku, Sonny Yuliar, PPT saat ini sudah tidak ada. Sejak kapan PPT dibubarkan penulis belum mencari tahu. Melanjutkan Semangat PPT Kita bersama-sama mengenal Tri Dharma Perguruan Tinggi yang didalamnya memuat pengabdian masyarakat. PPT hadir untuk itu. Pengabdian masyarakat dimaknai oleh PPT sebagai pemberdayaan masyarakat dimana masyarakat

dikatakan

berdaya

jika

dia

mampu

berwirausaha

dengan

memanfaatkan teknologi. Teknologi ini bukan sekadar alat (tools) atau produk (product). Teknologi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Anggapan bahwa teknologi sekedar alat eksternal akan membawa kita pada kekosongan makna teknologi itu sendiri. Oleh karenanya teknologi itu mestilah alat yang internal. Teknologi sebagai produk internal berarti teknologi adalah pola pikir (mindset). Pola pikir ini menandakan bahwa teknologi merupakan kegiatan intelektual. Jadi, upaya perwujudan masyarakat teknologi berarti pembenahan intelektual masyarakat tersebut. Dalam bahasa ideologis, perwujudan masyarakat teknologi merupakan upaya mewujudkan character building. Ide besar ini merupakan terkesan abstrak namun inilah roh bagi segenap bangsa yang ingin maju.

22


Tentang Profesor

Dalam minggu-minggu terakhir ini, pembahasan tentang profesor mengemuka di harian KOMPAS. Pada 6 November 2015, Agus Suwignyo menulis dengan judul "Menggugat Profesor". Seminggu kemudian pada 11 November 2015, Terry Mart menulis dengan judul hampir sama "Menggugat Kinerja Profesor", dan pada hari ini 14 November 2015, Hendra Gunawan menulis dengan judul "Profesor untuk Apa?". Mereka semua adalah dosen senior dari masing-masing kampusnya (UGM, UI, dan ITB), dan dua diantaranya adalah guru besar. Saya menangkap inti dari ketiga tulisan itu adalah untuk memperbaiki kualitas profesor di tanah air ini sehingga berimplikasi pada meningkatnya kualitas lembaga akademik khususnya Perguruan Tinggi. Namun, alangkah tidak adilnya jika kita memakai ketiga tulisan tersebut sebagai satu-satunya landasan kita menilai kinerja profesor. Maka, sebagai seorang mahasiswa yang pernah dan sedang dibimbing oleh profesor dalam tugas akhir dan tesis, saya merasa punya peranan untuk menanggapi tentang kinerja profesor guna pembaca mendapatkan perspektif yang berbeda. Agus Suwignyo katakan bahwa banyak dari profesor yang terjebak dalam hal-hal administratif yang mengganggu kegiatan intinya untuk meneliti dan membimbing mahasiswa. Ia sodorkan solusi untuk bagaimana dua mahasiswa pascasarjana yang dibimbingnya setiap tahun untuk mempublikasikan karya ilmiahnya ke jurnal internasional disamping para profesor ini melakukan hal serupa minimal sekali setahun. Pendapat senada disampaikan Terry Mart hanya saja ia menambahi untuk menempatkan setiap profesor dalam sebuah kelompok penelitian sebagai ketua di samping mengajar program pascasarjana. Di sana para profesor ini diharapkan mampu menghasilkan produk riset berdasarkan kriteria baku universitas kelas dunia. Solusi kedua yang disampaikan Terry adalah memanfaatkan definisi profesor paripurna sesuai dengan UU No 14/2005 tentang 23


guru dan dosen. Sedangkan menurut Hendra Gunawan, ketiadaan apresiasi di perguruan tinggi atas kinerja keilmuan para akedemikusnya termasuk di dalamnya profesor menjadi satu hal yang perlu disoroti tentang masalah mutu profesor. Ia kemudian mengutip pendapatan salah satu pelopor Perguruan Tinggi, Kalapaking, bahwa baik buruknya mutu universitas terutama bergantung pada pemilihan orang-orang yang dijadikan guru besar (baca profesor). Masalah Sistemik Berbagai pendapat yang dilontarkan para dosen di atas memang cukup bisa menjawab akan upaya meningkatkan kualitas profesor. Namun, bagi saya itu belum cukup karena pada hakikatnya belum menjawab persoalan inti persoalan Perguruan Tinggi. Secara fundamental, universitas di Indonesia diselenggarakan untuk

dapat

mewujudkan tridharma

perguruan

Tinggi

yang

mencakup

Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian masyarakat. Jika diperas lebih dalam, kampus didesain untuk bagaimana para civitas akademikanya yang mencakup dosen dan juga mahasiswa bergairah dalam belajar termasuk dididalamnya meneliti. Kampus berbeda dengan sekolah yang hanya sekedar mengajar an sich. Kampus memiliki tugas berat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atau dalam istilah lain riset. Inilah jati diri dari sebuah perguruan tinggi. Sekarang berapa banyak kampus yang memiliki misi betul-betul sebagai Perguruan Tinggi Riset ? Saya katakan sangat minim. Banyak kampus-kampus yang memiliki jargon World Class University, Research University, Entrepreneurial University, dan berbagai jargon lain yang bombastis, namun bagi saya itu jargon kosong. Mengapa ? Karena jika dikejar lebih lanjut bagaimana upaya merealisasikannya, tidak banyak yang bisa jelaskan. Ada yang menjawab dengan bagaimana kampus-kampus ini berlomba-lomba mengirimkan karya-karya ilmiah di berbagai jurnal berindeks seperti scopus, dan ada juga yang membuat lembaga khusus untuk meningkatkan peringkat kampusnya di sistem peringkatan 24


internasional sepeti webomatics. Sementara itu kegiatan pendidikan di kelas dan luar kelas tidak berbeda sama sekali, juga labolatorium yang dipakai sudah berusia puluhan tahun. Saya pernah dapat cerita dari senior bahwa, ada dosen senior yang memakai data lama yang sama sekali tidak akurat dan itu berulangkali disodorkan ke mahasiswanya. Ini tak lain karena alat lab tidak memungkinkan untuk dapatkan data baru. Ada lagi yang mengeluhkan akan semakin tidak idealya proporsi antara dosen dan mahasiswa. Jumlah kelas tetap, namun setiap tahun kampus dituntut Dikti (kini Kemenristekdikti) untuk menambah jumlah mahasiswanya. Mahasiswa yang ditambah itu bukan mahasiswa magister atau doktoral, namun justru mahasiswa sarjana. Bahkan menurut cerita dosen saya, jumlah mahasiswa doktoral di ITB setiap tahunnya mengalami penurunan. Kondisi di lapangan demikian yang membuat saya semakin yakin bahwa masalah peningkatan kualitas perguruan Tinggi adalah masalah sistemik. Jika masalah fundamental seperti yang saya sebutkan diatas belum dapat diatasi oleh kampus lantas cukupkah kita berharap dengan kinerja apik dari profesor ?. Saya katakan tidak. Sehebat-hebatnya profesor dengan produktivitas tinggi dalam hal riset dan disertai dengan riset-riset yang bermutu, namun jika budaya riset di kampus lemah akibat masalah fundamental seperti lab maka upaya untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi akan sia-sia. Pemeringkatan Perguruan Tinggi itu adalah akibat dari bagusnya manajemen Perguruan Tinggi khususnya dalam hal riset. Bukan itu yang dikejar melainkan hal yang lebih fundamental yakni budaya ilmiah (riset) itu sendiri. Kita tidak dapat menggantungkan Perguran Tinggi hanya pada profesornya. Membuat Arah Riset Budaya ilmiah khususnya riset di lembaga pendidikan tinggi khususnya universitas ternyata belum baik. Banyak kampus yang hanya melakukan formalitas mengajar semata. Banyak juga yang melakukan riset namun melakukannya sebatas 25


untuk mememuhi syarat kelulusan. Inilah hal fundamental yang harus diatasi oleh masing-masing

kampus

dan

juga

Kemenristekdikti.

Khusus

untuk

Kemenristekdikti, seharusnya membuat manajemen riset yang apik dari berbagai lembaga penelitian seperti Perguruan Tinggi, LIPI, dan lain sebagainya. Peran dari masing-masing lembaga tersebut seringkali tidak jelas. Ada lembaga yang meriset tentang A, lembaga yang lain juga tentang A dan ironisnya hasilnya juga sama. Lantas jika ini terjadi di banyak sekali penelitian, bukannya penelitian tersebut akan mubazir ?. Manajemen riset yang dimaksud membuat arahan riset secara makro. Di bidang-bidang mana lembaga penelitian Indonesia dapat leading dibandingkan dengan negara-negara lain. Selanjutnya ditentukan peran masing-masing lembaga terkait riset. Sebagai contoh LIPI bertugas memonitoring perkembangan riset lembaga riset lain dan menjadi rujukan jika terjadi ketidakberesan dalam menjalankan riset seperti yang dilakukan LIPI-ya Jepang. Langkah lain yang krusial untuk dapat dilakukan adalah membuat bank data riset satu pintu. Dari sini kita dapat mengetahui akan karya-karya ilmiah dari semua lembaga riset yang ada Indonesia. Langkah ini juga bisa membantu mereduksi plagiasi yangs sering terjadi akhir-akhir ini. Artikel ini pertama kali dimuat di selasar(dot)com pada 16 November 2015

26


Technopark Berbasis Komunitas

Bandung kaya akan komunitas mulai dari seni, budaya, sampai komunitas bisnis startup. Berkembangnya aneka komunitas sebagai salah satu pertanda bahwa warga Bandung amat menyukai kebersamaan. Dari sekian banyak komunitas di Bandung, saya hanya akan menyoroti komunitas startup bisnis khususnya yang bergerak dalam bidang teknologi. Para startup ini bergerak dalam berbagai macam domain bisnis mulai dari IT, ecommerce, fashion, seni, dan sebagainya yang umumnya skala mikro dan menengah. Para pelakunya banyak dari golongan kaum muda jebolan universitas-universitas terkemuka dari Bandung ataupun luar Bandung. Bahkan ada perusahaan startup IT seperti Suitmedia yang sengaja membuka kantornya di Bandung. Kota kembang ini disebut cocok untuk dijadikan lokasi kantor perusahaan melihat secara geografis sangat mendukung dengan udaranya yang relatif sejuk dan tidak sebising kota-kota besar lain seperti Jakarta. Menghubungkan Komunitas Salah satu tantangan bagi para startup bisnis adalah inovasi. Bagaimana ia dapat lakukan terobosan dalam produk yang dihasilkan maupun sistem bisnis yang dijalankan selama ini. Biasanya perusahaan startup gulung tikar karena tidak menguasai hal tersebut yang akibatnya kalah bersaing. Kemampuan inovasi setiap perusahaan tidaklah sama. Ini sangat bergantung dengan kecepatannya belajar membaca pasar. Sumber-sumber pembelajaran pun tak semua perusahaan startup miliki. Bandung memang memiliki ITB sebagai kampus teknologi, namun kampus gajah ini tidak secara otomatis dijadikan sumber pembelajaran perusahaan startup. ITB biapun memiliki Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) 27


sebagai pusat inkubasi bisnis, namun karena belum adanya kerjasama dengan Pemerintah kota Bandung, hubungan erat antara kampus ini dan perusahaan startup belum terjadi. Kota Bandung dalam periode Ridwan Kamil berencana membangun semacam technopark di Gedebage. Pertanyaan besarnya, hadirnya wadah berkumpulnya perusahaan teknologi tersebut untuk siapa. Apakah untuk para perusahaan startup yang para pendirinya adalah banyak dari anak bangsa sendiri khususnya anak muda, atau untuk para perusahaan asing. Saya kira Pemkot yang baik pasti lebih mementingkan warganya tak melulu mengejar pedapatan daerah. Dalam

konteks

ini,

Pemda

kota

Bandung

men-support

warganya

yang

berkecimpung di dunia bisnis startup untuk lebih dapat meningkatkan produk dan manajemen bisnisnya sehingga siap hadapi persaingan global apalagi tak lama lagi akan ada Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jika memang keberpihakan Pemkot total untuk warganya, maka saya akan kembali menyoroti urgensi pemilihan lokasi technopark. Jejaring Satu masalah krusial para pebisnis startup adalah jejaring dengan kemudahan untuk spin-off dengan perusahaan lain. Masalahnya sekarang dalam pembentukan jejaring mereka harus mencari sendiri. Tidak semua perusahaan memiliki jejaring yang bagus dengan investor atau calon market. Katakan produk dari perusahaan A sangat worthed, namun karena kurangnya kemampuan membaca pasar akibatnya tak lama perusahaan tersebut gulung tikar. Pemkot bisa masuk disitu dengan menginiasi suatu wadah untuk menjembatani para startup berkolaborasi dan dapat menciptakan pasarnya sendiri. Masalah krusial kedua adalah inovasi produk. Tidak semua perusahaan startup mampu melakukan inovasi produk yang sesuai dengan kondisi pasar. Ini tak lain karena jam terbang mereka belum banyak. Padahal kecepatan dan ketepatan inovasi produk 28


khususnya produk teknologi mutlak diperlukan karena persaingan biasanya hadir di produk-produk dari luar negeri. Technopark Berbasis Komunitas Dua masalah krusial diatas seharusnya dikaji secara mendalam oleh Pemkot Bandung sebelum mengaplikasikan gagasan sebuah technopark. Artinya technopark yang ada nantinya merupakan jawaban dari berbagai kebutuhan mendasar para perusahaan startup yang ada, bukan malah menjadi beban baru bagi mereka. Pertama yang dapat dilakukan Pemkot adalah mengidentifikasi berapa banyak komunitas yang bergerak di bisnis teknologi, mengadakan pertemuan

untuk

menganalisis

kebutuhan,

baru

kemudian

mendirikan

technopark. Jadi berdirinya technopark ini berasal dari para perusahaan startup itu sendiri dengan dimediasi oleh Pemkot. Dalam teknik pelaksanaannya, Pemkot bisa melibatkan kampus-kampus ataupun lembaga-lembaga inovasi yang ada di kota Bandung. Selain itu, pemilihan lokasi technopark pun atas persetujuan berbagai komunitas perusahaan startup. Dengan begitu technopark yang ada nantinya bisa berlanjut di masa yang akan datang (sustainable). Pemkot Bandung bisa mengikutsertakan kampus-kampus bidang teknologi dan juga lembaga inovasi lain untuk membangun bersama-sama technopark. Lembaga-lembaga ini dapat menjadi mentoring bidang inovasi produk atau marketing produk yang menjadi persoalan dasar bagi para perusahaan startup sepeti penulis jelaskan di atas. Hadirnya technopark diharapkan menjadi stimulus untuk berinovasi bagi para anggotanya (creative milieu) dan juga menjadi wahana keguyuban bagi para perusahaan startup. Disana para perusahaan bisa saling membantu menyelesaikan persoalan yang ada. Kekuatan informal itulah yang justru menjadi roh penyemangat

tersendiri

bagi

insan

pelaku

bisnis

startup

untuk

dapat

meningkatkan kualitas perusahaan. 29


Dengan kerjasama yang kuat antara Pemkot kota Bandung, para perusahaan startup, dan juga lembaga pendidikan dan riset seperti kampus diharapkan akan muncul kesadaran yang lebih luas akan pentingnya bisnis teknologi di kota Bandung. Pada akhirnya, Bandung Silicon Valley, Bandung Digital Valley dan berbagai istilah lain tentang Bandung tak lagi sekedar jargon belaka tetapi memang istilah itu muncul dari masyarakat Indonesia bahkan dunia secara luas. Orang-orang mengenal Bandung tidak hanya kota kuliner dan pariwisata, melainkan juga kota teknologi. Semua itu hendak diciptakan untuk mewujudkan masyarakat Bandung yang cerdas (knowledge-based society), yang dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia.

Artikel ini pertama kali dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat pada 18 November 2015

30


Peran Teknologi dalam Pembangunan

Pembangunan

pada

hakikatnya

tak

hanya

sekedar

membicarakan

pertumbuhan ekonomi namun sejatinya merupakan perubahan membangun untuk melakukan perubahan ke arah keadaan yang diinginkan (Sasmojo, Jurnal Studi Pembangunan, Desember 1999). Dalam konteks sebuah negara, pembangunan dilakukan untuk menjawab tujuan sebuah negara. Indonesia menggambarkan tujuannya dalam Undang-Undang Dasar yang teknis pelaksanaannya diatur oleh Undang-Undang

dan

turunan-turunannya.

Maka,

rujukan

utama

dalam

pembangunan nasional harus ke sana. Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2002, teknologi didefinisikan sebagai cara atau metode serta proses atau produk yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Berarti jika dikombinasikan dengan mukaddimah UUD berarti teknologi digunakan untuk merealisasikan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dari sini dapat disimpulkan bahwa teknologi digunakan untuk menjawab pembangunan yang sangat multidimensional yang tidak sekedar dimensi ekonomi an sich. Biarpun demikian, faktor ekonomi bisa dikatakan faktor kunci setelah politik dalam menggerakkan proses pembangunan. Faktor ekonomi diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB) dimana didefinisikan sebagai penjumlahan antara investasi, konsumsi, belanja negara, dan Selisih antara ekspor-impor. Dalam kasus Indonesia, pertumbuhan PDB kita seringkali dipicu oleh konsumsi. Adapun faktor ekspor-impor Indonesia rendah. Fakta menujukkan bahwa kegiatan ekspor Indonesia masih didominasi komoditas sawit, batubara, dan sumber daya alam lain, padahal harga komoditas mentahan 31


tersebut ditentukan secara internasional. Artinya, kegiatan ekspor kita masihlah bertumpu pada sumber daya alam (resource-based), padahal untuk menaikkan nilai jual suatu sumber daya diperlukan penambahan nilai (added-value) yang mana itu hanya dapat dilakukan dengan teknologi. Dalam istilah lain penggunaan teknologi dalam pengelolaan sumber daya disebut industrialisasi. Melihat realita di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan industrialisasi kita sangat minimal khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam (natural resources). Merujuk pada Saeed (2002) teknologi dalam proses industrialisasi melekat pada pekerja (labour) dan modal (capital). Dari sana, merujuk pada definisi teknologi diatas bahwa pekerja yang dimaksud adalah pekerja yang memiliki keahlian khusus (skilled-labour), bukan pekerja yang hanya dapat mengoperasikan mesin. Sedangkan teknologi dalam modal berarti manajemen modal termasuk didalamnya penggunaan modal secara tepat pada jenis industri tertentu. Kita mengetahui bersama bahwa dua aspek tersebut belum menjadi semangat industri yang ada di Indonesia. Indikasi industri yang memiliki dua aspek tersebut adalah adanya Riset dan Inovasi (Research and Development) dalam prosesnya. Nyatanya sulit sekali menyebut komponen R&D dalam industri kita. Umumnya industri di Indonesia yang memiliki hal ini adalah perusahaan multnasional yang dimiliki asing. Dalam kasus pengelolaan sumber daya alam (resources) pernah diwacanakan pembuatan smelter untuk mengusahaan ekspor setengah jadi pada hasil alam tersebut, namun faktanya hal ini masih belum menjadi semangat bersama para pengambil kebijakan di republik ini. Maka, rumusan agar ekonomi kita naik dan kuat maka sumber pendapatan haruslah tak lagi bertumpu pada konsumsi namun investasi dan ekspor dan kunci dari dua hal ini adalah teknologi.

32


Kembali ke Pendidikan Basis Keluarga Dalam tulisan kali ini saya tidak akan memakai kosakata formal seperti dalam tulisan saya sebelumnya. Saya mencoba menulis gaya mengalir. Semoga ide yang ada dalam tulisan ini tidak hilang . Saya sekarang sedang menempuh pendidikan magister. Jadi saya telah menamatkan program Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Program Sarjana (S1) Universitas. Sepanjang pengalaman saya mencicipi bangku formal pendidikan di negeri ini, tentunya saya mengalami proses pendidikan yang kurang pas. Saya menggunakan parameter bahwa pendidikan itu mengajarkan moralitas disamping keterampilan (skill). Disamping itu, pendidikan harus mampu menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan di mana dia berada. Seperti yang telah disinggung di muka, aspek pertama yang penting dalam pendidikan adalah moralitas. Melalui pendidikan, peserta didik diarahkan untuk mampu membedakan antara yang benar dan salah. Parameter benar salah adalah norma yang berkembang di masyarakat dimana umumnya diambil dari nilai-nilai agama. Proses pengajaran tak melulu dogmatis. Semakin dewasa usia, peserta didik diajak berfikir mengapa hal ini dilarang, dan hal itu diperintahkan. Norma memang tak bisa diajarkan di kelas dengan melalui berbagai buku teks pelajaran, namun

sikap

antusiasme

belajar

di

kelas

disamping

juga

monitoring

perkembangan prilaku peserta didik harus distimulus oleh para pendidik. Guru disamping sebagai pengajar juga menanamkan nilai-nilai. Dengan demikian, peserta didik yang memperoleh pendidikan formal memiliki prilaku positif sesuai dengan norma yang berkembang di masyarakat. 33


Aspek kedua adalah keterampilan (skill). Melalui pendidikan, peserta didik memiliki keterampilan khusus di bidang tertentu yang selanjutnya menjadi sebuah modal dalam menghadapi kehidupan. Keterampilan khusus ini pada akhirnya menjadi profesi dalam pekerjaan. Sekolah (terutama universitas) harus mampu mencetak lulusan yang memiliki keterampilan tertentu. Hal ini sebagai upaya menciptakan produktivitas kerja dan mengerem jumlah pengangguran. Selain itu, sekolah harus mampu mengidentifikasi keunikan tiap peserta didik dan selanjutnya mengarahkannya ke bidang yang menjadi potensi ia di kemudian hari. Berat Sebelah Ketika saya memberikan les privat kepada anak sekolahan yang mayoritas SMA, seringkali saya menanyakan kondisi pembelajaran yang ia lakukan di sekolah. Seringkali saya mendapati anak-anak yang mengeluh karena terlalu banyak tugas/Pekerjaan Rumah (PR). Juga anak-anak yang menerima apa adanya. Mereka juga menceritakan tentang jam pelajaran di kelas yang sangat padat. Ada satu sekolah yang masuk jam tujuh pagi dan pulang pada jam empat sore. Hal ini berimplikasi pada jam bermain mereka yang sangat terbatas. Dunia universitas biarpun seolah bebas namun nyatanya terkekang oleh sistem yang dibuat oleh kampus. Dunia akademik dengan tugas-tugas yang berjibun menjadikan mahasiswa gamang beraktivitas di organisasi kemahasiswaan. Salah satu implikasinya, kita bisa melihat dari aktivitas organisasi sentral kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seolah hanya sekedar rutinitas tanpa arti. Sesuatu yang diperjuangkan bias entah arahnya kemana. Melihat kenyataan di atas ditambah dengan apa yang pembaca rasakan, lembaga pendidikan kita seolah hanya mengajarkan keterampilan (skill). Moralitas yang menjadi nilai inti dari pendidikan nyatanya tak terlalu ditekankan oleh lembaga pendidikan. Bahkan ada lembaga pendidikan yang menyarankan peserta 34


didik untuk mencontek ramai-ramai saat Ujian Nasional. Dari waktu ke waktu, kita dapat menyaksikan langsung atau melalui media massa bahwa semakin banyak anak usia sekolah yang terlibat tawuran, hamil di luar nikah, pengguna narkoba, dan lain sebagainya. Semua ini tak lain salah satu sebabnya adalah pendidikan moral tak begitu berjalan di lembaga pendidikan formal kita. Memperkuat Keluarga Semakin kesini, kita tak bisa mengandalkan lembaga pendidikan formal untuk memperbaiki moral anak-anak kita. Penumbuhan moral tak lain tak bukan berawal dari keluarga. Ingat, moral tak dapat diajarkan melainkan dicontohkan. Sang Ibu mencontohkan bagaimana memulai makan dengan berdoa, sementara sang ayah mencontohkan bagaimana caranya bersikap ketika bertemu orang tua. Masih banyak contoh lainnya. Intinya, melalui basis keluargalah prilaku anak dididik dan diarahkan. Maka dari itu, fondasi keluarga harus dibentuk secara kokoh. Jika paramater moral adalah ajaran agama, maka suasana keluarga harus dibentuk sedemikian hingga sesuai dengan tuntunan agama. Jangan sampai keluarga mengarah ke broken home yang berimplikasi langsung maupun tidak langsung bagi psikologis anak. Saat ini sedang trend "Home Schooling". Saya rasa ini aksi anarkisme sebagai bentuk kritik bagi sekolah-sekolah formal yang gagal dalam "mendidik" para siswanya.

35


Nasib Bahasa Indonesia dan Postmodernisme

Salah satu output dari Sumpah Pemuda pada 1928 adalah berbahasa satu, bahasa Indonesia. Diputuskannya bahasa Indonesia jelas melalui aneka perdebatan yang cukup pelik. Pernah bahasa Jawa akan diangkat sebagai bahasa nasional, tapi toh akhirnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Dulu di awal-awal kemerdekaan, pengakademikan bahasa Indonesia dilakukan. Penggunaaan kamus bahasa Indonesia menjadi kewajiban ketika belajar bahasa Indonesia di sekolah. Saya pernah mengalaminya saat Sekolah Dasar pada 2000-an awal. Bahasa Indonesia pun dikembangkan dengan aneka ejaan, sampai akhirnya berakhir pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Namun ketika arus informasi bergulir apalagi setelah berkembangnya internet, kultur asing pun dengan mudah diakses. Bahasa yang juga bagian dari kultur pun ikut tergerus. Penyerapan bahasa asing menjadi semakin masif, namun karena lambatnya dewan bahasa, penyerapan bahasa bergerak sangat lamban. Kini, seringkali bahasa asing dipakai mentah dalam komunikasi setiap hari. Obrolan sehari-hari jadinya tak hanya menggunakan bahasa Indonesia resmi sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), melainkan juga menggunakan bahasa asing, Karena seringnya dipakai dan interferensi pemerintah yang miliki otoritas cenderung kecil bahkan tidak ada, ini menimbulkan upaya hegemonik sepeti yang diungkapkan Gramsci. Muncul aliran bahasa baru dalam komunikasi seperti halnya bahasa alay. Juga menggunakan bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) dalam komunikasi sehari-hari dianggap keren dan berkelas berhubung banyak pejabat publik (politisi, artis, akademsi, dll) yang melakukan.

36


Relativisme dalam Postmodernisme

Postmodernisme menganggap segala hal menjadi relatif. Individu menjadi kekuatan yang memiliki keunikan yang harus diberikan ruang lebih, hak-hak individu diangkat. Kebebasan individu menjadi mainstream baru. Arus ini merobohkan hak-hak komunal. Dalam konteks bahasa, bahasa Indonesia yang telah diformalkan oleh dewan bahasa dirobohkan secara perlahan dengan mengkombinasikannya dengan bahasa asing dalam komunikasi. Pemakaian bahasa ini disamping bahasa alay menjadi kebebasan individu yang harus ditoleransi. Apalagi setelah justifikasi teori postmodernisme. Fenomena ini menjadi menyebar seperti virus akibat peran media. Orang-orang yang penasaran awalnya mencoba-coba namun akhirnya menjadi kebiasaan. Lahirlah pandangan bahwa komunikasi dengan bahasa campur-campur menjadi kreativitas yang layak didukung. Fenomena vicky-sasi adalah salah satu contohnya. Dalam teori Gramsci dikatakan bahwa setiap orang akan menghegemoni orang lain. Orang yang memiliki kekuatan lebih akan dengan mudah mengalahkan orang lain yang lebih lemah. Orang yang saya tulis tersebut dapat digantikan dengan subjek lain seperti komunitas, kelompok, bahkan negara. Karena arus globalisasi dimana hegemoni Barat menyebar ke banyak hal termasuk halnya budaya dan bahasa dan arusnya lebih deras dari pada hegemoni lokal menjadikan ia lebih leading dan berada di garda depan. Bahasa pun kena dampaknya dengan semakin terkikisnya bahasa nasional dan digantikan dengan kombinasi bahasa asing.

37


Laju Hegemonik Lokal Ditambah Dalam konteks nasionalisme, arus hegemonik barat seharusnya dilawan dengan arus hegemonik lokal yang sifatnya atas dasar nasionalisme. Bahasa Indonesia harus dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi saat ini agar dapat melawan asingisasi bahasa. Stagnasi bahasa Indonesia tak boleh dibiarkan begitu saja. Dewan bahasa harus disokong untuk melakukan upaya tersebut. Mungkin perlu dengan ditambah lagi riset-riset terkait bahasa Indonesia dan akar-akar budaya nasional lain. Hasil pengembangan bahasa kudu diformalisasi sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para intelektual dan akademisi. Jika tidak dilakukan upaya serius oleh pemerintah, saya khawatir bahasa Indonesia akan dimuseumkan di suatu saat. Anak-anak cucu kita justru lebih mengenal bahasa asing dari pada bahasa ibu sendiri.

38


Mobil Nasional Itu Bernama Proton

27 Desember 2012 silam saya mewawancarai Jokowi yang saat itu sebagai Walikota Surakarta di Balaikota Surakarta. Kala itu nama Jokowi sedang hangat diperbincangkan media setelah dinilai sukses membangun kota Solo dan dikenal dekat dengan masyarakat. Beberapa bulan kemudian, Jokowi kembali menjadi perbincangan publik setelah Ia memakai mobil rakitan salah satu SMK di Solo untuk dijadikan mobil dinasnya. Mobil tersebut dinamakan Esemka. Mobil inilah salah satu faktor terpenting dalam melejitkan nama Jokowi ke pusaran kekuasaan pusat. Pada akhir 2013, Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan sejak saat itulah namanya tak pernah luput dari pemberitaan media. Mobil Esemka tersebut rumornya akan di-plot menjadi mobil nasional pada masa mendatang. Saat menjabat sebagai walikota Solo, Jokowi bahkan ikut mempromosikan mobil ini ke publik. Saat itu juga, pabrik mobil ini kebanjiran order. Namun, kabar mobil Esemka ini meredup dan cenderung tenggelam saat Jokowi menduduki jabatan Gubernur DKI. Pada akhirnya kita mafhum bahwa isu mobil Esemka hanyalah sebagai kendaraan politik Jokowi untuk meraih kekuasaan. Publik pada akhirnya tahu bahwa mobil ini sekedar rakitan bukan produksi asli anak bangsa. Ibarat bongkar pasang, orderdil mobil dirangkai menjadi satu mobil utuh oleh anak SMK. Ternyata Bukan Esemka Namun Proton Sangat disayangkan mobil esemka yang diproyeksikan sebagai mobil nasional sekedar sebagai pencitraan Jokowi untuk meraih kekuasaan. Melalui mobil ini, Jokowi dicitrakan sebagai figur yang menjunjung kemandirian bangsa menuju bangsa yang besar dan disegani dunia. Padahal itu sekedar tipuan setelah 39


ditelusuri lebih jauh ternyata sekedar mobil rakitan. Banyak pihak yang kecewa, namun saya rasa banyak pihak yang sekedar mengikuti arus media. Media menggiring opini publik untuk bersimpati kepada Jokowi, untuk loyal kepada Jokowi. Pada 2014, Jokowi mundur sebagai Gubernur DKI untuk maju sebagai calon Presiden RI dan Ia terpilih. Salah satu tagline Jokowi saat maju sebagai Presiden RI adalah menjunjung tinggi kemandirian bangsa. Ditengah keributan KPK-Polri, Jokowi melawat ke negeri jiran Malaysia dan pada 6 Februari 2015, Jokowi

menyaksikan penandatanganan nota

kesepahaman (MoU) antara PT Adiperkasa Cipta Lestari (Adiperkasa) dengan Proton,

perusahaan

mobil

Malaysia,

untuk

membantu

Indonesia

belajar

membangun, mengembangkan, dan dan memproduksi mobil nasional (mobnas) (kompas.com, 6/2/2015). Saya kurang begitu tahu terkait track record perusahaan PT Adiperkasa ini, tetapi setelah melihat AM. Hendropriyono sebagai CEO-nya saya jadi berkesimpulan bahwa proyek mobil nasional adalah sekedar proyek bagibagi jatah oleh Jokowi kepada para man behind-nya. Hendropriyono yang juga mantan Ketua Badan Intelejen Negara (BIN) merupakan salah satu pendukung utama Jokowi di Pemilu Presiden (Pilpres) pada beberapa bulan yang lalu. Dia belum mendapat jatah pos menteri atau posisi setingkat di Pemerintahan Jokowi. Proyek mobil nasional ini saya rasa bukan sebuah rencana jangka panjang untuk menumbuhkan industri otomotif nasional. Saya beranggapan demikian karena kerja sama ini dengan Proton yang notabene adalah perusahaan mobil Malaysia. Pada awal mulanya Proton dibangun berkat kerjasama dengan mobil eropa Renault (?). Kita tahu bersama Renault adalah perusahaan mobil yang sudah established dan memiliki track record bagus di dunia. Jika ada ide membuat mobnas, mengapa tidak kerjasama dengan Renault atau perusahaan otomotif yang sudah lebih leading lainnya seperti Toyota, Marcedes Benz, General Motors, dan sebagainya ?. Jika kita asumsikan kualitas Proton saat ini setara dengan beberapa pabrikan mobil yang telah saya singgung di muka, bukannya ide mobnas dengan 40


BBM sudah pernah ada di masa Presiden Soeharto dan kemudian terhenti salah satu sebabnya adalah sekedar bagi-bagi proyek ?. 5 Mengapa Tidak Mobil Listrik ? Ramah Lingkungan adalah salah satu poin penting dalam pengembangan teknologi termasuk di dalamnya industri otomotif. Mobil listrik adalah bagian dari teknologi otomotif yang ramah lingkungan dan memiliki prospek bagus baik di Indonesia maupun dunia. Berbagai pabrikan mobil dunia sedang mengembangkan teknologi ini. Banyak penduduk di berbagai negara juga telah memakai mobil jenis ini dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari. Pada masa sekarang, saya rasa yang paling cocok dipakai sebagai mobil nasional adalah mobil listrik. Ide mobil listrik sempat mengemuka di publik pada masa Dahlan Iskan menjabat sebagai Meneg BUMN. Saat itu Dahlan memanggil Ricky Elson, seorang pakar mobil listrik yang bekerja di Jepang, untuk membuat prototype mobil listrik di Indonesia. Ricky Elson dan Tim sukses membuat beberapa jenis mobil listrik yang cukup mendapat pujian publik. Tak hanya Dahlan, Gusti Muhammad Hatta yang saat itu menjabat Menristek juga sempat kampanyekan mobil listrik karya BPPT. Begitu pula Hatta Radjasa yang sempat promosikan mobil listrik karya salah satu alumni terbaik ITB, Dasep Akhmadi. Ketiga para pakar mobil listrik di atas (Ricky Elson, BPPT, dan Dasep Akhmadi) biarpun mendapatkan dukungan dari seorang menteri, namun ternyata industri mobil listrik di Indonesia tidak akan pernah berkembang. Hal itu tak lain adalah karena kurang adanya dukungan penuh dari Presiden RI. Dukungan penuh tidak sekedar ungkapan "Saya mendukung, lanjutkan !", tetapi turut serta Proyek mobil nasional pada masa Presiden Soeharto dipimpin oleh anaknya sendiri, Tommy Soeharto. Mobil nasional saat itu diberi nama "Timor" yang cukup mendapat perhatian publik biarpun pada akhirnya terhenti. 5

41


membangun infrastruktur industri, blue print, dan sebagainya. Industri mobil listrik merupakan industri strategis dan mungkin salah satu alasan mengapa industri ini tidak dikembangkan di Indonesia adalah karena tekanan dari para industri otomotif dunia seperti Jepang, Eropa, dan Amerika yang telah merajai pasar Indonesia sekian lama. Jika permintaan mobil listrik semakin banyak, maka jelas akan mengeruk pendapatan mereka. Oleh karenanya hanya Presiden RI yang memiliki nyali yang besar-lah yang bisa melakukannya. Ini tentunya bukan Jokowi. Kasus BG aja lama sekali tidak selesai apalagi ide mobil listrik ?.

42


Membumikan Nilai Islam dalam Berbangsa dan Bernegara

Kita bersama melihat kegaduhan politik sampai kini tidak berujung. Bukan pertentangan ideologis seperti pertengan ideologi islam dan nasionalisme melainkan kegaduhan para elite politik yang semakin jauh dari nilai-nilai yang digariskan oleh konstitusi. Akibatnya dunia politik dihiasi dengan politik jangka pendek yang serba pragmatis, memanfaatkan suara rakyat demi kepentingan kekuasaan semata. Negara yang bersama-sama kita cintai, Indonesia, biarpun sudah merdeka secara de facto dan de jure pada 69 tahun silam, nyatanya belum beranjak dari masalah kemiskinan, kebodohan, dan pertikaian antar anak bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa bisa dikatakan belum terwujud sampai detik ini. Ketika Indonesia masih berumur jagung, pertentangan ideologi antara golongan Islam dan nasionalisme ketara sekali. Yang teringat di benak pikiran kita adalah pemberontakan PRRI/Permesta pada 1950-an oleh Kartosoewirjo dimana Ia dan pengikutnya ingin deklarasikan Negara Islam Indonesia (NII). Perjuangan Kartosoewirjo yang frontal tersebut jelas melanggar konstitusi negara dimana Indonesia terapkan Pancasila sebagai Ideologi negara. Nampaknya teman satu perguruan Soekarno di Gang Paneleh VII tersebut kecewa dengan pemerintah yang masih berumur belia tersebut. Pertentangan tersebut bukan pertama kalinya terjadi. Saat perumusan konstitusi negara, terjadi perdebatan yang hebat antara golongan Islam dan nasionalis saat sidang BPUPKI. Dalam sidang ini, golongan Islam menginginkan Islam sebagai landasan negara, sementara golongan nasionalis sebaliknya. Pertentangan ini biarpun alot, tak ada pertumpahan darah yang terjadi. Lima butir Pancasila yang ada saat ini merupakan hasil dari musyawarah antara golongan Islam dan nasionalis. 43


Lebih jauh lagi sebelum Indonesia merdeka, golongan Islam yang berkumpul dalam wadah Islam, memiliki peranan besar dalam menumbuhkan semangat persatuan dan kebangsaan. Seperti halnya HOS Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam (SI) yang dipimpinnya mampu mengumpulkan 2.5 juta kaum pribumi bumiputera yang beragama Islam untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Melalui wadah SI, kaum muslimin bumiputera yang mayoritas menjadi warga kelas tiga dan disebut seperempat manusia oleh penjajah Belanda memiliki harapan untuk menjadi manusia utuh dan merdeka. Pasca berdirinya SI dalam pimpinan Cokro, timbullah pertentangan warga pribumi muslim kepada penjajah Belanda apalagi setelah SI dimasuki ideologi kiri yang dikomandoi oleh Semaun. Pertentangan-pertentangan ini menjadi cikal-bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1945. Islam-Nasionalis Bersatu dalam Pancasila Di era orde lama saat Soekarno memimpin Indonesia, pertikaian ideologis antara islam dan nasionalis tak bisa dihindarkan bahkan sampai pada pertumpahan darah. Namun perlahan tapi pasti golongan Islam bersedia mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini terjadi pada era orde baru ketika Soeharto memimpin. Pada masa ini semua organisasi tak terkecuali Islam harus mengubah asas organisasinya menjadi asas Pancasila. Pertentangan pun tak bisa dihindari biarpun meredam pada akhirnya. Cara pemaksaaan ideologi Pancasila memang sangat tidak santun, namun terbukti melalui momen inilah konsep islam dan nasionalisme dalam keberjalanannya dapat saling beriringan. Sejak itu tak ada lagi pertentangan ideologis antara asas islam dan pancasila dalam bernegara. Memang tidak bersih sama sekali dari kontra dan pertentangan, buktinya masih banyak golongan yang tidak mengakui konsep nasionalisme seperti dengan mengusung Daulah Islamiah dalam bingkai Khilafah, namun 44


setidaknya golongan tersebut tidak membuat onar dan kekerasan dalam membawakan ide-idenya. Biarpun demikian, secara umum segenap elemen bangsa yang mayoritas muslim ini mengakui bahwa Pancasila sebagai landasan negara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pancasila adalah asas final dari republik yang didalamnya hidup beraneka ras, suku, agama, budaya, dan bangsa. Pancasila yang terdiri dari lima pasal ternyata dijiwai dari nilai-nilai Islam. Pasal satu yang berbunyi Ketuhanan Yang MahaEsa menegaskan bahwa negara ini bersandar pada Tuhan Yang MahaEsa, Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dalam upaya menjalankan visi-misi negara. Pasal kedua sampai terakhir sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jelas bahwa tak ada pertentangan antara nilai Islam dan Pancasila. Merawat Pancasila dalam Bingkai Islam Islam tidak dapat dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Islam bisa dikatakan sebagai jiwa pemberontakan bangsa Indonesia terhadap segala bentuk penindasan dan pertumpahan darah. Sebagai bukti Islam mampu menjadi motor penggerak rakyat untuk bersatupadu melawan Penjajah di waktuwaktu silam dan juga para intelektual Islam turut serta dalam upaya merancang arah gerak negara Indonesia yang masih muda belia. Tegasnya Islam Indonesia menyatu dalam konsep nasionalisme dan turut serta menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Islam sangat menjunjung persaudaraan terhadap semua golongan, seperti yang difirmankan Allah dalam QS. Al-Hujarat : 13 "Wahai Manusia ! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal".

45


Merawat Pancasila sama halnya dengan menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia dari perpecahan. Pancasila kita jiwai nilainya dalam upaya hidup dan berkehidupan di negeri ini. Ia tidak lagi sebagai doktrin yang dipaksakan seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru. Kita tak lagi memaksakan Islam sebagai ideologi tunggal bangsa dengan menganti Pancasila sebagai ideologi negara melalui jalan kekerasan atas nama agama seperti yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini, namun kita memakai Islam sebagai landasan hidup kita termasuk dalam berpolitik. Islam sebagai cara hidup, way of life. Kita jangan terperdaya dengan gantinya Indonesia sebagai negara Islam lantas bangsa ini akan menjadi negara yang cinta damai seperti Madinah pasca Piagam Madinah. Justru Indonesia akan menjadi negara yang terpecah belah mengingat umat Islam Indonesia masih berkutat dalam kemiskinan dan kebodohan. Terwujud Negara Madani Pertentangan ideologi antara islam dan nasionalisme saat ini memang tak santer terdengar

seperti yang terjadi di awal kemerdekaan, namun kini kita

dihadapkan pada masalah baru yakni semakin jauhnya elite republik ini dari citacita bangsa yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Dunia politik semakin pragmatis dengan hanya mengunggulkan kepentingan pribadi atau golongan. Para elite juga terlihat jauh dari norma-norma dan nilai-nilai agama. Mereka sering bertikai sendiri dan abai dengan kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Islam sebagai way of life selayaknya menjadi pijakan kita bersama untuk menggerakkan bangsa ini ke arah kemajuan. Saat ini Islam di Timur Tengah sedang bergejolak. Bisa jadi di kemudian hari kiblat Islam berpindah ke negaranegara Asia Tenggara seperti Indonesia. Kunci dari halnya tak lain adalah hanya dengan berpegang teguh pada Allah dan Rasul-Nya seperti firman-Nya dalam QS. Al-Anfal : 46, " Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar". 46


Indonesia berbeda dengan negara-negara barat yang memisahkan agama dan negara (sekularisme). Di Indonesia Islam menjiwai negara dan negara sama sekali tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam. Sejarah membuktikan bahwa Islam dan politik dapat berdampingan. Sekarang tinggal bagaimana para elite negara ini menjalankan ajaran Islam dengan benar agar mereka tidak terjerumus pada tindakan kotor seperti korupsi dan mempecahbelah umat. Kita bersama ingin mencitakakan Indonesia yang adil, makmur, yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wata'ala, Baldatun Toyyibatun Wa Robbun Ghofuur.

47


Anak Muda Muhammadiyah Bijak dan Cerdas dalam Berjaring Sosial “I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots.� Albert Einstein 6

Saat ini bisa dikatakan sebagai era informasi. Era ini ditandai dengan kemudahan akses terhadap aneka informasi yang di era sebelumnya tidak pernah terjadi. Pada masa ini lahirlah aneka gadget yang memfasilitasi setiap orang untuk berselancar (surfing) dan menjelajah (browsing) aneka informasi yang bertebaran di dunia maya (internet). Akses informasi ini semakin dipermudah dengan hadirkan ponsel pintar (smartphone) berharga murah sehingga memungkinkan setiap orang untuk dapat mengakses informasi. Ponsel pintar tersebut menyajikan aneka fitur yang memfasilitasi pengguna untuk secara mudah mengakses aneka aplikasi. Satu dari jenis aplikasi yang digandrungi anak muda adalah jejaring sosial. Jejaring sosial (social network) merupakan satu fitur yang memungkinkan setiap orang untuk saling berkomunikasi dengan sesama pengguna fitur tersebut. Sebagai contoh jejaring sosial yang sedang tren adalah facebook, twitter, instagram, path, whatsApp, LINE, dan sebagainya. Berjejaring sosial bisa membuat candu penggunanya. Sekian waktu yang ada dapat terserap sebagian besarnya hanya untuk update status, melontarkan komentar, atau sekedar memberikan like. Saya punya seorang teman yang gila akan jejaring sosial di smartphone-nya. Pernah suatu kali saya ngobrol sama dia namun "Saya khawatir bahwa suatu hari teknologi akan melampaui interaksi antarmanusia. Jika itu kejadian, dunia akan memiliki generasi idiot"- Albert Einstein 6

48


bukan memperhatikan apa yang saya omongkan, dia malah tertawa-tawa sendiri memperhatikan status-status yang ada di akun pribadi berbagai jejaring sosial yang dimilikinya. Ini menunjukkan bahwa jejaring sosial menjadikan hubungan yang jauh terasa dekat, dan hubungan dekat terasa jauh. Jika diambil konklusi berjejaring sosial yang tak terkontrol dapat memutuskan tali silaturrahim seperti yang diprediksi Einstein pada quote di atas. Dalam Islam memutus tali silaturrahim ini merupakan dosa besar. Dampak kedua berjejaring sosial yang tak terkontrol adalah sulitnya konsentrasi.

Sebuah

survei

yang

dirilis

di

website

hechingerreport.org

menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki konsentrasi dimana ia tidak terpengaruh dengan aneka gangguan seperti dering SMS (Short Message Service) handphone mendapatkan nilai akademik yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang sulit konsentrasi. Survei tersebut memang dilakukan di Amerika Serikat namun jika kita melihat kondisi di Indonesia tidak terlalu berbeda. Banyak mahasiswa atau generasi muda di Indonesia melakukan suatu secara multitasking sebagai contoh mengerjakan Pekerjaan Rumah dengan diselingi dengan bermain facebook atau mengecek grup WhatsApp. Kegiatan ini jelas menganggu konsentrasi yang berujung pada ketidakfokusan. Ketidakfokusan ini lantas membuat pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan hasil optimal karena dualisme kerja otak. Dalam sebuah penelitian, otak pada dasarnya tidak dapat melakukan dua hal sekaligus. Ini adalah pertanda bahwa setiap orang harus berkonsentrasi penuh ketika mengerjakan segala sesuatu. Menurut Daniel Goldman, kemampuan untuk berkosentrasi memiliki keterkaitan yang kuat dengan kesuksesan. Persoalan yang muncul selain dua poin di atas dari aktivitas berjejaring sosial adalah memunculkan kemampuan berfikir rendah (low order thinking). Pengguna jejaring sosial memungkinkan untuk terpengaruh dengan opini yang tersebar di aneka status, komentar, dan penyebaran informasi dari pengguna lainnya di mana keabsahan dan kesahihan informasi yang didapat tersebut tidak 49


dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini diperparah dengan kondisi literasi kita yang secara umum rendah 7. Kondisi tersebut membuat kita susah bernalar secara logis. Sebagai indikasinya kita dapat melihat aneka status hujatan, makian, dan debat kontraproduktif (twit-war) yang ada di jejaring sosial. Sementara Itu Tantangan yang Dihadapi Jejaring sosial seringkali membahas hal-hal yang kurang begitu esensial seperti halnya curhatan, berita sedih, gembira, dan sebagainya yang sifatnya sangat individual. Akibatnya jejaring sosial kebanyakan didominasi dengan berita dan informasi yang kurang bermutu. Jika ini keterusan, akan menenggelamkan tantangan ke depan yang seharusnya dari dini kita sadari. Maka dalam segmen ini akan saya tampilkan tantangan yang dihadapi oleh kaum muda, negara berkembang, dan dunia Islam. Ini mengandung maksud agar kita dalam bergerak ke depan jelas, tidak belak-belok, apalagi salah jalan. Pertama kita akan melihat postur demografi kaum muda Indonesia. Postur demografi Indonesia sejak 2010 didominasi oleh usia produktif termasuk di dalamnya kaum muda yang akan mencapai puncaknya pada 2030 yang akan datang. Kondisi ini dapat dipandang sebagai bonus demografi jika memang kaum muda terberdayakan dengan optimal dengan memasuki pos-pos produktif seperti dunia kerja. Sebaliknya kondisi ini juga dapat dipandang sebagai petaka jika kaum muda tidak memiliki kompetensi memadai yang berujung pada ketidakstabilan ekonomi negara. Jelas sebagai warga negara Indonesia kita menginginkan kaum muda terberdayakan sehingga bonus demografi bisa terwujud. Makna 'berdaya' ini tak hanya diartikan sekedar mendapatkan peluang kerja an sich melainkan kaum muda yang dapat menjawab berbagai tantangan yang dihadapi dunia dan negara 7

Lihat http://www.uruqulnadhif.com/2013/12/membudayakan-membaca.html

50


berkembang yang sebagian besarnya adalah dunia Islam termasuk di dalamnya Indonesia. Setidaknya ada dua hal tantangan negara berkembang. Pertama, negara berkembang berada dalam dominasi kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan militer negara adi kuasa. Seperti halnya Indonesia sampai detik ini belum bisa lepas dari bayang-bayang International Monetery Fund (IMF) dan Bank Dunia. Kedua, negara berkembang berkutat dalam persoalan bagaimana meletakkan dasardasar ekonominya supaya bisa bersaing di pasar internasional 8 . Jika kita perhatikan poin pertama kekuasaan negara adikuasa selain ada pada bidang ekonomi dan militer, juga di bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terutama sains dan teknologi mengambil peranan penting dalam pembangunan. Dulu dunia Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia. Mahzab Arsitotelian yang diadopsi oleh ilmuwan muslim berhasil menjadikan dunia Islam menguasai dasar dan landasan Ilmu Pengetahuan seperti matematika, filsafat, dan kedokteran. Keunggulan pada masa lampau tak hanya dikenang sebagai nostalgia melainkan sebagai motivasi untuk kembali mengulang kejayaan masa lampau. Kita sama-sama tahu bahwa dunia muslim masih dihantui dengan kemiskinan, kebodohan, dan perang saudara. Namun, sebagai upaya untuk meraih kembali kejayaan tiga langkah yang bisa dilakukan, mengutip Ahmad Zawail, ilmuwan Mesir pertama peraih nobel ilmu pengetahuan. Pertama, membangun sumbedaya manusia dengan cara memberantas buta huruf, memastikan adanya partisipasi aktif perempuan dalam masyarakat, dan memperbaiki pendidikan. Kedua, harus ada reformasi konstitusi demi adanya kebebasan berpikir, meminimalkan birokrasi, mengembangkan merit system, dan membangun hukum yang kredibel dan bisa ditegakkan. Terakhir, cara terbaik untuk meraih kepercayaan diri adalah menyiapkan centers of excellence di dalam bidang sains dan teknologi di masing-masing negara muslim untuk menunjukkan bahwa cita-cita itu bisa diraih,

8

Lihat http://www.uruqulnadhif.com/2015/06/ekonomi-pembangunan-itb-keunggulan.html

51


untuk menunjukkan bahwa muslim bisa berkompetisi di era ekonomi global ini dan mendorong kaum muda untuk lebih bergairah belajar 9. Tantangan seperti yang disajikan di atas jelas tidak dapat dipandang sebagai tantangan mudah. Ini perlu disikapi dengan bijak oleh segenap warga negara dan umat Islam Indonesia. Jika mindset telah terbentuk maka akan muncul sikap-sikap positif untuk berjuang ke visi jangka panjang. Kita terlebih kaum muda tidak lagi berkutat dalam masalah-masalah kecil kontraproduktif seperti perbedaan khilafiyah, politik praktis, dan sebagainya. Namun, kaum muda terlebih kaum muda Muhammadiyah dapat memulai untuk memberi gambaran bagi masa depan Indonesia dan umat Islam secara mayoritas. Suatu saat lalu saya mengobrol dengan teman saya, dia mengutip kata-kata dosennya "Apa yang dibanggakan dari Indonesia kalo tidak kuliner dan tari-tarinya?". Sungguh, saya sebagai bagian dari kaum terdidik merasa terhina dari lontaran cerita teman saya. Bagaimana tidak negara kita yang kaya akan Sumber Daya Manusia (SDM) tidak mampu menghidupi dirinya sendiri dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimilikinya. SDA hanya dijual murah kepada asing tanpa perlu diberi nilai tambah terlebih dahulu. Maka mau tidak mau secepatnya kita harus dapat beralih dari resource based economy ke knowledge based economy. Bijak dalam Berjejaring Sosial Paparan di awal tulisan ini bukan lantas kita mengatakan bahwa berjejaring sosial itu haram, melainkan agar kita bersikap bijak dalam menggunakan jejaring sosial. Jangan sampai kita terperdaya dengan jejaring sosial, melainkan kita harus memperdaya jejaring sosial. Kita harus dapat puasa berjejaring sosial ketika sedang bekerja, belajar, atau berinteraksi dengan orang. Kita dapat menggunakannnya di waktu-waktu luang seperti sedang menunggu antrian atau istirahat. Prinsipnya Lihat http://budhiana.salmanitb.com/catatan/dapatkah-dunia-islam-kembali-ke-cahaya-ilmupengetahuan/ 9

52


jejaring sosial tidak menyita core pekerjaan kita sehingga kita bisa konsentrasi optimal dalam menyelesaikan aneka pekerjaan yang sedang kita hadapi. Jika kita dapat melakukannya, peluang sukses akan terbuka lebih luas. Selain kita mengetahui kapan kita harus menggunakan jejaring sosial, kita juga tahu terkait perjuangan apa yang dapat kita lakukan dengan jejaring sosial. Sebagai seorang muslim selain kita dituntut menjadi seorang yang bertakwa (saleh pribadi), juga dituntut juga untuk saleh secara sosial. Saleh secara sosial ini erat kaitannya dengan dakwah. Setiap dari kita memiliki tugas suci berdakwah yakni mengajak manusia ke jalan kebenaran. Jika saya tafsirkan, sebagai umat Muhammad kita memiliki kewajiban menunjukkan jalan lurus ke segenap umat manusia. Ini tak lain karena panutan kita, Muhammad SAW, adalah rahmat bagi seluruh alam, seperti firman Allah SWT "... dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya' : 107). Kewajiban untuk menebar kebajikan (berdakwah) saya tafsirkan tak sekedar kita menyampaikan ayat-ayat kauliyah melainkan juga ayat-ayat kauniyah seperti halnya tantangan-tantangan yang sedang kita hadapi saat ini. Langkah tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan jejaring sosial. Penebaran ide dalam menghadapi tantangan-tantangan yang tertera di atas jelas merupakan langkah maju untuk menebar harapan untuk meraih masa depan bangsa dan juga umat Islam. Penebaran ide ini pasti membutuhkan kekayaan informasi yang didapatkan dari sumber-sumber terpercaya yakni melalui membaca. Tegasnya langkah menebar ide berkemajuan ini berarti menstimulus gerakan intelektual. Kita bersama tahu bahwa gerakan intelektual merupakan nafas bagi kekayaan umat Islam di masa lampau dan juga masyarakat Barat dengan gerakan renaissance-nya. Kaum muda Muhammadiyah dengan berbagai wadah yang dimiliki seperti Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah (PM), dan Nasyi'atul 'Aisyiyah (NA) dapat memulai 53


gerakan ini secara masif. Orientasi yang diharapkan selain memunculkan mindset berfikir berkemajuan di kalangan kaum muda Muhammadiyah juga sebagai upaya untuk mensyiarkan pentingnya ilmu pengetahuan dalam membentuk peradaban suatu bangsa dan umat. Kaum muda Muhammadiyah yang sudah terbiasa dengan jejaring sosial dapat memanfaatkannya untuk menebarkan ide-ide konstruktif tersebut. Bayangan saya jika gerakan ini dapat terlaksana, akan dapat menggantikan konten-konten destruktif dalam jejaring sosial seperti berita hoax, debat kontraproduktif, saling cela dan caci-maki, dan segala jenis hal-hal negatif yang dihasilkan dari jejaring sosial lainnya. Tentunya langkah/gerakan ini harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak pula. Mengutip ayat Al-Qur'an " Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik." (QS. An-Nahl : 125). Gerakan intelektualisme yang dilakukan kaum muda Muhammadiyah menjadi pelengkap peranan Muhammadiyah dalam upaya mencerahkan dan mencerdaskan bangsa dan umat melalui pendirian berbagai lembaga-lembaga pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT). Selain itu, gerakan tersebut sebagai upaya Muhammadiyah entaskan masalah-masalah sosial yang terjadi di kalangan muda seperti narkoba, pornografi, free sex, dan sebagainya. 10 Muktamar Sebagai Momen Ijtihad Beberapa bulan yang lalu saya ditelpon teman saya sesama alumni Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta terkait dengan rencananya membuat portal intelektual dari alumni almamater 11. Lalu beberapa bulan setelah pembicaraan sekitar setengah jam tersebut, teman saya merilis website dengan aneka tulisan dari alumni almamater mulai dari generasi tua sampai dari generasi Baca "Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka" dalam http://issuu.com/uruqulnadhifdzakiy/docs/buku_jalan_terjal_menuju_100_tahun_/3?e=141817 71/9938935 11 kunjungi http://anakpanahinstitute.org/ 10

54


muda yang baru beberapa tahun lulus. Dalam portal tersebut, tulisan-tulisan yang ada bervariasi mulai seputar keislaman, kemuhammadiyahan, kemanusiaan, sampai kebangsaan. Gerakan intelektual yang diinisiasi teman saya tersebut akan berlanjut di momen temu alumni di Muktamar Makassar Agustus nanti. Rencananya portal ini akan di-launching berbarengan dengan reuni akbar almamater. Saya kira gerakan yang diinisiasi oleh teman saya tersebut merupakan langkah maju untuk tumbuhkan jiwa intelektual yang saat ini mulai terkikis di generasi muda kita. Gerakan tersebut mendapat sambutan yang baik dari kalangan alumni. Dampak positifnya cukup membuat momen reuni alumni almamater tidak sekedar ajang saling sapa antargenerasi melainkan sebagai ajang/momen untuk saling bertukar fikiran dan gagasan. Melalui pertukaran gagasan ini akan muncul solusi dari stagnasi permasalahan umat yang sukar untuk ditemukan jalan keluarnya. Konkretnya di grup WhatsApp alumni Mu'allimin angkatan saya saat ini tak sekedar ajang untuk menyampaikan keadaan masa perantauan, nostalgia masa sekolah, undangan nikahan, dan sebagainya melainkan juga sebagai wahana sharing ide terkait berbagai masalah sosial, kebangsaan, dan keagamaan. Kedepan, saya yakin jika gerakan intelektual anak panah tersebut tetap berjalan akan menimbulkan kekritisan di kalangan alumni almamater saya dan secara tidak langsung akan berpengaruh dalam masyarakat luas. Saya rasa kaum Muda Muhammadiyah bisa mencontoh gerakan yang diinisiasi oleh teman saya tersebut. Bentuknya tidak harus sama melainkan yang penting

adalah

ide

yang

diusung

sama

yakni

menumbuhkembangkan

intelektualisme di kalangan kaum muda Muhammadiyah. Gerakan ini juga perlu disesuaikan dengan kapasitas kaum muda Muhammadiyah saat ini. Saya sangat yakin kaum muda Muhammadiyah adalah seorang yang kretif dalam mengemas sebuah visi besar menjadi gerakan taktis yang segar dan inspiratif. Melalui inisiasi gerakan baru, muktamar tidak hanya sekedar mengganti pimpinan organisasi 55


melainkan juga sebagai wahana berbagi gagasan untuk membentuk pribadi dan watak berkemajuan. Semua ini diperuntukkan guna membentuk suatu negeri yang adil, makmur, sentosa dibawah naungan Allah SWT, Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghofuur. Langkah maju tersebut merupakan ijtihad guna mengantarkan umat ini menuju watak maju dan visioner. Mengutip motto Muktamar 47 di Makassar 3-7 Agustus 2015 nanti ; Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan.

56


Dasep Ahmadi dan Kado Harteknas 2015

Hari ini, 10 Agustus, adalah hari kebangkitan teknologi nasional yang akrab disingkat dengan Harteknas. Dipilihnya tanggal tersebut adalah sebagai pengingat kesuksesan bangsa Indonesia terbangkan pesawat buatan sendiri N250 Gatot Kaca pada 10 Agustus 1995 yang dikepalai oleh BJ. Habibie. Seperti yang diberitakan Republika (7/8/2015), bahwa Harteknas ke-20 tahun ini bertemakan "Inovasi Iptek untuk daya Saing Bangsa" dengan subtema pangan, energi, dan maritim yang katanya disesuaikan dengan nawa cita Presiden Jokowi. Tema Harteknas tahun ini mirip dengan Harteknas ke-17 yang diadakan di ITB pada 2012 lalu yaitu "Inovasi untuk kemandirian Bangsa". Tak hanya tema yang mirip, agenda yang dilangsungkan juga serupa seperti halnya pameran dan seminar. Dalam pameran memang disana disajikan berbagai produk inovasi anak bangsa, namun dari sekian banyak produk yang dipamerkan tidak satu pun produk yang mendapat perhatian publik seperti halnya N250. Pesawat buatan anak bangsa tersebut merupakan pesawat canggih dikelasnya. Bahkan ada yang bilang, pada zamannya pesawat ini setara dengan tipe serupa buatan Boeing. Kesukesan ini membuat nama Indonesia harum ditingkat internasional mengingat tidak banyak negara yang mampu menguasai teknologi pesawat seperti itu. Dalam sumber yang sama (Republika, 7/8/2015), dikatakan bahwa produk unggulan di Harteknas tahun ini adalah pesawat N219 sebagai perkembangan dari pesawat NC212. Jika dilihat dari bentuk fisik dan kapasitas penumpang, pesawar tipe NC212 jelas ketinggalan dibandingkan dengan tipe N250. Pesawat N250 berpenumpang 50-70 orang, sedangkan NC212 hanya berpenumpang 19-24 orang saja. Oleh karenanya saya menilai pesawat tersebut tidak cocok disebut sebagai produk unggulan. Harusnya yang dinamakan produk unggulan adalah produk 57


yang dikenal luas oleh publik dan menjadi semacam obrolan warung kopi bagi warga di pelosok-pelosok desa. Tak Ada Target Setelah collaps-nya IPTN (PT Dirgantara Indonesia sekarang) pada krisis ekonomi 1997 silam, perkembangan kemajuan teknologi kita seolah mandeg. Sejak itu tidak pernah lahir karya besar dari inovator anak negeri yang seheboh N250. Dalam rentang waktu 20 tahun terakhir memang terlahir karya-karya inovatif anak bangsa, namun karena apresiasi dari pemerintah sangatlah minim, secara umum publik tidak mendengar. Ini membuat ajang Harteknas tak lebih hanya sekedar seremonial belaka. Dari tahun ke tahun tidak ada target yang berarti dari Kemenrisrek (kini Kemenristekdikti) untuk membuat produk inovatif teknologi yang mampu menjadi kebanggaan bangsa secara luas. Peringatan Harteknas yang sekedar seremonial belaka tersebut jelas bertentangan dengan latar belakang munculnya gagasan Harteknas. Satu kata penting

dari

akronim

Harteknas

adalah

'kebangkitan'.

Mengutip

KBBI,

kebangkitan dimaknai sebagai kebangunan (menjadi sadar). Jadi diadakannya Harteknas adalah untuk memunculkan kesadaran anak bangsa akan pentingnya perkembangan teknologi. Sayangnya, fakta yang terjadi tidaklah begitu. Selain Harteknas yang hanya sekedar rutinas tanpa makna, upaya pemerintah untuk merangsang hasrat anak bangsa untuk berinovasi di bidang teknologi bisa dikatakan sangat minim. Kejadian ditersangkakan Dasep Ahmadi, sang inovator mobil listrik, memunculkan anggapan bahwa pemerintah menakut-nakuti warganya untuk melakukan inovasi teknologi.

58


Kado Harteknas Mobil listrik biarpun secara teknologi tidak sebanding dengan teknologi pesawat, namun secara pengaruh kepada masyarakat bisa dikatakan sama dimana keduanya mengusung kemandirian bangsa. Dibuatnya N250 memiliki harapan besar untuk dapat menyetok pasar dalam negeri akan sarana transportasi udara yang sesuai dengan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara itu, mobil listrik dibuat sebagai jawaban akan kelangkaan bahan bakar fosil di masa mendatang yang dikini dipakai oleh berbagai jenis kendaraan khususnya mobil. Namun ternyata perkembangan mobil listrik nasional tidak didukung penuh oleh pemerintah. Mengutip tulisan Faisal Basri (selasar.com, 3/8/2015) bahwa Dasep adalah sosok inovator sekaligus industriawan sejati. Biarpun pemerintah tidak mendukung geraknya, Ia tetap kekeuh memproduksi mobil listrik. Pemerintah bahkan seringkali menjegal langkahnya seperti bahan baku yang didapatkan Dasep secara impor dikenai bea masuk 5-15 persen, ironi dengan komponen otomotif impor yang bebas bea masuk. Selain itu Dasep harus membayar PPN impro dan PPh yang harus dibayar dimuka, dan modal kerja yang Dasep pinjam dari Bank bunganya belasan persen. Tak hanya itu pendaftaran dan pemrosesan hak paten Dasep membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bukannya hujan apresiasi yang didapatkan Dasep dari kerja kerasnya membangun industri mobil listrik, namun justru lulusan Mesin ITB ini malah dijadikan tersangka oleh Kejaksaaan Agung. Dasep diduga melakukan tindakan korupsi pengadaan 16 mobil listrik tahun anggaran 2013 (Tempo.co , 29/7/2015). Saya tidak tahu dugaan tersebut benar atau tidak, namun melihat kerja keras Dasep membangun industri mobil listrik seolah itu hanya sekedar tuduhan. Alasan yang lebih lanjut dari otoritas yang menahan Dasep seperti yang saya saksikan di berbagai media adalah karena negara dirugikan atas proyek mobil listrik. Saya rasa 59


ini pendapat yang hanya melihat sesuatu dari sudut pandang hukum dan untung rugi an sich. Para otoritas tersebut tidak mengerti bahwa pembuatan produk teknologi tidak dapat dijamin 100 persen berhasil. Kegagalan adalah konsekuensi dari produk riset yang dimaklumi. Pemerintah seolah tidak mengambil pusing dengan kasus yang menimpa Dasep. Sang inovator ini dibiarkan sendiri menghadapi jeratan hukum. Kejadian seperti ini semakin menguatkan saya bahwa Harteknas tak lebih sekedar seremonial tanpa arti. Orang yang jelas-jelas melakukan inovasi dan memberikan kontribusi nyata oleh bangsa justru malah disia-siakan oleh pemerintah itu sendiri. Seharusnya, pemerintah khususnya Menristekdikti malu dengan adanya kejadian ini. Saya rasa, bukan N219 kado Harteknas tahun ini melainkan dibuinya sang inovator mobil listrik, Dasep Ahmadi. Ini pertanda kemunduran perkembangan teknologi di negeri ini semakin menjadi-jadi.

Artikel ini pertama kali dimuat di selasar(dot)com pada 11 Agustus 2015

60


Institut Kelautan Indonesia (IKI) Sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan tentang Lautan Nusantara

Wilayah Indonesia 2/3-nya adalah laut, namun mindset pembangunan masih terkonsentrasi pada daratan. Deklarasi Djuanda telah dilakukan, diikuti dengan aneka perundingan di PBB atau forum-forum setingkat, dan juga tentunya pembuatan Undang-Undang tentang kelautan, namun biarpun demikian laut masih belum mendapat perhatian lebih. Masyarakat pesisir merupakan entitas termelarat setelah petani, di sisi lain beberapa wilayah di kawasan pulau eksotis negeri ini dikapling oleh asing. Manajemen kelautan tak pernah sukses. Badan pemerintah dibentuk, namun

tetap

saja.

Bappenas

merencanakan

pembangunan

laut

secara

komprehensif katanya namun dalam teknis pelaksanaannya kacau bahkan tak jalan.

Masalah

investasi

dikatakan

pemerintah

sebagai

kendala

utama

pembangunan kelautan disamping infrastruktur. Padahal, selain itu Sumber Daya Manusia (human capital) yang berkecimpung di dunia pembangunan kelautan bisa dibilang sangat kecil. Hitung saja berapa banyak jurusan yang berkaitan dengan kelautan di universitas-universitas tanah air, jumlahnya jelas sangat kecil dibandingkan dengan jurusan mainstream seperti manajemen, ekonomi, hukum, Teknik Informatika, dan sebagainya. Tak hanya jurusan di kampus, SMK kelautan jumlahnya sangat kecil juga, kalah dengan SMK bidang otomotif. Saya tidak habis fikir pemerintah memiliki visi luar bisa terhadap pembangunan kelautan namun sektor SDM tidak digarap dengan serius. Ini namanya mimpi kosong.

61


Membangun Institut Kelautan Indonesia (IKI) Saya membaca di majalah GATRA tahun 2006 bahwa Intititut Kelautan Indonesia (IKI) sudah berdiri. Saya belum mengecek lebih jauh terkait sekolah tersebut. Pengelolaan kelautan yang masih berantakan menurut saya akan dapat diselesaikan dengan pendirian pusat ilmu pengetahuan yang fokus pada pembangunan kelautan. Saya menamainya Institut Kelautan indonesia (IKI). Universitas ini fokus pada pembangunan kelautan. Pembangunan jelas melibatkan multidisiplin ilmu yang menjadi fokus dan perhatian institut tersebut yaitu meliputi aneka disiplin ilmu yang berkaitan dengan pembangunan kelautan. Beberapa disiplin ilmu mencakup unsur-unsur ilmu dasar, teknik (engineering), sains, ekonomi, dan humaniora. Dalam bayangan saya, institut ini mencakup berbagai jurusan yang meliputi (1) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yang mencakup matematika, fisika, kimia, dan biologi, (2) Fakultas Teknik (FT) yang mencakup Teknik Kelautan, Teknik Perkapalan, Teknik Perminyakan, Teknik Geologi, Teknik Pertambangan, Teknik Material, Teknik Industri, dan Teknik Metalurgi, (3) Fakultas Ilmu kelautan (FIK) yang mencakup Ilmu kelautan, Ilmu Pembangunan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Oseanografi, (4) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang mencakup Ilmu Ekonomi dan Ilmu Manajemen, (5) Fakultas Humaniora (FHum) yang mencakup Ilmu antroplogi, Ilmu Budaya Laut, Ilmu Sosiologi, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, dan Ilmu Kemasyarakatan. Fakultasfakultas tersebut dibingkai dalam konsep pembangunan kelautan. Dalam kegiatan belajar, pendekatan yang digunakan adalah pengembangan dan aplikasi ilmu dalam konteks pembangunan kelautan. Oleh karenanya, keunggulan komparatif kampus ini adalah fokus pada pengembangan kelautan yang mencakup pembangunan

ekonomi

kelautan,

pengembangan budaya bahari. 62

pembangunan

masyarakat

pesisir,

dan


Saya menginginkan kampus ini terletak di kota Batam, Kepulauan Riau. Selain karena lokasinya sebagai kota kepulauan, kota ini dulunya pernah di-setting untuk menjadi kota percontohan Indonesaia namun gagal, dan juga berdekatan dengan Singapura dan Malaysia. Pendirian kampus ini juga untuk mengimbangi kemajuan yang terpusat di pulau Jawa. Dengan lokasi di kawasan kepulauan, akselerasi pengembangan dan aplikasi ilmu lebih cepat karena berdekatan dengan objek materinya langsung yakni laut. Lokasi ini dipilih agar terjadi pemerataan perputaran ekonomi yang kini lebih tersentral di Pulau Jawa. Diharapkan Batam menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah disekitarnya. Hadirnya kampus ini diharapkan mampu menebarkan virus kecintaan akan laut sehingga pembangunan kelautan dapat terlaksana dengan maksimal. Paradigma laut sebagai halaman belakang rumah dapat diubah sebagai

teras

rumah yang senantiasa dirawat dan dimanfaatkan secara bijak. Keluarannya kontribusi kelautan terhadap PDB nasional lebih dari 40 persen, masyarakat pesisir tersejahterakan, kebudayaan laut masuk dalam ranah kehidupan masyarakat secara luas, dan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait laut berkembang. Laut tidak lagi dipersepsikan sebagai pemisah, namun sebagai pemersatu antarpulau. Indonesia merupakan lautan yang ditaburi dengan pulau-pulau di atasnya. Artikel ini pertama kali dipublikasi di selasar(dot)com pada 11 November 2015

63


Menjadikan Indonesia sebagai Pusat Riset Gunung dan Laut

Sebagaimana tulisan saya di SELASAR (16/11/2015), bahwa persoalan peningkatan kualitas lembaga riset khususnya Perguruan Tinggi tak berhenti pada peningkatan kualitas mumpuni dari para profesornya, melainkan ini merupakan masalah sistemik. Oleh karenannya dibutuhkan konsepsi yang menyeluruh, tidak parsial. Dalam tulisan ini saya mencoba akan memberikan uraian singkat terkait dari mana kita memulainya. Sadar Potensi Indonesia dianugerahi wilayah yang relatif luas di daerah tropis yang memungkinkan hadirnya aneka kekayaan alam. Gunung dan laut adalah salah duanya. Kita memiliki 76 gunung api (http://www.vsi.esdm.go.id/). Sementara itu laut kita luasnya 2/3 dari total wilayah yang ada. Saya rasa pemerintah sudah sadar dengan potensi ini. Sebagai buktinya terkait laut, pemerintah telah mengeluarkan UU no.32 tahun 2014 tentang kelautan. Undang-undang ini dinilai sudah lengkap untuk membahas berbagai aturan terkait laut. Namun setelah keluarnya UU tersebut, apa langkah selanjutnya ? Pertanyaan ini mudah dinyatakan tapi sulit untuk direalisasikan. Di masa pemerintahan Jokowi-JK diangkatlah konsep "Indonesia sebagai poros maritim 12 dunia". Langkah yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan langkah maju. Tinggal bagaimana memastikan program ini sukses dan dapat dijalankan di Mengacu pada Oxford Dictionary, maritim didefinisikan terhubung dengan laut, khususnya dalam hubungannya dengan perdagangan laut atau hal-hal angkatan laut (connected with the sea, especially in relation to seaborne trade or naval matters) 12

64


periode-periode selanjutnya. Namun, jika ditengok potensi laut yang luar biasa besar (perikanan, industri, minyak gas, pariwisata, dan lain-lain), langkah yang dilakukan pemerintah dapat dikatakan masih kurang. Karena pemaknaan akan pemanfaatan potensi laut sangat lemah, upaya teknikal untuk mencapai tujuan besar sebagai poros maritim dunia tidak diupayakan secara sistemik. Bayangkan hadirnya visi besar tersebut tidak diikuti dengan upaya masif untuk meningkatkan kualitas SDM dalam negeri. Pemerintah sampai saat ini belum serius menyiapkan SDM untuk bergerak di sektor kelautan, sekolah-sekolah terkait laut masihlah minim, begitu pula jurusan-jurusan di berbagai perguruan tinggi dan akademi. Bakamla biarpun telah menggagas sekolah tentang sekuriti laut, kurikulumnya dibuat secara tergesa-gesa (Sulasdi, 2015). Hal ini berkorelasi dengan lapangan pekerjaan di bidang kelautan relatif kecil. Ini merupakan indikasi bahwa pemerintah belum sepenuhnya memaknai potensi laut. Hal serupa juga terjadi pada konteks gunung. Akibatnya riset terkait dua bidang ini tidaklah berkembang secara signifikan. Tak Dimaknai Sepotong Di hampir semua bidang keilmuan, riset kita tak ada yang menonjol. Mengidentifikasinya sederhana, adakah mahasiswa asing yang belajar ke universitas-universitas di Indonesia ? Ada namun sangat sedikit jika dibandingkan dengan mahasiswa domestik. Parameter kedua yaitu publikasi riset dari para ilmuwan dalam negeri. Biarpun hal ini tidak mencerminkan kualitas riset, namun cukup merepresentasikan gairah melakukan riset.

Berdasarkan data yang

dihimpun Hendra Gunawan (2015), jumlah publikasi internasional menurut scopus per 7 Agustus 2015 untuk 10 kampus terproduktif di Indonesia dan 2 lembaga riset pemerintah mencapai 19.929 paper. Ini masih kalah dengan satu kampus di Malaysia yakni Universitas Kebangsaan Malaysia dengan 21.336 paper. Dua fakta 65


diatas menandakan bahwa riset di Indonesia belum menjadi semangat bersama di kalangan para insan akademik. Fenomena rendahnya produktivitas riset di Indonesia seringkali dimaknai sepotong oleh pemerintah, bahkan oleh insan akademik yang sadar akan riset (biasanya guru besar). Banyaknya jurnal di scopus dijadikan patokan tunggal meningkatnya iklim riset dan ini katanya sesuai dengan falsafah tridharma Perguruan Tinggi. Maka, para periset dituntut untuk mempublikasikan sebanyak mungkin jurnal tak peduli bermutu atau tidak. Pemaknaan yang lebih gegabah lagi adalah sikap terhadap pemeringkatan Perguruan Tinggi. Ada kampus yang bahkan membuat lembaga khusus untuk menjadikan kampusnya masuk dalam papan atas kampus terbaik di level nasional. Padahal dua parameter tersebut (banyaknya jurnal di scopus dan peringkat kampus) adalah akibat dari manajemen riset yang baik, jadi yang perlu difokuskan penyelesaiannya adalah sebabnya. Bagi saya sebab masalah diatas adalah manajemen riset. Lembaga-lembaga penelitian ini yang mencakup lembaga riset nasional dan Perguruan Tinggi seharusnya memfokuskan risetnya ke bidang apa. Ini tak lain dibutuhkan interferensi pemerintah guna agar segenap lembaga tersebut berjalan seiringan dan sinergis. Fokus di Gunung dan Laut Interferensi yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan mengangkat visi riset Indonesia dalam sekian tahun ke depan di bidang apa. Saya menyarankan fokus riset kita di bidang gunung dan laut. Alasannya seperti yang telah saya jelaskan di muka. Dengan memfokuskan riset di bidang tertentu akan dengan mudah diukur perkembangan (progress) hasil riset tiap tahunnya. Seberapa jauh riset telah dilakukan dan apa saja kendala yang dihadapi. Pemfokusan ini juga akan memfokuskan energi para peneliti ke bidang ini sehingga hasilnya akan 66


maksimal. Memang jika langkah ini dilakukan akan didapatkan resistensi dari para ilmuwan yang tidak secara langsung berinteraksi dengan dua bidang tersebut (gunung dan laut). Namun bagi saya ini tidaklah menjadi masalah serius bahkan saya yakin kefokusan ini justru akan menjadikan bidang-bidang ilmu lain di luar bidang tersebut akan jauh lebih berkembang. Melalui kefokusan riset ini akan didapatkan hasil riset yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Ini tak lain karena objek riset yaitu gunung dan laut kita miliki sendiri. Satu kemanfaatan yang dapat diperoleh adalah di bidang ekonomi. Pemerintah dapat mengupayakan hasil riset untuk dipakai oleh industri sehingga manfaat riset dapat dirasakan secara langsung. Artikel ini pertama kali dimuat di selasar(dot)com pada 30 November 2015

67


Saat Berkunjung ke ITB di Usia Saya ke-50

Majalah GATRA edisi 30 April-6 Mei 2009 membahas tentang kisah ilmuwan pelopor Indonesia. Di situ diceritakan beberapa tokoh dan memang kita harus akui ilmuwan pelopor kita tidak banyak. Salah satu ilmuwan pelopor itu adalah Achmad Baiquni. Beliau pelopor fisika atomik dan menjadi salah satu pendiri jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM). Latar belakang beliau ternyata berasal dari Matematika dan Fisika THS (kini ITB). Baiquni lulus dari ITB pada 1952. Ia disebut sebagai fisikawan pertama Indonesia. Terkait benar atau tidak informasi ini, mungkin fisikawan atau sejarawan yang jadi teman saya di facebook bisa klarifikasi. Namun titik tekannya tidak disini. Saya masih tidak habis fikir di zaman dimana Indonesia belum lama merdeka kok ada anak bangsa yang belajar fisika. Padahal jika dirunut dari sejarah, bangsa ini tidak memiliki akar historis sebagai bangsa yang suka ngutak-ngutik entah matematika atau sains. Berbeda halnya dengan India. Negara yang memiliki kedekatan keturunan dengan kita tersebut sudah akrab dengan Matematika sejak lama. Ada Ramanujan orang India yang tak mengenal pendidikan formal ternyata mampu menemukan teori bilangan, seri terbatas, dan pecahan (silahkan diklarifikasi jika salah). Ada lagi fisikawan India, Satyendra Nath Bose, yang memiliki kontribusi besar dalam mekanika kuantum-statistik yang tengah dikembangkan Einstein (Isaacson, 2012). Intinya di zamannya, Baiquni adalah orang gila, juga beberapa ilmuwan Indonesia lain yang diceritakan dalam majalah ini. Sebagian besar dari kita saya rasa tidak mengenal ilmuwan-ilmuwan tersebut, namun bisa saya pastikan kita pasti mengenal B.J. Habibie. Habibie dikenal dengan kepakarannya dalam pembuatan pesawat terbang. Betul, dia memang gila dengan pesawat terbang. Kata Pak Sonny Yuliar, "Pak Habibie itu poligami, istri keduanya ya pesawat". Dosen saya tersebut kecewa dengan film Habibie 68


& Ainun yang lebih menekankan kecintaan Habibie pada Ainun, padahal cintanya pada pesawat juga sangat besar. Saking gilanya Habibie dengan pesawat, sampai sekarang pun Ia masih memikirkan itu biarpun usianya lebih dari 80 tahun. Anaknya, Ilham Habibie diberitakan akan segera me-launching pengembangan N250 di pabrik yang dibuatnya biarpun dorongan untuk itu dari pemerintah bisa dikatakan tidak ada. Tidak seperti pada masa masa Habibie dipercaya kembangkan IPTN (sekarang PT DI). Seperti yang saya katakan di muka, bangsa Indonesia bukan keturunan ilmuwan, namun bangsa ini memiliki sejarah yang dekat dengan dunia keilmuan. Adalah Sriwijaya dengan kapal pinishi-nya, juga kebudayaan Hindu-Budha kuno yang mampu membuat candi raksasa, Borobudur. Namun sayang tak ada anak bangsa yang mengkaji sejarah tersebut dalam perspektif ilmu pengetahuan modern seperti sains dan teknik, yang ada hanyalah cerita-cerita rakyat yang berbau mistik nan tahayyul dan itu turun-temurun sampai sekarang. Biarpun secara akar sejarah kita tidak punya, namun ternyata rumusan bangsa beradab itu mau tidak mau harus menggunakan sains dan teknologi. Banyak negara lain yang tidak punya akar sejarah tapi toh maju dalam dua bidang tersebut. Sebut aja Singapura dan Korea Selatan. Bangsa ini nampaknya bisa, asalkan ada satu kata "cinta" atau dalam istilah Pak Iwan Pranoto "kasmaran" dalam berilmu pengetahuan. Cinta/kasmaran dalam ilmu pengetahuan mengandung makna bersikap intim pada ilmu pengetahuan di mana pun dan kapanpun. Ilmu pengetahuan tersebut telah menyatu dalam watak dan kepribadiannya sehari-hari. Seperti Habibie, dimanamana Ia bicara tentang pesawat, padahal dia pernah jadi Presiden RI. Saya membayangkan di usia saya ke-50 tahun nanti (jika Allah SWT memberi saya umur panjang) dan ketika itu saya main ke ITB, suasana kecintaan pada ilmu pengetahuan sungguh terasa. Saat saya jalan-jalan di Boulevard, saya dapat seorang mahasiswa yang sedang menjalankan drone satu baling-baling buatannya sendiri (bisa gitu ? entahlah), beberapa mahasiswa maen layangan 69


robotik di monumen Indonesia tenggelam, ada beberapa mahasiswa lagi serius maen catur dan bridge di DPR, ada juga mahasiswa yang asik diskusi, njelekin dosen dikelas "Dosen Pak A tadi keliru nurunin teorema X, harusnya kayak gini", "Aku jadi mikir, garis katanya asalnya minimal dari dua titik, menurutku malah titik itu dari garis yang dipotong-potong", ada mahasiswa schizofenia (cem John Nash aja) yang gila menghitung ubin tangga GKU Barat, dan kejadian gila lain. Malamnya, ketika saya nonton Ludruk tema yang diangkat adalah kisah cinta Marie-Pierre Curie Ganesha. Cerita tentang kisah cinlok dua mahasiswa setelah mengidentifikasi proses reproduksi kutu di kepala. Saat itu juga, saya tak hanya sekedar mendengar jurnal ITB terindeks internasional sekian puluh ribu, namun yang jauh lebih penting kecintaan mahasiswa dan akademikus ITB akan ilmu pengetahuan sangat besar. "Ilmu Pengetahuan adalah panglima, bukan politik", itu nampaknya yang menjadi fikiran konvergen keluarga besar ITB saat itu.

70


Analisis Konten Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech : Antara KUHP dengan UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Abstrak Hadirnya Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) pada 8 Oktober 2015 menimbulkan polemik khususnya bagi para pengguna internet (netizen). Surat Edaran ini dinilai sebagai bentuk pengingkaran reformasi 1998 dimana setiap individu diberi hak penuh untuk bersuara dan berpendapat sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 9 tahun 1998. Di sisi lain hadirnya Surat Edaran ini dinilai sebagai langkah positif untuk membendung berbagai penyebaran informasi khususnya terkait kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dari media digital (internet) yang dapat merusak rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi sebagainya disebutkan dalam UU ITE. Polemik tersebut tidak dibarengi dengan analisis konten Surat Edaran tersebut secara utuh. Berdasarkan analisis, hukum pidana yang terdapat dalam KUHP secara kekuatan hukum lebih lemah, cenderung ambigu, dan lebih ringan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kata kunci : Hate Speech, analisis konten, KUHP, UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

71


Pendahuluan Reformasi 1998 menandai babak baru dalam sejarah republik ini setelah selama 32 tahun dipimpin oleh rezim Orde Baru. Rezim dimana kebebasan bersuara dan berpendapat dibatasi. Jika ada rakyat yang secara terang-terangan mencibir atau mengkritik bahkan menghina pemerintah, maka tak lama orang tersebut akan diciduk dan diproses hukum. Tindakan demikian membuat rakyat ketakutan, sampai akhirnya muncul reformasi 1998 yang menandai tamatnya orde Baru. Di masa ini hak bersuara dan berpendapat dijunjung tinggi setelah keluarnya UU No. 9 tahun 1998. Selain menandai babak baru dalam sejarah perpolitikan negeri ini, reformasi 1998 juga menciptakan kebebasan yang bisa dikatakan kebablasan. Banyak orang yang bersuara dan berpendapat dengan menghiraukan norma dan etika seperti mencaci maki, menghujat, bahkan memfitnah di depan publik. Apalagi setelah hadirnya media sosial dan kemudahan akses internet. Media ini menjadi semacam corong tiap individu untuk mengemukakan pendapat kepada masyarakat luas yang terhubung di dunia maya atau yang sering disebut netizen. Lambat laun kebebasan berbicara dan berpendapat khususnya di media sosial tak terbendung. Banyak orang yang merasa dirugikan dan kemudian melapor ke pihak berwajib. Tak terkecuali pemerintah. Pemerintah seakan tak berdaya menghadap para haters yang seringkali menyerang kebijakan maupun personal mereka secara terang-terangan. Pemerintah mengambil sikap dengan munculnya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam UU tersebut dijelaskan larangan untuk menyebarkan informasi yang memicu rasa kebencian/permusuhan individu dan/atau masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA (Pasal 26 ayat 2). Biarpun UU tersebut hadir sejak tahun 2008, namun dalam teknis pelaksanaannya kurang dapat dilakukan dengan 72


maksimal. Tercipta juga pada tahun ini UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun biarpun demikian, umpatan dari haters bukan menurun, malah semakin menjadi-jadi. Pemerintah seolah kualahan dan akhirnya pihak Polri menyebarkan selebaran berisi Peraturan terhadap Ujaran Kebencian (Hate Speech). Keluarnya Surat Edaran ini menimbulkan reaksi yang beragam dari rakyat Indonesia khususnya para netizen. Mulai dari pro maupun kontra. Karya tulis ini akan mencoba menganalisis Surat Edaran tersebut dalam konteks kontennya khususnya konten pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dua Undang-Undang yang dipakai landasan Surat Edaran ini yaitu UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pemilihan ketiga landasan hukum ini didasarkan pada isi deskriptif terkait Hate Speech dan juga hukuman bagi pelanggarnya yang relatif lengkap disajikan Surat Edaran ini. Kajian Teoretis Isi Surat Edaran Dalam surat edaran Polri, ujaran kebencian (hate speech) dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain ; penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial. Ujaran kebencian di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai 73


komunitas yang dibedakan dari aspek ; suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), orientasi seksual. Adapun media peyaluran ujaran kebencian (hate speech) dapat melalui ; orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamflet. Ujaran kebencian ini menurut Polri jika tidak ditangani secara serius akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, serta berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa. Dalam surat edaran Polri disebutkan bahwa terdapat sepuluh rujukan terbitnya selebaran ini, yaitu : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ; 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik ; 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomasi dan Transaksi Elektronik ; 7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ; 8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial ; 9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ; 10. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. 74


Dari sepuluh landasan hukum diatas, hanya tiga yang memuat hukuman pidana seperti yang dijelaskan dalam Surat Edaran ini. Ketiga landasan hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikeluarkan Polri, UU Nomor 11 Tahun 2008 pasal 45 ayat (2) tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Nomor 40 Tahun 2008 pasal 16 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Kekuatan Hukum Banyaknya landasan hukum di atas menjadi penting untuk dipilah landasan mana yang kuat. Berdasarkan hierarki kekuatan hukum, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memiliki kekuatan hukum lebih kuat dibandingkan UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden, dan Peraturan Presiden. Sementara itu, KUHP tidak termuat dalam hierarki kekuatan hukum. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri menegaskan bahwa posisi Polri berada di bawah Presiden. Tugas dan wewenang Polri dipertegas dalam Keputusan Presiden No. 89 Tahun 2000 pasal 1 bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri. Keputusan Presiden tersebut menguatkan kedudukan Polri sebagai lembaga pemerintahan yang dapat dimaknai sebagai lembaga eksekutif atau pelaksana Undang-Undang (Danendra, 2012). Atas dasar inilah, KUHP yang menjadi kewenangan Polri sehingga harus sesuai dengan Undang-Undang yang ada, tidak malah menambah-menambah bahkan bertentangan.

75


Analisis dan Pembahasan Surat Edaran yang ditulis oleh Kapolri dimaksudkan sebagai instruksi kepada jajaran kepolisian. Artinya ini adalah bentuk perintah atasan kepada bawahan. Sebenarnya jika Surat Edaran ini hanya tersebar di lingkungan institusi Polri tidak akan menjadi masalah. Masalahnya Surat Edaran ini menjadi konsumsi publik apalagi setelah tersebar melalui dunia maya (internet). Pada akhirnya perdebatan pro-kontra di kalangan masyarakat menjadi tak bisa dihindari. Penulis akan mencoba menelaah konten yang ada dalam Surat Edaran ini dan kemudian membandingkannya dengan konten serupa yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Alasan Pemilihan Acuan Dipilihnya dua Undang-Undang diatas selain karena Undang-Undang ini termuat juga dalam Surat Edaran Kapolri ini juga memuat penjelasan terkait peraturan terkait konten ujaran kebencian. Undang-Undang tersebut secara hukum juga kuat dan terbilang lengkap. Tak hanya sekedar memuat pasal yang berisi peraturan melainkan juga konsekuensi jika peraturan tersebut dilanggar. Perhatikan dua pasal dalam dua Undang-Undang tersebut : 1. Pasal 28 jis. Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik : Pasal 28 : 1) Setiap orang dengan sengaja tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. 2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan 76


individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agaman, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 45 ayat (2) : 2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama

6

(enam)

tahun

dan/atau

denda

paling

banyak

Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2. Pasal 4 poin b dan pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang berbunyi : Pasal 4 poin b : Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan : 1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat, atau dibaca oleh orang lain ; 2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; 3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain ; atau 4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis. Pasal 16 : Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

77


Adapun poin-poin dalam KUHP yang memuat penindakan terhadap ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri adalah sebagai berikut : 1.

Pasal 156 KUHP : menyatakan kebencian di depan umum dengan pidana paling lama empat tahun dan denda paling besar Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

2.

Pasal 157 KUHP : menyebarkan karya yang mengandung kebencian dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

3.

Pasal 310 KUHP : (1) pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah), (2) Jika dilakukan melalui media seperti tulisan maka pidana maksimal penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).

4.

Pasal 311 KUHP : melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Dua Undang-Undang diatas dan KUHP dimuat secara bersamaan sebagai

landasan hukum dari Surat Edaran ini. Dua Undang-Undang secara kekuatan hukum terbilang kuat, sementara KUHP posisinya lebih lemah. Hal ini diarenakan posisi Polri berada di bawah Presiden sedang Presiden harus tunduk pada Undang-Undang yang berlaku. Alasan kedua, melihat kelengkapan isi. Kedua Undang-Undang ini lebih jelas dan tidak ambigu dibandingkan dengan KUHP. Pidana yang dimaksud dalam KUHP bermakna ambigu. Penggunaan konektor "dan" dan "atau" jika sesuai dengan fungsi yang tata bahasa Indonesia, maka menjadi tidak relevan. Perhatikan pasal 157 KUHP, mempublikasikan karya mengandung kebencian dipidana maksimal dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,00. Dalam tata bahasa Indonesia konektor "atau" berfungsi pilihan, maka jelas orang akan membayar uang yang tidak seberapa itu jika terbukti melakukan publikasi karya yang berisi kebencian. Ini kontradiksi 78


dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 pasal 16 bahwa pelaku akan dipenjara maksimal lima tahun penjara atau denda maksimal 500 juta rupiah. Secara jelas perbedaan konten KUHP dan Undang-Undang disajikan dalam tabel berikut : No. 1.

Butir poin Ungkapkan

KUHP

kebencian

depan umum

Undang-Undang

di 4 tahun penjara dan 5 tahun penjara atau denda Rp. 4.500,00

denda 500 juta (UU Diskriminasi Ras dan Etnis).

2.

Publikasi

karya

berisi 2

kebencian

tahun

penjara

6

bulan 6 tahun penjara atau

atau

denda denda 1 Milyar rupiah

Rp. 4.500,00 3.

Pencemaran nama baik

(UU UTE)

9 bulan penjara atau 5 tahun penjara atau denda Rp. 4.500,00

denda 500 juta (UU Diskriminasi Ras dan Etnis).

4.

Pencemaran

nama

dengan media (tulisan)

baik 1 tahun 4 bulan atau 5 tahun penjara atau denda Rp. 4.500,00

denda 500 juta (UU Diskriminasi Ras dan Etnis). 6 tahun penjara atau denda 1 Milyar rupiah (UU UTE).

5.

Fitnah

Penjara 4 tahun

6 tahun penjara atau denda 1 Milyar rupiah (UU UTE).

Tabel 1. Perbedaan konten pidana dalam KUHP dan UU ITE dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

79


Perbandingan konten pidana di atas penting untuk disorot. Pemakaian ketiga acuan hukum diatas menjadikan para terpidananya mendapatkan pasal berlapis. Misalkan seorang yang mempublikasi tulisan yang mengandung unsur kebencian di jejaring sosial, maka Ia akan mendekam di penjara maksimal 8 tahun 6 bulan (2 tahun 6 bulan dari KUHP dan 6 tahun dari UU ITE). Belum lagi dengan UU lain yang sangat bergantung pada penafsiran para pengambil keputusan di persidangan. Ini justru sangat memberatkan korban. Maka, melihat posisi Polri di bawah Presiden seharusnya tidak perlu membuat peraturan baru dalam KUHP jika dalam UU telah dimuat. Polri sebagai alat negara seharusnya justru merealisasikan secara maksimal UU yang ada demi keamanan dan ketertiban warga negara. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum sangat jauh dilakukan. Inilah Pekerjaan Rumah sesungguhnya dari Polri. Banyaknya aturan justru akan menimbulkan penyalahgunaan dan penyelewengan. Maka, evaluasi atas produk hukum khususnya terkait ujaran kebencian mutlak diperlukan termasuk juga revisi KUHP yang dibuat Polri. Kesimpulan Surat Edaran Kapolri terkait ujaran kebencian (Hate Speech) berisi peraturan-peraturan yang mengacu pada Undang-Undang dan juga KUHP. Hukum pidana yang terdapat dalam KUHP secara kekuatan hukum lebih lemah, cenderung ambigu dan lebih ringan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Maka, evaluasi akan produk hukum mutlak diperlukan khususnya terkait ujaran kebencian agar tidak menyalahi produk hukum yang pertama kali dibuat yakni UU No. 9 tahun 1998 tentang kebebasan bersuara dan berpendapat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menghapus KUHP sebagai landasan hukum persoalan Hate Speech.

80


Daftar Pustaka Danendra, I.B. Kade, Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia, Lex Crimen Vol.I/No.4/Okt-Des/2012 Polri, Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), 8 Oktober 2015 Undang-Undang Dasar (UUD)1945 Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Paper ini adalah tugas mata kuliah Etika Pembangunan pada 2015

81


Konflik Penambangan Pasir Besi di Kulon Progo dalam Perspektif Prinsip Feminitas dan Maskulinitas Menurut Vandana Shiva Abstrak Konflik penambangan pasir besi di pantai Selatan Kulon Progo antara pihak PT. Jogja Magasa Iron (JMI) dengan warga setempat yang tergabung dalam Persatuan Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) mengindikasikan bahwa konflik ini masuk dalam katagori jenis konflik sumber daya. Motif dari konflik ini adalah ekonomi dimana munculnya tindakan dan moral serakah bagi salah satu pihak untuk memanfaatkan lahan pantai untuk mendapatkan nilai ekonomik yang tinggi. Tindakan eksploitatif yang dilakukan PT JMI merujuk pada gagasan Vandana Shiva merupakan ciri khas prinsip maskulinitas, sedangkan petani PPLP yang menolak rencana penambangan atas dasar mempertahankan keselerasian alam dikatorikan menjunjung tinggi prinsip feminitas. Maka dalam upaya untuk mewujudkan kelestarian alam, perjuangan PPLP-KP perlu didukung. Kata kunci : Konflik pasir besi, Vandana Shiva, prinsip feminitas Pendahuluan Sejak kebijakan desentralisasi diaplikasikan pasca Reformasi 1998, beragam masalah muncul. Daerah-daerah menjadi kekuatan hegemonik baru yang seringkali memunculkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan juga lingkungan. Salah satu indikasi hegemoni Pemda adalah penguasaan atas wilayah. Masalah ini menjadi ramai ketika terdapat sengketa antara Pemda dan masyarakat 82


yang mendiami wilayah. Masalah jenis ini terjadi di daerah Kulon Progo, sebuah kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kulon Progo termasuk dalam wilayah kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Secara historis, daerah ini sebagiannya secara de jure menjadi milik Paku Alam yang tak lain adalah bagian dari keraton Yogyakarta khususnya lahan di daerah pantai Selatan. Namun bukti kepemilikan ini tak sampai dengan bukti akta tanah sebagaimana disyaratkan Undang-Undang. Berpuluh-puluh tahun daerah tersebut tak tersentuh langsung oleh pihak keraton, warga di pesisir pantai Selatan Kulon Progo akhirnya mengakuisisi lahan tersebut dengan memfungsikannya menjadi lahan pertanian yang subur. Lahan pertanian inilah yang menjadi mata pencaharian utama warga setempat karena mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi. Pada 2006, pihak keraton merencanakan akan mengeksploitasi lahan pantai yang telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian subur oleh warga. PT Jogja Magasa Iron (JMI) berdiri dengan bekerja sama perusahaan Indomines Limited dari Australia untuk mengelola lahan seluas lebih dari 4000 hektar ini sebagai tambang bijih besi. Pertentangan warga terhadap pihak keraton tak terbendung. Konflik demi konflik terjadi begitu masif. Bahkan sampai berujung pada konflik fisik antara warga dengan pihak-pihak yang pro dengan penambangan. Konflik yang berlangsung cukup lama ini lambat laun memunculkan aktor-aktor dalam pusaran konflik. Warga yang semula getol dengan penolakan tambang, kini berbalik mendukung. Lahan-lahan warga pun sebagiannya dijual kepada perusahaan. Kini, PPLP seolah menjadi musuh tunggal pihak PT JMI. Konflik pasir besi ini sering ditinjau sebagai konflik kepemilikan lahan (agraria) antara warga dengan pihak keraton yang mana itu merupakan masalah ekonomi semata. Sangat jarang orang menilai konflik ini dari sudut pandang ekologis. Maka, dari hal inilah penulis akan mencoba menggali lebih dalam konflik 83


ini dari sudut pandang kelestarian alam (ekologis) menurut prinsip feminitas yang digagas oleh Vandana Shiva. Shiva merupakan aktivis India yang aktif dalam berbagai aksi warga melawan perusakan ekologi dan dalam gerakan orang-orang Chipko, dan secara ekstensif menulis mengenai wanita, ekologi, dan filsafat ilmu pengetahuan. Pikiran Shiva secara cukup komprehensif tersaji dalam buku karangannya berjudul "Bebas dari Pembangunan, Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India". Kerangka Teori Konflik Pasir Besi di Kulonprogo Konflik yang terjadi di pantai Selatan Kulon progo tergolong dalam konflik sumber daya. Konflik sumber daya merupakan ketidaksepakatan dan perselisihan mengenai akses, kendali, dan pemanfaatan sumber daya alam. Konflik dimaksud dapat terjadi oleh sebab latar belakang dalam wilayah sama terdapat persediaan sumber daya yang semakin terbatas, cara mendapatkan sumber daya masih menampilkan kepentingan perorangan atau kelompok tertetu, dalam berinteraksi salah satu pihak memaksakan kehendak dengan menggunakan sentimen agama, asal daerah, bahasa, ras, dan identitas sejenisnya (Saptomo, 2002 : 19). Dalam teori yang digagas oleh Walter G. Stephen dan Cookie White Stephen (1996), konflik sumber daya tergolong dalam realistic group theory. Menurut Olzak (1991) konflik ini dapat terjadi ketika ketidakmampuan memelihara kesetaraan antarkelompok timpang, biasanya dipicu oleh ketidakseimbangan antarkelompok dalam peluang kerja, tingkat ekonomi, dan kemakmuran. Mengenal Feminisme Ide dasar Vandana Shiva akan prinsip feminitas bertitik tolak pada teori feminisme yang sedang berkembang di dunia. Teori feminisme adalah ragam 84


perspektif teoretis yang berusaha menjelaskan gejala opresi dan subordinasi wanita beserta sebab-sebab dan konsekuensinya, dan mencari strategi pembebasan bagi wanita. Tujuan akhir yang ingin dicapai teori feminis mencakup ; Pertama, kesamaan hak dan kedudukan pria dan wanita sebagai manusia bebas, baik dalam dunia publik maupun privat. Kedua, penghapusan segala bentuk opresi dan pembedaan peran gender dalam masyarakat. Ketiga, kebebasan individu untuk memilih dan memutuskan sesuai dengan keinginan dan aspirasinya sendiri. Sementara itu menurut

Mansour Faqih dalam Shiva (1997), feminisme

adalah suatu gerakan yang berangkat dari kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan didiskriminasi, serta usaha untuk mengakhiri diskriminasi tetsebut. Tahun 1960-an umumnya dianggap sebagai saat lahirnya gerakan feminisme di Amerika sebagai bagian dari radical culture yaitu gerakan civil rights (hak-hak sipil) dan sexual liberation (kebebasan seksual) saat itu. Perkembangan awal ditandai dengan menjamurnya kelompok feminis yang memperjuangkan nasib kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan praktis seperti perawatan anak, kesehatan, pendidikan, aborsi, dan lain sebagainya. Gerakan itu lalu merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia dan akhirnya menjadi gerakan dunia. Secara kasar gerakan feminis terbagi menjadiempat jenis. Pertama, feminisme liberal. Faham ini berasumsi bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu perempuan adalah makhluk rasional juga, maka perempuan harus diberi hak yang sama dengan lelaki. Gerakan ini berhasil menciptakan diskursus Women in Development (WID) yang dianut oleh lembagalembaga pembangunan internasional dan negara-negara Dunia Ketiga. Kedua, feminisme radikal. Gerakan ini muncul sebagai reaksi atas seksisme di Barat tahun 1960-an yang percaya bahwa penindasan perempuan berakar pada kaum lelaki. Pada faham ini, hubungan gender direduksi menjadi perbedaan alami yang 85


bersumber pada biologi. Faham ini menyumbang gerakan personal is political yang memberi peluang politik bagi kaum perempuan. Ketiga, feminisme Marxis. Faham ini menolak gagasan biologi sebagai dasar analisis, dan mengajukan tesis bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam cara produksi. Oleh karena itu masalah perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Karena lelaki mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik, dan perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka. Keempat, feminisme sosialis. Faham ini muncul sebagai kritik atas metode historis materialis Marx dan Engels serta mengakomodasi the personalis political-nya kaum radikal. Bagi mereka yang menganut faham ini, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun. Atas dasar itu, mereka menolak visi Marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Maskulinitas dan Feminitas Shiva yang dikenal sebagai tokoh ekofeminisme tidak menggunakan analisis

gender

untuk

memahami

ketidakadilan

perempuan.

Ia

justru

memfokuskan gagasannya pada dua ideologi yang berlawanan yaitu antara prinsip maskulinitas dan prinsip feminitas yang berpengaruh pada segenap kesatuan kehidupan. Menurut Shiva, prinsip feminitas sebagai the sustenance perspective yaitu prinsip yang diperlukan bagi kehidupan adalah prinsip yang berciri kedamaian, keselamatan,

kasih

dan

kebersamaan.

Sebaliknya

maskulinitas

bercirikan

persaingan, dominasi, eksploitasi, dan penindasan yakni prinsip penghancuran. Maskulinitas berhasil merealisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti developmentalisme, modernisasi, industrialisme, militerisme, positivisme, dan reduksionisme, serta berbagai ideologi kekerasan lainnya. Feminisme radikal tanpa sadar menggunakan prinsip persaingan pada sifat maskulinitas. Demikian juga feminisme Marxis yang cenderung mengadakan devaluasi atas prinsip feminitas. 86


Watak rasionalisme dan tiadanya kaitan spiritualitas antara feminisme dan ekologi menjadi kritik utama Shiva pada feminisme dominan tersebut. Shiva melakukan kritik tajam akan revolusi ilmiah yang berkembang di dunia saat ini. Baginya revolusi ilmiah sebagai proses universal di Barat yang telah menghancurkan pengetahuan kaum perempuan dan budaya non-Barat, Oleh karenanya, Ia secara mendalam memberikan contoh manifestasi epistemologis reduksionisme. Pertama, Ia melakukan demitologisasi atas pembangunanisme (developmentalism).

Mitos

mengejar

ketertinggalan

pembangunan

adalah

reduksionisme yang merupakan manifestasi prinsip maskulinitas yang berakar pada ideologi patriarki. Kedua, menghentikan reduksionisme yang menjadi dasar pijakan ilmu pegetahuan modern (modern science). Ilmu pengetahuan modern yang dimitoskan sebagai ilmu universal, bebas nilai dan objektif pada dasarnya sangat berakar pada Budaya Barat dan bersifat patriarkis. Reduksionisme ini dinilai Shiva hanya menghendaki keseragaman dalam hal pendekatan dan mengganggap pusat produksi pengetahuan hanya pada orang yang tahu (spesialis). Reduksionisme juga sangat membahayakan umat manusia terutama kaum perempuan dan ekologi karena wataknya yang dominatif terhadap objeknya. Atas

dasar

tersebut,

Shiva

menuntut

perlunya

epistemologi

non

reduksionisme yakni pengetahuan yang berlandaskan pada woman's way of knowing atau cara produksi pengetahuan yang berdasar pada prinsip feminitas. Artinya, Shiva menempatkan kaum perempuan yang dari dulu merupakan objek utama perubahan, justru sebagai pusat proses perubahan serta penciptaan pengetahuan. Adapun manifestasi reduksionisme seperti revolusi hijau dan bioteknologi, dinilai Shiva sebagai praktik pembangunan yang berideologi maskulinitas.

87


Alam Sebagai Prinsip Feminim Shiva menggabungkan prinsip feminim dengan budaya yang berkembang di India dalam kritiknya tentang alam. Menurutnya, sebagai perwujudan dan manifestasi prinsip feminim ciri-ciri khas Prakiti 13 adalah : a) kreativitas, aktivitas, dan produktivitas ; b) keanekaragaman bentuk dan aspek; c) keterkaitan dan saling berhubungan antara setiap makhluk, termasuk manusia ; d) kesinambungan antara alam dan manusia ; dan e) kesucian kehidupan di alam. Secara konseptual ini sangat berbeda dengan konsep Cartesian tentang alam sebagai lingkungan atau sumber daya. Ide cartesian ini menganggap alam : a) tak berdaya dan pasif ; b) seragam dan mekanis; c) terpisah dan tersekat-sekat sendiri di dalamnya; d) terpisah dari manusia; dan e) lebih rendah, untuk ditundukkan dan dijarah oleh manusia. Shiva menegaskan bahwa proses pertumbuhan secara organis yang didalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam yang menurut Mies diringkas sebagai berikut ; Pertama, interaksi mereka dengan alam baik dengan alam lingkungan mereka sendiri maupun dengan lingkungan luar merupakan sebuah proses timbal-balik. Kedua, walaupun mereka mengambil hasil alam, perbuatan mereka bukan merupakan hubungan dominasi atau memiliki. Ketiga, mereka juga menjadu produsen nafkah kehidupan yang pertama dan penemu ekonomi produktif yang pertama, yang secara tidak langsung ditunjukkan dari awal produksi sosial dan penciptaan hubungan-hubungan sosial yaitu masyarakat dan sejarah.

'Prakiti' adalah katagori yang populer, dan perempuan di pedesaan India biasa menghubungkan diri dengan alam melalui prakiti ini. Prakiti juga merupakan katagori yang telah mengalami evolusi tingkat tinggi dalam kosmologi India. Bahkan, aliran-aliran falsafah pemikiran India yang bersifat patrairkal dan tidak memberikan tempat tertinggi bagi Yang Maha Suci sebagai perempuan, seorang ibu, terpengaruh oleh budaya-budaya prasejarah dan tradisi-tradisi alam 'kecil' yang hidup sebagai dewi primordial. 13

88


Hubungan antara perempuan dan alam dapat menjamin kelangsungan hidup, dan kerja sama yang penting yang sayangnya dihancurleburkan ketika proyek pembangunan menjadi proyek yang patriarkal, mengancam alam maupun perempuan. Apa yang berlangsung atas nama pembangunan adalah sebuah proses pembangunan

yang

menyimpang,

sebuah

proses

pelanggaran

terhadap

perempuan dan alam di seluruh dunia. Krisis yang dilahirkan oleh model pembangunan yang menyimpang dapat diatasi dalam paradigma benak yang krisis. Pemecahannya terletak dalam katagori-katagori pemikiran, persepsi, dan tindakan yang memberi semangat dan memelihara kehidupan. Perempuan dalam sudut pandang ekologis memliki keistimewaan. Pertama, mereka memiliki pengetahuan tentang makna menjadi korban kemajuan, menjadi pihak yang menanggung biaya dan beban. Kedua, mereka memiliki pengetahuan ekologi dan holistik tentang produksi dan perlindugan kehidupan. Mereka mempertahankan kemampuan untuk memandang kehidupan alam sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup manusia dan keterjalinan di alam sebagai prasyarat kehidupan. Pembangunan yang ada saat ini dipandang sebagai suatu proses yang menjadikan masyarakat manusia menyingkirkan peranan prinsip feminim dalam alam dan masyarakat. Padahal kelangsungan hidup manusia lebih banyak disebabkan oleh perempuan sebagai peramu dari pada laki-laki sebagai pemburu. Lee dan de Vore telah menunjukkan bahwa bahkan di antara para pemburu dan peramu, perempuan menyediakan sampai 80 persen dari kebutuhan makanan sehari-hari, sementara dengan berburu, laki-laki hanya menyumbang sejumlah kecil. Selain itu sifat alami perempuan mengandung kedamaian, kegembiraan, dan berakhirnya kekerasan yang kontradiktif dengan sifat maskulin.

89


Kritik Shiva Atas Eksploitasi Sumber Daya Alam Vandana Shiva dalam Sachs (2000) mengungkapkan bahwa orientasi pembangunan saat ini lebih mengutamakan akumulasi kapital. Hal ini terbukti tidak sesuai dengan prinsip humanitas dan keberlanjutan lingkungan yang dianutnya. Shiva yang merupakan orang India, patuh pada ajaran Satyagraha (perjuangan tanpa kekerasan) yang dipopulerkan Gandhi untuk mendukung gerakan

'anti-pembangunan'.

Ia

menjuluki

pembangunan

yang

merusak

lingkungan dan juga masyarakat sebagai maskulin, sedang Ia dan masyarakat yang bergerak bersamanya dijulukinya sebagai feminim. Fikiran yang dilontarkan Shiva tak lain bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dan juga menghilangkan penindasan atas nama kapital. Sumber Daya Alam (SDA) dijadikan sebagai komoditas produksi dan perdagangan yang bersifat kolonial (menjarah, menjajah). SDA dieksploitasi berlebih akibat dokrin pembangunan Barat. Akibatnya ekologi pun rusak, begitu pula budaya orang yang hidup disekitar SDA berada. Perusakan ekologi disebut Shiva sebagai markulinitas Bacon yang menjajah budaya wanita dan non-Barat. Ajaran Bacon adalah revolusi sains dalam berbagai sendi kehidupan. Eksploitasi berlebihan dari SDA khususnya hutan ini merusak hak rakyat lokal, sumber daya, dan pengetahuannya. Ia mencontohkan hutan karena

memberikan mereka

kehidupan. Keanekaragaman biologi hutan memberikan keanekaragaman kultural dari rakyat yang hidup di hutan. Shiva menekankan bahwa perlu adanya keserasian antara manusia dan alam, maka Ia sangat menentang faham yang menjadikan alam sebagai objek eksploitatif semata.

90


Analisis dan Pembahasan Peta wilayah Konflik Penambangan pasir besi di pesisir pantai selatan Kulon progo akan dilakukan di lahan pantai seluas 2.987,79 hektar. Areal yang akan ditambang tersebut secara adminsitratif merupakan wilayah dari tiga kecamatan yaitu kecamatan Galur, kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Wates. Desa-desa di ketiga kecamatan tersebut yang wilayahnya termasuk areal yang akan ditambang antara lain Desa Banaran dan Desa Karangsewu di Kecamatan Galur ; Desa Bugel, Desa Pleret, dan Desa Garongan di kecamatan Panjatan serta Desa Karangwuni di kecamatan Wates (Astuti, 2012). Sementara itu, menurut Perkasa (2014) area penambangan mencapai 4076 hektare yang mencakup empat kecamatan : Galur, Panjatan, Temon, dan Wates. Lahan tepi pantai yang akan digunakan untuk eksploitasi pasir besi adalah sepanjang 22 kilometer dengan lebar 1,8 kilometer.

Sumber : Leaflet PT Jogja Magasa Iron dalam Astuti (2012)

91


Pihak yang Berkonflik Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pasir besi ini dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu pihak yang terlibat langsung dan pihak yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Pihak yang terlibat langsung meliputi : 1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ; 2) Investor (PT. Jogja Magasa Iron/JMI); 3) Masyarakat Pesisir Pantai (Pro dan Kontra). Sedangkan pihak yang tidak terkait langsung dalam konflik diantaranta : 1) Elemen-elemen masyarakat sipil ; 2) Komnas HAM ; 3) DPRD. 1. Terlibat langsung dalam konflik a. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Pemerintah provinsi adalah pihak yang paling berkepentingan dan paling kuat mendesakkan proyek penambangan pasir besi ini disamping Pemerintah Pusat memiliki kepentingan juga setelah meloloskan kebijakan investasi asing secara langsung. Sebagai penguasa di tingkat provinsi, Sri Sultan HB X dan Pakualam IX memiliki rested interest yang telah diketahui publik. Sangat jelas di sini terjadi conflict of interest terkait jabatannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kedudukannya sebagai pemilik saham dan korporasi PT. Jogja Magasa Iron (JMI). Sementara itu, Pemerintah Kabupaten pada dasarnya hanyalah kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Pemprov. b. PT. Jogja Magasa Iron (JMI) PT. JMI pada awalnya bernama PT. Jogja Magasa Mining (JMM). PT JMM adalah perusahaan yang didirikan keluarga keraton, yakni BRMH Hario Seno, GBPH Joyokusumo, dan GKR Pembayun, putri sulung dari Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X (Perkasa, 2014). Sebagaimana 92


tercantum dalam Kontrak Karya, Jogja Magasa Iron ini merupakan perusahaan berbentuk penanaman modal asing (PMA) dimiliki PT Jogja Magasa Mining dari Indonesia sebesar 30 persen dan Indomines Limited dari Australia sebesar 70 persen. c. Kelompok Warga Pesisir (Pro dan Kontra) Sejak proses sosialisasi dilakukan, warga pesisir yang pada awalnya sebagian besar menolak proyek penambangan pasir besi, perlahan-lahan mulai terbelah menjadi dua kubu. Dilihat dari tata letak wilayah, warga yang berubah sikap mendukung proyek tambang pasir besi ini umumnya tinggal di sisi utara jalan Daendles. Dan hampir bisa dipastikan bahwa mereka bukanlah para penggarap lahan pantai. Karena bukan petani penggarap lahan pantai maka, mereka tidak akan banyak terdampak atau terugikan dengan adanya proyek. Sementara itu, warga yang berafiliasi di kubu kontra ini sebagian besar tinggal di sisi selatan jalan Daendles. Merekalah yang relatif banyak bertumpu pada penghidupan di sektor pertanian lahan pantai. Besarnya manfaat dan keuntungan ekonomi yang didapat dari lahan yang mereka garap membuat warga menolak hadirnya proyek tambang pasir besi. Warga yang kontra penambangan pasir ini terhimpun di dalam Paguyupan Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP). 2. Tidak terlibat langsung dalam konflik a. Beberapa elemen masyarakat sipil Lembaga yang mendukung kelompok warga kontra penambangan adalah LBH Yogyakarta sebagai pengawal proses hukum warga pesisir pantai. Selain mendesak Pemerintah Pusat untuk segera meninjau ulang penandatanganan kontrak karya proyek penambangan pasir besi, LBH juga membawa kasus bentrok ini ke Komnas HAM, lantaran tindakan Polisi yang terlalu berlebihan. 93


LBH juga lakukan pendampingan terhadap Tukijo, petani yang dipenjara akibat kasus ini. Elemen lain yang turun berperanserta adalah LSM Lingkungan ; Walhi dan LSM IDEA yang diposisikan sebagai aliansi strategis warga. b. DPRD Karena proyek penambangan pasir besi ini merupakan agenda Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi, maka posisi DPRD DIY maupun DPRD Kulon Progo berada pasa posisi yang tidak memiliki daya tawar apapun. Posisi mereka dilematis. Semisal lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY kepada Kementerian Dalam Negeri, tanpa melibatkan aspirasi masyarakat atau evaluasi dari DPRD DIY adalah bukti dari ketidakberdayaan itu. c. Komnas HAM PPLP

mendapatkan

dukungan

moril

dari

Komnas

HAM

selama

melangsungkan penolakan proyek pasir besi ini. Setidaknya tercatat dua kali Komnas HAM melakukan kunjungan ke Kulon Progo terkait konflik ini. Eskalasi Konflik Adapun eskalasi konflik dapat digambarkan meelalui tabel berikut ; No

Tahun

Penyebab

Bentuk

dan Aktor

Eskalasi 1

2006

• Sosialisasi penambangan

rencana Konflik vertikal : • Masyarakat pasir penolakan

besi pada masyarakat sosialisasi pesisir. 94

rencana

pesisir. • Pemerintah • PT JMI


kuasa penambangan

• Pemberian

oleh pasir besi.

penambangan

Pemkab Kulon Progo pada PT JMI 2

2007

• Pembahasan

naskah • Konflik

Kontrak

Karya

Penambangan

• Masyarakat

vertikal

pesisir

Pasir • Unjuk rasa

Besi

• PPLP

• Pendirian

• Sosialisasi pada jajaran

• Pemerintah

Posko PPLP

• PT JMI

pemerintahan 3

2008

• NGO

• Pendirian pilot project Konflik

vertikal • Masyarakat

dan horizontal :

pasir besi • Penandatanganan Kontrak Kerja

• Unjuk

rasa • PPLP

PPLP

ke • Pemerintah

UGM

• PT JMI

• Pembakaran posko PPLP 4

2009

Konflik vertikal :

• Pemasangan pengumuman

dalam • PPLP

rangka AMDAL

pasang

pengumuman

• Konsultasi publik di

pesisir

• NGO • Akademisi • Masyarakat pesisir • PPLP

tolak AMDAL • Pemerintah

Gedung Kaca dalam • Bentrok PPLP • PT JMI rangka AMDAL

dan Polisi saat • NGO berunjuk rasa • Polisi di

gedung

kaca 5

2010

• RT RW propinsi dan Konflik Kab.

KP

vertikal • Masyarakat

bahwa dan horizontal :

pesisir 95


wilayah sebagai

pesisir • Disintegrasi wilayah

penambangan • Pembentukan Komisi AMDAL

masyarakat pesisir

Tim

• PPLP • Pemerintah

Desa • PT JMI

Karangsewu

Penilai • PPLP

• NGO

tolak • DPRD

pembentukan Tim

Komisi

Penilai AMDAL Tabel 1. Beberapa konflik beserta penyebab dan eskalasinya

Prinsip Feminitas dan Maskulinitas dalam Kasus Dari paparan di atas terkait eskalasi konflik, secara umum kasus ini merupakan konflik ekonomi. Indikasinya mencakup status kepemilikan tanah yang diperebutkan baik oleh pihak PT. JMI maupun pihak warga yang tergabung dalam PPLP-KP. Indikasinya selanjutnya adalah warga setempat akan kehilangan mata pencaharian utama sebagai petani. Terbukti berpuluh-puluh tahun lahan pantai ini berhasil ditanami cabai keriting, melon, semangka, terung, kacang panjang, caisin, pare/oyong, dan gambas dengan keutungan mencapai 4 juta rupiah per sekali panen (Widodo, 2013). Indikasi terakhir yaitu persoalan pengangguran. Lahan pertanian dipercaya warga akan dapat diwariskan ke anak-cucu untuk diolah kembali. Ini berbeda ketika lahan pertanian telah berubah menjadi lahan eksploitatif pasir besi. Selain dampak ekonomi, dampak lingkungan menjadi tak terhindarkan jika rencana PT JMI untuk menambang pasir besi di wilayah pesisir pantai Selatan Kulon Progo. Berikut dampak lingkungan yang akan ditimbulkan :

96


1. Kerusakan ekosistem gumuk pasir Menurut warga gumuk pasir bisa menjadi benteng atau penahan gelombang tsunami. Warga mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Cilacap, bahwa setelah ada pertambangan gundukan pasir pantai akan hilang. Jadi jika ada Tsunami kecil saja bisa sampai rumah, karena tidak ada penghalang lagi. 2. Instrusi air laut ke daratan Warga mengkhawatirkan setelah terjadinya penambangan, sumur-sumur warga pesisir akan berubah menjadi asin. Jika itu terjadi maka warga tidak bisa lagi menggunakan air sumur itu untuk pertanian maupun untuk kebutuhan air bersih untuk keluarga mereka. Sejumlah perempuan menuturkan bahwa penggunaan air asin seperti itu juga akan berpengaruh pada kesehatan reproduksi perempuan. Bayangkan lahan akan dibor 13-14 meter dan kandungan pasirnya akan diambil 13 persennya. Jika itu terjadi berarti di lahan eks pertambangan permukaannya akan turun 1-2 meter, dan jika terjadi siklus pasang, maka permukiman warga akan terkena air laut. Tidak menutup kemungkinan setelah pasir diangkat 13 persen akan berdampak pada keasinan air sumur warga di sini. Padahal selama ini air sumur tidak asin. 3. Abrasi laut selatan Abrasi laut selatan akan semakin parah karena rencana penambangan hingga kedalaman 14,5 meter dengan panjang 22 kilometer dan lebar 1,8 kilometer. 4. Rusaknya lahan pertanian pantai

97


Puluhan ribu petani mengkhawatirkan lahan mereka akan rusak akibat dari penambangan, padahal saat ini mereka sudah menikmati dengan kehidupan bertani di pantai ini. Berdasarkan analisis dampak lingkungan yang dihasilkan, tindakan eksploitatif yang akan dilakukan oleh PT. JMI jika merujuk pada gagasan Shiva (1997) masuk dalam katogori maskulin. Aktor –aktor lain yang pro penambangan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah DIY, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo juga dikatagorikan sebagai maskulin. Hal ini karenakan karena mereka didorong oleh pemahaman kapitalistik akan sumber daya dimana pasir besi di kawasan pesisir pantai Selatan Kulon Progo dikatagorikan sebagai objek semata. Keuntungan ekonomik akan didapatkan sangat besar bagi PT JMI dan juga para pemegang sahamnya, begitu pula dampak ekologis yang dihasilkan. Padahal, pemanfaatan pasir besi bisa dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang selaras dengan alam. Prinsip inilah yang dinamakan Shiva sebagai prinsip feminim yang dicirkan dengan ketidakserakahan dan mengacu pada keberlanjutan (sustainable) ekologi di masa mendatang. Aktor-Aktor yang

Maskulin

Feminim

terlibat Pemerintah Pusat

V

Pemerintah DIY

V

Pemerintah Kab. Kulon

V

Progo PT Jogja Magasa Iron

V

Warga non PPLP-KP

V

Warga PPLP-KP

V

Walhi

V

LSM IDEA

V

98


Komnas HAM DPRD

V -

-

Tabel 2. Pengkatagorian maskulin dan feminim aktor-aktor yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam konflik merujuk pada Shiva (1997)

Adapun masyarakat pesisir pantai Kulon Progo yang tergabung dalam PPLP-KP yang menentang penambangan masuk dalam katagori feminim. Juga pihak-pihak yang mendukung seperti Walhi, LSM IDEA dan Komnas HAM masuk dalam katagori feminim. Mereka menjunjung tinggi kelestarian alam dengan tidak mengeksploitasi pasir pantai dengan mengambilnya untuk diolah menjadi komoditas lain yang menghasilkan nilai tambah tertentu, melainkan hanya memanfaatkan untuk diolah menjadi lahan pertanian subur. Alih fungsi lahan ini memang mengganggu kesetimbangan ekologis pada awalnya, namun dengan memilih lahan yang tidak rentan abrasi, dan merusak ekosistem gumuk pasir, kesetimbangan ekologis baru dapat terjaga. Adapun pihak DPRD baik dari Provinsi DIY maupun DPRD Kabupaten Kulonprogo tidak masuk dalam katagori manapun. Ini dikarenakan DPRD tidak memiliki wewenang apapun untuk mengeluarkan kebijakan terkait penambangan pasir besi ini. Kebijakan penambangan bersumber dari Pemerintah Provinsi DIY yang dalam hal ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur. Sebagai contoh lolosnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY kepada Kementerian Dalam Negeri, tanpa melibatkan aspirasi masyarakat atau evaluasi dari DPRD DIY adalah bukti bahwa DPRD tidak dilibatkan dalam proyek pasir besi ini.

99


Kesimpulan Konflik pasir besi di pesisir pantai selatan Kulon Progo melibatkan aktor kunci yaitu PT. Jogja Magasa Iron (JMI) dan warga yang tergabung

dalam

Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Ditinjau dari sudut pandang ekologis, penambangan akan memunculkan dampak lingkungan yang merusak seperti halnya abrasi pantai, rusaknya ekosistem gumuk pasir, intrusi air laut ke daratan, dan merusak lahan pertanian warga. Karena eksploitasi pasir ini berdampak merusak dan abai pada kelestarian alam, maka aktor-aktor yang terlibat mendukung eksploitasi merujuk pada Shiva (1997) masuk dalam katagori maskulin, sementara pihak yang kontra penambangan demi mewujudkan kelestarian alam masuk dalam katagori feminim. Biarpun warga yang tergabung dalam PPLP terkesan lebih memihak pada kepentingannya yakni agar mata pencahariannya sebagai petani lahan pantai tidak terganggu, namun perjuangan mereka perlu didukung karena memuat upaya untuk menjaga ekologi pesisir Pantai Selatan agar tidak rusak oleh keserakahan manusia melalui eksploitasi pasir besi. Referensi Shiva, Vandana. (1997). Bebas dari Pembangunan, Jakarta : Yayasan Obor Yogyakarta Sachs, Wolfgang. (2000). The Development Dictionary, New York : Zed Books, hal 228-242 Widiastuti, Indah. (2015). Etika Pembangunan Berkenaan dengan Wacana Perempuan, Feminisme dan Emansipasi, Kuliah ke-6 mata kuliah Etika Pembangunan Widyanta, AB. (tanpa tahun). Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, 100

Eskalasi,

dan

Resolusinya),

academia.edu

:


https://www.academia.edu/4892667/Konflik_Mega_Proyek_Tambang_Pasir_Besi _Kulon_Progo_Anatomi_Eskalasi_Resolusinya_-_AB._Widyanta

diakses

20:51

14/12/2015 Perkasa, Anugerah. (2014). Jejak Hitam Keraton di Kulonprogo, Indoprogress.com : http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/

diakses

21:07 14/12/2015 Widodo. 2013. Menanam adalah Melawan. Yogyakarta : PPLP-KP Astuti, Eka Z.L. 2012. Konflik Pasir Besi : Pro dan Kontra Rencana Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon progo, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 16, Nomor 1, Juli 2012 (62-74) Kusumadewi, Difa. (2015). Fenomena Konflik di Papua dalam Perspektif Integrasi Bangsa, draft tesis

Paper ini adalah tugas mata kuliah Keberlanjutan Lingkungan dan Isu Global pada 2015

101


Potret Pedagang Asongan Mamat dalam Konteks Realitas Pembangunan Saat Ini

Latar Belakang Praktik kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh Pemerintah tidak lepas dari konsepsi pembangunan yang disodorkan negara maju. Pemerintah semenjak Orde

Baru

menjalankan

sistem

ekonomi

kapitalisme

dengan

ditandai

dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) (UU No. 1 Tahun 1967). Melalui Undang-Undang tersebut, banyak korporasi asing mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia yang sedang tahap berkembang (growing) pasca paceklik ekonomi di zaman Soekarno didatangi agen-agen pembangunan seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Dua institusi keuangan internasional ini rajin memberikan pinjaman ke Indonesia dengan harapan agar negara ini dapat membangun dan menjadi negara sejahtera. Namun yang terjadi, bantuan tersebut justru menjadikan ketergantungan (dependensi) Indonesia terhadap dua lembaga ini. Praktik pembangunan yang ada di Indonesia secara umum didanai oleh dua lembaga ini. Pembangunan banyak proyek infrastruktur didanai oleh dana hutang. Seiring berjalannya waktu, karena pembangunan fisik seperti infrastruktur menjadi agenda prioritas pemerintah Orba saat itu, hutang pun semakin menumpuk sehingga menjadikan Indonesia bergantung. Dalam menyusun berbagai kebijakan, negara ini seolah didekte oleh negara-negara maju pemegang saham terbesar dua lembaga keuangan tersebut (IMF dan Bank Dunia). Dampaknya adalah banyak sekali kebijakan pemerintah 102


merupakan kebijakan pesanan. Ini seolah semakin terang pasca reformasi 1998 dimana

ekonomi semakin terlihat

terbuka

sekali.

Banyak

BUMN yang

dinasionalisasi dengan alasan efisiensi. BUMN yang di zaman Orba tak fokus pada profit kini digenjot untuk dapatkan laba yang besar. Posisi BUMN semakin tidak jelas, antara lembaga bisnis dan lembaga pemerintah. Kebijakan ekonomi yang pro rakyat seolah diusahakan untuk dikikis habis dengan kebijakan yang pro pasar (market). Padahal faktanya menurut Berthoud dalam Sachs (2010) badan-badan yang mengurusi kesejahteraan/pembangunan tidak mampu melawan pasar. Lembaga pemerintah seperti BUMN sebagai bukti. Dari sini muncul pertanyaan besar terkait apa itu fungsi negara jika segala hal diserahkan pada mekanisme pasar. Proses marketisasi ini disebut dengan neoliberalisme. Praktik ini berkembang di Indonesia dengan ditandai dengan kabijakan-kebijakan yang pro pasar seperti rencana liberalisasi listrik. Akibat hal ini terciptalah kesenjangan pendapatan yang semakin lebar. Menurut Bank Dunia pada 1999 rasio gini Indonesia mencapai 0,32 sementara pada 2012 naik menjadi 0,41. Diprediksi pada 2015 rasio gini semakin tinggi lagi. Para pemburu rente diuntungkan dengan pendapatan yang semakin menggila sementara orang kecil hanya dapat bisa bersabar dengan pendapatan yang tidak menentu. Mamat (45 tahun), seorang pedagang asongan di simpang Dago bawah jembatan Cikapayang kota Bandung adalah salah seorang wong cilik yang tidak merasakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sering diulas para ekonom dan pemerintah. Pemilihan Mamat sebagai informan didasarkan pada posisinya sebagai bagian dari rakyat Indonesia dengan pendapatan tidak menentu setiap harinya sementara menanggung beban berat sebagai kepala keluarga. Mamat adalah potret dari 11,2 persen penduduk miskin Indonesia per Maret 2015 (BPS, 2015).

103


Data dan Teori Terkait Tentang Mamat Mamat bernama lengkap Muhammad Rahmat

(45

tahun)

dan

berasal

dari

Majalengka, Jawa Barat. Ia adalah pedagang asongan di simpang Dago bawah jembatan Cikapayang kota Bandung. Sehari-harinya Ia menjajakan dagangannya berupa kopi, rokok, minuman ringan, dan berbagai jajanan ringan lainnya sejak jam 10 pagi sampai petang. Gambar 1. Mamat dan dagangannya

Pelanggannya adalah para sopir angkot jurusan Caringin, Ciroyom, dan Dipatiukur

disamping juga beberapa warga yang umumnya kelas bawah. Mamat sudah berkeluarga dengan 1 istri 2 anak berusia SMK dan SD yang semuanya bertempat tinggal di kampungnya, Majalengka. Sebelum mengasong di trotoar Simpang Dago, Mamat sempat menjadi kuli/pembantu salah pedagang di daerah Pasar Burung, Jalan Sukahaji Bandung kemudian lama mengasong di daerah Dalem Kaum, kompleks Alon-Alon kota Bandung. Penghasilannya tak tentu terkadang jika mujur capai 1,5 juta dalam sebulan. Dalam berdagang, seringkali Ia dihadapkan pada operasi dari satpol PP kota Bandung. Kemiskinan Menurut Majid Rahmena dalam Sachs (2010), kemiskinan (poverty) secara global

didasarkan

kepada

faham

materialistis,

dimana

paham

tersebut

mengkonstruksi pentingnya ekonomisasi kehidupan dan mengintegrasikan secara kuat masyarakat daerah ke dalam ekonomi dunia. Kritiknya terhadap kemiskinan yaitu tujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan lembaga104


lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengentasan kemiskinan malah menyebabkan

adanya

halangan

tambahan

antara

orang

miskin

dengan

pengentasan kemiskinan itu sendiri. Faktanya, program-program yang dijalankan oleh institusi tersebut tidak banyak membantu orang miskin, bahkan sebaliknya malah membantu orang-orang kaya untuk semakin meninggalkan orang miskin. Dengan kata lain, yang orang miskin butuhkan bukanlah melalui faham materialistis yaitu berusaha memproduksi barang sumber daya ekonomi atau jasa, melainkan justru melalui komunitas akar rumput (grassroot) didapatkan pelajaran mengenai

persepsi

kemiskinan

yang

lebih

powerful

untuk

pengentasan

kemiskinan dalam skala global. Teori Lain yang Terkait Dalam

kasus

Mamat,

teori-teori

yang

mencakup

meliputi

teori

pembangunan (development theory), one world, market, teori strukturalisme, teori dependensi, dan teori neoliberalisasi. Analisis Pembahasan Mamat adalah satu dari puluhan orang miskin di Indonesia. Ia dapat dikatagorikan pada golongan miskin kota dengan pendapatan yang tidak menentu tiap harinya dan dibawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kota Bandung 14. Ia menceritakan bahwa dalam berdagang Ia harus kucing-kucingan dengan satpol PP yang seringkali merazia pedangan asongan dan PKL di trotoar jalan dan zona merah. Selain satpol PP yang menjadi ancamannya adalah kondisi lingkungan dimana hujan dan panas harus dihadapinya sehari-hari lantaran tak ada atap di gerobaknya. Ia sadar bahwa aktivitas jualannya di zona umum ini

Berdasarkan kompas.com, UMK kota Bandung pada 2015 mencapai Rp. 2.310.000,00 http://regional.kompas.com/read/2014/11/22/07020041/Ini.UMK.Jawa.Barat.2015 diakses 20/12/2015 11:23 WIB 14

105


dilarang oleh Pemerintah Daerah, namun Ia merasa tak punya pilihan lain untuk sekedar bertahan hidup dan menafkahi keluarganya di kampung. Ia hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) maka sulit baginya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak seperti menjadi karyawan tetap di industri atau lainnya. Kondisi yang menimpa

Mamat

dikonsepsikan

ini

Amartya

berkebalikan Sen.

dengan

Menurut

Sen

prinsip (1999)

pembangunan

yang

kebijakan-kebijakan

pembangunan sudah seharusnya memiliki orientasi untuk memberikan pilihanpilihan kepada masyarakat (freedom to choose).

Gambar 2. Simpang Dago bawah Jembatan Cikapayang adalah tempat berjualan Mamat. Tepatnya dibelakang sebelah Selatan monumen ini

Mamat termasuk orang yang cukup beruntung dibandingkan dengan para pengangguran lain yang terpaksa mengamen dan mengemis. Menurut penuturan Mamat, pengamen dan pengemis di kota Bandung saat ini jauh lebih banyak dibandingkan beberapa tahun lalu. Di hampir setiap perempatan terdapat mereka. Ini tak lain karena praktik pembangunan yang ada tidak berpihak pada rakyat golongan lemah/miskin. Potret pembangunan yang ada hari ini lebih berpihak 106


pada masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat golongan kaya semakin kaya, sementara yang miskin tetap bahkan lebih miskin. Artinya praktik pembangunan

lebih

menerapkan

prinsip

up-bottom.

Seharusnya

prinsip

pembangunan mengacu pada bottom up atau pembangunan yang didasarkan pada realitas kaum lemah/miskin. Praktik up bottom yang terjadi sekarang terlihat pada fenomena pengambilan keputusan pembangunan dilakukan secara sentral dimana seringkali melibatkan para ahli yang umumnya terpisah dengan realitas. Para teknokrat (ahli perencanaan pembangunan) ini seringkali berfikir bahwa mereka tahu yang terbaik dan mereka memiliki keterkaitan pada level akar rumput, padahal realitanya tidak demikian. Mamat mewakili akar rumput (grass-root) dari golongan miskin masyarakat Indonesia. Berpijak pada realitas Mamat dan Mamat-Mamat lain seharusnya pembangunan direncakan. Orang seperti Mamat menurut pengakuannya tidak neko-neko menginginkan sesuatu. Bapak dua anak ini ingin memiliki toko yang dapat menaungi dagangannya sehingga tidak kepanasan dan kehujanan. Biarpun pendapatan toko juga tidak terlalu besar, setidaknya dapat menjadikan Mamat tenang dalam berjualan. Tidak seperti sekarang Ia harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Realitas pembangunan yang ada hari ini tak lain sesuai dengan teori dependensi, strukturalisme, dan one world. Pasca Pidato Truman pada 1949, konsepsi pembangunan didiktekan oleh negara maju kepada seluruh negara berkembang di dunia tak terkecuali Indonesia. Melalui agen mereka seperti IMF dan Bank Dunia, mereka membantu negara berkembang untuk dapat mencontoh kemajuan mereka atau istilah lainnya penyeragaman konsepsi pembangunan (one world). Konsepsi ini dikritik oleh Sachs (2010) akan memicu kekerasan karena pada dasarkan setiap negara berbeda. Setiap negara memiliki keunikannya masingmasing dan memiliki konsepsi sendiri terkait pembangunan yang didasarkan pada kultur dan budaya masing-masing negara. Negara maju ini terus kali memaksakan 107


kehendaknya

tersebut

sampai

pada

akhirnya

jika

negara

tujuan

tidak

menghendaki, maka mereka tak segan untuk melumpuhkannya. Kejadian krisis 1998 adalah bukti bahwa sistem finansial negara ini diobrak-abrik oleh sistem global yang didalagi negara maju. Saat itu, Indonesia mencoba akan lepas landas sebagai negara yang kuat dalam teknologi dengan munculnya industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI), namun karena krisis, industri ini dipaksakan untuk tutup. Kini teknologi dan industri strategis di negeri ini masih jauh tertinggal dari Barat sehingga tak lebih rakyat kita hanya sekedar menjadi konsumen. Karena sistem yang telah mengakar inilah, orang-orang tak berpendidikan seperti Mamat tetap saja dibiarkan bodoh. Kebijakan pemerintah tak menyentuh pemberdayaan kapasitas rakyat seperti peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan. Persepsi Kemiskinan Mamat Bank Dunia menstandarisasi garis kemiskinan adalah berpendapat 2 dolar Amerika/hari. Sementara itu BPS memberikan parameter lain yaitu 1 dolar Amerika/hari. Atas dasar tersebut maka dikeluarkanlah kebijakan-kebijakan untuk bagaimana meningkatkan pendapatan rakyat secara umum. Cara-cara pintas pun dilakukan pemerintah untuk menggenjot konsumsi rakyat dimana ini adalah sumber terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia seperti munculnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) seperti yang dilakukan pada masa Presiden SBY. Program-program ini meredam kemiskinan sesaat, namun tak lama setelah program ini selesai masyarakat miskin meningkat kembali dan kesenjangan bertambah melebar. Miskin dalam kacamata Mamat setelah penulis gali lebih dalam yaitu terbatasnya pilihan seperti yang diungkapkan oleh Sen (1999). Dalam kasus Mamat, Ia tidak memiliki pilihan lain kecuali mengasong berjualan di trotoar. Ini disebabkan selain karena pendidikan Mamat yang hanya lulusan Sekolah Dasar 108


(SD) juga karena Ia tidak memiliki keahlian khusus. Pendapatan yang rendah adalah dampak dari sempitnya akses untuk mendapatkan pekerjaan. Programprogram pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah saat ini tidak tertuju pada akar kemiskinan itu sendiri alias masih berkutat pada permukaan dan paradigma ekonomi an sich. Pendidikan adalah akar kemiskinan yang harus digarap dengan betul oleh pemerintah. Akses pada pendidikan bermutu umumnya hanya didapatkan masyarakat golongan menengah ke atas, sementara mereka yang miskin menempati sekolah-sekolah denga kualitas rendah. Fakta ini terjadi di keluarga Mamat dimana anak-anaknya di sekolahkan di sekolah kampung yang jelas sulit bersaing dengan lulusan dari sekolah-sekolah di kota yang lebih baik. Hal inilah yang akan menciptakan lingkaran kemiskinan baru. Tugas pemerintah sejatinya adalah memutuskan rantai kemiskinan itu. Mencapai Kesetaraan Ketika penulis tanya kepada Mamat " Bapak lihat orang mapan iri gak Pak ?", Mamat menjawab "Nggak ini mah, saya benci orang korup". Mamat tidak benci dengan orang kaya. Baginya kaya miskin itu sudah realitas yang lumrah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, Mamat tidak senang dengan orang yang serakah. Dengan nada tinggi Mamat menjelaskan orang serakah ini seperti anggota DPR dengan aneka fasilitas seperi mobil, rumah, gaji tinggi namun banyak dari mereka justru terjerat kasus korupsi. Mamat mengharapkan bahwa keserakahan dari golongan orang-orang mapan ini dapat diminimalisasi sehingga kesenjangan pendapatan (gap) tidak lebar sekali seperti yang terjadi sekarang. Ia tidak menginginkan konsepsi sosialisme dimana disana tidak ada kaya-miskin, namun konsepsi negara dimana orang miskin tetap bisa makan tiga kali sehari dan menjadi individu yang bebas berkehendak seperti halnya bebas memilih pekerjaan. Fenomena di Indonesia menganggap orang miskin berada dalam kluster tersendiri dan seringkali dijadikan objek penguasa. Ini menandakan prinsip 109


keteraan tidak terjadi di Republik ini dimana perlakukan terhadap rakyat bergantung pada kemampuan ekonomi rakyat itu. Bukti dari hal ini adalah hukum yang semakin runcing ke bawah dan semakin tumpul ke atas. Hal inilah yang tidak dikehendaki Mamat. Mamat menginginkan rakyat Indonesia setara. Orang miskin seperti Mamat diperlakukan layaknya manusia. Ini seperti yang tersirat saat Mamat ceritakan terdapat perlakuaan kasar satpol PP saat Ia berdagang di Dalem Kaum sebelum berpindah ke jembatan Cikapayang,

" Kena juga, kabur sebelum

dateng satpol PP-nya. Indonesia susah sih ya. Gampang ngusir doang. Kan punya anak istri. Itu hak dia tapi punya hati. Kasi tempat dulu. Jangan sampe main angkut aja". Prinsip kesetaraan (equality) ini seperti yang diungkapkan oleh C. Dauglas dalam Sachs (2010) bahwa pembagian masyarakat adil terjadi jika di bawah aturan adil. Saat ini kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan masihlah pro masyarakat golongan menengah atas. Keadilan masih sekedar wacana saja. Kesimpulan Melalui potret pedagangan Asongan Cikapayang, Mamat, kita tahu bahwa penyeragaman konsepsi pembangunan ala Barat seperti halnya standardisasi golongan miskin tidak sepenuhnya valid jika diterapkan di negara berkembang. Akar masalah kemiskinan bukanlah faktor ekonomi semata namun akar sesungguhnya kemiskinan adalah keterbatan akses (pilihan) termasuk didalamnya akses terhadap pekerjaan. Ini sesuai dengan konsepsi development as freedom yang dicetuskan oleh Amartya Sen (1999). Rujukan Utama Sachs, Wolfgang, (2010). The Development Dictionary, Second Edition, New York : Zed Books, hal 174-194

110


Desai, Vandana, dan Potter, Robert B. (2014). The Companion to Development Studies, Third Edition, New York : Routledge Paper ini adalah tugas mata kuliah Teori Pembangunan pada 2015

111


Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme Abstrak Mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang memiliki andil dalam perubahan sosial-politik yang ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah, mahasiswa memiliki kontribusi yang besar dalam konflik perpolitikan nasional seperti ikut serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan mahasiswa diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang sasarannya adalah para pejabat tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus gelombang baru dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat dari arus informasi yang terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan mencapai klimaksnya di dekade awal 2000-an dimana arus postmodernisme mempengaruhi kondisi gerakan mahasiswa di berbagai sisi. Arus inilah yang membuat wajah baru gerakan mahasiswa yang tak lagi sebagai gerakan utopis, elitis, dan ideologis melainkan sebagai gerakan rasional, populis, dan anti-ideologi. Pada makalah ini akan dibahas terkait bagaimana gerakan politik mahasiswa menyikapi arus besar postmodernisme ini. Kata kunci : postmodernisme, gerakan sosial-politik mahasiswa Pendahuluan Mahasiswa merupakan entitas pemuda yang bermukim di lembaga pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi, dan sebagainya. Mahasiswa selain memiliki kegiatan harian sebagai penuntut ilmu (hard skill), mereka juga mengasah softskill-nya selama belajar di kampus. Berorganisasi adalah 112


salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa. Melalui organisasi, mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan juga belajar tentang masalah sosial dan politik. Melalui wadah organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait berbagai permasalahan mulai dari masalah internal organisasi sampai dengan masalah bangsa. Dari sini, mahasiswa seringkali diasosiasikan dengan agent of social change atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik ini berdiri, mahasiswa seringkali menjadi aktor politik nasional yang diperhitungkan oleh penguasa. Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi penggulingan Soeharto pada Mei 1998 silam. Mahasiswa menjadi entitas yang dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat. Pada masa tersebut, mahasiswa dan politik ibarat satu ikatan tali yang sukar untuk dilepaskan. Masa reformasi menjadikan arus semakin terbuka di republik ini terutama arus untuk bersuara yang semula dibungkam pada masa orde Baru. Sejak masa ini, keran informasi seolah dibuka secara total dan tak terbendung. Puluhan partai politik dengan aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan akbar Pemilihan Umum (Pemilu). Media-media yang semula ditekan oleh penguasa berlombalomba memberikan informasi secara gamblang atas kinerja pemerintah dan juga berbagai kondisi kebangsaan lainnya. Media-media massa baru juga bermunculan. Mahasiswa bersorak-sorai karena kini mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya secara langsung ke pemerintah tanpa harus melewati serangkaian tembakan bayonet, gas air mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik reformasi 98 silam. Gelombang arus reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan masyarakat. Gelombang arus informasi sebagai dampak dari reformasi menjadi semakin tak terbendung sejak internet masuk ke tanah air yang mencapai momentumnya pada tahun 2000-an awal. Ditambah lagi dengan kemudahan akan 113


gadget terutama smartphone yang memfasilitasi berbagai jejaring sosial yang mulai booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus informasi tak hanya hadir dari satu arah (media massa). Kini setiap orang bebas untuk menyampaikan gagasan di media sosial. Tak hanya itu, kualitas liputan jurnalistik yang menurun akibat mengejar rating dan kecepatan dan juga dikuasai oleh segelitir orang yang bermain di dunia perpolitikan nasional, membuat kesahihan liputan informasi menjadi semakin bias. Sumber informasi yang semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang semakin meluas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan mahasiswa tak lagi berbicara politik. Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor pada tingkat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) yang menjadikannya semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi semakin beragam jenisnya mulai dari kesenian, pengabdian masyarakat, dan sebagainya yang lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat. Gerakan yang lebih konkret dan jelas hasilnya mendapat respon yang positif di kalangan mahasiswa, sementara gerakan politik yang konseptual ideologis diasosiakan sebagai gerakan wacana yang peminatnya semakin meredup. Gerakan yang dilakukan mahasiswa kini sekedar pragmatis dan tidak memiliki akar pemikiran yang kuat namun itu yang justru digandrungi dan memiliki massa yang banyak.

Gelombang informasi seperti yang dijelaskan

dimuka tak lain adalah tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik mahasiswa saat ini. Pembahasan Literatur Istilah "postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks, istilah itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di 114


bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947). Sebenarnya benih penggunaan positif awalan "post" telah terdapat pada tulisan Leslie Fiedler tahun 1965 ketika ia menggunakannya dalam istilah-istilah macam "post-humanist, post-male, post-white" dsb. Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian muncul memproklamirkan diri sebagai pembicara utama postmodernisme dan ia menerapkan label ini pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultrateknologi dalam arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer manakala digunakan oleh para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage, Burroughs dan Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni pertunjukan, dan musik di tahun 1980-an. 15 Postmodernisme

katanya

adalah

logika

kultural

yang

membawa

transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapantahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat postmodernisme ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas, wilayah dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dipelihara terus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional. Mengambil Ide Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus. Lebih lanjut, postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar ; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apa pun. 16

Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014 16 Sugiharto, I. Bambang, ibid 15

115


Postmodernisme secara bahasa berasal dari kata "post" yang berarti pasca, setelah, sesudah, dan "modernisme" yang berarti segala hal yang serba saklek, mekanis, dan saintifik. Dari terminologi tersebut, postmodernisme tidak lagi berpijak pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada masa modernisme. Kaum postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi relevan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini. Mereka pun meninggalkan doktrin modernisme yang serba pasti, sentral, dan prosedural menjadi hal yang sifatnya relatif. Dari sinilah muncul konsep kombinasi berbagai aliran gabungan antara modern dan pra-modern. Sebagai contoh ideologi. Warga negara tak lagi menerima kebenaran tunggal yang menjadi ciri khas politik totalitarian yang memakai ideologi tertentu dalam menjalani roda pemerintahan (politik) suatu negara. Orang cenderung antipati pada ideologi-ideologi besar yang menjadi ciri khas zaman modern seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka memandang bahwa ideologi-ideologi tersebut sudah tidak cocok diterapkan suatu negara. Kini orang cenderung pragmatis dan acuh terhadap gerakan politik ideologis. Bagi mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan stabilitas ekonomi negara yang lebih penting. Selain di bidang ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus besar postmodernisme. Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik modernis yang desainnya diadopsi pada aliran arsitektur pra-modern dan modern. Banyak kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek kuno dan klasik namun memiliki fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga merambah ke dunia industri. Dunia industri kini tak sekedar mengejar untung-rugi semata melainkan memberikan perhatian lebih pada lingkungan. Seringkali kita mendengar istilah "green economy", "sustainability", dan konsep-konsep lain sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan kata lain, postmodernisme menjadi gelombang baru di berbagai sendi kehidupan termasuk juga gerakan sosial-politik mahasiswa.

116


Diskusi dan Analisis Gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal sebagai gerakan sosial politik yang didalamnya seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Gerakan dalam artian tersebut berupa aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan yang ditujukan untuk penguasa republik. Pada masa ini mahasiswa dicitrakan sebagai entitas yang mewakili suara rakyat Indonesia. Seperti pada gelombang demontrasi besarbesaran untuk menumbangkan rezim Orde Baru, banyak elemen masyarakat mendukung aksi mahasiswa dengan memberikan bantuan logistik dan dukungan moral lainnya. Setelah gelombang reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa bermetamorfosa menjadi berbagai macam gerakan. Gerakan politik masih ada, namun tak lagi sekuat pra-reformasi. Kalaupun ada gerakan politik, gerakan hanya tersektor dalam lingkaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tak sedikit elemen mahasiswa lain acuh terhadap gerakan ini. Metode gerakan turun ke jalan menjadi satu hal yang semakin tidak populer. Ketidakpopuleran tersebut membuat model gerakan lebih kepada cara-cara pop (kependekan dari populer) yang aman dengan harapan mendapat simpati dari mahasiswa lain secara lebih luas. Kini, seringkali kita dapati gerakan paraf petisi di situs change.org, infografis di berbagai jejaring sosial, #save di twitter, dan berbagaimedium lain yang memiliki tujuan sama dengan metode gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut serta menginginkan perubahan yang lebih baik. Gerakan politik yang tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau Kabinet Keluarga Mahasiswa tidak lagi menjadi mercusuar gerakan. Mahasiswa bebas untuk membuat dan menentukan jenis dan bentuk gerakan. Bahkan banyak mahasiswa yang menciptakan gerakan kultural yang sama sekali tidak berada di payung universitas seperti halnya himpunan dan unit. Sebagai contoh Rakapare. 117


Organisasi ini ini beranggotakan sekelompok mahasiswa lintas universitas yang memiliki kepedulian untuk menyelesaikan konflik/masalah sosial yang muncul di permukaan. Organisasi yang berdiri di Bandung dengan dikomandoi oleh mahasiswa ITB ini mencoba untuk selesaikan masalah sosial di masyarakat tanpa melalui birokarasi dan audiensi berkelanjutan dengan pemerintah atau bahkan demonstrasi turun ke jalan. Sebagai contoh salah satu programnya yaitu ikut serta bersama petani Karawang untuk memperjuangkan hak atas tanah yang beralihkepemilikannya kepada salah satu perusahaan swasta. Para anggota organisasi ini membantu masyarakat dalam merancang strategi agar status kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani. Transfer pengetahuan ke petani dan juga perlatihan-perlatihan ke petani dilakukan guna agar petani memiliki bekal yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya. Tak hanya itu, mereka menyusun gambaran masalah secara umum kemudian ditarik benang merah yang menjadi akar masalah. Melalui akar masalah ini, solusi digali secara cermat. Biarpun gerakan ini sama sekali tidak berada dibawah atap kampus, gerakan ini berjalan sukses dan mendapat respon positif dari kalangan mahasiswa, terbukti dengan sirkulasi penambahan anggota yang cukup besar. Gerakan Konvensional

Gerakan Postmoderninme

Utopis

Rasional

Narasi Besar

Narasi kecil

Elite

Populis

Ideologis

Anti-Ideologis

Konflik

Anti-konflik

Kaku

Fleksibel

Tabel 1 Perbedaan Gerakan Konvensial dan Gerakan Postmodernisme Mahasiswa Selain berwujud gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa lain mewujud dalam gerakan diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang berbeda. 118


Sebagai contoh, kolaborasi antarunit pendidikan di ITB yakni Majalah GaneshaKelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP), Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH Tiben), Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), dan Lingkar Sastra (LS). Unit-unit tersebut menyusun kajian pekanan yang terjadwal dengan tema-tema khusus. Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi dan kajian tidak tersektor pada unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta meningkat. Acara-acara masing-masing unit kini tak lagi hanya disokong oleh kekuatan internal unit sendiri, melainkan ada dorongan dan bantuan dari unit-unit lain. Hasil diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui penyajian yang apik seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya konkret seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada massa kampus. Mereka tak lagi hanya sekedar kajian/diskusi melainkan fokus pada produk. Gerakan Mahasiswa Konvensional

Arus postmodernisme

Gerakan mahasiswa postmodern

Gerakan mahasiswa postmodern berbasiskan nilai

Gambar 1 : Skema perkembangan gerakan sosial-politik mahasiswa

Contoh lainnya unit Lingkar Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS memainkan peran ganda disamping ikut serta dengan tiga unit lain untuk selenggarakan diskusi yang bertemakan sastra, juga mengadakan pertunjukan119


pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah satu kegiatannya adalah "Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi yang dilakukan di hari Valentine. Acaranya tak lagi esklusif di tempat tertutup, melainkan coba dihadirkan dilingkungan terbuka. Saat itu diadakan di teras CC Barat ITB tepat di didepan jalan tangga kawasan padat lalu lintas mahasiswa keluar-masuk kampus ITB. Acara ini juga sebagai saingan acara nonton bareng film spesial Valentine yang diputar oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB yang diadakan di lapangan cinta depan CC Timur ITB. Dari sini terlihat bahwa pola gerakan yang dilakukan oleh unit LS ini tak hanya fokus pada mereka para penikmat sastra khususnya puisi, melainkan difokuskan pada khalayak umum yang awam pada puisi. Pola gerakan semacam ini merupakan gejala postmodernisme. Di era postmodernisme ini, gerakan politik mahasiswa konvensional perlahan-lahan akan dijauhi. Mereka yang dipandang sebagai aktivis mahasiswa tak lagi sekedar mereka yang gemar demonstrasi, aktif diskusi membahas karyakarya Marx, dan nongkrong di kampus sampai larut malam dengan ditemani kopi dan rokok, namun mereka yang memiliki aliran gerakan lain yang cenderung lebih santai, fleksibel, dan bersifat lokal dapat dimaknai sebagai aktivis. Gerakangerakan yang digandrungi merupakan gerakan non-ideologis dan mampu memberikan inspirasi. Dua hal inilah yang menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh karenanya gerakan politik yang masih berorientasi dengan romantika masa lalu seperti halnya reformasi 98 akan ditinggalkan para pengikutnya. Gerakan politik harus mampu menyadari arus besar postmodernisme ini. Gerakan politik harus menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme dengan membumikan gerakannya ke grass-root dengan memakai metode-metode yang biasa dilakukan oleh gerakan mahasiswa postmodernisme seperti halnya terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif), mengemas penyampaian ke publik dengan menggunakan media yang sedang hits dikalangan anak muda seperti halnya jejaring sosial, infografis, dan sebagainya, dan meramu strategi 120


gerakan yang lebih dapat berdampak langsung kepada masyarakat. Memang seringkali terjadi distorsi dikarenakan gerakan politik memiliki misi tertentu yang sifatnya perubahan sosial, namun dengan mengabaikan arus postmodernisme dan mempertahan gerakan politik konvensional akan membuat perubahan yang diinginkan menjadi seolah sia-sia. Mengikuti arus postmoderisme tidak berarti pragmatis dengan melupakan idealisme visi-misi semula yang dibawa, melainkan bagaimana mengejahwantahkan visi-misi menjadi tindakan yang diterima oleh masyarakat luas dan berdampak secara langsung. Arus postmodernisme merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus modernisme yang telah berkembang sejak sekian lama. Mempertahankan arus modernisme dalam gerakan politik seolah mempertahankan status quo dimana ini menyalahi prinsip perubahan yang sedang gendang ditiupkan. Kini tinggal bagaimana caranya meramu arus postmodernisme yang serba fleksibel, tidak jelas arah, dan terkadang dangkal secara konten/nilai menjadi arus postmodernisme berbasiskan nilai. Mungkin dengan ini akan memunculkan aliran baru yakni postmodernisme berbasis nilai. Gerakan politik mahasiswa memiliki kans besar untuk melakukan hal tersebut. Kesimpulan Arus besar gelombang postmodernisme mempengaruhi dinamika gerakan politik mahasiswa. Gerakan mahasiswa di masa awal kemerdekaan hingga akhir orde baru ditandai dengan gerakan yang berbasis politik yang kaku, ideologis, dan eksklusif. Reformasi 98 membuka wajah baru gerakan mahasiswa dan menemui puncaknya di dekade awal 2000-an dimana gelombang postmodernisme mulai mempengaruhi arah gerak mahasiswa. Akibatnya gerakan mahasiswa tak sekedar turun ke jalan menuntut banyak hal ke pemerintah, melainkan muncul gerakangerakan baru yang inklusif dengan marketisasi yang dikemas secara apik. Itulah gerakan postmodernisme dan dari situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka 121


yang sibuk berdiskusi permasalahan politik bangsa hingga larut malam serta gemar demonstrasi turun ke jalan. Gerakan

politik

mahasiswa

harus

menyadari

betul

arus

besar

postmodernisme dengan tak lagi beromantika dengan gerakan politik pada pendahulu seperti gerakan politik menurunkan rezim Soeharto pada tahun 98 silam. Di masa postmodernisme ini tak ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini lebih bersifat lokal dan jelas arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat mustahil untuk membuat arus tandingan, maka gerakan politik mahasiswa harus menyesuaikan. Nilai yang diperjuangkan gerakan politik mahasiswa harus terus dipertahankan namun dalam mengaplikasikan gerakan harus luwes dengan mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik mahasiswa harus inklusif dan mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat secara luas. Dengan mengadopsi aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai visi-misi yang dibawa, gerakan sosial-politik mahasiswa menjadi gerakan postmodernisme yang berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan nilai-nilai yang diperjuangkan dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas. Daftar Pustaka Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014

Paper ini adalah tugas mata kuliah Kebijakan Publik dan Demokrasi pada 2015

122


123


Tentang Penulis Uruqul Nadhif Dzakiy lahir di Lamongan, 19 Desember 1990. Setamat SMA Ia melanjutkan studi di jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung pada 2009 dan lulus Oktober 2014. Pada Januari 2015, Ia kembali studi di jurusan Studi Pembangunan di kampus yang sama. Buku ini adalah buku kedua setelah Jalan Terjal Menuju Indonesia yang Ia terbitkan sendiri pada Oktober 2014.

124


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.