Mengubah paradigma inovasi nasional

Page 1


Mengubah Paradigma Sistem Inovasi Nasional


MENGUBAH PARADIGMA SISTEM INOVASI NASIONAL Oleh : URUQUL NADHIF DZAKIY Layout dan desain sampul : Aditya Firman Ihsan Diterbitkan secara mandiri Boleh mengkopi/mencetak sebagian atau seluruh isi buku www.uruqulnadhif.com

i


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR Mengubah Paradigma Sistem Inovasi Nasional Merdeka dan Berdaulat di Ranah Iptek ? Komersialisasi Riset di Perguruan Tinggi Kita Berlomba-Lomba World Class University Ekonom Supply-Demand Menganalis Produktivitas Rakyat Indonesia Bagaimana Agama, Budaya, dan Ipteks Bertemu Belajar Bisnis dari Pak Budi Rahardjo Setahap Demi Tahap Mewujudkan Indonesia yang Berbudaya Maritim Pemberhentian Archandra Tahar : Simbol Keteledoran Presiden yang Tak Bisa Dimaafkan Menarik Pelajaran dari Kisah Marwah Daud Ibrahim dan Taat Pribadi Aksi Damai 4 November 2016 dan Pasca Itu Wahai BEM SI, Maumu Apa Sih ?

ii iii 1 4 7 11 15 17 24 26 31 33

Gelombang Startup Taman Kota dan Partisipasi Warga Koperasi Para Pedagang Buku Menjadikan PKL Sebagai Penggerak Ekonomi Kreatif Menyoal Penggusuran di Bukit Duri Menyoal Kenaikan Tarif Parkir ITB

45 48 51 53 56 58

Belajar Kehidupan dari Prau (2565 mdpl)

63

TENTANG PENULIS

67

ii

35 39 42


Kata Pengantar Buku ini adalah kumpulan essay saya di tahun 2016 dan harusnya buku ini terbit di tahun tersebut. Namun biapun telat tiga bulan, Alhamdulillah tahun ini dapat terbit dan dibaca oleh teman-teman sekalian. Secara umum, buku ini terdiri dari opini-opini saya terkait inovasi, kritik sosial, kebijakan regional dan pendapat pribadi atas isu yang berkembang. Secara umum tulisan saya dapat dikatagorikan dalam lingkup nasional (13 artikel), regional (6 artikel), dan cerita pengalaman (1 artikel). Buku ini tentunya memiliki kekurangan. Kritik dari pembaca sekalian ditunggu di email saya nadhif.dzakiy@gmail.com. Selamat membaca !

Jakarta, 19 Maret 2017

iii


Mengubah Paradigma Sistem Inovasi Nasional [anakpanahinstitute.org 27 April 2016]

Tak dapat dielak, inovasi adalah satu hal penting yang tak dapat dipisah dari suatu bangsa yang ingin maju dan berkembang. Inovasi ini sendiri dapat dilakukan di berbagai sektor baik sektor perdagangan (traded goods), maupun sektor jasa (non-traded goods). Ada banyak definisi tentang inovasi, namun secara sederhana inovasi dapat diartikan memberikan nilai tambah (add value) pada suatu barang/jasa sehingga memiliki ciri kebaruan (novelty). Implikasinya barang/jasa tersebut memiliki keunggulan baik secara ekonomik maupun nonekonomik. Dalam tulisan ini akan ditunjukkan iklim inovasi nasional serta upaya bagaimana memicu untuk memajukannya.

Iklim Inovasi Nasional

Berdasarkan Global Innovation Index (GII), data yang dihumpun oleh Cornell University, INSEAD, dan WIPO, pada 2015 Indonesia menempati peringkat 97 dengan 29,79 poin, sementara Malaysia (32/45,98), China (29/47,47), Amerika Serikat (5/60,10). Peringkat pertama dihuni Swiss dengan 68,30. Komponen yang dinilai dari indeks ini terdiri dari dua sub penting yaitu Innovation Input Sub-Index dan Innovation Output Sub-Index, yang setiap darinya dibangun oleh beberapa pilar. Lima pilar input memotret elemen dari ekonomi nasional yang dapat menciptakan aktivitas inovasi : (1) institusi, (2) Human capital dan riset, (3) Infrastruktur, (4) Kecanggihan pasar, dan (5) Kecanggihan bisnis. Dua pilar output memotret bukti aktual dari output inovasi : (6) output pengetahuan dan teknologi, dan (7) output kreatif. Data GII di atas menunjukkan bahwa secara agregat inovasi di Indonesia kurang bergitu berkembang.

Jika dianalis, apakah dana yang terbatas yang menjadikan inovasi di negeri ini menjadi terhambat ? Dana memang merupakan komponen penting dan Indonesia belum mencapai 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk dibelanjakan ke ranah riset termasuk didalamnya inovasi. Namun, dana bukan satu-satunya komponen untuk menyetimulus iklim inovasi. Adalah paradigma inovasi yang merupakan variabel penting penyebab inovasi di negeri ini cenderung stagnan.

1


Inovasi (riset) di negeri ini masih dipandang sebagai proses linear dimana terbedakan menjadi beberapa jenis : riset dasar, riset terapan, dan pengguna hasil riset (industri). Ketiga komponen ini cenderung beraktivitas dalam lokusnya masing-masing, tanpa membentuk jejaring yang kuat dengan lokus lainnya. Ini menjadikan aliran arus pembelajaran menjadi hanya terbatas dalam skupnya masing-masing. Artinya aliran transfer informasi yang terjadi irreversible (tidak bolak-balik). Sebagai contoh, di LIPI meriset tentang A, BPPT juga meriset A, dan universitas tertentu meriset juga tentang A. Jika memang terjadi koneksi antara lokus-lokus ini, kejadian saling tumpang-tindih seperti ini tidak akan terjadi.

Berjejaring

Saling tumpang-tindih dalam tema riset yang dikaji adalah salah satu contoh bahwa iklim riset di Indonesia masih bersifat irreversible. Kondisi demikian jelas tidak ideal dan akan memperlambat perkembangan riset/inovasi di Indonesia. Oleh karenanya perlu diubah paradigma riset di Indonesia untuk keluar dari Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) yang ada dengan mengangkat pola inovasi non-linear yang reversible (bolak-balik). Artinya disini lokus-lokus yang ada (bagian riset dasar, terapan, industri) saling berkomunikasi dengan aktif sehingga membentuk jejaring yang kuat. Kuatnya jejaring akan mempermudah proses inovasi yang terjadi. Para peneliti akan bergairah dengan penelitiannya karena produk hasil penelitian akan dipakai oleh industri. Begitu sebaliknya, industri akan bersemangat karena produknya dikembangkan oleh para peneliti sehingga lebih kompetitif dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Skema ini harusnya segera ditangkap oleh para pengambil kebijakan ristek negeri ini (dalam hal ini Kemenristekdikti) agar riset/inovasi di negeri ini tidak berjalan ditempat. Selain perbaikan dari sisi manajemen (governance) riset seperti yang dijelaskan di atas, Pemerintah harus segera mengambil tema riset yang spesifik untuk beberapa tahun ke depan supaya timbul kesamaan semangat di antara para pelaku riset. Aksi-aksi seperti ini tak lain adalah upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai republik iptek di masa mendatang. Mengutip Yuliar (2011) bahwa untuk membentuk republik iptek, selain

2


penelitian harus berlangsung dalam lintasan reversible, juga perlu ada relasi-relasi antara jejaring penelitian dan jejaring non-penelitian yang memungkinankan ruang pembelajaran.

3


Merdeka dan Berdaulat di Ranah Iptek ? [uruqulnadhif.com 17 Agustus 2016]

Hari ini tepat 71 tahun yang lalu Indonesia resmi sebagai negara yang merdeka. Ini artinya sejak 17 Agustus 1945, negara ini memiliki hak penuh untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan kepentingannya. Mulai sejak itu, para pejuang kemerdekaan yang masih hidup bisa bernafas lega karena pemikiran mereka dapat diaktualisasikan dalam tindakan nyata. Bung Karno tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, didaulat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Banyak kebijakan pembangunan yang dicetuskan Bung Karno, salah satunya adalah melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1949, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1959, dan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1963 adalah bukti keseriusan Bung Karno kembangkan Iptek.

Di tahap awal membangun ini, pengembangan Iptek berjalan kurang begitu mulus karena ketidakstabilan politik Indonesia saat itu. Biarpun demikian, pada masa Bung Karno kita dapati banyak sekali ilmuwan dan teknolog yang memiliki dedikasi tinggi untuk pengembangan Iptek. Sebut saja contohnya Semaun Samandikun yang gigih kembangkan semikonduktor pasca studi dari Stanford University. Kiprah dan semangat Semaun kini dilanjutkan oleh murid-muridnya di ITB Bandung. Panggung politik yang membesarkan nama Bung Karno juga ternyata melengserkannya di kemudian hari. Bung Karno digantikan oleh Jenderal Soeharto dan di masa itu dikenal new order (orde Baru).

Pada masa kepemimpinan Jenderal Soeharto, orientasi kebijakan nasional di arahkan ke pembangunan ekonomi. Di masa ini, iptek seolah tidak bergairah. Jika ada intelektual yang dikenal publik umumnya mereka berlatar belakang ilmu ekonomi dan humaniora yang terjun menjadi birokrat. Sebagai contoh Sumitro Djojohadikusumo. Beliau dikenal luas sebagai Begawan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru. Berbagai posisi penting di Kabinet pernah direngkuhnya seperti Menteri Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan bahkan Menteri Negara Riset. Baru pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI (1994-1999), Iptek mulai diseriusi oleh Presiden Soeharto dimana diharapkan Indonesia masuk tahap lepas landas. Iptek digarap secara serius dengan menempatkan BJ.

4


Habibie sebagai orang kepercayaan. Pada masa ini, berbagai industri strategis telah berdiri seperti IPTN, PT Inti, PT Pindad, PT PAL, dan masih banyak yang lainnya. Momen sebagai penanda keseriusan Orde Baru kembangkan teknologi pada masa ini adalah terbangnya pesawat buatan anak negeri, N250 Gatot Kaca, pada 10 Agustus 1995. Tanggal itu akhirnya ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas).

Orde baru runtuh pada 1998 dan di saat itu pula Iptek juga turut mundur. Beberapa industri strategis seperti IPTN (PT Dirgantara Indonesia) harus gulung tikar. Indonesia memasuki babak baru pembangunan. Terpilihnya BJ Habibie di masa reformasi tidak mampu mengangkat Iptek sebagai spirit kemajuan bangsa. Karena Indonesia ditempa krisis yang mahahebat, beliau memilih untuk memulihkannya. Stabilitas politik dan ekonomi menjadi kefokusan di periode sekitar dua tahun menjabat. Setelah itu berturut-turut kepala negara dijabat oleh Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo. Di masa itu, Iptek tetap tidak disentuh secara serius. Pembangunan hanya difokuskan pada tataran ekonomi, sama dengan Orde Baru di masamasa awal. Pada masa sekarang memang kita dapati banyak sekali anak negeri yang ahli di bidang tertentu. Reputasinya bahkan diakui secara internasional, namun ternyata di Indonesia mereka tidak terpakai. Sementara itu, kampus-kampus milik Pemerintah seolah kehilangan orientasi. Petinggi Lembaga Pendidikan ini umumnya hanya disibukkan dengan sesuatu yang sifatnya administratif saja. Jika ada civitas akademika yang memiliki dedikasi tinggi akan ilmu pengetahuan, tak ada panggung dan pentas tambahan melainkan hanya ucapan “Terima Kasih� yang didapat.

Dunia bergerak sangat dinamis, termasuk pula perkembangan Iptek. Namun, itu tidak disikapi serius oleh Pemerintah dengan penyiapan sumber daya manusia yang berkeahlian spesifik. Di saat sekarang memang digelontorkan kemudahan akses pendidikan dengan aneka beasiswa bahkan sampai S3, namun itu belum mampu mendongkrak pemanfaatan Iptek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak sekali anak bangsa yang merantau ke Luar Negeri belajar aneka ilmu pengetahuan, namun setelah pulang ke Indonesia tak ada tempat yang mampu menampung mereka. Jikapun ada, mereka harus berkorban karena justru di sini yang diurusi umumnya masalah administratif yang justru kontraproduktif. Ini adalah pertanda bahwa Iptek sampai saat ini dipersepsikan tidak

5


sebagai pilar utama dari pembangunan. Akhirnya, semoga dengan turutnya kita memperingati kemerdekaan Republik ke-71 pada hari ini, kita bisa merenungkan itu semua.

6


Komersialisasi Riset di Perguruan Tinggi Kita [9 Agustus 2016]

Setidaknya ada beberapa poin yang dapat saya ambil dari tulisan Fajri Siregar di SELASAR (5/8/2016) yang berjudul “Memberdayakan Riset�. Pertama, perlunya menyelaraskan riset dengan kebutuhan sehingga hasil riset akan dapat termanfaatkan secara langsung. Kedua, perlu dijembatani antara hasil riset dengan pengguna riset. Dua poin ini mengantarkan saya pada satu istilah yang umum bagi pegiat inovasi yaitu komersialisasi riset.

Komersialisasi riset sederhananya berarti memanfatkan hasil riset untuk kepentingan ekonomik. Sebagai contoh hasil riset dimanfaatkan oleh perusahaan. Implikasinya terdapat hubungan yang cukup erat (harmoni) antara pelaku riset dengan pelaku usaha (industri). Industri biasanya memberikan dana riset kepada pelaku riset (peneliti). Setelah riset telah selesai dan berhasil, hasil (produk) riset akan dimanfaatkan industri. Pola ini bisa dikatakan sebagai simbiosis mutualisme, dimana peneliti diuntungkan dengan insentif dan peluang untuk riset, sedangkan perusahaan diuntungkan dengan produk riset yang kompetitif.

Komersialisasi Riset : Baik atau Buruk ?

Pertanyaan ini seringkali muncul khususnya dari kalangan akademisi Perguruan Tinggi. Mereka dapat dikelompokkan dalam dua aliran (mahzab). Mahzab satu mengatakan bahwa komersialisasi riset itu baik karena hasil riset akan langsung termanfaatkan sehingga tidak mubazir. Ada yang menyebut hal ini sebagai bentuk dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabidan kepada masyarakat. Mahzab satunya lagi mengatakan bahwa komersialisasi riset berarti kapitalisasi pengetahuan dimana ini bertentangan dengan jatidiri universitas sebagai lembaga pendidikan yang jauh dari unsur bisnis (komersial). Dua mahzab ini seringkali bertikai dan tak ada ujungnya. Tak hanya di Indonesia, di negara-negara Barat yang kampusnya bisa dikatakan mapan juga mengalami hal serupa. Ini tak lain disebabkan karena latar belakang berdirinya universitas di berbagai negara berbeda.

Sebagai contoh berdirinya kampus-kampus di Amerika Serikat tak dapat dilepaskan dengan golongan pedagang Eropa yang ingin mengembangkan bisnisnya. Posisi kampus-kampus

7


saat itu bisa dikatakan sebagai pelayan industri/perusahaan. Berbeda halnya dengan kampus-kampus di Eropa yang berdirinya tak dapat dilepaskan dari golongan kaum bangsawan seperti kalangan kerajaan serta pemuka agama. Aktivitas komersialisasi riset mulai masif digalakkan di masa berdirinya kampus-kampus di Amerika tersebut. Silicon Valley adalah bukti betapa suksesnya hubungan Perguruan Tinggi (Stanford University) dengan dunia usaha yang berbasis di California ini. Satu poin penting dari sini adalah berdirinya suatu kampus bertujuan untuk menjawab kemauan investor kampus itu. Jika dilihat dalam konteks Amerika Serikat, maka dunia usaha adalah investornya.

Namun, jika melihat konteks Indonesia, sungguh sangat pelik. Ambil contoh saja Institut Teknologi Bandung (ITB). Berdirinya kampus ini pada 1920 adalah untuk men-supply tenaga kerja terdidik dari kaum pribumi untuk nanti bekerja pada Belanda. Tujuan awal tersebut bergeser ketika Indonesia merdeka, sampai tiba tenaga pengajar dari Amerika Serikat (Kentucky Contract Team) menggantikan pada dosen dari Belanda. Saat itu, hal-hal peninggalan Belanda diganti dan konon buku-buku peninggalannya dibakar. Pada masa Belanda, metode pengajaran di ITB lebih ditekankan aspek pemahaman secara mendalam atas teori yang diajarkan. Pada masa itu peragaan di kelas menjadi hal biasa dan ujian dilaksanakan secara lisan. Budaya akademis semacam itu diganti dengan budaya baru dari Amerika. Pada masa itu, buku ajar (textbook) mulai diperkenalkan metode tanya jawab, juga multiple choise pada saat ujian. Biarpun metode ajar sudah mengikuti metode Amerika, dosen-dosen ITB yang pernah diajar akademisi Belanda masih cukup banyak dan berpengaruh di ITB. Warna mereka masih sangat terasa di ITB, apalagi setelah ditambah dengan banyaknya dosen yang studi lanjut ke Eropa dan Jepang. Karena heterogenitas dosen ITB sangat tinggi ditambah dengan arahan Pemerintah yang tidak jelas dalam hal riset, para akademisi ITB seoalah bergerak sendiri-sendiri baik dalam hal riset maupun aktivitas lainnya. Komersialisasi riset yang ada di ITB pun pada akhirnya dilakukan atas inisiatif dosen tertentu, bukan dari ITB secara institusi,

Dari sejarahnya, komersialisasi riset dilakukan karena interaksi yang kuat antara dunia usaha (industri) dan Perguruan Tinggi. Ini bisa dikatakan sukses dijalankan di Amerika Serikat. Jika ditarik ke wilayah Indonesia, hal ini menjadi kurang begitu relevan. Hal ini dikarenakan tujuan awal didirikannya kampus bukan untuk itu. Hubungan kampus-kampus

8


kita dengan industri pun tidak kuat. Umumnya kampus kita masih bergerak di tataran pengajaran (teaching) dan menghasilkan lulusan yang siap kerja, bukan siap mendirikan usaha. Munculnya beberapa dosen dan juga mahasiswa yang melakukan komersialisasi riset menjadi hal yang tidak bisa dilarang.

Menselaraskan dengan Visi

Pada masa Pemerintahan Jokowi, Kementerian pendidikan tinggi dipisah dengan pendidikan dasar yang bernama Kemenristekdikti. Harapan dibentuknya kementerian baru salah satunya adalah untuk memperbaiki kualitas riset kita secara signifikan. Realitanya ternyata tak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Kampus-kampus kita secara kualitas ternyata masih jauh jika dibandingkan dengan kampus-kampus lain di Luar Negeri (Tulisan

Fuad

Rakhman

di

Jakarta

Post

(7/12/2013)

http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/07/ri-universities-cannot-competeinternationally.html masih relevan). Celakanya, Pemerintah juga tidak memberikan ‘arah’ riset bagi kampus-kampus khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Publikasi internasional seakan-akan satu-satunya parameter kemajuan riset. Padahal, kemajuan riset ini ditopang dengan aneka variabel yang kompleks, tidak bisa parsial.

Karena Pemerintah tak dapat diharapkan, satu-satunya harapan adalah visi Perguruan Tinggi dalam rentang satu periode rektor. Terkait komersialisasi riset, sebenarnya sangat selaras dengan visi yang dibawa rektor ITB saat ini, Kadarsah Suryadi. Dalam lima tahun kedepan sejak 2014, mengusung entrepreneurial university sebagai upaya memajukan ITB. Ekspektasi dari hadirnya ide ini adalah para dosen dan juga mahasiswa yang mampu menangkap peluang bisnis dari apa yang dipelajari (komersialisasi riset) diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkembang. Namun ternyata, realitanya tidak demikian. Kampus tidak peduli dengan aktivitas bisnis yang dilakukan baik dosen maupun mahasiswa. Kampus hanya memonitoring hal-hal rutin seperti pengumpulan nilai dan berkas akademik lain. Ini saya kira kerugian bagi kampus itu sendiri. Padahal jika ditengok dari kalangan mahasiswa ITB saja untuk angkatan 2008 lulusannya 6 persen terjun di dunia usaha sedangkan angkatan 2007 dengan 7.05 persen (Tracer Study ITB). Fakta ini menunjukkan gap terkait komersialisasi riset dalam tataran ide dan praktik. Nah, apakah dengan adanya

9


momentum Harteknas yang diperingati tiap 10 Agustus dapat menangkap fenomena ini ? Entahlah.

10


Berlomba-Lomba World Class University [uruqulnadhif.com 3 November 2016]

Tidak asing bagi kalangan kampus akan istilah World Class University (WCU) yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan Universitas Kelas Dunia. Banyak kalangan khususnya petinggi Perguruan Tinggi ternama di Indonesia mengangkat istilah itu sebagai label kampus yang dipimpinnya. Dari sinilah saya kemudian bertanya apa itu WCU ?. Beberapa tahun terakhir saya amati khususnya di kampus saya, Institut Teknologi Bandung, dimana saya telah belajar selama 7 tahun di sini, bahwa WCU dimaknai hanya sebatas peringkat kampus di beberapa instansi pemeringkat dunia seperti webometrics, akreditasi internasional untuk Program Studi, dan publikasi internasional. Artinya ini hanya masuk dalam tataran administratif. Sementara iklim pembelajaran di kampus tidak banyak berubah. Di sini timbul satu pertanyaan lagi, apakah dengan melakukan internasionalisasi lembaga (peringkat, akreditasi, dan publikasi) menjadikan suatu universitas patut disebut universitas kelas dunia ? Saya kira tidak semudah itu.

Saya kira WCU tidak jauh berbeda dengan label lain yang seringkali kita dengar seperti Research University (RU) dan Entrepreneurial University (EU). Label-label ini seringkali dipakai universitas-universitas kita untuk mendongkrak pamornya di masyarakat. Harapannya banyak masyarakat yang kemudian tertarik masuk dan menjadi mahasiswa suatu universitas. Cara ini bagi kampus yang sudah punya nama seperti ITB, UI, dan UGM tidak banyak pengaruhnya karena tanpa promosi pun kampus-kampus ini kebanjiran calon mahasiswa di setiap tahunnya. Biarpun label itu tidak dibutuhkan dalam konteks promosi, namun realitanya kampus-kampus ini tetap menamai dirinya dengan label tersebut. Sebagai contoh ITB dalam periode kepengurusan Kadarsah Suryadi (2014-2019) melabeli ITB dengan Entrepreneurial University setelah sebelumnya di era Akhmaloka (2010-2014) dengan World Class University (WCU).

Akui Saja Teaching University

Nama WCU, RU, maupun EU merepresentasikan visi dan misi universitas, kemana univeritas ini akan dibawa. Setiap nama di atas memiliki filosofi masing-masing, jadi tidak

11


ujug-ujug dengan memakai label itu langsung menjadikan pola kehidupan di universitas menjadi berubah. EU konon pertama kali dikenal di universitas-univeristas Amerika di awal abad-20 dimana universitas adalah partner strategis dari berbagai industri. Stanford University adalah mitra terdepan Silicon Valley yang melahirkan aneka perusahaan IT dunia seperti Microsoft dan Hewlett-Packard (HP). Baru kemudian setelah perang dingin, universitas-universitas di Amerika mengubah citranya dari EU menjadi RU. Pada masa ini, universitas berlomba-lomba melakukan riset dasar untuk kebutuhan pertahanan dalam negeri. Investor terbesar riset tak lagi dunia industri melainkan pemerintah. Di masa ini, kita dapat melihat perkembangan keilmuan fundamental sangat masif seperti riset terkait atom. Sementara itu WCU hadir setelah EU dan RU hadir sebelumnya. Kampus-kampus luar negeri khususnya Barat yang telah settle dengan dunia riset baik yang orientasinya untuk industri maupun untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri lambat laun entah melebeli dirinya sendiri atau dilabeli dengan sebutan World Class University (WCU). Artinya kampuskampus tersebut tidak sibuk dengan promosi WCU dimana-mana, namun cukup dengan melakukan riset yang masif, dunia akan mengakui dengan sendirinya.

Lantas bagaimana dengan universitas di Indonesia ?. Riset (penelitian) dalam universitas kita belum menjadi suatu budaya. Artinya riset belum menyatu dalam diri civitas akademika khususnya dosen bahwa kegiatan pengajaran dan riset adalah satu kesatuan profesi dosen. Dosen tidak bisa mengajar saja melainkan harus juga melakukan riset. Definisi riset terbaru yang saya dapatkan datang dari salah dosen ITB bahwa riset dan publikasi adalah kesatuan yang utuh. Artinya di sini tidak boleh hanya meriset bertahuntahun namun nihil publikasi. Biarpun saya masih bertanya-tanya apakah definisi riset dengan mengkaitkan dengan publikasi itu cocok karena bisa jadi ada dosen yang meneliti suatu objek/fenomena bertahun-tahun tanpa publikasi satu pun, lantas itu tidak dikatakan suatu riset ?. Nampaknya jika kita membahas ini, tulisan ini akan menjadi lebih panjang. Asumsikan kita sekarang memakai definisi riset ala dosen ITB itu, maka publikasi adalah parameter masif atau tidaknya riset suatu perguruan tinggi. Data scopus per 1 Agustus 2016 memperlihatkan bahwa jumlah publikasi 5 besar kampus penyumbang publikasi terbanyak di Indonesia (ITB, UI, UGM, IPB, ITS) jika dijumlahkan seluruhnya masih kalah dengan satu universitas di Malaysia yaitu Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) (18537 : 24633). Dari data itu kita harus akui bahwa riset kita memang tidak masif.

12


Jadi jika tidak ada aktivitas riset secara masif, apa yang dilakukan universitas kita ? Tak lain adalah pengajaran. Pandangan masyarakat akan dosen umumnya pada tataran bahwa dosen itu tugasnya mengajar mahasiswa dari tidak bisa menjadi bisa, titik. Kita harus akui bahwa sejak Indonesia merdeka sampai saat ini univeristas kita tak banyak mengalami perubahan sebagai univeristas pengajaran (teaching university). Dengan mengakui identitas ini, baru kemudian kita dapat berfikir bagaimana universitas kita diarahkan menjadi RU, EU, atau bahkan WCU.

Pelan-Pelan Tapi Pasti

Semua orang menginginkan perubahan tak terkecuali dunia universitas. Setelah mengakui bahwa sejatinya universitas kita masih TU dan untuk melangkah ke RU, EU, apalagi WCU harus menjadikan riset sebagai budaya, maka langkah selanjutnya adalah mendefinisikan dengan tepat riset itu apa, tidak sesederhana yang diungkapkan dosen ITB di atas. Definisi riset dijelaskan secara apik oleh Johanes Eka Priyatma di kolom Opini Kompas (27/9/2016) dimana Ia menawarkan gagasan jejaring aktor yang diambil dari Teori Jejaring Aktor (ActorNetwork Theory/ANT). Melalalui teori ini dapat dijelaskan bahwa riset adalah masalah yang kompleks yang disana melibatkan aneka aktor baik manusia maupun benda yang dalam bahasa ANT disebut artifak. Dalam konteks riset di Perguruan Tinggi perlu diidentifikasi artifak-artifak penyusunnya seperti halnya siapa yang memanfaatkan riset, siapa yang mendanai riset, riset itu sendiri di bidang apa, pelaku riset, dan sebagainya.

Publikasi riset di jurnal internasional adalah satu sisi dari riset, maka jika hanya satu sisi yang diperhatikan tidak akan menciptakan budaya riset yang masif. Maka disini diperlukan sisi-sisi lain. Merujuk pada sejarah berbagai universitas di dunia bahwa sisi-sisi lain yang dimaksud adalah pengguna hasil riset (industri, masyarakat), pemberi dana riset (pemerintah, industri), pelaku riset (selain universitas lainnya juga periset dari lembaga lain serta mencakup juga kapabilitas pelaku riset), dan sebagainya. Sisi-sisi itu harus ditengok dan dijalin secara kontinyu sehingga dihasilkan hubungan yang harmonis. Dalam hal ini Kemenristekdikti diperlukan untuk menjalin sisi-sisi itu dengan pihak kampus. Jika dilihat dalam tataran makro, usaha ke arah ke sana jelas sangat berat karena dibutuhkan lintas

13


institusi dan lintas kementerian, namun jika tidak segera dimulai harapan untuk menjadikan universitas kita menjadi RU, EU, atau bahkan WCU hanya akan tinggal harapan dan mimpi. Artinya di sini budaya riset di kampus kita selamanya tidak akan terjadi dan kampus kita akan selamanya sebagai kampus pengajaran.

14


Ekonom Supply-Demand [uruqulnadhif.com 21 April 2016]

Tulisan ini bersumber dari obrolan warung kopi antara saya, teman jurusan, dan dosen. Di awali dari obrolan pancingan saya terkait proyek Kereta Api Cepat China. Jadi saya ingin menceritakan sebagaian hasil keikutsertaan saya di Forum Asia Afrika (FAA) yang diadakan sore tadi di Gedung Pikiran Rakyat Jalan Asia Afrika. Saya memang datang telat sekali jadi hanya ikut di sekitar setengah jam terakhir. Tapi setidaknya saya mendengar paparan dari Dirut proyek dan sempat ngobrol pasca acara. Saya menilai proyek ini memang belum matang dengan aneka konstrain yang belum dapat diselesaikan menjelang proyek bergulir. Beberapa konstrain ini diantaranya penyiapan SDM untuk mengadopsi teknologi ini baru sebatas rencana, seperti ke depan pihak pemegang projek akan bekerjasama dengan beberapa Perguruan Tinggi untuk turut serta menyerahkan SDM-nya ke mereka untuk dididik di China. Selain itu, menurut Dirut proyek kegiatan maintenance dalam sepuluh tahun pertama akan dikelola oleh pihak China adapun setelahnya orang Indonesia harus dapat kelola sendiri.

Diskusi terkait proyek kereta api cepat sampai pada analisis market siapa yang akan naik moda transportasi ini. Dari beberapa opsi yang beredar, para pekerja yang berdomisili di Bandung lah yang mungkin. Ini setelah melihat perjalanan dengan kereta cepat hanya ditempuh kurang dari satu jam. Pekerja yang dimaksud juga terbatas bagi yang bekerja tak jauh dari stasion. Bagaimana dengan para eksekutif muda, seberapa butuh mereka akan kereta cepat ?. Sebelum menjawab ini, seberapa banyak sih para eksekutif muda yang harus bolak-balik Jakarta atau punya mobilitas tinggi ? Juga transportasi ke Jakarta udah ada travel door to door, “nebengers�, dan juga akses jalur tol Cipularang yang relatif bebas hambatan (kecuali jika waktu macet).

Obrolan tentang market akhirnya sampai pada pembahasan prinsip ekonomika. Ada akademisi yang mendalami ekonomi yang deterministik meyakini fenomena ekonomi sekedar supply-demand. Kedua hal ini diasumsikan variabel bebas yang tidak bergantung satu dengan yang lain. Faham seperti ini kami anggap sebagai faham dangkal atas berbagai realitas ekonomi. Apakah ekonomi harus mengikuti demand artinya katakan orang lagi

15


gandrung dengan namanya cimol. Lantas orang berbondong-bondong untuk memproduksi cimol dan tumbuhlah ekonomi yang distimulus oleh perdagangan cimol. Bagaimana jika demand yang awalnya tidak ada ? Dalam faham supply-demand, mustahil adanya kegiatan perekonomian disitu. Tapi bagaimana dengan sikap pengusaha ? Menciptakan pasar alias demand. Sehingga muncullah aneka iklan untuk mempromosikan produk mereka. Terus jika supply-demand itu realitas yang independen, mengapa misalnya seorang beli produk A artinya ia punya demand akan produk tersebut, trus ia kebayang untuk buat produk serupa atau dengan sentuhan inovasi di produk tersebut untuk kemudian dijual. Itu bukannya Ia melakukan aktivitas supply yang didasarkan pada demand ?. Contoh sederhana ini memperlihatkan bahwa supply-demand adalah realitas yang saling bergantung (mutually dependent).

Realitas ekonomi itu di depan mata, bukan dengan konsepsi mengawang-ngawang apalagi ditambahi dengan bumbu-bumbu persamaan matematika rumit yang seolah-olah melegitimasi kemutlakan kebenaran dari pendekatan ilmu ini akan realitas makro. Seingat saya dosen Keuangan Internasional saya mengatakan bahwa penggunaan matematika dalam ilmu ekonomi di mulai sejak 1930-an. Artinya belum lama. Jika dibandingkan dengan engineering jauh. Biarpun banyak ekonom ingin menyebut ilmu ekonomi itu bagian dari sains, namun toh ilmu ini tetap dismal science alias sains abu-abu. Persamaan matematika secanggih apapun untuk memahami realitas ekonomi tetap saja memiliki kekurangan. Jika ia dibandingkan dengan hukum fisika, tingkat keelegananya masih kalah.

Biarpun demikian matematika adalah tool yang sangat penting untuk digunakan dalam memahami realitas ekonomi biarpun tidak satu-satunya. Logika yang terstuktur dalam matematika memudahkan untuk menggambarkan dan selanjutnya menarik kesimpulan dari berbagai persoalan perekonomian. Namun biarpun begitu, pemahaman akan realitas ekonomi yang komprehensif jauh lebih penting dari sekedar otak-atik-gatuk rumus dalam mempelajari ekonomika.

Topik obrolan selanjutnya tentang Persib, namun saya tidak akan cerita di tulisan ini.

16


Menganalis Produktivitas Rakyat Indonesia [Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro, 27 April 2016]

Abstrak

Bukannya interferensi Bank Indonesia dengan melakukan kebijakan fiskal seperti upaya penurunan suku bunga untuk menstimulus perekonomian, melainkan bagaimana rakyat Indonesia digenjot produktivitasnya. Produktivitas yang tinggi secara alami akan menjadikan suku bunga turun yang implikasinya akan menggerakkan roda perekonomian. Dalam makalah ilmiah ini akan ditelusuri seberapa besar indeks produktivitas yang dimiliki oleh rakyat Indonesia secara agregrat melalui beberapa survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga dunia seperti Global Creativity Index (GCI), Global Innovation Index (GII), dan indeks pendapatan rata-rata. Dari indeks-indeks tersebut, Indonesia menempati peringkat di atas 90 dari negara-negara yang disurvei. Ini menandakan bahwa produktivitas rakyat Indonesia secara umum rendah.

Kata kunci : produktivitas, GCI, GII, Pendapatan rata-rata

Pendahuluan

Banyak sekali instrumen yang dikatakan sebagai kunci dari pertumbuhan ekonomi suatu negara. Salah satunya yaitu investasi, bagaimana investasi khususnya yang berasal dari luar negeri dapat ditanam di Indonesia. Pendapat ini tak dapat disalahkan begitu saja, toh hasilnya ada seperti halnya pembangunanan infrastruktur jalan raya, jalan tol, pertambangan, perminyakan, bandara, dan sebagainya. Perlu diketahui investasi asing ke Indonesia mulai marak sejak diberlakukannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1967. Dengan adanya perangkat hukum ini, investasi asing tak terbendung. Tak dapat disangkal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah itu menjadi masif bahkan pernah menyentuh angka 9 persen per tahun.

Kebijakan menstimulus perekonomian nasional dengan investasi tak hanya berlangsung di zaman Orde Baru, melainkan sampai sekarang. Negara atau lembaga donor bergantian

17


mulai dari World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), kerjasama antarnegara, dan lainnya. Ada bentuknya hutang, business to business (B to B), hibah, dan sebagainya. Bantuan dari lembaga/negara asing tersebut ada yang tepat sasaran dengan diinjeksikan di komponen-komponen produktif seperti infrastruktur, namun ada juga yang disewengkan seperti korupsi. Penyelewengan inilah salah satu faktor penting yang membuat hutang Indonesia semakin menumpuk. Ini berimplikasi pada devisa negara yang pada akhirnya tergerus. Pendapatan nasional atau yang dikenal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang dari tahun ke tahun naik namun jika dirata-ratakan dengan total penduduk didapat pendapatan perkapita yang tidak besar. Pada tahun 2014, PDB per kapita Indonesia 10,517.0 $ atau sekitar seperlima dari Amerika Serikat (World Bank 1, 2015).

Oleh karenanya diperlukan pendekatan baru terkait stimulus perekonomian. Produktivitas adalah komponen penting sebagai penyetimulus perekonomian. Produktivitas secara sederhana diartikan sebagai penggunaan input minimal, namun didapatkan output maksimal. Produktivitas ini lekat dengan kompetensi tiap individu. Dalam konteks ilmu ekonomi disebut tenaga kerja (labour). Para tenaga kerja terampil dapat diartikan memiliki keterampilan tertentu dan juga ia mendalami (high skill worker). Di sini Ia tak hanya melakukan aktivitas kerja rutin seperti halnya buruh pabrik rokok atau manufaktur, melainkan ia dapat mengembangkan ilmunya dengan terus belajar (continue learning). Dalam artian lain, ia berpendidikan baik dan terlatih (well educated and well trained).

Landasan Teori

Dalam literatur ilmu ekonomi, produktivitas berasal dari fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan input yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa (Mankiw, 2006). Adapun modal dan jasa merupakan komponen yang dianggap penting dalam fungsi tersebut. Lebih lanjut Mankiw menjelaskan bahwa modal merupakan seperangkat sarana yang dipergunakan oleh para pekerja : derek para pekerja bangunan, kalkulator akuntan,

1

http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.PP.CD?order=wbapi_data_value_2012 +wbapi_data_value+wbapi_data_value-last&sort=desc

18


dan computer PC penulis buku ini. Sedangkan tenaga kerja adalah waktu yang dihabiskan orang untuk bekerja. Secara sederhana rumusan fungsi produksi didefinisikan dengan :

Y=F(K,L)

Dengan Y merupakan output fungsi produksi, K modal, L tenaga kerja, dan F fungsi produksi. Di sini diasumsikan bahwa faktor-faktor produksi ini digunakan sepenuhnya sehingga tidak ada sumber daya yang terbuang.

Fungsi produksi tersebut memperlihatkan constant return to scale. Hal ini terjadi jika peningkatan dalam persentase yang sama dalam seluruh faktor-faktor produksi menyebabkan peningkatan dalam persentase yang sama dalam seluruh faktor-faktor produksi menyebabkan peningkatan output dalam persentase yang sama. Atau dapat ditulis dengan :

F(aK,aL)=aF(K,L)

Dengan a adalah suatu konstanta.

Jika kedua ruas diturunkan maka akan didapatkan rumusan :

Fk K + Fl L = F (K,L)

Dimana Fk adalah factor marginal untuk kapital dan Fl adalah factor marginal untuk tenaga kerja. Jika diasumsikan a=1/L, maka didapatkan persamaan F(aK,aL)=F(K/L,1)=f(k) dengan k=K/L atau dapat dituliskan dengan F(K,L)=Lf(k).

Adapun faktor maginal product untuk tenaga kerja Fl dapat dinyatakan dengan :

Fl=f(k)-fk.k

Dimana fk merupakan turunan f(k) terhadap k (df/dk).

19


Fungsi Fl diatas dapat disebut sebagai upah. Jadi upah merupakan representasi dari produktivitas suatu pekerja. Jika upah suatu pekerja tinggi maka itu cerminan bahwa ia produktif, sebaliknya jika upah rendah maka ia kontra-produktif.

Selanjutnya, Fl akan ditulis dengan w sehingga w=f(k)-fk.k atau dapat ditulis w=f(k)-f’(k).k. Jika persamaan ini diturunkan terhadap w akan didapat :

1=-f’’(k).k(w).k’(w) atau k’(w)=-1/*f’’(k).k(w)+>0

Dengan mendefinisikan r=f’(k), dapat ditulis r’(w)=f’’(k).k’(w)=-1/k(w) < 0 atau biasanya disebut factor-price frontier.

Dalam persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kenaikan w (produktivitas) akan dapat menurunkan r (suku bunga).

Data dan Analisis

Pendapatan Rata-Rata

Berdasarkan teori diatas, produktivitas dapat diinterpretasikan dengan pendapatan ratarata suatu negara. Berdasarkan data yang dihimpun oleh numbeo.com 2, Indonesia menempati peringkat 101 dengan 319.70 $ per tbulan, sementara Malaysia (48/892.98 $), China (43/992,02 $), dan Amerika Serikat (11/2,794.81 $). Sementara itu peringkat 1 ditempati Swiss dengan 5,781.75 $. Apakah dengan data pendapatan (gaji) tersebut cukup merepresentasikan angka produktivitas orang Indonesia ?. Belum, karena dalam kondisi rill yang terjadi ada faktor politik yang masuk dalam kebijakan pemberlakuan gaji tenaga kerja suatu perusahaan. Adanya Upah Minimum Regional (UMR) adalah bukti bahwa terdapat

2

Numbeo merupakan database terkait kota-kota dan negara-negara di dunia. Numbeo menyediakan informasi terkini dan berkala terkait kondisi kehidupan dunia mencakup biaya hidup, indikator perumahan, kesehatan, lalu lintas, kriminal, dan polusi.

20


otoritas di luar pasar (negara) yang menjadikan angka produktivitas dinilai dari pendapatan menjadi bias.

Data gaji per bulan rata-rata di atas pastinya disumbang oleh tiap rakyat Indonesia yang bekerja. Pertanyaan selanjutnya berapa banyak rakyat Indonesia yang bekerja ?. Berdasarkan data Badan Pusat statistik (BPS), rasio penduduk bekerja terhadap total penduduk adalah sebesar 61,7 % per Agustus 2015. Ini menunjukkan bahwa 319,7 $ disumbang oleh rata-rata dari 61,7 % penduduk Indonesia atau sekitar 157 juta (dari 255.461.700 pada 2015). Dari sekian persen penduduk yang bekerja, jika ditelusuri lagi lebih dalam, berapa persen yang bekerja sebagai pengusaha atau profesional di perusahaan (dengan gaji tinggi) dan berapa persen yang bekerja di sektor informal/serabutan (dengan gaji tidak menentu). GCI dan GII

Kebiasan memakai parameter gaji rata-rata sebagai acuan produktivitas, maka perlu dicari parameter lain yang cukup merepresentasikan faktor itu. Kreativitas dan Inovasi adalah dua parameter yang dianggap cukup mewakili produktivitas. Mengapa dua parameter ini ? Produktivitas erat kaitannya dengan penggunakan pengetahuan ke dalam aksi yang mendatangkan benefit atau dalam hal ini adalah mendatangkan nilai ekonomi. Lebih tepatnya persinggungan pengetahuan dengan dunia kerja. Mengapa tidak memakai parameter tingkat pendidikan ?. Penulis menilai strata pendidikan tidak otomatis berkorelasi dengan kebutuhan kerja rill di lapangan yang biasanya sangat dinamis yang membutuhkan inovasi yang tinggi. Strata pendidikan dalam konteks Indonesia umumnya berlaku pada penjenjangan tingkatan gaji di berbagai instansi pemerintahan seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dicapai misalnya pendidikan S3, tidak serta merta berkorelasi erat dengan produktivitas untuk menghasilkan produk yang marketable. Di negara Indonesia, jenjang S3 umumnya justru tidak terpakai di dunia industri karena profesinya sekedar mengajar (teaching) atau riset (researching) yang tidak ada sangkutpautnya dengan industri.

21


Berdasarkan data yang dihimpun oleh martinprosperity.org3, tingkat kreativitas (Global Creativity Index/GCI), Indonesia menempati nomor 115 dengan nilai 0,202. Sementara itu Malaysia (63/0,455), China (62/0,462), dan Amerika Serikat (2/0,950). GCI merupakan gabungan dari 3T (Teknologi4, Talenta5, dan Toleransi6),didasarkan pada rata-rata dari ketiga variabel tersebut. Perhitungannya sendiri dilakukan secara equal artinya hasil dari ketiga indeks dijumlahkan dan selanjutnya dibagi tiga. Dari data ini terlihat bahwa tingkat kreativitas orang-orang Indonesia masih rendah. Artinya rakyat Indonesia belum banyak yang mampu berfikir terbuka dan berkreasi secara positif.

Indeks kedua yaitu Global Innovation Index (GII). Indeks ini terdiri dari dua sub penting yaitu Innovation Input Sub-Index dan Innovation Output Sub-Index, yang setiap darinya dibangun oleh beberapa pilar. Lima pilar input memotret elemen dari ekonomi nasional yang dapat menciptakan aktivitas inovasi : (1) institusi, (2) Human capital dan riset, (3) Infrastruktur, (4) Kecanggihan pasar, dan (5) Kecanggihan bisnis. Dua pilar output memotret bukti aktual dari output inovasi : (6) output pengetahuan dan teknologi, dan (7) output kreatif. Dalam indeks ini, Indonesia menempati peringkat 97 dengan 29,79 poin, sementara Malaysia (32/45,98), China (29/47,47), Amerika Serikat (5/60,10). Peringkat pertama dihuni Swiss dengan 68,30. Melalui indeks ini dapat diambil kesimpulan bahwa, secara umum iklim di Indonesia belum mendukung aktivitas inovasi.

Data dua indeks ini (GCI dan GII), mendukung data pendapatan rata-rata rakyat Indonesia yang mencerminkan produktivitas. Ketiga parameter ini menempatkan Indonesia diposisi

3

Tujuan dari MPI yaitu mendalami kesejahteraan ekonomi. Dituanrumahi oleh Rotman School of Management, University of Toronto, misi MPI adalah untuk mengembangkan sebuah pemahaman baru, dan menginformasikan, npercakapan publik paling luas terkait kesejahteraan yang dibagikan dan berkelanjutan bahwa sebagaiknya merupakan bagian penting dari kapitalisme demokrasi. Dipimpin oleh para pemikir unggul seperti Roger Martin, Richard Florida, dan Don Tapscott, para fellow dan peneliti ingin untuk membantu menciptakan kesejahteraan abadi untuk semua. 4 Dua variabel dari indeks teknologi yaitu investasi R&D dan inovasi (paten) 5 Dua ukuran talenta – satu yang menggambarkan kelas kreatif, dan yang lainnya didasarkan pada pencapaian pendidikan 6 Dua ukuran toleransi didasarkan pada survei terkait sikap-sikap pada etnis, dan minoritas, serta para gay dan lesbian

22


belakang diantara negara-negara yang disurvei. Oleh karenanya tepat jika menyebut produktivitas rakyat Indonesia secara agregat rendah.

Kesimpulan

Produktivas Indonesia tercermin dalam pendapatan rata-rata. Seperti yang dihimpun oleh numbeo.com dimana menempatkan Indonesia diposisi 101 dengan 319,70 $ per bulan. Data ini didukung dengan data lain yaitu Global Creativity Index (GCI) yang menempatkan Indonesia di posisi 115 dengan nilai 0,202, dan Global Innovation Index (GII) yang menempatkan Indonesia di peringkat 97 dengan 29,79. Ini menunjukkan bahwa secara agregat, produktivitas rakyat Indonesia rendah.

Saran

Perlu dicari parameter lain yang menggambarkan produktivitas rakyat Indonesia secara representatif, sehingga dapat memberi masukan ke pemerintah bahwa produktivitas lah yang akan menggerakkan perekonomian Indonesia.

Daftar Pustaka

1.

Mankiw, N. Gregory. (2007). Makroekonomi, Edisi Keenam, Jakarta : Penerbit Erlangga

2.

Syamsuddin, M. (2013). Catatan Kuliah Keuangan Internasional

3.

http://www.numbeo.com/cost-of-living/country_price_rankings?itemId=105

diakses

16/4/2016 1:37 AM 4.

Indikator Pasar Tenaga Kerja Indonesia Agustus 2015, Badan Pusat Statistik

5.

http://martinprosperity.org/media/Global-Creativity-Index-2015.pdf

diakses

16/4/2016 2:24 AM 6.

Cornell University, INSEAD, and WIPO. (2015). The Global Innovation Index 2015: Effective Innovation Policies for Development , Fontainebleau, Ithaca, and Geneva.

7.

http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.PP.CD?order=wbapi_data_value_2 012+wbapi_data_value+wbapi_data_value-last&sort=desc diakses 27/2/2016 8:36 AM

23


Bagaimana Agama, Budaya, dan Ipteks Bertemu [uruqulnadhif.com 16 Juli 2016]

Jumat (15/7/2016) kemarin, Diskursus Salman kembali diadakan. Namun kali ini berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Pertemuan kali ini membicarakan kelanjutan akan kemana Diskursus Salman dibawa dan juga persoalan serta produk seperti apa yang akan menjadi output dari diskusi pekanan. Suasana obrolan di ruang GSS D Salman berlangsung cukup hangat. Di awali dengan paparan pendapat Alfathri, Armahedi, Yasraf Amir Piliang, Acep Iwan Saidi, dan banyak peserta diskursus yang lain. Saya juga sempat berpendapat untuk menimpali beberapa paparan dari pembicara sebelumnya.

Sudah sejak lama terjadi perdebatan apakah ada korelasi antara agama dan ipteks. Ada pendapat yang menyatakan bahwa agama (khususnya Islam) mengilhami para ilmuwan masa kejayaan Islam menemukan aneka penemuan ilmiah yang berkontribusi terhadap perkembangan saintek modern. Pendapat lain menyatakan bahwa perkembangan saintek yang begitu maju seperti saat ini adalah karena menempatkan agama terpisah dengan saintek modern. Pendapat terakhir ini mengemuka pasca Renaisance yang terjadi di Eropa dimana di masa kegelapan (dark age) sebelumnya pihak gereja melakukan tindakan brutal terhadap banyak ilmuwan yang berseberangan terhadap pendapat gereja.

Zaman sekarang hampir dipastikan merujuk pada perkembangan saintek modern dari Barat biarpun akhir-akhir ini banyak juga yang menyangkal saintek Barat itu sendiri khususnya terkait korelasi negatif antara ipteks dan kesejahteraan manusia. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ipteks Barat telah mengubah peradaban dunia yang cukup signifikan. Di zaman informasi seperti sekarang penggunaan teknologi jelas tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Mengutip pendapat Yasraf Amir Piliang kemarin, bahwa akan terasa ganjil jika definisi budaya saat ini tidak menggunaan kata “teknologi�. Oleh karenanya kata beliau, perlu adanya pendefinisian ulang terkait penjelasan manusia Indonesia dewasa ini.

Korelasi agama dan Ipteks juga antara agama dan budaya serta Ipteks dan Budaya menjadi pembicaraan hangat banyak kalangan. Tak jarang terjadi pendapat yang justru mengarah

24


pada perdebatan yang tidak sehat alias debat kusir khsusunya di poin pertama (agama dan ipteks). Titik temu antara dua kubu (agama mengilhami saintek atau saintek terpisah dengan agama, dan seterusnya) hampir tidak pernah terjadi. Saintek masihlah terpisah sangat jauh dalam kebudayaan manusia Indonesia sehari-hari. Ia dipandang sebagai barang mewah yang letaknya hanya berada di seputaran kampus. Berbeda halnya dengan agama Islam khususnya yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat secara umum khususnya pedesaan. Ini tak lain karena Islam terlah berakulturasi dengan budaya setempat sejak masa yang sangat lama sebelum kolonial yang mengenalkan saintek kepada pribumi.

Melek Ipteks

Penguasaan Ipteks sangat diperlukan bagi suatu masyarakat yang ingin berkembang. Tinggal dipilih ipteks jenis apa yang memiliki dampak positif bagi masyarakat. Penguasaan ipteks ini sendiri tak sekedar menggelontorkan dana sekian triliun untuk riset namun yang lebih penting lagi bagaimana ipteks menjawab kebutuhan Negara. Pengembangan Ipteks di Indonesia tak melulu seperti Barat, India, atau China yang meriset perkembangan dunia angkasa luar dengan alat supercanggih. Ini tidak berarti Indonesia menutup mata akan perkembangan Ipteks di luar sana. Namun, bagaimana Ipteks menjadi semangat bersama segenap warga Indonesia. Hal inilah yang lebih penting.

Indonesia adalah negara dengan sebagian besar warganya adalah muslim. Maka dari sini perlu dicarikan jalan keluar untuk menginternalkan pembahasan ipteks dalam kajian-kajian agama. Bagaimana Ipteks tak lagi sebagai lawan dari ajaran agama, namun justru perlu digalakkan bagaimana Islam menjadi panduan moral perkembangan Ipteks. Termasuk juga bagaimana pemanfaatan Ipteks mampu menjadikan kehidupan masyarakat lebih damai dan harmoni. Saya sampai sekarang masih berkesimpulan bahwa Perkembangan Ipteks tidak dihalang-halangi oleh ajaran agama, melainkan justru disempurnakan ke hakikat ipteks itu sendiri.

25


Belajar Bisnis dari Pak Budi Rahardjo [uruqulnadhif.com 31 Juli dan 1 Agustus 2016]

Jumat lalu (29/7) sekitar jam 15.00 WIB saya ngobrol dengan Pak Budi Rahardjo di rumahnya, di kawasan Bojong Koneng Bandung. Saya tidak sempat menunggu, beliau langsung melayani wawancara saya dengan energik. Di rumahnya, terdapat tiga perusahaan yang dijalankan beliau. Maka wajar di halaman rumah puluhan motor dan beberapa mobil parkir. Karena beliau sangat semangat, saya terbawa semangat juga. Hi hi hi

Saya ngobrol dengan Pak Budi selama kurang lebih 45 menit. Topik obrolannya yaitu menggali kehidupan Pak Budi yang disamping sebagai dosen ITB juga aktif dalam banyak hal khususnya menjadi seorang technopreneur di bidang IT. Sekarang setidaknya ada tiga perusahaan yang di-run beliau ;INDOCISC, Insan infonesia, dan ID-CERT. Saya tidak akan menceritakan terkait perusahaan-perusahaan beliau, namun yang saya anggap penting di sini adalah bagaimana cerita beliau menapaki karier di bidang IT ini. Beliau saya anggap sebagai dosen yang tidak biasa. Pak Budi menyebut dirinya sendiri sebagai hyper multitasking. Bagaimana tidak, kesibukan Pak Budi sungguh sangat luar biasa mulai dari aktif di kampus membimbing mahasiswa, mentoring bisnis di banyak lokasi di Bandung, me-run bisnis, juga mengerjakan berbagai projek terkait sekuriti. Nah, biarpun begitu beliau sangat welcome pada orang-orang yang pengen nemui beliau, termasuk saya pada waktu itu. Orang yang sekedar ingin wawancara atau nanya-nanya terkait IT dengan tanpa syarat apapun bisa bertemu dengan beliau. Jika tidak percaya, lihat saja blog-blog beliau. Terlihat sekali gaya bahasa beliau yang santai. Saya aja ketika baca tulisan beliau, mau ngakak. Ha ha ha

Kembali ke topik. saya akan mengulas beberapa pikiran beliau yang saya kira sangat penting untuk disampaikan. Poin pertama yang akan saya sampaikan tentang startup. Ya, terkait bagaimana berkembang sebagai starter-up (beneran gak sih istilah ini ?) di bidang teknologi jadi bukan bidang buat kafe atau sejenisnya. Pada awal mulanya, inti dari segalanya adalah kecintaan. Nah, pastikan Anda cinta dengan bidang bisnis yang Anda geluti. Belajar dari Pak Budi, beliau sangat gandrung dengan namanya IT khususnya di

26


bidang pemrogaman. Mengerucut lagi di bidang sekuriti. Maka disitu, biarpun pekerjaan beliau sesibuk apapun akan beres. Do till the end.

Berawal dari projek dari KPU yang didanai UNDP beliau menjalani projek pertama di bidang sekuriti. Di sini beliau didorong rekannya untuk membuat suatu perusahaan. Jelas dalam prosesnya beliau berinteraksi dengan aneka jenis orang kayak sesama rekan kerja, komunitas,

dan

juga

investor.

Macam-macam

lah.

Karena trust, banyak

pihak

memercayakan pekerjaan terkait sekuriti dan topik IT lain kepada Pak Budi. Lihat saja protofolio di CV beliau, banyak sekali. Di sini Pak Budi sadar bahwa semakin banyak orang percaya, maka diperlukan proses belajar soalnya bidang sekuriti itu sangat dinamis. Anda bayangkan malware (atau sejenis virus) dalam komputer kan berkembang luar biasa. Anda pasti ingat pelajaran biologi dan juga matematika, bahwa virus itu berkembang sesuai dengan deret geometri. Oke kembali ke topik lagi, nah maka Pak Budi harus menguasai ilmu dasar dari malware ini. Apa itu ? Kriptografi. Lebih dasar lagi adalah aljabar. Di sini Pak Budi bekerjasama dengan Bu Intan dan tim dari Prodi Matematika ITB. Pak Budi dan Bu Intan rutin adakan riset bersama seputar malware ini. Mereka "mamanfaatkan" mahasiswa bimbingan S2 dan S3 untuk melakukan tesis dan disertasi di bidang itu. Riset ini tak sekedar riset yang tujuannya untuk di-publish di jurnal internasional saja, tetapi dimanfaatkan di dunia industri. Jadi jelas sekali jluntrungan-nya.

Poin kedua yang akan sampaikan terkait bagaimana konsepsi entrepreneurial university versi pelaku entrepreneurship yaitu Pak Budi sendiri. Saya dulu pernah sih menulis terkait konsep ini di opini saya yang formal, namun malas ah pake referensi-referensi buku kayak gitu. Mengapa ? karena subjek penelitian di buku yang saya baca itu Barat, beda pisan ama ITB. Hehe. Pak Budi ini unik, beliau bukannya sering bicara bahwa menjadi startup itu asik dan bla bla bla, namun beliau ini justru ceritakan panjang lebar tentang kendala yang dihadapi seorang startup. Itupun ditambah dengan “Bisa jadi yang akan Anda rasakan beda dengan yang saya rasakan�. Nah ini kan menegangkan juga menakutkan betul. Ya, Pak Budi pengen ceritakan apa adanya, tidak melebih-lebihkan bahwa profesi bisnis startup ini lebih mulia dan berkasta lebih tinggi dibandingkan yang lain. Tidak kayak gitu. Jika diperas lagi, beliau pengen ceritakan betul bahwa entrepreneurship adalah mental. Tidak

27


ada rumus khusus untuk mempelajarinya (jadi inget Artificial Intelligence yang katanya rumusnya tidak sesaklek kriptografi, hehe).

Oke kembali ke topik pembahasan. Pak Aca (nama panggilan rektor kita semua, Pak Kadarsah Suryadi), di proses kampanye menjelang Pemilihan Rektor beberapa waktu lalu mengenalkan konsep Entrepreneurial University. Intinya sih gini, ITB ingin mencetak buanyuaaaaakkkkk sekali pengusaha muda. Nah, tapi kumaha ieu ? Ini yang sulit kita saksikan hari ini hasilnya. Padahal Pak Aca kan udah hampir 2 tahun menjadi rektor (cek ya barangkali saya salah). Lantas Pak Aca kita salahkan begitu saya ? Jangan buru-buru gitu, saya bukan Jonru/tipikal pengamat politik. Intinya ITB itu kompleks bahkan lebih kompleks dari bilangan kompleks. Di dalamnya banyak sekali orang-orang dengan keminatan yang bueesar di bidang tertentu. Saya pernah menemukan dosen saya baru pulang pagi hari dari kantornya, ini kan jelas bahwa beliau ini tidur di kantornya. Nah, ini satu indikasi bahwa orang-orang ITB umumnya punya determinasi yang tinggi di bidang keilmuan.

Kembali ke topik pembahasan (2). Banyak pelaku bisnis yang juga akademisi (saya ambil sampel dosen tesis dan Pak Budi doang, heu) yang katakan bahwa setiap kita mendengar ungkapan Entrepreneurial University pasti langsung menyebut Stanford University. Betul, kampus inilah yang berada dibalik berdirinya Silicon Valley, yang melahirkan aneka bisnis di bidang IT seperti Google dan Facebook itu. Konon iklim berbisnis startup di sangat di dorong. Sebagai contoh di sana ada data terkait berapa banyak alumni Stanford yang berkiprah di dunia bisnis (di ITB kan ada tracer study, iya sih tapi masih g sedetail mereka). Iklim yang lebih riil di kampus itu saya belum tahu. Mungkin akan dibahas di lain kesempatan (underline kata ‘mungkin’ ya). Nah, kembali ke ITB. Niat Pak Aca sih baik dan saya yakin beliau mengenal konsep entrepreneurship yang cukup dari jurusannya di Teknik Industri (secara beliau professor di sana). Namun, konsep ini

tidak ujug-ujug bisa

terlaksana dengan hadirnya Pak Aca dengan idenya tentang Entrepreneurial University. Konsep ini jika akan dilaksanakan kompleks sekali. Sistem pendidikan ITB, pola pengajaran, aturan-aturan akademik, dan suasana di kampus ini harus sama sekali berbeda dengan pola-pola sebelumnya. Itu harusnya, realitanya ? ITB tidak banyak berubah. Periode Pak Aca dengan sebelumnya (Pak Loka) sulit bagi kita temukan perbedaannya secara signifikan. Yang ketara dari ITB sekarang ya dorongan kepada dosen-dosen ITB untuk publikasi paper.

28


Nah, inikan sama saja dengan university pada umumnya. Ya, kita masih universitas yang fokusnya ngajar di kelas. Kata Pak Budi, “Jadi ini sebenarnya secara kenyataan teaching university. Jadi akui aja teaching university.�

Lantas apa yang perlu dilakukan ITB ? Pendapat saya tanggalkan konsep Entrepreneurial University yang masih imajinatif ini. Kita fokus pada rakyat ITB (dosen dan mahasiswa, karyawan gimana ? Itu beda konteks yak). Kita kan sama-sama tahu bahwa ITB itu kumpulan orang-orang yang bergairah dan berhasrat menjadi orang top di bidang tertentu. Nggak cuma dosen saja, mahasiswa juga (mudah kita dapati mahasiswa S1 yang balapan IPK-nya, hehe). Nah itu bagaimana mereka semua itu difasilitasi dan diklaim sebagai bagian dari keunggulan ITB. ITB kudunya tidak membiarkan mereka hidup dengan dunia mereka sendiri, tapi diemong. Sebagai contohnya Pak Budi. Beliau aktif mementor mahasiswa di bidang startup dan juga memiliki beberapa perusahaan di bidang IT. ITB dapat mengklaim kegiatan Pak Budi ini sebagai bagian dari program kerja ITB mendorong mahasiswanya untuk berwirausaha. Nanti ITB bisa gembar-gembor ke publik bahwa ITB berjasa untuk menciptakan pengusaha-pengusaha Indonesia. Pak Budi mengakui sendiri sangat boleh ITB melakukan ini justru beliau pengen ITB bersikap demikian. Ini cara Stanford bisa dicontoh (ITB bukannya kiblatnya MIT ?).

Langkah kedua adalah ITB membebaskan dan men-support betul mahasiswa untuk berwirausaha selama studi. Pak Budi bercerita bahwa di kampus Luar Negeri sana (Stanford dan Berkeley) mahasiswa diizinkan cuti selama satu semester untuk fokus dalam kegiatan bisnis startup. Masa cuti ini tidak dimasukkan dalam masa studi normal. Sebelum cuti, mahasiswa ini harus menghadap tim reviewer dari kampus untuk ditanyai kelayakan bisnisnya. Jika oke, go !, jika tidak, Balik studi ya !. Nah, dalam prosesnya selama satu semester sang mahasiswa ini gagal, dan dia pengen balik ke kampus, kampus mengizinkan, tidak di-DO. Selain dua langkah ini, langkah lain adalah kampus kudu dinamis dengan pola/ritme kerja yang sama-sekali berbeda baik dari pimpinan kampus, dosen, mahasiswa, karyawan, dan lain sebagainya. Dinamisasi ini di-support betul. Sebagai contoh adalah ditiadakannya jam malam. ITB terbuka 24 jam bagi segenap civitas akademika yang ingin beraktivitas di dalamnya. Tidak kayak sekarang, jam 23.00 WIB mahasiswa yang nongkrong di unit diusir begitu saja. ITB mendorong kreativitas mahasiwa dengan diberikan

29


kemudahan izin beraktivitas, akses pada stakeholders, dan sebagainya. Keluarannya tidak dengan menang di berbagai perlombaan bisnis lo, tapi alumni-alumni ITB siap berbisnis khususnya di bidang keilmuan yang digelutinya.

Menarik Pelajaran

Setidaknya ada dua hal yang dapat diambil dari kisah Pak Budi. Pertama, bisnis startup penuh dengan kompleksitas tinggi maka tidak mudah. Bekerja di lapangan dibutuhkan kesenangan dan bukan sebuah kegengsian semata. Berbisnis atas dasar prospek cerah bisabisa saja, namun alangkah baiknya berbisnis itu berbasis kesukaan. Jika kita suka, maka kita akan dimudahkan untuk menarik pelajaran (improvisasi) dari setiap apa yang terjadi dalam bisnis kita. Kedua, entrepreneurial university dapat dimulai dengan melihat fakta yang terjadi di kampus. Bahwa di kampus ada dosen, mahasiswa, atau alumni yang me-run bisnis startup itu menjadi pusat perhatian. Mereka di-hire untuk dijadikan advisor karena mereka pelaku. Konsep ini tak bisa sekedar dipelajari melalui textbook, namun dibutuhkan pembelajaran melalui pengalaman. Dari mereka akan turun aneka terobosan rill yang akan memiliki efek positif bagi kampus.

30


Setahap Demi Tahap Mewujudkan Indonesia yang Berbudaya Maritim [17 Juli 2016]

Dalam pembangunan maritim, budaya masuk sebagai komponen penting yang harus diberikan porsi lebih untuk dilakukan tindakan aksi di dalamnya. Budaya ini sendiri bermakna macam-macam. Ada lebih dari 160 definisi yang memberikan eksplanasi terkait budaya. Namun merujuk definisi dari KBBI, budaya merupakan fikiran, adat istiadat, dan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sudah sukar berubah. Dalam arti populer budaya identik dengan cara pandang (mindset) yang berkembang sejak sangat lama dan menjadi penggerak aktivitas keseharian. Ia lahir dari benturan kondisi geografis, teknologi, atau regulasi. Maka dari itu, budaya adalah kajian multidisiplin.

Dalam masa Pemerintahan Jokowi-JK, dicanangkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Secara sederhana poros maritim diartikan sebagai konektivitas antarwilayah Indonesia yang umumnya bercirikan kepulauan. Dalam sebuah negara maritim laut tidak dianggap sebagai pemisah namun justru pemersatu antarpulau. Dalam mewujudkannya, Pemerintah mengangkat program tol laut. Tujuannya salah satunya yaitu mewujudkan pemerataan ekonomi di antara pulau-pulau. Program tersebut identik dengan pembangunanan infrastruktur yang sifatnya fisik seperti halnya pelabuhan dan juga peremajaan kapal.

Pembangunan infrastruktur laut yang mulai digalakkan di masa Presiden Jokowi ini jika kontinyu dilakukan dan sukses, akan sedikit-demi sedikit mengubah mindset pembangunan yang sejak masa Orde Baru berorientasi darat. Pandangan pembangunan berbasis daratan sudah berlangsung sangat lama dan mengakar. Laut dipersepsikan sebagai halaman belakang rumah yang tidak penting untuk diurus. Bukti konkretnya adalah entitas masyarakat yang tinggal di laut seperti halnya nelayan adalah masyarakat golongan paling miskin. Sementara itu, banyak orang berbondong-bondong ke daratan seperti halnya kotakota di Pulau Jawa untuk berebut rizki. Padahal jika potensi laut dimaksimalkan akan didapatkan pendapatan yang luar biasa besar. Mari kita bayangkan, dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan dan garis pantai negara ini terpanjang kedua setelah Kanada.

31


Pembangunaan infrastruktur laut tidak cukup untuk mengubah orientasi masyarakat yang umumnya ke daratan. Infrastruktur adalah satu bagian pembangunan maritim. Masih ada bagian lain seperti halnya pembangunan budaya maritim. Karena budaya bersifat multidisiplin maka untuk itu diperlukan banyak langkah seperti halnya peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah/Perguruan Tinggi yang mendalami pengetahuan terkait kelautan/maritim, menyetimulus film-film, karya sastra, dan aneka jenis seni terkait negara kepulauan, meningkatkan kualitas pariwisata kelautan, dan juga Pemerintah secara rutin mengadakan program-program terkait wawasan nusantara kepada masyarakat luas. Ekspedisi Nusantara Jaya 2016 Kapal Perintis adalah langkah positif untuk mewujudkan sense warga negara akan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.

Ekspedisi ini jika dijalankan dengan rutin dan dengan aneka agenda sistematis berorientasi pada pembangunan budaya maritim di dalamnya, akan mampu mendorong pesertanya sebagai agen kampanye wawasan nusantara sebagai negara kepulauan kepada khalayak umum. Di sini peserta ekspedisi diberikan tugas pasca mengikuti serangkaian acara seperti halnya menuliskan pengalamannya di laman website khusus yang diadakan Kemenkoan Maritim sebagai penggagas acara. Selain itu bisa juga diperbantukan di Kementerian Pariwisata untuk promosi wisata laut, atau juga di Kementerian lainnya untuk memberikan rekomendasi kebijakan pemerintah terkait pembangunan laut. Dengan demikian ekspedisi ini memiliki dampak yang riil terhadap pembangunan.

Saya sangatlah yakin pemerintah memiliki program-program lain yang konkret terkait pembangunan budaya maritim. Ekspedisi maritim ini merupakan satu tahapan yang akan disusul dengan program-program lain. Jalesveva Jayamahe !

32


Pemberhentian Archandra Tahar : Simbol Keteledoran Presiden yang Tak Bisa Dimaafkan [medium.com/@uruqulnadhif 15 Agustus 2016]

Hari ini kita bersama menyaksikan dagelan politik yang sungguh memalukan. Seorang menteri dari reshuffle tahap II kabinet Joko Widodo (Jokowi) yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Archardra Tahar, diberhentikan pasca dilantik tanggal 27 Juli 2016 lalu. Ini artinya Archadra adalah menteri dengan jabatan tersingkat sepanjang sejarah Republik Indonesia, hanya 20 hari saja. Alasan dicopotnya menteri berdarah Padang ini diduga kuat karena kewarganegaraan ganda yaitu selain Warga Negara Indonesia (WNI), Archandra tercatat sebagai warga Amerika Serikat. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa Jokowi tidak teliti dengan hal yang sifatnya adminstratif ini ? Bukannya ini hal yang sangat sederhana ?

Gentle

Banyak alasan yang membuat Jokowi bisa kecolongan dengan menteri pilihannya ini. Bisa karena Ia terlalu percaya dengan pembisiknya sehingga tinggal ‘ngecek’ ala kadarnya. Atau juga menyadari bahwa memang Archandra Tahar berkewarganegara ganda namun percaya dengan pembisiknya bahwa fakta ini tidak akan terbuka ke publik. Apa boleh di kata, bola liar pemberitaan tentang Archandra Tahar yang berkewarganegaraan ganda menjadi viral di publik. Berbagai media membicarakan hal ini. Jokowi berada diujung tanduk untuk segara putuskan sikap atas menteri lulusan ITB ini. Akhirnya malam ini, Archandra resmi diberhentikan secara terhormat sebagai menteri oleh Presiden Jokowi.

Terlepas apa alasan yang menjadi sebab kesalahan pengangkatan Archandra, Jokowi jelas yang patut disalahkan. Pengangkatan menteri adalah sepenuhnya hak Presiden. Hak prerogatif Presiden. Jadi jikapun yang mengusulkan nama Archandra sebagai menteri pengganti Sudirman Said ini bukan Jokowi, namun yang taken kontrak adalah Jokowi, bukan yang lain. Atas dasar inilah, Jokowi harus menyampaikan secara gentle ke publik sejelas-jelasnya bahwa status warganegara ganda Archandra benar adanya dan ini bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

33


2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 23 poin a menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri. Kuat dugaan bahwa kasus Archandra melanggar UU tersebut.

Terakhir

Kejadian ini menjadi semacam pertanda bahwa negara ‘salah urus’. Hal sepele seperti status warga negara menteri kabinet saja keliru. Ini sungguh memalukan. Hal memalukan seperti ini tidak sekali saja terjadi di zaman Jokowi. Masih banyak kejadian ‘lucu’ yang terjadi sejak pertama kali Ia dilantik 2014 silam. Ini tak lain karena Jokowi belum menjadi Presiden ‘sesungguhnya’. Disekitar Jokowi banyak sekali dalang yang bermain, sementara Jokowi adalah wayang. Tinggal siapa dalang yang bermain, disanalah mantan Walikota Solo ini akan menyambut (tidak bisa menolak) dengan kebijakan-kebijakan yang terkadang kontroversial. Banyaknya sukarelawan yang dulu saat kampanye ‘sukarela’ mendukung Jokowi, kini merongrong ingin mendapatkan jabatan.

Cukuplah kejadian Archandra ini terakhir di periode pertama Jokowi memimpin agar beliau dapat fokus kerja membangun Indonesia. Saya merindukan ide besar Jokowi untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia menjadi kenyataan. Semua ini dimungkinkan jika kejadian sepele seperti kasus Archandra ini tidak terjadi kembali di waktu-waktu yang akan datang.

34


Menarik Pelajaran dari Kisah Marwah Daud Ibrahim dan Taat Pribadi [medium.com/@uruqulnadhif 4 Oktober 2016]

Belum lama ini kita dikejutkan dengan sosok Taat Pribadi (Dimas Kanjeng) yang mampu melipatgandakan uang dengan hanya dengan duduk dan dibacakan kalimat toyyibah seperti tahlil dan tahmid. Beredar berbagai berita dan video di dunia maya yang menunjukkan kesaktian beliau. Banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat datang ke rumah Dimas Kanjeng di daerah Probolinggo dengan membawa mahar sekian juta rupiah dan berharap uangnya akan berlipat ganda dalam tempo singkat melalui peran ‘orang sakti’ ini. Dari sekian banyak santrinya, ada satu orang yang dikenal sebagai salah satu tokoh intelektual Indonesia menjadi pengikutnya bahkan didaulat menjadi Ketua Yayasan Dimas Kanjeng. Ia adalah Marwah Daud Ibrahim.

Banyak orang bertanya-tanya apa benar Marwah menjadi pengikut Dimas Kanjeng. Saya pada awalnya meragukan berita ini. Namun setelah melihat rekaman wawancara salah satu televisi swasta dari kanal youtube, saya baru percaya bahwa memang benar Marwah adalah salah satu santri bahkan Ketua Yayasan Dimas Kanjeng. Beberapa media nasional baik online maupun televise menunjukkan profil Marwah secara gamblang bahwa Ia adalah anggota dewan pakar ICMI, lulusan PhD dari Amerika Serikat, pernah jadi anggota BPPT, dan bagian dari asosiasi penerima beasiswa Habibie. Profil yang disajikan ini seolah menegaskan bahwa Marwah adalah sosok yang sangat rasional secara background-nya memperlihatkan bahwa tidak ada celah baginya untuk bersikap tidak rasional dalam menghadapi suatu fenomena. Dalam kasus Dimas Kanjeng dimana Marwah percaya bahwa Dimas adalah seorang yang diberikan karomah oleh Tuhan dikonotasikan sebagai hal yang irasional yang menunjukkan kontradiksi antara latar belakang Marwah dan sikapnya sekarang. Di sini ada satu pertanyaan, apakah latar pendidikan dan karier adalah penyebab final atas pola pikir seseorang dalam menanggapai suatu fenomena di masa ini?

Hilangkan Dulu Rasional dan Irasional

Rasional dan irasional adalah label atas fenomena. Kita akan bisa berdebat panjang apakah kasus Dimas Kanjeng rasional atau tidak rasional. Marwah sendiri dalam suatu wawancara

35


di salah satu media televisi nasional mengatakan bahwa karomah yang dimiliki Dimas Kanjeng itu rasional. Atas dasar inilah saya mengajukan satu poin untuk menunjukkan bagaimana kita menanggapi sikap yang diambil oleh Marwah. Satu poin yang saya maksud adalah proses pengambilan kesimpulan atas suatu fenomena. Dalam dunia akademik, kita diliatih untuk berhati-hati dalam menyimpulkan suatu persoalan, tidak ujug-ujug dengan tanda-tanda yang kita sudah anggap cukup lantas kita dapat memberikan kesimpulan bahwa fenomenanya seperti ini tidak bisa diganggu gugat. Perlu adanya pengecekan (validasi) apakah proses kita dalam mengumpulkan tanda-tanda itu sudah betul. Dalam matematika, salah satu cara pembuktian yang bisa dilakukan adalah dengan induksi. Misalkan untuk angka 1 betul bagaimana dengan 1 juta, 1 milyar, 1 triliun, dan seterusnya ?. Ini jelas tidak mudah dan perlu cara untuk menagaskan bahwa suatu teorema ini betul dan dapat dibuktikan untuk semua bilangan bulat. Saya kira di fenomena sosial yang jauh lebih kompleks jelas diperlukan kehati-hatian yang lebih.

Dalam kasus Dimas Kanjeng, Marwah dalam kesaksiannya mengatakan bahwa dalam 1 tahun sebelumnya Ia lakukan istikharah, membaca aneka buku, dan bertanya-tanya terkait sosok Dimas Kanjeng. Marwah akhirnya mantab meyakini bahwa dalam diri Dimas terdapat semacam mukjizat (Ia mengatakan bahwa Dimas Kanjeng adalah wali Allah) setelah Ia menyaksikan

langsung

dengan

mata

kepalanya

sendiri

bahwa

Dimas

dapat

melipatgandakan uang. Kembali ke poin penarikan kesimpulan, apakah proses visual dengan melihat langsung objek adalah langkah final untuk menyimpulkan suatu fenomena benar/salah ?. Dalam konteks budaya akademis yang saya fahami, saya katakan belum. Karena fokus penelitian ada pada Dimas Kanjeng, oleh karenanya yang perlu digali adalah sosok Dimas Kanjeng itu sendiri. Proses penggaliannya tidak cukup hanya dengan mengumpulkan dokumen dan bertanya pada pihak ketiga, namun harus dengan berinteraksi secara langsung dengan objek. Dalam kasus penggandaan uang, perlu diteliti apakah benar uang hasil pelipatgandaan keluar begitu saja setelah Dimas Kanjeng dan pengikutnya membacakan wirid dan tahlil. Apakah ini justru hanya permainan sihir, trik, atau justru penipuan ?. Dalam paparan Marwah, saya tidak mendapatkan gambaran yang detail terkait sosok Dimas Kanjeng. Apalagi setelah Ia menegaskan sebagai bagian dari MUI, menjadi bagian dari ormas Muhammadiyah, dan pernah berinteraksi dengan Gus Dur dengan mengunjungi berbagai wali justru saya kira sebagai make up yang sama sekali tidak

36


menjelaskan siapa sebenarnya Dimas Kanjeng. Itu justru seolah langkah berkilah terhadap apa yang telah disampaikan Marwah sebelumnya. Jika dikatakan bahwa Dimas Kanjeng memiliki karomah seperti halnya Sunan Bonang yang dapat mengubah daun menjadi emas, maka perlu ditanyakan terlebih dahulu apakah memang benar Sunan Bonang dapat melakukan itu. Setelah itu, ditelusuri karomah itu apa dan siapa saja yang pantas mendapatkan mukjizat itu. Setelah mengamati secara cermat sosok pribadi Dimas Kanjeng baru dapat disimpulkan apakah Ia layak mendapatkan karomah dari Allah.

Konsep Jejaring

Biarpun dunia akademik melatih pola pikir seseorang terhadap suatu fenomena tertentu, namun pola pikir seseorang dapat berubah menjadi sangat anti-akademik karena adanya pola interaksi. Interaksi ini sendiri tak terbatas pada manusia namun juga benda-benda lain baik hidup/mati yang dalam Actor-Network Theory (ANT) disebut artifak. ANT dikembangkan oleh Bruno Latour, Michael Callon, dan John Law pada 1980-an sebagai suatu teori di bidang sosiologi. Teori ini dapat menunjukkan bahwa keberadaan seseorang saat ini adalah karena relasi yang terus menerus dengan artifak. Satu tesis yang diajukan dalam teori ini adalah there is no group only group formation artinya tidak ada kelompok yang final namun yang ada adalah proses mengelompok. Melalui tesis itu saja sudah dapat meruntuhkan bahwa jenjang pendidikan dan karier yang pernah dicapai oleh Marwah tidak cukup untuk mendefinisikan Marwah hari ini. Sangat dimungkinkan bahwa interaksi Marwah dengan masyarakat luas, kaum non-akademik, buku agama yang bisa jadi sanadnya putus, atau orang-orang yang memberikan penjelasan terkait siapa Dimas Kanjeng, dan sebagainya telah mengubah pola-pikir Marwah yang berujung pada penarikan kesimpulan yang salah.

Dari kasus Marwah ini kita dapat menarik pelajaran setidaknya dua hal ; (1) Penarikan kesimpulan itu harus dilakukan secara hati-hati dan harus melalui proses pengidentifikasian objek yang lengkap dengan selalu diikuti dengan pertanyaan mengapa (why ?) yang meragukan kebenaran suatu fenomena (skeptic), (2) Jenjang pendidikan yang tinggi tidak secara otomatis menjadikan seseorang berfikir ilmiah, melainkan seiring berjalannya waktu

37


pola pikir seseorang itu dapat berubah berdasarkan pola interaksi yang dialaminya selama ini dengan catatan Ia terus membuka diri.

38


Aksi Damai 4 November 2016 dan Pasca Itu [medium.com/@uruqulnadhif 8 November 2016]

Aksi 4 November 2016 menjadi berita utama dalam beberapa hari terakhir. Ini tak lain karena aksi ini melibatkan berbagai organisasi massa (ormas) Islam yang ada di Indonesia baik yang terang-terangan dengan mengikutsertakan jamaahnya dalam aksi maupun dengan membolehkan jamaahnya turutserta aksi namun secara lembaga tidak menginstruksikan. Aksi ini konon diikuti oleh setidaknya 200 ribu orang. Tujuan dari aksi ini adalah menuntut ditegakkannya tindakan hukum kepada Ahok atas dugaan penistaan terhadap agama. Massa aksi melalui beberapa utusannya ingin langsung bertemu Presiden guna menegaskan tujuan aksi ini, namun mereka harus menelan kekecewaan karena Presiden lebih memprioritaskan kegiatan blusukannya meninjau proyek infrastruktur dibandingkan dengan menemui para utusan ormas Islam ini.

Biarpun kehadiran Presiden diwakilkan pada Jusuf Kalla selalu wakil Presiden, namun ketidakhadiran beliau tetap berarti ketidakhadiran. Massa aksi mengharapkan kehadiran Presiden secara fisik untuk sekedar mendengarkan masukan mereka dan tidak memiliki maksud apapun di luar itu. Namun ternyata permintaan ini berujung pada kekecewaan biarpun massa aksi telah menyetujui apa yang telah disyaratkan oleh para aparat TNI-Polri untuk demonstrasi dengan damai. Saya tidak begitu faham apa yang ada digagasan Presiden Jokowi, namun bagi saya ketidakhadirannya tersebut justru menciptakan spekulasi. Biarpun Presiden ungkapkan tidak akan melindungi Ahok dan membolehkan persidangan kasus Ahok dibuka publik, spekulasi negatif pada Presiden dari massa aksi kemungkinan tidak akan hilang.

Sowan ke Pihak Terundang

Sebelum aksi 4 November, Presiden telah berkoordinasi secara aktif dengan petinggi TNI dan Polri untuk memastikan keamanan aksi. Pertemuan Presiden dengan kedua petinggi institusi tersebut bagi saya biasa saja. Hal yang tidak biasa adalah bertemunya Presiden dengan petinggi tiga institusi agama Islam : Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nadhatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah sebelum aksi. Ketiga institusi ini dianggap memiliki

39


pengaruh yang cukup kuat pada umat Islam di Indonesia secara NU dan Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar. Pasca petinggi dua ormas ini bertemu dengan Presiden, secara kelembagaan institusi ini tidak berpartisipasi dalam aksi biarpun banyak juga dari warga akar rumput dua ormas ini turut serta dalam aksi. Hari H tiba dan terjadilah aksi terakbar dalam beberapa tahun terakhir dengan sekitar 200 ribu orang. Aksi berjalan damai sesuai dengan keinginan kedua belah pihak (Koordinator aksi dan Pemerintah) biarpun menjelang malam, aksi menjadi rusuh karena ulah oknum entah dari kelompok masyarakat mana.

Pasca aksi berita terkait aksi 4 November masih menjadi headline di berbagai media khususnya televisi mengalahkan berita Pemilu Amerika yang jatuh pada hari ini (8/11/2016) waktu Amerika. Berita yang diangkat bersifat positif juga negatif terkait aksi bergantung media mana. Ada yang mengatakan aksi 4 November ditunggangi, ada juga yang mengatakan aksi ini murni tidak ada campurtangan politik. Dua pendapat ini jelas sukar dibuktikan sehingga menghadirkan dialektika panjang tak berujung di berbagai media khususnya media sosial (medsos). Namun yang jelas, aksi 4 November tetaplah sebuah unjuk kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Bagi saya menyalahkan pihak A,B,C, dst justru tidak akan menambah runyam persoalan dan sangat kontraproduktif.

Tidak ada ekses yang berarti pasca aksi namun bisa jadi akan memunculkan ketidakpercayaan yang luar biasa besar pada Presiden Jokowi jika urusan penegakan hukum Ahok tidak dijalankan secara paripurna. Pasca aksi, Presiden lakukan konsolidasi dengan dua ormas besar ; NU (7/11/2016) dan Muhammadiyah (8/11/2016). Konsolidasi ini biarpun secara materi hanyalah terkait bentuk penegasan Pemerintah akan kasus Ahok, namun ini menjadi wajib bagi Presiden Jokowi untuk mewujudkan kepercayaan publik. Presiden memandang bahwa kedua ormas ini memiliki pengaruh besar pada persatuan umat Islam di Indonesia. Lantas mengapa Presiden tidak menghadiri ormas lainnya ? Bukannya mereka adalah pihak yang paling bertanggung jawab pada aksi ? Saya tidak begitu faham alasan Presiden tidak sowan ke mereka. Jika dispekulasikan bisa macammacam.

40


Merangkul Massa Aksi

Biarpun konsolidasi dengan petinggi dua ormas Islam telah dilakukan oleh Presiden Jokowi, namun langkah tersebut tidak cukup karena pihak yang memiliki hubungan langsung dengan aksi tidak juga dirangkul dengan bercakap-cakap secara langsung dengan mereka. Sikap ini saya kira jauh lebih efektif dibandingkan jika para pihak yang terlibat aksi harus menunggu persidangan Ahok. Hasil persidangan biarpun bisa saja diskenariokan namun akan tetap dapat menimbulkan ekses yang sangat besar. Lihat saja apa yang terjadi dari persidangan berbulan-bulan Jessica atas tuduhan pembunuhan Mirna. Maka dari situlah seharusnya Presiden bisa mengambil pelajaran. Kecuali jika perangkat intel , aparat, dan sebagainya dapat menjembatani komunikasi Presiden dengan pihak-pihak tersebut. Saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari massa aksi 4 November, mereka butuh dialog, itu saja. Jika Presiden tetap saja memantau dari kejauhan, saya khawatir aka nada gelombang massa yang jauh lebih besar dari demonstrasi 4 November dengan tuntutan tak hanya penegakan hukum kasus Ahok, namun tuntutan untuk turunkan Presiden Jokowi. Saya pribadi tidak mengharapkan itu, namun itu bisa jadi terjadi.

41


Wahai BEM SI, Maumu Apa Sih ? [medium.com/@uruqulnadhif 17 September 2016]

Saya baca berita yang di-broadcast oleh salah mahasiswa PTN ternama di Pulau Jawa. Isi berita itu adalah membicarakan sikap BEM SI Tolak Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta atas beberapa alasan. Berita dapat Anda baca di link ini7 dan ini8. Membaca dua berita ini saya geleng-geleng kepala, apa sih motif BEM SI yang katanya mewakili suara rakyat Indonesia membahas persoalan elite ini ? Dalam artikel yang keduanya ditulis Tempo[dot]co, saya dapatkan alasan-alasan yang elitis yang entah mewakili siapa. Di sini keluar pertanyaan, Apa kepentingan Anda wahai BEM SI atas persoalan reklamasi ini ?

Tidak Representatif

Reklamasi teluk Jakarta jelas-jelas persoalan elite (Politisi-Pengusaha) dimana persoalan ini menjadi menarik karena mengandung unsur politik. Sudah gambling, kasus ini menjadi semacam amunisi untuk menghancurkan kiprah politisi tertentu dan di sisi lain mengangkat pamor politisi lainnya. Nah, BEM SI menolak kasus reklamasi dengan alasan-alasan dangkal yang tidak subtil jelas akan menguatkan pihak-pihak yang kontra dengan reklamasi. Mereka akan memiliki dukungan lebih, apalagi BEM SI yang katanya mewakili suara mahasiswa seluruh Indonesia. Para elite ini jelas sangat diuntungkan, mahasiswa tidak harus dibayar mereka mau turun di jalan panas-panas. Ini jelas berkah bagi mereka.

Saya kira para mahasiswa yang bergabung di BEM SI entah keblinger atau miskin informasi kok bahas persoalan yang sama sekali tidak menguntungkan mereka. Mereka entah tidak sadar atau menutup mata bahwa banyak sekali persoalan lain yang jelas-jelas memiliki implikasi para anak muda khususnya mahasiswa yang akan menjalankan kendali Pemerintah dan mengisi sektor privat dan ketiga di kemudian hari. Tahun 2035 dikatakan bonus demografi yang artinya pemuda usia produktif Indonesia mencapai lebih dari 50

7

https://nasional.tempo.co/read/news/2016/09/14/078804024/bem-seluruh-indonesiatolak-keputusan-luhut-tentang-reklamasi 8 https://nasional.tempo.co/read/news/2016/09/14/063803969/reklamasi-pulau-g-lanjutbem-ui-pemerintah-lecehkan-hukum

42


persen dari total penduduk Indonesia. Pertanyaannya apakah betul tahun tersebut jadi bonus atau malah kutukan ?. Disebut bonus jika anak muda itu produktif artinya tersedia lapangan kerja bagi anak muda. Sebaliknya kutukan jika lapangan kerja minim. Atas dasar inilah, lapangan kerja sebagai isu strategis yang patut dikupas sampai seakar-akarnya.

Kembali ke persoalan reklamasi, apakah ini berkaitan dengan lapangan kerja ? Jika ditengok secara kasar, reklamasi pulau G tendernya dimenangkan elite tertentu dan pastinya mereka sudah punya pola bisnis, termasuk siapa saja yang akan mengisi lowongan kerja di sana. Apakah ada anak muda ? Bisa jadi. Namun seberapa signifikan dan seberapa besar lapangan kerja untuk anak muda ?. Saya kira persoalan ini tidak signifikan jika ditinjau dari segi lapangan kerja dibandingkan dengan domain lain. Saya tidak arahkan ke dapat lapangan kerja titik, namun lebih subtil ke persoalan bahwa sangat dimungkinkan pada saat tahun yang dikatakan bonus demografi pada 2035 lapangan kerja sangat sukar didapat. Tanda-tandanya sudah kelihatan dari sekarang. Banyak sekali lulusan kampus-kampus ternama menganggur.

Pekerja Asing

Pasar bebas sudah di depan mata. Beberapa hari lalu saya dapat cerita dari salah orang karyawan salah satu perusahaan seluler (Made in China) bahwa pekerja Cina didatangkan dari negerinya oleh perusahaan itu untuk mengisi pos-pos yang cukup penting dan kurang penting di perusahaan. Jumlahnya dari tahun ke tahun naik. Langkah ini secara otomatis menggeser posisi orang Indonesia ke jabatan bawahan di perusahaan tersebut seperti hanya jadi sales. Dikatakan juga, perusahaan dari 2013 masuk ke Indonesia sampai sekarang tak ada henti-hentinya untuk beriklan dan ekspansi bisnis. Satu kuncinya adalah perusahaan ini modalnya hampir tidak terbatas. Saya kira ini baru satu kasus dimana pastinya ada kasus-kasus serupa. Fakta sejenis ini akan berimplikasi pada dua hal : 1) Lapangan kerja orang Indonesia semakin sedikit, padahal angkatan kerja semakin besar, 2) Jenis pekerjaan yang bisa diisi tidak memungkinkan proses pembelajaran (tidak strategis).

Saya kira itu adalah persoalan riil di depan mata yang implikasinya jelas dirasakan oleh anak muda khsususnya lulusan mahasiswa. Saya kira itu persoalan strategis yang penting untuk

43


dikaji BEM SI. Dalam penutup saya mengajukan beberapa pertanyaan ke aktivis BEM SI : 1) Anda mengaku mewakili rakyat Indonesia, rakyat Indonesia yang mana ?, 2) Anda menginiasi aneka pergerakan, untuk siapa dan mengapa gerakan itu yang dipilih ?, 3) Seberapa penting keberadaan BEM SI, bukannya BEM SI tidak memiliki sangkut-paut dengan nasib mahasiswa apalagi rakyat yang Anda wakili?. Silahkan berkontempelasi.

44


Gelombang Startup [23 Agustus 2016]

Headline Harian Pikiran Rakyat pada minggu (7/8/2016) mengambil tema profil empat pendiri (founder) perusahaan startup di bidang indutri kreatif dan teknologi. Keempatnya masih terbilang muda (26-34 tahun). Judul yang diambil juga terkesan provokatif “Muda, Beda, dan Berdaya�. Dari liputan sepanjang lebih dari 1000 kata ini diceritakan aktivitas keempat eksekutif muda ini dalam menjalankan perusahaannya. Juga disinggung beberapa kendala yang umum mereka hadapi seperti halnya peremehan oleh investor yang berusia jauh lebih lebih senior. Liputan yang tak biasa ini menjadi semacam pertanda bahwa gelombang startup di bidang industri kreatif memiliki tempat khusus di kota kembang, Bandung.

Mengapa Startup

Jumlah industri kreatif dan teknologi di kota Bandung bisa dikatakan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jenis industri ini umumnya adalah Teknologi Informasi (TI) seperti halnya developer aplikasi, pembuat games, dan juga konsultan TI. Selain itu, marembet juga pada jenis bisnis lain seperti halnya bidang teknologi hardware. Alat pemberi makan ikan otomatis, efishery, yang digagas oleh Gibran Huzaefah adalah contohnya. Selain ini, ada juga juga pesawat tanpa awak (drone) dan teknologi membran yang keduanya digagas oleh dosen muda Institut Teknologi Bandung (ITB). Contoh-contoh ini adalah pertanda bahwa Bandung telah, sedang, dan akan menjadi sebuah kota komunitas para inovator di bidang industri kreatif dan teknologi. Fakta ini mengingatkan kita pada Silicon Valley di California Amerika Serikat bahwa di sanalah para inovator sukses mengembangkan bisnisnya secara global.

Banyak alasan yang dapat dikatakan sebagai kunci mengapa para inovator ini kembangkan bisnisnya di Bandung, tidak di kota lain. Satu alasan yang tak bisa dilepaskan adalah kehadiran Perguruan Tinggi. Bandung dianugerahi dengan beberapa kampus besar yang mahasiswanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sebut saja ITB, Unpad, Tel-U, Unikom, Unpar, dan masih banyak yang lainnya. Kehadiran kampus itu tak dapat

45


dipisahkan

dengan

keaktifan

civitas

akademikanya

dalam

mempelajari

dan

mengembangkan keilmuan (knowledge). Para startup ini adalah orang yang dapat menangkap peluang bisnis dari apa yang mereka pelajari di kampus. Tidak kaget, jika kita mendapati para pelaku bisnis ini adalah alumni muda kampus, bahkan ada yang masih aktif seperti halnya dosen dan mahasiswa. Di sini lokus (lokasi yang didalamnya terdapat aktivitas homogen seperti bisnis startup) menjadi prasyarat tumbuh-kembangnya suatu bidang usaha seperti perusahaan startup. Di sini tegasnya lokus terbangun dalam kurun waktu lama sehingga menjadi semacam budaya yang kuat. Budaya ini sendiri tak mudah dibentuk begitu saja, namun butuh proses yang panjang. Seperti yang ditulis Levine (2009), bahwa ketidaksuksesan kota Milwaukee di Amerika Serikat dalam mengembangkan bisnis teknologi air (water technology) adalah karena terlalu mentah-mentah mengadopsi Silicon Valley tanpa menemukenali potensi dari wilayahnya. Padahal di sana belum berkembang iklim pengembangan usaha di bidang itu.

Para startup dari kalangan mahasiswa (aktif maupun alumni) tidaklah banyak. Sebagai contoh, di ITB berdasarkan tracer study untuk lulusan ITB angkatan 2008 dan 2007, hanya 6 dan 7.05 persen dari total lulusan yang mendirikan bisnis (wirausaha), sementara yang memilih bekerja masing-masing 68 persen (2008) dan 65,93 persen (2007). Ini tak lain gelombang lulusan kampus yang memilih jalur wirausaha termasuk di dalamnya mendirikan startup tergolong kecil dibandingkan dengan yang memilih bekerja di industri/perusahaan. Biarpun jumlah mereka kecil, tidak dapat disangsikan kontribusi mereka sangat singnifikan dalam menciptakan lapangan kerja. Sebut saja perusahaan di bidang game online, Agate. Perusahaan ini mampu menjaring tenaga kerja hingga 80 orang.

Membuka Jalan

Karakter perusahaan startup ini sangat berbeda dengan UKM pada umumnya bahkan dengan industri manufaktur. Rahardjo (2016) dalam bukunya berjudul Starting Up mengatakan bahwa perusahaan startup itu pasti mengalami beberapa fase berikut : ideation yaitu tahapan pencetusan ide, product development yaitu tahap pengembangan produk atau layanan, getting user and marketing yaitu tahap memasuki pasar, rapid growth yaitu tahapan berkembang dengan pesat, maturity yaitu tahap matang, dan steady

46


growth or decay yaitu tahapan tetap berkembang atau menurun. Umumnya perusahaanperusahaan startup belum berada pada tahapan matang (maturity). Banyak dari mereka yang masih berjibaku untuk bertahan (survive) alih-alih dibilang stabil. Maka tak kaget jika melihat mobilitas para pelaku startup sangat tinggi. Mereka bisa dikatakan superman yang harus mengurusi perusahaan dari A sampai Z.

Pada empat tahapan sebelum matang (maturity) akan banyak sekali hal yang dihadapi oleh para pelaku startup, seperti halnya perizinan pembukaan usaha, investasi, dan produk yang tidak sesuai dengan permintaan pasar (marketable). Aspek-aspek tersebut harusnya menjadi perhatian Pemerintah. Berdasarkan pengakuan salah satu pelaku startup yang penulis temui, aspek perizinan pembukaan usaha di Indonesia bisa berbulan-bulan, padahal di Singapura 1-2 hari saja. Fakta ini menjadi kontradiksi bagi Pemerintah yang berjanji pro dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) seperti para pelaku startup.

Selain itu, karena karakter yang berbeda antara perusahaan startup dengan UKM pada umumnya, kredit melati yang beberapa waktu digulirkan Pemkot Bandung menjadi tidak relevan bagi mereka. Para startup ini umumnya menggunakan dana awal dari investor yang cirinya adalah sharing risiko, bukan seperti dana pinjaman yang sewaktu-waktu dikembalikan. Jika Pemkot Bandung mengklaim pro dengan para pelaku startup, maka kondisi-kondisi dasar di atas menjadi langkah awal untuk diatasi. Tidak cukup dengan pendirian kompleks technopark Gedebage dan persoalan para startup akan selesai dengan sendirinya.

47


Taman Kota dan Partisipasi Warga [8 November 2016]

Salah satu pemandangan kota Bandung yang berbeda di masa Wali Kota Ridwan Kamil dari pada periode sebelumnya adalah kemolekan kota ini yang dipoles sedemikian rupa sehingga ciptakan kesan kota yang estetik. Ridwan yang merupakan lulusan Arsitektur jelas sangat tahu bahwa estetika yang menjadi satu hal domain keilmuan dalam arsitektur penting untuk suatu kota. Maka sejak awal memerintah, Ridwan banyak membenahi ruang publik di kota Bandung. Satu di antaranya adalah taman. Banyak taman yang semula terbengkalai, mulai dibenahi dengan diberikan tema tertentu. Kini Bandung memiliki banyak taman dengan tema spesifik yang mampu menyedot animo masyarakat kota Bandung atau luar kota seperti halnya taman Jomblo, taman Lansia, Taman Gesit, Taman Fitness, dan lainnya. Dibuatnya taman sebagai tempat penyegaran (refreshing) warga adalah satu bagian dari upaya Pemkot Bandung untuk meningkatkan indeks kebahagiaan (happiness index) kota Bandung. Ridwan menilai bahwa indeks kebahagiaan merupakan satu hal yang penting bagi kesejahteraan warga disamping pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Mengabaikan Perawatan

Untuk mewujudkan taman yang indah, Pemkot Bandung melakukan banyak renovasi. Renovasi yang dilakukan pada banyak taman kota berkorelasi positif bagi banyaknya warga yang mengunjungi tempat publik ini. Sebagai contoh Taman Fitness yang berada di Jalan Teuku Umar belakang kampus Universitas Padjajaran Bandung. Sebelum taman ini dipugar, sangat sedikit warga sekitar yang berolahraga di sini karena fasilitas yang tersedia hanyalah track jogging dan lapangan bola seadanya. Setelah dipugar, taman ini difasilitasi dengan peralatan fitness outdoor juga akses Wifi. Track jogging pun diperbaiki sehingga menambah kenyamanan warga untuk berolahraga di sini. Pada awal pembukaan taman baru ini, banyak sekali warga yang datang ke sana untuk berolahraga atau sekedar bersantai. Banyaknya warga yang datang memanfaatkan alat fitness ternyata tidak diantisipasi oleh pihak pengelola sehingga berujung pada dua dari enam alat fitness rusak.

48


Setelah beberapa bulan taman fitness ini beroperasi, taman ini seolah dibiarkan begitu saja oleh Pemkot. Tidak ada yang mengurus alat-alat ini atau sekedar membersihkan taman agar tetap terlihat indah. Fakta ini menujukkan bahwa pemugaran yang dilakukan di taman ini tidak disertai dengan upaya perawatan (maintenance). Padahal aspek ini sangat penting untuk menjadikan keindahan, kebersihan, dan keamanan menjadi kenyataan. Tanpanya, ketiga hal tersebut mustahil diwujudkan dan upaya menjadikan masyarakat sekitar untuk keluar rumah dan menikmati ruang publik menjadi sulit untuk direalisasikan. Keadaan taman fitness dan mungkin juga taman-taman lain akan kembali seperti keadaan sebelum pemugaran ; kotor, kumuh, dan rawan pencurian, jika perawatan/pengelolaan tidak segera dijadikan agenda prioritas.

Mengikutsertakan Partisipasi Warga

Tadi pagi (8/11/2016) di saat berbincang dengan warga sekitar taman fitness, salah seorang warga mengatakan bahwa taman akan kembali dipugar dengan akan dibuat lapangan futsal di lahan tanah liat lapangan sepak bola taman. Pembiayaan pemugaran tahap kedua taman ini dilakukan atas dana CSR dari salah satu perusahaan softdrink. Kegiatan pemugaraan sempat dimulai dengan mengukur luasan lapangan futsal dengan dipasangnya triplek kayu sehingga lapangan bola menjadi tidak utuh lagi. Setelah beberapa hari proyek dijalankan oleh tukang musiman, pemugaran tidak lagi dilanjutkan. Warga tidak setuju akan dibuat lapangan futsal dilahan tanah liat ini karena berpotensi ciptakan genangan air di musim hujan. Lapangan bola taman ini adalah lahan resapan di musim hujan yang jika dibuat lapangan futsal dengan menyemen lahan sekitar lapangan akan menciptakan banjir saat musim hujan di sekitar taman ini. Dari peritiwa ini dapat diambil satu pelajaran penting bahwa Pemkot mengabaikan peran partisipasi warga dalam merealisasikan pemugaran taman.

Manajemen taman yag buruk dan konflik pemugaran taman tidak akan terjadi jika Pemkot dan warga sekitar taman bekerjasama dalam mewujudkan keindahan taman sesuai dengan kebutuhan warga sekitar. Taman tidak melulu soal keindahan namun jauh lebih penting adalah terkait bagaimana taman sebagai ruang publik ini dapat mengedukasi warga sekitar seperti halnya berolahraga, berinteraksi dengan sesama warga, dan sebagai tempat

49


rekreasi. Taman yang indah jika tidak dibutuhkan warga menjadikan taman lambat laun menjadi mangkrak dan tidak mengubah sama sekali habitus warga. Bentuk partisipasi warga dapat dilakukan seperti melibatkan warga untuk mengurusi taman dengan diberikan insentif yang cukup juga dilibatkan dalam perencanaan taman. Dengan langkah ini diharapkan warga semakin memiliki taman sehingga kebersihan, keindahan, dan keamanan taman dapat diwujudkan.

50


Koperasi Para Pedagang Buku [uruqulnadhif.com 19 Juni 2016]

Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan Kang Deni dari Lawang Buku terkait perkembangan keilmuan di kampus dan selanjutnya mengerucut pada persoalan rendahnya apresiasi masyarakat pada buku. Fakta ini sudah menjadi pengetahuan umum jika memang budaya literasi di Indonesia rendah. Berbeda halnya dengan masyarakat Eropa pasca renaissance dimana di sana dunia literasi dihargai tinggi. Penghargaan ini sangat lumrah karena pengetahuan termasuk di dalamnya sains adalah bagian dari budaya mereka. Jika di Indonesia sains dan pengetahuan modern lain hanya dinikmati mereka yang merasakan bangku kuliah, di Eropa orang-orang kampung pun membicarakan hal itu di warung-warung kopi.

Dalam kesempatan tersebut, saya juga mengangkat perkembangan teknologi yang sangat masif di beberapa tahun ke depan. Zaman sekarang kita mengenal teknologi informasi, di beberapa masa ke depan dunia akan bergegas ke mesin pintar yang didasarkan pada intelegensia buatan (Artificial Intelligence). Dalam konteks ilmu kesisteman dan matematika, akan berkembang sistem kuantum dalam perhitungan numerik sebuah komputer. Dunia sedang bergegas ke quantum algorithm yang jelas sangat kompleks namun punya nilai efisiensi yang sangat tinggi. Kondisi demikian akan menuntut perubahan dalam segala sisi kehidupan manusia, mulai dari pola hidup, pola makan, pola life style, dan pola yang lain.

Perkembangan dunia yang sangat masif ini tidak mendorong bangsa ini untuk sekedar melek dan bergegas melakukan aksi. Menristek bisanya hanya menindak Perguruan Tinggi yang keluarkan ijazah palsu, sementara mahasiswa di kampus ternama hanya bisa membuat robot yang digunakan hanya di lomba-lomba saja. Kondisi ini jelas paradoks, namun itu tak lantas membuat kita orang yang bisa mengendus perubahan hanya diam saja. Biarpun kegiatan dalam ranah pengetahuan/intelektual tidak banyak diapresiasi, namun semangat menumbuhkan knowledge society tidak akan pernah padam. Satu diantara para pengendus perubahan adalah para pegiat buku.

51


Pegiat buku saya definisikan sebagai seorang/sekelompok orang yang menggunakan buku sebagai alat untuk mereproduksi pengetahuan. Mereka terdiri dari para pedagang ‘ideologis’ buku, akademikus pengembang ilmu, periset berbagai cabang keilmuan, komunitas yang memiliki ciri khas intelektual, media massa ‘ideologis’ pro-pengetahuan, birokrat, pebisnis, dan professional lain yang memiliki ambisi kembangkan pengetahuan. Karena cakupannya luas, dalam tulisan ini saya akan batasi di pedagang buku.

Saya melihat bahwa tak banyak pedagang buku skala UMKM kaya secara material. Umumnya mereka berpenghasilan pas-pasan bahkan sangat kecil. Ini tak lain karena permintaan (demand) akan buku kecil juga. Jauh sebelum buku sampai pada tangan pedagang, buku dikreasi oleh penulis dan penerbit dan ironinya dua entitas ini juga samasama kurang dihargai. Banyak penerbit yang dulu pernah berjaya, empot-empotan sekarang. Mungkin hanya Gramedia yang bisa dikatagorikan sebagai penerbit buku besar. Dari sini kita melihat bahwa siklus buku mulai dari ranah gagasan (penulis), kreasi (penerbit), distributor, pedagang, dan pembaca buku berjalan secara diskret. Artinya tiada sistem yang rigid dari fenomena ini. Atas dasar inilah, koperasi buku diadakan.

Salah satu entitas anggota koperasi ini adalah para pedagang buku. Sementara sistem yang dijalankan dalam koperasi ini berorientasi pada kesejahteraan para anggotanya. Selain berfungsi sebagai simpan-pinjam, koperasi ini dapat membuat penerbit buku secara mandiri yang mewadahi aktivitas berdagang para anggota. Selain itu juga dapat berkoneksi dengan ‘sumber buku’ seperti para penerbit dan juga entitas pegiat buku yang lain. Inti dasar dari koperasi ini adalah untuk dapat mensejahterakan pedagang buku. Ide ini memang masih sulit dijalankan di masa sekarang melihat banyak pedagang buku yang pragmatis, namun saya kira ada harapan di masa mendatang.

52


Menjadikan PKL Sebagai Penggerak Ekonomi Kreatif [uruqulnadhif.com 6 Mei 2016]

Beberapa hari terakhir kebijakan walikota Bandung, Ridwan Kamil, terkait penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) mendapat sorotan publik. Khususnya setelah ada insiden pembubaran paksa lapak para PKL oleh Satpol PP Kota Bandung di kawasan Bandung Electronic Center (BEC) Jalan Purnawarman pada sabtu lalu (16/4/2016). Kebijakan relokasi oleh Pemkot ditentang oleh para PKL karena dianggap belum memenuhi kesepakan di antara kedua belah pihak. Kebijakan ini sebenarnya bukan hal baru karena di awal pemerintahan Ridwan Kamil, Pemkot telah merelokasi PKL di sekitar Bandung Indah Plaza (BIP) Jalan Merdeka di basement gedung tersebut.

Kini, Pemkot Bandung berencana akan merelokasi para PKL di empat titik berbeda yaitu Dayang Sumbi, Cicadas, Otista, dan Purnawarman. Kejadian penolakan oleh para PKL untuk relokasi di wilayah lain sangat mungkin akan terjadi lagi seperti kejadian Purnawarman jika memang solusi relokasi yang ditawarkan Pemkot Bandung tidak mencapai kesepakatan. Dari sini mengemuka pertanyaan, mengapa Pemkot Bandung buru-buru melakukan penertiban PKL jika belum ada kesepakatan antara keduanya ?.

Jika ditilik dari pihak PKL, umumnya mereka adalah tulang punggung keluarga. Mereka memiliki anak, istri/suami, dan keluarga yang harus mereka hidupi. Mereka tidak memiliki keahlian lain selain hanya berjualan. Berdagang di lapak permanen dengan menyewa ruangan di sebuah toko atau gedung sulit mereka lakukan karena keterbatasan modal. Saya yakin mereka faham betul bahwa apa yang dilakukan mereka dengan berjualan di trotoar atau di bahu jalan adalah tindakan melanggar peraturan, namun mereka tidak memiliki pilihan lain. Keterbatan akses dan pilihan mereka akan mata pencaharian adalah sebabnya. Mereka kebanyakan adalah orang-orang dengan berpendidikan rendah.

Menangkap Persoalan secara Jernih

Penolakan relokasi oleh PKL umumnya atas dasar kekhawatiran akan pembeli yang menurun. Sebagai contoh relokasi PKL jalan Merdeka di basement BIP yang dilakukan

53


Pemkot Bandung pada 2014 silam. Berdasarkan laporan organisasi sosial, Rakapare, banyak pedagang sakit paru-paru, stress, hingga stroke karena basement yang tidak layak untuk beraktivitas. Selain itu 10 pedagang gulung tikar, juga mereka dirudung konflik internal karena munculnya kecemburuan sosial. Lantas apakah yang menjadi dasar Walikota Ridwan Kamil mengatakan relokasi PKL Jalan Merdeka sukses ?. Fakta di atas seharusnya menjadi cerminan bagi Pemkot Bandung dalam merencakan kebijakan penertiban PKL di masa mendatang.

Alasan yang seringkali disampaikan oleh Pemkot adalah para PKL ini menganggu ketertiban, keindahan kota, kemacetan, dan sebagainya. Ini lantas menimbulkan pertanyaan bagi saya, bukannya outlet-outlet, kafe-kafe, mal-mal, dan sejenisnya di beberapa jalan di kota Bandung juga menimbulkan ekses-ekses serupa?. Bagaimana tindakan Walikota atas hal ini, mengapa kebijakan penertiban PKL yang harus didahulukan ?. Apakah yang perlu didahulukan ketertiban dan turunannya ataukah keadilan ekonomi bagi para PKL ?. Para pakar ilmu sosial sepakat bahwa kemiskinan adalah pangkal dari tindakan kejahatan. Para PKL rentan akan kemiskinan karena mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan keterampilan untuk berpindah ke profesi lain yang labih layak. Kondisi ini dikhawatirkan, hilangnya pekerjaan atau menurunnya pendapatan mereka akibat kebijakan relokasi akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan yang jelas akan merusak kenyamanan kota Bandung.

Selain hal di atas, skenario yang dapat terjadi jika PKL direlokasi dan ternyata tidak menguntungkan bagi mereka, maka para PKL ini akan kembali berjualan di lokasi semula, biarpun harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Ini jelas akan menambah beban berat Pemkot. Atas dasar inilah, seharusnya Pemkot Bandung melihat persoalan PKL secara komprehensif, tidak hanya melihat dari segi Peratutan Daerah (Perda) yang telah dibuat, melainkan juga memahami persoalan dari pihak PKL.

Poros Ekonomi Kreatif

Bandung di era kepemimpinan Ridwan Kamil akan dibawa menjadi kota kreatif. Tak dapat disangkal bahwa Bandung adalah gudangnya orang-orang kreatif yang mengelompok

54


dalam berbagai entitas atau komunitas. PKL adalah salah satu entitas masyarakat kreatif Bandung biarpun tidak semuanya. Jika memang Pemkot serius dengan ekonomi kreatif, entitas PKL bisa diarahkan sebagai poros ekonomi kreatif. Pemkot dapat melakukan penelitian pasar (market research) dengan mengelompokkan para PKL menjadi beberapa sub kelompok ekonomi di antaranya kuliner, fashion, kerajinan tangan, dan sebagainya. Bagaimana dengan PKL yang sekedar menjual aneka barang dagangan untuk sekedar menyambung hidup seperti gorengan, makanan, dan sebagainya ?. Mereka tidak dibiarkan begitu saja atau bahkan ditendang melainkan Pemkot memfasilitasi mereka untuk dapat berdaya. Caranya dengan memberikan pelatihan keterampilan kepada mereka.

Dengan upaya pemberdayaan ini, PKL Bandung diarahkan untuk mewujudkan bersamasama visi besar Bandung sebagai kota kreatif. Melalui PKL yang tertata dan bercorak khusus menjadi kunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang dimiliki kota Bandung. Jika pada akhirnya relokasi adalah solusi akhir, maka dapat dipastikan penolakan dari para PKL tidak akan terjadi karena Pemkot dan para PKL sama-sama sepakat untuk mewujudkan visi Bandung. Hal ini tercipta tak lain karena terwujudnya komunikasi yang erat antara Pemkot dan PKL. Langkah ini bukan sebuah utopia jika kedua belah pihak sama-sama berkawan bukan bermusuhan seperti yang terlihat sekarang ini.

55


Menyoal Penggusuran di Bukit Duri [medium.com/@uruqulnadhif 30 September 2016]

Akhir-akhir ini seringkali media meliput proses penggusuran (ada yang mengatakan merelokasi/menertibkan) warga sekitar Bukit Duri Jakarta untuk normalisasi kali Ciliwung. Satu hal alasan Pemerintah DKI Jakarta melakukan tindakan ini setahu saya adalah untuk menjadikan kawasan sekitar kali Ciliwung bebas dari permukiman warga. Dengan tiadanya permukiman di sekitar kali akan menjadikan kali dapat terkontrol sehingga program antisipasi banjir dapat berjalan. Kali Ciliwung yang melintasi kawasan Bukit Duri masuk bagian hilir yang seringkali menjadi penyebab terjadinya banjir karena meluap di saat debit air melebihi kapasitas kali. Fenomena banjir ini menjadi satu alasan mengapa dilakukan penggusuran permukiman warga di sekitar kali Ciliwung oleh Pemerintah Provinsi DKI. Dalam tulisan ini saya akan mencoba elaborasi apakah fenomena banjir ini menjadi suatu persoalan atau tidak bagi warga Jakarta.

Mengurai

Pro kontra terkait penggusuran di Bukit Duri seringkali menghiasi linimasi jejaring sosial dan seringkali terjadi di tataran teknis. Sebagai contoh ketika pihak pro katakan bahwa warga di sekitar kali harus dipindahkan dan kemudian didebat oleh pihak kontra dengan pernyataan “Itu tidak manusiawi, merampas hak warga� dan lain-lain. Debat seperti ini saya rasa tidak akan ada ujungnya alias debat kusir. Di sini perlu adanya uraian yang lebih mendasar yang dapat menjelaskan asal-usul mengapa penggusuran harus dilakukan.

Pemerintah DKI katakan bahwa permukiman di Bukit Duri yang berlokasi di sekitar kali Ciliwung harus dipindahkan karena permukiman tersebut adalah penyebab banjir. Logikanya jika permukiman ini tidak ada, ada peluang Jakarta tidak akan banjir lagi atau tetap banjir namun dengan cakupan wilayah yang lebih kecil. Berarti di sini Pemerintah DKI menganggap bahwa banjir adalah persoalan. Kita tahu bersama bahwa Pemerintah DKI adalah representasi rakyat Jakarta. Pertanyaannya adalah, Pemerintah DKI itu representasi rakyat Jakarta yang mana ?. Pertanyaan ini mengemuka karena warga Bukit Duri melakukan penolakan yang masif akan proses penggusuran ini biarpun pada akhirnya

56


mereka harus merelakan rumah mereka tergusur. Warga Bukit Duri bisa jadi kehilangan pilihan untuk pindah dari wilayah rawan banjir ini karena aneka alasan sehingga mereka dapat berdamai dengan banjir yang rutin datang. Implikasi dari hal ini adalah mereka tidak menganggap banjir sebagai suatu persoalan. Jika memang demikian, Pemerintah DKI mewakili sebagian warga DKI yang anggap banjir sebagai suatu persoalan. Apakah ini fair ?

Pemihakan pada sebagian masyarakat kemudian memarjinalkan masyarakat yang lain jelas tidak adil (mengacu pada Pancasila sila kelima). Atas dasar inilah, langkah penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah DKI adalah tindakan yang tidak dibenarkan jika ditinjau dalam konteks konstitusi.

Hasil atau Proses ?

Langkah pertama yang harus dilakukan Pemerintah DKI adalah mengajak ngobrol (menyadarkan) masyarakat Bukit Duri bahwa daerah tersebut adalah penyebab banjir, disertai dengan memberikan solusi jika memang penggusuran harus dilakukan. Memang langkah ini bisa dikatakan membutuhkan waktu lama namun proses ini ada unsur ‘ngewongke’ (memanusiakan warga) dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek yang memiliki andil dalam kebijakan pembangunan. Usaha ke arah sana sangat membutuhkan usaha yang lebih besar jika dibandingkan dengan mendatangkan satpol PP kemudian langsung menggusur begitu saja. Saya duga Pemerintah DKI telah melakukan komunikasi dengan warga sebelum penggusuran dilakukan namun tidak tuntas. Di sini terlihat Pemerintah cenderung berorientasi hasil dengan menanggalkan proses yang di sana akan didapatkan banyak pembelajaran dari warga. Fakta penggusuran di Bukit Duri adalah satu hal contoh bahwa kebijakan pembangunan mengabaikan partisipasi warga yang ini artinya prinsip pembangunan yang ‘ngewongke’ kalah dengan pembangunan berbasis hasil yang entah itu mewakili siapa. Di sini, saya kemudian bertanya, “Masih validkan Pemerintah itu representasi suara rakyat ?”

57


Menyoal Kenaikan Tarif Parkir ITB [medium.com/@uruqulnadhif 2 September 2016]

Kamis kemarin (1/9/2016), saya membaca dari akun facebook beberapa mahasiswa ITB bahwa per 1 September 2016 tarif parkir ITB naik. Kenaikan tarif ini disertai dengan pergantian pengelola parkir yang semula ISS kini ganti. Kenaikan tarif ini menjadi persoalan karena kebijakan baru tersebut timbulkan penolakan dari sebagian mahasiswa, biarpun ada juga yang mendukung dan juga abstain. Persoalan ini saya kira masuk dalam domain ilmu studi pembangunan karena menimbulkan implikasi yang tidak sederhana. Dalam tulisan ini saya akan mesoroti tiga hal ; gambaran persoalan, konsekuensi persoalan, dan rekomendasi. Harapannya tulisan ini menjadi bahan pembelajaran untuk mensikapi persoalan yang tengah berkembang di ITB ini.

Gambaran Persoalan

Sejak 1 September 2016 kemarin, penerapan kenaikan tarif parkir di lahan parkir kompleks kampus ITB Ganesha 10 diberlakukan. Lahan parkir yang dimaksud adalah kompleks parkiran Seni Rupa (SR) dan Teknik Sipil. Dari dua lahan parkir ini, costumer terbesarnya adalah kendaraan jenis motor atau roda dua. Pergantian tarif parkir ini diberlakukan oleh manajemen baru, bukan lagi ISS melainkan Auto Parking. Dari hasil potretan tarif yang dilaporkan salah satu mahasiswa, harga tarif motor per jamnya adalah Rp 1.000 dengan tarif maksimum Rp 5.000 sedangkan mobil adalah Rp 3.000 per jam dengan tarif maksimum Rp. 10.000 dengan masa perhitungan tarif dari jam 07.00-21.00 WIB. Di luar jam itu dikenakan tambahan tarif menginap di mana motor Rp 10.000 sementara mobil Rp 20.000.

Misalkan seorang mahasiswa A memarkir motornya di parkiran tersebut pada jam 06.30 WIB dan pulang pada pukul 17.30 WIB, maka waktu parkir si A adalah 11 jam dengan 30 menit kena tarif menginap dan 10,5 jam kena tarif operasi. Implikasinya mahasiswa ini harus meembayar tarif parkir sebesar Rp 10.000 + Rp 5.000 = Rp 15.000. Tarif senilai itu juga akan dialami mahasiswa yang yang memarkirkan motornya jam 16.00 WIB dan pulang

58


jam 21.30 WIB. Sementara itu, tarif dengan nilai yang lebih besar akan dialami mahasiswa yang menggunakan mobil.

Tarif parkir yang diatur sedemikian rinci ini nyatanya menimbulkan persoalan baik dari kalangan mahasiswa aktif ITB (khususnya S1) atau kalangan lain. Banyak kalangan yang merasa dirugikan atas kebijakan ini, biarpun ada juga yang bersikap mendukung juga abstain. Dari ketiga jenis kelompok penganggap persoalan ini yang menarik untuk disajikan dalam tulisan ini adalah kelompok yang kontra dengan kebijakan. Alasan yang dapat saya tangkap dari mereka yang kontra adalah : 1. Tarif motor yang baru dipandang terlalu besar, 2. Kekhawatiran dan konspirasi dibalik kenaikan tarif ini. Dari dua hal ini yang bagi saya manarik untuk dibahas adalah poin pertama bahwa tarif parkir di ITB terlalu besar.

Tarif parkir baru

Sesuatu disebut besar/kecil jika setidaknya ada yang diperbandingkan. Misalkan si X lebih besar badannya dibandingkan si Y. Faktanya memang si X massa badannya 80 kg, sementara si Y 79,875 kg. Artinya disini ada ukuran/parameter yang disepakati oleh publik. Dalam persoalan tarif parkir, di zaman ISS tarif parkir motor flat Rp 2.000 per hari, sedangkan pasca ISS (periode Auto Parking) bisa mencapai Rp. 15.000 per hari jika diasumsikan memakai perhitungan jam yang sama. Ini artinya pasca ISS tarif parkir ITB mengalami kenaikan 7,5 kali lipat. Jika memakai data historik, sebelum ISS tarif parkir ITB pernah menyentuh angka Rp 1.000 per sekali parkir. Jadi jika dipakai barisan berhingga dapat ditulis 1000, 2000, 15000. Dari kondisi pertama (1000) ke kondisi kedua (2000) kenaikannya dua kali, sedangkan dari kondisi kedua ke kondisi ketiga (15000) kenaikannya 7.5 kali. Faktor pengali (rasio) yang tidak fix (misal rasio = 2 kali) menjadikan barisan tersebut bukan merupakan barisan geometri. Saya menyebutnya barisan ini tidak linear saja. Maka, ketidaklinearan kenaikan tarif ini sudah cukup untuk memperlihatkan bahwa tarif baru ini relatif besar9.

9

Saya berpotensi menghilangkan setidaknya dua faktor ; Pertama, jangka waktu dari suku pertama barisan ke suku kedua dan kemudian dari suku kedua ke suku ketiga bisa jadi tidak tetap (misal 3 tahun). Kedua, saya mengabaikan parameter inflasi di mana bisa jadi nilai rill uang tidak terwakili dalam nominal yang tertera dalam uang tersebut.

59


Konsekuensi persoalan

Tarif parkir baru yang relatif besar ini ternyata menimbulkan konsekuensi riil bagi orang yang tahu atas persoalan ini. Konsekuensi yang dapat kita lihat dengan jelas baik di dunia nyata maupun maya adalah penolakan. Penolakan dalam dunia nyata berwujud protes beberapa mahasiswa di gerbang depan ITB hari ini (2/9/2016). Mereka memarkir motornya tepat di gerbang depan. Ini disebut protes karena parkir di gerbang depan sejatinya tidak dibolehkan oleh satpam ITB. Sementara protes di dunia maya diwakili oleh beberapa mahasiswa dengan membuat meme, status, dan komentar di media sosial.

Karena adanya penolakan, maka atas dasar kemaslahatan bersama, kebijakan kenaikan tarif parkir sudah sepatutnya dikaji ulang. Peninjauan ulang ini akan menghasilkan setidaknya dua scenario : 1. Pihak ITB tetap memberlakukan kebijakan kenaikan tarif parkir, 2. Kebijakan kenaikan tarif parkir dibatalkan. Adapun untuk mencapai dua skenario ini pastinya akan melalui beberapa proses yang cukup kompleks seperti penolakan (demonstrasi) langsung seperti pada hari ini, audiensi beberapa mahasiswa dengan pihak rektorat, atau pertentengan-pertentangan opini di media sosial. Proses-proses yang ada ini akan meredam jika sudah muncul pernyataan fix dan mengikat dari pihak rektorat terkait kebijakan ini.

Menarik untuk digambarkan lebih jelas terkait dua skenario yang muncul nantinya. Pertama, pihak ITB tetap memberlakukan kebijakan kenaikan tarif. Ada beberapa implikasi atas skenario ini ; 1. Jumlah pemarkir baik mobil/motor di lahan parkir ITB bisa tetap atau bahkan berubah (naik/turun), 2. Munculnya alternatif-alternatif parkiran di sekitar ITB seperti parkir liar di Jalan Ganesha, Gelapnyawang, dlsb., 3. Banyak mahasiswa yang ke kampus dengan berkendara angkot/jalan kaki, 4. Konsekuensi intangible seperti semakin sepinya mahasiswa yang beraktivitas di unit/himpunan, malas kuliah, kongkalikong dengan satpam untuk bisa masukkan motor/mobil ke dalam kampus, dlsb. Kedua, kebijakan kenaikan tarif parkir dibatalkan. Implikasi dari skenario ini setidaknya ada beberapa hal : 1. Pola parkir mahasiswa dan elemen-elemen lain di lingkungan lTB tetap , 2. Spot-spot parkir

60


liar di lingkungan ITB tetap bahkan meluas (fakta : jumlah keluarga besar ITB naik setiap tahunnya), 3. Lain-lain seperti poin 3 dan 4 pada skenario pertama. Dari beberapa konsekuensi dari dua skenario di atas, irisan yang patut disoroti adalah poin satu dan dua yakni : jumlah pemarkir mobil/motor di parkiran ITB dan fenomena parkir liar. Mengapa ? Fenomena ini riil, mudah dibuktikan dengan melihat langsung di lapangan.

Rekomendasi Kebijakan

Mempertahankan/merevisi kebijkan tarif parkir di lingkungan ITB Ganesha akan tetap menghasilkan implikasi seperti saya sebutkan di atas. Saya belum pernah mendengar dari pihak rektorat ITB terkait alasan pemberlakuan kebijakan ini. Jika pun saya mendengar, beberapa alasan seperti penurunan jumlah kendaran bermotor di lingkungan iTB dan juga agar ITB go green dengan naik angkot dan jalan kaki menjadi keinginan beberapa pihak (spesifiknya saya tidak tahu) agar ITB menjadi kampus yang lebih nyaman. Namun, sampai saat ini saya belum pernah membaca dokumen bagaimana mencapai dua alasan tersebut. Saya pernah mendengar desas-desus bahwa akan dibangun tempat parkir baru dengan sistem bertingkat dan juga terowongan (basement) di beberapa spot di ITB namun nyatanya sampai sekarang belum ada.

Atas dasar itulah saya merekomendasikan kepada pihak rektorat ITB selaku pengambil kebijakan untuk melakukan studi menyeluruh terkait persoalan parkir ini. Saya sarankan beberapa cara berikut : 1. Adakan riset yang dibiayai oleh LPPM atau pihak lain seperti LPDP/Dikti terkait persoalan parkir ini seperti memberikan mandat pada studi pembangunan ITB untuk mengkaji dengan pendekatan sistem/jaringan aktor atau dengan matematika ITB untuk menganalisis fenomena ini dengan pendekatan optimisasi dan statistik atau bahkan dengan SBM/Arsitektur/FSRD melalui pendekatan inovasi yang inklusif. Studi yang dilakukan ini adalah untuk menunjukkan implikasi-implikasi yang mungkin muncul dari skenario yang saya jelaskan di atas, 2. Jika sudah ada kajian yang dipandang menyeluruh dari pihak rektorat jangan sungkan untuk menjelaskan kepada khalayak ITB untuk selanjutnya diberikan masukan. Kajian yang dimaksud bukan suatu yang final melainkan ada potensi perubahan. Langkah ini tak lain sebagai wujud pembelajaran bersama di lingkungan ITB sehingga persoalan konflik seperti ini tidak terjadi.

61


Sampai sekarang saya belum mendengar dan melihat bahwa telah ada dua hal seperti saya sarankan di atas. Persoalan parkiran dari sejak saya masuk ITB (2009) sampai sekarang nyatanya belum selesai. Ini artinya ITB belum berhasil mengatasi manajemen parkir yang menurut beberapa pihak merupakan masalah ringan (padahal nyatanya kompleks betul). Atas dasar itulah, saya sarankan kepada pihak Rektorat ITB untuk mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan tarif parkir tersebut demi kemaslahatan bersama. Semoga kita tetap terbuka untuk memandang masalah secara jernih dan tuntas. Salam Ganesha !

62


Belajar Kehidupan dari Prau (2565 mdpl) [http://uruqulnadhif.tumblr.com 26 September 2016]

Dok. Made Adyatmika

Selepas menghadiri akad dan resepsi salah satu teman saya, Hasti Asfarina, di Wonosobo pada sabtu (24/9), saya berserta tiga orang teman ; Ugun, Sofi, dan Made menuju kawasan pegunungan Prau di Dieng Wonosobo. Kami berangkat dari guest house pernikahan Hasti sekitar jam 15.00 WIB kemudian menuju jalan raya untuk naik angkot ke arah Dieng Wonosobo. Perjalanan dari Argopeni ke Dieng memakan waktu kurang lebih 2 jam. Sepanjang perjalanan, hujan cukup deras turun dari langit.

Kami akhirnya tiba di pos pendakian ke Gunung Prau di Patak Banteng. Di sana, kami lakukan registrasi dan packing. Setelah barang-barang terkemas di carier dan daypack, kami keluar pos lakukan pemanasan dan berdoa. Selanjutnya memulai tracking menuju puncak Prau. Kami mendaki sekitar pukul 17.45 WIB dan di saat itu langit mendung dan

63


suara azan maghrib bersautan. Hujan belum turun namun kami memakai rain coat untuk bejaga-jaga.

Menuju pos-1, kami melewati tangga beton yang juga merupakan jalan rumah warga sekitar. Kemudian melewati jalan berbatu kali yang tersusun rapi. Kami melihat hamparan kebun yang segar khas di daerah pegunungan. Tiba di pos-1, Ugun menyerahkan karcis registrasi dan di sana dicek oleh tiga orang petugas. Setelah clear, kami melanjutkan pendakian menuju pos-2. Jalan menanjak dengan anak tangga dari tanah yang dibatasi dengan pagar bambu dan juga kabel tebal sebagai pegangan para pendaki. Di sepanjang track kami dapati banyak warung yang menjajakan aneka makanan seperti gorengan, snack, minuman, dan juga tempat peminjaman alat pendakian seperti sleeping bag. Kami saat mampir di salah satu warung hanya numpang duduk saja.

Sebelum melewati pos-3, hujan mulai turun dengan deras. Kami melewati tanjakan yang cukup licin yang menerobos hutan yang tidak cukup lebat. Setelah melewati pos-3, kami melewati track tercuram. Kami harus jeli menancapkan alas kaki pada serabut akar yang kasar agar tidak terpeleset. Pada waktu itu saya sendiri tidak membawa alat penerangan seperti senter atau headlamp. Saya mengandalkan cahaya dari headlamp yang dibawa Sofi dan juga bergantian alat penerangan seperi saat saya memakai senter handphone tahan air punya Ugun dan juga headlamp milik Sofi. Bisa dikatakan perjalanan melewati tanjakan demi tanjakan untuk menuju puncak Prau sukses. Total waktu yang kami habiskan sepanjang perjalanan kurang lebih 2 jam 15 menit.

Tiba di puncak Prau, kami mendirikan tenda. Saat itu hujan masih turun namun tidak cukup deras. Ada dua tenda yang kami bangun ; tenda untuk 3 orang (Ugun, Made, dan saya), dan tenda khusus Sofi. Pendirian tenda tidak mengalami kendala, kecuali ada kendala kecil saat mendirikan tenda kapasitas satu orang untuk Sofi. Tenda ini bentuknya unik seperti prisma segi enam dengan tinggi yang tidak rata. Setelah tenda terbangun, kami makan malam bersama, kemudian lakukan sholat Isya, dan tidur. Tidur saya pada malam itu bisa dikatakan kurang begitu nyenyak. Sleeping bag bagian kaki saya basah. Ternyata biarpun sleeping bag sudah saya balut dengan plastik, nyatanya air tetap bisa tembus. Saya tebangun berkali-kali dan sempat mengubah posisi tidur.

64


Belajar Kehidupan

Esok harinya (25/9) sekitar jam 04.45 WIB, saya bangun. Ugun dan Made duluan duduk tegap. Tak lama setelah itu saya lakukan sholat subuh dan keluar tenda untuk menyaksikan pemandangan matahari terbit (sunrise). Kami menuju suatu lapang luas di kawasan puncak Prau. Di sana ratusan orang berkumpul. Menurut petugas di Pos-1, pengunjung Prau di akhir pekan ini menurun tajam hanya 200-an orang. Biasanya 1000-an orang. Biarpun demikian tetap saja terlihat ramai. Kami mengambil gambar mulai foto personal, selfie, sampai wefie. Tak ketinggalan, beberapa dari kami juga ambil video. Dari puncak Prau kami dapat melihat pemandangan berjejaran tujuh gunung ; Ungaran, Slamet, Lawu, Merbabu, Merapi, Sumbing, dan Sindoro. Sembari ambil gambar dan menikmati udara segar pagi, kami menyaksikan matahari terbit.

Setelah puas melihat pemandangan puncak Prau di pagi yang sejuk, kami menuju tenda dan bersiap untuk membuat sarapan pagi. Kami memanaskan air terlebih dahulu untuk membuat kopi dan energen. Bagi saya, menyeruput kopi pada pagi hari di gunung adalah suatu kenikmatan. Suasana gunung yang alami dan sejuk ditambah perjuangan menuju lokasi camp adalah poin plus kenikmatan menyeruput segelas kopi. Sembari menunggu tanaknya nasi, kami pun ngobrol-ngobrol. Topiknya random, ngalor-ngidul, namun ini justru poinnya. Saya mendengarkan paparan cerita salah satu teman saya yang telah berpengalaman menjalin hubungan cinta selama lebih dari 2 tahun. Setiap detail yang terucap dari mulutnya, saya refleksikan dalam pengalaman yang pernah saya lampaui. Melalui mengobrol, saya mendapatkan ilmu tentang kehidupan dan ini yang membuat saya rindu untuk kembali menjejakan kaki ke gunung-gunung lainnya.

Sekitar jam 9.30 WIB, kami turun menuju pos registrasi dengan melewati track yang sama dengan saat mendaki. Dari pos-4 ke pos-3 kami harus bersabar karena banyaknya pendaki yang turun juga. Lebar track yang tidak terlalu luas menjadikan antrean menjadi panjang. Biarpun begitu, kami lewati dengan lancar. Kami tidak pernah berhenti untuk sekedar istirahat. Saat itu cuaca cerah. Saya hanya memakai bawahan rain coat untuk melapisi celana pendek yang saya kenakan. Sementara di bagian atasan, saya hanya memakai kaos

65


oblong. Perjalanan turun memakan waktu kurang lebih 1, 5 jam. Dalam perjalanan turun, ada satu istilah yang muncul dari salah satu dari kami “air kehangatan”. Istilah ini menjadi pelengkap istilah “puncak kenikmatan” yang dipopulerkan oleh Ucup (anggota AKS) :p

Tetiba di pos registrasi, kami istirahat, mandi air hangat, membeli oleh-oleh ‘carica’, makan siang, packing, dan sekitar jam 15.00 WIB kurang menuju terminal Wonosobo untuk melakukan perjalanan panjang menuju Bandung. Sembari menunggu keberangkatan bus Sinar Jaya, kami bertemu Ita (anggota AKS) yang juga akan menuju ke Bandung dengan bus yang sama. Bus berangkat sekitar pukul 18.00 WIB dari terminal. Akhirnya, Sayonara Prau, Sayonara Wonosobo…

66


Tentang Penulis Uruqul Nadhif Dzakiy lahir di Lamongan, 19 Desember 1990. Setamat SMA Ia melanjutkan studi di jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung pada 2009 dan lulus Oktober 2014. Pada Januari 2015, Ia kembali studi di jurusan Studi Pembangunan di kampus yang sama dan selesai pada Maret 2017. Buku ini adalah buku ketiga setelah Jalan Terjal Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka (2014) dan Peran Teknologi dalam Pembangunan (2015) yang dia terbitkan secara mandiri.

67


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.