M u lia B e lia d i
Usai mengenakan hiasan kepala, gadis cilik ini menanti waktunya untuk bergabung dalam kemeriahan pelantikan Lakina. Halaman sebelah: Sultan Buton La Ode Muhammad Izat Manarfa mengusap ubun-ubun para bayi berganti-gantian disertai doa.
KALEDUPA Alunan musik, syair, dan gemulai tari menyambut babak baru generasi.
Teks dan foto oleh Valentino Luis
Leggo... leggo! Leggo paka koada!
terpasang berhadapan. Hiasan warna-warni dari kertas, juga kain bercorak cerah, ditambahkan. “Tandu dalam bahasa kami disebut kansoda’a,” kata Asrul, salah satu pemikul usungan. “Ada yang terbuat dari kayu atau bambu. Kami pakai besi dengan pertimbangan agar bisa digunakan lagi pada tahuntahun mendatang. Besi bukanlah material modern, sudah dipakai berabad-abad oleh leluhur,” ia menerangkan lagi. Saya tidak menepis penjelasannya yang terakhir. Kaledupa adalah satu dari gugusan Kepulauan Wakatobi. Sebelum menjadi kabupaten otonom, gugusan nusa-nusa ini lebih dikenal dengan sebutan Kepulauan Pandai Besi, tempat hidup para pelaut sekaligus penempa logam andal. Dua anak perempuan, berusia sekitar empat atau lima tahun, dibopong ke kansoda’a. Keduanya tampak antusias. Mungkin ini pengalaman pertama mereka ditandu. Dandanan mereka semarak. Baju berwarna merah berjuntai manikmanik, serta perhiasan emas. Bawahannya, berupa kain panjang, juga tidak kurang berkilau. Bagian terunik dari riasan mereka yakni rambut. Lihatlah, tatanan poninya, hebindu. Sepintas seperti paes pengantin Jawa, namun bukan dilukis melainkan rambut asli mereka yang dipotong demikian. Ada pula hepupu, konde kerucut yang membubung, dilengkapi tiga tusuk rambut atau panto. Lalu, rambut pada pelipis dibuat kaku menjulur bagai lidah, berujung agak melengkung, yang mereka sebut sanggi-sanggi. Ada ornamen titik-titik pada tepinya, yang bersumber dari cairan lengket putih. “Leggo! Leggo! Leggo paka koada!” sahutan itu diteriakkan lagi. Dua anak perempuan tadi pun ditandu. Keduanya bagai putri raja. Saya mengikuti sampai ke jalan raya. Astaga, dari berbagai penjuru, usungan para gadis ternyata bermunculan. Teriakan “leggo...leggo” menggema dari berbagai arah.
Teriakan itu membahana dari depan losmen tetirah kami. Saya, Ryan “Supir Pete-Pete” Hidayat, dan Fatris, sontak meraih kamera, lalu lari berhamburan keluar dari kamar. lapangan ambewa tumpah ruah oleh warga Kaledupa. Di Penginapan kami, sebuah rumah panggung dari kayu, ber sanalah usungan para gadis berlabuh, diarahkan ke tenda debuk-debuk oleh derap langkah seisi penghuni. Pasalnya, beratap pelepah di tengah lapangan. Hujan yang sempat turun yang menginap di situ bukan hanya kami bertiga, melainkan tidak mampu membuyarkan kerumunan massa. Setiap satu juga jurnalis dari beberapa media. tandu masuk, pekik membahana lagi. “Leggo! Leggo!” kami menyahut. Sekelompok pria yang “Seruan leggo bermakna lenggang atau berlengganglah. memanggul tandu dengan empat perempuan cilik di atasnya Semacam yel kebanggaan,” kata Nusi, salah satu telah berlalu mendekati jalan raya. Ah, kami personel Island Working Groups (IWG) yang terlambat. Tetapi, sejurus kemudian di belakang Dengan antusias dua mendampingi kami. IWG adalah koordinator kami, pada lorong yang sama, muncul lagi putri belia duduk pengembangan wisata tiap pulau di Wakatobi. dalam kansoda’a yang kelompok tandu berikutnya. Mereka baru tiba. akan dibawa menuju Kunjungan kami ke Kaledupa diinisiasi oleh IWG Tandu diletakkan di pintu rumah. Dari lapangan Ambewa. yang bekerja sama dengan Forum Tata Kelola jarak dekat saya melihat usungannya; dibuat Mereka akan mengikuti Pariwisata (FTKP) Wakatobi. ritus Karia. dari sambungan besi, dudukan berlapis bantal
82 National Geographic Traveler
Hoga Island Dive Resort, tempat kami bermalam, dimiliki seorang perempuan Belanda yang tak hanya jatuh hati pada pulau itu, namun juga menyelenggarakan aksi sosial bagi anak-anak pulau. Bungalo-bungalo berbahan kayu yang dibangunnya terlihat serasi dengan pepohonan rindang, gambaran ideal impian liburan tropis bagi orang Eropa. Keesokan hari, sebelum kembali ke Kaledupa, kami menjajal bawah laut Pulau Hoga. Waktu yang singkat membatasi kami, yang akhirnya cuma bisa ber-snorkel di seputaran dermaga. Koral-koral terbaik terlindungi arus. Saya menginginkan penyelaman, tetapi impian itu harus ditahan hingga kami ke Pulau Wangi-Wangi nanti.
Ulama mengambil “Ritus Karia siap digelar. Para gadis belia yang Istilah ‘barata’ kurang lebih sama dengan tempat dalam diusung akan bergabung dengan bayi dan anak kecamatan di zaman sekarang, dan seorang ‘lakina’ tenda beratap nyiur laki-laki. Bagi bayi, diadakan akikah. Untuk anak tak berbeda dengan ‘camat’. Tidak ada dualisme sebelum akikah. laki-laki dilakukan khitanan. Sementara para gadis kepemimpinan, sebab baik pemerintah maupun menjalani pingitan tradisional serta perjodohan. adat berjalan seiring, saling melengkapi. Tetapi, perjodohannya tidak bersifat mengikat. Mereka akan Pengaruh Kesultanan Buton masih amat kuat di Kaledupa, memutuskan saat dewasa kelak,” Nusi mengurai panjang lebar. begitu pun pulau-pulau lain di Wakatobi. Saya menyaksikan “Inti dari ritus Karia adalah merayakan tahapan penting dalam sendiri bagaimana penduduk menaruh takzim kepada sultan. kehidupan manusia, ritus yang memberi keistimewaan bagi Tatkala bayi-bayi diakikah, satu demi satu orang tua meminta para belia Kaledupa.” anaknya dijamah sultan, satu sentuhan di kening terasa amat Hanya anak perempuan yang ditandu ke lapangan. berarti. Pemandangan humanis terpancar melalui ekspresi Sedangkan anak laki-laki berjalan kaki diiringi kerabat mereka. sukacita mereka. “Gadis belia amat disanjung dalam keluarga Kaledupa. Mereka sempat sejenak menepi dari riuh Kaledupa, kami dimuliakan melebihi emas berlian. Dalam momen seperti ini, menyeberang ke Pulau Hoga. Jarak antara kedua pulau keluarga akan menunjukkan kebanggaan mereka terhadap tidaklah jauh, namun kapal pengangkut kami memilih terlebih anak gadisnya kepada khalayak ramai,” kali ini Nusi berkata dahulu menyusuri pesisir Kaledupa sebelum berbelok ke dengan berapi-api. dermaga Hoga. Ritus Karia merupakan bagian dari rangkaian Festival Pulau Hoga yang berukuran kecil (sekitar 351 hektare) punya Barata Kahedupa. Sebelumnya, kami terlebih dahulu me reputasi bagus perihal alam bawah lautnya. Selain itu, ada pula nyaksikan acara pelantikan Lakina, kepala wilayah adat burung serta hewan endemik yang memancing minat peneliti Kaledupa. Bertempat di Baruga Bente yang terapit oleh asing, seperti kelompok akademikus Operation Wallacea yang masjid kuno, pelantikan dihadiri oleh Sultan Buton, La Ode secara reguler datang ke sini. Muhammad Izat Manarfa, secara langsung.
84 National Geographic Traveler
setelah dua hari berturut-turut ritus Karia digelar, giliran tari-tarian ditampilkan pada malam terakhir. Masih di lapangan Ambewa, saya menyukai tenda beratap pelepah nyiur yang ditebar interval, sehingga udara bebas bergulir dan kesan naturalnya kentara menyatu. Seiring rancak gong dibunyikan, jejeran hidangan di tenda yang lain pun disibak. Olahan pangan lokal tersaji; kansenga, lapa-lapa, kano, tuku lamba, kentia dole. Andalan lainnya? Sudah pasti menu hasil laut; kepiting berbadan gadang, ikan karang aneka jenis, landak laut, dan cumi-cumi. Semuanya segar gurih, tangkapan hari itu. Remaja putri kembali hadir, dengan riasan rambut dan pakaian tradisional sediakala. Tidak ada pengeras suara mau pun dentum musik masa kini untuk memancing penonton. Lebih bagus memang meredam suara Justin Bieber atau Rihanna dalam pentas budaya, dan menempatkan kidungkidung arkais warisan leluhur dalam posisi terhormat. Iamalahu aulah hura, buna iamalahu ura… Bisa aidina lasulutanu, lambikulia ia saihuna abuduluka… Etapene ilabana bente, etapene ilabana bente… Ladaengkarae… Betakamata… Eee…kapala simpomoo omba… Eee…kapala simpomoo omba… Ladaengkarae…musula mea… Syair “Lariangi” diperdengarkan. Selusin gadis bergerak gemulai dengan kipas di tangan. Anggun, pelan, dan sakral. Mereka ikut melantunkan syair. Ini berbeda dari tarian rakyat pesisiran, tiada lenggak-lenggok aneh. Cahaya lampu yang redup menambah daya magis yang mendamaikan. Penonton pun senyap menatap tanpa gaduh.
Seiring rancak gong dibunyikan, jejeran hidangan di tenda yang lain pun disibak. Olahan pangan lokal tersaji; kansenga, lapalapa, kano, tuku lamba, kentia dole. “Lariangi sejatinya tarian klasik dalam istana kesultanan. Dipertontonkan bagi tamu-tamu kehormatan sultan. Segala unsur dalam tarian ini, mulai dari musik, syair, gerakan, hingga atribut kostum penarinya memiliki makna simbolik mengenai kesultanan Buton,” Nusi menjawab pertanyaan saya. Tari Lariangi tercipta sekitar abad ke-14 Masehi, saat penguasa masa itu, Sultan Wakaaka, hendak dilawat rombongan dari Tartar di bawah pimpinan seorang laksamana bernama Chon Ha. Lariangi kemudian diajarkan kepada para gadis Kaledupa (saat itu disebut Barata Kahedupa) pada akhir 1600-an. Kostum yang dikenakan adalah replika pakaian istri sultan. Lagu-lagunya merupakan syair nasihat, tentang percintaan, perantauan, dan perjanjian.
kami meninggalkan Kaledupa di waktu subuh. Ryan dan Fatris lebih gesit bergelayut menuju dek atas kapal, mendahului saya yang sempoyongan karena masih separuh mengantuk. Saya berhasil mendapat tempat duduk. Di hadapan saya, seorang ayah merangkul putrinya yang menggemaskan. “Dia ikut ritus Karia kemarin. Maunya dia tetap bersama kakek-neneknya, tetapi kami harus kembali ke Wangi-Wangi,” kata sang ayah. Dibelainya rambut anaknya, dikecupinya pada ubun-ubun. Matahari menyingsing di tepi horizon, muncul dari tengah samudra. Kemuning warnanya menerpa wajah saya, juga wajah dara belia sang ayah. Angin berdesir lembut.
85 Maret 2017
Berpakaian kamppoda, empat anak lelaki menanti giliran dikhitan, yang merupakan bagian dari ritus Karia bagi para anak lelaki. Prosesi ini menjadi salah satu tahapan penting dalam kehidupan manusia.