Vase - Basa Basi

Page 1

VASE

06

Receptive of Mesazh

Zine


VASE Editor ~ Vase Lay-out ~ Gun-Jar Writer ~ Miskin Kota Donation ~ Djunizar Ega Art - Vase

vasefanzine@gmail.com


Basa Basi “Pedro, kan?” tanya seorang lelaki paruh baya seraya menyodorkan tangannya mengajak bersalaman. “Iya,” jawabku rada gagap. Aku bertanya-tanya dalam hati siapa nih OmOm! “Lupa ya sama Om?” “Eeeh?” “Saya Om Kenny. Tetangga, persis di depan rumah kamu. Dulu ‘kan kita bertetangga 15 tahun yang lalu. Lupa ya?” tanyanya lagi sembari mengingatkan memori otakku yang rada lamban untuk mengenali wajah dan nama seseorang. “Eh, nggak Om. Cuma kaget aja. Sudah lama tidak ketemu jadinya pangling,” jawabku mengelak persis bajaj yang suka salip sana sini. “Om kira kamu lupa. Masa’ masih muda sudah lupa?” “Ah, nggak dong Om,” kilahku lagi. “Ayah dan Ibu kamu mana?” “Ayah sakit, Om. Ibu sedang menemani Ayah. Jadinya ya saya yang mewakili Ayah dan Ibu ke mantenan Dikas dan Ica ini.” “Oh, begitu.” “Kuliah di mana sekarang?” “Sudah lulus, Om. Dua tahun yang lalu dari Psikologi Kampus Biru.”

3


“Oh, sudah lulus. Terus sekarang kerja di mana?” “Jadi fotografer majalah fashion, Om.” “Lho, kok nggak nyambung?” “Namanya cari uang, Om. Apa saja dikerjakan,” ucapku sambil mutung. Mau tahu saja nih urusan orang! “Istrinya nggak dibawa?” “Jangankan istri, pacar belum punya Om.” “Lho, kenapa? Kan sudah bekerja, tunggu apalagi? Kasihan Ayah sama Ibu kamu lho? Nggak pengen nyusul Dikas dan Eca?” “Nanti deh, Om.” “Ya, sudah. Eh, kamu salaman dulu sama Dikas dan Eca. Biar ketahuan kalau kamu datang. Ngobrolnya nanti dilanjutkan ya.” “Iya, Om.” Aku segera melangkah menuju pelaminan untuk menyalami Dikas dan Eca. Teman sekaligus tetangga yang tengah berbahagia hari ini. Seharusnya Ayah dan Ibu juga hadir dalam resepsi ini tapi sayangnya mereka berhalangan, jadilah aku ketiban apes untuk datang ke tempat ini sendirian. Saat bersalaman dengan orangtua dari kedua mempelai, yang kebetulan aku telah mengenal sejak lama, pertanyaannya sama. Kok, kompak begitu sih? Sudah janjian ya? Kapan menyusul Dikas dan Eca? Halah, memangnya ini balapan? Harus saling menyusul? Ini ‘kan masalah rezeki dari Tuhan. Kalau aku belum dijodohkan dengan perempuan 4


cantik dan seksi, ya aku anggap Tuhan Yang Maha Kuasa belum memberikan restu. Heheh. Tadi sebelum bersalaman dengan mempelai dan kedua orangtua, aku baru saja bertemu dengan Om Kenny, tetangga lama yang kini menetap di Bogor. Bete kalau bertemu dengan tetangga atau sahabat lama yang sudah belasan tahun tidak bertemu, pasti pertanyaan seputar itu-itu saja. Pasti dibuka dengan kuliah di mana? Walah, sudah setua ini masih dianggap kuliah? Aku sudah lulus lebih dari dua tahun lalu. Masa sih mereka tidak menyadarinya kalau aku juga sesuai mereka atau anakanak mereka. Kalau ditanya kapan kuliah S-2 atau S-3 ya tidak apa-apa. Masak usianya hampir menjelang kepala tiga masih harus S-1? Itu sih bukan mahasiswa abadi atau bodoh, mungkin lebih tepat dibilang hibernasi! Kalau pertanyaan kuliah di mana sudah terjawab, pasti pertanyaan selanjutnya adalah kerja di mana? Kalau jujur dengan mengatakan pengangguran, pasti ditanya lagi kenapa kok sarjana menganggur? Kalau dijawab bekerja secara freelance dianggap tidak laku bekerja kantoran. Seandainya menjawab bekerja di kantor ini atau itu, pasti ditanya lagi, jadi apa? Kalau hanya staf, pasti dicecar lagi, kapan jadi manajer atau minimal asisten manajer? Halah, cape deh! Pertanyaan pekerjaan adalah batu loncatan sebelum bertanya sudah menikah belum? Seandainya jujur mengatakan lagi jomblo, pasti dibilang ganteng-ganteng kok jomblo? Terlalu pemilih ya? Kelewat sibuk bekerja ya? Serba salah! Apalagi kalau dijawab sudah punya pacar pasti langsung skak mat, ditanya kapan menikahnya? Tidak kasihan dengan papa mama yang mungkin ingin menimang cucu? Teganya, kalau anak orang dipacari tanpa pernah sekalipun diajak menikah? Walah, kayaknya nggak pertanyaan lain apa ya? Kalau sudah menikah, pasti pertanyaannya berlanjut dengan kapan punya momongan? Kalau belum punya, disudutkan dengan

5


pertanyaan, jangan suka menunda! Kalau sudah punya satu anak, lagilagi masih ada pertanyaan lain, kapan si kecil dikasih adik? Masak hanya punya satu anak sih? Nggak kasihan melihat si kecil jadi anak tunggal? Nanti si kecil jadi manja lho! Aduh, kenapa harus selalu dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Usai bersalaman, aku mengarahkan pandangan ke sekeliling. Mau makan apa ya? Makan salad saja deh sebagai pembuka. Nggak nyambung, nggak apa-apa. Aku segera menuju ke tempat di mana salad tersaji. Aku mengambil secukupnya dan berdiri di tempat yang tidak mengganggu orang. Saat asyik menikmati salad, mendadak bahuku ditoyor seseorang. “Hai, Pedro. Asyik bener makannya?” tanya pasangan Priscil dan Herold berbarengan. “Hai, Priscil! Halo juga Herold! Apa kabar?” “Baik. Kamu sendirian aja?” tanya Priscil. “Iya.” “Istri nggak dibawa?” cecar Herold. Gedubrak! Pasti pertanyaan itu akan selalu muncul. Please deh, ada nggak sih pertanyaan yang lain? “Belum punya istri!” “Nggak punya istri, tapi pacar seharusnya dibawa dong!” sindir Priscil dengan halus. “Belum punya juga.”

6


“Aduh, bapak Pedro yang superganteng kok masih jomblo sih?” cibir Herold. “Maklum deh, masih sibuk!” “Lho, sekarang kerja di mana?” tanya Herold. Tuh, kan pertanyaannya pasti muncul. Semua pertanyaan tadi pasti terlontar, entah mana yang muncul pertama kali atau terakhir kali sudah tidak bisa dipungkiri pasti ada kan? Mati gue! “Sekarang jadi fotografer majalah fashion!” “Lho, kamu kan dulu di Psikologi Kampus Biru. Kok, nggak nyambung gitu sih?” tanya Priscil keheranan. “Rezeki sudah diatur Tuhan, Ibu Priscil.” “Memotret apa aja sih?” “Sudah pasti model-model untuk majalah. Rubrik fashion. Sesekali ada sesi pemotretan untuk lingerie dan bikini. Bapak Herold mau ikut lihat model-model top hanya memakai g-string? Kadang ada yang topless lho!” balasku sambil melirik ke arah Priscil. “Pedro, jangan coba-coba ya menjerumuskan suamiku ya,” ujar Priscil sambil cemberut. Aku terkekeh saja. Usai berbincang dengan Priscil dan Herold, aku menjelajah ruangan yang dipakai resepsi ini, mencicipi hidangan yang tersedia. Aha, ada sate maranggi kesukaanku.

7


Asyik menikmati sate maranggi, bahuku ditepuk seseorang. “Pedro, apa kabar? Masih ingat sama Om Gill?” tanya seorang bapak seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Masih Om. Kayaknya Om Gill tambah keren nih,” jawabku sambil berbasa-basi. “Ayah dan Ibu kamu mana?” “Ayah sakit Om. Ibu sedang menemani Ayah. Jadi saya mewakili mereka.” “Oh, begitu. Sekarang kamu kuliah di mana?” Mati gue! “Sudah lulus Om dari Kampus Biru.” “Wah, hebat ya? Terus sekarang kerja di mana?” Gedubrak! “Sekarang jadi fotografer majalah fashion Om!” “Waduh, enak dong, bisa ketemu perempuan-perempuan cantik. Wah, pasti istri kamu foto model dong?” Halah! Tuh, kan pasti pertanyaan itu muncul! “Belum punya Om.”

8


“Masa belum punya?” Kalau aku sudah punya istri, sudah pasti orang akan tahu! Masak sih kalau aku menggelar pesta pernikahan, orang-orang tidak akan diundang. Semua teman, sahabat, kolega, tetangga sudah pasti akan mendapatkan undangan. Setidaknya dengan selembar undangan itu, mereka tahu dengan statusku yang tidak lagi sendirian alias sudah beristri! Wah, banyak orang yang tidak paham. Dasar orang Indonesia.! “Belum Om, saya belum punya istri!” “Tapi pasti pacar kamu model ‘kan? Atau pragawati?” “Belum punya pacar Om!” “Pedro, Pedro, kamu memang dari dulu suka bercanda! Nanti kalau ada fotomodel cantik kasih tahu Om ya? Siapa tahu mau jadi istri muda Om!” canda Om Gill seraya terkekeh dan meninggalkan aku. Tidak punya pacar dibilang bercanda? Dasar playboy tua ajaib! Aku jujur dengan mengatakan tidak punya pacar eh dibilang bercanda. Terserah deh mau ngomong apa tentang aku, yang penting aku selamat juga dari sederetan pertanyaan basa-basi itu. Aku jadi malas bertemu orang yang aku kenal di ruangan ini, pasti mereka akan bertanya yang itu-itu saja kepadaku. Bete banget sih hari ini. Aku melangkah menuju tempat ice cream. Di sana lebih banyak anak kecil ketimbang orang dewasa yang mungkin mengenalku. Menikmati ice cream seorang diri sambil sedikit melamun, aku dikejutkan seseorang dari masa silamku.

9


“The man who loves ice cream.” Busyeeeet! Aku mengenal suara itu. Jangankan suaranya, semuanya aku mengetahuinya, sifatnya, perilakunya, dan semuanya! “Halo, Fanny, apa kabar?” “Baik-baik aja.” Kami lalu melakukan ritual cium pipi kanan dan kiri. “Sudah lama banget ya?” tanya Fanny basa- basi. Aku berpikir sejenak, hmm lumayan deh. Sudah lebih dari tiga tahun, hubungan percintaan kami balik kanan bubar jalan. Fanny tidak terima dengan pekerjaanku yang harus bertemu dan memotret perempuanperempuan cantik yang kadang dipotret tanpa mengenakan selembar kain untuk menutup aurat. “Iya, sudah lama.” Aku berpikir mau tanya apa ya sama Fanny. Sudah sekian lama aku tidak bertemu dengannya. Rutinitas pekerjaan membuat aku seringkali lupa dengan sosialisasi. Sekarang aku bertemu lagi dengan Fanny, karena ia adalah teman lama dari Dikas, sedangkan aku pernah bertetangga dengan Eca. “Kerja di mana sekarang?” tanyaku dengan bodohnya. Aku tidak suka ditanya orang, anda kerja di mana. Eh, sekarang aku malah melontarkan pertanyaan itu. Goblok! “Masih di tempat yang dulu,” jawab Fanny dengan raut wajah penuh tanya. Mungkin ia senewen karena aku mengajukan pertanyaan yang superbasi! Atau bisa jadi ia bete karena aku tidak perhatian lagi 10


dengannya. Masa sekadar cari tahu apa aktivitas dan kesehariannya, aku tidak bisa, mungkin itu yang ada dalam benak Fanny. Aku dan Fanny terdiam lagi. Aku bingung mau bicara apa ya? Bertanya di mana ia bekerja, sudah dijawab? Tanya apa lagi ya? Apakah ia sudah punya pacar lagi? Atau ia sudah bersuami atau mungkin malah sudah memiliki anak? Aduh, kenapa pertanyaan itu? Aku tidak suka dengan pertanyaan itu, terus kenapa aku harus melontarkan pertanyaan yang sama? Tidak kreatif sekali aku ini, batinku sambil mengutuk kebodohan diriku. Aku masih memakan ice cream sambil terus memikirkan pertanyaan apa yang harus aku tanyakan kepada Fanny. Ya, sekadar basa-basi deh. Kok, jadi buah simalakama sih? “Kamu…?” “Apa?” ucap Fanny balik bertanya “Eh, jadi lupa!” “Kamu mau tanya apa? Aku sudah menikah atau belum? Aku akan menjawab belum. Karena itu aku sudah pasti belum punya anak! Kamu mau tanya apalagi? Kalau aku sudah punya pacar atau belum? Sampai detik ini, aku belum menemukan pengganti kamu. Terus mau tanya yang mana lagi? Sejak dulu sampai sekarang, aku tetap bekerja di tempat yang sama. Aku cinta kantor. Kalau kamu mau tahu lagi, aku sekarang sudah jadi manajer senior di sana. Mungkin itu yang akan kamu tanyakan, aku sudah menjadi apa dan siapa di kantor. Ada lagi? Hmm, mungkin beberapa bulan lagi aku akan kuliah S-2 di Kampus Hijau. Siapa tahu kamu akan bertanya, aku akan lebih dulu 11 menjawabnya!”


Aku terdiam sejenak mendengar uraian Fanny. “Kamu tuh nggak kreatif ya? Basa-basi banget! Kamu nggak suka kalau ketemu orang selalu ditanya, kapan selesai kuliah? Kerja di mana? Pacarnya siapa? Kapan kawinnya? Berapa anaknya? Kamu nggak suka kan? Kalau memang iya terus kenapa kamu mulai melontarkan pertanyaan seperti itu kepadaku. Aduh, Pedro yang ganteng, kamu kenapa sih?� Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Miskin Kota

12


Cerita ini bisa saja terjadi pada siapa pun. Terima kasih sudah mau membaca cerita pendek yang sederhana ini. Vase Zine adalah sebuah wadah katya tulis dalam bentuk media cetak dan terkadang online. Zine ini terbuka terhadap segala bentuk karya, baik itu bermoral atau amoral. Pula zine ini mudah menerima pesan dari karya orang-orang yang memberikannya secara Cuma Cuma. Tidak ada batasan kualitas untuk karya yang diterbitkan. Ini adalah karya apa adanya dan tidak ada profit. Happy reading yes! Silahkan Foto Copy, bebasin aja Kak!



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.