Lontar Januari 2011

Page 1

Buletin Triwulan VECO Indonesia

#1 2011

Meneguhkan Kemandirian Petani Pulau Bunga LONTAR - #1 - 2011

1


Dari Redaksi

Daftar Isi

Meningkatkan Kemampuan Mitra di Bidang Publikasi DESEMBER lalu, VECO Indonesia me­ ngadakan pelatihan publikasi dan internet un­ tuk mitra di Sulawesi, seperti Toraja Utara, Mamasa, dan Polewali Mandar. Pelatihan tiga hari ini diikuti Yayasan Komunitas In­ donesia (Yakomi), Yayasan Duta Pelayanan Masyarakat (YDPM), Amanah, Wahana Sukses Petani Terpandang (Wasiat), Koper­ asi Amanah, dan Jaya Lestari Desa (Jalesa). Selama tiga hari, para peserta belajar tentang dasar­dasar internet, seperti mesin perambah (browser), membuat dan meng­ gunakan surat elektronik (email), serta meng­ gunakan blog untuk menyebarluaskan tulisan. Karena perbedaan kemampuan inter­ net para peserta, maka hasil pelatihan juga berbeda. Ada peserta yang sudah biasa menggunakan email, namun ada pula yang untuk pertama kali menggunakan internet. Pelatihan ini dipandu dua komunitas blogger, Makassar AngingMammiri Makassar dan Bali Blogger Community. Tiga bulan sebelumnya, VECO Indonesia bersama mitra di Jakarta dan sekitarnya juga mengadakan pelatihan yang sama. Dalam pelatihan di Bogor tersebut, mitra dan jaring­

an VECO Indonesia, seperti Aliansi Petani In­ donesia (API), Koalisi Rakyat untuk Kedau­ latan Pangan (KRKP), dan Bina Desa belajar lebih banyak tentang cara menulis di internet dengan fasilitator Harry Surjadi. Dua pelatihan tersebut merupakan upaya VECO Indonesia untuk meningkatkan kesa­ daran dan kemampuan mitra dalam meng­ gunakan internet untuk menyebarluaskan publikasi. Kami yakin bahwa ke depan, peng­ gunaan internet akan semakin penting bagi para penggiat LSM maupun petani. Untuk itu, kami mengantisipasinya dengan memberikan pelatihan tersebut. Selain memberikan dasar­ dasar teori, kami juga memberikan pelatihan teknis bagaimana menggunakan teknologi seperti internet untuk memublikasikan cerita­ cerita dari lapangan. Dengan semakin banyaknya mitra yang bisa menggunakan internet, seperti website, email, maupun jejaring sosial untuk menye­ barluaskan luaskan cerita, kami yakin akan makin banyak orang tahu tentang bagaimana perubahan dilakukan oleh pelaku di lapan­ gan, baik LSM pendamping maupun petani itu sendiri. [Redaksi]

Building Partners’ Capacity in Publishing LAST December, VECO Indonesia held publication and internet training for partners in areas of Sulawesi including North Toraja, Mamasa and Polewali Mandar. Attending the three­day training were Yayasan Komunitas Indonesia (Ya­ komi), Yayasan Duta Pelayanan Masya­ rakat (YDPM), Amanah, Wahana Sukses Petani Terpandang (Wasiat), Koperasi Amanah, and Jaya Lestari Desa (Jalesa). Over the three days, the participants learned about internet basics, including browsers, composing and sending email, and using blogs to publish articles. Be­ cause the internet skills of the partic­ ipants varied, the results of the training varied too. Some were already able to use email, while others were using the internet for the first time. The training was facilitated by two blogger communities: Makassar Anging Mammiri and Bali Blogger Community. Three months before this, VECO Indonesia and partners in Jakarta and surrounding areas held a similar training. At this training in Bogor, VECO Indonesia

2

LONTAR - #1 - 2011

partners including Aliansi Petani Indone­ sia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) and Bina Desa learned more about writing for the internet, with facilitator Harry Surjadi. These two courses are a VECO In­ donesia initiative to raise partners’ a­ wareness of and capacity in using the internet to circulate publications. We are certain that in the future, use of the internet will become increasingly impor­ tant for NGO activists and farmers. So, in anticipation of this, we provided this training. As well as providing the basics of theory, we also provided tehcnical training in the use of technologies such as the intenet to publish stories from the field. As more and more partners are able to use internet applications such as web­ sites, email, and social networking sites to spread their stories, more people will know about the changes that are being made by those in the field, including supporting NGOs and the farmers themselves. [Ed.]

2 3 4

11 12 14 16 18 19 20

Dari Redaksi Editorial Reportase Meneguhkan Kemandirian Petani Pulau Bunga

Kelompok Tani Kabar VECO Kabar Mitra Kabar Internasional Profil Resensi Poster

Lontar (n) daun pohon lontar (Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi untuk menyampaikan informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai­nilai lokal, sesuatu yang terus VECO Indonesia perjuangkan. Tim Redaksi Penasihat: Rogier Eijkens Penanggungjawab: Mercya Soesanto Reporter: Anton Muhajir Alamat Redaksi VECO Indonesia Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar Telp: 0361­ 7808264, 727378, Fax: 0361­ 723217 Email: admin@veco­indonesia.net, anton@veco­indonesia.net Website www.vecoindonesia.org

Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanian berkelanjutan terutama yang terkait dengan mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas. Publikasi ini dicetak menggunakan kertas daur ulang sebagai komitmen VECO Indonesia pada kelestarian lingkungan.


Editorial

Menyatukan Kekuatan Petani Agar Mandiri Teriakan bergemuruh di aula itu menggetarkan. “Hidup petani! Hidup petani! Hidup petani!” SEKITAR 300 petani mengepalkan tangan bersama sambil berteriak meme­ kikkan salam. Tua, muda, perempuan, laki­laki, juga beberapa bocah berdiri dalam dua kelompok berhadapan. Mereka saling membalas setelah ber­ sama berteriak mengeja satu per satu huruf P­E­T­A­N­I. Aula Paroki di Hokkeng, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu tak terisi penuh oleh mereka. Tapi, gema suara para petani itu membahana menembus ruang­ruang di dalamnya. Mengabarkan betapa kuatnya kebersamaan di antara sesama petani Flores. Para petani, dan sebagian nelayan, itu mengikuti Musyawarah Besar (Mu­ bes) Petani Nelayan Flores. Pertemuan

empat hari ini diikuti petani dari seluruh kabupaten di Pulau Flores: Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Nga­ da, Ende, Sikka, Flores Timur, hingga Lembata. Dan, itu bukan hal mudah. Mereka melewati batas daerah, klan dan agama (di Flores ini sangat kuat pengaruhnya), komoditi, dan apa pun yang memisahkan petani satu dengan lainnya. Kebersamaan itu sangat terasa. Ke­ tika akan memasuki Kabupaten Flores Timur (Flotim), di mana Mubes diada­ kan, para petani peserta dari daerah lain menunggu dulu di perbatasan. Lalu, petani dari Flotim akan menjemput mereka dan mengaraknya keliling. Ini bagian dari upacara penyambutan di daerah setempat. Kebersamaan itu lebih terasa selama

Farmers Join Forces Toward Self-Reliance The deafening shouts echoed round the hall. “Long live farmers! Long live farmers! Long live farmers! Around 300 farmers were clapping their hands and roaring a welcome. Old, young, women, men, and even some kids, stood facing each other in two groups. Each shouting in response after bellowing out F­A­R­M­E­R­S together. The Parish Hall in Hokkeng, in the Wulanggitang subdistrict of East Flores district, East Nusa Tenggara may not have been full, but the voices of these farmers reverberated in every corner of the hall. Proclaiming the strength of the solidarity between farmers in Flores. These farmers, and some fishers, took part in the Flores Fisher and Farmer Conference, a four­day meeting for far­ mers from districts across the island of Flores, including West Manggarai, East Manggarai, Nagekeo, Ngada, Ende, Sikka, East Flores and Lembata. And that was no mean feat. They transcended boundaries of a­ rea, clan and religion (which has a very

strong influence in Flores), commodity, and every other boundary that separates one farmer from another. Their solidarity was palpable. When entering East Flores district, where the conference was held, the farmers from other districts waited at the border, where they were met by farmers from East Flores who would escort them a­ round. This is part of the local welcome ritual. Their solidarity was even more apparent du­ ring the conference. The farmers attending the conference stayed in the homes of the host farmers. And they brought with them some of their pro­ duce to eat. Rice, corn, cassa­ va, and so on. They shared space. And food. In the conference hall, they discus­

Mubes. Para petani peserta Mubes tidur di rumah­rumah petani tuan rumah. Petani peserta juga membawa hasil per­ taniannya sebagai bahan makanan. Be­ ras, jagung, ketela, dan semacamnya. Mereka berbagi ruang. Juga pangan. Di aula tempat Mubes, mereka ber­ sama­sama mendiskusikan masalah­ masalah yang mereka hadapi selama ini. Tak jelasnya komitmen pemerintah da­ lam mendukung kemandirian petani. Te­ rus dijejalinya mereka dengan berbagai sarana produksi yang dihasilkan pabrik­ pabrik berkedok organik. Atau terper­ angkapnya mereka pada sistem ijon atau pemerasan oleh para tengkulak. Petani­petani itu menyatukan suara. Agar tuntutan mereka bergema. “Agar kami tidak terus diadu oleh kapitalis,” tegas Darius Don Boruk, salah satu petani. Mungkin terdengar terlalu heroik. Tapi, ketika hadir di sana, saya bisa merasakan semangat perlawanan dan perayaan kebebasan itu. Para petani itu melintasi batas dan harapan. Bahwa mereka berhak atas kemandirian. (Anton Muhajir)

sed the problems they have been ha­ ving. The lack of firm government com­ mitment to supporting the self­reliance of farmers. The flood of so­called organic produce produced in factories. And their being trapped in the ijon system of sel­ ling their produce before it is harvested and being coerced by middlemen. These farmers united voices. So their demands are heard. “We don’t want the capitalists to play us off anymore,” said farmer Darius Don Boruk. It might sound like heroics, but when I was there, I could feel that sense of resistance and celebration of freedom. Those farmers transcended boundaries and expectations. They have the right to self­reliance. (Anton Muhajir)

LONTAR - #1 - 2011

3


Meneguhkan Kemandirian Petani Pulau Bunga

Sekitar 300 petani dan nelayan dari seluruh Pulau Flores, seperti mengadili dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hadir akhir Oktober lalu. Satu per satu wakil petani, nelayan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendamping petani mempertanyakan komitmen anggota DPRD terse­ but, Kristo Blasin dan Gabriel Beri Binna di Hokeng, Flores Timur, NTT. GABRIELA Uran, Direktur Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines) berbicara berapi­api sambil menunjuk ke dua anggota dewan tersebut. “NTT ini miskin dan terbelakang. Tapi, apa yang sudah dilakukan DPRD?” tanyanya. “Lalu, apa dukungan DPRD untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Flo­ res ataupun NTT?” Ela, panggilan akrab Gabriela, menyambung pertanyaan. Selain Ela, petani dari daerah­daerah lain juga bertanya pada dua anggota DPRD yang hadir pada pembukaan Musyawarah Besar (Mubes) Petani Flores tersebut. Malam itu, bergantian mereka menyampaikan kondisi yang

4

LONTAR - #1 - 2011

mereka alami sekaligus harapan mereka pada anggota DPRD. Mereka bertanya tentang komitmen DPRD untuk mewu­ judkan kedaulatan pangan, benih, pupuk, hingga masalah paling kontrover­ sial di NTT saat ini, pertambangan liar. Dua anggota DPRD itu menjawab dengan janji­janji yang biasa mereka sampaikan ketika kampanye. “Pabrik pupuk organik yang sebenarnya adalah sapi. Karena itu pemerintah harus memberikan sapi pada petani,” kata Gabriel Beri Benna. “Ini harus kita akhiri. Jangan biarkan petani terus tergantung pada pihak lain,” ujar Kristo Blasin menanggapi pertanya­


Reportase

an dan gugatan petani. Jawaban dan janji dua anggota Dewan bisa jadi akan berlalu begitu saja, namun tidak dengan semangat petani. Diskusi pada malam pertama Mubes itu justru menjadi sumber energi bagi petani bahwa kemandirian petani bukanlah mimpi. Mereka membuktikannya lewat Mubes selama empat hari bertema Pe­ nguatan Organisasi Petani untuk Kedau­ latan Pangan dan Pemasaran tersebut. Mubes merupakan pertemuan tahu­ nan petani dan nelayan se­Pulau Flores. Dalam forum ini, para petani dan nelayan dari seluruh kabupaten dan pulau di sekitar Flores, termasuk Pulau Lembata di timur Flores, berdiskusi tentang situasi, tantangan, dan harapan­ nya. Kegiatan ini diadakan pertama kali pada 22­25 September 2004 di Ende. Setelah itu di Bajawa, Maumere, dan Labuan Bajo. Mubes kali ini merupakan yang kelima kali. Pada Mubes­mubes sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) yang lebih banyak berperan sebagai panitia. Namun, kali ini sedikit berbeda. Pelaksanaan Mubes sepenuhnya dilaku­ kan oleh organisasi petani. Organisasi petani Jaringan Petani Wulanggitang (Jantan) salah satu yang paling berperan. Menurut Darius Don Boruk, Wakil Ketua Panitia, kalau Mubes sebelumnya

lebih banyak dikendalikan oleh LSM, maka sekarang murni oleh petani. Contohnya pembentukan panitia diper­ cayakan langsung pada Jantan bersama gereja, tidak lagi oleh LSM. “Bahkan target dan capaian pun kami yang menentukan,” ujar Koordinator Jantan tersebut. Menurut Don, organisasi petani juga lebih banyak terlibat dalam Mubes kali ini. Jadi, panitia, dalam hal ini Jantan, langsung kontak pada organisasi petani lain di Flores, tanpa lewat LSM lagi.

Biasanya, pada kegiatan­kegiatan sema­ cam ini, panitia akan kontak LSM baru kemudian LSM kontak ke organisasi petani. Kali ini tidak. “Sekarang langsung dari petani ke petani. Ini keberhasilan pendampingan oleh LSM,” tambahnya. Sekitar 15 organisasi petani dan nelayan ikut dalam Mubes tersebut. Di antaranya, Asosiasi Petani Padi Lembor (Appel), Asosasi Petani Organik Mbay (Atom), Komunitas Cinta Indonesia (KCI), Forum Petani Kawasan Watuata (Formata), dan lain­lain. Mereka datang

Consolidating the Self-Reliance of Flores Island Farmers Around 300 farmers and fishers from across Flores Island grilled two members of the East Nusa Tenggara provincial parliament who visited last October. One by one, representatives of farmers, fishers and NGOs supporting the farmers questioned the commitment of these members of the provincial parliament, Kriston Blasin and Gabriel Beri Binna, in Hokeng, East Flores, East Nusa Tenggara. GABRIELA Urab, Director of Yaya­ san Komodo Indonesia Lestari (Yaki­ nes) spoke heatedly, pointing at the two members of parliament, “East Nusa Tenggara is poor and left behind. But what has the provincial parliament done about that?” she asked. “And what contribution has the provincial parliament made towards achieving food sovereignty in Flores or in East Nusa Tenggara?” added Gab­ riela, or Ela to her friends. Farmers from other areas joined

Ela in questioning the two provincial parliament members attending the opening of the Flores Farmers’ Confe­ rence. That night, they took turns to explain their circumstances and their hopes to the two provincial parliament members. They questioned everything from the provincial parliament’s commit­ ment to achieving food sovereignty, to the problems of seed and fertiliser, and the most controversial issue in East Nusa Tenggara today: illegal mining. The two members responded by

making campaign­election­like promi­ ses. “The factories of organic fertiliser are cattle. So the government should give farmers cattle,” said Gabriel Beri Benna. “We have to put an end to this. Not leave the farmers to depend on other,” said Kristo Blasin in response to the farmers’ questions and allegations. The responses and promises of the two provincial parliament members may just slip away, but not the farmers’ determination. The discussion that first

LONTAR - #1 - 2011

5


Reportase

Mewujudkan Dua Cita­cita Besar Selama Mubes kali ini, peserta mendikusikan dua tema besar petani, yaitu kemandirian pemasaran dan kedaulatan pangan. Mewujudkan dua tema ini adalah cita­cita petani yang hingga saat ini belum terwujud juga. Dalam isu kedaulatan pangan, pangan lokal seperti jagung dan ubi kian terpinggirkan oleh produk dari luar, seperti beras IR. Sedangkan pada isu kedaulatan pangan, sudah jamak diketahui bahwa NTT, termasuk Flores,

adalah salah satu pusat terjadinya krisis pangan. Maka, selama Mubes, petani peserta membahas dua isu tersebut secara intensif lewat diskusi­diskusi kelompok. Mereka menggunakan metode world cafe, dalam bahasa mereka disebut warung kopi. Selain dua tema besar itu, mereka juga membahas tema pengua­ tan organisasi petani secara berkelanju­ tan, penguatan organisasi petani untuk kemitraan, dan konsep jaringan petani se­Flores. Tiap tema dibahas dalam satu warung di mana tiap peserta bebas ke­ luar masuk di warung sesuai minatnya. Selama empat hari itu pun, ruangan Aula Paroki Ratu Semesta Alam Hokeng pun dipenuhi ide dan pengalaman dari para peserta. Mereka mengelompok sesuai tema warung masing­masing dengan fasilitasi dari staf Yayasan Ayu Tani (YAT) dan VECO Indonesia, dua lembaga yang selama ini mendukung perjuangan petani setempat. Selain YAT dan VECO Indonesia, Flores Institute for Resource Development (FIRD) juga

memfasilitasi proses diskusi selama Mubes. Dari tiap warung, hasil diskusi diba­ wa ke tingkat panel untuk kemudian me­ lahirkan beberapa rekomendasi sesuai dengan tema masing­masing. Rekomen­ dasi ini ditujukan untuk berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pengusaha, tokoh agama dan adat, LSM, petani sendiri, hingga media massa. Rekomendasi untuk petani itu diser­ tai rekomendasi lain. Untuk Pemerintah Daerah (Pemda), misalnya, mereka mendesak agar Pemda lebih melibatkan petani dalam perencanaan pembangun­ an berdasarkan kebutuhan petani. “Pem­ da harus melakukan sinkronisasi dan koordinasi antardinas terkait berkaitan dengan pengembangan program perta­ nian,” demikian salah satu poin rekomendasi itu. Upaya ini, sekali lagi, harus melibatkan organisasi petani yang sudah ada, bukan membentuk kelompok tani baru hanya berdasarkan kepenting­ an pemerintah. Peserta Mubes juga membuat strate­

night of the conference refuelled the farmers’ conviction that being self­reli­ ance is not a dream. They proved that during the four­day conference on Strengthening Farmer Organisations for Food Sovereignty and Marketing. The conference is an annual ga­ thering of farmers and fishers from a­ cross Flores Island. At this forum, far­ mers and fishers from every district in and island around Flores, including Lembata Island in East Flores, discuss their situation, challenges and hopes. The first annual conference was held on 22­25 September 2004 in Ende. Then in Bajawa, Maumere, and LabuanBajo. This was their fifth annual conference. At previous conferences, NGOs have been involved as members of the com­ mittee. But this time, things were a little different. This conference was organised completely by farmer organisations. Ja­ ringan Petani Wulanggitang (Jantan) was one of the farmer organisations playing a major role. According to committee vice­chair Darius Don Boruk, while previous confe­ rences were controlled more by the NGOs, this time, it was the farmers who were in charge. For example, formation of the committee was entrusted not to NGOs, but to Jantan and the church. “We even set targets and goals,”

explained the Jantan coordinator. Don says that more farmer organisations were involved in this year’s conference too. So the committee, in this case Jantan, made direct contact with other farmer organisations in Flores, rather than going through NGOs. Normally, for activities like this, the committee would contact the NGO and the NGO would contact the farmer organisation. Not this time. “Now the contact is direct, from farmer to farmer. This is one of the achievements of the support we have had from NGOs,” he added. Around 15 farmer and fisher orga­ nisations attended the conference, including Asosiasi Petani Padi Lembor (Apel), Asosiasi Petani Organik Mbay (Atom), Komunitas Cinta Indonesia (KCI) and Forum Petani Kawasan Watu­ ata (Formata). They came from all the districts in Flores. According to Don, this conference was open to all farmer and fisher organisations in Flores. But most of those that participated were farmer organisations supported by VECO Indonesia. “We thought it was time for the far­ mers to organise the conference them­ selves, as a way of helping to achieve self­reliance,“ explained Tonny S. Be­ ngu, VECO Indonesia Field Coordinator in NTT2.

Achieving Two Major Ambitions During the conference, the partici­ pants discussed two main issues for farmers: marketing independence and food sovereignty. It is the farmers’ ambi­ tion to achieve both, although this has yet to happen. Regarding the issue of food sovereignty, local foods such as corn and tubers have been marginalised by non­local products such as IR rice. At the same time, it is common knowledge that East Nusa Tenggara, including Flo­ res, is suffering a food crisis. So, during the conference the participants had intensive group discus­ sions on these two issues, using the World Café (or warung kopi in Indone­ sian) method. In addition to these two main themes, they also discussed sus­ tainable strengthening of farmer organi­ sations, strengthening farmer organisa­ tions for partnership, and the concept of a Flores farmers’ network. Each theme was discussed in a ‘café’, which the participants free to enter and leave as they pleased. Over the four days, the Ratu Semes­ ta Parochial Hall in Hokeng was brim­ ming with the ideas and experiences of the participants. They grouped together by theme into separate cafes for their discussions, which were facilitated by staff from Yayasan Ayu Tani (YAT) and

dari seluruh kabupaten di Flores. Menurut Don, Mubes ini sebenarnya terbuka untuk semua organisasi petani dan nelayan di Flores. Namun, sebagian besar organisasi petani yang ikut ini memang masih terbatas pada organisasi petani yang didukung VECO Indonesia. “Kami pikir sudah saatnya petani melaksanakan Mubes ini sendiri sebagai bentuk upaya mewujudkan kemandi­ rian,” kata Tonny S. Bengu, Koordinator Lapangan VECO Indonesia di NTT 2.

6

LONTAR - #1 - 2011


Reportase

gi untuk mewujudkan sistem pemasaran bersama dan kedaulatan pangan. Menu­ rut Don, sistem pemasaran bersama yang ingin dibangun nantinya berdasar­ kan komoditi yang ada di tiap wilayah, komitmen, dan semangat bersama. “Sistem ini perlu dibangun agar kami tidak diadu oleh kapitalis,” tegasnya. Untuk mewujudkan kedaulatan pa­ ngan, petani sepakat untuk mengem­

bangkan pangan lokal maupun lumbung pangan. Beberapa organisasi petani di Flores sudah mengembangkan dua hal ini, pangan lokal dan lumbung pangan. Misalnya, ATOM di Mbay, Nagekeo dan APEL di Lembor, Manggarai Barat. Dalam Mubes itu pula peserta sepakat membentuk sekretariat jaringan petani dan nelayan di Flores. Sekretariat bersama ini belum memiliki struktur

resmi namun sebagai awalan untuk membentuk jaringan petani dan nelayan se­Pulau Flores. Ke depan jaringan ini akan menjadi modal kerjasama dengan banyak pihak, baik pengusaha maupun pemerintah. “Kalau petani bersatu, se­ mua pihak pasti tidak berani mempermainkan,” tegas Don. [VECO Indonesia]

VECO Indonesia, two organisations that have been supporting the local farmers. The Flores Institute for Resource Deve­ lopment (FIRD) also facilitated the discussion process during the confe­ rence. The outputs of each café were brought to a panel, which then produced a number of recommendations on each theme. These recommendations were for a variety of stakeholders, including government, private actors, religious and traditional leaders, NGOs, the farmers themselves, and the mass media. The recommendations for the far­ mers were linked to the other recom­ mendations. For local government, for example, the farmers should call on local government to involve farmers more in development planning based on the

farmers needs. One of the recommen­ dations was that there should be synchronisation and coordination bet­ ween local government agencies on agriculture development planning. On this, local government must involve existing farmer organisations, not form new farmer groups in the government interest. The conference participants also designed strategies for creating systems of collective marketing and food sove­ reignty. According to Don, the collective marketing system they would like to develop is based on the local commo­ dities produced in each area, on commitment, and on solidarity. “This system needs to be developed so that capitalists do not play us off anymore,” he emphasised.

To achieve food sovereignty, the farmers agreed to develop local food commodities and food storage. Several farmer organisations n Flores have alre­ ady developed both local food commo­ dities and food storage, including ATOM in Mbay, and Nagekeo and APEL in Lembor, West Manggarai. At the conference, the participants also agreed to form a farmer and fisher network secretariat in Flores. This joint secretariat does not have an official structure, but is the first step towards forming a Flores wide farmer and fisher network. In the future, the network will form the basis for cooperation with a wide range of partners from the private and public sectors. “If farmers join forces, nobody will want to mess with them,” said Don. [VECO Indonesia] LONTAR - #1 - 2011

7


Reportase

Membangun Solidaritas Melintasi Batas Tak hanya untuk mendiskusikan persoalan dan tantangan, Musyawarah Besar (Mubes) juga jadi momentum untuk membangun solidaritas antar­petani dan nelayan. SOLIDARITAS itu tak hanya terasa di dalam Aula Paroki Ratu Semesta Alam Hokeng, tempat Mubes dilaksanakan, tapi juga di halaman, dapur, dan rumah­ rumah warga. Di dalam aula, petani tak lagi mengelompok berdasarkan asal daerah tapi sesuai minat dan kepen­ tingan masing­masing. Peserta Mubes pada 27­30 Oktober 2010 ini diikuti organisasi petani dan nelayan dari delapan kabupaten di Pulau Flores, dari

8

LONTAR - #1 - 2011

Manggarai Barat hingga Lembata. Keakraban itu sudah terasa sejak upacara penyambutan peserta di per­ batasan Kabupaten Flores Timur. Peser­ ta dari Flores bagian barat disambut oleh petani di Lamaholot sedangkan peserta dari Lembata, di timur Flores, disambut di Pondok Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) Balogun. Petani tuan rumah, yang hampir semuanya adalah anggota Jaringan Petani Wulanggitang, menyam­ but mereka dengan tarian tradisional. Usai penyambutan, petani dan nela­ yan lalu diarak sesuai ritual masyarakat lokal menuju aula tempat Mubes itu. Mereka menyatu dalam kegembiraan melintasi batas daerah, gender, suku, dan agama. Bagi peserta, perjalanan menuju lokasi Mubes di bagian timur Pulau Flores ini bukan perkara mudah. Lanse­ kap pulau Flores cenderung berbukit­ bukit. Jalan raya di sepanjang pulau ini pun hampir seluruhnya naik turun dan berkelok­kelok. Sebagian peserta dari Flores bagian barat perlu waktu hingga dua hari untuk sampai di lokasi Mubes. Peserta Mubes dari Asosiasi Petani Lembor (Apel), Manggarai Barat (Ma­ bar), misalnya, perlu dua hari untuk

mencapai lokasi Mubes. Mereka berang­ kat dari Mabar pada 26 Oktober pukul 4 pagi hari untuk kemudian menginap di Wolowaru, Kabupaten Ende. Esoknya mereka kembali melanjutkan perjalanan dari pagi hingga sore baru tiba di perbatasan Flotim. “Capek sekali. Tapi, senang karena bisa bertemu dengan kawan­kawan petani dari daerah lain,” kata Siti Rofi'ah, Ketua Apel, yang datang bersama 13 petani lainnya. Mereka berswadaya untuk menyewa bis dari Mabar ke Flores Timur. Swa­ daya ini pun mereka lakukan untuk keperluan selama empat hari mengikuti Mubes. Misalnya untuk keperluan makan mereka membawa bahan makanan sendiri, seperti beras dan buah­buahan. Siti dan teman­temannya membawa 100 kg beras putih maupun beras lokal woja­ laka. Makanan ini kemudian diolah oleh


tuan rumah yang hampir semuanya perempuan. Tukang masak di dapur ini bertugas berdasarkan jadwal per kelompok tani pada hari tertentu. Pada esok harinya, giliran kelompok tani lain yang bertanggung jawab mengurus urusan konsumsi. Keriuhan di dapur ini juga bentuk keterlibatan petani perem­ puan di Mubes kelima ini. Bentuk solidaritas lain dalam Mubes kali ini adalah penggunaan rumah­rumah petani untuk peserta. Sekitar 300 peser­ ta itu disebar ke rumah­rumah petani

tuan rumah. Siti dan petani lain dari Lembor, misalnya, menginap di Basis VIII RT 8 Desa Puler, Hokeng. Siti Rofi'ah dan sebagian temannya yang muslim menginap di rumah petani se­ tempat yang sebagian besar Kristen. Solidaritas di antara mereka telah menembus batas­batas agama. Menurut Darius Don Boruk, Wakil Ketua Panitia Mubes, penggunaan rumah petani untuk menginap bagi peserta memang strategi mereka agar keakraban sesama petani semakin kuat.

Building Solidarity Transcends Boundaries Not only did the conference provide an opportunity to discuss issues and challenges, it was also a chance to build solidarity between the farmers and fishers. THIS solidarity was palpable not only in the Ratu Semesta Parish Hall in Hokeng, where the conference was held, but also in the yards, kitchens and homes of the local people. In the hall, the farmers formed groups not by their home villages, but by individual interests and concerns. Attending the conference on 27­30 October 2010 were farmer and fisher organisations from eight districts on Flores Island, from West Manggarai to Lembata. This intimacy was plain to see right from the welcoming of the participants on the East Flores district border. Participants from western Flores were welcomed by farmers in Lamaholot, and

participants from Lembata, in eastern Flores, were welcomed at the Balogun Joint Forest Management Centre. The host farmers, almost all members of Wulanggitang Farmer Network, welcom­ ed them with traditional dancing. After the welcoming ceremony, the farmers and fishers were escorted, as local ritual demands, to the conference venue. They were at one in their joy at transcending regional, gender, ethnic, and religious boundaries. For the participants, the journey to the conference location in the eastern part of Flores Island was no easy matter. The Flores landscape is generally hilly. The highway crossing the island twists

“Selain melalui diskusi di forum resmi, kami juga ingin mengakrabkan sesama dengan cara tinggal di rumah petani juga,” kata Koordinator Jantan ini. Harapannya mereka bisa saling kenal, mendiskusikan masalah tidak hanya di forum tapi juga di rumah, serta belajar satu sama lain. Namun, suasana belajar itu memang lebih terasa ketika di dalam forum resmi di mana petani dan nelayan saling berbagi informasi. Pertemuan ini meng­ gunakan metode World Cafe yang

and turns, up and down. Some of the participants from western Flores needed two days to get to the conference location. Participants from the Lembor Farmer Association (APEL) in West Manggarai, for example, needed two days to get there. They left West Manggarai at 4 a.m. on 26 October and spent that night in Wolowaru, Ende. Leaving early the next day, they continued their journey, arriving at the East Flores border in the evening. “We were so tired. But happy to be able to meet fellow farmers from other districts,” said Siti Rofi’ah, APEL chair, who came to the conference along with 13 other farmers. They raised the funds to rent a bus to take them from West Manggarai to East Flores. They even brought with them everything that they would need during the four days of the conference. For example, they brought their own food, including rice and fruit. Siti and the other farmers brought with them 100 kg of white rice and some Wojalaka, a local rice variety. This food was then cooked by the

LONTAR - #1 - 2011

9


Reportase

10

diubah menjadi warung kopi dalam forum ini. Tiap warung kopi membahas satu isu tertentu, seperti kedaulatan pangan, jaringan petani dan nelayan, serta pemasaran bersama. Di dalam forum ini, petani se­Flores tersebut saling mengenal. Sebelum ada Mubes, tiap organisasi ini hanya tahu teman­teman di tempat sendiri. Tidak dikenal atau mengenal petani di daerah

lain. “Setelah ikut Mubes kami baru tahu. Ternyata banyak organisasi petani lain dengan peran berbeda­beda di Flores ini tapi tujuannya sama,” kata Siti. Selama mengikuti Mubes, Siti me­ ngaku lebih banyak melihat pengalaman petani­petani lain. Tak hanya lewat dis­ kusi resmi tapi juga kegiatan lain seperti pameran. Di pameran produk ini, peserta Mubes memamerkan komoditi dari

kabupaten masing­masing. Ada beras, jagung, kakao, kopi, dan aneka pangan lokal lainnya. Pameran ini tak hanya diikuti peserta Mubes tapi juga oleh petani setempat. “Menurut saya Mubes ini hajatan petani, bukan LSM. Kami bisa belajar satu sama lain lewat forum ini,” ujar Siti. [VECO Indonesia]

hosts, almost all of whom were women. Each of the farmer groups took turns to cook. One day, one group would cook, and then next day the cooking would be another group’s responsibility. The hubbub in the kitchens was also a form of participation by women farmers in this fifth conference. Another form of solidarity at this conference was the use of local farmers’ homes for the participants. Around 300 participants were spread around the homes of local farmers. Siti and the other farmers from Lembor, for example, stayed at Basis VIII RT 8 Puler Village, Hokeng. Siti Rofi’ah and some other Muslim farmers stayed with local farmers, most of whom were Christian. The solidarity between them transcended religious lines. According to Darius Don Boruk, committee vice­chair, inviting the participants to stay at the homes of local

farmers was one of their strategies for strengthening the bonds of friendship among the farmers. “As well as through discussions at the official forum, we also wanted to build the bonds of friendship by getting the participants to stay with local farmers,” said Jantan coordinator Don. Our hope was that they would get to know each other, talk about issues not only at the forum but also at home, and learn from one another. The learning atmosphere was in fact most palpable at the official forum, where farmers and fishers shared infor­ mation. A World Café or warung kopi method was used at the form. Each ‘café’ discussed one issue, such as food sovereignty, farmer and fisher networks, or collective marketing. At the forum, farmers and fishers from across Flores got to know each other. Before the conference, the farmers in each organisation only knew

other local farmers. They did not know any farmers from other districts. “Only at the conference did we find out that although there are lots of other farmer organisations, each with a different role, in Flores, they all share a common goal,” said Siti. Siti says that during the conference, he learned a lot about the experiences of other farmers. Not only through official discussions, but also through other activities, such as the exhibition. At this product exhibition, conference partici­ pants exhibited commodities from their districts. These included rice, corn, cocoa, coffee and a range of other local foods. The exhibition was open not only to conference participants, but also to local farmers. “I think the conference is a farmer event, not an NGO event. We can learn from each other through this forum,” said Siti. [VECO Indonesia]

LONTAR - #1 - 2011


Kelompok Tani

JANTAN

Pemasaran Bersama untuk Meningkatkan Harga Dari semula dipermainkan tengku­ lak, petani kakao di Flores Timur kini mengendalikan harga. Peru­ bahan posisi terjadi setelah mere­ ka membangun kelompok tani. PENGALAMAN tersebut dialami Jaring­ an Petani Wulanggitang (Jantan) di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk petani Desa Nawokote, Kecamatan Hokkeng. Semua petani di desa ini membudidayakan kakao seba­ gai komoditas utama. Sebagian kecil juga menanam pohon mete. Namun, kakao menjadi sumber utama pendapa­ tan petani di sini. Saat ini, petani menjual biji kakao basah seharga Rp 7.500 per kilogram. Sebelumnya, mereka menjual seharga Rp 16.000 hingga Rp 18.000 per kilogram biji kering. Karena dijual kering, maka petani harus menjemurnya terlebih dulu. Biasanya 3 kg biji kakao basah akan jadi 1 kg kering. Karena kini menjual basah, maka petani tidak lagi perlu menjemur biji kakao tersebut. Selain penanganan pascapanen le­ bih cepat, harga juga jadi lebih tinggi. Menurut perhitungan, dulu petani men­ dapat harga per kilogram basah sekitar Rp 5.500, tapi sekarang naik sekitar 50 persen, jadi Rp 7.500. “Sekarang, pem­ beli juga lebih pasti dibanding dulu,” kata Antonius Tubun, petani di Desa Nawo­ kote. Kenaikan harga dan kepastian pem­ beli terjadi seiring dengan lahirnya kelompok pemasaran bersama petani di

Kecamatan Hokeng. Pemasaran bersa­ ma merupakan kegiatan utama Jantan. Jaringan ini terbentuk sejak 2009. Mela­ lui pemasaran bersama ini, kini petani tak lagi perlu menjual komoditinya sendiri­sendiri. Mereka cukup membawa ke Tim Pemasaran Desa (TPD). TPD merupakan salah satu keleng­ kapan untuk pemasaran bersama kakao ini. Ada tiga bagian utama dalam pema­ saran bersama ala Jantan. Selain TPD juga ada kesekretariatan dan petani anggota. Tiga bagian ini bekerja dengan tujuan bersama, mengangkat posisi pe­ tani dari yang semula diperas tengkulak menjadi lebih mandiri menentukan harga komoditi. Menurut Koordinator Jantan, Darius Don Boruk, kerja tersebut dikendalikan dari sekretariat Jantan. Sekretariat bertu­ gas untuk melakukan lobi harga dengan pembeli. Saat ini, hanya ada satu pembeli utama yaitu PT Mars. Tugas lain sekretariat adalah mendistribusikan in­ formasi harga melalui TPD pada petani. Sekretariat juga membagi alat­alat pe­ masaran untuk petani anggota. Setiap informasi maupun alat kemu­ dian didistribusikan oleh TPD pada petani. Tugas utama TPD adalah mela­ kukan konsolidasi dan koordinasi di tingkat petani terkait dengan pembelian kakao. Saat ini ada 23 kader TPD yang tersebar di 12 desa dan 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Wulanggitang, Ilebura, dan Titehena. Mereka bertugas di tiap pos penimbangan, di mana tiap posnya ada tiga TPD. Di tiap pos penimbangan ada minimal 3 TPD dengan tugas, anta­

ra lain mengontrol kualitas, menimbang, dan mencatat. TPD juga menginfor­ masikan harga dari sekretariat pada petani anggota. Tugas lainnya adalah mendistribusikan bahan dan alat untuk pembelian kakao, seperti dacin dan karung bahkan sarana transportasi. Di tingkat paling bawah barulah ada petani anggota pemasaran bersama Jantan. Hingga akhir Oktober lalu, ada sekitar 1.100 petani yang tergabung dalam Jantan. Peran utama petani ini menyediakan produk kakao. Untuk men­ jaga kualitas kakao, petani juga mela­ kukan quality control (kontrol kualitas) mulai dari pemanenan, pembelahan, hingga penyortiran. Petani pula yang melakukan penimbangan bersama kader TPD. Don menambahkan kuatnya posisi petani kakao melalui Jantan ini tak bisa dilepaskan dari dukungan Yayasan Ayu Tani dan VECO Indonesia. Dua lembaga ini mendampingi petani untuk memben­ tuk jaringan sejak 2002 lalu meskipun baru membentuk pemasaran bersama sejak 2008 lalu. “Kalau petani menyatukan kekuatan, tengkulak dan pembeli tidak akan bisa mempermainkan kami lagi,” kata Don. [Anton Muhajir]

Jaringan Petani Wulanggitang (JANTAN) Berdiri: 2007 Anggota: 1.100 petani Alamat: Hokkeng, Flores Timur, NTT

LONTAR - #1 - 2011

11


Kabar VECO Indonesia

Dari Bali untuk Korban Letusan Merapi

VECO Indonesia merespon khusus letusan Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah Oktober lalu. Salah satu wilayah yang terkena bencana tersebut adalah Kabupaten Boyolali, di mana VECO Indonesia melaksanakan program bersama organisasi petani Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali (Appoli), Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO) dan Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB) Solo. Ada dua kegiatan VECO Indonesia merespon bencana itu. Pertama, melalui penggalangan dana yang mengumpulkan sekitar Rp 8.750.000 bersama Planet Hollywood. Dana ini disalurkan melalui Jaker PO dan Lembaga Lestari Mandiri (Lesman) khusus untuk korban di Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali. Kedua, melalui aksi rekonstruksi pascabencana.

Menguatkan Peran Perempuan dalam Pertanian MAKIN tinggi nilai pada sebuah komoditi hasil pertanian, maka akan semakin banyak peran laki­laki di dalam rantai tersebut. Namun, perempuan lebih banyak terlibat di bagian awal dari rantai pertanian. Peran perempuan makin berkurang ketika komoditi tersebut mendapat pertambahan nilai. Purnama Adil Marata, Advocacy Officer VECO Indonesia, menyam­ paikan hal itu pada VECO Asia Regional Meeting (RELI) di Bokeo, Laos, 25­30 Oktober 2010 lalu. Lokakarya dihadiri perwakilan VECO di Asia, seperti VECO Laos dan VECO Vietnam. Dari Indonesia hadir Rogier Eijkens, Alfons Urlings, dan Mercya Soesanto. VECO Indonesia melaksanakan strategi penguatan peran perempuan dalam rantai pertanian, melalu strategi pember­ dayaan perempuan, membangun lingkungan agar perempuan lebih banyak terlibat dalam organisasi petani, serta mendorong perempuan agar lebih aktif dalam rantai pertanian. Peran

utama VECO Indonesia adalah meningkatkan kapasitas mitra untuk pengarusutamaan gender, mendukung mitra untuk menganalisis ketidakadilan gender serta mendorong partisipasi petani perempuan dalam rantai pertanian.

Diskusi Bersama Mengatasi Ancaman Rawan Pangan

GUBERNUR Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Frans Lebu Raya mengingatkan semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan pemangku kepentingan agar membebaskan NTT dari ancaman rawan pangan.

12

LONTAR - #1 - 2011

Lebu Raya mengatakan itu saat membuka Workshop NTT Food Summit di Hotel Sylvia, Kupang 13 Oktober 2010 lalu. Workshop diadakan bersama oleh Aliansi Nasional Melawan Kelaparan dengan Pemerintah Provinsi NTT dan VECO Indonesia. Tiga lembaga ini juga telah melakukan uji coba pengembangan model Desa Mandiri Pangan menuju Desa Sejahtera (DMP­DS) pada tiga desa di NTT. Gubernur mengingatkan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi perjalanan NTT Food Summit selama setahun untuk rencana aksi tahun berikut. NTT Food Summit, kata gubernur, telah memasuki tahun ketiga sehingga perlu dirumuskan berbagai komitmen agar masalah pangan dapat teratasi. Gubernur juga mengingatkan pentingnya pemanfaatan pangan lokal, seperti jagung, ubi­ubian, pisang dan lain­lain. "Jangan biarkan masyarakat lapar. Mari kita manfaatkan pangan yang kita miliki," kata gubernur.


Kabar VECO Indonesia

Membangun Kemitraan Petani dan Perusahaan PERUSAHAAN di bidang pertanian berke­ lanjutan perlu membangun komitmen dan transparansi dalam harga penjualan produk pertanian. Pathmi Noerhatini dari Lyco Farm mengatakan hal tersebut dalam lokakarya Tukar Belajar Pelibatan Petani Kecil dan Ke­ mitraan Para Pemangku Kepentingan dalam Pengembangan Rantai Nilai VECO Indonesia pada 23­24 September 2010 lalu di Pecatu, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Lokakarya dilaksanakan VECO Indonesia dan Horticultural Partnership Support Program (HPSP) diikuti organisasi mitra, seperti Wa­ hana Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat), Jaringan Petani Wulang Gitan (JANTAN), Ali­ ansi Petani Indonesia (API), dan Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB). Hadir pula mitra HPSP seperti Koperasi Petani Sukoharjo, Koperasi Tani Organik Sukoharjo, dan Serikat Petani Pasundan. Lokakarya juga diikuti pihak

swasta dan pemerintah, seperti PT Mars Symbioscience Indonesia, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali, Reka Desa, dan Bina Swadaya.

Berlatih Sertifikasi Internal Bersama Petani

SEBAGAI lembaga yang mendukung upaya pe­ ningkatan posisi tawar petani, termasuk dalam hal pe­ masaran, VECO Indonesia mengadakan pelatihan

untuk pelatih atau Training of Trainer Sistem Kontrol Internal atau Internal Control System (ICS) akhir September lalu di Karangasem, Bali. Pelatihan ini diikuti staf VECO Indonesia, yaitu Pelaksana Lapangan dan Koordinator Lapangan dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT) 1, NTT 2, dan Jakarta. Ikut juga mitra VECO Indonesia di Bali, Bali Organic Association (BOA). Peserta dipandu Imam Suharto, Koordinator Advokasi dan Penya­ daran Konsumen VECO Indonesia yang juga ahli sertifikasi produk pertanian organik dan fair trade. Pelatihan tiga hari ini juga dibantu petani anggota Abian Subak Pulasari, Desa Tulamben, Kecamatan Abang, Karangasem yang sudah menerapkan ICS untuk produk mete mereka. Peserta belajar tentang konsep ICS termasuk bagaimana mengembangkan sistem kontrol internal termasuk dokumen­dokumen untuk inspeksi. Peserta juga melakukan praktik lapangan, di kebun milik petani di Dusun Muntig, Desa Tulamben yang sudah melakukan ICS produk kacang mete anggotanya sejak lima tahun lalu.

Keliling Belgia, Kampanyekan Pangan Sehat Duta program Healthy Food Healthy Living (HFHL) VECO Indonesia mempresentasikan fakta dan cita­cita kaum muda Indonesia terkait pan­ gan dan hidup sehat. Dua belas duta, 8 dari Bali dan 4 dari Solo tersebut presentasi ke sekitar 100 sekolah di Belgia pada 5­25 Oktober 2010 lalu. Para duta ini telah melalui seleksi ketat dan persiapan di Youth Camp. Mereka belajar tentang pertanian, tinjauan kesehatan tentang pangan dan gaya hidup sehat serta pembangunan karakter sebagai duta dalam melakukan tugas 3 tahun ke depan. Dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu kota ke kota lain hampir di seluruh Belgia, para duta menyuarakan kepedulian pada kaum muda agar memiliki pola makan sehat yang benar dengan mengonsumsi pan­ gan sehat. Mereka presentasikan mulai di hadapan kelompok kecil sekit­ ar 30 orang sampai 350 kaum muda. Para duta tidak hanya peduli kesehatan individu tetapi juga menggugah respon kaum muda untuk

menjaga bumi tempat di mana pangan dihasilkan. Jalan mewujudkannya ditempuh dengan penyebaran informasi tentang HFHL melalui berbagai media komunikasi baik cetak, elektronik sampai kepada sit­ us jaringan sosial.

LONTAR - #1 - 2011

13


Kabar Mitra

Mengenalkan Pangan Sehat pada Konsumen KONSORSIUM Solo Raya (KSR) mengadakan peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) bersama Pemerintah Kota Solo dan VECO Indonesia pada 19 Oktober lalu. Kegiatan di Pendapi Gedhe, Balaikota Surakarta ini, berisi lomba kreasi makanan berasal dari bahan dasar beras sehat, pameran produk pangan sehat, dan seminar dengan tema Ketersediaan Pangan Sehat Bagi Keluarga. Kegiatan ini diikuti PKK, kelompok konsumen, dinas terkait di Solo dan Boyolali, ormas, pengelola kantin dan sekolah (TK dan SD), duta pangan sehat Solo, petani, komunitas blogger, dan pegawai negeri. Ada tiga tujuan kegiatan ini. Pertama, mengampa­ nyekan pangan sehat di tengah masyarakat. Kedua, mengembangkan gerakan konsumen pangan sehat

lebih luas. Ketiga, membangun ketersediaan pangan sehat dari sisi produsen dan jaringan penjualan pangan sehat di Solo dan Boyolali. Kegiatan ini juga untuk membangun jaringan pemasaran dan ketersediaan produk pangan sehat yang lebih luas di wilayah Surakarta dan Boyolali.

Diskusi Para Pemangku Kepentingan tentang Beras ALIANSI Petani Indonesia (API), mitra VECO In­ donesia untuk advokasi, menjadi narasumber dalam pertemuan lintas pemangku kepentingan persoalan be­ ras di kantor Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 21 Oktober 2010 lalu. Narasumber lainnya adalah Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PPSEK), Menteri Perdagangan, dan Menteri Pertanian. Hadir pula pen­ gurus asosiasi penggilingan padi, eksporter beras, or­ ganisasi petani, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Secara umum, sebagian besar peserta sepakat harga beras saat ini tidak menguntungkan petani kecil. Karena itu, mereka tertarik dengan skema penentuan harga yang dibuat API, yaitu penentuan harga ber­ dasarkan musim. Bulog dan Asosias Penggilingan dan Pedagang Beras menyarankan pada API agar hasil diskusi disampaikan pada Menteri Koordinator Pereko­ nomian untuk ditindaklanjuti.

Belajar Pengolahan Hingga Makassar ORGANISASI petani mitra VECO Indonesia di Boyolali dan Solo, Jawa Tengah melaksanakan studi banding ke Sulawesi 8 – 12 Oktober 2010 lalu. Tempat yang dikunjungi adalah Koperasi Petani Amanah dan lembaga pendampingnya, Wasiat di Kabu­ paten Polewali Mandar serta Asosiasi Petani Kopi Toraja (APKT) di Toraja Utara. Peserta kunjungan juga belajar di Petani Center Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kegiatan ini merupakan bagian dari pengembangan kapasitas organisasi petani. Selama di Sulawesi, peserta melihat keber­ hasilan organisasi petani yang lain yang sudah berhasil dalam pengorganisasian petani dan pengembangan jejaring kerja dengan berbagai pemangku kerja, serta pemasaran hasil. Koper­ asi Amanah yang didampingi LSM Wasiat, misalnya, bekerja sama dengan PT. Armanjaro untuk pemasaran hasil pertanian kakao. Peserta juga bisa belajar bagaimana membangun jejaring kerja dan jaring pemasaran produk dengan berbagai pihak ter­ utama dengan pihak swasta atau pembeli komoditi.

14

LONTAR - #1 - 2011


Kabar Mitra

Mengenalkan Internet pada Pendamping Petani MITRA VECO Indonesia di Sulawesi mengikut pelatihan internet dan publikasi di Makassar pada 16­18 Desember 2010. Pelatihan ini diikuti peserta dari Koperasi Petani Amanah dan lembaga swadaya masyarakat Wahana Sukses Petani Terpandang (Wasiat) Polewali Man­ dar, Jaya Lestari Desa (Jalesa) Toraja, serta Yayasan Komunitas In­ donesia (Yakomi) dan Yayasan Duta Pelayanan Masyarakat (YDPM) Mamasa. Selama pelatihan, peserta membuat email dan blog serta menulis singkat untuk media online. Tujuan kegiatan ini untuk mengenalkan internet kepada mitra VECO Indonesia serta melatih kemampuannya dalam hal publikasi lembaga melalui media internet. Pelatihan ini dipandu dua komunitas blogger, yaitu Bali Blogger Community dan Anging Mamiri, Makassar. Metode yang digunakan adalah teori dan lebih banyak praktik. Jadi, setiap kali ada teori, peserta bisa langsung praktik. ”Agak susah karena ini per­ tama kali saya belajar internet. Tapi, saya senang karena sekarang su­ dah bisa,” kata Frans Bongkaraeng, peserta dari Yakomi.

Lokakarya Mewujudkan Kedaulatan Pangan Mamasa PADA 29­30 Oktober 2010 lalu, mitra VECO Indonesia Yayas­ an Duta Pelayanan Masyarakat (YDPM) Mamasa melaksanakan lokakarya penyusunan rencana strategis Forum Pangan Daerah (FPD) Mamasa. Kegiatan yang diadakan di Makassar ini diikuti para anggota FPD yang terdiri dari petani, pemerintah, dan lem­ baga swadaya masyarakat (LSM). Lokakarya dipandu Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang melaksanakan program lumbung pangan komunitas di beberapa daerah, termas­ uk Mamasa. Dari lokakarya selama tiga hari tersebut, peserta menghasilkan beberapa rencana strategis untuk mewujudkan ke­ daulatan pangan di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Ren­ cana strategis tersebut antara lain yaitu meningkatkan produksi beras, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan alternatif, membuat kebijakan pemerintah yang men­ dukung terwujudnya kedaulatan pangan, meningkatkan kemam­ puan masyarakat untuk membuat cadangan pangan, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengolah industri

pangan lokal. FPD sendiri dibentuk pada tahun 2008. Saat ini FPD beranggotan sekitar 178 Desa di 15 Kecamatan di Kabupaten Mamasa.

Media Konsultasi Situasi Petani

PETANI pedesaan masih lekat dengan kemiskinan, rawan pangan, dan terus bergelut konflik agraria. Petani dan pertanian memiliki ker­ entanan secara politik, ekonomi, dan terhadap perubahan iklim, yang berpotensi terhalangi hak­hak konstitusional dan hak asasi manusia

rakyat tani. Tema ini didiskusikan di Musyawarah Tani, kegiatan konsultasi atas situasi petani sekaligus sosial­ isasi berbagai kebijakan pemerintah terkait ketahanan pangan. Kegiatan ini diselenggarakan pada 2­3 Desember 2010, di Hotel Permata Bogor. Temanya Penanggulan­ gan Kemiskinan di Pedesaan: Tanah, Pangan, dan Jaminan Sosial untuk Sebesar­besarnya Kemakmuran Rakyat. Kegiatan diselenggarakan oleh Dewan Keta­ hanan Pangan (DKP), Badan Ketahanan Pangan (BKP), Pokja Khusus Pemberdayaan Ketahanan Pan­ gan Masyarakat (Pokjasus PKPM DKP) dan jaringan masyarakat sipil nasional. Kegiatan ini dihadiri 30 orang perwakilan Petani, dan NGO se­Jawa, NTT dan Sumat­ era. Salah satu hasil musyawarah adalah perlunya ko­ mitmen dan kerja sama antarsektor, antardaerah dan antarkomponen strategis untuk mewujudkan ketahanan pangan.

LONTAR - #1 - 2011

15


Kabar Internasional

Kampanye Unik Berhadiah Kentang Organik PADA pelaksanaan Hari Pangan Sedunia (HPS) Oktober lalu, remaja dari berbagai sekolah di Belgia turun ke jalan untuk membuat keriuhan. Mereka mencari perhatian sambil mengampa­ nyekan makanan sehat berkelanjutan untuk dikonsumsi sehari­hari. Menurut Vredeseilanden, kelaparan bisa diatasi dengan memilih pangan sehat berkelan­ jutan yang dihasilkan petani. Kaum muda ini juga melahirkan komitmen deklarasi melalui kampanye di website. Di dunia maya deklarasi terse­ but dikumandangkan melalui baris­baris komitmen. “Kami akan lebih banyak mengonsumsi pangan organik. Kami akan mengurangi konsumsi daging atau ikan. Kami memilih produk­produk ber­ basis fair trade. Kami mengunjungi lahan pertanian. Kami akan mengurangi lim­ bah sampah. Kami akan membuat sumber air minum. Kami akan mengon­ sumsi minuman lokal. Kami memilih kantin sehat yang berkelanjutan. Kopi, teh, dan gula kami organik dan produk fair trade.” Komitmen para remaja itu diwujud­ kan dalam aksi­aksi nyata untuk mem­ perbaiki mutu dan penggunaan makanan

16

LONTAR - #1 - 2011

sehat di sekolah. Mulai dari promosi makanan lokal di kantin sekolah, pe­ ngurangan limbah sampah, serta komi­ tmen membentuk komunitas kota deng­ an semangat fair trade. Karena alasan­alasan di atas mereka membuat keriuhan pada akhir pekan pelaksanaan HPS tersebut. Mereka menyampaikan deklarasi dengan tamba­ han kekuatan. Beberapa pelajar mencip­ takan musik orkestra dengan alat­alat dapur seperti panci sementara remaja

lain turun ke jalan dengan alat­alat penggorengan dapur. Melalui kampanye ini, Vredesei­ landen ingin menciptakan keberadaan dan ketersediaan makanan sehat di se­ kolah­sekolah. “Makanan sehat sangat kami butuhkan,” kata Bert Wallyn, koordinator aksi ini. Menurutnya pangan yang ada saat ini cenderung tidak sehat dan tidak berkesinambungan. Kampanye remaja Belgia ini sejalan dengan tujuan Vredesilanden untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Karena itu Vredeseilanden memberikan peng­ hargaan kepada kelompok­kelompok yang berhasil melakukan aksi­aksi ter­ baik mereka. Mereka dikunjungi mobil biofrietkot, mobil yang menyediakan kentang goreng organik. Contohnya, sekolah pemenang akan menikmati kentang goreng organik dari mobil biofrietkot karena berhasil mem­ buat aksi­aksi menarik terhadap kam­ panye ini. Sekolah itu memiliki ling­ kungan dan makanan sehat. Kopi dan teh di ruangan staf merupakan produk organik dan fair trade. Sampah­sampah dikurangi. Air minum disediakan gratis dan sehat. Selain itu, para pelajar belajar membuang sampah di tempatnya, bukan ke jalanan. Respon dari komunitas sekitar sangat positif. Seluruh pengurus sekolah dan orang tua murid sepenuhnya mendukung proyek ini. Sekolah terus melahirkan ide inspiratif bagi komunitas. Para pelajar sangat menikmati aksi melalui musik dari perkakas dapur hasil berlatih intens selama 2 minggu. Sementara itu, mobil penyedia kentang goreng organik memberi kejutan untuk mengganjar hasil jerih payah mereka. (Vredeseilanden)


Kabar Internasional

Beternak Ayam untuk Sumber Penghidupan AKHIR­AKHIR ini situasi di bagian utara Kivu Utara, salah satu kota terbe­ sar di Kongo Timur sangat stabil. Tiga mitra kerja Vredeseilanden memutuskan bekerja sama dan membangun kembali desa­desa di sana. Tidak untuk membuat suatu peternakan ayam, tetapi memastik­ an bahwa kelompok atau keluarga petani, di samping memperoleh hasil dari lahan pertanian juga mendapatkan sedikit persediaan untuk dimakan dan dijual. Salah satu petani mitra mendapatkan hasilnya. Dari kecintaannya terhadap binatang, dia memberikan banyak kamb­ ing, ayam dan kelinci kembali kepada ribuan orang. Dia bernama Justin, pimpin­ an kantor peternakan milik organisasi petani APAV. “Saya memelihara ayam­ ayam saya ini layaknya memelihara anak sendiri,” ujar bapak lima anak dan veget­ arian ini. Di Kivu Utara, sampai satu tahun lalu, tidak ada peternakan ayam, atau setidaknya yang digarap secara profe­ sional. Semua hasil ternak diimpor dari Uganda, negara tetangga. Justin juga

memperoleh ayam pertamanya dari sana. Lalu, dia mendistribusikan ayam itu pada para perempuan dengan sistem kredit. Setiap perempuan mendapatkan 2 ekor ayam. Mereka harus mengembalik­ an 15 butir telur kepada APAV sebagai bayarannya. Telur­telur ini akan disimpan di inkubator tradisional dan ayam­ayam baru yang telah menetas dapat didistribusikan kembali. Justin melakukan hal yang sama untuk ternak kambing. Sistem ini berhasil dengan baik untuk ternak kambing, tapi tidak dengan ayam. Ke­15 telur tidak semuanya subur, makanan ayam juga mahal. APAV rugi karena sistem kredit ayam ini. Maka, Justin mulai berternak ayam secara profe­ sional. Ayam­ayam dari APAV terkenal karena sehat, tidak seperti ayam­ayam lain di pasar. Pembeli menginginkan ayam­ayam dari Justin! Maka, Vredeseilanden membiayainya membeli inkubator profesional. APAV merancang sumber listrik mikro untuk menghasilkan listrik sehingga suhu inkubator akan terjaga dan secara oto­ matis telur­telur itu akan berotasi. Setiap

2 minggu, 700 ayam ditetaskan dari inkubator tersebut. Melalui cara ini APAV menjawab banyaknya permintaan dari konsumen. Karena tidak lagi mengimpor ayam dari Uganda, harga yang harus dibayar pembeli turun drastis dari $ 5 menjadi $ 3 per ayam berumur 2, bulan. Jadi kelompok­kelompok petani membeli beberapa ayam, mengembangbiakkan ayam­ayam tersebut, dan dengan men­ jual ayam­ayam itu. Hasilnya, anak­anak mereka bisa sekolah. Mereka juga sang­ gup membiayai perbaikan rumah. Dan, perempuan juga dapat memanfaatkan uang tersebut untuk biaya kelahiran aman di rumah sakit. Setahun lalu, Justin mengunjungi Kampala terakhir kalinya untuk membeli ayam. Di masa mendatang, dia ke sana hanya untuk hal­hal khusus. Misalnya, membeli pejantan untuk mengembang­ biakan ayam­ayam di peternakannya. Jika APAV dapat merekrut manajer yang cerdas, peternakan ayam akan memiliki nilai potensi luar biasa. (Vredeseilan­ den) LONTAR - #1 - 2011

17


Profil

Rahayu Lebih Suka yang Sehat dan Tahan Lama Tahun ini, genaplah Kadek Sri Rahayu 10 tahun bekerja di VECO In­ donesia sebagai akuntan. Perempuan kelahiran Denpasar, 13 Desem­ ber 1979 ini menjawab pertanyaan Anton Muhajir tentang pengalamannya selama bekerja selama ini. Apa tanggung jawab dan kegiatan utamamu di VECO Indonesia? Melakukan pembayaran transaksi dan memasukkan semua transaksi ke komputer. Kegiatan yang dilakukan, antara lain merangkum semua permintaan transaksi, posting ke software, meminta persetujuan, mempersiapkan cek, pergi ke bank, melakukan pembayaran baik cash maupun transfer. Sejak kapan bekerja di VECO Indonesia? Apa saja perubahan posisimu? Kerja sejak 2001 dan tidak ada perubahan posisi selama bekerja di sini. Sejak awal, saya menyukai posisi ini karena saya memang senang kalau mengurus masalah uang. Apa bedanya VECO Indonesia saat ini dibanding 10 tahun lalu? VECO Indonesia saat ini semakin maju, dalam artian lebih melihat kesejahteraan pegawai. Program juga lebih banyak dan berjalan lancar. Apa enaknya bekerja mengurus keuangan? Tidak enaknya?

18

LONTAR - #1 - 2011

Enaknya mengurus keuangan karena ini memang hobi. Kalau sudah hobi mengurus keuangan pasti semua terasa menyenangkan. Saya suka kalau uang itu teratur keluar masuknya dan tercatat dengan sistematis. Tidak enaknya pada saat selisih dalam laporan keuangan karena pekerjaan harus dilihat kembali dari awal apakah sudah benar atau belum. Tapi, rasa tidak enak ini saya jadikan tantangan dalam bekerja. Pengalaman paling diingat saat ke lapangan? Pertama kali saya berkunjung ke mitra sekitar tahun 2002 dalam rangka asistensi ke Boru dan Larantuka (Flores). Itu sangat berkesan karena di sana saya mendapatkan pengalaman bagaimana sebenarnya mitra mengatur keuangan mereka. Pada dasarnya kita melakukan asistensi keuangan terhadap mitra karena dilihat dari laporan yang mereka kirim setiap bulan masih saja ada yang harus diperbaiki. Selain dalam perbaikan tentang laporan

keuangan kita juga membagi informasi baru dan cara menggunakan format tersebut jika memang ada format baru. Mitra yang diberi asistensi biasanya antusias. Mereka banyak bertanya seputar transaksi yang selama ini mereka alami dan bagaimana cara mem­ filing dokumen keuangan. By the way, kamu makan produk organik apa tidak? Kenapa? Ya. Saya kadang­kadang membeli produk organik karena produk organik itu sehat dan lebih tahan lama jika disimpan. Saya bisa membedakan mana yang organik dan non­organik. Kalau produk organik seperti tomat biasanya lebih tebal dan terasa empuk. Enaklah kalau dimakan.


Resensi

Memperbarui Metode Penyuluhan Pertanian VECO Indonesia menerbit­ kan Buku Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan, Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian akhir 2010 lalu. Buku ini tindak lanjut dari karya Van den Ban dan Hawkins, Penyu­ luhan Pertanian yang terbit pa­ da 1988 dan 1996. Sebagai edisi ketiga, maka buku ini me­ muat banyak perbaikan dari dua edisi yang telah terbit sebelumnya. Selain tetap mempertahan­ kan ide dan konsep penyulu­ han lama, buku terjemahan ini juga memberikan ide, sudut pandang, dan cara berpikir baru tentang penyuluhan. Di Bagian 4 yang membahas tentang media, misalnya, buku ini menjelaskan pentingnya media internet, untuk melengkapi media konvensional seperti koran, jurnal, radio, dan televisi. Penyuluh kini bisa menggunakan website, email, maupun mailing list untuk menjangkau khalayak lebih luas dalam penyuluhan. Buku setebal 664 halaman ini terdiri dari enam bagian yang

terpisah dalam 20 bab. Bagian pertama memberikan dasar pengertian tentang penyuluhan pertanian. Pada bagian 2 dibahas tentang kemajemukan antara gagasan dan persepsi dalam penyuluhan, misalnya kebiasaan manusia. Bagian 3 membahas inovasi­inovasi yang penting dalam melakukan penyuluhan. Bagian 4 membahas tentang penggunaan berbagai jenis media untuk berkomunikasi. Kalau di bagian lain bersifat teoritis, maka di bab ini lebih praktis. Demikian pula dengan bagian 5 yang menjelaskan tentang model­model pengorganisasian untuk melakukan intervensi dalam berkomunikasi. Bab 6 menjadi penutup seluruh bagian. Seperti ditegaskan di pengantarnya, buku ini ditujukan untuk organisasi publik, swasta, dan non­pemerintah yang memfasilitasi perubahan dalam pertanian maupun mereka yang berminat di bidang ini. Misal, mahasiswa, konsultan, petugas penyuluhan, dan semacamnya. Dengan bahasa lebih banyak ilmiah, buku ini memang lebih banyak ditujukan pada praktisi penyuluhan dibanding untuk petani itu sendiri.

Judul

: Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan, Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian Penulis : Cees Leeuwis Penerbit : Kanisius, VECO Indonesia, dan KRKP, 2010

Merekam Jejak Perubahan Cagar Alam LEMBAGA Advokasi dan Penguatan Masyarkat Sipil (Lapmas) Ngada, mitra VECO Indonesia di Flores, menerbit­ kan pengalamannya mengad­ vokasi kawasan Cagar Alam Watu Ata dalam buku Mengu­ bah Cagar Alam Watu Ata. Buku yang diterbitkan bersama Sloka Institute dan VECO Indonesia tak hanya memberi­ kan rekaman bagaimana advo­ kasi dilakukan tapi juga pela­ jaran bagaimana perubahan metode advokasi perlu dilaku­ kan seiring perubahan situasi politik lokal maupun nasional. Buku ini kumpulan cerita tentang bagaimana proses selama delapan tahun advokasi Lapmas terhadap petani di kawasan Cagar Alam Watu Ata. Melalui advokasi tersebut, petani di sini telah mengalami perubahan pola tanam. Dari semula dianggap sebagai perusak kelestarian cagar alam, petani setempat ini justru mendapatkan manfaat dari kopi yang mereka tanam di sini. Buku setebal ini terdiri dari lima tema utama, yaitu Kearifan Lokal Menjaga Kawasan, Menggantungkan Hidup pada Kawasan, Status Hukum itu Mengalahkan Warga, Jalan Panjang Menyelesaikan Persoalan, dan Pelajaran dari Kemenangan Bersama. Bagian pertama merupakan pengantar tentang kebudayaan lokal terkait dengan pengelolaan kawasan ini. Untuk menjaga

kelestarian hutan warga membagi kawasan secara adat agar tak semua kawasan dimanfaatkan untuk budi daya. Zonasi dengan istilah­istilah lokal ini bukti bahwa mereka tak hanya memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan ekonomi tapi juga kepentingan sosial budaya. Bagian kedua membahas fungsi kawasan Cagar Alam Watu Ata bagi warga yang tinggal di dalamnya maupun bagi warga Kota Bajawa. Salah satu potensi penting dalam kawasan ini adalah kopi, arabika maupun robusta, yang kini melambungkan nama petani setempat hingga ke Amerika Serikat. Bagian ini menekankan betapa pentingnya upaya untuk menjaga kawasan ini sebagai bagian dari bukan hanya sistem ekonomi dan sosial tapi juga ekologi. Bagian ketiga membahas tantangan setelah ditetapkannya kawasan ini sebagai cagar alam. Penetapan kawasan mengabaikan hak­hak warga untuk mengelola kawasan ini berdasarkan kearifan lokal. Bagian ini lebih menekankan pada dampak penetapan kawasan menjadi cagar alam terhadap keberlangsungan hidup warga setempat. Bagian keempat menyeritakan upaya­upaya warga maupun pemerintah untuk keluar dari persoalan. Ada pula perubahan strategi advokasi dari konfrontasi ke arah kolaborasi, dialog dan keterbukaan. Perubahan strategi ini lebih tepat sasaran dan efektif. Buku ini memberikan refleksi kritis terhadap advokasi yang dilakukan di bagian akhir. Judul : Mengubah Cagar Alam Watu Ata Penulis : Yosafat Koli Penerbit : Lapmas Ngada, VECO Indonesia, dan Sloka Institute LONTAR - #1 - 2011

19


Masa Depan Petani Indonesia

20

LONTAR - #1 - 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.