LONTAR #9 Edisi Khusus APM 2014

Page 1

a O Indonesi C E V l a n r e Buletin Int

9 # su s K i E d is h u AP M 2 01 4

B e l a j a r d a ri Keberh asi l an Petan i Tan ah Pasu n d an Muhajir LONTARFoto: - #9Anton - 2014

1


Dari Redaksi

Daftar Isi

Pelajaran dari Petani

P

Tanah Sunda

embaca yang budiman. Tiap tahun, VECO Indonesia melaksanakan pertemuan tahunan mitra atau Annual Partner Meeting (APM). Kegiatan rutin ini diikuti organisasi petani, lembaga swadaya masyarakat, maupun jaringan VECO Indonesia. Selain sebagai kegiatan untuk ajang kumpul para mitra yang tersebar di seluruh Indonesia, pertemuan ini juga sebagai media belajar dan berbagi pengalaman. Tahun ini, pertemuan tersebut kami adakan di Bandung akhir Agustus lalu. Temanya Mengangkat Derajat Beras Lokal Nusantara. Kami ingin agar beras produk dalam negeri ini makin dikenal oleh konsumen di negaranya sendiri. Ada beberapa kegiatan serangkaian APM 2014. Pertama, temu ahli (expert meeting) terkait dengan perberasan Nusantara. Kegiatan ini diadakan melalui kerja sama dengan Center for Agrifood Policy and Agribusiness Studies (CAPAS) Universitas Padjadjaran, Bandung. Kedua, Pameran Padi Nusantara yang diadakan di salah satu mal di Bandung, Paris van Java. Pame足

2

LONTAR - #9 - 2014

ran tiga hari ini kami adakan bersama Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB). Puncaknya tentu saja APM 2014 itu sendiri. Tidak hanya diskusi di dalam ruangan, selama dua hari, para peserta melakukan kunjungan ke dua lokasi yaitu petani produsen beras organik di Tasikmalaya dan petani sayur organik di Lembang, Bandung. Hasil kunjungan kemudian kami refleksikan dalam diskusi hangat di lokasi kunjungan maupun di dalam ruang pertemuan. Buletin yang Anda baca ini merupakan oleh足oleh dari pertemuan tahunan selama tiga hari tersebut. Biar lebih lengkap, kami tambahkan satu catatan perjalanan tentang tradisi warga adat di Sunda untuk menjaga padi di tanah mereka sebagai bagian dari kedaulatan pangan sekaligus menghormati bumi di mana mereka berpijak saat ini. Maka, tak usah khawatir jika Anda tak bisa hadir di APM 2014. Buletin ini akan mengabarkannya untuk Anda semua, tentang bagaimana keberhasi足 lan petani (kecil) di Tanah Sunda. Selamat menikmati.. [Redaksi]

2 3 4

Dari Redaksi Editorial Kunjungan Lapangan

10 12 16 18 19 20

Galeri Foto Agenda Tradisi Testimoni Infografis Poster

Mendapat Berkah Menjaga Bumi

LONTAR (n) daun pohon lontar (Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi untuk menyampaikan informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilai lokal, sesuatu yang terus VECO Indonesia perjuangkan.

Tim Redaksi

Penanggung jawab : Rogier Eijkens Redaksi : Anton Muhajir Kontributor : Staf dan Mitra VECO Indonesia Layout : Syamsul "Isul" Arifin Alamat Redaksi VECO Indonesia Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar Telp: 0361 - 7808264, 727378, Fax: 0361 - 723217 Email: admin@veco-indonesia.net, anton@veco-indonesia.net Website www.vecoindonesia.org Twitter @vecoindonesia

Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanian berkelanjutan terutama yang terkait dengan mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas. Materi publikasi ini dicetak menggunakan kertas daur ulang 50 persen sebagai komitmen VECO Indonesia pada ekologi


Editorial

Membuktikan Kekuatan

Petani Kecil

Petani-petani kecil telah mematahkan mitos yang telanjur terbangun selama ini. Mereka juga bisa mencukupi kebutuhan pangan dunia.

S

elama ini, pemerintah, korporasi, atau bahkan akademisi, selalu gembar-gembor bahwa kebutuhan pangan dunia hanya bisa dipenuhi perusahaan-perusahaan besar melalui Revolusi Hijau. Akibatnya, kebijakan pertanian pada umumnya pun lebih memihak korporasi dibandingkan petani kecil. Tapi, pengalaman saya selama ini telah membantah mitos tersebut. Apalagi ketika mengunjungi dua kelompok petani di Jawa Barat akhir Agustus lalu. Kunjungan terse­ but bagian dari pertemuan tahunan mitra VECO Indone­ sia di Bandung. Ada dua lokasi yang kami kunjungi yaitu di Ta­ sikmalaya dan Lembang. Dua kelompok tani ini membuk­ tikan mereka bisa memberi makan tak hanya untuk mereka sendiri tapi juga dunia. Atau, setidaknya konsu­ men mereka. Pertama, Kelompok Tani Simpatik di Tasikmalaya. Sekitar 1.500 anggota kelompok ini merupakan petani ke­ cil. Luas lahan mereka rata­rata kurang dari 1 hektar. Namun, mereka bisa mendapatkan rata­rata 7­8 hektar padi organik tiap musim panen. Tak hanya untuk kebutuhan sendiri, para petani juga mengekspor beras organik tersebut ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Singapura, dan lain­lain. Tiap kali ekspor, mereka bisa mengirim 20­25 ton beras organik ke negara tujuan. Kedua, Kelompok Tani Mekar Jaya di Lembang, Bandung Utara. Di daerah pegunungan berhawa sejuk ini, petani menghasilkan produk hortikultura dengan

standar mutu internasional. Tak sedikit dari kebun terse­ but hanyalah halaman depan, belakang, ataupun samping rumah mereka. Namun dari lahan­lahan sempit tersebut, mereka bisa mengirim sayur ke berbagai kota dan negara, seperti Bandung, Jakarta, Bali, bahkan Papua. Tiap minggu mereka menjual 150 ton sayur dengan keuntungan Rp 3.000 per kg. Menariknya, kedua kelompok tersebut bisa mem­ produksi komoditas secara mandiri. Mereka tidak tergan­ tung sepenuhnya pada korporasi. Petani padi di Tasikmalaya membuat sendiri benih, pupuk, dan pestisida organik. Petani di Lembang pun demikian meskipun bibit masih membeli dari perusahaan. Keduanya membuktikan mereka bisa mencukupi ke­ butuhan sendiri, memberi makan dunia, dan tetap men­ jaga keberlangsungan bumi. Kata kuncinya adalah kolaborasi antara tiga pihak yaitu petani, pemerintah, dan swasta. Mungkin klise, tapi begitulah faktanya. Pemerintah mendukung dan memfa­ silitasi petani untuk beralih ke pertanian organik. Di sisi lain, pihak swasta mendukung pemasaran padi maupun sayur organik. Mereka menghubungkan petani produsen dengan konsumen secara langsung, termasuk pasar in­ ternasional. Saya yakin keberhasilan petani Tasikmalaya dan Lembang hanya puncak gunung es keberhasilan petani kecil yang mempraktikkan pertanian organik di negeri ini. Keberhasilan lain pasti lebih banyak lagi. [Anton Muhajir]

LONTAR - #9 - 2014

3


Ketika pemerintah Indonesia mengimpor beras, petani Tasikmalaya justru mengekspor beras. Bermula dari keinginan bertani sambil menjaga alam, kini petani anggota Gapoktan Simpatik justru mendapatkan berkah bumi: kemakmuran.

Gapoktan Simpatik

M en d apat B erkah

M en j a g a B u m i 4

Foto足foto: Anton Muhajir

LONTAR - #9 - 2014


Kunjungan Lapangan

P

ada 2014 ini mereka memasuki tahun kelima mengekspor beras. Semakin waktu, pasar dan volume mereka pun terus berkembang. Tahun lalu saja mereka mengirim sekitar 240 ton beras ke negara-negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Permintaan terus meningkat; padahal pada 2009 mereka hanya mengirim 18 ton. Beras yang mereka ekspor ke luar negeri merupakan jenis beras khusus, yaitu beras organik. Sebagaimana namanya, para petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Sistem Pangan Organik Tasikmalaya (Gapoktan Simpatik) ini menggunakan model per­ tanian organik. Tak sedikit pun mereka menggunakan bahan­bahan kimia. Selain menghalau hama, bahan kimia dan pestisida juga membunuh mikro organisme seperti cacing dan menurunkan produktivitas tanah. “Pada­ hal, mereka (mikro organisme) itu praju­ rit para petani organik,” kata Hendra Affandi yang akrab disapa Kribo, salah seorang petani. “Kita itu, selain berhubungan dengan manusia dan Tuhan, juga ada hubungan

Penggunaan pupuk organik berhasil meningkatkan kesuburan tanah. dengan alam,” katanya. Alam juga makhluk Tuhan. “Makhluk Tuhan itu harusnya berkembang biak, bukan berkembang beak (habis),” tambahnya. Karena itulah Hendra menyatakan haram bila ia kembali menerapkan mo­ del pertanian lama yang menggunakan bahan kimia dan pestisida. Menurutnya, tak sepantasnya ia membunuh sesama makhluk Tuhan. Sementara itu, penggunaan pupuk organik justru meningkatkan produkti­ vitas tanah. Bahan­bahan organik juga sangat banyak dan terhampar di depan kita, seperti air bekas cucian atau gedebok. “Kalau ada petani organik yang mengatakan tidak ada air bekas cucian beras, tidak ada gedebok, tidak ada bekicot yang bisa diolah, maka ya sudah, mati saja lah,” katanya.

Berbekal Kesadaran Meski sudah memiliki keinginan ber­ tani secara organik sejak 1997, toh mereka baru bisa berkumpul dan mem­ bentuk Gapoktan Simpatik pada 2002. Terletak di Kecamatan Cisayong, Kabu­ paten Tasikmalaya, Jawa Barat, Gapok­ tan Simpatik menjadi wadah dari

beberapa kelompok petani organik di lingkungan Tasikmalaya. Menurut Soni Prayatna, Kepala Bi­ dang Produksi Padi dan Palawija Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya, Ga­ poktan Simpatik itu terbentuk, bukan dibentuk. Ketika pertama kali memberi­ kan penyuluhan terhadap petani, ia memberikan kesadaran tentang pen­ tingnya menjaga alam. “Bahwa apa yang dilakukan selama ini oleh petani dalam menjalankan pertanian konvensional te­ lah merusak alam. Jadi, mereka di­ sadarkan terlebih dahulu, bukan mau jualan beras,” katanya. Adapun soal harga bagus di pasar, kata Soni, itu bonus saja. Berkah. Berkat kesadaran itulah para petani memiliki tekad kuat dalam menjalankan pertanian organik. Namun, jalan mereka tak mudah. Pertama sekali adalah mendapatkan kepercayaan dari sesama petani. Pasalnya, bertani organik memang membutuhkan kesabaran dan ketelitian tingkat tinggi, terutama dalam proses produksi. Beda antara organik dan bukan terdapat dalam proses. Prosesnya sangat ketat. Setidaknya, ada empat langkah yang harus petani

LONTAR - #9 - 2014

5


Reportase

organik jalankan yaitu menyiapkan benih berkualitas, mengolah tanah secara ter­ tib, menggunakan pupuk kompos dan pupuk hijau, serta merawat sawah se­ cara teratur. “Petani organik harus rajin. Menyiangi empat kali, penaburan kom­ pos dan pupuk pelengkap komposnya,” kata Uu Syaeful Bahri, Ketua Gapoktan Simpatik. Pertanian organik mensyaratkan adanya pengawas Internal Control Sys­ tem (ICS). Demi menjaga kualitas beras, pengawas ICS senantiasa memantau ke sawah. Bahkan, Uu Syaeful Bahri, Ketua Gapoktan Simpatik, sempat dicemooh teman­temannya ketika menerapkan model pertanian organik. Banyak langkah baru yang terasa asing di mata teman­temannya. Misalnya, ketika sawah lainnya digenangi air, sawah mi­ liknya justru tidak. Ia dianggap aneh. Bahkan, ia menjadi tontonan ketika menanam. Namun, Uu dan petani Gapoktan Simpatik tak lelah berjuang. Dari semula empat orang, Gapoktan Simpatik kini memiliki sekitar 1.700 anggota yang

6

LONTAR - #9 - 2014

tersebar di tujuh kecamatan di Ta­ sikmalaya. Jika ditotal, sebenarnya ang­ gota mereka pernah mencapai 2.500. Namun mereka terpaksa menjatuhkan sanksi kepada sekitar 800 anggota ka­ rena tak mematuhi peraturan: menyerahkan hasil panen mereka ku­ rang dari 30 persen kepada Gapoktan Simpatik. Menurut Uu, hal ini merugikan orga­ nisasi. Pasalnya, Gapoktan Simpatik su­ dah mengeluarkan banyak modal untuk membantu petani, seperti membayar honor pengawas internal yang meman­ tau semua proses pertanian organik. Gapoktan Simpatik terpaksa men­ jatuhkan sanksi sebagai cermin atas ko­ mitmen mereka menjaga kepercayaan konsumen dan agar anggota lainnya mendapatkan kepastian perlakuan. Setelah tiada lelah menjalankan proses organik tanpa henti sejak 2002 , mereka mendapatkan peluang besar sejak 2009. Untuk pertama kalinya, pada Agustus 2009 mereka mengekspor beras organik ke Amerika. Mereka bisa mengekspor berkat kerja sama dengan Emily Sutanto dengan PT Bloom Argo­nya.

Emily pertama kali bertemu para petani di Gapoktan Simpatik sekitar 2008. Ia mendapatkan informasi dari mantan Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, bahwa ada sekelompok petani or­ ganik di daerah Tasikmalaya yang ingin mengekspor beras. Solihin menawarkan, bisakah Emily membantu mereka. Emily semula ragu, benarkah ada beras yang benar­benar organik di In­ donesia? Berangkat dari keraguannya, ia lalu mengunjungi Tasikmalaya dan kagum dengan sikap mereka yang ber­ tekad menjaga keharmonisan alam. Di sisi lain, mereka juga masih terjebak dalam arus kemiskinan. Ia lalu bertekad membantu mereka. Ia mendirikan PT Bloom Argo pada 2009. Ia melatih mereka dan mengusa­ hakan mereka mendapatkan sertifikasi, mulai dari nasional hingga internasional. Pada tahun itu juga Gapoktan Simpatik mendapatkan sertifikasi internasional dari Institute of Marketology (IMO) dari Swiss. Sertifikasi IMO dikenal sebagai jaminan mutu produk ramah lingkungan tingkat dunia. Dengan mengantongi sertifikasi IMO


Reportase

Beras organik produksi Gapoktan Simpatik siap diekspor.

ini mereka bisa mengakses pasar tiga negara yang paling ketat men­ erapkan standar pangan: Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Selain itu, Gapoktan Simpatik juga telah mendapatkan sertifikat Fair Trade . Berbekal sertifikat­sertifikat itulah mereka makin meluaskan jaringan dalam pasar internasional. Di bawah merk dagang Sunria, mereka mengekspor beras merah, cokelat, putih, dan campuran kelas premium. Menurut Uu, permintaan pasar setiap tahun meningkat. Mereka belum bisa memenuhi per­ mintaan pasar. Pada 2009, mereka hanya bisa mengirim 18 ton, padahal per­ mintaan pasar 90 ton. Pada 2013 kemarin, permintaan pasar men­ ingkat menjadi sekitar 450 ton. Namun, mereka hanya bisa mengirim 240 ton. Mereka belum bisa memenuhi permintaan pasar karena ke­ terbatasan yang mereka miliki, di antaranya kurangnya mesin pas­ caproduksi dan mahalnya biaya sertifikasi. “Biaya sertifikasi itu ratusan juta. Petani dari mana (uangnya),” kata Bukhori, salah seorang petani. Karena itu Bukhori menyarankan agar pemerintah mempermudah akses bagi petani untuk mendapatkan sertifikasi. “Supaya ada hak paten, supaya ada daya jual di negara­negara luar. Kalau tidak ada hak paten, susah (pasarnya). Jangan sampai ada perusahaan Indone­ sia, didirikan di Indonesia ternyata diaku­aku orang luar,” katanya. Meski demikian, satu per satu para petani yang tergabung dalam Gapoktan Simpatik mendapatkan berkah bumi: kemakmuran. Kribo, misalnya, ia sudah memiliki rumah layak huni dan dua kendaraan. Kini, ia juga tak memiliki tanggungan utang sepeser pun kepada tengkulak. Pertanian organik telah mengubah dan memperbaiki hidup petani Tasikmalaya. [Muhammad Husnil]

LONTAR - #9 - 2014

7


Kunjungan Lapangan

Mekar Tani Jaya

Sayur Segar di Kaki Gunung

Tangkuban Parahu

S

Mengantongi ijazah sarjana teknik dari Sekolah Tinggi Teksil, Bandung, Doyo Mulyo Iskandar justru mengambil jalan menjadi petani. Menggeluti kehidupan berkubang lumpur dan debu.

adar bahwa kekuatannya akan meningkat bila bersama-sama Doyo mengumpulkan empat temannya sesama petani dan mendirikan organisasi. Pada 1 0 Oktober 1 987 mereka sepakat mendirikan Kelompok Tani Mekar Tani Jaya (MTJ). Dengan MTJ ia menghimpun dan mengubah pemikiran para petani di kampungnya, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Jalan yang ia tempuh sangat terjal. Mendapatkan tentangan dari sana­sini. Pertama sekali ia mendapatkan per­ lawanan dari keluarga. Mereka me­ ngeluhkan pilihan Doyo menjadi petani karena ia sarjana, saat sebagian besar masyarakat sekitarnya masih tertatih­ tatih menjejaki tangga pendidikan dasar dan menengah. Tapi, tekadnya telah membatu. Ia meyakini bahwa menjadi petani adalah pilihan hidupnya. Karena pilihannya tersebut, ia kenyang makan cemoohan dan hinaan. Ia menganggap semua reaksi negatif itu sebagai pelecut se­ mangat bahwa pilihannya benar dan mereka keliru. Berjalan berdasarkan intuisi, ia kerap tersesat. Sering gagal. Tapi, yang pasti, semangatnya menjadi petani tak pernah kendor. Ia mampu mengatasi semua kendala

8

LONTAR - #9 - 2014

yang datang karena pada dasarnya ia seorang pembelajar sekaligus pengajar. Ia tak pernah malu belajar kepada siapa pun. Jalannya mulai terbuka saat salah seorang temannya belajar mengenai pertanian di Jepang. Sepulang dari Je­ pang, Doyo mulai belajar dan merintis kepada temannya bagaimana mengelola pertanian secara modern. Melalui bantuan Ausaid, satu lem­ baga donor dari Australia, pada 2002 ia belajar pengelolaan pertanian modern di Australia selama setengah tahun. Tak hanya di negeri guru, ia juga belajar per­ tanian di beberapa negara, seperti Be­ landa dan Cina. Semuanya berkat bantuan lembaga swadaya masyarakat internasional. Ia mereguk semua pengetahu­ an itu, lalu menyebarkan­ nya ketika pulang kampung. Di MTJ ia menerapkan pengetahuan dan pengala­ mannya, bagaimana menghasilkan sayur yang menyehatkan dan memiliki daya tawar tinggi. Mereka mengusahakan mendapatkan serti­ fikasi dari pemerin­ tah maupun luar

negeri. Bahkan MTJ adalah satu­satun­ ya dan pertama yang lulus dan memiliki sertifikat sayuran organik di Indonesia. Hasilnya? “MTJ kini sudah merajai dunia sayur Indonesia,” katanya. Produk pertanian mereka sudah bisa ditemui di pasar­pa­ sar modern di kota­kota besar, seperti Jakarta dan Bali. Ia juga telah mengeks­ por ke beberapa negara seperti Taiwan, Jepang, dan Belanda. Meski melalui dis­ tributor di Singapura, Doyo meng­ upayakan agar kardus atau paket


Reportase

produknya mencantumkan keterangan, “Produk Indonesia.” “Alhamdulillah walaupun harga turun sedikit, tulisan “Indonesia”­nya nempel (di kemasan). Begitu di Hongkong, lihat (kardus sayuran bertuliskan) fresh cab­ bage product of Indonesia, saya se­ nang,” katanya.

Mandiri Sebagai organisasi petani, Doyo mampu membuat MTJ mandiri. Karena itu ia cenderung menolak setiap bantuan pembangunan fisik yang datang dari pe­ merintah, baik tingkat kabupaten sampai pusat. Ia jengah dengan praktik korupsi birokrat. “Kalau proses awalnya saja banyak bohong, hasilnya pasti tidak baik. Kalau awalnya sudah mengelabui diri sendiri, hasilnya juga pasti dibohongi Tuhan. Mending yang lurus­lurus saja tapi berkah,” katanya. Banyak sekali tawaran dari pemerin­ tah untuk membantu mereka, kata Doyo, seperti pembangunan pipa untuk peng­ airan. Daripada mendatangkan lebih banyak mudarat buat anggotanya lebih baik ia menampiknya. “Nanti saya harus menandatangani 600 pipa, tapi yang datang 400. Sisanya mau pakai bambu?” katanya. “Menyusahkan!” tegasnya. Ia hanya menerima bantuan dari pe­ merintah jika berbentuk peningkatan kualitas petani. Misalnya untuk pelatihan atau workshop mengenai pertanian, barulah MTJ akan mengirim utusan. Tapi, tanpa bantuan pemerintah

dalam meningkatkan kualitas petani itu pun hampir setiap dua tahun sekali MTJ mengirimkan, setidaknya, satu orang un­ tuk belajar pertanian di luar negeri. Uangnya berasal dari iuran antara kelu­ arga dan kelompok. Syaratnya, setelah pulang anggota tersebut bekerja selama dua tahun di kelompok yang mem­ biayainya belajar di luar negeri. Begitu kelar, ia memiliki pilihan apakah akan mulai membangun pertanian sendiri atau mengambil jalur perdagangan. Ia menekankan sekali kualitas petani

ini. Menurutnya, petani yang berkualitas selalu memiliki jalan untuk mengatasi keterbatasan. Saat ini para petani di Lembang kekurangan lahan. Tanah di sekitar Lembang sudah diserbu orang­ orang kota untuk membangun vila. Mereka menyiasatinya dengan mem­ buka pertanian di halaman atau tanah­ tanah sempit yang ada di kampung­ kampung mereka. Bahkan, di tanah se­ luas tiga meter pun mereka tetap bisa menanam. Tapi, Doyo mengakui bahwa dalam hal tanah ini ia tak bisa berbuat banyak kecuali mengubah pola pikir orang­orang di sekitarnya agar tak men­ jual tanah mereka kepada orang­orang kota. Demi mempertahankan pertanian di Lembang ia merekrut anak­anak muda untuk tetap bertani. Bertani secara ter­ hormat. “Jika saya tidak bangun, anak muda keluar (daerah), ya tamat (pertani­ an ini),” katanya. Sejauh ini ia berhasil. Kampungnya yang saat ia kecil selalu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena saking miskin dan terbelakangnya kini menjadi desa paling maju di Lembang dan hampir semua anak­anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Tapi, ia belum bangga. “Saya belum bangga kalau petani masih dianggap rendah oleh profesi lainnya. Saya akan bangga bila para petani bisa berbuat le­ bih untuk merah putih. Kalau bukan oleh para petani sendiri, siapa yang akan melakukannya?” kata Doyok retoris. [Muhammad Husnil]

LONTAR - #9 - 2014

9


Galeri Foto

21 Agustus 2014. Temu Pakar tentang Perberasan Nusantara

26 Agustus. Pembukaan

26 Agustus. Kunjungan ke Gapoktan Simpatik

28 Agustus. Malam budaya penutupan APM 2014

28 Agustus. Penandatanganan kerja sama Bank NTT dan VECO Indonesia

10

LONTAR - #9 - 2014


Galeri Foto

22足24 Agustus 2014. Festival Padi Nusantara

25 Agustus. Perkenalan

27 Agustus. Kunjungan ke Mekar Tani Jaya

28 Agustus. Pameran produk mitra VECO Indonesia

LONTAR - #9 - 2014

11


Agenda

Diskusi Pakar

Menuju Tata Niaga Beras

Lebih Berkeadilan P

Perberasan nasional menjadi tema besar dalam diskusi para pakar (expert meeting) yang diselenggarakan VECO Indonesia bersama Center for Agrifood and Agribusiness Studies (CAPAS) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Pertemuan pada 21 Agustus 201 4 ini membahas dan mengkaji mata rantai beras di Indonesia. Temanya, “Tantangan Perberasan Nasional dalam Era Globalisasi: Keberlanjutan, Akses Pasar dan Kesejahteraan Petani.”

12

LONTAR - #9 - 2014

ertemuan ini menjadi wadah berbagai pakar untuk mengkaji persoalan perberasan nasional. Menurut Dr Ronnie S Natawidjaja dari CAPAS Unpad, pertemuan ini menjadi ajang untuk mendorong dan memperkuat pertanian Indonesia. Hadir kalangan pemerintah, pihak swasta, akademis, petani, ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Isu keberlanjutan mengemuka dalam diskusi pakar ini. Dr Ronnie menyatakan bahwa produksi beras di Indonesia ter­ golong masih rendah dibanding negara­ negara Asia penghasil beras lainnya. Ironisnya, konsumsi beras di Indonesia justru paling tinggi di dunia. Peningkatan produksi beras nasional bukan tak dikerjakan oleh Pemerintah. Sayangnya, upaya tersebut belum mengarusutamakan keberlanjutan. Juga, tidak ada upaya serius untuk mengu­ rangi susut produksi. Ada 160.000­an penggilingan di Indonesia. Namun, ha­ nya ada 10 persen penggilingan yang memiliki teknologi maju. Akibatnya pe­ nyusutan dari proses gabah menjadi be­ ras cukup tinggi lantaran teknologi sudah ketinggalan zaman. Pemerintah perlu mendorong in­ vestasi di bidang pascapanen. Investasi

pengadaan penggilingan dengan tekno­ logi maju dapat mengurangi tingkat penyusutan secara signifikan. Hal ini dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan produksi beras nasional. Dalam diskusi muncul juga isu me­ narik terkait perdagangan beras nasio­ nal. Permintaan beras berkualitas (aromatik, organik, dan lain­lain) dilaporkan tumbuh secara signifikan di pasar. Di ritel, misalnya, pertumbuhan permintaan beras berkualitas mencapai 30 persen per tahun. Angka ini jauh melampaui pertumbuhan permintaan be­ ras kualitas medium, 10 persen per tahun. Pusat pertumbuhan permintaan produk berkualitas ada di Jakarta, Bandung, Malang, dan Solo di mana jumlah kelas menengah tumbuh dengan cepat. Namun, kue hasil dari pertumbuhan ini tidak serta­merta dinikmati oleh petani. Hendri Hendarta, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Aprindo Jawa Barat, menyatakan ritel di Indonesia mengan­ dalkan pasokan beras dari para peda­ gang perantara. Mereka menginginkan pasokan be­ ras langsung dari tangan pertama, yaitu petani produsen, untuk memotong rantai pasokan. Ini tidak lepas, salah satunya,


Agenda

Peluang Bisnis Beras di Negeri Sendiri

1 2 3

4

Potensi pasar beras dalam negeri lebih besar dari segi volume dan nilai ekonomi. Beras perlu diposisikan secara lebih strategis dalam pemasaran dan penciptaan target pasar. Masih besarnya peluang peningkatan nilai tambah pada rantai nilai beras: pascapanen, penggilingan, pengemasan, dan branding dengan memanfaatkan Sertifikat Indikasi Geografis Jangan hanya terfokus pada produk beras. Perlu juga disosialisasikan dan diprogramkan (membentuk pasar) pemanfaatan seluruh produk sampingan berdasarkan pohon industrinya: jerami, kulit beras, dan lain­lain.

5 6 7

Perlu secara strategis menjalankan Program Beras Regional dengan mitra internasional sebagai usaha untuk menjadikan Beras Organik sebagai High Value Commodity di ASEAN. Mendorong untuk terbentuknya Standar Beras Organik ASEAN yang diakui secara internasional Bekerja sama dengan Kelompok Konsumen untuk membentuk Jaringan Kios Pangan Sehat (berbasis keanggotaan) tersebar secara nasional. Model Bisnis dengan sistem franchise.

Perlu ada kerja sama dengan Lembaga Penelitian Pemuliaan Padi untuk mengembangkan varietas khas lokal berumur pendek dari berbagai pojok nusantara.

karena marjin keuntungan yang dipe­ roleh hanya sebesar 5 persen. Produk beras berbeda dengan produk lain, mi­ salnya pakaian, di mana mereka mem­ peroleh marjin lebih dari 5 persen. Kendati marjin yang diperoleh relatif kecil, ritel tetap menyediakan tempat khusus bagi penjualan beras dan produk olahan dari bahan dasar beras. Betapa tidak, beras masih menjadi konsumsi utama bagi masyarakat Indonesia. Sementara itu, Direktur Bulog Sutarto Alimoesa menyatakan salah satu tanta­ ngan yang dihadapi Indonesia adalah tata niaga yang menyedihkan. Tata niaga dikuasai oleh kartel pe­ dagang besar. Tujuh pedagang yang dikenal sebagai '7 Samurai' menguasai perdagangan gula. Sedangkan empat pedagang dengan julukan '4 Naga' mengatur naik­turunnya harga daging sapi di pasar nasional. Akibatnya, petani tebu dan peternak kecil tidak dapat menikmati hasil jerih payah mereka se­ cara adil. Tata niaga yang buruk juga terjadi di perdagangan beras. Sebagai ilustrasi, ada selisih yang besar antara harga be­ ras di tingkat petani produsen, yaitu se­

besar Rp 7.000 dan di tingkat ritel, yaitu sekitar Rp 13.000. Sayangnya, selisih yang besar itu hanya dinikmati oleh pe­ dagang besar. Bulog sudah membuka kerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah untuk pengadaan beras sebagai langkah untuk membagi kue yang selama ini dinikmati oleh pedagang besar.

Slamet Nur Hadi, Koordinator Pro­ gram di API, mendesak agar Pemerin­ tah segera merumuskan kebijakan tepat untuk membangun sistem per­ dagangan beras di Indonesia. Ia meminta agar pemerintah mendorong pertanian berbasis kewirausahaan. [Wisma Putra dan Purnama Adil Marata]

LONTAR - #9 - 2014

13


Agenda

Festival Padi Nusantara

Mendekatkan Beras

pada Konsumen Berkualitas

Mal tak hanya untuk belanja atau sekadar kongkow. Mal juga bisa menjadi ajang pendidikan tentang pertanian organik bagi warga kota. Apalagi, setiap akhir pekan, mal di Bandung selalu ramai oleh pengunjung untuk mengisi liburannya.

14

LONTAR - #9 - 2014

K

ali ini, pelataran mal Paris van Java disulap menjadi sawah mini. Lengkap dengan aneka pameran beras organik, beragam jenis bibit padi lokal hingga pameran foto. Selama tiga hari, mal ini jadi tempat “Festival Padi Nusantara” pada 22-24 Agustus lalu. Festival yang diadakan VECO In­ donesia dan Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) ini berhasil menyedot per­ hatian pengunjung. Tujuannya sebagai ajang pendidikan bagi konsumen beras di perkotaan sekaligus mengenalkan po­ tensi beras lokal organik dan keunggu­ lannya. Karena lokasinya di mal, maka sa­ saran utama pameran ini adalah konsu­ men kelas menengah ke atas. Mereka menjadi konsumen utama beras dan pangan organik lain selama ini. “Animo masyarakat Bandung cukup besar untuk datang ke festival ini,” kata

Rogier Eijkens, Perwakilan Regional VECO Indonesia. Selain itu pameran ini juga menjadi ajang pertemuan bisnis. Ia berharap, agar pengusaha lokal tertarik berin­ vestasi dan mengambil potensi bisnis produksi beras lokal organik. “VECO mengajak para pengusaha untuk mem­ perkuat bisnis perberasan sebagai anti­ sipasi beras impor yang masuk ke Indonesia,” ujarnya. Para mitra VECO Indonesia seperti Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali (APPOLI), Asosiasi Tani Organik Mbay (ATOM) Flores, dan Gabungan Kelom­ pok Tani (Gapoktan) Simpatik Ta­ sikmalaya juga memamerkan beras­beras produksi mereka. Ada pula aneka pupuk organik yang diproduksi oleh petani. “Beras organik baik bagi kesehatan kita. Selain untuk menyehatkan, kita juga


Agenda membantu pemerintah memperkecil angka impor beras dan membantu untuk menyejahterakan kehidupan petani In­ donesia,” kata Martinus Sirilus Malo, petani dari Flores. Selama tiga hari kegiatan, festival dipenuhi berbagai benda promosi ter­ masuk beras dari daerah mitra VECO Indonesia seperti Polewali Mandar (Su­ lawesi Barat), Maumere (Nusa Tenggara Timur), dan lainnya. Selain beras, ada pula poster, banner, dan aneka materi promosi lain untuk mengenalkan beras lokal Nusantara. Materi­materi tentang padi Nusantara tersebut memenuhi halaman, dinding, dan selasar Paris van Java selama tiga hari. Selama itu pula beberapa aksi menarik dilaksanakan seperti musik, diskusi, dan demo masak menggunakan bahan baku beras. Tim relawan dari Yayasan Pangan Sehat Indonesia (YAPSI) dan Pusat Pendidikan Lingkun­ gan Hidup (PPLH) Bali yang terlibat selama pameran juga memberikan kue­ sioner kepada konsumen yang hadir. Siti Nuraeni, salah satu pengunjung

pameran, mengatakan bahwa ajang ini memberikan nilai positif bagi warga. Ia bisa tahu manfaat dari beras organik lokal. Termasuk keragaman berbagai jenis padi di Indonesia. “Saya makin tahu bahaya beras yang masih meng­ gunakan pupuk kimia,” katanya. Menurut Ida Pardosi dari PIB, festival ini adalah upaya untuk mengenalkan produk petani sekaligus mengingatkan pada komunitas bahwa padi tak cuma urusan petani. Selama pameran, konsu­ men juga bisa berdiskusi langsung dengan petani produsen. “Menariknya, hal yang kita pikir sederhana ternyata

menarik bagi konsumen sehingga kita harus mengenalkan kepada mereka dan membangun diskusi,” kata Ida. Ida menambahkan selama pameran tersebut, penyelenggara memberikan visualisasi dan menciptakan pengala­ man baru masyarakat (kota) melihat kembali kekayaan padi lokal, potensinya, cita rasa dan para petani yang me­ nanamnya. “Pameran ini juga menjadi ruang untuk mengajak masyarakat kota mendukung petani padi lokal Indonesia dan menangkap respon terhadap padi lokal Indonesia,” tambahnya. [Wisma Putra]

“Menariknya, hal yang kita pikir sederhana ternyata menarik bagi konsumen sehingga kita harus mengenalkan kepada mereka dan membangun diskusi.”

LONTAR - #9 - 2014

15


Tradisi

Kearifan Menjaga Lumbung

dari Gunung

M

Alunan angklung buhun—nada pentatonik—mengalun dari balik Imah Gede. Para pria berbaju hitam lengkap dengan ikat kepala, duduk bersila bersenandung puja pujian pada alam semesta.

ereka tengah menghibur seluruh warga desa yang sejak pagi sudah bergeliat. Mulai ibu-ibu yang menghangatkan hiruk pikuk di dapur hingga para lelaki yang hilir mudik mengangkut panen padi. Sementara, kokolot atau kalangan orang tua sibuk mengikat setiap bulir padi yang menguning. Dan memasukannya ke dalam lumbung padi. Kasepuhan Ciptagelar terletak di De­ sa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dari Jakarta, perjalanan dapat ditempuh sekitar enam jam. Mele­ wati perkebunan karet, pesisir Pelabuhan Ratu dan menembus jalanan bebatuan. Lokasi kasepuhan ini berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede – Salak. Udara sejuk dan air dingin yang mengalir dari dalam hutan, menjadi penyegar perjalanan setiba di Ciptagelar. Lumbung padi atau leuit menjadi penanda khas di kawasan Ciptagelar.

16

LONTAR - #9 - 2014

Setiap pagi atau sore hari, terdengar be­ bunyian ritmis dari para ibu yang sedang menumbuk padi. Mereka berkelompok menumbuk padi secara tradisional. Ter­ kadang sambil bersenandung menghangatkan suasana desa. Bagi Kasepuhan Ciptagelar, leuit tak hanya berfungsi sebagai penyimpanan beras. Lebih dari itu; leuit adalah pu­ saka. Masyarakat Sunda ini, sangat menghormati keberadaan leuit. Lum­ bung padi adalah benteng kehidupan. Sekaligus penjaga kemurnian ragam benih padi lokal mereka. Amanat wari­ san leluhur kasepuhan. Usia Kasepuhan Ciptagelar sudah melewati enam abad lebih. Mereka masih menjalankan aturan adat lelu­ hurnya secara tertib. Pertanian menjadi tulang punggung kehidupan warganya. Mereka menanam benih padi secara alami. Memanennya secara gotong ro­ yong. Aturan adat leluhur Kasepuhan Ciptagelar juga menghormati ke­ beradaan tanah. Mereka hanya mengo­ lah sawah selama sekali dalam setahun.

“Bagi kami, padi adalah ibu. Kami menghormatinya,” kata Yoyo Yogas­ mana. Yoyo adalah seorang seniman per­ tunjukan dari Bandung. Ia memilih men­ jadi petani dan menetap menjadi warga kasepuhan. Di kasepuhan ini, ia belajar menjadi petani dan melebur dengan ke­ hidupan adat istiadat Ciptagelar. “Adat juga melarang untuk menjual hasil pa­ nen padi,” tambahnya. Ugi Sugriana Rakasiwi atau lebih dikenal dengan Abah Ugi adalah pen­ jaga Kasepuhan Ciptagelar. Ia adalah pemimpin ke­11 dari Kasepuhan Cipta­ gelar. Abah Ugi menjadi motor untuk menjaga keseimbangan dan harmo­ nisasi alam di kasepuhan. Termasuk dari perubahan dan perkembangan zaman. Namun, Kasepuhan Ciptagelar justru tak mengelak dari perkembangan ini. Mereka memanfaatkan perkembangan teknologi tepat guna. Mereka meman­ faatkan keberadaan air yang mengalir sepanjang tahun menjadi listrik. Turbin air ini menjadi jantung untuk mengalirkan listrik ke setiap rumah warga. Termasuk untuk menyalakan studio televisi dan ra­ dio komunitasnya.


Kabar Internasional Hobi ngoprek elektronik menjadi bekal bagi Abah Ugi untuk menerapkan teknologi yang membawa manfaat bagi kehidupan warganya. “Di sini juga dipa­ sang wifi,” kata Abah Ugi. Kasepuhan Ciptagelar menjadi anti­ tesis kemajuan zaman. Pertanian, kuat­ nya budaya gotong royong dan aturan adat menjadi pijakan kehidupan warga­ nya. Tanpa menyerah atau mesti melawan perubahan zaman. Keunikan ini menjadi magnet bagi banyak orang. Termasuk peneliti untuk berkunjung ke Ciptagelar. Seren taun menjadi acara tahunan yang dikunjungi ratusan orang dari berbagai daerah. Tak jarang, wisatawan mancanegara juga ikut hadir meramaikan acara ritual ini. Warga melepaskan rasa lelah dan bergembira dengan berbagai kegiatan. Mulai menyaksikan pencak silat, ber­

“Bagi kami, padi adalah ibu. Kami menghormatinya,” kata Yoyo Yogasmana.

main angklung tradisional, menontong wayang golek semalam suntuk hingga beriringan keliling kampung membawa hasil bumi. Para peneliti pangan, budaya, antro­ pologi, bahasa hingga arsitektur sering berkunjung ke lokasi ini. Mereka men­ catat setiap perubahan dan kearifan yang mereka pertahankan ratusan tahun. Institut Pertanian Bogor (IPB) mengidentifikasi ada seitar 180 jenis padi lokal yang tumbuh di wilayah kasepuhan. “Kami juga diundang untuk berbicara mengenai perubahan iklim. Sejauh ini, kami tidak pernah gagal panen, terserang hama apalagi sampai kelaparan,” kata Yoyo Yogasmana. Keberadaan Kasepuhan Ciptagelar ibarat oase di tengah gempuran impor beras saat ini. Vietnam, Thailand, India, Pakistan hingga Myanmar menjadi ne­ gara utama pemasok beras. Pada tahun 2013, Badan Pusat Statistik, mencatat Vietnam mampu memasok hingga 472 ribu ton beras atau senilai US$ 246 juta. Sementara Thailand sekitar 194 ribu ton atau senilai US$ 6,7 juta. Lahan pertani­ an produktif Indonesia juga terus me­ nyusut hingga 188 ribu hektar per tahunnya. Dan beralih fungsi menjadi kawasan perumahan maupun pabrik. Kasepuhan Ciptagelar menjadi cer­ min bahwa pertanian yang alami dan berkelanjutan bukanlah mustahil. Mereka telah membuktikan selama ratusan tahun dengan merawat dan melindungi benih padi lokalnya dengan benteng kebudayaan. [Ahmad Yunus]

LONTAR - #9 - 2014

17


Kata Mereka

Hassani Zainuddin , Ketua Koptan Amanah Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Sidiq, Petani anggota Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali (APPOLI).

Herni Pili, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali.

18

LONTAR - #9 - 2014

“Apa yang kami dapat dari dua kunjungan selama APM ini sangat berharga. Ternyata petani kecil pun bisa berbisnis secara modern. Semoga kami di Polman bisa membuktikan bahwa kami juga bisa.”

“Kami belajar banyak selama APM ini terutama dari kunjungan lapangan ke kelompok tani. Salah satu pelajaran penting dari keduanya adalah perlunya melibatkan anggota secara aktif dalam kegiatan. Itu PR kami di Bajawa.”

“Saya sangat terkesan dengan pameran (padi nusantara) ini karena konsumen bisa lebih tahu tentang beras. Dengan harga mahal, mereka mau membeli beras kami karena mereka lebih mementingkan kesehatan.”

Marselina Walu Wajamala, Koordinator Divisi Pemasaran Perhimpunan Petani Watu Ata Bajawa, Flores.

“Hal paling berharga selama APM adalah organisasi petani mampu menjadi broker bagi anggotanya melalui pengelolaan informasi dan pengetahuan yang baik. Keberadaan OP benar-benar bermanfaat bagi anggotanya. Kemampuan itu semua mereka dapat melalui perjuangan. Semoga petani Kerinci juga bisa seperti mereka.”

“Hal menarik ketika sesama mitra VECO Indonesia bisa melihat langsung kondisi lapangan mitra yang lain. Ini karena mitra VECO Indonesia beragam, masing-masing punya ciri khas dan gaya perjuangan berbeda. Kami yang bekerja di isu konsumen bisa menambah wawasan dan perpektif berbeda...”

Firman Supratman, Koordinator Lapangan VECO Indonesia di Kerinci, Jambi.


Infografik

S

Beras Mahal? Tak Masalah. Asal...

elama pelaksanaan Festival Beras Nusantara di Paris van Java, Bandung, VECO Indonesia dan Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) menyebarkan kuesioner. Para relawan dari PIB, Yayasan Pangan Sehat Indonesia (Yapsi) Solo, dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali memberikan beberapa pertanyaan kepada pengunjung. Pertanyaan yang diajukan antara lain pengetahuan tentang beras yang dikonsumsi sehari­hari, alasan mengonsumsi be­ ras sehat, tingkat konsumsi, hingga tempat membeli beras tersebut. Ada empat hal yang menjadi catatan dari survei terhadap 150 konsumen yang jadi responden. 1. Ada peluang pasar yang besar, minat mengkonsumsi be­ ras sehat baik dari laki­laki dan perempuan.

Profil Responden Total 150 orang Jenis kelamin : Perempuan ..........................65 persen, Laki­laki ............................... 35 persen. Umur : < 25 tahun ........................... 33 persen, 26 – 40 tahun ...................... 33 persen, > 40 tahun ........................... 34 persen Profesi : PNS ..................................... 8 persen, Lain­lain ...............................18 persen, Pelajar/mahasiswa .............. 23 persen Pendapatan : < Rp 3 juta ...........................41 persen, Rp 3 juta – Rp 5 juta............ 21 persen, Rp 5 juta – Rp 10 juta ......... 17 persen, > Rp 10 juta .........................21 persen Pendidikan : SMA .....................................40 persen, S1 ........................................ 50 persen, S2 ........................................ 10 persen Konsumsi Beras Rata­rata jumlah anggota keluarga responden 3 ­ 4 orang. Konsumsi beras per bulan adalah 16,3 kg. Pengetahuan tentang Beras Banyak masyarakat tidak mengetahui varietas beras yang dikonsumsinya, apalagi sehat atau tidaknya beras tersebut. Varietas yang dikonsumsi: pandan wangi, rajalele, menthik susu, setra, bongong, IR 64, Cianjur, Ciherang, C4, Merah. Tidak mengetahui varietas beras 57%

Mengetahui varietas beras 43%

2. Peluang besarnya pasar tersebut belum dibarengi dengan ketersediaan informasi mengenai beras sehat. Konsumen belum tahu banyak informasi mengenai be­ ras sehat, termasuk di mana dan bagaimana mendapatkannya. 3. Alasan terbesar konsumen memilih beras sehat adalah kesehatan. Alasan ini perlu didukung pula oleh kemam­ puan finansial. 4. Karena itulah konsumen beras sehat pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah. Sehingga go­ longan ini merupakan sasaran promosi yang tepat. Infografis berikut menjelaskan lebih lanjut proses dan hasil survei tentang beras tersebut.

Alasan mengonsumsi beras sehat? Trend gaya hidup, 3%

Faktor lain, 5% Rasa dan aroma, 29%

Kesehatan, 59%

Kemasan, 4%

Alasan belum mengonsumsi beras sehat? Harga mahal, 28% Kemasan tidak menarik, 2% Belum cukup info tentang manfaat, 20%

Tempat membeli beras sehat Komunitas pangan sehat, 4%

Tidak tahu tempat membeli, 40%

Faktor lain, 10%

Organisasi petani, 17%

Toko organik, 8%

Apakah tertarik mengonsumsi beras sehat? Belum tertarik, 5%

Tertarik, 95%

Pasar Tradisional, 17%

Supermarket, 54%

LONTAR - #9 - 2014

19


Th e Power of S m al l Farm ers

20

LONTAR - #9 - 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.