Buletin Triwulan VECO Indonesia
#2 201 1
Me m e n u h i Kebutuhan Dalam Kebersamaan LONTAR - #2 - 2011
Foto: Anton Muhajir
Koperasi Tani
1
Dari Redaksi
Daftar Isi 2 3 4
Dari Redaksi Editorial Reportase
Koperasi Tani
Memenuhi Kebutuhan Dalam Kebersamaan
Saatnya Petani Memproduksi Informasi
Foto: Anton Muhajir
MELALUI berbagai media publikasi,
kami tak hanya mengenalkan program dan kegiatan VECO Indonesia tapi juga mengajak pembaca untuk terlibat di dalamnya. Karena itu, kami sediakan ruang untuk pembaca. Selain LONTAR, kami juga punya website, blog, dan jejaring sosial. Ruang tersebut kami harap bisa memberikan peluang bagi pembaca untuk terlibat. Sebab, ini zaman di mana informasi diproduksi tak lagi searah tapi dua arah atau bahkan lebih. Karena itu pula kami mendorong para mitra, ter-
masuk petani, agar bisa menggunakan teknologi informasi. Maret lalu, pelatihan internet dan publikasi tersebut kami adakan lagi di Ende, Flores untuk mitra di NTT. Dari semula suntuk memegang cangkul dan sabit di kebun, petani kini juga menggunakan internet untuk mengakses informasi. Ke depannya, kami berharap petani juga bisa membagi informasinya secara luas. Sebab, bukan saatnya lagi petani cuma mengonsumsi informasi tapi juga ikut memproduksi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? [Redaksi]
Time for Farmers to Produce Information
THROUGH various publications, we not only introduce readers to VECO Indonesia programs and activities, but also encourage them to get involved. That is why we provide space for readers. Not just LONTAR, we also have a website, blog and social networking. Having these spaces, we hope to be able to create opportunities for all media readers to be involved. That is why we not only provide space and opportunities but also encourage our partners, including farmers, to learn to how to make use
2
LONTAR - #2 - 2011
of information technology. In March, we held internet and publication training once again, in Ende, Flores, for partners in East Nusa Tenggara. From simply using hoes and sickles in their gardens, farmer are now also able to use the internet to access information. The only question remains is how the farmers going to share their information to a wide audience. Because they are no longer mere consumers of information, but producers too. And if not now, when? [Editor]
11 12 14 16 18 19 20
Kelompok Tani Kabar VECO Kabar Mitra Kabar Internasional Profil Resensi Poster
Lontar (n) daun pohon lontar (Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi untuk menyampaikan informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilai lokal, sesuatu yang terus VECO Indonesia perjuangkan.
Tim Redaksi
Penanggung jawab : Rogier Eijkens Redaksi : Anton Muhajir Kontributor : Staf dan Mitra VECO Indonesia Layout : Syamsul "Isul" Arifin Alamat Redaksi VECO Indonesia Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar Telp: 0361 - 7808264, 727378, Fax: 0361 - 72321 7 Email: admin@veco-indonesia.net, anton@veco-indonesia.net Website www.vecoindonesia.org
Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanian berkelanjutan terutama yang terkait dengan mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas. Publikasi ini dicetak menggunakan kertas daur ulang sebagai komitmen VECO Indonesia pada kelestarian lingkungan.
Editorial
Dengan Koperasi Tantangan pun Teratasi Rintik hujan tak mengurangi semangat Lewardi menunjukkan rumah-rumah baru di desanya akhir April lalu.
LEWARDI , Ketua Kelompok Tani Ujung Batu Panga, Desa Batu Panga Daala, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali Madar (Polman), Sulawesi Barat ini mengajak saya melihat satu per satu rumah yang dibangun dari modal pinjaman. “Kami sekarang lebih mudah untuk membangun rumah tanpa beban utang pada tengkulak,” kata Lewardi. Modal pembangunan rumah tersebut diperoleh Lewardi dan sekitar 25 anggota kelompoknya dari Pusat Koperasi Tani (Puskoptan) Amanah. Koperasi ini menaungi 84 kelompok tani yang tersebar di lima kecamatan di Polman, yaitu Luyo, Tubbi Taramanu, Mapilli, Luyo, Tapango, dan Andreapi. Sekitar 1 .500 petani bergabung di dalamnya. Amanah lahir dari perut Wahana Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini salah satu mitra VECO Indonesia di Sulawesi terutama dalam rantai kakao dari produksi hingga pemasaran. Wasiat dan VECO Indonesia mendukung koperas ini terutama dalam peningkatan kapasitas mereka terkait produksi kakao dan pemasaran. Salah satunya melalui koperasi. Program kredit perumahan sendiri
bukan program dukungan langsung dari VECO Indonesia. Namun, kami melihat program ini sebagai sebuah dampak (impact), dari program-program yang dilakukan petani melalui kelompok dan koperasi. Tanpa adanya kelompok dan koperasi tani, petani belum tentu bisa mengakses kredit perumahan tersebut. Pelajaran dari berjalannya koperasi petani di Polman adalah perubahan kecil di tingkat petani bisa berdampak pada kelompok. Dari kelompok, perubahan akan berdampak pada skala lebih besar. Perubahan pertama adalah lahirnya ke-
bersamaan melalui kelompok. Ketika belum ada kelompok, petani tidak memiliki solidaritas di tingkat produksi. Petani bekerja sendiri-sendiri di kebunnya. Namun, saat ini petani bergotong royong dari satu kebun ke kebun lain sesama anggota. Jika kelompok tani bisa mengatasi tantangan kurangnya solidaritas terkait produksi, maka koperasi menjawab tantangan lain, kebutuhan pangan dan papan. Melalui koperasi, petani kini bisa memenuhi kebutuhan berasnya. Padahal, sebelumnya mereka tergantung pada suplai dari tengkulak. Hasil panen jadi jaminan. Tengkulak pula yang sebelumnya menjerat mereka dengan pinjaman untuk kredit perumahan. Inilah perubahan kedua yang terjadi. Melalui kebersamaan, baik di tingkat kelompok maupun koperasi, petani kakao di Polman kian mandiri. Mereka membangun kembali solidaritas sesama mereka untuk memperbaiki kualitas produksi kakaonya sekaligus memenuhi kebutuhan pangan dan perumahannya. Tak lewat jeratan tengkulak tapi dari kelompok mereka sendiri. [Anton Muhajir]
Cooperatives Rise to the Challenge
The rain does nothing to dampen Lewardi’s spirits, pointing out the new houses in his village, at the end of April. CHAIR of the Ujung Batu Panga farmer group in Batu Panga Daala village, Luyo subdistrict, Polewali Madar (Polman) district, West Sulawesi, Lewardi took me to see each and every one of the houses that had been built using housing loans. “It’s easier for us to build houses now that we’re no longer in debt to middlemen,” said Lewardi. Lewardi and around 25 other members of his farmer group received these housing loans from Amanah central farmer cooperative. This cooperative represents 84 farmer groups in five subdistricts in Polman (Luyo, Tubbi Taramanu, Mapilli, Luyo, Tapango, and Andreapi). Around 1 ,500 farmers are members. Amanah emerged from Wahana Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat), a NGO partner of VECO Indonesia in Sulawesi, involved cocoa chain, from pro-
duction through marketing. Wasiat and VECO Indonesia support the cooperative, particularly in building their capacity in cocoa production and marketing. The housing loan scheme is not supported directly by VECO Indonesia. However, we view it as an impact of the programs carried out by farmers through their groups and cooperatives. Without the groups and cooperatives, the farmers would not have access to housing loans. The lesson learned from the farmer cooperative in Polman is that a small change at the farmer level can impact at the group level. Which in turn will impact on a wider scale. The first change was the building of solidarity through the groups. Before the groups existed, the farmers had no solidarity at the production level. Farmers worked alone in their gardens. But now they work together, moving from one member’s
garden to another. If the farmer groups addressed the lack of solidarity at the production level, the cooperative addresses another challenge: the need for food and housing. Through the cooperative, farmers can now get the rice that they need. In the past they relied on supplies from middlemen. They used their cocoa harvests as collateral. The middlemen also used to squeeze the farmers with housing loans. And this is where the second change has occurred. Thanks to solidarity, at the group and cooperative levels, cocoa farmers in Polman are now self-reliant. They have rebuilt their solidarity to improve the quality of their cocoa production, and to meet their food and housing needs. Not at the mercy of middlemen, but through their own groups. [Anton Muhajir]
LONTAR - #2 - 2011
3
Koperasi Tani
Memenuhi Kebutuhan Dalam Kebersamaan Terjeratnya petani pada tengkulak tinggal masa lalu, setidaknya bagi petani lima kecamatan di Polman, yaitu Tubbi Taramanu (Tutar), Luyo, Tapango, Mapilli, dan Anreapi. KETIKA panen kakao tertunda sehingga pendapatan mereka pun tersendat, kini mereka tinggal meminjam beras dan uang pada Pusat Koperasi Tani (Puskoptan) Amanah, di mana mereka menjadi anggota. Melalui koperasi ini, petani melepas jeratan tengkulak. “Kami jadi lebih mudah mendapatkan kebutuhan beras,” ujar Lewardi, Kelompok Tani Ujung Batu Panga, Desa Batu Panga Daala, Kecamatan Luyo akhir April lalu. Amanah lahir dari lembaga swadaya masyarakat Wahana Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat) untuk mengajak petani terlibat dalam usaha bersama. Wasiat mendampingi petani Polman, terutama di rantai komoditi kakao, dari produksi hingga pemasaran. Amanah dan Wasiat mitra VECO Indonesia di Polman. Pada 1 2 Februari 2007, Amanah menggunakan badan hukum koperasi serba usaha (KSU). “Kami ingin membentuk lembaga bisnis yang dimiliki
4
petani,” kata Rauf, Koordinator Lapangan Wasiat. Setelah berubah status hukum menjadi KSU, anggota Amanah kian bertambah. Akhir tahun lalu, Amanah berubah jadi Puskoptan di tingkat kabupaten. Deklarasi di Polewali itu dihadiri 1 85 petani dari 75 kelompok tani seKabupaten Polman dan wakil dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Polman. Selain meneguhkan kebersamaan antarpetani, deklarasi juga menyampaikan pesan, melalui koperasi, petani punya kekuatan lebih besar!
Perubahan Produksi
Saat ini, Amanah memiliki sekitar 1 .500 petani anggota. Mereka tersebar di lima kecamatan di Polman, yaitu Tutar, Luyo, Tapango, Mapilli, dan Anreapi. Kebun kakao di lima kecamatan ini luasnya sekitar 59.000 hektar dari
total luas kebun kakao di Provinsi Sulbar, yaitu 1 65.000 hektar. Luas lahan petani di wilayah dukungan Amanah dan Wasiat 27.433 hektar. Karena luasnya wilayah program, maka Amanah membangun simpul-simpul koperasi di tiap kecamatan. Misalnya Koperasi Mitra Agribisnis Kakao di Desa Tapango Barat, Kecamatan Tapango. Di desa berjarak sekitar 30 menit perjalanan dari Polewali ini, ada 89 petani yang bergabung koperasi. Mereka dari 1 4 kelompok tani di seluruh kecamatan. Kelompok tani merupakan unit terkecil dari koperasi ini yang kemudian bergabung di satu koperasi tingkat kecamatan. Modal utama koperasi berasal dari iuran anggota. Petani anggota harus membayar simpanan pokok yang besarnya beragam, tergantung tiap koperasi. Di Koperasi Mitra Agribisnis Kakao, misalnya, besar iuran pokok Rp 1 00.000 dan iuran perbulan Rp 5.000. Foto: Anton Muhajir
LONTAR - #2 - 2011
Reportase Besarnya iuran pokok dan iuran bulanan ini berbeda di tiap koperasi. Iuran pokok di koperasi lain besarnya dua kali lipat, Rp 200.000 dengan iuran per bulan sama, Rp 5.000. Meski besarnya iuran berbeda-beda, kegiatan koperasi tiap kecamatan ini hampir semuanya sama. Kegiatan ini dari produksi, penanganan pascapanen, hingga perumahan. Dalam proses produksi, misalnya, petani anggota koperasi dan kelompok tani menerapkan internal control system (ICS) atau sistem kontrol internal. Tujuannya agar produksi kakao memenuhi standar kebutuhan konsumen terbesar mereka, PT Armajaro Indonesia. Selain proses produksi, penanganan pascapanen kakao pun berubah. Petani yang dulu cuma menggelar kakao di pinggir jalan untuk mengeringkannya, sekarang menggunakan para-para. Bentuknya ada yang hanya para-para tanpa atap. Namun, ada pula yang meng-
gunakan sistem solar dryer atau pengering matahari dengan atap dari plastik.
Tanpa Bunga
Selain pendampingan pola produksi dan pengolahan pascapanen, koperasi juga menjadi unit bisnis. Mereka juga memiliki usaha, salah satunya, pengadaan beras. Menurut Ketua Koperasi
..kalau pinjam pada tengkulak pasti naik terus jumlah pinjamannya. Tani Amanah Hassani, beras jadi bahan kebutuhan penting petani setempat karena hampir tidak ada petani yang memproduksinya. “Semua petani di sini petani kakao, bukan padi. Jadi, mereka tergantung pada suplai beras dari luar,” kata Hassani. Setiap bulan, beras yang dijual Koperasi Amanah sekitar 2 ton untuk
konsumen. Tak hanya anggota yang membeli atau berutang beras di koperasi tersebut. Petani bukan anggota pun bisa membeli dengan harga berbeda. Biasanya mereka membeli beras di karung 25 kg. Untuk anggota Rp 1 35.000 jika tunai dan Rp 1 40.000 jika kredit. Untuk non-anggota harganya Rp 1 40.000 tunai dan Rp 1 47.000 jika kredit. Koperasi juga punya kegiatan simpan pinjam dengan meminjamkan uang pada anggota tanpa bunga. Menurut Lewa, kalau pinjam pada tengkulak pasti naik terus jumlah pinjamannya. Dia memberikan contoh, utang Rp 1 35.000 di tengkulak bisa jadi Rp 1 50.000. Utang ini penting bagi petani, terutama ketika musim panen kakao belum tiba atau bahkan tertunda seperti saat ini. Kini, Lewa tinggal berutang di koperasi dan mengembalikannya saat musim panen telah tiba. Melalui koperasi, petani juga mela-
Farmer Cooperatives
Meeting Demand Together Being squeezed by middlemen is a thing of the past, at least for farmers in the five sub-districts of Tubbi Taramanu (Tutar), Luyo, Tapango, Mapilli, and Anreapi in Polman. WHEN the cocoa harvest is delayed and money is tight, they can now borrow rice and cash from the Amanah farmer cooperative, where they are members. This cooperative frees the farmers from the grip of the middlemen. “It’s easier for us to get the rice we need,” said Lewardi, Ujung Batu Panga farmer group, in Batu Panga Daala village, Luyo Subdistrict, at the end of April. Amanah was created from the NGO Wahana Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat) to encourage farmers to get involved in cooperative business. Wasiat supports Polman farmers, particularly in the cocoa chain, from production through marketing. Amanah and Wasiat are VECO Indonesia partners in Polman. On 1 2 February 2007, Amanah officially became a multi-business cooperative. “We wanted to form a business organisation that belonged to the farmers,” said Rauf, Wasiat Field Coordinator. Since Amanah changed its legal status to a multi-business cooperative, its membership has grown. At the end of
last year, Amanah became a districtlevel farmer cooperative. The declaration in Polewali was attended by 1 85 farmers from 75 farmer groups across Polman
Foto: Anton Muhajir
District, along with representatives from Polman Cooperatives and Small and Medium Enterprises Agency. As well as consolidating solidarity among the far-
LONTAR - #2 - 2011
5
Reportase
kukan pemasaran bersama. Saat ini, mereka memasarkan melalui koperasi untuk dijual ke PT Armajaro Indonesia. Hal ini seperti terjadi di Luyo dan Mapilli. Pembeli dan harga jadi lebih pasti. “Pendapatan mereka bertambah karena menjual komoditi lewat pemasaran bersama. Buktinya, rumah dan kendaraan mereka sekarang lebih baik,” kata Muhammad Akil, Direktur Wasiat.
Tambahan Modal
Membaiknya kondisi petani di Polman terjadi seiring dengan lahirnya kesadaran petani untuk berubah. Amanah dan Wasiat mendorong perubahan tersebut. VECO Indonesia mendukung program Amanah dan Wasiat sejak awal 201 0 lalu. Tahun ini, dukungan berlanjut melalui beberapa program. Di antaranya pelatihan manajemen kelompok tiap bulan dan manajemen pemasaran. mers, the declaration also conveyed the message that, through the cooperative, farmers are stronger!
Production Change
Today, Amanah has around 1 ,500 farmer members from five subdistricts in Polman – Tutar, Luyo, Tapango, Mapilli, and Anreapi. The cocoa gardens in these five subdistricts cover an area of around 59,000 hectares, out of a total area of cocoa gardens in West Sulawesi of 1 65,000 hectares. Farmers in the area supported by Amanah and Wasiat have 27,433 hectares of land. Because of the wide program area, Amanah has developed cooperative clusters in each subdistrict. One example is Mitra Agribisinis Kakao in West Tapango village, Tapango subdistrict. In this village, which is around 30 minute
6
LONTAR - #2 - 2011
Foto: Anton Muhajir
Menurut Akil, tujuan kegiatan ini agar petani lebih memahami teori dan praktik pemasaran. Akil menambahkan, pada dasarnya dukungan Wasiat pada petani melalui bantuan teknis, fasilitasi, dan interaksi. Bantuan teknis diberikan terkait dengan proses produksi, seperti sambung pucuk dan pemangkasan pohon. Interaksi dibangun untuk menguatkan solidaritas antarpetani. Misalnya, melalui pertemuan rutin. Adapun fasilitasi berupa pendampingan pada petani dalam pembuatan proposal dan merancang kegiatan. Melalui dukungan-dukungan tersebut, petani kakao di Polman terus melakukan perubahan ke arah lebih baik. Amanah dan Wasiat kini tak hanya dikenal di Polman tapi juga daerahdaerah lain. Pengurus lembaga ini makin sering memberikan pelatihan ke kelompok tani di luar daerah. Salah satu
pencapaian terbesar adalah adanya bantuan modal dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Bantuan Kementerian Koperasi dan UKM ini hanya diberikan untuk tiga provinsi di Indonesia, termasuk Sulbar. Koperasi Amanah terpilih untuk mewakili Sulbar sebagai penerima bantuan ini. Menurut Rauf, bantuan ini akan menjawab salah satu tantangan Amanah dan Wasiat selama ini, kurangnya modal. “Selama ini Amanah kurang bisa bersaing karena kalah modal dengan tengkulak,” ujarnya. Saat ini Amanah mengelola uang sekitar Rp 600 juta dari petani anggota. Dengan tambahan modal Rp 9,4 milyar dari Kementerian Koperasi dan UKM, maka mereka akan menggerakkan dana Rp 1 0 milyar melalui koperasi. Dana itu kemudian diputar, oleh petani untuk petani. [Anton
“Amanah has been unable to compete because it has less capital behind it than the middlemen do,”
membership fees at other cooperatives are double that (IDR 200,000) and the monthly subscriptions IDR 5,000. Although their fees differ, the activities of the cooperatives in each of these subdistricts are very similar, covering production, post harvest management and housing. In the production process, for example, farmer members of the cooperatives and farmer groups adopt internal control systems to ensure that the cocoa they produce meets the standards of their largest buyer, PT Armajaro Indonesia. Not only have there been changes to the production process, the post harvest management of the farmers’ cocoa has changed too. In the past, the farmers would simply spread their cocoa out at the roadside to dry, but now they use racks, without roofs. However, some
journey from Polewali, 89 farmers are members of the cooperative. They come from 1 4 farmer groups across the subdistrict. These farmer groups are the smallest units of the cooperative, which then join together in one cooperative at the subdistrict level. The main source of the cooperative’s capital is members’ subscriptions. Member farmers are obliged to save a certain amount, which differs from one cooperative to another. In the Mitra Agribisinis Kakao cooperative, for example, the membership fee is IDR 1 00,000 and the monthly subscription IDR 5,000. The
Muhajir]
Reportase also use solar dryers, which have plastic roofs.
Zero Interest
As well as supporting the production and post-harvest management processes, the cooperative is also a business unit. One of the businesses it runs is supplying rice. According to Tani Amanah Chair Hassani, rice is in high demand among local farmers because almost none of them produce it. “ All the farmers here are cocoa farmers, not rice farmers. So, they depend on supplies of rice from outside,” said Hassani. Every month, the Amanah cooperative sells around 2 tons of rice to consumers. It is not only members that buy or borrow rice at the cooperative. Nonmember farmers can also purchase rice, at a different price. Usually, they purchase rice in 25 kg sacks. For members, the price is IDR 1 35,000 cash and IDR 1 40,000 credit; for non-members, it is IDR 1 40,000 cash and IDR 1 47,000 credit. The cooperative also runs a credit union that loans money to members at no interest. According to Lewa, if you borrow from a middleman, the amount owed invariably goes up. For example, a IDR 1 35,000 loan from a middleman can end up being IDR 1 50,000. These loans are important for the farmers, especially before the cocoa has been harvested or if the harvest has been delayed, like
now. Today, Lewa can just borrow from the cooperative and repay the loan when harvest time arrives. Through the cooperative, the farmers are also doing collective marketing. They market their cocoa through the cooperative to sell to PT Armajaro Indonesia. They do this in Luyo and Mapilli, for example. This means that sales and prices are more stable. “They get more profit by selling commodities through collective marketing. Proof of that is the better housing and vehicles they now have,” said Muhammad Akil, Director of Wasiat.
Capital Assistance
This improvement in the condition of the farmers in Polman coincided with the farmers’ awareness of the need for change. Amanah and Wasiat motivated this change. VECO Indonesia has been supporting Amanah and Wasiat programs since early 201 0. This year, its support continues through various programs, including monthly group management training and marketing management training. According to Akil, these activities aim to give farmers a better understanding of marketing theory and practice. Akil added that the support Wasiat provides the farmers is basically technical assistance, facilitation and interaction. The technical assistance is related to the production process, including grafting and pruning. Interaction is developed to
build solidarity between farmers, for example through routine meetings. Facilitation takes the form of supporting farmers to design proposals and plan activities. Though this support, cocoa farmers in Polman continue to change for the better. Amanah and Wasiat are now known not only in Polman, but also in other locations. The managers of these organisations are giving training to a growing number of farmer groups in other areas. One of their biggest achievements has been securing capital assistance from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises. This assistance is given to just three provinces in Indonesia, including West Sulawesi. Amanah was chosen as the West Sulawesi recipient of this assistance. According to Rauf, this assistance will answer one of the problems that Amanah and Wasiat have had so far – a shortage of capital. “Amanah has been unable to compete because it has less capital behind it than the middlemen do,” he explained. Today, Amanah manages funds of around IDR 600 million from member farmers. And with the additional IDR 9.4 billion from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises, they will be mobilising funds of IDR 1 0 billion through the cooperative. These funds will then be circulated, by the farmers, for the farmers. [Anton
Muhajir]
Foto: Anton Muhajir
LONTAR - #2 - 2011
7
Reportase
Membangun Rumah Kini Lebih Mudah Melalui koperasi tani, petani kakao Polman tak hanya mencukupi kebutuhan pangan tapi juga perumahan. DALAM Bahasa Mandar, mala'bi berarti andalan. Karena berharap kelompok taninya bisa jadi andalan bagi anggota, maka petani kakao di Dusung Taheo, Desa Tapango Barat, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar) memberikan nama Kakao Mala'bi untuk kelompok mereka. “Kami berharap kelompok tani ini bisa menyejahterakan anggota sekaligus sebagai media komunikasi antarpetani,” kata Syaruddin, Ketua Kelompok Tani Kakao Mala'bi akhir April lalu. Melalui kelompok tani ini, sebanyak 25 anggota melakukan kegiatan bersama dalam produksi kakao. Kegiatan tersebut, misalnya, pemangkasan, pemupukan, panen sering dan sanitasi (P3S) di kebun. “Sebelum ada kelompok, kami tidak pernah gotong royong di kebun,” tambah Syaruddin. Melalui kerja kelompok tersebut, petani kini mengaku pekerjaan jadi lebih mudah. Hasilnya, pekerjaan lebih lancar. Kebun kakao juga lebih rapi sehingga produksi kakao lebih melimpah. Mudah
Jika kelompok tani lebih fokus pada proses produksi, maka koperasi tani lebih berfungsi pada usaha bisnis. Petani setempat bergabung dengan Koperasi Mitra Agribisnis Kakao di tingkat kecamatan. Koperasi ini merupakan simpul dari Pusat Koperasi Tani (Puskoptan) Amanah di Kecamatan Tapango. Menurut Muhiddin, Ketua Koperasi Mitra Agribisnis Kakao, kegiatan koperasi ini antara lain untuk simpan pinjam, pemasaran bersama, pengadaan beras, serta pembangunan rumah. Pinjaman perumahan berupa pemberian pinjaman modal antara Rp 5 juta hingga Rp 1 0 juta untuk perumahan, baik membangun rumah maupun renovasi. Muhiddin menambahkan, biaya pembangunan rumah rata-rata Rp 40 juta. Maka, lanjutnya, Rp 5 – Rp 1 0 juta sudah sangat membantu bagi petani. Foto: Anton Muhajir
8
LONTAR - #2 - 2011
Sahid, petani di Desa Rappang Barat, Kecamatan Mappili, salah satu petani yang meminjam modal tersebut. Dia menggunakan pinjaman tersebut untuk memperbaiki rumahnya. “Pinjam uang ke koperasi lebih mudah daripada ke tengkulak,” ujarnya. Dia menambahkan, kalau pinjam ke tengkulak mereka harus menjadikan kakaonya sebagai jaminan. Akibatnya, saat panen mereka tak bisa menjual ke pembeli lain meskipun harga di tengkulak lebih rendah. Selain prosesnya lebih mudah, menurut Sahid, pembayaran pinjaman ke koperasi juga lebih mudah. Dia membayar dengan cara mengangsur sebanyak delapan kali tiap kali musim panen atau enam bulan sekali. Besarnya cicilan tersebut Rp 1 ,25 juta. Tiap bulan dia membayar bunga Rp 29.500. “Bunganya kecil,” tambahnya. Jika Sahid hanya meminjam Rp 5 juta untuk renovasi rumah, maka Lewardi meminjam uang untuk membangun rumah dari awal. Anggota Kelompok Tani Ujung Batu Panga, Desa Batu Panga Daala, Kecamatan Luyo ini meminjam Rp 1 0 juta dari Koperasi Amanah. Dia membangun rumah sendiri persis di samping rumah keluarga tersebut
Foto: Anton Muhajir
dengan modal pinjaman dari koperasi. Tiap bulan, Lewardi mengangsur Rp 59.000 sebagai bunga. Adapun angsuran pokoknya dia bayar Rp 2,5 juta per enam bulan selama dua tahun. “Pinjam ke koperasi lebih mudah,” ujarnya. Seperti halnya Sahid, petani lain di Desa Batu Panga Daala juga dulunya harus menggadaikan kakaonya di kebun pada tengkulak ketika harus meminjam uang untuk pembangunan rumah. Karena terikat jeratan tengkulak, petani merelakan saja kakaonya ketika dibeli dengan harga lebih rendah dibanding harga pasar. Misalnya Rp 1 9.000 per
kilogram dari standar harga pasar Rp 23.000. “Pemotongan berat kakao juga sering tidak jelas. Kami bawa 1 0 kilogram, tapi cuma dibayar 8 kilogram,” ujar Lewa.
Building Homes is Easier
Muhiddin added, the average cost of building a house is IDR 40 million, so a loan of IDR 5 – 1 0 million is very useful for the farmers. Sahid, from West Rappang village, Mappili subdistrict, is one farmer who has taken out this kind of loan. He used to renovate his house. “It’s easier to borrow money from the cooperative than from a middleman,” he explained. He added that if a farmer borrows from a middleman, he has to put his cocoa up as collateral. Which means that at harvest time, the farmer has no choice but to sell his cocoa to the middleman at a lower price. As well as the process being easier, Sahid said that repayment of the loan to the cooperative was easier, too. He repays the loan in eight instalments of IDR 1 .25 million, once every harvest season or every six months. Every month he pays interest of IDR 29,500. “The interest is low,” he added. While Sahid borrowed IDR 5 million to renovate his house, Lewardi borrowed money to build a house from scratch. This member of the Ujung Batu Panga
Through farmer cooperatives, Polman cocoa farmers not only get the food they need, but houses too.
IN Mandar, mala’bi means dependable. Because they want their group to offer its members dependability, the cocoa farmers in Taheo, West Tapango Village, in the Tapango Subdistrict of Polewali Mandar (Polman), West Sulawesi named their group Kakoa Mala’bi. “We hope that this farmer group can improve the welfare of the members and act as a media for communication between farmers,” said Syaruddin, Chair of the Kakao Mala’bi farmer group, April. Through this farmer group, the 25 members conduct collective cocoa production activities. These activities include pruning, fertilising, collective harvesting and sanitation in the gardens. “Before there was a group, we never worked together in the gardens,” added Syaruddin. Through this group work, the farmers
acknowledge that this group work makes their work easier. They work more efficiently. And the cocoa gardens are tidier so cocoa production has increased.
Easy
While the farmer groups focus on the production process, the farmer cooperative deals with the business side. Local farmer are members of the Mitra Agribisnis Kakao cooperative at the subdistrict level. This cooperative is a cluster of the Amanah central farmer cooperative in Tapango subdistrict. According to Muhiddin, chair of the Mitra Agribisnis Kakao cooperative, the cooperative’s activities include a credit union, collective marketing, rice supply, and house building. House loans are capital loans of between IDR 5 million and IDR 1 0 million, for building or renovating houses.
Gratis
Kredit perumahan program Koperasi Amanah sejak Oktober 2009. Menurut Ketua Koperasi Amanah, Hassani, inisiatif program ini muncul ketika pengurus Amanah dan Wasiat melihat peluang program ini dari Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Polman. Lembaga ini menyalurkan kredit perumahan Kementerian Perumahan
LONTAR - #2 - 2011
9
Reportase Rakyat (Kemenpera), termasuk untuk petani. Amanah, yang saat itu masih berstatus sebagai Koperasi Serba Usaha (KSU) sebelum berganti jadi Puskoptan, mengajukan proposal sebagai lembaga penyalur kredit. Proposal diterima. Maka, mulailah Amanah menyalurkan kredit tersebut kepada petani-petani anggotanya yang tersebar di lima kecamatan lokasi program. Meski demikian, menurut Hassani, petani anggota tetap harus melewati dua tahap untuk bisa mendapatkan kredit tersebut. Pertama, proses administrasi. Misalnya kesiapan lokasi untuk pembangunan rumah. Setelah tahap ini selesai, barulah mulai tahap kedua, pembayaran yang dilakukan dua kali. Pembayaran pertama separuh dari farmer group in Batu Panga Daala village, Luyo subdistrict, borrowed IDR 1 0 million from the Amanah cooperative. He built his own house next door to his family home, using this capital loan from the cooperative. Every month, Lewardi pays IDR 59,000 in interest. He is paying off the loan principal at IDR 2.5 million every six months over two years. “Borrowing from the cooperative is easier,” he said. Like Sahid, other farmers in Batu Panga Daala also used to have to pledge their cocoa growing in the fields to middlemen when they wanted to borrow money to build a house. Caught in the grip of the middleman, the farmers had no choice but to sell their cocoa at lower than market price, for example at IDR 1 9,000 per kg when the market price was IDR 23,000. “We would often get cheated on the weight too. We’d take along 1 0 kilogrammes, but only get paid for eight,” said Lewa.
Free
The Amanah cooperative housing loan program has been running since October 2009. According to Amanah chair Hassani, this initiative came about when the managers of Amanah and Wasiat saw an opportunity for this program from the Polman district development planning agency. This agency disburses housing loans from the Ministry of People’s Housing, for, among others, farmers. Amanah, which at that time was still a multi-business cooperative prior to its
10
LONTAR - #2 - 2011
..Keberhasilan ini merupakan dampak dari semakin menguatnya kapasitas petani.. seluruh pinjaman, Rp 5 juta, diberikan terlebih dulu. Setelah pembangunan berjalan 30 persen, uang yang Rp 5 juta lagi kemudian dipinjamkan. Sejak berjalan mulai dua tahun lalu, hingga saat ini sudah ada 1 00 rumah yang dibangun dari kredit perumahan ini. Sedangkan untuk renovasi rumah sudah ada 67 rumah. Total dana yang sudah digulirkan untuk kredit perumahan Rp 1 ,2 milyar. “Kami juga mengembangkan program ini ke satu kecamatan lagi, Campalagian,” kata Sani. Selain berhasil mendukung petani
becoming a central farmer cooperative, submitted a proposal to act as a loan disbursement agency. The proposal was accepted, and Amanah began disbursing loans to its farmer members in the five subdistricts targeted by the program. However, according to Hassani, farmer members must still go through two stages to be eligible for these loans. First is the administration process. The location where the house is to be built has to be ready, for example. Once this process is complete, the second stage begins: the payment of the loan in two instalments. The first instalment of IDR 5 million, or half the loan, is given first. When 30 percent of the construction is complete, the remaining IDR 5 million is loaned. Since the scheme began two years ago, 1 00 houses have been built using these housing loans, and 67 houses have been renovated. A total of IDR 1 .2
untuk mewujudkan perumahan yang lebih baik, program ini juga bisa menarik petani lain untuk bergabung dalam kelompok tani ataupun koperasi di tingkat kecamatan. Keberhasilan lain, menurut Sani, adalah pengakuan dari Bappeda bahwa selama dua tahun berjalan, program ini dianggap sebagai Bappeda Polman sebagai program perumahan terbaik di tingkat kabupaten. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun memberikan sertifikat gratis untuk rumah-rumah yang dibangun ataupun direnovasi tersebut. “Keberhasilan ini merupakan dampak dari semakin menguatnya kapasitas petani, seperti yang selama ini diperjuangkan Amanah, Wasiat, dan VECO Indonesia,” ujar Sani. [Anton Muhajir]
Foto: Anton Muhajir
billion in housing loans has been disbursed. “We are also developing this program in another subdistrict, Campalagian,” said Sani. As well as helping farmers to improve their houses, this program also attracts other farmers to join farmer groups or cooperatives at the subdistrict level. Another success, according to Sani, has been Polman district development planning agency’s recognition of this program as the best housing loan program in the district. The government, through the National Land Agency, has even provided certificates free of charge for the houses built and renovated under this scheme. “This success is an impact of the increasing capacity of the farmers, which is what Amanah, Wasiat, and VECO Indonesia have been working towards all this time,” said Sani. [Anton Muhajir]
Kelompok Tani
Merintis Mbay Menuju Kawasan Organik
Foto-foto: Fransisca Renggo
Kelompok Perintis IV salah satu kelompok anggota Asosiasi Petani Organik Mbay (ATOM). Kelompok berada di Desa Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kelompok yang terbentuk pada 1980an ini beranggotakan 11 orang. Ketuanya Oscardus Dao. SEPERTI petani sawah lain di kawasan Mbay, anggota kelompok ini awalnya tergantung pada asupan kimia dengan dosis cukup tinggi untuk mengolah sawah. Bukannya bertambah, hasil panen mereka malah berkurang. Ketika belum menggunakan asupan kimia panen mereka berkisar 8-9 ton per hektar. Namun, saat menggunakan asupan kimia justru menurunkan panen mereka hingga tinggal 3-4 ton per hektar. Bahkan, mereka pernah hampir gagal panen. Sesuai namanya, kelompok ini salah satu perintis program untuk mewujudkan kawasan irigasi Mbay sebagai kawasan organik seperti tujuan ATOM. Program pertanian organik di kawasan ini pun dilaksanakan bekerja sama dengan Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Flores, VECO Indonesia, dan Dinas Pertanian Kabupaten Nagekeo. Langkah awal mereka adalah dengan mulai terlibat dalam kegiatan ATOM, seperti pertemuan bulanan, pertemuan semesteran, maupun pemasaran bersama. Penggilingan milik salah satu anggota pun dipakai khusus menggiling padi organik anggota ATOM. Bahkan 2 orang anggota Kelompok Perintis IV pun terlibat sebagai pengurus di ATOM. Pada kegiatan Evaluasi dan Perencanaan (Evaperca) ATOM Desember tahun lalu, Kelompok Perintis IV menargetkan 60 persen anggotanya sudah mengembangkan pertanian organik, baik murni maupun semi. Untuk mencapai target, pengurus kelompok membuat rencana pembuatan pupuk bokashi di tingkat
Kelompok Perintis IV
Berdiri : Juni 1 980. Jumlah Anggota 1 1 orang. Alamat : Desa Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Telp. : 0821 47544624. kelompok secara bersama-sama. Setiap anggota wajib terlibat dalam pembuatan pupuk. Setiap hari dijatahkan pembuatan pupuk untuk 1 anggota. Mereka secara bersama-sama mengumpulkan bahanbahan yang dibutuhkan. Karena kebutuhan kotoran ternak sangat banyak sedangkan kelompok tidak memiliki ternak, maka mereka membeli kotoran ternak pada peternakan kambing di tempat lain. Kelompok pun tidak lagi kesulitan membuat pupuk. Mereka bisa membuat sesuai keinginan mereka. Hasilnya, anggota kelompok sudah
memiliki pupuk bokashi. Masing-masing berkisar 8-1 5 ton. Total pupuk bokashi yang dihasilkan semua anggota sebanyak 1 08 ton. Selain itu mereka juga membuat pupuk cair dan pestisida organik sebanyak 2.500 liter. Luas lahan miliki 1 1 anggota sekitar 1 5 hektar. Jika kebutuhan pupuk bokashinya 4 ton per hektar, maka jumlah yang dibutuhkan hanya 60 ton. Karena itu, pupuk yang dihasilkan masing-masing anggota bisa dipakai untuk 2 bahkan 3 musim tanam ke depan. Namun, berdasarkan kesepakatan anggota kelompok, pupuk yang ada akan dijual melalui outlet ATOM. Uangnya kemudian digunakan sebagai modal kelompok. Salah satunya sebagai modal talangan pemasaran beras organik di tingkat kelompok. Sedangkan untuk kebutuhan pada musim tanam berikut, anggota akan terus memproduksi bokashi. Dengan penggunaan pupuk bokashi tersebut, padi milik anggota jadi lebih subur. Sebagai conntoh jumlah anakannya 30-90 batang dengan ukuran lebih. Padahal di tempat lain, jumlah anakan maksimal 20 batang dengan ukuran lebih kecil. Meski demikian, penggunaan pupuk organik juga menghadapi tantangan berupa banyaknya gulma. Untuk itu, kelompok mengembangkan kembali kebiasaan yang pernah hilang yaitu melakukan perendaman sawah setelah 5 hari penanaman dengan tinggi air 5 cm. Proses ini selama 1 minggu. Hasilnya, petani tidak direpotkan dengan penyiangan rumput lagi. Sampai saat ini Kelompok Perintis IV benar-benar mengembangkan pertanian organik murni. Artinya, target yang direncanakan pada Evaperca sudah dicapai bahkan melebihi target. Untuk mendukung keberlanjutan kelompok membuat aturan, barang siapa melanggar aturan ini, dia akan dikeluarkan dari keanggotaan. [Fransisca Renggo, Pelaksana Program VECO Indonesia di NTT2]
LONTAR - #2 - 2011
11
Kabar VECO Indonesia
Merumuskan Keberlanjutan Dukungan untuk Pertanian DUA kantor regional Vredeseilanden, yaitu VECO Indonesia dan VECO Vietnam, mengikuti Regional Learning Initiative (RELI) di Denpasar pada 4-6 Mei lalu. Lokakarya juga diikuti peserta dari Kantor Pusat Vredeselanden Belgia. Selain workshop, RELI dilanjutkan dengan kunjungan belajar dari tim VECO Vietnam dan Vredeseilanden ke dua lokasi, Boyolali, Jawa Tengah dan Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam workshop di Sanur, Bali peserta mengidentifikasi program maupun kegiatan VECO yang sudah memenuhi kriteria keberlanjutan selain juga yang sebaliknya. Karen Janssens, Koordinator Advokasi Vredeseilanden menyatakan, meskipun menjadi salah satu kegiatan yang berperan dalam krisis, pertanian juga bisa menjadi solusi dari krisis tersebut.
Foto: Anton Muhajir
Belajar Memantau Dampak Program
Foto: Anton Muhajir
VECO Indonesia mengikuti lokakarya Pemantauan dan Pendokumentasian Dampak dan Pengaruh Program Mitra Misereor se-Indonesia akhir Mei dan awal Juni lalu di Cilacap, Jawa Tengah. Lokakarya empat hari ini diikuti mitra Misereor dari seluruh Indonesia, seperti Jambi, Bogor, Jakarta, Cilacap, Yogyakarta, Sumba, Papua, dan lain-lain. Selain mendiskusikan secara teoritis tentang orientasi efek dalam program, sekitar 20 peserta lokakarya juga melakukan kunjungan lokasi program Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), tuan rumah lokakarya ini. Kunjungan ini sebagai praktik sekaligus bahan diskusi agar peserta bisa mengidentifikasi efek program baik itu output, outcome, maupun impact.
Mahasiswa Belgia Magang di VECO Indonesia Dua mahasiswa jurusan komunikasi dari Belgia, Eline van Laeken dan Charlotte Bogaerts, magang di VECO Indonesia selama tiga bulan sejak April hingga awal Juni lalu. Dua mahasiswa ini terutama membantu program baru di VECO Indonesia yaitu Healthy Food Healthy Living (HFHL), program kampanye pangan sehat untuk kalangan anak muda. Bersama anak-anak muda Duta Pangan Sehat VECO Indonesia dan Tim HFHL, Charlotte dan Eline membantu mendesain materi komunikasi untuk program ini. Mereka juga terlibat dalam kampanye ke sekolah, radio, dan komunitas lain terkait program HFHL ini baik di Bali maupun Solo, dua lokasi program HFHL. Selain itu, dua mahasiswa tersebut juga membantu mengelola jejaring sosial VECO Indonesia.
12
LONTAR - #2 - 2011
Foto: Dok. Pribadi
Kabar VECO Indonesia
Kursus Kinerja Organisasi Petani
Foto: Henderikus Gego
DUA staf VECO Indonesia, Imam Suharto dan Henderikus AM Gego, mengikuti kursus yang diadakan Universitas Wageningen dan Agritera di Wageningen, Belanda. Tema kursus ini adalah mengoptimalkan kinerja organisasi produsen. Kursus pada 21 Februari hingga 4 Maret 201 1 ini diikuti sembilan peserta dari Indonesia, Zambia, Uganda, Kenya, Belgia, dan Belanda. Selain belajar di kelas, peserta juga melakukan melakukan kunjungan lapangan ke beberapa keluarga petani di Belanda. Petani yang dikunjungi ini, antara lain petani penghasil daging, penghasil buah dan sayur, penghasil susu, serta pertanian lahan subur. Hasil kunjungan lalu didiskusikan sebagai bahan refleksi dan pembelajaran peserta.
Dan, HFHL pun Diluncurkan VECO Indonesia secara resmi melakukan peluncuran program Healthy Food Healthy Living (HFHL) pada 1 2 Juni 201 1 lalu di Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Peluncuran ini dihadiri sekitar 1 00 peserta terutama dari kalangan anak muda, sasaran utama program pangan sehat ini. Hadir pula Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan jajaran pejabat Provinsi Bali lain. Peluncuran ditandai dengan penanaman bibit, seperti cabai, ketela, dan lain-lain bersama-sama oleh para undangan. Melalui program ini, VECO Indonesia ingin mengajak anak muda di Indonesia, terutama Bali dan Solo, agar lebih memerhatikan pangan sehat di antara makin maraknya pangan dengan bahan kimia berbahaya.
Foto: Anton Muhajir
Melanjutkan Kerjasama Penanganan Kakao
Foto: Dok. PT Armajaro
VECO Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding - MoU) dengan dua perusahaan swasta penanganan kakao, yaitu PT Armajaro Indonesia dan PT Mars Symbioscience Indonesia. Penandatanganan di tempat dan waktu berbeda, dengan PT Armajaro di Kuta, Bali pada 27 Februari sedangkan dengan PT Mars pada awal Maret di Makassar, Sulawesi Selatan. Keduanya merupakan perusahaan pengolahan kakao terkemuka di dunia. Penandatanganan MoU ini melanjutkan kerjasama untuk mewujudkan petani terorganisir dan mandiri. VECO Indonesia dan kedua perusahaan sepakat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kakao petani mitra VECO Indonesia, baik di Sulawesi maupun Flores. Peningkatan ini berdasarkan pada prinsip keberlanjutan dan berdampak secara langsung pada peningkatan taraf hidup petani. LONTAR - #2 - 2011
13
Kabar Mitra
Agar Pengelolaan Keuangan Lebih Transparan
Foto: Anton Muhajir
MITRA VECO Indonesia dari seluruh lokasi program, yaitu Jakarta, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan mitra di Bali pada Juni lalu. Kegiatan ini diikuti 26 peserta dari lembaga yang berbeda, baik organisasi petani maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selama empat hari pelatihan para peserta jenis laporan keuangan dan mekanisme pembuatan laporan, manajemen keuangan bagi organisasi, perencanaan dan anggaran, sistem akuntansi, serta pengendalian internal. Selain belajar teori, peserta juga melakukan latihan didampingi staf Bagian Keuangan VECO Indonesia, Slamet Pribadi, Komang Suryawan, dan Kadek Sri Rahayu.
Belajar Bersama Kontrol Internal WAHANA Sukses Pertanian Terpandang (Wasiat) Polewali Mandar (Polman) mengadakan pelatihan internal control system (ICS) di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat akhir April lalu. Pelatihan yang diadakan di Kecamatan Luyo dan Kecamatan Tapango ini diikuti perwakilan 32 kelompok tani di lima kecamatan wilayah anggota Pusat Koperasi Tani Amanah. Selama pelatihan satu hari ini, peserta belajar antara lain tentang penanganan pohon kakao dengan memerhatikan standar keselamatan hingga belajar tentang manajemen kelompok. Misalnya, penggunaan bahan kimia secara tepat jenis, dosis, waktu, sasaran, dan penerapan. Dengan demikian, peserta akan bisa memproduksi kakao ramah lingkungan. Foto: Anton Muhajir
Membekali Konsumen tentang Pangan Sehat
14
Foto: Konsorsium Solo Raya
LONTAR - #2 - 2011
BERTEMPAT di balai pertemuan warga Purwotomom, Kecamatan Laweyan, Surakarta, Konsorsium Solo Raya (KSR) menyelenggarakan pelatihan untuk kader pangan sehat akhir Maret lalu. Pelatihan yang diikuti 20 ibu dari perwakilan kader kelompok konsumen di Kota Solo dan Boyolali ini untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan memahami pangan sehat yang dikaitkan dengan harmoni dan keselarasan alam. Pelatihan sejak pagi hingga sore ini membekali peserta dengan beberapa materi, antara lain tentang proses budidaya pangan organik, perlindungan konsumen terkait hak dan kewajiban seorang konsumen, dan tehnik dasar dalam memfasilitasi. Peserta juga belajar tentang UU Perlindungan konsumen No. 8 tahun 1 999 agar paham tentang hak dan kewajiban konsumen.
Kabar Mitra
Kios Organik Bali Pindah Alamat KONSORSIUM Penyadaran Konsumen Bali pindah kantor sekaligus outlet sejak akhir Mei 201 1 lalu. Dari semula berada satu kantor dengan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali di Jl Hang Tuah, Denpasar, kantor baru sekarang pindah di sekretariat Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) di Sanur, sekitar 1 km dari kantor lama. Kios Organik ini merupakan salah satu upaya Konsorsium Bali untuk menyediakan produk pangan organik kepada konsumen. Sebab, salah satu tantangan dalam program penyadaran konsumen pangan sehat selama ini adalah kurangnya kios penjual pangan organik. Selain itu, Konsorsium Bali juga melaksanakan diskusi bulanan dan kampanye ke sekolah-sekolah. Foto: Anton Muhajir
Melatih Petani agar Melek Teknologi
Foto: Anton Muhajir
MITRA VECO Indonesia di wilayah program Nusa Tenggara Timur (NTT), baik di Flores maupun Timor, mengikuti pelatihan internet untuk publikasi pada Maret 201 1 lalu di Ende, Flores. Pelatihan diikuti peserta organisasi petani, seperti Jaringan Petani Wulang Gitan (Jantan), Perhimpunan Petani Watuata (Permata), Asosiasi Petani Bituna, dan lainlain. Dalam pelatihan selama empat hari itu, peserta belajar tentang jurnalistik dasar maupun internet. Selain belajar teori, peserta juga langsung mempraktikkan keterampilan baru tersebut dengan pendampingan dari fasilitator dari VECO Indonesia dan Sloka Institute. Peserta diharapkan lebih bisa menggunakan internet untuk komunikasi maupun publikasi.
Sekolah Lapang Petani Kakao Ende ASOSIASI Petani Kakao Nanga Panda (Sikap) dan VECO Indonesia mengadakan Sekolah Lapang (SL) Kakao di Kecamatan Nanga Panda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir Mei lalu. Kegiatan terbagi jadi dua, yaitu SL Kakao dan pelatihan pembuatan rencana usaha (business plan). Kegiatan ini diikuti peserta dari petani anggota Tim Pasar Desa (TPD), perwakilan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dan petugas penyuluh lapangan (PPL). Adapun pemateri dari PT Mars Symbiosis Indonesia, perusahaan pengolahan kakao di Flores, yaitu Bonni Hayong dan Yanes Gelir. Hadir pula empat Kepala Desa di Kecamatan Nanga Panda dalam kegiatan ini. Foto: Maria Patrisia B.
LONTAR - #2 - 2011
15
Kabar Internasional
Pertanian Berkelanjutan untuk Atasi Kelaparan KANTOR pusat Vredeseilanden di Belgia bersama tiga lembaga lain, yaitu 1 1 .1 1 .1 1 , Broederlijk Delen dan Oxfam Belgia, terus mendorong agar isu kelaparan tidak dicampuradukkan dengan produk transgenik atau genetically modified organism (GMO). Meskipun bisa meningkatkan jumlah produksi, produk transgenik tak bisa menjawab kelaparan dunia saat ini. Sembilan puluh persen tanaman transgenik saat ini tumbuh di Amerika Serikat, Brasil, Argentina dan Kanada. Fokus utama mereka adalah jagung (untuk pakan ternak dan etanol), kedelai (untuk pakan ternak) dan kapas. Hanya sepuluh perusahaan mengontrol pasar benih transgenik serta produk agrokimia terkait di seluruh dunia. Akibatnya, sebagai ilustrasi, ketergantungan pada kedelai Monsanto di Amerika Latin menjadi kian besar. Di sisi lain, transgenik dirancang untuk digunakan dalam model pertanian intensif yang menggunakan asupan energi, bahan dan modal dari luar. Model ini tidak seimbang dengan ekosistem lokal dan menyebabkan emisi penyumbang jumlah besar pada gas rumah kaca. Produk transgenik sendiri mewakli kesukesan model komersial dari sejum-
16
LONTAR - #2 - 2011
lah perusahaan besar. Karena itu, sangat tidak masuk akal jika tanaman transgenik baru ini bisa sesuai dengan sistem pertanian ekologis. Mereka tidak dirancang dengan baik untuk orang miskin. Di sisi lain, produksi pangan dunia saat ini sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan pangan tiap orang. Warga dunia yang kelaparan saat ini, sekitar 1 milyar, tak bisa mengakses pangan karena menghadapi masalah utama lain, kemiskinan.
Foto-foto: Vredeseilanden
Orang-orang kelaparan di dunia biasanya orang-orang miskin. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah pinggiran. Karena itu, mendorong pertanian berkelanjutan bisa menjadi salah satu solusi. Pelapor Khusus PBB untuk Hak Atas Pangan baru-baru ini menyatakan, bertaruh pada peningkatan produksi saja tidak akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan melawan kelaparan dan kekurangan gizi jika tidak dikombinasikan dengan pendapatan lebih tinggi bagi masyarakat miskin, terutama bagi keluarga petani kecil di Selatan. Karena itu, perlu investasi di bidang pertanian berkelanjutan. Dengan demikian produksi pangan dapat meningkat pesat, pendapatan orang miskin pun naik, dan kerusakan lingkungan bisa dicegah. Dengan cara itu, upaya melawan kemiskinan dan produksi pangan bisa saling terhubung. Saat ini, kami mendukung visi tersebut, antara lain melalui sejumlah publikasi terkait isu tersebut, seperti laporan International Assessment of Agricultural Science and Technology for Development (IAASTD) pada 2008 atau laporan dari Pelapor Khusus PBB untuk Hak Atas Pangan tahun ini. (1 1 .1 1 .1 1 , Broederlijk Delen,
Oxfam Belgium, Vredeseilanden)
Kabar Internasional
Akhirnya, Kongo Miliki Undangundang Pertanian
Foto-foto: VECO Kongo
PARLEMEN Kongo akhirnya membuat Undang-undang (UU) di bidang pertanian. Peraturan ini merupakan produk hukum tentang pertanian yang mereka sahkan pertama kalinya. Sekitar 70 persen warga Kongo hidup dari pertanian. Sektor ini menyumbang pendapatan terbesar dibanding, misalnya, sektor pertambangan. Meski demikian, setiap tahunnya tak kurang dari 640.000 ton bahan pangan harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan pangan Kinshasa, ibukota Kongo, dan sekitarnya. Karena itu, UU Pertanian diharapkan bisa membawa perubahan. Peraturan baru di Kongo ini mengatur tentang pertanian keluarga. Hal ini merupakan bukti dukungan pemerintah Kongo pada pertanian keluarga sebagai salah satu pilar ekonomi. Dan, ini merupakan sektor baru di masa depan. Namun, akibat perbedaan agrososial dan ekologis tiap provinsi, maka masingmasing provinsi sekarang bertugas mendefinisikan hal apa yang mungkin bisa diterapkan di setiap provinsi terkait UU ini. UU baru ini membawa banyak perubahan positif. Antara lain dengan adanya tim khusus untuk menangani isu pertanian di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah. Saat ini ada kewajiban tiap wilayah untuk memperkirakan anggaran
pembangunan serta pemeliharaan jalan dan infrastruktur pertanian. Sekarang, Pemerintah nasional mengalokasikan anggaran pembangunan pertanian, pembebasan bea impor untuk semua sarana produksi pertanian; serta melakukan studi dampak lingkungan untuk perusahaan besar. Namun, apakah dengan demikian berarti masa depan keluarga petani telah terjamin? Masih jauh. Masih banyak tantangan untuk mewujudkan kemenangan petani yang kini sudah mulai terorganisir secara politik. Poin terpenting, keputusan pemerintah provinsi harus diuraikan lebih jelas dengan mempertimbangkan kepentingan petani. Jika itu tidak terjadi, UU akan tetap menjadi surat kosong tanpa guna sama sekali. Selain itu, UU ini juga harus didu-
kung oleh peraturan lain yang terkait. Misalnya, UU tentang peternakan, peraturan yang mengatur hak atas tanah, kebijakan benih, dan lain-lain. Harus ada harmonisasi UU Pertanian dengan UU tentang pertambangan, kehutanan, investasi, energi, dan lainlain. Sebab, saat ini masih banyak kontradiksi. Akhirnya, pemerintah saat ini juga harus bekerja keras pada pemilu lokal pada 201 3 nanti. Untuk mendukung perjuangan ini, telah ada Tim Lobi yang bekerja dari Desember sampai pertengahan Januari dan dari akhir Maret sampai awal Mei. Tanpa Tim Lobi ini tidak akan ada UU Pertanian ini. AgriCongo, aliansi enam lembaga swadaya masyarakat Belgia, di mana Vredeseilanden menjadi salah satu di antara mereka, juga mengerti bahwa dengan bantuan donor seperti IFDC sangat mungkin mengumpulkan sumber daya sebagai bagian dari Tim Lobi. Tantangannya sekarang adalah memfasilitasi perwakilan permanen organisasi petani secara struktural. Dengan cara itu, organisasi petani akan memiliki pengaruh tetap di ibu kota dan sekaligus menjadi modal mereka juga. ( Ivan Godfroid , pekerja Vredeseilanden di Kongo)
LONTAR - #2 - 2011
17
Profil
Foto: Anton Muhajir
Hengki Sempat Degdegan Ketika ke Lapangan Di antara para staf VECO Indonesia saat ini, Henderikus Apolinarius Meo Gego salah satu staf terlama masa bekerjanya. Koordinator Program VECO Indonesia di NTT 1 ini bercerita suka dukanya bekerja di VECO Indonesia sejak 1998, termasuk kursus singkatnya di Universitas Wageningen, Belanda Maret lalu. Awal mula bisa terlibat di VECO Indonesia?
Saya kenal VECO Indonesia, waktu itu masih bernama FADO, pada tahun 1 998 dari dosen saya di kampus, Dr. Elske van de Fliert. Awalnya, saat masih kuliah, saya melamar sebagai tenaga lapangan. Tapi, tidak lolos. Tamat kuliah saya melamar lagi dan diterima sebagai staf percobaan. Setelah setahun bekerja, saya baru menjadi asisten Pelaksana Program (PP) di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa, dan Maluku bersama para PP senior waktu itu, Pak Imam (Suharto), Pak (Gede) Suarja dan Pak Hartanto. Bersama Pak Paul Boon (CR FADO waktu itu), mereka semua membina saya akhirnya bertahan di VECO Indonesia hingga saat ini.
Apa beda VECO Indonesia saat ini dibanding pada zaman FADO?
Wah, banyak bedanya. Tetapi, secara prinsipil saya lihat ada dua yang menonjol, yaitu perbedaan fokus program dan pola serta cara kerjanya. Ketika zaman FADO, materi program lebih banyak pada aspek teknis low external input for sustainable agriculture (LEISA) atau pertanian berkelanjutan. Kegiatan konservasi tanah dan air, penguatan kelompok tani, dan simpan pinjam menjadi program utama. Sejak merger menjadi VECO pada tahun 2001 , pertanian berkelanjutan yang dikembangkan tidak hanya ber-
18
LONTAR - #2 - 2011
dimensi teknis tapi juga advokasi. Makanya pelatihan-pelatihan community organizer, advokasi, kursus agraria banyak dibuat saat itu bekerja sama dengan lembaga lain. Sejak tahun 2008 hingga sekarang, VECO Indonesia mulai lebih fokus pada rantai pertanian berkelanjutan dengan fokus pada komoditi tertentu tidak lagi hanya teknis produksi. Mitra kerja juga mulai beralih. Semula lebih banyak ke lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tapi, sekarang lebih fokus pada organisasi petani.
Paling jauh pernah tugas di mana: kapan dan bagaimana ceritanya?
Paling jauh saya pernah tugas ke kepulauan Kei, Maluku Tenggara sekitar tahun 2001 usai konflik Maluku. Dua kali saya ke sana dengan kapal laut. Butuh lima hari perjalanan dari Denpasar ke Kei. Saya agak degdegan ke daerah konflik karena takut orangnya seram-seram. Jadi saya di kapal relatif sopanlah. Hehe.. Tapi ternyata semuanya baik. Petani di Kei malah bingung dengan kerusuhan itu. Mereka juga korban.
Bagaimana petani mitra VECO Indonesia saat ini dibanding dulu?
Petani kita saat ini mulai berubah wawasan dan cara pikirnya. Mereka juga memiliki keahlian baru terkait pola pertanian berwawasan lingkungan dan mempraktikan di lahannya. Mereka perlahan-lahan membangun
Foto: Anton Muhajir
asosiasi petani untuk memperjuangkan kepentingan bersama, seperti harga pasar, advokasi ke pemerintah, dan semacamnya.
Ada beberapa petani yang menjadi kader desa, anggota BPD dan kades. Petani perempuan juga demikian. Mereka lebih berani tampil bicara di forum umum dibandingkan sebelumnya. Ini karena dorongan dan kerja keras para mitra yang secara intensif mendampingi petani baik dengan dukungan VECO Indonesia maupun LSM internasional lain ataupun pemerintah dan lembaga agama. Semuanya menyumbang ke sana.
Kemarin di Belanda belajar apa saja?
Di Belanda, kita belajar soal bagaimana memperkuat kompetensi organisasi petani dalam konteks value chain development dan terutama dalam konteks pasar global saat ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa kopi dan kakao Flores tidak hanya diperebutkan para pedagang lokal ataupun nasional tapi juga menjadi komoditi primadona dunia dan dipasarkan hingga ke AS dan Eropa. Ini peluang tetapi sekaligus bisa jadi ancaman bagi petani, kalau tidak disikapi dengan bijaksana. Petani harus diajak bicara bagaimana melihat hal ini. Mereka harus kuat dan profesional agar mampu berkompetisi dan bertahan.
Resensi
Pengalaman Menggerakkan Konsumen Pangan Sehat KONSORSIUM Solo Raya (KSR), mitra VECO Indonesia dalam program penyadaran konsumen, menerbitkan buku Konsumen Pangan Sehat, Pengalaman Membangun Gerakan Konsumen Berbasis Kelompok, Januari lalu. Buku setebal 92 halaman ini merangkum pengalaman KSR, terdiri dari tiga lembaga, yaitu Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB), Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO), dan Gita Pertiwi. Sejak 2009, mereka bergabung dalam KSR untuk mendorong kesadaran konsumen mengonsumsi pangan sehat terutama di Solo dan Boyolali, Jawa Tengah. Buku ini merangkum pengalaman selama dua tahun tersebut. Gerakan konsumen di Solo dan Boyolali mulai sejak 2009 dengan lahirnya KSR. Mereka aktif mengampanyekan pangan sehat melalui diskusi bulanan, ceramah, bahkan praktik pada
paguyuban ibu kelurahan, kelompok keagamaan, dan sekolah. Hasilnya, selama dua tahun terbentuk 1 7 kelompok di Solo dan tiga kelompok di Boyolali hingga akhir tahun lalu. Kelompok ini mendapat kesempatan berdiskusi di dalam ruangan (in class) ataupun di luar ruangan (out class). Strategi lainnya adalah dengan membangun kios-kios organik sekaligus sebagai pusat informasi pangan sehat. Saat ini ada setidaknya 1 8 kios dan stokis pangan sehat di Solo dan Boyolali. KSR juga memproduksi media kampane, informasi, dan edukasi (KIE) melalui modul, kalawarta, flyer, spanduk, serta blog dan website. Buku ini menyampaikan hasil program melalui testimoni dari beragam konsumen, seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, pegawai negeri sipil, dosen, dan lain-lain. Pada dasarnya mereka menyatakan bahwa pangan organik lebih menyehatkan bagi mereka selain membuat mereka lebih tenang juga, tanpa ancaman bahan kimia.
Judul
: Konsumen Pangan Sehat, Pengalaman Membangun Gerakan Konsumen Berbasis Kelompok Penulis : Nana Suhartana, dkk Penerbit : Konsorsium Solo Raya, Januari 201 1
Belajar Gender dengan Bahasa Sederhana TAK perlu mengerutkan dahi untuk belajar tentang gender. Buku terbitan Ford Foundation dan World Neighbors ini menyajikan cerita dan refleksi tentang gender dengan gaya tulisan ringan. Memelajari gender terasa lebih mudah. Selain penyajian yang ringan, kekuatan lain buku ini adalah cerita-cerita yang diangkat di dalamnya merupakan kisah-kisah nyata dari beberapa lokasi program pengarusutamaan gender, seperti di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kisah ini lahir sebagai cerita keberhasilan (success story) program penyamarataan posisi laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, adat, ekonomi, maupun politik ini. Buku setebal 295 halaman ini terdiri dari tiga bab utama.
Tiap bab terdiri dari beberapa cerita yang satu sama lain berhubungan. Bab pertama, Gender, Feminisme, dan Pembangunan menguraikan batasan, definisi, dan pemaknaan gender, feminisme, dan pembangunan. Bab ini sekaligus menjadi dasar sekaligus rambu-rambu pembahasan dua bab selanjutnya. Bab kedua menguraikan metode pengarusutamaan gender mengingat banyaknya pertanyaan diajukan bagaimana mengarusutamakan gender. Dan, bab terakhir lebih banyak menjawab pertanyaan tentang metodologi. Buku ini dikembangkan bersama-sama menggunakan pengalaman dari lapangan. Dengan gaya penulisan bertutur (narasi), teori-teori berat tentang gender membuatnya bisa dibaca dengan renyah. Kekuatan lain buku ini adalah kemampuannya mengemas kisah-kisah dari lapangan menjadi bahan pembelajaran bagi siapa pun yang tertarik tentang isu gender.
Judul
: Mengarusutamakan Gender itu (tidak) Mudah, Pengalaman Melakukan Perubahan dengan Mengarusutamakan Gender di Nusa Tenggara. Penulis : Adriani S Soemantri, dkk. Penerbit : Ford Foundation dan World Neighbors, September 201 0
LONTAR - #2 - 2011
19
20
Me nu j u Pe t a ni Ka ka o Lebih Sejahtera
LONTAR - #2 - 2011