BULETIN TRIWULAN VECO INDONESIA
I/2010
Kabar Mitra
ATOM: Melangkah Pasti dengan Organik Reportase
Meningkatkan Posisi Melalui Asosiasi Association Improves Farmers’ Position
Dari Redaksi Kembali Setelah Sempat Terhenti
Back After a Break
Menurut rencana kami, buletin LONTAR seharusnya terbit setiap tiga bulan sekali. Tapi karena beberapa alasan, LONTAR terbit mundur jauh dari jadwal. Selain kesibukan, alasan lainnya adalah pergantian tim redaksi. Ada wajah baru di LONTAR, Mercya Soesanto, Manajer Publikasi dan Komunikasi Eksternal, yang bergabung di VECO Indonesia sejak November 2009 lalu. Wajah baru ini semoga membuat LONTAR akan terbit lebih rutin dibanding sebelumnya.
LONTAR is supposed to be published every three months. But as always, God plays a hand in our plans. For various reasons, publication of LONTAR has had to be postponed. The classic excuses, such as being very busy, aside, one of the main reasons for the postponement has been the change in our editorial team. There will be a new, and hopefully permanent, face to LONTAR.
Wajah baru di LONTAR merupakan bagian kecil dari perubahan lebih besar VECO Indonesia selama satu tahun terakhir. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari perubahan fokus program lima tahun ke depan. Salah satunya bahwa VECO Indonesia akan lebih fokus pada Pengembangan Rantai Pertanian Berkelanjutan selain advokasi dan penyadaran konsumen. Untuk mendukung perubahan itu salah satu isu yang kami angkat adalah tentang advokasi melalui organisasi petani. Kami belajar dari petani di Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur yang tak hanya mampu menaikkan posisi tawar terhadap para tengkulak tapi juga menaikkan taraf hidupnya melalui organisasi petani. Kami melengkapi LONTAR edisi pertama di tahun 2010 ini dengan kabar dari kantor lapangan kami di Jakarta, Parepare, Labuan Bajo, dan Maumere. Silakan menikmati.. [redaksi]
Lontar (n) daun pohon lontar (Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka Lontar bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi untuk menyampaikan informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilai lokal, sesuatu yang terus VECO Indonesia perjuangkan. Tim Redaksi Penasihat: Rogier Eijkens Penanggungjawab: Mercya Soesanto Reporter: Anton Muhajir Alamat Redaksi VECO Indonesia Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar Telp: 0361- 7808264, 727378, Fax: 0361- 723217 Email: admin@veco-indonesia.net, anton@veco-indonesia.net
Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanian berkelanjutan terutama yang terkait dengan mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas.
02
The changes to the LONTAR editorial team are just a small part of the changes in VECO Indonesia this past year. These changes have come about as the logical consequence of the shift in the focus of VECO Indonesia’s programs for the next five years. One of these shifts is a greater focus on sustainable agriculture chain development (SACD), as well as advocacy and consumer awareness. To support these changes, one of the issues we would like to raise is advocacy through farmer organisations. We have chosen this theme in light of the lessons learned from farmers in Timor Tengah Selatan and Timor Tengah Utara, East Nusa Tenggara, who have not only managed to improve their bargaining position in negotiations with middlemen, but have also improved their standard of living through farmer organisations. Also in this first edition of LONTAR for 2010, we bring you news from our field offices in Jakarta, Pare-pare, Labuan Bajo and Maumere. Enjoy your read... [editor]
Daftar Isi Dari Redaksi......................................... hal. 02 Editorial................................................ hal. 03
Meningkatkan Posisi Melalui Asosiasi Reportase............ hal. 04
Mendorong Kekuatan untuk Mempengaruhi Kebijakan ............. hal. 08
Editorial............................................... hal. 03 Resensi Buku........................................ hal. 11 Kabar Lapangan................................... hal. 12 Kabar VECO.......................................... hal. 14 Kabar International.............................. hal. 16 Profil.................................................... hal. 18
Editorial
Saatnya Petani Memegang Kendali Petani di kawasan Bituna, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) membuktikan bahwa petani mampu membalik posisi mereka. Dari yang semula tergantung pada tengkulak dan dicurangi pembeli kini mereka yang memegang kendali ekonomi bahkan politik. Semua kekuatan itu diperoleh setelah mereka sadar bahwa kekuatan-kekuatan mereka terlalu kecil kalau melawan dengan jalan masing-masing. Maka mereka pun memadukan kekuatan-kekuatan kecil itu dalam satu kekuatan bersama, organisasi petani. Ada ribuan petani di kawasan dari tiga suku besar di kawasan Bikomi, Tunbaba, dan Naibenu, yang bergabung dalam Asosiasi Bituna. Melalui asosiasi, petani di sini bisa mendapatkan harga lebih tinggi, penimbangan lebih adil, hingga peningkatan taraf hidup bagi anak cucunya. Asosiasi sendiri hanya puncak dari kekuatan di bawahnya. Ada 2.265 petani yang tergabung dalam 147 kelompok tani. Beberapa kelompok tani bergabung dalam lopotani, istilah lokal untuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Ada 14 lopotani tersebar di 18 desa di kawasan tersebut.
Dengan 2000 lebih anggota, organisasi petani di sini bisa menentukan posisi pada tengkulak. Mereka tak mau kalau timbangan mereka terus dicurangi oleh tengkulak. Mereka tak mau kalau harga produk selalu ditentukan oleh pembeli. Mereka tak mau kalau terus jadi korban. Kesadaran bahwa mereka selalu jadi korban katalis perubahan. Mereka sepakat kekuatan kecil-kecil itu harus keluar lewat satu pintu. Petani membagi peran satu sama lain. Ada yang membangun lobi pada pembeli. Ada yang mencari informasi pemasaran. Ada yang mengkoordinir ke tingkat basis, petani. Tak ada lagi celah bagi tengkulak untuk mengeksploitasi petani. Kini mereka harus membuka peluang pada petani untuk bernegosiasi. Juga harus bersedia menera bersama timbangan yang digunakan. Maka, harga komoditi kini meningkat seperti halnya kesadaran kritis dan posisi petani. Tapi lebih dari itu, petani itu membuktikan bahwa mereka bisa berdaulat dan bermartabat dengan kekuatan bersama.
Seluruh lahan pertanian di sini merupakan kawasan kering dengan lansekap lahan berbukit. Tingkat kemiringannya bahkan sampai 45 derajat. Di sisi-sisi bukit itulah petani menanam beragam tanaman seperti kacang tanah dan jagung, juga harapan.
When Farmers Take Control Farmers in Bituna, Timur Tengah Utara (TTU), East Nusa Tenggara have proved that farmers can turn their position around. From being dependent on middlemen and cheated by buyers, they now have both political and economic control. They gained this power when they realised that going it alone their strengths were limited. So they consolidated their strengths by forming a farmer organisation. Thousands of farmers from three large ethnic groups in Bikoma, Tunbaba and Naibenu are members of the Bituna Association (Asosiasi Bituna). Through the association, farmers here have been able to get higher prices and fairer measures, thus raising the standard of living for their grandchildren. The association itself is just the tip of the iceberg. Under it, there are 2,265 farmers who are members of 147 farmer groups. Several farmer groups make up a lopotani, the local term for a farmer group association. There are 14 lopotani across 18 villages in this one area. All the farmland here is dry, hilly land, with slopes of up to 45 degrees. It is on these slopes that the farmers grow a variety of crops, such as peanuts and corn, and hopes. Peanuts, which used to be a secondary crop, are now a main commodity. And the farmers have been empowered, since peanuts increased their incomes and their self-esteem. This area is now the top peanut producer in TTU, perhaps even in East Nusa Tenggara.
With more than 2,000 members, the farmer organisation here is able to negotiate with middlemen. They refuse to accept the middlemen’s short measures. Nor do they want them to set the prices for their products. They don’t want to be the ones who lose out all the time. They have held meeting after meeting. Right from the start they agreed that they had had enough of being victims. This agreement was the catalyst for awareness. They then agreed to set prices collectively. They agreed that they had to consolidate their powers. It is this power that the association has produced. They divide up their roles. Some lobby buyers. Some find out marketing information. Others coordinate the farmers at grassroots. There are no holes left for the middlemen to exploit. They have no choice but to negotiate with the farmers. And to have their measures checked. So, the price of commodities is increasing, just like the critical awareness and the position of the farmers. But more than that, the farmers have proved that they can achieve sovereignty and dignity through collective power.
03
Melalui asosiasi, petani kacang tanah di kawasan Bituna, Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur mengangkat posisinya. Di bukit dengan kemiringan sekitar 45 derajat di desa Tuntun, Kecamatan Mimaffo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), enam petani bekerja bersama di satu lahan Desember lalu. Mereka membuat percobaan tanaman kacang tanah. Ada empat varietas yang ditanam yaitu varietas tuntun, belu, oeolo, dan bokon. Semuanya varietas lokal. Namun di atas lahan sekitar 100 meter persegi itu, petani tak hanya membuat uji coba kacang tanah varietas unggul. Mereka juga membalikkan pandangan awam tentang petani yang terus pasrah mengalami ketergantungan pada pihak luar seperti produsen benih dan tengkulak. Dan, mereka berhasil melakukannya.
Meningkat Melalui A Karena sistem organisasinya inilah, maka Yoseph menyebut bahwa Asosiasi Bituna merupakan organisasi akar rumput. “Kami hanya memfasilitasi,” kata Yos. Selama puluhan tahun, petani menanam kacang tanah sebagai komoditi sampingan. “Kami lebih sering menanam jagung, padi, dan umbi-umbian daripada kacang tanah,” kata Rosa Liasalu, petani perempuan anggota kelompok tani Bulis di Desa Tuntun. Namun membaiknya harga kacang tanah sejak 2006 lalu, membuat petani menjadikan kacang tanah sebagai komoditi andalan. Harga kacang tanah meningkat dari Rp 3000 jadi Rp 10.000 per kilogram.
Alat efektif untuk membalikkan posisi petani, dari yang semula mengalami ketergantungan menjadi pihak yang mengendalikan, adalah organisasi petani. Ada ribuan petani di kawasan dari tiga suku besar di kawasan Bikomi, Tunbaba, dan Naibenu, bergabung dalam Asosiasi Bituna. Melalui asosiasi, petani kacang tanah di sini bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi, penimbangan lebih adil, hingga peningkatan taraf hidup bagi generasi selanjutnya. Asosiasi ini sendiri, menurut Koordinator Program Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) TTU Yoseph Sumu, hanya puncak dari kekuatan di bawahnya. Hingga Desember tahun lalu ada 2.265 petani yang tergabung dalam 147 kelompok tani. Beberapa kelompok tani bergabung dalam lopotani, istilah lokal untuk menyebut Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Ada 14 lopotani tersebar di 18 desa di satu kawasan yang kering dan berbukit tersebut.
Association Improves Farmers’ Position Through association, peanut farmers in Bituna, Timor Tengah Utara (TTU), East Nusa Tenggara, have improved their position. On 45 degree slopes in Tuntun, in the Mimaffo Timur subdistrict of Timor Tengah Utara, East Nusa Tenggara, six farmers work on one plot of land. They are doing experiments with peanuts. They have planted four local varieties: tuntun, belu, oelo, and bokon. But on this 100m2 plot, the farmers are not only experimenting with superior varieties of peanut. They are also changing the widely-held perception of farmers as passively accepting their dependence on others, such as producers and middlemen. And, they have succeeded. The most effective tool for turning around the lot of farmers, from one of dependence to control, is a farmer organisation. Thousands of farmers from three large ethnic groups in Bikomi, Tunbaba and Naibenu are
04
members of the Bituna Association (Asosiasi Bituna). Through the association, peanut farmers here have secured better prices, fairer measures, and a better standard of living for future generations. The association itself, as Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) TTU program coordinator Yosef Sumu says, is just the tip of the iceberg. Under it, there are 2,265 farmers who are members of 147 farmer groups. Several farmer groups make up a lopotani, the local term for a farmer group association. There are 14 lopotani across 18 villages in this dry, hilly area. That is why Yosef calls this a grassroots based organisation. “We are just facilitators,” said Yos. Since it was set up three years ago, the association has helped farmers to reverse their position. For years, peanuts were just a secondary crop for farmers here. “We grew corn, rice and tubers rather than peanuts,” said Rosa Liasalu, a woman farmer and member of the Bulis farmer group in Tuntun.
tkan Posisi Asosiasi Peningkatan harga kacang tanah ini seiring sejalan dengan naiknya posisi petani. Sebelum ada asosiasi, posisi petani selalu ditekan oleh tengkulak. Selain dengan sistem ijon, di mana petani terlebih dulu berhutang uang maupun barang pada tengkulak sebelum panen, petani juga tak bisa menawar harga pembelian. “Kami tak bisa melawan tengkulak karena kami butuh uang,” kata Gabriel Nenat, petani lain di Desa Fatusena. Setelah ada asosiasi, petani mempunyai kekuatan untuk melakukan tawar menawar. Harga yang ditawarkan petani diperoleh dari hasil survei pengurus asosiasi.
Reportase Pembentukan Asosiasi
Asosiasi Bituna merupakan puncak dari kuatnya organisasi petani. Dari bawah hingga puncak ada petani, kelompok tani, lopo tani, lalu asosiasi. Antara 8 hingga 20 petani, bergabung dalam kelompok tani. Di satu desa terdapat beberapa kelompok tani yang bergabung dalam lopotani. Di satu desa ada satu lopotani. Nah, lopotani kemudian membentuk asosiasi yang mewadahi sebagian besar petani di kawasan ini. Kelompok tani fokus pada aspek produksi. Kegiatannya seperti persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Lopotani lebih fokus pada perencanaan dan kebijakan atau aspek politis. Misalnya dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des). Adapun sejak bediri pada November 2006, asosiasi fokus di pemasaran. Berdirinya asosiasi berawal dari pengalaman petani memasarkan hasil pertanian. Menurut Ketua Asosiasi Bituna Baselius Kolo, petani menghadapi masalah pemasaran seperti harga tak pasti, posisi tawar petani lemah, akses petani terhadap lembaga keuangan masih terbatas, alat timbangan dimainkan pembeli, serta kurangnya akses petani terhadap informasi pasar. Petani pun jadi korban. Pembentukan asosiasi pun mulai digagas petani setempat melalui pertemuan adat. Prosesnya dimulai dengan upaya membangun kesadaran kritis tentang lemahnya posisi petani. Tahap selanjutnya petani melakukan pertemuan adat. Para tetua adat dan ketua lopotani pun segera mendirikan Asosiasi Bituna. VECO Indonesia dan mitranya, YMTM TTU, memfasilitasi terbentuknya asosiasi tersebut melalui berbagai program seperti peningkatan kapasitas petani maupun pemberian modal usaha. Peningkatan kapasitas tersebut dilakukan melalui pelatihan untuk petani maupun survei pasar.
But with the rise in price of peanuts since 2006, farmers have made this a primary commodity. If the price of rice used to be just IDR 3000/kg, today it is IDR 10,000/kg. This rice in peanut prices has come hand in hand with an improvement in the farmers’ position. Before the association was established, the farmers were always under the pressure of middlemen. The ijon system, which put farmers in debt to middlemen even before the harvest, was not the only problem. Farmers were also unable to negotiate prices. “We couldn’t refuse what the middlemen offered because we were desperate for the money,” said Gabriel Nenat, a farmer from Fetusena. But the association has given the farmers the power to negotiate directly with peanut buyers. The prices the farmers offer are obtained from surveys carried out by the association’s managers. They then agree with the farmers on a price to offer buyers. Buyers cannot buy at a lower price because the association covers such a wide area. What’s more, this is the centre of peanut production in East Nusa Tenggara.
Establishing the Association
The association itself is the tip of the iceberg. Underneath are the individual farmers. Several farmers, between eight and twenty, get together and form a farmer group. In one village there might be several farmer groups that then form a lopotani. In one village, there is one lopotani. These lopotani then form the association, of which most farmers in this area are members. Each level of the organisation focuses on a particular issue. The farmer groups, for example, focus on production. Farmers work together to support agricultural production. Their activities include preparing land, raising seedlings, planting, maintenance and harvesting. The lopotani focus on planning and policy, or the political aspect. For example, they are involved in medium-term village development planning. They also make plans for the growing seasons. The association concentrates on marketing. In fact, this was the main purpose of establishing the association in
05
Pembentukan asosiasi berdampak positif pada taraf hidup petani setempat. Selain harga yang meningkat, jumlah produksi pun naik berlipat. Dari 20-30 karung per hektar per keluarga petani, kini bisa sampai 100 karung per hektar. Peningkatan produksi ini karena adanya kerja sama antar petani sekalin juga karena pola produksi yang makin maju. Pelajaran dari Kebersamaan Meningkatnya harga kacang tanah serta posisi tawar dan taraf hidup petani di kawasan Bituna merupakan pengalaman menarik tentang peran organisasi petani. Hal ini memberikan pelajaran tentang proses advokasi yang dilakukan VECO Indonesia terutama di kawasan ini. Pertama, dari yang semula jadi korban, petani bisa beralih mengendalikan. Petani kini menjadi pengendali pemasaran kacang tanah. Pemasaran kacang tanah di kawasan Bituna semula dikendalikan tengkulak, namun saat ini dikendalikan oleh petani. Petani mengendalikan penentuan harga, penimbangan, hingga informasi pasar. Kedua, kelompok petani bisa menjadi kekuatan. Sebelum ada kelompok, petani bekerja sendiri-sendiri dengan modal sumber daya maupun ekonomi terbatas. Namun adanya kelompok tani, lopotani, dan asosiasi membuat petani bisa saling membantu dalam usahanya. Petani di Bituna membuktikan bahwa kekuatan bisa menjadi modal.
November 2006. The association’s vision is to create self-reliant and sustainable farmer organisations to promote fair, collective marketing of agricultural products. The establishment of the association was prompted by the many problems farmers faced in marketing their commodities. These problems, says Baselius Kolo, included uncertain prices, the farmers’ limited access to financial institutions, buyers fixing their measures, and the farmers’ lack of access to market information. With all these problems, the farmers were losing out. The idea of setting up an association was first raised by local farmers at traditional meeting. The process began with building critical awareness of the farmers’ weak position. The farmers then held traditional meetings, because across the area that the association serves, tradition and customs are still strong. Realising the bargaining power an association would create, the elders and lopotani leaders set to work establishing the Bituna Association. VECO Indonesia and its partner, YMTM TTU, facilitated the establishment of the association through various programs including farmer capacity building and provision of working capital. This capacity building included training for farmers and conducting market surveys. The association has had a positive impact on the standard of living of local farmers, as a result, among other things, of the increase in the price of peanuts, from IDR 3,000/kg to IDR 10,000/kg. Peanut production has increased, too. From around 20-30 sacks per hectare per farmer family, to 100 sacks per hectare. This rise in production has resulted from farmers working collectively and using more advanced production techniques.
06
Lessons Learned The increase in the price of peanuts and the improved bargaining position and standard of living of farmers in Bituna offer interesting lessons about the role of farmer organisations, and about the advocacy carried out by VECO Indonesia, particularly in this area.
Reportase Ketiga, kelompok tani menciptakan solidaritas antar-petani bahkan antar-desa. Masalah satu petani anggota asosiasi merupakan masalah bagi seluruh petani di kawasan tersebut. Dengan demikian, pengusaha tidak bisa mempermainkan satu pun petani karena akan dianggap mempermaikan petani lainnya. Keempat, adanya perubahan cara pandang petani terhadap pengusaha. Sebelum ada asosiasi, petani menganggap pengusaha adalah musuh dalam pemasaran karena petani merasa hanya menjadi korban. Kini, petani menggap pengusaha ada bagian penting dalam pemasaran dan karena itu mereka menjadi mitra dalam rantai usaha tani. Kelima, petani bisa mengubah sistem ijon yang selama ini telanjur dianggap sebagai sistem terbaik dalam pemasaran hasil pertanian. Dulunya sistem ijon terjadi akibat petani harus berhutan pada tengkulak atau pengusaha. Namun kini petani menjual pada asosiasi yang membeli dengan harga tinggi sehingga tidak perlu berhutang lagi.
First, from being victims, the farmers have managed to take control. Farmers now control the peanut market. The peanut market in Bituna, once controlled by middlemen, is now controlled by the farmers. Farmers have control over prices, measures, and market information.
Second, farmer groups are a strength. When there were no groups, farmers worked alone, drawing on their limited resources and finances. The farmer groups, lopotani, and the association enable farmers to help each other. Farmers in Bituna have proved that strength is an asset. Third, farmer groups generate solidarity between farmers and between villages. The problem of one farmer member of the association is the problem of all farmers in the area. This means there is no room for middlemen to exploit individual farmers, because exploiting one means exploiting them all. Fourth, farmers have changed their perception of traders. Before the association was set up, farmers perceived buyers as the enemy in the market, because the farmers were the ones that inevitably lost out. Now, farmers see traders as an important part of the market, and have therefore made them partners in the agriculture chain. Fifth, farmers have been able to move away from the ijon system, long though to be the best system for marketing agricultural commodities. This system resulted in farmers being forced into debt with middlemen or traders. But today, farmers sell their produce to the association for a fair price, doing away with the need to borrow.
07
Mendorong Kekuatan untuk Mempengaruhi Kebijakan Melalui program advokasi, VECO Indonesia mendorong petani menggunakan kekuatan bersama untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan. Menggunakan modal dari Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB) Solo dan VECO Indonesia, Kelompok Tani Sari Rejeki di Boyolali, Jawa Tengah bisa membeli padi dari anggotanya dengan harga lebih tinggi. Karena itu, petani memilih menjual padi ke kelompok daripada ke tengkulak. Petani untung, demikian pula dengan kelompoknya. Mereka juga bisa memiliki cadangan pangan di lumbung. Kelompok Tani Sari Rejeki, yang juga berfungsi sebagai lumbung pemasaran beras organik, merupakan salah satu dari lima kelompok lain yaitu Sari Mulyo (65 anggota), Sari Rejeki (33), Sumber Ekonomi (42), Sari Tani (85), Ngudi Cukup (48), dan Sido Makmur (60). Semua kelompok tani mempunyai lumbung cadangan pangan. Khusus untuk Sido Makmur
Promoting the Use of Collective Power to Influence Policy Through its advocacy program, VECO Indonesia encourages farmers to use collective power to influence policy. Using funds from Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB) Solo and VECO Indonesia, the Sari Rejeki farmer group in Boyolali, Central Java, have been able to purchase rice from its members at higher prices. Which means that the farmers would rather sell their rice to the group than to middlemen. The farmers profit, and so does their group. And they even have rice stocks in storage. Sari Rejeki farmer group, which also functions as a store for organic rice, is one of five groups: Sari Mulyo (65 members), Sari Rejeki (33 members), Sumber Ekonomi (42 members), Sari Tani (85 members), Ngudi Cukup (48 members), and Sido Makmur (60 members). All these farmer groups have rice stores. All the members of Sido Makmur are women. The varieties of rice stored include a red rice known as sleggreng, which is a local variety that many of the local farmers grow. Market demand for this variety is high, and it is not a variety
08
Reportase seluruh anggotanya perempuan. Adapun varietas yang disimpan adalah beras merah sleggreng, varietas lokal yang banyak diproduksi petani setempat. Jenis ini laku di pasar dan tidak jadi menu utama konsumsi beras petani. Revitalisasi lumbung pangan merupakan salah satu tujuan program advokasi VECO Indonesia. Agar lumbung pangan ini terwujud, petani harus mendirikan kelompok dari tingkat paling lokal hingga di tingkat nasional. Petani di Boyolali dan Timor Tengah Utara, misalnya, selain mendirikan kelompok kecil di desa juga membentuk organisasi dengan skala lebih luas. Kalau di TTU ada Asosiasi Bituna, maka di Boyolali ada Asosiasi Petani Organik Boyolali (Apolo) dan Kelompok Jaringan Lumbung Boyolali. Melalui organisasi-organisasi ini, petani tak hanya menaikkan posisi tawar terkait pemasaran tapi juga keputusan politis. Di Bituna, petani ikut serta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa yang tak hanya membahas masalah pertanian tapi juga persoalan lain terkait pembangunan desa seperti pendidikan dan perbaikan infrastruktur desa. Di tingkat lebih tinggi, VECO Indonesia melalui mitra-mitranya juga berusaha mempengaruhi kebijakan tersebut. Berdirinya kantor Lapangan VECO Indonesia di Jakarta sejak 2008 lalu merupakan salah satu upaya agar VECO Indonesia bisa lebih aktif mendorong keterlibatan organisasi petani ataupun mitranya dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat
that farmers use for their own consumption. Revitalisation of community rice storage is one of the aims of the VECO Indonesia advocacy program. To create community rice storage, farmers must set up groups at local to national level. Farmers in Boyolali and Timur Tengah Utara (TTU), for example, as well as setting up small groups in villages, have also set up larger scale organisations. In TTU, the association is called Asosiasi Bituna, and Boyolali, there are two associations, called Asosiasi Petani Organik Boyolali (Apolo) and Kelompok Jaringan Lumbung Boyolali. Through these organisations, farmers not only improve their bargaining position in the market, but also their political influence. In Bituna, farmers are involved in the medium-term village development planning process, which discusses not only agriculture, but also other aspects of village development such as education and improving village infrastructure. At a higher level, VECO Indonesia, through its partners, also works to influence this policy. The establishment of the VECO Indonesia field office in Jakarta in 2008 was one initiative to enable VECO Indonesia to more actively promote the involvement of farmer organisation and its partners in influencing policy at the national level. VECO Indonesia Field Office Coordinator in Jakarta, Purnama Adil Marta, says that lobbying is VECO Indonesia’s advocacy strategy. “We want to promote the participation of civil society, particularly VECO Indonesia’s
09
Reportase nasional. Menurut Koordinator Kantor Lapangan VECO Indonesia di Jakarta Purnama Adil Marata, advokasi VECO Indonesia melalui strategi lobi. “Kami ingin mendorong agar masyarakat sipil, termasuk mitra VECO Indonesia untuk terlibat dalam perumusan kebijakan,� kata Adil. Menurutnya, mempengaruhi kebijakan tidak hanya dilakukan dari luar tapi juga terlibat langsung di dalamnya. Aliansi Petani Indonesia (API) dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) adalah dua mitra VECO Indonesia yang fokus pada advokasi. API fokus pada pengorganisasian petani sedangkan KRKP pada kedaulatan pangan. Meski demikian, keduanya saling bersinergi dalam beberapa isu nasional yang difasilitasi oleh VECO Kantor Jakarta seperti penentuan harga pokok pembelian (HPP) beras dan ide Desa Mandiri Pangan Menuju Desa Sejahtera (DMPDS), dan lain-lain.
yang diadakan pada tahun 2008. Untuk itu VECO dan mitranya terlibat dalam perumusan model Desa Sejahtera bersama Pemerintah Provinsi Nusa Tengga Timur (NTT). Pada tahun 2009 lalu, model tersebut sudah selesai dibuat dan tinggal dilaksanakan di tiga desa yaitu di Kabupaten Timor Tengah Utara, Flores Timur, dan Sumba Timur. VECO Indonesia mendorong agar para mitra lebih aktif membangun hubungan dengan media karena selama ini cenderung tidak diperhatikan. Melalui upaya ini, VECO Indonesia berusaha agar masing-masing mitra bisa menjadi nara sumber yang kredibel untuk isu-isu terkait pertanian. Dengan demikian akan lebih mudah untuk ikut serta memengaruhi kebijakan.
Untuk mendukung tercapainya tujuan advokasi, VECO Indonesia aktif melaksanakan beberapa strategi. Di antaranya adalah mediasi dan lobi kepada lembaga legislatif maupun dinas terkait, pendidikan kritis di tingkat komunitas terkait sustainable agriculture chain development (SACD), serta wawancara dengan media untuk mempengaruhi publik. Pada isu kedaulatan pangan, misalnya, VECO Indonesia mendorong adanya DMPDS. Strategi ini merupakan kolaborasi antara pemerintah dan LSM untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Ide ini sendiri merupakan tindak lanjut dari NTT Food Summit
partners, in policy making,� said Adil, adding that influencing policy is something that happens not only from the outside, but also from within. Aliansi Petani Indonesia (API) and Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) are two VECO Indonesia partners that focus on advocacy. API focuses on organising farmers, and KRKP on food sovereignty. However, the two work together on various national issues, facilitated by the VECO office in Jakarta, such as setting the floor price for rice, promoting the idea of Desa Mandiri Pangan Menuju Sejahatera, and so on.
On the issue of food sovereignty, for example, VECO Indonesia promoted the idea of Desa Mandiri Pangan Menuju Sejahatera (DMPDS). This is a collaboration between government and NGOs to create food sovereignty. The idea itself came from the 2008 NTT Food Summit. For this, VECO and its partners were involved in designing the model for Desa Sejahatera with the East Nusa Tenggara provincial government. In 2009, this model was finalised and will be introduced in three villages in Timur Tengah Utara, Flores Timur and Sumba Timur.
Towards achievement of its advocacy goals, VECO Indonesia adopts various strategies. These include mediation and lobbying of the legislature and related government agencies, critical education at the community level of sustainable agriculture chain development (SACD), and media interviews to influence public opinion.
VECO Indonesia participation of relations area that neglected.
10
promotes the active its partners in building with the media, an has previously been Through this initiative, VECO Indonesia aims to ensure that each of its partners becomes a credible resource on agriculture related issues, making it easier for them to participate in and influence policy.
Resensi Buku Menuju Anggaran yang Responsif Gender Penerbit: The Asia Foundation, September 2008 | Tebal: xii + 35
Anggaran yang responsif gender berpengaruh setidaknya pada tiga hal yaitu pengarusutamaan isu gender dalam kebijakan dan anggaran pemerintah, menuntut akuntabilitas dari komitmen pemerintah terhadap keadilan gender, serta mengubah anggaran dan kebijakan pemerintah. Pada akhirnya, anggaran yang responsif gender juga akan bermanfaat pada masyarakat untuk mengurangi kesenjangan gender. Untuk itu The Asia Foundation (TAF) mendukung program anggaran responsif gender di beberapa daerah seperti Polewali Mandar, Parepare, Bone, dan Palu. Pengalaman program pengembangan dan pelaksanaan anggran responsif gender tersebut dibukukan dalam empat paket, plus satu buku pengantar, bertema besar Menuju Anggaran yang Responsif Gender. Tiap buku menyampaikan pengalaman di masing-masing daerah. Melalui buku ini, TAF menyampaikan bahwa upaya advokasi anggaran yang responsif gender harus melibatkan tiga aktur kunci yaitu perempuan dan orang miskin di organisasi akar rumput sebagai basis, organisasi masyarakat sipil sebagai penggerak dan penghubung, serta legislatif dan eksekutif sebagai pelaksana.
Petani dan Hak Atas Tanah
Penerbit: LPKP Jawa Timur, Desember 2007 | Tebal: 111 halaman Bagian terpenting dari buku ini ada pada Bab IV yang membahas tentang konflik kepemilikan lahan di Malang Selatan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tiga bab sebelumnya memberikan latar belakang tentang ketidakberdayaan dan kemiskinan petani, aturan kepemilikan tanah di Indonesia, serta reforma agraria. Buku ini berisi pengalaman Serikat Petani Merdeka di Malang yang memperjuangkan kepemilikan lahannya melawan Marinir. Lahan seluas 3.312 hektar di mana terdapat 2.027 kepala keluarga dengan dan 9.685 jiwa tersebut digunakan Marinir untuk latihan. Akibatnya petani tidak bisa menggunakannya dengan leluasa untuk bercocok tanam. Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Malang mendampingi petani untuk mendapatkan lahan tersebut. Ada beberapa pelajaran menarik dari buku ini terkait pengalaman advokasi lahan. Strategi yang diambil pada bagian awal adalah dengan pemetaan masalah. Tujuannya mengumpulkan informasi tentang status tanah. Tahap kedua adalah membentuk organisasi petani. Ini merupakan upaya untuk memperkuat basis organisasi. Terakhir melalui konsolidasi dan mengembangkan jaringan.
Hidup Organik, Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam Penulis: Bibong Widyarti Penerbit: Aliansi Organis Indonesia, Desember 2009 | Tebal: viii + 74
Bibong Widyarti, yang jadi konsumen organik sejak 1997 dan menulis pengalamannya di berbagai media, menceritakan pengalamannya menjadi konsumen organik. Buku setebal 74 halaman yang diterbitkan Aliansi Organis Indonesia ini membagi pengalaman tersebut dalam lima bab mulai dari landasan filosofis pentingnya hidup organik, pilihan cerdas konsumen organik, membina keluarga organaik, sampai dampak hidup organik pada keberlangsungan bumi. Pada Bab III tentang Cerdas Berkonsumsi, misalnya, penulis memberikan tips mudah belanja produk organik, memilih sayuran dan buah organik, bagaimana menyimpannya, hingga pada panduan bersantap di luar rumah yang pro-organik. Pada bab selanjutnya tentang Membina Keluarga Organik, mengelola sampah rumah tangga hingga merawat bagian lain di rumah seperti perabot, dapur, hingga gudang. Semuanya bermuara pada pola hidup organik. Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, buku yang penerbitannya didukung VECO Indonesia secara finansial ini, memberikan petunjuk praktis dan gampang dilaksanakan.
11
Kabar Mitra Kampanye Penyadaran Konsumen di Jawa dan Bali Konsorsium Solo Raya yang terdiri dari Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB), Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO), dan Gita Pertiwi melaksanakan kampanye penyadaran konsumen di Solo dan sekitarnya. Isu konsumen sendiri merupakan salah satu bagian dari rantai pertanian berkelanjutan. Karena itu, penyadaran konsumen harus terkait dengan seluruh rantai produk beras. Di Solo, konsorsium ini mengorganisir empat kelompok perempuan dan satu kelompok orang tua murid. Mereka melakukan kampanye penyadaran konsumen melalui berbagai media seperti outlet, radio komunitas maupun swasta, pameran, serta pelatihan.
Pemasaran Bersama Kopi Manggarai Pemasaran bersama adalah hal baru bagi kebanyakan petani kopi di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Sejak dahulu petani menjual kopi sendiri-sendiri. Ini membuat petani sering merugi karena tidak mampu menawar harga lebih tinggi, harus membayar biaya transportasi dan retribusi sendiri bila harus menjual ke Ruteng. Namun sejak 2009 lalu, petani kopi di Desa Golonderu, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, didampingi Delsos Ruteng mempraktikkan penjualan bersama. “Ternyata memang beda dari biasanya,” kata Ros, salah satu petani kopi di Desa Golonderu.
Pada akhir 2009 lalu, kesadaran konsumen semakin meningkat terutama untuk produk beras. Ini bisa dilihat dari semakin meningkatnya permintaan terhadap beras organik. Kalau pada tahun 2008 lalu hanya 500 kg per bulan, maka pada 2009 meningkat jadi 900 kg per bulan. Toh, peningkatan jumlah produksi ini masih belum mencukupi kebutuhan. Hal serupa juga terjadi di Bali. Konsorsium Penyadaran Konsumen Bali yang terdiri dari Bali Organic Association (BOA), Pusat Pendidikan dan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, dan Indonesian Development of Education and Permaculture (IDEP) pada akhir tahun lalu semakin intensif melakukan kampanye penyadaran konsumen melalui berbagai media.
“Atas dampingan Delsos sejak Maret 2009, kami mulai maju perlahan. Kami membentuk koperasi simpan pinjam bernama Waewake dan kami mulai belajar pemasaran bersama,” lanjut Ros. Anggota kelompok pemasaran pada bulan pertama 23 orang. Saat ini sudah 49 orang (12 perempuan, 37 lakilaki).
ATOM: Melangkah Pasti Dengan Organik Asosisasi Petani Organic Mbay, disingkat ATOM, berdiri sejak 2008. Asosiasi ini berada di Mbay, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Meskipun usianya baru setahun, semangat dan kiatnya dalam pengembangan pertanian organik luar biasa. Petani anggota ATOM melakukan peningkatan kemampuan diri dan tekun bertani organik dengan membuat bahan organik sendiri dan menerapkannya di kebun. “Kebiasaan kami dalam bertani
12
Keberhasilan program penyadaran konsumen tak hanya berdampak pada semakin mudahnya konsumen mendapatkan produk organik, petani juga semakin tertolong dengan semakin pendeknya rantai pemasaran. Sebab petani bisa langsung menjual ke konsumen melalui kios yang tersedia. Padahal sebelumnya, konsumen dan petani harus melewati tiga pelaku lain yaitu tengkulak, pengusaha, dan distributor. Kini petani dan konsumen bisa langsung bertemu.
Untuk memasarkan kopi, satu orang akan pergi memasarkan kopi yang sudah dikumpulkan dari anggota. Sepanjang enam bulan terakhir tahun lalu, petani setempat sudah menjual kopi arabika sebanyak 4.100 kg ke PT Sumba Subur Ruteng seharga Rp 9.000 hingga
padi mengalami banyak perubahan,” kata Nobert, salah satu kader ATOM. Selama enam bulan terakhir 2009, cukup banyak perubahan menggembirakan di anggota kami. Kelompok basis ATOM menghasilkan bokashi, pupuk cair, mol, serta pestisida organik dalam jumlah cukup besar. “Ini adalah perubahan yang paling menonjol,” kata Nobert. Seiring dengan itu, ATOM mendapat bantuan 16 ekor sapi untuk 14 petani dari Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Ngada. Anggota ATOM yang mengembangkan SRI organik 176 orang pada lahan dengan pola organik. Dengan penggunaan pupuk organik, terjadi peningkatan produksi dari 3 ton per hektar menjadi 5-7 ton per hektar. Selain itu ada enam petani yang difasilitasi untuk mengembangkan padi terintegrasi dengan
Rp 9.250 per kilogram. Keuntungan penjualan bersama dimasukan ke kas kelompok sekaligus sebagai simpanan sukarela. Sejak Maret hingga Desember 2009 lalu, modal yang dimiliki Rp 6 juta berasal dari uang pangkal Rp 50.000 per anggota, bunga, simpanan sukarela, dan keuntungan dari jual kopi bersama. Upaya pemasaran kopi bersama oleh petani ini terjadi karena adanya motivasi yang diberikan Delsos baik melalui pendampingan langsung maupun melalui proses belajar magang di luar Flores. “Salah satu hal yang menyenangkan dan bermanfaat adalah ketika kami belajar tentang pemasaran bersama di Asosiasi Pemasaran di Timor Tengah Utara. Kami makin semangat dengan pemasaran bersama ini,” kata Ros lagi.
tanaman sayur-sayuran. Hasilnya, pendapatan enam petani tersebut meningkat hingga menjadi Rp 12 juta lebih. ATOM juga melakukan pemasaran beras secara bersama. Pada semester ini jumlah anggota ATOM yang aktif melakukan pemasaran bersama 31 petani dari 497 orang di 25 kelompok tani anggota ATOM. Jumlah beras yang dipasarkan sebanyak 23.741 kg dengan harga 4.700 – 5.000 per kilogtam. Valens, petani lainnya menyatakan, perubahan paling mendasar saat ini adalah tingginya niat petani anggota ATOM untuk membuat pupuk organik. Menurut mereka, perubahan ini terjadi karena dampingan yang intensif dari YMTM Ngada melalui uji coba dan praktek lapangan.
13
Kabar VECO
Pengembangan Desa Mandiri Pangan Program Desa Mandiri Pangan segera dilaksanakan di tiga kabupaten yaitu Flores Timur, Mamasa, dan Boyolali. Desa Mandiri Pangan merupakan program Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) untuk mengembangkan lumbung pangan di tingkat komunitas. Melalui program ini, petani kecil bisa mengamankan ketersediaan pangannya sehingga lebih mandiri. VECO Indonesia terlibat dalam persiapan hingga pelaksanaan program ini. Di Boyolali, Jawa Tengah program ini sudah didukung oleh pemerintah kabupaten setempat yang memberikan dana sekitar Rp 10 juta pada sekitar 33 kelompok lumbung pangan. Sementara di Nusa Tenggara Timur, pemerintah provinsi berkomitmen untuk melaksanakan program Desa Mandiri Pangan Menuju Desa Sejahtera sebagai kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Tujuannya untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Bahkan sudah ada petunjuk teknis bagaimana ide Desa Mandiri Pangan akan diterapkan di tiga desa.
NTT Food Summit 2009 Koalisi masyarakat sipil dan pemerintah di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengadakan NTT Food Summit pada Oktober 2009 lalu di Kabupaten Sikka, NTT. Kegiatan ini dibuka Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya dihadiri Wakil Gubernur, Pemkab/kota se-NTT, perwakilan DPRD, lembaga swadaya masyarakat (LSM) international, LSM nasional/ lokal, lembaga keagamaan, para pakar dan tokoh-tokoh masyarakat serta petani dari berbagai wilayah di NTT. Sebagai tindak lanjut kegiatan ini tersusunlah Rencana Aksi Bersama dan Deklarasi oleh petani di NTT. VECO Indonesia terlibat dalam kegiatan ini sebagai bagian mewujudkan kedaulatan pangan.
14
Kabar VECO
Bertemu Wakil Presiden Field Coordinator VECO Indonesia di Jakarta, Purnama Adil Marata, dan Ketua Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Witoro bertemu dengan Wakil Presiden Boediono pada November lalu di Roma Italia. Pertemuan diadakan setelah VECO Indonesia dan KRKP mengikut World Summit on Food Security yang diadakan Food and Agriculture Organisation, badan dunia yang mengurusi pertanian dan pangan. Dalam diskusi singkat itu, Adil memberikan buku Deklarasi Maumere, terkait dengan NTT Food Summit, sebagai komitmen pemerintah dan masyarakat sipil untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Lokakarya Keuangan Regional VECO Indonesia menjadi tuan rumah kegiatan Workshop Keuangan Regional Vredeseilanden, November 2009 lalu. Kegiatan yang diadakan kantor pusat (Head Office) Vredeseilanden ini diadakan selama empat hari di Hotel Puri Dalem, Sanur, Denpasar. Selain dari VECO Indonesia, kegiatan ini juga diikuti VECO dari Laos dan Vietnam. Selama empat hari, peserta mendiskusikan berbagai perkembangan baru terkait dengan manajemen keuangan VECO.
15
Kabar Internasional
Petani Uganda Memulai PasarBersama Petani di daerah Kumi, Uganda bagian timur, Afrika mendirikan Asosiasi Koperasi Pemasaran Komoditas Pertanian Kumi (KUFFACOS). Asosiasi ini merupakan unit bisnis yang sudah menerima sertifikat dari Menteri Pariwisata, Perdagangan, dan Industri Uganda pada Januari 2009 lalu. Koperasi membantu pemasaran kacang tanah petani di tiga wilayah yaitu Ngora, Atutur, dan Mukongoro untuk kemudian dijual di pasar kota Kumi. Kelompok ini mengelola pemasaran 45 ton kacang tanah senilai sekitar 14.500 euro atau sekitar Rp 188 juta selama Desember 2008 hingga Februari 2009 dari seluruh petani di kawasan tersebut. Hingga Juni 2009 lalu, koperasi telah menghasilkan laba sekitar Rp 10 juta untuk anggotanya. Langkah maju petani di Kumi tersebut merupakan salah satu keberhasilan program dukungan VECO di Uganda. Difasilitasi VECO, petani di Kumi mengindentifikasi berbagai pihak dalam pemasaran seperti perusahaan Agaria di Soroti dan perusahaan benih dari Sudan, AKUKU. Tujuannya untuk membangun hubungan berkelanjutan dengan dua aktor pemasaran tersebut. Saat ini koperasi menjual kacang tanah gelondongan, tapi ke depannya mereka akan segera menjual kacang tanpa kulit karena tuntutan pasar dan peluang keuntungan yang menjanjikan. Namun, ketika petani merasa bahwa saat ini kondisi kami semakin lebih baik, pemilik tanah yang mereka sewa justru menaikkan tarif sewa tanah sekitar 25 persen. Hal ini mendorong petani untuk segera
16
membuat toko sendiri untuk mengurangi biaya penjualan ke kota. Untuk itu pula, kelompok pemasaran sedang mencari dukungan dari lembaga donor. Petani sendiri menghargai dukungan koperasi dalam rantai pemasaran. Kami menawarkan harga yang relatif lebih tinggi daripada tengkulak. Pembayaran kami juga berdasarkan berat yang sesungguhnya menurut timbangan dari petani, bukan timbangan yang tidak dikalibrasi seperti yang biasa dilakukan tengkulak di sini. Kami juga membayar tunai untuk mencukupi kebutuhan petani. Tentu saja hal ini menyenangkan bagi petani karena mereka tidak dicurangi dalam pemasaran kacang tanah, sesuatu yang sering mereka alami ketika menjual kacang tanah tersebut pada tengkulak dan membuat frustasi. “Mulai awal tahun ini, saya mengajak lima petani untuk menjual produknya di KUFFACCOS. Kami menjual 36 karung kacang tanah ke koperasi dan mendapatkan pendapatan yang lebih baik dibandingkan tahun lalu ketika kami menjualnya ke tengkulak,� kata Alice Odeke, Ketua Kelompok Tani di Mukongoro. Odeke, Wilson Ojele dan Odica Martin menjual lima karung kacang untuk membiayai anaknya sekolah. Petani-petani tersebut menggunakan hasil penjualan kacang tanahnya untuk membiayai pendidikan anak, mengolah lahan, atau biaya kursus lain. “Kami sadar bahwa koperasi tidak curang pada petani. Karena itu kami bisa mendapat keuntungan yang lebih,� katanya. [Richard Ariong, Manajer Bisnis KUFACCOS, Kelompok Tani Kumi]
Kabar Internasional
Asosiasi Bisnis Petani Muda di Ekuador Ketika saya berkendara di jalanan Suscal, Ekuador, saya melihat kelompok anak muda datang. Mereka baru saja selesai mengikuti pelatihan dan pertukaran pelajar dengan pemimpin gerakan sosial politik, yang memiliki visi pembangunan berkelanjutan di daerah pedesaan. Pada hari terakhir, mereka mengunjungi lembaga pendidikan kredit dan universitas untuk mengetahui lebih lanjut tentang kesempatan belajar di bidang beragam: teknik industri, akuntan, industri pengolahan pangan, pertanian organik, kedokteran hewan, dan lain-lain. Andres, salah satu dari remaja itu, mengaku bahwa pada hari itu mereka bermimpi untuk bekerja di tanah kelahiran mereka sendiri, dekat dengan keluarga dan teman, dekat dengan kebudayaan, serta hal-hal lain yang mereka sukai. “Di koperasi usaha Chuya Mikuna,” kata Agustina, petan lainnya, “kami bisa menyumbang beragam tugas, tidak hanya pekerjaan terkait pertanian.” Dia seorang ibu muda sekaligus kepala keluarga yang bekerja sebagai wiraswasta. Awalnya dia hanya produsen, menyediakan hasil perkebunan ke toko, kemudian menjadi promotor, mengajar teman-temannya tentang agro-ekologi dan teknik pasca-panen. Dia kini mendapat pelatihan bagaimana menyimpan dan menjual produk pertanian. Ketika menjauh dari kumpulan anak muda tersebut, saya berpikir tentang perlunya strategi pengurus Chuya Mikuna, untuk mendorong adanya pelatihan dan pendidikan untuk anak muda di pedesaan. Organisasi membutuhkan peningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan mencegah ketergantungan pengurus,
sekaligus memperbaharui energi dan komitmen dengan anggota. Hal paling penting adalah untuk meningkatkan kepekaan anak-anak muda pada nilai-nilai pembangunan yang mereka ingingkan. Suscal adalah daerah yang mulai ditinggal pemuda. Menurut Perencanaan Pembangunan, sekitar 90 persen keluarga pedesaan di kawasan ini memiliki anggota keluarga setidaknya 1-2 orang yang pindah ke Amerika Serikat atau Spanyol. Ironisnya, ketika Chuya Mikuna membutuhkan tenaga kerja sebagai akuntan dan teknisi produksi, mereka biasanya harus mempekerjakan orang dari kota besar karena tiadanya kapasitas pada anak muda setempat. Hal yang mengkhawatirkan saya adalah karena anggota organisasi petani yang kami dukung rata-rata berusia 50 hingga 70 tahun. Sanggupkah kami mencegah semakin tuanya populasi masyarakat pedesaan di Chuya tanpa strategi? Jika tidak, siapa yang kemudian menyediakan makanan dan kehidupan bagi kami di masa mendatang? Filomena terlihat masih muda bagi saya, dengan anak berumur 17 tahun dan satu anak berumur 2 tahun. Saya memberanikan diri bertanya. “Filo, ketika anakmu sudah besar, kamu ingin mereka menjadi apa?” “Saya ingin mereka setidaknya menjadi saya, bertanggung jawab pada pusat pelayanan Chuya Mikuna,” jawabnya. Saya tersenyum dan merasa bahwa, saya tidak khawatir lagi. [Verónica Andino - PLA Officer Vredeseilanden]
17
Profil Sebagai Office Manager VECO Indonesia, Yuliati bertanggungjawab menyelesaikan permintaan dari mitra dan staf lain seperti kontrak kerja sama dengan pihak lain, pengaturan workshop, memastikan operasional kantor berjalan dengan baik,dan seterusnya. “Tiada hari tanpa order,” kata alumni Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram yang biasa dipanggil Bu Yuli di kantor ini.
Tradisi Kekeluargaan yang Membuat Betah Bu Yuli
Di antara tumpukan pekerjaan ibu dua anak yang suka memasak ini bercerita pada LONTAR tentang tradisi kekeluargaan di VECO Indonesia. Bergabung dengan VECO Indonesia sejak? Mei 2005. Sebelum itu saya bekerja di GTZ, lembaga donor dari Jerman, untuk program otonomi daerah dan local good governanace. Berati banyak pengalaman di LSM, dong? Sebenarnya dari dulu saya lebih tertarik di bidang development agency. Saya pernah di ILO (lembaga PBB untuk buruh) selama empat tahun pada 1991 1994 untuk program Local Enterprise Development Unit (LEDU) di Mataram, kemudian di Uni Eropa selama empat tahun pada 1994 - 1998 untuk program North Bali Ground Water Irigation di Singaraja, dan terakhir di GTZ sebelum kemudian di VECO Indonesia.
Betah bekerja di VECO Indonesia? Selama ini sih betah-betah saja. Kenapa? Berdasarkan pengalaman di beberapa development agency tempat saya tempat bekerja, selalu ada kekurangan dan kelebihan. Selama kita bisa menerima dan mensyukuri apa yang kita peroleh, maka kita akan betah.
Tanggung jawab utama di VECO Indonesia? Untuk dua hal yaitu administrasi dan personalia. Tugas administrasi seperti mengelola administrasi kantor, surat menyurat, kontrak kerjasama, dan semacamnya. Sedangkan personalia terkait dengan kepegawaian seperti rekrutmen, kontrak, sampai urusan PHK (pemutusan hubungan kerja).
Terus apa yang menarik di VECO Indonesia? Karena dua hal. Pertama karena programnya terutama untuk membantu petani. Kedua karena lingkungan kerjanya yang belum tentu ditemukan di tempat lain. Misalnya hubungan kerja yang kekeluargaan serta tradisi interkulturalisme. Dua hal itu yang agak sulit ditemukan di tempat lain.
Obituari
Daniel Jalesa Tutup Usia Akhir tahun lalu, VECO Indonesia kehilangan salah satu mitra terbaiknya, Daniel Salubongga. Direktur Jaya Lestari Desa (Jalesa) Toraja ini meninggal Oktober 2009 lalu setelah menjalani perawatan di rumah sakit Pelamonia, Makassar selama satu bulan. Daniel meninggal akibat kanker hati yang coba diobatinya sejak awal 2009 lalu.
Bagi VECO Indonesia, Daniel adalah sosok yang sangat akrab. Jalesa merupakan mitra VECO Indonesia di Toraja yang mendampingi petani kopi dan kakao di daerah berhawa dingin ini. Peni Agustiyanto, Koordinator Lapangan VECO Indonesia di Sulawesi, mengatakan bertemu dengan Daniel terakhir kali pada April 2009 dalam workshop Livelihood of Cocoa. “Dia punya cita-cita agar petani kakao di Toraja meningkat pendapatannya secara signifikan,” kata Peni. Menurut Peni, yang mengenal almarhum sejak 2006, Daniel adalah sosok yang bersahaja. Dia juga terus berusaha menjaga mimpinya, mewujudkan kesejahteraan petani kopi di Toraja dan sekitarnya. “Bahkan pada detik-detik terakhir pun dia masih memikirkan petani,” tambah Peni.
Tips
Penampilan Menarik Tak Selamanya Baik “Saya menyemprot sayur dan buah dengan pestisida sebelum kami memanennya. Dengan begitu, penampilan buah dan sayur tersebut tetap menarik ketika sampai pembeli. Padahal kami sendiri tidak berani memakan buah dan sayur itu karena isinya adalah racun,� kata salah satu petani sayur dan buah di Bedugul, Bali akhir tahun lalu. Pernyataan petani tersebut menyentak. Sebab ada selama ini ada anggapan bahwa buah dan sayur yang menarik adalah buah yang bagus untuk dikonsumsi. Anggapan ini ada benarnya. Tapi tak sepenuhnya benar juga. Pernyataan petani tersebut salah satu buktinya. Ternyata buah dan sayur yang terlihat mulus dan bebas dari hama itu sendiri malah beracun. Karena itu hati-hatilah memilih sayur dan buah organik. Bibong Widyarti dalam buku Hidup Organik, Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam memberikan beberapa tip aman memilih sayuran dan buah organik. Menurutnya ada empat faktor utama ketika memilih sayur dan buah: bau atau aroma, tekstur atau bentuk, warna, dan kesegaran. Namun jangan tertipu penampilan. Hakikatnya terletak pada tata cara pertanian organik yaitu penanaman sesua musim, pengendalian hama terpadu yang tepat, serta proses pemanenan dan penanganan pascapanen yang baik.
Inilah sebagian tips menurut Bibong yang sudah mengonsumsi produk organik selama 13 tahun tersebut. Buah-buahan - - - - -
Buah beraroma segar dan sesuai jenis buah, Matang sesuai saat dipanen sehingga tidak perlu diperam lagi. Kematangan bisa disesuaikan dengan kebutuhan, Berwarna merata, permukaan kulit tak bernoda, lecet, atau bercak-bercak yang tidak biasa seperti bercak hitam, Bentuk buah masih utuh, tidak retak atau pecah, Buah tidak berlubang, lunak, dan berair serta masih padat.
Sayur-sayuran - - - - - -
Beraroma segar, Helaian daun masih utuh, padat, dan tidak patah-patah atau terlipat-lipat, Tidak lunak, tidak berair, tidak layu, dan tidak berbau busuk atau sudah kering pada beberapa bagiannya, Warna cerah, merata sesuai jenis sayuran, dan tidak kusam, Untuk sayur buah tidak berlubang atau lecet serta tidak berkerut.
Kacang dan Polong - - - - - -
Beraroma dan berpenampilan segar, Tidak berlubang dan tanpa bintik-bintik, Tidak berair atau lunak, Tidak bertunas kecuali memang tahap kecambah yang hendak dikonsumsi seperti taoge, Warna cerah sesuai jenis kacang atau polongpolongan yang dipilih, Tingkat kematangan disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi atau memasak.
19