PERSONAL THINGS
VIKI RESTINA BELA
“Siapa dirimu adalah misteri yang tak bisa dijawab siapa pun, tidak juga olehmu sendiri.” -JAMAICA KINCAID, The Autobiography of My Mother
“... kalau kita percaya kepada takdir, tidak ada yang bisa menjadi orang asing, bukan? Selalu ada koneksi, sebab mengapa orangorang masuk ke dalam orbitmu, bergetar penuh energi gelap seperti meteor yang menuju tabrakan.” -CHITRA BANERJEE DIVAKARUNI, The Unknown Errors of Our Lives
Pepatah bilang, “Pengalaman adalah guru terbaik”. Tulisan dan gambar yang akan kamu baca dalam zine ini merupakan pengalaman pribadiku. Cukup personal, tak banyak orang yang kubiarkan membacanya, tapi aku pikir, tak apa lah, namanya juga pengalaman menyenangkan, buat apa disimpan sendiri. Selamat membaca!
Penasaran dan selalu ingin bergabung dengan teman-teman buddies di kampus, teman-teman yang mendampingi tamu dari luar negeri, tapi‌ aku tidak cukup percaya diri dan selalu merasa minder untuk berada di tengah-tengah mereka. Sekarang aku bagian dari Biennale Jogja 2015, menjadi LO Lanre, (nama panggilan Olanrewaju Tejuoso, seniman asal Nigeria). Ini gila sih, dia seniman, sedang mengerjakan proyek untuk pameran Black Market Museum (BMM), dan aku mendampinginya. I MADE IT
Selama terjun ke dunia seni dan desain, aku cukup mengagumi beberapa tokoh di dalamnya. Sebatas datang ke sebuah pameran atau diskusi dan memandanginya dari kejauhan, selebihnya banyak mencari tahu di media informasi internet. Ternyata di proyek BMM inilah aku mendapat kesempatan untuk mengenal mereka secara langsung, seperti Mas Wok The Rock, Mba Alia Swastika, Mba Ries, dan bonus ketemu teman-teman PAP (Prison Art Program), seniman Nigeria yang lain (Amarachi, Madam Ndidi, Jude, Aderemi, dan Victor), teman-teman panitia (Mba Lisis, Mba Pipit, Mas Kendal, Adel, dll), teman-teman volunteer (Leon, Sarah, Kuwbon, Cindy, Irene, Maya, Lutfi, Ninda, David, Agni, dll). I MADE IT
Oktober 2015
SARAH
LANRE
KUWBON LEON
CINDY
Pagi ini, aku bisa facial! Muka digosok-gosok, dipijat-pijat sungguh nikmat, sampai tertidur selama kurang lebih setengah jam. Bangun-bangun, wajah terasa lembut sekali. Sorenya, ke JNM (Jogja National Museum), bertemu teman-teman volunteer, lalu wefie. Saat itu aku bertemu Lanre dalam kondisi kesal, akhirnya kami langsung ke BMM. Di sana Lanre merasa lebih lega, tenang berada di dekat karya-karyanya. Dia menceritakan penyebab kekesalannya sampai tak terasa kami mengobrol panjang lebar. Menyenangkan. “Lakukan apapun yang membuatmu senang, asal itu dari hatimu, bukan melakukannya agar orang lain senang” “… yang terpenting, time, forgiveness, and sorry.” “Ketika aku berbicara padamu dari kejauhan, kamu mungkin tak akan mendengarnya, jadi aku perlu mendekat. Begitu juga ketika kamu menghadap kepada Tuhan, jika kamu ingin mengetahui jawaban Tuhan atas doa dan pertanyaanmu, maka mendekatlah pada-Nya.” - Olanrewaju Tejuoso
Malam harinya, aku mengantar Lanre ke TBY (Taman Budaya Yogyakarta) untuk menonton pertunjukkan 100% Yogyakarta dari Teater Garasi. Lanre masuk lebih dulu dengan rombongan seniman, sedangkan aku masih menunggu tiket yang dibawa teman volunteer. Semua penonton yang tadi menunggu di luar sudah masuk, hmm, apa lebih baik aku pulang saja? Baru dua langkah menuruni tangga, eh, ada yang manggil! Ada seorang mas-mas lucu, karena temannya tak kunjung datang, dia menawarkan tiketnya untukku. Wah! What a great day!
(H-1 opening Biennale Jogja XIII)
BU JANTI
@Pendopo Maguwo Sarapan sehat di acara Setu Selo. Akhirnya bertatap muka dengan Ibu Janti (Alterjiwo). Berada di rumahnya, hijau, segar, Jawa. Menyenangkan. Mengikuti kelasnya, mendengarkan ceritanya, tapi aku ngga banyak bicara di sana. Entahlah, mungkin lebih baik aku menjadi pendengar lebih dulu dalam bidang ini. Malah harinya.. @Green Host Di acara Pecha Kucha. Asli rame. Wow. Hebat. Beberapa pembicara masih sangat muda usianya tapi mereka sudah selangkah di depan, sudah melakukan riset panjang. Selangkah di depan lagi, sudah berproses. Selangkah lagi, sudah memilih fokus yang lebih sempit. Selama perjalanan pulang ke rumah, pikiranku ngga jelas, bingung, terlalu banyak yang mengejutkan di hari ini.
20 Februari 2016
Semalam tidur jam tuju malam, emang lagi kesal sih. Sedikit cekcok sama ortu, laptop juga lagi sakit, yaudah tidur deh. Pagi ini bangun jam lima, cukup segar, bisa bantu di dapur sedikit, cuci piring, menyapu, olah tubuh, mandi, sarapan, menyiapkan bekal, mengeringkan rambut, lalu berangkat ke kampus. Perjalanan ke kampus cukup terburu-buru tapi ada yang menyenangkan. Lihat seorang ibu membawa helm, eh, tiba-tiba helmnya jatuh. Kuambil deh itu helm. Si ibu langsung buru-buru berterima kasih sambil melempar senyum yang sangat lebar padaku. Rasanya‌ Seneng banget! Pagi-pagi dapet senyuman dan ucapan terima kasih. Sangat sepele tapi cukup berarti buatku. Sepanjang jalan jadi sensitif. Langit yang tadinya mendung (sempat gerimis) pun jadi cerah. Banyak pohon-pohon hijau lebat dan sedikit basah, di sela-sela dedaunannya ada langit biru segar. Sambil mengeringkan rambut yang masih basah, ngga pakai helm, rasanya seger banget, ngga perlu takut muka kena debu, jalanan di sini memang tidak cukup ramai. Ok. Cukup. Saatnya #prayforpray*. Have a good day!
15 Maret 2016 *prayforpray adalah istilah yang hanya diketahui mahasiswa DKV 2013 dalam menghadapi kuliah di semester enam ini
RINDU RINDU RUMAH RINDU KELUARGA RINDU IBU RINDU AWAN RINDU BAPAK RINDU BERADA DIANTARA MEREKA WALAUPUN AKU SEDANG BERADA DIANTARA MEREKA TAPI AKU TIDAK BENAR-BENAR DIANTARA MEREKA
Mei 2016
bapak awan
ibu
MAS EENG
Apa yang terjadi ketika RITZKLAB* bertemu Kebun Roti? Yang pasti RITZ akan memakan roti-roti Kebun Roti. Hehe. Senang sekali dapat mengenal Mas Eeng dan Mba Ane lebih dekat. Pertemuan tersebut semakin memantapkaku akan kepribadian tiap-tiap orang, dengan siapa kita berkumpul, dari sisi mana kita melihat suatu peristiwa dan bagaimana memaknainya. Bahagia seperti apa yang kita inginkan itu tergantung lingkar pertemanan juga. Bahagiamu tak sama dengan bahagiaku. Bertemu Kebun Roti membuatku bahagia. @ Klinik Kopi
6 Mei 2016 *siapakah RITZKLAB? segera menyusul zine RITZKLAB, sedikit bocoran bisa dilihat di bagian komik
MBA ANE
(Baru saja baca buku Sekolah Itu Candu (walau belum selesai)) Barusan saja aku sekolah di masjid, beberapa menit yang cukup membekas. Katanya, ayat-ayat Al Quran itu ada empat jenis, pertama hanya Allah yang tahu maknanya. Kedua, maknanya dijelaskan oleh Rasul dan Hadist. Ketiga, dijelaskan oleh ulama dan terakhir dapat dipahami semua orang. Al Quran itu obat, bisa fisik, bisa psikis. Walau ustad lain seringkali menganjurkan tidak hanya membaca Al Quran saja tetapi juga memahami artinya, namun ustad malam ini menegaskan bahwa tak mengapa kalau memang belum memahami maknanya.
Hehe sebenernya, ini adalah curhatan pribadi, tapi tak apa deh, boleh saja dibaca banyak orang.
Seperti mengambil air dengan keranjang, sepuluh kali bolak-balik ngga akan deh dapet itu air. Tapi kalau mau diperhatikan lebih dekat lagi, keranjangnya sudah pasti terlihat bersih. Seperti itulah membaca Al Quran. Untuk memahami Al Quran memang butuh niat yang sungguhsungguh, selain baca terjemahannya ya baca tafsirannya, juga baca hadist Rasul.
Juni 2016
Satu lagi, sekolah bisa di mana saja dan bersama siapa saja. Yang terpenting dapat ilmu baru, itu baru namanya sekolah. Ok.
23 Juni 2016
Perasaan yang aneh, ustad ini membuatku merasakan sesuatu, sesuatu yang candu, yang kutakutkan candu itu bukan karena Allah. Selalu senang mendengar ceramahnya, meskipun dengan mata terpejam, masih bisa kuingat suaranya. Sebenarnya aku selalu takut bertatap muka dengannya atau menatapnya terlalu lama, mengingatkanku dengan ajaran yang bilang ‘jangan terlalu lama memandangi lawan jenis’. Hehe.
Semalam aku dapat kesempatan berjumpa lagi dengannya. Beliau mengajakku bicara, walau hanya sebentar. Ternyata beliau tahu namaku, tahu di mana aku kuliah (ya iyalah, namanya juga tetangga). Beliau menanyakan jurusan apa yang kuambil, sambil bercerita bahwa ada teman sesama dosen di kampusku. Satu hal yang baru kusadari, bukan aku “menyukainya�, tapi aku mengaguminya.
November 2016
Sunday oh Sunday… Beberapa jam di kamar membuatku bersin 549 kali, saking berdebunya kamar ini. Datangnya tamu dari Timor Leste mempertemukanku dengan Fala, Valdo, dan Intan. Yang menarik ketika anak disain (Fala dan Viki) ngobrol dengan anak kriya (Valdo). Valdo bilang, anak disain bisanya cuma di teori, ngedisain aja tapi ngga sampai jadi. Kalau kriya diajarkan dari disain sampai ke proses produksi. Lalu Fala membalas, anak disain kalo produksi ya ‘merintah’ orang lain dong. Jadi tersadar… Bahwa kami telah dibiasakan meremehkan orang lain. Ohya, ada
salah seorang dosenku yang, yaa bisa disebut meremehkan disain interior, bahwa pekerjaan mereka nanti itu apasih, arsitek kan sudah menangani semuanya. Hmm, enak ya ngomongnya. Padahal kalau mau dicari tahu lebih dalam lagi, ilmunya beda-beda. Disain aja ada disain komunikasi visual, disain interior, dan disain produk. Semuanya punya karakter masingmasing, kalau disatukan atas nama kolaborasi gimana ngga hebat tuh. Entahlah, ini suatu pembelajaran buatku bahwa memang ngga bagus meremehkan orang lain. It’s rude!
Juli 2016
menunggu dua jam untuk membeli Kebun Roti
FEELING SO HAPPY FEELING SO HEALTHY @IFI LIP Yogyakarta
VIKI
VANYA
ADA
KEMUDIAN MAKAN SEHAT DI LETUSEE NYAM
UK Y ANG
HING
GAP TITA
UTHE
13 Agustus 2016
digambar oleh simbah a.k.a. edwin prasetyo
Wow Malam ini, selepas menonton di FFF (Forum Film Fisipol), aku jadi teringat dua buah lagu. “ … cobalah kau melihat dunia di sekitar dengan mata hatimu” - Maliq D’essentials (Judul: Dunia Sekitar) “… lihat segalanya lebih dekat agar kau mengerti” – Sherina feat Uci Nurul (Judul: Lihatlah Lebih Dekat) Film pendek yang kutonton malam ini: Renita Renita, karya Tonny Trimarsanto, Aban + Khorshid, karya Darwin Serink, The Fox Exploits The Tiger’s Might, karya Lucky Kuswandi, dan Prenjak, karya Wregas Bhanuteja. Tema: Seksualitas dan Politik FFF ini program baru, tapi cukup menarik. Biasanya aku nonton di Klub
DIY Menonton (KDM) dan kemarin sempat ke Sewon Screening juga. FFF ini terasa special karena mereka menghadirkan banyak narasumber, mulai dari movie maker, aktivis, komunitas, seniman, dan lainnya yang terkait tema hari itu. Mantap lah. Malam ini aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selama ini kusimpan. Kenapa orang susah payah, orasi, memperjuangkan hak, teriak, marah-marah. Apasih? Dengan begitu apakah mereka bisa mengubah dunia? Ngga perlu muluk-muluk deh. (Ah dasar Viki, kamu kan ngga ada di posisi mereka, kamu ngga tau apaapa) Yah, itulah cara mereka, berusaha dengan kemampuan yang ada. Kembali sebentar ke film tadi. Bahwa LGBT tidak pernah memilih. Aku dilahirkan sebagai seorang perempuan bukan karena aku memilih
untuk menjadi perempuan. Waria pun begitu, tapi kenapa mereka harus jadi waria? Karena mereka terjebak di dalam tubuh yang berbeda dengan hormon (dominan) yang mereka dapat. Padahal menjadi waria itu tak mudah, perjuangan hidup mereka itu berat. Tapi itulah mereka, berada diantara pilihan biner yang sudah menjadi tatanan sosial masyarakat dan mereka harus memilih.
Salah seorang tadi ada yang menyampaikan bahwa dia baru memulai mempelajari seni. Seni menurutnya bisa menjadi media yang menyenangkan untuk berbagi, apalagi saat ini orang gemar membaca tanda, mencari makna. Kalau menulis, siapa yang mau baca, berapa banyak sih orang Indonesia yang biasa membaca? Kalau orasi, siapa sih yang mau dengar?
Sayang, tak banyak orang yang tahu tentang hal ini. Bisa kalian lihat sendiri kan, waria selalu diremehkan. Mereka tetap manusia, punyak hak yang sama dengan yang lainnya (laki-laki dan perempuan). Isu ini masih dianggap tabu sampai saat ini, orang-orang sungkan untuk membicarakannya. Inilah jawaban pertanyaan tadi, mereka berjuang, menyebarkan informasi, agar orang terbiasa, bukannya semakin dihindari.
Pernyataan ini pun menjawab keraguanku beberapa waktu lalu untuk terus berkarya atau tidak. Sebelumnya aku memang rajin menggambar, menggambar wanita-wanita cantik dari hasil screenshoot. Wah lucu. Bagus. Lalu apa? Ternyata inilah jawabannya, kamu berkarya maka kamu bersikap. He he. Begitu kan?
10 November 2016
Aku jadi ingat Fatia. Aku senang berteman dengannya. Ngga mudah menemukan orang yang tulus menghargaimu. Aku sendiri ngga yakin aku bisa berbuat sama seperti yang dilakukan Fatia padaku. Mengobrol dengannya, tiga jam itu ngga kerasa. Fatia kalau ngomong, mengutarakan pendapat, ataupun membagikan pengalamannya itu ‘unstopable’, dan aku senang-senang aja mendengarkannya. Dia mau ‘mendengarkanku’ dan meresponnya dengan sikap yang tak menggurui. Baiklah, Fatia sudah terbiasa membaca buku dari usianya yang masih belia, sedangkan aku, baru tesadar sekarang betapa membaca itu membuatku membuka mata, membuka telinga, dan menjadikanku semakin merasa kecil di dunia yang, penuh misteri ini. Aku ngga akan menyalahkan orang tuaku yang ngga membelikanku buku bacaan atau menyalahkan diriku yang selama ini, bodoh. Aku hanya ingin berterima kasih dengan orang-orang yang ada di zine ini. Mereka telah menjadi bagaian dari proses, entahlah, pendewasaanku mungkin. Terima kasih!
November 2016