merindukan
damai
Murad Lazar
Judul Asli: yearning for peace Š Murad Lazar, 2013 Judul Terjemahan: merindukan damai
Yearning for Peace E-mail: yearningpeace@gmail.com Š Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis.
daftar isi Pengantar: Sebuah Tinjauan tentang Hidup dan Isi Hati Penulis
d Bab 1 – 5: Mimpi Itu
13
25 Pasien yang Tidak Biasa 33 Panggilan Telepon 41 Di Jalan Menuju Damai 49
Hati ke Hati dengan Allah
d Sebuah Catatan Pribadi
65
7
Pengantar 7
pengantar
d Sebuah sumber memperkirakan bahwa lebih dari 107 miliar manusia telah hidup di bumi ini sejak awal zaman. Yang mengejutkan saya adalah fakta bahwa Allah menciptakan setiap kita unik—tidak seperti siapa pun yang lain. Alangkah berharganya dan bernilainya setiap kita bagi Dia! Saya tidak menulis cerita singkat ini karena saya ingin menjadi penulis. Secara tulus saya ingin bersentuhan dengan Anda, saudara pembaca, di tingkat pribadi. Jadi, izinkanlah saya memperkenalkan diri. latar belakang etnis
Asiria. Artinya, saya punya suatu “rasa� tentang menjadi kaum minoritas dan tentang apa yang disiratkannya. Kami tidak memiliki negeri sendiri sejak tahun 612 SM. Ayah saya, karena status minoritasnya, tiga kali menjadi
8 merindukan damai
pengungsi di barat-laut Iran pada bagian awal abad ke-20. Beliau biasa berbangga bahwa beliau lulus SMP di usia 24 tahun! kebangsaan berdasarkan kelahiran
Iran. Selama sembilan tahun pertama hidup saya, saya tumbuh di tengah bangsa yang terdiri dari 98 persen orang Muslim, kebanyakan kaum Syiah, dan negeri yang menjadi rumah bagi kaum minoritas seperti orang Armenia, Asiria, Kurdi, penganut agama Zoroaster, dan Yahudi. Sepanjang saya bisa ingat, saya sudah hidup secara multibudaya. pendidikan
Di Iran, empat kelas pertama saya di sekolah diajar dalam bahasa Persia (Farsi) dan Asiria. Dari usia 9 sampai 17 saya belajar di sekolah berasrama untuk anak laki-laki di India sambil menikmati teh sedap, banyakbanyak main kriket, sepak bola, dan hoki, berakting dalam drama Shakespeare, dan mendapat hukuman badani beberapa kali. Selama delapan tahun di India, hanya sekali saja saya bertemu dengan orang tua saya di Iran. Saya menempuh pendidikan perguruan tinggi di Amerika Serikat dan menggondol gelar sarjana peternakan. Tapi saya segera memutuskan bahwa saya tidak mau menjadi peternak. Saya juga memperoleh gelar Pendidikan Jasmani di India. Akhirnya, saya mendapatkan gelar teologi di Beirut, Lebanon. Pengalaman multibudaya saya meluas
Pengantar 9
tahun demi tahun. Satu-satunya saat kemunduran terjadi ketika saya belajar bahasa Inggris dengan menumbalkan bahasa Asiria dan Farsi. keluarga: Saya beruntung memiliki seorang istri yang dibesarkan di Afrika dan putri-putri yang tumbuh besar di Timur Tengah, sebelum akhirnya kami menetap di Amerika Serikat. agama: Saya dibesarkan dalam keluarga Nasrani ‘KTP’ dengan keterpaparan kepada Islam selagi di Iran serta sedikit Hinduisme dan Budhisme di India. investasi hidup:
Saya menghabiskan 52 tahun terakhir dengan menjadi mentor bagi siswa SMU dan mahasiswa yang berasal dari banyak belahan dunia. Saya juga menikmati pergaulan dengan orang tua dan anggota keluarga mereka.
ekonomi: Saya menjalani hidup di kelas menengah, dan hampir selalu hidup dari bulan ke bulan saja.
kerinduan-kerinduan hati
Jadi, mengapa saya menulis satu serial buklet tentang kerinduan-kerinduan hati kaum Muslim? Mudah saja untuk bersikap diplomatis dan tepat-secara-politis ten-
10 merindukan damai
tang hal ini, tapi saya ingin benar-benar jujur tentang niat saya. Sebagai ungkapan kasih kepada Allah dan sesama, saya ingin berbagi dengan Anda dan semua orang hal terbaik yang bisa saya berikan sebagai hadiah untuk kesejahteraan abadi Anda. Anda, kaum Muslim, telah menjadi bagian terpadu dari hidup saya. Karena itu saya ingin menjadi sesuatu yang dapat mendatangkan berkah bagi Anda. Saya merasa kagum dan tertantang oleh bakti dan kesetiaan Anda yang tak sungkan-sungkan kepada agama Anda, keramah-tamahan Anda, dan kerinduan Anda akan keadilan. Dan mengingat argumen-argumen teologis serta politis selama 14 abad terakhir, saya terdorong untuk mengulurkan tangan di tingkat hati. Setelah bertahun-tahun memikirkan pokok bahasan ini, saya membuat survei-satu-pertanyaan untuk mengenali kerinduan-kerinduan kaum Muslim. Saya tidak ingin menebak-nebak apa kerinduan Anda. Saya ingin Anda mendapat kehormatan untuk mengungkapkan hal apa yang terpenting bagi Anda di tingkat yang paling dalam. Pertanyaannya tidak bersifat memojokkan atau menghakimi. Bunyinya hanya begini: “Kalau Allah
berbicara kepada Anda lewat mimpi bahwa Ia akan mengabulkan keinginan hati Anda yang terdalam, apakah yang akan Anda minta kepada-Nya?� Survei ini tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi survei ilmiah, tapi semata-mata merupakan kendaraan untuk memberi ungkapan yang bersifat anekdot kepada
Pengantar 11
kerinduan-kerinduan Anda yang terdalam. Seperti bisa Anda tebak, pertanyaan yang terbuka lebar ini mendapat jawaban beragam. Berikut adalah beberapa contoh tanggapan yang saya terima: • “Pertanyaan ini berasal dari Iblis.” • “Allah tidak perlu menyuruh saya meminta kepada-Nya; Ia sudah tahu.” • “Agar putri saya mendapatkan suami yang baik.” • “Saya ingin mendapat kepastian bahwa dosadosa saya diampuni.” • “Agar tidak ada lagi perang di dunia.” • “Saya ingin nenek saya hidup kembali.” • “Pekerjaan yang baik.” • “Saya ingin mendapat kepastian bahwa saya akan masuk surga.” Saya bermaksud menerbitkan satu serial buklet yang membahas kerinduan-kerinduan yang paling lazim diungkapkan. Saya tidak berharap Anda akan setuju dengan saya dalam segala hal. Tapi saya berharap Anda akan cukup penasaran untuk menjelajahi kemungkinan terpenuhinya keinginan terdalam Anda lewat suatu relasi yang mungkin tidak pernah Anda pikirkan sebelumnya. Itu akan menjadi petualangan terhormat, intelektual, filosofis, budaya, dan rohani yang bisa kita jalani bersama. Tentu saja saya akan senang mendengar tanggapan dari
12 merindukan damai
Anda. Silakan kirimkan pertanyaan dan komentar Anda ke yearningpeace@gmail.com
Mimpi Itu 13
bab
1
mimpi itu
d “Kalian tidak akan mempercayai mimpi yang kudapatkan semalam!” seru Hakim kepada ketiga sahabatnya, yakni teman-temannya bermain backgammon. Mustafa, Subhi, dan Zuhair terkesima oleh nada gembira dalam suaranya. Selama 14 tahun mereka datang ke kedai kopi itu hampir setiap Kamis malam, menikmati persahabatan, kopi, argileh1, dan terkadang mengeluhkan bagaimana temanteman mereka berbuat kesalahan yang tak terhindarkan dalam permainan backgammon. Pertemuan tiap pekan itu hampir selalu menjadi kesempatan mereka untuk “memecahkan” masalah-masalah dunia, khususnya politik di dunia Arab. Sementara bis kota berjuang mendaki jalan satu arah di sebelah barat Beirut dengan kenalpot meletup-letup, 1
Alat hisap rokok dengan pipa berair. Sering juga disebut “hukah”.
14 merindukan damai
keempat sahabat itu baru saja menduduki kursi mereka di kedai kopi. Kedai itu berada di lantai dasar bangunan berlantai delapan yang letaknya berseberangan dengan Apotek Lighthouse. Mustafa lebih tinggi dari rata-rata orang Lebanon. Ia kurus, bapak dari tiga orang putri, dan barangkali pemain backgammon yang paling tangguh di antara mereka. Ia membuka perlengkapan backgammon buatan Suriah yang beraksenkan indung mutiara itu lalu mulai meletakkan keping-keping hitam dan putih di posisi awal. Zuhair memungut pasangan dadu mungil. Walau sifatnya pemalu, ia ingin melakukan gerak pertama dan berharap diam-diam agar dadu mengeluarkan angka enam-enam. Ia pendek dan gemuk-bundar, tak pernah absen mengenakan kafiyeh2 hitam-putih, caranya yang tenang untuk mengungkapkan kebanggaan sebagai orang Arab. Seorang pelayan muncul dengan empat cangkir kopi Turki hitam kental, menyebarkan aroma kopi bubuk giling yang tak terlupakan. Zuhair dan Subhi, sepupunya, memberi isyarat kepadanya bahwa mereka siap mengisap argileh. Subhi berbadan montok dengan kepala mengkilap. Ia adalah nyawa dari kelompok itu, karena pasokan humor lokalnya tak ada habisnya. Dengan cepat ditanggapinya pernyataan antusias Hakim. “Apakah mimpimu itu seperti mimpi yang kaudapatkan tiga pekan lalu, bahwa 2
Serban pria Arab yang bercorak kotak-kotak putih-hitam.
Mimpi Itu 15
semua orang Palestina di kamp pengungsi kita pulang ke Palestina?” Sahabat keempat, Hakim, sering disebut “Doctore”3 sesuai dengan arti namanya. Tinggi badannya lima kaki delapan inci. Ada sebuah parut di sisi kiri lehernya, kenangkenangan permanen dari pecahan geranat yang nyaris menewaskannya dalam perang sipil Lebanon. Seperti yang lain-lain, usianya sekitar 60 tahun. Kelompok ini bukan saja menyukai Hakim tapi juga sangat menghormati dia karena profesinya sebagai dokter. Namun, belum pernah sahabat-sahabatnya menyaksikan teman mereka begitu bersemangat seperti ketika ia menyebutkan mimpinya. “Bukan, bukan. Bukan seperti itu,” jawab Hakim. “Lalu apa mimpi luar biasamu itu, Doctore?” tanya Zuhair, yang sudah tak sabar ingin memulai permainan. “Dalam mimpiku, kamar menjadi terang benderang dan Allah4 berbicara kepadaku lewat pesan mental. Ia berkata, ‘Kalau Aku berjanji untuk mengabulkan keinginan hatimu yang terdalam, apa yang hendak kauminta kepada-Ku?’” Ada keheningan buta sewaktu Hakim berbicara. Tak seorang pun melempar dadu, menyeruput kopi, atau mengisap argileh. “Dari mana kau tahu bahwa itu Allah, bukan jin?5” tanya Subhi dengan dahi berkerut. 3 4
5
Lafal Perancis yang biasa digunakan di Lebanon. “Allah” adalah kata Arab bagi Sang Pencipta dan digunakan baik oleh kaum Muslim maupun kaum Nasrani. Makhluk halus.
16 merindukan damai
Hakim terdiam dengan penuh pikiran. “Jelas aku tidak dapat membuktikannya. Dan aku sama sekali tidak bermaksud berkata bahwa aku melihat Dia. Tapi aku punya perasaan jernih bahwa Dialah yang berbicara kepadaku. Tidak dengan suara lantang—hanya lewat pesan mental. Sepertinya kalau Allah ingin menyampaikan suatu pesan kepada kita, Ia akan memberi kita perasaan batin yang kuat bahwa Dialah yang sedang berbicara.” Zuhair mencondongkan badan ke depan karena ingin tahu apa yang terjadi selanjutnya. Ia berbisik, “Aku tidak pernah mendengarmu bicara seperti ini, Doctore. Kau selalu bersikap ilmiah. Aku tahu bahwa kau beriman kepada Allah, tapi aku tidak pernah memandangmu sebagai seorang Muslim taat yang menaruh banyak perhatian kepada perkara-perkara iman.” “Kau betul, Zuhair,” kata Hakim. “Aku hanya pergi ke masjid pada peristiwa-peristiwa khusus. Tapi ini benarbenar istimewa. Aku seperti membeku, terkapar tak berdaya, tenggorokanku tersumbat. Air mata mengalir dari mataku. Di satu sisi, aku merasa begitu istimewa karena Allah berkenan memilih aku dan menawarkan hal yang begitu luar biasa. Di sisi lain, aku menangis lebih hebat lagi sewaktu bangun. Aku merasa amat tidak layak dan malu karena aku tidak bersungguh-sungguh dengan Dia dalam hidupku.” Subhi berhati-hati mencicip kopinya untuk mengetahui apakah sudah cukup dingin untuk diseruput. “Doctore, maafkan aku karena perkataanku ini, tapi kalau aku jadi