Fact Sheet Edisi I, 2012 The WAHID Institute & Yayasan Tifa
Jumat 20 April 2012, kerukunan antar umat Islam kembali terkoyak dengan peristiwa perusakan dan penyerangan masjid Ahmadiyah di Singaparna, Tasikmalaya. Meski dalam peristiwa ini tidak ada korban jiwa, namun penyerangan ini menjadi teror tersendiri, khususnya bagi jamaah Ahmadiyah di sana. Masjid yang sedianya digunakan untuk melaksanakan shalat tiba-tiba dirusak. Tampak kaca, kusen, kran air, parabola, dan karpet masjid rusak dan terbakar (detiknews.com, 20/04/2012).
SKB 3 Mentri dan Perusakan Mesjid Ahmadiyah Tasikmalaya
A
ksi vandalisme ini bermula dari acara dialog sepekan sebelumnya, tepatnya pada Kamis 12 April 2012, yang menghadirkan juru bicara Front Pembela Islam (FPI), perwakilan Jemaah Ahmadiyah di kantor Kepala Desa Cipakat. Dialog ini difasilitasi Kepala Desa Cipakat, melibatkan Polsek, Unsur Muspida, Koramil, dan Camat setempat. Upaya dialog ini diambil untuk mencari solusi atas ketegangan antara kedua belah pihak sejak terkait dengan pelakasanaan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terkait aktifitas Jamaah Ahmadiyah di Indonesia (inilah.com, 21/04/2012). Dalam dialog tersebut, perwakilan FPI menuduh Jamaah Ahmadiyah telah melanggar SKB 3 Menteri dan Peraturan Gubernur Jawa Barat, karena terbukti masih melakukan proses ibadah. Perwakilan FPI menuntut kepada Jamaah Ahmadiyah setempat untuk menghentikan segala aktifitas peribadatan, karena bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sebaliknya, Ketua Jemaah Ahmadiyah Kecamatan Singaparna Nanang Ahmad Hidayat bersikukuh bahwa melaksanakan ibadah berdasarkan agama dan keyakinan masing-masing adalah hak asasi setiap manusia dan dijamin oleh pasal 29 UUD 1945. Nanang mengurai bahwa selama dialog, perwakilan FPI sama sekali tidak bisa menerima argumen tersebut, dan berakhir tanpa ada kesepakatan dan menemui jalan buntu (inilah.com, 21/04/2012). Selang beberapa jam setelah dialog berlangsung, sore itu juga puluhan orang anggota ormas FPI mendatangi dan menyegel masjid Baitul Rahim. Massa menggembok pagar dan menutup pintu masjid dengan papan kayu. Tidak
lama berselang, para anggota ormas membubarkan diri. Keesokan harinya, karena hendak melaksanakan salat Jumat, para Jamaah Ahmadiyah membuka segel tersebut. Sepekan setelah segel dibuka, jamaah bisa melaksanakan aktifitas seperti biasa. Seperti dikutip inilah.com (13/04/2012), Nanang menjelaskan bahwa para pemeluk Ahmadiyah tidak merasa melanggar SKB 3 menteri atau Peraturan Gubernur, sebab mereka hanya hendak menjalankan sholat Jumat seperti biasa. Namun, ibarat pepatah jauh panggang dari api, nampaknya suasana aman ini tidak berjalan lama. Pasalnya, seminggu setelah aman, tepatnya pada Kamis 19 April 2012, perwakilan kepolisian setempat menginformasikan bahwa Front Pembela Islam akan kembali menyegel masjid Baitul Rahim. Benar saja, sekitar jam 10.00 pagi hari Jumat 20 April 2012, sekitar 150 orang dengan berbagai atribut ormas (termasuk atribut FPI) berunjuk rasa di depan masjid Baitul Rahim seraya memasang sepanduk dan berorasi menyampaikan surat pernyataan sikap bahwa warga keberatan dengan aktivitas Ahmadiyah di sana. Menurut Nanang, seperti dikutip detiknews.com (20/04/2012), memang sejak pukul 08:00 pagi, beberapa aparat kepolisian dari Polres Tasikmalaya terlihat sudah berada di masjid untuk berjaga-jaga. Namun, akibat banyaknya massa FPI dan minimnya jumlah aparat, aksi vandalisme tidak dapat dicegah. Massa yang sudah dirundung amarah tidak dapat dibendung dan langsung menghambur memasuki pelataran masjid sambil terus melakukan perusakan. Nanang berkisah, mereka merusak kaca, kusen, kran air dan parabola.
SBK 3 Mentri dan Perusakan Mesjid Ahmadiyah Tasikmalaya
Selain itu, massa sempat melempar bom molotov hingga membakar hampir seluruh karpet masjid. Beruntung, saat berlangsung, ada dua jamaah Ahmadiyah yang sedang membersihkan masjid, sehingga kebakaran dapat diantisipasi. Sekitar pukul 11.00 WIB, massa meninggalkan masjid. Meski demikian, jamaah Ahmadiyah tetap menjalankan salat Jumat di tengah kerusakan dan bau minyak tanah sisa bom Molotov (detiknews.com, 20/04/2012). Nanang dengan lugas menyatakan bahwa tampak sekali aparat kepolisian tidak berdaya dan terkesan membiarkan aksi perusakan dan usaha pembakaran masjid. Hasil wawancara dengan beberapa Jamaah Ahmadiyah, sedikitnya sudah empat kali massa yang mengatasnamakan gabungan ormas Islam mencoba merusak masjid tersebut. Mereka selalu mengatasnamakan SKB 3 Menteri dan Peraturan Gubernur Jawa Barat. Ironisnya, selama insiden pada jumat kelabu tersebut, tidak ada satupun tersangka yang ditangkap langsung. Bahkan, pihak Kasi Humas Polres Tasikmalaya, Ipda Pol Budi Rahayu, hanya bertindak mengkonfirmasi berita insiden pengrusakan masjid Ahmadiayah, Baiturrahim, di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, tanpa bisa menunjukkan siapa atau organisasi apa yang harus bertanggung jawab. Padahal, jelas sekali seperti dikutip berbagai media semisal Gatranews, bahwa atribut yang digunakan kelompok pelaku pengrusakan adalah lambing dan simbol Front Pembela Islam (FPI) (gatra. com, 20/04/2012). Sikap pembiaran ini juga tampak dalam pernyataan Wakapolda Jabar Brig jen Pol Hengki Kalluara di Mapolda Jabar yang sekedar
mengkonfirmasi fakta perusakan, tanpa ada perintah penangkapan (detiknews. com, 20/04/2012). Melihat respon aparat yang sangat lamban, berbagai LSM pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) mengeluarkan release tentang kejadian dan menuntut Kapolri beserta jajarannya untuk melakukan penangkapan cepat sekaligus dan memproses para pelaku perusakan Masjid Baitul Rahim secara hukum, sekaligus memberikan jaminan perlindungan kepada Jemaat Ahmadiyah di Singaparna saat itu. Hampir dua hari paska kejadian, tidak ada inisiatif aparat kepolisian untuk menangkap pelaku. Baru dua hari setelah peristiwa, tepatnya minggu 22 April 2012, pihak Mabes Polri melalui Kabareskrim Komjen Pol Sutarman menyatakan sikap akan menindak tegas pelaku perusakan Masjid Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat dan akan melindungi Jamaah Ahmadiyah. Sutarman menambahkan bahwa pemerintah tidak pernah melarang keberadaan organisasi Ahmadiyah karena itu sebagai warga Negara mereka juga harus dilindungi (okezone.com, 22/04/2012). Sampai fact sheet ini dibuat, penyelesaian kasus ini masih saja menggantung dan sekedar berkutat pada pemeriksaan saksi. Sekitar 12 saksi telah diperiksa. Para saksi berasal dari para pelaku, jamaah Ahmadiyah, warga sekitar lokasi kejadian, serta beberapa pegawai KUA setempat. Bahkan, pihak kepolisian berdasarkan pernyataan Kapolres Tasikmalaya, AKBP Irman Sugema, masih belum bisa menentukan siapa pelaku aksi perusakan dan pelemparan bom Molotov (vivanews. com, 24/04/2012).
Fact Sheet Edisi I, 2012
Analisis 1.
Tindakan vandalisme Masjid Baitul Rahim di Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak konstitusi kelompok minoritas.
2.
Sikap polisi yang tidak berbuat apa-apa pada saat peristiwa berlangsung kejadian juga sangat disesalkan. Pasalnya, peristiwa ini dilakukan di hadapan aparat kepolisian yang tidak mengambil tindakan apa-apa terhadapnya.
3.
Peristiwa ini jelas merupakan ancaman serius terhadap Hak Asasi Manusia yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
4. Peristiwa perusakan tersebut menjadi bukti ketiadaan niat pemerintah untuk melindungi kaum minoritas, khususnya Ahmadiyah. 5.
Pelaku telah melakukan tindakan kriminalisasi terhadap ajaran dan keyakinan yang bisa dituntut dengan delik pidana.
Rekomendasi 1.
Menyerukan kepada Mahkamah Konstitusi melakukan review atas putusan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, yang dianggapnya sebagai legitimator bagi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang, terhadap kelompok agama minoritas.
2.
Mendesak Presiden untuk mengambil langkah tegas untuk mengevaluasi kinerja kementerian yang terkait, khususnya Kementrian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan POLRI untuk mencegah makin meluasnya praktek yang sama.
3.
Mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan mengambil langkah lain yang diperlukan bersama dengan kementrian terkait untuk memastikan tidak terulangnya aksi-aksi yang sama.
4. SKB ini sekali lagi terbukti dijadikan alasan terjadinya rentetan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang tertentu, terhadap kelompok Ahmadiyah. 5.
Pemerintah Daerah lanjut Indria, melalui jajaran pemerintahan dibawahnya harus segera tanggap menghadapi persoalan ini dengan mengedepankan perlindungan terhadap para korban, bukan justru menjadi pihak yang melakukan pembiaran atas tindakan kekerasan dan perusakan.
Penerbit: The WAHID Institute I Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Anita Wahid Pemimpin Redaksi: Rumadi I Staff Redaksi: Subhi Azhari, Alamsyah M. Djafar, Nurun Nisa, Gamal Ferdhi, Badrus Samsul Fata Design & Layout: Neng Erlina Alamat Redaksi: Jl. Taman Amir Hamzah 8, Jakarta-10320 I Telp: + 62 21 3928 233 I Fax: +62 21 3928 250 Email: info.wahidinstitute.org I Website: wahidinstitute.org Facebook: facebook.com/Wahid.Institute.GusDur I Twitter: @WAHIDinst Pernerbitan ini hasil kerjasama The Wahid Institute dan Yayasan Tifa