Fact Sheet II 2012 - The Wahid Institute

Page 1

Fact Sheet Edisi II, 2012 The WAHID Institute & Yayasan Tifa

P

eristiwa penyegelan dan penutupan 20 gereja dan rumah ibadah kepercayaan local di Aceh Singkil oleh Pemerintah Kabupaten tidak pelak merupakan cermin buram toleransi beragama sekaligus catatan merah penegakan kebijakan tentang rumah ibadah di Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Apalagi penyegelan tersebut dilakukan sebagai respon atas desakan sebuah ormas keagamaan setempat menyiratkan betapa lemahnya pemerintah berhadapan dengan kelompok-kelompok keagamaan intoleran. Akibatnya, ribuan jemaat Kristen di Aceh Singkil tidak bisa melaksanakan ibadah di rumah ibadah mereka dan diliputi rasa tidak aman karena ketegangan sosial yang makin meningkat.

Pelanggaran Kebebasan Beragama di Aceh Singkil


P

enyegelan itu terjadi pada tanggal 1-3 Mei 2012 dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari MUSPIDA, MUSPIKA, SATPOL PP dan FPI atas persetujuan Pj. Bupati Aceh Singkil Ir. H. Razali AR. Gerejagereja yang disegel antara lain: GPPD Biskang di Nagapaluh, Gereja Katolik di Nagapaluh, Gereka Katolik di Lae Mbalno, GKPPD Siatas, GKPPD Tubuhtubuh, GKPPD Kuta Tinggi, KGPPD Tuhtuben, HKI unung Meriah, GMII Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, Rumah ibadah Pambi – aliran kepercayaan local dan beberapa gereja lainnya. Alasan penyegelan ini adalah dalam rangka penertiban rumah ibadah yang tidak memiliki izin. Alasan lain sang bupati yang disampaikan ketika bertemu para pmpinan gereja tanggal 2 Mei 2012 adalah bahwa umat Kristen telah melanggar Perjanjian bersama umat islam yang ditandatangani pada tahun 1979 dimana dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa di Aceh Singkil hanya boleh ada 1 gereja dan 4 undung-undung (rumah doa). Bupati juga menyebutkan bahwa Aceh adalah daerah istimewa dimana provinsi ini berbeda dengan provinsi lain termasuk dalam pengaturan rumah ibadah. Pada kesempatan ini, bupati juga membenarkan adanya aksi damai dari umat Islam yang meminta supaya Perjanjian tahun 1979 ditegakkan kembali dan meminta pembongkaran gereja-gereja yang tidak memiliki izin. Dengan berbagai alasan tersebut, bupati memerintahkan para pimpinan gereja yang hadir untuk membongkar sendiri gereja mereka. Dan jika tidak, maka pemerintah akan membongkar secara paksa.

Aliansi Sumut Bersatu dalam laporanya juga menyebutkan bahwa penyegelan 20 rumah ibadah ini tidak lepas dari adanya demonstrasi ratusan umat Islam pada 30 April 2012 di Kantor Bupati Aceh Singkil. Mereka berorasi menuntut ketegasan Pemkab Aceh Singkil menegakkan kembali Perjanjian tahun 1979. Mereka juga menyampaikan kekecewaannya terhadap FKUB dan MPU yang tidak bertindak demi Islam dan membiarkan gereja menjamur di mana-mana. Dalam demonstrasi ini, ada peristiwa tidak lazim dimana pejabat negara yang seharusnya berada dalam posisi netral justru memihak para demonstran. Pejabat tersebut adalah Kapolres Aceh Singkil AKBP Bambang Syafrianto yang tampil sebagai orator dan mengusulkan sebuah solusi untuk masalah ini. Dalam orasinya, Bambang mengatakan: “Bagaimana kalau kita berikan toleransi bagi umat Kristem membongkar gerejanya yang tidak berizin 3 x 24 jam dan kalau tidak kita bentuk tim untuk membongkar?� Tawaran yang kemudian disetujui dan menjadi keputusan para pendemo. Keputusan demonstrasi ini kemudian ditindaklaunjuti oleh Bupati pada tanggal 30 April dengan mengeluarkan Surat kepada Ketua Pembangunan / Pimpinan Gereja perihal pemberitahuan bahwa pada tanggal 1 Mei akan diturunkan Tim Penyelesaian Sengketa Pembangunan Rumah Ibadah di Wilayah Kabupaten Aceh Singkil untuk melakukan penertiban / penyegelan rumah ibadah yang tidak memiliki izin pendirian rumah ibadah. Dan memang benar, pada tanggal 1-3 Mei, tim yang dimaksud turun ke gerejagereja guna melakukan penertiban.

Pelanggaran Kebebasan Beragama di Aceh Singkil


Selain menanyakan izin, tim tersebut juga menanyakan sumber keuangan pembangunan apakah berasal dari luar negeri atau tidak. Kedatangan tim monitoring ini mendapat penentangan dari para jemaat gereja. Di GKPPD Siatas misalnya 60 orang ibu-ibu histeris menangis ketika tim akan menyegel gereja mereka. Ketua Pembangunan, Guru Jemaat dan Kepala Desa Siatas dan Pertabas ikut menentang tindakan tim ini. Guru Jemaat St. Norim Berutu mengatakan, jika gereja disegel maka jemaat tidak akan bisa beribadah sehingga mereka bisa terjerumus dalam kesesatan. Kepala Desa Siatas dan Perbatas mengatakan bahwa selama ini tidak pernah ada masalah di desa tersebut sebab semua warga memiliki ikatan kekeluargaan walaupun berbeda agama. Harmoni di tengah masyarakat telah terbangun puluhan tahun. Dalam pertemuan dengan Bupati, DPRK, MPU, Kapolres dan Kasdim pada tanggal 2 Mei, pimpinan gereja juga menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan dokumen HAM yang telah diratifikasi Indonesia. Karena itu tidak ada alasan untuk membatasi rumah ibadah. Mengenai Perjanjian tahun 1979 saat ini sudah tidak relevan dan harus ditinjau lagi, karena umat Kristen di Aceh Singkil sudah lebih dari 1500 KK, dimana 1 gereja dan 4 undung-undung tidak cukup lagi. Lebih jauh lagi Perjanjian tersebut betentangan dengan UndangUndang. Pembongkaran gereja hanya akan melahirkan ketegangan dan konflik di Aceh Singkil. Pimpinan gereja lain menyatakan

bahwa Perjanjian 1979 tidak murni hasil musyawarah melainkan dibawah tekanan. Jika aparat datang merobohkan gereja dan jemaat mempertahankannya, maka bukan tidak mungkin akan terjadi konflik seperti di Ambon. Adapun mengenai izin, gereja telah berupaya memenuhi persyaratan yang diminta dalam SKB termasuk rekomendasi dari berbagai lembaga, namun hingga saat ini izin belum keluar. Begitupula para Kepala Desa yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan bahwa di daerah tersebut tidak ada umat islam yang keberatan dengan keberadaan gereja. Menyikapi peristiwa ini, sejumlah kalangan telah menyampaikan penyesalan dan kecaman terhadap tindakan Pemkab Aceh Singkil. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyayangkan penyegelan tersebut. Menurutnya, tiap umat berhak mendirikan rumah ibadah masing-masing. Umat mayoritas tidak boleh memaksa umat minoritas. (okezone.com, Rabu, 13 Juni 2012) Pada 31 Mei 2012, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan juga telah melayangkan surat kepada Bupati Aceh Singkil. Dalam Suratnya Komnas Perempuan menyatakan bahwa tindakan penyegelan sejumlah rumah ibadah di Aceh Singkil dapat berpotensi pengingkaran tanggung jawab Negara untuk menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga Negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara RI 1945 untuk dapat memeluk agama dan keyakinan dan untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya itu. Anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan, salah satu sumber masalah adalah Peraturan Gubernur 25/2007 tentang Pedoman

Fact Sheet Edisi II, 2012


Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan ini berisi syarat-sayat yang lebih berat dibanding SKB 2 Menteri tentang hal yang sama. “Kalau SKB mensyaratkan 60 anggota jemaat gereja untuk mengajukan permohonan IMB, maka Pergub tersebut meminta 150 jemaah. Yang lebih menyedihkan ada fatwa lokal yang menyatakan pengharaman bagi umat muslim untuk memberikan tandatangan persetujuan. Artinya, upaya meminta 90 tandatangan persetujuan dari masyarajat setempat tidak mungkin tercapai,� ungkapnya (Tribunnews.com, Selasa 12/6/2012). Sebagaimana disinyalir Eva, selain adanya Pergub Aceh yang mematok syarat yang lebih berat ketimbang Perber 2 Menteri tahun 2006, meruncingnya persoalan rumah ibadah umat Kristen di Aceh Singkil karena adanya konflik antara hukum negara dengan hokum masyarakat dalam hal ini Perjanjian 1979 dan 2001. Umumnya masyarakat yang menentang gereja-gereja di sana memilih untuk menegakkan kembali perjanjian tersebut ketimbang mengikuti aturan negara. Bahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mengakui tidak bisa mengambil posisi yang tegas dalam konflik hokum ini. Jika mengikuti aturan yang ada, maka dengan memenuhi persyaratan yang digariskan, pembangunan gereja dapat diteruskan. Namun dengan begitu umat Kristen akan dianggap telah melanggar isi perjanjian yang mana berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Peristiwa Aceh Singkil ini adalah kasus pertama dimana Perber 2 Menteri tahun 2006 berhadapan secara diametral dengan hokum masyarakat. Karena itu hingga saat ini, belum ada solusi yang efektif untuk menyelesaikannya dimana masing-masing pihak dapat menerima dengan lapang dada.

Penerbit: The WAHID Institute I Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Anita Wahid Pemimpin Redaksi: Rumadi I Staff Redaksi: Subhi Azhari, Alamsyah M. Djafar, Nurun Nisa, Gamal Ferdhi, Badrus Samsul Fata Design & Layout: Neng Erlina Alamat Redaksi: Jl. Taman Amir Hamzah 8, Jakarta-10320 I Telp: + 62 21 3928 233 I Fax: +62 21 3928 250 Email: info.wahidinstitute.org I Website: wahidinstitute.org Facebook: facebook.com/Wahid.Institute.GusDur I Twitter: @WAHIDinst Pernerbitan ini hasil kerjasama The Wahid Institute dan Yayasan Tifa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.