env-outlook-2014-final

Page 1

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014 POLITIK 2014: UTAMAKAN KEADILAN EKOLOGIS Bab 1. Fakta Krisis Lingkungan Hidup Tahun 2013, dibuka dengan peristiwa banjir yang terjadi di berbagai daerah antara lain DKI Jakarta. Pun tahun 2014, banjir terjadi di Jakarta dan Kalimantan Selatan. WALHI mencatat, bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6727 desa/keluarah yang tersebar 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang. Korban Sebanyak 86 jiwa merupakan akibat pertambangan skala besar hingga galian C.

Berdasaran jenis bencana, banjir masih mendominasi yaitu sebanyak 992, banjir rob 70 dan tanah longsor 330 kali kejadian. Daearah窶電aerah yang disebut akut karena terlampau sering dilanda banjir yaitu Kabupaten Bandung, Jakarta Timur, Medan dan Samarinda. Sementara daerah utama longsor adalah Cianjur dan Sirimau, Ambon. Pada kedua wilayah ini memang tektur tanah relatif labil selain topografi dengan tingkat kecuraman diatas 40 derajat. Daerahdaerah yang dilanda bencana tertinggi, di Sumatera, yaitu Aceh 79 kali bencana. Di Jawa yaitu Jawa Barat 177 kali, di Kalimantan yaitu Kalimantan Timur sebanyak 27 kali, di Banusrama adalah Nusa Tenggara Timur sebanyak 56 kali dan di Sulawesi adalah Sulawesi Selatan sebanyak 56 kali kejadian bencana. Sementara itu daerah yang paling luas terlanda bencana ekologis adalah Jawa Timur, dimana sebanyak 869 desa/keluarahan, Aceh 832, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 264 dan Sulawesi Selatan sebanyak 234 desa/keluarahan. Dari masing-masing, daerah, terdapat bencana yang selalu berulang seperti di Aceh Barat, Probolinggo Jawa Timur, Kabupaten Belu, NTT, dan Kabupaten Bandung di Jawa Barat. Untuk jumlah korban jiwa, Jawa

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 1


Barat masih teratas, dengan jumlah 89jiwa, disusul Papua 41, Jawa Timur 40, Sumatera Utara 27 dan Sumatera Barat sebanyak 23 orang. Meningkatnya bencana ekologis pada 2013 baik frekwensi, intensitas dan sebaran telah menunjukan kolapnya ekosistem. Daerah-daerah yang masif melakukan eksploitasi hutan untuk tambang dan perkebunan skala besar, terbukti paling banyak dilanda bencana ekologis. Di Sumatera, Aceh merupakan propinsi tertinggi yang mengalami bencana. Dari 23 kabupaten/kota tidak satupun yang luput dari bencana, dan bencana terbesar hadir pada wilayah yang mengalami deforestasi seperti di Aceh Barat dan Aceh Timur. Demikian pula yang terjadi di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Sementara daerah dengan tingkat eksploitasi kecil dan kondisi alam masih terjaga, bisa ditengok dan berada di Maluku Utara. Daerah ini terbukti merupakan propinsi dengan kejadian dan risiko bencana terkecil secara nasional.

NUSA SULAWESI TENGGARA SELATAN, 56 TIMUR, 56 KALIMANTAN BARAT, 27

ACEH, 79

JAWA BARAT, 177

DAERAH TERTINGGI DILANDA BENCANA EKOLOGIS DI LIMA REGION Pada wilayah perkotaan yang sering dilanda banjir seperti; Jakarta, Bekasi, Medan, Gorontalo, Bandung, Cirebon, Surabaya, Semarang, Samarinda dan Serang, bisa dipastikan bahwa daerah tersebut minim Ruang RTH, kehilangan hutang mangrove, daerah resapan air menyusut, terjadi sendimentasi dan degradasi pada anak-anak sungai serta darainase tidak berfungsi maksimal.

DAERAH DENGAN TINGKAT KORBAN JIWA TERTINGGI

27

23 89

40 41

JAWA BARAT PAPUA JAWA TIMUR SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 2


Kejadian banjir dan longsor yang melada tanah air satu tahun terkahir telah banyak merusak dan menghancurakan rumah. Banjir telah merendam 368822 unit rumah, dan lebih dari 116047 ribu hektar sawah terendam air. Akibatnya bisa dipastikan petani akan mengalami gagal panen seperti terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan. Hewan ternak seperti unggas, kambing, sapi dan kerbau juga turut terbawa arus banjir. Budidaya perikanan dan pertambakan seperti di Sulawesi Selatan, juga tidak luput dari terjangan banjir.emata menimbulkan korban jiwa. Sarana produksi seperti sawah, ladang, kebun, pertambakan.

DAERAH DENGAN DESA/KEL TERDAMPAK BENCANA PALING LUAS DILIMA REGIONAL 264

234

869

264

JAWA TIMUR ACEH KALSEL

832

NTT SULAWESI SELATAN

Kehadiran bencana ekologis bisa menggambarkan bahwa daerah tersebut telah mengalami kerusakan lingkungan. Kerusakan-kerusakan yang ada meliputi; 1. Berkurangnya tutupan hutan, 2. Berkurang dan hilangnya daerah resapan air, 3. Rusaknya daerah aliran sungai, 4. Mengecilnya badan dan tertutupnya anak-anak sungai, 5. Rusak dan hilangnya hutan mangrove, 6.ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) disetiap wilayah jauh dari anga 30%, 7. Secara teknis terjadi kerusakan dan terseumbanya pada bendungan, irigasi dan drainase, dan 8. Secara gografis daerah berada pada dataran rendah. Persoalan tersebut akan menjadi lebih buruk seiring dengan curah hujan tinggi sebagai dampak risiko perubahan iklim. Curah hujan tinggi belum tentu menimbulkan banjir jika semua fungsi-fungsi alam dan sarana tenis terjaga. Sebalinya curah hujan rendah bisa menimbulkan banjir jika alam dan sarana teknis tidak lagi mampu memberikan fungsi layanannya. Dalam analisa WALHI, sepanjang tahun 2013 ini, isu lingkungan hidup yang naik sebagaimana tergambar dalam tabel dibawah ini.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 3


Persentase Isu 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0

Persentase Isu

Data rata-rata deforestrasi berikut ini, mengkonfirmasi temuan di media massa. Degradation Million Hectars/Year 5.4

5.6

4.1

3.8

1.7 1

1980

1985

1997

2001

2011

2014

Berbagai peristiwa bencana ekologis yang mensignalkan secara kuat krisis ekologis dan penghancuran sumber-sumber penghidupan rakyat, diperburuk dengan situasi yang terjadi pada bangsa ini, dengan berbagai peristiwa politik yang terjadi di sepanjang tahun 2013. Drama kolosal penangkapan terhadap para koruptor mulai dari Eksekutif dan Legislatif yang bertali temali dengan para pengusaha, menyiratkan elit politik tidak berelasi dengan krisis yang dialami oleh rakyat. Dalam konteks isu sumber daya alam, setidaknya vonis terhadap Hartati Murdaya dalam kasus Buol dan Rusli Zainal yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK semakin memperlihatkan secara lugas, bagaimana relasi tesebut Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan ada 15 temuan yang dilakukan 22 perusahaan di empat provinsi (Kalimantan Tengah, Riau, Maluku Utara, dan Papua

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 4


Barat), di mana menambang dan ekspolorasi sampai eksploitasi di kawasan hutan tanpa izin dan Tidak ada izin pinjam pakai kawasan hutan. Total nilai kerugian negara dalam penyimpangan tersebut sekitar Rp 100 miliar. Dalam konteks lingkungan hidup yang lebih spesifik, korupsi di sektor sumber daya alam bukan hanya merugikan negara, namun juga menurunkan kualitas hidup masyarakat akibat kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan dari praktek buruk industri ekstraktif, kerugian sosial yang ditimbulkan akibat dari migrasi terpaksa karena sumber kehidupan yang hancur, ditambah banyaknya konflik yang terjadi dan berujung pada kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan bahkan hingga kematian. Pada semester pertama di tahun 2013 saja, WALHI mencatat sedikitnya ada 123 protes terkait dengan berbagai krisis lingkungan dan pengambilan tanah-tanah rakyat untuk kepentingann investasi, sebagaimana tabel dibawah ini.

Jumlah Protes Lingkungan Hidup Triwulan 1, 2013 40

38

Jumlah Protes

35 30 25 20 15 10 5

9 5

5

5 5

7

TOTAL PROTES: 123 Protes Terbanyak berdasarkan propinsi: 1. DKI Jakarta: 38 Protes 2. Jawa Barat: 9 Protes 3. NTT: 7 Protes 4. Sumsel: 5 Protes 5. Aceh: 5 Protes 6. Lampung: 5 Protes 7. Banten: 5 Protes

Aceh Jambi Riau Kepulauan Riau Sumatera Utara Sumatera Selatan Sumatera Barat Bengkulu Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Yogyakarta Kalimantan Barat Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara Gorontalo NTB NTT Bali Maluku Kombinasi

0

Dalam kurun waktu 2013, terdapat sedikitnya 40 kasus yang ditangani di WALHI-WALHI daerah yang dibawa ke tingkat nasional yang terkait dengan beberapa sektor seperti hutan, perkebunan besar, pertambangan, kelautan dan pesisir, serta kasus-kasus yang terkait dengan pencemaran dan tata ruang. Hal ini terkonfirmasi dalam analisa media dalam kurun waktu 2013, sebagai berikut:

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 5


Provinsi Kasus LH 80 60 40 20 0

Presentase Provinsi Kasus LH 32,3

8,8 6,2 2,2

2,2

4,0 1,8

1,3

0,9

Aceh Banten Jambi Jawa Timur kalimantan‌ Lampung Papua Sumatera‌ Sulawesi‌ Kombinasi

Provinsi Isu LH Presentase Provinsi Kasus LH

Provinsi Isu LH

8,0 5,8

4,4 1,3

1,3

1,3

4,0 1,3

0,4

0,4

0,4

0,4

0,9

2,2

3,5 1,3

0,4

0,9

1,8

Menguatnya Kejahatan Korporasi Dari pengalaman advokasi yang kami lakukan, khususnya di sepanjang tahun 2013 ini, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria. Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis. WALHI berpandangan, bahwa salah satu problem pokok dari persoalan lingkungan hidup juga belum secara sistematis disentuh, yakni soal ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Sinar Mas dan WILMAR yang merupakan 2 raksasa group perkebunan kelapa sawit di Indonesia, termasuk di Kalimantan tengah. Wilmar memiliki 17 anak perushaan seluas 288.000 ha, khusus di kabupaten Kotawaringin timur WILMAR memiliki pencadangan lahan seluas 74.611,62 hektar sementara 47.213,04 hektar sudah ditanami. Sedangkan Sinar mas dengan luas hektar 25.111 hektar yang tertanam dan memilki pencadangan 48.226, 23 hektar lahan.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 6


Sector Driver

1980-2001

Logging

72 Million hectares

25 Million Hectares

26,2 Million Hectares

Tree Plantation

2,1 Million Hectares

9,8 Million Hectares

12,5 Million Hectares

Palm Oil

4,1 Million Hectares Palm Oil + Cacao + Sugar + Coffee Plantation

6,2 Million Hectares

Mining

352.953 Hectares

3.2 Million Hectares

78,2 Million Hectares

38 Million Hectares

Total

2004-2011-2014

2014-2025

12,35 Million Hectares, by forest converted

26,3 Million Hectares

3.2 Million Hectares 56,55 Million Hectares

80,5 Million Hectares

Paradigma pembangunan ala Orde Baru yang mendasarkan pada prinsip trickling-down effect di mana tumpuan pertumbuhan ekonomi diletakkan pada industri ekstraktif skala besar berbasis konsesi lahan yang diberikan kepada korporasi-korporasi juga terbukti menciptakan ketimpangan penguasaan lahan, deplesi kekayaan alam dan kehancuran lingkungan. Selain itu dalam proses akuisisi lahan bagi kepentingan konsesi korporasi terjadi berbagai dampak negatif seperti kekerasan, kriminalisasi rakyat dan pelanggaran hak asasi manusia. WALHI mencatat, kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, pada tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan dan SDA yang berujung pada angka kekerasan dan kriminalisasi terhadap para pejuang lingkungan dan HAM di Indonesia. Bisnis dan kewajiban atas penegakan hak asasi manusia sesungguhnya telah dimulai dalam diskursus hak asasi manusia, bahwa pelaku bisnis atau aktor non negara lainnya dalam melakukan praktek bisnisnya tidak boleh merusak lingkungan, tidak boleh menyuap, terlebih melanggar hak hidup. Bersama dengan jaringan masyarakat sipil lainnya, WALHI memeriksa berbagai modus kejahatan korporasi yang dilakukan.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 7


No

Proses

1

Penetapan tata ruang kabupaten

2

Usulan Review kawasan hutan dari kabupaten ke Provinsi Penetapan RTRW Provinsi

3

4

Usulan Review kawasan hutan dari gubernur ke Kementerian kehutanan

5

Tim terpadu

7

Rekomendasi DPR RI

8

Proses Persetujuan oleh menteri kehutanan SK pelepasan di terima pemerintah daerah

9

Bentuk Korupsi

Pelaku dan Penerima

Suap untuk pembahasan RTRW Gratifikasi tanah hasil Anggota DPRD, Bupati, Perusahaan Perkebunan pelepasan Suap, gratifikasi dalam bentuk tanah Bappeda Provinsi, Gubernur

Gratifikasi tanah hasil pelepasan

Perusahaan Perkebunan, Gubernur, Anggota DPRD Provinsi Suap untuk memasukan kawasan perkebunan sawit Perusahaan perkebunan, Anggota DPRD pelaku perambah hutan pembahasan RTRW Suap, Gratifikasi saham, Gratifikasi tanah hasil alih Gubernur, Dinas kehutanan provinsi, Perusahaan fungsi/peruntukan perkebunan sawit. Memanipulasi dasar review kawasan hutan dengan Kepala Daerah mengatasnamakan keberadaan lahan pertanian dan pemukiman masayrakat Gratifikasi tanah hasil alih fungsi, fasilitas proses Anggota tim terpadu, perusahaan perkebunan pengkajian dan kunjungan ke lapangan Fasilitas kunjungan ke lapangan, suap, gratifikasi tanah Anggota DPR RI , Perusahaan perkebunan, partai pengusung anggota DPR RI Biaya politik untuk kolega pengambil keputusan, gratifikasi, Tim kajian kementerian kehutanan, jaringan Partai suap melalui partai. pengusung, jaringan partai berkuasa

10

Penerbitan Izin lokasi, Prinsip, IUP

11

Amdal dan Izin LIngkungan

Pembagian tanah kepada elit politik daerah yang terlibat Anggota DPRD, kepala daerah, partai politik, dalam pengusulan alih fungsi atau pelepasan kawasan perusahaan. hutan, Suap, manupulasi owner Kepala Daerah, Dinas Kehutanan/Pertanian/Perkebunan Suap, Gratifikasi saham, Kepala daerah, BLH

12

HGU

Suap, Saham, peralihan modal

BPN

Meskipun tanggungjawab yang hendak kita gugat dalam pelanggaran HAM ini adalah aktor di luar negara sebagai elemen pentingnya, namun tetaplah pengurus negara yang harus mengambil peran-peran yang kuat untuk mendesak tanggungjawab korporasi, lembaga keuangan internasional dan aktor non negara lainnya. Hari ini, kami melihat bukan saja lemah mengambil peran-peran tersebut, pemerintah justru saling bertelikung dengan korporasi, bagaimana pelaku bisnis juga berupaya mengelak dari tanggungjawabnya dan bahkan memindahkan tanggungjawab atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan kepada negara.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 8


Bab 2. Upaya WALHI Mengarusutamakan Keadilan Ekologis

Dalam mengarusutamakan keadilan ekologis WALHI melakukan beberapa upaya yang difokuskan pada menahan laju kerusakan lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam utamanya akibat praktik buruk korporasi, memperkuat kapasitas rakyat dalam membangun inisiatif-inisiatif dan mempertahankan upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang adil dan lestari, dan melakukan intervensi kebijakankebijakan negara serta institusi regional maupun global yang akan mempengaruhi lingkungan hidup dan penghidupan rakyat. Menahan laju kerusakan lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam akibat praktik buruk korporasi Dalam Bab sebelumnya telah dipaparkan bagaimana paradigma pembangunan eksploitatif yang diimplementasikan selama ini telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup bahkan bencana ekologis, serta pengurasan sumberdaya alam yang cepat dan masif. Dalam berbagai peristiwa protes yang didokumentasikan dari media massa, maupun yang berbagai kasus yang ditangani oleh WALHI secara nasional, peran korporasi sangatlah besar sebagai aktor utama yang menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup dan memicu terjadinya konflik sumberdaya alam. WALHI yang bekerja di 28 propinsi di seluruh Indonesia melakukan monitoring dan pendokumentasian berbagai praktik buruk yang dilakukan oleh korporasi, baik yang melakukan eksploitasi sektor kehutanan, perkebunan besar kelapa sawit, pertambangan, pesisir dan kelautan, serta pencemaran. WALHI bekerja bersama dengan kelompok masyarakat sipil lainnya, mengangkat berbagai kasus agar menjadi perhatian publik dan pengambil kebijakan, dan memaparkan berbagai fakta di lapangan terkait praktik buruk yang dilakukan oleh korporasi. Dalam melakukan advokasi, WALHI melakukannya melalui jalur hukum atau dikenal sebagai upaya litigasi, maupun jalur advokasi non-litigasi – seperti menggalang petisi, kampanye popular, dan berbagai aksi-aksi publik. Media sosial menjadi salah satu media bagi WALHI untuk berkampanye dan menggalang dukungan publik. Pilihan ini cukup efektif, karena jumlah dukungan atas sebuah kampanye sangat terukur. Salah satunya adalah melalui penggalangan petisi di media change.org, antara lain:

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 9


NO

KETERANGAN

JUMLAH DUKUNGAN PUBLIK (tandatangan)

1.

Zaini Abdullah: Selamatkan 1,2 Juta Hektar Hutan Aceh

46.919

2.

Pemerintahan Kota Batu: STOP Pembangunan hotel & resort di 95 kota Batu dengan merambah lahan hijau

3.

Gubernur Bali Mangku Pastika: Segera Cabut SK Reklamasi 6.563 Teluk Benoa

4.

Rep. Indonesia Police Chieft Jend. Polisi Timur Pradopo: Free 14.443 Anwar Sadat Director WALHI South Sumatera

5.

Protect the Leuser Ecosystem, Declare it a World Heritage!

6.

Gub. @Sarundajang2014 & Bupati Sompie Singal: Tolak 17.931 tambang di pulau kecil. Selamatkan Pulau Bangka – Sulut!

16.631

Dalam kampanye menggalang dukungan publi, WALHI juga mengajak serta para seniman, serta tokoh-tokoh masyarakat yang peduli. Hal ini dilakukan dalam Kampanye Penyelamatan Rawa Tripa, Kampanye Penolakan Reklamasi Teluk Benoa di Bali, dan juga kampanye Penyelamatan Pulau Kecil, yaitu Pulau Bangka-Sulawesi Utara dari pertambangan pasir besi. Selain itu WALHI bersama jaringan Friends of the Earth International (FoE), WALHI melakukan kampanye yang berkesinambungan mulai dari lokal, nasional dan internasional. Dalam kampanye ini WALHI bersama FoE mengekspose praktik buruk korporasi di sektor perkebunan besar kelapa sawit dan pertambangan mineral, dan menantang pembeli global serta kalangan investor perusahaan yang bersangkutan untuk ikutbertanggung jawab dan meminta perusahaan tersebut untuk bertanggung jawab atas berbagai dampak negatif, dan memperbaiki praktiknya di lapangan. Kampanye WALHI, baik di level nasional maupun di daerah Bangka Belitung, bersama jaringan FoE mengekspose berbagai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh operasi pertambangan timah di Pulau Bangka. Kampanye secara global mentargetkan pada pembeli timah Bangka, yaitu perusahaan elektronik Apple dan Samsung, untuk memastikan agar timah yang diperolehnya bukan berasal dari praktik yang tidak bertanggung jawab. Kampanye ini membuat asosiasi prousen barang elektronik global untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dan mengusulkan berbagai langkah perubahan parkatik industri timah Bangka. Kampanye WALHI, baik di level nasional dan di daerah Kalimantan Barat, bersama jaringan FoE mengekspose praktik buruk yang dilakukan oleh salah satu perusahaan perkebunan besar kelapa sawit, Wilmar. Tekanan terhadap investor dan terkesposenya berbagai praktik buruk tersebut memaksa Wilmar untuk membuat komitmen perbaikan kinerja perusahaannya.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 10


Dalam setiap advokasi dan kampanyenya, WALHI tidak mengambil jalan bernegosiasi dengan perusahaan, karena mandat WALHI adalah untuk mengembalikan peran negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya. WALHI mendorong pemerintah untuk konsisten menegakkan peraturan dan melakukan sanksi hukum bagi perusahaan yang melanggar. Walaupun beberapa perusahaan menyatakan diri untuk mengubah perilakunya, WALHI tidaklah percaya begitu saja. Hal ini didasarkan pada pengalaman beradvokasi selama lebih dari tiga dekade, di mana WALHI ingin melihat pernyataan-pernyataan atau janji-janji tersebut diimplementasikan secara nyata dan konsisten. Advokasi litigasi juga dilakukan oleh WALHI terutama jika terjadi perbuatan melawan hukum yan dilakukan oleh perusahaan maupun pemerintah. Sebagai organisasi yang bergerak dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup, WALHI memiliki hak standing di depan pengadilan sebagai subyek hukum yang mewakili kepentingan lingkungan hidup. Dalam kasus kebakaran hutan hebat di tahun 2013 yang menimbulkan protes dari negara tetangga Singapura dan Malaysia, dan telah merugikan warga di paling tidak 3 propinsi (Riau, Jambi dan Sumsel), WALHI mengajukan gugatan terhadap pemerintah RI cq Presiden Republik Indonesia beserta jajarannya, baik di kementerian maupun di pemerintah daerah. WALHI menuntut adanya perubahan kebijakan yang signifikan yang bisa menghentikan kebakaran hutan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. WALHI juga melakukan gugatan terhadap Gubernur Bali dan meminta pencabutan SK Reklamasi Teluk Benoa Bali. Gugatan ini dimenangkan oleh WALHI dan Pengadilan memutuskan bahwa Gubernur harus mencabut SK Reklamasi tersebut. Dalam advokasi dan kampanye pengarusutamaan keadilan ekologis, utamanya dalam memastikan terlindunginya aset-aset produktif rakyat, muncul berbagai resiko baik terhadap aktivis WALHI maupun masyarakat yang telah terdampak. Berbagai kriminalisasi rakyat, penahanan dan pengadilan dialami oleh para aktivis pembela lingkungan (environmental defenders) dalam perjuangan mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan aktivis pembela lingkungan lainnya, WALHI bersama dengan para pengacara publik juga melakukan berbagai pembelaan hukum, sejak di kepolisian hingga di proses persidangan. Dalam tahun 2013, satu kasus pembelaan terhadap masyarakat korban PTPN VII Cinta Manis di Sumatera Selatan pada akhirnya juga mengakibatkan Direktur WALHI Sumatera Selatan, Anwar Sadat, serta aktivis WALHI Sumatera Selatan Dedek Chaniago harus menjalani proses persidangan dan mendekam di penjara. Resiko-resiko hukum semacam ini memang harus dihadapi para aktivis pembela lingkungan dalam rangka menegakkan keadilan ekologis. Memperkuat kapasitas rakyat dalam membangun inisiatif-inisiatif dan mempertahankan upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang adil dan lestari Sepanjang tahun 2013, kegiatan pendampingan dan pengorganisasian komunitas dilakukan sebagai salah satu bagian dari kerja-kerja advokasi WALHI. Advokasi tanpa pelibatan atau dilakukan bersama-sama dengan masyarakat tentu mudah dipatahkan dan basis legitimasinya juga menjadi kurang kuat. Perubahan kebijakan tanpa tekanan kepada para pembuat kebijakan

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 11


juga akan memperlambat proses perubahan kebijakan itu sendiri. Oleh sebab itu, WALHI yang telah meneguhkan untuk melakukan advokasi berbasis masyarakat mulai meletakkan kerjakerja pendampingan dan pengorganisasian menjadi kegiatan yang strategis. WALHI yang bekerja di 28 propinsi di Indonesia secara aktif melakukan pendampingan masyarakat yang terdampak dan menjadi korban ketidakadilan ekologis. Dalam pendampingan tersebut juga dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat melalui berbagai training, sperti training hukum kritis, serta program-program lain yang memberikan penyadaran masyarakat atas hak-haknya sebagai warga negara. Pendampingan dilakukan terutama untuk memperkuat masyarakat menghadapi ancaman praktik buruk dan moral hazards perusahaan, yang seringkali memanfaatkan aparat untuk memberi dukungan kepada perusahaan. Box-1: Pendampingan Masyarakat dalam Advokasi Pulau Bangka, Sulawesi Utara WALHI Sulawesi Utara melakukan penguatan masyarakat melalui diskusi reguler tentang hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kegiatan ini difokuskan di Pulau Bangka, Kecamatan Likupang Utara - Kabupaten Minahasa Utara. Melalui kegiatan ini telah meningkatkan pemahaman anggota Forum Masyarakat Selamatkan Pulau Bangka dalam memahami hak-hak rakyat yang tertuang di dalam UU No. 32 tahun 2009 terkait peran serta masyarakat dalam pembuatan dan pembahasan dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) oleh pelaku usaha atau kegiatan pertambangan. Pemahaman lainnya adalah tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak perlindungan hukum bagi setiap masyarakat yang memperjuangkan hak-nya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagai dokumen pendukung kegiatan ini adalah dokumen UU No. 32 tahun 2009 yang kemudian diperbanyak untuk menjadi pegangan anggota forum yang berada di setiap desa di Pulau Bangka.

Selain itu WALHI juga mendorong berbagai inisiatif masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, serta mempromosikan model-model kelola masyarakat yang didasarkan pada kearifan tradisional. WALHI secara nasional mempromosikan apa yang disebut sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) yang mendasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian dalam tata kuasa, tata produksi-konsumsi, dan tata distribusi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. SHK serta model-model kelola masyarakat lainnya merupakan counter dari model pengelolaan SDA dan lingkungan hidup mainstream yang selama ini menimbulkan ketidakadilan, serta justru mengakibatkan bencana ekologis sebagaimana dikemukan pada Bab sebelumnya.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 12


Box-2: Pendampingan Masyarakat Pengelola Lahan Gambut, Riau Di Kepulauan Meranti, melalui WALHI Riau secara intensif melakukan proses pendampingan dan pengorganisasian masyarakat gambut di Kepulauan Meranti, tepatnya di Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Masyarakat yang didampingi mulai mengembangkan model-model pengelolaan hutan rawa gambut (sagu) dengan berbasiskan pada kearifan lokal. Mereka mengembangkan konsep pengelolaan kawasan hutan rawa gambut sebagai kawasan penelitian dan wisata alam serta mendorong pengelolaan komoditi sagu sebagai salah satu tulang punggung ekonomi kawasan ini. Kerja-kerja pengorganisasian dan advokasi saat ini telah berhasil membangun gerak yang seirama antara masyarakat, aparat desa, dan aparat kecamatan dalam melawan HTI PT. LUM (RAPP) di lahan gambut masyarakat di Kecamatan Tebing Tinggi. Masyarakat telah berhasil menghimpun 10.000 tandatangan menolak pembukaan hutan gambut yang telah meningkatkan subsidensi lahan gambut. Pada Januari 2013, melalui dialog yang diinisiasi oleh masyarakat, terbangun suatu kesepakatan antara 10 Kepala Desa yang tertuang dalam bentuk surat pernyataan untuk pengukuran ulang tapal batas antara kebun yang dikuasai masyarakat dan perusahaan. Surat pernyataan dari 10 desa ini juga didukung penuh oleh Camat Tebing Tinggi Timur. Selanjutnya, dialog antara masyarakat, aparat desa dan pihak kecamatan yang diadakan di kantor Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten (PEMDA) telah menghasilkan beberapa kesepakatan bersama antara perusahaan dan masyarakat untuk membentuk tim bersama pengukuran ulang tapal batas tersebut.

Melalui WALHI Riau, WALHI Jambi dan WALHI Sumatera Selatan telah memfasilitasi terbentuknya Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera. Sebelumnya masing-masing Eksekutif Daerah telah membentuk JMGR (Jaringan Masyarakat Gambut Riau) di Riau, JMGJ (Jaringan Masyarakat Gambut Jambi), dan Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera Selatan (melalui Serikat Petani Sriwijaya). Pada bulan Juni 2013 yang lalu, telah diselenggarakan pertemuan untuk mengkonsolidasikan jaringan masyarakat gambut di ketiga propinsi ini untuk dapat melakukan advokasi pengelolaan kawasan gambut secara lebih terintegrasi. Pertemuan ini juga mendorong suatu inisiatif untuk melahirkan suatu gerakan masyarakat gambut yang lebih besar. Intervensi kebijakan-kebijakan negara serta institusi regional maupun global yang akan mempengaruhi lingkungan hidup dan penghidupan rakyat Perubahan sosial dan perubahan kebijakan yang memastikan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup merupakan tujuan dari advokasi WALHI secara keseluruhan. Perubahan kebijakan yang diinginkan oleh WALHI bukan hanya harus dilakukan di tingkat lokal, wilayah maupun nasional, tetapi juga berbagai kebijakan institusi di level regional maupun internasional.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 13


Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 26% pada 2020 diterjemahkan antara lain melalui kebijakan untuk menghentikan sementara (moratorium) pemberian ijin baru bagi perusahaan yang akan melakukan konversi atau pembukaan hutan. Kebijakan moratorium ini dikeluarkan pada tahun 2011 dan berakhir di tahun 2013. WALHI bersama kelompok lain tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim, berhasil mendorong perpanjangan moratorium hingga tahun 2015. Hal ini memberikan kesempatan hutan kita untuk bernafas lebih lanjut. Dalam kaitan dengan proyek percontohan REDD+ yang banyak merugikan masyarakat dan menimbulkan berbagai konflik sosial, WALHI bersama dengan jaringan FoE dan komunitas yang terdampak proyek, berhasil mendorong penghentian proyek KFCP (Kalimantan Forest Carbon Partnership) di tahun 2013. KFCP adalah proyek REDD+ yang dibiayai pemerintah Australia di Kalimantan Tengah. Proyek ini terbukti gagal mencapai berbagai tujuan yang ditetapkan, dan justru mengakibatkan perpecahan dan konflik dalam masyarakat. Berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan oleh DPR dan pemerintah juga tidak lepas dari pemantauan WALHI, terutama kebijakan-kebijakan yang akan membawa potensi dampak negatif bagi rakyat dan lingkungan hidup. Beberapa kebijakan yang tidak berhasil ditahan dalam proses pembuatannya, kemudian diajukan judicial review ke Mahkamah Agung, maupun ke Mahkamah Konstitusi, misalnya UU P3H. Di awal 2013 terjadi proses evaluasi pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) yang harus dicapai oleh pemerintah-pemerintah global di tahun 2015. Tahun 2013 ini pun dilakukan berbagai proses konsultasi di berbagai region untuk mendapatkan berbagai masukan dari masyarakat untuk tujuan pembangunan pasca 2015. Presiden SBY bersama dengan Perdana Menteri Inggris dan Presiden Liberia menjadi Eminent Persons dari Sekretaris Jenderal PBB yang ditugaskan untuk menjaring berbagai masukan masyarakat dunia tersebut. WALHI bersama dengan Perwakilan PBB di Indonesia juga melakukan konsultasi masyarakat secara nasional, khususnya yang terkait dengan isu lingkungan hidup. Tahun 2013 juga menandai berbagai pertemuan di level regional maupun global, seperti APEC dan WTO Ministerial. Dua pertemuan global ini mendapatkan sorotan dan kritik berbagai kelompok masyarakat sipil di Indonesia dan di dunia, karena memiliki agenda untuk memperluas ekspansi ekonomi ekstraktif yang tidak adil dan tidak lestari. WALHI sebagai bagian dari masyarakat sipil turut aktif mengorganisasikan gerakan yang menolak perluasan ekonomi ekstraktif ini dan mengangkat berbagai alternatif ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 14


Bab3. Pemilu: Tantangan dan Sekaligus Peluang

Bentuk, Sasaran Protes, dan Respon Negara Bentuk Protes

Respon Negara 12 10 8 6 4 2 0

80 60 40 20 0

Sasaran Protes

80 60 40 20 0

Bentuk Protes Tertinggi: 1. Keluhan: DKI Jakarta (28) 2. Aksi Demonstrasi: Sumatera Selatan (3) 3. Gugatan Hukum: Jawa Barat (2) Sasaran Protes Tertinggi: 1. Pemerintah: DKI Jakarta (23), Aceh (5), Banten (5) 2. Perusahaan: Kepulauan Riau (4) 3. TNI/POLRI: Sumatera Selatan (4) Respon Negara: 1. Menolak Tuntutan: Aceh (3) 2. Tidak ada tindak lanjut: Kepulauan Riau (2)

Tabel diatas menggambarkan bagaimana pengutus negara yang mestinya memberikan jaminan keselamatan terhadap warga, justru tidak hadir dalam berbagai krisis yang dihadapi oleh warganya. Bukan Cuma tak hadir alias absen, bahkan tidak segan-segan negara justru memfasilitasi praktek penghancuran terhadap lingkungan melalui berbagai kebijakan. Produk kebijakan hampir sebagian besar justru mendukung laju daya rusak lingkungan. Yang miris, 50% lebih anggota DPR RI juga menjadi penguasa ekonomi melalui bisnis-bisnisnya yang sebagian bersumber dari industri ekstraktif. Pemilu 2014 dan Perubahan Tahun 2014 adalah tahun politik, perhelatan demokrasi akan dilakukan secara serentak di tanah air, di awali dengan pemilihan legislatif pada bulan April dan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Kali kesekian rakyat dihadapkan pada satu konsekwensi untuk memilih, memilih wakil-wakil yang akan duduk di parlemen dan memilih pimpinannya. Dalam kurun waktu yang cukup panjang, paska reformasi 1998, rakyat hingga saat sekarang ini masih terus dibenturkan dengan proses demokrasi prosedural, dan negara masih saja memberikan harapan atas nama kesejahteraan dan pembangunan melalui proses pemilu. Pemilu kemudian hadir sebagai ruang yang sarat kepentingan, baik kepentingan partai politik sampai dengan kepentingan perseorangan untuk berkuasa; dalam hal ini, dalam catatan gerakan lingkungan hidup sebagai bagian dari gerakan demokratis, belum menemukan satu perubahan yang signifikan, antara proses demokrasi yang di jalankan dengan hasil yang didapatkan, rakyat masih saja dihadapkan pada “keganasan� hasil demokrasi tersebut. Kebijakan yang dihasilkan oleh negara, absennya negara dalam setiap konflik ditengah masyarakat, dan buruknya tata kelola pemerintahan; ketiga hal tersebut menyumbang laju kerusakan yang luar biasa.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 15


Partai politik yang didengungkan sebagai alat perubahan juga dihadapkan pada kenyataan, bahwa cita-cita mulia untuk perubahan bangsa dan negara bisa terwujud, terganjal oleh kepentingan politik (kekuasaan). Hal ini membawa preseden sehingga tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai kendaraan untuk perubahan, secara cepat mengalami kemerosotan. Partai politik sangat miskin praktek dalam mengutamakan kepentingan rakyat, hal ini bahkan disatu sisi juga dibiarkan oleh para petinggi atau elit partai tersebut, kita belum menemukan satu partai pun yang dengan tegas menindak seluruh bagian maupun kadernya yang melakukan kesalahan, terutama mereka yang memimpin atau menjadi kepala daerah, bahkan sampai tingkat anggota kabinet; rakyat terus saja dipertontonkan satu lakon sandiwara yang bertopeng demokrasi. WALHI mencatat, sampai dengan menuju pemilu 2014 ini, dari12 partai politik nasional yang akan menjadi peserta pemilu 2014 masih belum melihat isu lingkungan hidup, HAM dan persoalan agraria sebagai isu strategis dan hal yang prioritas yang harus diperjuangkan. Jikapun ada dan tertuang dalam platform politik parpol, dokumen tersebut tidak termanifestasikan dalam tindak tanduk kadernya yang duduk di parlemen atau eksekutif. Hak atas lingkungan hidup dipertentangkan oleh para politisi dengan persoalan buruh, kemiskinan dan bahkan nasionalisme, seperti yang terakhir dalam soal pelarangan ekspor bahan mentah Padahal dari berbagai kasus yang diadvokasi oleh WALHI selama 33 tahun menunjukkan, kerusakan LH yang membuat orang menjadi miskin. Padahal sebagai sebuah hak asasi, lingkungan hidup yang bersih dan sehat menentukan kualitas hidup manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Banyak politisi yang belum memahami substansi dari politik lingkungan hidup. Pemilu hanya sekedar menjadi satu proses untuk mendapatkan kekuasaan dan mendistribusikan kekuasaan itu sendiri. Dari proses yang sedang berkembang maka harapan menuju perubahan sesungguhnya masih cukup jauh, disaat semua politisi dan penguasa masih sibuk dengan platform “merampok dan menjarah�, dan sumber daya alam sebagai dana politik yang tak habis-habisnya dikeruk. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum (electoral democracy), tidak lebih hanya sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara. Kekuatan korporatokrasi telah mampu mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres. Pertanyaan kritisnya adalah siapa yang akan dikorbankan dalam seluruh cerita politik transaksional ini, jawabannya sebagian besar mengarah kepada sumber daya alam yang akan dijadikan sebagai “komoditas� yang paling cepat untuk diperjual belikan dalam sebuah sistem ekonomi politik transaksional, belum lagi aktor-aktor yang ada dalam kekuatan korporasi justru masuk dan bercokol di parlemen atau memimpin partai politik. Hasil dari praktek politik transaksional ini sudah dapat ditebak dan faktanya sudah dirasakan dampaknya oleh rakyat, yakni kerusakan lingkungan dan bencana ekologis yang semakin massif akibat semakin maraknya ijin pada industri ekstrakstif yang dikeluarkan, konflik agraria yang tidak pernah dapat diselesaikan karena elit politiknya menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 16


Yang semakin mengkhawatirkan, sistem politik atau pemilu yang transaksional ini akan semakin menutup peluang bagi orang-orang yang baik dan idealis serta memiliki cita-cita dan visi misi untuk memperbaiki nasib bangsa yang diharapkan bisa menjadi calon pemimpin alternatif di tengah dominasi partai politik besar dan elit politik yang ada, karena berhadapan dengan sistem politik dan partai politik yang berbiaya tinggi karena ketiadaan finansial untuk menutup biaya politik yang sangat mahal. Belum lagi pragmatisme di tingkat rakyat yang semakin apatis dengan perbaikan nasib bangsa melalui pemilu, di sisi yang lain pendidikan politik rakyat yang sesungguhnya menjadi salah satu tugas partai politik juga diabaikan, yang sesungguhnya juga menjadi bagian dari spiral kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Keterlibatan langsung aktor penguasa SDA dalam institusi negara penguasa SDA = penguasa politik, SDA sebagai sumber dana politik. Tahun 2014 ini merupakan tahun “tantangan” dan sekaligus “ancaman” bagi rakyat, karena elit politik di tahun 2014 akan sibuk dengan urusan kekuasaan, dan agenda-agenda rakyat tidak lebih hanya akan dijadikan sebagai “komoditas” politik. Disisi yang lain, ini juga sekaligus tantangan bagi gerakan masyarakat sipil untuk menentukan sikap politiknya jelang pemilu 2014. Sebagai organisasi lingkungan hidup, WALHI tentu saja memiliki kepentingan terhadap momentum pemilu 2014 dan pilkada di daerah, mengingat hasil dari pemilu ini akan menjadi legislator dan pemimpin yang akan menghasilkan produk politik yang akan menentukan nasib lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat. Sejak reformasi 1998, WALHI sudah melakukan berbagai kerja-kerja politik di tingkat masyarakat. Mulai dari pendidikan untuk pemilih yang secara massif dilakukan jelang pemilu 1999, pendidikan politik terkait dengan kebijakan negara di basis-basis yang menjadi dampingan WALHI, kampanye anti politisi busuk yang digagas bersama-sama dengan gerakan masyarakat sipil lain. Pada forum Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) WALHI 2013, beberapa rekomendasi politik organisasi telah dilahirkan sebagai bentuk respon situasi dan dinamika politik ekonomi eksternal salah satunya pemilu 2014, dimana WALHI secara nasional akan mengintervensi momentum pemiu 2014 sebagai sebuah kerja-kerja politik yang dimaksudkan untuk mendorong kembalinya peran dan fungsi negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pada pemilu 2014 ini, WALHI akan berfokus pada penguatan kampanye isu lingkungan hidup sebagai isu yang harus menjadi pembahasan dalam perdebatan-perdebatan pemilu 2014 dan juga menjadi basis argumentasi dan membangun persepsi publik dalam menggunakan hak politiknya. WALHI akan terus mendorong pemilu 2014 sebagai momentum politik bagi warga negara untuk membangun pemerintahan yang bersih dari perusak lingkungan hidup, dan merumuskan platform politik lingkungan hidup. WALHI berharap dan berupaya melakukan kerja-kerja politik bersama seluruh elemen masyarakat sipil agar pemilu 2014 menjadi momentum perubahan, antara lain: Terbangunnya kesadaran politik lingkungan hidup di tingkat masyarakat/warga negara. Masyarakat dapat membangun persepsinya terhadap model pengelolaan lingkungan hidup di

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 17


wilayahnya, termasuk didalamnya menentukan kepemimpinan negara yang berpihak kepada lingkungan hidup dan rakyat Memutus rantai relasi antara aktor penguasa politik dan penguasa sumber daya alam di parlemen baik Agenda lingkungan hidup menjadi agenda penting dan utama pada momentum pemilu 2014, dimana partai politik dan kandidat (DPR/DPD/DPRD) dan bahkan Presiden harus menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu dan program penting yang harus diperjuangkan Institusionalisasi gerakan perubahan di parlemen, salah satunya melalui kaukus lingkungan. WALHI meyakini, hakikatnya demokrasi prosedural dan substansial ini tidak akan berarti tanpa dukungan dari publik sebagai warga negara yang memiliki hak politik. Karenanya, WALHI mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menggunakan momentum pemilu 2014 ini untuk menjadi warga negara dan pemilih yang cerdas dan kritis. Karena bagaimanapun, ini akan menentukan nasib pengelolaan lingkungan hidup kita dan pengelolaan kehidupan bangsa ini kedepan, yang kita semua harapkan bisa lebih baik dari situasi bangsa hari ini. Tahun 2014: Saatnya Pemilu untuk Mengutamakan Keadilan Ekologis Pemilu 2014 merupakan momentum yang sangat penting bagi rakyat Indonesia untuk memilih, apakah ingin tetap berada dalam kebanggaan semu sebagai warga negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkubang dalam bencana ekologis yang berkelanjutan, ataukah ingin keluar dari jebakan bencana dan mulai melangkah menuju masyarakat yang adilmakmur yang sejati? Prinsip keadilan ekologis tidak hanya ingin memastikan keadilan kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di dalam satu generasi (keadilan intra-generasi), tetapi juga memastikan adanya keadilan kehidupan dan penghidupan bagi anak-cucu kita, generasi bangsa Indonesia masa depan (keadilan inter-generasi). Sebagai pelopor gerakan lingkungan hidup nasional di Indonesia, WALHI memiliki kepentingan agar pemerintahan lima tahun ke depan benar-benar mengarusutamakan keadilan ekologis dalam strategi pembangunannya. Selama beberapa dekade sejak dibentuk di tahun 1980, WALHI secara konsisten bekerja bersama kelompok-kelompok masyarakat dan komunitaskomunitas di seluruh Indonesia, baik di kampung-kampung maupun di kota-kota, mendorong pengarusutamaan keadilan ekologis dalam proses perubahan sosial dan kebijakan. Selama kurun waktu tersebut WALHI juga menjadi saksi bagaimana inisiatif-inisiatif masyarakat, baik cakupannya lokal, nasional maupun global, bisa setidaknya menahan laju perusakan sosial dan ekologis akibat paradigma pembangunan yang eksploitatif. WALHI ingin pemerintahan ke depan memberikan perlindungan bagi komunitas-komunitas pengelola kekayaan alam, dan memberikan proporsi yang adil dan setara bagi keterlibatan sejati masyarakat/warga negara dalam setiap proses pembangunan, berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan ekologis.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 18


Di awal tahun 2014 ini, WALHI meluncurkan kampanye nasional membangun gerakan untuk memilih penyelenggara negara yang mengarusutamakan keadilan ekologis, sekaligus mendorong pemerintahan yang bersih dari para pelaku perusak lingkungan hidup.

Penutup Melihat dari dinamika dan situasi politik 2014, WALHI memprediksikan situasi lingkungan hidup tidak akan membaik, karena hampir sebagian besar waktu diarahkan pada pesta demokrasi pileg dan pilpres. Namun, pemilu 2014 ini juga momentum untuk perubahan, karena kami memprediksikan, siapa yang terpilih pada pemilu 2014 ini maka kemungkinan besar akan berkuasa selama dua periode.

Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2014

Halaman 19


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.