environmental_outlook_walhi__2011

Page 1

JAKARTA, 12 JANUARI 2011 Pangantar Tahun ini merupakan tahun ke 31 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hadir dan berperan dalam melakukan pengawalan terhadap agenda penyelamatan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam di tanah air. WALHI tetap setia berperan sejak masa rezim pemerintahan otoriter hingga pemerintahan demokrasi prosedural seperti sekarang ini. Dukungan dan kepercayaan rakyat lah yang membuat kami tetap ada digaris terdepan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat atas lingkungan dan dalam penyelamatan lingkungan. Tanpa itu mustahil kami bisa tetap ada dan besar seperti sekarang ini. Publik tidak perlu ragu kepada WALHI, karena sebagai organisasi independen dan terbesar di tanah air, terlalu mahal bagi kami jika harus berpaling dan berhianat kepada rakyat. Karena mandat kami adalah mendorong tegaknya kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sama artinya WALHI wajib turut serta dalam menegakan kedaulatan Indonesia. Sikap kami tegas sebagaimana pula dijelaskan dalam Mukadimah Satuta WALHI, yaitu harus melawan kepentingan yang tidak berpihak kepada rakyat dan merongrong tanah air Indonesia. WALHI tidak boleh abai karena faktanya kekayaan alam Indonesia tengah di rongrong oleh korporasi transnasional. Sebagai bukti saat ini sekitar 85 persen sumber daya alam migas dan mineral di bumi pertiwi telah dikuasai asing. Bahkan produk-produk kebijakan seperti undang-undang tidak luput pula dari tunggangan kepentingan bangsa asing sebagaimana diakui sendiri oleh anggota DPR. Pasca suksesnya lembaga-lembaga internasional menjalankan dan mendesakan agenda pasar di Indonesia, kini giliran bisnis ekologis yang dibangun. Patut untuk diwaspadai bahwa dibalik semua itu pasti terdapat kepentingan tersembunyi. Apalagi kalau bukan untuk terus menerus menghisap kekayaan alam indonesia. Dan paling berbahaya hadirnya bisnis ekologis dikhawatirkan menambah daftar kelam kekerasan dan pelanggaran HAM dalam pengelolaan sumber daya alam.


Melihat kenyataan demikian merupakan tantangan bagi WALHI untuk menegaskan sikap berlawananya terhadap tirani modal dan kuasa korporasi transnasional yang mendapat pengawalan dari pengambil kebijakan dalam menghisap sumber daya alam Indonesia. Untuk itu di tahun 2011 ini WALHI tidak akan berhenti mengingatkan dan menggugat pemerintah agar menegakan hukum lingkungan, meminta percepatan pembahasan dan di sahkannya RUU PSDA menjadi Undang Undang.mendorong. Serta menolak agenda asing melalui bisnis ekologis. Jakarta, 12 Januari 2011

Berry Nahdian Foqan Direktur Eksekutif Nasional WALHI

I.

Pendahuluan

Terus Mengingatkan Tapi Tak Didegar Jangan salahkan kami. Tepanya sepuluh tahun lalu WALHI telah mengingatkan pemerintah agar tidak salah dalam mengurus alam karena dipenghujung tahun 2000 telah banyak daerah yang dilanda bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor. Bencana ini tidak tunggal dipicu karena maraknya tindak illegal logging yang menyebabkan hutan menjadi gundul, tetapi karena pemerintah masih juga memberikan izin penebangan kayu hutan alam. Legal logging-lah yang berkontribusi paling besar terhadap kerusakan hutan kerena memberikan izin HPH. Siapa yang paling pantas untuk disalahkan?, lagi-lagi kambing hitam yang bernama curah hujan tinggi pelakunya. Demikian pemerintah memberikan jawaban kepada publik selain menggugat otonomi daerah dan reformasi yang juga menjadi biang keladi. Pernyataan terakhir sungguh keliru, karena urusan tata kelola kehutanan sebenarnya tetap ditangan pemerintah pusat, dengan kata lain otonomi daerah tidak menyerahkan urusan kehutanan kepada daerah. Pada tahun 2004 WALHI mengingatkan kembali pemerintah agar membatalkan rencananya mengamandemen UU No.41/1999 tentang Kehutanan meskipun ahirnya tetap lahir Perpu No.1 tahun 2004. Puncaknya tahun 2008 WALHI dengan segala sumber dayanya, WALHI menolak keras terbitnya PP No.2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan. PP ini sebagai bentuk legalisasi negara dalam mengobaral sumber daya alamnya hanya untuk kepentingan 13 perusahaan tambang. Bayangkan lahan seluas satu M2 hanya dihargai senilai 120 - 300 rupiah atau setara dengan harga sebuah pisang goreng. Inilah bentuk penghianatan terbesar pemerintah terhadap rakyat di abad 21. Bagaimana mungkin pemerintah merasa bangga mampu menyelamatkan hutan dan berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca jika hutan lindung di obral murah untuk


dirusak. Padahal dua bulan sebelumnya Presiden ikut hadir dalam pembahasan masalah perubahan iklim yang dilaksanakan oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa. Jika berdalil untuk memperoleh pendapatan, nyatanya yang diperoleh dari Penerimaan Negara Bukan pajak sangat kecil dan tak sebanding dengan kerusakan yang timbul akibat penambangan dikawasan lindung. Pada tahun 2009 diperoleh pendapatan Rp.168,7 miliar dari 101 wajib bayar dan tahun 2010 untuk kegiatan pertambangan sebesar Rp.78,7 miliar dari 112 wajib bayar. Apa sesungguhnya yang hendak dicari oleh pemerintah, tidak cukupkah bencana ekologis yang terus meluas dan meningkat jadi pedoman untuk belajar menjadi arif dan bijak. Tidak cukupkah bahwa rakyat kecil seperti di Buyat Pante sebagai contoh korban dari sebuah industri tambang. Bukan kesejahteraan yang didapat oleh rakyat tapi petaka dan lingkungan yang tercamar. Apakah hal serupa harus kembali terulang dan menimpa warga di sekitar Teluk Weda Bay karena pemerintah telah memberi zin kepada PT. Weda Bay Nickel untuk melakukan pembabatan hutan lindung seluas 35.155 ha dan menjadikan hulu Sungai Akejira sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat setempat untuk tempat pembuangan limbah tambang yang . WALHI juga menggugat UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Barubara kepada Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah bentuk pesan kepada pemerintah bahwa kebijakan yang dilahirkannya telah mengancam keselamatan hidup warga. Sindikasi korupsi disektor sumber daya alam yang selama ini belum terbidik telah menambah nilai rengking Indonesia sebagai negara terkorup di dunia. Karenanya WALHI bersama elemen lain, diawal 2010, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi agar membongkar adanya indikasi korupsi sebesar Rp.6.66 triliyun dari 9 (sembilan) kasus yaitu di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Tindakan ini sekali lagi sebagai bentuk peringatan kepada pemerintah. Sebagai peran dan tanggung jawab WALHI meyelamatkan lingkungan hidup dan sumber – sumber kehidupan, pada 2007 telah dideklarasikan gerakan restorasi ekologi. Namun karena persoalan lingkungan dan sumber daya alam bukan semata menyangkut kerusakan, melainkan melampaui itu semua seperti korupsi dan bisnis ekologis, pada April 2010 WALHI telah memperluas gerakannya dari gerakan restorasi ekologi menjadi gerakan Pulihkan Indonesia.

Hukum Lingkungan Tidak Pernah Tegak Rasa resah ketika DPR belum juga membahas dan mensahkan RUU PSDA menjadi undang undang, cukup terobati dengan disahkannya UU No.32/2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No.23/1997. Muncul harapan yang besar dan terbayang kuat bahwa kondisi lingkungan hidup akan membaik dan peran rakyat semakin kuat. Harapan itu sangat beralasan karena selama ini ada dua ancaman besar yang selalu menjadi momok, pertama terdapat kebijakan yang mendukung tindakan ekstraktif dan kedua pelaku-pelaku pencemaran lingkungan selalu bebas melenggang karena tidak terjerat hukum. Setahun pasca disahkannya Undang Undang 32/2009 belum juga mampu menjadi panglima tertinggi dalam penegakan hukum lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup selaku punggawa masih letoy dan tak bertaji karena belum mampu menyeret penjahatpenjahat lingkungan kedalam penjara. Karena faktanya dalam tahun 2010 hanya 20 perusak dan pencemar lingkungan yang bisa diajukan kepengadilan. Itupun hanya lima (5) yang dihukum penjara, satu (1) dalam hukuman percobaan dan 14 pelaku melenggang karena di ponis bebas oleh majelis hakim. Padahal tahun 2010 tingkat perusakan dan pencemaran lingkungan sangat tinggi. Dalam catatan WALHI selama 2010 telah terjadi 75 kali pencemaran lingkungan. Yang mana pencemaran ini didominasi oleh industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit. Perusahaan tambang batu bara dan emas telah menanamkan saham pencemarannya sebanyak 25 kali dan perkebunan kepala sawit 22 kali Kegagalan menindak para pelaku pencemaran dan perusak lingkungan sebagai preseden buruk yang dapat menjadikan para pelaku industri ekstraktif akan lebih leluasa melakukan pelanggaran. Karena berpandangan bahwa pelaku-pelaku perusak lainnya selalu diputus bebas oleh pengadilan. Realitas kekalahan dalam penegakan hukum lingkungan dan salah urus alam senantiasa akan berujung pada lahirnya bencana ekologis yang dapat mengacam keselamatan hidup warga dan punahnya ekosistem hayati. Penyelamatan lingkungan hidup tidak bisa mengandalkan pada peran serta masyarakat saja meskipun ruang itu terbuka lebar. Namun dalam hal ini sebaiknya pemerintah perlu segera memperbaiki dan menerbitkan instrumen turunan UU No.32/2009 seperti Kajian Lingkungan Hidup Stategis dan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Mendesak pula untuk segera direvisi adalah Peraturan Menteri tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup. Dokumen AMDAL, oleh pengusaha masih dianggap sebagai pelengkap semata, bukan sebagai instrumen penting untuk mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Jika saatnya terjadi perbaikan atas PP No.27/1999 maka perspektif bencana dan HAM perlu masuk didalamnya. Demikian pula terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Kementerian dan Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah perlu diperbanyak dan terus ditingkatkan kapasitasnya agar memiliki kemampuan berlawan dan menyerat mapia-mapia lingkungan.


Tanpa upaya-upaya diatas, bisa dipastikan akan menambah banyak kerusakan lingkungan hidup yang permanen. Tingkat keberanian industri untuk membuang limbah dan mencemari lingkungan secara sengaja juga akan semakin tinggi. Dalam pandangan WALHI senjata pamungkas dalam membuat banyak pihak menjadi sadar dan taat saat ini bukan pada aturan, tapi pada hadirnya bencana.

Menagih Janji Penegakan Dan Pemenuhan HAM Perampasan tatah-tanah rakyat, pemberangusan akses dan kendali rakyat terhadap sumbersumber kehidupan telah memiskinkan dan memarjinalkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pemodal besar di sektor perkebunan dan pertambangan acap kali dengan kuasanya mempidanakan masyakat sekitar yang dianggap mengganggu stabilitas industri. Celakanya aparat negara dalam posisi konflik justeru berada dipihak perusahaan. Polisi bukan memihak kepada rakyat selaku pengayom, atau setidaknya tetap netral ditengah konflik. Polisi dengan mudahnya memuntahkan peluru tajam hingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa dipihak rakyat miskin. Dalam tahun ini di Sumatera telah tiga (3) orang meninggal ditembak polisi. Belum lagi penangkapan-penangkapan sepihak yang dilakukan terhadap petani dan masyarakat Indonesia umumnya. Pendiri – pendiri bangsa ini telah menjelaskan sejak awal kemerdekaan, bahwa Indonesia merupakan bangsa yang beradab, ber-keTuhanan, berprikemanusiaan, dan berkeadilan sosial. Itu semua telah jelas dimaklumatkan dalam Panca Sila. Sendi – sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara ini wajib mentaati Pancasila sebagai palsafah hidup. Sungguh luar biasa cerdas pemikirin tokoh-tokoh bangsa yang kala itu hidup jauh dari gempita moderinitas. Tapi amat disesalkan bahwa apa yang terjadi saat ini telah bertolak belakang dengan ajaran-ajaran itu. Pelanggaran – pelanggaran HAM di bumi Indonesia kerap terjadi sebagai duka kelabu tiada henti dari tahun ketahun. Jika pendiri-pendiri bangsa ini hidup kembali, pasti banyak yang mengadu padanya. Karena pengaduan – pengaduan yang disampaikan kepada Komnas HAM, dan rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkannya tidak pernah di penuhi oleh pemerintah dan aparat negara. Tengok saja nasib korban lumpur lapindo. Jangankan untuk menegakan Hak Asasi Manusia untuk pemenuhanpun masih jauh panggang dari api. Itulah relaitas potret suram penegakan HAM dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia.


II. BISNIS EKOLOGIS Merasa Benar di Jalan Sesat Perjalanan tahun 2010 dalam sektor pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak lebih baik dari tahun sebelumnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Demikian pula dalam pengarusutamaan pengurusan kebencanaan. Bangsa ini seolah selalu lalai dan menjadi pelupa maha akut. Sudah selayaknya apa yang terjadi sebelumnya menjadi pembelajaran berharga untuk melakukan pembenahan disegala bidang, bukan malah terus membiarkan intensitas penurunan kualitas lingkungan dan meningkatknya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Berlanjutnya bencana ekologis yang melanda negeri ini dari tahun ketahun dan menimbulkan korban jiwa, kerugian harta dan benda, praktis belum menjadikan aparatus negara menjadikannya sebagai pembelajaran penting. Pemerintah seolah lupa bahwa dengan adanya bencana itu, mungkin juga menganggapnya sudah biasa. Terbukti paradigma pembangunan yang memandang lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagai komoditi masih melekat kuat. Untuk menyakinkan pemerintah, pada 2005 WALHI telah mempublikasikan hasil risetnya tentang bencana dimana disebutkan bahwa 83 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan rentan bencana Perubahan cuaca yang semaking ekstrim belum pula menjadikan pertimbangan serius pemerintah dalam mengelola sumber daya alam secara tepat dan berkeadilan. Buktinya hingga hari ini Kementerian Kehutanan masih membolehkan industri kertas mendapatkan bahan baku kayu dari penebangan hutan alam. Padahal ketika harga cabai melambung tinggi, pemerintah tidak mampu mengendalikannya. Telah diakui sendiri bahwa pemerintah telah gagal mengantisipasi perubahan iklim. Bahkan Presiden harus ikut turun tangan untuk urusan harga cabai. Apalagi jika dikaitkan dengan produksi disektor perikanan yang hari ini stagnan, meningkatnya angka kecelakan diperairan laut dan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebasar 26 persen dengan BAU (business as usual) dibawah upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan dari asing pada tahun 2020 Setelah sukses mengobral kawasan hutan untuk areal pertambangan dan perkebunan kelapa sawit skala besar, babak baru yang bernama bisnis ekologis mulai hadir. Lembaga-lembaga internasional mulai berancang-ancang membangun bisnis ekologis dengan dalih dan skema restorasi dan jasa lingkungan. Pengusaha luar dan dalam negeripun tidak ketinggalan, bahkan telah memulai lebih awal. Sasaran bisnis disektor ini ialah kawasankawasan konservasi dan kawasan-kawasan yang mereka nilai potensial untuk dijadikan


sasaran bisnis ini. Bisnis Ekologis.

Paham – paham kapitalime dan neolibral melekat kuat dalam misi

Bisnis ekologis memberikan gambaran bahwa kapitalisasi alam sudah pada tingkat yang sangat parah, dimana alam dipandang sebagai komoditas yang diperjual-belikan. Pengembangan bisnis ini sejalan dengan ide untuk memperjual-belikan carbon dari negaranegara pengemiter kepada negara-negara pemilik hutan seperti Indonesia. Untuk memastikan bisnis ini berjalan dengan baik, maka dibuatlah berbagai proyek percontohan diberbagai tempat di Indonesia, mulai dari Aceh (projek Ulu Masen) ,Jambi (Sumatra forest carbon partnership), Kalimantan Tengah (Australia-Indonesia forest carbon partnership, pilot project REDD+), Sulawesi Tengah (UN REDD) sampai ide untuk membuat percontohan di Papua (usulan Norway untuk implementor project berdasarkan LoI). Sepintas bisnis ini terkesan baik dimana ide untuk mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka penyelesaian problem iklim dan lingkungan global namun pada prakteknya, bisnis ini banyak meminggirkan hak-hak masyarakat serta mengakibatkan berbagai konflik, dari konlik horizontal, konflik lingkungan, konflik keruangan dan imbasnya pada tindak kekerasan kepada warga atau antar warga. . Ada dua keuntungan yang didapat dalam bisnis ini, pertama pelaku mendapatkan pencitraan sangat baik kerena dianggap telah berjasa dalam mendukung pelestarian lingkungan, kedua mendapatkan keuntungan dari hasil penjual- belian karbon. Disisi lain praktek bisnis ini sarat dengan kebohongan dan manipulasi dimana mereka tidak mempedulikan kondisi kawasan lain yang dieksploitasi dan dikonversi secara besarbesaran. Bisnis lain yang berjalan beriringan dengan bisnis ekologis ini adalah bisnis konservasi yang memfasilitasi upaya green wash dari perusahaan-perusahaan perusak lingkungan sehingga perusahaan tersebut melakukan penghisapan kekayaan alam tanpa rasa bersalah dan takut digugat kerena telah berbuat kerusakan lingkungan. Selain menyumbang dalam bentuk dana, pelaku bisnis tersebut akan merasa berjasa karena telah ikut mendampingi dan membiayai petugas pemerintah dalam menghalau anggota masyarakat yang mengakses sumber daya hutan non kayu. Persetujuan pemerintah dalam bisnis ini merupakan bentuk lepas tanggung jawab sekaligus menunjukan bahwa pemerintah tidak mampu mengelola hutannya secara mandiri. Padahal untuk mengurus hutan, APBN telah mengalokasikan dana sangat besar Rp.3,35 triliyun pada 2011 naik menjadi 5,9 triliyun rupiah.


Menata Tapi Terbentang luas wilayah mencapai 1.919.440 Dengan Km2, Indonesia merupakan negara terbesar ke 15 di dunia. Luas wilayah tersebut meliputi 17.480 pulau yang terbagi kedalam 32 wilayah administratif propinsi, 530 kabupaten dan 72.000 desa. Dengan kondisi demikian pengaturan guna pemanfaatan dan perlindungan ruang mutlak diperlukan agar tidak terjadi persoalan yang berakibat fatal baik konflik maupun kehancuran ekosistem.

Lahirnya Undang Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang merupakan satu terobosan yang penting sebagai proses untuk memastikan pemanfaatan dan pengedalian pemanfaatan ruang nasional. Karena selama ini masih terjadi konflik dan tumbang tindih pemanfaatan ruang terutama pemanfaatan ruang antara kehutanan dan pertambangan. Akan tetapi justeru pengusaha tambang batu bara menentang Pasal 37 UU Tata Ruang ini karena Menteri Kehutanan tidak lagi memperpanjang izin sewa lahan hutan untuk pertambangan batu bara. Tidak hanya pengusaha, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral juga menyoal undang undang ini. Seharusnya UU ini dijunjung sebagai selain sebagai sebuah produk hukum, juga sebagai konsesus yang harus dipatuhi dan diapresiasi bersama oleh semua sektor. Undang Undang Tata Ruang dalam implementasinya masih banyak menghadapi kendala. Dalam Pasal 77 ayat 3 dijelaskan masa transisi untuk penyesuaian dari tata ruang lama ke tata ruang yang baru diberi waktu tiga tahun. Artinya pada tahun 2010 harus sudah berakhir. Namun faktanya dari 32 propinsi dan 530 kabupaten/kota baru 15 propinsi, 24 kabupaten dan 10 kota yang telah mendapat persetujuan substansi, dan 5 propinsi, 14 kabupaten serta 4 kota yang telah memiliki Perda RTRW. Lambatnya proses penyelesaian tata ruang ditingkat propinsi dan kabupaten/kota mencerminkan telah terjadi tarik menarik kepentingan yang sangat kuat, bukan semata karena lemahnya kemampuan teknis dan rendahnya keseriusan pemerintah daerah. Pertempuran kepentingan ini sangat nampak ketika banyak pihak berlomba menjadikan suatu kawasan lindung dilepas menjadi kawasan areal peruntukan lain (APL). Karena bila kawasan lindung dilepaskan menjadi kawasan peruntukan lain maka dengan leluasa pelaku industri seperti tambang dan perkebunan besar menancapkan tiang investasinya dilokasi itu. Selain penyelesaian tata ruang wilayah baik propinsi maupun kabupaten, terdapat hal yang lebih penting lagi yaitu tata ruang perbatasan khsususnya wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Kawasan yang berbatasan langsung dengan Malaysia adalah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau untuk wilayah yang berbatasan langsung perairan laut Malaysia atau dengan selat Malaka. Kekhususnya diperlukannya tata ruang perbatasan karena telah menimbulkan dua hal penting. Pertama konflik diperairan laut antara Indonesia dan Malaysia baik diperairan Sumatera maupun di perairan Kalimantan


dan konflik diwilayah daratan di Kalimantan. Hingga hari ini konflik yang muncul cendrung merugikan Indonesia sebagai negara berdaulat. Diperairan laut, Indonesia selalu kalah oleh Malaysia dan dampaknya yang bisa dijadikan contoh adalah lepasnya Pulau Simpadan Ligitan, ditangkapnya warga negara Indonesia dan dieksploitasinya kekayaan laut. Demikian pula di wilayah daratan, Indonesia selalu kalah. Meski tidak bergeser batas negara, namun faktanya daratan yang milik Indonesia dikuasi oleh pengusaha kepala sawit asal Malaysia. Sungguh ironi, sebagai negara berdaulat tidak boleh sejengkalpun tanah air Indonesia dikuasai asing tapi faktanya telah digerogoti secara nyata, dan pemerintah diam saja. PROPINSI YANG MEMILIKI PERDA RTRW

No

Nama Wilayah

Lingkup

Provinsi

Perda RTRW

1

Sulawesi Selatan

Provinsi

Sulawesi Selatan

Perda No. 9 Tahun 2009

2

NTB

Provinsi

NTB

Perda No.3 Tahun 2010

3

Lampung

Provinsi

Lampung

Perda No.1 Tahun 2010

4

Jawa Tengah

Provinsi

Jawa Tengah

Perda No.6 Tahun 2010

5

Jawa Barat

Provinsi

Jawa Barat

6

DI Yogyakarta

Provinsi

DI Yogyakarta

Perda No.2 Tahun 2010

7

Bali

Provinsi

Bali

Perda No.16 Tahun 2009

Perda No. 22 Tahun 2010



PREDIKSI LINGKUNGAN HIDUP 2011 Kesatu, WALHI memperkirakan pencemaran dan kerusakan lingkungan akan terus meningkat antara 50 – 70 persen dari tahun 2010. Ada 6 faktor penyebab, (1) keran perizinan baik bagi industri pertambangan, dan perkebunan sekala besar dan lainnya masih terus diberikan termasuk penebangan kayu alam untuk kebutuhan industri kertas tetap di perbolehkan, (2) ambang batas baku butu limbah yang boleh dibuang dan dilepaskan relatif longgar dan tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini termasuk ketentuan-ketentuan yang harus disajikan dalam dokumen AMDAL, diantaranya belum memasukan perspektif kebencanaan dan HAM, (3) Peraturan Pemerintah tentang pendoman penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) belum ada, (4) masih banyak propinsi dan kabupaten/kota yang belum menyelesaikan penyusunan Perda dan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah, menunjukan tarik-menarik kepentingan yang sangat kuat selain bertumpu pada persoalan teknis, (5) masih banyak industri dan rumah sakit (RS) yang beroperasi tapi belum memiliki AMDAL dan instalasi pengelolaan air limbah, (6) tingkat ketanggapan dan kecepatan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan masih lambat. Jika kerusakan lingkungan terus terjadi dan bencana ekologis tidak berhenti, bisa dipastikan angka kemiskinan melambung tinggi. Karena orang tidak dikatakan miskin jika memiliki pendapatan. Semantara bagaimana akan memperoleh pendapatan jika bencana banjir dan longsor telah menyebabkan gagal panen. Dan bagaimana masyarakat tidak membeli air, jika sumber air bersih sudah tercemar dan WALHI memperkirakan angka kemiskinan ditahun 2011 meningkat dari 31 juta jiwa menjadi 33 juta jiwa Kedua, konflik dan pelanggaran HAM sepanjang tahun 2011 terus meningkat. Konflik tenurial diprediksikan setidaknya akan meningkat di 11 propinsi, begitu juga dengan praktek mafia hukum. Propinsi tersebut diantaranya Aceh, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Tengah. Peningkatan konflik tenurial yang berimplikasi kepada peningkatan kasus pelanggaran HAM dipicu oleh dipaksakannya pelaksanaan berbagai project REDD+ tanpa adanya kejelasan status kawasan dan pengakuan hak masyarakat lokal/ adat terhadap sumberdaya hutan. Hal tersebut juga diperparah oleh sistem birokrasi yang buruk dan bias kepentingan korporasi.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.