outlook_environment_2008

Page 1

Environmental Outlook 2008 “HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP MASIH DILANGIT� WALHI, 23 Desember1

1. PENDAHULUAN Tahun 2008 diawali dengan kejadian banjir di Jawa Timur di 11 kabupaten yang telah menyebabkan 1 orang meninggal dunia. Menjelang akhir tahun 2008, kembali banjir melanda sebagian besar wilayah di Indonesia, diantaranya Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Sepertinya tak ada yang bisa membantah bahwa Indonesia terus mengalami krisis ekologi yang semakin parah. Bencana ekologi semakin menunjukkan peningkatan yang significant dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2007 telah terjadi 205 kali bencana dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali sementara upaya yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat lip servive belaka dan tidak menunjukkan upaya serius untuk mereduksi dan mencegah bencana tersebut. Bahkan tak jarang dana penanggulangan bencana di korupsi2 oleh para aparatur pemerintahan yang bertanggungjawab untuk itu. Harapan Indonesia menjadi lebih baik dibawah kepemimpinan SBY-JK kembali menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Indonesia di tahun 2008 ini. Wajah pengelolaan suberdayadaya alam masih sangat ekploitatif, kerusakan lingkungan hidup masih terus berlangsung, jumlah pelanggaran HAM tak mengalami pengurangan, korporasi semakin mendominasi keputusan dan kebijakan pemerintah, hak dan keberlanjutan hidup rakyat tak lagi menjadi hal penting yang harus diperjuangkan oleh pemerintah3. Seperti tak ada bedanya dengan masa kolonialisme Belanda yang terus merongrong hak kepemilikan pribumi atas sumberdaya alam dan yang terkandung didalamnya, dengan 1

2

3

Laporan akhir tahun ini kembali mengingatkan publik atas apa yang terjadi disepanjang tahun 2008, terutama yang terkait dengan isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Sehingga diharapkan publik bisa menapak 2009 dengan lebih baik, beberapa isu sengaja di highlight khusus oleh penulis, karena hal tersebut masih menjadi PR bagi pemerintah di tahun 2009. Laporan ini di tulis bersama oleh, M. Teguh Surya (Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan WALHI), Erwin Usman (Kepala Departemen Regional WALHI), Ade Fadli (Kepala Departemen Kelembagaan dan Penggalangan Sumberdaya), I Wayan Suwardana (Manager Regional Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara WALHI), Islah (Officer Monitoring Kasus WALHI) Entin Kartini mantan bendahara Pemerintah kabupaten Purwakarta diduga menyalahgunakan dana bencana alam dan pembangunan gedung Islamic Center sebesar Rp.3,795 miliar pada tahun anggaran 2003/2004 (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/04/07/brk,20080407-120623,id.html). Penanganan korban Lumpur Lapindo, layak menjadi indicator kepedulian pemerintah dalam melindungi dan menjamin ha-hak warga Negara. Dua tahun berlalu (Sejak 29 Mei 2006), hingga Juli 2008 telah terjadi 94 semburan dan menurut hasil penelitian tim peneliti bentukan Gubernur Jawa Timur pada April 2008, udara di 9 desa sekeliling tanggul yang tercemar mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan. Gejala paling umum adalah mual-mual, pusing, batuk-batuk, dan sesak nafas. Semburan gas yang mudah terbakar (methane) muncul ditengah pemukiman warga, demikian juga zat lainnya seperti PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon) yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker) bertambah banyak, sudah 4 warga yang dilaporkan meninggal karena pengaruh zat-zat dari semburan. Namun masyarakat korban tidak mendapat layanan kesehatan baik dari Lapindo maupun dari pemerintah. Mereka terpaksa harus membayar sendiri biaya pengobatan akibat semburan lumpur ini, bahkan ada yang telah mengeluarkan uang sebesar 20 juta rupiah untuk biaya pengobatan.


mengeluarkan Keputusan Agraria tahun 1870, yang pada salah satu pasalnya berbunyi “bahwa semua lahan yang diatasnya tidak bisa dibuktikan hak miliknya menjadi domain Negaraâ€? (Syumanda, 2008). Hal ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan kayu jati untuk industri perkapalan milik pengusaha Cina dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai Utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan. Sedikit uraian diatas setidaknya menjelaskan bahwa krisis ekologi dan ekonomi yang telah memporak-porandakan pranata social Indonesia tak lepas dari adanya hubungan kekuasaan antara Negara-negara industri dengan Indonesia dalam hal pemenuhan bahan baku murah, yang didukung oleh kekuatan modal dan dilindungi oleh kekuatan militer. Box.1 DUA BALITA TEWAS, SATU TERPANGGANG OLEH BOM BAKAR POLDA RIAU TRAGEDY SULUK BONGKAL, 18 Desember 2008 Pada tanggal 18 Desember 2008, pasukan Brimob Polda Riau beserta 500-an pasukan Samapta serta pasukan dari Polres Bengkalis menyerbu Dusun Suluk Bongkal untuk melakukan pengusiran terhadap warga yang berdiam di dusun tersebut karena dianggap telah melakukan penyerobotan terhadap areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT. Arara Abadi. Dalam melakukan tindakannya Pasukan dari Kepolisian Polda Riau dipimpin langsung oleh Direktur Reskrim Polda Riau, Kombes. Alex Mandalika, tidak mengedepankan upaya-upaya persuasif dan dengan persenjataan lengkap (pentungan dan senjata api) serta water cannon, melakukan upaya paksa dengan kekerasan, mengusir warga dusun termasuk dengan menggunakan 2 (dua) helikopter yang menjatuhkan bahan peledak sehingga mem-bumihanguskan sekitar 700 rumah warga. akibat tindakan brutal aparat kepolisian yang dibantu oleh Satpol PP, kelompok preman dan pamswakarsa tersebut, mengakibatkan: Tewasnya 2 orang anak yaitu: seorang anak berumur 2,6 tahun bernama Putri dan seorang Bayi berumur 1,6 bulan yang tewas terbakar diatas ayunannya. 58 orang warga saat ini ditahan di Polres Bengkalis dengan status tersangka. Sekitar 50 warga bertahan di hutan sekitar kampung dengan kondisi psikologi yang tertekan, serta Âą 400 orang warga lainnya mengungsi ke tengah hutan dalam kondisi berpencar. Memperhatikan hal tersebut diatas, maka Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan sikap: 1. Mengecam dan menyatakan protes atas segala bentuk tindakan represif dari aparat kepolisian daerah Riau terhadap warga dusun Suluk Bongkal Desa Beringin Bengkalis Riau. 2. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memberhentikan secara tidak terhormat Kapolda Riau dan Kapolres Bengkalis karena telah secara nyata melakukan tindakan-tindakan brutal dan tidak mengedapankan cara-cara persuasif terhadap sipil yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. 3. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera mengusut tuntas semua pihak yang terlibat melakukan tindakan kekerasan terhadap warga dusun Suluk Bongkal Bengkalis Riau 4. Mendesak agar Kepolisian RI untuk menghentikan segala bentuk tindakan isolasi terhadap dusun Suluk Bongkal, 5. Membebaskan seluruh warga yang ditangkap dan saat ini sedang ditahan oleh pihak Kepolisian. 6. Mendesak agar aparat kepolisian segera mengembalikan seluruh harta benda milik warga yang disita tanpa prosedur. 7. Menuntut secara tegas agar Kepolisian Republik Indonesia berhenti untuk melakukan tindakan brutal dalam melakukan tugasnya yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan watak pengaman sipil yang profesional. Jakarta, 19 Desember 2008


Rezim SBY-JK adalah pasangan yang tepat untuk mempercepat kolaps-nya Indonesia. Dimana pada awal tahun 2008 rezim ini terus membangun landasan kehancuran dengan melahirkan berbagai kebijakan yang menjamin eksistensi ekploitasi sumberdaya alam oleh korporasi untuk memenuhi kebutuhan Negara-negara Industri dengan mengabaikan hak rakyat. Tepatnya pada tanggal 4 Februari 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2008 tentang “Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan�. Kebijakan yang diterbitkan tanpa sepengetahuan masyarakat (tanpa proses konsultasi publik) ini telah memberikan hak kepada perusahaan tambang dan membenarkan pembukaan kawasan lindung dan hutan produksi unutk kegiatan pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan jalan tol hanya dengan membayar uang sebesar Rp. 120,- untuk hutan produksi dan Rp. 300,- untuk kawasan lindung per meter persegi pertahun. Perkiraan WALHI, PP ini berpotensi menghancurkan 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia yang tersisa. Di akhir tahun 2008 dan di penghujung kekuasannya, SBY-JK juga tak mampu menunjukkan kemampuannya menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat. Pada tanggal 16 Desember tahun 2008, pemerintah semakin menunjukkan ketidaktahuan tentang masalah yang sedang dihadapi bangsa ini, dengan tetap mengesahkan UU MINERBA (Mineral Batu Bara) ditengah kontroversi yang ada. Undang-undang ini bukan saja tidak mengakui hak rakyat untuk membuat keputusan menerima atau menolak sebuah investasi yang berpotensi merusak sumber-sumber kehidupan mereka (FPIC Principle)4, akan tetapi undang-undang ini juga semakin menegaskan bahwa rezim keruk habis-jual murah Indonesia masih tetap berlangsung bahkan tanpa batas. Rezim ini juga tak malu mengatasnamakan rakyat dan penyelamatan lingkungan untuk terus mengekstraksi sumberdaya alam Indonesia. Pertemuan COP (Conference Of The Parties)5 UNFCCC ke-13 di Bali yang diselenggarakan pada tanggal 3-14 Desember 2007, hanya menjadi ajang pertemuan antara penjual dan pembeli emisi lintas negara, tanpa masyarakat bisa memberikan kontribusi pemikiran yang harusnya menjadi pertimbangan penting dalam membuat sebuah kesepakatan terkait perubahan iklim. Apa lacur Indonesia malah menjadi motor penggadaian sumberdaya hutan negara-negara selatan untuk dipertukarkan dengan dollar lewat mekanisme Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD) dengan skema offsetting (perdagangan karbon). Tak banyak yang bisa pemerintah Indonesia lakukan dipertemuan strategis tersebut, selain hilir mudik menjajakan hutan untuk digadaikan. Indonesia, juga tak berani

4

Free Prior and Informed Concern (FPIC) dapat diartikan menjadi, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sebelum sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan menyatakan setuju atau menolak, atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam tanah mereka

5

Confrence Of The Parties (COP) UNFCCC adalah suatu forum tertinggi pengambil keputusan dari para pihak dalam melaksanakan pasal-pasal yang diatur dalam konvensi perubahan iklim.


bersuara mendesak Negara annex 16 untuk menurunkan emisi domestik secara signifikan dan berhenti mengkambing hitamkan Negara berkembang. Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI) 2007 yang dibawa pemerintah dalam pertemuan tersebut, juga tidak dibuat tidak berdasarkan analisis tingkat kerentanan komunitas di tiap wilayah dan tidak melalui proses partisipasi publik. RAN MAPI 2007 juga tidak mengikat secara hukum karena bukan salah satu dari hirarki perundang-undangan, serta tidak memiliki kewenangan untuk mengikat departemen sektoral lainnya seperti kehutanan, kelautan, ESDM dan lain sebagainya. Perilaku yang sama ditunjukkan pemerintah Indonesia dalam COP UNFCCC 14 di Poznan, Polandia, yang berlangsung dari tanggal 1-12 Desember 2008. Nampaknya pemimpin negeri ini belum bisa berdiri tegak ketika berhadapan dengan kaum kapitalis yang mengusung agenda neoliberal. Selamatkan dunia dari cengkraman kapitalisme harus menjadi gerakan masyarakat dunia khsusnya Indonesia untuk bisa membuat tatanan dunia baru. Dimana ekonomi pasar bebas yang diusung kaum kapitalis terbukti rapuh dan tak mampu mensejahterkan masyarakat dunia. Berulang kali sistem ekonomi kapitalisme global ini diguncang krisis yang menimbulkan dampak yang cukup signifikan kepada masyarakat. Bahkan ketika krisis terjadi, pemerintah bukan berupaya melindungi rakyat, tapi malah menalangi kebangkrutan perusahaan-perusahan besar seperti PT. Bumi Resources milik Abu Rizal Bakrie dan menopang kebangkrutan pasar. Sepuluh jurus ekonomi anti-krisis, niat bailout dan buyback, Peraturan Bersama 4 Menteri, ultimatum komitmen kepada ekspor, dan kemungkinan melibatkan IMF dalam program Global Expenditure Support Fund, menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat. Gelombang PHK terus terjadi akibat krisis, di Depok angka pengganguran terus bertambah dari 9.000 orang menjadi 73.000 orang , akibat tutupnya perusahaan tekstil PT Sentral Star Knitting, PT Malaktex, dan PT Rajabrana. Di Bekasi, lebih kurang 13 perusahaan melaporkan rencana PHK 5000 karyawan kepada APINDO, di Riau, PT. RAPP telah merumahkan 1.000 orang buruh. Hal yang sama juga terjadi disektor lainnya, seperti perkebunan sawit, krisis ekonomi global menyebabkan anjloknya harga TBS (Tandan Buah Segar) sampai dengan angka Rp. 150,- akibatnya banyak petani sawit yang mengalami kebangkrutan. Di Jambi dua orang petani sawit bunuh diri dan 100 orang lagi dinyatakan mengalami gangguan psikologis dan ribuan petani sawit lainnya yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, kehilangan hak untuk hidup. Dengan kondisi tersebut pemerintah malah meniadakan pajak ekspor crude palm-oil (CPO) dan mengemis kepada pengusaha untuk tetap melakukan ekspor walau harga jual rendah. Bukan memproteksi hak petani dengan membuka pasar domestik. 6

Negara Annex I merupakan negara-negara yang diidentifikasikan sebagai penghasil emisi skala besar


Sikap pemerintahan SBY-JK dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa sejak lama hanya berisi bujukan kepada rakyat demi ‘stabilitas politik’, dan pencitraan untuk menjaga ‘wibawa kharismatik’ menuju PEMILU 2009. Sejujurnya telah melumpuhkan kepekaan sosial ekonomi, kekritisan sudut pandang SBY-JK, untuk melakukan pemberdayaan ekonomi nasional yang berdaulat. Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat dan menjalar menjadi krisis global sudah menjadi bukti, bahwa Indonesia tidak bisa mengandalkan pasar global, ekonomi kapitalistik dan model konsumtif untuk pembangunan yang berkelanjutan. Ironis ketika ditengah krisis multi dimensi yang sedang dihadapi bangsa ini, para pejabat Negara dan pengusaha malah berlomba-lomba memperkaya diri, dengan mengkrimimalisasi rakyat sebagai komoditi ekonomi politik. Grafik Orang Terkaya Di Indonesia (Miliar USD) 6

5

4

3

Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008

2

1

0

Murdaya Poo Budi Hartono Arifin Panigoro Peter Sondakh Martua Sitorus Bakrie Sukanto tanoto Rac hman Halim AburizalEddy Liem Sioe Liong Hartono W. Katuari Michael Eka Tjipta Wijaya Putera Sampoerna Trihatma K. Haliman

Sumber : Diolah dari data majalah Forbes Asia Diawal tahun 2008 Abu Rizal Bakrie yang menunggak pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo sampai dengan penghujung tahun 2008, dinobatkan menjadi orang terkaya di Indonesia oleh Majalah Forbes Asia edisi 13 desember 2007, dengan total kekayaan mencapai US$ 5,4 miliar (Rp. 50,2 triliun). Sementara Sukanto Tanoto, Pemilik Raja Garuda Mas (RGM), menempati urutan kedua dengan total kekayaan mencapai US$ 4,7 miliar. Yang mana pada tahun 2006 beliau menempati urutan pertama, setelah mengemplang hutang selama bertahun-tahun dengan nilai Rp. 1,3 triliun. Di akhir tahun 2008, Majalah Forbes Asia kembali menobatkan Sukanto Tanoto menjadi orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan sebesar US$ 2 miliar (Rp. 21 triliun). Ditengah isu kebangkrutan PT. RAPP dan PHK ribuan karyawannya, akibat krisis


keuangan dan ketergantungan perusahaan tersebut atas bahan baku dari hutan alam (menggunakan bahan baku illegal). Disisi lain angka kemiskinan Indonesia pada tahun 2008 terus mengalami peningkatan sebesar 21,92 % (41,7 juta jiwa) sebagai akibat naiknya harga BBM sebesar 28,7 % pada bulan Mei (Tim P2E-LIPI)7. Bahkan disaat Abu Rizal Bakrie, pemilik Group Bakrie yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (MENKO KESRA) sedang menikmati hidup bergelimang harta, sedikitnya 15 ribu keluarga korban lumpur lapindo tidak terpenuhi hak-hak dasar hidupnya, kehilangan pekerjaan, anak-anak putus sekolah serta kehilangan masa depan. Fakta lainnya dapat kita temukan di wilayah timur Indonesia (Makasar). Seorang ibu hamil tujuh bulan bersama janinnya dan seorang putranya meninggal dunia akibat tidak makan selama tiga hari. Keluarga ini tak pernah mencicipi RASKIN (Beras Untuk Rakyat Miskin), hanya dengan alasan bahwa keluarga ini bukan warga setempat, seperti yang diungkapkan oleh Lurah Parang Tambung (Tempo, edisi 3-9 Maret 2008, hal 2021). Fenomena diatas semakin menjelaskan kepada kita, bahwa setelah 63 tahun Negara ini terbentuk, sama sekali tidak ada yang berubah, kolonialisme masih eksis dan menggurita. Pejabat Negara, dan pengusaha yang dibungkus oleh kekuatan modal dengan mendapat perlindungan TNI/ POLRI (Rezim Korporatokrasi) telah banyak mengeruk keuntungan dari kemiskinan rakyat, kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM berat yang terjadi.

2. KEBIJAKAN YANG MENJAMIN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP Ditahun 2008 kebijakan-kebijakan yang diterbitkan Rezim SBY – JK berfokus dalam menghabiskan cadangan mineral yang ada diperut bumi Indonesia. Semangat ini setidaknya tercermin dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2008 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutananan. Peraturan Pemerintah ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu No. 1/2004) yang memberikan izin bagi usaha pertambangan di hutan lindung. Perpu yang kemudian diperkuat dengan Kepress No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan di Kawasan Hutan, bersama DPR, kemudian ditetapkan menjadi UU No. 19 tahun 2004. Keluarnya PP ini menunjukan tidak konsistennya pemerintah Indonesia dalam agenda penurunan emisi global dengan melakukan penyelamatan kawasan hutan, sebagaimana komitmen yang 7

http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/05/28/19/113335/lipiangka-kemiskinan-2008-menjadi-41-7-juta di unduh pada tanggal 21 Desember 2008, pukul 15.30 WIB


disampaikan dalam pertemuan para pihak (COP 13) UNFCCC di Bali bulan Desember 2007. Masih di sektor pertambangan, menjelang akhir tahun, rancangan undang-undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang sejak tahun 2004 digodok DPR RI, akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 16 November 2008. UU ini memiliki kelemahan yang besar dalam peran dan partisipasi masyarakat untuk menentukan bentuk dan tingkat eksploitasi sumber daya alam. Di sisi lain, UU ini menetapkan aturan yang represif terhadap masyarakat mana kala dinilai menghambat usaha pertambangan. Padahal sering apa yang diperjuangkan masyarakat adalah upaya untuk mempertahankan ruang hidup mereka yang lestari dan sumber-sumber kehidupan dari serbuan investasi tambang yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan pendapatan rakyat. Hal lainnya, UU ini tidak memuat jaminan terhadap perlindungan bagi kawasan hidup rakyat dan kawasan lindung. Ruang hidup rakyat dan sumber-sumber kehidupan, serta kawasan lindung yang kendati dinyatakan sebagai tempat yang terlarang bagi kegiatan usaha pertambangan, berdasarkan kebijakan ini bisa saja ditambang setelah mendapatkan izin dari instansi Pemerintah yang berkompeten. Kondisi ekologi dan penghormatan atas HAM akan makin memburuk pada tahun-tahun ke depan, khususnya di wilayah pertambangan, sebab jumlah izin dan kontrak karya pertambangan hingga akhir tahun 2006 saja sudah berjumlah 2.599 untuk tambang mineral dan batu bara, tidak termasuk izin yang dikeluarkan kepala daerah paska otonomi daerah dan izin tambang galian C meliputi pasir, batu dan kerikil (sirtukil). Rata-rata wilayah konsesi tambang menyumbang angka kemiskinan, kekerasan dan pelanggaran HAM, serta ancaman kerusakan lingkungan hidup. Disektor kelautan, paska dikeluarkannya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), dimana salah satu isu penting yang terus mengemuka dan jadi perdebatan adalah terkait dilegalkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Mekanisme HP-3 secara jelas membuka peluang liberalisasi yang luas kepada kaum pemodal besar untuk mengusahakan perairan pesisir. UU No. 27/2007 dalam prakteknya akan mendorong adanya privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; mendorong kaum pemodal mengambil alih wilayah kelola dan sumber-sumber penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir, dan meniadakan akses dan kontrol rakyat atas wilayah pesisir dan laut. Dengan UU ini pemerintah secara jelas menyerahkan urusan pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir kepada kaum pemodal, dengan melepaskan tanggung jawabnya sebagai pengurus negara yang melindungi hak seluruh rakyatnya. Pada tahun 2006, Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI) merencanakan untuk menjalankan Reforma Agraria dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran�. Kemudian agenda pemerintah ini dikenal dengan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Program ini akan mengalokasikan tanah objek Reforma Agraria seluas 9,25 juta hektar, terdiri dari 8,15 juta ha berasal dari hutan konversi dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN. Untuk mematangkan rencana ini, pada tahun 2007 BPN menjalankan ujicoba PPAN di 32


Provinsi. Melanjutkan rencana ini untuk lebih intensif, pada tahun 2008 ini BPN berencana menerapkan Reforma Agraria dengan pendekatan kawasan Agro-ekologi di 34 (tiga puluh empat) kabupaten di Selatan pulau Jawa. Setelah 2 tahun pasca dicanangkan, perjalanan gerakan Reforma Agraria (RA), saat ini seperti berada di persimpangan jalan. Program RA secara nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY-JK memunculkan beragam pertanyaan. Kapan akan dilaksanakan, bagaimana bentuk pelaksanaannya, dan apakah program RA tersebut memang memiliki kaidah-kaidah untuk bisa disebut sebagai satu program Reforma Agraria yang Sejati. Program RA secara nasional perlahan-lahan mulai direduksi menjadi satu program yang sifatnya regional (tidak dilaksanakan secara menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia). Sebagai contohnya adalah program Reforma Agraria di wilayah Jawa bagian Selatan (yang dikenal dengan sebutan Rajasela). Untuk tahun 2008-2009, program ini bisa dikatakan sebagai pertaruhan BPN yang terakhir dalam agenda Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sangat kecil kemungkinan untuk melaksanakan program PPAN secara masif pada tahun 2008-2009. Pemilihan lokasi Jawa bagian Selatan, menurut BPN karena faktor kemiskinan yang tinggi di wilayah Jawa Selatan. Terdapat 32 kabupaten yang terletak di Jawa bagian Selatan, membentang dari Banyuwangi sampai Pandeglang. Secara statistik, Jawa bagian Selatan hanya menyumbang 19,6 % dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Pulau Jawa. Angka pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan bahwa wilayah Jawa bagian Selatan juga tertinggal jika dibandingkan dengan Jawa bagian Utara. Rencana ini diistilahkan oleh BPN sebagai Reforma Agraria Agro-Ecology Zone, yakni Reforma Agraria dengan pendekatan kawasan. Disampaikan pertama kalinya pada bulan Mei 2008. Penting untuk dicatat bahwa program pembaharuan agraria nasional selama ini masih kental dipengaruhi oleh kebijakan Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) dan IMF. Sejak tahun 1994 Bank Dunia dan lembagalembaga kreditor internasional telah mempromosikan suatu sistem bernama Land Administration Project (LAP) phase 1 dan 2, selanjutnya diteruskan dengan Land Manajement Policy and Policy Development (LAMDP). Kebijakan LAMPD ini merupakan kelanjutan kerjasama antara pemerintah RI dengan Bank Dunia yang telah dirintis sejak Land Administration Project (LAP) Tahap I sejak 1994 atau tepatnya dari tahun 1995 hingga tahun 1999. Setelah berakhirnya LAP I kemudian dilanjutkan dengan LAP II yang rencananya akan dilaksanakan mulai Tahun 2000. Akibat adanya kemoloran waktu pelaksanaan dan juga akibat situasi politik dalam negeri, dimana pada saat itu pemerintahan yang ada mendapat tekanan agar mengurangi bahkan menghentikan utang baru, maka LAP II yang pada dasarnya merupakan proyek persiapan LMPDP baru bisa dilaksanakan dari tahun 2001 hingga 2004. Sementara, proyek LMPDP sendiri direncanakan akan dilaksanakan dari 2004 hingga 2009. Melalui proyek yang didanai oleh Bank Dunia (World Bank) dan menghabiskan dana pinjaman sekitar 65,6 juta dolar AS ini, pemerintah Indonesia menyepakati satu konsepsi Bank Dunia yang hendak menciptakan market led land-reform di Indonesia. Secara umum maksud dari proyek LMPDP adalah hendak mendukung program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan kegunaan penuh dari tanah secara berkelanjutan. Tujuan tersebut pada


dasarnya juga merupakan kelanjutan dari Proyek LAP I yang mendasarkan pada sejumlah argumen bahwa peningkatan keamanan tanah (land tenure security) akan mengurangi konflik, mendorong peningkatan investasi, dan meningkatkan pinjaman (kredit) melalui sertifikat tanah sebagai agunan. 3. REZIM KORPORATOKRASI8 Seratus tahun kebangkitan nasional, sepuluh tahun reformasi yang jatuh pada tahun 2008, tak mampu menjadi titik balik peradaban Indonesia untuk menjadi Negara yang berdaulat atas pengelolaan sumberdaya alam dan berani membela kepentingan rakyat. Upaya-upaya gerakan masyarakat sipil untuk menyadarkan para pemimpin bangsa ini kandas oleh sikap mental pejabat itu sendiri. Gerakan yang dibangun terus mendapat cap sebagai kuda tunggangan, penjual Negara, menyebar ajaran komunis, bahkan tak jarang yang mendapat perlakuan tidak manusiawi dan penghilangan nyawa. Para penguras sumberdaya alam Indonesia (Korporatokrasi) sepanjang tahun 2008 mendapat tempat khusus, dimana hak mereka untuk mengekploitasi sepenuhnya dilindungi pemerintah, baik melalui regulasi maupun dukungan tekhnis. Tindakan Represif Pemerintah Sepanjang Tahun 2008

Meninggal Dunia Luka-luka

JABAR

Ditangkap

KALTENG KALTIM SUMBAR SUMUT Lokasi

JATENG JATIM SULTRA SULSEL SULTENG 0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Jumlah Korban (Orang)

Sumber : Kasus Pedia WALHI, 2008

3.1 Lapindo Tim pengawas penanganan lumpur lapindo yang dibentuk DPR RI, menyimpulkan bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo merupakan fenomena alam dalam rapat Paripurna DPR pada 19 Februari 2008. Kesimpulan tersebut hanya berbekal keterangan para ahli yang sependapat tentang hal tersebut, mengabaikan keterangan ahli lainnya 8

Istilah korporatokrasi di gunakan oleh John Perkins untuk menggambarkan betapa dalam rangka membangun imperium global, korporasi, international finance institutions dan pemerintah bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka (John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, 2004)


yang memiliki pendapat berbeda dan tak menggali lebih dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun lalu yang menemukan bahwa PT. Medici Citra Nusantara kontraktor pengeboran yang ditunjuk oleh oleh Lapindo yang juga merupakan kepunyaan group Bakrie, merupakan perusahaan yang tidak berkualitas di bidang pengeboran karena baru satu kali melakukan pengeboran pada tahun 2001. Pengeboran sumur Banjir Panji -1 pun tak menggunakan casing (selubung pengaman) pada kedalaman 8.500 kaki. Sehingga kuat dugaan semburan tersebut bukanlah karena dipicu oleh gempa bumi di Jogyakarta, karena getaran gempa yang sampai ke lokasi semburan memiliki skala yang kecil sekali yaitu hanya sebesar 1-2 skala MMI (Modified Mercalli Intensity) dan unuk dapat mengguncang/ merubah struktur lapisan tanah diperlukan kekuatan diatas 10 MMI. Mustahil jika tim DPR tersebut tidak melihat kesalahan fatal Lapindo lainnya dalam beroperasi, dimana lokasi pengeboran sumur Banjarpanji-1 hanya berjarak lima meter dari pemukiman warga dan 37 meter dari jalan tol Surabaya-Gempol. Hal ini jelas melanggar ketentuan Badan Standarisasi Nasional Indonesia yang mengatur tentang jarak minimum pengeboran diwilayah pemukiman dan fasilitas umum seperti rel kereta api dan jalan. Kualitas anggota DPR yang ada di tim tersebut patutlah dipertanyakan, karena bukan saja memperlihatkan kebodohannya dalam membaca sebuah persoalan, akan tetapi juga sangat mementingkan kepentingan pribadi. Menjelang akhir tahun 2008, korban lumpur lapindo kembali meraih dukungan atas perjuangan yang mereka lakukan. Dimana dari 90 orang ahli geologi dunia yang berkumpul pada acara International Confrence & Exhibiton yang diselanggarakan oleh American Association of Petrolium Geologist (AAPG) pada tanggal 28 Oktober 2008 di Cape town Afrika Selatan, 42 diantaranya menyatakan pemboran adalah penyebab menyemburnya lumpur di Porong Sidoarjo, 13 ahli menyatakan penyebabnya adalah kombinasi gempa dan pemboran dan hanya 3 ahli yang mendukung gempa sebagai penyebab semburan. Korban lumpur lapindo juga mendapat solidaritas perjuangan dari 885 orang masyarakat dunia yang tersebar di 73 Negara. Dimana sepanjang bulan November 2008 para individu tersebut telah mengirimkan surat elektronik (Cyberaction) kepada Presiden Republik Indonesia dan Bakrie Brothers, guna meminta pemerintah Indonesia untuk memastikan agar Lapindo Brantas segera menghentikan semburan lumpur, membayar ganti rugi yang layak kepada para korban, merestorasi kawasan ekologi yang rusak akibat semburan lumpur, melaksanakan pemenuhan hak-hak korban (sandang, pangan, tanah/lahan) selama semburan lumpur berlangsung, serta mendesak pemerintah dan Lapindo Brantas untuk mencegah bertambahnya jumlah korban. Solidaritas ini di pelopori oleh WALHI bersama dengan jaringan Friends of The Earth International (FoEI) selama sebulan penuh. Bencana lumpur lapindo hampir melewati tahun yang ketiga. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh masyarakat korban untuk menuntut hak hidup yang telah di rampas oleh kelompok bisnis miliki keluarga Bakrie. Mulai dari perundingan ditingkat lokal, sampai


bertemu Presiden, aksi dilokasi sampai ke Jakarta, bertemu Komnas HAM, menandatangani perjanjian, semua hal sudah dilakukan. Begitu pula dengan organisasi lingkungan hidup-HAM, para ahli geologi dunia, dan solidaritas masyarakat dunia. Namun apa lacur pemerintah tak memiliki keberanian untuk bersikap tegas terhadap group Bakrie ini, bisa jadi karena posisinya sebagai Menteri Negara atau karena pertimbangan ekonomi politik lainnya menjelang PEMILU 2009. Masyarakat kembali hanya mendapat janji, sementara kondisi di lapangan masyarakat korban terpecah belah (konflik horizontal) akibat persoalan ganti rugi yang tak kunjung selesai9.

3.2 Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) Pada tanggal 23-27 Juni tahun 2008, Indonesia menjadi tuan rumah konferensi antarbangsa tentang Pengelolaan Limbah di Bali yang dihadiri oleh 170 negara yang menandatangani konvensi basel, yang melindungi masyarakat dan lingkungan dari limbah beracun yang diseludupkan. Pertemua ini membahas empat topik utama diantaranya, mengenai bongkar muat limbah berbahaya, limbah elektronik, limbah telephone seluler dan limbah komputer bekas. Sementara Indonesia merupakan importir barang bekas, mulai dari telephone seluler, komputer atau elektronik lainnya sampai dengan pakaian bekas dan kondom bekas. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dibeberapa wilayah, barang bekas (limbah) merupakan sumber mata pencaharian dan kebutuhan. Sebut saja Kepulauan Riau yang menampung berbagai macam limbah dari Singapura, bahkan sampai menjadi bisnis penting disana, begitu juga dengan Kota Medan dan Riau. Sepertinya kovenan hanya tinggal kovenan, persoalan ini bukan kesalahan sepihak pemerintahan Indonesia, akan tetapi karena ada kepentingan dari Negara lain (bebas limbah), seperti Singapura. Persoalan pembuangan limbah beracun masih menghiasi tahun 2008, perusahaan masih seenaknya saja membuang limbah beracun ke sungai, laut dan lahan-lahan kosong. Seperti yang terangkat kepermukaan pada Juni 2008. Dimana PT. Dongwoo Environmental Indonesia yang memiliki izin dari KLH untuk mengolah limbah cair, malah membuang begitu saja limbah B3 di Kampung Sempu, Desa Pasir Gembong Bekasi. Akibatnya banyak penduduk yang dilarikan ke Rumah Sakit Cikarang (Tempo, edisi 23-29 Juni 2008, hal. 48). Sumber yang sama menyebutkan bahwa limbah dari industri pertambangan, energi dan Migas hanya 5% dari 64,4 juta ton yang dikelola dengan baik. Sementara di industri manufaktur berskala besar dan sedang hanya sekitar 9

Pada 3 Desember 2008, sembilan orang perwakilan warga korban lumpur lapindo yang tergabung dalam Tim 16 bertemu dengan presiden dan kembali melakukan perundingan terkait ganti rugi dengan Nirwan Bakrie, pimpinan eksekutif PT. Lapindo Brantas Inc. perundingan juga di ikuti oleh Menteri Sosial, Menteri PU, MENSESNEG, MEN-ESDM, Sekretaris kabinet Sudi Silalahi, dan ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Perundingan tersebut diakhiri dengan kesepakatan baru tentang ganti rugi yang dijamin oleh Prsiden, dimana para korban akan menerima ganti rugi awqal sebesar Rp. 32,5 juta dan selanjutnya Rp. 30 juta per bulan sesuai dengan jatuh tempo masing-masing. Hal ini tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan, perpecahan kembali terjadi di kalangan masyarakat korban dan tidak ada jaminan Lapindo akan memenuhi janjinya, karena pengalaman pengimplementasikan Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 membuktikannya.


800 dari 20 ribuan industri yang mengolah limbah dengan benar. Walaupun tak ada jaminan bahwa perusahaan yang mengantongi izin pengolahan limbah mau mengolah limbah karena lemahnya pengawasan, KLH masih terus mengeluarkan izin. Sepanjang tahun 2005-2007 saja, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar telah menadatangani 511 surat izin pengolahan limbah. Sepertinya masyarakat Indonesia semakin kehilangan ruang untuk bisa hidup nyaman, aman dan bersih, melainkan tenggelam dalam lautan limbah. 3.3 Krisis Energi Kegiatan pembangunan di Indonesia mengarah kepada industrialisasi, sehingga energi menjadi isu utama dan penting dalam kerangka menunjang model pembangunan tersebut. Krisis energi, terutama listrik, yang pernah terjadi menjelang akhir abad ke-20 mengisyaratkan bahwa suplai energi listrik tidak dapat mengimbangi tingginya laju permintaan. Ditengah kebutuhan Indonesia atas energi yang cukup besar, pemerintah malah mengobral murah sumber-sumber energi Indonesia. Batu bara, dari sekitar 206 juta ton total poduksi tahun lalu, 156 juta ton dijual ke pasar internasional. Beberapa alasan yang muncul kepermukaan adalah karena pembeli manca negara berani membeli dengan harga mahal, mau membayar lebih awal bahkan sampai menyimpan deposit jutaan dollar. Tapi bukankah pemerintah Indonesia (rakyat) pemilik sah dari bahan tambang tersebut, yang dapat mengatur quota ekspor, guna memenuhi kebutuhan domestik. tetapi kenapa hal tersebut tidak dilakukan? Alhasil Indonesia mengalami masa kegelapan, hampir disemua wilayah mengalami pemadam listrik bergilir sepanjang tahun 2008. Indonesia yang kaya sumber energi terbarukan seharusnya bisa terhindar dari krisis energi jika pemerintah secara serius menata kebijakan energi melalui pengarusutamaan energi terbarukan yang dikelola secara lebih adil, efisien dan mandiri. Indonesia juga tidak perlu mengambil resiko untuk mengatasi krisis energi, dengan mengembangkan sumber energi berbahaya, berdampak luas dan mematikan, seperti penggunaan Nuklir dan pengembangan Biofuel. Karena keduanya jelas bukan merupakan sumber energi bersih dan berkelanjutan. Pengembagan Biofuel sedikitnya akan berdampak kepada meningkatnya angka deforestasi Indonesia akibat praktek konversi lahan, kolonialisme lahan, naiknya harga pangan, hilangnya lahan-lahan produktif rakyat yang selama ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, dan berkurangnya/ tercemarnya sumberdaya alam seperti air dan kesuburan tanah, serta semakin termajinalisasinya kaum perempuan. Berdasarkan data dari Business Watch Indonesia 2007, biofuel yang akan dikembangkan adalah sekitar 3 juta hektar untuk sawit, 1,5 juta Ha untuk jarak, 1,5 juta Ha untuk singkong dan 0,5 juta Ha untuk tebu, yang akan dikendalikan oleh tujuh perusahaan besar yang bergerak di sector perkebunan, diantaranya Raja Garuda Mas, Wilmar Group, Salim Group, Guthrie Bhd, Sinar Mas, Astra Agro Lestari, dan PBB oil Palm. Sehingga jelas pengambangan biofule adalah bukan untuk menjawab kebutuhan energi melainkan ekspansi perusahaan-perusahaan yang selama ini telah cukup banyak melakukan


kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaram Ham. Energi nuklir juga tak bisa dikatakan sebagai sumber energi terbarukan dan aman karena sumbernya yang terbatas. Sehingga unutk mengembang energi tersebut Indonesia harus mengimpornya dari negara penghasilnya, seperti Australia, Kanada, Kazakhstan, Namibia, Niger, Rusia, Brasil dan Uzbekistan. Bahkan dengan kapasitas energi nuklir saat ini, diperkirakan uranium akan habis dalam kurun waktu 34 tahun. Belum lagi faktor bahaya radiasi dari reaktor tersebut terhadap masyarakat. Sebuah penelitian resmi oleh pemerintah Jerman menunjukkan bahwa dalam keadaan normal, tingkat kanker dan leukemia pada balita yang tinggal di sekitar PLTN Jerman sangat menonjol, yakni meningkat sebesar 54% dan 74%. Tentu saja, hal itu belum memperhitungkan bila terjadi kecelakaan nuklir seperti yang pernah dialami AS dan Soviet. Di ulang tahun Badan Tenaga Atom Nasional yang ke 50, sudah seharusnya pemerintah berpikir dan mulai mengalokasikan seluruh sumberdaya dan sumberdana yang ada untuk mengembakan energi yang sesungguhnya terbarukan, bersih dan berkelanjutan, seperti energi angin, solar cell, mikrohidro, dan energi panas bumi. Sehingga Indonesia bisa keluar dari jebakan lingkar kapitalisme global yang terus menerus ingin mengendalikan bangsa ini demi kesejahteraan mereka. Sesungguhnya kedaulatan energi hanya bisa di wujudkan jika negara mengontrol ekploitasi sumberdaya domestik dengan tidak melepas penguasaannya kepada korporasi. Dengan menjalankan system desentralisasi dan efesisensi energi, dimana rakyat memiliki akses dan kontrol terhadap sumber-sumber energi tersebut.

3.4 Penggusuran Selama tahun 2008, tidak kurang ribuan orang digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang dilegitimasi melalui PERDA Tata Ruang dan Ketertiban Umum. Penggusuran tahun 2008 dimulai dari menggusur ratusan pedagang pasar ikan dan bunga hias Barito di Jakarta Selatan, tidak berlangsung lama giliran pasar keramik di Rawasari Cempaka Putih yang digusur oleh Pemprov. DKI Jakarta. Tidak berhenti sampai disitu, pada bulan Agustus 2008, giliran kurang lebih 1.200 KK di permukiman taman BMW yang digusur oleh pemerintah dan masih ada sekitar 13 komunitas yang terancam digusur dengan atas nama RTH pada tahun depan. Selain Jakarta, penggusuran terhadap PKL dan permukiman orang miskin lainnya juga terjadi di Bandung, Surabaya, Makassar, dan Kendari. Ironisnya, semua kasus penggusuran yang menyebabkan ribuan orang kehilangan ruang hidupnya, dilakukan oleh pemerintah dengan atas nama lingkungan hidup yakni membangun ruang terbuka hijau. Dalam salah satu studi kasus yang dikaji oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dalam perspektif ekologi politik, menemukan bahwa berbagai kasus penggusuran yang terjadi di kota-kota besar dengan atas nama lingkungan


hidup, ruang terbuka hijau dan atau ketertiban umum, sesungguhnya terkait erat dengan persoalan perbedaan kepentingan, dan pemerintah dalam hal ini lagi-lagi memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan warga miskin, sehingga kepentingan warga miskin dapat dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yakni kepentingan modal. Dari sini tampak jelas, bagaimana wacana lingkungan hidup yang dibungkus dalam modernisasi ekologis (ecological modernity), dan pembangunan berwawasan lingkungan (green developmentalism) telah terjadi pembelokan wacana lingkungan untuk kepentingan politik dan pasar, dengan menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik. Dalam bacaan ekologi politik sangat jelas, bahwa isu RTH dan lingkungan hidup kini justru diadopsi dan dikooptasi oleh kekuatan pemilik modal dan kekuasaan. Box. 2 WALHI Menentang Rencana Pembangunan 20 Juta Hektar Kebun Sawit Selasa, 18 November 2008 | 16:37 WIB *TEMPO Interaktif*Jambi Mewakili petani sawit Provinsi Jambi, WALHI menentang adanya pertemuan beberapa pengusaha besar membahas masalah rencana membangun 20 juta hektar kebun sawit baru di Indonesia, dibahas dalam pertemuan pengusaha kelapa sawit yang tergabung dalam *Roundtable On Sustainable Palm Oil *(RSPO), saat ini sedang melakukan pertemuan di Bali. "Kita sangat menolak dengan adanya rencana tersebut, karena apa yang dilakukan perusahaan besar membuka lahan perkebunan sawit di setiap daerah di Indonesia, tidak hanya merugikan rakyat kecil dengan terbukti banyak menimbulkan konflik berkepanjangan juga akan merusak lingkungan", kata Arif Munandar, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Jambi, kepada Tempo, Selasa (18/11). Dikatakan, kini konflik antara perusahaan besar dan dan petani sangat banyak terjadi dan tak kunjung terselesaikan, terbukti di Provinsi Jambi sendiri. Ujung-ujungnya masyarakatlah yang dirugikan. Eksploitasi kawasan hutan secara besar-besaran untuk diubah menjadi kawasan kebun sawit juga telah merusak lingkungan, disamping sawit sendiri tidak bersahabat terhadap lingkungan sekitar juga banyak lahan yang dibuka perusahaan besar di kawasan lahan gambutdan hutan konservasi. "Kita berharap pemerintah Indonesia tidak menyetujui adanya keinginan tersebut", kata Arif.

Dalam kurun dua pekan terakhir, di Kota Jambi setiap hari, termasuk hari ini ratusan bahkan ribuan petani sawit melakukan aksi demo, agar pemerintah setempat memikirkan kenaikan harga jualtandan buah segar dan meminta penyelesaian sengketa antara petani dan perusahaan besar yang adadi daerah ini. Sementara itu, dalam pertemuan RSPO di bali hari ini menurut Feri Irawan, Dewan Nasional WALHI, saat ini pihaknya dan Green Peace tengah melakukan aksi demo, di dekat pertemuan para pengusaha perkebunan besar di Bali, menolak adanya agenda tersebut. *Syaipul Bakhori*

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/11/18/b rk,20081118-146721,id.html


4. PELANGGARAN HAK ASASI RAKYAT (1)Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2)Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. (3)Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (Pasal 9, UU 39 tahun 1999 tentang hak asasi Manusia.)

4.1 Kewajiban Negara Dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia Kejahatan atas lingkungan adalah kejahatan hak asasi manusia. Kejahatan ini terjadi sama sistematiknya dengan Pelanggaran HAM berat (groos violation of human right) seperti termaktub dalam Statuta Roma 1998 dan diadopsi dalam UU No. 26 tahun 2000. sistematik dan meluasnya kejahatan lingkungan dapat dilihata mulai dari pembuatan undang-undang hingga kekerasan fisik atas tubuh. Undang-undang dibuat dengan memberi atau celah bagi terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak dihormatinya hak warga negara. Pada tahun 2008 ini, paling tidak ada dua peraturan yang tidak memenuhi unsur keadilan dan melanggar Hak Asasi rakyat 10. Yaitu, PP. No.2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kehutanan yang berlaku pada departemen kehutanan. Peraturan pemerintah ini dapat menyebabkan percepatan laju kerusakan hutan Indonesia termasuk didalamnya kawasan hutan lindung yang dapat dipakai untuk pertambangan terbuka. Dan UU Minerba yang memungkinkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam mineral dan batubara dan hak warga negara sekitar untuk menolak keberadaan pertambangan yang merusak ini, sama sekali diabaikan. Penolakan warga dapat berujung pada kriminalisasi. Amdal seringkali tetap disyahkan walau patut diduga dengannya akan terjadi kerusakan terhadap lingkungan. Pengesahan Amdal Pertambangan karst oleh PT. Semen Gersik di Sukolilo Pati Jawa Tengah yang ditolak warga dapat menjadi contoh. Kerusakan hutan, Pesisir Laut, sumber mata air, dan kualitas udara mau tidak mau akan menimbulkan berbagai dampak pada lingkungan yang menyebabkan bencana bagi manusia. Banjir, longsor, kekeringan, musnahnya sumber-sumber kehidupan hingga menyebabkan kematian massal (ecocide)11 dapat melebihi genocida. Sepanjang tahun 2008, kekeringan melanda wilayah pertanian saat kemarau, kelaparan, tanah longsor dan banjir menggenangi berbagai wilayah di Indonesia. Untuk wilayah 10

Hal ini melanggar pasal 2 ayat 1 Konvenan Ekonomi Sosial Budaya, pengambilan langkah legislatif atas pemanfatan sumberdaya alam di syaratkan bagi pemenuhan hak dalam konvenan dan bukan sebaliknya. 11 Ecocide adalah tindakan terencana langsung maupun tidak langsung, yang ditujukan untuk menguras dan menghancurkan serta memusnahkan eksistensi dasar ekologi dari sebuah tata kehidupan semua makhluk didalamnya. Ridha Saleh, 2005. Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia


Sumatera, paling tidak tercatat 34 Banjir yang terjadi hampir di semua propinsi di Sumatera. Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Data banjir di Kalimantan Barat menunjukan selama dua bulan terakhir, periode Nopember-Desember 2008 telah terjadi bencana banjir di 8 kabupaten/ kota dari 14 kabupaten/kota yang ada, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang dan Melawi, Kota Pontianak, Singkawang, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak dan Landak. Penerbitan kuasa pertambangan oleh banyak yang tidak memperhatikan keberlangsungan hidup warganya yang dapat berakibat pada warga tanpa tanah (landless). Di Kabupaten Gunung Mas Pemda setempat sudah mengeluarkan ijin lahan kepada investor kehutanan, Pertambangan, dan Perkebunan. Bukan main-main, total luasan lahan yang diberikan kepada para para investor tersebut seluas 1.072.204 hektar. Ini benar-benar kebijakan yang tidak rasional yang dijalankan oleh penguasa daerah setempat. Betapa tidak, jika dilihat total luas Kabupaten Gunung Mas yang 1.080.400 hektar, maka lahan yang tersisa untuk warga hanya 8.196 hektar. Berdasarkan data Penduduk Gumas yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 16 Juli 2008, penduduk Gumas berjumlah 88.682 jiwa, maka seluruh warga Gunung Mas hanya berhak atas lahan seluas kurang dari seperempat hektar12. Sementara kebijakan pecanangan pengembangan perkebunan kelapa sawit 5 juta hektar di Kalbar telah mempercepat laju kerusakan dan datangnya bencana alam13. Menurut catatan WALHI Kalimantan Barat tentang profil sawit 2004-2008, dari empat belas kabupaten/kota di Kalimantan Barat, 11 kabupaten diantaranya memiliki konflik akibat pembukaan lahan sawit oleh perusahaan dengan masyarakat. Dalam perspektif hak asasi manusia, ada tiga bentuk kewajiban negara yaitu menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Dalam implementasinya, baik pada pembentukan peraturan perundangan hingga kepada perilaku negara terhadap rakyat, negara seringkali abai, bahkan melakukan pelanggaran terhadap tiga bentuk kewajiban ini. Sepanjang tahun 2008, bentuk-bentuk pengabaian dan pelanggaran ini tergambar dalam fakta-fakta yang akan diuraikan dibawah.

4.2 Catatan Perjuangan Masyarakat Menolak Perusahaan Ekstraktif dan Kerusakan Lingkungan Sepanjang Tahun 2008. Dalam sejarah peradaban manusia, kerusakan lingkungan hidup semakin menjadi-jadi sejak revolusi industri. Penghilangan keseimbangan hidup yang telah mengarah pada pemusnahan sumber-sumber kehidupan (ecosida) serta ancaman terhadap keamanan hidup manusia (human security)14. Sejak revolusi industri15, Industri ekstraktif menjadi 12

www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/gumas/ 2008 ; Bencana Ekologis Meluas di Kalimantan Barat, Shaban Stiawan, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat 14 http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/hak_lh_hak_rakyat_li_050604/ 15 Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya 13


aktor paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan selain negara sebagai pihak yang memberinya ruang. Di Indonesia, sejak pengabaian UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, industri ekstraktif dari negara-negara maju mendapat ruang untuk melakukan ekploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang sebesar-besarnya untuk kerusakan lingkungan. Menyadari akan dampak yang ditanggung, pada tahun 2008 rakyat tidak menunggu untuk menjadi korban. Rakyat menolak masuknya industri ekstraktif dalam wilayah kelola mereka. 4.2.1 Penolakan Penambangan Pasir Besi PT Farmiaterdio Nagara (PT. FN) Oleh Masyarakat Desa Penago Baru Dan Rawa Indah Kabupaten Seluma Bengkulu. Wilayah eksploitasi PT. FN adalah di atas areal pantai seluas 3593 hektare. Areal di bagi dalam tiga blok, yakni blook pertama seluas 450 hektare, blok ke dua 143 hektare dan blok ketiga 3000 hektar. Pada blok ketiga ini rencananya penambangan akan dilakukan dari pantai hingga mencapai air laut. Areal tersebut berada di sekitar Desa Penago Baru dan Rawa Indah berdasarkan keputusan Bupati Seluma no. 35 tahun 2005 dan akan menambang selama 10 tahun. Perusahaan yang sempat berhenti beroperasi karena diduga menambang di kawasan cagar alam ini kembali beroperasi sejak awal 2008. Penolakan masyarakat Desa Penago Baru dan Rawa Indah, timbul karena sadar bahwa penambangan ini akan menyebabkan tingginya tingkat abrasi pantai. Kesadaran ini semakin menjadi akibat fakta bahwa di Seluma, penambangan pasir telah berakibat pada abrasi. Dari investigasi terlihat, air laut sudah sampai hingga hutan gambut yang ada di pinggir pantai, akibatnya pohon gambut atau hutan bakau yang ada sudah banyak yang roboh. Jika ini dibiarkan terus menerus, maka bencana besar akan benar-benar terjadi16. Masyarakat Desa Penago Baru dan Rawa Indah bersatu berlawan laki-perempuan, tuamuda melakukan aksi-aksi penolakan. Penutupan jalan, aksi ke DPRD Provinsi Bengkulu untuk meminta para wakil rakyat itu mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Seluma untuk mencabut izin operasi PT FN, hingga menggalang dukungan bagi pencabutan izin penambangan yang merusak ini.

4.2.2 Penolakan Masyarakat Atas Pengerukan Pasir Di Pante Labu Deli Serdang Sumatera Utara Ratusan masyarakat adat pesisir pantai yang tergabung dalam PERAPI (Pelaut Rakyat Penunggu Indonesia) dan Sarekat Nelayan Sumatera Utara (SNSU) melakukan aksi protes terhadap rencana eksploitasi 6 juta meter kubik pasir laut di Pantai Labu guna penimbunan Bandara Kuala Namu, Kamis (28/8/2008) di DPRD Deli Serdang. percaya bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca. (http://forum.detik.com/archive/index.php/t45882.html) 16 Investigasi WALHI Bengkulu 2008


Masyarakat menolak dengan tegas rencana pengerukan pasir tersebut oleh PT Lampiri karena akan berdampak pada terganggunya lalulintas laut, merusak terumbu karang, terjadinya abrasi, zat asam yang terpendam di dasar laut akan mencemari air laut dan mematikan biota laut dan jenis lainnya sehingga mematikan mata pencarian nelayan. Warga bukan tidak setuju dengan pembangunan Bandara Kuala Namu, tapi jangan sampai berakibat merusak seluruh aspek kehidupan warga setempat. Masih kuat dalam ingatan mereka, sekitar tahun 1998 lalu terjadi pengerukan pasir pada kawasan muara Sungai Ular berdampak buruk terhadap kehidupan mereka selaku nelayan tradisional. Sewaktu kapal Cendrawasih mengeruk pasir, ada sekitar 8 bulan air di Pantai Labu menghitam. Akibatnya warga tidak bisa mencari ikan di pesisir pantai17. Pengerukan pantai untuk penimbunan Bandara Kuala Namu di Deli Serdang tidak dilakukan sesuai aturan pemerintah. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang tidak memedulikan ketentuan yang benar. Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 1991 tentang Pedoman Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C. Dalam ketentuan itu diatur, surat izin penambangan daerah (SIPD) yang dikeluarkan Pemkab Deli Serdang mestinya tidak lebih dari 1.000 hektar. Namun, penambangan pasir pantai di Pante Labu, Deli Serdang, dilakukan di lahan seluas 1.511 hektar. Pemkab Deli Serdang melawan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 217 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C. Dalam pasal 1 ketentuan itu disebutkan, usaha pertambangan lepas pantai harus mendapatkan izin dari Menteri Pertambangan dan Energi. Daerah lepas pantai yang dimaksud adalah daerah yang dihitung dari tempat yang dicapai air laut pada waktu air surut ke arah laut. Pengerukan pasir pantai di Pantai Biru, Kecamatan Pante Labu, Deli Serdang, termasuk usaha pertambangan lepas pantai. Namun, tidak ada izin dari Menteri Pertambangan dan Energi18. 4.2.3 Penghentian Penambangan Pasir Besi, oleh SHK Rahayu Sentosa Lestari Lampung Selatan. Komunitas Sistim Hutan Kerakyatan (SHK) Rahayu Sentosa Lestari yang berkedudukan di Desa Sukaraja Kec. Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan telah berhasil hentikan penambangan pasir besi. Perusahaan yang melakukan eksploitasi pasir besi di Dusun Pangkul Desa Sukaraja, saat ini telah menghentikan aktivitasnya. Sebelum berhenti total, komunitas SHK RSL yang beranggotakan petani dan nelayan memasang blokade untuk menghadang hilir mudik truk pengangkut pasir. Kegigihan masyarakat mempertahankan lingkungannya ditanggapi perusahaan dengan berjanji membantu masjid sebesar empat puluh juta rupiah. Namun masyarakat tetap menolak, keberlanjutan sumber-sumber kehidupan lebih penting diatas segalanya.

17

http://hariansib.com/2008/08/29/tolak-pengerukan-pasir-laut-untuk-kuala-namu-ratusan-warga-perapi-unjuk-rasa-kedprd-deli-serdang/ 18 Siaran Pers WALHI Sumatera Utara, LSM Gugat Pengerukan, WALHI Adukan Keluhan Masyarakat ke Polda Sumut, KOMPAS/21 Oktober 2008


4.2.4 Penolakan Masyarakat Atas Rencana Pendirian Pabrik PT. Tirta Investama Di Padarincang Serang Banten. Pada tahun 2005, terjadi pembebasan lahan pertanian desa Curug Gong Kecamatan Padarincang seluas 12 Ha. Di lahan seluas itu terdapat dua sumber mata air yang mengaliri areal pertanian warga dan menjadi pasokan air minum warga. Pengakuan warga lahan tersebut akan dibangun Yayasan yatim Piatu. Kenyataannya lahan tersebut di Jual ke PT Tirta Investama untuk tahap awal pembangunan Pabrik Air Aqua Danone seluas 200 Hektar. Adanya kebohongan atas rencana pembangunan dan tumbuhnya kesadaran masyarakat atas resiko yang akan timbul akibat eksploitasi Air Tanah menyatukan sikap warga menolak eksploitasi air pada Mei 2008. Kekeringan didepan mata, sementara mayoritas masyarakat mengantungkan kehidupannya pada sektor pertanian. Untuk itu sepanduk penolakan dibentangkan di jalan-jalan utama, aksi-aksi dilakukan mulai dari mendatangi DPRD kabupaten Serang hingga berbagai instansi pemerintah pusat di Jakarta. Sikap tegas penolakan juga di suarakan kepada PT. Tirta Investama. Masyarakat berpadu bersama menolak kekeringan yang akan melanda, kemelaratan yang menunggu dan menolak menjadi korban. Pada 22 September 2008, PT. Tirta investama resmi menarik investasinya di Serang19, masyarakat senang karena alam tetap terjaga. 4.2.5 Penolakan Pendirian PT. Semen Gresik di Sukolilo Pati, Jawa Tengah. Keadaan lingkungan saat ini saja sudah membuat susah warga, apalagi nantinya kalau ada pembangunan pabrik semen, pasti tambah rusak karena akan banyak penggundulan dan pengerukan di pegunungan kendeng. Maka dari itu, kita harus bersatu padu tolak pabrik semen. (Mujahiddin, Tokoh agama Kasiyan, Sukolilo)20

PT. Semen Gresik berencana membuka tambang sekaligus pabrik diatas lahan seluas 1.560 Ha. Dengan rincian untuk penambangan kapur 900 Ha, lahan penambangan tanah liat 500 Ha, pabrik untuk produksi semen 75 Ha dan infrastruktur/ jalan 85 Ha21. Upaya pendirian PT. Semen Gresik ditolak oleh warga Kecamatan Sukolilo yang tergabung dalam "Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng". Penolakan masyarakat didasarkan bahwa kawasan kars Sukolilo merupakan kawasan penyimpanan air bagi seluruh mata air kars di pati dan Grobongan. Penambangan terbuka dikawasan ini akan menyebabkan bencana kekeringan. Namun demikian kuatnya penolakan warga tidak dianggap oleh Bupati Pati, Tasiman . Dia mengatakan dirinya akan menyukseskan rencana pendirian PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati Jawa Tengah. "Kami akan terus memfasilitasi agar PT Semen Gresik bisa berdiri di daerah kami"22. Kata-kata Tasiman sebenarnya adalah penegasan atas 19

20

http://idhamgofur.blogspot.com/2008/09/aqua-resmi-hengkang-dari-serang.html dan http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=32056

Bentang Alam, Edisi Desember I/2008. Fakta empiris atas pro kontra rencana pembangunan pabrik Semen; PT. Semen Gresik, TBK di kabupaten pati Jawa Tengah, Husaini dalam dokumen penolakan Pendirian Pabrik Semen Gersik di Gunung Kendeng Pati Jawa Tengah. 22 http://www.tempointeraktif.compestabola.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/08/23/brk,20080823-131996,id.html 21


kebijakan yang dikeluarkan sebelumnya yaitu dengan mengeluarkannya surat peryataan kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Pati atas naskah akademis RTRW Kabupaten Pati 200723. Serupa dengan Bupati Pati, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, mendukung penuh pendirian pabrik. Demi kelancaran Semen Gresik, gubernur mengeluarkan Pergub No. 128 tahun 2008 yang mengatur soal pengawasan penambangan di kawasan karst pegunungan Kendeng, Gubernur mendatangi Mbah Tarno sesepuh Sedulur Sikep yang menolak pendirian pabrik semen di wilayahnya. Bahkan meski dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) belum selesai, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo menargetkan pembangunan pabrik PT Semen Gresik di Sukolilo-Pati, bisa dimulai akhir tahun ini. "Akhir Desember sudah mulai kerja," kata Bibit setelah menerima Direktur Utama PT Semen Gresik di kantor Gubernuran Jawa Tengah24. Pada 1 Desember 2008 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Univesitas Diponegoro (PPLH UNDIP) telah mengeluarkan rekomendasi Analisis Dampak Linkungan pada rencana pembangunan pabrik baru di Sukolilo itu. Menurut hasil analisa Amdal PPLH UNDIP, proyek yang banyak mendapat tentangan dari masyarakat tersebut masuk dalam kategori layak bersyarat. "Pabrik Semen Nek Pati = Matine Wong Tani", "Pati Bumi Mina Tani, Ora Pati Bumi Mina Semen", "Jangan Matikan Sumber Air Kami", "Wong Tani Sing Pro Semen Wes Ilang Akale"25. Masyarakat terus berteriak berlawan, berjuang menolak menjadi korban sekalipun Intimidasi dilakukan. �Mereka membawa-bawa nama Presiden. Mereka mengatakan proyek ini sudah disetujui oleh pemerintah pusat, oleh Presiden. Kata mereka, semua ini punya negara. Mereka menakut- nakuti, kalau kami enggak nurut, kami akan digaruk, dibuldoser,� kata Darto Buntung (43) dan Subronto (45), dua di antara warga yang menentang keras kehadiran pabrik semen di Sukolilo, saat ditemui, Senin (21/7)26. Sementara negara terus memaksa menumbalkan rakyat, memasung tangan dan kaki menuju tiang gantungan kehancuran sumber-sumber kehidupan melalui berbagai cara intimidasi. 4.2.6 Penolakan Masyarakat Atas Penambangan Pasir Besi Di Kulon Progo DI. Yogjakarta. Penambangan rencananya akan dilakukan di pantai sepanjang 22 kilometer, dari Sungai Bongowonto hingga Kali Progo, masuk ke dalam ke arah daratan dan memasuki kawasan perumahan sejauh 1,8 kilometer dan menggerus sedalam 14,5 meter. Pelaksanaan ekplorasi pertambangan biji besi telah telah merusak lahan-lahan produktif pertanian, akan terjadi alih pungsi Lahan dari kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, akan terjadi ketidaksinambungan ekologi yang ada di kawasan pesisisr selatan jika di berlakukan tambang di kawasan tersebut. Berdasarkan itulah, maka masyarakat Kulon 23

Surat Bupati Pati No.131/1814/2008 tanggal 17 April 2008 http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/10/22/Berita_Utama-Jateng/krn.20081022.145581.id.html 25 Sebagian isi poster sapanduk pada aksi warga menolak semen gresik 26 cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/01/02473685/nama.presiden.pun.dibawa-bawa..... 24


progo menolak dan meminta pemerintah untuk menghentikan proyek pasir besi serta mengevaluasi serta membatalkan hasil kontrak karya dari PT.J ogja Magasa Mining. Protes masyarakat secara simultan disuarakan baik pada tingkat pemerintah dan DPRD hingga melakukan demonstrasi langsung ke kampus UGM. Akibat aksi warga dari 6 desa itu Fakultas Kehutanan UGM menghentikan penelitian dan reklamasi kawasan lahan pasir Kulonprogo yang merupakan hasil rekomendasi dari penandatanganan kerjasama dengan penambang pasir besi PT Jogja Magasa Minning27. Pada 27 Oktober 2008 massa pendukung rencana penambangan pasir besi berbuat anarkis dengan merusak dan membakar pos-pos komando warga yang menolak penambangan. Tercatat ada tujuh posko dan dua rumah warga yang ikut rusak28. Dan pada 4 November 2008, pemerintah menandatangani Kontak karya penambangan bijih besi di pesisir selatan Kabupaten Kulonprogo. Tak peduli kerusakan dan bencana yang akan ditimbulkan oleh penambangan bijih besi yang akan mengeruk 2.900 hektar lahan ini. 4.2.7 Penutupan Penambangan Sirtu Di Dosremo Mojorejo Kec. Pungging Mojokerto Jawa Timur Brawal dari Broker tanah yang datang ke Desa mencari dan membeli tanah warga Dusun Dosremo. Masyarakat akhirnya mengetahui dibalik broker tanah tersebut ada pengusahan tambang SIRTU yang melakukan kegiatan penggalian tanah secara ilegal. Dari hasil musyawarah Dusun pada 16 Mei, 16 Juli dan 19 Juli 2008, masyarakat menyatakan sangat keberatan dan menolak ada pengerukan tanah/ penambangan SIRTU di area persawahan wilayah Dosremo, dengan alasan, aktivitas tersebut menghancurkan system irigasi untuk pertanian, menimbulkan kerugian terhadap petani, penambangan/ penggalian tanah dilakukan berpindah-pindah, tidak ada sosiasilasi dan musyawarah sehingga menimbulkan pro dan kontra di tenggah masyarakat dan membuat resah dan dilakukan secara illegal/ tidak bisa menunjukkan surat ijin penambangan. Demi mempertahankan sumber-sumber kehidupannya, masyarakat melakukan demontrasi menghentikan aktivitas alat berat dan melayangkan surat keberatan adanya penggalian tanah persawahan diwilayah Dusun Dosremo ke Bupati Mojokerto, Ketua DPRD II Mojokerto, Satpol PP Mojokerto dan Dinas Hukum Kab. Mojokerto serta menghadap secara lansung ke MUSPIKA kec. Pungging. Setelah melakukan tiga kali aksi penghentian alat berat, pada 18 september 2008 secara simbolis jalan ke area penambangan di tutup oleh MUSPIKA kecamatan Pungging. 4.2.8 Penolakan Atas Pembukaan Perkebunan Sawit 2008 Di Kalimantan. Setelah menghabisi Pulau Sumatera dengan perkebunan sawit dan permasalahannya, perusahaan-perusahaan perkebunan sawit berencana secara besar-besaran menyerbu Kalimantan. Belajar dari pengalaman kehancuran lingkungan di Sumatera, warga 27

http://www.indonesiaontime.com/humaniora/pendidikan/17-pendidikan/4160--ugm-akhirnya-mundur-daripenambangan-pasir-besi-di-kulonprogo.html 28 http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/29/21041221/konflik.pasir.besi.pesisir.kulon.progo.tegang


masyarakat tidak lagi terpeleset oleh licinnya minyak sawit walau disisi lain pemerintah justru mengundang perusahaan sawit untuk masuk membawa bencana. Di Kalimantan Selatan tepatnya di kabupaten Tabalong, hampir seluruh desa dari tujuh desa yang ada di Kecamatan Banua Lawas merasa keberatan dengan rencana Pemkab Tabalong meng-alihfungsikan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Salah satu poin yang menjadi alasan penolakan warga adalah dikarenakan perkebunan kelapa sawit akan mengancam pertanian dan kedaulatan warga atas tanah yang telah dilindungi dan dijamin dalam UU pokok Agraria tahun 1960. "Walaupun sudah mengantongi ijin lokasi perkebunan dari Bupati Tabalong, namun warga masyarakat tidak pernah dimintai pesetujuan. Saat ini pihak Astra melalui PT Cakung Permata Nusa 2 (PT CPN 2) sudah mulai melakukan pembukaan lahan29. Di Kalimantan Tengah 25 kasus terkait perkebunan sawit terjadi. Pada kabupaten Kota Waringin Barat perkebunan kelapa sawit PT. SSS salah satu anak perusahaan United Platation menyerobot lahan warga. Pada kurun waktu Juni-Agustus 2008 sedikitnya tujuh orang petani di tangkap empat diataranya dikriminalisasi akibat menuntut haknya30. Di Kabupaten Kapuas Pembukaan kawasan perkebunan kelapa sawit di Terusan Karya, Kecamatan Selat, terus ditentang masyarakat di tiga desa. Secara resmi warga Terusan Karya, Terusan Mulya, dan Terusan Makmur juga membuat pernyataan penolakan tertulis yang ditujukan kepada PT Hijau Pertiwi Indah Plantations (HPIP). "Kami masyarakat Desa Terusan Karya dan sekitarnya hidup dari hasil kelapa dan sayuran, persawahan, ikan, serta buah-buahan yang menurut fakta tidak bisa berdampingan dengan kebun kelapa sawit," sebut mereka dalam surat yang ditandatangani 261 warga dari tiga desa tersebut31. Hingga 27 Oktober 2008, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat telah mengeluarkan ijin-ijin baru kepada 23 unit perusahaan perkebunan sekala besar kelapa sawit dengan luas total sekitar 369.400 hektar dan sebanyak 13 ijin usaha pertambangan dengan total luasan sekitar 41.536 hektar. Di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas dan Barito Selatan. Untuk itu masyarakat yang tergabung dalam ARPAG, yayasan Petak Danum dan WALHI Kalimantan Tengah berkirim surat ke gubernur kalimantan Tengah, Teras Narang untuk mencabut izin 23 perusahaan ini32. 4.2.9 Penolakan Warga Peura Atas SUTET PLTA Poso Sulawesi Tengah Pada Akhir Oktober 2008, masyarakat Desa Peura Kecamatan Pamona utara Kabupaten Poso melakukan penolakan terhadap pembangunan tiga tower jaringan Saluran Udara Tengah Ekstra Tinggi (SUTET) PLTA Sulewana yang dilaksanakan PT. Poso Energi diwilayah mereka. Masalah pembebasan lahan masyarakat sampai saat ini juga masih menjadi persoalan ditingkat masyarakat khususnya kampung yang akan dilewati pembangunan untuk Tower Transmisi SUTET. "Sampai saat ini masyarakat Desa Peura masih tetap konsisten atau tetap dengan pendiriannya untuk tetap melakukan penolakan 29

WALHI Kalimantan Selatan 2008 WALHI Kalimantan Tengah 2008 31 Warga 3 Desa Tolak Kebun Sawit, BPost, Rabu, 22-10-2008 | 06:20:11 32 Surat untuk gubernur, WALHI Kalimantan Tengah 2008 30


atas pembangunan 3 buah tower transmisi SUTET yang akan melewati kampung (baca: Lipu) mereka33. Berdasarkan catatan WALHI Sulteng dan Wasantara dari diskusi bersama masyarakat ditahun 2006 masyarakat sudah menyatakan penolakan tersebut dan sesuai dengan kesepakatan awal dengan pihak perusahaan bahwa pembangunan tower transmisi SUTET akan dibangun bukan melewati perkampungan namun melewati perbukitan yang jauh dari pemukiman penduduk dan hal ini dalam realisasinya justru sebaliknya. Di tahun 2008, Perusahaan akan membangun menara Sutet melewati perkampungan. 4.2.10 Penolakan Aktivitas Pertambangan Meares Soputan Mining Di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Penolakan masyarakat atas pertambangan PT Meares Soputan Mining (PT. MSM) telah terjadi sejak tahun 2006. Penolakan ini mendapatkan dukungan masyarakat luas termasuk dari Gubernur maupun DPRD Sulawesi utara. Namun pada tahun 2008, terbit keputusan Menteri Negara ESDM Nomor 42.K/30.00/DJB/2008 yang memperpanjang ijin konstruksi MSM, hal ini menyebabkan penolakan kembali di suarakan. 4.3 Merebut Kembali Hak Kelola Rakyat dan Kekerasan Negara Sepanjang Tahun 2008 Pengabaian atas Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebabkan rakyat kehilangan hak dan ruang kelola sumber-sumber penghidupannya34. Ayat 4 (amandemen ke-4 tahun 2002) juga tidak dijalankan dengan konsekuen enam tahun terakhir ini memperparah kondisi rakyat indonesia. Sejak orde baru berkuasa dan sepuluh tahun sudah reformasi, tanahtanah rakyat dirampas demi kepentingan investasi asing35 pada sektor perkebunan besar, wilayah pertambangan dan -ataupun- dengan dalih pembangunan fisik dan ekonomi. Tanah Indonesia tidaklah bertambah luasnya namun pemberian hak pengelolaan tanah untuk perkebunan, Hutan tanaman industri dan pertambangan semakin tahun bertambah luasnya. Disisi lain penduduk Indonesia terus bertambah tanpa mempunyai tanah, jumlah petani dipaksa untuk berkurang. Penangkapan atas 42 orang di area perkebunan sawit milik PT. Buana Estate yang terletak di Kampung Banjaran Kecamatan Secanggang, Kab. Langkat, Sumatera Utara, pada 24 Juli 2008 adalah sebuah tindakan pelanggaran hak asasi manusia berupa penagkapan diluar prosedur hukum. Tapi yang terlupa adalah sejak 1986 rakyat Banjaran 33 34

Media Alkhairat, Jum'at 31 Oktober 2008 dan WALHI Sulawesi Tengah 2008

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Ayat 4 (amandemen ke-4 tahun 2002): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional 35 Hal ini bertentangan denga Konvenan Ekonomi Sosial Budaya (ICESCR), Pasal 1 ayat 2: Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri.


digusur paksa36 oleh PT. Buana Estate yang di backing tentara. Dalam perspektif pemenuhan hak ekonomi sosial budaya, maka dalam kurun waktu 22 tahun tersebut telah terjadi perampasan hak hidup, hak atas pekerjaan37 warga Banjaran. Kasus-kasus lahan di regional Jawa sampai saat ini masih berkutat diseputar konflik lahan dengan Perhutani, kekerasan terhadap petani baik penggusuran, penangkapan bahkan sampai penembakan yang menyebabkan kematian. Hutan negara yang dikuasai Perhutani di Jawa meliputi 3,6 juta ha dari total luas Pulau Jawa 12,5 juta ha dan meliputi 6.235 desa pinggiran hutan, sementara nota benenya jutaan orang bergantung hidup dari hutan yang dikuasai Perhutani itu dan mereka telah ada di sana jauh sebelum negara memberi kewenangannya pada Perhutani. Konflik penguasaan dan pengelolaan tanah di Jawa masih akan menjadi hal yang memilukan karena disatu sisi Perhutani bahkan memiliki kewenangan untuk mempersenjatai petugasnya dengan senjata api sehingga kekerasan terhadap petani dan masyarakat tepian hutan masih menjadi momok bagi masyarakat yang bergantung hidup dengan hutan. Selain di Jawa, konflik lahan dengan Perhutani juga terjadi di Takalar Sulawesi Selatan. Masyarakat yang berjuang untuk merebut kembali tanahnya di tembak aparat kepolisian. Dalam catatan walhi 4 orang terluka dalam peristiwa ini. Secara keseluruhan sepanjang tahun 2008, gerakan rakyat guna merebut kembali hak atas tanah, hak atas sumber-sumber kehidupan masih berwarna merah darah akibat tindakan represif aparat keamanan. Paling tidak telah terjadi 17 peristiwa pelanggaran Hak Asasi manusia yang menyebabkan 110 orang ditangkap, 38 luka parah dan 5 orang meninggal dunia.

5. PENEGAKAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Deforestasi hutan tropis di Indonesia semakin meningkat, merupakan deforestasi terluas di Asia dan nomor tiga di dunia. Salah satu peyebab utamanya adalah terjadinya berbagai penyimpangan-Penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya mencakup penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak, penyalahgunaan wewenang termasuk pula praktik korupsi yang begitu marak pada kurun waktu 2008 ini. Apabila kita cermati dengan seksama, dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, kejahatan illegal logging bukan hanya sekedar kejahatan lingkungan, tetapi lebih dari itu merupakan tindak pidana korupsi. Illegal logging telah menyebabkan kerugian Negara triliunan rupiah, menurut Muhamad Dahlan, peneliti Departemen Ekonomi di Soegeng Sarjadi Syndicated menyatakan bahwa total kerugian negara Rp 30 Triliun per tahun atau

36 37

Konvenan Ekonomi Sosial Budaya, Pasal 11 ayat 1 Konvenan Ekonomi Sosial Budaya, Pasal 6 ayat 1


Rp 2,5 Triliun per bulan.38 Namun, Menteri Kehutanan memperkirakan bahwa aktivitas pembalakan liar telah merugikan negara sebesar Rp 30 triliun atau 3,3 miliar dollar AS per tahun.39 Jumlah kerugian ini setara dengan 11% anggaran Pemerintah Indonesia untuk mensubsidi bahan bakar minyak pada tahun 2004.40Ada juga data lain yang menyebutkan kerugian akibat illegal logging sebesar Rp 40 triliun (US$ 4 milliar) per tahun.41 Salah satu bentuk dari praktik korupsi tersebut adalah, melakukan penebangan di luar blok tebangan (over cutting) dengan cara memperbesar volume maupun jenis potensi kayu pada Laporan Hasil Cruishing (LHC) dari suatu areal tertentu. Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi lebih besar. Hal ini terlihat dalam kasus korupsi illegal logging dengan terpidana Adelin Lis. Berdasarkan hasil penyidikan Kepolisian Daerah Sumatera Utara serta keterangan ahli dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, diketahui bahwa sejak tahun 2000 sampai dengan 2005 PT Keang Nam Development Indonesia (PT KNDI) telah memperoleh izin untuk melakukan penebangan kayu bulat di kawasan hutan Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. PT KNDI tidak hanya melakukan penebangan kayu di lokasi sesuai izin yang diperoleh, akan tetapi mulai dari tahun 2000 sampai dengan 2005 ternyata PT KNDI juga melakukan penebangan di luar areal Blok Tebangan Rencana Kerja Tahunan (RKT)42 Kayu bulat hasil penebangan di luar areal Blok Tebangan RKT ditatausahakan oleh PT KNDI dalam Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat dengan mencantumkan nomor pohon, jenis, diameter, jumlah pohon dan taksiran volume kayu berasal dari hasil penebangan/ pemanenan pohon pada petak/ blok tebangan sesuai Laporan Hasil Cruising dan RKT.43 Selaras dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Adelin Lis, bahwa Adelin Lis disebutkan sebagai Direktur Keuangan/ Umum PT Keang Nam Development Indonesia (KNDI). Dalam dakwaan tersebut telah diuraikan bahwa akibat tindakan terdakwa yang tidak merealisasikan anggaran yang telah ditetapkan guna melaksanakan sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia (silvikultur) telah mengakibatkan dibuatnya laporan fiktif hasil cruising. Dengan demikian jelas kalau memang telah ada kerusakan hutan yang diakibatkan operasional pemegang izin maka dapat disimpulkan telah terjadi tindak pidana 38 39

Muhamad Dahlan, “Illegal logging Isu Strategis Kampanye Capres�, Sinar Harapan 26 Mei 2004. Dikutip dari Bambang Setiono dan Yunus Husein, loc.cit

40

Ibid

41

15 EIA / Telapak, op.cit, hlm 3. Press Release BPKP, “Kasus Ilegal Logging Adelin Lis�, Rabu, 7 November 2007

42 43

idem


kehutanan. Dan dalam konteks kasus Adelin Lis sejak awal di pengadilan tingkat pertama (PN Medan) mestinya sudah dapat dipastikan bahwa Adelin Lis telah melakukan tindak pidana kehutanan. Kasus Adelin Lis telah diputus oleh Mahkamah Agung yang diketuai Ketua MA Bagir Manan dengan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp1 milyar berikut kewajiban-kewajiban lainnya kepada Adelin Lis. Demikian hasil rapat permusyawaratan majelis hakim yang digelar pada Kamis, 31 Juli 2008. Putusan ini membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang telah menjatuhkan putusan bebas kepada Adelin Lis.44 Namun disinilah ironi dalam penegakan hukum di Indonesia terutama berkaitan dengan masalah kehutanan. Pada proses hukum tingkat pertama dalam kasus Adelin Lis, Departemen Kehutanan bersikeras bahwa tindakan yang dilakukan oleh Adelin Lis bersama perusahaan HPHnya bukanlah tergolong tindak pidana kehutanan tetapi merupakan kesalahan administrasi. Sementara secara materil telah terjadi kerusakan hutan akibat praktek pengusahaan hutan dari penebangan kayu di luar areal Blok Tebangan RKT oleh PT KNDI selama tahun 2000 sampai dengan 2005 sebanyak 217.965,15 m3, sehingga terdapat jumlah kerugian keuangan negara atas jumlah kayu tersebut senilai Rp 119, 8 Miliar lebih dan US$ 2,9 Juta lebih.45

5.1. PENGGELAPAN PAJAK PERTAMBANGAN Bahan tambang ekspor unggulan di Asia Tengggara, yaitu batubara hanya menjadi bulanan objek bisnis untuk meraih keuntungan dari pemilik modal khususnya bagi enam perusahaan pertambangan diantaranya, PT Adarao Indonesia, PT. Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT. Kaltim Prima Coal, PT. Kideco Jaya Agung, dan PT. Kendilo Coal. Keenam perusahaan tersbeut telah menunggak royalty dengan total Rp. 7.035 triliyun. Tunggakan atas pembayaran Royalti oleh 6 Perusahaan tersebut dengan alasan Pemerintah berhutang reimbursement kelebihan PPN (pajak pertambahan nilai) yag sudah mereka bayarkan berdasrkan dasar UU No. 8 tahun 1983 tentang Pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang, Jasa dan alat produksi batubara. Namun belum dignti oleh pemerintah. Padahal mereka tidak bisa memugut pajak keluaran dari pembelinya, karena pada tahun 2000, telah terbuat Peraturan Pemerintah nomor 144 tahun 2000 tentang jenis barang jasa yang tidak dikenai PPN, dimana batubara adalah termasuk di dalammya. Pemerintah tidak segera membuat peraturan pelaksanaan dari tatacara penggantian (reimbursment), antara Departemen ESDM dan Dirjen Pajak saling lempar kesalahan 44

45

Zenwen Pador, Memahami (Kembali) Tindak Pidana Kehutanan dan Vonis Bersalah Adelin Lis, http:// satudunia.oneworld.net/?q=node/3093 Press Release BPKP, loc.cit


mengenai siapa yang bertanggungjawab untuk menentukan mekanisme reimbursmentnya. Akibatnya perusahaan berinisiatif untuk memotong langsung setoran yang diberikan ke pemerintah (13,5 %) untuk menalangi kerugian mereka atas kelebihan bayar PPN. Sesuai dengan KUH Perdata pasal 1425 “tentang perjumpaan utang”. Sehingga dari 13,5 % dana hasil produksi yag mejadi hak pemerintah , pengusaha hanya menyetor royalty 5-7% sedang sisanya 6,5% yang merupakan komponen pengembangan batubara dan inventarisasi sumber daya alam ditahan pengusaha. Bila dirunut secara cermat, keadaan ini merupakan akumulasi dari berbagai praktik penghambaan negara terhadap pelaku pertambangan asing. Salah satunya perlakuan Lex spesialis, yang disebut-sebut perusahaan tercantum dalam PKP2B, yang ditandatangani bersama pemerintah Indonesia. akibatnya jika ada peraturan yang merugikan mereka karena bertentangan dengan Kontrak Karya, maka negara harus membatalkannya atau mengganti “kerugian” yang muncul. Itulah alasan yang dipakai dengan keluarnya PP No 144 tahun 2000 tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dan alasan itu, enam perusahaan tambang asing semena-mena taka mau membayar royalty batubaranya selama lebih 8 tahun. Terlihat secara gamblang betapa tidak berdayanya Negara dihadapan korporasi dan terkesan lemah dengan ulah pengusaha penyandera tunggakan. Padahal tidak sulit memaksa perusahaan pembangkang ini menghentikan kegiatannya. PP Ini jelas menguntungkan pebisnis dan negara tujuan ekspor, karena pembelian bahan tambang yang tidak terbarukan ini menjadi bebas pajak, apalagi Indonesia mengekspor sebagian besar dalam bentuk bahan mentah. Entah sengaja atau lalai, presiden membiarkan PP ini terus berlaku hingga mencuat kasusnya dan dipakai tameng oleh pelaku pertambangan menyandera royalty batubara. Alih-alih memberikan tindakan tegas terhadap pengemplang royalty, malah Purnomo Yusgiantoro yang menjadi menteri pertambangan dan energi dengan sengaja membiarkan PP No. 144 tahun 2000 dan keenam perusahaan menunggak royalty batubara hingga tujuh tahun lebih. Ia dan para pejabat Departemen ESDM malah menyurati Menteri Keuangan agar membayar PPN perusahaan batubara dimaksud (Tempo,11/08/08).46 Melihat dampak kerusakan lingkungan dari operasi tambang batubara tersebut, seharusnya negara secara serius mengurus sektor pertambangan ini. Patut dipertanyaan ketidakberdayaan pemerintah Indonesia didepan perusaahaan pertambangan dengan memberi perlakukan istimewa terhadap mereka. Tidak hanya dalam bentuk regulasi yang kerap memudahkan perusaahan tambang batubara beroperasi di Indonesia dengan tanggungjawab pemulihan lingkungan yang minim, bahkan telah sampai kepada kebijakan yang mengarah hilangnya pendapatan negara dari sektor ini terutama dari royalty. Patut menjadi pertanyaan besar bagi semua pihak, sedemikian tidak berdayanya negara dan aparaturnya dihadapan perusahaan tambang yang telah menyandera royalty selama 7 46

Siaran Pers WALHI dan Jatam, “Tutup Paksa dan Ambilalih Perusahaan Tambang Penunggak Royalti”, 12 Agustus 2008


tahun lebih. Ada apa dibalik pengistimewaan ini. Pemerintah hanya sebatas mencekal 14 pengusaha tambang yang menunggak royalty, padahal sebagai pemilik sumber daya alam dengan sangat mudah bisa menutup perusahaan tersebut dan mengambilalih pengelolaan oleh perusahaan negara demi kepentingan rakyat. Sehingga berita hari ini tidak hanya dihiasi oleh kerugian negara oleh perusahaan asing, penggelapan pajak, korupsi yang menguras perhatian dan rakyat tetap menjadi obyek yang terlupakan.

5.2. KORUPSI ALIH FUNGSI LAHAN Maraknya praktik korupsi dalam alih fungsi lahan dapat dilihat dari terungkapnya beberapa kasus suap dan dugaan korupsi dalam proses alih fungsi hutan yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK saat ini sedang menangani tiga kasus yang berhubungan dengan hal ini. Kasuskasus itu antara lain kasus alih fungsi hutan lindung Bintan, Kepulauan Riau yang melibatkan Politikus dari Partai Persatuan Pembangunan Al-Amin Nur Nasution yang ditahan bersama Azirwan, Sekretaris Pemerintah Bintan. KPK juga menyidik dugaan suap dalam pengalihan status hutan lindung Air Talang, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Di kawasan ini hutan lindung hendak diubah menjadi pelabuhan Tanjung Apiapi. Termasuk sudah menetapkan Sarjan Taher, anggota Komisi Kehutanan, sebagai tersangka dalam kasus Air Talang tersebut. Politikus Partai Demokrat ini diduga menerima uang untuk mengurus pengalihan status hutan lindung tersebut. Keberadaan hutan lindung di wilayah Indonesia dari hari ke hari semakin terancam keberadaannya. Luas hutan lindung di Indonesia semakin berkurang dengan adanya alih fungsi lahan. Keadaan ini sungguh menimbulkan keprihatinan. Ditengah isu penyelamatan hutan lindung di Indonesia, justru terjadi praktik-praktik yang mengebiri semangat itu. Perilaku korup yang ditunjukan oleh kekuasaan menempatkan hutan lindung sebagai komoditas pribadi. Alih fungsi lahan tidak lagi mengikuti prosedur sebagaimana layaknya peralihan fungsi lahan namun menjadi alat tukar bagi pemegang kebijakan. Akhirnya alih fungsi hutan dan lahan yang marak terjadi, diikuti oleh korupsi anggota parlemen dan penyelenggara negara lainnya, menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dan negara terkorup di dunia. WALHI mencatat lebih dari 170 ribu hektar hutan lindung telah dialihfungsikan dalam tiga tahun terakhir. lebih dari 80 persen diantaranya dilakukan secara ilegal dalam artian tidak ada proses alih fungsi lahan sama sekali. Semuanya berjalan tanpa ada upaya hukum sama sekali dari pemerintah. Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia kerap kali diakibatkan kebijakan pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik pemekaran Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi kerap kali terancam akibat pemekaran wilayah. Hal ini terjadi dalam beberapa kasus alih fungsi lahan pada tahun


2008, seperti kasus alih fungsi lahan hutan lindung Bintan, Kepulauan Riau seluas 8000 Ha untuk kawasan Ibukota Kabupaten Bintan dan Central Bussiness Development (CBD).47 Terlihat jelas bahwa terjadi manipulasi dalam prosesnya. Bermula dari keputusan pemerintah Bintan memilih Bandar Seri Bintan sebagai Ibukota Kabupaten. Keputusan ini dilaksanakan dengan melakukan pembangunan gedung tanpa melalui proses sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55 tahun 1992, mengingat kawasan yang dibangun adalah kawasan hutan lindung.48 Status hutan lindung itu bisa dicabut pemerintah apabila mendapat rekomendasi dari Komisi Kehutanan dan Pertanian di lembaga legislatif. Rekomendasi soal alih fungsi tersebut kemudian diterbitkan Dewan Perwakilan Rakyat 8 April 2008 oleh Komisi Kehutanan dan Pertanian DPR RI. Al Amin Nur Nasution adalah salah satu orang yang duduk di dalam Komisi tersebut. Selanjutnya tertangkapnya Al Amin Nur Nasution dan Sekda Bintan Azirwan49 atas dugaan korupsi dalam alih fungsi tersebut menimbulkan berbagai kecurigaan bahwa proses tersebut tidak memenuhi persyaratan karena sarat dengan dugaan suap sehingga pemberian izin alih fungsi yang saat ini masih digodok Departemen Kehutanan harus dihentikan. Sebab praktek suap itu menunjukkan adanya proses yang bermasalah. Namun demikian Menteri Kehutanan M.S. Kaban tetap berkilah bahwa proses alih fungsi lahan tersebut tidak perlu dikaji ulang. walaupun salah satu Tim di DPR RI saat ini diduga kuat terlibat suap dalam proses pemberian ijin bagi alih fungsi lahan di Bintan. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa WALHI melihat praktik-praktik korupsi ini menunjukan bahwa aparatur negara mempunyai kepedulian terhadap lingkungan. Pemberian ijin tidak didasarkan kepada kajian yang objektif dan menyeluruh namun lebih kepada seberapa besar dana yang tersedia sebagai konsesinya. Pemerintah terutama departemen kehutanan harus segera memperbaiki koordinasi yang berjalan atau bahkan meninjau ulang kebijakan penetapan alih fungsi hutan lindung yang sarat dengan praktik korupsi, tidak hanya dalam alih fungsi lahan di Bintan namun juga alih fungsi di daerah lain. 47

Luas kawasan hutan lindung di Bintan adalah sebesar 37 ribu hektar meliputi 9 desa (Tembeling, Bintan Buyu, Sri Bintan, Penaga, Pengujan, Kuala Sempang, Toapaya Utara, Lancang Kuning, dan Ekang Anculai) 48

Alih fungsi kawasan hutan hanya bisa dilakukan melalui kajian yang menyeluruh dan mendalam serta prosesnya dilakukan secara transparan dengan persyaratan yang ketat dan memperhatikan rekomendasi komunitas setempat (pertambangan dan infrastrukstur) Siaran Pers Menhut No. 807/ii/pik-1/2002 49 dijatuhi vonis 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 100 juta onis dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (1/9/2008). Majelis hakim memutuskan Azirwan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a UU 31/1999 tentang tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

http://www.detikinet.com/read/2008/09/01/ 074946/997973/ 10/ penyuap-al-amin-hadapi-vonis


WALHI memandang bahwa pemerintah Indonesia belum serius menjalankan komitmennya untuk melakukan penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Keberhasilan pemerintah dalam memproses secara hukum pelaku perusakan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan selama kurun waktu 2008 belumlah menjadi ukuran yang pantas bagi keberpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga WALHI mendesak pemerintah harus segera mempercepat proses penegakan hukum menyangkut aspek pidana dan administrasi terhadap pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh korporasi maupun pejabat Negara.

6. PREDIKSI LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA 2009 Kondisi lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2009 diprediksikan akan semakin memburuk. Meningkatnya jumlah utang luar negeri, termasuk untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim semakin mempercepat proses pengrusakan lingkungan hidup dan penghilangan hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupan. Perijinan pertambangan semakin dimudahkan dengan telah lahirnya UU Pertambangan Mineral dan Batubara di akhir tahun 2008. Kawasan-kawasan hutan lindung seluas 11,4 juta hektar juga semakin terancam. Di sisi lain, upaya mitigasi terhadap permasalahan perubahan iklim, melalu skema REDD, juga akan meniadakan akses dan kontrol rakyat terhadap kawasan hutan yang diperdagangkan karbonnya. Krisis keuangan global pun akan semakin memperparah tekanan lingkungan hidup di Indonesia, karena konsentrasi pemerintah hanya akan melakukan upaya-upaya untuk menyelamatkan kelompok pemodal (pengusaha) dari kebangkrutan, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. APBN akan terkuras untuk kebijakan penyehatan dan keberlanjutan kelompok pemodal besar, serta pembayaran utang luar negeri. Pemenuhan hak-hak dasar terhadap rakyat dan dana untuk restorasi ekologi diabaikan. Kekayaan alam Indonesia yang tersisa akan dijual murah kepada kalangan pemodal, dan diberikan perlindungan penuh, termasuk dengan meminggirkan rakyat disertai penghilangan paksa lahan-lahan produktif rakyat. Bencana ekologis akan semakin meluas dan bertahan dalam waktu yang lebih lama. Awal tahun, tengah tahun dan akhir tahun merupakan agenda tetap terjadinya bencana banjir dan longsor, disertai terjadinya kekeringan pada sebagian wilayah Indonesia. Kedaulatan pangan rakyat semakin menghilang, dimana kondisi ini juga diperkuat oleh ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani, termasuk dalam penyediaan dukungan terhadap pertanian organik maupun penyediaan lahan pertanian bagi rakyat. Rakyat Indonesia tidak cukup dilindungi dengan program ketahanan pangan, tapi rakyat Indonesia butuh kedaulatan pangan (food sovereignty) untuk keberlanjutan kehidupan. Krisis air bersih, khususnya di pulau Jawa, dan wilayah-wilayah yang selama ini rentan, yaitu NTT, sebagian wilayah Papua, kemungkinan akan tetap terjadi.


Konflik sumberdaya alam diprediksikan semakin meningkat, paling tidak dalam empat sektor, yaitu pertambangan, kontruksi bendungan besar, perkebunan besar dan industri kehutanan lainnya.Di perkotaan, pembangunan infrastruktur padat modal (semisal pusat perbelanjaan, perkantoran, apartement, industri) serta pembangunan fasilitasi transportasi dan ruang terbuka hijau, akan semakin meminggirkan buruh dan kaum miskin kota. Agenda politik 2009 juga diprediksikan berkontribusi terhadap kondisi lingkungan hidup Indonesia, dimana keputusan-keputusan politik terkait dengan ekstraksi kekayaan alam diprediksi lahir di masa kesibukan politik. WALHI juga menilai bahwa para partai politik yang bertarung dalam Pemilihan Umum 2009 belum menempatkan agenda lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam sebagai agenda strategis bagi partai politik, sehingga lima tahun mendatang, lingkungan hidup dan kesejahteraan rakyat tetap akan menjadi isu yang terpinggirkan.

7. KESIMPULAN Permasalahan lingkungan hidup Indonesia tidak akan pernah terselesaikan bila negara tidak melakukan tindakan yang segera untuk menyelamatkannya. Proses pemiskinan rakyat akan terus terjadi, disertai dengan semakin dikuasainya sumber daya alam strategis oleh kaum pemodal. Dalam pandangan WALHI terkait dengan perlindungan atas lingkungan hidup dan sumberdaya alam Indonesia, terdapat 5 (lima) agenda mendesak yang harus segera dilaksanakan oleh pengurus negara Indonesia demi menyelamatkan nasib bangsa. Kelima agenda tersebut yaitu:

(1) Cabut seluruh peraturan dan kebijakan negara yang selama ini menjadi alat legitimasi pemodal dan elit politik untuk mengeruk keuntungan atas lingkungan hidup dan SDA Indonesia. Seluruh produk UU dan peraturan hukum lainnya di tingkat nasional maupun daerah harus kembali berpedoman pada konstitusi UUD 1945—khususnya pada implementasi semangat Pasal 33. (2) Pararel dengan pencabutan seluruh regulasi yang saling tumpang tindih tersebut, lakukan jeda (moratorium) perizinan baru terkait atas ekstraksi sumberdaya alam (tambang, migas, kehutanan, kelautan dsb) yang berskala besar, padat modal dan memiliki daya rusak ekologi tinggi, hingga adanya sebuah UU nasional yang integratif mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan SDA Indonesia dari pusat hingga daerah dengan perspektif HAM dan penghormatan pada hak tenurial dan hak-


hak konstitusi masyarakat adat/lokal. WALHI mendesak agar DPR dan pemerintah segera mengesahkan RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA).

(3) Terapkan agenda jeda penebangan hutan. Ilmuwan di berbagai belahan dunia telah membuktikan hubungan langsung antara kerusakan hutan dengan bencana banjir dan longsor, konflik dengan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulnya kebakaran hutan dan juga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan iklim global. Jeda pembalakan kayu (moratorium logging) hanyalah proses, bukan tujuan akhir. Moratorium menawarkan kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan pelaksanaan komitmen pemerintah di sektor kehutanan. Moratorium juga menjadi langkah awal bagi pelaksanaan seluruh reformasi tersebut.

Langkah-langkah moratorium dapat dilakukan selama dua hingga tiga tahun dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I: Penghentian pengeluaran ijin-ijin baru Moratorium atau penghentian pemberian atau perpanjangan ijin-ijin baru HPH, IPK, perkebunan, sambil menghentikan keran ekspor kayu bulat serta mengeluarkan kebijakan impor bagi industri olah kayu. Dalam tahap ini, perlu pula dilakukan penundaan pelaksanaan wewenang untuk pemberian ijin HPH dan IPHH (seluas <1000 Ha dan 100 hektar) oleh Bupati. Ijin-ijin oleh Bupati hanya dapat dikeluarkan bila daerah tersebut telah memiliki prasyarat sebagai berikut: adanya lembaga pengendalian dampak lingkungan tingkat daerah (semacam Bapedalda), adanya sumberdaya keuangan dan sumberdaya manusia untuk menjalankan kebijakan lingkungan daerah.

Moratorium

perijinan adalah syarat mutlak dan menjadi tahap pertama pelaksanaan moratorium di Indonesia.

Tahap II: Pelaksanaan uji menyeluruh kinerja industri kehutanan Dalam waktu 2 bulan setelah moratorium dilaksanakan, penghentian ijin HPH bermasalah terutama yang memiliki kredit macet yang sedang ditangani oleh BPPN. Utang harus dibayar kembali oleh pemilik dan penegakan hukum dilakukan bagi industri-


industri yang bermasalah. Pada tahap ini penilaian asset industri-industri bermasalah harus dilaksanakan melalui due diligence secara independen oleh pihak ketiga.

Tahap III: Penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam Dalam waktu 6 bulan, pemerintah harus menghentikan seluruh penebangan kayu di Sumatra dan Sulawesi, kedua pulau ini hutannya sangat terancam. Penataan kembali wilayah hutan di Sumatra dan Sulawesi serta penanganan masalah sosial akibat moratorium logging dengan mempekerjakan kembali para pekerja pada proyek-proyek penanaman pohon dan pengawasan hutan, seperti yang terjadi di Cina.

Tahap IV: Penghentian sementara seluruh penebangan hutan dan penyelesaian masalahmasalah potensi sosial Dalam waktu satu tahun moratorium pembalakan kayu dilaksanakan, pemerintah dapat menghentikan seluruh kegiatan penebangan kayu di Kalimantan dan penanganan masalah sosial yang muncul sejauh ini dan selama masa moratorium dilaksanakan melalui sebuah kebijakan nasional.

Tahap V: Larangan sementara penebangan hutan di seluruh Indonesia Dalam waktu 2-3 tahun diterapkan penghentian seluruh penebangan kayu di hutan alam untuk jangka waktu yang ditentukan di seluruh Indonesia. Pada masa ini, penebangan kayu hanya diijinkan di hutan-hutan tanaman atau hutan yang dikelola berbasiskan masyarakat lokal. Selama moratorium dijalankan, industri-industri kayu tetap dapat jalan dengan cara mengimpor bahan baku kayu. Dengan melanjutkan penggunaan bahan baku kayu dari dalam negeri, pada dasarnya kita sama saja dengan melakukan bunuh diri. Untuk memudahkan pengawasan tersebut, maka jenis kayu yang diimpor haruslah berbeda dengan jenis kayu yang ada di Indonesia.

(4) Moratorium pembayaran dan penambahan utang luar negeri. Agenda moratorium ini sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan APBN dan keluar dari jeratan mafia ekonomi neolib dan komprador anteknya (baca: mafia berkeley) yang terus saja menyetir roda ekonomi politk bangsa Indonesia, dengan mengandalkan pembangunan bertumpu pada


utang.

(5) Lakukan inventarisasi aset kekayaan strategis bangsa, lalu terapkan agenda nasionalisasi aset. Tak bisa ditawar-tawar lagi, hegemoni kuasa neolib dan barisan kompradornya di Indonesia telah sempurna menciptakan bencana ekologis dan makin kuatnya cengkeraman koorporatokrasi.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.