Risetpartisipasi walhi highrest

Page 1

STOP

KEDI KTATORAN I NVESTASITAMBANG DIRUANG HI DUP WARGA

Wuj udkanPar t i si pasiKonkr i tWar gayangPot ensiTer dampakNegat i f Tambangdal am: -Kaj i anLi ngkunganHi dupSt r at egi s( KLHS) -RencanaPembangunanMenengahNasi onaldanDaer ah( RPJMN&D) -Musyawar ahPer encanaanPembangunan( Musr enbang) -Pr osesRencanaTat aRuangWi l ayah( RTRW) -Per encanaanWi l ayahPer t ambangan( WP) -AMDAL

WahanaLi ngkunganHi dupI ndonesi a/ WALHI Adal ah f or um k el ompokmas y ar ak ats i pi l y angt er di r i dar i or gani s as i nonpemer i nt ah ( Or nop/ NGO) , Kel ompok Pec i nt a Al am ( KPA) dan Kel ompok Swaday a Mas y ar ak at( KSM)y ang di di r i k an pada t anggal15 Ok t ober1980 s ebagair eak s i dank epr i hat i nanat ask et i dak adi l andal am pengel ol aan s umber day a al am dan s umber s umberk ehi dupan,s ebagai ak i bat dar ipar adi gmadanpr os espembangunan y ang t i dak memi hak k eber l anj ut an dan k eadi l an.




Daftar Isi

Ucapan terima kasih Daftar tabel Daftar gambar Daftar singkatan Kata Pengantar I.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan Penelitian 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Kerangka Teoretik 1.5 Definisi Operasional 1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan

II.

PARTISIPASI MASYARAKAT: Sebuah analisis Peraturan Perundang-undangan 2.1 Pengantar 2.2 Pendulum Prosedural dan Substantif dalam Pengaturan Partisipasi Masyarakat 2.3 Indikator Partisipasi Masyarakat 2.4 Norma Partisipasi Masyarakat dalam Berbagai Peraturan Perundang-Undangan a. Norma Partisipasi Masyarakat dalam KLHS b. Norma Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang c. Norma Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan d. Norma Partisipasi Masyarakat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan 2.5 Kecenderungan Pengaturan Norma Partisipasi Masyarakat

III.

PRAKTIK PARTISIPASI MASYARAKAT DI SEKTOR PERTAMBANGAN DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT, KOLAKA DAN TAPANULI SELATAN

iii vii viii ix xi 1 1 7 8 8 12 13 17

19 19 20 22 25 26 33 40 44 48

49


vi

IV.

3.1 Pengantar 3.2 Partisipasi Masyarakat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan di Tiga Lokasi a. Kasus Batu Gosok – Labuan Bajo b. Kasus Hakatotubu dan Tambea – Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara C. Kasus Batang Toru – Sumatera Utara 3.3 Kesenjangan antara norma dan praktek pelaksanaan partisipasi masyarakat

49

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan 4.2 Rekomendasi

87 87 96

Daftar Pustaka Lampiran Profil

52 52 64 76 85

99 101 111


viii

ix


KATA PENGANTAR

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Judicial Review terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba) dengan nomor Perkara 32/PUU-VIII/2010 pada tahun 2012 merupakan capaian penting dari upaya WALHI memastikan terlindunginya hak-hak masyarakat atas pengelolaan, pemanfaatan sumber daya alam. Sektor pertambangan yang selama ini yang ditempatkan menjadi domain pemerintah semata telah digugurkan melalui keputusan MK tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana implementasi keputusan MK tersebut dengan bercermin pada implementasi UU Minerba sebelum adanya keputusan MK. Pertanyaan ini telah mendorong WALHI untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut melalui satu penelitian dengan tema Mekanisme Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam, dengan studi kasus partisipasi masyarakat di sektor pertambangan. Selain telaah hukum terkait dengan pertambangan, penggunaan teori Arnstein tentang tangga partisipasi digunakan untuk melihat sejauh mana partisipasi masyarakat di sektor pertambangan selama ini di Indonesia. Tentu pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini tidak di semua wilayah pertambangan


xiiMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

menjadi lokasi penelitian mengingat adanya berbagai kendala teknis. Oleh sebab itu, penelitian ini memberikan fokus pada 3 wilayah yang dinilai dapat merepresentasi situasi partisipasi di dalam pengelolaan pertambangan. Sebagaimana tangga partisipasi dalam teori Arnstein menunjukkan ada 8 tangga partisipasi yang terdiri dari Manipulasi, Terapi, Pemberian Informasi, Konsultasi, Penentraman, Kemitraan, Pendelegasian Kekuasaan, Kontrol Warga. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi yang ada di tiga wilayah penelitian berada pada tangga manipulasi. Potret buruknya partisipasi masyarakat pada sektor pertambangan sesungguhnya merupakan puncak gunung es dari buruknya partisipasi pada tahap awal perencanaan pembangunan yaitu dalam penentuan tata ruang dan terintegrasinya aspek lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Kedua hal tersebut menjadi dasar penentuan arah kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Situasi ini telah menciptakan berbagai krisis yang diwujudkan dalam bentuk konflik di wilayah-wilayah pertambangan yang menuntut untuk dapat diselesaikan segera. Upaya-upaya perbaikan ditingkat norma, kebijakan dan praktek sangat diperlukan untuk memastikan terpenuhinya hak konstitusional warga negara di sektor pertambangan. WALHI telah mengambil peran aktif untuk memastikan terlindunginya hak konstitusional warga negara dengan judicial review UU Minerba dan menindaklanjutinya dengan penelitian ini, waktunya bagi pemerintah untuk memastikan hadirnya hak konstitusional warga negara di sektor pertambangan. Akhir kata, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi utama bagi pemerintah dan pihak terkait untuk melakukan pembaharuan di sektor pertambangan.

Terima kasih Abetnego Tarigan Direktur Eksekutif Nasional WALHI

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Judicial Review terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba) dengan nomor Perkara 32/PUU-VIII/2010 pada tahun 2012, pada salah satu amar putusannya menyatakan:

Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat…masyarakat…” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.1 1 Lihat Putusan MK dalam perkara Nomor 32/PUUVIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012 mengenai pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, hal 143. 2 WP adalah wilayah pertambangan.

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim MK menjelaskan bahwa frasa mengenai “… memperhatikan pendapat … masyarakat …” perlu diberikan penafsiran agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Berikut penjelasannya: Mekanisme penetapan WP2 berupa kegiatan koordinasi, konsultasi, dan memperhatikan pendapat masyarakat, sebagaimana diatur dalam pasal-


2Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

3

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

pasal yang dimohonkan oleh para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, manakala mekanisme tersebut dilakukan semata untuk memenuhi ketentuan formal-prosedural sebagaimana termuat dalam peraturan perundang-undangan dan mengaburkan tujuan utama yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara yang seharusnya, dalam konteks sumber daya alam, dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Terlebih lagi, Penjelasan Pasal 10 a quo hanya menyatakan “cukup jelas”, sehingga sebenarnya menjadi tidak jelas pula masyarakat mana yang dimaksud untuk diperhatikan pendapatnya. Terkait dengan hal tersebut, penggunaan kata “dengan memperhatikan” dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009 sebenarnya memiliki makna imperatif yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat menetapkan WP, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hakhak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karenanya, untuk lebih memperkuat fungsi kontrol masyarakat terhadap Pemerintah dan sekaligus untuk menjamin kepastian hukum yang adil baik bagi masyarakat secara umum maupun masyarakat yang secara khusus berada dalam WP dan masyarakat yang terkena dampak, termasuk para pelaku usaha pertambangan, serta demi tercapainya amanah UUD 1945, menurut Mahkamah, fungsi kontrol tersebut tidak cukup hanya dilakukan melalui forum konsultasi dengan DPR RI, namun juga harus diperkuat melalui fungsi kontrol yang dilakukan langsung oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam WP dan masyarakat yang akan terkena dampak.3

Sesuai dengan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah lebih menekankan kepada terlaksananya kewajiban menyertakan pendapat masyarakat, bukan persetujuan tertulis dari setiap orang sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, karena menurut Mahkamah, bentuk keikutsertaan secara aktif dari masyarakat berupa keterlibatan langsung dalam pemberian pendapat dalam proses penetapan WP yang difasilitasi oleh negara c.q. Pemerintah (garis bawah oleh penulis), merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945, yang lebih bernilai daripada sekadar formalitas belaka yang dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang belum tentu dibuat oleh yang bersangkutan sendiri.4 MK juga menegaskan dalam pertimbangannya yaitu terkait 1) kewajiban pemerintah dalam menjamin hak masyarakat untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat harus dilindungi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dalam rangka proses penetapan wilayah pertambangan; 2) kewenangan Pemerintah dalam mengatur tata cara penyertaan pendapat masyarakat atau siapa saja termasuk kelompok masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya masuk atau akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan serta masyarakat yang akan terkena dampak dengan kewajiban menghormati dan menegakkan hak-hak asasi manusia.5 Bersandar atas amar putusan dan pertimbangan MK di atas, maka pekerjaan rumah yang penting untuk dilakukan adalah menerjemahkan putusan MK tersebut ke dalam sejumlah indikator untuk memeriksa: a) aturan hukum mengenai mekanisme partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan; b) praktik pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan.

4 Ibid. hal 140 3 Ibid. hal 139

5 Ibid

Dengan mempelajari kedua hal tersebut, akan diperoleh pemahaman mengenai potret pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dan kondisi empiris dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan terkait dengan tafsir MK terhadap Pasal 10 huruf b UU Minerba.


4Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

5

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Dalam praktiknya, komitmen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) untuk menjalankan putusan MK atas pasal mengenai partisipasi masyarakat belum jelas. Beberapa regulasi yang ada memperlihatkan KESDM lebih peka terhadap potensi kerugian yang dialami oleh investasi tambang, dan memastikan kepastian hukum bagi investasi tersebut, dibandingkan dengan memberikan jaminan bagi hak-hak konstitusi warga negara, jaminan hak atas lingkungan yang sehat dan hak milik warga negara. Hal ini tampak dengan direvisinya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2010 dengan PP No. 24 Tahun 2012 untuk kepastian hukum bagi penanaman modal asing pada era otonomi daerah, tetapi tidak dengan melakukan tindak lanjut putusan MK yang disebutkan di atas.6

Pasal 15 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah supaya membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Pada posisi ini KLHS dimaknai sebagai bentuk instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang dilaksanakan pada tingkat pengambilan keputusan perencanaan pembangunan (decision-making cycle process) sehingga sesuai dengan kebutuhan penyelesaian permasalahan degradasi SDA, kualitas lingkungan hidup dan persoalan sosial.7

Dengan kata lain, KESDM seharusnya juga merevisi PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan sebagai konsekuensi amar putusan MK mengenai kewajiban menyertakan pendapat masyarakat secara langsung dalam penetapan wilayah pertambangan. Selain pekerjaan rumah seperti disebutkan di atas, ada pekerjaan yang lebih besar dan lebih luas cakupannya, yaitu upaya menjadikan amar putusan dan pertimbangan MK terkait partisipasi masyarakat yang dapat dilihat dalam bentuk partisipasi penetapan wilayah pertambangan supaya bisa dikembangkan menjadi suatu model untuk menguji aturan hukum dan praktik pelaksanaan partisipasi masyarakat pada bidang-bidang lainnya yang terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yakni lingkungan hidup dan penataan ruang dan perencanaan pembangunan. Potret buruknya partisipasi masyarakat pada sektor pertambangan sesungguhnya merupakan puncak gunung es dari buruknya partisipasi pada tahap awal perencanaan pembangunan yaitu dalam penentuan tata ruang dan terintegrasinya aspek lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Kedua hal tersebut menjadi dasar penentuan arah kebijakan pembangunan secara keseluruhan.

7 Chay Asdak, 2012, “Integrasi KLHS dalam Pengambilan Keputusan Perencanaan Pembangunan”, makalah disampaikan pada Pelatihan Hukum Lingkungan, FH Unpad, Bandung, 7 November 2012.

6 Pius Ginting, 2012, “Peran Serta Masyarakat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan dalam Rejim Otonomi Daerah”, Jurnal Puskapol Fisip UI.

8 Bila merujuk kepada RPP KLHS versi 23 Agustus 2011 pada Pasal 12 dinyatakan bahwa masyarakat wajib dilibatkan dalam pelaksanaan KLHS, pembuatan kebijakan, rencana dan atau program. Pelibatan masyarakat tersebut dilaksanakan melalui konsultasi publik dan atau secara tertulis. RPP KLHS versi 23 Agustus 2011 dapat diunduh pada http://www. klhsindonesia.org/ main/readmakalah/ rpp-klhs-23-agustusdan-penjelasannya.

Merujuk pada Pasal 70 UU PPLH mengenai peran serta masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka dalam penyelenggaraan KLHS, pemerintah wajib menjamin keterlibatan masyarakat.8 Di sisi lain, pentingnya partisipasi masyarakat juga dapat dilihat pada aspek penataan ruang. Dalam Pasal 60 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), disebutkan bahwa masyarakat (baik secara individu maupun kelompok) berhak mengetahui rencana tata ruang dan mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya. Kemudian, dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UUPR dinyatakan bahwa masyarakat dilibatkan oleh pemerintah dalam hal penyusunan rencana tata ruang; pemanfaatan ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan penataan ruang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UUPR, adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.


6ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

7

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

Tabel 1. Penggunaan istilah partisipasi masyarakat dalam berbagai peraturan Nama Peraturan Penggunaan Istilah UU PPLH Pelibatan Masyarakat PP No. 68 Tahun 2010 tentang bentuk dan tata Peran Serta Masyarakat cara peran masyarakat dalam penataan ruang (PP) No. 8 Tahun 2008 tentang tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi Partisipasi Masyarakat pelaksanaan rencana pembangunan daerah

Oleh karena itu, tata ruang pada akhirnya menjadi panduan bagi pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor pembangunan termasuk sektor pertambangan.9 Bagan Alir Tahapan Partisipasi Masyarakat KLHS P A R T I S I P A S I

Tata Ruang RPJP/ RPJM Penetapan WP RPJMD Perizinan Pemanfaatan SDA

P A R T I S I P A S I

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebutkan bahwa penyertaan pendapat masyarakat merupakan salah satu bentuk dari fungsi kontrol terhadap pemerintah.10 Penggunaan istilah penyertaan pendapat masyarakat sepadan dengan istilah partisipasi masyarakat, peran serta masyarakat atau pelibatan masyarakat yang sering digunakan untuk maksud yang sama. Dalam berbagai peraturan perundangundangan misalnya UU PPLH digunakan istilah pelibatan masyarakat, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2010 tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang menggunakan istilah peran serta masyarakat. Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 Tahun 2008 tentang tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah, menggunakan istilah partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat penting selain karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pembangunan, juga karena fakta menunjukkan bahwa minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi faktor munculnya konflik antar pelaku pembangunan. Dalam sektor pertambangan minerba, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012 telah terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah Indonesia.11

9 Pada Pasal 61 UUPR disebutkan bahwa dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum. Ini menunjukkan perintah yang jelas mengenai kewajiban menjadikan tata ruang sebagai rujukan dalam keputusan pemanfaatan ruang. 10 Putusan MK dalam perkara Nomor 32/ PUU-VIII/2010, hal 139.

Dengan uraian latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji pengaturan dan praktik partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan, serta merumuskan model partisipasi masyarakat yang dikehendaki sesuai putusan MK khususnya dalam penetapan wilayah pertambangan.

1.2 Permasalahan Penelitian Dalam penelitian ini, rumusan permasalahan yang dicarikan jawabannya adalah: 1. bagaimana pengaturan mengenai tata cara partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan? 2. bagaimana praktik pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan? 11 Data diolah oleh WALHI dari berbagai sumber informasi.

3. bagaimana model partisipasi masyarakat yang memenuhi kriteria sebagaimana ditafsirkan oleh


8Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

9

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Gambar 1. Tangga Partisipasi dari Arnstein

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada perkara Pengujian Undang-Undang dengan nomor perkara No.32/PUU-VIII/2010?

8

Citizen Control

7

Delegated Power

Tujuan dari penelitian ini adalah:

6

Partnership

untuk mengetahui pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan.

5

Placation

4

Consultation

untuk mengetahui praktik pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan.

3

Informing

2

Therapy

1

Manipulation

1.3 Tujuan Penelitian

untuk mengetahui model partisipasi masyarakat yang memenuhi kriteria sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya pada perkara Pengujian Undang-Undang dengan nomor perkara No.32/PUU-VIII/2010.

Citizen Power

Tokenism

Non Participation

Penjelasan untuk masing-masing anak tangga dari partisipasi warga dari Arnstein adalah sebagai berikut: 1. Manipulasi (Manipulation)

1.4 Kerangka Teoretik Dalam penelitian ini, untuk mengkaji tingkatan partisipasi masyarakat baik dari sisi aturan hukum maupun praktiknya menggunakan teori yang diajukan oleh Sherry R. Arnstein mengenai The ladder of citizen participation.12 Arnstein memperkenalkan tangga (ladder) sebagai bentuk tingkatan partisipasi warga negara (citizen participation). Terdapat delapan anak tangga dalam partisipasi warga sebagaimana diutarakan oleh Arnstein yaitu:

Dalam anak tangga manipulasi, rakyat, atas nama partisipasi warga, ditempatkan sebagai alat stempel saja untuk merekayasa dukungan terhadap pemegang kekuasaan. Alih-alih partisipasi warga, anak tangga terbawah ini menandakan distorsi partisipasi menjadi kendaraan “Public Relation” oleh pemegang kekuasaan. 2. Terapi (Therapy) 12 Mengenai teori ini, secara gamblang dijelaskan oleh Arnstein dalam tulisannya yang dimuat dalam jurnal JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969, pp. 216224. Tulisan Arnstein yang dirujukan dalam penelitian ini diunduh dari http:// lithgow-schmidt. dk/sherry-arnstein/ ladder-of-citizenparticipation.html

Dalam anak tangga terapi, partisipasi warga hanyalah topeng, seharusnyalah ia bagian dari tangga terendah sama dengan manipulasi karena keduanya tidak jujur dan arogan. Pada anak tangga terapi ini, rakyat ditempatkan sebagai pihak yang tidak berdaya dan ketidakberdayaan tersebut perlu diterapi dengan melakukan upaya pemberdayaan. Dalam proses pemberdayaan, relasinya adalah subjek-objek atau pemberdaya dan yang diberdayakan. Tidak ada partisipasi pada proses ini.


10Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

11

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

3. Pemberian Informasi (Informing)

warga/kelompok miskin pada badan-badan publik atau komite-komite seperti dewan pendidikan, komisi kepolisian, atau otoritas perumahan. Apabila wakil-wakil warga tersebut tidak akuntabel kepada konstituen dan apabila elite kekuasaan tradisional memegang mayoritas kursi di badan-badan tersebut, maka warga miskin dapat dengan mudah kalah suara dan dikelabui.

Dalam anak tangga ini, sudah ada informasi kepada warga mengenai hak, tanggung jawab dan pilihanpilihan. Namun pada anak tangga ini arus informasi berjalan searah, dari “pejabat” kepada “warga” dan tidak disediakan umpan balik, serta tidak ada negosiasi. Informasi yang disiapkan, biasanya diberikan pada tahap akhir dari perencanaan, sehingga warga hanya memiliki waktu yang sempit untuk mempengaruhi program yang dirancang agar sesuai dengan “kepentingan mereka.” Alat yang paling sering digunakan untuk komunikasi semacam ini adalah berita, pamflet, poster, dan tanggapan terhadap pertanyaan. Selain itu, rapat (meeting) juga dijadikan kendaraan untuk komunikasi satu arah dengan cara memberikan informasi dangkal, menyederhanakan pertanyaan, atau memberi jawaban yang tidak relevan.

6. Kemitraan (Partnership) Pada anak tangga, kekuasaan sebenarnya didistribusikan melalui negosiasi antara warga dan pemegang kekuasaan. Mereka setuju untuk berbagi peran dalam perencanaan dan pengambilan keputusan melalui struktur seperti badan pengambilan keputusan bersama, komite perencanaan dan mekanisme untuk menyelesaikan kebuntuan. Setelah aturan dasar dibentuk melalui proses bersama, maka perubahan-perubahan aturan tidak dilakukan secara sepihak.

4. Konsultasi (Consultation) Meminta pendapat warga akan sama seperti anak tangga “informing” yang bisa menjadi langkah sah menuju partisipasi penuh. Namun, jika konsultasi ini tidak dikombinasikan dengan model partisipasi yang lain, anak tangga masih dianggap palsu karena tidak menawarkan jaminan bahwa pendapat dan gagasan warga akan diperhitungkan. Metode yang paling sering digunakan untuk orang konsultan adalah survei mengenai sikap warga, pertemuan ketetanggaan, dan dengar pendapat publik. Dalam tahap ini, bila pemegang kekuasaan membatasi masukan dari warga, partisipasi dalam bentuk konsultasi hanya kedok semata. Kehadiran warga dalam forum konsultasi menjadi sah diukur dari berapa banyak warga yang datang ke pertemuan, membawa pulang brosur, atau menjawab kuesioner. 5. Penentraman (Placation) Dalam anak tangga ini, warga mulai memiliki beberapa tingkat pengaruh meskipun tokenisme13 masih jelas. Contoh dari strategi penentraman adalah menempatkan beberapa orang wakil dari

Kemitraan dapat bekerja paling efektif bila: a) ada kekuatan warga yang terorganisir dan memiliki pemimpin warga yang akuntabel; b)

13 Tokenisme, dalam kacamata sosiologi, adalah sebuah kebijakan atau praktek-praktek untuk membuat seakan-akan ada tindakan untuk melibatkan kelompok minoritas. Pengertian ini diambil dari http:// en.wikipedia.org/ wiki/Tokenism

ketika kelompok warga memiliki sumber daya keuangan untuk membayar honor para pemimpinnya secara wajar ketika ia bekerja untuk warga, dan

c) ketika kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa (dan memecat) teknisi sewaan, pengacara, dan community organizer. Dengan materi ini, warga memiliki daya tawar riil yang mempengaruhi hasil dari perencanaan (manakala kedua pihak merasa ada kegunaan untuk tetap menjaga kemitraan). 7. Kekuasaan yang didelegasikan (Delegated Power) Pada tingkat ini, warga telah berada pada titik dimana mereka memegang posisi yang menentukan/ dominan untuk sebuah rencana atau program pembangunan. Untuk mengatasi perbedaan posisi, pemegang kekuasaan perlu memulai proses tawar


12ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

menawar dengan warga daripada malah kembali menekan mereka. 8. Kontrol Warga (Citizen Control) Pada tangga ini, daya kontrol warga semakin meningkat, misalnya sekolah yang dikendalikan oleh komunitas, kontrol oleh warga miskin, dan lainlain. Meskipun tidak ada seorang pun di negara ini memiliki kontrol mutlak. Para warga hanya menuntut agar tingkat kekuatan (atau kontrol) bisa menjamin para warga dapat mengatur sebuah program atau institusi, bertanggung jawab penuh atas kebijakan dan manajerial, dan dapat menegosiasikan syaratsyarat manakala ada “orang luar� yang akan merubahnya.

1.5 Definisi operasional Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan: 1. Partisipasi masyarakat adalah proses keterlibatan masyarakat sekitar kawasan pertambangan dalam tahapan perencanaan dan pembuatan keputusan terkait kebijakan yang akan dilakukan dalam pelaksanaan program maupun pengambilan keputusan dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. 2. Mekanisme kontrol adalah tata cara pengawasan dari kelompok masyarakat tertentu dan terkena dampak terkait dengan perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi dari sebuah kegiatan tertentu. 3. Masyarakat terdampak adalah masyarakat yang merasakan akibat secara langsung dan seketika dari sebuah kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan. 4. Masyarakat akan terdampak yaitu masyarakat yang merasakan akibat secara tidak langsung dan merupakan efek lanjutan dari sebuah kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan.

13

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

5. Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah proses tata kelola terhadap sumber daya alam yang berperspektif berkelanjutan dan melibatkan masyarakat.

1.6 Metode Penelitian Penelitian dalam tulisan ini mengusung penelitian sosio-legal yang artinya tidak sekedar melihat hukum dari aspek formal prosedural dan normatif yuridis, tetapi juga melihatnya secara empiris. Oleh karena itu, penelitian ini memadukan pendekatan yuridis normatif dengan pendekatan ilmu sosial seperti halnya sosiologi dan administrasi publik. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yang menjelaskan secara lengkap aspek-aspek normatif dan praktik mengenai partisipasi masyarakat yang terdampak dalam penentuan wilayah pertambangan, serta menggali bagaimana persepsi masyarakat terdampak mengenai model ideal bentuk partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan para pelaku yang terlibat dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat terdampak dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan. Data primer dalam konteks ini diperlukan sebagai konsekuensi pendekatan penelitian hukum empirik dan upaya mendapatkan potret nyata di lapangan. Sedangkan data sekunder digunakan untuk menjelaskan aspek hukum mengenai partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan dalam ranah normatif yang meliputi (i) bahan hukum primer berupa peraturan perundangundangan mengenai lingkungan hidup khususnya menyangkut pengaturan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Kajian Lingkungan Strategis (KLHS) sebagaimana diatur dalam UU PPLH dan peraturan


14ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

15

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

pelaksananya; penataan ruang khususnya menyangkut tata cara partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam UU PR dan peraturan pelaksananya; perencanaan pembangunan khususnya menyangkut partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam UU SPPN dan peraturan pelaksananya; serta wilayah pertambangan khususnya mengenai partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan peraturan pelaksananya; (ii) bahan hukum sekunder berupa buku, hasil penelitian, majalah dan jurnal, dan (iii) bahan hukum tersier berupa kamus. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara yaitu penelusuran dokumen dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan cara wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (depth-interview). Selain itu, dilakukan pula diskusi kelompok terarah (focused group discussion - FGD). Pihak-pihak yang diwawancarai merupakan para pelaku yang terlibat di dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penentuan wilayah pertambangan yang terdiri dari: Tingkat Desa: Masyarakat di Batu Gosok – Labuan Bajo (Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT); di Desa Hakatotubu dan Desa Tambea (Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara); Desa Muara Hutaraja (Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Desa Haramunting, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) Tingkat Kabupaten: Kabupaten Manggarai Barat (Bappeda), Kabupaten Kolaka (Bappeda, Dinas Pertambangan, BLH) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Bappeda, Dinas Pertambangan)

Tabel 2. Jadwal wawancara dengan para narsumber Hari/Tanggal 26 Maret 2013

27 Maret 2013

29 Maret 2013 8 April 2013 9 April 2013

10 April 2013

12 April 2013

Narasumber Salesidis Natal (Kepala Desa Kecamatan Ndoso), Merkiur Jenarum (warga Kampung Metang), Romo Maksi Larung (Pastur Paroki Desa Waning) Armansyah Bagian Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Lokasi Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT Labuan Bajo, Kantor Bappeda, Kabupaten Manggarai Barat, NTT

Labuan Bajo, Florianus Suron, Gabriel (aktivis Kabupaten Manggarai lingkungan, tokoh adat) Barat, NTT Abdullaheng, Saripe. DesaTambea, Kec. Pomala Hajjah Marwah, Ghapirudin (warga Desa Hakatotobu) Sastra (Kepala Dinas Pertambangan Kab. Kolaka), Suwarta (Kepala Seksi Pengusahaan Tambang, Dinas Pertambangan Kab. Kolaka), Agus Andi (Kepala Bidang Tata Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup, Kabupaten Kolaka) Kisran Makati, Hartono, Susi Yanti (aktivis lingkungan di Kendari)

25 April 2013

Sekretaris Desa Haramunting

26 April 2013

Ketua Bappeda Tapanuli Tengah

27 April 2013

K Parlindungan

Desa Hakatotobu, Kec. Pomala, Kab. Kolaka

Kantor Dinas Pertambangan Kab. Kolaka, Kantor BLH Kab. Kolaka

Kendari Desa Haramunting, Kec.Tukka, Kab. Tapanuli Tengah Pandan, Kompleks Pemkab Tapanuli Tengah Muara Hutaraja, Kec. Batangtoru, Kab. Tapanuli Selatan


16ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

17

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

1.7 Sistematika Penulisan

Batang Toru, Harimonting Kab. Tapteng-Kab. Tapsel

Dalam penelitian ini penulisan setiap bab akan disusun sebagai berikut: Bab I Kab. Kolaka

Bab II

Kab. Manggarai Barat

Dalam pengumpulan data, tidak semua narasumber yang direncanakan untuk diwawancarai dapat ditemui dengan berbagai alasan antara lain keterbatasan waktu, padatnya jadwal narasumber yang ditargetkan, penghubung lokal yang tidak dekat dengan narasumber. Oleh karenanya analisis data dalam penelitian ini hanya didasarkan pada data yang terkumpul. Jika kemudian didapatkan data yang lebih baru, maka dimungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Penentuan sampel penelitian didasarkan pada sejumlah kriteria antara lain situasi konflik pertambangan; praktek penetapan wilayah pertambangan; penataan ruang; pelaksanaan KLHS; praktek perencanaan pembangunan; dan keberadaan mitra lokal dari WALHI yang memungkinkan adanya bantuan teknis pelaksanaan penelitian di lapangan. Pengolahan data terhadap dokumen-dokumen hukum dilakukan dengan metode penafsiran. Dari sekian metode interpretasi, penelitian ini menggunakan dua diantaranya yaitu interpretasi gramatikal dan sistematis.14 Sementara untuk pengolahan data hasil wawancara mengenai praktek partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan dianalisis secara deskriptif.

Bab III

14 Intepretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu objek. Sukar dibayangkan, hukum ada tanpa adanya bahasa. Sementara Interpretasi Sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan dengan jalan menghubungkannya dengan undangundang lain disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi logis. Baca lebih jauh dalam buku “Bab-Bab tentang Penemuan Hukum�, Mertokusumo, Sudikno., 1993, A. Pitlo, Citra Aditya Bakti.

Bab IV Bab V

berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teoritik, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan. berisi uraian dan analisis mengenai aturan hukum yang mengatur partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan dan Penentuan Wilayah Pertambangan berisi uraian dan analisis mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA, dengan studi kasus di sektor pertambangan berisi uraian dan analisis mengenai model partisipasi masyarakat yang memenuhi kriteria sebagaimana ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK pada perkara Pengujian Undang-Undang dengan nomor perkara No.32/ PUU-VIII/2010. berisi kesimpulan dan rekomendasi.


2

PARTISIPASI MASYARAKAT Sebuah Analisis Peraturan Perundang Undangan

2.1 Pengantar Bab ini memaparkan hasil kajian hukum terhadap norma dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur bentuk dan tatacara partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan yang dikaji meliputi pelaksanaan Kajian Lingkungan Strategis (KLHS) sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) dan peraturan pelaksananya; partisipasi masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana diatur oleh UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut UU PR) dan peraturan pelaksanaan menyangkut tata cara partisipasi masyarakat; partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (selanjutnya disebut UU SPPN) dan peraturan pelaksanaannya; serta partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba (selanjutnya disebut UU Minerba) dan peraturan pelaksanaannya.

Tujuan utama dari kajian ini adalah mengetahui pada tingkat apa setiap rezim peraturan menempatkan partisipasi masyarakat. Untuk tujuan ini, kerangka anak tangga partisipasi dari Arnstein digunakan sebagai rujukan. Seperti telah dijelaskan pada Bab I, teori Arnstein menyatakan adanya delapan anak tangga dalam bentuk


20Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

21

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

4. Untuk memudahkan memberikan masukan tertulis sebagaimana (1), setiap Rancangan undangan harus dapat oleh masyarakat.

partisipasi masyarakat. Anak tangga terendah disebut sebagai manipulasi (manipulation), dan yang tertinggi berupa kontrol warga (citizen control). Dalam bab ini kita dapat membandingkan pada anak tangga manakah pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, perencanaan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan berada. Sebelum sampai pada pembahasan tersebut, bab ini akan diawali dengan bagian yang menjelaskan pentingnya melihat partisipasi masyarakat dalam prosedur pembentukan peraturan dan penentuan isi peraturan.

Ketentuan di atas tidak hanya berlaku terhadap proses pembentukan undang-undang tetapi seluruh produk yang termasuk dalam klasifikasi peraturan perundangundangan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dan seterusnya.15 Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya tidak hanya berbentuk keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pembahasan (procedural mechanism) peraturan, tetapi juga dalam hal substansi yang sedang dibahas (substantive mechanism). Dalam praktek, keduanya bisa diasumsikan berbanding seimbang ataupun berat sebelah. Dapat saja aspek prosedur lebih dikedepankan dibanding aspek substansi, namun dapat pula terjadi sebaliknya.

2.2 Pendulum Prosedural dan Substantif dalam Pengaturan Partisipasi Masyarakat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) mengatur bentuk dan tata cara partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini dijelaskan pada Bab XI Pasal 96 sebagai berikut: Pasal 96 1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 2. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: •

rapat dengar pendapat umum;

kunjungan kerja;

sosialisasi; dan/atau

seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

3. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundangundangan.

masyarakat dalam secara lisan dan/atau dimaksud pada ayat Peraturan Perundangdiakses dengan mudah

15 Pada peraturan sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, pasal mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan hanya diatur dalam satu pasal yaitu pasal 53 yang membatasi hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundangundangan hanya pada penyiapan atau pembahasan Rancangan UndangUndang dan Rancangan Peraturan Daerah.

Pembentukan suatu aturan hukum tidak lepas dari kontestasi kepentingan berbagai kelompok. Kelompok yang kuat secara sosial, politik dan ekonomi biasaya dapat mempengaruhi proses dan isi dari suatu aturan hukum agar lebih melindungi kelompok yang dibelanya. Sebaliknya bagi kelompok yang lemah, maka kepentingannya akan banyak terabaikan. Dalam situasi demikian negara diharapkan hadir untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan. Negara perlu memberikan perlindungan lebih besar kepada kelompok yang lemah. Dalam kenyataannya, negara tidak selalu menjadi pelindung kepentingan kelompok yang lemah itu. Proses pembentukan dan isi suatu aturan hukum tidak selalu mencerminkan kepentingan kelompok yang lemah, yang biasanya jumlahnya mayoritas. Oleh sebab itu, tidak jarang ditemui produk perundang-undangan yang isinya timpang dalam melindungi berbagai kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan yang kuat mendapat perlindungan hukum yang besar, sebaliknya


22Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

23

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Tabel 3. Tingkatan Partisipasi dan Indikatornya menurut Arnstein

kelompok kepentingan yang lemah mendapat sedikit perlindungan. Contoh yang paling mudah untuk menemukan proses dan isi aturan hukum yang timpang dalam perlindungan kepentingan adalah peraturan perundang-undangan di sektor pengelolaan sumber daya alam. UndangUndang Kehutanan, Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Minyak dan Gas, Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Perkebunan, dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, adalah sejumlah undang-undang yang mengabaikan kepentingan kelompok yang lemah. Tidak mengherankan bila kemudian berbagai undangundang di sektor sumber daya alam tersebut diuji secara materiil kepada Mahkamah Konstitusi. Banyak ketentuannya yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, utamanya pasal-pasal terkait dengan perlindungan hak asasi manusia.

ANAK TANGGA PARTISIPASI

BENTUK

Tangga kesatu

Manipulasi

Tangga kedua

Tangga ketiga

Dalam melakukan analisis atas norma-norma dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud di atas, kajian ini menggunakan teori mengenai tingkatan serta metode partisipasi masyarakat dari Sherry R Arnstein yaitu The ladder of citizen participation.16 Untuk memudahkan analisis atas norma-norma partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud di atas, maka disusun matrik indikator pemenuhan unsur partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud oleh Arnstein (tabel 1).

16 Penjelasan mengenai teori ini sudah dikemukakan pada bagian pertama dari tulisan ini.

Masyarakat ditempatkan sebagai alat stempel untuk merekayasa dukungan terhadap pemegang kekuasaan

Rakyat ditempatkan sebagai pihak yang tidak berdaya dan ketidakberdayaan tersebut perlu di terapi dengan melakukan upaya pemberdayaan. Dalam proses pemberdayaan, relasinya adalah subjek-objek atau pemberdaya dan yang diberdayakan. Tidak ada partisipasi pada proses ini.

Pemerintah sudah memberi informasi kepada rakyat mengenai hak, tanggung jawab dan pilihan-pilihan, namun sifatnya masih informasi searah dari “Pejabat” kepada “Rakyat” dan tidak disediakan umpan balik dan negosiasi.

Informasi biasanya diberikan pada tahap akhir perencanaan sehingga rakyat hanya memiliki waktu yang sempit untuk mempengaruhi perencanaan sesuai dengan kepentingan mereka (rakyat)

Bentuk media informasinya antara lain berita, pamphlet, poster, rapat-rapat.

Terapi

Tidak semua peraturan perundang-undangan mengatur partisipasi masyarakat. Biasanya peraturan perundangundangan yang mengatur partisipasi masyarakat adalah peraturan perundang-undangan yang memberi dampak pada perikehidupan masyarakat, seperti pengaturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, proses perencanaan pembangunan, dan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

2.3 Indikator Partisipasi Masyarakat

INDIKATOR

Pemberian Informasi


24Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak ANAK TANGGA PARTISIPASI

Tangga keempat

Tangga kelima

BENTUK

INDIKATOR •

Metode meminta pendapat biasanya melalui survey sikap warga, pertemuan warga dan dengar pendapat publik.

Kualitas partisipasi diukur dari berapa banyak rakyat yang datang ke pertemuan, brosur yang dibawa pulang dan pertanyaan yang dijawab.

Menempatkan beberapa wakil dari rakyat (warga/kelompok) miskin pada badan-badan publik seperti dewan pendidikan, komisi kepolisian, dll.

Tidak ada jaminan wakil-wakil rakyat miskin yang ditempatkan akuntabel terhadap konstituen.

Komposisi wakil dari para elit biasanya memegang mayoritas kursi dari badan-badan tersebut. Ada pembagian peran dalam perencanaan dan pengambilan keputusan melalui struktur seperti badan pengambilan keputusan bersama, komite perencanaan dan mekanisme untuk menyelesaikan kebuntuan

Tangga keenam

Meminta pendapat rakyat namun tidak menawarkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan diperhitungkan.

• Konsultasi

Penentraman

25

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Kemitraan •

Mekanisme bermitra diatur secara bersama dan perubahanperubahannya dilakukan melalui kesepakatan bersama

ANAK TANGGA PARTISIPASI

BENTUK

Tangga ketujuh

Pendelegasian kekuasaan

Tangga kedelapan

Kontrol warga

INDIKATOR •

Rakyat telah memegang posisi yang menentukan/dominan dalam proses perencanaan dari suatu program pembangunan.

Daya kontrol rakyat semakin meningkat, misalnya sekolah yang dikendalikan oleh komunitas, kontrol oleh warga miskin sehingga pengaturan mengenai rencana suatu pembangunan ada ditangan rakyat/warga.

Sumber: Arnstein. http://lithgow-schmidt.dk/sherry-arnstein/ladder-of-citizen-participation.html

2.4 Norma Partisipasi Masyarakat dalam Berbagai Peraturan PerundangUndangan Sebagaimana dikemukakan di atas, peraturan perundang-undangan yang dianalisis dalam bagian ini dimulai dari aturan mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), aturan mengenai penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan. Peraturan perundang-undangan yang dikaji dapat dilihat pada tabel-2 di bawah ini: Tabel 4. Daftar Peraturan Perundangan-undangan yang menjadi Objek Kajian Aturan Terkait Nama Peraturan • Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) KLHS • Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Permen LH) No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis


26Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Penataan Ruang

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

PP No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan (UU SPPN)

Perencanaan Pembangunan

PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)

Pertambangan

Wilayah Pertambangan

PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (PP WP)

PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Izin Pertambangan)

Norma partisipasi yang dikandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dikatagorisasikan di atas dipaparkan dalam penjelasan berikut ini:

a.  Norma Partisipasi Masyarakat dalam KLHS Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh,

27

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS sendiri memiliki tujuan untuk menghasilkan kebijakan, rencana dan atau program yang berwawasan lingkungan hidup. Pada prinsipnya pelaksanaan KLHS berlandaskan pada prinsip-prinsip: a) terpadu; b) berkelanjutan; c) fokus; d) transparan; e) akuntabel; f) partisipatif; dan g) interaktif (Pedoman Umum KLHS-Permen LH No.9/2011). Selain itu, KLHS juga merupakan instrumen pencegahan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. (Pasal 14 UU PPLH) UU PPLH telah menetapkan bahwa KLHS wajib dibuat oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. (Pasal 15 ayat (1)). Setelah dibuat, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud ke dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota; dan kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup (Pasal 15 ayat (2)). Dalam pembuatan KLHS, pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakannya dengan melibatkan masyarakat dan para pemangku kepentingan. (Pasal 18 ayat (1)). Sejauh ini, pengaturan mengenai pelibatan masyarakat dalam pembuatan KLHS hanya diatur di dalam Permen LH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Permen LH 9/2011). Kehadiran peraturan menteri ini kami duga sebagai upaya mengisi kekosongan hukum karena peraturan pemerintah (PP) mengenai


28ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

29

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

tata cara penyelenggaraan KLHS sebagaimana dimandatkan oleh UU PPLH belum diterbitkan.

Jika merujuk kepada UU PPLH disebutkan bahwa tahapan pelaksanaan KLHS meliputi dua tahap yaitu 1) tahap penyusunan kebijakan, rencana dan program; dan 2) tahap evaluasi kebijakan, rencana dan program.

Jika merujuk kepada ketentuan di dalam Permen LH No. 9 Tahun 2011, disebutkan bahwa KLHS dibangun melalui pendekatan pengambilan keputusan berdasarkan masukan berbagai kepentingan. Makna pendekatan tersebut adalah bahwa penyelenggaraan KLHS tidak ditujukan untuk menolak atau sekedar mengkritisi kebijakan, rencana dan/atau program, melainkan untuk meningkatkan kualitas proses dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program, khususnya dari perspektif pembangunan berkelanjutan.

Mengenai siapa masyarakat dan pemangku kepentingan yang dapat dilibatkan di dalam proses pelaksanaan KLHS, Permen LH No. 9 Tahun 2011 mengindentifikasi beberapa contoh yaitu: Masyarakat dan Pemangku Kepentingan

Ada enam prinsip KLHS yaitu 1) Penilaian Diri (SelfAssessment); 2) Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; 3) Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial; 4) Memberi Pengaruh pada Pengambilan Keputusan; 5) Akuntabel; dan 6) Partisipatif.

Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian (perorangan/tokoh/ kelompok)

Pada prinsip yang keenam yaitu prinsip partisipatif, sejalan dengan amanat UU PPLH, menekankan bahwa KLHS harus dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan prinsip partisipatif ini diharapkan proses dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program semakin mendapatkan legitimasi atau kepercayaan publik. Sebagai perbandingan dengan pengaturan di dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang tatacara penyelenggaraan KLHS, disebutkan bahwa dalam pelaksanaan KLHS, pembuat kebijakan, rencana, dan/atau program wajib melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. Pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dilakukan dalam setiap tahap mekanisme KLHS. Tujuan dari pelibatan masyarakat adalah untuk memperoleh informasi, saran, pertimbangan dan/atau pendapat dalam setiap tahap mekanisme KLHS, dan cara yang ditempuh adalah melalui konsultasi publik dan/atau secara tertulis.17

Masyarakat yang terkena dampak

17 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KLHS versi 23 Agustus 2011, dapat diunduh melalui website KLHS dengan link: http://www. klhsindonesia.org/ main/readmakalah/ rpp-klhs-23-agustusdan-penjelasannya

Contoh Lembaga 1. Perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya. 2. Asosiasi profesi 3. Forum-forum pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup (DAS, air) 4. LSM 5. Perorangan/tokoh/kelompok yang mempunyai data dan informasi berkaitan dengan SDA 6. Pemerhati lingkungan hidup 1. Lembaga adat 2. Asosiasi Pengusaha 3. Tokoh masyarakat 4. Organisasi masyarakat 5. Kelompok masyarakt tertentu (nelayan, petani, dll)

Sedang bentuk-bentuk dari partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan di dalam pelaksanaan KLHS baik dalam penyusunan maupun evaluasi kebijakan, rencana dan program antara lain dengan cara/teknik sebagai berikut:


30Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Masyarakat Teknik Pemanfaatan dokumen-dokumen yang ada Pameran Poster Layanan informasi melalui Hotline Diskusi melalui Internet Survey kuesioner, wawancara serta observasi fisik dan sosial Konsultasi publik Lokakarya Pembentukan komite ahli atau wakil-wakil komunitas

31

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Menyampaikan Informasi

Menjaring Masukan

 

 

Tabel 5. Posisi tangga partisipasi dari norma partisipasi KLHS Merumuskan Kesepakatan Bersama

 

 

Bila diletakkan ke dalam matrik indikator pemenuhan dari tangga partisipasi Arnstein (Tabel.3) maka posisi dari norma partisipasinya adalah sebagai berikut:

Tangga ketiga:

Indikator Norma Peraturan di bidang KLHS Sudah ada informasi • Pemanfaatan kepada rakyat dokumen-dokumen mengenai hak, cetak tanggung jawab • Pameran dan pilihan-pilihan, • Poster namun sifatnya masih informasi • Layanan informasi searah dari “Pejabat” online kepada “Rakyat” dan tidak disediakan • Diskusi melalui internet umpan balik dan negosiasi. (berdasarkan Permen LH Informasi biasanya No. 9 Tahun 2011) diberikan pada tahap akhir perencanaan sehingga rakyat hanya memiliki waktu yang sempit untuk memengaruhi perencanaan sesuai dengan kepentingan mereka (rakyat) Bentuk media informasinya antara lain berita, pamphlet, poster, rapat-rapat.

Indikator Arnstein •

 

Dijelaskan lebih lanjut dalam Permen LH No. 9 Tahun 2011 bahwa KLHS bukanlah proses teknokratik/ ilmiah semata, melainkan juga proses partisipatif. Dengan demikian, proses KLHS juga akan sarat dengan proses negosiasi, dimana komunikasi, dan bahkan konflik sering terjadi dalam proses KLHS. Dalam konteks ini, menjadi penting bagi siapapun yang akan terlibat untuk mempunyai kemampuan mengembangkan dialog, diskusi, konsultasi publik, dan bahkan konflik resolusi dalam proses KLHS. Pada prakteknya, pengembangan teknik dialog/ komunikasi harus dirancang prosesnya dengan sangat cermat. Mekanisme dialog dan pengambilan keputusan menjadi sangat penting jika prosesnya menyangkut perwakilan institusi.

Anak Tangga

PEMBERIAN INFORMASI


32Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak •

Tangga keempat: KONSULTASI

Tangga kelima: PENENTRAMAN

33

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Meminta pendapat rakyat namun tidak menawarkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan diperhitungkan. • Metode meminta pendapat biasanya melalui survey sikap warga, pertemuan warga dan dengar pendapat publik. • Kualitas partisipasi diukur dari berapa banyak rakyat yang datang ke pertemuan, brosur yang dibawa pulang dan pertanyaan yang dijawab. • Menempatkan beberapa wakil dari rakyat (warga/ kelompok) miskin pada badan-badan publik seperti dewan pendidikan, komisi kepolisian, dll. • Tidak ada jaminan wakil-wakil rakyat miskin yang ditempatkan akuntabel terhadap konstituen. • Komposisi wakil dari para elit biasanya memegang mayoritas kursi dari badan-badan tersebut.

Survey kuesioner, wawancara serta observasi fisik dan social

Konsultasi publik

• Lokakarya (berdasarkan Permen LH No. 9 Tahun 2011)

Dengan penilaian menggunakan indikator partisipasi publik dari Arnstein, maka norma partisipasi sebagaimana diatur oleh peraturan terkait KLHS menempati level anak tangga “Pemberian Informasi” (tangga ketiga dari Arnstein) untuk ranking terendah, dan level anak tangga “Penentraman” (tangga kelima dari Arnstein) untuk ranking tertinginya. Dengan penilaian seperti tersebut di atas maka dapat saja pelaksanaan dari KLHS mencapai tingkat proses partisipasi masyarakat yang tinggi sampai pada level kelima dari anak tangga Arnstein, tetapi juga dapat menempati level terendah yaitu anak tangga ketiga. Tentu saja hal ini tergantung dari proses yang ditempuh oleh para pelaksana KLHS di lapangan.

b.  Norma Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang •

Pembentukan komite ahli atau wakil-wakil komunitas

(berdasarkan Permen LH No. 9 Tahun 2011)

Undang-undang pertama mengenai penataan ruang adalah Undang-Undang No. 24/1992. Sebelumnya pengaturan mengenai tata ruang menggunakan peraturan era kolonial yaitu Ordonansi Pembentukan Kota (Stadsvormingsordonnantie Staatsblad) No.168 Tahun 1948 dan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal No.13 Tahun 1948. Setelah dua dekade lebih berlaku, UU No. 24/1992 diubah dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR). Penataan ruang menurut Pasal 3 UU PR dilakukan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan


34Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

35

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang

hak dan kewajiban masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 angka 11).

UU PR menyebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang didasarkan pada asas-asas beberapa diantaranya adalah asas Keterbukaan, asas Kebersamaan dan Kemitraan, dan asas Perlindungan Kepentingan Umum (Pasal 2).

Peran masyarakat dalam penataan ruang terdapat pada tiga tahap yaitu 1) Perencanaan, 2) Pemanfaatan dan 3) Pengendalian pemanfaatan ruang. Pada masing-masing tahap ditentukan bentuk dari peran masyarakat yaitu:

Asas “keterbukaan”: Penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. Asas “kebersamaan dan kemitraan”: Penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Asas “perlindungan kepentingan umum”: Penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Berdasarkan asas-asas tersebut, diatur bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan tata ruang. UU PR menegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat dengan cara antara lain: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Kemudian, terbitlah PP No. 68 Tahun 2010 yang mengatur secara khusus mengenai bentuk dan tata cara partisipasi dalam penataan ruang. Pasal 5 PP No. 68 Tahun 2010 menyatakan bahwa peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 5). Peran masyarakat dilakukan dalam bentuk kegiatan/aktivitas dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 angka 10). Sedangkan tata cara pelaksanaan peran masyarakat adalah sistem, mekanisme, dan/atau prosedur pelaksanaan

• Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa: 1. masukan mengenai: • persiapan ruang;

penyusunan

rencana

tata

• penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; •

pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;

• perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau •

penetapan rencana tata ruang.

2. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang. • Bentuk peran masyarakat pemanfaatan ruang dapat berupa: 1. masukan mengenai pemanfaatan ruang;

dalam kebijakan

2. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; 3. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; 4. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang


36ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 5. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan 6. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. • Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat berupa (Pasal 9): 1. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; 2. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; 3. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan 4. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Secara umum, peran masyarakat dalam penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/ atau tertulis, kepada menteri/pimpinan lembaga pemerintah non kementerian terkait dengan penataan ruang; gubernur; dan bupati/walikota (Pasal 10). Bentuk penyampaian secara langsung antara lain melalui forum pertemuan, konsultasi, komunikasi, dan/atau kerja sama. Sementara yang

37

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

disampaikan secara tertulis antara lain melalui surat kepada alamat tujuan, alamat pengaduan berupa nomor telepon, nomor tujuan pesan layanan singkat (short message service), laman (website), surat elektronik (email), dan/atau kotak pengaduan (penjelasan Pasal 10). Sementara itu media-media komunikasi yang disediakan dalam rangka pelaksanaan peran masyarakat dalam penataan ruang antara lain melalui: media cetak seperti surat kabar, tabloid, majalah, selebaran, brosur, dan pamflet; media elektronik seperti siaran radio, siaran televisi, dan website; dan media komunikasi lainnya seperti melalui sms, hotline, kotak pos, dan media lainnya di mana masyarakat dapat memberikan masukan dengan mudah. (Penjelasan Pasal 12 Ayat (1) Huruf a.) Selain bentuk dan peran dari masyarakat dalam penataan ruang, PP No. 68 Tahun 2010 juga mengatur mengenai kewajiban dari pemerintah dalam pelaksanaan peran masyarakat baik dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang. Ada empat kewajiban dari pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18, yaitu: 1. memberikan informasi dan menyediakan akses informasi; 2. melakukan sosialisasi, melalui media tatap muka antara lain dialog, seminar, lokakarya, diskusi, dan/atau pameran. Sosialisasi melalui media elektronik antara lain penyiaran di media radio dan/atau televisi dan rubrik tanya jawab melalui media internet. 3. menyelenggarakan kegiatan untuk menerima masukan dari masyarakat, antara lain melalui kegiatan konsultasi publik, lokakarya, seminar, dan/atau workshop. 4. memberikan tanggapan kepada masyarakat sebagai bentuk penjelasan kepada masyarakat atas masukan yang disampaikan kepada Pemerintah/pemerintah daerah.


38Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

39

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Dengan melihat sejumlah norma partisipasi masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana diuraikan secara ringkas di atas, maka penilaian tingkat partisipasi berdasarkan teori dari Arnstein dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 6. Posisi tangga partisipasi dari norma partisipasi penataan ruang Anak Tangga

Indikator Arnstein •

Tangga ketiga:

PEMBERIAN INFORMASI

Sudah ada informasi kepada rakyat mengenai hak, tanggung jawab • dan pilihan-pilihan, namun sifatnya masih • informasi searah dari “Pejabat” kepada “Rakyat” dan tidak disediakan umpan balik dan negosiasi. • Informasi biasanya diberikan pada tahap akhir perencanaan sehingga rakyat hanya memiliki waktu yang sempit untuk memengaruhi perencanaan sesuai dengan kepentingan mereka (rakyat) Bentuk media informasinya antara lain berita, pamphlet, poster, rapat-rapat.

Indikator Norma Peraturan di bidang Penataan Ruang

Pemberian informasi melalui: media cetak seperti surat kabar, tabloid, majalah, selebaran, brosur, dan pamflet media elektronik seperti siaran radio, siaran televisi, dan website media komunikasi lainnya seperti melalui sms, hotline, kotak pos, dan media lainnya di mana masyarakat dapat memberikan masukan dengan mudah

(Penjelasan Pasal 12 Ayat (1) huruf a. PP No. 68 Tahun 2010):

Meminta pendapat rakyat namun tidak menawarkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan diperhitungkan.

melakukan sosialisasi, melalui media tatap muka antara lain dialog, seminar, lokakarya, diskusi, dan/atau pameran. Sosialisasi melalui media elektronik antara lain penyiaran di media radio dan/atau televisi dan rubrik tanya jawab melalui media internet

Metode meminta pendapat • menyelenggarakan biasanya melalui survey kegiatan untuk Tangga sikap warga, pertemuan menerima masukan keempat: warga dan dengar dari masyarakat, antara perdapat publik. KONSULTASI lain melalui kegiatan Kualitas partisipasi diukur konsultasi publik, dari berapa banyak rakyat lokakarya, seminar, dan/ yang datang ke pertemuan, atau workshop brosur yang dibawa pulang • memberikan tanggapan dan pertanyaan yang kepada masyarakat dijawab. sebagai penjelasan kepada masyarakat atas masukan yang disampaikan kepada Pemerintah/pemerintah daerah (Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 PP No. 68 Tahun 2010)

Dengan penilaian di atas maka maka norma partisipasi sebagaimana diatur oleh peraturan terkait penataan ruang menempati tingkatan anak tangga “Pemberian Informasi” (tangga ketiga dari Arnstein) untuk ranking terendah, dan level anak tangga “Konsultasi” (tangga keempat dari Arnstein) untuk ranking tertinginya.


40ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

c.  Norma Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) menyebutkan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencanarencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Tujuan dari SPPN adalah untuk: 1. mendukung pembangunan;

koordinasi

antarpelaku

2. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar Daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; 3. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; 4. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan 5. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Rujukan perencanaan pembangunan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Di tingkat daerah, sebagai pelaksanaan dari rencana pembangunan nasional, disusun juga rencana pembangunan daerah yang berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Penyusunan rencana pembangunan daerah didasarkan pada PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

41

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Penyusunan RPJP-RPJM-RKP diikuti oleh unsur-unsur penyelenggaran negara dengan mengikutsertakan masyarakat. (Pasal 1 angka 3, Pasal 11 dan Pasal 16 UU SPPN). Khusus untuk pelaksanaan RPJP-RPJMRKP di daerah, norma partisipasi diperinci oleh Pasal 3 PP No. 8 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa: Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan. Lebih lanjut sebagai penjabaran dari PP No.8 Tahun 2008, Mendagri menerbitkan Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Dalam Permendagri No. 54 Tahun 2010 ditegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara: a. transparan; b. responsif; c. efisien; d. efektif; e. akuntabel; f. partisipatif; g. terukur; h. berkeadilan; dan i. berwawasan lingkungan. (Pasal 4) Partisipatif adalah hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses tahapan perencanaan pembangunan daerah dan bersifat inklusif terhadap kelompok masyarakat rentan termarginalkan, melalui jalur khusus komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan. (Pasal 5 ayat (6)). Sementara itu, pendekatan yang dilakukan dalam Perencanaan pembangunan daerah menggunakan pendekatan: a. teknokratis; b. partisipatif; c. politis; dan d. top-down dan bottom-up (Pasal 6). Dijelaskan lebih lanjut bahwa Pendekatan partisipatif tersebut diatas, dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dengan mempertimbangkan: 1. relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, di setiap


42Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

43

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

tahapan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah;

masyarakat juga didapat melakukan pelaporan bila ada program dan kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Pasal 52).

2. kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan dan non pemerintahan dalam pengambilan keputusan;

Dengan melihat sejumlah norma partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan khususnya di daerah sebagaimana diuraikan secara ringkas di atas, maka penilaian tingkat partisipasi berdasarkan teori dari Arnstein dapat dijelaskan sebagai berikut:

3. adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan serta melibatkan media massa; 4. keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat rentan termarjinalkan dan pengarusutamaan gender; 5. terciptanya rasa memiliki terhadap dokumen perencanaan pembangunan daerah; dan 6. terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan, seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, kebijakan dan prioritas program. Pada setiap tahap penyusunan RPJPD-RPJMD-RKPD dibentuk musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) sebagai forum antarpemangku kepentingan dalam rangka menyusun rencana pembangunan daerah. Melalui musrenbang, rencana pembangunan disusun oleh pemerintah daerah (dengan koordinasi Bappeda) diajukan untuk dibahas oleh peserta musrenbang (unsur penyelenggaran negara dan masyarakat). Hasil kesepakatan musrenbang (berita acara kesepakatan) menjadi bahan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan rencana pembangunan. Rencana yang telah ditetapkan kemudian diterbitkan dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota. Peraturan Bupati/ Walikota harus disebarluaskan kepada masyarakat secara terbuka. PP No. 8 Tahun 2008 menyatakan bahwa pada setiap tahap Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) di daerah, masyarakat diikutsertakan. Forum yang digunakan untuk memfasilitasi keikutsertaan masyarakat adalah konsultasi publik (Pasal 38). Selain terlibat dalam penyusunan,

Tabel 7. Posisi tangga partisipasi dari norma partisipasi perencanaan pembangunan Anak Tangga

Indikator Arnstein •

Sudah ada informasi kepada rakyat mengenai hak, • Rencana tanggung jawab pembangunan daerah dan pilihan-pilihan, yang dijadikan bahan namun sifatnya masih dalam musrenbang informasi searah dari (Pasal 62 Permendagri “Pejabat” kepada No. 54 Tahun 2010) “Rakyat” dan tidak disediakan umpan balik dan negosiasi.

Informasi biasanya diberikan pada tahap akhir perencanaan sehingga rakyat hanya memiliki waktu yang sempit untuk memengaruhi perencanaan sesuai dengan kepentingan mereka (rakyat)

Tangga ketiga: PEMBERIAN INFORMASI

Indikator Norma Peraturan di bidang Perencanaan Pembangunan Pemberian informasi melalui:


44Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Anak Tangga

Wilayah Pertambangan

Indikator Norma Peraturan di bidang Perencanaan Pembangunan

Indikator Arnstein •

• Tangga keempat: KONSULTASI •

Bentuk media informasinya antara lain berita, pamphlet, poster, rapat-rapat. Meminta pendapat rakyat namun tidak menawarkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan diperhitungkan. Metode meminta pendapat biasanya melalui survey sikap warga, pertemuan warga dan dengar perdapat publik.

45

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Menyelenggarakan forum konsultasi dan musrenbang (Pasal 38 PP 8/2008 dan Pengaturan Musrenbang dalam Permendagri No. 54 Tahun 2010)

Kualitas partisipasi diukur dari berapa banyak rakyat yang datang ke pertemuan, brosur yang dibawa pulang dan pertanyaan yang dijawab.

Norma partisipasi sebagaimana diatur oleh peraturan terkait perencanaan pembangunan menempati level anak tangga “Pemberian Informasi” (tangga ketiga dari Arnstein) untuk ranking terendah, dan level anak tangga “Penentraman” (tangga kelima dari Arnstein) untuk rangking tertinginya.

d.  Norma Partisipasi Masyarakat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan UU Minerba menggunakan asas partisipatif dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, seperti yang diatur dalam Pasal 2 yaitu:

UU Minerba tidak banyak mengadopsi norma mengenai partisipasi masyarakat. UU Minerba lebih memilih norma pemberdayaan daripada partisipasi. Oleh karenanya, pengaturan dalam batang tubuh dari UU Minerba lebih banyak mengatur mengenai pemberdayaan masyarakat. Pada mekanisme pemberdayaan, hal yang dibahas tidak menyentuh persoalan apakah masyarakat setuju atau tidak setuju atas suatu proyek pembangunan. Sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. / PUU-VIII/2010, norma partisipasi dalam UU Minerba, terdapat dalam Pasal 9 dan Pasal 10 mengenai penetapan wilayah pertambangan. Pasal 9 (1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. (2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 10 Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: (1) secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; (2) secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan


46Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

47

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

(3) dengan memperhatikan aspirasi daerah.

3. Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian.

Setelah ada Putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010, Pasal 10 huruf b harus dimaknai sebagai berikut: Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “… memperhatikan pendapat… masyarakat…” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan secara bersyarat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak Kembali pada norma partisipasi sebelum putusan MK, posisi masyarakat benar-benar hanya ditempatkan pada posisi pasif, yaitu diperhatikan. Selain itu, tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai partisipasi dalam PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. Ketiadaan pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan dalam PP No. 22 Tahun 2010 menjadi bukti bahwa masyarakat hanya sebatas untuk diperhatikan, dan tidak memiliki posisi untuk mempengaruhi kebijakan mengenai wilayah pertambangan, meski mereka berpotensi sebagai pihak yang terdampak. Hal ini terlihat dari Pasal 15 dari peraturan tersebut yang berbunyi: 1. Rencana WP sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 14 ayat (3) ditetapkan oleh Menteri menjadi WP setelah berkoordinasi dengan gubernur, bupati/ walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2. WP dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Dengan menggunakan teori Arnstein, penilaian tingkat tangga partisipasi masyarakat dari pengaturan pertambangan mineral dan batu bara adalah sebagai berikut: Tabel 8. Posisi tangga partisipasi dari norma partisipasi pertambangan Anak Tangga

Indikator Arnstein Tangga Rakyat kesatu: ditempatkan MANIPULASI sebagai alat stempel untuk merekayasa dukungan terhadap pemegang kekuasaan

Indikator Norma Peraturan di bidang Pertambangan • WP ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Pasal 9 ayat (2) UU Minerba) •

Penetapan WP dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; (Pasal 10 huruf b UU No. 4 Tahun 2009)

Dengan penilaian menggunakan indikator partisipasi publik dari Arnstein, maka norma partisipasi, yang diatur oleh peraturan terkait pertambangan mineral dan batu bara, menempati tangga pertama yaitu tangga “manipulasi”. Tangga ini merupakan posisi terendah dari anak tangga partisipasi dari Arstein


48ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

2.5 Kecenderungan Pengaturan Norma Partisipasi Masyarakat

3

Partisipasi masyarakat telah dipersyaratkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 12 Tahun 2011. Meski demikian, partisipasi masyarakat tidak hanya dibatasi pada tahap-tahap pembentukan peraturan (procedural mechanism) tetapi juga pada kemampuan masyarakat turut menentukan isi peraturan (substantive mechanism). Norma partisipasi dalam peraturan perundangundangan mengenai KLHS, Penataan Ruang, dan Perencanaan Pembangunan menunjukkan kecenderungan partisipasi manyarakat dalam bentuk pemberian informasi dan konsultasi. Namun demikian norma partisipasi yang diatur dalam UU Pertambangan Minerba khususnya dalam hal penetapan wilayah pertambangan, levelnya berada pada posisi tangga yang paling rendah yaitu berbentuk manipulasi. Ini menunjukkan bahwa norma partisipasi dalam proses penetapan wilayah pertambangan adalah yang paling buruk. Bagaimana pelaksanaan norma partisipasi masyarakat akan diuraikan pada bab 3.

PRAKTIK PARTISIPASI MASYARAKAT DI SEKTOR PERTAMBANGAN DI KABUPATEN MANGGARAI BARAT, KOLAKA DAN TAPANULI SELATAN

3.1 Pengantar Pertambangan telah menjadi sumber pendapat ekonomi dan lapangan pekerjaan. Dengan semangat tersebut, pemerintah menempatkan kegiatan penambangan sebagai salah satu prioritas dalam program pembangunannya. Hal ini tidak mengherankan bila kemudian di daerah (provinsi/kabupaten), banyak kawasan/wilayah yang dijadikan wilayah pertambangan.Â

Tabel 9. Perbandingan posisi tangga partisipasi setiap bidang Bidang Penataan Perencanaan Anak KLHS Ruang Pembangunan Tangga Kontrol warga Pendelegasian kekuasaan Kemitraan Penentraman Konsultasi Pemberian Informasi Terapi Manipulasi

WP & Izin Pertambangan

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, rakyat tidak kuasa untuk menolak hadirnya investasi pertambangan di ruang hidupnya. Hal ini juga disebabkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang tidak memberikan ruang bagi rakyat untuk menolak usaha pertambangan. Kepentingan rakyat akan ruang hidup dan lingkungan hidup yang sehat dikalahkan oleh kepentingan investasi sektor pertambangan dan menerima risiko hukum dan tindak kekerasan dari penguasa bila tetap teguh menolak investasi pertambangan. Paska reformasi, dengan ruang demokrasi lebih terbuka, rakyat yang terdampak tambang belum mendapatkan


50Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

51

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

kepastian bahwa mereka bisa menentukan jenis pengelolaan sumber daya alam di ruang hidup mereka. Lembaga perwakilan, seperti DPRD, DPR, DPD yang diharapkan makin mewakili kepentingan rakyat masih jauh dari harapan. Sebagian besar anggota perwakilan rakyat tersebut justeru banyak yang mendukung pertambangan kendati warga yang memilihnya menolak pertambangan.

wilayah pertambangan. Dalam penetapan wilayah pertambangan, pemerintah wajib melibatkan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf b. Hal ini juga yang telah ditegaskan dalam Putusan MK Perkara No.32/PUU-VIII/2010 mengenai Permohonan Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara (lihat bab 2).

Bagi perusahaan tambang sendiri, tanah adalah sebuah keharusan. Tanah dibutuhkan sebagai area penambangan, akses transportasi, pengolahan hasil tambang dan pelabuhan untuk pengapalan hasil-hasil tambang. Akibatnya konflik terjadi antara perusahaan tambang dan warga yang wilayahnya berpotensi atau telah ditambang. Konflik ini terus bertambah dalam 2 tahun terakhir.18 Tabel 10. Konflik Pertambangan 2011-2012 Tahun

2011

2012

Jumlah Konflik

89 konflik

114 konflik

Isu yang disengketakan •

Konflik tanah

• Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan hidup •

Ganti rugi atas tanah

• •

Penolakan izin pertambangan Konflik tanah

• Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan hidup •

Ganti rugi atas tanah

Penolakan izin pertambangan

Konflik yang kerap mengorbankan jiwa, materi seharusnya bisa dihindari bila rakyat yang ruang hidupnya hendak diubah menjadi wilayah pertambangan dilibatkan untuk menentukan penggunaan sumber daya alam di ruang hidup mereka. Pemberian Izin Usaha Pertambangan wajib berada pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan. Dengan kata lain, pemberian izin usaha pertambangan harus didahului dengan penetapan

18 Data diolah oleh WALHI dari berbagai sumber informasi.

Selain pengaturan mengenai kewajiban partisipasi masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan proses penetapan wilayah pertambangan, yaitu pelaksanaan KLHS, penetapan tata ruang dan perencanaan pembangunan. Ketiga hal tersebut seluruhnya menjadi dasar bagi penetapan wilayah pertambangan. Sama dengan proses dalam penetapan wilayah pertambangan, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penetapan tata ruang dan perencanaan pembangunan, wajib dilakukan. Uraian mengenai aturan mengenai partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, Penataan Ruang dan perencanaan pembangunan telah dibahas pada bab 2. Bagian ketiga ini menjelaskan pelaksanaan sejumlah aturan yang mengatur partisipasi masyarakat baik dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan dengan melihat praktek-praktek yang terjadi di lapangan. Kasus yang akan dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah Pertambangan di Kawasan Batu Gosok – Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat NTT, Desa Hakatotubu dan Desa Tambea di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara) dan kawasan Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.


52Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

53

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

mancanegara dan 28.386 domestik.20 Manggarai Barat memang menjadi Kabupaten dengan kunjungan wisatawan terbanyak dari seluruh Kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk mendukung pengembangan potensi wisata di Manggarai Barat, maka pada tahun 2013 diadakan perhelatan internasional Sail Komodo yang pusatnya berada di Labuan Bajo.

3.2 Partisipasi Masyarakat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan di Tiga Lokasi a.  Kasus Batu Gosok – Labuan Bajo Kota Labuan Bajo merupakan gerbang menuju Pulau Komodo. Kota ini adalah ibukota dari Kabupaten Manggarai Barat yang terbentuk tahun 2003 setelah dimekarkan dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Manggarai. Masyarakat Manggarai Barat menaruh harapan yang begitu tinggi ketika mendukung pemekaran tersebut dengan maksud agar pengembangan Kabupaten Manggarai Barat dengan potensi wisatanya yang luar biasa dapat membantu kesejahteraan masyarakatnya. Pariwisata telah disebutkan sebagai sektor utama dalam RPJMD Kabupaten Manggarai Barat 2010-2015. Kawasan Labuan Bajo, Pulau Rinca, Pulau Komodo merupakan daerah tujuan wisata di daerah ini.

Masuknya Tambang ke Dalam Rencana Pembangunan Daerah Manggarai Barat Keunggulan potensi wisata ini, kenyataannya tidak selalu menjadi pertimbangan pembangunan ekonomi di wilayah Manggarai Barat. Sepanjang tahun 2006-2010, Bupati Manggarai Barat menjadikan pertambangan sebagai salah satu sektor potensial untuk pendapatan daerah. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya 10 izin Usaha Pertambangan. Padahal sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kegiatan pertambangan banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sekitarnya.

Kecamatan Komodo merupakan wilayah terluas dibanding kecamatan-kecamatan lain di Manggarai Barat. Kecamatan Komodo merupakan sentral bagi sebagian besar kegiatan perekonomian di kabupaten ini karena memiliki prospek yang bagus untuk menjadi daerah pariwisata internasional dengan potensi keindahan dan keunikan Pulau Komodo. Hal ini menyebabkan Kecamatan Komodo menjadi sasaran utama urbanisasi penduduk dari daerah lain.19 Sensus Penduduk Mangarai Barat tahun 2010 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk di Manggarai Barat sebesar 4,94 persen per tahun. Ikon wisata internasional yang berada di Kabupaten Manggarai Barat adalah Taman Nasional Komodo. Keberadaan objek wisata Taman Nasional Komodo mampu menarik jumlah rata-rata wisatawan dari tahun 2004–2007 sebanyak 29.330 orang setiap tahunnya, terdiri dari 17.022 wisatawan mancanegara dan 12.308 wisatawan nusantara (Disparbud Manggarai Barat 2007). Sedangkan, pada tahun 2011, jumlah wisatawan yang datang ke Manggarai Barat sebanyak 26.635 wisatawan

Ironisnya, bila kita melihat hasil Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Manggarai Barat tahun 2007 dan 2008 tampak bahwa sektor pertambangan bukan menjadi sumber utama pendaparan daerah. PDRB justru didominasi oleh pertanian, yakni sebesar Rp. 391,7 milyar (57,61 %) dan Rp. 445,8 milyar (58,16%). Sementara itu, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tercatat sebesar Rp.79,6 milyar (11,72%) dan 88,6 milyar (11,31%). Adapun sektor Pertambangan hanya menyumbang sebesar Rp 52,1 milyar (1,99%) dan Rp. 58,4 milyar (1,85%).21

19 Sensus Penduduk Manggarai Barat 2010 diunduh pada tanggal 4 Juni 2013 melalui http:// sp2010.bps.go.id/ files/ebook/5315.pdf

20 http://nttprov. go.id/2012/ index.php/en/ sektorunggulan/ pariwisata 21 Manggarai Barat Dalam Angka, tahun 2009

Kawasan Batu Gosok, sebagai salah satu daerah yang berada di Kecamatan Komodo – Kabupaten Manggarai Barat, merupakan kawasan yang terkena kebijakan pembangunan untuk sektor pertambangan. Kawasan Batu Gosok yang memiliki eksotika alam khas Indonesia timur yang memadukan kontur alam berbukit yang berbatasan langsung dengan keindahan laut, menghadapi dampak negatif akibat dikeluarkannya izin usaha pertambangan oleh Pemda Manggarai Barat.


54Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

55

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

kami tersebut tidak bisa kami manfaatkan dalam usaha pariwisata dalam kurun waktu yang sangat panjang. Ini akan menimbulkan kerugian yang berlarut-larut dan lama...” Pada akhirnya, warga memohon, “agar kawasan Desa Labuan Bajo dijadikan pariwisata yang dilindungi; sedangkan aktivitas penambangan emas oleh PT.Aneka Tambang tidak dilakukan di kawasan Desa Labuan Bajo.”

Untuk sampai pada keluarnya izin usaha pertambangan terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang harus ditaati mulai dari pelaksanaan KLHS terhadap Kebijakan, Rencana dan Program, penetapan rencana tata ruang tingkat kabupaten, rencana pembangunan jangka menengah tingkat kabupaten, dan khusus di sektor pertambangan adalah kewajiban untuk menetapkan wilayah pertambangan. Setelah itu barulah pelaksanaan program-program pembangunan termasuk pemberian izin usaha pertambangan dapat dilakukan.

Selain alasan pentingnya perlindungan alam untuk kegiatan pariwisata, kawasan Batu Gosok diakui sebagai hak milik masyarakat adat Nggorang. Dalam sebuah surat Pernyataan Bersama, para pemilik tanah menolak kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tambang emas di wilayah Batu Gosok Sitangga dan sekitarnya. Surat ini dibuat sebagai tanggapan atas terbitnya izin tambang oleh Bupati Manggarai Barat untuk PT. Aneka Tambang. Sebanyak 85 orang pemilik tanah di wilayah Batu Gosok menolak lokasi tanah mereka dijadikan sebagai kegiatan lokasi tambang. Surat yang didukung fungsionaris Adat Nggorang tersebut menyatakan tanah telah dimiliki oleh 200 orang pemilik warga adat.23 Akibat penolakan warga tersebut, pada kenyataannya penambangan PT. Aneka Tambang tidak terjadi kemudian.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dibahas pada bagian dua dari tulisan ini, pada setiap tahap pembuatan kebijakan, rencana pembangunan dan pelaksanaan program pembangunan, wajib melibatkan masyarakat baik yang akan terkena dampak langsung maupun yang tidak. Di kawasan Batu Gosok, partisipasi seperti ini tidak muncul. Masyarakat Batu Gosok - Labuan Bajo yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perlindungan lingkungan hidup, pariwisata berkelanjutan dan kepemilikan hak atas tanah pernah menolak rencana ekploitasi tambang emas tahun 1996. Sebanyak 121 warga masyarakat yang mewakili masyarakat Bato Gosok-Labuan Bajo, menyatakan pendirian mereka untuk menolak tambang dengan mengirimkan surat kepada Bupati Manggarai tertanggal 17 Juli 1996. Protes 121 warga masyarakat ini dilatari oleh keluarnya pengumuman dari Camat Komodo tentang rencana penambangan emas oleh PT. Aneka Tambang di Batu Gosok. Tanpa ada sosialisasi dan dialog dengan masyarakat, PT. Aneka Tambang memasang patok-patok diatas tanah masyarakat.22 Berikut adalah penggalan dari surat protes warga yang dikirimkan kepada Bupati Manggarai: “... pengembangan Kepariwisataan Nasional telah diprogramkan pemerintah akan menjadi sektor nomor satu dalam penerimaan negara pada tahun 2000 mendatang; pengembangan pariwisata juga membuka lapangan kerja serta meningkatkan penerimaan dan taraf hidup bagi masyarakat setempat.” Jika “penambangan berlangsung, tanah

23 Suratnya ada, dengan judul: Pernyataan Bersama Para Pemilik Tanah Menolak Kegiatan Eksplorasi atau Eksploitasi Tambang Emas di Wilayah Batu Gosok Sitangga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat dan sekitarnya. 24 Wawancara di Labuan Bajo, tanggal 1 April 2013. 22 Dokumen Surat Protes Warga Kepada Bupati Manggarai Barat yang tertulis pada 17 Juli 1996

25 Wawancara dengan Gabriel (Tokoh Adat), di Labuan Bajo, tanggal 29 Maret 2013.

Florianus Surion Adu, salah seorang warga yang memiliki tanah adat, di Labuan Bajo, menyatakan bahwa dirinya dan masyarakat adat pemilik tanah adat tidak pernah diajak bicara dan dilibatkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam proses keluarnya izin usaha pertambangan PT Grand Nusantara di wilayah yang sebelumnya hendak ditambang oleh PT. Aneka Tambang.24 Bagi masyarakat Batu Gosok, pengambilalihan tanah secara sepihak dan ancaman terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai/prinsip budaya Manggarai yaitu, mbaru bate kaeng, rumah sebagai tempat tinggal, uma bate duat, tanah sebagai sumber kehidupan, natas bate labar, halaman untuk bermain, wae bate tiku, air sebagai sumber penghidupan.25 Meskipun masih menyisakan masalah dan penolakan dari masyarakat Batu Gosok, pemrakarsa usaha/kegiatan PT. Grand Nusantara memulai aktivitas eksplorasi pada


56Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

57

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Mei 2009. Berbagai peralatan berat dikerahkan guna membuka akses jalan menuju titik-titik eksplorasi di Batu Gosok, serta melakukan penggalian berupa parit uji dan pemboran. Sama halnya dengan proses keluarnya izin usaha pertambangan, aktivitas eksplorasi tambang emas tersebut tanpa diawali dengan pemberitahuan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat pemilik tanah adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, pelaku pariwisata, termasuk masyarakat kota Labuan Bajo pada umumnya. Praktis, seluruh masyarakat Manggarai Barat, terutama masyarakat Batu Gosok-Labuan Bajo dan para pelaku pariwisata serta para wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo sangat terkejut dengan aktivitas eksplorasi. Akibatnya, berdasarkan catatan advokasi WALHI banyak aksi protes dan demonstrasi yang dialamatkan ke Pemda Manggarai Barat agar meninjau kembali kebijakan berkaitan dengan izin usaha pertambangan yang telah diterbitkan. Sepanjang tahun 2009 sampai dengan April 2010 masyarakat yang terkena dampak negatif bersama masyarakat pemerhati Lingkungan Hidup yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) telah melakukan enam kali aksi protes kepada Bupati, Kepolisian, dan DPRD Manggarai Barat agar meninjau kembali kebijakan tambang di Manggarai Barat. Salah satu hasil dari tekanan masyarakat tersebut, pada Juli 2009 DPRD Manggarai Barat mengeluarkan surat kepada Pemda Manggarai Barat dan Investor tambang untuk menghentikan semua aktivitas eksplorasi tambang di Manggarai Barat termasuk di Batu Gosok. Namun, Bupati Manggarai Barat (periode 2005–2010) tidak menanggapi berbagai aspirasi masyarakat tersebut di atas. Bahkan tanggal 5 Agustus 2010, beberapa minggu sebelum diganti dari jabatannya sebagai Bupati Manggarai Barat, yang bersangkutan masih menerbitkan IUP Operasi Produksi kepada PT. Indomas Prima Meneral dengan izin No. DPE.540/273/ VIII/2010, dengan jenis bahan galian adalah Mangan yang berlokasi di Metang – Kecamatan Kuwus dengan luas 192 Ha. IUP Operasi Produksi dimaksud berlaku sampai 5 Agustus 2021 (11 tahun).

26 Selain masyarakat Batu Gosok, masyarakat di Kecamatan Ndoso khususnya di Desa lamuk juga mengalami hal yang sama. Salesidis Natal, Kepala Desa Lamuk, Kecamatan Ndoso dalam wawancara tanggal 31 Maret 2013 di Labuan Bajo, menyatakan bahwa rencana masuknya pertambangan di wilayah mereka tidak pernah dibahas dan disosialisasikan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang), baik di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Bahkan, sebagai seorang kepala desa, Salesidis Natal tidak pernah mendapatkan informasi secara resmi dari lembaga pemerintah lebih tinggi. Desa mereka hanya menerima “tamu”, yakni personel dari perusahaan tambang. Personel dari perusahaan tambang tersebut memberitahukan warga bahwa dirinya mendapat surat tugas dari pemerintah Manggarai Barat untuk melakukan survey. Salesidis Natal menyatakan, “Jadi, sebagai pemerintah di desa, kami tidak menolak karena ini adalah penugasan yang dikeluarkan oleh Bupati” 27 FGD dengan warga Labuan Bajo, tanggal 31 Maret 2013. 28 Wawancara 27 Maret 2013 di Kantor Bappeda Kab. Manggarai Barat

Menurut pengakuan masyarakat Batu Gosok, pada periode 2003-2010 tidak ada mekanisme yang tersedia bagi masyarakat untuk menyatakan sikapnya menolak atau menerima kawasan mereka menjadi wilayah pertambangan. Tidak ada ruang partisipasi bagi masyarakat.26 Jika melihat gambaran situasi di atas dan hasil dari sejumlah wawancara yang dilakukan, ruang partisipasi masyarakat dalam pembangunan sektor pertambangan sangat minim. Bila merujuk proses dari hulu sampai hilir, yaitu dimulai dari pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan, penetapan WP dan berujung pada pemberian izin usaha pertambangan, maka kita bisa melihat bahwa proses partisipasi masyarakat prakteknya sangat rendah. Dalam pelaksanaan KLHS, kendati Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menyatakan telah memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tetapi masyarakat dan aparat pemerintahan serta tokoh-tokoh masyarakat di kawasan Batu Gosok menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan KLHS. Demikian halnya dalam proses pembuatan tata ruang. Warga secara keseluruhan tidak dilibatkan. Padahal merekalah nantinya yang paling merasakan dampak bila kawasan mereka dijadikan pertambangan.27 Sementara itu, dalam proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Manggarai Barat juga menunjukkan hal yang sama, yaitu minimnya proses partisipasi masyarakat. Armansyah28, staf Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), menjelaskan, dalam musyawarah perencanaan pembangunan tingkat desa, tidak dibicarakan tentang rencana pembuatan wilayah pertambangan di kawasan tersebut. Alasannya musrenbangdes hanya membicarakan usulan program dari masyarakat tanpa menyentuh persoalan/diskusi apakah warga setuju kawasan mereka dijadikan menjadi wilayah pertambangan atau tidak. Jika pembicaraan mengenai rencana masuknya usaha eksploitasi pertambangan pada tingkat desa, maka partisipasi rakyat untuk menyatakan pendapat di musrenbang tingkat lebih tinggi di kecamatan maupun kabupaten makin sulit terjadi. Karena pertemuan tersebut tidak


58Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

59

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

tidak beroperasi, makanya, eksa itu ditahan. Saya langsung telfon ke DPRD dan 2 minggu kemudian DPRD nya datang, untuk menghentikan kegiatan dari eksa itu sendiri”.

melibatkan keseluruhan warga yang potensi terdampak oleh kegiatan pertambangan. Tidak adanya pembahasan investasi pertambangan di ruang hidup mereka pada pertemuan musyawarah perencanaan pembangunan tingkat desa (musrenbangdes) dikonfirmasi juga oleh penyataan warga Merkiur Jenarum, dari Kampung Metang, Kecamatan Ndoso, yang menyampaikan:29

Juga ketika ditanyakan tentang apakah dirinya puas atas respon pemda dalam penanganan keberatan warga atas pertambangan, Merkiur menyatakan:

“Pertambangan di sana itu, investor atau pemerintah tidak pernah memberikan informasi berkaitan dengan pertambangan. Mereka juga tidak pernah menginformasikan hak-hak untuk warganya. Yang terjadi adalah investor dan pemerintah datang menyampaikan bahwa di sini nanti ada tambang, mereka hanya datang. Nanti keuntungan-keuntungan itu mereka bilang: ngasih listrik, jalan, gereja. Itu janji-janji investor dan itu di-iya-kan pemerintah yang mendampinginya. Dampak yang merugikan masyarakat itu mereka tidak pernah kasih tau. Yang diberitahu itu hal-hal yang menurut mereka baik semua, sehingga masyarakat dengan keluguannya, ya menerima saja. Nanti mereka diantar kelokasi karena itu tadi, dengan janji-janji yang muluk. Yang kemungkinan janji mereka itu tidak bisa dipenuhi. Kalau nanti tambang jadi di kampung itu maka jalan, rumah adat,listrik yang dibangun itu bukan untuk warga, karena masyarakat nanti dipindahkan. Lokasi di sana tidak memungkinkan untuk dijadikanlokasi tambang, karena punya kemiringan bisa mencapai 50 derajat, sehingga kalau tambangnya jadi, masyarakatnya harus dipindahkan atau direlokasi.”

30 Yang dimasudkan adalah Surat Bupati Manggarai Barat No: SDA.500/214/X/2010, Kepada Para Pemegang Izin KP/ IUP agar perusahaan menghentikan semua aktivitas eksplorasi tambang di wilayah Kabupaten Manggara Barat, tertanggal 2 Oktober 2010 31 Wawancara 26 Maret 2013 di Labuan Bajo

Ketika tim peneliti menanyakan apakah pernah mengungkapkan pendapat tentang pertambangan kepada pemerintah, Merkiur Jenarum menyatakan: “Kalau ke Pemda saya sudah pernah sampaikan, ketemu langsung dengan wakil bupati untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat. Dan saya ada dokumennya, data masyarakat yang menolak tambang kita serahkan ke Bupati. Saya berikan lewat wakil bupatinya. Dengan pemerintah desa juga saya sering bentrok, bahkan eksa (eskavator) yang dibawa kepala desa, saya sendirian tahan, saya tahan untuk

29 Wawancara 26 Maret 2013

32 Tentang surat No. DPE.540/337/ VIII/2012 tertanggal 13 Agustus 2012, perihal Pemberitahuan Tentang Sosialisasi KP/IUP Eksplorasi atas nama PT. Aneka Tambang, informasinya didapatkan dari surat warga berjudul Penolakan Beroperasinya Pertambangan Emas. Kesulitan mendapatkan surat Pemberitahuan sosialisasi tersebut

“Kalau untuk sementara, kami sangat puas karena sudah dikeluarkan oleh Bupati itu surat penghentian sementara30, dan sampai saat ini, kegiatan pertambangan di sana tidak berjalan. Tapi harapan kami ini bukan sekedar surat peringatan. Tapi bisa ditingkatkan menjadi Perda untuk menghentikan pertambangan, sehingga hukumnya lebih kuat, sehingga betul-betul di lokasi pertambangan khususnya di Manggarai Barat memang harus bebas tambang, karena potensi kita ini bukan tambang, tapi potensi perikanan, pariwisata. Mungkin itu saja yang harus ditingkatkan pemerintah untuk PAD-nya.” Semantara itu seorang tokoh agama, Maksi Larung, sebagai Pastur Paroki Waning, juga menyampaikan: “semestinya, paroki atau lembaga adat bisa dipakai pemerintah untuk memfasilitasi sosialisasi tentang rencana penetapan wilayah pertambangan. Tetapi kenyataannya, izin-izin operasi tambang itu justru boleh dikatakan sedikit mengagetkan, karena tibatiba izin itu sudah keluar tanpa difasilitasi oleh tokoh masyarakat adat atau tokoh umat. Ini hanya menjadi semacam indoktrinasi dari pihak pemerintah, dari tingkat kabupaten sampai tingkat desa.”31 Ada harapan dari Masyarakat Manggarai Barat khususnya terhadap adanya perubahan kebijakan pemerintah daerah periode 2010-2015 terkait sektor pertambangan. Masyarakat berharap agar Bupati Agustinus Ch Dulla (Periode 2010 – 2015) memberikan perubahan tersebut. Namun harapan masyarakat ini belum sepenuhnya terwujud, karena Bupati Agustinus Ch Dulla justru mengeluarkan surat No. DPE.540/337/ VIII/2012 tertanggal 13 Agustus 2012, perihal Pemberitahuan Tentang Sosialisasi KP/IUP Eksplorasi atas nama PT. Aneka Tambang.32 Dengan terbitnya surat


60Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

61

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

tersebut, masyarakat menyatakan protes atas dibukanya kembali kegiatan sosialisasi oleh pertambangan ini yang dituangkan dalam surat Penolakan Beroperasinya Pertambangan Emas yang ditandatangani empat orang Tu’a (tetua), serta tokoh masyarakat dan rohaniawan, dan didukung oleh 183 buah tanda tangan warga. Pada intinya masyarakat menyatakan bahwa dengan terbitnya Surat Bupati Manggarai Barat c.q. Dinas Pertambangan dan Energi No. DPE. 540/337/VIII/2012 tanggal 13 Agustus 2012 tentang Pemberitahuan Sosialisasi Pertambangan di Waning, menunjukkan bahwa Bupati tidak konsisten dalam kebijakannya mengenai keberadaan pertambangan di Manggarai Barat. Di satu sisi Bupati telah memperingatkan semua pemegang IUP untuk tidak melakukan aktivitas apapun pada seluruh lahan konsesi tambang di seluruh wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Surat tersebut adalah No: SDA.500/214/X/2010 yang ditujukan kepada semua pemegang KP/IUP di Manggarai Barat. Latar belakang keluarnya surat ini adalah protes luas masyarakat Manggarai Barat atas bupati sebelumnya yang mengeluarkan 10 izin pertambangan. Surat yang dikeluarkan Bupati Agustinus Ch. Dula ini menyebutkan, “...Mempertimbangkan berbagai pertimbangan di atas maka kami memperingatkan kepada para Pemegang Izin KP/IUP Eksplorasi untuk menghentikan semua aktivitas eksplorasi tambang di wilayah Kabupaten Manggarai Barat, selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak peringatan ini (garis tebal sesuai dengan surat aslinya).” Tetapi di sisi lain, melalui surat No. DPE. 540/337/VIII/2012 Bupati justru memerintahkan bawahannya (Kepala Dinas Teknis, camat dan kepala desa) untuk memediasi kegiatan sosialisasi/pendekatan ulang antara PT.Aneka Tambang (Persero) Tbk dengan masyarakat. Apalagi IUP yang hendak disosialisasikan ulang itu adalah IUP yang sudah kadaluwarsa dan tidak eksis lagi.” Tindakan Bupati Manggarai Barat tersebut tidak konsisten dengan visi misinya ketika mencalonkan diri sebagai Bupati Manggarai Barat dan rencana program Pemerintah Manggarai Barat yang telah menentukan bahwa sektor pariwisata kembali ditekankan sebagai sektor utama pembangunan. Agustinus Ch. Dula dalam presentasi tertulisnya pada

Diskusi Publik " Persetujuan (Veto) Rakyat atas Wilayah Pertambangan”, Jakarta, Januari 2011, menyatakan: “Semenjak dilantik sebagai Bupati Manggarai Barat periode 2010–2015 pada akhir Agustus 2010, maka langkah pertama yang ditempuh adalah berdiskusi dengan semua pemangku kepentingan pembangunan daerah, sosialisasi terhadap berbagai kebijakan pertambangan di Manggarai Barat, berdiskusi dengan semua pemegang izin pertambangan yang telah diberikan, mengkaji kembali berbagai izin yang telah diterbitkan sebelumnya, serta mempelajari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah mendengar berbagai masukan, dan desakan dari berbagai pihak, terutama dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat luas, maka Pemda Manggarai Barat menempuh kebijakan untuk menghentikan sementara berbagai kegiatan pertambangan, baik KP/IUP eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Kemudian, mengingat salah satu kewenangan Pemerintah Daerah, sesuai amanat peraturan perundangan-undangan yang berlaku, adalah melakukan pembinaan, pemeliharaan dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan yang dilaksanakan di daerah.” Langkah pertama yang ditempuh Pemda Manggarai Barat adalah meminta semua dokumen AMDAL, Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan dari semua IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi yang telah diberikan sebelumnya. Maksud dari permintaan terhadap dokumen AMDAL tersebut agar dapat dilakukan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas pertambangan yang dilaksanakan. Pemerintah Daerah Manggarai Barat tidak dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua aktivitas pertambangan di daerah tanpa dokumen AMDAL.”

33 Surat Bupati Manggarai Barat, Nomor SDA.500/214/X/2010

Atas desakan berbagai komponen masyarakat inilah, akhirnya pada 2 Oktober 2010, Agustinus Ch Dula mengeluarkan surat peringatan terhadap semua perusahaan tambang di Manggarai Barat.33 Dalam surat peringatan tersebut disebutkan bahwa kegiatan eksplorasi pertambangan di Manggarai Barat


62ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

63

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

bertentangan dengan keinginan masyarakat akan kelestarian lingkungan hidup dan dapat menimbulkan konflik yang melibatkan banyak elemen masyarakat, diantaranya karena eksplorasi tambang emas di Batu Gosok yang tak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota Labuan Bajo. Surat peringatan ini disusul dengan surat Pemberitahuan penghentian sementara eksplorasi tambang emas PT. Grand Nusantara di Batu Gosok Labuan Bajo. Penghentian sementara ini dalam beberapa waktu hingga penelitian ini dilakukan dapat menyelamatkan lingkungan Batu Gosok-Labuan Bajo dari kegiatan negatif kegiatan penambangan, seperti erosi, debu dan sendimentasi parah ke laut. Kegiatan pertambangan dihentikan. Tetapi aktivis lingkungan hidup dan praktisi pariwista belum bisa tenang menikmati dan menjaga keindahan alam Labuan Bajo-Batu Gosok. Surat Pemberitahuan penghentian sementara eksplorasi yang dikeluarkan Bupati Agustinus Ch Dula dilawan oleh PT. Grand Nusantara dan PT. Nipindo Pratama. Gugatan terhadap surat penghentikan sementara kegiatan penambangan ini dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Kupang. Organisasi lingkungan hidup, masyarakat adat, praktisi pariwisata tentunya mengharapkan agar pengadilan memperhatikan aspirasi warga (aspek sosial) dan menjadikan aspirasi warga sebagai ukuran putusan berkeadilan. Disamping itu, unsur-unsur masyarakat ini tetap mendorong agar Bupati Manggarai Barat mengeluarkan surat penghentian permanen bagi kegiatan penambangan di Manggarai Barat untuk kepentingan pariwisata yang sejalan dengan kepentingan masyarakat lokal.

Pembangunan Sektor Tambang yang Minim Partisipasi Masyarakat Dengan melihat uraian kondisi dan situasi di Kawasan Batu Gosok – Labuan Bajo, meskipun sebelum tahun 2010, izin usaha pertambangan cukup banyak diterbitkan tanpa proses partisipasi masyarakat. Bupati Agustinus Ch Dula (periode 2010-2015) sempat memberi harapan

dengan mengeluarkan surat penghentian sementara operasi tambang. Namun masyarakat menilai keputusan Bupati Agustinus Ch Dula ini bernuansa keragu-raguan. Ini disebabkan Bupati hanya mengeluarkan surat penghentian sementara. Sementara masyarakat mengharapkan menghentikan penghentian permanen. Bahkan masyarakat mengharapkan adanya Perda pelarangan tambang di Manggarai Barat. Namun aspirasi masyarakat ini belum tercapai. Hingga penelitian ini dilakukan, rencana Perda pelarangan tambang belum ada. Dari proses partisipasi masyarakat pada setiap tahap pembangunan mulai dari KLHS, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan dan Penetapan WP serta Pemberian Izin Usaha Pertambangan, maka penilaian berdasarkan indikator tangga partisipasi dari Arnstein, masing-masing memiliki nilai sebagai berikut: Tabel 11. Posisi tangga partisipasi pada kasus Batu Gosok-Manggarai Barat Proses Partisipasi KLHS

Temuan di Lapangan

Sudah ada KLHS tetapi masyarakat tidak dilibatkan dalam pelaksanaan KLHS Penataan Ruang Tidak ada informasi

Tingkat Tangga Partisipasi Tidak ada proses pelibatan masyarakat Manipulasi (warga tidak dilibatkan dalam pembahasan tata ruang, hanya disosialisasikan), berperan sebagai stempel dukungan


64ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Perencanaan Pembangunan

Penetapan Wilayah Pertambangan/ Pemberian Izin Usaha Pertambangan

Wilayah Pertambangan

RPJMD telah menetapkan fokus pembangunan pada sektor pariwisata. Namun dalam proses musyawarah perencanaan pada tingkat desa tidak diberi ruang untuk membicarakan sektor pertambangan Tidak ada informasi mengenai penetapan wilayah pertambangan. Namun proses penerbitan izin-izin khususnya pada masa 2003-2010, tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak.

Manipulasi

Manipulasi, meskipun pada tahun 2010 ada upaya untuk penentraman warga melalui penghentian izin usaha sementara.

Setelah 2010 ada upaya Pemda Manggarai Barat untuk mengkoreksi praktek usaha pertambangan dengan menghentikan sementara izin usaha yang telah dikeluarkan.

b.  Kasus Hakatotubu dan Tambea – Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara Kecamatan Pomalaa, khususnya Desa Hakatotubu dan Desa Tambea, merupakan suatu daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan lokasi pertambangan nikel berskala nasional maupun internasional. Keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut sangat dekat dengan lokasi tempat tinggal nelayannelayan yang menggantungkan matapencahariannya dari budidaya kelautan seperti teripang dan rumput laut.

65

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Desa Hakatotobu dan Desa Tambea awalnya adalah penghasil rumput laut dan teripang. Sampai saat ini masih terdapat sisa-sisa tambak teripang. Budidaya teripang dan rumput laut membutuhkan air laut yang jernih. Kekayaan hasil rumput laut membuat nelayan Desa Hakatotobu pernah melakukan pengapalan sebanyak 11 kontainer sekali pengiriman ke Surabaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah memberikan bantuan fasilitas pendidikan pengeringan dan pengolahan teripang. Namun bangungan pengolahan tersebut kini hanya jadi tempat terbengkalai. Gudang-gudang pengeringan rumput laut warga kosong akibat tidak adanya rumput laut yang dihasilkan. Rumput laut tidak bisa hidup bila air laut keruh. Kekeruhan parah ini terjadi akibat maraknya penambagan nikel di wilayah ini. Penelitian yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Kendari di Desa Hakatutobu pada tahun 2009 menunjukkan bahwa agribisnis teripang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan masyarakat dengan penerimaan rata-rata sebesar Rp. 9.836.627 per siklus (6 bulan). Pendapatan ini tentu lebih tinggi lagi sebelumnya, karena tahun 2008 wilayah tersebut telah mulai dirusak oleh sedimentasi penambangan nikel. Abdullah, salah seorang warga Desa Tambea, menyebutkan, ketika penambangan nikel belum marak, nelayan pancing bisa mendapatkan 20 hingga 40 tusuk ikan. Tetapi sejak penambangan marak, jumlah ikan yang ditangkap hanya sebanyak lima tusuk, bahkan kadang tidak mendapatkan satu tusuk pun. Laut keruh warna merah membuat dasar laut tidak terlihat, dan ikan-ikan tidak dapat melihat umpan pancing. Nilai tangkapan nelayan menggunakan perahu sebelum penambangan marak dalam sehari antara Rp.300-600 ribu. Kini mereka rata-rata hanya mendapatkan Rp.100.000 per hari. Dan dalam sehari mereka menggunakan 3-10 liter solar sebagai bahan bakar perahu. Dan harga per liter solar adalah Rp.7.000. Sementara itu, untuk petambak teripang, dalam sekali panen bisa menghasilkan 70 kilogram. Dalam setahun, bisa panen dua kali. Harga teripang tergantung kualitas rendah, tengah, atau baik. Bervariasi antara Rp.200.000, Rp.400.000, hingga hampir sejuta. Dalam sekali panen, warga bisa mendapatkan Rp.45 juta rupiah.


66Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

67

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Pada kesempatan lain, Haji Jabir, Ketua Kelompok Nelayan Desa Hakatutobu Kec. Pomalaa menerangkan:

No

Influenza/ISPA Diare Malaria Infeksi Kulit dan Jaringan Bawah Kulit Infeksi Saluran Pernapasan Disentri TB. Paru Premonia Penyakit Mata Lainnya

”Sebelum ada tambang penghasilan nelayan di desanya berkisar 2 juta sampai 10 juta/kepala keluarga/bulan untuk budidaya teripang, rumput laut dan hasil tangkapan ikan.”34

Pertambangan Nikel dan Dampaknya pada Kehidupan Masyarakat dan Lingkungan Operasi usaha tambang Nikel yang mengalirkan limbah ke laut menyebabkan kerusakan pada lingkungan (laut) dan berdampak pada kelangsungan mata pencaharian warga Desa Hakatotubu dan Desa Tambea. Kini sebagian lahan tambak teripang warga telah beralih menjadi pelabuhan untuk pengapalan tambang nikel. Yang lainnya mengalami kekeruhan parah berwarna kemerahan saat musim hujan akibat pembukaan perbukitan sekitar desa menjadi tambang nikel.

Jumlah Penderita dalam 5 tahun terakhir 2005 2006 2007 2008 2009 23.568 26.700 29.276 37.111 8.213 5.445 4239 6718 9475 7357 376 465 690 343 337 8269

2981

7911

8278

10112

23568

26700

29276

37111

20588

822 200 210 1.178 7.583

1131 177 175 1.028 3.311

1599 126 218 882 7.302

1475 328 428 982 8.983

1206 518 419 1.597 0

Sumber Data : BPS Kolaka 2010.

Data ini menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit sejak tahun 2005 sampai 2009 yang paling banyak adalah menyangkut pernapasan (ISPA, TB.Paru-Paru, Premonia), penyakit mata dan kulit, malaria dan diare.

Kala tak hujan, warga mengalami persoalan debu tambang yang berasal dari tumpukan nikel sebelum pengapalan dan akibat semburan demi dari truk perusahaan di sepanjang jalan umum. Partikel debu yang sangat halus seukuran 2,5 dan 10 mikromemeter (particulate matter –PM 2,5 dan PM 10) sangat berdampak buruk terhadap tubuh manusia. Ukuran yang halus menyebabkan partikel ini masuk sangat dalam pada sistem paru-paru dan jantung manusia35, karenanya memperpendek usia (angka harapan hidup). Debu tersebut berasal dari jalan publik/warga yang dilewati oleh truk-truk tambang dan dari proses pemuatan ke kapal. Bila berkendara menggunakan motor sepanjang jalan publik Desa Tambea-Hakatutobu, maka semua badan dan pakaian berubah menjadi merah dalam sekali melintasi perjalanan. Dampak parah terhadap kesehatan ini tercermin dari data kesehatan warga, sebagaimana fitur penderita penyakit berdasarkan jenis penyakit tersebut di bahwa ini:

Jenis Penyakit

Data tersebut juga sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat di sekitar tambang yakni di Kecamatan Pomalaa, yang rata-rata mengatakan bahwa mereka sangat terganggu dengan pernapasan akibat banyaknya debu yang berterbangan pada siang dan malam hari.

34 Penelitian Kisran Makati, Pusat Studi Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Manusia (PUSPAHAM), Sulawesi Tenggara 35 http:// informahealthcare. com/doi/ abs/10.3109/ 08958379509014267

Bertetangga dengan Desa Tambea, penduduk Desa Hakatutobu juga mengeluhkan sakit yang kerap mereka alami karena debu dari pertambangan. Selain sakit saluran pernapasan, warga mengeluhkan sakit gatal– gatal sekujur tubuh. Pengobatan bagi warga desa kerap tidak tertangani di tingkat Puskesmas. Bila dirujuk dari Puskesmas, pengobatan mereka tidak mendapatkan kompensasi, baik dari perusahaan atau pemerintah. Tak hanya mengalami keterpurukan ekonomi dan persoalan kesehatan dari debu tambang, warga Desa Tambea juga tak berdaulat atas ruang hidup. Perempuan warga Tambea bernama Caneng mengungkapkan mereka dipingpong dalam bertempat tinggal. Sebelum tahun 1960-an, keluarganya tinggal di Laresi, sekitar 30 km dari Tambea. Namun karena tempat mereka


68Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

69

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

akan dibangun kantor PT. Aneka Tambang, maka keluarganya terpaksa pindah ke tepi pantai di Tambea, dan mendirikan rumah panggung. Setelah generasi orang tua Caneng pada tahun 60-an membangun Desa Tambea, pada tahun 2008 datang lagi serbuan lain dari perusahaan-perusahaan tambang nikel lainnya.

36 Wawancara tanggal 11 April 2013 di Kolaka.

Umumnya warga bekerja sebagai nelayan. Caneng dan warga lainnya tidak pernah diundang dalam pertemuan pembahasan tata ruang, musrenbang dan pembahasan wilayah pertambangan. Warga menyatakan pihak yang pertama kali datang ke desa Tambea melakukan sosialisasi tambang adalah dari perusahaan. Bukan pemerintah. Pada pertemuan tersebut warga dijanjikan berbagai hal, seperti mempekerjakan 60% pemuda desa, bantuan perumahan sebanyak 100 buah. Tapi hingga kini yang terbangun hanya 5 buah.

Penetapan Wilayah Pertambangan di Kabupaten Kolaka Dinas Pertambangan Kabupaten Kolaka menyatakan mereka telah menyerahkan usulan wilayah pertambangan ke Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun untuk sampai pada penyerahan usulan wilayah pertambangan Kabupaten Kolaka, Dinas Pertambangan Kabupaten Kolaka tidak pernah mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk meminta masukan serta untuk mengetahui pendapat masyarakat apakah setuju atau tidak dengan usulan wilayah pertambangan tersebut. Pada saat ada suatu kawasan akan dijadikan bagian dari wilayah pertambangan, Dinas Pertambangan menyatakan tidak melibatkan masyarakat dalam pengusulan wilayah pertambangan dimaksud. Berikut petikan wawancara dengan Dinas Pertambangan: 36

Wawancara Dengan Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten Kolaka Andi Sastra (Kadis Pertambangan dan Energi—J1). Suwarta (Kepala Seksi Pengusahaan-J2). T: Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009 [Undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara], ada proses penetapan

wilayah pertambangan. Bagaimanakah pengaturan mengenai partisipasi masyarakat di dalam penetapan wilayah pertambangan, khususnya masyarakat yang berada di sekitar ataupun di dalam kawasan yang memang direncanakan ditambang. J1: Maksudnya? T: Ini berarti akan ada kawasan yang dijadikan menjadi wilayah pertambangan, kemudian masyarakat yang tinggal di kawsan pertambangan ini bagaimana mereka bisa berpartisipasi dalam proses penetapan wilayah pertambangan ini? J1: Ini menyangkut pertanyan tehnis, mungkin staf tehnis saya akan menjawabnya. Silahkan Pak. J2: Tentang partisipasi, sudah dijelaskan bahwa berdasarkan PP No. 22 Tahun 2010, nah peran serta masyarakat itu ya ini kan sudah ditentukan bahwa wilayah ini wilayah pertambangan, dan ini sudah kesatuan dalam satu kabupaten Kolaka sebagai satu wilayah pertambangan. T: Berarti peran masyarakat memang tidak dilibatkan dalam penetapan wilayah pertambangan…? J2: Bukan tidak dilibatkan, ya. Maksudnya begini, wilayah pertambangan itu,itu kan menyakup wilayah-wilayah, baik wilayah masyarakat maupun wilayah yang masih Negara. Ini kan untuk menentukan WP [Wilayah Pertambangan] dulu. Dalam pelaksanaan WP itu kan WP dulu,. Baru WUP [Wilayah Usaha Pertambangan], itu mungkin akan melibatkan masyarakat. Kita kan punya potensi. Ini potensi wilayah ini, marmer, ini nikel, nah, inilah WP kita. Dan ini yang menentukan kan pemerintah, bukan masyarakat. Jadi soal potensi dulu, dan potensi yang tahu kan pemerintah, hasil survey kita. Itu dulu. Karena peran masyarakat belum. Jadi WP itu perannya masyarakat belum bisa dulu. T: Berarti dalampenetapan WP belum ada pelaksanaan partisipasi publik? J2: Belum ada. Ini, kan dari hasil survey. T: Baru proses berikutnya ya.. J2: Pada saat proses berikutnya lagi,katakan wilayah ijin pertambangan baru kita libatkan nanti. T: Dalam penetapan wilayah ijin pertambangan,bagaimana mekanisme pasrtisipasi publik yang disediakan oleh pemerintah ataupun yang pernah dipraktekkan?


70ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

71

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

J2: Ini kan belum ada. Jadi kalau untuk tahap berikutnya belum ada. Yang sudah ada adalah wilayah pertambangan aja, berdasarkan potensi yang kita miliki. Itu belum ada pengelolaan. Baru menentukan wilayah pertambangan saja. Jadi, peran masyarakat belum ada. Nanti tahapan berikutnya, kalau sudah menjadi wilayah ijin usaha pertambangan baru bisa. Tapi ini kan belum ada.

J1: Jadi WUP tidak kaku. Bisa saja begini, ini wilayah pertambangan seumpamanya kita tetapkan, tapi di dalam ini mungkin ada perkebunan, mungkin perkebunan juga pemetaan wilayah perkebunan. Kalau salah satu sektor mau membuka lahannya, itu tergantung apa seumpamanya perkebunan, ya sektor pertambangan, ya mungkin. Tinggal kita melihat mana lebih berpeluang memberikan income per-kapita masyarakat disitu.

T: Apakah sudah ada penetapan WP di daerah Kabupaten Kolaka, Pak?

T: Mekanisme apa yang diberikan agar kemudian suara kepentingan yang di dalam kawasan tersebut bisa diakomodir, khususnya kepentingan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut? mekanismenya bagaimana?

J2: Sudah ada. Seluruh Indonesia sudah ada. Masing-masing daerah sudah mengusulkan, kita usul ke propinsi, propinsi mengusulkan ke Pusat. Disatukan. T: Yang disusulkan ke provinsi tersebut belum ada mekanisme partisipasi publik? J2: Ya sebenarnya belum, karena kita ini mengusulkan potensi. T: Seandainya nanti ada sebuah daerah kaya akan sumber daya alam, kemudian di daerah tersebut telah terdapat masyarakat ini bergerak di sektor ekonomi yang non-pertambangan misalnya seperti nelayan ataupun kegiatan ekonomi lain yang non pertambangan. Nah, itu, bagaimanakah penyerapan terhadap aspirasi masyarakat tersebut, apakah kegiatan ekonomi mereka ini bisa diakomodir, atau memang ketika itu telah ditetapkan sebagai wilayah pertambangan, itu sudah otomatis menjadi wilayah pertambangan sehingga kemudian masyarakat yang ada kegiatan ekonomi diluar pertambangan tadi harus melepaskan kegiatan ekonomi tersebut atau bagaimana, Pak? J2: Saya rasa tidak begitu. Sektor perkebunan boleh, kehutanan bisa. Jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa ini dalam wilayah WP khusus pertambangan, tidak. Namanaya potensi kan tidak selamanya.

J1: Kalau untuk kegiatan pertambangan, ketika kita menetapkan ada IUP di wilayah pertambangan itu, sebelum WP di IUP itu diberikan ijinnya, kita adakan penelitian di sekitar situ. Kemudian kita terbitkan IUP nya. Kita memberikan peringatan kepada pemegang IUP bahwa di situ ada masyarakat, supaya jangan dirugikan. Tinggal dicari jalan keluarnya. Kalau masyarakat ikut berpartisipasi dalam pertambangan ya silahkan ikut. Kalau tidak ya konsekuensinya ganti rugi masyarakat disitu. Dikomunikasikan dengan masyarakatnya, masyarakatnya kalau mau ngikut diberikan ganti rugi. Begitu biasanya. T: Berarti sebelum sebuah IUP dikeluarkan, ada proses survey. Nah, dalam proses survey tersebut, apakah mencakup partisipasi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut? T: Dalam rangka apa ini? J: Dari bapak kepala dinas sebutkan sebelum IUP dikeluarkan akan ada survey terhadap masyarakat juga‌

T: Bagaimana mekanisme yang disediakan agar kemudian aspirasi ataupun pendapat masyarakat tadi yang bergerak di sektor ekonomi di luar pertambangan bisa kemudian diakomodir sehingga kemudian ruang hidup mereka juga tetap diakui, tidak sepenuhnya dijadikan wilayah pertambangan.

J2: Mekanismenya tetap begitu, kan. IUP ini kan belum bisa dilaksanakan, karena, kan, UU nya belum bisa melakukan itu untuk IUP. Kita ini kan hanya menyesuaikan, jadi, menjadi IUP saja, antara KP dengan IUP ini kan beda. Tapi, ya, kalau UU lamanya, kan, tetap begitu. Jadi, kita lakukan dulu sesuai dengan keinginan masyarakat. Nah ini nanti disampaikan pada pihak perusahaan bahwa wilayah pertambangan yang IUP ini sebagian adalah wilayah masyarakat, sebagian wilayah kawasan, ini kita sampaikan ke perusahaan.

Seperti yang saya katakan tadi. kita ndak menutup sektor lain, tetap berjalan. Sektor apapun, kan, yang tahu masyarakat. Masyarakat itu, kan, ya mempunyai hak, itu yang kita utamakan.

J1: Kalau [ada] apa semua [disitu ] kita bilangin. Berdasarkan hasil survey kita, hasil rencana IUP itu terdapat masyarakat petani, perkebunan, seumpanya memang ada,itu akan kita sampaikan

J2:


72ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

73

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

itu mempersyaratkan Amdal. Amdal melibatkan stake holder, institusi, teknis, yang dikomandoi oleh BLH. Kita sudah masuk ke situ kalau itu kegiatan pertambangannya...�37

pada masyarakat.Kemudian ada hutan lindung, konversi, itu jangan diganggu, nantikita kasih warning. Nah, kemudian juga seperti masyarakat kalau ada di situ mata pencarian yang ini dan itu kita berikan kepada perusahaan

Jadi peran BLH hanya dalam proses AMDAL dan Izin Lingkungan. Berdasarkan Permeneg LH Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup, kewajiban memiliki AMDAL dikecualikan bagi rencana Usaha dan/atau Kegiatan eksplorasi pertambangan. AMDAL baru diwajibkan pada saat kegiatan produksi. Bila AMDAL dimaksudkan sebagai ruang partisipasi masyarakat, maka posisi masyarakat sebenarnya di fait accomply untuk menerima pertambangan. Sebab pada saat perusahaan tambang telah memiliki izin produksi diwajibkan memiliki AMDAL, maka ruang masyarakat untuk menyatakan menolak pertambangan menjadi terbatas, karena pemerintah dan perusahaan tambang telah menjadi proses tertentu.

T: Apakah pernah pertemuan dilakukan dengan masyarakat sebelum ijin pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah? J2: Jadi, sesudah diterbitkan ijin, tapi kita kan pada saat penerbitan ijin kita libatkan camat/desa untuk melihat bahwa wilayah yang dimohon oleh perusahaan ini adalah ada lahan masyarakat. Ada keterlibatan juga instansi lain yang terkait untuk pertimbangan dan saran bagi kita. Jadi, ndak terlepas dari masyarakat. T: Jadi pertemuan dengan desa atau camat sebelum ijin dikeluarkan? J2: Iya, ada. Tinjau kelapangan, wilayah yang dimohon, Nanti setelah terbit ijin, mau dikelola ya ini nanti ke masyarakat lagi. Contohnya sudah banyak, di Pomalaa itu. Sementara itu dari sisi lingkungan hidup, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kolaka menyatakan tidak terlibat dalam pembahasan wilayah pertambangan. Menurut BLH, terkait dengan pertambangan, pihaknya berperan dalam pembahasan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) dan izin lingkungan. Saat ditanyakan tentang peran BLH dalam perumusan wilayah pertambangan di Kolaka berdasarkan UU Minerba, BLH menyatakan: “...BLH itu terkait dengan apa namanya, persyaratan perijinan. Kalau kawasannya sendiri, saya kira itu sudah tertuang dalam tata ruang wilayah, ada kawasan yang memang diperuntukkan untuk kawasan pertambangan. Adapun penetapannya dalam bentuk WIUP itu apakah ada atau tidak ada, itu mekanismenya ada di badan pertambangan. Nah idealnya, kalau tata ruangnya didahului dengan KLHS, maka yang menentukan ruang wilayah pertambangan dalam konteks tata ruang, idealnya sudah masuk petimbangan-pertimbangan peran lingkungan. Itu idelanya. Tapi kalau terkait dengan peran pengolahan lingkungan hidup dalam kegiatan pertambangan itu sangat jelas, bahwa dalam IUP

Partipasi Masyarakat yang Minim Memicu Reaksi Balik Masyarakat Merespon kebijakan dan usaha penambangan yang tidak partisipatif itu, masyarakat di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka telah melakukan berbagai tindakan untuk menentang pertambangan di wilayah mereka. Warga Desa Hakatotubu telah melakukan aksi sebanyak 14 kali ke Pemerintahan Daerah Kabupaten Kolaka. Masyarakat pun mengalami kriminalisasi, bahkan pemenjaraan karena aksi mereka dinilai dilakukan dengan kekerasan. Dalam protesnya, masyarakat pernah melakukan aksi menginap di Kantor DPRD Kabupaten Kolaka, pada tanggal 19-22 November 2007. Berikut ini adalah salah satu liputan media dari aksi mereka terhadap penolakan tambang nikel.

37 Penjelasan Agus Andi, Kepala Bidang Tata Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup, Kabupaten Kolaka pada tanggal 10 April 2013.


74ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

75

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

Dengan melihat uraian kondisi dan situasi di Desa Hakatotubu dan Desa Tambea, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, meskipun dinyatakan oleh Dinas Pertambangan sudah ada wilayah pertambangan namun dalam proses tersebut pemerintah tidak melibatkan masyarakat dengan alasan masyarakat akan dilibatkan pada saat proses IUP diterbitkan. Padahal Putusan MK terkait dengan Pasal 10 huruf b dari UU Minerba menyatakan bahwa dalam penetapan wilayah pertambangan, pelibatan masyarakat jangan sekedar formal-prosedural sehingga mengaburkan tujuan utama yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara yang seharusnya, dalam konteks sumber daya alam, dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selasa, 20 November 2007, TEMPO Interaktif, Kendari: Bentrokan fisik antara ratusan pengunjuk rasa dengan polisi pamong terjadi di depan kantor Bupati Kolaka, Selasa (20/11). Massa marah karena keinginan mereka untuk bertemu Bupati Kolaka Buhari Matta dihalangi petugas. Pasukan anti huru hara dari kepolisian setempat berusaha mengatasi situasi dengan menembakkan gas air mata. Massa akhirnya berlarian namun lemparan batu tetap tak berhenti. Dua pengunjuk rasa sempat ditangkap, namun akhirnya dilepas setelah kondisi sudah tenang.

Pasal 10 huruf b UU Minerba diatas memiliki makna imperatif yang menegaskan bahwa pemerintah, saat menetapkan wilayah pertambangan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945].

Kedatangan pengunjuk untuk memprotes kebijakan bupati yang mengeluarkan Kuasa Pertambangan (KP) kepada 10 perusahaan di Kolaka. Mereka menuntut bupati membatakan keputusan karena dinialai hanya memberi keuntungan kepada investor tapi berdampak buruk kepada masyarakat. Asisten I Setkab Kolaka, Ahmad F yang sempat menemui massa mengatakan, kebijakan bupati itu justru untuk melindungi lingkungan Kolaka. Karena itu dia mengeluarkan ijin sesuai mekanisme yang berlaku. Jawaban Asisten 1 tetap tidak memuaskan pengunjuk rasa. Mereka memiliki bukti kalau bupati lebih memihak kepentingan pemilik modal dari pada lingkungan. Salah satunya adalah SK Menhut No: S.510/ MEN-HUT-VII/2007 tentang penolakan terhadap permohonan Bupati Kolaka untuk penggunaan kawasan hutan konservasi demi kepentingan pertambangan. Hingga pukul 14.00 Wita, massa masih bertahan di kantor bupati. Mereka bertekad menduduki kantor itu sampai bupati menemui massa pendemo. Sehari sebelumnya, aksi di depan kantor bupati juga bentrok dengan Polisi pamong praja. (Dedy Kurniawan). Dalam wawancara dengan masyarakat Desa Hakatutobu, Kecamatan Pomala, yang terdampak parah oleh kegiatan penambangan karena sedimentasi, warga melaporkan bahwa awalnya Kepala Desa melakukan penolakan terhadap pelabuhan tambang yang terdampat di desa mereka. Kepala Desa tersebut ikut aktif dalam protes. Namun belakangan, sikapnya berubah. Seiring dengan itu, rumahnya mengalami peningkatan, sangat besar untuk ukuran desa.

Dari proses partisipasi masyarakat pada setiap tahap pembangunan mulai dari KLHS, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan dan Penetapan wilayah pertambangan serta Pemberian Izin Usaha Pertambangan, maka penilaian berdasarkan indikator tangga partisipasi dari Arnstein, masing-masing memiliki nilai sebagai berikut: Tabel 12. Posisi tangga partisipasi pada kasus Hakatotubu-Tambea di Kolaka Proses Partisipasi

Temuan di Lapangan

• KLHS

Tidak ada informasi

•

Tidak ada informasi

Penataan Ruang

Tingkat Tangga Partisipasi Belum ada pelaksanaan KLHS Manipulasi


76Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Proses Partisipasi • Perencanaan Pembangunan • Penetapan Wilayah Pertambangan/ Pemberian Izin Usaha Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Temuan di Lapangan Tidak ada informasi Sudah ada usulan wilayah pertambangan dari Dinas Pertambangan ke Provinsi dan Provinsi ke Pemerintah Pusat, namun WP yang diusulkan dari Kabupaten tidak ada proses partisipasi masyarakat.

Tingkat Tangga Partisipasi Manipulasi Tidak ada pelibatan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan

c.  Kasus Batang Toru – Sumatera Utara Perusahaan G-Resources melakukan produksi komersil emas di Kabupaten Tapanuli Selatan, khususnya Kecamantan Batang Toru sejak tahun 2012. Perusahaan ini berbasis di Hongkong. Penambangan emas di Batang Toru adalah aset terbesarnya. Proyek tambang ini telah mengalami beberapa kali perpindahan kepemilikan. Mulanya perusahaan dimiliki oleh Danau Toba Mining (milik Newmont South East Asia Pte Ltd dengan nama Newmont Horas Nauli), kemudian Agincourt Resources (Singapura) membeli proyek tambang tersebut di wilayah Martabe pada tahun 2006, lalu pada tahun 2007 Oxiana Ltd melakukan akusisi pada tahun 2007. Terakhir perusahaan ini dimiliki oleh G Resources yang terdaftar di Hongkong. Dalam bagian ini, seluruh nama itu digunakan bergantian karena menyangkut aktivitas di lokasi perusahaan tambang yang sama. PT. Agincourt memperoleh Kontrak Karya berdasarkan Keputusan Presiden No. B-143/Pres/1997 tertanggal 17 Maret 1997. Wilayah Kontrak Karya G Resources berada di dalam kawasan hutan Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, yakni di kawasan Hutan Batang Toru. Hutan Batang Toru penting bagi sumber air PLTA Sipansihaporas. Dengan kapasitas 50 Megawatt, luas genangan bendungan pengatur hanya 18,4 hektar

77

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

karena berada di daerah lembah berbukit, sumber energi terbarukan ini menerangi wilayah Sumatera Utara dan Aceh. Sebagaian besar kawasan PLTA ini merupakan kawasan hutan. Kegiatan penambangan di wilayah Batang Toru tentu menjadi ancaman bagi kelangsungan PLTA ini. Kawasan hutan Batangtoru juga memiliki nilai ekologi penting. Berdasarkan pemantauan lembaga konservasi Yayasan Eko Lestari, wilayah kontrak karya G Resources merupakan kawasan habitat orang utan Sumater (pongo abelii), tapir (tapirus indicus) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kontrak Karya bagi perusahaan tambang G-Resources/ Agincourt Resources/Newmont Horas Nauli dikeluarkan pada tahun 1997. Pada masa pemerintahan Orde Baru, ruang partisipasi warga untuk mengutarakan pendapat yang kritis terhadap pertambangan sangat sempit sekali. Berdasarkan UU Pokok Pertambangan no 11 tahun 1967, warga tidak diperkenankan mempertahankan ruang hidup mereka dari penetrasi investasi tambang. Bila warga tetap menolak dan memilih jenis perekonomian lain di wilayah mereka, pilihan terakhir adalah perusahaan menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan setempat, sementara itu proyek tambang akan tetap jalan, dan akan didukung oleh kekuatan pengamanan

Tambang dan Pencemaran Air Minum Warga telah melakukan protes terhadap aktivitas pertambangan sejak tahun 2004. Karena protes ini, maka Bupati Tapanuli Selatan pernah mengeluarkan surat Penghentian Sementara PT. Newmont Horas Nauli. Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Direktur PT.Newmont Horas Nauli tersebut, Bupati menyatakan: “Sesuai dengan hasil pertemuan antara masyarakat Batang Toru dengan pihak PT.Newmont Horas Nauli pada 21 Juni 2004 di Aula Marguna dan dilanjutkan dengan pertemuan pada Tanggal 6 Juli 2004 di Kantor Bupati Tapanuli Selatan dimana pihak masyarakat Batang Toru menuntut agar pihak PT. Newmont Horas Nauli menghentikan sementara kegiatan eksplorasi di kecamatan Batang Toru sebelum ada komitmen yang


78Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

79

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

jelas, tentang adanya pencemaran air yang mencemari air sugai Aek Pahu sebagai sumber air minum masyarakat Batang Toru”.

3. Letak rencana tambang emas terbuka ini berada di atas pemukiman penduduk. 4. Sumber air bersih masyarakat dan pertanian berasal dari gunung yang akan dibongkar.41

“Berkenaan hal tersebut diatas dan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan terjadi dikemudian hari, diminta kepada saudara agar menghentikan sementara kegiatan eksplorasinya sesuai dengan tuntutan masyarakat dimaksud, sebelum ada hasil pengujian sampe air yang tercemar tersebut yang menyatakan dapat dipergunakan kembali sesuai dengan baku untuk yang berlaku untuk dapat dikonsumsi dan dibuktikan dengan hasil uji laboratorium yang layak dipercaya”38

Dalam alasan keberatan warga tersebut di atas, tak disebutkan tentang pembuangan air tambang ke Sungai Batang Toru. Barulah beberapa waktu kemudian warga mengetahui bahwa pada Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantuan Lingkungan Hidup Tambahan (2010)--RKL/RPL disebutkan bahwa sungai Batang Toru dijadikan tempat pembuangan limbah air tambang. Pada bagian “Penurunan Kualitas Air Permukaan” disebutkan, “Dampak kegiatan penimbunan tailing terhadap pH, kandungan TSS, CN, SO$, Zn, Fe, AS, dan Mn kecil kemungkinannya secara langsung menimbulkan dampak terhadap manusia. Oleh karena air limbah disalurkan ke Sungai Batangtoru yang pemanfaatannya tidak digunakan sebagai sumber air minum. Berdasarkan hal ini dampak yang timbul dikategorikan sebagai dampak negatif tidak penting.”42

Surat pernyataan warga Kecamatan Batangtoru, yang ditandatangani oleh 51 warga, dan disampaikan kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral, warga menyatakan: “Mengingat akan adanya pertambangan emas di Batangtoru/Kecamatan Batang Toru, kami tokoh masyarakat, cerdik pandai, ulama, dan tokoh adat menolak pertambangan emas tersebut. Adapun alasan kami: karena umumnya pembangungan tambang emas di Indonesia, yang kami ketahui melalui media elektronik dan surat kabar selalu menyesengsarakan rakyat, seperti di Minahasa, Sulawesi dan Timika di Papua Barat.”39 Dalam surat warga kepada Presiden Republik Indonesia melalui Wahana Masyarakat Cinta Batangtoru (Namastaru) pada Maret 2008 warga meminta agar Presiden “sudi kiranya meninjau ulang kembali Izin Proyek Martabe (Tambang Emas) yang ada di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan demi kesehatan dan keselamatan serta kelangsungan hidup masyarakat di Kecamatan Batang Toru.”40 Adapun alasan-alasan keberatan warga, diantaranya adalah: 1. Terlalu dekat dengan areal pemukiman warga yang terdiri dari dua kelurahan dan sembilan desa. 2. Jarak dari pusat kota Batang Toru ke rencana areal lubang tambang emas hanya 2 km, dari pemukiman (Desa) Wek III, Wek IV, Desa Napa, Aek Pining hanya 1 km.

Pembuangan air limbah tambang ke Sungai Batang Toru ini mengundang protes warga desa-desa yang berada dibagian bawah sungai tempat penempatan pipa air limbah tambang. Masyarakat sekitar tambang juga menyatakan protes terhadap AMDAL perusahaan emas PT.Agincourt Resources. Warga menyatakan:

38 Surat Bupati Tapanuli Selatan, Shaleh Harahap, kepada Presiden Direktur PT.Newmont Horas Nauli, Perihal: Penghentian Sementara Kegiatan Eksplorasi PT. NHN [Newmont Horas Nauli], 13 Juli 2004 39 Surat Pernyataan Penolaka Tambang Emas di Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, 7 Juni 2006. 40 Surat Wahana Masyarakat Cinta Batang Toru (Namastaru) kepada Presiden SBY, 14 Maret 2013

41 Surat Wahana Masyarakat Cinta Batang Toru (Namastaru) kepada Presiden SBY, 14 Maret 2013 42 RKL-RPL Tambahan 2010, PT. Agincourt Resources, hal V-16.

“Berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan RI No 8 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup tanggal 17 Februari 2000, jelas adanya pengabaian terhadap hak warga di sepanjang hilir Sungai Batang Toru karena tidak diikutsertakan dalam Revisi RKL dan RPL [Bagian dari AMDAL ] PT AR merupakan suatu praktek penipuan dan pembohongan. Ditambah adanya penolakan dari 4 Fraksi di DPRD Kab. Tapanuli Selatan tanggal 16 Juni 2012 di Mabang Pasir terkait pembuangan air limbah PT.AR ke Sungai Batang Toru. Serta adanya penolakan segenap komponen masyarakat Desa Telo Kec.Batang Toru terhadap rencana penanaman pipa saluran air limbah yang saat ini dipaksakan PT.AR ke


80Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

81

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

daerah Ronggang merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dan masyarakat, karena disamping menghancurkan ribuan hektar sawah masyarakat di Pulo Godang dan Pulo Lubang serta sepanjang Delta Sungai Batang Toru menyebabkan terganggunya sumber air minum warga di hilir. Oleh karena itu, kepada Bapak Sahrul Pasaribu selaku Bupati Tapanuli Selatan diminta tegas untuk membatalkan AMDAL, ANDAL, RKL, dan RPL serta Revisi RKL dan RPL PT.AR karena melanggar UUD 1945 pasal 28H (1) karena mendapatkan lingkungan hidup yang sehat adalah hak azasi manusia43.

Masyarakat juga memprotes mereka tak diikutsertakan dalam proses AMDAL. “Bukankah masyarakat yang berada di sepanjang hilir Sungai Batang Toru seperti Desa Bandar Hapinis, Kelurahan Huta Raja, Desa Muara Huta Raja, Desa Bandar Tarutung, Desa Sibara-bara, Desa Rianiate dan desa lainnya hingga sampai ke pinggir laut Pantai Barat Sumatera merupakan masyarakat yang terkena dampak? Namun hingga terbitnya Buku Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL) sesuai dengan Keputusan Bupati Tapanuli No 53/ KPTS/2007 dan disetujui oleh Komisi Penilai AMDAL Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan Nomor : 53/KPTS/2008 tanggal 13 Maret 2008 kemudian diperbaharui kembali sesuai dengan Surat Bupati Tapanuli Selatan Nomor 540/4337/2010 tertanggal 29 Juni 2010 dan telah mendapat persetujuan dari Komisi Penilai Amdal Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 540/5165/2010 tidak pernah terlibat maupun dilibatkan dalam proses lahirnya AMDAL dan/atau ANDAL dan/atau Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) PT AR”.45

Salah satu desa yang terdampak bila pembuangan air limbah dilakukan ke sungai Batang Toru adalah Desa Kampung Telo. Pada 8 September 2012, warga desa itu membuat pernyataan menolak pembuangan limbah PT.AR ke Sungai Batang Toru. Kepala desa lainnya serta warga yang terdampak mengirimkan surat kepada Bupati Tapanuli Selatan, pada 14 Juni 2012. Dalam surat yang beperihal “Pembatalan Andal [Bagian dari AMDAL] PT Agincourt Resources, warga menyatakan: “Ketentuan di atas [pembuangan limbah tambang ke Batang Toru dalam AMDAL] jelas-jelas memuat kebohongan informasi dan telah melecehkan keberadaan masyarakat di sepanjang Daerah Aliran Sungai Batang Toru. Karena sampai dengan saat ini keberadaaan sungai Batang Toru adalah satu-satunya sumber air yang juga untuk sumber air minum dan memasak yang dipergunakan oleh seluruh warga masyarakat yang bermukim di hilir sungai Batang Toru termasuk juga ekosistim Danau Siais bahkan sampai ke Kabupaten Mandailing Natal. Sehingga adanya ketentuan yang menyatakan proses pembuangan sisa air limbah ke sungai Batang Toru yang dibolehkan oleh Amdal dan Andal serta Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) PT AR dan telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Penilai Amdal Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor: 540/5165/2010 yang dikuatkan oleh Bapak melalui Surat Bupati Tapanuli Selatan Nomor : 540/4337/2010 tertanggal 29 Juni 2010 merupakan manipulasi data”44

43 Pusat Analisa Strategis Tapanuli Bagian Selatan, Pernyataan Sikap terhadap Keberadaan Rencana Penanaman Pipa PT. Agincourt Resources di Wilayah Batang Toru & Muara Batang Toru. 44 Surat Kepala Desa Muara Hutaraja, Desa Bandar Hapinis, Desa Terapung Raya, Desa Kampung Telo, Keluruhan Hutaraja bersama dengan tokoh masyarakat kepada Bupati Tapanuli Selatan, Perihal “Pembatalan Andal [Bagian AMDAL] PT Agincourt, pada 14 Juni 2012.

Sebanyak empat fraksi DPRD Tapanuli Selatan dalam pertemuan dengan warga Kecamatan Batang Toru pada 16 Juni 2012 menyatakan “kesepakatan empat fraksi yang menghadiri pertemuan secara tegas menolak limbah PT. Agincourt Resources (AR) dibuang ke sungai Batang Toru, dan merekomendasikan untuk dicarikan solusi perihal pembuangan limbah PT.Agincourt Resources (AR) yang melindungi hak-hak masyarakat yang terkena dampak limbah”.46

45 idem 46 Notulen Pertemuan DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Warga Kecamatan Batang Toru dan Kecamatan Muara Batang Toru, 16 Juni 2012.

Akibat protes warga terhadap pembuangan limbah air tambang ke Sungai Batang Toru, perusahaan tambang emas PT. Agincourt menghentikan sementara kegiatan penambangan terhitung 19 September 2012. Pada saat penghentian sementara ini, perusahaan tambang emas telah melakukan pemasangan pipa pembuangan air limbah tambang sejauh 2,7 kilometer (90% dari jalur direncanakan dibuang ke Batang Toru).


82ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

83

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź

Wilayah Pertambangan

Pasaribu, Presiden Dir PT Agincourt Resources R Peter Albert, Kepala BIN Laksma TNI Djajeng Tirto, Kepala Badan Kesbangpol Linmas Eddy Sofyan.47 Rapat ini memutuskan pemasangan pipa pembuangan air limbang tambang ke Sungai Batangtoru tetap dilangsungkan. Plt. Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho bersama Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel), Syahrul M Pasaribu, secara bersama-sama minum air sisa proses pengolahan limbah PT G-Resources/PT.Agincourt Resources, pada 22 November 2011. Aksi tersebut untuk menyakinkan masyarakat, yang memanfaatkan dan berada di sekitar aliran Sungai Batangtoru, bahwa air yang dibuang ke Sungai Batangtoru tidak menimbulkan efek negatif terhadap warga yang ada di wilayah itu.48 Aksi yang sama dilakukan oleh Chairman G-Resources Martabe, Chiu Tao, President Direktur, Peter Albert, dan para direktur lainnya pada 19 November 2011.

Sumber foto:www.lensaindonesia.com Ket: Polisi menghadapi warga Batang Toru yang protes pemasangan pipa menuju sungai mereka.

Penghentian sementara kegiatan penambangan PT Agincourt Resources tidak berlangsung lama. Perusahaan tambang kembali melanjutkan pemasangan pipa pada akhir Oktober 2012. Pemasangan pipa pembuangan limbah ini diprotes oleh aksi demonstrasi masyarakat Kecamantan Batang Toru. Aksi ini berakhir dengan tindakan represi dari aparat kepolisian pada 30 Oktober 2012, setelah warga melakukan pembakaran dalam aksi protes mereka. Hingga penulisan ini dilakukan, puluhan warga masih dipenjara di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, terkait dengan aksi protes warga ini. Pemerintah Daerah tidak menerima aspirasi warga yang protes sungai mereka dijadikan tempat pembuangan limbah tambang. Plt. Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho memimpin Rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi Sumatera Utara di Rumah Dinas Gubenur, 14 November 2012. Rapat terebut dihadiri Ketua DPRD Provinsi, Saleh Bangun, Kapolda Irjen Wisjnu Amat Sastro, Kasdam I/BB I Gede Sumertha KY PSc MSc, Ketua Pengadilan Tinggi DR Emmy M Mustafa, Pankosek Hanudnas III Medan Marsma TNI Yuyu Sutisna, Asintel Kajati Raja Nofrizal, Dan Lanud Soewondo Kol PNB SM Handoko, Sekda Provinsi Nurdin Lubis, Bupati Tapanuli Selatan Syahrul

Selain mereka, Danrem 023/KS, Kolonel Inf Andika Pratama, Dandim 0212/TS, Letkol Inf Edi Hartono, Wakil Bupati Tapsel, Aldinz Rapolo Siregar, Wakapolres Tapsel, Kompol Zainuddin, dan Kaban Lingkungan Hidup Tapsel, Awaluddin Sibarani, juga minum air tersebut49.

47 http://www. waspada.co.id/index. php?option=com_co ntent&view=article& id=267897:operasitambang-martabedisertai-catatan&cati d=77:fokusutama&It emid=131 48 http://www. metrosiantar. com/2012/gubernurbupati-minumair-sisa-prosestambang-martabe/ 49 idem 50 http://industri. kontan.co.id/news/gresources-meraihpendapatan-us-118juta

Pada saat penelitian ini dituliskan, kegiatan penambangan kembali beroperasi. Pada April 2013 perusahaan mendapatkan keuntungan $ 118 juta, dengan menjual emas 2,1 ton dalam waktu empat bulan.50 Pada saat tim peneliti berkunjung ke lapangan, tampak bangunan los tempat pemasaran ikan air tawar dari sungai Batang Toru kosong. Menurut pengakuan warga, hal tersebut terjadi sejak Sungai Batang Toru dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah air tambang. Sementara itu, ibu-ibu dan anak-anak mandi (kata mandi dihilangkan) di tepi desa sepanjang sungai Batang Toru tetap mandi di sungai tersebut, kendati di bagian atas sungai desa mereka telah dilakukan pembuangan air limbah tambang. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan dampak buruk dari bahan-bahan kimia berbahaya yang dialirkan ke Sungai dan yang direncanakan beroperasi setidaknya hingga tahun 2027.


84Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

85

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

Dokumen AMDAL PT Agincourt Resources menyebutkan bahwa sungai Batangtoru tidak diminum. Padahal berdasarkan pengakuan warga dan pengamatan lapangan, air sungai tersebut digunakan oleh warga untuk mandi, mencuci bahkan minum. Dengan demikian ada tindakan pemalsuan informasi di dalam AMDAL. Sebagai upaya perlindungan air sungai mereka, warga melaporkan pemalsuan informasi tersebut kepada pihak Polres Tapanuli Selatan. Namun, upaya hukum dan protes warga atas pembuangan air limbah ke sungai tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah daerah. Sebaliknya, pemerintah memobilisir segenap kekuatan di Pemda (eskekutif, yudikatif) berserta aparat TNI, Polri mendukung pembuangan air limbah ke sungai. Partisipasi masyarakat dalam proses AMDAL diakui dan diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Keputusan tersebut menyatakan: “Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang AMDAL. Dalam proses ini, masyarakat menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan nilai- nilai yang dimiliki masyarakat, serta usulan penyelesaian masalah dari masyarakat yang berkepentingan dengan tujuan memperoleh keputusan yang terbaik”. Kenyataannya, keikutsertaan masyarakat sekitar sungai Batangtoru dalam proses AMDAL tidak memadai untuk melindungi lingkungan hidup mereka. Masukan warga tentang AMDAL agar sungai mereka tidak dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah tambang, tidak diperhatikan oleh pemerintah. Dari proses partisipasi masyarakat pada setiap tahap pembangunan mulai dari KLHS, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan dan Penetapan WP serta Pemberian Izin Usaha Pertambangan, maka penilaian berdasarkan indikator tangga partisipasi dari Arnstein, masing-masing memiliki nilai sebagai berikut:

Tabel 13. Posisi tangga partisipasi pada kasus Batangtoru – Tapanuli Selatan Proses Partisipasi

Temuan di Lapangan

• KLHS

Tidak ada informasi terkait KLHS, hanya khusus mengenai AMDAL, justeru masyarakat meyakini ada upaya pemalsuan informasi terkait pernyataan bahwa masyarakat tidak menggunakan sungai Batang Toru sebagai air minum. Padahal kenyataannya air sungai Batang Toru dikonsumsi sebagai air minum.

• Penataan Ruang

Tidak ada informasi

Perencanaan Pembangunan

Tidak ada informasi

• Penetapan Wilayah Pertambangan/ Tidak ada informasi Pemberian Izin Usaha Pertambangan

Tingkat Tangga Partisipasi

Tidak proses pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan KLHS

Tidak proses pelibatan masyarakat dalam pembahasan tata ruang Tidak proses pelibatan masyarakat dalam pembahasan perencanaan pembangunan Tidak proses pelibatan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan

3.3 Kesenjangan antara norma dan praktek pelaksanaan partisipasi masyarakat Terdapat gap antara norma peraturan perundangundangan mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam KLHS, Penataan Ruang, Perencanaan Pembangunan dan Penetapan Wilayah Pertambangan dengan praktik yang terjadi di tiga lokasi studi kasus


86ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

penelitian ini. Dalam prakteknya, (kadar) partisipasi masyarakat lebih buruk daripada norma partisipasi masyarakat yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Meskipun dalam ketiga kasus yang dikaji terdapat upaya-upaya dari masyarakat untuk menyatakan protes baik secara tulisan maupun aksi demontrasi, namun pemerintah cenderung tetap menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelajaran penting dari kajian kasus yang disajikan di atas adalah bahwa pernyataan Mahkamah Konstitusi mengenai potensi pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara manakala mekanisme partisipasi masyarakat dilakukan semata untuk memenuhi ketentuan formal-prosedural sebagaimana termuat dalam peraturan perundang-undangan khusus dalam UU Pertambangan Minerba, sesungguhnya sudah menjadi kenyataan di lapangan. Bahkan pada kasus yang terjadi di ketiga lokasi penelitian menunjukkan partisipasi masyarakat tidak dilakukan. Ini artinya langkah formal prosedural partisipasi masyarakat tidak dilakukan. Fakta ini lebih buruk dari pada yang dibayangkan oleh MK. Dengan demikian, tujuan utama partisipasi masyarakat dalam peraturan perundangundangan yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warga negara dalam konteks sumber daya alam agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tidak tercapai.

4

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, termasuk pembangunan pertambangan, adalah keniscayaan. Hal ini tidak hanya disebabkan untuk memenuhi mandat UUD 1945, tetapi juga karena sejumlah peraturan perundang-undangan mensyaratkan demikian. Pembentukan peraturan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 harus dengan partisipasi masyarakat. Namun, masyarakat perlu terlibat tidak hanya dalam kegiatan dalam tahapan-tahapan pembentukan peraturan (procedural mechanism), tetapi juga dalam penentuan isi peraturan (substantive mechanism).

Penelitian ini menemukan bahwa dalam hal pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan, partisipasi masyarakat perlu diuji dalam norma dan praktik pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), penataan ruang, perencanaan pembangunan dan penetapan wilayah pertambangan. Untuk menilai pelaksanaan partisipasi, Arnetsin merumuskan teori mengenai anak tangga partisipasi. Partisipasi sifatnya berjenjang, dimulai dari tingkat yang paling rendah yakni manipulasi, kemudian diikuti dengan terapi, pemberian informasi, konsultasi, penentraman,


88Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

89

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

secara bersyarat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.51

kemitraan, kekuasaan yang didelegasikan dan kontrol warga. Analisis terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup, penataan ruang, sistem perencanaan pembangunan nasional dan pertambangan yang kami lakukan menunjukkan bahwa norma partisipasi dalam peraturan perundang-undangan mengenai KLHS, Penataan Ruang, dan Perencanaan Pembangunan menenpatkan partisipasi masyarakat dalam bentuk pemberian informasi dan konsultasi (tangga ketiga dan keempat dari teori Arnstein). Namun demikian norma partisipasi yang diatur dalam UU Minerba khususnya dalam hal penetapan wilayah pertambangan, levelnya berada pada posisi tangga yang paling rendah yaitu berbentuk manipulasi. Ini menunjukkan bahwa norma partisipasi dalam proses penetapan wilayah pertambangan adalah yang paling buruk

Kekhawatiran Mahkamah Konstitusi mengenai potensi pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara manakala mekanisme partisipasi masyarakat dilakukan semata untuk memenuhi ketentuan formal-prosedural sebagaimana termuat dalam peraturan perundangundangan khusus dalam UU Minerba, telah terbukti pada ketiga lokasi studi kasus penelitian ini. Dengan demikian, persoalan yang terdapat pada partisipasi masyarakat ada pada segala tingkatan. Pada tataran normatif, peraturan perundang-undangan yang ada hanya memberikan ruang yang terbatas bagi partisipasi masyarakat. Dalam praktiknya, partisipasi nyaris tidak dilakukan. Oleh karena itu karakteristik konflik di wilayah pertambangan di Indonesia memiliki tingkatan yang sangat kritis di luar jangkauan dari klasifikasi yang ada dalam pemahaman Arnstein. Penekanan perbaikan upaya partisipasi masyarakat secara prosedural maupun substansial menjadi hal yang wajib dilakukan sebagai tindak lanjut.

Dalam praktiknya, sebagaimana ditunjukkan dalam tiga studi kasus yang dilakukan di Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Tapanuli Selatan, kami menemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam seluruh bentuk yang disebutkan oleh Arnstein rendah sekali dengan dominasi pada anak tangga manipulasi. Dalam hal pelaksanaan KLHS, perencanaan pembangunan, penyusunan AMDAL dan penetapan wilayah pertambangan serta penataan ruang, masyarakat di ketiga lokasi tidak pernah mendapat informasi dan dimintai persetujuan. Masyarakat sudah aktif menyatakan protes baik secara tulisan maupun aksi demontrasi, namun pemerintah cenderung tetap menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Peta hasil analisis normatif dan empiris dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan KLHS, penataan ruang, perencanaan pembangunan (daerah) dan penetapan wilayah pertambangan. Hasil analisis normatif dan empiris dipersandingkan dengan pendapat hukum MK mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana telah diputuskan dalam Pengujian Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (register perkara No.32/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012. Berikut adalah peta analisisnya:

Dalam Putusan Nomor 32/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat…masyarakat…” Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan

51 Lihat pada hal 143 dari putusan MK.


Penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat dengan cara baik dalam penyusunan rencana tata ruang; pemanfaatan ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang

artisipasi dalam Penataan Ruang diatur • sedemikian rupa sebagai berikut:

Lokasi Batu Gosok Labuan Bajo: tidak ada pelibatan masyarakat dalam penyusunan tata ruang Kabupaten Manggarai Barat

Wilayah Pertambangan

Penataan Ruang

Diatur mekanisme pemberian informasi melalui pemanfaatan dokumen-dokumen cetak, pameran, poster, layanan informasi online dan diskusi melalui internet

Memfasilitasi partisipasi masyarakat sebagai bentuk konkret dari pelaksanaan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945. Norma Partisipasi dalam Norma Peraturan Perundangan Praktek Lapangan Kerangka Teori Arnstein KLHS Partisipasi dalam Pelaksanaan KLHS • Dengan pengaturan • Lokasi Batu Gosok diatur sedemikian rupa sebagai berikut: demikian, tangga Labuan Bajo: tidak ada partisipasi pelibatan masyarakat • KLHS harus dilakukan secara ditempatkan dalam dalam pelaksanaan KLHS terbuka dan melibatkan masyarakat tangga “Pemberian dan pemangku kepentingan • Lokasi Desa Hakatotubu Infomasi” (tangga lainnya; – Desa Tambea: ketiga) untuk tidak ada informasi • Dapat dibentuk komite ahli atau penilaian terendah, pelaksanaan KLHS wakil-wakil komunitas dan tangga • Lokasi Kawasan Batang “Penentraman” Toru: tidak ada informasi (tangga kelima) untuk pelaksanaan KLHS penilaian tertinggi

Terhadap prakteknya, penilaian partisipasi masyarakat berada pada tangga terendah yaitu “Manipulasi” bahkan untuk lokasi yang sama sekali tidak ada pelibatan masyarakat maka nilainya lebih rendah dari “Manipulasi” Dengan pengaturan • demikian, tangga partisipasi ditempatkan dalam tangga “Pemberian Infomasi” (tangga ketiga) untuk penilaian terendah, dan tangga “Konsultasi” (tangga keempat) untuk penilaian tertinggi

Menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu dengan cara pelibatan langsung masyarakat yang ada di dalam WP dan yang akan terkena dampak dalam penetapan wilayah pertambangan.

Melindungi, Menghormati dan Memenuhi Kepentingan Masyarakat dan khususnya masyarakat yang berada di dalam WP dan yang terdampak, yang wilayah maupun tanahnya akan dimasukan ke dalam wilayah pertambangan.

Diatur mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat melalui survey kuesioner, wawacara, observasi fisik dan social, Konsultasi publik/ Lokakarya

Memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Partisipasi masyarakat sebagai bagian dari fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah wajib:

Pendapat Hukum MK

90Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

91


Khusus untuk penyusunan RPJMD diatur bahwa Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan. Diatur mekanisme • penyelenggarakan forum konsultasi dan musrenbang Diatur mekanisme pemberian informasi melalui penggunaan dokumen rencana pembangunan

Terhadap prakteknya, penilaian partisipasi masyarakat berada pada tangga lebih rendah dari

Dengan pengaturan • demikian, tangga partisipasi ditempatkan dalam tangga “Pemberian Infomasi” (tangga ketiga) untuk penilaian terendah, dan tangga “Konsultasi” (tangga keempat) untuk penilaian tertinggi

Lokasi Desa Hakatotubu – Desa Tambea: tidak ada pelibatan masyarakat dalam penyusunan perencanaan

Lokasi Batu Gosok Labuan Bajo: RPJMD Kabupaten Manggarai Barat telah menetapkan focus pembangunan pada sektor pariwisata. Namun dalam proses musyawarah perencanaan pada tingkat desa tidak diberi ruang untuk membicarakan sektor pertambangan

Lokasi Kawasan Batang Toru: tidak ada pelibatan masyarakat dalam penyusunan tata ruang Kabupaten Tapanuli Selatan

Lokasi Desa Hakatotubu – Desa Tambea: tidak ada pelibatan masyarakat dalam penyusunan tata ruang Kabupaten Kolaka

Praktek Lapangan

Wilayah Pertambangan

Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan nasional dan daerah diikuti oleh unsur-unsur penyelenggaran negara dengan mengikutsertakan masyarakat

hotline, kotak pos, dan media lainnya di mana masyarakat dapat memberikan masukan dengan mudah Perencanaan Partisipasi dalam Perencanaan Pembangunan Pembangunan diatur sedemikian rupa sebagai berikut:

Norma Partisipasi dalam Kerangka Teori Arnstein Diatur mekanisme sosialisasi, • Terhadap prakteknya, • melalui media tatap muka antara penilaian partisipasi lain dialog, seminar, lokakarya, masyarakat berada diskusi, dan/atau pameran. pada tangga Sosialisasi melalui media elektronik lebih rendah dari antara lain penyiaran di media “Manipulasi” karena radio dan/atau televisi dan rubrik tidak ada partisipasi • tanya jawab melalui media internet; masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan penyusunan penataan untuk menerima masukan dari ruang kabupaten. masyarakat, antara lain melalui kegiatan konsultasi publik, lokakarya, seminar, dan/atau workshop; memberikan tanggapan kepada masyarakat sebagai penjelasan kepada masyarakat atas masukan yang disampaikan kepada Pemerintah/pemerintah daerah. Diatur mekanisme Pemberian informasi melalui media cetak seperti surat kabar, tabloid, majalah, selebaran, brosur, dan pamflet; media elektronik seperti siaran radio, siaran televisi, dan website; dan media komunikasi lainnya seperti melalui sms,

Norma Peraturan Perundangan

92Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

93


Setelah Putusan MK: menafsirkan sepanjang frasa “…memperhatikan pendapat… masyarakat…” (pasal 10 huruf b) bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak

terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c) dengan memperhatikan aspirasi daerah.

Sebelum Putusan MK: diatur dalam Pasal 10 dimana Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a) secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b) secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah

Penetapan WP Partisipasi dalam Penetapan Wilayah Pertambangan diatur sedemikian rupa sebagai berikut: •

Lokasi Desa Hakatotubu – Desa Tambea: Sudah ada usulan wilayah pertambangan dari Dinas Pertambangan ke Provinsi dan Provinsi ke Pemerintah Pusat, namun WP yang diusulkan dari Kabupaten tidak ada proses partisipasi masyarakat Lokasi Kawasan Batang Toru: tidak ada informasi pelibatan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan di Kabupaten Tapanuli Selatan

Lokasi Kawasan Batang Toru: tidak ada pelibatan masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan di Kabupaten Tapanuli Selatan Lokasi Batu Gosok Labuan Bajo: Tidak ada informasi mengenai penetapan wilayah pertambangan. Setelah 2010 Ada upaya Pemda Manggarai Barat untuk mengkoreksi praktek usaha pertambangan dengan menghentikan sementara izin usaha yang telah dikeluarkan

pembangunan daerah di Kabupaten Kolaka

Praktek Lapangan

Dengan pengaturan • demikian, tangga partisipasi ditempatkan dalam tangga “Manipulasi”

Norma Partisipasi dalam Kerangka Teori Arnstein daerah yang dijadikan bahan dalam “Manipulasi” karena musrenbang. tidak ada partisipasi masyarakat dalam • penyusunan penataan ruang kabupaten..

Norma Peraturan Perundangan

94Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

95


96Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

97

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan

Wilayah Pertambangan

masyarakat terhadap suatu usulan pembangunan dari pemerintah. Informasi dimaksud diberikan mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap evaluasi. Bentuk media informasi yang disediakan dapat berupa berita, pamphlet, poster, melalui rapat-rapat.

4.2 Rekomendasi Dengan gambaran berdasarkan peta analisis seperti diuraikan diatas, maka bila kemudian dihubungkan dengan pendapat hukum MK mengenai partisipasi masyarakat sebagai bagian dari kontrol warga terhadap pemerintah serta mempertimbangkan teori tangga partisipasi dari Arnstein, maka untuk pengaturan norma partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam ke depan, diperlukan perubahan substansi norma dengan acuan sebagai berikut: •

Sebagai komitmen untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapapun, maka masyarakat yang akan masuk dalam area pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah baik untuk investasi maupun bentuk lainnya, diberikan hak untuk menyatakan mau menerima atau menolak usulan kebijakan dari pemerintah, sehingga dengan demikian rencana suatu pembangunan ada ditangan rakyat/warga. Pertambangan memiliki dampak besar dan sangat intens bagi komunitas dan lingkungan yang akan dijadikan wilayah pertambangan dan berpotensi mengancam hak konstitusi warga atas lingkungan hidup yang sehat52. Karenanya partisipasi langsung (tidak hanya perwakilan oleh tokoh masyarakat, kepala desa, tokoh adat) dalam pembuatan KLHS, RPJMD, Rencana Tata Ruang Wilayah, dan Wilayah Pertambangan dilakukan secara konkrit untuk memastikan hak konstitusi atas tempat tinggal dan lingkungan sehat terlindungi. Dari sisi tata cara / prosedur pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, perlu dipastikan agar: •

Masyarakat mendapatkan informasi dari Pemerintah mengenai hak, tanggung jawab dan pilihan-pilihan yang dapat dipertimbangkan oleh

52 Pasal 28 H UUD 1945 ayat (1) : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. “

Untuk memastikan bahwa suara/sikap masyarakat dapat didengar langsung oleh pemerintah maka pemerintah harus meminta pendapat baik melalui metode survey sikap warga, pertemuan warga dan dengar perdapat publik.

Tidak menutup kemungkinan dapat membentuk forum-forum multipihak yang menempatkan wakil masyarakat sebagai bagian dari forum tersebut, dengan menjamin bahwa perwakilan tersebut mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat/konstituennya.

Pada tahapan yang lebih tinggi, perlu diatur pembagian peran dalam perencanaan dan pengambilan keputusan melalui struktur seperti badan pengambilan keputusan bersama, komite perencanaan dan mekanisme untuk menyelesaikan kebuntuan atas suatu usulan pembangunan dan masyarakat yang terkena dampak langsung dari proyek pembangunan memiliki porsi suara besar dalam pengambilan keputusan atas suatu usulan pembangunan.



100ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan


102ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

103

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź


104ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

105

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź


106ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

107

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź


108ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

109

Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambanganď ź


110ď źMengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak

Wilayah Pertambangan

PENULIS

Asep Yunan Firdaus Dilahirkan di Ciamis 38 tahun lalu dan mendapat gelar sarjana hokum dari Universitas Diponegorodan magister hukumdariUniversitas Indonesia. Karirnya dimulai di LBH Semarang dan menjabat Direktur Eksekutif periode 2002-2005. Pada periode 2005-2011 menjabat Direktur Eksekutif HuMa.Ia menjadi legal advisor sejak 1998 dan telah memegang izin beracara (litigation)sejak 2002. Saat ini bergabung sebagai owner dari Safir Law Offices. Bidang keahliannya adalah Hukum Sumber Daya Alam, Hukum Acara, dan Legal Drafting.Ia berpengalaman dalam menangani berbagai kasus dan pendampingan untuk masyarakat miskin dan terlibat dalam berbagai riset hukum.

Pius Ginting Pernah kuliah di Teknik Elektro ITB dan Fakultas Kedokteran USU. Saat ini sedang menyelesaikan studi bidang hukum. Aktif sebagai aktivis lingkungan hidup bersama WALHI sejak tahun 2007. Tergabung dalam tim uji materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara yang dimohonkan oleh WALHI dan sejumlah lembaga non pemerintah kepada Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Saat ini sebagai Pengkampanye Tambang dan Energi Eksekutif Nasional WALHI, Kontak Indonesia untuk jaringan South East Asia Renewable People Assembly (SEAREPA)



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.