togutil_tobelo-dalam

Page 1

Tambang Weda Bay Nikel adalah Pelanggaran HAM Berat terhadap Komunitas Tobelo Hutan (Togutil)

Di susun oleh Tim WALHI

2010

1


Tambang Weda Bay Nikel adalah Pelanggaran HAM Berat terhadap Komunitas Tobelo Hutan ( Togutil )

Maluku’s biggest island is eccentrically shaped, with four mountainous peninsulasi, several volcanic cones and dozens of offshore islands. As it’s sparsely populate and hard to get around, the island’s potential for diving, bird-watching, and beach tourism remains almost entirely unttaped. In the revirine interior the nomadic, seminaked Togutil people still hunt deer with wooden spears, but change is coming with gold mining and the Weda Bay nickel-mining concession near Kobe. Pulau terbesar Maluku berbentuk eksenstrik, dengan empat tanjung bergunung, ratusan kubah gunung berapi dan puluhan pulau. Dengan penduduknya yang jarang dan sulit dijelajahi, potensi pulau ini untuk penyelaman, wisata burung, dan turisme pantai hampir sepenuhnya belum tergali. Di daerah tepi sungai di pedalaman, orang-orang Togutil yang nomaden, setengah telanjang masih berburu dengan tombak kayu. Tapi perubahan sedang datang bersamaan dengan tambang emas dan konsesi tambang Weda Bay Nikel dekat kobe. (Lonely Planet Indonesia, 2010)

Preliminary anthropological studies, along with site experience suggest that the Tugutil are present in the Jira River valley (proposed location of the RSF [Residue Storage Facility]) and in East Halmahera, close to the Tofu Bleuwen deposit.

Studi-studi antropolog awal, beserta pengalaman di site mengisyarakatkan bahwa Tugutil hadir di lembah Sungai Jira (diusulkan sebagai lokasi Fasilitas Pembuangan Residu) dan di Halmahera Timur, dekat dengan deposit Tofu Bleuwen. ANDAL Weda Bay Nickel

2


Daftar Isi

Pengantar Profil Pulau Halmahera Apakah Tambang Weda Bay Nickel? Siapakah Pemilik Modal Weda Bay Nikel itu? Siapakah Komunitas Tobelo Hutan itu? Bagaimanakah Hutan, Sungai & Goa menjadi Rumah Tobelo Hutan? Sejarah Panjang Penyingkiran dan Penindasan atas Komunitas Tobelo Hutan Tambang dan Tobelo Hutan Bagaimana Keterlibatan Bank Dunia dalam Penyingkiran Komunitas Tobelo Hutan? Apa Kata Bank Dunia tentang Komunitas Tobelo Hutan? Apa Kata Perusahaan tentang Tobelo Hutan Pelanggaran Regulasi Nasional yang Dilakukan oleh Weda Bay Nickel Pelanggaran Regulasi Internasional yang Dilakukan oleh Weda Bay Nickel Rekomendasi

3


Pengantar Pertambangan masuk ke dalam lokasi wilayah Maluku Utara. Penambangan telah menghancurkan wilayah Maluku Utara di Bagian Timur yakni di Tanjung Buli. Demikian juga pencemaran air telah terjadi dengan penambangan emas di sekitar Teluk Kao. Dengan masukknya tambang ke wilayah Weda, maka akan terjadi ancaman yang serius terhadap masyarakat yang hidup di sekitar tambang tersebut. Di samping masyarakat tradisional yang telah menetap sekitar tambang, yang menjadi terancam adalah kelompok masyarakat yang masih nomaden yang tinggal di dalam hutan. Masyarakat Maluku Utara menyebut mereka suku Togutil, yang artinya orang yang tinggal di hutan. Sebagian juga menyebutnya Tobelo Dalam, atau juga Tobelo Hutan. Perhatian khusus harus diberikan kepada komunitas ini karena mereka masih hidup sangat tergantung secara langsung apa yang disediakan alam, dengan berburu, menangkap ikan-ikanan di sungai. Dijadikannya kawasan mereka menjadi kawasan tambang akan membuat mereka dalam keadaan terancam. Tidak hanya habitat makanan mereka seperti rusa yang hidup dalam hutan yang akan musnah, namun hutan sebagai habitat mereka dengan pola hidup nomaden di kawasan tersebut menjadi terancam. Pengumpulan informasi di dalam laporan ini didasarkan pada wawancara dengan masyarakat lokal sekitar tambang, aktivis lingkungan yang berdomisili di Halmahera, Maluku Utara, dan membaca literatur yang telah dipublikasikan sebelumnya, serta informasi yang diberikan oleh perusahaan melalui AMDAL. Laporan ini dibuat untuk menarik perhatian masyarakat Indonesia dan internasional atas kasus ini, dan menghentikan rencana penambangan Weda Bay Nickel sebuah tambang nickel di kawasan ini, sebelum semuanya terlambat. Kita masyarakat modern dalam memperjuangkan hak-hak kita telah mengenal organisasi advokasi, lembaga bantuan hukum, dan lain-lain. Namun masyarakat Togutil yang interaksinya dengan masyarakat luar, dengan perbedaan bahasa (bahkan dengan masyarakat lokal setempat), tidak bisa berbuat banyak bagi kelangsungan hidup mereka jika bukan adanya dukungan dari luar, dari kita yang dikategorikan lebih mengenal nilai kemanusiaan dan beradab, dan mengenal arti penting daya dukung lingkungan untuk menunjang kehidupan.

4


Profil Pulau Halmahera Pulau Halmahera terkenal di dunia internasional karena di daerah inilah Alfred R. Wallace melakukan penelitian yang menghasilkan teori evolusi. Tanpa penemuan Wallace di Halmahera, Charles Darwin kemungkinan besar tidak akan pernah menerbitkan karyanya selama masa hidupnya. Pulau Halmahera bentuknya unik, dan sebagai pulau terbesar yang terdapat di Provinsi Maluku Utara. Kendati demikian, pulau ini tidaklah tergolong besar. Luasnya hanya 26.900 km persegi. Namun di pulau ini terdapat 168 ijin pertambangan, termasuk dua tambang di kawasan hutang lindung yang diberikan keistimewaan oleh pemerintah. Kerusakan parah akibat pertambangan telah terjadi di beberapa titik di Wilayah Maluku Utara. Di ataranya tambang di kawasan hutan lindung di daerah Teluk Kao oleh penambangan emas PT. Nusa Halmahera Mineral, kerusakan yang parah di Tanjung Uli akibat penambangan PT. Antam. Penambangan nikel di Halmahera Timur, Tanjung Buli, yang dikelola oleh ANTAM telah merusak hutan di daerah Tanjung Buli dan menciptakan kekeruhan air laut. Di samping itu, tambang ini pun telah menghancurkan pulau terdekat, yakni pulau Gee. Jumlah deposit nikel yang terdapat di pegunungan teluk Weda adalah empat kali lipat dibanding yang terdapat di Tanjung Buli. Sehingga dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat akan terjadi lebih besar. Ekspansi pertambangan di wilayah Halmahera telah mengkawatirkan bagi keragaman hati dan keselamantan penduduk pribumi yang masih sangat tergantung kepada alam. Wakil Ketua LIPI Lukman Hakim menyatakan, “Wilayah Indonesia Timur dari wilayah Ternate, Halmahera, hingga Papua menjadi wilayah prioritas konservasi saat ini. Ancaman kerusakan paling besar adalah dari kegiatan tambang yang makin marak.� 1

1

http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1274236192&&2010&1036002765

5


6


gambar 1 Salah satu titik kehancuran Halmahera Timur akibat tambang nikel

7


Foto: Walhi Malut gambar 2 Pantai di sekitar Tj Buli Halmahera Timur rusak karena penambangan nikel

8


Ekspansi penambangan di Maluku Utara tidak pernah memperhatikan daya dukung lingkungan. Terbukti dengan keberadaan dua tambang besar multinasional diijinkan di kawasan lindung, yakni Nusa Halmahera Mineral dan Weda Bay Nickel. Bahkan pulau-pulau kecil yang rentan dengan daya dukung ekologi, yang terdapat di sekitar Pulau Halmahera ditambang hingga habis potensinya sebagai ekosistem berkelanjutan, seperti di pulau Gee dan pulau Gebe. Kini gersang dan tandus.

Foto: Walhi Malut gambar 3 Kehancuran hutan di daerah Tj Buli, Halmahera Timur akibat penambangan nikel.

9


Foto: Walhi Malut gambar 4 Kehancuran Pulau Gee di Kabupaten Halmahera Timur akibat penambanga nikel sejak tahun 1998

Maluku Utara adalah perbukitan dan gunung-gunung vulkanis serta pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan dataran. Beberapa pulau ukuran kecil seperti Ternate, Tidore, dan Makian, merupakan pulau gunung merapi. Pulau Halmahera juga memiliki beberapa gunung merapi dan mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dari Teluk Kao, Teluk Buli, Teluk Weda, Teluk Payahe dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar Teluk Buli (di Timur) sampai Teluk Kao (di Utara), pesisir barat mulai dan Teluk Jailolo ke utara dan Teluk Weda ke selatan dan utara ditemui daerah dataran yang luas.

10


Foto: Walhi Malut gambar 5 Hutan tercemar limbah tambang yang mengandung bahan berbaya dan beracun di sekitar Teluk Kao, Halmahera Utara

Dari jenis lapangan pekerjaan, sebagian besar penduduk Maluku Utara bekerja di sektor pertanian, yakni berjumlah 224.718 orang atau 60,35 persen dari jumlah penduduk yang bekerja.

11


Apakah Tambang Weda Bay Nickel? Wilayah pertambangan Weda Bay Nickel terhadap di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Luasnya adalah 54.874 ha. Hampir semua kawasan tambang ini berada dalam kawasan hutan dan mencakup kawasan hutan lindung. NO Jenis Hutan

Luas (Hektar)

Persentase

1

Hutan Produksi Konversi

6.410

12

2

Penggunaan Lain

90

0,2

3

Hutan Produksi

7.690

14.4

4

Hutan Lindung

14.140

46,8

5

Hutan Produksi Terbatas

53.250

26,6

Total: 53,250 Hektar.

Dari hutan yang dipakai tersebut, sebagian besar, yakni 46,8 persen merupakan kawasan hutan lindung. Beberapa desa terdapat di kawasan tambang ini. Yakni, Desa Kobe, Leliwef Atas dan Bawah, Gemaf. Juga Desa Sagea, kendati secara langsung desa mereka tidak masuk, tapi Sungai Sagea di bagian muara yang lebarnya sekitar 20 meter dengan kedalam sekitar 2 meter, mereka konsumsi, dan bersumber dari hutan belakang rumah. Hingga di bagian muara, air tampak jernih dan alami, bagian dasar sungai tampak jelas. Bila penambangan terjadi, air ini dipastikan akan mengalami kekeruhan, sebagaimana disebutkan di dalam ANDAL Weda Bay Nickel.

12


Sbr: Andal WBN gambar 6 Wilayah Kontrak Karya Weda Bay Nikcel

Siapakah Pemilik Modal Weda Bay Nikel itu? PT Weda Bay Nickel (WBN) adalah perusahaan yang akan menambang nikel dan cobalt di kawasan hutan di Weda, Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Weda Bay Nickel mendapatkan ijin melalui kontrak karya menjelang akhir pemerintahan Soeharto, berdasarkan Keputusan Presiden No No. B.53/PRES/1/1998 tertanggal 19 Januari 1998 untuk pertambangan nikel di Halmahera Utara dan Halmahera Timur. Proyek tambang ini sahamnya dimiliki 90% oleh perusahaan berbasis di Singapore, yakni Strand Minerals (Pte) Ltd dan 10% oleh perusahaan PT Aneka Tambang.2 Strand Minerals mayoritas dimiliki oleh Eramet S.A dari Perancis, dan sisanya oleh Mitsubishi Corporation.

2

Eramet-PT Weda Bay Nickel Exploration and Development ESIA

13


Sbr: Andal Weda Bay Nickel

Siapakah Komunitas Tobelo Hutan itu? Berbeda dengan kebanyakan masyarakat adat lainnya di Indonesia, komunitas Togutil (kadang disebut Tobelo Dalam, juga Tobelo Hutan) adalah masyarakat yang masih menjalani kehidupan sangat tradisional dan tergantung pada alam di Halmahera. Mohammad Fathi Royyani, Peneliti LIPI, menyatakan mereka dapat dikategorikan sebagai masyarakat berburu. Belum meningkat pada meramu (mengolah makanan). Untuk memenuhi kebutuhan, mereka secara masih mengandalkan berburu, belum melakukan domestikasi ataupun ladang. Apalagi jika menabung dan menyimpan makanan untuk esok.3

3

http://indonesiafile.com/content/view/2421/43/ (diakses 22 September 2010)

14


Oleh Dinas Sosial setempat, suku ini masih dikategorikan suku “terasing�. Sifat ketergantungan terhadap alam pada suku Tobelo Dalam dapat dilihat dari nilai penting alam dalam kehidupannya. Hutan, terutama tumbuhan dan hewan selain sebagai pemenuhan kebutuhan hidup juga sebagai solusi atas masalah-masalah kehidupan. Dari sakit yang diderita sampai pada ritual mendatangkan arwah tidak lepas dari adanya tumbuhan. Walau sebagian dari mereka sudah memiki tempat tinggal namun gaya hidup dan prilaku masih belum berubah. Apa yang mereka sebut dengan tau atau rumah hanyalah bangunan sederhana berbentuk panggung yang beratap daun woka, tanpa dinding. Di panggung yang umumnya berukuran 2x3 meter ini seluruh anggota keluarga tinggal. Aktifitas harian pun masih selayaknya di hutan. Mereka menggantungkan kebutuhan hidup dari hutan. Berburu adalah profesi utama mereka dalam mendapatkan makanan. Bila mereka merasa lapar maka mereka pergi berburu Sebagian besar dari mereka tidak terbiasa dengan kehidupan menetap. Masuknya pertambangan ke wilayah mereka akan membuat sempit ruang hidup mereka. Selain berburu, mereka juga mengambil makanan (ubi kayu, ubi jalan, buah-buahan) di mana mereka menemukannya langsung di alam. Bagi mereka, tidak ada kepemilikan terhadap suatu tempat atau pun sumber makanan di dalam hutan. Yang sudah menetap pun tidak memiliki peralatan dapur atau alat masak.

15


Foto:Jean-Pierre Dutilleux gambar 7 Anggota komunitas Togutil menangkap jenis udang dari sungai. Mereka biasanya hidup nomaden sepanjang sungai

16


Foto: Jean-Pierre Dutilleux gambar 8 Pondok keluarga Togutil. Beratap daun dan tidak berdinding Bagaimanakah Hutan, Sungai & Goa menjadi Rumah Komunitas Tobelo Hutan? Komunitas Togutil ada yang bermukim di daerah pantai, namun sebagian besar berada di hutan pedalaman bersungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat� yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju. Komunitas Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka. Namun dalam wawancara dengan salah seorang penduduk di Weda, semua prasangka ini dipertanyakan. Karena belum pernah ada insiden masyarakat lokal diserang oleh anggota komunitas Togutil. Karena hutan adalah rumah bagi kamunitas Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Pohon juga menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). Catatan hasil Lomba Yayasan Peduli Hutan Lestari (2008) bahwa ada beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir, maka 17


salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga4. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan komunitas Togutil bisa bertahan dalam hutan, tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga. Komunitas Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani. Sistem mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis. Komunitas Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian. Cara berburu komunitas Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-komunitas Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan kelelawar. Komunitas Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok, misalnya meramu sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.5

4

www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Lomba-YPHL-:-Pohon-Sebagai-Simbol-Kelahiran-:Mempertimbangkan-Pemahaman-Lokal-tentang-Pohon-dalam-Upaya-Pemulihan-KerusakanHutan&dn=20081031180705 (diakses 1 Oktober 200) 5

http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/

(diakses pada 22 September 2010)

18


Foto: Jean-Pierre Dutilleux gambar 9 Komunitas Togutil sangat tergantung pada sungai dan hutan

19


Sejarah Panjang Penyingkiran dan Penindasan atas Komunitas Tobelo Hutan Fahrudin Maloko, aktivis Walhi Maluku Utara menyebutkan, ekspansi perusahaan penebangan kayu pada masa pemerintahan Orde Baru telah menciptakan penyingkiran komunitas Togutil dari ruang hidup mereka. Sumber-sumber di Halmahera menyatakan banyak

masyarakat Togutil yang

dikeluarkan secara paksa oleh Negara lewat aparatur keamanan (TNI/POLRI) hutan yang dijadikan wilayah industri kayu, dan kini pertambangan. Kejadian ini banyak berujung pada kematian komunitas Togutil akibat agresi aparat. Indikasinya, sejumlah kebiasaan masyarakat Togutil yang takut terhadap orang yang mengunakan pakaian loreng dan membembeng senjata laras panjang. Jika meraka melihat ada

orang yang

berpakaian demikian meraka pasti akan menghindar sebisa mungkin. Christopher R. Duncan menyatakan, masyarakat Tobelo Hutan belum mengetahui bahasa Indonesia, dan tetap tidak sadar akan keberadaan entitas yang lebih besar yang dinamai Indonesia. Mereka yang pernah mendengar nama itu berpikir itu mengacu kepada nama kampung lain di tepi pantai. Konsepsi mereka tentang pemerintahan nasional hanya melalui interaksi sesekali mereka dengan polisi. Ide tentang pemerintah semata artinya adalah penangkapan. Karena itu mereka takut akan sosok dari pemerintahan.6 Kepada Tobelo Hutan (komunitas Togutil) yang tinggal di pedalaman pulau Halmahera pada tahun 1996 dinyatakan, jika mereka tidak pindah [dari hutan] dan bermukim di daerah pantai, mereka akan dinilai sebagai pendukung partai komunis. (Duncan 1998: 320-21). Dengan pengklasifikasian masyarakat Tobelo Hutan di Pulau Halmahera sebagai suku terasing mendorong pemerintah melihat bagian pedalaman pulau terebut sebagai kosong dan terbuka bagi eksploitasi. Secara umum, dengan dicap terasing, hal ini tidak menguntungkan populasi lokal dan biasanya menghasilkan kecemasan, kesewenang-wenangan, atau ancaman, atau pemindahan terhadap mereka. Dengan rancangan ini, akibatnya komunitas disangkal kehadirannya. Tanah dan teritori yang mereka duduki dilihat sebagai kosong atau tempat berbahaya dan liar yang perlu dijinakkan lewat pembangunan. Stigmatisasi ini disertai dengan dorongan tidak henti-hentinya bagi pembukaan teritori baru, beserta dampak yang menghancurkan bagi komunitas lokal. Ancaman yang paling serius adalah kecepatan pembangunan yang dipaksakan (sebagai contoh, perkebunan, transmigrasi dan pertambangan) dan upaya elit Indonesia untuk mendapatkan rente. 6

Christopher R. Duncan, ed, Civilizizing the Margin, South East Asian Goverment Policies for evelopment of Minorities, 2004, Cornel University. Dapat diakses di http://books.google.co.id/books?id=Ms5A9nMAlPUC&pg=PA1&lpg=PA1&dq=Christopher+R.+Duncan&source =bl&ots=4MR5BUorhY&sig=isN7bEpF5y32pBQaD9BEjc8IOug&hl=id&ei=gMGiTO2KLYW6vQPB-T1Aw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=8&ved=0CEUQ6AEwBw#v=onepage&q=tobelo&f=false

20


Paska Reformasi tahun 1998, kehidupan di Halmahera tampaknya belum jauh beranjak menjadi demokratis. Cerminannya, tampak dalam perlakuan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tambang. Misalnya, akses menuju tambang Nusa Halmahera Mineral harus melewati berbagai pos militer mulai dari Angkatan Darat, Laut, Kostrad-Angkatan Darat, hingga Brimob. Pemerhati lingkungan yang peduli terhadap dampak polusi yang diakibatkan oleh perusahaan tambang ini harus sembunyi-sembunyi dan meresikokan diri agar bisa mengambil sampel-sampel bukti pencemaran lingkungan yang diakibatan perusahaan. Keterkaitan erat tambang Weda Bay Nickel dengan aparat keamanan republik Indonesia tercermin dalam pengakuan bahwa Amdal mengandalkan sumber informasi yang diberikan oleh intelijen negara. Perlu diingat, paska reformasi 1998, pemerintah Indonesia menambahkan komando teritorial militer di dua tempat, yakni di Aceh dan Kodam Pattimura, di Maluku. Hal yang lebih buruk sangat dikhawatirkan terjadi dengan komunitas Togutil yang berada di pegunungan-pegunungan hutan yang lebih terisolir. Dengan masukknya tambang Weda Bay Nikel ke ruang hidup Komunitas Togutil, maka sejarah panjang penyingkiran dan penindasan ini akan diperpanjang ke depan hingga 46 tahun ke depan berdasarkan periode sekuensi pertambangan. Perlakuan terhadap mereka sulit dipantau karena posisinya berada sangat terisolasi yang sulit dijangkau media maupun organisasi pemerintah seperti lembaga bantuan hukum. Terlebih Indonesia memiliki pelaksanaan aturan yang lemah terhadap perlindungan hak masyarakat pribumi atas tanah. Hal ini tercermin dalam survey Fraser Institut terhadap para CEO dan direksi perusahaan tambang internasional yang dalam perpektif mereka Indonesia tergolong sebagai negara yang memiliki aturan yang telah dalam mendukung klaim hak-hak tanah suku asli, dan tidak memiliki regulasi terkait hal tersebut menjadi faktor mereka tidak melakukan investasi di Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia dalam perlindungan tanah masyarakat pribumi/asli dianggap lebih lemah dibandingkan Kazakhastan, Mali, Kyrgistan, Brazil, Namibia, Kongo, India atau Filipina.

21


22


Tambang dan Togutil Oleh: Fahruddin Maloko (WALHI Maluku Utara)

Pulau

Halmahera

menyimpan yang

keunikan

jauh

terasing

dari

di

asing

yang

terkenal

tersendiri,

peradaban

pedalaman

dengan

dimana

dunia

pulau

sumber

masih

saat

ini.

Halmahera,

ada

daya sejumlah

Suku

“togutil�

Maluku

utara.

alamnya,

ternyata

kelompok

manusia

demikian Kata

sebutan

Togutil

suku

mungkin

bagi masyarakat yang berasal dari daerah lain, namun di masyarakat Maluku

utara sangat mengenal apa itu suku Togutil.

Suku

togutil,

manusia

dalam

yang

hutan-hutan hukum asing,

jauh

di

alam, dan

pandangan dari

pulau tidak

juga

masyarakat

peradaban

Halmahera. beragama

membunuh.

Maluku

dunia Tidak

moderen

merupakan

saat

ini,

berpendidikan,

(humanisme), Ini

utara,

deratan

dan

pemaknaan

yang

berburu,

sangat

rentan

orang

sekelompok mendiami

pemberlakuan terhadap

“togutil�

orang

dari

benak

masyarakat moderen di Maluku utara.

Namun

sejauh

hutan-hutan mereka

telah

masyarakat modern,

di

perjalanan

waktu,

Halmahera

ini,

sedikit dalam

sudah

mengenal sebuah

komunitas

mengalami

dunia desa,

Togutil

luar,

yang

perubahan

pelan-pelan

melakukan

mudah yang

mereka

regenerasi

dijumpai

pada

drastis,

dimana

berbaur

dengan

dengan

masyarakat

hingga memberanikan diri untuk bermukim bersama dengan masyarakat pada

umunya.

Sumber penghidupan masyarakat togutil sangat tergantung pada alam,

mereka berburu, dan

bercocok tanam. Hampir semua anggapan masyarakat Maluku Utara, bahwa masyarakat Togutil merupakan

masyarakat

yang

berasal

dari

wilayah

Halmahera

meraka menyebar hingga hampir semua pelosok hutan Halmahera,

Utara

(tobelo),

berpindah-pindah

dan

tempat.

Ketergantungan kehidupan masyarakat togutil terhadap alam, dapat dilihat pada salah satu ritual meraka, diaman jika adanya

seorang

generasi/atau seorang bayi yang lahir dari kelompok

masyarakat togutil maka diwajibkan bapak dari bayi tersebut harus menanam sebuah pohon, dan 23


pohon tersebut

harus

dijaga pertumbuhannya, seiring dengan pertumbuhan anak tersebut. Ini

merupakan bentuk dari penghargaan masyarakat togutil terhadap alam, sebagai sumber kehidupan.

Dengan

adanya

Halmahera,

aktifitas

sangat

berpindah-pindah company,

pertambangan

mengancam

tempat,

karena

dan

wilayah

oleh

company

keberadaan

meraka,

banyak

kali

mengalami

juga

meraka

sering telah

asing

dijamah

dan

oleh

nasional dari

di

hutan

meraka

yang

bentrokan

aktifitas

dengan

pertambangan

company asing maupun nasional. Bentrokan yang terjadi, biasanya dipicu oleh permasalahan kepemilikan kawasan hutan. Anggapan orang Tugutil rumah meraka telah dirusak oleh orang-orang asing. Dari beberapa sumber juga banyak masyarakat Togutil yang dikeluarkan secara paksa oleh Negara lewat aparatur

keamanan

(TNI/POLRI) yang bermukim dikawasan company pertambangan. Sehingga

banyak yang berujung pada kematian komunitas Togutil akibat agresi aparat

keamanan. Namun akibat ketertutupan infomasi dan sulitnya akses media ke lokasi-lokasi dimana Suku Togutil ini berada, hal ini tertutup dan tidak diketahui luas. Sehingga banyak anggapan umum bahwa, suku togutil sering dilakukan kasar oleh aparat keamanan, hingga ada juga pada kematian. Indikasinya,

sejumlah

kebiasaan

masyarakat

Togutil

yang

takut

terhadap

orang

yang

mengunakan pakaian loreng dan membembeng senjata laras panjang. Jika meraka melihat ada orang yang berpakaian demikian meraka pasti akan menghindar sebisa mungkin.

Bagaimana Keterlibatan Bank Dunia dalam Penyingkiran Komunitas Togutil? Pada 11 Agustus 2010 MIGA (Multilateral Investmen Guarantee Agency) grup perusahaan dari Bank Dunia bergerak dalam asuransi investasi menyatakan persetujuan menjami 207 juta dolar bagi Strand Minerals Pte. Ltd of Singapore bagi investasinya di PT Weda Bay Nickel. Strand Minerals adalah perusahaan yang dimiliki bersama oleh Eramet SA dari Perancis dan Mitsubishi Corporation dari Jepang Japan. Asuransi ini meliputi periode hingga tiga tahun terhadap resiko pembatasan transfer [kekuangan], pengambilalihan pelanggaran kontrak, dan perang serta gangguan sosial. Dalam periode ini sebanyak 230 juta akan diinvestasikan bagi keteknikan dan studi kelayakan.

24


Diperkirakan keputusan investasi final akan dilakukan pada akhir tahun 2010.7 Dengan menyetujui memberikan asuransi bagi proyek tambang di kawasan hutan lindung dimana komunitas Togutil terdapat, maka Bank Dunia melalui MIGA terlibat dalam penyingkiran komunitas Togutil dari ruang hidup mereka.

Apa Kata Bank Dunia tentang Komunitas Togutil? Bank Dunia dalam Daftar tanya jawab mengenai Proyek usulan tambang nikel teluk weda (wbn) memuat pertanyaan berikut ini:8

Apakah proyek akan memindahkan masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada daerah-daerah yang akan ditambang dan secara fisik memindahkan penduduk asli Tobelo Hutan, yang hidup di daerah tambang? Kehadiran Tobelo Hutan yang hidup di kawasan Kontrak Karya berlawanan dengan pernyataan bahwa “diperkirakan tidak ada pemindahan keluarga dari rumah mereka” dan pernyataan bahwa tidak diperlukan adanya Rencana Tindakan Pemindahan Tempat Tinggal. Pemindahan fisik dapat terjadi pada seluruh tahapan proyek. ESRS menyatakan bahwa “tidak diketahui sejauh mana Tobelo Hutan bergantung pada sumber daya yang berada atau dekat dengan daerah yang akan ditambang" dan bahwa "Tobelo Hutan kini ada pada ... lokasi yang diusulkan untuk [Fasilitas Penyimpanan Residu].” Proyek tersebut belum mendokumentasikan dampak yang sangat mungkin terjadi, mendapatkan informasi yang memadai, berkonsultasi dan merencanakan dengan masyarakat setempat dan mendapatkan partisipasi dari penduduk asli yang telah diberi informasi di kawasan proyek seperti disyaratkan oleh Standar Kinerja 7 milik MIGA mengenai Penduduk Asli. TANGGAPAN MIGA9: Berdasarkan penelitian aktuil, tidak ada kalangan masyarakat yang akan dipindahkan pada tahap apapun dari proyek. Tobelo Hutan adalah kelompok yang berpindah. Proyek diperkirakan tidak akan membawa dampak buruk bagi masyarakat Tobelo Hutan. WBN akan merancang dan menerapkan

7

8

9

http://www.miga.org/projects/index_sv.cfm?pid=828 http://www.miga.org/documents/WBN_FAQs_Bahasa.pdf (diakses pada 28 September 2010) idem

25


rencana pembangunan masyarakat untuk seluruh masyarakat yang tampaknya akan terpengaruh oleh proyek, sesuai dengan Standar Kinerja 7 milik MIGA mengenai Penduduk Asli. Rencana pembangunan masyarakat juga akan menyertakan kelompok masyarakat Sawai dan Tobelo Desa, walaupun mereka adalah kelompok adat dan bukan penduduk asli. Pertemuan-pertemuan dan diskusi kelompok fokus telah dilaksanakan dengan masyarakat, termasuk dengan Tobelo Hutan. Kritik atas informasi ini: Sulit memverifikasi kebenaran tanggapan Bank Dunia/MIGA bahwa telah dilakukan pertemuan dan diskusi kelompok terfokus yang dilakukan dengan masyarakat, termasuk dengan Tobelo Hutan. Apakah diskusi ini benar-benar ada? Dan jika benar, lebih sulit lagi mewujudkan diskusi yang setara dengan masyarakat Tobelo Hutan yang masih hidup nomaden yang sangat tergantung dengan alam dengan kekuatan perusahaan yang didukung oleh kekuatan keamanan (Tentara/Polisi) serta antropolog yang di danai oleh perusahaan, bukan independen berdasarkan rekomendasi pakar yang kritis terhadap dampak tambang bagi komunitas Tobelo. Sulit untuk diterima akal sehat bahwa masyarakat nomaden yang tergantung dengan alam rela hutan mereka ditebang dan digali skala luas, sehingga sumber-sumber kehidupan mereka akan hilang (hutan, rusa, ikan, umbi-umbian dll).

Bahkan, tanggapan yang diberikan oleh Bank Dunia/MIGA bertentangan dengan informasi yang diberikan oleh perusahaan dalam dokumen ANDAL: “Derajat ketergantungan Orang Tugutil terhadap sumber-sumber daya yang di dalam atau dekat dengan kawasan tambang belum diketahui. Studi lebih jauh akan dilakukan untuk memeroleh informasi lebih banyak terhadap hal ini dan aspek kehidupan mereka. Adalah mungkin aktivitas Proyek ini menghalangi pergerakan mereka dan menyebabkan perubahan terhadap pola kehidupan dan kesengsaraan (distress).10

Dalam

kesimpulannya

tentang

dampak

terhadap

masyarakat

pribumi,

perusahaan

menyimpulkan bahwa efek-efek aktivitas pertambangan terhadap Indigenous People adalah berdampak negatif secara signifikan11. Bertentangan dengan pernyataan MIGA/Bank Dunia di atas.

Apa Kata Perusahaan tentang Tugutil12

10

ANDAL Weda Bay Nickel, versi Inggris, hal V-44

11

idem

12

Idem, hal III, 287-288

26


Berdasarkan informasi yang tersedia di dokumen ANDAL disebutkan: “...Tugutil adalah bagian dari grup etnis Tobelo dengan gerakan migrasi tertinggi. Pola penjelajahan mereka mengikuti arus sngai dengan area semak-semak. Tugutil berusaha tinggal sementara dekat hutan sago di dalam pondok terbuka sebagian dibangun dibawah pohon dengan ‘daun serdang’ (livistona rotundifolia) sebagai atap dan material tembok. Mereka biasanya membangun dua pondok dimanapun mereka tinggal sementara. Jerat tali (dodeso) biasanya terdapat diantara pondok itu untuk menangkap burung, rusa, atau binatang liar. Pegerakan suku Tugutil tergantung kepada persediaan binatang buruan dan sagu. Mereka tidak mengklaim kepemilikan atas hutan. Alih-alih, seperti nenek moyang mereka, mereka hanya menjelajahi wilayah hutan (tidak ada batas-batas) da mendengarkan kepada Jou ma dutu (jiwa-jiwa penjaga hutan) untuk persetujuan bagi kehadiran mereka di kawasan tertentu. Tugutil percaya fenomena alam seperti kilat, gemuruh, dan gempa bumi sebagai jalan Jou ma dutu berkomunikasi dengan mereka. Salah satu hal penting yang mengubah pola pergerakan mereka adalah kematian dalam keluarga. Saat ada anggota keluarga mata, pondok akan ditinggalkan dengan daun-daun palem serta api di sekeliling. Tugutils tidak akan pernah kembali dan tinggal di pondok itu. Di Halmahera Tengah, terdapat sebuah area hutan sagu (metroxylon sago) yang disebut dengan dusun raha oleh penduduk lokal yang terdiri dari Gamenli, Aer Tayawi, Legalol, dan Ake-Jira. Dusun raja raja ini juga sebagai rumah babi liar/hutan ( penting untuk berburu), berbagai sungai (untuk menangkap ikan) dan beberapa haphazard agriculture (cassava and mace). Tugutil cenderung bekerja hanya untuk kebutuhan segera, dan biasanya menukar produk buran dengan garam, beras, dan rokok di desa Kobe. Mereka tida memiliki diet teratur dan cenderung mengonsumsi makan sebanyak yang mereka dapat saat mereka mendapatkan hasil tangkapan. Menurut Ulaen, sulit untuk merekonstruksi pohon genealogi Tugutil. Selama studi, kedua anggota grup (Pak Kahoho and Pak Hutulu) kesulitan untuk mengingat moyang mereka dan hanya mengingat nama orang tua mereka. Tingkat kematian dan juga tingkat kelahiran mereka dikategorikan tinggi oleh sebuah studi tahun 2001. Bagi Tugutil, perkawinan berarti pemenuhan kebutuhan seks. Setiap lelaki atau perempuan Tugutil bisa memilih rekan teman hidup mereka (jangka pendek atau panjang) tanpa penetapan secara sosial. Ciri unik budaya ini adalah perempuan yang telah menikah juga dibiarkan untuk mengindentifikasi dan menjaga hubugan dengan lelaki lain tanpa ada saksi sosial dan batasan (kecuali reaksi dari lelaki yang ditinggalkan).�

Dokumen ANDAL Perusahaan dalam Bagian Prediksi Dampak-dampak Signifikan, pada saat tahap Operasi Pertambangan, terkait dengan Penggundulan Lahan (Land Clearing) menyatakan, terkait Kehidupan penduduk pribumi (livelihoods of indigenous people):

“Sejumlah kelompok kecil masing-masing berdasarkan satu keluarga, dikenal sebagai penghuni pedalaman hutan Halmahera. Dikenal sebagai Tugutil, kelompok ini nomaden, dan tergantung pada 27


berburu dan meramu untuk subsistensi, dan sesekali mendatangi dataran rendah untuk mengambil sagu. Anggota kelompok (tribe) ini menghindari kontak dengan penduduk Halmahera lainnya, kecuali saat mereka berusaha untuk melakukan pertukaran untuk tembaka, garam dan beras. Dapat diharapkan, bahwa mereka akan menghindari kontrak dengan operasi-operasi proyek [tambang ini]. Studi awal antropologis, beserta dengan pengalaman di site menunjukkan Tugutil terhadap di lembagi Sungai Jira (diusulkan untuk lokasi Fasilitas Penyimpanan Residu), dan di Halmahera Timur, dengan dengan deposit Tofu Bleuwen. Studi refrensi juga mengindikasikan bahwa mereka juga terdapat di bagian lain di pulau ini. Derajat ketergantungan Orang Tugutil terhadap sumber-sumber daya yang di dalam atau dekat dengan kawasan tambang belum diketahui. Studi lebih jauh akan dilakukan untuk memeroleh informasi lebih banyak terhadap hal ini dan aspek kehidupan mereka. Adalah mungkin aktivitas Proyek ini menghalangi pergerakan mereka dan menyebabkan perubahan terhadap pola kehidupan dan kesengsaraan (distress).13

Kritik atas informasi ini adalah: Komunitas Togutil akan kesulitan menghindarkan kontak dengan operasi-operasi pertambangan karena operasi tersebut berada di dalam hutan yang menjadi ruang hidup mereka. Kalaupun mereka menghindar, ini adalah bentuk dari pengusiran/penggusuran komunitas Togutil dari ruang hidup tersebut. Setidaknya saat perusahaan dalam ANDAL telah mengakui bahwa di Sungai Jira terdapat komunitas Togutil dan tetap merencanakan DAS (daerah aliran sungai) Jira sebagai tempat penyimpanan residu (Residue Storage Facilities) seluas 130 hektar, adalah sebuah tindakan yang tidak manusiawi. Penggundulan lahan seluas 130 hektar di daerah hulu DAS Sungai Jira akan berdampak buruk terhadap habitat Komunitas Togutil dan berpeluang besar menyebabkan banjir.

Pola kehidupan masyarakat pribumi sangat tergantung kepada alam. Dengan pengakuan perusahaan bahwa bahwa “Derajat ketergantungan Orang Tugutil terhadap sumber-sumber daya yang di dalam atau dekat dengan kawasan tambang belum diketahui. Studi lebih jauh akan dilakukan untuk memeroleh informasi lebih banyak terhadap hal ini dan aspek kehidupan mereka. Adalah mungkin aktivitas Proyek ini menghalangi pergerakan mereka dan menyebabkan perubahan terhadap pola kehidupan dan kesengsaraan (distress)�, berarti AMDAL perusahaan belum mencakup keseluruhan dampak yang terjadi, khususnya bagi komunitas Togutil. Sementara itu, pemerintah daerah hingga pusat telah menyetujui AMDAL Weda Bay Nickel. Ini adalah sebuah tindakan yang tidak tepat.

Dalam dokumen RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) menyebutkan referensi atau indikator bagi dampak pertambangan Weda Bay Nickel atas sosio-budaya terkait dengan kehidupan komunitas masyarakat pribumi (indigenous people) adalah 13

ANDAL Weda Bay Nickel, versi Inggris, hal V-44

28


1. Ada atau tidak adanya keluhan yang valid. 2. Kejadian-kejadian terkait komunitas.

Masyarakat Togutil dengan pola hidup yang masih tradisional dan nomaden tidak akan

bisa

menggunakan metode komplain yang valid. Terlebih di bagian ANDAL, perusahaan justru mengharapkan komunitas Togutil “menghindari kontak dengan operasi-operasi proyek [tambang ini],� dengan kata lain, masyarakat Togutil telah diharapkan/diperkirakan oleh perusahaan akan terusir dan bagi komunitas tersebut, perusahaan didukung oleh kekuatan keamanan adalah terlalu kuat untuk mengajukan keluhan.

Di samping itu dengan membuat indikator adalah kejadian-kejadian terkait komunitas (bisa saja kelaparan, atau konflik diantara komunitas Togutil atau dengan masyarakat lokal yang telah beradaptasi dengan ekonomi umum) karena makin sempitnya ruang hidup bagi Komunitas Togutil, tampaknya masyarakat menunggu sebagai korban agar ada tindakan dari perusahaan, dan kompensasi apaun tentunya tidak akan memadai buat masyarakat yang masih sangat terkait dengan dengan alam.

Perusahaan terbukti tidak memperhatikan kehidupan keberadaan Komunitas togutil dengan proyek yang telah melangkah jauh maju (terhitung sejak tahun 1996 saat perusahaan mulai melakukan eksplorasi pengintaian-- reconnaissance), sementara mereka masih merencanakan studi antropologi lebih lanjut pada tahun 2010 ini untuk mendapatkan gambaran tentang komunitas Togutil. 14 Dengan demikian, studi ini hanya akan sebagai pelengkap, namun tidak direncanakan mengubah signifikan operasi tambang demi melindungi ruang hidup Togutil

Dalam Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan, terkait dengan kehidupan penduduk asli (indigenous people) sebagai upaya pengelolaan, perusahaan menerapkan:

1. Mengembangkan Code of Conduct

internal proyek terkait interaksi dengan penduduk

pribumi. 2. Berkordinasi dengan upaya terkait lainnya dari perusahaan dengan lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga.

Kritik atas pengelolaan ini adalah: Pengembangan Code of Conduct ini hanya bersifat permukaan. Tidak akan bisa menggantikan dampak bagi masyarakat suku Togutil yang kehilangan ruang hidup.

Pelanggaran Regulasi Nasional yang dilakukan oleh Weda Bay Nickel 14

Rencana Pengelolaan Lingkungan PT. Weda Bay Bay Nickel, Bahasa Inggris, hal 19

29


Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1. Amandemen kedua Pasal 28A menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.� 2. Pasal 18B ayat menyatakan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang".

Pelanggaran Regulasi Internasional yang dilakukan oleh Weda Bay Nickel 1. Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli di Negera-Negara Merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat adat.

2. Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keaneka-ragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat.

3.

Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966).

4.

Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan sebagainya.

30


Rekomendasi Memperhatikan dampak tambang nikel yang telah terjadi di Pulau Halmahera, dan pulau-pulau sekitarnya (Pulau Gee, Pulau Gebe) yang telah menciptakan kerusakan lingkungan besar berupa penggundulan hutan, kekeruhan luar biasa terhadap perairan darat dan laut, serta telah menimbulkan gejolak sosial sebagaimana terjadi di Pulau Gebe, maka WALHI merekomendasikan untuk tidak meneruskan proyek tambang nikel ini.

Menjadikan kawasan pegunungan di teluk Weda menjadi tambang akan menyebabkan penyingkiran komunitas Togutil/Tobelo Hutan/Tobelo Dalam dari ruang hidup mereka yang sangat tergantung kepada alam.

Kawasan teluk Weda sangat tepat dijadikan kawasan wisata dan konservasi. Hal ini berdasarkan temuan-temuan keanekaragaman hayati yang hanya terdapat unik, dan endemik di pulau tersebut, dan berstatus langka seperti burung beo, burung bidadari, kakaktua putih, dll.

Kepada Bank Dunia direkomendasikan untuk menghentikan pemberian legitimasi bagi proyek ini dengan memberikan asuransi kepada Weda Bay Nikel, karena tambang ini berada di kawasan hutan lindung (kendati secara formal aturan Indonesia bisa diubah untuk mengakomodir invenstasi tambang). Upaya ini akan kontradiktif dengan upaya Bank Dunia terlibat dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan seperti mengatasi dampak perubahan iklim akibat penggundulan hutan.

31


Istimewa

Padma

gambar 10 Komunitas Tobelo Hutan yang masih tradisionil. (Kiri) Dari pakaian yang digunakan tampak mereka masih dekat dengan alam. (Kanan) Mereka yang sudah mulai mengakulturasi budaya pakaian pun masih hidup di kawasan hutan dan tergantung pada alam.

32


TOGUTIL ( Dukun Halmahera ) Namaku Kasian dan aku dukun bagi Ohonganamanyawa, yang berarti orang yang tinggal dalam hutan. Orang luar memanggil kami Togutil. Kami tinggal di dalam hutan keramat Halmahera di Indonesia. Aku tidak pernah berjalan keluar dari daerah kelahiranku.

Hutan ini sumber kehidupan kami, segalanya buat kami. Dia memberikan semuanya yang kami butuhkan.

Dia adalah tempat yang kami akrab dengannya, didiami oleh roh yang mengajar, memperingkatkan dan memberi makan kami. Juga berbahaya karena berbagai ular hidup di sini, dan aku tidak memiliki semua penawar bagi gigitan mereka yang mematikan. Kami harus sangat waspada sangat berburu dan menangkap ikan.

Hutan, tanah dan air adalah milik moyang kami dan di bawah kuasanya. Dalam komunitas kami, peran-peran dibuat dengan jelas. Peran perempuan adalah memberikan kelahiran. Mereka juga menanam, mengumpulkan, memasak dan mengajari anak-anak. Peran laki-laki adalah mengambil kehidupan Kami berburu, memancing dan mengambil kulit kayu tertentu menjadi pakaian cawat kami.

Sebagai penghubung antara dunia yang mati dan hidup, aku disentuh oleh roh-roh dan mencoba memperkuat keharmonisan dalam dunia. Aku tahu kekuatan spiritual tumbuh-tumbuhan yang jadi obat dan tanda-tanda mereka. Aku memanggil roh untuk menyembuhkan mereka yang sakit dan membantu mereka menjadi pulih. Dunia kami sedang berubah cepat, dan akan segera terlalu terlambat untuk memberi tahu apa yang kami tahu kepada kalian. Orang-orang asing dari pulau lain sedang menginvasi hutan kami. Mereka tidak menghormatinya, mereka menghancurkannya, dan mengejek mereka yang tergantung pada hutan. Mereka mencuri kekayaan alam Ibu Bumi. Katakan padaku: dalam beberapa tahun lagi apa yang akan tinggal bagi anak-anak kami, apa yang akan tinggal?

Ditulis oleh Jean-Pierre Dutilleux, pembuat dokumenter berbagai suku pribumi di dunia, termasuk Togutil di Halmahera. 33


Referensi: 1. ANDAL Weda Bay Nickel (versi Inggris) 2. RKL dan RPL Weda Bay Nickel (versi Inggris) 3. Christopher R. Duncan, ed, Civilizizing the Margin, South East Asian Goverment Policies for Development of Minorities, 2004, Cornel University. 4. Survey Fraser Institut 2009

Website 1. http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1274236192&&2010&1036002765 2. http://indonesiafile.com/content/view/2421/43/ 3. www.kabarindonesia.com 4. http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulauhalmahera-2/ 5. www.miga.org 6. http://www.jpdutilleux.com

Wawancara Sejumlah sumber di kawasan Teluk Weda

Terima kasih Kepada : Abdullatif Doa, Jean-Pierre Dutilleux, WALHI Maluku Utara

34


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.