walhi-hutan-konservasi-kertasposisi-090205-1

Page 1

Konservasi Berbasis Rakyat: Sebuah Pilihan Bagi Keberlanjutan Layanan Alam dan Kesejahteraan Rakyat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – www.walhi.or.id Disusun Oleh: 1. Berry Nahdian Forqan – Direktur Eksekutif Nasional WALHI – forqan@walhi.or.id 2. Ade Fadli – Kepala Departemen Kelembagaan dan Penggelolaan Sumberdaya EN WALHI – Pengkampanye Hutan (Fungsional)- adefadli@walhi.or.id A. Pengantar Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan luasan hutan tropis terbesar ke tiga di dunia. Namun dikarenakan kekayaan yang terdapat di dalam hutan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta kekayaan lain yang sarat akan manfaat hingga yang masih berupa rahasia alam menjadikannya sangat rentan terhadap kerusakan. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh kegiatan-kegiatan manusia dalam memanfaatkannya dengan rakus dan tidak memikirkan akan dampak yang akan ditimbulkan apabila kegiatan eksploitasi dan konversi hutan baik untuk perkebunan maupun perluasan pemukiman terus dilakukan. Namun hingga saat ini Indonesia telah kehilangan 72% hutan asli yang ada pada awal abad ini1. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan dan perairan Indonesia, saat ini luas hutan Indonesia adalah 109.961.713,28 hektar yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, Hutan Lindung 29.037.397,02 hektar, Hutan Produksi Terbatas 16.215.977,26 hektar, Hutan Produksi Tetap 27.823.177,43 hektar dan Hutan Produksi Konversi 13.670.535,00 hektar2. Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya berkurangnya hutan tropis dalam skala besar. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun; salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan3. Bencana ekologi semakin menunjukkan peningkatan yang significant dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2007 telah terjadi 205 kali bencana dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali sementara upaya yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat lip servive belaka dan tidak menunjukkan upaya serius untuk mereduksi dan mencegah bencana tersebut. Hutan Indonesia merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia, dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan. Sekitar 60-80 juta rakyat Indonesia, baik masyarakat adat, masyarakat lokal maupun pekerja, hidupnya tergantung hutan.

1 2 3

World Resource Institute, 1997 Berdasarkan Statistik Kehutanan 2002, dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dalam http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/stat2002/contents_02.htm Makalah Badan Planologi Departemen Kehutanan, Pengelolaan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan yang Selaras dengan Proses Desentralisasi/Otonomi dan Penerapan Prinsip Good Governance Ditinjau dari Aspek Koordinasi Penyusunan Kebijakan, disampaikan dalam Lokakarya “Sinkronisasi Antara Pengelolaan Sumberdaya Alam dengan Desentralisasi – Tinjauan dari Aspek Koordinasi Penyusunan Kebijakan” di Pekan Baru Riau, 14-15 Oktober 2003.

1


B. Definisi Konservasi Sumberdaya Alam Konservasi berasal dari kata “conservation” yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun digunakan secara bijaksana (wise use). Dalam Oxford Dictionary (2004) dijelaskan “conservation”: (1) protection of the natural environment; (2) prevention of loss, waste, etc. Dan menurut FreeDictionary, “conservation” dapat dimaknai sebagai (1) The act or process of conserving; (2) Preservation or restoration from loss, damage, or neglect: manuscripts saved from deterioration under the program of library conservation; (3) The protection, preservation, management, or restoration of wildlife and of natural resources such as forests, soil, and water, atau; (4) The maintenance of a physical quantity, such as energy or mass, during a physical or chemical change. Pemerintah Indonesia menterjemahkan definisi konservasi, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi Sumberdaya alam dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) Konservasi kawasan; (2) Konservasi jenis (spesies), baik tumbuhan maupun hewan, dan; (3) Konservasi genetik. Dalam UU No. 5/1990, lebih banyak dibahas terkati dengan dua hal, yaitu konservasi kawasan dan konservasi jenis, sedangkan konservasi genetik masih belum terakomodir di dalamnya. Di dalam UU No. 5/1990, Konservasi kawasan dibagi menjadi: 1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, yang mencakup : a. Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. b. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 2. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup : a. Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. b. Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. c. Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terdapat tiga fungsi pokok hutan, yaitu: (1) hutan konservasi; (2) hutan lindung, dan; (3) hutan produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. terdiri dari : 1. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai 2


fungsi pokok sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, 2. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dan 3. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. C. Sejarah Konservasi Alam Indonesia Sejak masa Hindia Belanda, telah hadir inisiatif melindungi kawasan dengan pengukuhan kawasan hutan seluas 6 hektar di Depok sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) pada tahun 1714 dengan nama Cagar Alam Pancoran Mas.4 Terjadinya perdagangan burung Cenderawasih menjadi awal kelahiran kebijakan perlindungan satwa di masa Hindia Belanda. Dari surat protes yang disampaikan oleh beberapa pihak, pada Oktober 1909 diterbitkan Staatsblad 497 dan Staatblad 594 pada Desember 1909 yang mulai berlaku pada 1910. Selanjutnya dikeluarkan Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar).5 Pada 1912 juga didirikan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S. H. Koorders, dkk, yang kemudian menunjuk dua belas lokasi kawasan yang perlu dilindungi di Pulau jawa dan ditetapkan sebagai monumen alam (Natuur Monumenten) yang tidak boleh diusik. Hal ini dilanjutkan dengan terbitnya Saatsblad No. 278 pada Maret 1916 yang kemudian menunjuk 55 kawasan sebagai Cagar Alam.6 Pada masa setelah kemerdekaan tidak terlalu banyak kebijakan konservasi yang dikeluarkan, kecuali inisiatif Raja-raja Bali untuk penunjukan Bali Barat sebagai kawasan suaka alam dan pembentukan Lembaga Pengawetan Alam. Pada tahun 1971, Direkorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dibentuk berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 168/Kpts/Org/4/7. Di tahun 1983, taman nasional dikelola di bawah Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata.7 Hingga tahun 2004, Departemen Kehutanan telah menetapkan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat. Jenis Kawasan Cagar Alam

Unit

Daratan

Perairan

Luas

243

4.633.287,13

274.215,45

4.730.704,04

Suaka Margasatwa

79

5.052.113,85

337.840,00

5.422.922,79

Taman Nasional

50

12.160.010,68

4.218.860,00

Taman Wisata Alam

120

300.411,73

765.500,70

1.018.315,67

Taman Hutan Raya

21

343.454,41

-

330.260,61

Taman Buru

14

219.392,49

16.378.870,68

228.645,20

4 Sulthoni. 1990. Pengantar Pelestarian Alam di Indonesia. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. ; Dephut. 5 6 7

2000. Unit Konservasi Sumber Daya Alam Propinsi Di Yogyakarta. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/DIY/ksda_yogya.htm (diakses 23 Februari 2007) Wiratno, D Indriyo, A Syarifudin, A Kartikasari. 2004. Bercaka di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Edisi Kedua. Jakarta. 338 halaman. Ibid Ibid

3


Jumlah (Mei 05)

527

22.657.132,44

5.596.416,15

28.253.548,59

Sumber: Departemen Kehutanan, 2006 Dan hingga tahun 2008, dari 535 kawasan konservasi, baru 34,4 % yang telah memiliki Rencana Pengelolaan, yang sebagian besar adalah Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Sedangkan penyusunan zonasi/blok pengelolaan, baru tercapai 8,4%. Untuk 21 Taman Nasional Model, semua telah memiliki Rencana Pengelolaan, namun demikian masih 19% belum disahkan. Kondisi perkembangan tata batas kawasan konservasi adalah: belum tata batas (24,8%), sudah tata batas-belum temu gelang (18,2%), sudah tata batas temu gelang (17,6%), sudah temu gelang dengan berita acara tata batas sudah selesai (16,5%), dan sudah penetapan (24,6%). D. Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Kesepakatan internasional berkaitan konservasi baru mulai didengungkan pada kelahiran Konvensi Keanekaragaman Hayati. Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological Diversity (UN CBD) telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatanganan ini terlaksana selama penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara kedelapan yang menandatangani Konvensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 Juni 1992. Konferensi di Rio de Janeiro, Brazil, yang sebelumnya didahului oleh tiga pertemuan kepakaran teknis dan tujuh sidang, diselenggarakan antara Nopember 1988 sampai dengan Mei 1992. Pertemuan dan sidang tersebut selalu dihadiri oleh delegasi Indonesia. Dalam perjalanannya, kelahiran Konvensi Keanekaragaman Hayati ini didahului dengan serangkaian pertemuan sejak Deklarasi Stockholm di tahun 1972. Selanjutnya dilahirkan Deklarasi Nairobi (1982), Resolusi Wina (1985), Protokol Montreal (1987), Deklarasi Tokyo (1987), Hague Declaration on the Environment (1989), Latin American and Carribean Summit Declaration of Brazillia on the Environment (1989), Helsinkin Declaration on the Ozon Layer (1989). Selanjutnya Pertemuan Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992 menjadi tonggak lahirnya Deklarasi Rio, Agenda 21, Konvensi tentang Perubahan Iklim dan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan Pernyataan Prinsip-prinsip Kehutanan. Selanjutnya dilakukan pertemuan-pertemuan antar pihak berkaitan dengan masing-masing konvensi. Pertemuan internasional lainnya yang mengiringi kebijakan konservasi internasional meliputi Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung se dunia, dan Kongres Kehutanan se dunia. Di Indonesia, sejak masa Hindia Belanda, telah hadir inisiatif melindungi kawasan dengan pengukuhan kawasan hutan seluas 6 hektar di Depok sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) pada tahun 1714 dengan nama Cagar Alam Pancoran Mas. Terjadinya perdagangan burung Cenderawasih menjadi awal kelahiran kebijakan perlindungan satwa di masa Hindia Belanda. Dari surat protes yang disampaikan oleh beberapa pihak, pada Oktober 1909 diterbitkan Staatsblad 497 dan Staatblad 594 pada Desember 1909 yang mulai berlaku pada 1910. Selanjutnya dikeluarkan Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar). Pada 1912 juga didirikan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S. H. Koorders, dkk, yang kemudian menunjuk dua belas lokasi kawasan yang perlu dilindungi di Pulau jawa dan ditetapkan sebagai monumen alam (Natuur Monumenten) yang tidak boleh diusik. Hal ini dilanjutkan dengan terbitnya Saatsblad No. 278 pada Maret 1916 yang kemudian menunjuk 55 kawasan sebagai Cagar Alam.8 Ordonansi Perburuan pada tahun 1924 dilahirkan menggantikan Ordonansi 1909, dan menetapkan fauna yang sangat memerlukan perlindungan. Di tahun 1931, Peraturan Perlindungan Binatangbinatang Liar (Dierenbeschermingsverordening) diundangkan, dan dimasukkan 36 jenis bilatang 8 Ibid 4


liar yang dilarang untuk diburu, ditangkap, dibunuh dan diperdagangkan, baik hidup maupun mati.9 Pada tahun 1967, di dalam UU No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, dimasukkan pengklasifikasian hutan, yang salah satunya hutan suaka alam. Dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah pula dimasukkan pengertian konservasi sumberdaya alam hayati menjadi bagian di dalamnya. Pada tahun 1990 barulah kemudian dilahirkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang kemudian dilanjutkan dengan diratifikasinya Konvensi Keanekaragaman Hayati Dunia dengan UU No. 5 tahun 1994. Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan konservasi kawasan adalah: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694); 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 5. Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3294); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa (Lembaran Negara Tahun. 1991 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3441); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3550); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan 9 Ibid 5


Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Tahun. 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun. 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4452); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Tahun. 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4814); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tara Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun. 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833); 18. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 19. Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1991 tentang Pengesahan Convention On Wetlands Of International Importance Especially As Waterfowl Habitat (Ramsar); 20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan konservasi spesies adalah: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544); 2. Peraturan Pemerintan Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; 5. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora (Lembaran Negara Tahun 1978 Nomor 51) ; 6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar; 7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar; 8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 53/Menhut-II/2006 jo Nomor P. 01/Menhut-II/2007 tentang Lembaga Konservasi.

E. Permasalahan Konservasi di Indonesia 1. Konflik Kawasan Konservasi Pada tataran konsepsi, berbagai kebijakan konservasi sumberdaya alam juga masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat preservatif, yang secara kaku memandang sumberdaya alam sebagai sesuatu yang statis, dan karena perlu diawetkan dalam sebuah museum alam yang 6


bahkan diistilahkan sebagai “terlarang untuk disentuh�. Cara pandang ini anti pembangunan dan menafikan kemampuan dinamis alam. (Wiratno, dkk, 2004) Dari cara pandang yang berbeda terhadap konservasi, akhirnya melahirkan konflik berkelanjutan pada kawasan konservasi. Pada Mei 2005 lebih dari seratus orang bersenjata menyerbu kemah penelitian dan pengelolaan di Taman Nasional Lagula del Tigra, Guatemala. Taman Nasional Amboseli diturunkan jadi cagar nasional dan dikembalikan kepada dewan masyarakat Maasai, pemilik aslinya. (Quammen, 2006) WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional. Beberapa kasus yang terjadi di kawasan konservasi antara lain adalah pembangunan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan nelayan di Taman Nasional Komodo, Operasi Napoleon di Taman Nasional Wakatobi, pengusiran masyarakat Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu dan pengusiran rakyat Moronene di Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai. (WALHI, 2003) Lebih lengkap terkait dengan Kekerasan di Taman Nasional, dapat dilihat pada bagian lampiran. 2. Konflik Satwa dan Manusia Konflik satwa dan manusia makin kerap terjadi. Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari tahun 2001 hingga Desember 2006 tercatat lebih kurang 50 kali kejadian gangguan satwa liar terutama gajah dan sekitar 35 kali gangguan harimau. Gangguan satwa liar mengakibatkan kerusakan terhadap lahan pertanian, kebun, sawah, rumah-rumah penduduk, bahkan nyawa manusia.10 Sementara itu, antara tahun 2002 hingga 2007 tercatat 42 orang warga tewas dan 100 ekor gajah mati akibat konflik manusia dan gajah di Sumatera.11 Dan beberapa kali, komunitas lokal/adat ditempatkan sebagai pihak yang bersalah dalam konflik. Padahal, satwa-satwa keluar dari kawasan hutan akibat konversi hutan menjadi perkebunan, pertambangan dan kebun kayu skala luas. Pada berbagai wilayah Indonesia, sebelumnya komunitas lokal/adat dan gajah maupun satwa lainnya masih dapat hidup damai dan tidak saling menyerang. Bahkan pada beberapa komunitas, terdapat aturan lokal/adat yang mengatur tentang pemanfaatan dan perlindungan satwa. Musim buru hanya diperkenankan selama dua bulan dalam setiap tahunnya, dan pada wilayah padang rumput, dilakukan pembakaran terkendali untuk menghasilkan dedaunan muda sebagai pakan bagi satwa liar di dalam kawasan. Termasuk juga aturan untuk perlindungan sopon (kolam air asin) di kawasan hutan, sangat dilarang untuk dilakukan penebangan hingga radius lebih dari 200 meter dari tempat tersebut, karena merupakan tempat berkumpulnya satwa untuk memperoleh mineral. Departemen Kehutanan kemudian mengeluarkan Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar (Harimau, Gajah, dan Orangutan) melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2008 tanggal 25 Agusutus 2008.12 Namun hal ini belum akan mampu menyelesaikan permasalahan konflik antara satwa dengan manusia, dimana proses penghilangan kawasan hutan sebagai habitat asli satwa terus saja dikonversi (alih-fungsikan). 3. Bisnis “Legal� Konservasi Konservasi saat ini telah bergeser menjadi sebuah bisnis. Walaupun berdasarkan catatan, hanya $0,56 yang dikucurkan setiap hektar dalam setiap tahunnya bagi kawasan taman nasional di Indonesia, senyatanya pada tahun 2006 telah terdapat $38,01 juta yang dikeluarkan oleh 10 Kompas.com, Perambahan Hutan Penyebab Konflik Manusia dengan Satwa Liar, http://www2.kompas.com/ver1/Iptek/0703/14/162724.htm

11 KapanLagi.com, Konflik Gajah Sumatera dan Manusia Tewaskan 42 Warga, 29 Agustus 2007, http://www.kapanlagi.com/h/0000188650.html

12 Siaran Pers Dephut Nomor 445 /PIK-1/2008 tanggal 10 Oktober 2008, http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/4872 7


pemerintah untuk pendanaan konservasi dan $53,37 juta yang telah dikeluarkan oleh lembaga non-pemerintah dan donor internasional. Selama tahun 1995 hingga 2000, penerimaan dari tiket masuk dari 21 taman nasional dengan luas wilayah sekitar 5,2 juta hektar hanya menghasilkan sekitar 3,5 milyar rupiah. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PKA saat ini bernama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) hanya mendapatkan alokasi rata-rata sebesar 13,5 persen dari total anggaran Departemen Kehutanan, sementara taman nasional mendapatkan rata-rata 31,5 persen dari total anggaran Ditjen PKA.13 Pendanaan pemerintah untuk perlindungan kawasan meningkat dari $21,01 juta pada tahun 2004 menjadi $38,01 juta di tahun 2006, dimana pemerintah pusat mengeluarkan sebesar $35,99 juta dan pemerintah daerah mengeluarkan $2,02 juta. Sementara dari organisasi non-pemerintah dan donor internasional dilakukan investasi sebesar $53,37 juta pada tahun 2006. Hal tersebut setara dengan $5,28 setiap hektarnya. (KLH, 2005) Mekanisme bisnis konservasi baru akan terlihat pada fase setelah 5 tahun sebuah lembaga konservasi (internasional) melakukan aktivitas di sebuah kawasan konservasi. Isu ekowisata (ecotourism) diangkat sebagai bungkus dari aktivitas bisnis yang ingin dilakukan. Di Taman Nasional Komodo, beberapa tahun lalu dibentuk sebuah perusahaan patungan bernama PT Putri Naga Komodo yang sahamnya sebagian dimiliki oleh lembaga konservasi internasional (The Nature Conservancy) yang kemudian juga memperoleh hibah dari lembaga keuangan internasional, antara lain International Finance Cooperation - IFC) untuk menguatkan permodalannya. Sementara kelompok-kelompok nelayan lokal “dipaksa� untuk mencari wilayah tangkapan lainnya yang semakin jauh dari tempat berkehidupannya. Temuan lain yang pernah dilansir oleh Washington Post14, bahwa The Nature Conservancy, sebuah lembaga konservasi terkaya di dunia (yang juga beroperasi di Indonesia) dilaporkan telah melakukan pembalakan hutan, melakukan transaksi sebesar US$ 64 juta untuk membuka jalan bagi pembangunan rumah-rumah mewah di atas dataran yang rentan dan melakukan pengeboran gas alam di bawah daerah pembiakan spesies burung langka.15 Bahkan dalam sebuah kesempatan, Staf dari The Nature Conservancy Indonesia menggunakan “kedekatan� dengan staf Balai Konservasi Sumberdaya Alam di sebuah provinsi agar dapat membawa Anggrek Hitam, spesies yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk kepentingan pribadi, dengan dalih kepentingan pelaksanaan pameran. Bisnis konservasi yang juga masih terjadi adalah bisnis spesies, termasuk didalamnya perdagangan satwa dan tumbuhan dilindungi, dan pertukaran satwa untuk kepentingan kebun binatang ataupun atas nama penelitian. Dalam tahun 200816, terjadi pengiriman feces, darah dan extract DNA dari beberapa spesies yang dilindungi di Indonesia, seperti Owa (Hylobates sp.), Orangutan (Pongo sp.), Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatraensis). 4. Konflik Kewenangan Dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (saat ini sudah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), disebutkan bahwa Dalam Bab IV Kewenangan Daerah pasal 7-13 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa terdapat 5 (lima) kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat pada masa otonomi daerah, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut termasuk konservasi. 13 Effendi, E. 2001. Analisis Keuangan Taman Nasional di Indonesia: Pendekatan Inovatif Penggalangan Dana Tambahan Konservasi dan Ide Penerapan Desentralisasi Sistem Pembiayaan Taman Nasional. NRM/EPIQ. Jakarta.

14 Informasi terkait The Nature Conservancy dapat dilihat di: http://www.washingtonpost.com/wp15 16

dyn/nation/specials/natureconservancy/ dan http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/linkset/2007/11/16/LI2007111600631.html Sinar Harapan, LSM Konservasi Lakukan Pembalakan Hutan http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/19/ipt01.html Departemen Kehutanan, Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar (per Oktober 2008), http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/4949

8


Sedangkan dalam pasal 4 UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Kewenangan ini kemudian diletakkan sebagai sebuah kewenangan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Peletakan kewenangan konservasi berdasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000 masih berada dalam kewenangan Pemerintah Pusat. Hanya pengelolaan Taman Hutan Raya, Hutan Wisata dan Hutan Lindung yang diserahkan kepada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan terjadinya degradasi kualitas ekologi dari kawasan konservasi. Taman nasional dan cagar alam yang hingga saat ini masih ditetapkan sebagai kawasan konservasi, secara perlahan telah beralih fungsi untuk kepentingan lain, termasuk di dalamnya kepentingan pertambangan dan perkebunan besar. Pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak terlihat jelas pembagian kewenangan konservasi. Hanya dicantumkan tentang kewenangan daerah terhadap konservasi wilayah laut, sedangkan dalam hal pengelolaan sumberdaya alam hanya disebutkan tentang kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan. Berbagai kejadian penyelewengan atas peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, cenderung sangat lamban bahkan tidak direspon oleh perangkat pemerintah daerah. Mulai dari permasalahan pertunjukan satwa, pengelolaan satwa illegal, rehabilitasi dan reintroduksi satwa illegal, perdagangan puspa dan satwa, hingga penyiksaan dan pembunuhan satwa, tidak pernah direspon oleh Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten. Hal ini juga dapat disebabkan segala hal yang berkaitan dengan konservasi di daerah, berada dalam kewenangan Balai Konservasi Sumberdaya Alam dan/atau Balai Taman Nasional. Bentuk konflik kewenangan lainnya yang juga sangat sering terjadi pada kawasan konservasi adalah proses pembangunan jalan yang melintasi wilayah konservasi, semisal di TN Gunung Leuser. Juga terjadinya pembentukan desa-desa baru di dalam kawasan konservasi dalam periode Pemilihan Umum ataupun Pemilihan Kepala Daerah, sebagaimana yang terjadi di TN Kutai, Kalimantan Timur. Belum termasuk adanya kebijakan Pemerintah dalam mengijinkan penambangan di kawasan lindung, yang kemudian menghasilkan perubahan undang-undang kehutanan. Kondisi ini diperparah dengan adanya skema pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi tertentu, melalui UU No. 41/1999 dan PP No. 2 tahun 2008, yang akan menghabiskan dengan cepat kawasan lindung menjadi kawasan tak berhutan. Konflik kewenangan dalam bidang konservasi, hingga saat ini masih belum mampu dijembatani, karena belum adanya sebuah sinkronisasi kebijakan perundang-undangan terkait sumberdaya alam, sebagaimana mandat Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. F. Dampak Pengelolaan Konservasi Yang Tidak Berkeadilan Dampak dari pengelolaan konservasi yang tidak berkeadilan selama ini di Indonesia, diantaranya adalah: 1. Hilangnya pengetahuan, kearifan, budaya, kepercayaan, teknologi, hukum adat, akses public terhadap kawasan, penguasaan terhadap kawasan 2. Hilangnya fungsi kawasan dari fungsi sosial, budaya, kepercayaan menjadi fungsi ekonomi 3. Pencurian pengetahuan, kearifan lokal dan keanekaragaman hayati 4. Berubahnya tata konsumsi dan produksi masyarakat yang khas 5. Hilangnya alat produksi rakyat 6. Meningkatnya konflik diantara rakyat yang disertai pelanggaran HAM terutama dilaksanakan oleh militer, kepolisian dan Polisi Kehutanan 9


7. Kemiskinan dan ketergantungan G. Prinsip-Prinsip Utama dalam Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam 1. Pengakuan terhadap Sistem Konservasi Lokal/Adat Komunitas lokal/adat di berbagai wilayah Indonesia telah membangun budaya pengelolaan sumber kehidupan dalam dan antar generasi. Berbagai budaya dan tata aturan lokal telah terbangun sebagai sebuah pengalaman empiris dalam interaksi komunitas dengan alam kehidupannya. Pengelolaan hutan oleh komunitas lokal/adat masih berlangsung pada beberapa wilayah, misalnya Lembo, Simpukng dan Tembawang di Kalimantan serta di Sumatera dikenal sistem Repong, Mone dan Parak, demikian halnya pada wilayah Sulawesi, Bali, Nusa Tengara, Kepulauan Maluku dan Papua. Bahkan di Jawa, sistem pengelolaan hutan secara komunal masih dilakukan. Sistem pemilikan dan penguasaan lahan sumberdaya alam yang dipraktekkan oleh komunitas lokal/adat terdiri dari, hak pemilikan komunal, meliputi tanah dan sumber daya alam dan hak pemilikan individu. Dalam pola pengelolaan lahan oleh komunitas lokal, sangat dikenal kawasan perlindungan, kawasan pemanfaatan terbatas, kawasan kebun, kawasan ladang, kawasan permukiman, serta kawasan cadangan pangan. Kawasan-kawasan tersebut kemudian menjadi tidak diakui dalam sistem pengelolaan kawasan di Indonesia. WALHI (1999) mengkompilasi prinsip-prinsip dalam sebuah sistem kelola lokal meliputi: 1. Aktor utama pengelola adalah rakyat [masyarakat lokal/masyarakat adat]; Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan; 2. Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya; 3. Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat; 4. Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat; 5. Pengetahuan lokal [indigenous knowledge] menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya; 6. Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat; 7. Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian [sustainability]; 8. Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama, dan; 9. Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya. Pemerintah Indonesia sudah seharusnya memberikan perlindungan terhadap sistem kelola komunitas lokal/adat untuk memberikan perlindungan terhadap pengembangan sistem budaya lokal, yang merupakan penopang dari sistem kehidupan berbangsa saat ini. Komunitas lokal/adat di Indonesia masih memiliki beragam peraturan komunitas yang memberikan pengelolaan utuh terhadap kawasan alam, termasuk didalamnya ruang pemanfaatan dan perlindungan alam. Hanya saja, hingga saat ini, belum ada satu peraturan pun yang memberikan perlindungan terhadap sistem kelola rakyat ini. Perubahan UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, setidaknya memberikan ruang bagi adanya pengakuan negara terhadap keberadaan sistem pengelolaan tradisional yang berpihak pada alam dan kesejahteraan komunitas lokal/adat. 2. Hak untuk Menentukan Sendiri (self-identification) Ruang Sumber-sumber Kehidupan Negara harusnya memberikan kemerdekaan yang sepenuhnya dalam penentukan keruangan dalam proses pembangunan. Penentuan lokasi perlindungan (konservasi) alam harus berdasarkan 10


pada prinsip persetujuan dari Komunitas lokal/adat yang bebas dari tekanan, diinformasikan, didahulukan (Free, Prior, and Informed Consent). Negara juga harus memberikan kebebasan dalam menentukan ruang hidup secara mandiri (selfidentification) kepada komunitas lokal/adat, termasuk didalamnya penentukan sistem pengelolaan kawasan komunitas lokal/adat, sesuai dengan kesepakatan kolektif yang dibangun oleh komunitas. Adapun beberapa pijakan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (dan perubahannya) tentang hak rakyat terhadap kehidupan yang layak diantaranya adalah: • Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya [Pasal 28A] • Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia [Pasal 28 C] • Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta yang sama dihadapan hukum [Pasal 28 D ayat (1)] • Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya [Pasal 28 H] • Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat berhak memperoleh pelayanan kesehatan; setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan; setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, dan; setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. [Pasal 28 H] Dalam pengelolaan ruang komunitas lokal/adat, mengacu pada prinsip pengelolaan berbasis bioregion, dimana karakteristik pengelolaan bioregion paling tidak harus mencakup pelibatan para pihak [full involvement stakeholders], penerimaan masyarakat [social acceptance], informasi yang satu dan komprehensif [solid and comprehensive information], pengelolaan adaptif [adaptive management], pengembangan keahlian secara kooperatif [cooperative skills development] dan integrasi kelembagaan [institutional integration]17. Kearifan lokal menjadi salah satu pijakan dalam merumuskan konsep bioregion. Komunitas lokal/adat yang menjadi bagian dan telah mengenal ekosistemnya bisa menjadi pengontrol eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. 3. Perlindungan Kawasan Ekologi Genting Ekologi genting merupakan kawasan ekologi yang kritis dan sangat sukar untuk kembali pada kondisi semula. Setidaknya ada 7 tipe ekosistem yang terancam punah di Indonesia, yaitu Ekosistem Karst, Ekosistem Hutan Kerangas, Ekosistem Mangrove, Ekosistem Rawa dan Rawa Gambut, Ekosistem Dipterocarp Dataran Rendah, Ekosistem Hutan Berkabut (Cloud Mountain Forest)dan Ekosistem Lamun-Terumbu Karang. Kawasan ekosistem tersebut setidaknya sudah semakin jarang ditemui, sehingga menjadi penting untuk menempatkan kawasan-kawasan tersebut sebagai kawasan yang dilindungi, dengan tetap mengacu pada sistem pengelolaan oleh komunitas lokal/adat yang berada di kawasan tersebut. Dalam skala mikro, terdapat kawasan-kawasan yang penting secara sosial-culture dan ekologis bagi komunitas lokal/adat, diantaranya adalah: • Kawasan sumber mata air yang unik untuk keperluan sehari-hari • Kawasan yang penting untuk tangkapan air, pengendalian erosi, dan penghalang kebakaran (hutan/lahan) yang merusak; • Kawasan yang penting bagi pertanian, budidaya perairan dan perikanan; 17 Menurut Miller dalam Kembali ke Akar Rumput, artikel Tanah Air Nomor 11 tahun XXI halaman 8-11, WALHI, 2001 11


• • •

Kawasan yang sangat penting bagi kebutuhan dasar untuk makan dan obat-obatan, ramuan, rumah (tempat tinggal) dan bahan bakar; Kawasan yang sangat penting untuk memperoleh/sumber pendapatan langsung Kawasan-kawasan budaya, ekologi, ekonomi, agama yang penting (yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal yang bersangkutan).

Kawasan-kawasan tersebut merupakan kawasan yang harus tetap ada untuk menopang sistem kehidupan bagi komunitas lokal/adat. Bilamana kawasan tersebut menjadi hilang, maka dinamika yang terjadi didalamnya bisa mendorong terjadinya proses penghancuran kesejahteraan komunitas. Sehingga perlindungan terhadap kawasan-kawasan tersebut harus dilakukan dengan sebuah peraturan perundang-undangan. 4. Kelembagaan Perlindungan dan Konservasi Alam Pengelolaan ekosistem yang lintas wilayah administrasi harus menjadi perhatian dalam penempatan institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perlindungan dan konservasi alam. Kawasan konservasi yang beberapa diantaranya berada pada wilayah lintas adminstratif, menjadikan kelembagaan pengelolaannya pun harus mampu menjawab permasalahan adminstratif. Di tingkat nasional, kelembagaan perlindungan dan konservasi alam, harus menjadi institusi khusus yang melakukan pengelolaan kawasan dilindungi di Indonesia. Kewenangan perlindungan dan koservasi sumberdaya alam sudah tidak tepat lagi bila diletakkan pada Departemen Teknis, semisal Departemen Kehutanan maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Kelembagaan ini juga harus diberikan kewenangan yang lebih untuk menolak adanya pengalih-fungsian kawasan untuk kepentingan sektoral lainnya. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, juga dibentuk institusi khusus serupa, dengan lingkup tanggungjawab pada wilayah administrasi provinsi dan/atau kabupaten/kota. Pertanggungjawaban institusi ini kepada pimpinan daerah dan insititusi yang ada di tingkat nasional. 5. Penegakan Hukum Konservasi Penegakan hukum konservasi dilakukan dengan tidak menghilangkan hak rakyat atas kawasan kelola, terutama komunitas lokal/adat yang telah terlebih dahulu berada di dalam kawasan konservasi. Terhadap perusahaan/korporasi yang melakukan pengrusakan kawasan konservasi, harus diberikan hukuman pidana dengan sanksi minimal yang berat, baik dalam bentuk denda maupun kurungan. Terhadap perdagangan spesies tumbuhan dan satwa liar, maka harus dilakukan penegakan hukum terhadap pelaku bisnis besar, terutama pada tingkat pengumpul dan pengekspor illegal. Departemen Kehutanan sudah tidak mampu lagi melakukan pengawasan terhadap perdagangan tumbuhan dan satwa liar, baik legal maupun illegal, sehingga sudah harus dibentuk sebuah badan khusus untuk pengelolaan tumbuhan dan satwa liar. Hal yang juga harus dilakukan adalah pengawasan terhadap lembaga konservasi, terutama dalam hal pertukaran tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan. H. Penutup WALHI memiliki mandat untuk terus mempertahankan kawasan ekologi yang tersisa, mendorong upaya-upaya restorasi ekologi, termasuk untuk mendorong pengakuan sistem kelola rakyat oleh negara, dan memperbaiki kawasan ekologi genting untuk keberlanjutan sumber-sumber kehidupan. UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, harus diperluas menjadi sebuah UU yang melingkupi pengelolaan kawasan lindung dan kawasan konservasi, serta kawasan konservasi tradisional (sistem kelola komunitas lokal/adat), untuk memberikan jaminan terhadap keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. 12


WALHI berharap agar pemerintah dan DPR RI dapat melihat lebih komprehensif terhadap permasalahan-permasalahan ekologi dan sosial-budaya Indonesia hari ini, dan dapat menunjukkan keberpihakannya terhadap komunitas lokal/adat dan lingkungan hidup. Hanya dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat, maka negeri ini akan lebih cepat mencapai cita-cita kemerdekaannya.

13


Lampiran 1.

KEKERASAN DI TAMAN NASIONAL 18 WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan taman nasional. Pembangunan Jalan Ladia-Galaska: Kepentingan Rakyat atau Penguasa? Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bersama dengan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah sangat antusias membangun jalan Ladia-Galaska (Lautan Hindia-Gayo-AlasSelat Malaka), dimana sebagian ruas jalannya melintasi kawasan taman buru dan hutan lindung. Pada ruas-ruas tertentu, jalan Ladia-Galaska akan melakukan pembukaan hutan untuk pembangunan ruas jalan baru. Bahkan ternyata Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harusnya dibuat sebelum pelaksanaan proyek dilakukan, baru disetujui pada pertengahan tahun 2003 dimana sebagian besar ruas jalan telah dikerjakan. WALHI menilai bahwa dalam Pembangunan Jalan Ladia-Galaska hanyalah untuk kepentingan sesaat pemerintah Propinsi NAD dan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Walaupun dalam beberapa kesempatan Gubernur NAD selalu mengatakan bahwa pembangunan jalan adalah untuk kepentingan rakyat, namun secara nyata tidak banyak masyarakat yang akan menikmati jalan tersebut untuk mereka. Selain itu, dengan pembangunan jalan Ladia-Galaska, diperkirakan akan meningkatkan kecenderungan bencana ekologi di kawasan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini sudah terlihat sejak dimulainya aktivitas pembukaan ruas-ruas jalan Ladia-Galaska. Pembangunan jalan bukanlah untuk membuka isolasi daerah, kenyataannya rakyat telah memiliki akses yang cukup untuk kehidupan. Dengan pembukaan jalan akan meningkatkan tekanan bagi rakyat di kawasan yang dilewati jalan akibat kehadiran pendatang. WALHI menggugat Pemerintah untuk menghentikan pembangunan jalan Ladia-Galaska dan mendorong pemanfaatan ruas jalan yang telah ada guna memenuhi keinginan adanya akses jalan di Propinsi NAD. Taman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan Taman Nasional Komodo terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, ditetapkan berdasarkan SK Menhutbun No 172/Kpts-II/2000 dengan luas wilayah 132.572 hektar (wilayah daratan seluas 40.728 hektar), keputusan ini merupakan penetapan yang ketiga sejak penetapan pertamanya tahun 1980. sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak zaman Belanda. Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer. Berada di ketinggian 500–600 dpl dan terletak diantara pulau Sumbawa (NTB) dan pulau Flores (NTT), meliputi pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan). Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan “favorit� bagi nelayan Sape, pulau maupun 18

Taman Nasional Untuk Kepentingan Siapa, WALHI, 2004. 14


daratan (Labuan bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003. Semua tuduhannya sama yakni memasuki wilayah “terlarang” di TNK. Penderitaan masyarakat kian menjadi ketika pemerintah (Dirjen PHKA) melakukan kesepakatan kerja (MOU) dengan The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 1995, penderitaan tersebut tidak terlepas dari pola dan faham pengelolaan TNK yang dibawa TNC, walaupun pada awalnya TNC hanya merupakan bagian dari supporting system dalam pengelolaan TNK namun karena dukungan dana serta fasilitas yang cukup besar ia telah menghegemoni Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). TNC telah membuat BTNK berada dalam gepitan ketiaknya. Adanya larangan melakukan aktivitas nelayan di wilayah TNK telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan, alasan pelarangan yang selalu didengungkan oleh BTNK/TNC adalah karena penggunaan destructive fishing oleh nelayan, hal yang sangat miris jika solusinya kemudian adalah penutupan akses rakyat atas sumber kehidupannya, lalu TNC pun merekomendasikan untuk dilakukan perubahan pola kerja masyarakat seperti menjadi pengrajin, melakukan penangkaran ikan dan lain-lain. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat di wilayah TNK kulturnya merupakan nelayan, tidaklah mudah untuk melakukan perubahan yang sifatnya kultural, apalagi dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 11.000 jiwa ditambah banyaknya larangan bagi penduduk, seperti memanfaatkan hasil hutan, batasan alat penangkap ikan (sesuai Perda No. 11/2001) dan lain-lain. Semua itu hanyalah akal-akalan TNC untuk melakukan pengusiran secara perlahan dan sistematis. Dari aspek sosial pun kini telah terjadi banyak benturan sosial baik antar masyarakat didalam kawasan maupun dengan masyarakat luar kawasan, hal ini tidak terlepas dari strategi yang dimainkan TNC yakni dengan melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok kecil binaannya, bibit konflik sosial pun telah disebarkan. Dari aspek budaya juga telah terjadi intervensi, seperti pemisahan Komodo dengan masyarakat di TNK, perlu diketahui bahwa antara masyarakat Komodo dengan binatang komodo mempunyai keterkaitan sejarah yang sangat erat, bentuk intervensi yang dilakukan bahkan hingga ke pelarangan bermukim di wilayah TNK bagi masyarakat di TNK yang menikahi “orang luar” TNK. Hal yang patut pula “ditentang” dari misi TNC adalah rencana collaborative management. Idealnya collaborative management dilakukan dalam koridor partisipatif, berkelanjutan, transparan dan yang terpenting lagi adalah menjadikan masyarakat sebagai subyek. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, indikasi ini dapat jelas terlihat dari proposal TNC yang akan menjadikan TNK sebagai “lahan konsesi” yang dikelola secara eksklusif. Format kolaborasi yang diusungnya pun tidak lebih dari model privatisasi kawasan konservasi, apalagi secara terangterangan TNC juga telah menggandeng pengusaha yang akan berkolaborasi dalam usaha ekowisata. Taman Nasional Wakatobi: Surga Dunia, bukan Surga Rakyat Sejak tahun 1995 Pemerintah pusat melalui LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup RI menyetujui Kontrak Kerjasama pengelolaan kawasan perairan Kepulauan WAKATOBI (Kepulauan Tukang Besi) hingga tahun 2020 (25 tahun) pada sebuah perusahaan dengan nama Badan Pelaksana (BP) Wallacea yang berkedudukan di Jakarta dan berpusat di UK–Inggris, yang selanjutnya beroperasi dengan nama Yayasan Wallacea. Kemudian disebutkan bahwa BP Walacea akan melaksanakan serangkaian kegiatan riset di kawasan tersebut dengan nama ‘Operation Wallacea’ dengan fokus pada riset jenis spesies flora dan fauna di dalam areal perairan dengan luas total 1.390.000 hektar. Untuk mendukung upaya tersebut maka pemerintah pusat menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional Laut dengan nama Taman Nasional Kepulauan WAKATOBI melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 31 Juli 1996. Kawasan tersebut dibagi menjadi lima zona.

15


Nama WAKATOBI diambil dari nama awal empat pulau utama di kawasan tersebut yaitu (Wanci, Kaledupa, Tomia & Binongko). Dengan pengawasan sebuah kantor perwakilan Taman Nasional di kota Baubau. Praktis kawasan yang telah dibagi dalam beberapa zonasi tersebut (tanpa musyawarah mufakat dengan masyarakat lokal) membawa segudang masalah dengan masyarakat nelayan yang turun temurun mengelola secara adat seluruh kawasan perairan tersebut. Mulai dari larangan memasuki zona terlarang, zona riset, zona pemanfaatan hingga tidak adanya akses masyarakat lokal untuk menentukan pola pengelolaan kawasan TN tersebut. Belum lagi adanya upaya melaksanakan kegiatan Illegal Ecotourism berkedok riset di kawasan ini oleh pengelola BP Wallacea. Tak kurang dari 100 orang peneliti dari berbagai negara Eropa datang di pulau ini dan secara bergantian melakukan kegiatan ‘riset’ di kawasan TN Kepulauan Wakatobi. Masuknya LSM internasional TNC (The Nature Concervacy) dengan menggandeng WWF Indonesia sejak permulaan tahun 2002 di kawasan ini melalui serangkaian program konservasi kawasan Taman Nasional berdampak luas pada perubahan kultur masyarakat Wakatobi. Sebuah gelar operasi dengan sandi ‘Operasi Napoleon’ oleh Tim gabungan keamanan laut TNKW rencananya efektif dilakukan pada tahun 2004. Walaupun mendapat sorotan dari banyak kalangan Ornop dan gerakan mahasiswa di Sultra dan nasional, rencana pengelolaan kawasan TNKW dengan pola Collaborative Management (Co-Management) tetap dilakukan. Operasi sejenis dapat dilihat juga pada pola pengamanan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Umumnya beranggotakan satuan Polisi (Polairud/Shabara Perintis/Brimob), Polisi Khusus Kehutanan (Polhut), satuan tentara dari Angkatan Laut (TNI AL) serta pihak birokrasi kecamatan/kabupaten (Staf Pemerintah Kabupaten atau kecamatan setempat). Empat kecamatan/pulau di wilayah ini -Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko- telah disepakati oleh DPR RI untuk ditingkatkan statusnya menjadi wilayah Kabupaten, terpisah dari kabupaten induk, Buton. Pro kontra perebutan pengelolaan kawasan TNKW makin meluas, setelah kelompok-kelompok Ornop dan Gerakan Rakyat dan Mahasiswa lokal di Buton dan Kendari gencar menggalang dukungan penolakan kehadiran berbagai NGO konservasi internasional di kawasan ini. Saat ini operasi Opwal berada di P. Hoga Kecamatan Kaledupa, sementara kantor operasi TNC berada di kota Baubau. WWF Indonesia sendiri belum dapat terdeteksi kantor operasinya, sebab senantiasa bersamaan aktivitasnya dengan staff/volunteer TNC. Taman Nasional Lore Lindu: Ketika Rakyat Dongi-Dongi Menuntut Hak Pendudukan lahan Dongi-dongi yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat (4) kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Namun pada saat itu, pendudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat (4) desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu. Masyarakat di empat (4) desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga (3) kecamatan, seperti: Kecamatan Dolo; Kecamatan Marawola; Kecamatan Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983. Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan (memiliki ketergantungan pada hasil hutan-red), seperti suku Da’a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat (4) desa ini. Namun, melalui kedua project pemindahpaksaan (involuntary resettlement) ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang. Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas 2 Ha untuk 16


setiap Kepala Keluarga (KK). Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 Ha untuk setiap KK. Sementara jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga (3) generasi. Seperti yang terjadi di Desa Kamarora A yang bertambah menjadi Kamarora B. Wilayah Dongi-dongi sendiri merupakan lahan bekas areal konsesi PT Kebun Sari sejak tahun 70an, sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara, masyarakat dari empat (4) desa ini, kala itu banyak yang menjadi buruh pada PT Kebun Sari. Diwaktu senggang, mereka menanam kopi, coklat, pada areal ini. Dan tanaman-tanaman tersebut, seperti Kopi, hingga saat masih terawat dengan baik. Bahkan, ada yang jauh sebelum ada PT Kebun Sari, TNLL, dan jalan Poros Napu-Palolo, mereka telah menanami areal itu dengan tanaman Kopi. Tanaman-tanaman inipun masih ada sampai sekarang. Inilah salah satu alasan, kenapa mereka berulang kali melakukan pendudukan dan mempertahankan lahan tersebut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng), pernah menawarkan lahan alternatif ketika terjadi pendudukan lahan untuk kedua (2) kalinya pada tahun 1999. Lahan alternatif yang ditawarkan kala itu Manggalapi. Ada juga sebagian kecil masyarakat yang pindah ke Manggalapi, namun tidak lama kemudian, mereka kembali lagi ke kampungnya. Mereka menyatakan sikap untuk kembali kampung semula, karena pada lokasi ini (Manggalapi), tidak terdapat sarana yang dibutuhkan, seperti jalan menuju lokasi ini. Untuk menuju Manggalapi yang berbatasan dengan Desa Sausu, Kecamatan Parigi, membutuhkan waktu satu hari, dengan medan yang cukup sulit, sebab belum adanya sarana jalan. Sejak tuntutan masyarakat akan permintaan lahan kembali mencuat pada 18 Juni 2001. Pemprov Sulteng kembali menawarkan lahan alternatif, seperti lahan Areal Penggunaan Lahan (APL) di Lembangtongoa, dan lahan lain di Uenuni. Namun, masyarakat kembali menolak mentah-mentah kedua lahan alternatif tersebut. Karena menurut mereka, kedua (2) lahan ini tidak layak untuk dikelola, karena terdapat pada kemiringan yang cukup terjal. Menurut masyarakat, di kedua lahan ini pula telah dimiliki oleh masyarakat dari desa lain. Tapal batas TNLL di keempat (4) desa ini begitu dekatnya dengan areal perumahan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa pintu rumah penduduk yang langsung berhadapan dengan TNLL. Sehingga muncul rumor: “Begitu pintu rumah dibuka, maka langsung berhadapan dengan tapal batas TNLL�. Sempitnya lahan untuk mencari nafkah, juga kebiasaan untuk mencari hasil hutan, mengakibatkan masyarakat masuk pada areal TNLL. Tindakan represif berupa pengusiran, penangkapan bahkan pembakaran sabua (pondok) yang mereka buat dalam areal TNLL. Tidak menyurutkan kebiasaan mereka untuk tetap mencari nafkah didalam TNLL. Seperti yang dialami salah seorang warga Desa Kadidia, Pak Lili, yang pernah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) mesa selama empat (4) bulan tanpa ada proses hukum sebelumnya, hanya karena tertangkap Polisi Hutan (Polhut) ketika berada dalam areal TNLL. Setelah Peristiwa pengusiran mereka terdahulu (tahun 1998, 1999-red), kini, Juli 2001 mereka kembali melakukan pendudukan lahan di Dongi-dongi. Berbagai macam project pun digulirkan di desa-desa sekitar TNLL, dengan harapan, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Seperti salah satu project Asian Development Bank (ADB) melalui Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservancy Project. Namun, target project yang sejak awalnya memang tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak, melahirkan masalah dikemudian harinya. Dapat dikatakan bahwa project Loan ini gagal total. Project yang lebih menekankan implementasi project dari pada memperhitungkan dampak, melahirkan berbagai masalah baru baik bagi masyarakat maupun TNLL sendiri. Karena implementasi project di keempat (4) desa ini, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, misalnya pembuatan jalan, sarana air bersih, pengadaan bibit. Seperti pengadaan bibit, masyarakat mempertanyakan untuk apa memberikan bibit, sementara mereka tidak memiliki lahan. 17


Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai: Meniadakan Hak-hak Rakyat Moronene Taman Nasional RAW ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1999 lewat keputusan Menteri Kehutanan RI no 756/kpts/II/1990, dengan luas 105.194 Ha TN RAW membentang dari mulai kabupaten Kendari – Kolaka hingga ke kabupaten Buton. Proses penetapannya sendiri sudah dimulai sejak dikeluarkannya rekomendasi Gubernur Sulawesi tenggara pada tanggal 5 Mei 1983 no 522.51 kepada menteri kehutanan c.q Dirjen PHKA. TN RAW memiliki empat tipe ekosistem yakni: savana, rawa laut (bakau), rawa darat dan ekosistem dataran rendah. Orang Moronene diyakini merupakan suku tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi tenggara, saat ini mereka umumnya bermukim dan menyebar di sebelah selatan Sulawesi tenggara dan salah satu kampung (tobu) tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa. Menurut sebagian antropolog asal usul nenek moyang mereka berasal dari daratan Filipina yang diperkirakan mulai bermukim sejak tahun 1720. secara administratif perkampungan Orang Moronene meliputi 7 wilayah kecamatan yang tersebar di kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Rumbia, Poleang Barat, Poleang Timur, Rarowatu, Watubangga (di wilayah Buton) serta 1 (satu) kecamatan di wilayah Donggala. Ketujuh kecamatan tersebut dulunya merupakan wilayah kerajaan Moronene yang luasnya mencapai 3.393,67 km2. Setelah tahun 1920 orang Moronene mulai banyak yang pindah dan atau dipindahkan dengan berbagai alasan diantaranya akibat bencana yang datang diantaranya. Pada tahun 1953 kampung merka diserbudan dikuasai gerombolan badik, pada tahun 1957 terjadi penyerangan oleh pasukan DI/TII yang mengharuskan mereka meninggalkan kampungnya. Sejak peristiwa inilah Orang Moronene mulai dipindah-pindahkan oleh pemerintah ke lokasi-lokasi pemukiman baru. Namun demikian ikatan orang Moronene dengan tanah leluhurnya tidaklah hilang, secara teratur mereka masih masuk tobu HukaEa LaEa untuk berkebun dan juga membersihkan kuburan leluhurnya. Dalam masa pengungsian inilah pemerintah mulai menunjukan sikap represif dan otoriternya dengan melakukan pembatasan-pembatasan akses rakyat Moronene di tanah leluhurnya serta tindakan intimidasi diantaranya: pengambilalihan wilayah adat rakyat Moronene secara paksa; pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk; pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen; penangkapan hingga ke penahanan rakyat Moronene, dan; penghilangan mata pencaharian masyarakat Sebelum kejadian itu semua Orang Moronene (tobu HukaEa LaEa) telah melakukan upaya yang simpatik dalam usahanya kembali ke tanah leluhur, diantaranya dengan mengirim surat ke pemerintahan termasuk kepada balai taman nasional RAW, namun tidak ada tanggapan dari semua instansi yang dikirimi surat tersebut. Karena tidak adanya respon serta berlarut-larutnya masalah tersebut maka pada tanggal 15 – 18 Februari 1996 sebagian warga Hukaea Laea dan Lampola memasuki tobu mereka Semua tindakan pemerintah tersebut berlindung dibalik “perlindungan kawasan konservasi”. Untuk melegitimasi tindakannya pemerintah pun menuduh Masyarakat sebagai perusak hutan, penyerobot wilayah Taman Nasional dan juga perusak kekayaan sumber daya alam. Walaupun fakta berbicara bahwa; bukti sejarah, peninggalan bekas perkampungan, pekuburan masyarakat, bukti vegetasi, aturan-aturan adat yang masih terdokumentasikan dan masih dilaksanakan, pengakuan dari orang Moronene yang menyatakan bahwa kampung HukaEa LaEa merupakan wilayah leluhurnya, fakta bahwa hutan yang terjaga justru yang ada di wilayah hukum orang Moronene. Tindakan represif pemerintah tersebut dijabarkan serta diimplementasikan dalam bentuk Operasi Sapu Jagat (OSJ), yang dilaksanakan secara berturut-turut pada tanggal 16 Desember 1997 (OSJ I), tanggal 23 Oktober 1998 (OSJ II), tanggal 23 – 25 November 2000 (OSJ III) dan tanggal 28 April 2002 (OSJ IV). Kerugian yang diderita masyarakat diantaranya: rumah penduduk 18


yang dibakar dan dihancurkan tidak kurang dari 200 rumah, ratusan alat perkebunan disita serta barang-barang berharga masyarakat lainnya. Taman Nasional Kayan Mentarang: Anak Tiri di Negeri Emas Kawasan ini ditunjuk sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1996 dengan luas 1.360.500 ha. Secara administratif pemerintahan berada pada Kabupaten Nunukan dan Malinau, Propinsi Kalimantan Timur. Taman Nasional yang terletak di utara Kalimantan Timur ini berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Saat ini taman nasional ini dilakukan pengelolaan oleh WWF. Dalam sistem pengelolaannya, WWF menerapkan pengelolaan dengan melibatkan elit masyarakat serta pemerintah daerah. Namun kondisi yang terjadi hingga saat ini, dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, sebuah perusahaan perkayuan Malaysia bernama Sabah Forest Industries dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten Nunukan dan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur akan melakukan pembuatan jalan sepanjang 100 km dengan lebar 6 km yang akan menghubungkan Kecamatan Krayan dengan Malaysia. Jalan ini sendiri dianggap akan meningkatkan akses dan kesejahteraan masyarakat Krayan yang selama ini tertinggal dari semua aspek kehidupan. Masyarakat Krayan telah sekian alam mengalami kesulitan untuk bertahan hidup dikarenakan akses mereka untuk mengelola sumberdaya alam telah dikapling pemerintah sebagai sebuah kawasan Taman Nasional, dimana mereka sudah tak lagi memiliki akses kehidupan. Demikian juga dengan beberapa komunitas lainnya di kawasan TN Kayan Mentarang. Pendekatan konservasi tanpa manusia telah lama diterapkan di TN Kayan Mentarang, serta menempatkan manusia sebagai faktor pengrusak taman nasional, bukan sebagai faktor pendukung keberlanjutan taman nasional. Taman Nasional Kutai: Wajah Buruk Pengelolaan Konservasi Indonesia TN Kutai semula berstatus suaka margasatwa yang ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda 7 Mei 1934, meliputi hutan seluas 306.000 hektar. Sebenarnya, luas kawasan perlindungan yang diusulkan insinyur pertambangan Belanda H Witcamp yang bekerja pada perusahaan tambang minyak BPM itu mencapai dua juta hektar. Suaka margasatwa yang ditetapkan Pemerintah Belanda seluas 306.000 hektar itu kemudian berubah menjadi 200.000 hektar dengan SK Menteri Pertanian No 280/Kpts/Um /6/1971 tanggal 20 Juni 1971. Kawasan ini ditetapkan menjadi taman nasional melalui SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982, 14 Oktober 1982, sebagai Taman Nasional Kutai. Pengurangan luasan TN Kutai kembali dilakukan lewat SK Menteri Kehutanan tanggal 22 Juli 1991 yang menciutkan lagi kawasan TN Kutai dari 200.000 hektar menjadi 198.629 hektar. Dari 1.371 hektar yang dilepas, 680 hektar di antaranya untuk perluasan Kota Administratif Bontang dan 691 hektar lainnya untuk kawasan industri PT Pupuk Kaltim. Pada awalnya TN Kutai merupakan surga bagi banyak lembaga Internasional yang bekerja untuk kepentingan konservasi. Begitu banyaknya lembaga internasional yang mengucurkan uangnya di kawasan ini. Namun saat ini, sudah tak ada lagi lembaga internasional yang mau melirik TN Kutai sebagai sebuah site aktivitas, dikarenakan begitu kompleksnya permasalahan di TN Kutai. Luasan TN Kutai juga terus menyempit. Apalagi perambahan terus berlangsung dengan semakin banyak bermunculan gubuk-gubuk, bangunan permanen, kebun pisang, dan okupasi lahan di kawasan itu. Bahkan melalui Proyek Nasional Agraria (Prona) diterbitkan 115 lembar sertifikat untuk masyarakat yang tinggal di dalam kawasan TN Kutai19. Pembukaan jalan di TN Kutai mengakibatkan semakin maraknya perambah hutan di kiri-kanan jalan yang dibangun. Selain itu, para penebang liar memanfaatkan mudahnya akses masuk ke

19 Kompas, Selasa-18 November 2003, Ladia Galaska Tidak Berkaca pada Taman Nasional Kutai , http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/18/daerah/694347.htm 19


hutan dengan membabat hutan. Akibatnya, pencurian kayu semakin merajalela. Jika melewati jalan aspal antara Kota Bontang hingga Sangatta di Kabupaten Kutai Timur, bukan lagi rimbunan kanopi hutan yang bisa dinikmati. Akan tetapi, sejauh mata memandang yang terlihat cuma semak belukar dan rimbunnya perkebunan pisang. Di beberapa tempat berdiri bangunanbangunan, baik berupa gubuk maupun bangunan permanen dari beton. Sejumlah alat berat mengeruk dan meratakan tanah untuk pendirian bangunan baru. Perambahan dan pengaplingan lahan itu terus berlangsung hingga kini. Berdasar surat Dirjen PKA Departemen Kehutanan Nomor 830/DJ-V/LH/2000 tertanggal 20 November 2000 dan keputusan Bupati Kutai Timur Nomor 17 tertanggal 8 Maret 2001, keempat desa itu akan di-enclave atau dijadikan kantung permukiman di tengah kawasan hutan. Rencana enclave kawasan sedianya hanya 15.000 hektar akhirnya membengkak menjadi 23.712 hektar. Jumlah penduduk yang mendiami kawasan TN Kutai saat ini terus meningkat. Tahun 1999, jumlah penduduk di empat desa itu hanya 16.234 jiwa, tahun 2001 meningkat menjadi 18.821 jiwa. Saat ini diperkirakan jumlah penduduk sudah meningkat lebih dari 20.000 jiwa. Pembukaan jalan di TN Kutai telah mengakibatkan terjadinya okupasi lahan secara besarbesaran. Ini bisa terlihat secara kasat mata dengan terjadinya pembukaan lahan baru di dalam kawasan taman nasional itu. Tidak hanya pembangunan jalan, rencana pengembangan lahan sawit sejuta hektar di Kaltim, yang salah satunya akan dikembangkan di kawasan sepanjang pinggir jalan trans-Kalimantan Balikpapan-Samarinda-Bontang, juga telah meningkatkan terjadinya okupasi dan pengaplingan lahan di sepanjang pinggir jalan tersebut. Secara teoritis, pembangunan jalan di kawasan konservasi sebenarnya juga dibutuhkan dan tidak akan merusak kawasan, sepanjang pengelolaannya benar. Jalan dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi, pembukaan isolasi penduduk, dan pengawasan kawasan konservasi. Namun, selama ini yang terjadi di Kalimantan adalah sebaliknya. Bukan masyarakat yang sudah sejak lama mendiami kawasan yang diuntungkan oleh pembukaan jalan, justru warga lama ini terdesak oleh kedatangan para perambah. Penduduk setempat terdesak oleh para perambah dan pencuri kayu yang datang kemudian20. Izin yang telah diberikan Pemkab Kutai Timur kepada PT Emas Goldenbell untuk melakukan eksplorasi batubara seluas 86.580 hektar di kawasan TN Kutai itu telah memicu perambahan hutan di dalam kawasan. Bukan cuma menebang pepohonan, tetapi para perambah juga mendirikan bangunan di dalam kawasan. Para perambah merupakan para spekulan tanah yang berharap jika eksplorasi berlanjut menjadi eksploitasi, mereka bisa mengklaim ganti rugi tanah yang telah dikuasainya. Akibatnya, luas areal perambahan diperkirakan semakin meningkat, bahkan hingga masuk ke tengah kawasan, tidak hanya di pinggir jalan Bontang-Sangatta. Taman Nasional Siberut: Desakan Pengusaha Mengancam Masyarakat Mentawai Taman Nasional Siberut yang terletak di bagian barat Pulau Mentawai merupakan sebuah surga bagi puluhan komunitas masyarakat Mentawai. Sungai dan rimbunan pohon merupakan wadah sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat. Sejak terjadinya carut marut pengelolaan kehutanan di Indonesia, telah menjadikan tekahan yang kuat pada kawasan yang masih hijau. Pulau Mentawai saat ini mulai kehilangan kawasan hijaunya. Terdapat dua Hak Pengusahaan Hutan yang diberikan oleh pemerintah di pulau tersebut, ditambah dengan setidaknya 4 ijin penebangan kayu yang diberikan oleh pemerintah daerah. Hal ini mengancam sumber-sumber kehidupan bagi rakyat.

20 Chandradewana Boer, Kompas, Selasa-18 November 2003, Ladia Galaska Tidak Berkaca pada Taman Nasional Kutai , http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/18/daerah/694347.htm 20


Selain itu, lembaga-lembaga internasional yang bekerja di kawasan tersebut, baik langsung maupun melalui Balai TN Siberut, telah mencoba menghilangkan akar budaya rakyat dengan mengintervensi perubahan pola hidup dan kehidupan masyarakat Mentawai. Konsep-konsep negara utara coba diintervensikan, melalui berbagai cara. Salah satu indikator kuatnya introduksi konsep negara utara adalah dengan pengistilahan yang digunakan, semisal comanagement dan lainnya. Taman Nasional Taka Bonerate: Saat Utang Memutus Sumber Kehidupan Rakyat Taman Nasional Taka Bonerate yang terletak di kepulauan di selatan Sulawesi dan berada dekat dengan pulau Bali. Ditunjuk sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan Tahun 1992 dengan luas ± 530.765 hektar. Secara administratif pemerintahan berada pada Kecamatan Passi Masunggu dan Kecamatan Passi Maranu, Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. TN Taka Bonerate saat ini memperoleh dana pengelolaan TN, selain dari pemerintah juga dari World Bank melalui program COREMAP. Selama pelaksanaan program COREMAP tahap I, polapola pendekatan yang digunakan adalah pengelolaan kawasan konservasi tanpa memandang keberadaan masyarakat yang telah lama berada di kawasan tersebut. Program-program yang dilaksanakan telah melepaskan masyarakat dari akar budaya lokal, dengan memasukkan teknologi dan konsep-konsep luar ke dalam kehidupan masyarakat lokal. Kepentingan pengusaha wisata berada di atas kepentingan kehidupan masyarakat kepulauan Taka Bonerate. Masyarakat dilarang untuk mengambil hasil ikan di kawasan tersebut, sedangkan pengusaha wisata dengan leluasa “menjualâ€? potensi kawasan TN Taka Bonerate tanpa pernah memikirkan kepentingan nelayan lokal. Bila masyarakat mengambil ikan akan ditangkap dan diajukan ke hadapan hukum, sedangkan bila pengusaha wisata mengadakan perlombaan memancing menjadi sebuah kebanggaan.

21


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.