6 minute read
Ini Dia Tiga Kebijakan Baru BKKBN Era AKB
Babak penormalan baru (new normal) atau belakangan menjadi adaptasi kebiasaan baru (AKB) sudah barang tentu membawa perubahan bagi program pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana (Bangga Kencana) di Indonesia. Apa saja yang berubah? Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menguraikan jawaban tersebut dalam seminar daring bersama Warta Kencana pada Juni lalu.
Hasto menegaskan kenormalan baru berarti cara baru, tidak bisa lagi sama seperti sebelum terjadinya pandemi Covid-19. “New normal secara sederhana dan itu dilakukan sekarang adalah tetap sukses melakukan pelayanan dan menjalankan program (Bangga Kencana) yang aman dari Covid-19. Secara konseptual atau berpikir besarnya adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia atau masyarakat untuk kepentingan branding power equity Indonesia di mata dunia. Tentunya berdasarkan kemandirian dan gotong royong. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebersihan, keselamatan, dan keamanan warga negara,” terang Hasto.
Advertisement
IRFAN HQ/BKKBN JABAR
Secara kelembagaan, BKKBN mengubah kebijakan untuk menyesuaikan dengan penormalan baru tersebut. Pertama, BKKBN menggerakkan para penyuluh keluarga berencana (PKB) untuk sepenuhnya membantu pelayanan. Termasuk di antaranya adalah mendistribusikan alat dan obat kontrasepsi (Alokon) untuk digunakan di fasilitas kesehatan (Faskes). Ini berbeda dengan sebelumnya yang menitikberatkan tugas PKB kepada tugas-tugas komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) atau penyuluhan.
“Perubahan ini menjadi suatu keniscayaan. Indonesia memiliki banyak remote area yang sulit dijangkau. Kalau mengandalkan jalur normatif, disribusi alokon itu bisa telat. Akhirnya di desa-desa stock out. Ini yang berbahaya bagi kelangsungan peserta KB,” kata Hasto.
“Zaman dulu, pada masa Orde Baru, ada pos KB desa. Salah satu tugasnya mengantarkan alokon kepada akseptor. Kemudian muncul larangan untuk menyimpan alokon di desa. Ketentuan menyimpan obat diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Pos KB desa sudah tidak diperbolehkan (menyimpan alokon). Dalam kondisi pandemi dan new normal ini, maksud saya, PKB-nya bolehlah membawa obat atas request faskes atau bidanbidan,” tambah Hasto.
Perubahan kedua, BKKBN akan mendistribusikan alokon kepada faskes-faskes swasta. Ini berbeda dari kondisi sebelum pandemi covid-19 yang hanya mendistribusikan alokon untuk faskes pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit atau klinik-klinik milik pemerintah. Dengan catatan, distribusi kepada faskes swasta tersebut tetap tercatat di BKKBN. Ketiga, BKKBN mengubah menu belanja pada dana alokasi khusus (DAK) yang diberikan kepada kabupaten dan kota. Bila sebelumnya DAK banyak diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan di tingkat masyarakat, kini tidak lagi. BKKBN menghendaki gelontoran duit tersebut digunakan untuk menggerakkan pelayanan.
“Jadi, nanti dana yang besar di DAK ke kabupaten-kabupaten ini, yang biasanya untuk pertemuanpertemuan itu, kita ubah. Pada masa new normal ini pertemuan sulit dilakukan, tidak bisa. Dulu anggaran itu mayoritas untuk petemuan. (Pandemi covid-19) ini yang kemudian ada berkahnya juga. Anggarananggaran pertemuan itu bisa kita coret semua. Kita alihkan untuk pelayanan,” kata Hasto.
Hasto bercerita punya pengalaman menarik terkait pertemuanpertemuan di masyarakat. Tujuh tahun menjadi Bupati Kulonprogo di Daerah Istimewa Yogyakarta, Hasto menemukan pola pertemuan yang disebutnya “itu-
TERUS MELAYANI
Suasana pelayanan KB era pandemi Covid-19 di salah satu faskes di Kota Bandung. itu saja”. Menurutnya, pertemuan kader pos pelayanan terpadu (Posyandu), minilokakarya pos KB desa, pertemuan kampung KB itu, dan lain-lain kerap dihadiri orang yang sama.
“Orang itu-itu lagi. Tandatangannya saja yang berubah-ubah, kolomnya yang berubah-ubah. Pokoknya cingcai lah. Makanya itu yang saya ubah. Anggaran DAK kami ubah,” tandas Hasto.
Secara teknis, sambung Hasto, kebijakan teknis BKKBN dalam pelayanan Bangga Kencana adalah memastikan untuk senantiasa mengikuti protokol kesehatan dalam setiap pelayanan kepada masyarakat. Beberapa di antaranya adalah pembagian alat pelindung diri (APD) dan sarung tangan medis (handscoon) kepada bidan praktik. Jika sebelumnya hanya digunakan oleh bidan yang memberikan pelayanan susuk KB atau alias implan, kini pelayanan suntik juga menggunakan handscoon.
Ogah Turunkan Target
Di bagian lain, Hasto mematikan pihaknya tidak akan menurunkan capaian target pada masa kenormalan baru. Mantan Ketua Program Studi Program Pendidikan
DOK. DPPKB KOTA BANDUNG
Dokter Spesialis Obsetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memilih mengubah kebijakan untuk tetap memburu target pencapaian program. Dia juga mengembalikan para pegawainya dari yang semula bekerja dari rumah (work from home) untuk kembali ngantor. Alasannya, tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah.
“WFH memang saya kontrol di pusat maupun di daerah. Hasilnya jelas sangat berpengaruh. Tidak semua bisa dikerjakan di rumah. Mau tidak mau harus datang ke kantor. Apalagi sebagai provider, seperti sebagai bidan atau petugas pelayanan. Kalau WFH jadi tidak bisa memberikan pelayanan. Mau tidak mau harus hands on, harus turun kita ini. Makanya kami BKKBN sudah mengakhiri WFH di pusat ini,” kata Hasto.
Kebijakan ini diambil guna mengenjot capaian target yang drop dalam beberapa waktu terakhir. Ketika Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertanya siapa yang akan menurunkan target, BKKBN memilih tidak menurunkan target. Hasto mengungkapkan, secara nasional peserta aktif KB turun sebanyak 10 juta selama April 2020. Pada Maret 2020, Indonesia memiliki 36 juta peserta KB aktif. Jumlahnya rontok menjadi 26 juta orang pada April 2020. Dari jumlah tersebut, 2.5 juta di antaranya merupakan pasangan usia subur dengan fertilitas tinggi pada rentang usia 20-30 tahun.
“Itulah mengapa pada new normal ini tetap harus bisa mencapai target. Kalau kita dalam new normal ini menjadi new target kemudian under target, maka menurut saya kita bunuh diri. Kita repot,” tegas Hasto.
Dokter yang mengawali tugasnya di salah satu puskesmas di
HASTO WARDOYO Kepala BKKBN
pedalaman Kalimantan ini menjelaskan, penuruan peserta KB terjadi pada seluruh jenis alokon. Penurunan terbesar jenis KB suntik yang rontok dari 18 juta pada Maret 2020 menjadi 13 juta pada April 2020. Demikian juga pada pil, dari 7,3 juga menjadi 5,4 juta. Ini bisa dimaklumi mengingat 75 persen peserta KB di Indonesia merupakan pengguna KB suntik dan pil.
Hasto berdalih, penurunan pada April menunjukkan adanya kepatuhan pada masyarakat untuk tetap berada di rumah. Peserta KB memilih menunda pemasangan berulang atau pemeriksaan dan memilih tetap di rumah. Pada saat yang sama, pelayanan pun tidak mudah diakses. Bila kondisi ini terus dibiarkan, potensi kehamilan baru selama pandemi menjadi cukup tinggi. “Ini merarik. Kalau ada pasangan suami-istri mengalami stop kontrasepsi, maka mereka akan hamil berapa banyak. Untuk suntik, kalau bulan pertama stop, maka yang hamil ada sekitar 10 persen. Kalau IUD, kalau dilepas dan aktif seksual, maka yang hamil akan ada 15 persen. Kemudian pil, kalau berhenti, bulan pertama bisa langsung 20 persen. Makanya membuat hitung-hitungan kalau rata-rata 15 persen saja selama tiga bulan pertama ini, maka sudah cukup banyak,” ungkap Hasto.
“Menghitung angka dari berbagai data di Indonesia, ada 2.5 pesreta KB yang drop-out. Saya berharap 2.5 juta bisa diraih lagi pada Mei. Mulai April kami sudah bergerak cepat. Kalau 2.5 juta dalam masa subur dan melakukan hubungan seks 2-3 kali seminggu, maka yang hamil bisa 15-20 persen. Sehingga kalau 15-20 persen, maka tambahannya bisa 370 ribu-500 ribu kehamilan. Inilah yang sebetulnya ingin kami cegah agar tidak terjadi yang tidak kami inginkan,” Hasto menambahkan.
Di bagian lain, Hasto mengapresiasi Gubernur Jawa Barat yang secara konsisten terus mendukung program Bangga Kencana. Dukungan kepala daerah ini menjadi sangat penting mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk paling besar di Indonesia. Yang membedakan Jawa Barat dari daerah lain, sambung Hasto, adalah kebijakan gubernur dalam memberikan insentif bagi tenaga penggerak desa dan kelurahan.
“Jawa Barat itu istimewa karena Pak Gubernur memberikan insentif kepada (penyuluh KB) non-PNS. Ini bantuan luar biasa bagi BKKBN karena medapat tambahan 2000 petugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat,” pungkas Hasto. •NJP