Modal Sosial & Urban Policy Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah
Studi Pada Pemerintah Kota Probolinggo 2004 – 2009
Wawan E. Kuswandoro
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah Studi Pada Pemerintah Kota Probolinggo 2004 - 2009 Penulis: Wawan E. Kuswandoro Sambutan: HM Buchori (Walikota Probolinggo) Penyunting: Nanang Haryono Tata Letak Naskah: Arditya Wicaksono Tata Letak Sampul: Tim Kreasi InSECSPublishing
Cetakan I, Mei 2010
Diterbitkan oleh: Institute for Social Education and Cultural Studies
Institute for Social Education and Cultural Studies
Jln. Jojoran III / 40 Surabaya Telp. 031 - 60548677, 0815 5665 0900, 0812 3051 0900 http://www.insecs.co.id e-Mail: insecs@yahoo.com
Dicetak oleh: InSECSPrint Jln. Jojoran III/40, Surabaya Hak Cipta Dilindungi Undang Undang All Right Reserved Dilarang mereproduksi, menyimpan, menyebarluaskan secara keseluruhan maupun sebagian dari isi buku ini dalam bentuk apapun, tanpa seijin tertulis dari InSECS. “No part of this book may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, including electronic, mechanical, photocopying, microfilming, recording, or otherwise without permission from InSECS”.
ISBN: 978 – 979 – 18994 – 1 – 3
Sambutan WALIKOTA PROBOLINGGO
Assalamu’alaikum wr. wb. Semangat otonomi daerah mendorong Pemerintah Kota Probolinggo untuk terus melakukan pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan kota. Sebagai pimpinan daerah Kota Probolinggo saya berupaya mengelola kota dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki Kota Probolinggo baik potensi sumberdaya alam, manusia maupun kehidupan sosial budaya. Terobosan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksananan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan dengan melakukan berbagai inovasi. Keterlibatan berbagai pihak sebagai pemangku kepentingan di Kota Probolinggo menjadi modal dalam memberikan dukungan sebuah kebijakan publik yang disepakati dan dilaksanakan bersama-sama sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Kondisi ini ditumbuhkan dengan menyediakan ruang publik secara luas sehingga memungkinkan aspirasi dan kepentingan masyarakat terakomodasi dalam keputusan publik yang dilaksanakan. i
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Penataan kota tidak terlepas dengan karakteristik alamiah, sosial ekonomi masyarakat, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia yang ada sehingga kolaborasi komponen yang ada diupayakan dalam sebuah kerjasama yang sinergis untuk melaksanakan kegiatan komprehensif dalam menyelenggarakan pembangunan. Dengan dituliskannya buku “Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah, Studi pada Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009� ini, saya memberikan apresiasi yang sangat baik kepada penulis yang berupaya mendokumentasikan berbagai program dan kegiatan inovasi yang dilaksanakan Pemerintah Kota Probolinggo sehingga dapat dijadikan rujukan dan perbandingan oleh pembaca terutama bagi upaya peningkatan penyelenggaraan otonomi daerah yang memberikan peluang yang luas bagi daerah untuk mewujudkan tujuan pembangunan. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan secara tulus kepada segenap pihak yang memberikan andil dan kontribusi untuk bekerja bersama-sama mewujudkan upaya-upaya inovasi sehingga tidak dipungkiri berbagai penghargaan dapat diraih oleh Pemerintah Kota Probolinggo. Sekian terima kasih, Wassalaamu’alaikum wr wb.
WALIKOTA PROBOLINGGO
H.M. BUCHORI, S.H., M.Si
ii
Sambutan KEPALA BAPPEDA KOTA PROBOLINGGO
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa, buku berjudul “Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah, Studi pada Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009� ini dapat diterbitkan sebagai bagian dari dokumentasi pelaksanaan pembangunan daerah khususnya di Kota Probolinggo yang dirumuskan dengan menggali berbagai program dan kegiatan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Probolinggo dalam menjalankan kewenangan penyelenggaraan otonomi daerah. Berbagai program dan kegiatan inovasi yang dilakukan semua diarahkan pada pencapaian visi dan misi Pemerintah Kota Probolinggo. Pembangunan daerah pada prinsipnya adalah mengubah keadaan menjadi lebih baik dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki didukung dengan sistem manajemen kepemerintahan yang baik mulai dari formulasi kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan publik yang mengarah pada tercapainya tujuan pembangunan daerah. Praktek penyelenggaraan kepemerintahan di era otonomi daerah menuntut daerah iii
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
untuk melakukan inovasi dan terobosan guna mempercepat tercapainya tujuan pembangunan dengan berprinsip pada demokratisasi, akuntabilitas, transparansi, responsif dan partisipatif yang mengarah pada terciptanya good governance. Dengan diterbitkannya buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang praktek-praktek inovasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Probolinggo sehingga dapat memberikan angin segar yang mampu menumbuhkan inisiatif dan gagasan-gagasan baru untuk senantiasa melakukan perubahan-perubahan melalui kegiatan inovasi dengan memanfaatkan potensi dan peluang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Probolinggo, Maret 2010 KEPALA BAPPEDA KOTA PROBOLINGGO
Ir. BUDI KRISYANTO, M.Si Pembina Tk. I NIP. 19611209 198102 1 001
iv
Pengantar Penerbit
Pengantar Penerbit
Bersamaan dengan bergulir derasnya isu-isu otonomi daerah, reformasi, keterbukaan, dsb, perhatian orang kerap tertuju pada dinamika lokal dan terutama pula terhadap apa yang ditampakkan oleh kepemerintahan lokal. Isu-isu kelokalan mengemuka tidak hanya pada ranah politik praktis semisal pilkada, namun juga pada pemerintahan daerah dan kiprahnya. Buku ini, yang oleh penulisnya disebut sebagai kajian atas best practices program inovasi pemerintah daerah dengan studi pada Pemerintah Kota Probolinggo dan mengambil setting tahun 2004 – 2009, merupakan salah satu sajian menarik tentang dinamika sosial yang mengiringi geliat pemerintahan lokal di era transisi demokrasi dan menguatnya lokalitas baru dengan ciri umum adanya “pertukaran� peran sosial antara pimpinan daerah hasil pemilihan langsung dengan para aktor lokal yang berperan strategis pula dalam proses pemerintahan daerah. Dalam buku ini disebut sebagai urban policy dan community government. Seolah ada “perlombaan� antara pemerintah daerah dengan (tuntutan) civil society, hingga gagasan inovatif banyak disajikan. Menarik, penulis
v
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
membawa pada pembukaan wawasan inovatif ketika gagasan dan karya inovatif pemerintah daerah di-capture dan disajikan dengan mengetengahkan konsep modal sosial sebagai bingkai proses sosial di ranah lokal pada area yang diteliti. Menariknya lagi, buku ini ditulis oleh peneliti dan aktivis lokal, yang setiap harinya hidup di locus kajian, sehingga mengetahui dan mengalami secara alamiah, sekaligus dapat mengisi kekosongan akan sedikitnya tulisan dan analisis tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, khususnya yang dapat menunjukkan dinamika lokal dalam perspektif ‘peneliti lokal’. Karena yang kerap terjadi adalah “orang pusat berbicara tentang daerah”, bukan orang daerah bicara tentang daerahnya sendiri. Buku ini telah menjawab persoalan kelangkaan tersebut. Karya ini disamping dapat memperkaya perbendaharaan bagi masyarakat daerah terhadap daerahnya sendiri, juga dapat menjadi inspirasi baru dan menggugah kesadaran baru bagi warga daerah yang ingin ‘berbicara’ tentang daerahnya. Penerbit menyampaikan terimakasih kepada pemerintah Kota Probolinggo yang mempercayakan penerbitan dokumen penting ini kepada kami. Bagi kami, mendinamisasikan dokumen negara demi kepentingan publik selaras dengan semangat transparansi dan kemudahan memperoleh informasi bagi masyarakat. Institute for Social, Education and Cultural Studies (InSECS) dan InSECS Publishing berkomitmen pada pembelajaran bersama terhadap isu-isu sosial, pendidikan dan budaya dalam paradigma pemberdayaan dan kemandirian bagi semua. Surabaya, April 2010
vi
Kata Pengantar Penulis
Pengantar Penulis
Buku berjudul ”Modal Sosial dan Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah, Studi pada Pemerintah Kota Probolinggo 2004 – 2009” ini merupakan kajian modal sosial dan urban policy pada praktik pengalaman terbaik (best practices) pemerintah Kota Probolinggo dalam pengelolaan pembangunan perkotaan (program inovasi) selama kurun waktu 2004 – 2009. Modal sosial menjadi perekat dalam hubungan sosial bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Dalam konteks kepemerintahan daerah di era otonomi daerah, hubungan sosial melibatkan institusi pemerintah beserta komponen internalnya yakni para satuan kerja, dengan sektor swasta dan warga masyarakat, yang dalam bahasan buku ini disebut ”aktor lokal”, dalam entitas lokal Kota Probolinggo, mengandung unsur kekuatan yang
vii
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dimiliki oleh suatu daerah dalam mempersepsi dirinya untuk keperluan pembangunan, yang lazim disebut ”modal sosial” (social capital). Dalam pengertian ini, modal sosial pada intinya menunjuk pada political will dan penciptaan jaringanjaringan, kepercayaan, nilai-nilai bersama, norma-norma dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi manusia di dalam sebuah masyarakat. Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam sebuah komunitas. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan saja karena adanya kesamaan tujuan dan kepentingan, melainkan juga karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi, terjadinya relasi yang berkelanjutan serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif. Sebagian upaya ini dapat dikembangkan dari adanya komunikasi yang terbuka antar aktor lokal termasuk pemerintah dan dapat pula dikembangkan oleh pemerintah melalui kebijakan publiknya. Kecenderungan arus besar desentralisasi Indonesia lebih menonjolkan sisi pengembangan institusi, baik institusi pemerintah maupun kemasyarakatan dengan ciri pengembangan NGO dan aktor lokal lainnya (civil society), mempengaruhi pengembangan konsepsi modal sosial dan urban policy. Namun, “keterlanjuran formula neo-institusionalis yang telah menasional” ini diimbangi oleh “side effect” yang positif dalam pandangan developmentalis, yakni munculnya inovasi-inovasi yang terukur. Kebijakan publik Kota Probolinggo terutama dalam praktik pengalaman terbaik (best practices) Kota Probolinggo selama kurun waktu 2004 – 2009 yang termanifestasi dalam program-program inovatifnya, dapat dianalisis bahwa strategi kebijakan publik dapat dirancang untuk menumbuhkembangkan modal sosial, dan lebih lanjut, modal sosial yang secara laten embedded dengan proses sosial suatu viii
Kata Pengantar Penulis
kebijakan publik dapat diinventarisasi untuk kepentingan lanjutan. Modal sosial akan memberikan jawaban pada lokalitas sosial, sekaligus mengklarifikasi apakah “best practices� dalam program inovasi pada kurun waktu tersebut telah benar-benar merupakan best practices, dengan indikator tertentu. Kajian modal sosial (social capital) dalam studi-studi kepemerintahan sangat diperlukan untuk merangkai dan mengaktifkan anasir laten yang mendasari hubungan antar aktor dalam ruang dan hubungan sosial kepemerintahan dalam lokalitas daerah sebagai alat analisis, dan penggunaan pendekatan urban policy untuk menjelaskan secara live interkoneksitas elemen-elemen lokal berikut otoritas lokal (local authority) yang beroperasi di wilayah kebijakan publik suatu daerah. Dari seluruh program inovasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Probolinggo dari tahun 2004 hingga 2009, yang menjadi objek kajian buku ini, memunculkan beberapa pertanyaan mendasar tentang detil informasi yang berkaitan dengan proses dan implementasi kebijakan publik Pemerintah Kota Probolinggo pada program inovasinya selama kurun waktu 2004 – 2009. Yakni sejauh mana inovasi tersebut benar-benar dapat dikatakan sebuah inovasi yang telah memenuhi standard dan kriteria (indikator) tertentu dan menjadi best practices yang dapat dijadikan pelajaran (lesson-learned) bagi diri sendiri sebagai referensi pengembangan ke depan (self evaluation) bahkan mungkin bagi daerah lain serta interlink antar aktor dan hubungan sosial yang terjadi pada proses dan implementasi program inovasi tersebut. Buku ini, disusun dalam kerangka konseptual untuk menjawab pertanyaan di atas, dengan mendeskripsikan modal sosial dalam kebijakan publik Kota Probolinggo pada program inovasi selama 2004 – 2009, yang lebih lanjut untuk menjelaskan urban policy. Modal sosial merupakan sesuatu ix
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
yang embedded dengan proses praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kota. Ia dapat ditumbuhkembangkan dan diperkuat melalui kebijakan publik yang telah dilakukan dalam apa yang disebut best practices itu maupun melalui rancangan strategi kebijakan publik lanjutan dalam rangka menuju best practices program inovasi jika program inovasi pemerintah kota selama 2004 – 2009 yang dikaji ternyata masih belum dapat dikategorikan sebagai best practices secara keseluruhan ataupun sebagian. Setidaknya, buku ini mengisyaratkan tentang perlunya studi dan dokumentasi untuk menganalisis modal sosial dan urban policy dalam implementasi kebijakan publik pada suatu pemerintahan daerah sebagai pengalaman terbaik (best practices) dan bahan evaluasi diri (self evaluation) bagi kebijakan lanjutan yang lebih baik. Isu sentral buku ini yakni modal sosial dan urban policy pada program inovasi 2004 – 2009, dengan membatasi diri untuk tidak membahas tentang baik buruknya suatu program kebijakan atau pelayanan publik, tetapi lebih kepada proses sosial yang melingkupi suatu kebijakan atau program. Karenanya, beberapa konsepsi yang ingin direkonstruksi oleh buku ini adalah, pertama, upaya identifikasi dan inventarisasi terhadap berbagai program inovasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Probolinggo pada kurun waktu 2004 – 2009, yang kemudian dapat dianggap sebagai suatu bentuk pengalaman terbaik (best practices) Kota Probolinggo, ketika telah dapat membawa perubahan dan dampak yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Kedua, upaya eksplorasi dan analisis modal sosial dalam praktik dan kebijakan pengelolaan pembangunan perkotaan (urban policy) dalam konteks inovasi pemerintah Kota Probolinggo dalam kurun waktu 2004 – 2009, serta untuk merancang strategi kebijakan publik untuk menumbuhkembangkan modal sosial dalam konteks urban policy, memperkuat programx
Kata Pengantar Penulis
program inovasi yang telah ada maupun yang baru serta sebagai referensi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam implementasi kebijakan publik pemerintah Kota Probolinggo ke depan. Khususnya pada konsepsi kedua, modal sosial dan urban policy, akan berperan baik pada keberadaan best practices maupun tidak adanya best practices pada beberapa program inovasi yang telah dijalankan. Dan secara umum kedua capaian tersebut diharapkan akan dapat memperkuat referensi bagi implementasi kebijakan publik oleh penyelenggara dan pengelola pemerintahan Kota Probolinggo berdasarkan pengalaman sendiri, mempermudah perencanaan dan penguatan kebijakan lanjutan pada masa yang akan datang berdasarkan hasil kajian modal sosial dan urban policy terhadap praktik pengalaman terbaik inovasi yang telah dilakukan. Dalam hal lesson learned (pelajaran yang dapat diambil), sebagai bahan saling tukar informasi, pengalaman dan referensi antar pengelola pemerintahan kota di lingkup regional dan nasional dalam rangka menguatkan kembali implementasi kebijakan program inovatif pemerintahan Kota Probolinggo. Kiranya, inovasi-inovasi yang menyertai upaya lokal dalam bangunan besar pengembangan institusi kepemerintahan dalam arti luas, akan membawa ciri tersendiri dengan menampilkan wajah welfare state pada aras lokal sesuai dengan proses sosial dan transmisi kultural yang dinamis. Dan dinamisasi ini bergerak secara menyebar dalam penguatan urban policy bersama kekuatan civil sociey. Penulis bersyukur, ketika guliran konstruksi konsepsi yang dibangun ini dengan maksud memberikan referensi konseptual terhadap upaya pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan publiknya khususnya yang berkaitan dengan program inovasi, mengalami titik temu yang akhirnya berupa buku ini. Ucapan terimakasih penulis xi
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
sampaikan kepada Pemerintah Kota Probolinggo yang telah mendukung dan mengijinkan penulis melakukan kajian dan penelitian lapangan terhadap program-programnya selama kurun waktu 2004 – 2009. Penerimaan dan keterbukaan para aparat birokrasi terhadap permintaan data dan informasi yang penulis perlukan ketika penggalian data dan wawancara patut penulis catat secara positif, selaras dengan era keterbukaan informasi. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada Walikota dan Wakil Walikota Probolinggo, Sekretaris Daerah Kota Probolinggo, Kepala Bappeda Kota Probolinggo, para kepala satuan unit kerja yang tidak dapat ditulis satu per satu serta kepada para narasumber yang juga tidak dapat dituliskan satu per satu, atas waktu, data dan diskusinya untuk penulisan buku ini. Juga untuk teman-teman di lembaga penelitian Institute for Social, Education and Cultural Studies (InSECS) Jawa Timur atas diskusi dan suntingannya. Penulis berharap agar buku ini dapat membantu menambah referensi pengelolaan kota di era global ini yang berciri inovasi, kompetisi dan reformasi, serta menumbuhkembangkan semangat kebersamaan seluruh stakeholders daerah menuju penguatan urban policy dan community government.
Probolinggo, Maret 2010 Penulis
xii
Daftar Isi
Daftar Isi
Sambutan Walikota Probolinggo, i Sambutan Kepala Bappeda Kota Probolinggo, iii Kata Pengantar Penerbit, v Kata Pengantar Penulis, vii Daftar Isi, xiii
BAB 1
OTORITAS LOKAL DAN URBAN POLICY: Suatu Pengantar Aksi, 1
Otonomi Lokal dan Inovasi Pemerintahan, 5 Pemerintahan Lokal dan Urban Policy, 24 Best Practices dalam Kebijakan Publik, 27 BAB 2
KONDISI UMUM KOTA PROBOLINGGO, 31
Potensi Kota Probolinggo, 32 Kondisi Umum Pelayanan Publik, 48
xiii
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
BAB 3
Strategi Pembangunan Kota Probolinggo, 71 Program Inovasi 2004 – 2009, 76 Program Inovasi Lain, 117 Penghargaan Prestasi Kota Probolinggo 2004 – 2009, 154 Personalitas Kepemimpinan Kepala Daerah, 161
BAB 4
INOVASI PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO 2004 – 2009, 71
MODAL SOSIAL DAN URBAN POLICY, 165
Konsep dan Pandangan Sinergis Modal Sosial, 165 Modal Sosial dan Urban Policy, 189 Urban Policy untuk Pengembangan Modal Sosial, 197 Beberapa Catatan untuk Kota Probolinggo, 201
BAB 5
PENUTUP, 213
Kesimpulan, 213 Rekomendasi, 217
DAFTAR RUJUKAN, 221 BIODATA PENULIS, 227
xiv
1
BAB
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
BAB 1
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
Ledakan besar (big bang) otonomi daerah dalam narasi besar pembangunan nasional dalam era transisi demokratik, telah cukup menggeser paradigma sentralistik ke paradigma desentralistik. Walaupun terkesan tergesagesa dengan aroma pendekatan big bang (ledakan besar), dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, otonomi daerah sejak 2001 lalu telah cukup memberikan dasar bagi bekerjanya paradigma baru kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi pada era ini telah memberikan ruang yang leluasa kepada masyarakat daerah untuk berperanserta dan terlibat pada urusan kepemerintahan lokal. Walaupun masih belum pada tataran apa yang oleh M. Habeebullah dan David Slater disebut sebagai �community government�,
1
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
pemerintahan masyarakat1, namun secara umum masyarakat daerah dalam tataran tertentu telah menjadi subjek pembangunan berbasis daerah, secara bertahap, diukur dengan partisipasi atau keterlibatan publik pada upaya pembangunan di daerahnya. Partisipasi ini, tidak mesti harus dimaknai ikut serta dalam pembangunan daerah bersama eksekutif, tetapi juga partisipasi aktif dalam mengontrol program-program pemerintah. Bermunculannya lembaga-lembaga kemasyarakatan lokal atau non governmental organization (NGO) atau LSM, LPM, BPD dan semacamnya termasuk lembaga-lembaga profesi dan bisnis swasta, lembaga-lembaga pers atau media massa dsb menunjukkan partisipasi publik semakin menguat. Mengikuti fenomena ini bermunculan pulalah tokoh-tokoh lokal bahkan yang sebelumnya tidak muncul dan kadang tidak diperhitungkan. Keanekaragaman aktor lokal dan suara publik lokal dalam arena politik lokal ini sekilas memang memiliki kekhasan ”suara” sendiri-sendiri namun bila dicermati mereka memiliki gerak dan irama yang sama, menuju goal yang sama: mengawal kesejahteraan warga lokal. Mereka bersuara tentang hal-hal yang dipandang bersinggungan langsung dengan ”kesejahteraan warga lokal” semisal pelayanan publik (public service), pemanfaatan sumberdaya lokal dan ekonomi lokal. Tentu saja yang dijadikan ”sasaran” adalah pemerintah lokal selaku pemegang otoritas lokal. Keanekaragaman suara dan peran publik tersebut dalam ruang tata kemasyarakatan lokal merupakan modal sosial yang amat baik dikelola untuk menumbuhkan irama dan nada sosial laiknya sebuah orchestra sosial2 yang memikat, kadang meng-
M. Habeebullah dan David Slater, Community Government”, dalam Hugh Butcher et.al (Ed.), Community and Public Policy, 1993, Pluto Press, London, p. 142. 2 Dalam analogi ini penulis lebih suka menyebutnya sebagai “social orchestra without conductor” (orchestra sosial tanpa konduktor). Konduktor dalam hal ini lebih berupa 1
2
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
hentak kadang mengalun lembut. Kebersamaan dalam keanekaragaman dan warna sosial ini yang sebenarnya menyuarakan gagasan ”welfare state” dari warga lokal pada masyarakat perkotaan (urban society) beserta dinamika sosialnya dalam memproduk suatu kebijakan publik bersama pemerintah dan DPRD (kekuatan partai politik), dalam bahasan politik lokal perkotaan lazim disebut urban policy3. Dalam konteks kekinian urban policy dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan, konsep dalam memaknai dinamika kelokalan untuk tujuan pembangunan daerah dan dapat pula dipersepsi sebagai modal sosial. Sementara itu pada sisi pemerintahan, otonomi daerah inipun kerap ditafsiri oleh para pemimpin daerah dengan keleluasaan mengatur daerah dengan kewenangan politiknya untuk mengelola sumber daya lokal di tengahtengah ”perebutan” otoritas antara aktor lokal dan ”pusat”. Konsep ”daerah” atau ”lokal” mendadak menggejala dan menguat mengikuti adagium Tip O’Neil, all politics is local. Semua kegiatan politik beroperasi di ranah lokal. Bahasanbahasan kelokalan pun menjadi amat menarik. Dalam konteks pemerintahan dan politik lokal, setidaknya ada tiga alasan untuk melakukan politik lokal, yaitu pertama, tata kelola pemerintahan modern yang semakin kompleks; kedua, bentuk demokrasi modern yang lebih menuntut keterlibatan atau pelibatan, yang mengandaikan keterbukaan yang lebih besar kepada kekhasan lokal; dan ketiga, politik lokal memungkinkan terekspresinya dimensi kepercayaan, empati dan modal sosial dalam seluruh proses penyelenggaraan negara4. Dalam pandangan Gerry Stoker, lokalisme baru (new localism) dicirikhasi oleh sebuah invisible hand mekanisme sosial yang ditimbulkan oleh bekerjanya urban policy melalui praktek berkali-kali dan berulang-ulang. 3 Tim Blackman, 1995, Urban Policy in Practice, Routledge, New York, p.5. 4Gerry Stoker, “New Localism, Progressive Politics and Democracy” in The Political Quarterly (Oxford: Blackwell Publishing Ltd., 2004) p.117-128 .
3
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
strategi yang diarahkan untuk mengembangkan kekuasaan dan sumber daya yang jauh dari pengendalian pusat menuju lahirnya para manajer garis depan, struktur demokrasi lokal, konsumen lokal dan masyarakat lokal dalam sebuah kerangka yang disepakati tentang standar minimum nasional dan prioritas-prioritas kebijakan. Dengan kata lain, lokalisme baru menekankan berkurangnya kekuasaan pusat dan bertambahnya kekuasan daerah. Yang berkurang dari pusat adalah pengendalian, standar nasional, dan kebijakan, sementara yang bertambah di tingkat daerah adalah struktur demokrasi dan orang lokal baik itu manajer, konsumen maupun warga masyarakat. Bertambahnya kekuasaan daerah ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu semakin kompleksnya tata kelola pemerintahan, diakomodasinya trend demokrasi yang baru, dan diakomodasinya dimensi kepercayaan, empati dan modal sosial sebagai ekspresi dari keterlibatan warga secara lebih optimal. Persoalan seperti lingkungan, ekonomi, kesehatan, pencegahan kejahatan adalah masalah masalah-masalah yang melibatkan banyak pihak, baik dari sektor yang berbeda maupun tingkatan yang berbeda. Pusat tidak bisa lagi mendesain format seragam dan terkendali secara sentral untuk menangani persoalan-persoalan ini di tingkat daerah. Demikian pula halnya dengan demokrasi. Dalam pengertian konvensional, demokrasi terejawantah dalam perlindungan terhadap hakhak dasar warga negara untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan. Komponen utama demokrasi adalah negara-bangsa, parlemen dan pemerintah. Pandangan yang menekankan kelokalan, sebaliknya, tidak melihat hal-hal ini sebagai komponen demokrasi. Demokrasi adalah praktik-praktik di tingkat daerah, di tingkat wilayah dan di tingkat negara. Pemerintah pusat hanyalah pendorong, pengatur dan 4
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
barangkali penentu standar dan bukan mendikte bagaimana demokrasi mesti diimplementasikan di daerah5. Devolusi politik sebagaimana disinggung di atas, memiliki karakteristik dan problematika yang mengiringi pemegang otoritas lokal yang menimbang-nimbang antara pengelolaan kota berpola hubungan klien dan keberkaitannya dengan publik. Persoalan mendasar adalah gagasan bahwa dalam sekian lama pengalamannya, implementasi kebijakan publik dari pemerintahan lokal sesungguhnya melayani siapa dan pelayanan publiknya didedikasikan untuk siapa. Tema-tema yang berkembang kemudian adalah gagasan kewargakotaan dan keterlibatannya pada pemerintahan lokal yang sesungguhnya dalam banyak hal tetap merupakan kesulitan tersendiri. Posisi sulit yang kerap terjadi adalah berkaitan dengan tekanan politik dari pemegang otoritas lokal. Di sinilah celah munculnya peranserta masyarakat pada kepemerintahan lokal6, walaupun sebenarnya gagasan “community government� sebagian masih merupakan “hole in the road� dalam politik lokal7. Otonomi Lokal dan Inovasi Pemerintahan Perkembangan politik lokal merupakan salah satu determinan makro penting untuk menjelaskan kinerja dan karakteristik birokrasi pemerintahan di suatu daerah yang merupakan mesin kebijakan publiknya. Kebijakan publik pemerintah daerah tidaklah semata-mata ditentukan oleh pemerintah pusat, tetapi banyak dipengaruhi oleh faktorfaktor lokal, semisal kondisi politik, kekuatan politik lokal,
5
Ibid.
6
M. Habeebullah dan Davis Slater, op.cit., p. 142-143. Ibid. p. 147.
7
5
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
DPRD, karakter sosial masyarakat, pendidikan, kondisi ekonomi masyarakat, LSM, pers dan perguruan tinggi. Salah satu substansi penting dari isu dinamika politik lokal adalah melihat pola interaksi dan wacana politik yang berkembang pada tingkat lokal terutama pada pusaran “arus tengah” pemerintahan lokal, yakni eksekutif yang direpresentasikan oleh “mesin birokasi pemerintahan” dan legislatif yang direpresentasikan oleh para legislator dari kekuatan partai politik dan pusaran “arus pinggir” yang direpresentasi oleh kalangan LSM/ NGO, perguruan tinggi, pers, dsb. Pola interaksi politik arus tengah, antara eksekutif dan legislatif dan juga peran dari para stakeholders kebijakan pada tingkat lokal dalam merumuskan kebijakan pemberian pelayanan publik merupakan isu yang cukup krusial dalam mengukur akuntabilitas kinerja birokrasi di suatu daerah. Terry Christensen sebagaimana dikutip Agus Dwiyanto dkk mengemukakan hal berikut: “The effect of local politics on your daily lives and their accessibility for our active participation are practical reasons for us as citizens to study them, but they also offer us a great learning laboratory in a more general and theoretical sense. In your own community, you can see for yourself, talk to the participants, judge for yourself. Local politics provides fertile ground for developing our understanding –or theories- not only of local politics itself, but of politics more generally. We can consider the roles of government institutions and the private sector and their impact on decision making, voting and public policy.”8 (Efek politik lokal pada kehidupan bermasya-rakat dan aksesabilitasnya bagi partisipasi aktif kita merupakan suatu alasan praktis bagi kita selaku warga kota untuk mempelajarinya, tetapi politik lokal menawarkan kita sebuah laborato-rium pembelajaran besar secara umum dan teoretis. Politik lokal menghampar lahan subur bagi perkembangan pemahaman kita atau secara teori, tak hanya
8 Agus Dwiyanto dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, p. 110.
6
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
sebatas pada pema-haman politik lokal namun politik pada umumnya. Kita menganggap peran institusi pemerintah dan sektor swasta beserta pengaruhnya pada pembuatan keputusan, pemungut-an suara dan kebijakan publik).
Dampak perkembangan politik lokal terhadap kehidupan bermasyarakat adalah dalam kaitannya dengan peningkatan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan politik. Dinamika politik lokal merupakan gambaran seberapa jauh proses politik yang berlangsung pada tingkat lokal mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas. Politik lokal dan dinamika di dalamnya tidak hanya memberikan gambaran dari suatu fenomena politik, melainkan melihat pula peran birokrasi pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik dalam rangka memberkan akses politik yang sama kepada semua lapisan masyarakat dalam pengambilan keputusan publik9. Ketika aktor utama adalah daerah, dan kata kunci dominan adalah “lokal”, “lokalisme”, “aktor lokal”, dinamika implementasi kebijakan otonomi pada aras lokal dalam lokalitas dan entitas lokal banyak beroperasi di wilayah penguatan kapasitas lokal dengan kombinasi strategi yang kreatif untuk mendorong kemandirian lokal. Beberapa kata kunci yang menurut konsepsi Gerry Stoker mendominasi diskursus lokalitas dan lokalitas baru ini, adalah partisipasi lokal, otonomi lokal, lokalisme baru dan demokrasi lokal10. Namun dalam bahasan ini lebih banyak bersinggungan dengan gagasan-gagasan otonomi lokal dan partisipasi lokal, untuk memperkuat perspektif tentang produk kebijakan dan inovasi dari otoritas lokal yang di dalamnya beroperasi mekanisme urban policy.
Ibid. Pratchet, Lawrence, Local Autonomy, Local Democracy and The ‘New Localism’, Political Studies Association, Blackwell Publishing, 2004, Vol. 52, p. 358-375. 9
10
7
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Inovasi perkotaan (urban innovation) dalam kebijakan publik menjadi pilihan rasional bagi penyelenggara pemerintahan lokal (daerah). Hal ini seiring dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang semakin meningkat. Kebutuhan lokal dan tuntutan ini membutuhkan pemenuhan dan penyelesaian, sehingga timbul upaya untuk mengubah atau memperbarui ataupun menciptakan kebijakan baru. Inilah policy innovation. Tentang hal ini Thomas R. Dye mengemukakan bahwa policy innovation is simply the readiness of a government to adopt new programs and policies. (terjemahan: policy innovation atau inovasi kebijakan adalah sikap kesediaan pemerintah untuk menetapkan program-program baru dan kebijakan-kebijakan baru). Menurut Dye, pada umumnya “policy innovation” terjadi di negara-negara maju, meskipun tidaklah selalu demikian. Dye mencatat ada tiga faktor yang dapat mendorong timbulnya “policy innovation”, yaitu, pertama, pendapatan masyarakat yang cukup; karena dengan pendapatan yang cukup itu pada gilirannya akan dapat memberikan pendapatan pajak dan retribusi yang lebih besar dari masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kedua, perkembangan kota atau “urbanization”11; peristiwa ini pun merupakan hal yang mendorong terjadinya policy innovation karena dengan adanya perkembangan kota maka sumberdaya akan lebih terangkat dan terhimpun, sehingga memberikan tambahan kekuatan terhadap dilakukannya “policy innovation” itu. Ketiga, tingkat pendidikan (education); pendidikan yang tinggi akan memberikan kemampuan masyarakat untuk dapat menerima adanya kebijakan-kebijakan baru yang lebih bersifat rasional. Dengan adanya kesejahteraan rakyat dengan pendidikan yang cukup memadai, akan mendorong pula minat dan 11 Yang dimaksud adalah bukan “urbanisasi” yang berarti perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi pengertian “pengotaan” atau “perkembangan kota”.
8
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
perhatian masyarakat untuk ikut berperanserta (participation) lebih banyak dalam kehidupan masyarakat itu. Timbulnya creative participation oleh anggota-anggota masyarakat akan membuka peluang besar terhadap terjadinya policy innovation itu pula. Tentu saja hal itu tidak terlepas dari pengetahuan dan keterampilan dari para legislator di DPRD baik intellectual skill, verbal skill dan social skill, beserta pejabat-pejabat pemerintah yang harus secara professional dapat menangani (to manage) dan melayani (to serve) kehidupan masyarakat yang kompleks itu dengan baik12. Sebagai ilustrasi dan perbandingan, program-program inovasi dan dapat dikatakan sebagai best practices, yang dijalankan oleh beberapa negara di dunia, diantaranya Amerika Serikat, berkisar antara program-program cerdas yang menghubung-eratkan pemerintah dengan warga masyarakat yang dilayaninya. Hal ini tampak pada kompetisi inovasi pemerintahan yang dikemas dalam Innovations in American Government Awards13. Kompetisi ini menilai pengembangan kreasi layanan pemerintah melalui perbaikan struktur organisasi pemerintahan, teknik-teknik manajemen pemerintahan atau metode-metode produktif, yang dilanjutkan dengan penciptaan ruang bersama antara publik dan pemerintah. Ruang publik ini dimaksudkan untuk “mengkorporasikan� visi publik atau warga masyarakat dan memperoleh energi-produktif publik atau yang dalam istilah Mark Moore, public value (nilai publik)14.
Soenarko, 2005, Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah, Airlangga University Press, Surabaya, p. 82-83.
12
13 Di Indonesia kita mengenal misalnya Otonomi Awards yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), untuk menilai inovasi pemerintahan kabupaten/ kota, yang diukur dari derajat persepsi publik, inovasi pemerintah dan kondisi terkini (existing condition). 14 Moore (1995) sebagaimana dikutip Archon Fung, Citizen Participation in Government Innovation, dalam Sandford Borins (Ed.), 2008, Innovations in
9
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Fung men-survey inisiatif keterlibatan warga dan masyarakat yang dikenali dari program-program inovasi pemerintah, dimaksudkan untuk memahami bagaimana manajer pelayanan publik “mengkorporasikan” publik atau warga masyarakat ke dalam program inovasi pemerintahannya, menelaah jenis dan macam kontribusi publik dalam pemerintahan dan akhirnya, mengeksplorasi tegangantegangan dan konflik yang menyertai misi pemerintah, serta penetapan prioritas. Dalam beberapa poin penting, Fung menjajarkan inisiatif pemerintah yang dikenali dari beberapa kompetisi penghargaan inovasi dengan beberapa program lainnya untuk memperluas cakrawala partisipasi publik atau warga masyarakat di masa mendatang. Jadi, ada dua hal krusial dalam inovasi pemerintahan, yakni partisipasi masyarakat dan melayani masyarakat15. Dari berbagai pengalaman di atas, tampak sekali bahwa kebijakan publik memerlukan warga masyarakat atau “klien” untuk bekerjasama, —yang dalam beberapa hal dapat mengubah perilaku pemerintah secara substansial— dengan maklumat publik (statement resmi pemerintah) maupun pejabat publik. Untuk memelihara dan mengamankan kerjasama tersebut, pejabat publik harus secara simultan melakukan edukasi publik, konsultasi publik dan mobilisasi gagasan untuk memacu produktivitas serta mendekatkan komunikasi dan kesepahaman dalam rangka memelihara responsibilitas dan akuntabilitas publik. Pada beberapa event kompetisi penghargaan inovasi (innovation awards) pun tampak jelas bahwa para finalis atau nominee (nominator) dan pemenang melakukan kreasi Government: Research, Recognition and Replication, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, Harvard University, Washington DC, p.52-53. 15 Archon Fung, Citizen Participation in Government Innovation, dalam Sandford Borins (Ed.), 2008, Innovations in Government: Research, Recognition and Replication, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, Harvard University, Washington DC, p.52-53.
10
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
program-programnya yang kebanyakan berkonsentrasi pada kerjasama warga masyarakat atau “klien” dalam hal implementasi kebijakan publik pemerintah. Dalam hal ini, nilai paling pokok terletak tidak hanya pada kualitas pelayanan publik, tetapi juga pada karakter interaksi antara “klien” (warga masyarakat) dan “provider” (pemerintah). Paradigma yang bekerja dalam persoalan ini adalah analog dengan pemeliharaan kesehatan. Pengobatan yang efektif dan penanganan penyakit kronis seringkali tergantung tidak hanya pada kualitas pengobatan tetapi tidak kalah penting juga tergantung pada pasien yang responsif pada saran-saran dokter: melakukan terapi dan pengobatan secara bertanggungjawab, pengelolaan pola makanan (diet) dan gaya hidup. Atau dengan kata lain, hubungan antara pejabat dengan masyarakat (“klien”) diharmonisasi sehingga memungkinkan si “pasien” terlibat mendalam pada penanganan dirinya beserta keterlibatan pihak-pihak terkait16. Ada banyak contoh atau model inovasi yang diterapkan Negara-negara dunia dan dapat dikategorikan best practices Negara-negara tersebut. Beberapa diantaranya dapat dilihat di bawah ini seperti misalnya Pemerintahan ‘Terbarukan’17 (Reinventing Government), Pemerintahan Professional (Professional Government), Pemerintahan Digital (Digital Government), Pemerintahan Teregulasi Baik (Better Regulated Government), Pemerintahan Jujur dan Transparan (Honest and Transparent Government)
Ibid. p. 54. Agak repot mencari padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia untuk menginterpretasi “reinventing” yang merujuk pada makna substansial dari “reinventing government” dalam terminologi ini. Secara harfiah dapat diartikan sebagai “penemuan/ penciptaan kembali”. Ini berarti “reinventing government” bermakna “pemerintah yang tiada henti melakukan penemuan dan penciptaan kembali gagasangagasan cerdas dan baru” atau diringkas, “terbarukan”. Selanjutnya dapat disimak di David Osborne dan Ted Gaebler, 2005, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), Penerbit PPM, Jakarta. 16 17
11
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
yang diamalkan oleh negara-negara Amerika Serikat, Inggris Raya, Mexico, Ghana dan Singapura. Model-model ini memuat substansi inovasi yang diamalkan oleh Negaranegara tersebut, bukan berarti menunjukkan model pemerintahannya. Setelah contoh-contoh berikut, penulis merasa perlu untuk mengetengahkan contoh pengalaman inovasi yang diterapkan oleh Brazil, yakni penganggaran partisipatif (participatory budgeting) atau dalam istilah lokal disebut orçamento participativo (OP). Pemerintahan ‘Terbarukan’ (Reinventing Government) Inovasi, juga berkaitan dengan peran, antar hubungan dan perilaku sektor swasta dan sektor publik. Inovasi memang tidak mudah. Ia memerlukan imajinasi dan keberanian. Sejak awal abad ke-21 banyak Negara di dunia terlibat secara serius mengupayakan reformasi dan menyuntikkan budaya inovatif pada birokrasi pemerintahannya. Bagi beberapa Negara, reformasi dan inovasi melibatkan upaya reformasi gaya lama birokrasi menuju Negara demokrasi baru. Tantangan utama upaya ini adalah memodernisasikan dan menggayabarukan birokrasi ke arah era informasi. Reformasi kepemerintahan dan inovasi telah menjadi fenomena global ketika banyak Negara di dunia menggagas dan mengamalkan reformasi dan inovasi berdasarkan alasan-alasan yang berbeda. Pada beberapa Negara, gagasan ini sering disebut “reinventing government”18, sementara di sebagian Negara lain dinamai
18 Selanjutnya dapat dibaca di David Osborne dan Ted Gaebler, 2005, dalam Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), Penerbit PPM, Jakarta. Dengan gayayang sangat kapitalis dan sangat Amerika, mereka menganjurkan “10 in 1” jurus penataan birokrasi pemerintahan yang terbarukan, yaitu pemerintahan katalis, pemerintahan milik masyarakat, pemerintahan kompetitif, pemerintahan yang digerakkn oleh misi, pemerintahan yang berorientasi hasil, pemerintahan berorientasi pelanggan, pemerintahan wirausaha, pemerintahan antisipatif, pemerintahan desentralisasi, dan pemerintahan berorientasi pasar yang dikemas menjadi satu dengan jiwa dan semangat mengadopsi unsur-unsur “membangun manajemen
12
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
building state capacity atau modernization of the state dan sebagian lagi menamakannya New Public Management19. Munculnya gagasan reformasi dan inovasi kepemerintahan didorong oleh rasa ketidakpuasan dan frustrasi terhadap pola status quo, krisis finansial dan politik, dan terpantik oleh kemudahan teknologi baru. Beberapa Negara yang menyuarakan reformasi dan inovasi ini memiliki latar belakang sejarah politik dan sistem pemilu yang berbedabeda, latar belakang tahap pembangunan yang juga berbeda-beda, namun mereka memiliki pola yang mirip dalam hal mengaplikasikan inovasi dan reformasi. Sebagai contoh, dalam hal menciptakan agenda reformasi untuk Mexico, Presiden Vicente Fox menyaring dan menyarikan gagasan reformasi tersebut dengan mengambil pelajaran (lesson learned) dari berbagai pengalaman Negara-negara di dunia dalam hal mendefinisikan good governance. Model reformasinya berbasis pada prinsip-prinsip: pemerintahan tanpa biaya (government that cost less), pemerintahan berkualitas (quality government), pemerintahan professional (professional government), pemerintahan digital (digital government), pemerintahan dengan reformasi regulasi dan kejujuran (government with regulatory reform and honest), dan prinsip terakhir adalah pemerintahan transparan (transparent government). Tujuan-tujuan luhur semacam ini ternyata sejalan dengan dengan reformasi pemerintahan secara universal meskipun dalam implementasinya di masing-masing negara memiliki variasi masing-masing, namun senyatanya upaya reformasi tersebut menyajikan
wirausaha� dalam birokrasi dan lembaga layanan publik. Gagasan yang sama dikonsepsikan oleh Peter F. Drucker, Innovation and Entrepreneurship. 19 Kamarck, Elaine C., Government Innovation Around The World, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation John F. Kennedy School of Government, paper, November 2003.
13
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kerangka kerja yang bagus bagi reformasi pemerintahan global20. Secara empiris, reformasi dan inovasi kepemerintahan di berbagai Negara dunia dapat dikelompokkan menjadi 2 babak perkembangan. Babak pertama, pada dekade 1980an. Pada masa ini pemerintahan dunia mengonsentrasikan diri pada liberalisasi ekonomi dan privatisasi industriindustri yang sebelumnya milik pemerintah. Kemajuan pada masa ini dapat dilihat dari transisi kepada ekonomi pasar bebas yang telah dimulai di berbagai Negara dunia sejak tahun 1980 dan terjadi percepatan pada tahun 1989 ketika runtuhnya Tembok Berlin. Babak kedua, pergerakan ini dimulai sejak tahun 1990-an ditandai dengan lebih sedikitnya perhatian pada privatisasi, tetapi lebih mengarah pada upaya reformasi administrasi pada fungsi dan membangun kapasitas pemerintahan. Pada dekade ini pemerintahan Negara-negara dunia melakukan pemangkasan birokrasi pemerintahannya hingga menjadi lebih efisien, lebih modern, lebih responsif pada warganya dan memperkecil korupsi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, pada dekade 1990-an, di bawah kepemimpinan Presiden Clinton dan Wapres Al Gore, memelopori reformasi birokrasi dengan pendekatan yang unik dengan apa yang disebut “reinventing government�. Ketika negara-negara Dunia Pertama mengonsentrasikan diri pada efisiensi dan ekstensivikasi teknologi informasi pada pemerintahan, Negara-negara sedang berkembang mengonsentrasikan diri pada penguatan kapasitas pemerintahan, desentralisasi dan memerangi korupsi. Tetapi bagaimanapun, perbedaan di antara kedua jenis gerakan reformasi tersebut tidaklah berlaku absolut. Negara-negara sedang berkembang pun tertarik pada isu efisiensi dan teknologi dan negara Dunia
20
Ibid.
14
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
Pertama juga concern pada penguatan kapasitas pemerintahan dan pengurangan korupsi. Poin penting yang dapat ditangkap dari konvergensi strategi reformasi ini bahwa konsep-konsep pembaruan menyebar dari suatu negara ke negara lain dan sering tanpa mengalami banyak perubahan terminologi. Di Eropa, seorang editor bidang manajemen publik pada pengantarnya menyatakan: “In some reports we found that the language had not even been translated from the American to the local language (terjemahan: pada beberapa laporan kami menemukan bahwa tidak ada penerjemahan dari bahasa Inggris [Amerika] ke bahasa lokal). Dan dalam beberapa hal terminologi yang digunakan mengalami percampuran. Sebagai contoh, Westminter mengadopsi “Citizen Charter” untuk mengembangkan pelayanan publiknya, sedangkan Amerika mengadopsi “Customer Service” dan beberapa Negara menggunakan terminologi “Customer Charter”21. Pemerintahan Profesional (Professional Government) Inovasi dan pembaruan di bidang pelayanan publik pada contoh di atas juga diperkuat oleh laporan tentang professional government (pemerintah professional) yang dicapai melalui pembaruan civil service di Afrika, sebagaimana dilaporkan oleh Bamidele Olowu: “… central to the notion of an effective state is an effective civil service” (terjemahan: penilaian terpenting dari pemerintahan efektif adalah pelayanan publik yang efektif). Pernyataan ini secara umum memang berlaku dan dibenarkan di berbagai Negara di dunia, pengembangan tim-kerja publik (public work-force) umumnya masih minim perhatian ketimbang inovasi pemerintahan itu sendiri. Konstruksi kekuatan tim-kerjapublik (public work force) merupakan kebutuhan sentral
21
Ibid.
15
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dalam pengembangan konsepsi pembaruan pemerintahan di sektor publik. Contoh bagus lain tentang professional government (pemerintah professional) di antaranya adalah Singapura, Inggris (Great Britain) di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Margaret Thatcher dan Tony Blair, Korea dengan “Open Competitive Position System�-nya, Mexico dan Ghana22. Inovasi di bidang professional government (pemerintah professional) di atas, tentu saja mengandung kesulitan dan peluang. Beberapa tipe masyarakat memiliki beragam tradisi yang jika dipahami dan didayagunakan dapat memberikan kontribusi pada pemerintahan yang efektif. Peter Fuseini Haruna mengemukakan pengalaman reformasi pelayanan publik di Ghana. Dia menyatakan bahwa masyarakat merupakan unit organik dari organisasi budaya, sosial, ekonomi dan politik. Dan pemerintahan yang lebih baik di Ghana senantiasa ditingkatkan melalui pembangunan suatu dewan desa untuk mengelola pelayanan publik dengan lebih baik. Keseluruhan praktik diatas dapat diringkas, bahwa pemerintahan professional diapresiasi dengan mendekatkan jarak antara pemerintah selaku provider pelayanan publik dengan masyarakat dan sektor swasta23. Pemerintahan Digital (Digital Government) Teknologi informasi mengubah sektor privat menjadi sektor publik. Banyak inovasi sektor publik di dunia diwarnai dengan kehadiran teknologi informasi, minimal website. Lantas, apakah yang mereka lakukan di dunia online? Beberapa website milik pemerintah didesain untuk memberikan informasi tentang negaranya kepada masyarakat di luar negaranya. Ada beberapa 22 23
Ibid. Ibid. p. 32.
16
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
kecenderungan gaya dan pilihan materi informasi yang disajikan. Beberapa Negara sedang berkembang lebih suka menyajikan informasi “pengembangan� dan berbagai tawaran yang berhubungan dengan potensi daerahnya misalnya tentang peluang pengembangan bisnis dan kemudahan-kemudahan administrasi untuk masuk ke wilayah negaranya. Kategori lain, yakni “interaktif�, yang memungkinkan warga masyarakat dapat mengunduh formulir dan melayani permintaan informasi dari departemen, transaksi-transaksi online, sistem perbankan, penggunaan kartu kredit, dan pembayaran pajak online. Kombinasi pemerintahan digital dengan fokus pada pelayanan warga masyarakat, inovasi yang terjadi lebih mengarah pada kebutuhan tabungan (saving) dan pelayanan. Teknologi informasi banyak membantu mempermudah pelayanan dalam hal pemangkasan biayabiaya transaksi yang melibatkan organ pemerintahan dan meningkatkan transparansi pemerintah, suatu piranti utama pencegahan korupsi. Di Amerika Serikat, sebelum digunakannya media internet, warga masyarakat biasa membaca pengumuman pemerintah dan memberikan komentar ataupun pendapatnya melalui ruang baca publik yang ada di kantor pemerintah. Salah satu contoh penggunaan teknologi informasi sebagai inovasi adalah apa yang dilakukan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat pada dekade 1990-an. Ia memajang regulasi pertaniannya yang berisi konsep pertanian organik di website miliknya. Para petani, pemerhati lingkungan hidup dan lainnya dapat berpartisipasi langsung dengan memberikan aneka komentar. Proses ini berlangsung lama hingga memuluskan ujicoba pertanian organik. Alhasil, inovasi ini membawa kemenangan Departemen Pertanian pada ajang prestisius Innovation Government Awards. Hal yang menarik, ketika 17
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
keterlibatan komentar publik dikelola secara apik dengan teknologi informasi. Seperti terjadi di Mexico, warga Mexico secara aktif melakukan komentar secara online di situs pemerintah, “Normetecca”, hingga situs ini penuh komentar warga. Mexico menginisiasi program yang mereka sebut “Compranet”, yakni pemasangan proposal pemerintah dan dokumen kontrak di website sehingga bebas diakses warga. Cara ini ampuh untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya “KKN”24. Dan ternyata program ini direplikasi oleh beberapa Negara lain. Pemerintahan digital (digital government) sangat ampuh untuk mengurangi biaya-biaya pemerintah, meningkatkan masukan-masukan warga masyarakat kepada pemerintah, memperkuat pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah dan meningkatkan transparansi transaksi-transaksi pemerintah25. Pemerintahan Teregulasi Baik (Better Regulated Government) Dalam hal pelayanan kepada masyarakat, menetapkan regulasi sektor publik merupakan salah satu hal terpenting dalam fungsi pemerintah. Di banyak negara sedang berkembang, tantangannya adalah menciptakan struktur regulasi yang jujur dan dapat dipercaya. Kebijakan regulasi tidak akan penah terjadi tanpa perangkat hukum, dan di banyak Negara, reformasi regulasi beriringan dengan upaya reformasi di bidang sistem hukum. Sebagaian Negara sedang berkembang sedang berhadapan dengan penciptaan sistem regulasi untuk mengatur sektor publik. Dan semua negara berhadapan dengan kebutuhan menghitung biaya regulasi, karena kebanyakan regulasi nyaris mubazir dan membebani ekonomi pembangunan. Mengkalkulasi kembali regulasi yang hanya membebani ekonomi negara, mungkin 24 25
KKN = Korupsi Kolusi Nepotisme. Ibid, p. 32 – 35.
18
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
akan menjadi perhatian pertama untuk menciptakan regulasi yang efektif. Sebagaimana diungkapkan oleh Giandomenico Majone: “The public budget is a soft constraint on regulators because the real costs of regulatory programs are borne not by the agencies producing the regulations but by the the individuals and firms who has to comply with the regulations. These costs remain hidden because they do not appear in the budget. The most important regulatory consist in calculating (and making public) such costs”.
Anggaran publik merupakan suatu persoalan tersendiri bagi regulator karena biaya riil dari suatu regulasi tidak timbul dari pihak pembuat regulasi tetapi dari pihak lain yang membutuhkan regulasi tersebut. Biaya-biaya ini tetap tersembunyi dan tidak muncul dalam penganggaran, hal yang senantiasa terjadi dalam penghitungan anggaran. Reformasi regulasi senantiasa diperlukan dalam pembangunan ekonomi. Semakin besar rintangan terhadap suatu regulasi, semakin besar pula halangan menuju kewirausahaan. Pada sebagian Negara sedang berkembang yang memiliki sistem regulasi yang masih kuno cenderung mengarahkan kewirausahaan warganya ke sektor ekonomi informal. Dan sebagaimana diketahui, bahwa keberadaan sektor ekonomi informal kebanyakan terlahir dari kekreativan warga miskin yang berjiwa wirausaha namun tidak memiliki benda properti, modal dan tidak cukup dana untuk membiayai hidup anak-anak mereka –yang hal ini memicu generasi baru kemiskinan. Kota Makati di Philipina memenangkan Galing Pook Awards yang prestisius itu di tahun 1999 lantaran desain program penanganan kemiskinan dan penertiban street vendors (“Pedagang Kaki Lima”, PKL) yang sebelumnya tidak tertata, liar dan tidak taat aturan26. Terutama para PKL yang berjualan makanan,
26
Secara umum, tipologi “PKL” Philipina mirip dengan PKL di Indonesia.
19
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
mereka mengabaikan syarat-syarat kesehatan produk makanan yang mereka jual. Pemerintah Kota Makati melakukan pendataan dan peregisteran terhadap para “PKL” hingga para “PKL” ini memperoleh jaminan tempat atau lahan untuk berjualan di jalan-jalan kota. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengawasan pemerintah terhadap keamanan barang-barang yang dijual para “PKL” terutama produk makanan sekaligus meningkatkan pendapatan dan keamanan para “PKL”27. Berdasarkan survey OECD di 28 negara yang memulai program untuk mengurangi kemandulan administrasi melalui regulasi, strategi deregulasi pemerintah dalam hal menaksir biaya-biaya, menyederhanakan atau mereduksi regulasi dan mengkonsultasikan penyusunan regulasi dan legislasi dinilai sebagai suatu bentuk inovasi pemerintah di saat globalisasi menyeruak ke batas Negara melalui organisasi-organisasi supra-nasional. Negara-negara Uni Eropa sedang menghadapi persoalan regulasi yang amat kompleks. Semenjak menjadi unit ekonomi, regulasi Uni Eropa haruslah mengatasi semua regulasi nasional Negaranegara itu. Pemerintahan Jujur dan Transparan (Honest and Transparent Government) Terdapat persoalan besar di balik kebutuhan memerangi korupsi. Peter Eigen, pendiri Transparency International mengingatkan kita: “Corruption directly affects the viability of our social contract by altering the nature of the relationship between government and citizen, a relationship where public officials are not providing what is expected and where citizens do not trust their authorities any longer”.
27
Ibid. p. 37-38.
20
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
Korupsi secara langsung memporakporandakan kehidupan sosial kita dengan mengubah substansi hubungan antara pemerintah dan warga masyarakat. Ketika pejabat publik tidak memenuhi harapan warga masyarakat dan warga masyarakat tidak lagi memercayai mereka.
Gejala korupsi tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia, singkatnya, negara dengan tingkat korupsi tinggi cenderung menjadi dan tetap miskin, dan dengan pendapat yang sama, para ekonom menunjukkan bahwa peningkatan korupsi cenderung menyebabkan penurunan minat publik pada pendidikan. Benar-benar sebuah bencana bagi negara-negara yang berusaha tumbuh di era industri dan informasi. Beberapa hal penting yang dapat dicatat dari upaya negara-negara dunia dalam hal mengurangi korupsi pemerintahannya adalah: Negara harus menciptakan transparansi di sektor publik. Kemudian, negara juga harus menciptakan “kultur informasi� di antara para warga masyarakatnya sehingga mereka tahu dan sadar akan hak-haknya terhadap informasi publik. Pemeringkatan korupsi negara-negara dunia yang dilakukan oleh Transparency International telah menumbuhkan tekanan internasional terhadap negaranegara untuk melakukan upaya pengurangan korupsi. Negara-negara harus menegakkan hukum serta menuntut dan mengusut tuntas korupsi aparat. Swedia, sebuah negara yang tercatat selalu memiliki derajat korupsi yang rendah di dunia, memiliki sejarah panjang dan tradisi yang kuat dalam hal transparansi pemerintahannya. Anna-Karin Lundin, Ombudsman Parlemen Swedia menulis, “Transparency and accountability
21
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
are two key principles in the Swedish system of government� (terj.: transparansi dan akuntabilitas merupakan dua kunci yang secara prinsip dipegang teguh oleh sistem pemerintahan Swedia). Inilah hal yang tidak meragukan lagi sebagai penyebab amat rendahnya fenomena korupsi di Negara itu. Konstitusi Swedia telah menjamin hak publik untuk mengakses dokumen resmi pemerintah sejak tahun 1766! Tidak hanya itu, untuk memperkuat akses publik pada dokumen resmi pemerintah, aparat pemerintahan diwajibkan untuk menginformasikan kepada warga masyarakat tentang apa-apa yang termuat dalam dokumen tersebut dan mereka telah diberi hak khusus untuk membuka dokumen tersebut ke media massa dan media massa wajib melindungi narasumbernya! Proteksi yang unik terhadap aparat atau pejabat publik ini telah menciptakan sistem terbuka di negeri coklat ini. Untuk dokumen-dokumen yang tergolong rahasia, terdapat kriteria-kriteria yang amat ketat yang dirinci jelas pada Undang Undang Kebebasan Pers (Freedom of the Press Act) yang juga konstitusional. Mexico juga menerapkan transparansi mirip Swedia yang sama-sama tajam juga. Mexico sejak Juni 2003 memberlakukan Hukum Federal untuk Transparansi dan Akses Informasi Publik Pemerintah (Federal Law on Transparency and Access to Government Public Information), yang membolehkan setiap orang untuk mengakses informasi publik dari departemen pemerintahan manapun tanpa harus membuktikan adanya kepentingan khusus. Transparansi mampu secara kritis menciptakan kultur keterbukaan, hal yang esensial diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi. Sekali tranparansi telah mapan dijalankan, warga masyarakat musti harus mengikuti
22
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
kultur ini dan musti memperhatikan dan mengawal kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah28. Penganggaran Partisipatif (Participatory Budgeting) ala Brazil Pada beberapa daerah perkotaan di negara-negara sedang berkembang dan juga di negara maju, keputusan publik seringkali terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan politik yang menjadi patron dari keputusan tersebut. Politisi membuat keputusan tentang investasi atau suatu infrastruktur suatu misal, dan memilih kontraktor atau pekerja untuk proyek tersebut, mereka cenderung lebih memilih mereka yang dapat mengamankan kepentingan politiknya ketimbang untuk mengamankan proyek itu sendiri29. Adapun politisi Brazil yakni di kota Porto Alegre, mengembangkan suatu inovasi tentang metode pembuatan keputusan di bidang investasi publik yang secara substantif mampu mereduksi frekuensi dan efek patronase dalam proses pembuatan keputusan publik. Metode tersebut mereka namai orçamento participativo (OP) atau participatory budgeting (penganggaran partisipatif). Metode ini menggeser pembuatan keputusan mengenai penganggaran di bidang infrastruktur dari porsi pemerintah kota beserta dewan kota kepada sistem “dewan masyarakat” atau “badan rukun tetangga” (neighborhood assemblies). Setiap tahun warga yang tinggal di wilayah rukun tetangga mengadakan pertemuan untuk menentukan prioritas kebutuhan publik dan alokasi anggaran kota yang didaarkan pada kebutuhan publik rukun tetangga30. Pada contoh Brazil, terdapat keterkaitan erat antara manajemen publik dengan kewargamasyarakatan yakni pemerintah kota tidak hanya kapabel dalam penyediaan layanan publik yang inovatif tetapi juga 28 29 30
Ibid. p.39-43. Archon Fung, op.cit., p. 65. Ibid.
23
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
berhasil dalam mempengaruhi konstruksi kewargamasyarakatan yang sebenarnya berasal dari karakter sosial yang timpang31. Pemerintahan Lokal dan Urban Policy Pemerintah, baik pusat maupun daerah, akan menerapkan kebijakan meliputi kebijakan umum dan teknis. Kebijakan umum, menyangkut kepentingan umum, karena menurut konsepsi demokrasi modern, kebijakan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili warga, tetapi setiap kebijakan juga harus selalu berorientasi pada kepentingan umum (Islamy, 1984:10). Dye (1992:2) mengemukakan bahwa kebijakan umum adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau ditinggalkan (is whatever governments choose to do or not to do). Definisi Dye ini kelihatannya hanya bersifat aspirasi sepihak yang perlu disempurnakan, yaitu apa yang dilakukan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, namun kebijakan bukanlah semata-mata merupakan keinginan pemerintah saja, tetapi harus memperhatikan juga keinginan dan tuntutan dari masyarakat. Dengan demikian, dalam kebijakan umum mencakup apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya dan bagaimana akibatnya. Oleh karena itu, di dalam perumusan suatu kebijakan umum sebanyak mungkin menampung aspirasi masyarakat. Berakar pada terminologi kebijakan publik, penulis mengembangkan gagasan operasionalisasi konsepsi urban Diringkas dari Marta Fereira Santos dan Peter Spink, Subnational Government Innovation in a Comparative Perspectives: Brazil, dalam Sandford Borins (Ed.), 2008, Innovations in Government: Research, Recognition and Replication, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, Harvard University, Washington DC, p.71-88.
31
24
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
policy sebagai dinamisasi konseptual kebijakan publik, karena kebijakan publik yang baik adalah merupakan kebijakan perkotaan (urban policy), yang di dalamnya mengandung makna terlibatnya unsur-unsur non -negara (non-state actors). Mengikuti definisi Hoogerwerf (dalam Gaffar, 1983:4) kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu masalah dengan cara tertentu dan tindakan terarah. Sedangkan Ripley (dalam Gaffar, 1992:7) berpendapat, kebijakan adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai problem yang nampak. Anderson (dalam Wahab, 1991:12) menyatakan bahwa kebijakan adalah perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sementara itu, Eulan dan Prewitt (1973), menyatakan bahwa kebijakan adalah keputusan yang tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi kebijakan tersebut (Jones, 1991:47). Apabila kebijakan itu merupakan kebijakan negara, proses suatu implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar hanya bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran yang ada, juga dapat menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle, 1980). Oleh sebab itu, proses implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan, Udoji (1981) dengan tegas menyatakan bahwa proses pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan
25
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Menyimak pendapat dari Udoji yang menyatakan bahwa “the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue prints in file jackets unless they are implemented�. (pelaksanaan kebijakan adalah suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan publik yang telah dirumuskan dan disahkan, agar dapat memecahkan masalah publik yang dihadapi oleh masyarakat, harus diimplementasikan. Kebijakan publik yang telah disahkan, tidak bermanfaat, apabila tidak dilaksanakan). Karenanya, pelaksanaan kebijakan publik ini berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik yang masih bersifat abstrak ke dalam realita nyata. Dengan kata lain, pelaksanaan kebijakan publik berusaha menimbulkan hasil (outcome) yang dapat dinikmati terutama oleh kelompok sasaran (target groups). Implementasi kebijakan publik yang baik tentu tidak akan terlepas dari keterlibatan elemen-elemen di luar pemerintah (masyarakat dan elemen lokal lain). Kebijakan (policy) merupakan instrument pemerintahan (government) yang meliputi aparatur negara dan kepemerintahan (governance) yang melingkupi lembaga-lembaga, swasta, dunia usaha/ industry maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan, yang terdiri atas beberapa keputusan dan pilihan tindakan tentang pengaturan dan distribusi sumber daya demi kepentingan publik, merupakan hasil dari sinergi, kompromi bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Kebijakan publik lahir dari dunia politik yang melibatkan proses yang kompleks. Gagasan dapat datang dari berbagai sumber, seperti kepentingan para politisi, 26
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
lembaga-lembaga pemerintah, interpretasi birokrat, serta intervensi kelompok-kelompok kepentingan, media dan warga masyarakat. Best Practices dalam Kebijakan Publik Best practices dimasukkan dalam konsepsi ini untuk memberi penjelasan dan batasan terhadap program inovasi pemerintah kota Probolinggo 2004 – 2009, sebagai objek yang dianalisis. Best practices, dalam konteks pembangunan perkotaan menurut definisi yang diberikan oleh UN Habitat, adalah inisiatif yang telah menghasilkan kontribusi menonjol (outstanding contributions) dalam meningkatkan kualitas kehidupan baik di kota-kota maupun masyarakat umum lainnya. Elaborasi lebih lanjut terhadap definisi tersebut dilakukan oleh UN Habitat, sebagai inisiatif yang telah terbukti sukses, adalah32: Memiliki dampak yang dapat ditunjukkan dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Merupakan hasil dari kerjasama yang efektif antara sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani (civil society). Berkelanjutan secara sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan. Dari definisi UN Habitat tersebut, kekuatan utama best practices terletak pada kontribusi menonjol (outstanding contributions) dari sebuah inisiatif dalam meningkatkan “kualitas kehidupan� masyarakat serta adanya bukti nyata suksesnya inisiatif tersebut dilihat dari
32Pusat
Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota, FISIP UI, 2004.
27
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dampak, proses dan keberlanjutannya. Sebagai sebuah instrumen, best practices digunakan oleh UN Habitat untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik yang didasarkan atas apa yang terjadi di lapangan, meningkatkan kepedulian para pengambil kebijakan dan masyarakat umum terhadap solusi potensial dari masalah bersama di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta dalam rangka mentransfer pengetahuan, keahlian dan pengalaman melalui suatu jaringan kerjasama dan pembelajaran berantai (peer to peer learning). Dari definisi di atas, instrumen best practices digunakan untuk mengukur program inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004 – 2009. Identifikasi best practices dilakukan dengan menggunakan sejumlah kriteria yang menurut UN Habitat terdiri atas: Dampak (impact); sebuah best practices harus menunjukkan dampak positif dan dapat dilihat (tangible) dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan tidak beruntung. Kemitraan (partnership); sebuah best practices harus didasarkan pada sebuah kemitraan antara aktor-aktor yang terlibat. Keberlanjutan (sustainability); sebuah best practices harus dapat membawa perubahan dasar dalam lingkup permasalahan legislasi, yang meliputi perangkat peraturan / standard formal terhadap isu dan masalah yang dihadapi, kebijakan sosial dan atau kebijakan sektoral di daerah yang memiliki potensi bagi adanya replikasi, kerangka institusional dan proses pembuatan kebijakan yang memiliki peran dan tanggungjawab bagi beragam tingkatan dan kelompok aktor seperti
28
Otoritas Lokal dan Urban Policy: Suatu Pengantar Aksi
pemerintah pusat dan daerah, LSM, dan organisasi masyarakat; efisiensi, transparansi dan sistem manajemen yang akuntabel yang dapat lebih mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia, teknik dan keuangan; dan kepemimpinan dan pemberdayaan masyarakat (leadership and community empowerment) yang meliputi kepemimpinan yang menginspirasi bagi adanya tindakan dan perubahan, termasuk perubahan kebijakan publik, pemberdayaan masyarakat, rukun tetangga dan komunitas lainnya serta inisiatif masyarakat. Kemudian menyangkut juga penerimaan dan tanggungjawab terhadap perbedaan sosial dan budaya serta kemungkinan bagi adanya transfer (transferability), pengembangan lebih lanjut dan replikasi berikut kesesuaian dengan kondisi lokal. Kesetaraan jender dan inklusi sosial (gender equality and social inclusion); yakni inisiatif harus dapat diterima secara sosial dan budaya dan merupakan respons terhadap perbedaan sosial dan budaya, mempromosikan kesetaraan dan keadilan sosial. Inovasi dalam konteks lokal dan dapat ditransfer (innovation within local context and transferability); yakni bagaimana pihak lain dapat belajar atau memperoleh keuntungan dari inisiatif serta cara yang digunakan untuk berbagi informasi dan mentransfer pengetahuan dan keahlian untuk dapat dipelajari. Maka, berdasarkan kriteria di atas, program inovasi dapat dinilai sebagai best practices akan diilustrasikan dengan mengacu pada sejumlah parameter berikut ini: Situasi sebelum program inisiatif dimulai. Motivasi di balik pelaksanaan program tersebut.
29
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Apa yang dianggap inovasi dalam program tersebut? Pengukuran hasil-hasil yang telah dicapai (dampak). Keberlanjutan (sustainability). Pengalaman yang dapat dipelajari (lesson learned).
Potensi pengembangan atau penerapan program untuk daerah lain (transferability).
30
2
BAB
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Kondisi Umum Kota Probolinggo
BAB 2
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Kondisi umum kota Probolinggo meliputi kondisi umum geografis, demografis, potensi daerah, serta kondisi umum pelayanan publik di lima sektor yakni perijinan dan investasi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup, cukup memberi gambaran bahwa kota ini merupakan kota dinamis yang potensial untuk berkembang dengan kekhasan tipikal urban (perkotaan). Posisi silang berpadu daya dukung perkotaan yakni dari pemerintahan kota selaku provider pelayanan publik, yang dalam beberapa hal penting tampak terus berbenah dapat merupakan peluang yang cukup untuk menunjukkan bahwa kota ini sedang menggeliat maju menata dirinya. Paduan antara potensi-potensi alamiah baik yang telah terbangun maupun yang belum dan kepemerintahan lokal beserta dinamika sosial budaya yang khas, sebenarnya telah menunjukkan bahwa kota ini telah cukup memiliki potensi. Tinggal mengoptimalkannya dengan menata secara sistematik dan terfokus.
31
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Potensi Kota Probolinggo Kondisi Geografis Kota Probolinggo, sebuah kota kecil di wilayah region provinsi Jawa Timur, terletak di sebelah timur Kota Surabaya berjarak sekitar 100 km ke arah timur dari ibukota provinsi Jawa Timur tersebut. Kota Probolinggo termasuk satu kota di area yang disebut “tapal kuda”. Disamping itu Kota Probolinggo merupakan daerah transit yang menghubungkannya dengan Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang untuk sebelah timur dan selatan, sedangkan bagian barat dengan Pasuruan, Malang, Surabaya. Batas wilayah administrasi Kota Probolinggo adalah, pada sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo, sebelah selatan dengan kecamatan Leces, Wonomerto, dan Sumberasih Kabupaten Probolinggo, sebelah barat berbatasan langsung dengan kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo. Secara astronomis, Kota Probolinggo berada pada 7º 43’ 41” sampai dengan 7º 49’ 04” Lintang Selatan dan 113º 10’ sampai dengan 113º 15’ Bujur Timur dengan luas wilayah 56,667 Km².
32
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Kota Probolinggo yang memiliki luas wilayah 56.667 km² itu secara administratif sejak tahun 2008 mengalami pemekaran wilayah kecamatan menjadi 5 kecamatan dan 29 kelurahan yang terdiri kecamatan Mayangan terdapat 5 kelurahan, kecamatan Kanigaran terdapat 6 kelurahan, kecamatan Kedopok terdapat 6 kelurahan, kecamatan Wonoasih terdapat 6 kelurahan dan kecamatan Kademangan terdapat 6 kelurahan. Hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pengembangan Kelembagaan Kecamatan. Sebelumnya, wilayah administrasi Kota Probolinggo terbagi dalam 3 kecamatan dan 29 kelurahan yang terdiri dari Kecamatan Mayangan dengan 11 kelurahan, kecamatan Kademangan dengan 9 kelurahan, dan kecamatan Wonoasih dengan 9 kelurahan1. Kota Probolinggo mempunyai perubahan iklim sebanyak 2 musim setiap tahunnya, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Pada kondisi normal, musim penghujan berada pada bulan November hingga April, sedangkan musim kemarau berada pada bulan Mei hingga Oktober setiap tahunnya. Jumlah curah hujan pada tahun 2008 dari hasil pemantauan pada 4 stasiun pengamatan hujan yang ada di Kota Probolinggo, rata – rata tercatat sebesar 1.072 mm dan hari hujan sebanyak 63 hari. Apabila dibandingkan dengan rata-rata curah hujan tahun 2007 sebesar 1.368 mm dengan 74 hari hujan, maka kondisi tahun 2008 lebih kering dibandingkan tahun 2008, dimana curah hujan per hari pada tahun 2008 sebesar 3,75 mm/hari, sedangkan curah hujan per hari pada tahun 2008 sebesar 2,94 mm/hari. Curah hujan terlebat terjadi pada bulan Februari dan Maret rata-rata sebesar 19,84 mm per hari. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kota Probolinggo Tahun 2008, penyusunan tahun 2009.
1
33
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Secara umum, kondisi dan struktur tanah Kota Probolinggo cukup produktif untuk berbagai jenis tanaman. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pengairan yang cukup, sehingga memungkinkan pengembangan lahan sawah untuk tanaman pangan maupun hortikultura, khususnya bawang merah yang merupakan komoditi unggulan. Meskipun merupakan wilayah perkotaan, pola penggunaan tanah di Kota Probolinggo tahun 2008 ternyata masih terdapat lahan sawah seluas 1.967,70 hektar (21%), lahan bukan sawah seluas 3.699,00 hektar (39,5 %). Lahan bukan sawah terbagi atas lahan kering 3.595,00 hektar (38,4 %) dan lahan lainnya (tambak) seluas 104 hektar (1,11%). Melihat potensi dan pemanfaatan wilayah demikian itu, banyak alternatif yang bisa dipilih untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pemberdayaan potensi daerah kota, guna mewujudkan visi Kota Probolinggo sebagai kota tujuan investasi yang perspektif, kondusif dan partisipatif2. Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kota Probolinggo berdasarkan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) oleh Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana pada tahun 2008 adalah sebesar 227.294 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 113.137 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 114.171 jiwa. Data ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki dan tingkat kepadatan penduduk Kota Probolinggo mencapai 4.011 jiwa setiap 1 km². Ditinjau dari penyebaran penduduk di wilayah Kota Probolinggo, kecamatan Mayangan memiliki kepadatan penduduk tertinggi yakni 6.206 jiwa setiap km², disusul Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kota Probolinggo Tahun 2008, penyusunan tahun 2009.
2
34
Kondisi Umum Kota Probolinggo
kemudian Kecamatan Kanigaran 5.419 jiwa setiap km² dan terendah Kecamatan Kedopok 2.981 jiwa setiap km². Kondisi tenaga kerja di Kota Probolinggo tahun 2008 meliputi Angkatan Kerja sebanyak 102.165 orang, Angkatan Kerja Tertampung sebesar 82.836 orang, jumlah pencari kerja 2.365 orang, penduduk usia kerja sebesar 102.165 jiwa3. Potensi Daerah Sumber Daya Alam Kota Probolinggo memiliki luas 5.667 hektar, yang terletak pada posisi di antara 7o43’41” dan 7o49’04” Lintang Selatan serta diantara 113o10’ dan 113o15’ Bujur Timur. Secara klimatologis Kota Probolinggo merupakan dataran rendah dengan ketinggian daerah rata – rata + 4 m di atas permukaan laut. Hal ini mempengaruhi kondisi cuaca di Kota Probolinggo dengan karakteristik suhu maksimun 32oC dan suhu minimum 26oC. Seperti daerah – daerah lainnya, Kota Probolinggo mempunyai perubahan iklim 2 jenis setiap tahunnya yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Bidang Pengairan, rata – rata jumlah curah hujan dari 4 stasiun hujan yang ada di Kota Probolinggo tahun 2008 tercatat 772,5 mm dengan hari hujan sebanyak 46 hari. Apabila dibandingkan dengan rata – rata curah hujan tahun 2007 sebesar 1.410 mm dengan 70 hari hujan, maka kondisi tahun 2008 lebih kering dibandingkan kondisi tahun 2007 dengan curah hujan turun 45,19 % dan curah hujan per harinya juga turun 15,86%, dimana curah hujan tahun 2007 sebesar 19,85 mm/hari sedangkan curah hujan per hari pada tahun 2008 sebesar 16,70 mm/hari.
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kota Probolinggo Tahun 2008, penyusunan tahun 2009.
3
35
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Pada tahun 2008, musim penghujan terjadi pada bulan Januari sampai dengan Juni, November dan Desember, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai bulan Oktober. Musim kering yang terjadi pada buan Juli sampai dengan Oktober di Kota Probolinggo berpengaruh terjadinya angin kering yang bertiup cukup kencang dari arah tenggara ke barat laut, angin populer dengan sebutan “Angin Gending�. Potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Kota Probolinggo antara lain: pertanian, perkebunan dan perikanan. Pertanian kota Probolinggo, dengan kekhasan buah mangga dan anggur sebagai komoditas produk pertanian. Sumber Daya Manusia Jumlah penduduk Kota Probolinggo pada tahun 2008 berdasarkan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) oleh Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana mencapai 227.294 jiwa dengan kepadatan penduduk 4.011 jiwa per kilometer persegi dan laju pertumbuhan penduduk 0,93 persen. Dari jumlah penduduk tersebut terdapat angkatan kerja mencapai sebanyak 102.165 orang, yang terdistribusi pada sektor-sektor perdagangan, industri, pertanian dan jasa. Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh angkatan kerja di Kota Probolinggo terdiri dari SD 8,7 persen, SLTP 11 persen, SLTA 52,8 persen dan perguruan tinggi 27,4 persen. Keamanan dan Ketertiban Umum Kondisi keamanan dan ketertiban umum di Kota Probolinggo mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 relatif kondusif dan terkendali. Hal ini terwujud karena masyarakat Kota Probolinggo memiliki karakteristik sosial budaya yang sangat kondusif bagi terwujudnya ketentraman dan ketertiban. Kentalnya nilai-nilai agama 36
Kondisi Umum Kota Probolinggo
yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan masyarakat Kota Probolinggo untuk memiliki ketaatan hukum yang relatif tinggi serta kesadaran akan hak asasi manusia. Pertumbuhan Ekonomi Salah satu indikator untuk menunjukkan gambaran pembangunan ekonomi daerah adalah dengan menggunakan perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, pajak dan retribusi dan pelayanan bidang ekonomi. Besaran nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ini secara nyata mampu memberikan gambaran nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh unit-unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Ditinjau dari segi pendapatan Kota Probolinggo, PDRB merupakan jumlah dari semua pendapatan yang timbul oleh karena ikut sertanya faktor produksi dalam proses produksi di wilayah Kota Probolinggo. Berdasarkan data Bappeda Kota Probolinggo, pada tahun 2003 PDRB (Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000) Kota Probolinggo sebesar Rp. 1,355 triliun. Angka PDRB ini meningkat menjadi sebesar Rp. 1,432 triliun pada tahun 2004, meningkat menjadi Rp.1,514 triliun pada tahun 2005, pada tahun 2007 menjadi Rp.1,603 triliun dan meningkat menjadi Rp. 1,706 triliun (angka sementara) pada tahun 2008. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi Kota Probolinggo pada tahun 2003 mencapai sebesar 4,02 %, tahun 2004 sebesar 5,62 %, tahun 2005 sebesar 5,74 %, tahun 2007 sebesar 5,92 % dan meningkat menjadi sebesar 6,39 % tahun 2008. Secara makro dapat disebutkan bahwa perekonomian Kota Probolinggo mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 terus mengalami perkembangan/ pertumbuhan yang cukup berarti.
37
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Dominasi peranan ekonomi sektoral di Kota Probolinggo pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 (Atas Dasar Harga Berlaku), secara berturut-turut adalah, pada tahun 2004, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 35,35 %, sektor industri pengolahan sebesar 18,37 %, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 17,80 %, sektor jasa – jasa sebesar 9,20 % dan sektor pertanian sebesar 9,10 %. Pada tahun 2005 (Atas Dasar Harga Berlaku), secara berturut-turut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 36,71%, sektor industri pengolahan sebesar 16,51%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 20,66%, sektor jasa – jasa sebesar 8,77 % dan sektor pertanian sebesar 8,49%. Pada tahun 2007 (Atas Dasar Harga Berlaku), secara berturut-turut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 37,60%, sektor industri pengolahan sebesar 16,55%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 19,13%, sektor jasa – jasa sebesar sebesar 8,83% dan sektor pertanian sebesar 8,21%. Sedangkan pada tahun 2008 (Atas Dasar Harga Berlaku), secara berturut-turut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 38,65%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 18,41 %, sektor industri pengolahan sebesar 16,47%, sektor jasa-jasa sebesar 8,86% dan sektor pertanian sebesar 7,96%. Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 sektor tersier secara signifikan masih mendominasi kontribusi dalam struktur ekonomi Kota Probolinggo, karena sifat sektor ini yang sangat terbuka dalam menampung angkatan kerja baru yang baru memasuki dunia kerja yang tidak terserap di sektor sekunder dan primer. Peranan sektor primer dan sekunder dalam empat tahun terakhir menunjukkan mulai adanya penurunan.
38
Kondisi Umum Kota Probolinggo
PDRB Kota Probolinggo atas dasar harga berlaku tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1. PDRB Kota Probolinggo Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000
Sumber: Bappeda Kota Probolinggo, 2009
Kondisi Keuangan Daerah Di bidang keuangan daerah, pendapatan daerah kota Probolinggo selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir, dan terutama berasal dari sub komponen retribusi sebagai penyokong tertinggi yang juga mengalami peningkatan. Untuk komponen Dana Perimbangan, peranannya selama 5 tahun terakhir juga mengalami peningkatan terutama dari sub komponen Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selanjutnya lihat Tabel 2.2 berikut.
39
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
40
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Pada komponen alokasi anggaran terutama pada enam sub komponen, porsi terbesar anggaran sejak tahun 2004 hingga 2007 terdapat pada sub komponen Pendidikan dan Peningkatan SDM, kecuali pada tahun 2005 dan 2008. Pada tahun 2008 dan 2009 sub komponen terbesar alokasi anggaran pemerintah Kota Probolinggo beralih pada sub komponen Optimalisasi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat yaitu sebesar Rp. 48.306.722.185,03, mengalahkan porsi untuk Pendidikan dan Peningkatan SDM. Sebelumnya, Optimalisasi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat sejak 2004 hingga 2007 berkisar antara Rp. 5,5 miliar, pada 2006 turun menjadi sekitar Rp. 3,3 miliar kemudian menanjak drastis pada 2008 yaitu Rp. 42.287.317.102,24 dan pada 2009 menjadi Rp. 48.306.722.185.03. Sub komponen Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengalami kenaikan tajam mulai tahun 2007, dari yang tahun-tahun sebelumnya sekitar Rp. 5 – 6 miliar bahkan pada tahun 2005 hanya Rp. 264.842.500,-, pada tahun 2007 naik tajam menjadi sekitar Rp. 15 miliar, pada 2008 naik lagi menjadi sekitar Rp. 21 miliar, tetapi terjadi penurunan pada 2009 yang menjadi sekitar Rp. 15 miliar. Selanjutnya lihat Tabel 2.3 berikut:
41
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
42
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Koperasi Sektor riil informal di Kota Probolinggo tergolong cukup bergairah. Ditinjau dari perkembangan jumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), pengusaha mikro, UKM Mandiri dan UKM Tangguh dari tahun 2004 hingga 2009 terdapat trend kenaikan jumlah pelaku usaha kecil menengah dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga terjadi pada pelaku usaha bersama koperasi. Akan halnya Pedagang Kaki Lima (PKL), justru tidak menampakkan trend naik. Dari data binaan Dinas Koperasi, Energi Mineral, Industri dan Perdagangan Kota Probolinggo, jumlah sektor informal ini cenderung tetap dari tahun 2004 hingga 2009 yakni sebanyak 633 PKL. Hal ini terkait dengan pembatasan jumlah PKL yang diterapkan oleh Kantor Polisi Pamong Praja terkait dengan program “Kawasan Tertib Sembilan Jalur” dan “Kartu Kendali PKL”4. Perkembangan jumlah pelaku UKM dan koperasi dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut. Tabel 2.4. Perkembangan Jumlah Pelaku UKM dan Koperasi Jenis Usaha 2004 2005 2006 2007 2008 2009 UKM Pengusaha Mikro UKM Mandiri UKM Tangguh Koperasi Koperasi Dengan Skor Baik PKL yang dibina
2.927 2.389
3.044 2.495
4.694 4.130
5.271 4.672
5.452 4.801
5.142 4.467
486 52
497 52
510 54
538 61
590 61
600 75
188 45
203 48
225 54
234 57
250 63
265 75
633
633
633
633
633
633
Sumber: Dinas Koperasi, Energi Mineral, Industri dan Perdagangan Kota Probolinggo, November 2009. 4
Lihat pembahasan bagian PKL dan KKPKL pada Bab III.
43
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Dari Tabel 2.4 di atas, pelaku sektor riil UKM dan koperasi mengalami peningkatan jumlah secara cukup signifikan dari tahun ke tahun. Trend yang cukup menggembiarakan mengingat sekot riil ini sangat membantu perekonomian rakyat dan menyokong stabilitas sosial. Sebuah potensi daerah yang cukup berarti. Transportasi Perkotaan (Urban Transport) Transportasi perkotaan di kota ini menampakkan tanda-tanda pembenahan dari tahun ke tahun. Jalur utama transportasi darat dalam kota dan jalan akses wilayah pinggir kota tampak diupayakan merata dan berimbang walaupun masih perlu pembenahan di sana-sini. Pembukaan akses jalan untuk menghubungkan bagian wilayah yang sebelumnya tertutup tampak mengalami penambahan. Begitu pula perkembangan alat pemberi isyarat lalu lintas, baik yang berupa rambu-rambu lalu lintas, maupun traffic light dan CCTV. Mulai tahun 2007 tampak ada beberapa penambahan penunjuk arah, hal yang sangat menolong para pengendara dari luar kota yang masuk Kota Probolinggo. Traffic light juga mengalami penambahan antara lain di ruas jalan ke arah luar kota (arah ke Surabaya) yakni di Jl. Soekarno-Hatta, perempatan Jl. Dr. Saleh yang bersambung ke arah alun-alun. Mulai tahun 2008, terdapat penempatan kamera CCTV (Closed Circuit Television) di jalan P. Sudirman depan kantor Walikota. Seiring dengan semakin memadatnya jumlah populasi penduduk dan kendaraan, kota ini ke depan harus memikirkan dan mempersiapkan solusi jitu untuk mengatasi kepadatan dan jalur lalu lintas termasuk lahan parkir. Jumlah lahan parkir tepi jalan sejak tahun 2004 hingga 2009 sebanyak 73 lokasi, alias tidak ada penambahan lokasi baru, sedangkan lahan parkir tempat 44
Kondisi Umum Kota Probolinggo
khusus mengalami kenaikan dari tahun 2005 sampai 2006 sebanyak 3 lokasi, kemudian naik pada tahun 2007 sampai 2009 sebanyak 7 lokasi. Volume jalan raya perkotaan dan jalur lalu lintas beserta lahan parkir ini patut mendapatkan perhatian serius mengingat jumlah kendaraan yang memadati jalanan yang volumenya cenderung naik. Data dari Dinas Perhubungan Kota Probolinggo menunjukkan bahwa hingga tahun 2009, jumlah kendaraan yang ada di kota mangga ini sebanyak 59.077 buah sepeda motor, 1.644 buah mobil pribadi, 5.844 buah mobil barang, 1.886 buah mobil bus dan 215 buah mobil angkutan kota dan mobil penumpang umum (MPU). Tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun mendatang jumlah kendaraan bermotor akan terus meningkat, dan ini memerlukan penataan. Sedangkan kapal motor di areal perhubungan laut sebanyak 115 buah, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2008 sebanyak 113 buah, tahun 2007 sebanyak 108 buah, tahun 2006 sebanyak 105 buah, tahun 2005 sebanyak 100 buah dan tahun 2004 sebanyak 98 buah. Kemudahan-kemudahan dalam transportasi perkotaan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi suatu daerah. Kepegawaian dan Sumberdaya Aparatur Aparatur pemerintah daerah yang profesional beserta birokrasi pemerintah yang efektif dapat merupakan sebuah potensi yang dapat dijadikan andalan bagi pemerintah daerah yang bercirikan perkotaan (urban). Orang akan tertarik dengan kecepatan dan kepastian layanan birokrasi pemerintah. Pengalaman praktik birokrasi Singapura mungkin dapat menjadi inspirasi, bagaimana ia dapat mengelola birokrasinya dengan efektif dan profesional
45
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
sehingga mendatangkan kemakmuran warganya5. Pembenahan-pembenahan aparat birokrasi sebagai sumberdaya bagi pemerintah kota tersirat dalam pointer pokok pikiran rekomendasi reformasi birokrasi pada Bab 4 sub bahasan clean and good government. Setidaknya, penghargaan dan predikat Terampil III dalam Gelar Budaya Kerja Kelompok Administrasi di Lingkungan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/ Kota se-Jatim yang diperoleh pemerintah Kota Probolinggo dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 2005 telah menjadi modal dan amunisi yang berharga untuk menuju ke arah profesionalitas aparatur pemerintah kota. Mengingat jumlah aparatnya (PNS), membangun dan memelihara kedisiplinan dan profesionalitas pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintah kota Probolinggo secara konsisten dan berkelanjutan memang bukan hal mudah. Ini bersangkut paut dengan sistem, struktur dan kultur birokrasi dan juga sosial sebagai habitat birokrasi dan aparat PNS tersebut. Kondisi aparatur atau sumber daya manusia di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo pada tahun 2009 adalah, PNS sebanyak 4.553 orang, terdiri dari pegawai struktural dan fungsional. Tabel 2.5 Jumlah PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo Pegawai 2004 2005 2006 2007 2008 2009 PNS Rekrut CPNS
3.060 249
3.209 293
3.405 615
3.387 411
4.238 419
4.553 561
Sumber: Badan Kepegawaian Daerah Kota Probolinggo, Desember 2009.
Untuk tahun 2009, yang bertepatan dengan perekrutan CPNS pada bulan November, Pemerintah Kota Probolinggo merekrut 561 orang CPNS, dengan rincian, 5 Pengalaman birokrasi Singapura dapat disimak dari studi yang dilakukan Martin Painter di Malaysia, Singapura, Taiwan dan Thailand, dalam The Politics of Administrative Reform in East and Southeast Asia: From Grid-lock to Continuous Self Improvement� in Governance, 2004.
46
Kondisi Umum Kota Probolinggo
perekrutan melalui tes CPNS sebanyak 340 orang6 dan pengusulan oleh BKD dari tenaga honorer sebanyak 221 orang. Pada saat perekrutan, terdapat pelamar sebanyak 4.755 orang, dengan rincian, pelamar memenuhi syarat administratif sebanyak 3.272 orang dan yang tidak memenuhi syarat administratif sebanyak 483 orang7. Dalam rangka reformasi birokrasi di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo, dilaksanakan berdasarkan tiga aspek, yakni: Aspek Kebijakan Peningkatan Profesionalisme SDM, Aspek Pembinaan Sumber Daya Manusia Aparatur dan Aspek Kelembagaan, Tatalaksana dan Kinerja. Dalam rangka mewujudkan kelembagaan yang didasarkan atas right sizing dengan memperhatikan kewenangan daerah, karakteristik dan potensi daerah, besaran anggaran dan jumlah pegawai yang ada maka penataan kelembagaan di lingkungan Pemerintah Kota Probolinggo telah mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005, Peraturan Daerah No 5, 6, 7 dan 8 Tahun 2008, sehingga besaran kelembagaan yang ada meliputi, Sekretariat Daerah terdiri dari 3 Asisten dan 8 Bagian, Dinas Daerah ada 12 instansi, Lembaga Teknis Daerah ada 12 instansi, 5 Kecamatan dan 29 Kelurahan. Untuk mengembangkan mekanisme ketatalaksanaan dalam peningkatan kinerja aparatur dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan diantaranya, pertama, melaksanakan analisis jabatan mandiri pada masing-masing satuan kerja; kedua, melakukan perancangan dan penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000; ketiga, mengembangkan Budaya Kerja dan melakukan Penetapan SOP dan SPP pada Data dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD), jumlah awal adalah 343 orang, tetapi ada 3 orang yang mengundurkan diri. 7 Data dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Probolinggo, Desember 2009. 6
47
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
SKPD; dan keempat, melakukan Survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Kondisi Umum Pelayanan Publik Kondisi umum pelayanan publik ini ditinjau dari praktik pengalaman penyelenggaraan layanan dalam bidang-bidang tertentu yang menonjol, yang dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah Kota Probolinggo. Yakni terkait dengan fungsi-fungsi pelayanan perijinan dan investasi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup. Perijinan dan Investasi Pelayanan perijinan merupakan salah satu pelayanan yang banyak bersinggungan dengan publik dan berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Bentukbentuk usaha masyarakat dan juga investor dimulai dari perijinan. Karenanya, kemudahan dalam pengurusan perijinan akan menjadi daya tarik utama bagi para pengusaha, calon pengusaha, pemodal dan calon pemodal. Dalam pandangan masyarakat, perijinan dianggap baik bila dapat memberikan kepastian dan kemudahan, yakni dalam hal waktu dan biaya. Dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan prima, setahap demi setahap kapasitas layanan perijinan berikut status kelembagaannya mengalami peningkatan signifikan. Yaitu dari status kelembagaan berupa UPT (Unit Pelaksana Teknis) pada tahun 2000 meningkat menjadi Kantor Pelayanan Perijinan pada tahun 2001, yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor: 23 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti dengan SK Walikota Nomor 25 Tahun 2001 tentang Tugas dan Fungsi Kantor Pelayanan Perijinan (KPP). Perkembangan selanjutnya adalah dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang
48
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Probolinggo yang salah satunya mengatur pembentukan Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kota Probolinggo dan diterbitkannya Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 26 Tahun 2005 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kota Probolinggo. Perkembangan yang lebih baru, menyambut terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008, maka ditetapkanlah Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah, yang antara lain mengatur perubahan status Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kota Probolinggo menjadi Badan Pelayanan Perijinan Kota Probolinggo, terhitung mulai tanggal 18 Juli 2008 sebagai Unit Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (One Stop Service). Kota Probolinggo menampakkan perkembangan yang baik pada layanan perijinan ketika pada tahun 2007 terbit Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 46 Tahun 2007 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Walikota Kepala Kepala Badan Pelayanan Perijinan di bidang perijinan. Hingga 2009 Badan Pelayanan Perijinan Kota Probolinggo menangani 26 jenis perijinan (lihat Tabel 2.6) berikut.
49
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Tabel 2.6 Jenis Ijin dan Perkembangannya Jenis Ijin 2006 2007 Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Ijin Gangguan (HO) Rekomendasi Ijin Prinsip/ Lokasi Surat Ijin Usaha Perdagangan Surat Keterangan Rencana Tata Kota Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi Tanda Daftar Industri (TDI/ IUI) Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Ijin Usaha Pariwisata Surat Penangkapan Ikan Surat Budidaya Ikan Ijin Usaha Perikanan (IUP) Surat Pengelolaan Ikan Ijin Perusahaan Peternakan Daerah Tanda Daftar Peternakan Rakyat Ijin/ Tanda Daftar Perusahaan Penggilingan Padi Ijin Persetujuan Prinsip Pendirian Rumah Sakit Swasta Ijin Penampatan Bedak Surat Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah (SIPA) Ijin Undian Gratis Berhadiah Penutupan Sebagian Badan Jalan Ijin Pemakaian Kekayaan Daerah Ijin Hiburan Ijin Reklame Ijin Pemakaman Ijin Gudang
2008
340 370 3 298 -
447 245 9 331 227
411 252 19 491 269
-
275 7 223 1 23 24 1 -
464 8 484 9 4 5 -
-
-
-
-
14 -
15 -
188 151 239 1.114 314 -
3 79 111 205 1.068 514 -
6 29 83 150 1.055 410 -
Sumber: Badan Pelayanan Perijinan Kota Probolinggo, Oktober 2009.
Perkembangan lain yang juga menggembirakan sekaligus harus menjadi motivasi untuk mempertahankan
50
Kondisi Umum Kota Probolinggo
dan meningkatkan layanannya adalah diperolehnya sertifikat ISO 9001:2000 di bidang Pelayanan Publik dari Komite Akreditasi Nasional/ Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM – 008 – IDN) Jakarta. Program peningkatan layanan perijinan oleh Badan Pelayanan Perijinan untuk tahun 2010 – 2015 adalah pertama, OSS (One Stop Service) atau Pelayanan Satu Atap Satu Pintu, dengan menyediakan tenaga teknis yang disiapkan di Badan Pelayananan Perijinan sehingga dapat langsung bertindak jika ada permintaan ijin tanpa perlu rapat koordinasi terlebih dahulu. Denga demikian, pelayanan akan lebih cepat. Kedua, peningkatan pelayanan perijinan dengan pola “jemput bola” yakni penyelesaian perijinan langsung ke lokasi pemohon dan hasilnya diantar ke pemohon tersebut. Ketiga, pelayanan perijinan dengan menggunakan teknologi informasi (TI), yakni denga cara menyediakan formulir perijinan beserta persyaratannya di website Badan Pelayanan Perijinan. Dengan cara ini masyarakat (pemohon) dapat mengakses langsung dan mendapatkan formulir perijinan tanpa perlu mendatangi Badan Pelayanan Perijinan. Keempat, pemutihan IMB, dengan mempermudah persyaratan dan memberikan layanan pembuatan gambar objek bangunan yang akan diberi IMB secara gratis. Kelima, menyediakan kotak layanan bagi setiap pemohon ijin dengan cara mengisi lembar penilaian kepuasan layanan dan memasukannya ke kotak yang tersedia. Pendidikan Kondisi pendidikan di Kota Probolinggo berdasarkan beberapa indikator menunjukkan perkembangan yang baik. Beberapa indikator terbatas yakni realisasi Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM),
51
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
angka lulusan, manajemen sekolah, kondisi ruang kelas, dan kualifikasi guru. Berdasarkan Data Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, diketahui bahwa pada tahun 2009 jumlah murid di tiaptiap jenjang pendidikan adalah 2.076 murid TK/RA, 22.081 murid SD/MI, 12.224 murid SMP/MTs, 5.594 murid SMA/MA dan 6.422 murid SMK. Pada tahun 2009, realisasi Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk SD/MI mencapai 115,82%, SMP/MTs 103,12% dan SMA /MA/ SMK 88,01%. Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SD/MI mencapai 104,06%, SMP/MTs 80,65% dan SMA/ MA/ SMK mencapai 62,80%. Angka rasio murid terhadap guru, pada tingkat SD/MI mencapai 16,87%, SMP/MTs 17,41%, dan SMU/ MA/ SMK 22,89%. Untuk angka rasio murid terhadap sekolah pada tingkat SD/MI mencapai 176,74%, tingkat SMP/MTs mencapai 322,50 %, dan tingkat SMA/ MA/ SMK mencapai 726,10%. Jumlah sekolah/ madrasah di Kota Probolinggo dan sebarannya di 5 wilayah kecamatan, kondisi pada tahun 2009, dapat dilihat di Tabel 2.7 berikut. Tabel 2.7. Jumlah dan Sebaran Sekolah/ Madrasah KECAMATAN TK RA SD Mayangan 24 2 37 Kanigaran 14 4 29 Kademangan 15 2 20 Wonoasih 9 6 14 Kedupok 13 5 16 JUMLAH 75 19 116 Sumber: Dinas Pendidikan Kota
MI SMP MTs SMA MA SMK JML 3 7 0 3 0 2 78 5 8 3 5 1 7 76 5 2 5 2 3 3 57 5 2 3 1 3 0 43 6 2 5 0 2 2 51 24 21 16 11 9 14 305 Probolinggo, Desember 2009, data diolah.
Untuk melihat perkembangan hasil belajar dari jenjang SD/MI, SMP/MTs dan SMA/ MA/ SMK maka dapat dilihat dari data lulusan tahun demi tahun dan prestasi yang dicapai. Tabel 2.8 di bawah ini memperlihatkan
52
Kondisi Umum Kota Probolinggo
jumlah lulusan, angka mengulang kelas dan angka putus sekolah pada tiap-tiap jenjang pendidikan dari tahun 2004 hingga 2009. Tabel 2.8 Angka Lulusan, Mengulang dan Putus Sekolah KATEGORI
JENJANG SD / MI ANGKA SMP / MTs LULUSAN SMA/MA SD / MI ANGKA SMP / MTs MENGULANG SMA/MA SD / MI ANGKA PUTUS SMP / MTs SEKOLAH SMA/MA Sumber: Dinas Pendidikan
2004 2005 2006 2007 2008 3.569 3.502 3.780 3.612 3.664 2.863 3.088 3.207 3.222 3.403 3.450 3.208 3.216 2.697 2.929 896 771 698 817 710 68 86 81 84 38 82 29 151 103 72 20 38 29 47 53 76 39 96 222 47 99 67 283 181 167 Kota Probolinggo, Desember 2009.
2009 3.725 3.413 1.640 733 60 12 39 90 31
Prestasi yang dicapai oleh pendidikan Kota Probolinggo antara lain, di bidang akademik, adalah guru berprestasi pada tingkat provinsi Jawa Timur, Olimpiade Sains Nasional, meraih peringkat 5 besar pada tahun 2008 dan Karya Ilmiah Remaja pada posisi 5 besar pada tahun 2009. Sedangkan di bidang non akademik, yakni di bidang olahraga dan seni, pada cabang olahraga senam, peringkat I nasional pada tahun 2009, atletik pada peringkat II tingkat provinsi Jawa Timur (2008), tenis lapangan pada posisi juara III tingkat provinsi (2009), basket pada posisi juara I nasional diraih pada tahun 2008. Pada bidang seni, yakni pekan seni pelajar, kota Probolinggo meraih juara umum tingkat provinsi Jawa Timur pada tahun 2009. Prestasi lain adalah pemenang I penulisan artikel pembelajaran inovatif pada lomba menulis artikel ayng diselenggarakan oleh Radar Bromo melalui acara bertajuk “Teaching With Love�. Penghargaan tersebut diraih oleh guru SMKN 3 Kota Probolinggo, Dwi Anggraeni, S.Pd. Dunia pendidikan kota Probolinggo juga menyumbang banyak penghargaan di bidang pendidikan lingkungan hidup, yaitu Sekolah Model
53
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Adiwiyata lingkungan, yakni SMAN 2 pada tingkat nasional (2008), SMKN 1 Calon Model Sekolah Adiwiyata (2008). Pada tahun 2009, Sekolah Model Adiwiyata pada SMAN 2 dan SMKN 1 dan Calon Model Sekolah Adiwiyata yakni SDN Mangunharjo 6 dan SMPN 4. Pada tahun 2009 juga dunia pendidikan kota Probolinggo meraih juara II penghargaan Kalpataru tingkat Jawa Timur yakni Dra. Endang Sulistyowati, M.Pd, guru SMAN 1 Kota Probolinggo8. Pada aspek manajemen sekolah, untuk penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dari 146 SD/MI, sebanyak 137 lembaga menerapkan MBS, untuk SMP/ MTs, MBS diterapkan oleh 36 lembaga dari 40 lembaga yang ada, dan untuk jenjang SMA/ MA yang berjumlah 20 lembaga, 19 diantaranya menerapkan MBS. Kondisi sampai tahun 2009, terdapat 4 sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yakni SMPN 1, SMPN 5 SMAN 1 dan SMKN 2. Untuk jenjang SD belum ada program RSBI. Program Pendidikan Non Formal dan Informal (PLS atau Pendidikan Luar Sekolah) jumlahnya tidak banyak, Paket A sejak tahun 2004 hingga 2009 sebanyak 1 lembaga, Paket B, Paket C dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) selama 2004 – 2009 masing-masing sebanyak 3 lembaga dan mengalami kenaikan menjadi 4 lembaga pada 2008 dan 2009. Sedangkan lembaga kursus pada tahun 2004 – 2005 sebanyak 13 lembaga, pada 2006 – 2007 sebanyak 17 lembaga dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 19 lembaga dan bertambah lagi menjadi 32 lembaga pada tahun 2009. Program Keaksaraan Fungsional (KF), diikuti oleh peserta yang jumlahnya naik turun pada sejak tahun 2005 hingga 2009. Perkembangan program KF dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut.
Pada saat menerima penghargaan Kalpataru, ybs ketika itu bertugas sebagai guru di SMAN 2 Kota Probolinggo.
8
54
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Tabel 2.9 Perkembangan Peserta Program KF USIA 2004 2005 2006 2007 2008 15 – 40 0 40 178 86 112 41 – 59 0 60 342 234 168 >60 0 0 0 0 0 Sumber: Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, Desember 2009.
2009 92 138 0
Dan dari sisi kualifikasi tenaga pendidik, keadaan guru di kota Probolinggo pada tahun 2009 cukup baik, walaupun masih terdapat guru-guru yang berpendidikan kurang dari yang dipersyaratkan untuk mengajar. Dari total jumlah guru 3.736 orang, terdapat 2.245 orang berpendidikan S-1, S-2 sebanyak 49 orang. Selebihnya, 93 orang berpendidikan D3, 875 orang D2 dan 31 orang D1. Mereka yang masih berpendidikan SMA terdapat 428 orang, SMP sebanyak 9 orang dan SD sebanyak 6 orang. Selanjutnya lihat Tabel 2.10. Tabel 2.10 Data Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Sekolah
SD
SMP
TINGKAT PENDIDIKAN GURU SMA D1 D2 D3
S1
S2
TK 3 78 1 204 1 103 SD 138 9 533 17 619 9 SMP 15 9 5 18 450 11 SLB 5 4 14 SMA 4 12 251 12 SMK 15 3 2 25 371 14 RA 2 23 31 1 11 MI 3 3 100 6 81 5 88 MTs 30 3 13 4 198 1 MA 3 1 20 2 10 140 2 Pengawas 22 13 Jumlah 6 9 428 31 875 93 2.267 62 Sumber: Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, Desember 2009.
Jumlah 390 1.325 508 23 279 430 68 286 249 178 35 3.771
Dengan demikian, dari data dan jumlah di atas, berdasarkan kualifikasi pendidikannya yakni berpendidikan minimal S1-Pendidikan, guru yang memenuhi syarat
55
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
mengajar sebanyak 3.167 orang atau sebanyak 84,91%, sedangkan yang tidak memenuhi syarat mengajar sebanyak 569 orang atau 15,09%. Sekarang, mari kita lihat perkembangan kualifikasi guru berdasarkan pendidikannya yakni guru yang memenuhi syarat mengajar dan tidak memenuhi syarat mengajar, dari tahun 2004 hingga 2009 sebagaimana Tabel 2.11 berikut ini. Tabel 2.11 Perkembangan Kualifikasi Guru KUALIFIKASI
JENJANG
2004
2005
2006
2007
2008
2009
MEMENUHI SYARAT MENGAJAR
SD MI SMP MTs SMA SMK MA
778 75 361 122 200 274 92
851 83 374 173 209 279 108
851 94 379 175 212 285 110
1.111 98 442 229 261 355 140
1.099 112 443 229 257 360 174
1.178 120 485 235 275 412 178
TIDAK MEMENUHI SYARAT MENGAJAR
SD MI SMP MTs SMA SMK MA
98 165 36 100 18 54 98
97 190 48 92 29 111 66
97 185 38 85 25 85 53
187 180 24 77 17 53 48
181 175 59 70 15 52 45
147 150 47 65 16 45 40
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, Desember 2009.
Sedangkan guru tersertifikasi, lulus sertifikasi dan yang belum lulus sertifikasi maupun yang sedang diusulkan sertifikasi dapat dilihat pada data tabel-tabel di bawah ini yang memperbandingkan jumlah kuota (Tabel 2.11 dan Tabel 2.12) dan kelulusan sertifikasi guru (Tabel 2.13) dengan guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi (S-1 ke atas).
56
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Tabel 2.12 Jumlah Guru Yang Diusulkan Sertifikasi Jml Guru S1 Ke Atas
Jenjang Pend. TK SD SMP SMA SMK SLB
103 628 461 263 385 14 18 1.872
Pengawas
Jumlah
NEGERI
SWASTA
2006
2007
2008
2009
Jml
2006
2007
2008
2009
Jml
28 10 38
28 62 24 22 33 4 173
13 106 84 48 68 4 323
126 51 29 31 2 18 257
41 322 169 99 132 10 18 791
-
3 4 9 13 12 41
8 2 25 8 12 55
11 12 12 17 52
22 6 46 33 41 148
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, Desember 2009.
Setelah melihat perbandingan kuota sertifikasi guru (jumlah guru yang diusulkan sertifikasi) dengan jumlah guru berpendidikan S-1 ke atas pada Tabel 2.10 dan Tabel 2.11, marilah kita sekarang menggunakan Tabel 2.12 ini untuk menengok kelulusan sertifikasi guru baik yang telah lulus sertifikasi maupun yang belum, dijajarkan dengan data jumlah guru yang berpendidikan S1 ke atas dan jumlah guru yang diusulkan sertifikasi (Tabel 2.13), dari tahun ke tahun. Perhatikan Tabel 2.13 dan Tabel 2.14: Tabel 2.13 Jumlah Guru Yang Lulus Sertifikasi Jenjang Pendidikan
Jumlah Guru S1 Ke Atas
Jml Guru Diusulkan Sertifikasi
JUMLAH GURU YANG LULUS SERTIFIKASI % yang 2006 2007 2008 2009 JML telah lulus
TK 103 63 31 16 1 SD 628 328 28 66 105 101 SMP 461 215 10 33 104 18 SMA 263 132 35 53 9 SMK 385 173 45 66 7 SLB 14 10 4 4 2 Pengawas 18 18 18 Jumlah 1.872 939 38 214 348 156 Sumber: Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, Desember 2009.
57
48 300 165 97 118 10 18 756
46,6 47,8 35,8 36,9 30,7 71,4 100 40,4
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Tabel 2.14 Jumlah Guru Yang Belum Lulus Sertifikasi
Jenjang Pendidikan
Jml Guru S1 Ke Atas
Jml Guru Diusulkan Sertifikasi
TK SD SMP SMA SMK SLB Pengawas Jumlah
103 628 461 263 385 14 18 1.872
63 328 215 132 173 10 18 939
JUMLAH GURU YANG BELUM LULUS SERTIFIKASI 2006
2007
2008
2009
JML
-
-
5 3 5 3 14 30
10 25 45 32 55 153
15 28 50 35 55 183
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Probolinggo, Desember 2009.
Dari gambaran kondisi yang ditunjukkan oleh datadata di atas, secara umum pendidikan di Kota Probolinggo tergolong cukup baik, namun masih sangat perlu sentuhan inovasi untuk penguatan kualitas, baik pada strategi pembelajaran maupun manajemen sekolah. Terbukti hingga tahun 2009 kota Probolinggo masih belum memiliki “sekolah unggulan” atau “sekolah rujukan” yang dapat menjadi andalan kota Probolinggo. Daerah bertipe urban (perkotaan) apalagi memiliki posisi silang yang merupakan kota transit, amat strategis untuk mengembangkan potensi pendidikan dan memilih icon pendidikan sebagai unggulan kota. Penguatan layanan jasa pendidikan berupa lembagalembaga pendidikan yang berkualitas, dipadu dengan potensi alam yang khas yakni pelabuhan transport yang prospektif, pelabuhan pendaratan ikan, perairan laut dan hutan mangrove serta potensi hortikultura juga sosiobudaya masyarakat yang khas juga dan banyaknya pondok pesantren, jika dioptimalkan secara terpadu akan menjadi
58
Kondisi Umum Kota Probolinggo
daya tarik yang unik bagi kota ini. Pendekatan city branding dengan penguatan sektor pendidikan yang ditopang oleh sektor pertanian, kelautan dan perikanan, sosial, budaya dan lingkungan hidup secara komprehensif dapat menjadi alternatif kebijakan kota. Dari perspektif pertumbuhan ekonomi dan investasi, penguatan pembangunan sektor pendidikan –apalagi yang unik-- akan membawa multiplier effect (efek berganda) pada pertumbuhan sektor lain dan investasi seperti pemukiman, usaha rumah sewa, rumah makan, transportasi, toko buku, hiburan, dan aneka jasa lainnya termasuk penggairahan sektor informal. Kesehatan Program layanan kesehatan terbagi menjadi dua basis layanan yakni upaya kesehatan pokok atau wajib dan upaya kesehatan inovasi. Pada kategori pertama, digolongkan lagi menjadi dua yakni upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UPM). Upaya kesehatan masyarakat (UKM) meliputi layanan tindakan preventif dan promotif, sedangkan upaya kesehatan perorangan (UPM) meliputi layanan tindakan kuratif dan rehabilitatif. Semua layanan kesehatan dimaksudkan untuk memenuhi UKM dan UKP di atas. Dan untuk mempermudah dan menjangkau masyarakat, dibentuklah unit-unit layanan kesehatan (Unit Pelaksana Teknis Dinas, UPTD) Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Disamping itu, untuk mengoperasionalkan UKM dan UKP tadi, Dinas Kesehatan mendorong pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, yang antara lain berupa pendayagunaan Pos Layanan Terpadu (Posyandu) baik Posyandu balita maupun posyandu lansia, Keluarga Siaga dan Forum Kota Probolinggo Sehat yang memiliki kepengurusan mulai dari tingkat kota hingga pada 59
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
tingkat tingkat kecamatan yakni Pokja Kecamatan dan tingkat kelurahan yakni Pokja Kelurahan. Satu perkembangan menggembirakan di sektor kesehatan adalah dengan diperolehnya penghargaan Swasti Sabha Padhapa pada tahun 2009. Penghargaan ini berdasarkan penilaian atas 3 tatanan kesehatan yang dinilai berhasil yakni pemukiman sehat, perkantoran sehat dan transportasi sehat. Indikator keberhasilan ketiga tatanan dalam percepatan kota sehat meliputi RT sehat, persentase kepemilikan jamban, dan polusi. Pada kategori kedua, program kesehatan inovasi, Kota Probolinggo meraih nominator Otonomi Awards The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) untuk kategori Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan Kesehatan. Inovasi lainnya, adalah peningkatan fungsi Puskesmas yakni Puskesmas Spesifik, sebanyak 6 puskesmas. Puskesmas spesifik adalah peningkatan layanan puskesmas dengan memacu dan memperkuat satu layanan unggulan pada masing-masing puskesmas. Spesifikasi puskesmas, lihat Tabel 2.15 berikut. Tabel 2.15 Puskesmas Spesifik dan Layanan Unggulannya NO
PUSKESMAS
SPESIFIKASI Rawat Inap dengan kamar operasi 1. Puskesmas Wonoasih dan dokter spesialis Pelayanan gigi dengan dokter gigi 2. Puskesmas Kanigaran spesialis 3. Puskesmas Ketapang Pelayanan gawat darurat Layanan Kesehatan Mata, dengan 4. Puskesmas Sukabumi pelayanan utama layanan operasi katarak Pengobatan Tradisional 5. Puskesmas Jati (Akupunctur) 6. Puskesmas Kedopok Pelayanan Lansia Sumber: Dinas Kesehatan Kota Probolinggo, November 2009.
60
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Dampak yang terasa dari program spesifikasi puskesmas ini adalah peningkatan kunjungan pasien ke masing-masing puskesmas tersebut. Masyarakat pengguna layanan puskesmas mempersepsi bahwa puskesmas tersebut memiliki pelayanan kesehatan yang mumpuni dan baik. Pada awalnya masyarakat mempersepsi hanya pada layanan spesifik tetapi kemudian berkembang pada kepercayaan mereka pada jenis layanan kesehatan lainnya pada puskesmas tersebut. Sehingga hal ini berdampak pula pada tetap bertahannya “customer loyal� pada puskesmas yang bersangkutan. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat pada indikator antara lain Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup (AKB), Angka Kematian Ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup (AKI), rata-rata usia harapan hidup penduduk dan status gizi masyarakat. Berdasarkan indikator tersebut, perkembangan derajat kesehatan masyarakat Kota Probolinggo dalam 5 tahun terakhir dapat dilihat dalam Tabel 2.16 berikut. Tabel 2.16 Derajat Kesehatan Masyarakat Kota Probolinggo NO.
TAHUN
INDIKATOR
2004 12 / 1000
2008 Angka Kematian Bayi per 8 / 1000 1000 kelahiran hidup (AKB) 2. Angka Kematian Ibu per 13,2 / 100.000 8,3 / 100.000 100.000 kelahiran hidup (AKI) 3. Rata-rata Usia Harapan 66, 2 tahun 69 tahun Hidup Penduduk 4. Status Gizi Masyarakat 15,1 % 15,74% Sumber: Bappeda Kota Probolinggo, Probolinggo Summit, Desember 2009. 1.
Tenaga kesehatan di Kota Probolinggo sampai dengan Tahun 2008 berjumlah 413 orang, yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, apoteker/asisten apoteker dan tenaga kesehatan lainnya. Jumlah tenaga kesehatan di Kota
61
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Probolinggo. Pelayanan kesehatan di Kota Probolinggo juga didukung oleh sarana-prasarana kesehatan yang memadai yang terdiri dari Rumah Sakit Umum, Puskesmas/ Puskesmas Pembantu, klinik kesehatan, laboratorium klinik, apotek dan sarana kesehatan masyarakat lainnya semisal posyandu. Di kota Probolinggo, posyandu menunjukkan perkembangan yang cukup baik dalam hal jumlah, yakni meningkat sejak tahun 2004 yang ketika itu berjumlah 209 posyandu, hingga pada tahun 2008 sebanyak 215 posyandu. Pengguna layanan kesehatan pemerintah dapat dilihat pula pada Tabel 2.17 berikut ini. Tabel 2.17 Pengguna Layanan Kesehatan No.
Jenis 2004 2005 Layanan 1. Jamkesmas 2.854 5.704 2. JPKM 36.661 47.476 3. Askes 24.318 10.909 4. Posyandu 209 210 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Probolinggo,
2006
2007
31.977 28.986 14.366 53.802 13.911 31.049 213 214 November 2009.
2008 37.044 50.345 27.240 215
Ketenagakerjaan Penanganan ketenagakerjaan di kota Probolinggo menitikberatkan pada upaya-upaya pengadaan kesempatan kerja dan pengembangan ekonomi produktif. Upaya pertama, adalah upaya menciptakan tenaga kerja sektor formal, diselenggarakan dengan menghubungkan para pencari kerja dan pencari tenaga kerja, dan disertai dengan upaya untuk meningkatkan keterampilan para pencari kerja. Untuk upaya ini, Dinas Tenaga Kerja menyelenggarakan bursa kerja yang dinamai “Job Market Fair� dan pembukaan informasi lowongan kerja bekerjasama dengan perusahaan swasta. Terdapat temuan yang menarik dalam Job Market Fair, bahwa berdasarkan daftar dan database lowongan pekerjaan dalam kegiatan tersebut, ada ribuan lowongan kerja baik di dalam 62
Kondisi Umum Kota Probolinggo
kota maupun luar kota. Dari data Dinas Tenaga Kerja, ditemukan bahwa pencari kerja yang terserap dari kegiatan Job Market Fair mencapai maksimal 10 persen. Sisanya, yang merupakan jumlah mayoritas, tidak terserap karena tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dari ribuan lowongan pekerjaan yang ditawarkan para pencari tenaga kerja (job order). Untuk mengurangi kesenjangan yang terlalu tajam antara keterampilan para pencari kerja dan job order yang ada, Dinas Tenaga Kerja menyelenggarakan berbagai pelatihan teknis keahlian baik melalui Balai Latihan Kerja (BLK) maupun latihan kerja magang ataupun menyelenggarakan program kemitraan dengan perusahaan. Program pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Tenaga Kerja baik di BLK maupun di lembaga atau instansi lain dan mengalami kesulitan antara lain di bidang kesiapan calon tenaga kerja yang dilatih. Pelatihan yang memang membutuhkan biaya tersebut diselenggarakan oleh suatu lembaga pelatihan, dan Dinas Tenaga Kerja menyediakan sebagian biaya pelatihan, sedangkan biaya penginapan dan konsumsi calon tenaga kerja yang dilatih, diharapkan disediakan oleh calon tenaga kerja. Namun, para calon tenaga kerja yang akan dilatih lebih memilih tidak ingin mengeluarkan biaya tersebut, malah mengharapkan uang saku selama pelatihan. Inilah yang dikeluhkan oleh Dinas Tenaga Kerja, yang menyayangkan sikap mental para pencari kerja. Sedangkan program kemitraan tenaga kerja dilakukan dengan bekerjasama dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Dinas Tenaga Kerja melakukan pelatihan teknis keahlian para pencari kerja sesuai kebutuhan perusahaan, lantas jika telah terampil, mereka mendapatkan order pekerjaan dari perusahaan dengan dikerjakan di rumah masing-masing. Hasil pekerjaan (produk) tersebut diambil oleh perusahaan. Contoh kerjasama semacam ini dilakukan bekerjasama dengan perusahaan bordir. 63
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Upaya kedua, pengembangan ekonomi produktif, diselenggarakan untuk menciptakan tenaga kerja sektor informal bagi mereka yang belum mempunyai usaha. Program ini bertujuan untuk mengembangkan ekonomi lokal dari sektor informal yakni penciptaan lapangan atau kesempatan kerja baru. Untuk menumbuhkan kewirausahaan masyarakat, Dinas Tenaga Kerja menyediakan pemandu wirausaha yang direkrut dari praktisi wirausaha daerah. Pemandu wirausaha ini bertugas memberikan pendampingan kepada calon wirausaha selama 1 tahun sampai terbentuk kelompok wirausaha baru. Jenis wirausaha disesuaikan dengan kebutuhan dan realitas yang dihadapi. Ke depan, Dinas Tenaga Kerja merencanakan menyelenggarakan bursa kerja secara on line, untuk menampung ribuan lowongan kerja dari para perusahaan agar bisa diakses secara mudah oleh masyarakat luas. Disamping itu, juga akan dibuat layanan informasi pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja. Mari kita bandingkan data jumlah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja dengan kondisi permintaan tenaga kerja di kota Probolinggo, sebagaimana tabel berikut ini. Tabel 2.18 Jumlah Angkatan Kerja dan Bukan Angkata Kerja Dalam Komposisi Penduduk Usia Kerja di Kota Probolinggo KATEGORI 2005 Angkatan Kerja 95.978 Bekerja 82.974 Mencari Kerja 13.004 Bukan Angkatan Kerja (bersekolah, 54.629 mengurus rumah tangga, dll) Penduduk Usia Kerja 150.607 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Probolinggo
64
2006 93.509 80.745 12.764 60.391
2007 98.828 88.532 10.296 57.139
153.900
155.967
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Tabel 2.19 Kondisi Permintaan Tenaga Kerja KATEGORI 2005 2006 Pencari Kerja 1.774 2.992 Penempatan 659 753 Penghapusan Pencari Kerja 526 738 Belum Ditempatkan 86.811 107.713 Permintaan, Lowongan 563 655 Dipenuhi 659 753 Penghapusan Lowongan 3 64 Sisa Lowongan 1.445 179 Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kota Probolinggo, 2009
2007 2.365 653 719 117.989 1.036 653 355 2.003
2008 2.906 912 538 131.464 921 885 180 100
Sekarang kita lihat tingkat kesempatan kerja yang ada. Kesempatan kerja cenderung meningkat dari tahun 2005 hingga 2008 yaitu sebesar 78.316 orang bekerja, hingga pada tahun 2008 mengalami kenaikan hingga menjadi 82.948 orang bekerja. Penduduk bekerja sebenarnya merupakan faktor produksi yang secara riil ikut dalam proses produksi barang dan jasa dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengelolaan lingkungan hidup di kota Probolinggo dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup. Jika ditinjau dari sisi status kelembagaan instansi pengelola lingkungan hidup ini, menampakkan kecenderungan meningkat. Dari berstatus kantor pada awal otonomi daerah (2001) yakni bernama Kantor Lingkungan Hidup (KLH), kemudian meningkat menjadi Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) dan kini Badan Lingkungan Hidup (BLH). Dalam pengelolaan lingkungan hidup, kota ini menggunakan strategi pendekatan penyertaan peranserta masyarakat, yang tampak dari banyaknya organ kemitraan kemasyarakatan yang dibentuk oleh instansi ini. Yakni Informal Meeting Forum (IMF) yang merupakan wadah komunikasi antara pengusaha industrial (pabrikan), pemerintah dan masyarakat dengan menggelar pertemuan 65
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
rutin, Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB) yang bertugas memberikan masukan atau pertimbangan kepada BLH, Forum Jaringan Manajemen Sampah (Forjamansa), Paguyuban Pemilah Sampah (Papesa) dan Paguyuban Kader Lingkungan (Pakerling). Organ-organ ini difasilitasi pembentukannya oleh BLH (dimulai ketika bernama KLH dan DKLH) dan terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, pengusaha/ industri, perguruan tinggi, aktivis LSM dan birokrat. Sebagai mitra kerja, rata-rata mereka tergolong sangat aktif dalam membantu pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa program yang menggembirakan sebagai capaian dari pengelolaan lingkungan hidup secara partisipatif ini antara lain adalah composting (pengomposan), peningkatan fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan jalan lingkar utara (eks lokalisasi Joboan) menjadi Taman Wisata Studi Lingkungan (TWSL), program Tamanisasi dan hutan kota di alun-alun kota serta Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan kecamatan Kedupok. Program tamanisasi, dengan hasil adanya taman di sepanjang jalan masuk kota Probolinggo hingga ke jalur dalam kota, hingga tahun 2009 terdapat 310 petak taman. Tamanisasi ini dilakukan berdasarkan Surat Edaran Walikota Probolinggo Nomor: 660/560/425.111/2006 tanggal 22 Juni 2006 tentang Gerakan Pembuatan Tamanisasi. Pelaksanaan pembuatan taman oleh masingmasing unit kerja, lembaga pendidikan, pelaku industri dan kalangan swasta non pemerintah. Perawatan taman, dilakukan oleh masing-masing unit kerja, lembaga pendidikan, pelaku industry dan kalangan swasta non pemerintah, berdasarkan Surat Edaran Walikota Probolinggo Nomor: 660/080/425.111/2006 tentang Perawatan Taman.
66
Kondisi Umum Kota Probolinggo
Program composting, kemajuan terkini yang gemilang adalah telah terproduksinya pupuk organik granular (butiran) yang layak jual. Tentu saja, program-program tersebut tidak lepas dari program-program penunjang seperti “Ayo Bersih-Bersih Lingkungan� (ABBL) yang berisi gerakan membersihkan sungai dan tempat-tempat lain, “Abang Becak Bersihkan Lingkungan� (ABBL), program pemilahan sampah yakni sampah organik dan anorganik, dan Rembug KAHBI (Kampung Hijau Bersih dan Indah) yang berisi kegiatan dialog dengan warga masyarakat tentang pengelolaan lingkungan. Program pemilahan sampah dan composting mengalami kemajuan yang berarti. Program ini disamping mampu mengurangi timbunan sampah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilah sampah dan bisa mendatangkan manfaat (menambah penghasilan). Khususnya pengolahan sampah menjadi pupuk organik, program ini telah membangkitkan minat dari perusahaan swasta perbankan untuk bermitra secara aktif dalam meningkatkan kualitas pengelolaan sampah. Yakni Bank Danamon melalui Yayasan Danamon Peduli, melakukan kerjasama dengan pemerintah Kota Probolinggo untuk membangun unit pengolahan sampah pasar menjadi pupuk organik berkualitas tinggi, yang bertempat di TPS Ungup-Ungup, Kota Probolinggo. Program ini diluncurkan pada tanggal 16 Maret 2009, dengan diresmikan oleh Walikota Probolinggo HM. Buchori. Dalam peresmian itu, diserah-terimakan unit pengolahan sampah tersebut oleh Ketua Yayasan Danamon Peduli, Risa Bhinekawati kepada Walikota Probolinggo dan disaksikan pula oleh Pimpinan Danamon Simpan Pinjam wilayah Jawa Timur Bagian Timur dan Selatan, Andi Joeffen serta Muspida di lingkungan Kota Probolinggo. 67
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Risa menyatakan bahwa program kompos ini merupakan bagian dari program utama yang dijalankan oleh Yayasan Danamon Peduli yaitu “Pasarku Bersih Sehat Sejahtera� yang bertujuan merevitalisasi pasar tradisional. Program ini selain dapat meningkatkan kondisi kebersihan dan kesehatan di lingkungan pasar tradisional secara sistematis, juga dapat membantu masyarakat membangun ketahanan pangan nasional berbasiskan pertanian organik. Sejalan dengan pernyataan Risa Bhinekawati, Pimpinan Danamon Simpan Pinjam Jawa Timur bagian Timur dan Selatan, Andi Joeffen dalam pidatonya mengemukakan harapannya bahwa program ini dapat menjadi titik awal bagi bangkitnya pasar tradisional dan ketahanan pangan berbasis pertanian organik di Kota Probolinggo khususnya, dan di seluruh tanah air. Kepedulian Danamon terhadap komunitas pasar tradisional tidak terlepas dari keberadaan 800 dari lebih 1.000 cabang Bank Danamon di seluruh Indonesia berada di pasar-pasar tradisional. Oleh sebab itu, eksistensi pasar tradisional erat hubungannya dengan eksistensi Danamon. Sebagian besar lahan (62,47%) di Kota Probolinggo, merupakan lahan pertanian. Dominasi lahan pertanian ini menuntut ketersediaan pupuk yang tinggi untuk pengelolaan pertanian. Berdasarkan data statistik, kebutuhan pupuk untuk kegiatan pertanian di Kota Probolinggo pada tahun 2008 mencapai 2.953 ton. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Probolinggo, Ir. Budi Krisyanto, M.Si menyampaikan bahwa jika seluruh petani di Kota Probolinggo menggunakan pupuk organik dan berdasarkan lahan pertanian yang ada, maka akan dibutuhkan pupuk organik sebanyak 11.812 ton. Sedangkan sumber sampah yang diolah unit pengolahan kompos TPS Ungup Ungup adalah sampah dari Pasar Baru Kota Probolinggo, dimana sebesar 70% dari total 68
Kondisi Umum Kota Probolinggo
sampah tersebut merupakan sampah organik. Sehingga, bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi kompos merupakan bahan baku yang berkualitas. Unit pengolahan kompos di Kota Probolinggo, telah mampu mengkonversi 600 kg - 1½ ton sampah menjadi 180 - 450 kg pupuk organik. Selain itu saat ini produk kompos telah didiversifikasi menjadi 3 jenis yaitu tabur, granule (butiran) dan pellet sehingga memudahkan petani dalam pemanfaatannya. Pada 2 Maret 2009, telah dilakukan uji laboratorium terhadap produk unit pengolahan kompos Probolinggo di Laboratorium Bioteknologi, Bogor dan hasilnya kandungan yang ada didalam kompos telah memenuhi standar (Standar Nasional Indonesia, SNI). Dengan demikian, fasilitas pengolahan pupuk organik di Probolinggo ini tentu dapat membantu pemerintah Kota Probolinggo mengembangkan pertanian organik di Kota Probolinggo dan sekitarnya. Pemerintah Kota Probolinggo mengajukan permintaan kepada Danamon Peduli untuk membangun fasilitas ini pada bulan Oktober 2008 dan pembangunan fasilitas rumah unit kompos ini diselesaikan pada bulan November 2008. Proses program ini dapat berjalan lancar berkat komitmen yang tinggi dan kerjasama yang baik dari pihak pemerintah Kota Probolinggo. Total donasi yang diberikan oleh Yayasan Danamon Peduli kepada Pemerintah Kota Probolinggo untuk program ini mencapai Rp.104.400.700,00,-. Bentuk donasi mencakup pembangunan rumah kompos, penyediaan mesin kompos, pelatihan, serta biaya operasional selama satu bulan pertama. Di tahun 2008 program ini telah berjalan di Bantul, Sragen, Wonosobo, Pacitan dan Grobogan. Pada tahun 2009 program ini direplikasi oleh 26 kabupaten/kota seluruh Indonesia, termasuk Kota Probolinggo, yaitu Tapanuli Selatan, Pekanbaru, Payakumbuh, Tanjung Balai, Jakarta Pusat, Bogor, Bekasi, Banjarnegara, Jepara, Kendal, 69
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Klaten, Magelang, Pemalang, Purbalingga, Rembang, Temanggung, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Semarang, Barru, Gowa, Palopo, Pinrang, Sidrap, Soppeng, dan Bitung. Secara keseluruhan, setiap harinya program ini, yang akan berjalan di 31 kabupaten/kota seluruh Indonesia, berpotensi mengkonversi 60-120 ton sampah menjadi 24 – 48 ton pupuk organik9. Manfaat lain program ini, adalah bahwa di tengah kemelut langkanya pupuk kimia di pasaran dan maraknya persoalan lahan kritis di Indonesia, program ini tentu akan menumbuhkan harapan bagi para petani di Indonesia. Selain harganya terjangkau, pupuk organik juga akan menyehatkan kembali kondisi lahan pertanian di Indonesia. Sesungguhnya, jika kita ingin kembali pada pertanian organik, bahan baku pupuk organik tersedia dalam jumlah yang melimpah di sekitar kita, antara lain yang berasal dari pasar-pasar tradisional. Jika dikelola dengan baik, limbah organik dapat memecahkan masalah kelangkaan pupuk. Inovasi pengolahan sampah di Kota Probolinggo dengan bekerjasama dengan Yayasan Danamon Peduli ini memperoleh predikat terbaik nasional dan kini sedang dinominasikan untuk tingkat internasional.
9
Sumber data dari http://www.danamon.co.id/news.php?idx=417&lng=1
70
BAB
3
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004 – 2009
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
BAB 3
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004 – 2009
Strategi Pembangunan Kota Probolinggo Strategi pembangunan kota didasarkan pada visi misi pembangunan kota. Secara operasional, visi – misi pembangunan daerah berada pada konteks narasi besar pembangunan daerah. Pembangunan yang efektif, eksis dan unggul diperlukan dalam persaingan yang semakin ketat dan perubahan sosial dan budaya yang semakin cepat di era transisi demokrasi dan otonomi daerah ini. Hal ini pula yang mengharuskan pemerintah daerah untuk menyesuaikan dengan konteks jaman dan perubahan tersebut menuju perbaikan. Perubahanperubahan tersebut harus disusun dalam suatu tahapan yang konsisten dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan akuntabilitas dan kinerja yang berorientasi pencapaian hasil optimal. Maka diperlukanlah rencana pembangunan sebagai langkah antisipasi atas berbagai 71
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah, serta pengembangan program dan pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan legitimated yang diperlukan sebagai prasyarat terciptanya good governance (kepemerintahan yang baik). Rencana pembangunan yang tersistematika, terukur, efektif dan sesuai dengan perkembangan dan perubahan tersebut lazimnya tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Probolinggo adalah dokumen perencanaan pembangunan Kota Probolinggo yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Kota Probolinggo berdasarkan Undang Undang Nomor 17 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur/ Tengah/ Barat, dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan Kota Probolinggo untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakup kurun waktu mulai tahun 2006 hingga tahun 2025. Dokumen RPJP ini ditetapkan untuk memberikan arah dan acuan bagi seluruh komponen masyarakat Kota Probolinggo, pemerintah Kota Probolinggo dan Dunia Usaha dalam mewujudkan cita-cita bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh masing-masing pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif dan saling melengkapi dalam satu pola sikap dan pola tindak1. Berdasarkan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pasal 1 ayat 12, visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode 1 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 10 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2025 dan Lampirannya.
72
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
perencanaan. Penetapan visi sebagai bagian dari proses perencanaan pembangunan merupakan suatu langkah penting dalam perjalanan pemerintah daerah. Pada hakikatnya membentuk visi daerah adalah menggali gambaran bersama tentang masa depan ideal yang hendak diwujudkan. Visi adalah mental model masa depan, dengan demikian visi harus digali bersama, disusun bersama sekaligus diupayakan perwujudannya secara bersama, sehingga visi menjadi milik bersama yang diyakini oleh seluruh elemen masyarakat. Visi yang tepat bagi masa depan suatu daerah akan mampu menjadi akselerator kinerja bagi daerah tersebut. Lebih lanjut Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga telah menetapkan adanya dokumen perencanaan pembangunan daerah berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Dengan memperhatikan pengertian visi dan melalui pendekatan membangun visi bersama serta didasarkan pada karakteristik spesifik dan kondisi riil yang dimiliki oleh Kota Probolinggo, maka ditetapkan visi Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2009 yakni: “Terwujudnya Probolinggo Sebagai Tujuan Investasi yang Prospektif, Kondusif dan Partisipatif” 2. Rumusan visi ini didasarkan pada rumusan visi pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Probolinggo 2006 – 2025
2Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2009, Pemerintah Kota Probolinggo, Probolinggo, 2006.
73
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
yakni “Terwujudnya Masyarakat Kota Probolinggo Yang Aman, Demokratis, Adil dan Sejahtera”3. Setiap daerah harus memastikan agar visi yang telah ditetapkan bersama dapat diupayakan perwujudannya. Untuk kepentingan itu harus disusun suatu tahapan yang secara umum akan terbagi kedalam dua tahapan yakni apa yang hendak dicapai dan bagaimana upaya untuk mencapainya. Salah satu unsur dalam tahapan tersebut adalah penetapan misi daerah. Dalam rangka mewujudkan visi-nya maka ditetapkan misi Kota Probolinggo tahun 2006 – 2009 sebagaimana dalam box di bawah ini. Misi Kota Probolinggo 2006 - 2009: 1. Mewujudkan peningkatan penghayatan dan pengamalan nilainilai agama, peningkatan aksesi-bilitas serta kualitas pendidikan dan kesehatan; 2. Mewujudkan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, perbaikan iklim ketenagakerjaan, dan memacu kewirausahaan; 3. Mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan percepatan pembangunan infrastruktur; 4. Memantapkan perwujudan Kota Probolinggo Bestari (Bersih, Sehat, Tertib, Aman, Rapi dan Indah); 5. Mewujudkan penegakan supremasi hukum dan HAM; 6. Mewujudkan peningkatan peranserta masyarakat dalam pembangunan yang ramah lingkungan dan berkeadilan; 7. Meningkatkan pelayanan publik melalui optimalisasi profesionalisme birokrasi.
Arah Kebijakan Kota Probolinggo Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 11 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan 3 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 10 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2025 dan Lampirannya.
74
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2009, maka kebijakan pembangunan daerah diarahkan untuk: Agenda Mewujudkan Masyarakat Kota Probolinggo Yang Agamis, Rukun Dan Tenteram, yang akan diwujudkan dengan fokus pada: peningkatan kualitas kehidupan beragama, pengembangan kebudayaan yang berbasis nilai-nilai agama, peningkatan sikap tenggang rasa, peningkatan partisipasi masyarakat dalam menciptakan keamanan dan ketertiban serta bencana alam, peningkatan kualitas kesadaran masyarakat terhadap hukum dan hak asasi manusia. Agenda Mewujudkan Masyarakat Kota Probolinggo yang Sejahtera Seutuhnya, dengan focus pada: penanggulangan kemiskinan, pengangguran, pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi, peningkatan investasi, revitalisasi pembangunan pertanian, revitalisasi pembangunan kelautan dan perikanan, peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, pemberdayaan pemuda, perempuan dan olah raga, kependudukan, keluarga sejahtera dan kesejah-teraan sosial, pembangunan kepariwisataan, pemantapan penyelenggaraan tata pemerintahan kota, Agenda mewujudkan masyarakat kota Probolinggo yang cerdas dan terampil, dengan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat), pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembangunan daerah, Menciptakan kota Probolinggo yang berkualitas, dengan fokus pada pembangunan perumahan dan 75
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
permukiman, pembangunan tata ruang dan tata bangunan kota serta peningkatan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Program Inovasi 2004 – 2009 Program inovasi yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Probolinggo sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 merupakan rangkaian program kegiatan yang bersamaan dengan implementasi kebijakan publik pemerintah Kota Probolinggo pada beberapa bidang. Di antara program-program tersebut terdapat beberapa program inovasi yang masuk kategori pemenang dan nominee (nominator) dalam ajang Otonomi Awards yang digelar The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), antara lain: pemberdayaan ekonomi lokal, partisipasi publik, akuntabilitas publik, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi dasar dan pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa program inovasi yang lain juga memperoleh penghargaan pada beberapa kompetisi lain baik di tingkat nasional maupun provinsi (Jawa Timur). Pada tingkat nasional, Kota Probolinggo meraih penghargaan antara lain penghargaan di bidang Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP), penghargaan Piala Citra Bhakti Abdi Negara, penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN), Adipura, dan Swasti Sabha Padhapa untuk kesehatan. Pada tingkat regional (provinsi Jawa Timur), adalah penghargaan Otonomi Awards dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), dan penghargaan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur.
76
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) Inovasi pemerintah Kota Probolinggo di bidang manajemen perkotaan telah mengantar kota ini meraih penghargaan Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Penghargaan IMP itu, diterima langsung oleh Walikota Probolinggo HM. Buchori dari Mendagri Mardianto, di Hotel Golden Boutique, Jakarta pada Kamis, 23 Juli 2009. Dalam kesempatan itu Walikota Probolinggo HM. Buchori didampingi Kepala Bappeda Budi Krisyanto, DPKAD, Kepala BLH Endro Suroso, Dinas Kesehatan, Kabag Humas dan Protokol Rey Suwigtyo, Kepala Dinas PU Sanusi Sapuan, Pengawas PDAM, Kepala Bidang Data dan Litbang Aman Suryaman serta beberapa jajaran Muspida Pemerintah Kota Probolinggo. Inovasi Manajemen Perkotaan diberikan oleh Mendagri kepada kepala pemerintahan daerah yang mengembangkan berbagai inovasi manajemen dalam penyelenggaraan pemerintah, dan pengelolaan pembangunan perkotaan. Penilaian IMP dibagi menjadi empat bidang yaitu sanitasi, penataan ruang terbuka hijau, pemanfaatan ruang dan penataan kawasan kumuh di kawasan perkotaan. Dari empat bidang itu, Kota Probolinggo berhasil meraih dua bidang. Yaitu penghargaan IMP pada bidang penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada ranking I dan bidang Sanitasi Sub Bidang Pengelolaan Sampah Perkotaan pada ranking II. Pada bidang penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), setelah Kota Probolinggo adalah Kota Pontianak pada ranking II, dan Kota Bau Bau pada ranking III. Untuk bidang sanitasi dan sub bidang pengelolaan sampah, Kota Probolinggo mendapatkan ranking II, sedangkan ranking I diraih Kota Pekalongan, dan ranking 77
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
ke III diraih oleh Kota Padang. Dalam penilaian IMP, Kota Probolinggo mempresentasikan pusat pelayanan pengolahan sampah terpadu berbasis komunitas, program “Ayo Bersih Bersih Lingkungan� (ABBL), dan pengembangan energi alternatif ramah lingkungan. Walikota HM. Buchori mengaku bangga dengan penghargaan yang diterima kali ini, karena HM. Buchori merupakan satu-satunya kepala daerah yang mendapatkan penghargaan IMP. �Ini satu-satunya kepala daerah yang mendapat penghargaan IMP adalah Kota Probolinggo. Penghargaan itu membuktikan, Kota Probolinggo terus melakukan inovasi, dalam me-manage pemerintahan, dan pemerintah selalu membuat terobosan pembangunan�. Demikian pernyataan Walikota Buchori4.
Walikota Buchori juga mengaku sangat terharu dengan penghargaan tersebut. "Saya betul-betul sangat bangga dan terharu. Ini semua berkat dukungan dan kerja sama seluruh masyarakat Kota Probolinggo. Terimakasih banyak atas partisipasi masyarakat hingga Kota Probolinggo bisa meraih penghargaan di tingkat nasional," ungkap Walikota Buchori5.
Menurut HM Buchori, didapatkannya dua penghargaan tingkat nasional ini menjadi tantangan tersendiri untuk Kota Probolinggo. Supaya terus berbenah diri, semakin memberikan inovasi dalam segala bidang dengan dukungan dari masyarakat. Menurut Walikota Buchori, untuk rencana ke depan, Kota Probolinggo tidak akan punya lahan tanah yang menganggur. Lingkungan harus diperhatikan untuk anak cucu di masa depan. Ke depannya, Buchori juga ingin konsen dalam RTH di kota ini. Paling tidak, lanjutnya, lima tahun ke depan bukan hanya kecamatan yang punya taman. Kelurahan juga 4 5
Surabaya Pagi, 24 Juli 2009. Radar Bromo, 24 Juli 2009.
78
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
harus ada ruang terbuka hijau. Atas rencana tersebut, menurut Walikota Buchori, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Syamsul Arief Rivai sangat mengapresiasi. Inovasi Pelayanan Publik Pelayanan yang baik kepada masyarakat merupakan output dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintah Kota Probolinggo dinilai memiliki prestasi dalam hal pelayanan yang baik pada masyarakat. Hal ini terlihat dari diperolehnya penghargaan Piala Citra Bhakti Abdi Negara yang diterimanya dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan Piala Citra Bhakti Abdi Negara ini merupakan penghargaan atas prestasi pelayanan publik untuk kategori kabupaten/ kota, sebagaimana keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor: 2009/KEP M.PAN/12/2006 tentang Pemberian Penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara Kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Indonesia. Presiden RI menyerahkan Piala Citra Bhakti Abdi Negara kepada 27 pemerintahan kabupaten/ kota yang berhasil meningkatkan pelayanan publiknya pada tahun 2006, termasuk Pemerintah Kota Probolinggo pada Jumat, 22 Desember 2006 pukul 16.15 WIB di Istana Negara Jakarta. Penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara yakni untuk kategori kabupaten/ kota bersamaan dengan penyerahan penghargaan Citra Pelayanan Prima yakni untuk kategori unit pelayanan, diberikan pada hari Jum’at, 22 Desember 2006 sekitar pukul 4 sore di Istana Negara Jakarta. Diharapkan, mereka yang mendapat penghargaan karena dianggap berprestasi itu akan meningkatkan lagi prestasinya, terutama pelayanan pada masyarakat.
79
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Presiden SBY menyerahkan piagam Citra Pelopor Inovasi Pelayanan Prima kepada 11 orang, diantaranya, H. Imam Utomo (Gubenur Jawa Timur), H. Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo), H. Gamawan Fauzi (Gubernur Sumbar), Prof. Dr. Drg. I Gede Winasa (Bupati Jembrana), H. Untung Wiyono (Bupati Sragen), H. Win Hendrarso (Bupati Sidoarjo), Hj. Rina Iriana Sri (Bupati Karanganyar), H. Imdad Hamid (Walikota Balikpapan), H. Sofyan Hasdam (Walikota Bontang), dr. H. Jusuf (Walikota Tarakan), Kombes Pol. Djoko Susilo (Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya). Pada kesempatan itu diserahkan pula Piala Citra Bhakti Abdi Negara kepada para wakil dari 27 pemerintahan kabupaten/kota yang berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik pada tahun 2006, serta Piagam Penghargaan Citra Bhakti Abdi Negara 2006 kepada wakil dari 27 pemerintah Kabupaten/Kota, dan penyerahan penghargaan Citra Pelayanan Prima untuk wakil 82 unit kerja pelayanan publik. Acara penyerahan penghargaan tersebut dihadiri oleh beberapa menteri antara lain Mendagri Moh. Ma’ruf, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Menpan Taufik Effendi, Menteri Kelautan Freddy Numberi, Seskab Sudi Silalahi, Kapolri Sutanto, dan Jubir Presiden Andi Mallarangeng. Dalam sambutannya, Presiden SBY mengatakan bahwa rakyat Indonesia patut bersyukur karena Allah menganugerahkan Sumber Daya Alam yang tidak sedikit. "Dibandingkan negara lain, kita cukup kaya. Sumber daya alam ini adalah kapital, apabila dikelola dengan benar oleh pemerintahan yang benar dan baik, dan oleh manusiamanusia yang benar dan baik, tentu akan dapat mensejahterahkan rakyat dan akan dapat memakmurkan negara kita," kata Presiden. “Syarat utama agar SDA ini kita gunakan dengan baik, pertama yang bisa menggunakan adalah manusia-manusia yang berpendidikan. Pendidikan dalam arti luas. Dengan pendidikan yang baik, maka diperoleh human capital yang cerdas, cekatan, professional, berkemampuan dan
80
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
mentalnya baik,� tambahnya. "Setelah itu good governance. governance Kalau pemerintahannya amburadul, korupsi lain-lain, lain sebesar apapun sumber daya yang kita miliki tidak bergerak ke mana – mana. bahkan makin ke depan makin mak hilang. Jadi, solusi abad ke 21 yaitu pendidikan dan pemerintahan yang baik,� tambahnya.
n yang baik. Presiden menjelaskan arti pemerintahan Menurutnya, pemerintahan yang baik bukan hanya bermodalkan pemerintahan yang ng bersih, tetapi juga responsif terhadap permasalahan – permasalahan yang ada di dalam masyarakat. "Harus tanggap, tidak boleh masa bodoh, tidak boleh lalai. Di alam demokrasi dan keterbukaan yang rakyat bisa mengikuti, media massa bisa mengikuti, tentulah pemerintahan harus terbuka. Apa yang dilakukan dan diputuskan, termasuk penggunaan anggaran aran harus terbuka. Kalau semua dijalankan dengan bersih, demokratis dan responsif, maka semua itu dapat dipertanggung jawabkan. Untuk lebih berhasil lagi sebuah pemerintahan, maka diperlukan efesiensi, efektivitas ektivitas dan produktivitas yang tinggi serta kaya inovasi. Kalau semua ini dapat ditingkatkan, saya yakin sekompleks apapun permasalahan yang dihadapi kita akan dapat atasi,� jelas Presiden SBY.
Pemerintah Kota Probolinggo adalah salah satu di antara beberapa kota di Provinsi Jawa Timur yang dinilai sukses dalam melaksanakan pelayanan publik. Penilaian tersebut meliputi pelayanan sektor kesehatan, pendidikan, pelayanan perijinan, transportasi dan perhubungan.
81
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Profesionalisasi Aparat Birokrasi Sejak tahun 2007 pemerintah Kota Probolinggo menunjukkan kemajuan yang berarti di bidang peningkatan profesionalitas aparat birokrasinya. Profesionalitas aparat, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan keharusan bagi pemerintah daerah. Undang Undang ini menuntut daerah untuk lebih profesional dan lebih mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah. Pemerintah juga telah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Penataan Organisasi, untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam penataan kelembagaan organisasi perangkat daerah, sebagai satu sarana penunjang dalam mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Peningkatan profesionalitas aparat birokrasi pemerintahan, juga menjadi perhatian oleh Pemerintah Kota Probolinggo. Pemerintahan kota ini cukup serius berupaya memperbaiki kinerja pemerintahan dan aparatnya. Dalam ajang kompetisi Profesionalisme Award misalnya. Kota Probolinggo berhasil meraih penghargaan kategori “Terbaik� dalam kompetisi tersebut yang digelar pada tahun 2007. Kompetisi Profesionalisme Award tersebut digelar dengan tujuan untuk mengukur profesionalitas lembaga atau aparatur. Profesionalitas aparatur harus didukung dengan aparat yang berpendidikan memadai, mempunyai keterampilan, bermoral baik dan netral. Seorang aparatur harus mempunyai etos kerja yang bermutu, aktivitas tinggi, tekun, tabah dan loyal pada profesi. Aparatur melayani 82
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
masyarakat dengan baik, mampu memecahkan masalah yang sulit di masyarakat serta punya minat, kesetiaan dan kecintaan bekerja yang tinggi. Yang paling penting, bagaimana menciptakan SDM aparatur yang profesional dan di bidang kelembagaan dengan menerapkan apkan good governance. Adapun obyek penilaian Profesionalisme esionalisme Award yang meliputi aspek kebijakan peningkatan eningkatan profesionalitas aparat, aspek pembinaan embinaan SDM aparatur dan aspek kelembagaan, tatalaksana dan kinerja. inerja.
Walikota Probolinggo H.M. Buchori (tengah) memegang piala Profesionalisme Awards (Foto: Doc.Pemkot Probolinggo)
83
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Otonomi Awards – JPIP Satu lagi jenis kompetisi inovasi pemerintah daerah di era otonomi ini yang digelar oleh Jawa Pos, sebuah korporasi media massa cetak nasional yang cukup terkenal terutama di daerah Jawa Timur. Jawa Pos, melalui organnya The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) setiap tahun menggelar kompetisi inovasi pemerintah daerah dalam beberapa parameter dan indikator. Walaupun nama organ Jawa Pos ini tampak sedikit aneh dan tidak konsisten dalam penggunaan istilah dan kata dalam tata bahasanya, tetapi ajang kompetisi inovasi yang digelarnya cukup menyemangati dan menginspirasi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi. Inovasi, menurut konsepsi JPIP diartikan sebagai kombinasi antara kreativitas dan dan kecerdasan untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi daerah. Pada saat yang sama terobosan merupakan upaya untuk memanfaatkan keunggulan demi kemajuan daerah. Maka, inovasi adalah upaya cerdas untuk keluar dari kebuntuan akibat permasalahan yang dihadapi daerah dan masyarakatnya serta kecerdasan dan kreatifitas untuk memanfaatkan keunggulan dan potensi masyarakat dan daerah. Upaya-upaya tersebut ditujukan guna mencapai kemajuan daerah6. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan JPIP dari hasil review terhadap 94 inovasi yang sesuai dengan kriteria JPIP pada tahun 2007, maka dapat disarikan bahwa terdapat berbagai alasan atau penyebab suatu daerah harus berinovasi. Penyebab paling dominan yang melatarbelakangi munculnya inovasi adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang ada di daerah (28,3%), kemudian karena kegagalan internal (18,3%),
6
The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, JPIP, hand-out, 2009.
84
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
transfer kebijakan provinsi/ nasional (15,1%). Yang menarik, visi misi kepala daerah dan aspirasi masyarakat menduduki persentase rendah sebagai pemicu inovasi yakni 2,1% untuk visi misi kepala daerah dan 4,3% untuk aspirasi masyarakat. Selanjutnya lihat Tabel 3.1 berikut ini. Tabel 3.1. Alasan Daerah Berinovasi LATAR BELAKANG
PERSENTASE
Masalah di daerah Krisis/kegagalan internal Kesempatan baru Kepemimpinan baru Transfer atas kebijakan propinsi/nasional Organisasi internasional Visi dan misi kepala daerah Aspirasi masyarakat Pengalaman masa lalu Potensi lokal Pelajaran negatif (daerah lain) Proliferasi inovasi Sukses sebelumnya Sumber: The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), 2009.
28,3 18,3 3,2 5,4 15,1 3,2 2,1 4,3 2,1 10,7 1,1 2,1 2,1
Sebagai program terobosan dan baru, dalam praktiknya inovasi tidak serta merta selalu akan mulus, hidup subur dan berkelanjutan. Ada beberapa faktor yang turut menentukan keberhasilan program inovasi daerah. Dari studi JPIP, komitmen kepala daerah menduduki peringkat tertinggi (26,1%) sebagai faktor determinan inovasi. Tampak sekali, bahwa dalam inovasi dibutuhkan leadership yang pro-kemajuan dari kepala daerah. Kondisi ini berkaitan dengan kepala daerah sebagai pengambil kebijakan utama. Hal yang menarik, visi-misi kepala daerah bukan penyebab dominan munculnya program inovasi (lihat Tabel 3.1) tetapi menjadi penguat
85
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kelanggengan program inovasi (lihat Tabel 3.2). Ini berarti, walaupun visi misi mungkin tidak terlalu menjadi penyebab kemunculan inovasi, tetapi tetap dibutuhkan komitmen kepala daerah untuk melanggengkan inovasi. Dengan kekuatan politiknya yang kuat ditopang komitmen yang kuat juga, daerah akan lebih berpeluang untuk inovatif dan kreatif. Sedangkan ketersediaan anggaran, malah menduduki peringkat terendah sebagai faktor penentu inovasi. Lihat Tabel 3.2 berikut ini. Tabel 3.2. Faktor Determinan Atas Inovasi FAKTOR DETERMINAN
PERSENTASE
Komitmen Kepala Daerah
26,1
Kepastian hukum
4,3
Kapasitas teknis dan Moral SDM
8,6
Sinergi antar SKPD
8,6
Insentif
4,3
Transparansi
4,3
Kepekaan masyarakat
4,3
Sosialisasi
4,3
Komitmen bersama
4,3
Komitmen DPRD
8,6
Keterlibatan masyarakat
8,6
Ketepatan Desain Program
4,3
4,3 Ketersediaan Anggaran Sumber: The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), 2009.
Pengukuran inovasi, adalah penilaian seberapa jauh kebebasan yang dimiliki daerah mampu mendorong munculnya program, kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas dan genuine, dalam menyiasati setiap bentuk keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan yang dimiliki daerah. Menurut versi JPIP, ada
86
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
4 kriteria inovasi yaitu: Inovasi Kreatif (Creative), Inovasi Strategis (Strategic), Inovasi Produktif (Productive), dan Inovasi Berkelanjutan (Sustainable). Inovasi Kreatif, adalah program atau kebijakan inovatif yang meski belum menunjukkan praktik positif di lapangan, cerdas dari segi gagasan dan berpotensi untuk menghasilkan efek jangka pendek positif. Inovasi Strategis, adalah program atau kebijakan inovatif yang cerdas dari segi gagasan, berpotensi menghasilkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang yang positif tapi belum cukup bukti implementatif di lapangan. Inovasi Produktif adalah program atau kebijakan inovatif yang cerdas dari segi gagasan, berpotensi menghasilkan dampak jangka pendek yang positif, terbukti implementatif di lapangan, namun belum cukup meyakinkan untuk jangka panjang. Inovasi Berkelanjutan adalah program atau kebijakan inovatif yang tidak hanya cerdas dari segi gagasan, berpotensi positif dalam efek jangka pendek maupun jangka panjang, juga terbukti implementatif di lapangan. Program inovasi yang telah dijalankan dalam waktu yang relatif lama dapat terus dipelihara dan dikembangbiakkan (proliferasi inovasi). Pengembangbiakan inovasi ini dapat melalui ekstensifikasi, diferensiasi, diseminasi dan developmentasi program. Ekstensifikasi, untuk program inovasi baru dalam program yang sama. Diferensiasi, adalah inovasi program lain yang berbeda. Diseminasi adalah efek menular dan efek berganda bagi wilayah lain. Sedangkan developmentasi adalah peningkatan kualitas terobosan pada inovasi yang ada7. Logika pengukuran inovasi kompetitif versi JPIP didasarkan konsep otonomi daerah secara umum bahwa otonomi daerah merupakan suatu instrumen untuk
7
Wawan Sobari, peneliti The Jawa Pos Intitute of Pro-Otonomi, 2009.
87
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
menciptakan dampak pembangunan manusia yang lebih baik dan kemajuan daerah. Dampak pembangunan manusia dapat diketahui atau diukur melalui survei publik dan pengukuran kondisi umum (existing condition) daerah. Sedangkan kemajuan daerah diukur melalui hasil intensive field research dengan kriteria inovasi. Indikasi kemajuan daerah yang diukur adalah berkenaan dengan upaya daerah untuk mendorong human outcome atas implementasi otonomi daerah. Innovative governance tertuang dalam lima parameter utama JPIP yang merepresentasikan kemajuan daerah. Kategori kompetisi di JPIP disebut parameter dan indikator. Pada tahun 2009, ada 3 parameter utama yakni: kemajuan kehidupan ekonomi, peningkatan pelayanan publik, dan perbaikan performa politik lokal. Parameter khusus terdiri dari 3 parameter yakni: pengelolaan lingkungan hidup, sanitasi dan pengentasan kemiskinan. Parameter utama terdiri dari beberapa indikator. Parameter ekonomi (economic development) dibagi menjadi 3 indikator yaitu: pertumbuhan ekonomi, distribusi ekonomi dan pemberdayaan ekonomi lokal. Parameter pelayanan publik dibagi menjadi 3 indikator yaitu: pendidikan, kesehatan dan pelayanan administrasi dasar. Sedangkan parameter performa politik dibagi menjadi 3 indikator yaitu: partisipasi, akuntabilitasi publik dan kinerja DPRD. Pada tahun 2009, JPIP memberikan 12 penghargaan khusus (special indicator), 3 penghargaan utama yaitu yang didasarkan pada 3 parameter utama dan 1 penghargaan unik, yang didasarkan pada hasil temuan dan setiap tahun belum tentu ada8.
8
Wawancara dengan peneliti JPIP, Hariatni Novitasari pada 4 September 2009.
88
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Penghargaan pada kompetisi ala JPIP ini lazim disebut Otonomi Awards. Untuk menentukan ranking dalam ajang kompetisi Otonomi Awards ini, JPIP melakukan riset pada masing-masing indikator yang merupakan gabungan antara hasil survei publik, nilai inovasi dan nilai data/ kondisi faktual terkini (existing condition). Dengan adanya Otonomi Awards yang digelar JPIP ini, pemerintah kabupaten/ kota di Jawa Timur berkesempatan untuk berunjuk karya dalam hal inovasi penyelenggaraan pemerintahannya. Dan tentu saja, sebelumnya mereka harus melakukan berbagai program inovasi dalam pemerintahan, dengan demikian pemerintah kabupaten/ kota senantiasa terpacu untuk melakukan inovasi-inovasi. Bentuk-bentuk inovasi yang dibuat oleh kabupaten/ kota peraih Otonomi Awards, dipublikasikan oleh JPIP di Harian Jawa Pos pada kolom “pro-otonomi�. Parameter Pengembangan Ekonomi Pada parameter pengembangan ekonomi (economic development) terdapat tiga indikator yang dinilai. Ketiga indikator itu adalah pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, dan pengembangan ekonomi lokal. Ranking tiga indikator ini merupakan akumulasi dari tiga komponen penilaian, yaitu berdasarkan analisis dokumen daerah, persepsi publik, dan tingkat inovasi yang dibuat oleh daerah. Satu kontribusi JPIP dalam hal pengukuran pertumbuhan ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten/ kota untuk mengevaluasi perkembangan programnya adalah penilaian Otonomi Awards pada indikator pertumbuhan ekonomi. Masyarakat umum mempersepsi bahwa maju tidaknya suatu daerah dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi angka persentase pertumbuhan ekonomi semakin maju pula suatu daerah. Dalam 89
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
perspektif JPIP, jika pertumbuhan ekonomi yang seperti ini yang diukur, maka daerah-daerah non-perkotaan akan terus tertinggal dengan daerah bertipologi perkotaan. Karena itu, JPIP lebih memusatkan perhatian pada capaian kemajuan dari tahun ke tahun. Naik-turunnya angka pertumbuhan ekonomi daerah ini juga dikombinasikan dengan tingkat kemajuan rasio PDRB perkapita, tingkat pengangguran terbuka, dan naik turunnya indeks pembangunan manusia (IPM). Data-data pendukung dari variabel-variabel di atas lebih banyak memanfaatkan data resmi yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Jawa Timur. Pada versi JPIP, inovasi daerah tetap menjadi kata kunci dalam menentukan pemenang Otonomi Award, baik pada parameter utama maupun parameter khusus dan untuk beberapa indikator termasuk special category. Menurut JPIP dalam pengalamannya menyelenggarakan penilaian inovasi pemerintah kabupaten/ kota sejak tahun 2005, kelemahan terbesar para nominee (peserta nominasi) hampir semuanya sama, yaitu pada tingkat inovasi. Sebagai contoh, kabupaten Pasuruan, misalnya, meskipun persepsi masyarakat daerah yang terekam dalam survei publik mengakui terdapatnya peningkatan dalam hal pertumbuhan ekonomi di daerahnya, namun pemerintah daerah tidak mempunyai inovasi yang bisa dibanggakan dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, jika dibandingkan dengan nominee yang lain, poin nilai inovasi kabupaten ini relatif paling kecil. Kalah, misalnya, dengan inovasi Kabupaten Lamongan dengan wisata bahari dan Lamongan Integrated Shorebase-nya, Kabupaten Jember dengan kemitraan antara petani dan PT Philip Morris. Juga kalah dengan Kabupaten Magetan dengan upayanya untuk memudahkan akses transportasi dengan Provinsi Jawa Tengah. 90
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Sedangkan kelemahan terbesar untuk daerahdaerah yang menduduki ranking juru kunci adalah karena miskinnya inovasi yang dibuat. Pemerintah daerah yang belum mempunyai inovasi yang signifikan dalam indikator pertumbuhan ekonomi ini, antara lain, Kabupaten Bojonegoro, Kota Kediri, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Sampang, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, dan Kota Mojokerto9. Pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi dengan pemerataan ekonomi hanya akan menimbulkan ketimpangan sosial. Karena itu, dalam ranking kinerja otonomi, The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) juga mengukur aspek pemerataan ekonomi. Data-data seperti angka kemiskinan dan tingkat daya beli masyarakat menjadi bahan pertimbangan yang menyumbang nilai. Dalam istilah JPIP, angka-angka tadi disebut dengan existing condition. Selain itu, persepsi masyarakat tentang efektif tidaknya program pemerataan ekonomi yang dijalankan pemerintah daerah turut menyumbang nilai. Sebab, masyarakatlah yang paling merasakan programprogram tersebut. Inovasi kebijakan/program yang dibuat pemerintah daerah juga turut menyumbang poin nilai. Tentang persepsi publik, penilaian JPIP sejak 2005 menyatakan bahwa kabupaten Jombang menduduki poin tertinggi, kemudian disusul Kabupaten Jombang, Kabupaten Bondowoso, Kota Pasuruan, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Tuban. Sedangkan lima daerah yang menempati ranking terendah adalah Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kota Batu, dan Kabupaten Kediri. Kabupaten Jombang dengan ranking teratas, berhasil mendapat total 3.141 poin. Dalam survei publik yang diadakan JPIP, sebagian
9
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=174522.
91
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
besar masyarakat Jombang mengakui pemerintah daerah sangat concern dengan upaya-upaya pemerataan pembangunan, terutama untuk daerah-daerah pedesaan. Karena itu, persepsi masyarakat tersebut menyumbangkan poin terbesar dibandingkan dengan dua komponen nilai lain, yaitu data existing condition dan tingkat inovasi. Dari tingkat inovasi yang dibuat, sebenarnya antara Kabupaten Jombang, Kabupaten Bondowoso, Kota Pasuruan, dan Kabupaten Tuban relatif sama. Mereka hanya terpaut belasan poin. Jombang mempunyai inovasi dalam hal pipanisasi air bersih untuk daerah terpencil. Bondowoso berinovasi dengan memecah konsentrasi pertumbuhan ekonomi di tingkat kecamatan. Kota Pasuruan dengan pemberdayaan ekonomi masyrakat pesisir. Tuban dengan pembangunan jalan poros desa yang disertai inovasi dana alokasi umum (DAU) untuk desa. Namun, dari segi persepsi publik, Kabupaten Jombang lebih unggul daripada daerah lain. Karena itu, dalam Otonomi Award 2005, Jombang berhasil meraih Otonomi Award kategori pemerataan ekonomi. Nomineenya ditempati Kabupaten Bondowoso, Kota Pasuruan, dan Kabupaten Tuban. Mengapa Situbondo tidak masuk nominasi Otonomi Award 2005, padahal daerah itu masuk lima besar ranking teratas? Kabupaten di daerah tapal kuda tersebut tidak masuk bursa nominee karena dalam pengamatan JPIP, daerah itu belum mempunyai inovasi yang layak disandingkan dengan daerah lain. Meskipun, poin existing condition dan persepsi publik relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Atas pertimbangan itulah, Kabupaten Situbondo belum bisa masuk bursa nominee Otonomi Award 2005. Itu tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Situbondo untuk segera membuat inovasi program pemerataan ekonomi agar bisa masuk dalam bursa nominee Otonomi 92
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Award pada tahun depannya. Sebab, dua komponen nilai lain tergolong relatif tinggi. Dalam catatan JPIP, selain Situbondo, beberapa daerah juga belum mempunyai inovasi pemerataan ekonomi yang bisa dibanggakan. Daerah-daerah itu, antara lain, Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Madiun, Kota Probolinggo, Kota Kediri, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Pasuruan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi tidak selamanya bergantung pada aspek-aspek makroekonomi yang bersifat nasional. Upaya-upaya pemerintah daerah untuk memberdayakan potensi lokal dan kemampuannya membaca sumber daya ekonomi lokal juga patut diperhitungkan. Bentuk perhatian pemerintah daerah untuk pengembangan ekonomi lokal itu biasanya diwujudkan dalam bentuk komitmen anggaran untuk sektor ekonomi lemah, UKM, pemberdayaan lembaga ekonomi lokal, dan sebagainya. Data-data tersebut bisa diketahui dengan rinci dalam APBD kabupaten/kota. Data-data itulah yang kemudian diolah, dicari rasio dan komposisinya oleh JPIP untuk menghasilkan poin nilai pada komponen existing condition. Selanjutnya, masyarakat daerah dimintai pendapat tentang upaya-upaya pemberdayaan ekonomi lokal yang dilakukan pemerintah daerah. Pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat tersebut tidak saja mengenai ide dan konsep pemberdayaan ekonomi yang dijalankan pemerintah daerah, namun juga implementasi, keberlanjutannya, serta dampak yang bisa dirasakan masyarakat. Sama seperti dua indikator lain, dalam indikator pengembangan ekonomi lokal, tingkat inovasi yang dibuat pemerintah daerah mendapatkan nilai tersendiri. Pada beberapa daerah, poin inovasi itu
93
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
memberi kontribusi nilai cukup signifikan bagi kemenangan daerah dalam Otonomi Award 2005. Seperti yang terjadi dengan Kabupaten Ngawi. Kabupaten yang berbatasan darat dengan Jawa Tengah itu berada di ranking teratas dalam hal pengembangan ekonomi lokal. Total poin nilai yang dikumpulkan Ngawi 3.362 poin. Poin kemenangan terbesar daerah itu dalam Otonomi Award 2005 disumbang oleh komponen tingkat inovasi yang dibuat. Daerah yang sering dijuluki sebagai “Kota Pensiun� tersebut berhasil mengembangkan lembaga-lembaga ekonomi lokal, seperti BPR, koperasi, kelompok tani, dan badan usaha milik desa (BUMIDES). Salah satu bentuk perhatian itu adalah memberikan pinjaman modal usaha dengan bunga 6% per tahun. Hal tersebut merupakan upaya sistematis pemkab untuk memberantas rentenir yang telanjur akrab dengan masyarakat yang terkenal dengan sistem “rolasan�. Tidak secara otomatis, daerah-daerah dengan ranking teratas masuk bursa nominee Otonomi Award 2005. Komponen nilai inovasi tetap menjadi penentu masuk tidaknya daerah dalam bursa nominasi. Itu terjadi pada Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Bondowoso. Total poin nilai yang dikumpulkan daerahdaerah tersebut masuk dalam lima besar ranking teratas. Namun sayang, daerah-daerah itu tergolong miskin inovasi sehingga masih kalah inovatif dengan Kabupaten Lamongan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Pamekasan. Daerah-daerah inilah yang kemudian menjadi nominee untuk kategori Daerah Dengan Terobosan Inovatif Pada Pengembangan Ekonomi Lokal Otonomi Award 2005. Nah, bagi Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Bondowoso, hal itu merupakan tantangan yang harus dijawab segera agar bisa masuk bursa nominasi Otonomi Award pada tahun berikutnya, sebab ketiga 94
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
daerah tersebut hanya kalah dalam hal nilai inovasi. Daerah-daerah yang masih berada di ranking bawah harus bekerja lebih keras untuk menaikkan angka-angka indikator ekonomi, meyakinkan masyarakat tentang efektivitas program/ kebijakan yang dijalankan, dan tentu saja harus lebih kreatif membuat inovasi-inovasi pengembangan ekonomi10. Parameter Pelayanan Publik Pengukuran kinerja pelayanan publik versi The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) dalam ajang Otonomi Awards cukup menarik untuk disimak dan diambil sebagai referensi untuk bertindak. Untuk kategori pelayanan publik pada Otonomi Awards 2005, JPIP memaparkan ranking daerah pada parameter pelayanan publik. Parameter pelayanan publik ini terbagi menjadi tiga indikator: kesehatan, pendidikan, dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah. Daerah diberi kewenangan dalam hal perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan program-program strategis sektor kesehatan. Namun, patut disayangkan meski merupakan sektor strategis, beberapa daerah masih belum mempunyai terobosan yang signifikan dalam mengembangkan layanan kesehatan. Masih banyak daerah yang belum mempunyai terobosan program yang signifikan dalam pelayanan kesehatan itu antara lain Kabupaten Pacitan, Kota Madiun, Kabupaten Blitar, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Tuban, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Pasuruan. Karena itu, dalam struktur ranking Otonomi Award, daerah-daerah ini masuk dalam
10
Jawa Pos, Pro-Otonomi, 20 Juni 2005.
95
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kelompok ranking terbawah. Dari tiga komponen penilaian existing condition, persepsi publik, dan inovasi Sembilan daerah ini hanya meraih dua komponen saja, yaitu existing condition dan persepsi publik. Sedangkan nilai inovasi tidak ada sama sekali. Ini yang menjadikan sembilan daerah ini kalah dengan daerah lainnya. Sebagai contoh Kabupaten Blitar. Kabupaten ini menawarkan program layanan kesehatan seperti perbaikan pelayanan kesehatan, pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi, pelayanan kesehatan rujukan, layanan farmasi yang telah berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM). Kabupaten Blitar juga telah meningkatkan RS Ngudiwaluyo menjadi tipe B. Namun, program-program ini ternyata kalah inovatif dengan Kota Surabaya dengan Puskesmas sore harinya, Kabupaten Mojokerto dengan dokter spesialis kandungan yang keliling desa, Kabupaten Malang dengan puskesmas ideal dan puskesmas reproduksi, serta Kabupaten Sidoarjo dengan asuransi jaminan kesehatan hasil modifikasi JPKM (Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat). Inovasi-inovasi inilah yang mengantarkan empat daerah yang disebut terakhir menjadi nominee Otonomi Award 2005. Poin tertinggi untuk indikator pelayanan kesehatan ini diraih oleh Kabupaten Sidoarjo dengan total nilai 3.564, disusul oleh Kabupaten Malang (3.080), Kabupaten Mojokerto (2.889), dan Kota Surabaya (2.885). Cepat atau lambat, ketidakseriusan pemerintah daerah dalam meningkatkan layanan kesehatan akan berdampak negatif pada masa depan otonomi daerah. Merebaknya kasus busung lapar yang disertai meluasnya kasus rawan gizi di beberapa daerah membuat pemerintah pusat memikirkan kembali untuk meresentralisasi pelayanan kesehatan. Jika pikiran ini jadi direalisasikan, tentu saja ini merupakan kemunduran dalam pelaksanaan otonomi daerah. 96
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Tabel 3.3 Indikator Peningkatan Pelayanan Publik Indikator Pelayanan Pendidikan Pelayanan Kesehatan
•
Isu Strategis (Possible Practices) Efisiensi (Murah, mudah, berkualitas)
•
Responsifitas (kesesuaian input, output, outcome pelayanan publik dengan kebutuhan masyarakat dan aturan yang berlaku)
•
Kesetaraan/ equity (kesetaraan penggunaan, akses, dampak , dan penyebaran pelayanan dan keberpihakan warga miskin)
•
Transparansi dan partisipasi pelayanan publik (penggunaan cara-cara partisipatif, penganggaran partisipatif dan perubahan /transformasi masyarakat)
Pelayanan Administrasi
Sumber: The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), 2009.
Indikator Pelayanan Pendidikan Sama dengan pelayanan kesehatan, pendidikan merupakan sektor strategis yang menentukan terciptanya SDM yang berkualitas. Pendidikan juga merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya bisa jadi tidak kasat mata (monumental). Untuk me-ranking pelayanan pendidikan 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, pada Otonomi Awards tahun 2005 JPIP menggunakan tiga komponen penilaian, yaitu existing condition, persepsi publik, dan tingkat inovasi. Existing condition merujuk pada rasio jumlah murid dengan jumlah sekolah, rasio jumlah murid dengan guru, rasio anggaran pendidikan dengan total APBD, rasio anggaran pendidikan dengan jumlah murid, dan indeks pendidikan yang dikeluarkan oleh BPS. Persepsi publik diketahui dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden terpilih. Para responden yang well informed ini dimintai pendapatnya 97
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
tentang kualitas pelayanan dan kinerja pemerintah daerah dalam bidang pendidikan selama otonomi daerah berlangsung. Sedangkan nilai inovasi diperoleh dengan melihat terobosan program yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk memajukan sektor pendidikan di daerah. Dari tiga komponen nilai tersebut, Kabupaten Jombang, Kota Malang, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto berhasil menduduki kelompok nilai teratas. Poin tertinggi diraih oleh Kabupaten Jombang yang berhasil mengakumulasikan nilai 3.509. Disusul oleh Kota Malang (3.478), Kabupaten Pasuruan (3.325), dan Kabupaten Mojokerto (3.140). Daerah-daerah ini berhasil memperoleh nilai tertinggi salah satunya karena mereka berhasil membuat terobosan program. Kabupaten Jombang dengan pemberdayaan Dewan Pendidikan Kabupaten. Untuk menyerap aspirasi dan menjawab keluhan masyarakat di bidang pendidikan, Pemkab memberikan dukungan dana operasional kepada Dewan Pendidikan untuk melaksanakan dialog publik setiap Senin di Radio Suara Jombang FM. Program interaktif ini menjadi media komunikasi dan informasi yang efektif antara mereka dengan masyarakat. Berikutnya, Kota Malang dengan transparansi APBS (Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah), Kelas Khusus, SKB dan PSB Online. Kabupaten Pasuruan berinovasi dengan memberikan insentif kelebihan jam mengajar (lebih dari 18 jam seminggu) sebesar Rp 5.000/jam untuk guru SMP dan Rp 6000 untuk guru SMA. Pemkab juga menggelar uji kompetensi guru yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Sedangkan kabupaten Mojokerto mengandalkan Perda Pendidikan. Perda Nomor 16 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan di Kabupaten Mojokerto memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) bagi seluruh satuan pendidikan yang ada di 98
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
wilayah Kabupaten Mojokerto. Perda tersebut memberi ruang yang sama kepada sekolah berbasis agama dan non-agama. Salah satunya diwujudkan dengan pembentukan Sub Dinas RABATA dan TK/SD. RABATA adalah singkatan dari Raudhatul Athfal (RA), Busthanul Athfal (BA) dan Tuhfatul Athfal (TA), yakni varian nama pendidikan prasekolah yang berafiliasi kepada ormasormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Pada indikator pelayanan pendidikan ini, posisi juru kunci dipegang oleh Kabupaten Kediri yang hanya mengumpulkan poin nilai 1.145. Untuk tingkat inovasi pada Otonomi Awards 2005 ini, masih ada 10 daerah yang belum mempunyai program inovatif untuk peningkatan pelayanan pendidikan. Kesepuluh daerah itu adalah Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Madiun, kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Madiun, Kota Surabaya, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Kediri11. Pada umumnya daerah terlihat kurang serius mengembangkan sektor pendidikan. Hal ini karena masih banyak elite daerah yang berpikir sektor pendidikan bukanlah sektor yang populer. Artinya, dampak sektor pendidikan tidak bisa langsung dirasakan dalam jangka waktu singkat. Peningkatan layanan pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya bisa jadi tidak kasat mata. Hasil akhir dari perbaikan layanan pendidikan adalah terciptanya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dan, ini tidak bisa dicapai dalam waktu 1-2 tahun. Bisa jadi hasilnya baru bisa dirasakan dalam kurun waktu 10 tahun. Karena itu, kebanyakan
11
Jawa Pos, Pro-Otonomi, 28 Juni 2005.
99
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
elite pemerintah daerah belum menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas pembangunan daerah. Indikator Pelayanan Administrasi Berbeda dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan, layanan administrasi merupakan jenis pelayanan publik yang langsung bisa dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Layanan administrasi yang dimaksud antara lain perijinan, KTP, akta kelahiran, kartu keluarga, dan surat-surat adminsitrasi kependudukan yang lain. Ranking indikator pelayanan administrasi ini juga diperoleh setelah mengakumulasikan tiga komponen nilai. Yaitu, existing condition, persepsi publik, dan tingkat inovasi. Tiga komponen nilai harus terpenuhi untuk bisa masuk dalam bursa nominee. Komponen existing condition diperoleh dari indeks nilai rasio anggaran pelayanan publik dengan total APBD dan rasio anggaran pelayanan publik dengan jumlah penduduk. Komponen nilai persepsi publik diperoleh dengan mengolah hasil survei publik yang diadakan antara bulan Desember 2004 sampai dengan Februari 2005. Responden terpilih yang well informed memberikan penilaiannya tentang kualitas pelayanan, terobosan program, dan kinerja pemerintah daerah dalam memberikan layanan administrasi kepada masyarakat daerah. Layanan administrasi merupakan bentuk layanan publik yang kasat mata. Sehingga, apa yang menjadi penilaian publik ini merupakan jawaban paling otentik tentang kondisi layanan administrasi yang diberikan pemerintah daerah. Pada indikator ini, ranking teratas diduduki oleh Kabupaten Sidoarjo. Total nilai yang dikumpulkan kabupaten ini sebesar 3.495 poin. Sumbangan terbesar diberikan oleh komponen persepsi publik yang nilainya mencapai 1.715. Berikutnya nilai inovasi (1.168), dan existing condition (610). Persepsi 100
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
publik yang tinggi ini didukung oleh inovasi yang dibuat oleh kabupaten terkecil di Jawa Timur ini. Pemkab membuat inovasi dengan membentuk Dinas Perijinan dan Penanaman Modal (DPPM). Saat ini, Pemkab sedang menjajaki kerjasama dengan BCA untuk pembayaran biaya perijinan. MoU dengan BCA sedang dalam proses pembahasan. Pada tahun 2004, ada penambahan 6 jenis perijinan yang dapat diproses melalui DPPM (dari 8 jenis menjadi 14 jenis perijinan). Sosialisasi DPPM terus dilakukan melalui leaflet, brosur, CD interaktif dan profil dinas dengan anggaran Rp 150 juta. Sosialisasi juga tetap dilakukan dengan mengundang Forum UKM, perangkat desa dan kecamatan. Posisi teratas berikutnya, secara berurutan diduduki oleh Kota Blitar, Kota Surabaya, dan Kabupaten Mojokerto. Ketiga daerah ini menduduki kelompok peringkat teratas karena terdongkrak oleh perolehan nilai terobosan program atau inovasi yang dibuat. Kota Blitar dengan menyatukan perijinan dalam satu sistem manajemen. Kota Surabaya dengan pelayanan surat-menyurat di luar jam kerja sampai dengan malam hari di 10 kecamatan. Sedangkan Kabupaten Mojokerto mengunggulkan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang mengurusi 8 jenis ijin, yaitu: Ijin HO, IMB, Ijin Usaha Industri, Ijin Prinsip, SIUP, Tanda Daftar Perusahaan, Tanda Daftar Industri/Usaha, dan Ijin Lokasi. Pada indikator layanan administrasi, ada 12 daaerah yang masih belum mempunyai terobosan program yang layak untuk dicatat. Keduabelas daerah itu adalah Kabupaten Lumajang, Kota Probolinggo, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Jember, Kabupaten Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Pacitan. Daerah-daerah ini, dari tiga komponen nilai yang dilombakan dalam 101
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Otonomi Award, hanya mengumpulkan dua komponen nilai saja, yaitu nilai existing condition dan persepsi publik. Sehingga pada Otonomi Award 2005 belum bisa masuk dalam bursa nominee12. Parameter Lingkungan Hidup Tidak hanya parameter pengembangan ekonomi, inovasi pada parameter lingkungan hidup rupanya juga tidak kalah dengan parameter lainnya. Parameter lingkungan hidup menduduki peringkat kedua untuk temuan inovasi Otonomi Awards 2008. Peringkat pertama diduduki parameter pelayanan publik yang memiliki 224 inovasi. Hasil temuan tim peneliti JPIP di lapangan menunjukkan, sebanyak 15 daerah di Jawa Timur (Jatim) bersaing ketat dalam inovasi. Pada tahun 2007, terdapat 17 kabupaten/kota bersaing untuk menduduki peringkat tertinggi. Meski terjadi penurunan jumlah daerah yang berinovasi, justru ada variasi program yang dibuat daerah. Masing-masing daerah berinovasi lebih dari satu. Bahkan, satu daerah di Jatim memiliki program lingkungan hidup lebih dari 10. Ada tiga catatan dalam temuan parameter lingkungan hidup. Pertama, penanganan masalah lingkungan hidup masih parsial. Di satu kabupaten/kota, penanganan lingkungan hidup dilakukan beberapa instansi. Misalnya, satuan kerja lingkungan hidup, pertanian, perkebunan, dan kehutanan, bahkan ada juga yang ditangani pekerjaan umum. Belum ada kesatuan penanganan lingkungan di daerah. Kedua, perbedaan fokus program kerja antara kabupaten dan kota. Untuk kabupaten, program kerja lebih ditekankan pada konservasi sumber mata air dan revitalisasi lahan kritis.
12
Jawa Pos, Pro-Otonomi, 28 Juni 2005.
102
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Sedangkan untuk kota, masih banyak bergelut untuk mengatasi sampah dan penciptaan ruang terbuka hijau (RTH). Perbedaan focus pengelolaan lingkungan hidup disebabkan masalah yang dihadapi kabupaten dan kota tidak sama. Ketiga, anggaran lingkungan hidup daerah masih di bawah satu persen. Rata-rata alokasi dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah 0,03 persen. Dalam Otonomi Awards 2008, Kabupaten Probolinggo menjadi daerah dengan persentase anggaran lingkungan hidup tertinggi. Kabupaten di kawasan tapal kuda itu mengalokasikan 0,13 persen dari total belanja langsung, atau Rp 43,7 miliar. Peringkat kedua sampai kelima ditempati Kabupaten Nganjuk (0,12 persen); Kabupaten Trenggalek (0,11 persen); Kabupaten Sidoarjo (0,09 persen); dan Kota Probolinggo (0,07 persen). Nominal anggaran terbesar dialokasikan Kota Surabaya yakni sebesar Rp 114,9 miliar. Kabupaten Tuban berada di posisi juru kunci dengan alokasi anggaran Rp 1,6 miliar di antara jumlah belanja langsung APBD Rp 320 miliar. Disusul Kabupaten Sampang, Kabupaten Ngawi, Bangkalan, dan Kabupaten Tulungagung. Anggaran lingkungan hidup biasanya dialokasikan untuk pengelolaan sampah, konservasi lahan kritis, pembuatan energi alternatif, pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), atau pembangunan infrastruktur yang mendukung lingkungan hidup seperti gorong-gorong dan saluran drainase. Karena nomenklatur di daerah yang tidak sama, anggaran lingkungan hidup tersebar di berbagai institusi. Tidak saja dikelola institusi yang secara khusus menangani lingkungan hidup seperti dinas lingkungan hidup. Tapi, institusi lain juga melakukan konservasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya
103
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
alam. Misalnya, dinas perkebunan dan kehutanan serta dinas kebersihan dan pertamanan. Besarnya alokasi anggaran berkorelasi terhadap inovasi daerah. Kabupaten-kota dengan komitmen anggaran yang tinggi akan cenderung berinovasi. Sebaliknya, daerah-daerah yang mengalokasikan anggaran rendah berinovasi rendah. Program yang dibuat hanya program rutin. Daerah-daerah yang berinovasi tinggi akan berada di peringkat atas kategori lingkungan hidup dalam Otonomi Awards 2008. Sebaliknya, daerahdaerah yang minim anggaran dan inovasi akan berada di posisi bawah. Kabupaten Probolinggo sebagai daerah dengan persentase anggaran lingkungan tertinggi berada di peringkat ketiga parameter lingkungan hidup Otonomi Awards 2008. Hanya kalah peringkat dari Kota Surabaya dan Kota Probolinggo. Anggaran di daerah itu tersebar di lima insitusi. Yaitu, dinas PU Cipta Karya; Kebersihan dan Pertamanan; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; Kantor Pengendalian Lingkungan Hidup; Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, Kehutanan, dan Perkebunan; serta Dinas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan. Program yang diunggulkan daerah tersebut, antara lain, perbaikan sarana dan pasarana tempat pemprosesan akhir (TPA) sampah, pembuatan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Kecamatan Tiris, penanganan lahan kritis, serta pembuatan energi alternatif. Sedangkan Kota Surabaya, sebagai daerah yang memiliki anggaran terbesar di Jatim, memiliki program yang variatif. Program yang dilakukan pemerintah kota Surabaya, antara lain, memperbanyak RTH, pengelolaan sampah bersama dengan masyarakat, dan penegakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2002 tentang Ruang Terbuka Hijau. Dengan upaya tersebut, pada Otonomi Awards 2008, Surabaya berhak menyandang predikat pemenang 104
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
kategori pengelolaan lingkungan hidup13. Kabupaten Trenggalek yang memiliki persentase anggaran terbesar ketiga merupakan pemenang kategori lingkungan hidup pada Otonomi Awards 2007. Pengelolaan lingkungan di kabupaten itu ditekankan pada konservasi wilayah pesisir yang menjadi potensi besar daerah tersebut. Kota Probolinggo, menempati peringkat kelima untuk besarnya persentase anggaran lingkungan hidup, menduduki peringkat kedua kategori lingkungan hidup. Daerah itu juga berinovasi tinggi. Program yang dilakukan dinas kebersihan dan lingkungan hidup (DKLH), antara lain, memperbanyak RTH, hotline kebersihan 24 jam, pengelolaan sampah bersama masyarakat, penyelesaian TPA, serta pendirian Dewan Pembangunan Berkelanjutan (DPB). Kabupaten Tuban sebagai daerah dengan persentase anggaran terendah berada pada peringkat ke-37 kategori lingkungan hidup Otonomi Awards 2008. Dari hasil monev, daerah di pesisir utara Jatim itu minim inovasi. Program yang dilakukan kantor lingkungan hidup, antara lain, pengembangan sistem pengelolaan persampahan dengan anggaran Rp 220 juta dan program Adipura. Total anggaran pengelolaan lingkungan hidup di kabupaten Tuban sebesar Rp 1,6 miliar. Kabupaten Sampang yang mengalokasikan persentase anggaran terendah kedua menduduki peringkat ke-35 kategori lingkungan hidup Otonomi Awards 2008. Jumlah alokasi anggaran akan berpengaruh terhadap program-program yang dilakukan satuan kerja yang menangani lingkungan hidup. Keempat, komitmen daerah terhadap kelembagaan lingkungan hidup masih beragam. Komitmen itu diwujudkan dalam alokasi anggaran serta bentuk
13
Jawa Pos, kolom Pro-Otonomi, 26 Mei 2008.
105
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kelembagaan. Di antara 38 kabupaten/kota di Jatim, hanya empat daerah yang berbentuk badan, 19 daerah berbentuk dinas, dan tujuh daerah berbentuk kantor. Sementara di 8 daerah, kelembagaan lingkungan hidup masih berada di bawah sekretariat daerah. Bentuk kelembagaan akan berpengaruh terhadap pengelolaan lingkungan. Dalam hal pengelolaan sampah, hasil temuan JPIP menyatakan bahwa telah banyak pemerintah daerah yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah (composting). Sampah di daerah perkotaan menjadi persoalan yang sangat sensitif. Tidak sedikit anggaran yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk pengelolaan sampah. Misalnya, pembuatan TPA yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sampah diwujudkan dengan pembentukan kelompok masyarakat (pokmas) pengelolaan sampah. Misalnya, Pemerintah Kota Surabaya yang telah membentuk pokmas sampah di 19 kelurahan. Langkah serupa juga dilakukan Kota Probolinggo. Di Kota Mangga ini telah terbentuk pokmas di beberapa kelurahan, yaitu sebanyak 14 pokmas. Sebelum melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah, pemerintah daerah memberikan pelatihan dan bantuan tempat sampah. Pokmas sampah yang dijalankan, masyarakat melakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik. Untuk sampah organik, masyarakat mengolah dan memanfaatkannya menjadi pupuk. Karena dalam pengolahan sampah menjadi pupuk, masyarakat bekerja sama dengan pemerintah daerah, terjadi bagi hasil pupuk organik yang dihasilkan dari kegiatan composting. Biasanya 70 % untuk masyarakat dan 30 % untuk pemerintah daerah (TPA). Sampah anorganik, seperti plastik, dikirim ke TPA setelah dipilah. Pada umumnya, 106
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
TPA telah memiliki alat pemecah untuk sampah plastik sehingga bisa diolah menjadi bijih plastik dan siap dikirim ke pabrik. Dalam catatan JPIP, dampak positif telah dirasakan Kota Surabaya dengan pelibatan masyarakat dalam komposting itu. Di kota metropolis ini, terjadi penurunan jumlah sampah secara drastis. Kalau pada 2004 volume sampah yang dihasilkan penduduk Surabaya sebanyak 264 ribu m3 per bulan, pada 2006 jumlah sampah yang dihasilkan turun menjadi 161 m3 per bulan. Saat ini, sampah yang dikirim ke TPA hanya tersisa 10 persen14. Tabel 3.4 Parameter Lingkungan Hidup Isu Strategis (Possible Practices) Kesetaraan akses terhadap penggunaan sumber-sumber material, seperti persawahan, perkebunan, air. Kesetaraan kesempatan konsumsi energi. Pemberdayaan penggunaan dan pengelolaan natural capital bagi masyarakat miskin. Integrasi pengelolaan Harmonisasi kepentingan pembangunan lingkungan industri, ekonomi masyarakat dan lingkungan di daerah (public private and community partnership). Mediasi perbedaan kepentingan antara industri, masyarakat dan pemerintah. Environment mainstreaming and sounding dalam setiap kebijakan pembangunan daerah. Kelestarian Kelestarian SDA. (sustainability), natural Kenyamanan lingkungan. capital (SDA) dan Human Penegakan hukum/sanksi bagi perusak Capital (SDM) lingkungan. Sumber: The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), 2009. Indikator Akses (equity) penggunaan natural capital (SDA)
Berdasarkan laporan peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), Hariatni Novitasari pada 13 Oktober 2008.
14
107
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Otonomi Awards JPIP Untuk Kota Probolinggo Kota Probolinggo meraih beberapa kategori dalam Otonomi Awards 2009 The Jawa Pos Institute of ProOtonomi (JPIP), yaitu pemenang pada parameter utama Pemberdayaan Ekonomi Lokal pada kategori khusus (special category) “Daerah Dengan Terobosan Inovatif Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal� atau Region in an Innovative Breakthrough on Local Economic Development. Disamping itu Kota Probolinggo meraih nominasi (nominee) pada beberapa parameter berikut ini: Daerah dengan Profil Menonjol Bidang Partisipasi Publik. Daerah dengan Profil Menonjol Bidang Akuntabilitas Publik. Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan Kesehatan. Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan Administrasi Dasar. Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penganugerahan penghargaan berlangsung di The Empire Palace Ballroom Surabaya, Rabu, 10 Juni 2009. Pemberdayaan Ekonomi Lokal Pada parameter utama pemberdayaan ekonomi lokal, program terobosan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Probolinggo adalah penataan pedagang kaki lima (PKL). Penataan PKL sering menjadi persoalan yang dilematis bagi pemerintah daerah (pemda) di mana saja. Di satu sisi keberadaan mereka menopang pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat terutama golongan ekonomi ke bawah. Pada sisi lain, keberadaan mereka menjadikan daerah yang ditempati menjadi kumuh dan tidak enak 108
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
dipandang. Apalagi, beberapa PKL sering menggelar dagangan dengan seenaknya sendiri. Permasalahan sekaligus potensi ekonomi lokal itu membutuhkan penanganan yang cerdas dari pemerintah daerahnya alias win-win solution. Tidak seharusnya pemerintah daerah hanya main gusur dan main pukul seperti yang terjadi di banyak daerah. Tetapi dibutuhkan ruang dialogis dan akomodatif dari kedua belah pihak, yakni antara pemerintah daerah dan PKL. Pada parameter pemberdayaan ekonomi, salah satu isu strategis yang menjadi kajian JPIP adalah potensi dan problem ekonomi lokal. Termasuk di dalamnya penanganan PKL. Pemerintah Kota Probolinggo rupanya mempunyai solusi jitu untuk menangani PKL. Sebuah inovasi pemecahan masalah diterapkan sejak tahun 2007. Hal itu mengantarkan kota penghasil mangga dan anggur tersebut meraih penghargaan Otonomi Award 2009 bidang pemberdayaan ekonomi. Penghargaan otonomi award 2009 bidang pemberdayaan ekonomi lokal ini diterima oleh Drs. Matalil, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah yang hadir bersama Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kota Probolinggo, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Kabag Humas dan Camat Mayangan. Bagi banyak pemerintah daerah, terutama daerah perkotaan, persoalan PKL tetap menjadi agenda yang cukup rumit. Penataannya pun dapat dikatakan gampanggampang susah karena berhimpitan dengan kebutuhan primer rakyat yakni urusan perut dan kebutuhan ketertiban dan keindahan kota sekaligus. Kedua macam kebutuhan itu sulit ditemukan. Jika menyangkut urusan perut, PKL akan cenderung berjualan di mana saja yang penting barang dagangannya laku, sekalipun ia harus berjualan di trotoar, bagian areal jalan umum yang merupakan daerah larangan untuk dipakai tempat 109
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
berjualan. Dan dalam waktu yang sama pemerintah kota juga berkepentingan untuk menjaga ketertiban dan keindahan kota termasuk “mengamankan trotoar” agar bersih dari PKL. Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan kaku, dan inilah sulitnya. Hal ini diakui oleh Kepala Kantor Polisi Pamong Praja, Drs. H. Sukam, M.Si. “Di satu sisi kita harus menjaga ketertiban umum di kota sekaligus melaksanakan Perda yakni Perda Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima yang antara lain mengatur tentang larangan penggunaan trotoar untuk arena berjualan. Tapi kan kita tidak mungkin melarang PKL untuk berjualan, mereka kan mencari nafkah dan faktanya mereka sudah ada sebelum peraturan itu terbit. Caranya ya dengan mengatur mereka agar tertib. Inilah sisi kebijaksanaan dari pemerintah kota”, kata Sukam. 15
Untuk menjembatani dua kepentingan yang tampak bertolak belakang itu, pemerintah kota Probolinggo sejak awal tahun 2007 melalui Kantor Polisi Pamong Praja (Pol PP) mengatur keberadaan PKL agar lebih tertib. Kantor Polisi Pamong Praja membuat pemetaan kawasan PKL dan database PKL di kantor Pol PP yang dipadukan dengan data lapangan. Data lapangan ini memuat data identitas diri dan lokasi dari PKL di tiap-tiap kawasan (disebut “jalur”) dalam bentuk kartu yang disebut “Kartu Kendali PKL” (KKPKL). Kartu Kendali PKL ini diterbitkan oleh Kantor Polisi Pamong Praja sebagai acuan database para PKL yang berada di kawasan kota Probolinggo, yang sampai saat ini masih menjangkau para PKL yang berada di 9 kawasan tertib atau yang disebut “Kawasan Tertib Sembilan Jalur”. Kawasan tertib 9 jalur ini adalah Jl Panglima Sudirman, Jl Dr Sutomo, Jl Pahlawan, Jl Cokroaminoto, Jl Sukarno-Hatta, Jl Raya Bromo, Jl Lumajang, Jl Basuki Rahmat, dan sekitar alun-alun.
15 Wawancara dengan Kepala Kantor Polisi Pamong Praja Drs. H. Sukam, M.Si pada 16 Desember 2009.
110
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Kartu kendali PKL ini merupakan suatu bentuk kontrak kesepakatan antara PKL dan pemerintah kota. Kartu kendali (KKPKL) berlaku selama satu tahun dan bisa diperbarui untuk tahun berikutnya. Untuk mendapatkan KKPKL, PKL tidak dipungut biaya alias gratis. Kartu Kendali PKL memuat data diri PKL dilengkapi foto diri si PKL yang bersangkutan. Untuk memudahkan identifikasi, KKPKL dibuat dengan warna dasar yang berbeda-beda untuk tiap jalur tempat mangkal si PKL. Kartu Kendali PKL yang berwarna biru merupakan identitas bagi PKL yang ada di Jl Panglima Sudirman. Warna hijau untuk kawasan sepanjang Jl Dr Soetomo, kartu merah untuk Jl Soekarno Hatta, Jl Cokroaminoto dan Jl Pahlawan. Sedangkan warna merah muda untuk PKL di sepanjang jalur Jl Basuki Rahmad16. Sebagai bentuk kontrol, kartu kendali tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain. Jadi, PKL yang sudah mendapatkan KKPKL tidak diperbolehkan menggelar dagangan di lokasi lain. Selain itu, di sembilan jalur yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan ada penambahan PKL baru. PKL baru boleh berjualan, tetapi tidak di kawasan tertib sembilan jalur itu. Saat ini jumlah pedagang yang menempati kawasan tertib sembilan jalur itu mencapai 668 PKL. Perjanjian lain yang tertera dalam kartu kendali adalah ketika pemerintah kota membutuhkan trotoar/tempat/lokasi dagangan dimaksud, PKL yang bersangkutan harus mengosongkannya tanpa meminta ganti rugi. Disamping kendali PKL, Kantor Polisi Pamong Praja menempatkan pengawas jalur di tiap-tiap jalur kawasan tertib 9 jalur. Tugas pengawas jalur ini untuk memonitor PKL dan berkoordinasi dengan PKL di jalur tersebut
16
Data dari Kantor Polisi Pamong Praja Kota Probolinggo, 16 Desember 2009.
111
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
melalui seorang “pengawas” dari kalangan PKL. Jadi, kedua belah pihak dapat saling berkomunikasi. Jika ada suatu keperluan mendesak, pengawas jalur dari Kantor Polisi Pamong Praja akan langsung melakukan kontak dengan contact person PKL di jalur yang bersangkutan. Seluruh PKL di Kota Probolinggo tergabung dalam wadah yang disebut Paguyuban Pedagang Kaki Lima. Paguyuban PKL inilah yang mengoordinasi para PKL termasuk berkomunikasi dengan pemerintah kota Probolinggo. Paguyuban dibentuk atas dasar kebutuhan para PKL untuk mempermudah dan memperkuat hubungan antar para PKL, dan telah dikuatkan dengan akte notaris. Permasalahan-permasalahan yang muncul baik dari adanya PKL baru maupun karena pelanggaran kebijakan pemerintah sedapat mungkin diselesaikan melalui Paguyuban PKL. Tim Pemantau PKL yang terdiri dari petugas Kantor Polisi Pamong Praja sebanyak 10 regu dengan kekuatan masing-masing 4 orang, bilamana diperlukan akan melakukan tindakan preventif melalui pemanggilan dan pembinaan. Tindakan represif akan diberikan sebagai tindak lanjut dari tindakan preventif melalui penghentian kegiatan maupun pembongkaran jika diperlukan. Dalam operasinya mereka berkoordinasi dengan Paguyuban PKL. Dengan demikian telah menghasilkan kawasan tertib sembilan jalur sebagaimana disinggung di depan. Para PKL melakukan aktivitas pada pukul 09.00 – 23.00 WIB. Program penataan PKL oleh pemerintah Kota Probolinggo ini mengandung best practices yang berarti. Pertama, kesediaan para PKL untuk “rela” diatur-atur dan dibatasi oleh pemerintah kota Probolinggo. Ini adalah hal yang hampir mustahil, bukan hanya karena PKL yang pada umumnya cenderung semaunya sendiri (Jawa Timur: mokong) dan berseberangan dengan kemauan pemerintah 112
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
daerah sehingga keduanya tidak pernah bertemu. Pendekatan persuasif dilakukan pemerintah kota dengan PKL melalui Paguyuban PKL dengan pendekatan samasama untung (win-win solution). Pada umumnya PKL menempati areal trotoar dan pinggir jalan sebagai lokasi tempat usahanya. Sedangkan tempat-tempat strategis tersebut merupakan daerah larangan untuk ditempati berjualan. Terjadi bargaining situation yang saling bisa diterima terutama oleh PKL ketika para PKL kemudian diijinkan berjualan di area “terlarang” tersebut dengan syarat. Syarat inilah yang “dimanfaatkan” oleh pemerintah Kota Probolinggo untuk menerbitkan kartu kendali PKL (KKPKL). Dengan sendirinya, PKL pemegang KKPKL akan merasa aman berjualan, dan pemerintah Kota masih bisa “mengendalikan” daerah-daerah atau kawasan-kawasan tertentu bila diperlukan tanpa diprotes PKL karena mereka telah menerima syarat yang diajukan pemerintah kota sebagai “barter” dengan ijin menempati lahan berjualan. Rasa aman melakukan kegiatan usaha bagi PKL inilah yang membuat PKL dapat menerima KKPKL berikut persyaratannya. Kedua, keberadaan Paguyuban PKL (dan telah berakte notaris) membawa pembeda dari nominator daerah lain yang juga mempunyai program serupa. Kota Probolinggo dinilai lebih memiliki program yang berkesinambungan berkenaan dengan pemberdayaan ekonomi lokal pada sektor PKL ini karena dari sisi jaminan keberlanjutan lebih tampak yakni dengan adanya Perda Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima dan SK Kepala Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Probolinggo No. 300/181/425.305/2007 tanggal 6 September 2007 perihal Penertiban PKL di wilayah Kota Probolinggo serta Paguyuban PKL yang telah berakte notaris. Inovasi
113
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
tersebut telah mengantarkan Kota Probolinggo meraih Otonomi Awards 2009. Pada tahun 2009, pemerintah Kota Probolinggo menetapkan langkah-langkah kebijakan untuk melakukan penataan PKL, yaitu dengan melakukan studi kelayakan rencana penataan PKL. Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah: lokasi PKL yang masih menyebar di beberapa ruas jalan, tampilan para PKL yang masih seadanya sehingga menimbulkan kesan pemandangan yang kurang menarik dan sistem utilitas semacam air bersih dan listrik disekitar lokasi PKL. Pemerintah kota menargetkan adanya harmonisasi antara estetika kota dengan sektor informal PKL, iklim wiraswasta mandiri yang kondusif dalam upaya meredam meningkatnya pengangguran dan bertambahnya sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor informal. Sehingga diharapkan oleh pihak pemerintah kota, akan adanya pengkonsentrasian keberadaan PKL yang tersebar di beberapa ruas jalan, penataan unit PKL dalam suatu tatanan yang lebih rapi dengan paduan arahan beberapa elemen desain, pengadaan sistem utilitas pendukung, pengaturan lalu lintas, pengaturan sistem parkir dan alternatif kegiatan pengunjung pemasaran produk PKL. Studi kelayakan ini meneliti kawasan sebanyak 14 jalur jalan dengan jumlah 780 PKL17. Data PKL dapat dilihat pada tabel berikut ini.
17
Data dari Kantor Polisi Pamong Praja Kota Probolinggo, 16 Desember 2009.
114
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Tabel 3.7. PKL pada Kawasan Tertib Kota Probolinggo NO 1.
LOKASI Jl. Panglima Sudirman
2. 3.
Jl. Pahlawan Jl. HOS. Cokroaminoto Jl. Dr. Sutomo Jl. A. Yani dan sekitar Alun-alun kota
4. 5.
2007 82 PKL (malam hari) 25 PKL 70 PKL 99 PKL 115 PKL (sekitar alun-alun)
2008 78 (malam hari) 25 PKL 23 PKL 99 PKL 128 PKL (A. Yani dan Alunalun) 104 PKL 61 PKL 10 PKL 10 PKL
KETERANGAN Tahun 2007: yang menjadi prioritas kawasan tertib adalah 5 jalur selatan sebanyak 521 PKL.
Tahun 2008: yang menjadi prioritas 6. Jl. Soekarno-Hatta kawasan tertib 7. Jl. Basuki Rahmat meningkat 8. Jl. Bromo menjadi 9 jalur 9. Jl. Lumajang jalan sebanyak 668 PKL. Sumber: Kantor Polisi Pamong Praja Kota Probolinggo, Desember 2009.
Data di atas merupakan hasil tindak lanjut kebijakan pemerintah kota Probolinggo bahwa untuk “menyiasati� Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima yaitu walaupun masih ada PKL yang menggunakan trotoar sebagai tempat berjualan karena secara historis sebelum terbitnya Perda tersebut, PKL sudah menempati Kawasan Tertib Sembilan Jalur terlebih dahulu. Pemerintah Kota Probolinggo menekan jumlah PKL agar tidak ada penambahan PKL di kawasan tertib tersebut, dengan cara mengatur penggunaan trotoar secara penuh pada satu sisi jalur jalan seperti terlihat di Jalan Dr. Sutomo, menggunakan setengah trotoar seperti di jalan P. Sudirman, Jl. A. Yani, Jl. HOS Cokroaminoto dan Jl. Pahlawan, dan melakukan pelarangan penggunaan trotoar untuk berjualan seperti di Jl. Soekarno-Hatta. Pelibatan masyarakat dalam penataan PKL terlihat pada terdapatnya Paguyuban PKL sebagaimana disinggung
115
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
di depan. Paguyuban PKL, dibentuk oleh para PKL yang pada mulanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para anggota melalui kegiatan arisan dan pemberian santunan bagi anggota yang terkena musibah. Para anggota Paguyuban PKL menentukan koordinator lapangan (korlap) di tiap titik ruas jalan kawasan tertib. Sedangkan pemerintah kota membentuk tim pemantau untuk tiap titik ruas jalan yang bertugas melakukan koordinasi dengan Paguyuban PKL ika terjadi pelanggaran atas peraturan yang telah ditetapkan. Pemerintah kota Probolinggo pun melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan dan pelatihan yang diperlukan seperti misalnya yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Energi Mineral, Industri dan Perdagangan yaitu dengan menyelenggarakan kegiatan pasar minggu di alun-alun kota, menyelenggarakan MPS2 (Morning on Panglima Sudirman Street) atau Kegiatan Pagi Di Jalan Panglima Sudirman yang berupa pameran barang-barang produk PKL dan aneka barang lain, memberikan bantuan dan tempat usaha pedagang ta’jil pada bulan Ramadan, pasar murah menjelang hari raya Idul Fitri, memberikan tempat usaha untuk berjualan di alun-alun yang lokasinya telah diatur oleh pemerintah dan memberikan sarana tenda. Sementara itu, Badan Lingkungan Hidup juga memberikan bantuan sarana kebersihan seperti tempat sampah, air bersih dan penerangan. Sedangkan Kantor Polisi Pamong Praja melakukan kegiatan pendataan di tiap ruas jalan sebagai tindakan preventif, melakukan sosialisasi terutama setiap kali terdapat perubahan pada penertiban baru, misalnya dengan membuat surat edaran melalui Paguyuban PKL maupun dengan cara langsung di lokasi-lokasi penertiban, melalui Radio Suara Kota FM
116
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
dalam acara “Laporo Rek”18. Instansi ini juga melakukan pemantauan disamping juga melakukan kegiatan yang bersifat represif seperti misalnya tampak pada kegiatan operasi penertiban. Kegiatan ini dilakukan secara rutin dengan cara melakukan penghalauan dan penertiban di Kawasan Tertib Sembilan Jalur dan jalan-jalan protokol lainnya, dan melakukan penyitaan barang/ sarana dagangan. Namun penyitaan ini dilakukan apabila PKL sudah tidak lagi mengindahkan peringatan dan penertiban. Baiknya, instansi ini juga melakukan pembinaan PKL pasca tindakan represif, yakni pembinaan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada saat penertiban oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Pada Otonomi Awards 2009 The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) ini di kategori Partisipasi Publik, Akuntabilitas Publik, Pelayanan Kesehatan, Pelayanan Administrasi Dasar dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah Kota Probolinggo hanya masuk pada nominasi, tidak sampai menjadi pemenang. Tentu hal ini dapat dijadikan evaluasi bagi pemerintah Kota Probolinggo dengan mengambil pengalaman dari kategori lain yang dimenangkannya, yakni pemberdayaan ekonomi lokal dan dari pengalaman daerah lain. Program Inovasi Lain Pengembangan Wisata Kota Pariwisata Kota Probolinggo masih amat minim dan belum ada kekhasan bentuk yang dapat dijadikan icon yang “layak jual”. Kota Probolinggo, sebagaimana jenis karakter urban (perkotaan), memiliki sumberdaya alam yang relatif minim. Namun ada beberapa yang dapat dicatat. Pertama, letak geografis Kota Probolinggo dengan Lebih lanjut tentang “Laporo Rek”, lihat pembahasan pada sub bab Penguatan Partisipasi dan Akuntabilitas Publik setelah sub bab ini.
18
117
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
posisi silang yang menghubungkan ibukota Provinsi Jawa Timur (Surabaya) dan daerah kawasan timur di Jawa Timur, terutama kawasan “Tapal Kuda”. Posisi silang ini sangat potensial untuk memosisikan Kota Probolinggo sebagai daerah “transit” dan penyedia kebutuhan bagi daerah-daerah lain di wilayah timur tersebut, minimal untuk wilayah Tapal Kuda, lebih-lebih dengan adanya daerah lumpur Lapindo di sepanjang Porong - Sidoarjo. Kedua, areal pertanian/ perkebunan yang dipunyai Kota Probolinggo adalah kebun mangga dan anggur di kecamatan Kademangan dan Wonoasih, yang dapat dioptimalkan fungsinya menjadi wisata hortikultura atau agro-wisata. Beberapa lokasi kecil dan tanah warga yang ditanami pohon mangga dan anggur (merata di 5 kecamatan) menambah nuansa kota anggur – mangga. Ketiga, areal hutan kota (city forest) di alun-alun kota dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di terusan Jl. Basuki Rahmat – jalan lingkar utara (JLU) atau eks Joboan, yang telah ditingkatkan fungsinya menjadi Taman Wisata Studi Lingkungan (TWSL) dan RTH Kedupok. Keempat, areal hutan mangrove di sepanjang bibir pantai Jl. Pilang hingga pelabuhan Tanjung Tembaga dan sepanjang jalur di JLU. Kelima, sumberdaya kelautan di sekitar perairan pelabuhan Tanjung Tembaga (dekat JLU). Keenam, areal lahan perkotaan yang dimanfaatkan antara lain untuk taman kota. Ketujuh, angin. Tiap awal bulan Juni hingga akhir Agustus di setiap tahun Kota Probolinggo selalu dilewati arus angin Gending yang berhembus cukup kencang, cukup untuk membuat seseorang masuk angin. Namun potensi (angin) ini dapat dimanfaatkan dengan mengembangkannya menjadi wisata layang-layang dan kincir angin. Potensi dan objek yang dapat dikembangkan di Kota Probolinggo, diantaranya adalah pelabuhan Tanjung 118
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Tembaga, Sentra Jajanan Len-Jelenan, alun-alun kota, kawasan industri kecil (bordir di Sumber Wetan, penganan di Sumber Taman, mebel yang tersebar di beberapa lokasi), industri kecil pengolahan ikan kering di Mayangan, dsb. Perlu disentrakan menjadi kawasan khusus industri kecil yang bernilai ekonomi dan wisata seperti desa wisata Sukawati di Bali. Perlu pemikiran untuk mengembangkan objek-objek lain. Yang perlu difokuskan pada upaya mengembangkan kota dengan keterbatasan sumberdaya seperti ini adalah pemosisian diri (kota) sesuai dengan letak geografis dan sumberdaya yang dimiliki. Perlu untuk menjawab pertanyaan ini: “apa yang menarik di Kota Probolinggo sehingga orang tertarik dan berminat untuk mengunjungi Kota Probolinggo, berwisata, juga berinvestasi di Kota Probolinggo, dsb. Ada apa di Kota Probolinggo? Kota Probolinggo punya apa sih?”Atau, minimal, jika orang-orang dari luar daerah ingin ke daerah-daerah timur, (dan pasti melewati Kota Probolinggo), apa daya tarik Kota Probolinggo sehingga mereka harus singgah (transit) di Kota Probolinggo? Rupanya, kota ini sangat perlu “diformat” untuk menjadi kota yang: (a) dapat melayani kebutuhan orang-orang yang ingin berkunjung (untuk tujuan apapun) di daerahdaerah timur tersebut dan pasti (harus) melewati kota Probolinggo; (b) dapat menarik minat orang-orang luar daerah untuk mengunjungi Kota Probolinggo. Karenanya, Kota ini perlu berbenah pada sektor jasa, pendidikan, wisata budaya, dan “wisata buatan” lainnya. Untuk memperkuat sektor ini, perlu dipacu penguatan jasa perhotelan/ penginapan, perbelanjaan, gallery, kedai makan-minum khas Kota Probolinggo (untuk wisata kuliner, culinary tourism), jasa transportasi (travel agency), jasa telekomunikasi (termasuk warnet), jasa keuangan (termasuk money changer), pasar tradisional dengan 119
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kemasan baru, sentra home industry (bordir, mebel, makanan ringan khas Kota Probolinggo, dsb), dan pendidikan (memacu edu-tourism), serta eco-tourism (wisata lingkungan). Estetika kota semacam “tamanisasi” (adanya icon artificial “Kota Seribu Taman”) merupakan salah satu upaya pendukung (bukan pokok) agar kota tampak indah dan menunjang upaya-upaya pokok. Adapun pelabuhan Tanjung Tembaga, PPI, dapat merupakan objek yang dapat dikembangkan menjadi pelabuhan yang berorientasi perdagangan lintas wilayah, maupun “objek wisata” maupun lokasi penyedia jasa bagi akses ke pulau Gili Ketapang. Perlu kerjasama antar daerah, -misalnya dengan Kabupaten Probolinggo- untuk pengembangan wisata. Kota Probolinggo dapat mengambil peran sebagai “penyedia jasa layanan” bagi akses wisata Kabupaten Probolinggo. Konsepsi ini dapat menginspirasi bagi revitalisasi Len-Jelenan, pasar Gotong Royong, “sentra” PKL, “sentra” home industry, dsb19. Untuk menyemarakkan wisata kota, eksplorasi dan optimalisasi kesenian dan budaya daerah juga amat strategis untuk digarap, disamping pemeliharaan situssitus bersejarah (heritages). Pembangunan sarana-sarana untuk mendukung wisata kota dan wisata sekitar perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data Hasil Pembangunan dan Delapan Kelompok Data Tahun 2007 dari Bappeda Kota Probolinggo, diketahui bahwa potensi dan sarana yang telah dimiliki Kota Probolinggo antara lain adalah hotel/ penginapan sebanyak 9 buah, rumah makan/ restoran sebanyak 8 buah, biro perjalanan/ agen travel sebanyak 6 buah, Pusat Informasi Wisata sebanyak 3 buah, Wisata Alam sebanyak 2 buah, wisata buatan sebanyak 2 buah. Sedangkan wisatawan asing yang
19
Dicuplik dari Kuswandoro, Wawan E., 2006, Materi Pembekalan Kang Yuk 2006.
120
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
pernah berkunjung sebanyak 301 orang, dan wisatawan domestik sebanyak 38.321 orang. Pengembangan Pariwisata di Provinsi Jawa Timur dengan visi �Jawa Timur Sebagai Destinasi Pariwisata Nasional dan Internasional Berdasarkan Nilai Agama, Budaya dan Berwawasan Lingkungan� pada tahun 2009, Propinsi Jawa Timur berencana mengembangkan sektor Pariwisata meliputi program pengembangan pemasaran pariwisata, program pengembangan obyek tujuan wisata, program pengembangan kemitraan pariwisata, dan program penataan wilayah. Sebagai implementasi kebijakan Propinsi Jawa Timur di Sektor Pariwisata tersebut, berdasarkan Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2006-2009 Kota Probolinggo, bahwa salah satu prioritas pembangunan pada agenda mewujudkan masyarakat kota Probolinggo yang sejahtera seutuhnya, adalah pembangunan kepariwisataan melalui Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Wisata, Program Pengelolaan Potensi Wisata di Kawasan Pelabuhan, Program Pengembangan Obyek Wisata dan Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Wisata. Program-program diatas diharapkan akan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan, meningkatkan SDM pariwisata yang profesional, meningkatkan daya saing produk dan pelayanan pariwisata, memberdayakan masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan dan meningkatkan ekonomi kerakyatan melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Salah satu prioritas pembangunan pariwisata adalah pengembangan objek tujuan pariwisata, yakni dengan mengkreasi dan mengembangkan beberapa sajian dan kegiatan kepariwisataan kota. Diantaranya adalah Seminggu di Probolinggo (Semipro) dan Morning on Panglima Sudirman Street (MPS2). Sedangkan yang masih dalam 121
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
tahap rencana adalah pengembangan ekowisata (ecotourism), Taman Hiburan Rakyat Berbasis Pantai dan pengembangan desa wisata. Semipro (Seminggu di Kota Probolinggo) Semipro adalah sebuah program terobosan dalam rangka mempromosikan agenda pariwisata yang dilaksanakan selama satu minggu pada minggu kedua bulan Juli 2009 dengan jadwal mulai pagi hari sampai malam hari. Pada event wisata tersebut, para pengunjung disuguhi sajian unggulan kesenian dan budaya khas Probolinggo. Adapun tujuan Semipro antara lain adalah untuk mengembangkan dan mempromosikan kegiatan pariwisata dan budaya Kota Probolinggo, mengembangkan dan memasarkan paket kunjungan wisata Kota Probolinggo dan menumbuhkembangkan investasi pada industri pariwisata. Kegiatan ini tertuang dalam Daftar Perencanaan Anggaran Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata tahun anggaran 2009 dan dilaksanakan berdasarkan Keputusan Walikota Probolinggo Nomor: 188.45/105/KEP/425.012/2009 tentang Panitia Penyelenggara Seminggu di Kota Probolinggo, Disposisi Nota Dinas Nomor: 556/1157/425.112/ 2009 tanggal 15 Juni 2009 Perihal Laporan Persiapan Event Kunjungan Wisata di Kota Probolinggo. Dari data yang dihimpun dari Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata, kegiatan wisata kota Semipro berisi bermacam-macam kegiatan yaitu: Bersepeda Klasik (kuno). Kegiatan bersepeda yang terwadahi dalam “Komunitas Sepeda Lama� (Kosela) ini dilaksanakan secara rutin 2 – 3 minggu, diikuti oleh kurang lebih 200 orang penggemar sepeda lama, dengan peserta tidak hanya warga kota Probolinggo
122
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
tetapi juga warga tetangga yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan Kota Pasuruan. Kontes Busana Daun (Kobuda), merupakan icon dari event SEMIPRO tahun 2009. Sesuai dengan namanya, kontes busana daun merupakan kontes penggunaan busana terbuat dan atau terbalut dedaunan segar. Para peserta berkelompok berbusana penuh dedaunan segar dengan berkreasi serta berekspresi secara bebas. Mereka berjalan di “catwalk” jalan raya kota Probolinggo dengan rute yang telah ditentukan. Fashion jalanan dengan dandanan full of jungle style ini tak lepas dari peran Kopara (Komunitas Pariwisata). Kopara inilah yang pada awalnya menggagas Kobuda yang pada akhirnya ditampilkan untuk mendukung Semipro. Sebagai kelompok dari para pemerhati dan peminat pariwisata kota, inisiatif Kopara patut diapresiasi, mengingat sektor wisata kota misalnya dalam bentuk event wisata kota masih kurang terperhatikan. Jika pun pernah dilaksanakan, masih sebatas event yang digelar oleh suatu lembaga atau instansi secara parsial, belum terkemas secara utuh sebagai “paket wisata kota” yang memikat dan marketable. Probolinggo Tourism Expo (Protex), merupakan salah satu event di dalam kegiatan Semipro di laksanakan selama 1 minggu penuh, siang sampai malam hari untuk menampilkan para perajin/ pengusaha UKM dari Kota Probolinggo maupun luar daerah Kota Probolinggo. Protex menyajikan produk – produk unggulan yang bisa menjadi daya tarik wisata. Expo Flora, merupakan kegiatan dari Semipro yang memamerkan berbagai macam bentuk bunga diantaranya gelombang cinta dan sanxevierra. 123
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Ludruk Remaja dan Campursari, adalah sebuah sajian lagu/ tembang kenangan yang terdiri dari bermacammacam aliran sedangkan Ludra adalah Ludruk Remaja yang di tampilkan oleh anak-anak remaja dengan judul Timun Emas yang merupakan cerita rakyat yang sudah dikenal oleh masyarakat. Jaran Bodag dan Jula Juli, adalah sebuah kesenian yang bentuk penyajiannya adalah arak-arakan yang interaktif. Kesenian ini biasanya digunakan untuk mengarak kemanten sunnat/ khitanan di kalangan masyarakat Probolinggo. Musiknya terdiri dari kenong telok, kendang, gong dan terompet. Bentuk jaran bodag terbuat anyaman bambu yang dibentuk menjadi badan kuda lalu ditambahi kepala menyerupai kepala kuda terbuat dari kayu lunak yang selanjutnya dihias dengan baju kuda mirip dengan baju kuda kencak. Sedangkan “penunggang”nya adalah orang yang dipasangi kerangka jaran bodag (“kuda tiruan”) sehingga si “penunggang” menggunakan kakinya sendiri untuk berjalan. Tari Lengger. Kesenian ini sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, perkembangannya turuntemurun serta bentuk sajiannya olah tari dan olah tembang dengan bahasa Jawa dan Madura, selalu didahului dengan tari remo dengan gending-gending dan tari improvisasi dengan musik sederhana. Band Indie, Dancer dan Free Style. Kegiatan ini disponsori oleh perusahaan rokok “Djarum”, berisi aneka kegiatan yang melibatkan kaum muda untuk menyalurkan bakatnya dalam bermusik. Kerapan Kambing. Kerapan kambing merupakan acara yang paling digemari oleh masyarakat Kota Probolinggo dengan dihadiri oleh beberapa peserta
124
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
dari luar daerah karena mayoritas penduduk kota Probolinggo banyak yang memelihara kambing. Teater Modern, dilaksanakan di TRA dengan peserta teater modern yang berasal dari tiap-tiap sekolah, baik sawsta maupun negeri dengan menampilkan bermacam-macam cerita. Pemutaran Film Indie dan Dokumenter. Dilaksanakan mulai tanggal 12 - 18 Juli 2009 di 4 kecamatan dan SMAK Mater-Dei, selama 5 hari. Acara ini dihadiri oleh berbagai macam kalangan masyarakat baik generasi tua maupun muda. Festival Hadrah. Diikuti oleh berbagai kelompok musik hadrah Al-Banjari, Al-Jiduri dan Ishari. Lomba Futsal, dilaksanakan pada tanggal 13 dan 14 Juli 2009 dihadiri oleh 32 peserta dari berbagai macam kalangan ada juga dari instansi yaitu BLH (Badan Lingkungan Hidup). Kegiatan ini diselenggarakan selama 3 hari. Bola Basket 3 on 3, dilaksanakan mulai tanggal 13 – 15 Juli 2009, dihadiri oleh 32 peserta dari daerah dan luar daerah yaitu Lumajang dan Kabupaten Probolinggo. Juara I diraih oleh Zeus KTI III. Lomba Drum Band. Terdiri dari 36 peserta di bagi menjadi 3 kategori Umum, SD/MI dan TK. Di laksanakan selama 2 hari mulai tanggal 15- 16 Juli 2009, Tk sebanyak 16 peserta, SD/MI sebanyak 13 peserta dan Umum 7 peserta, adapun pemenangnya adalah Juara I untuk kategori TK di raih oleh Gema Masyitho, Juara I kategori SD/MI di raih oleh SDN. Jati I dan juara I Kategori umum adalah Drumband academy band dari Kabupaten Probolinggo. Lomba Mancing, dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2009 dengan leading sector Dinas Perikanan dan Kelautan, dengan biaya pendaftaran 150 ribu yang 125
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dihadiri oleh berbagai peserta luar daerah dengan hadiah umum 1 buah sepeda motor dan beberapa hadiah hiburan. Lomba Lukis, dengan peserta murid TK dan SD. Isi lomba adalah mewarnai dan menggambar sesuai dengan materi yang disediakan oleh panitia, kegiatan ini dilaksanakan selama 2 hari di TWSL (Taman Wisata Studi Lingkungan). Lomba Foto Kobuda, deselenggarakan pada waktu pelaksanaan Kontes Busana Daun. Lomba foto KOBUDA diadakan untuk menentukan siapakah yang berhak dijadikan poster Kobuda tahun 2010, dengan kriteria icon tersebut memakai bahan dari daun asli, dan 65 % berbusana daun. Lomba Layang – layang Lampu, dengan peserta sebanyak 30 orang, juara I dimenangkan oleh Hartono dengan tema “100 UFO”. Lomba Design Konstruksi Probolinggo Masa Depan. Dimenangkan oleh Irwan Kusbianto, warga Jl. Gubernur Suryo, Kota Probolinggo. Lomba Foto Pembangunan. Dimenangkan oleh Risky Rhamdahani, warga Kelurahan Wiroborang. Lomba Siteplan Pembangunan Kota Probolinggo. Juara I diraih oleh Tim Triarta Design dari Surabaya. Pengantin Sunat. Merupakan salah satu budaya Pendalungan yang berbentuk arak-arakan, dan diikuti oleh beberapa peserta dari Kota Probolinggo. Tampilan Etnik Tionghoa. Event ini dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 2009, bertempat di GBH yang dihadiri oleh berbagai macam kalangan, dari peabat sampai rakyat. Event ini menyajikan kuliner khas Tionghoa dan tampilan – tampilan kesenian khas tarian Tionghoa.
126
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Tampilan Etnik Budaya Arab. Event ini dilaksanakan laksanakan pada tanggal 14 Juli 2009, bertempat tempat di panggung hiburan utara alun-alun yang dihadiri hadiri oleh berbagai berb macam kalangan. Event ini menyajikan kan kuliner khas Arab dan tampilan – tampilan kesenian khas Arab. A Ojung. Ojung merupakan salah satu permainan masyarakat Kota Probolinggo pada masa dahulu yang banyak digemari karena merupakan kegiatan bela diri dan biasanya dipakai untuk acara ritual ual untuk meminta hujan, permainan ojung memakai alat yang terbuat dari rotan panjangnya kurang lebih 1 m dan dimainkan oleh 2 orang dengan cara saling memukul dan menangkis secara bergantian.
Kontes Busana Daun (Kobuda) yang ikut memeriahkan acara Seminggu di Probolinggo (Semipro). Foto: Dok.Bappeda
127
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
MPS2, Morning on Panglima Sudirman Street Selain Semipro, ada kegiatan yang diselenggarakan di sepanjang jalan Panglima Sudirman Kota Probolinggo pada pagi hari sejak pukul 05.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 09.00 WIB. Event ini adalah Morning on Panglima Sudirman Street, disingkat MPS2. MPS2 ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kegiatan perekonomian untuk meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya UMKM – PKL dan mendorong partisipasi masyarakat dala pembangunan kota Probolinggo. Sebagaimana diungkapkan oleh Walikota Buchori bahwa agenda lain dalam MPS2 adalah menunjang rencana visi Pemkot 2010-2014, yaitu terwujudnya masyarakat Kota yang terbebas dari kemiskinan, dan pengangguran, melalui investasi yang produktif dan berkesinambungan. “Maksud MPS2 ini untuk menggerakkan perekonomian masyarakat kota, dengan tujuan memberikan kesempatan pada pelaku usaha (UMKM-PKL), untuk mengembangkan pemasaran produknya, dan mengembangkan kreatifitas serta inovasi masyarakat Kota,� ujar Walikota Buchori20.
Lebih lanjut ia menuturkan, manfaat dari MPS2, meningkatnya kegiatan perekonomian daerah, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya pendapatan masyarakat khususnya UMKM-PKL, memacu masyarakat kota untuk berfikir kreatif dan inovatif, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Morning on Panglima Sudirman Street ini, dimulai Minggu, 24 Mei 2009 bertempat di sepanjang Jl. Panglima Sudirman. Mulai dari rumah dinas Walikota
20
Surabaya Pagi, 26 Mei 2009.
128
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
sampai pertigaan Jl. Gatot Subroto, dan toko King. Walikota Buchori berharap, agar masyarakat dan para pengusaha di Kota Probolinggo bisa memanfaatkan event itu dengan sebaik-baiknya. Menurut pemerontah kota Probolinggo, event MPS2 untuk mendukung langkah untuk mewujudkan misi Kota Probolinggo, yang salah satunya adalah menjadikan Kota Probolinggo sebagai kota tujuan investasi, dan membantu mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu Kepala Bappeda, Budi Krisyanto, menambahkan, MPS2 ini akan diadakan sebulan sekali. Acara itu diawali dengan GSKIP (Gelar Seni Kreasi dan Inovasi Pelajar) yang diikuti oleh 60 lembaga sekolah. Mereka akan menampilkan kreasi kesenian, termasuk karawitan TP-PKK Kota Probolinggo, yang dikomandani Hj. Rukmini Buchori21. Adipura Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya menata kota dalam mendukung pembangunan wisata kota adalah di bidang kebersihan. Kota Probolinggo meraih penghargaan Adipura pada 7 Juni 2007. Piala Adipura yang diraih itu dikirab keliling kota. Warga masyarakat pun tumpah ruah dan meluapkan kegembiraan atas kebersihan kota meraih piala Adipura, sekaligus piala Adiwiyata yang diraih oleh SMAN 2 Kota Probolinggo. Rentetan acara kirap Adipura dimulai sekitar pukul 09.30 WIB. Diawali dengan penjemputan rombongan Walikota Buchori di Ketapang. Lalu, piala Adipura dibawa menuju kantor walikota. Sebelum kirap dimulai, dilakukan upacara kecil di halaman kantor walikota. Kedatangan Walikota Buchori disambut dengan tarian reog oleh SDN Tisnonegaran 1 di depan kantor walikota. Kemudian, 21
Surabaya Pagi, 26 Mei 2009.
129
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
sebanyak 15 staf lapangan DKLH membawa bendera merah putih dan 10 orang yang lain membawa keranjang sampah sebagai simbol kebersihan. Penampilan tari bersih oleh Sanggar Tari Bayu Kencana pun meramaikan upacara tersebut. Mereka semua mengiringi piala Adipura 1997 dan 2007 yang dibawa Kabid Kebersihan Sudi Pramudya dan Kasi Pewadahan dan Pengumpulan DKLH, Tanyono Hadi. Piala Adipura 2007 lantas diserahkan pada Kepala DKLH Budi Krisyanto22. Budi kemudian menyerahkan piala itu pada Walikota Buchori melalui sebuah upacara kecil. Terakhir, Buchori menyerahkan piala tersebut pada Ketua DPRD Kusnan. Dalam sambutannya sebelum kirap, Buchori menuturkan, dirinya terharu saat menerima piala Adipura dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya terharu karena piala ini tidak diperoleh dengan mudah. Tiga tahun lamanya kita semua menyiapkan diri untuk meraih piala ini. Yang lebih mengharukan, semua pihak mendukung dan berpastisipasi aktif dalam upaya pencapaian Adipura tersebut. Karena itu, seluruh warga kota harus bisa mempertahankan piala Adipura ini�, kata Walikota. "Mempertahankan memang jauh lebih sulit daripada meraih. Namun kita harus mempertahankannya. Saya targetkan, tiap tahun kita harus bisa meraih Adipura�, lanjutnya.
Menurut penuturan Walikota, salah satu caranya yaitu meningkatkan program-program lingkungan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, melakukan program Indonesia menanam seperti permintaan Presiden SBY. Setelah upacara kecil di kantor walikota, kirap pun dilakukan. Kirap yang dilakukan dengan mengendarai mobil dan motor itupun mengundang perhatian warga di sepanjang jalan yang dilalui. Pasalnya, tidak hanya kirap, 22 Budi Krisyanto, yang ketika itu menjabat Kepala DKLH, kini menjabat kepala Bappeda.
130
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
para peserta saling membunyikan bel motor atau mobil mereka sebagai bentuk sapaan pada warga yang menyaksikan. Selama kirap, Walikota Probolinggo HM Buchori itu didampingi Ketua DPRD H. Kusnan di atas mobil terbuka dengan tidak henti-hentinya melambaikan tangan pada warga. Buchori dan Kusnan membawa serta piala Adipura tahun 2007. Hal serupa dilakukan Wakil Walikota Koentjoro Soehadi dan Sekdakot Bandyk Soetrisno23. Lambaian tangan mereka berikan membalas lambaian tangan warga yang menyaksikan kirap. Keduanya membawa serta piala Adipura pertama yang diraih Kota Probolinggo sepuluh tahun lalu. Selama kirap, iring-iringan ratusan mobil dan motor mengikuti dua mobil yang tumpangi Buchori-Kusnan dan KoentjoroBandyk. Iring-iringan ini melibatkan seluruh petugas lapangan dan staf di Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH). Juga mobil semua instansi dan unit kerja di lingkungan pemerintah kota. Organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan partai politik di lingkungan kota juga terlibat. Diantaranya, Pemuda Pancasila, KNPI, Fatayat NU, PC GP Anshor, PDIP, Repdem, dan Hotel Bromo View. Juga ada PDAM, PGRI, Hiwapro, dan masih banyak yang lain. Masing-masing membawa bendera atau atribut organisasinya. Sementara itu, di sepanjang jalan, warga menyaksikan konvoi dengan antusias. Siswa SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA yang dilalui konvoi menyambut di pinggir jalan dengan meriah. Ada yang memberikan sambutan dengan cara melambaikan tangan, melambaikan bendera warna-warni hingga memberi hormat layaknya upacara. Seperti rencana sebelumnya,
23
Kini menjabat Wakil Walikota Probolinggo.
131
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
konvoi mobil dan motor yang mengikuti kirap berangkat dari depan kantor Walikota Probolinggo dan finish di alunalun alun kota. Di alun-alun, hiburan OM Lambada sudah disiapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) bekerjasama dengan enam organisasi antara lain, Akaindo, Gapensi, Gapeknas, Gabpeknas, Aspekindo dan Gapeksindo. Hiburan ini sengaja diberikan untuk warga yang menunggu kirap di alun-alun24.
Kirab Piala Adipura. Putri Pu Lingkungan sedang memegang piala simbol mbol kebersihan kota ini di acara kirab. Foto: Dok.Bappeda
Penguatan Partisipasi dan Akuntabilitas Publik Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal sangat diperlukan untuk mendinamisasi hubungan antara pemerintah dan warga masyarakat dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). governance) Partisipasi publik akan membawa dampak lanjutan yakni terwujudnya akuntabilitas publik. Beragam cara dilakukan baik oleh warga masyarakat sendiri untuk berpartisipasi dalam pemerintahan maupun oleh 24
Radar Bromo, Jumat 8 Juni 2007.
132
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
pemerintah Kota Probolinggo dalam hal memberikan ruang untuk menumbuhkan dan mendorong partisipasi publik. Upaya ini tidak lepas dari kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi, memberikan masukan atau saran dan penyampaikan keluhan dan pengaduan serta melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk membuka ruang publik untuk melakukan partisipasi publik sekaligus menyediakan akses informasi publik adalah melalui kegiatan-kegiatan pertemuan tatap muka antara pemerintah dengan warga masyarakat melalui lembagalembaga musyawarah, melakukan dialog melalui media radio (radio Suara Kota FM), penerbitan tabloid (Tabloid Suara Kota), membuka kotak pengaduan, website, membuka anjungan internet publik, e-Government dan Kampung Cyber. Partisipasi dan akuntabilitas publik telah terlembagakan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 5 Tahun 2003 tentang Partisipasi Masyarakat (Lembaran Daerah Kota Probolinggo Tahun 2003 Nomor 5 Seri E) dan Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 6 Tahun 2003 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi (Lembaran Daerah Kota Probolinggo Tahun 2003 Nomor 6 Seri E). Kedua Peraturan Daerah tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Publik Kota Probolinggo yang antara lain mengatur tentang penggunaan media-media informasi masyarakat baik berupa kegiatan pertemuan tatap muka melalui lembaga-lembaga musyawarah, dialog melalui media radio (radio Suara Kota FM), tabloid (Tabloid Suara Kota), maupun melalui kotak pengaduan dan website. Beberapa kegiatan yang diselenggarakan untuk memberi ruang partisipasi dan akses informasi –diatur 133
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dalam Peraturan Walikota tersebut- adalah “Laporo Rek”, “Walikota Menjawab” dan “Dialog Interaktif” untuk kategori dialog melalui media radio. Sedangkan pertemuan tatap muka, pemerintah kota Probolinggo menginiasi pembentukan lembaga-lembaga musyawarah warga bertajuk Cangkru’an dan Rembug KAHBI (Kampung Hijau Bersih dan Indah). Secara khusus, ketiga kegiatan dialog media radio yakni “Laporo Rek”, “Walikota Menjawab” dan “Dialog Interaktif” diatur dengan Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 188.45/335/KEP/425.012/ 2009 tentang Penetapan Laporo Rek, Dialog Interaktif dan Walikota Menjawab Sebagai Program Pengaduan Pelayanan Masyarakat Pada Radio Suara Kota Probolinggo. Sedangkan kegiatan “Cangkru’an” (atau “Cangkru’an Rembug Warga”) secara teknis diatur dengan Keputusan Kepala Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kota Probolinggo Nomor: 188.45/10/KEP/425.23/2009 tentang Pembentukan dan Pengangkatan Panitia Pelaksana Pada Kegiatan Sosialisasi Kebijakan Melalui Tatap Muka Dan Dialog Publik (Cangkru’an Rembug Warga). Pada kegiatan-kegiatan tersebut Walikota didampingi para pejabat terkait, melakukan dialog langsung dengan masyarakat berkenaan dengan pembangunan dan persoalan yang dihadapi masyarakat. Dan warga masyarakat pun antusias untuk bertanya, minta penjelasan, mengajukan permohonan dan menyampaikan keluhan. Pada Cangkru’an misalnya, yang diselenggarakan di area MPS2 Jalan Panglima Sudirman Kelurahan Tisnonegaran pada tanggal 25 Oktober 2009 pukul 05.00 – 09.00 WIB, warga banyak mengajukan pertanyaan dan penjelasan tentang pengurusan akte kelahiran, permohonan bantuan modal kerja, permohonan bantuan penanganan sampah rumah tangga, minta 134
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
penjelasan tentang program perbaikan rumah tidak layak huni dan permohonan pembinaan potensi kesenian rakyat. Pada saat itu Walikota didampingi oleh Kepala Bappeda, Kepala Badan Kependudukan dan Catatan Sipil dan Kabag Humas dan Protokol. Semua pertanyaan warga direspon oleh Walikota dibantu oleh instansi terkait. Cangkru’an di kelurahan Sumber Wetan, kecamatan Kademangan pada tanggal 5 November 2009 pukul 19.00 – 21.30 WIB bertempat di rumah Pak Rokayat (Lurah Sumber Wetan) di RT I RW III Blok Krajan Kelurahan Sumber Wetan, warga banyak yang menanyakan dan meminta program penerangan jalan umum yang belum merata, bantuan modal kerja usaha ekonomi mikro (mlijo), pemasangan penerangan listrik di jalan-jalan desa, perbaikan rumah tidak layak huni dan minta penjelasan program penanganan kemiskinan. Warga juga minta penjelasan tentang pemanfaatan sumur pengeboran air tanah dan minta pemerataan pengaspalan jalan desa dampai ke pelosok. Walikota, yang ketika itu didampingi oleh Wakil Walikota, Kepala Dinas Pemuda Budaya Olahraga dan Pariwisata dan Kabag Humas dan Protokol merespon semua pertanyaan dan permintaan warga. Acara yang dipandu oleh Yoke Arifah (radio Suara Kota) itu diakhiri dengan pembagian bantuan beras secara simbolis oleh Walikota kepada keluarga miskin melalui Lurah Sumber Wetan25. Sebagaimana Cangkru’an, program Laporo Rek di radio Suara Kota FM juga mendapat respon sangat bagus di masyarakat. Pada mulanya Laporo Rek disiarkan secara langsung di udara (on air) setiap hari (jam kerja), mulai hari Senin sampai dengan Jum’at pada pukul 07.00 09.00 WIB. Pada perkembangannya, waktu siaran
25
Data Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kota Probolinggo.
135
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
berubah menjadi pukul 09.00 - 10.00 WIB yang kemudian dilanjutkan dialog interaktif menyangkut tindak lanjut dari instansi pemerintah/ satuan kerja yang banyak mendapatkan aduan dari masyarakat mengenai permasalahan pelayanan yang diterima masyarakat. Masyarakat dapat menelpon ataupun mengirim SMS mengenai pengaduan-pengaduan tentang layanan publik dan disiarkan secara live (on air). Tidak hanya itu, masyarakat juga dapat mengkritik dan memberikan saran kepada pemerintah kota Probolinggo terkait dengan pembangunan kota Probolinggo. Tercatat, setiap harinya ada sekitar 20 telepon dan 30 SMS yang masuk dari masyarakat. Masukan, saran, keluhan, pengaduan masyarakat yang masuk melalui acara ini, terdokumentasi dengan rapi per hari dan jam ketika laporan dari masyarakat itu masuk ke radio. Pengaduan ini akan diteruskan ke masing-masing satker untuk ditindaklanjuti. Para satker yang menjadi sasaran pengaduan atupun kritik akan memberikan jawaban kepada masyarakat baik secara langsung maupun dalam sesi dialog interaktif. Dan untuk menindaklanjuti dan mengevaluasi hasil rekapitulasi pengaduan masyarakat dalam acara Laporo Rek, pada akhir bulannya Radio Suara Kota Probolinggo melaporkan hasil pengaduannya secara tertulis kepada Walikota Probolinggo. Program dialog radio selain Laporo Rek yang juga digemari adalah Dialog Interaktif, dimulai sejak tahun 2005. Dialog Interaktif disiarkan secara on air dengan mendatangkan narasumber dari masing-masing satuan kerja pemerintah Kota Probolinggo atau instansi pemerintah vertikal. Organ-organ di luar pemerintah dan LSM juga diberi kesempatan menjadi narasumber terkait dengan sesuatu permasalahan. Siaran dilakukan selama hari Senin sampai Jumat pukul 10.00 - 11.00 WIB. 136
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Masyarakat secara langsung dapat bertanya kepada narasumber yang dihadirkan. Sehingga masyarakat dapat menemukan informasi dari permasalahannya. Dialog Interaktif juga mengundang DPRD Kota Probolinggo untuk hadir pada acara ini. Bergantian, mulai dari komisi I sampai komisi IV dalam setiap bulannya sesuai dengan bidang yang ditangani oleh masing-masing komisi kaitannya dengan kinerja eksekutif. Selain itu, pada setiap hari Jumat, Dialog Interaktif mengundang dokter ahli (spesialis) selama satu jam. Masyarakat dapat melakukan konsultasi gratis melalui siaran telepon mengenai pelayanan kesehatan ataupun konsultasi penyakit yang dideritanya. Sedangkan untuk dialog radio bertajuk Walikota Menjawab, jadual disesuaikan dengan kesibukan Walikota. Program ini dimulai tahun 2005, bersamaan dengan Dialog Interaktif dan Laporo Rek. Setiap minggu diagendakan minimal satu kali Walikota mengudara (on air) untuk berdialog dengan masyarakat. Momen ini tidak disia-siakan masyarakat untuk mengadu ke walikota mengenai pelayanan publik ataupun permasalahan pembangunan kota yang lain. Biasanya saat walikota siaran, didampingi oleh satker-satker. Di sini walikota menegur secara langsung pimpinan unit kerja apabila pelayanan yang diberikan belum optimal. Kemudian walikota memerintahkan pimpinan unit kerja untuk segera menindaklanjuti dengan batas waktu tertentu. Program e-Government, diselenggarakan untuk meningkatkan hubungan antara pemerintah kota Probolinggo dengan stakeholders yang lain sehingga menghasilkan bentuk hubungan baru antara pemerintah dengan masyarakat (government to citizen, G to C), antara pemerintah dengan pelaku bisnis (government to business enterprise, G to B) dan antara pemerintah dengan para 137
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
tokoh (inter agency relationship). Salah satu kerangka penguat e-government dalam bentuk penguatan hubungan pemerintah dengan masyarakat, pemerintah Kota Probolinggo membentuk �kampung cyber� yang terletak di kelurahan Sumber Taman tepatnya di RW 7 dan 8 perumahan Sumber Taman Indah. Pembentukan kampung cyber ini merupakan pilot project yang diarahkan untuk replikasi di kelurahan lain. Kampung cyber yang dilaunching pada tanggal 20 Mei 2009 itu dimaksudkan untuk membentuk jaringan informasi dan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, dunia usaha dan membuka saluran komunikasi publik dengan seluasluasnya. Layanan kampung cyber berupa anjungan internet mandiri di RW 7, website kampung cyber untuk mempromosikan produk potensi lokal. Sedangkan penerapan e-government dalam hal mempermudah, meningkatkan efisiensi dan efektifitas komunikasi internal antar perangkat pemerintah daerah, digunakanlah perangkat integrasi komunikasi data perencanaan dan pengendalian pembangunan melalui email intranet antar badan/ bagian/ kantor/ kecamatan/ kelurahan dan pejabat di lingkungan pemerintah kota Probolinggo. Sistem ini juga mendukung percepatan pelaksanaan surat/ dokumen yang bersifat kedinasan, yang ke depan, dapat mengurangi penggunaan dan ketergantungan pada kertas (penghematan dan pengurangan penggunaan kertas). Implementasi teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan ini diatur dalam Peraturan Walikota Probolinggo Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Probolinggo. Beberapa aturan teknis yang mendukungnya adalah Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 188.45/172/KEP/425.012/2009 tentang Tim Pengelola 138
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Kampung Cyber Kelurahan Sumber Taman Kota Probolinggo, Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 188.45/307/KEP/425.012/2009 tentang Tim Pengelola Pendayagunaan Teknologi eknologi Informasi dan Komunikasi, Keputusan Walikota Nomor 188.45/308/KEP/ 425.012/2009 tentang Tim Koordinasi Pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan Keputusan Walikota Nomor 188.45/309/KEP/425.012/2009 P/425.012/2009 tentang Penetapan Nama Email Satuan Kerja erja Perangkat Daerah dan Pejabat di Lingkungan Pemerintahan Kota Probolinggo. Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) dalam mendukung partisipasi warga adalah pada pemilihan ketua RT 2 RW 7 kelurahan Sumber Taman kecamatan Wonoasih. Pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus 2009 itu menggunakan perangkat TI sebagai sarana pemilihan. Para pemilih (warga) tidak lagi mencoblos os kertas bertuliskan dan bergambar mbar para calon, tetapi menggunakan layar sentuh (touch screen) pada layar komputer (lihat gambar). gambar)
139
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Partisipasi kalangan partai politik khususnya dalam dukungannya pada penciptaan kondusivitas situasi dan kondisi politik domestik juga tidak kalah penting. Karena, keamanan dan ketertiban daerah berpengaruh pada kenyamanan warga kota dan jalannya pemerintahan dan pembangunan daerah. Ketika kota Probolinggo menghelat pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah 2008, pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur 2008, pemilihan umum legislatif 2009 dan pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2009, kota Probolinggo tidak mengalami kekacauan politik. Suasana damai ini tidak lepas dari peran kalangan partai politik yang bergabung dalam Forum Komunikasi Bersama (FKB) Partai Politik yang difasilitasi oleh Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat. Forum Partai Politik tersebut terbukti efektif mengurangi potensi konflik pada hajatan demokrasi tersebut26. Keterlibatan publik pada pemerintahan dan pembangunan juga terlihat pada pertemuan publik (public meeting) bertajuk “Probolinggo Summit 2k9” atau Rembug Warga Kota Probolinggo 2009” yang digelar pada 14 – 15 Desember 2009. Rembug Warga yang diselenggarakan oleh pemerintah Kota Probolinggo (Bappeda) bekerjasama dengan Radar Bromo itu menghasilkan Citizen Charter (Piagam Kota Probolinggo) yang berisi kesediaan pemerintah kota Probolinggo untuk melaksanakan semua hasil Rembug Warga itu. Piagam Kota Probolinggo ditandatangani oleh Walikota HM Buchori mewakili pemerintah kota Probolinggo dan Ketua DPD Asosiasi LPM Kota Eko Edi Poerwanto mewakili masyarakat. Rembug Warga menyepakati point-point yang berkaitan dengan 26 Kuswandoro, Wawan E., 2009, Demokrasi Lokal: Belajar Pada 72,6% Kemenangan Pilwali Kota Probolinggo 2008, penerbit InSECS Publishing, Surabaya, p.196.
140
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, peningkatan kualitas layanan kesehatan dan lingkungan, peningkatan kualitas pendidikan, pemaksimalan potensi dan pariwisata daerah dan terakhir, reformasi birokrasi. Piagam Probolinggo (Probolinggo Charter) dan Probolinggo Summit 2k9 dibahas setelah pembahasan bagian ini. Inovasi di bidang partisipasi dan akuntabilitas publik juga dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Di bidang partisipasi politik warga, pemerintah kota menginiasi pemilihan ketua RT dengan menggunakan sistem online, yang diujicobakan di kelurahan Sumber Taman. Di bidang pendidikan, pemerintah kota Probolinggo melalui Dinas Pendidikan Kota Probolinggo yang bekerjasama dengan Jaringan Informasi Sekolah (JIS), PT. Telkom dan Dewan Pendidikan menyelenggarakan P2DB (Penerimaan Peserta Didik Baru)27 Online. P2DB Online yang diluncurkan sejak tahun 2005 dan mengalami penyempurnaan pada tahun 2009, telah mempermudah masyarakat untuk mendaftarkan anakanaknya masuk sekolah. Sistem online ini memungkinkan orang memilih hingga 5 pilihan sekolah tanpa harus memindah-mindah berkas administratifnya jika tidak diterima di suatu sekolah karena nilainya tidak mencukupi yang diminta sekolah tersebut. Sistem akan secara otomatis menggeser posisi nomor dan nama pendaftar sesuai dengan nilai dan jumlah pagu murid. Selain P2DB Online, Dinas Pendidikan juga meluncurkan School Net, sebuah program jaringan internet sekolah pada 80 sekolah dengan pembiayaan dari APBD sejak tahun 2009. Program ini merupakan kelanjutan program Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional) yang diinisiasi
27
P2DB, sebelumnya bernama Penerimaan Siswa Baru (PSB).
141
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dan dibiayai oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 2007 hingga 2008. Ketika program pusat ini berhenti pada tahun 2008, Kota Probolinggo melanjutkannya dengan mengalokasikan APBD sebesar Rp. 180 juta untuk program ini pada tahun 2010. Di bidang database kemiskinan, pemerintah kota Probolinggo meluncurkan Sistem Informasi Layanan Gakin Online (SILAGO). Sistem diluncurkan pada Rabu, 23 Desember 2009 bertempat di Puri Manggala Bhakti Kantor Walikota Probolinggo dan diresmikan pembukaannya oleh Wakil Walikota Probolinggo Drs. H. Bandyk Soetrisno, M.Si. Partisipasi dan akuntabilitas publik secara kelembagaan dapat diketahui dari keterlibatan elemen masyarakat, sektor swasta, dunia usaha dan industri, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM dan pondok pesantren dalam kebijakan publik atau kebijakan kota. Antara lain dalam program pendidikan, keberadaan lembaga Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/ Madrasah dapat menjadi ukuran bagi bekerjanya partisipasi masyarakat. Dewan Pendidikan dikuatkan dengan Peraturan Walikota Nomor 49 Tahun 2005 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan. Sebagai lembaga ekstra birokrasi, lembaga ini bersifat independen dan berfungsi sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency), dukungan (supporting agency), pengawasan (controlling agency) dan mediasi bagi kebijakan pemerintah kota di bidang pendidikan. Organ serupa tetapi berada pada tingkat satuan pendidikan adalah Komite Sekolah/ Madrasah, yang telah membentuk jaringan kerja di tiaptiap kecamatan, yakni Forum Komunikasi Komite Sekolah yang pembentukannya difasilitasi oleh Dewan Pendidikan Kota Probolinggo. Sedangkan untuk madrasah, terdapat Forum Komite Madrasah yang terbentuk atas inisiatif 142
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
sendiri. Bidang penelitian dan pengembangan kota Probolinggo khususnya di bidang pendidikan juga diperkuat dengan adanya Jaringan Penelitian dan Pengembangan Kota Probolinggo yang difasilitasi oleh Bappeda. Sedangkan di bidang kesehatan terdapat Forum Kota Probolinggo Sehat, dengan fungsi sebagai mitra pemerintah kota pada sektor kesehatan. Forum ini telah memiliki jaringan hingga ke kecamatan yang disebut Pokja Kecamatan dan tingkat kelurahan yang disebut Pokja Kelurahan. Dan di bidang pembangunan lingkungan hidup, terdapat Dewan Pembangunan Berkelanjutan, Forum Jaringan Manajemen Sampah (Forjamansa), Paguyuban Pemilah Sampah (Papesa) dan Paguyuban Kader Lingkungan (Pakerling). Organ-organ ini berfungsi sebagai mitra pemerintah kota pada sektor pembangunan lingkungan. Di bidang pemberdayaan ekonomi lokal pada sektor informal, terdapat Paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL) yang juga bermitra dengan pemerintah kota di bidang pemberdayaan PKL. Program partisipasi lain yang juga bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri Perkotaan (PNPM-MP). PNPM, yang merupakan kelanjutan dari program P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), merupakan program pemerintah pusat di bidang pengentasan kemiskinan masyarakat perkotaan dengan menggunakan pendekatan konsep pemberdayaan masyarakat. Karenanya program ini melibatkan peran warga masyarakat secara langsung untuk dapatnya mengatasi masalah mereka sendiri secara mandiri. Peran langsung masyarakat secara mandiri ini diwadahi dalam organ Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dengan didampingi Fasilitator Kelurahan (Faskel) dari beberapa bidang yakni faskel sosial (Community Development, CD), 143
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
faskel ekonomi, dan faskel infrastruktur. Dalam kinerja pemberdayaannya, BKM mewadahi beberapa Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang terdiri dari warga masyarakat yang ingin mengubah nasib mereka baik di bidang ekonomi produktif, perbaikan infrastruktur lingkungan maupun program sosial produktif. Di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat kelautan dikenal pula program PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM – MKP), dengan pola kerja yang sama dengan PNPM Mandiri Perkotaan. Pada program pemberdayaan masyarakat kelautan juga terdapat program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), sejak tahun 2007 - 2008. Sedangkan di bidang perlindungan perempuan dan anak terdapat organ Perlindungan Perempuan dan Anak Terpadu (PPT) yang difasilitasi oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Di bidang pariwisata terdapat Komunitas Pariwisata (Kopara), yang menginisiasi Kontes Busana Daun (Kobuda) dan banyak berperan di ajang kegiatan Seminggu di Kota Probolinggo (Semipro). Dan di bidang kesenian terdapat Dewan Kesenian. Tentu saja peran partisipasi masyarakat tidak sebatas pada peran-peran stakeholders yang disebutkan di atas. Unsur-unsur Non Governmental Organization (NGO) atau Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang lain juga masih banyak dengan peran dan fungsinya masingmasing, yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ormas keagamaan, ormas kepemudaan, organisasi profesi, organisasi perempuan, KADIN, dsb. Good and Clean Government Kartu Identitas Pensiun Bagi PNS Purna Tugas Kartu Identitas Pensiun (KARIP) merupakan pelayanan Taspen proaktif hasil kerjasama Pemerintah 144
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Kota Probolinggo dengan PT Taspen Cabang Malang. KARIP berbentuk kartu yang digunakan oleh PNS purna tugas (pensiun) untuk mengambil tunjangan pensiun tanpa perlu mengurus berkas-berkas administratif persyaratannya ke PT Taspen Cabang Malang. Sebelumnya, PNS yang purna tugas harus mengurus berkas-berkas administratif persyaratan untuk mendapatkan hak-hak pensiunnya, antara lain asuransi kematian dan tunjangan hari tua. Untuk ini, mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunggu proses administratif di PT Taspen tersebut dan merepotkan karena mereka harus bolak-balik ke Malang serta sering terjadi penipuan. Atas dasar ini Pemerintah Kota Probolinggo mempermudah penerima pensiun dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Taspen Malang berdasarkan Nota Kesepakatan Nomor: 800/182/425.203/2006 dan Nomor: 1520/ C.5.1/032006 tanggal 17 Maret 2006 tentang Pelayanan Taspen Proaktif, yang ditandatangani oleh Walikota Probolinggo HM. Buchori, SH. M.Si dan Direksi PT Taspen (Persero), H. Heru Maliksjah, SE, MBA. Dengan layanan ini, PNS yang memasuki masa purna tugas mendapatkan kartu KARIP, sedangkan penyerahan dana Taspen dilakukan setiap tanggal 17 (pada saat upacara) tiap bulan. Pelayanan pemkot ini dilakukan tanpa ada pungutan biaya. Pihak Taspen datang untuk menyerahkan sekalian membawa berkas pegawai purna tugas untuk bulan depannya. Langsung hari itu juga bisa dicairkan ke BTPN. Workshop Penulisan Karya Ilmiah Workshop ini diperuntukkan bagi pegawai fungsional untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam membuat karya tulis ilmiah untuk dimuat di surat kabar 145
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
nasional atau jurnal teraktreditasi atau yang memiliki ISSN. Karya tulis ini amat membantu para pegawai atau pejabat pemerintahan untuk keperluan kenaikan pangkat pegawai fungsional dari golongan 4a ke atas, karena sebelumnya, mereka menghadapi kesulitan dalam hal penulisan karya tulis ilmiah. Workshop diselenggarakan oleh pemerintah Kota Probolinggo bekerjasama dengan LPM Universitas Negeri Malang (UM) sekaligus menerbitkan jurnal ilmiah untuk menampung karya tulis yang dibuat oleh PNS tersebut. Dalam satu paket workshop itu ada seminar penelitian. Selama ini secara nasional pegawai fungsional utamanya guru itu seringkali macet dari 4a ke 4 b. karena mereka harus membuat karya ilmiah sebagai syarat wajib, yang mencapai angka kredit 12. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 2003, bekerjasama dengan LPM Universitas Negeri Malang yang tertuang dalam MoU. Untuk pegawai yang mengikuti workshop ini tidak dipungut biaya. Tujuannya agar pegawai terlayani dengan baik dan timbal baliknya, mereka bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Pemilihan Pegawai Berprestasi Dilakukan setiap triwulan sekali atau 4 kali setahun, oleh Badan Kepegawaian Dearah (BKD) bersama Bawasda/ Inspektorat. Setiap triwulan sekali Badan Kepegawaian Daerah (BKD) mengirimkan surat ke seluruh unit kerja untuk mengirimkan 2 pegawainya (PNS) yang layak diusulkan untuk menerima pegawai berprestasi. Di sini ada timnya untuk menilai pegawai berprestasi. Dari usulan masing-masing unit kerja tersebut kemudian pegawai diseleksi. Akhirnya muncul pegawai berprestasi menurut berbagai kategori. Misalnya eselon 4 berprestasi. 146
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Kriterianya, masa kerja, bermasalah atau tidak, ada catatan atau tidak, dilihat kesehariannya bagaimana, dan meyakini bahwa pegawai ini adalah yang terbaik yang diusulkan oleh unit kerja. Tidak ada alat ukur yang jelas. Muncullah 9 kategori. Dari 9 kategori ini akan dikolektifkan hingga satu tahun. Pada akhir tahun dilakukan penilaian Pegawai Teladan. Pesertanya terdiri dari pegawai berprestasi. Dengan mengikuti ujian akademik, psikotes, dilihat sejarahnya dalam masa kerjanya, pangkat, pendidikan. Kemudian dibuat indikator penilaian. Untuk pegawai teladan 1 yang masih S1 maka akan diberikan hadiah berupa beasiswa S2 (Tugas Belajar). Biaya seluruhnya dari Pemkot. Untuk SMA maka akan diberikan beasiswa S1. Kegiatan ini dilembagakan melalui SK walikota. Untuk tahun 2009, pemberian reward ini ditiadakan kecuali untuk pegawai teladan. Penilaian pegawai teladan bekerjasama dengan Universitas Merdeka Malang untuk penilaian psikotes. Satya Lencana Karya Satya Pengusulan tanda jasa Satya Lencana Karya Satya ini diselenggarakan setiap tahun, sejak tahun 2004, kepada presiden RI. Pegawai yang masa kerjanya 10-30 tahun dengan penilaian dari BKD maka akan diusulkan kepada presiden untuk mendapatkan tanda jasa Satya Lencana Karya Satya. Perubahan Mindset bagi Frontliner Frontliner di tiap SKPD diberikan workshop perubahan mindset untuk mendukung memberikan pelayanan yang baik. Memasang pin �melayani dengan senyum�. Ini dikarenakan aparat pemerintahan dalam meberikan pelayanan disinyalir belum dilakukan dengan baik. Sudah 3 tahun dilaksanakan. Setiap tahun rutin 147
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dilaksanakan. Pada tahun 2008 sasarannya frontliner dan kabag TU. Perubahan mindset tidak hanya di tataran bawah saja, di tataran pimpinan juga harus berubah. Dilaksanakan slama dua hari. Bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang dan Humas RSUD Dr Syaiful Anwar Malang. Setiap workshop diikuti sejumlah 40 orang. Survei dan Ekspose Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Ada 14 unsur yang menjadi penilaian. Masingmasing SKPD diwajibkan untuk menyusun IKM (sesuai Perda Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik). Di kota Probolinggo sudah 27 SKPD menyusun Standar Pelayanan Publik (SPP). Untuk Pelaksanaan survei IKM minimal dalam setahun ada dua kali. Satu kali dilaksanakan oleh internal SKPD sendiri dan satu kali dilaksanakan oleh Tim Independen yang bekerjasama dengan PT KOKEK di Surabaya. Dari hasil IKM akan diekspose. Setiap melakukan ekspose mendatangkan Deputi Pelayanan Publik dari Kementerian PAN (Pemberdayaan Aparatur Negara). Ekspose IKM dihadiri oleh masing-masing SKPD dan juga stakeholders. Tidak hanya instansi pemkot tetapi juga instansi vertikal lainnya. Survei IKM dimulai sejak tahun 2005 dan ekspose publik atas hasil survei IKM dilakukan mulai tahun 2007. Tujuan ekspose IKM ini adalah untuk mengetahui kelemahan SKPD untuk segera meningkatkan kualitasnya. Publik sebagai peserta ekspose ini adalah kalangan LSM, tokoh masyarakat dan perguruan tinggi untuk memberikan masukan. Dari hasil survei IKM akan diberikan reward yang diberikan kepada SKPD yang memiliki IKM peringkat teratas, yakni dengan mengirim SKPD tersebut untuk mengikuti kompetisi pelayanan publik. 148
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Pakta Integritas Pengadaan Barang dan Jasa Pakta Integritas Pengadaan Barang dan Jasa ini merupakan hasil kerjasama Pemkot Probolinggo dengan Transparency International Indonesia (TII), sebagai tindaklanjut implementasi Kepres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pemerintah kota Probolinggo mencoba mengimplementasikan hal tersebut terutama dalam pengadaan barang dan jasa, bekerjasama dengan Transparency International Indonesia (TII). Penyusunan Pakta Integritas dalam rangka Pengadaan Barang dan Jasa. Karena di bidang pengadaan barang dan jasa inilah yang rawan sekali untuk KKN. Oleh karenanya pemkot Probolinggo menandatangani perjanjian kerjasama dengan TII tentang Penerapan Pakta Integritas Dalam Pengadaan Barang/Jasa, pada tanggal 4 Maret 2008. Pakta Integritas memastikan para pihak dapat menjalankan hak dan kewajibannya tanpa merubah sistem hukum yang ada. Selain itu juga akan meningkatkan transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, nilai-nilai kejujuran yang akan mendorong terciptanya persaingan usaha yang sehat, iklim investasi yang baik dan mencegah praktik penimpangan. Pemerintah Daerah yang sudah melakukan penandatanganan Pakta Integritas dengan TII di Indonesia baru Solok dan Banjarbaru. Pelembagaan untuk pelaksanaan Good and Clean Governance di Kota Probolinggo: Inpres No. 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, MoU antara Pemerintah Kota Probolinggo dengan TII Nomor 420/07/425.012/2008 tanggal 4 Maret 2008, Keputusan Walikota Probolinggo Nomor 188.45/223/KEP/ 425.012/2007 tanggal 27 Agustus tentang Tim Penyelenggara Kepemerintahan Yang Baik Kota Probolinggo. 149
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Budaya Kerja Sejak tahun 2005 masing-masing SKPD diwajibkan untuk membentuk kelompok budaya kerja, yang bertugas mengidentifikasi seluruh permasalahan yang ada di SKPD kemudian merumuskan cara penyelesaian masalah tersebut dengan model budaya kerja 8 langkah 7 alat (mengidentifikasi permasalahan, mencari penyebabnya, mencari penyebab yang menyebabkan penyebab ini, merencanakan perbaikan, melaksanakan perbaikan, mengevaluasi perbaikan, perbaikan itu sendiri). Jika setiap permasalahan dilakukan seperti ini maka akan lebih mudah. Kalau sudah eksis budaya kerjanya, maka seluruh persoalan yang muncul di SKPD dapat tertangani dengan baik. Inventarisasi masalah yang ada di SKPD oleh kelompok budaya kerja dipresentasikan. Setiap tahun juga digelar budaya kerja yang diikuti oleh seluruh SKPD. Kemudian kelompok (ketua, fasilitator, sekretaris, anggota) yang terbaik akan mewakili pemerintah kota Probolinggo untuk berkompetisi di budaya kerja provinsi. Kontrak Kinerja Kontrak kinerja digagas mulai pertengahan tahun 2008 (bulan Juni-Juli). Dasar pemikirannya adalah untuk memberikan hasil kinerja yang optimal dari unit kerja yang ada di lingkungan pemkot Probolinggo. Awalnya, unit kerja berkumpul bersama untuk mempresentasikan program kerja yang akan dilakukan dalam satu tahun anggaran kepada walikota, berikut output program dan waktu pelaksanaan program. Setelah presentasi kemudian unit kerja menyesuaikan dengan anggaran yang ada (fakta anggaran). Setelah itu, mereka menyusun prioritas program kerja dengan anggaran yang diberikan, yang dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak kinerja oleh pimpinan unit kerja berdasarkan program kerja yang 150
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
sudah dibuatnya. Pengawasan dan pembinaan dilakukan dalam setahun sekali. Kontrak kinerja ini nantinya akan dilakukan mekansime reward and punishment. Bisa berupa alokasi anggaran pada unit kerja dan promosi jabatan, atau pemberian tunjangan fungsional. Piagam Kota Probolinggo (Probolinggo Charter) Piagam Kota Probolinggo atau Probolinggo Charter dihasilkan oleh Rembug Warga Kota Probolinggo 2009 atau Probolinggo Summit 2k9 yang diselenggarakan pada tanggal 14 – 15 Desember 2009. Piagam Kota Probolinggo ini memuat kesepakatan antara pemerintah kota Probolinggo dengan masyarakat kota Probolinggo untuk melaksanakan dan mengawasi program-program yang dihasilkan oleh Rembug Warga Kota Probolinggo 2009 atau Probolinggo Summit 2k9. Sebagai wujud kesepakatan tersebut, piagam ditandatangani oleh Walikota Probolinggo mewakili pemerintah Kota Probolinggo dan Ketua DPD Asosiasi LPM Kota mewakili masyarakat (peserta Probolinggo Summit 2k9). Piagam Kota Probolinggo berisi pernyataan kesediaan melaksanakan dan mengawasi program pembangunan dari perumusan hasil Probolinggo Summit 2k9 dan dilampiri dengan dokumen hasil Probolinggo Summit 2k9. Hasil Probolinggo Summit 2k9 memuat 5 rekomendasi di bidang penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, peningkatan kualitas layanan kesehatan dan lingkungan, peningkatan kualitas pendidikan, pemaksimalan potensi dan iklim pariwisata daerah dan reformasi birokrasi. Bunyi Piagam Kota Probolinggo (Probolinggo Charter) dapat dilihat pada box berikut ini.
151
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
PIAGAM KOTA PROBOLINGGO “Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, pada hari ini Selasa, 15 Desember 2009, Pukul 19.45 WIB di Hotel Bromo View, kami Pemerintah Kota Probolinggo menyepakati seluruh hasil Probolinggo Summit 2009. Selanjutnya kami menyatakan komitmen untuk menjalankan, meng-awasi dan berpartisipasi penuh dalam pelaksaanaan seluruh hasil Probolinggo Summit 2009 dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab demi masa depan Kota Probolinggo”.
Piagam Probolinggo ditandatangani pada tanggal 15 Desember 2009, oleh Walikota Probolinggo HM Buchori mewakili Pemerintah Kota Probolinggo dan Ketua DPD Asosiasi LPM Eko Edi Purwanto mewakili masyarakat kota. Probolinggo Summit 2k9 menghasilkan 5 pokok pikiran atau “5 tuntutan” yang masing-masing berisi isu strategis dan rekomendasi, yaitu:28 1. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. 2. Peningkatan Kualitas Layanan Kesehatan dan Lingkungan. 3. Peningkatan Kualitas Pendidikan. 4. Pemaksimalan Potensi Pariwisata Daerah. 5. Reformasi Birokrasi. Pada bidang pertama, penangggulangan kemiskinan dan pengangguran, muncul 6 isu strategis berikut rekomendasinya, yaitu: peningkatan skill masyarakat, bantuan permodalan, sistem penguatan jaminan sosial masyarakat miskin, pengondisikan pasar untuk UMKM, pelibatan sektor swasta dalam
28
Bappeda Kota Probolinggo, Desember 2009, Probolinggo Summit 2k9.
152
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
penanggulangan kemiskinan melalui CSR, dan peningkatan produksi pertanian, peternakan, kelautan. Pada bidang kedua, peningkatan kualitas layanan kesehatan dan lingkungan, tergali 4 isu strategis berikut rekomendasinya: peningkatan kualitas RSUD/swasta, puskesmas, puskesmas pembantu (pustu), peningkatan kesehatan ibu dan anak, peningkatan sistem jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin, penciptaan lingkungan bersih dan sehat. Pada bidang ketiga, peningkatan kualitas pendidikan, peserta summit mengeksplorasi 4 isu strategis: perencanaan program PAUD, perencanaan program pendidikan dasar di SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA, SMK, perencanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus dan pendidikan non formal, dan perbaikan kebijakan pendidikan. Sedangkan bidang keempat, pemaksimalan potensi pariwisata daerah, teridentifikasi 7 isu strategis: belum terinventarisirnya potensi wisata di Kota Probolinggo, pengembangan / penciptaan wisata buatan (wisata bahari, wisata kuliner pantai, wisata memancing), pengembangan sumber mata air, pengembangan wisata mangrove (Kel.Ketapang), pengembangan sentra industri kecil (alat musik, industri batik, industri bordir, produk makanan dan minuman khas), pengembangan wisata seni dan budaya, Fasilitas pendukung pariwisata (perhotelan, restauran, keamanan, transportasi dan komunikasi informasi, pusat oleh-oleh), pariwisata Probolinggo perlu political will pemerintah (kemauan, nyali), masyarakat (komitmen), investor (modal). Dan pada bidang kelima, reformasi birokrasi, summit menemukan 10 isu strategis yang perlu penyelesaian, yakni: masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan peran masyarakat, masih belum 153
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
optimalnya fungsi kelembagaan pemerintah kota, intervensi politik dan kekuasaan ke dalam birokrasi, belum adanya bentuk komitmen dalam melakukan reformasi birokrasi, belum semua SKPD memiliki SPP (Standar Pelayanan Publik), belum dilibatkannya masyarakat dalam menyusun SPP SKPD, lemahnya pengawasan kinerja aparatur pemerintah daerah, masih adanya penempatan aparatur yang belum sesuai kompetensi bidang tugasnya, lemahnya kualitas SDM aparatur, dan regenerasi belum berjalan maksimal. Kerjasama Nasional dan Internasional Pemerintah kota Probolinggo juga aktif dalam kegiatan hubungan dan kerjasama dengan pemerintah kota daerah lain, maupun dengan organisasi internasional. Tercatat, mulai dari Assosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Dewan Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), hingga kerjasama dengan Perfektur (semacam Provinsi) Mie di Jepang yakni dalam kerjasama program lingkungan hidup, ICETT (International Center for Environmental Technology Transfer), sebuah program alih teknologi (technology transfer) dan bantuan teknis (technical assistance) pengelolaan lingkungan hidup. Disamping itu Pemerintah Kota Probolinggo juga menjadi anggota United World and Local Governments (UCLG). Penghargaan Prestasi Kota Probolinggo 2004 – 2009 Batas tipis antara program inovasi dan penghargaan yang diterima oleh pemerintah Kota Probolinggo menunjukkan betapa kota ini tampak berupaya keras untuk berbenah diri. Sebagaimana deskripsi di atas, beberapa program inovasi yang dibuat membuahkan beberapa penghargaan dalam berbagai ajang kompetisi. 154
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Jenis-jenis penghargaan lain juga diperoleh oleh kota kecil dinamis ini, mulai dari tingkat nasional hingga regional provinsi Jawa Timur dan Bakorwil III Malang. Berikut ini adalah beberapa penghargaan yang diterima oleh pemerintah Kota Probolinggo sejak tahun 2004 hingga tahun 2009. Data dihimpun dari Bappeda Kota Probolinggo dan Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Pemerintah Kota Probolinggo pada Desember 2009. Tingkat Nasional Piagam penghargaan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Probolinggo dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI atas partisipasi dan peran aktifnya dalam membina KUB Mina Sejahtera sebagai pemenang I kategori Kelompok Usaha Pemasaran Hasil Perikanan (OPTISARKAN) Lomba Perikanan Tangkap Tingkat Nasional Tahun 2004. Pemenang I kategori Kelompok Optimalisasi Usaha Pemasaran Hasil Perikanan (OPTISARKAN) Lomba Perikanan Tangkap Tingkat Nasional Tahun 2004. Penghargaan Manggala Karya Kencana dari Presiden RI Tahun 2005. Penghargaan Piala Citra Bhakti Abdi Negara dalam rangka Kompetisi Pelayanan Publik Tingkat Nasional dari Presiden RI Tahun 2006. Sebagai Presenter dalam Kongres United Cities Local Goverment (UCLG) Asia Pasifik pada Kongres UCLC periode 2006 – 2009 Ditunjuk sebagai Council of UCLC periode 2006 – 2009. Penghargaan Adipura untuk Kota Sedang Tahun 2006/2007. Penghargaan Adiwiyata Tahun 2007 untuk Sekolah Berbudaya Lingkungan. 155
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Penghargaan Bidang Koperasi Tingkat Nasional Tahun 2007. Penghargaan Bidang Kelautan dan Perikanan Tingkat Nasional Tahun 2007. Penghargaan “Adi Bhakti Mina Bahari� dari Menteri Kelautan dan Perikanan di bidang Perikanan Tangkap Tingkat Nasional Tahun 2007. Peringkat II Kategori Kota Sedang/Kecil Penghargaan Bidang Cipta Karya Sub Bidang Pembinaan Bangunan Gedung Tahun 2007 dari Kementrian Pekerjaan Umum. Penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden RI Tahun 2007. Penghargaan Bidang Koperasi dan UKM tingkat Nasional Tahun 2008 Penghargaan dari Komite Pemantuan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Regional Autonomy Watch) Rangking 4 Capacity And Integrity of The Major tahun 2008. Penghargaan dari Komite Pemantuan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Regional Autonomy Watch) The Best Ten District With The Worst Opinion Of Police Responsivenes Tahun 2008. Penghargaan Adipura untuk Kota Sedang Tahun 2008 Penghargaan Satyalancana Pembangunan tahun 2008 dari Presiden Indonesia Penghargaan Piala Adiwiyata Tahun 2008 untuk Sekolah Berbudaya Lingkungan SMAN 2 (tahun ke 1) Penghargaan Adiwiyata Tahun 2008 untuk Sekolah Berbudaya Lingkungan, SMKN 1. Penghargaan Penataan Perkotaan Juara 2 dari Menteri Pekerjaan Umum tahun 2008
156
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Penghargaan Penataan Sanitasi TPA Juara 3 dari Menteri Pekerjaan Umum tahun 2008 Penghargaan Wahana Tata Nugraha Tahun 2008/2009. Penghargaan Adipura Tahun 2008/2009. Penghargaan Adiwiyata Tahun 2008/2009. Sertifikat Adiwiyata Tahun 2008/2009. Kelompok Petani Jagung Berprestasi Tingkat Nasional 2008/2009 (Kelompok Tani Makmur). Peringkat I Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) Awards Bidang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari Menteri Dalam Negeri Tahun 2009. Peringkat II Inovasi Manajemen Perkotaan (IMP) Awards Bidang Sanitasi, Sub Bidang Pengelolaan Sampah Perkotaan dari Menteri Dalam Negeri Tahun 2009. Penghargaan Piala Adiwiyata Tahun 2009 untuk SMAN 2 Kota Probolinggo (tahun ke 2). Penghargaan Piala Adiwiyata Tahun 2009 untuk SMKN 1 Kota Probolinggo (tahun ke 1). Sertifikat Adiwiyata Tahun 2009 SMPN 4 Kota Probolinggo. Sertifikat Adiwiyata Tahun 2009 SDN Mangunharjo 6 Kota Probolinggo. Penghargaan Satyalancana Wirakarya dari Presiden RI tahun 2009 di Bidang Keluarga Berencana kepada Walikota Probolinggo. Penghargaan Swasti Sabha Padhapa Kota Sehat Tahun 2009. Tingkat Jawa Timur Juara I Lomba Antar Kelompok Optimalisasi Penangkapan Ikan (OPTIKAPI) Tingkat Propinsi Jawa Timur Tahun 2005. 157
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Timur kepada kelompok budaya kerja Abalone Badan Kepegawaian Daerah Kota Probolinggo sebagai peserta Gelar Budaya Kerja Kelompok Nelayan di lingkungan pemerintah Propinsi Jawa Timur Tahun 2005. ISO 9001 2000 diperoleh RSUD Dr. Moch. Saleh Kota Probolinggo Tahun 2006. Piagam penghargaan Kota Pelayanan Publik dari Gubernur Jawa Timur Tahun 2006. Teladan III dalam rangka Pembinaan dan Evaluasi GHIPPA/HIPPA Propinsi Jawa Timur Tahun 2006. Piagam Penghargaan sebagai Harapan III dalam lomba pelaporan penyelenggaraan Hari Lingkungan Hidup (HLH) se Jawa Timur Tahun 2006. Penghargaan bidang Pelayanan Publik Tingkat Propinsi Jawa Timur pada UPTD Komposting sebagai Juara I Tahun 2007. Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur dalam rangka Penyelenggaraan Hari Lingkungan Hidup sebagai Juara Terbaik I Pelaporan Penyelenggaraan Hari Lingkungan Hidup Tahun 2007 Tingkat Propinsi Jawa Timur. Penghargaan dari Gubernur Jawa Timur sebagai Juara II dalam Kegiatan Lomba Gerakan Sejuta Pohon (GSP) Propinsi Jawa Timur Tahun 2007. Sepuluh Kategori Terbaik Profesionalisme Award 2007 dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo dalam rangka HUT Korpri Tingkat Propinsi Jawa Timur. UPTD Komposting DKLH meraih predikat terbaik unit pelayanan masyarakat percontohan Jawa Timur Tahun 2007 dari Gubernur Jawa Timur. Piala Bipartit 2008/2009. Juara I Lomba Pertura 2009. 158
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Juara II Lomba Cerdik Komunikatif 2009. Juara II Bidang Pameran Produk Unggulan KIM 2009. Juara Umum Festival Pertunjukan Rakyat 2009. KIM Teladan 2009 (Le Ollena). Otonomi Award tahun 2009 Kategori Pemerataan Ekonomi Lokal Juara Umum Pekan Seni Pelajar Tingkat Propinsi Jawa Timur tahun 2009 Juara 1 Bola Voli Kejurda Kapolda Cup tahun 2009 Peringkat ke-2 Profesionalisme Award se Jawa Timur tahun 2009 Juara I Kelompok Budaya Kerja se Jawa Timur Kategori Penilaian Pelayanan Publik/ Jasa Diwakili KBK Terong RSUD Dr. Moh. Saleh tahun 2009 Peringkat ke-4 Pelayanan Publik percontohan Jawa Timur Diwakili Kecamatan Mayangan Berpredikat Baik tahun 2009. Juara III se Jatim “Pengusaha Muda Berprestasi” bagi pengrajin usaha asesoris Kota Probolinggo. Juara I se Jatim untuk kelompok “Perintis UKM Peralatan Dapur”. Tingkat Bakorwil III Malang Juara I Pembinaan dan Evaluasi Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air (GHIPPA) Tingkat Bakorwil Malang Tahun 2006. Penghargaan kepada Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) sebagai icon Dinas Kebersihan kategori berprestasi tingkat Bakorwil III Malang Tahun 2006. Unggulan terbaik sebagai Icon Citra Prima Pelayanan Prima Tingkat Bakorwil III Malang Tahun 2007. Juara I Lomba Cerdik Komunikatif 2009. 159
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Prestasi Tim Penggerak PKK Kota Probolinggo Tahun 2006 Meraih 5 besar dalam gelar Potensi Produk Olahan Tanaman Pangan Tingkat Propinsi Jawa Timur Tanggal 24 – 25 Juli 2006 di Kabupaten Sidoarjo. Meraih 5 besar dalam Festival Makanan dan Minuman Tradisional Tingkat Propinsi Jawa Timur Tanggal 9 September 2006 di Surabaya. Meraih Juara II dalam Lomba Cipta Menu Tingkat Propinsi Jawa Timur Tanggal 6 Desember 2006 di Kabupaten Ngawi. Juara I Lomba PHBS dalam rumah tangga dalam kegiatan evaluasi pelaksana terbaik PKK-KB-KES Tahun 2006 Tingkat Propinsi Jawa Timur Tanggal 3 April 2007. Juara I Lomba Lingkungan Bersih Keluarga Sehat dalam kegiatan evaluasi pelaksana terbaik PKK-KBKES Tahun 2006 Tingkat Propinsi Jawa Timur Tanggal 3 April 2007. Juara II Pelaksana Terbaik PKK-KB-Kesehatan dalam kegiatan evaluasi pelaksana terbaik PKK-KBKES Tahun 2006 Tingkat Propinsi Jawa Timur Tanggal 3 April 2007. Juara III Lomba Posyandu Teladan dalam kegiatan evaluasi pelaksana terbaik PKK-KB-KES Tahun 2006 Tingkat Propinsi Jawa Timur pada Tanggal 3 April 2007.
160
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
Personalitas Kepemimpinan Kepala Daerah Figur kepala daerah atau personalitas pemimpin membawa pengaruh bagi kinerja organisasi pemerintah. Sebagai figur teratas baik secara internal dalam organisasi pemerintahannya maupun ke luar sebagai “figur yang dipercaya rakyat”, seorang pemimpin daerah kerap dipersepsi sebagai contoh keteladanan dan panutan disamping sebagai figur tempat sandaran keluhan dan harapan orang banyak. Fungsi sosial dan politik tercermin jelas dalam persepsi yang muncul. Hal yang tidak mengherankan, jika mengikuti logika pemilihan langsung kepala daerah. Seorang kepala daerah terpilih melalui pemilihan langsung, yang dalam Undang Undang Pemilu disebutkan memperoleh minimal 50% suara, telah cukup menjelaskan akseptasi publik dan lebih jauh, dianggap “merepresentasi” publik. Dalam kasus kota Probolinggo, kepala daerah dan wakil kepala terpilih melalui pemilihan langsung dengan memperoleh suara 72,6% telah cukup membuktikan argumen legitimasi publik ini29. Dan publik pun menganggap seorang kepala daerah adalah “miliknya”. Adalah merupakan “konsekuensi” dari logika pemilihan langsung, bahwa kepala daerah (pemimpin daerah) sering membangun komunikasi dengan warga masyarakat luas. Dalam perspektif personality in politics, seorang pemimpin politik memerlukan penyesuaian sosial dalam rangka membina pemeranan dirinya dalam bersikap untuk “memelihara hubungan baik dengan orang banyak”. Ini adalah bagian paling penting dalam fungsi individualnya yang membutuhkan dukungan kontak sosial yang kuat. Perkembangan ini ditunjukkan oleh 29 Dapat disimak di Kuswandoro, Wawan E., 2009, Demokrasi Lokal: Belajar Dari 72,6% Kemenangan dalam Pilwali Kota Probolinggo 2008, penerbit InSECS Publishing, Surabaya.
161
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
berbagai studi ilmu sosial populer dan studi perilaku politik bahwa fungsi penyesuaian sosial diperlukan dalam hal-hal praktis semisal untuk memenuhi hasrat membina kebersamaan dengan orang-orang dan pihak-pihak lain30. Walikota Probolinggo sebagai pemimpin atau representasi pemerintahan tergolong sangat aktif berinteraksi dengan warga masyarakat Kota Probolinggo baik mendatangi kegiatan yang diselenggarakan oleh warga masyarakat maupun melalui kegiatan yang dikreasi oleh pemerintah kota untuk bertemu dengan publik. Pemerintah kota Probolinggo melalui beberapa programnya berupaya membuka ruang publik untuk masyarakat luas agar mereka dapat berkomunikasi secara langsung dengan pengambil kebijakan publik di kotanya, mengkonfirmasi atau mengklarifikasi sesuatu hal yang dianggap perlu, menanyakan atau bahkan menyampaikan keluhan dan pengaduan. Kehadiran pejabat publik dalam kegiatan-kegiatan informasi dan komunikasi publik dengan menggunakan saluran-saluran komunikasi yang dikreasi dan dikemas sesuai dengan budaya lokal, memberikan makna tersendiri bagi warga masyarakat. Partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi yang timbul dari program ini dapat mendorong terbukanya komunikasi dan ruang publik dengan lebih luas. Beberapa kegiatan yang dikreasi oleh pemerintah kota untuk memudahkan komunikasi warga masyarakat kota antara lain adalah Walikota Menjawab, Kuliah Subuh Walikota, Pengajian Ramadhan, Kajian Jumat, Laporo Rek, Rembug KAHBI (Kampung Hijau Bersih dan Indah), Talkshow Radio, dan Cangkru’an. Program Walikota Menjawab, merupakan program yang pertama kali diperkenalkan kepada publik. Walikota 30 Elms, Alan C., 2000, Personality in Politics, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, Washington DC, p.11-12.
162
Program Inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004-2009
menyediakan diri untuk memberi jawaban-jawaban langsung kepada publik atas pertanyaan warga masyarakat, melalui radio pemerintah yakni Radio Suara Kota FM. Untuk tema-tema keagamaan dan keruhanian, walikota juga memberikan program pencerahan religius untuk publik, dalam acara Kuliah Subuh melalui Radio Suara Kota FM, Pengajian Ramadhan dan Kajian Jumat melalui koran Radar Bromo (Jawa Pos Group). Adapun acara Talkshow Radio dan Laporo Rek disajikan khusus oleh radio Suara Kota FM untuk menampung pendapat, saran, keluhan dan pengaduan dari masyarakat melalui radio (lihat sub bahasan Partisipasi dan Akuntabilitas Publik di atas). Walikota juga aktif melakukan kegiatan kunjungan kepada warga masyarakat untuk melihat secara langsung kondisi warganya dan menerima keluhan dan masukanmasukan dari masyarakat. Beberapa program kunjungan walikota kepada masyarakat diantaranya adalah: Kunjungan Walikota ke Kawasan Lingkungan, Kunjungan Walikota Bersama Unit Kerja dan Legislatif, Kunjungan Walikota ke Musholla, Kunjungan Walikota Ke Gakin dan Kunjungan Walikota ke kelompok Diskusi Organisasi Keagamaan, Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Politik. Kegiatan kunjungan atau bertemu dengan warga masyarakat, selain program di atas adalah melalui sarana olahraga bersepeda dan jalan-jalan pagi bersama beberapa pejabat pemerintah kota.
163
BAB
4
Modal Sosial dan
Urban Policy
Modal Sosial dan Urban Policy
BAB 4
Modal Sosial dan Urban Policy
Mengawali kajian modal sosial dan urban policy ini, penulis kemukakan beberapa pandangan tentang modal sosial, dalam kaitannya dengan proses sosial dan hubungan sosial yang melibatkan anggota masyarakat dan pemerintah sebagai ‘agen yang ditunjuk untuk mengelola masyarakat’. Hubungan sosial yang terjadi menyiratkan akan adanya mekanisme yang bekerja, yang merekatkan setiap individu. Modal sosial muncul sebagai perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Konsep dan Pandangan Sinergis Modal Sosial Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Hal ini
165
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bank Dunia (1999), yang memaknai modal sosial pada dimensi institusional, hubungan yang tercipta, norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya, tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan. Modal sosial dapat dimaknai sebagai sumber (resource) yang timbul dari interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Robert Putnam (1993) mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Ia menyatakan modal sosial sebagai “....features of social organization such as trust, norms, and networks that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions�. Dengan demikian rasa dipercaya dan saling percaya, kepatuhan pada normanorma sosial yang ada serta jejaring sosial yang dibangun yang mampu meningkatkan efisiensi masyarakat, merupakan fitur dasar modal sosial yang ada dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Francis Fukuyama (2005) memaknai modal sosial sebagai kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas. Keadaan ini terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi tersebut. Modal sosial telah mendapat penerimaan yang luas sebagai sebuah perspektif teoretis yang banyak manfaatnya untuk memahami dan memprediksi norma-norma dan 166
Modal Sosial dan Urban Policy
relasi sosial yang tertanam dalam struktur sosial masyarakat. Adalah pola-pola interrelasi sosial inilah yang menyanggupkan orang untuk mengkoordinasikan aksi demi mencapai cita-cita yang diinginkan (Putnam, 1993). Piere Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, adalah salah seorang dari pengarang-pengarang awal yang menganalisis secara sistematis ciri-ciri modal sosial, kemudian mendefinisikannya sebagai ‘jumlah sumber daya, aktual dan virtual, yang terakumulasi pada seorang individu atau suatu kelompok, dengan cara membangun jaringan kerja sama yang langgeng atau relasi-relasi yang tidak begitu terlembagakan di mana orang-orang bisa saling mengenal dan saling mengakui’. Ia mengatakan, “the aggregate of the actual or potential resources which are linked to the possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance of recognition”, sehingga modal sosial dapat dipahami sebagai berbagai sumber daya aktual dan potensial yang mampu menghasilkan jejaring hubungan kerja yang saling menghargai, saling memaknai (Bourdieu, 1980). James Coleman, seorang sosiolog yang tertarik dengan peran modal sosial dalam penciptaan modal manusia dan hasilhasil pendidikan, mendefinisikan modal sosial menurut fungsinya. ‘Modal sosial bukanlah entitas tunggal, melainkan kumpulan beraneka ragam entitas yang memiliki dua ciri utama. Pertama, semuanya terdiri atas beberapa aspek struktur sosial. Kedua, kumpulan entitas itu memfasilitasi aksi-aksi tertentu dari individu yang berada dalam struktur’ (Coleman, 1988). Dengan menekankan fungsi modal sosial dalam konteks yang berbeda, Portes (1998) mendefinisikan modal sosial sebagai ‘kemampuan aktor untuk mengamankan manfaat dengan cara menjadi anggota jaringan kerja sama sosial atau struktur sosial yang lain’. Proses sosialisasi ini, pada gilirannya, membawa 167
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kepada internalisasi seperangkat nilai dan norma yang manfaatnya dapat diambil oleh orang lain. Modal sosial mempunyai implikasi praktis yang luas dan dalam, dengan konsekuensi-konsekuensi yang bisa berguna tetapi bisa juga patologis. Hasil positif beroperasi melalui sekaligus mencakup kontrol sosial dan pelaksanaan norma, dukungan keluarga dan keuntungan-keuntungan yang dimediasi melalui jaringan kerjasama luar keluarga. Ini terbukti berdampak pada peningkatan pendapatan. Nilai inheren dari kontrol sosial ialah bahwa kontrol sosial menjadikan kontrol formal dan langsung sebagai hal yang tidak penting. Soalnya adalah bagaimana modal sosial yang hidup dalam struktur sosial dapat menyumbang bagi kebaikan bersama (Narayan, 1998). Sebaliknya, dampak negatif dari modal sosial yang hidup dalam kelompokkelompok sosial dengan struktur yang rapih dan berkuasa, seperti korupsi dan kroniisme dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan politik, umumnya tidak dijelaskan kepada khalayak (Bank Dunia, 1997). Ciri khas intrinsik dari modal sosial ialah bahwa ia bersifat relasional. Ketika modal ekonomi adalah rekening bank dan modal manusia ada dalam kepalanya, maka modal sosial terkandung dalam struktur hubungan mereka. Untuk memiliki modal sosial, seseorang harus berhubungan dengan orang lain, dan justru orang lain inilah, bukan dirinya sendiri, yang menjadi sumber aktual dari keuntungannya. (Portes, 1998)
Sementara modal sosial bersifat relasional, maka pengaruhnya menjadi paling kuat ketika hubungan itu berlangsung di antara kelompok-kelompok heterogen. Dari sudut pandang ekonomi, menurut amatan Arya Hadi Dharmawan, disebutkan bahwa beberapa studi mutakhir yang dilaksanakan sebagai bagian dari Kajian Bank Dunia tentang Institusi-Institusi Lokal (Grotaert dan Narayan, 2000) menegaskan kembali pentingnya heterogenitas dalam keanggotaan kelompok (alat ukur untuk modal sosial
168
Modal Sosial dan Urban Policy
positif) dan keluaran ekonomi. Studi-studi modal sosial yang lain, khususnya di Amerika Latin, secara konsisten menunjukkan bahwa meskipun tingkat solidaritas cukup tinggi di kalangan masyarakat asli, mereka akan tetap miskin bila tidak dibangun hubungan dengan lingkaran penguasa di luar komunitas. Maksimal yang dapat dilakukan adalah, mereka dapat menuntut pemerintah untuk membangun infrastruktur sosial, tetapi peluang berproduksi tetap tidak ada. Hampir tidak ada data yang memperlihatkan bahwa organisasi sosial masyarakat tradisional mempersiapkan dasar yang baik bagi warganya untuk menuntut hak-hak dasar, atau memperbesar akses kepada partisipasi ekonomi dan politik. Tanpa bantuan dari luar, modal sosial yang asli dari komunitas-komunitas miskin tetap tidak bisa menjadi substitusi bagi sumber-sumber daya dan pelayanan yang disiapkan oleh negara. Sementara definisi modal sosial umumnya tetap konsisten, termasuk bentuk dan dimensi yang dicakupnya, pada level operasional interpretasi tentang apa itu dan apa yang tidak termasuk modal sosial. Sudarski menyatakan bahwa modal sosial memiliki dimensi-dimensi yang dapat identifikasi, yakni: kepercayaan kepada institusi, partisipasi masyarakat (semangat gotong royong), hubungan timbalbalik (mutualitas dan resiprositas), hubungan horisontal, hirarki, kontrol sosial, semangat bela negara, dan partisipasi politik. WHO-World Health Organization (1988) menggambarkan modal sosial dengan menyatakan sebagai berikut: “Social capital represents the degree of social cohesion which exist in communities” dimana di dalamnya berbaur jejaring hubungan - networks, norma-norma serta social trust yang memberi manfaat bersama bagi semua stakeholders yang ada. Woodcock (1998) mencoba memahami modal sosial sebagai “…the information, trust, and norms of reciprocity inhering in one’s social networks”, 169
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dengan demikian atribut-atribut modal sosial yang baik adalah informasi yang dibangun dan dimanfaatkan, rasa percaya dan saling percaya yang ditumbuhkembangkan serta norma-norma untuk saling memberi dan saling melayani. Hakikatnya adalah semangat untuk tumbuh bersama merupakan hakikat dari sebuah modal sosial yang dapat dibangun. Secara khusus OECD (2001) menggambarkan modal sosial dengan menyatakan bahwa: “Social capital is networks together with shared norms, values and undestandings that facilitate cooperation within or among groups� dan dengan demikian modal sosial tidak lain daripada sebuah jejaring organisasional yang dibangun berdasarkan norma-norma bersama dengan sistem nilai dan pemahaman pemahaman bersama atas apa yang disadari yang dapat memperkuat kerjasama dan kohesi organisasi dalam jangka panjang. Dengan demikian, kata kunci dari konsepsi modal sosial ini adalah: pengembangan jejaring kerja dalam dan di luar organisasi (networking), pengembangan jejaring sosial (Social Networking), pengembangan rasa dipercaya (trust), penguatan normanorma kerja dan hubungan antar orang dan antar organisasi (norms), pengembangan kohesi sosial (Social Cohesion), pengembangan norma resiprositas (Norms of Reciprocity) serta pengembangan dan pemeliharan kerjasama (Cooperation) yang dalam tataran praksisnya dapat dikembangkan dan diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan dan meningkatkan kinerja pemerintahan yang dapat mendukung gagasan community government. Dari perspektif fungsionalisme, modal sosial yang berintikan struktur ikatan-ikatan sosial yang berurat-akar secara luas, memiliki makna yang bersifat multi-aras. Portes (2000) menyebutkan bahwa primordial social ties sebagai bentuk modal sosial “primitif� yang telah ada sejak 170
Modal Sosial dan Urban Policy
lama, dan dari sinilah pemaknaan akan modal sosial berlangsung. Ikatan primordialisme tersebut terjalin dalam jaringan dan ikatan kekeluargaan. Meskipun demikian, lanjut Arya Hadi Dharmawan, kalangan analis memandang cukup hati-hati pemaknaan ikatan primordialisme sebagai hal yang positif secara normatif. Sejarah mengajarkan, bahwa ikatan primordialisme telah disalahgunakan kemanfaatannya, antara lain oleh penguasa rezim Orde Baru. Pada masa itu, modal sosial telah dimanfaatkan secara sepihak untuk menghasilkan apa yang kemudian dikenal sebagai sistem ekonomi berbasiskan crony capitalism yang sangat koruptif, sangat rapuh, yang kemudian mengantarkan Indonesia kepada masa krisis ekonomi berkepanjangan sejak 1998 hingga sekarang masih terasa imbasnya. Dengan kata lain, modal sosial telah dimanfatkan secara “tidak layak�, dimana trust dan jejaring sosial dibangun secara eksklusif untuk membentuk imperium bisnis dan politik. Sementara itu, norma-norma sosial dibentuk oleh dan sesuai selera pemilik otoritas kekuasaan demi mengukuhkan kepentingan-kepentingan kroni tersebut di ruang bisnis dan politik. Dengan demikian, modal sosial pada masa itu telah dimanipulasi menjadi asset ekonomi kelompok tertentu dan bukan menjadi asset publik. Terlepas dari insiden buruk pemanfaatan modal sosial oleh kekuasaan ekonomi-politik Orde Baru, makna modal sosial dalam pengertian traditional ties and social networking tetap memiliki relevansi penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Indonesia umumnya. Studi-studi kependudukan dan ketenagakerjaan, misalnya, menjelaskan betapa pentingnya stok kapital berupa social-ties ini dalam perburuan kesempatan kerja dan berusaha. Studi sektor informal dan urbanisasi desa-kota menemukan bukti-bukti absah adanya jobseeking-based social networking –berupa ikatan-ikatan 171
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
sosial primordial diantara sekelompok individu– yang memudahkan mereka dalam mendapatkan kesempatan kerja. Adalah lazim, bahwa informasi tentang adanya kesempatan kerja biasanya beredar dan disampaikan secara antar-pribadi, sehingga ikatan pertemanan dan solidaritas sosial menjadi “jembatan” penting tersampaikannya informasi tersebut. Tanpa adanya “jembatan sosial” yang dibangun sejak awal, mustahil informasi yang sangat menguntungkan itu (economically gainful occupation opportunity information) akan sampai kepada seseorang yang membutuhkannya. Mekanisme ini berlangsung dengan baik terutama pada masyarakat, dimana hubungan personal dan “face-to-face” communication masih terpelihara dengan baik. Pada titik ini, “jembatan-jembatan” berupa ikatan-ikatan sosial itulah modal sosial yang sebenarnya. Dalam kajian-kajian informal economy misalnya, banyak temuan mengungkapkan bahwa sektor informal perkotaan dunia ketiga tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari adanya perluasan jaringan sosial desa-kota. Jaringan tersebut memungkinkan sektor informal menyerap secara berlebihan tenaga kerja dari pedesaan. Dengan kata lain, kapasitas sektor informal yang “tak terbatas” dalam menyerap tenaga kerja disebabkan salah satunya oleh berfungsinya stok modal sosial. Modal sosial yang dipunyai oleh kaum migran desa-kota itu secara tepat dan efisien dalam mengalokasikan sumberdaya manusia ke unit-unit usaha yang masih memiliki kemampuan untuk berkembang. Dari sudut pandang strukturalisme, trust (kepercayaan) yang melandasi bangunan ikatan sosial itu akan lebih banyak menguntungkan elemen komunitas di tingkat individual, sehingga modal sosial bermakna sebagai asset sosial-ekonomi yang dikuasai dan operasional bagi individu. Namun demikian makna modal sosial tersebut tidaklah 172
Modal Sosial dan Urban Policy
satu-satunya yang terpenting. Dalam perkembangannya, sebagian analis bersetuju memaknai ikatan-ikatan sosial tersebut dalam pengertian yang lebih progresif dan lebih positif dalam memberikan keuntungan tidak hanya kepada individu semata, namun lebih kepada kolektivitas. Di sini modal sosial bermakna sebagai modal kolektif penopang bangunan sebuah sistem sosial. Banyak bukti dari studistudi sosiologi pembangunan yang menjelaskan bahwa jaringan ikatan sosial dibentuk secara sengaja sebagai infrastuktur komunitas –purposively constructed institutions. Dari pemaknaan kedua ini, modal sosial memungkinkan orang-orang secara bersama menyongsong sumber-sumber kehidupan (sources of livelihoods) dengan lebih baik, sehingga terbentuk masyarakat yang lebih sejahtera secara sosial-ekonomi, dengan ukuran adanya harmoni secara sosial, bebas konflik, tingkat kerjasama yang tinggi, makmur secara ekonomi, demokratis, santun, egaliter, dsb. Menurut Lesser (2000), modal sosial sangat penting bagi komunitas karena memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas, dan menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas. Modal sosial dapat mengembangkan solidaritas dan memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas, memungkinkan pencapaian bersama dan membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama. Konsepsi ini bersandar pada konsepsi tentang manusia sebagai makhluk sosial, yang keberadaannya senantiasa tidak lepas dari keberadaan manusia lainnya, sebagaimana 173
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dikemukakan oleh Fairchild (1980), bahwa masyarakat merujuk pada kelompok manusia yang memadukan diri, berlandaskan pada kepentingan bersama, ketahanan dan keberlanjutan. Kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya modal sosial, masyarakat sangat mudah diintervensi oleh pihak luar. James Coleman, menyatakan bahwa modal sosial merupakan faktor inheren dalam struktur relasi antar individu. Struktur relasi membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis sanksi bagi anggotanya. Struktur relasi dan jaringan sosial meniscayakan pelibatan variabel-variabel laten dan skala-skala untuk analisis modal sosial, yaitu: peran pemerintah dan jaringan kerja sama sosial. Sementara yang pertama dapat dipakai untuk mengelaborasi skala pengukuran tingkat kepercayaan terhadap berbagai tipe institusi, maka yang kedua dapat didesain untuk melukiskan peran berbagai jenis jaringan kerja sama di mana rakyat berpartisipasi. Kepercayaan dan keanggotaan dalam kelompok misalnya, selalu masuk dalam aspek yang dikaji. Keamanan, hubungan dengan keluarga dan teman, resiprositas dan sikap proaktif sosial mendominasi studi-studi ini. Keunikan dari penelitian kami terletak pada beberapa isu. Ia berusaha komprehensif dalam berbagai dimensi dan pengukuran 174
Modal Sosial dan Urban Policy
yang dipakainya. Kedua, ia berusaha mengedepankan beberapa isu problematik yang muncul dalam penelitian terdahulu. Ketiga, ia berusaha membedakan determinan, dimensi dan keluaran modal sosial. Akhirnya, ia menyajikan seperangkat ukuran yang reliabel untuk digunakan oleh peneliti lain, dan dengan demikian memungkinkan perbandingan yang lebih reliabel untuk penyelidikan-penyelidikan empirik di masa yang akan datang1. Lebih lanjut, modal sosial juga berhubungan dengan struktur sosial dan modal politis, misalnya keanggotaan dalam partai politik dan partisipasi politik. Mateju dan Lim mencatat bahwa modal sosial memainkan peran yang signifikan dalam memperbaiki peluang-peluang kehidupan baik dalam segmen ‘birokratis’ pasar kerja, maupun (khususnya) dalam sektor swasta. Kenyataan bahwa modal sosial dapat dikonversikan (konvertibilitas) nampaknya merupakan unsur penting dalam proses transformasi. Ia merupakan pelopor yang signifikan dalam pencapaian fungsional maupun dalam dua tipe utama strategi pengembangan usaha (paruh waktu ke purna waktu pengembangan usaha)2. Konsep terakhir menjelaskan dan menekankan nilai penting “jembatan-jembatan” sosial di atas dalam mengakomodasi terbentuknya jejaring masyarakat yang solid. “Infrastruktur sosial” berupa jembatan penyambung satu entitas sosial dengan lainnya itu, memungkinkan terbentuknya hubungan resiprokal yang saling memberikan keuntungan (reciprocal relations and mutual exchange) serta kesatuan masyarakat lebih besar. Dengan lain kata, masyarakat yang besar di atas jaringan sosial yang kokoh 1 Coleman, J (1988), “ Social Capital in the creation of human capital”, American Journal of Sociology, 94, Supplement, p. 95-120. 2
Mateju dan Lim, 1995, p. 132-133.
175
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
hanya akan terbentuk bila, kepercayaan (trust) telah tertanam dan berfungsi secara operasional dan sesuai kesepakatan umum (dikukuhkan dan “dikawal” oleh normanorma umum) di antara anggota masyarakat yang bersangkutan. Sepaham dengan keyakinan ini, Frank dan Yasumoto (1998) kemudian memahami modal sosial dan kepercayaan (trust) secara praktikal sebagai sumberdaya, sebagaimana diungkapkan sebagai berikut: “resources that actors/individuals or group may access….through social ties (institution)…based on trust, norms and institutions… these ties may affect one actor’s action or group’s action directed toward another which is based on the social structure in which the action is embedded…..”.
Dengan pemahaman seperti ini, maka jelas bahwa kepercayaan (trust) adalah sumberdaya yang memiliki kemampuan subtitusi maupun komplementer bagi sumberdaya atau modal lainnya. Bersama-sama dengan jenis modal lainnya, trust (modal sosial) ikut membentuk dan menentukan karakter fisik sebuah sistem sosial. Kepercayaan (Trust) dalam Modal Sosial Arya Hadi Dharmawan mencatat hasil-hasil kajian trust dan modal sosial, bahwa perhatian pada kajian trust mulai menguat sejak konsep modal sosial mulai bergulir sebagai wacana akademik pemerhati sosiologi. Perkembangan selanjutnya, banyak tesis yang meneguhkan trust atau kepercayaan, sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan. Akar pemikiran trust mulai muncul saat George Simmel menggagas ide yang dicakup dalam tulisannya “die Philosophie des Geldes” (the Philosophy of Money). Möllering (2001) yang berusaha mengelaborasi pemikiran Simmel tentang trust, mengonseptualisasikan gagasan trust itu sebagai:
176
Modal Sosial dan Urban Policy
“a state of favorable expectation regarding other people’s actions and intentions. As such it is seen as the basis for individual risk-taking behavior, cooperation, reduced social complexity, order, and social capital”
Dari rumusan Möllering itu trust membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan. Ketepatan antara harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan. Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial. Rumusan dari Möllering tersebut menjelaskan, paling tidak, enam fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial-kemasyarakatan. Keenam fungsi tersebut adalah: Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis individual. Sikap ini akan mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif. Kerjasama, yang berarti pula sebagai proses sosial asosiatif dimana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antar individu tanpa dilatarbelakangi rasa saling curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi. Penyederhanaan pekerjaan, dimana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja
177
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat mengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pola hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan. Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab. Pemelihara kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. Modal sosial. Trust adalah asset penting dalam kehidupan kemasyarakatan yang menjamin strukturstruktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. Dalam konteks kepercayaan dan merujuk pada pendapat Fukuyama (2001), masyarakat Indonesia saat ini dapat dikatakan sebagai a society which seriously faces a shortage in social capital (trust). Defisiensi modal ini menyebabkan gagasan masyarakat sipil (civil society) yang berciri democratic-civility sulit dipenuhi dalam waktu segera. Karena, menurut Fukuyama, juga menurut penggagas dan penyokong ide modal sosial seperti Putnam (1995), trust adalah bagian penting dari modal masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Manakala kehidupan demokrasi kemasyarakatan Indonesia berkembang dalam suasana saling kecurigaan, saling tak percaya dan “mau menang sendiri�, maka di sana segera ditengarai situasi ketidakcukupan modal sosial tersebut. 178
Modal Sosial dan Urban Policy
Senada dengan Putnam, Fukuyama (2001) tak berlebihan bila mengatakan bahwa trust adalah salah satu “ruh” dari modal sosial. Semangat tersebut kelak akan menentukan dan memberikan corak budaya dari suatu sistem sosial. Stok modal sosial yang mencukupi akan mendorong terbangunnya kerjasama dan berbagai bentuk associational life dalam hubungan individu-individu suatu masyarakat3. Modal sosial juga mereduksi biaya transaksi yang seharusnya dikeluarkan dalam sebuah interaksi sosial. Coleman sebagai orang yang dipandang “memasarkan” konsep modal sosial – yang diajukan secara akademik pertama kali oleh ilmuwan Perancis Pierre Bourdieu di dekade 1980an – secara luas, mengemukakan bahwa trust adalah salah satu esensi atau pilar penting konsep modal sosial selain pilar lainnya: social networking dan norma-norma sosial (shared norms) (lihat Coleman, 1994). Ketiga elemen penting modal sosial tersebut secara bersama-sama menentukan corak karakter (physical quality) suatu masyarakat4. Menuju Trust Society Dengan memasukkan konsep trust dan modal sosial ini ke dalam pola hubungan sosial dan struktur sosial kemasyarakatan Indonesia, maka bangunan masyarakat Indonesia, semestinya akan bisa lebih baik di masa depan. Upaya mereduksi ciri moralitas distrust bisa dilakukan dengan cara menanamkan dan menumbuhkan trust pada beragam aras:
3 Fukuyama, F. 2001. Social Capital, Civil Society and Development. Third World, Quarterly, Vol. 22/1, pp.7-20.
Coleman, J. C. 1994. Foundations of Social Theory. Harvard University Press. Cambridge and London.
4
179
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
•
•
•
Trust pada aras individu, disini trust terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji (promise keeping) yang telah disepakati. Artinya, trust ditanamankan sebagai bagian tak terpisahkan dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Trust pada kelompok dan kelembagaan (termasuk beragam bentuk regulasi dan beragam bentuk commonly agreed institutional arrangement), adalah proses bagaimana menjaga amanah (promise keeping) di tingkat grup sosial secara efektif. Trust pada tataran ini menjadi karakter moral kelompok. Hasilnya, institutional trust akan tercipta dengan baik. Trust pada sistem yang abstrak (ideologi, religi) membantu setiap individu dalam mengoperasionalisasikan trust dalam kehidupan kemasyarakatan. Bila moralitas trust menjelma menjadi perlikau bersama (collective behavior) atau aksi kolektif dari akumulasi gerakan individual, maka trust society tak mustahil akan mudah terwujud. Meski demikian, trust tak akan dapat berkembang dengan sendirinya tanpa adanya favorable conditions, yang mendukungnya untuk tumbuh dengan baik. Dalam hal ini, Deepa Narayan (1999) menilai bahwa trust adalah salah satu essential contributor factor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dan secara signifikan membantu terciptanya harmoni kehidupan sosial dan integrasi sosial (a unity in diversity). Untuk itu, Narayan menganggap penting adanya institusi formal dan informal yang menjamin trust agar berfungsi secara operasional. Dalam hal
180
Modal Sosial dan Urban Policy
ini, kelembagaan informal yang bisa menumbuhkan trust adalah: Interpersonal relations, yakni hubunganhubungan sosial dalam masyarakat yang telah terbina sejak lama dan terbukti handal karena teruji oleh pengalaman-pengalaman. Norms and values, yang dikukuhkan bersamasama serta diyakini dan ditaati oleh masyarakat. Social sanctions, yang mengikat orang atau kelompok agar tak berbuat semaunya5. Selanjutnya pada sisi kelembagaan formal, trust akan bisa tumbuh bila fungsi- fungsi organisasi seperti: lembaga pendidikan, lembaga hukum, pasar, ikut menyumbang “energi� bagi tumbuh dan berkembangnya atmosfer moralitas trust dalam masyarakat. Dengan mengacu kepada kerangka konseptual modal sosial dan trust serta peranannya dalam menyatukan individu-individu atau kelompok menjadi satu kesatuan yang integratif dan harmonis, maka analisis ini diakhiri dengan mengajukan empat tipe (model) masyarakat. Tipe masyarakat hipotetis itu dibedakan berdasarkan kandungan trust dan derajat soliditas atau integrasi sosial masyarakatnya. Belajar dari penerapan konsep modal sosial pada masyarakat Barat, ada dua kesulitan dalam mempertemukan kedua konsep ini. Pertama, ternyata para ekonom yang berusaha mencari faktor-faktor penjelas terhadap perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa-bangsa, seringkali cenderung mengacu kepada interpretasi Putnam atas modal sosial, sementara para sosiolog yang berupaya untuk 5 Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges: Social Capital and Poverty. World Bank, Washington D.C.
181
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
mendapatkan penjelasan tentang reproduksi ketidaksetaraan cenderung merujuk kepada konseptualisasi Bourdieu dan Coleman. Meskipun pola ini sudah mulai ditinggalkan, sejauh pengukuran melalui variabel pengganti dipersoalkan, para ekonom cenderung mempergunakan tingkat kepercayaan dan partisipasi sosial, sementara para sosiolog menerapkan variabel-variabel pengukur prestise sosial seseorang dalam struktur kekuasaan dan keterlibatannya dalam jaringan kerjasama dan pertukaran informal. Dengan demikian persoalannya adalah apakah pendekatan yang spesifik dielaborasi dan diaplikasikan dalam penelitian empirik di sebuah negara maju kapitalis, ataukah di sebuah negara berkembang. Jelaslah di sini bahwa tak satu pun dari kedua strategi pengukuran itu benar-benar memuaskan. Kedua, ada suatu garis pemisah lain yang membuat sintesis ini menjadi sulit, yaitu garis antara negara-negara demokrasi kaya di Amerika Utara dan Eropa Barat dengan negara-negara bekas komunis (selanjutnya disebut masyarakat yang sedang bertransformasi). Agaknya karena kenyataan inilah modal sosial yang didasarkan atas kepercayaan dan kerja sama dalam mencapai tujuan-tujuan bersama dapat membantu menjelaskan performansi ekonomi dan pertumbuhan dari suatu masyarakat yang relatif stabil dengan kerangka politik dan institusional yang mantap. Pada masyarakat yang sedang bertransformasi di mana kerangka institusi sedang dibangun dan perubahan dalam situasi politik berpengaruh kuat terhadap kepercayaan kepada institusi, maka kepercayaan dapat bervariasi secara signifikan tanpa memperlihatkan polapola hubungan yang jelas dengan kualitas keadaan institusi dan performansi ekonomi. Dalam hal ini modal sosial hanya dapat dibangun bila terdapat kesetiaan pada disiplin yang dibangun bersama. Oleh karena itu bekerjalah dengan head 182
Modal Sosial dan Urban Policy
– heart- mind dan hand, agar menjadi pengembang modal sosial yang berkelanjutan. Mengikut konsepsi ini, sumber daya dan kapabilitas yang mempunyai basis sosial yang kuat (socially related resources and capabilities) dan bagaimana sumber daya dan kapabilitas itu mempengaruhi keunggulan bersaing dan sustainabilitasnya. Dalam kaitan ini, studi Burt (2000) menyatakan bahwa Social Capital cepat sekali berkembang menjadi salah satu core concept dalam ilmu sosiologi, manajemen bisnis dan ilmu politik6. Sementara itu, Sutoro Eko7 mencatat peran modal sosial dalam konteks sosial, politik dan pemerintahan. Kajian-kajian modal sosial paralel dengan perhatian pada good governance, desentralisasi, demokrasi lokal, pemberdayaan, civil society dan seterusnya. Dalam artikelnya “Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal”, ia mencatat perkembangan studi modal sosial sejak Putnam hingga Coleman. Ada beberapa transisi kunci yang muncul ketika Putnam pertama kali menggunakan istilah modal sosial dalam Making Democracy Work (1993a). Sementara dia memperluas dan mengembangkan pandangannya sejak itu, dia secara mendasar belum mengubah pandangannya tersebut. Pertama, modal sosial diubah dari sesuatu yang didapat oleh individu kepada sesuatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain atau kelompok orang di daerah, komunitas, kota, negara, atau benua. Kedua, modal sosial bisa dipertukarkan dengan masyarakat sipil, atau secara lebih tepat, dengan pandangan baru Tocqueville yang khusus tentang masyarakat sipil. Jadi, asosiasi sukarela, organisasi nonBurt, Ronald S. (2000), “The Network Structure of Social Capital”, Research in Organizational Behaviour, Volume 22, 2000.
6
Sutoro Eko, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD “APMD” Yogyakarta dan Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal.
7
183
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
pemerintah, berdasarkan kepercayaan, menjadi institusi yang melalui institusi tersebut modal sosial dihasilkan. Ketiga, modal sosial terutama menjadi sebuah hal yang secara normatif baik dan diberikan untuk (a) mempromosikan pemerintah yang baik (demokratis) dan (b) menghasilkan dan membuat keberkelanjutan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Dengan merujuk pada beberapa literatur, Sutoro Eko membuat tipologi pemahaman tentang modal sosial secara sederhana dan sistematis seperti terlihat dalam bagan 4.1 di bawah ini. Tipologi modal sosial itu paralel dengan prinsip demokrasi, yang diletakkan dalam konteks hubungan sosial vertikal (pemerintah dan rakyat) dan hubungan sosial horizontal (antar warga atau antar kelompok masyarakat). Modal sosial adalah basis yang inheren dalam demokrasi, baik dalam konteks hubungan vertikal (rakyat dan pemerintah atau pemimpin dengan yang dipimpin) serta hubungan horizontal (antar warga atau antar komunitas dalam masyarakat). Bagan 4.1 Tipologi Modal Sosial Vertikal (pemerintah dan rakyat) Struktural (hubungan dan organisasi)
• DPRD • Forum warga • Musrenbang
• • • •
Horizontal (antarwarga) Paguyuban Asosiasi Organisasi lokal Jaringan sosial
Kognitif (norma dan nilai)
• • • • •
• • • •
Solidaritas Toleransi Kepercayaan Kerjasama
Kepercayaan Akuntabilitas Kemitraan Partisipasi Responsivitas
Sumber: Diadaptasi dan dimodifikasi dari Coleman (1988, 1990), Putnam (1993, 2000), North (1990), Bain dan Hicks (1998), Uphoff (2000), Colleta dan Cullen (2001).
184
Modal Sosial dan Urban Policy
Bagan di atas bisa dijabarkan menjadi dua pemahaman besar tentang relevansi antara modal sosial dan demokrasi lokal. Secara horizontal, berbagai organisasi dan jaringan sosial merupakan arena bagi masyarakat sipil untuk membangun solidaritas, toleransi, kepercayaan dan kerjasama, atau yang sering disebut pluralisme. Apa yang mungkin disebut aliran pemikiran ‘kepercayaan dan jaringan kerja sosial’ mempunyai sejarah intelektual yang berbeda dan sangat panjang sebagai sebuah upaya untuk memecahkan salah satu persoalan klasik ilmu sosial: yaitu, bagaimana dan mengapa beberapa masyarakat, khususnya masyarakat skala besar modern, memelihara tingkat kesatuan sosial dan stabilitas politik ketika konflik sosial dan ketidakpuasan politik yang serius mungkin mudah mengancam mereka. Inti teori ini terdapat perhatian terhadap konsep kepercayaan dan peran organisasi sukarela. Kepercayaan memainkan peran sentral dalam masyarakat modern dan politiknya, karena sebagaimana Simmel (1950:326) mengatakan, ‘kepercayaan adalah salah satu tenaga sintetik yang paling penting dalam masyarakat’. Organisasi sukarela penting sekali karena keterlibatan warga negara dalam komunitas, khususnya asosiasi sukarela dan organisasi mediasi, mengajarkan habits of heart (Bellah et al. 1985) kepercayaan, resiprositas, solidaritas, dan kerjasama. Organisasi sukarela juga dikatakan untuk menciptakan jaringan kerja yang kondusif bagi social learning, proses saling tolong-menolong, keterlibatan warga negara dan perhatian terhadap kepentingan umum. Oleh karena itu, kepadatan dan macam jaringan kerja yang luas sangat penting untuk menciptakan sikap demokrasi dan keterlibatan komunitas, pada satu pihak, dan struktur hubungan sosial yang stabil dan terpadu, pada pihak lain. Organisasi sosial yang melewati batas-batas primordial (agama, suku, daerah, dan 185
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
lain-lain), misalnya, akan memainkan fungsi sebagai jembatan sosial (social bridging) untuk mengelola konflik (Nat J. Colleta dan Michelle L. Cullen, 1999). Secara vertikal berbagai organisasi dan jaringan lokal menjadi tempat interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk membangun kepercayaan, akuntabilitas, kemitraan, responsivitas dan partisipasi. Secara teoretis masyarakat yang didirikan dengan baik dengan keberagaman dan jumlah jaringan kerja sosial yang luas dan besar adalah perlu untuk melaggengkan kebajikan warga negara yang diperlukan untuk pemerintahan yang demokratis. Bagi banyak teoritisi, organisasi sukarela adalah bentuk jaringan kerja sosial yang krusial dan kepercayaan antara warga negara dan pemimpin politik mereka. Kepercayaan bukan hanya merupakan konsep yang dipertentangkannya sendiri, tetapi ia mempunyai banyak sinonim dan istilah yang berhubungan erat tetapi tidak identik dengan kebersamaan, empati, resiproksitas, kesopanan, rasa hormat, solidaritas, toleransi, dan persaudaraan. Organisasi sukarela masyarakat sipil sangat berguna sebagai struktur mediasi dan basis gerakan sosial yang membuat demokrasi bekerja lebih baik (Richard Couto dan Catherine Guthrie, 1999). Sara Evans dan Harry Boyte melihat gerakan untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan ekonomi, mereka menemukan struktur mediasi. Buku mereka, Free Spaces, menawarkan fakta sejarah tentang kapasitas struktur mediasi untuk memberikan kontribusi terhadap politik pembaharuan yang demokratis dan partisipatoris dalam peran mereka sebagai “tempat publik dalam komunitas, atau lingkungan yang di dalamnya orang dapat belajar suatu rasa harga-diri baru, identitas kelompok yang lebih dalam dan lebih tegas, keterampilan publik, dan nilai-nilai kerjasama dan kebajikan warga 186
Modal Sosial dan Urban Policy
negara (Evans dan Boyte 1986: 17). Usaha ini pada perubahan politik, sosial dan ekonomi yang luas dan khususnya (pada) ruang bebas yang mereka ciptakan menawarkan solidaritas tipis dan demokrasi yang tidak bersambungan satu sama lain (discursive democracy). Melacak beberapa gerakan sosial pada abad yang lalu, Evans dan Boyte menemukan bahwa kelompok lokal menolak diskriminasi ras, jender, dan kelas secara jelas dan secara samar pada ruang bebas. Tetapi dari sudut pandang lain, Benjamin Barber (1984) justru skeptis terhadap struktur mediasi (organisasi sukarela) sebagai basis demokrasi. Dia menyusun sebuah teori demokrasi dengan penekanan berat pada komunitas dan kecurigaan tentang organisasi lokal. Barber membandingkan liberalisme dengan sifat baik kewarganegaraan republican. Liberalisme, dia berargumen, mempromosikan “thin democracy� sementara kewarganegaraan mempromosikan “strong democracy�. Tingkat partisipasi membedakan demokrasi yang lemah dan demokrasi yang kuat (Barber 1984: 132). Barber mengakui bahwa struktur mediasi mungkin bertindak sebagai sekolah bagi pendidikan warga negara yang diperlukan untuk demokrasi yang kuat. Namun, dia memperingatkan bahwa organisasi lokal yang eksklusif bisa merusak demokrasi. Bagi Barber, demokrasi yang kuat menciptakan suatu rangkaian kesatuan kegiatan yang terbentang dari lingkungan tempat tinggal hingga bangsa, dari swasta hingga publik, dan sepanjang rangkaian kegiatan itu, kesadaran warga negara yang ikut serta dapat berkembang�. Secara jelas, Barber kurang optimis mengenai kapasitas struktur mediasi untuk mempromosikan kesadaran dan partisipasi yang meningkat dan membaik dalam konteks demokrasi yang kuat. Dia menganjurkan bahwa hanya partisipasi politik langsung, kegiatan yang 187
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
secara jelas adalah kegiatan publik, misalnya rapat kota dan pertemuan kampung, berhasil sepenuhnya sebagai sebuah bentuk pendidikan warga negara. Penulis menemukan beberapa titik singgung antara bebepara rajutan pemikiran para pakar modal sosial terutama dalam konteks politik dan pemerintahan seperti yang ditemukan oleh Sutoro Eko di atas, dengan karyakarya pemikir dan pengembang gagasan pemerintahan lokal dengan pendekatan urban policy semisal Tim Blackman, “Urban Policy in Practices�, maupun Robin Hambleton, “Governing Cities in A Global Era� (2007). Dalam terminologi Barber dan yang lain di atas, organisasi sukarela maupun komunitas, sebagai struktur mediasi, adalah arena bagi warga untuk saling belajar bersama, membangun kepercayaan, merajut kerjasama dan sebagai basis partisipasi warga dalam konteks pemerintahan lokal. Bagaimanapun mekanisme demokrasi langsung tidak pernah akan datang setiap hari. Sementara organisasi lokal merupakan arena sehari-hari bagi warga untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan sekaligus sebagai wadah gerakan sosial untuk melakukan tekanan terhadap keburukan pemerintah lokal, semisal merebaknya praktik korupsi. Dengan kalimat lain, organisasi lokal merupakan kekuatan masyarakat sipil untuk membuat pemerintahan lokal lebih akuntabel dan responsif. Seperti dikemukakan Berry, Portney, dan Thomson (1993: 213), asosiasi lingkungan tempat tinggal meningkatkan ikatan anggota mereka dengan orang lain dan meningkatkan kesetaraan politik. Mereka berbuat begitu ketika mereka memberikan kesempatan representasi dan partisipasi dalam proses sosial dan politik kepada para anggotanya.
188
Modal Sosial dan Urban Policy
Modal Sosial dan Urban Policy Teori dan konsep modal sosial (social capital), dan urban policy menganalisis best practices program-program inovasi yang dijalankan oleh pemerintah kota Probolinggo selama 2004 – 2009. Dialog teori modal sosial dan urban policy dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan interkoneksi antara institusi pemerintah kota sebagai unit analisis dengan distribusi para pelaku otoritas lokal dalam implementasi kebijakan publik pada lokalitas kota Probolinggo (area studi) untuk menganalisis best practices program inovasi yang pernah dibuat. Interkoneksitas antar elemen berpengaruh di balik implementasi kebijakan publik program inovasi akan dijelaskan dengan bantuan konsepsi urban policy, yang mempertautkan hubungan sosial di ranah lokal dalam implementasi kebijakan publik (program inovasi tersebut). Urban policy, belakangan ini mulai mendapat tempat pada berbagai kajian dan penelitian yang melibatkan kelokalan. Meminjam terminologi yang diperkenalkan Tip O’Neil, bahwa all politics is local, maka dalam studi-studi politik, sosial dan kepemerintahan, kelokalan menjadi primadona kajian sosial empirik. Hal ini selaras dengan gema otonomi yang membawa berbagai persoalan pembangunan dan kepemerintahan ke aras lokal. Dari deskripsi di atas, terlihat bahwa modal sosial tidaklah tunggal. Ia bersangkut paut dengan berbagai macam relasi sosial dan proses sosial dari beragam aktor. Di Indonesia pada umumnya, ragam konteks sosial dapat menampilkan wajah modal sosial beragam pula. Di balik kemajuan dalam organisasi non-pemerintah, dapat disaksikan beberapa sisi paradoksal dalam modal sosial. Secara horizontal kemajemukan masyarakat menyajikan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas. Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan 189
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Inilah yang disebut sebagai fragmented social capital. Di beberapa daerah, gerakan demokratisasi yang didorong oleh aktoraktor civil society harus berhadapan dengan praktik-praktik kekerasan yang dimainkan oleh elemen masyarakat lainnya. Bahkan gerakan demokratisasi yang terus maju tidak didukung oleh elemen-elemen partai oposisi yang pro perubahan. Di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan sebagai bagian dari pemeliharaan status quo yang harus direformasi. Di banyak daerah, gerakan demokratisasi civil society terus bergelora menentang “rajaraja kecil� yang bermasalah, tetapi gerakan itu dengan mudah dilumpuhkan oleh para pelaku yang dipelihara oleh kekuatan politik tertentu. Semua ini memang tidak menghentikan gerakan demokratisasi meski harus dibayar dengan risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society terseokseok, tunggang-langgang dan menghadapi anomali yang serius. Desentralisasi dan demokrasi lokal juga menyajikan problem rendahnya kepercayaan, bahkan distrust, antar elemen. Partai dan parlemen lokal adalah dua elemen utama yang menunai badai distrust paling serius di mata masyarakat karena keduanya tidak memperlihatkan pertanggungjawaban atas mandat yang telah diberikan oleh rakyat. Meskipun pemerintah daerah sudah mulai terbuka, tetapi belum menaruh kepercayaan penuh kepada masyarakat. Pemerintah daerah memang mempunyai legalitas formal di mata masyarakat, tetapi sangat lemah dari sisi legitimasi sosial, sehingga mengapa pemerintah daerah selalu all out melakukan mobilisasi dan kampanye untuk “memaksa� masyarakat untuk melekatkan image kepada pemerintah. Paradigma hegemonistik pemerintah 190
Modal Sosial dan Urban Policy
senantiasa turut serta mewarnai aksi pemerintah. Bahwa pemerintahlah yang mampu berbuat banyak terhadap masyarakat yang terposisikan sebagai pihak yang powerless, yang layak dibantu. Seringkali pemberdayaan masyarakat gagal berlanjut oleh karena kekhawatiran pemerintah tertinggal masyarakat yang melesat maju tanpa campur tangan pemerintah. Di sinilah satu sisi modal sosial yang perlu ditumbuhkembangkan untuk mendorong kebersamaan dan keterkaitan (interkoneksitas) antar pelaku. Modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, bahkan semakin meningkat. Ia justru akan habis jika tidak dipergunakan. Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia, akan menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur, seperti yang dikonsepsikan oleh Fukuyama. Berdasarkan pemikiran ini, dapat dicatat beberapa indicator kunci yang dapat dijadikan ukuran modal sosial, antara lain8: • Perasaan identitas. • Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi. • Sistem kepercayaan dan ideologi. • Nilai-nilai dan tujuan-tujuan. • Ketakutan-ketakutan. • Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat. • Persepsi mengenai akses pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial).
8 Anne Spellerberg, 1997, “Towards a Framework for the Measurement of Social Capital”, dalam David Robinson (ed), Social Capital and Policy Development, Wellington, The Institute of Policy Studies, p.42-52; dan Edi Suharto, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung.
191
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
• Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu. • Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya. • Tingkat kepercayaan. • Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. • Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan. Dapat dikatakan bahwa modal sosial dilahirkan dari bawah (bottom-up), tidak hirarkhis dan berdasarkan pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu modal sosial bukan merupakan produk kebijakan pemerintah, namun modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui kebijakan publik9. Terdapat keterkaitan antara modal sosial dan kebijakan publik, atau dalam bahasan ini adalah kebijakan perkotaan (urban policy), merujuk pada paradigma konstruktivistik dan institusionalis dalam pembangunan masyarakat. Urban policy, atau kebijakan perkotaan, dalam kajian ini bermakna kebijakan pengelolaan kota yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan di kota (pemerintah kota) didasarkan atas kebutuhan stakeholders kota, meliputi kesejahteraan warga kota (citizen, city residence) dalam masyarakat perkotaan, perencanaan dan pendistribusian (delivering) layanan publik, dan dukungan (supporting) terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Dalam konteks kekotaan ini, sejumlah actor dan pelaku atau pemangku kepentingan lokal baik di sektor swasta memiliki peran 9 Cox, E., 1995, Background Material and Boyer Lecture (http://www.leta.edu.au/coxp.htm); dan Onyx, J., 1996, “The Measure of Social Capital”, paper presented to Australian and New Zealand Third Sector Research Conference on Social Cohesion, Justice and Citizenship, The Role of Voluntary Sector, Victoria University, Wellington.
192
Modal Sosial dan Urban Policy
strategis dalam kebijakan perkotaan (urban policy). Namun peran paling strategis adalah para aktor atau tokoh lokal yang terpilih melalui pemilihan lokal oleh rakyat untuk mengemban tugas dari rakyat. Hal ini disebabkan tidak hanya karena para pemegang otoritas lokal itu telah dipercaya rakyat melalui pemilihan lokal dan telah mengantongi restu rakyat untuk mengemban tugas kepemerintahan untuk kesejahteraan bagi warga kota, tetapi juga telah merepresentasikan kepentingan dari populasi lokalnya (warga kota) dalam segala konteks, baik untuk skala regional maupun nasional. Mandat tersebut mengijinkan pemegang otoritas lokal untuk secara langsung menjalankan tanggungjawab publiknya di bidang-bidang krusial semacam kesehatan, kesejahteraan rakyat dan ihwal lian yang sering dijadikan sebagai isu publik berkenaan dengan nasib warga kota. Pemegang otoritas lokal, dan juga para aktor dan tokoh publik lokal seringkali berupaya mencari format-format kebijakan publik yang dianggap sesuai dalam hal memprioritaskan secara khusus kelompok-kelompok mana yang, karena ketidakberuntungan ekonomi atau kelangkaan sumberdaya atau kemiskinan atau karena pengangguran, untuk mendapatkan perhatian lebih banyak daripada kelompok-kelompok lainnya. Prioritas yang umum adalah anak-anak dari keluarga miskin atau keluarga berpenghasilan rendah, kaum manula dan kaum lemah lainnya, orang-orang cacat, para penganggur, orang-orang tak berkeahlian atau mengalami kekurangan atau keterbatasan pendidikan, dan golongan minoritas. Urban policy seringkali memprioritaskan kelompok-kelompok ini. 10 Secara umum, urban policy bersangkut paut dengan aktivitas pemerintah lokal di area perkotaan, sebuah 10
Blackman, Tim, 1995, Urban Policy in Practice, Routledge, New York, p. 5.
193
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
wilayah, territorial yang diatur oleh aturan dan badan atau organ-organ lokal tetapi secara administratif mengacu pada satu administrasi perkotaan. Sektor-sektor publik lokal secara tipikal meliputi pengorganisasian terhadap organorgan yang mengikuti pola atau struktur hirarkhi dan secara professional memberikan layanan-layanan kepada masyarakat. Dan karena pemegang otoritas lokal tak lepas dari organ-organ publik lokal, maka dalam konsepsi ini peran-peran badan atau organ yang didasarkan atas pilihan publik sangatlah penting artinya. Merekalah yang berperan dalam pembuatan kebijakan publik lokal. Beberapa pengamat menyarankan bahwa terdapat sejumlah agenda perubahan yang menyertai pemerintahan lokal yang baru. Disamping kebijakan publik langsung, pemegang otoritas lokal juga menjembatani fungsi-fungsi layanan yang melibatkan banyak organisasi non pemerintah untuk menambah energi peran politik dan sosialnya. Ketika pihak-pihak di luar lingkar kepemerintahan resmi berseberangan dengan kebijakan pemerintah, dan beberapa agenda penting kota didesakkan atau diperlukan beberapa aktor lokal penting ini bisa berperan mengawal beberapa kepentingan warga kota bahkan jika misalnya organ pemerintah kehilangan beberapa kunci fungsi-fungsinya. Sebagai contoh, dari pengalaman Britania Raya, yang menggambarkan keberhasilan pemerintah lokal yang juga merupakan keberhasilan warga kota, diantaranya adalah: • Demokrasi dan akuntabilitas publik bagi warga lokal. • Layanan publik langsung melalui kemitraan dengan organ-organ lain untuk memajukan sektor-sektor penting seperti kesehatan, keamanan dan keberlanjutan program-program lingkungan hidup. • Perlindungan dan peningkatan kapasitas lingkungan hidup. 194
Modal Sosial dan Urban Policy
• •
• •
Kesamaan kesempatan untuk akses sumber daya, layanan dan kekuasaan. Tersedianya jalinan hubungan antara otoritas lokal, regional dan Masyarakat Eropa dan dalam konteks global. Layanan yang efektif dan berkualitas tinggi. Kejelasan tentang nilai-nilai, tujuan dan objektif yang sedang diupayakan bersama11.
Berbagai fenomena krusial kelokalan berupa interkoneksitas dan interelasi antara pemerintah dengan sektor swasta dan warga masyarakat (citizen), yang mengentalkan kesalinghubungan antara organ pemerintah dan para aktor lokal lain di aras lokal, mengikuti konsepsi urban policy di atas, baik itu yang menyiratkan kerjasama, keterkaitan, dan bahkan kesalingtergantungan berkenaan dengan isu-isu dan kepentingan publik warga lokal, lebih lanjut akan memunculkan gagasan baru tentang bagaimana pemerintahan menghasilkan dan mempertahankan eksistensi jangka panjangnya? Hal ini untuk menjaga dan memastikan keberlanjutan peran-peran sosial dan politik pemerintah terhadap warga lokal. Jawabannya dapat diperoleh dalam konsepsi social capital (modal sosial), khususnya konsepsi sumber daya dan kapabilitas strategis yang bercorak sosial (socially related strategic resources and capabilities) yang dipostulasikan sebagai salah satu dasar untuk menciptakan dan mempertahankan kinerja pemerintahan. Di sini modal sosial berperan untuk memba-ngun dan memelihara common public interest, aset intelektual yang tak terlihat (“invisible assets”) atau kompetensi inti dari organisasi pemerintahan inovatif (“core of competence). Inilah yang penting digarisbawahi, bahwa 11
Ibid., p.22
195
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dalam perspektif urban policy, pemerintah harus jeli menangkap dan mengeksplorasi sumber-sumber daya lokal yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintahannya. Demikian juga dilihat dari perspektif lain, semisal perspektif kekuasaan (keberlanjutan, sustainability kekuasaan pemerintah), tetaplah, sumber sumber daya lokal ini merupakan asset yang luar biasa untuk memelihara common public interest, aset intelektual yang tak terlihat (“invisible assets”) tersebut untuk mendukung dan melestarikan core of competence (kompetensi inti) organisasi pemerintahan inovatif. Kapabilitas organisasi pemerintah akan teruji dalam pengelolaan sumber-sumber ini secara cerdas dan bijak. Studi yang dilakukan oleh Ferdinand, (1999) melihat bahwa kapabilitas organisasional yang dapat dibangun adalah antara lain: • Informalisasi perencanaan. • Orientasi pada extended stakeholder. • Aksesibilitas sosial dalam menjangkau publik melalui berbagai pertemuan sosial dan networking sosial, serta • Kohesi sosial pada manajemen internal pemerintahan yang diukur dari sampai seberapa jauh organisasi birokrasi pemerintahan dipersepsikan sebagai “keluarga kecil” untuk menjelaskan kedekatan sosial dalam “sistem besar pemerintahan” yang di dalamnya melibatkan warga masyarakat (konsepsi urban policy). Sebuah pengalaman terobosan inovatif urban policy yang cukup radikal dilakukan oleh Newcastle City Council , yakni dengan mengangkat eksekutif kota (principal city) sebagai ‘manajer kota’. Pengangkatan yang kemudian direkomendasi oleh Royal Commission on Local Government in England ini menggariskan beberapa fungsi penting yang harus dilakukan oleh pemegang otoritas lokal agar 196
Modal Sosial dan Urban Policy
memfokuskan diri pada isu-isu strategis yang sedang dihadapi warga lokal. Untuk mencukupi kebutuhan organ ini, otoritas lokal mempekerjakan sejumlah besar para professional, para spesialis, seperti pekerja sosial, guru, developer, ahli lingkungan hidup, perencana (tataruang) kota, dsb, dengan tanggungjawab spesifik menjalankan layanannya sesuai dengan profesionalitas masing-masing. Pelajaran berharga di sini, adalah, untuk beberapa isu strategis, tidak pernah dilarikan kepada departemen/ lembaga sektor asal, melainkan dikerjakan antar departemen secara bersama-sama12. Pengalaman Britania Raya (The Audit Commission, 1988) juga memperlihatkan bahwa kota kompetitif haruslah memperhatikan 8 faktor kunci yang melibatkan pemerintah dan organ non pemerintah13: 1. Memahami “customer�. 2. Peduli dan respons pada pemilihan lokal. 3. Objektif (tujuan) yang konsisten dan berkemajuan. 4. Tanggungjawab manajemen secara jelas. 5. Melatih dan memotivasi pegawai dan mitra. 6. Komunikasi efektif. 7. Memonitor hasil. 8. Penyesuaian pada perubahan. Urban Policy Untuk Pengembangan Modal Sosial Urban policy, sebuah konsep yang lebih dinamis dan practical dari public policy, terutama untuk menjelaskan tata hubungan pengelolaan kota bersama stakeholders kota, adalah interlink antar jaringan. Dan modal sosial, pada prinsipnya merujuk pada political will, penciptaan jaringanjaringan, kepercayaan, nilai-nilai bersama, norma-norma
12 13
Ibid., p. 25. Ibid., p. 31-34.
197
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi sosial para actor di dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, penulis juga mengembangkan temuan dan amatan Edi Suharto14 tentang modal sosial dan kebijakan publik, bahwa pemerintah dapat mempengaruhi secara positif, kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial, dalam sebuah komunitas, untuk kajian urban policy ini. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan karena adanya kesamaan tujuan dan kepentingan, melainkan juga karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi, terjalinnya relasi yang berkelanjutan serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif. Beberapa strategi urban policy yang dapat dirancang dan dikembangkan guna mempengaruhi tumbuh-kembangnya modal sosial adalah sbb: 1. Memperkuat kepercayaan sosial (social trust), melalui: Model integrasi dan relasi di dalam dan di luar lembaga-lembaga pemerintahan. Proses-proses yang mampu mengatasi konflik dan pertentangan berdasarkan prinsip ‘win-win policy’. Desentralisasi dalam pengambilan keputusan. 2. Menumbuhkembangkan nilai-nilai bersama, melalui: Kurikulum pendidikan. Hukum dan kebijakan keteraturan. Perasaan bersama mengenai identitas dan kepribadian sebagai satu Negara-bangsa. Peraturan yang mempromosikan nilai-nilai sosial positif, seperti hak asasi manusia dan hak-hak publik. Kepastian standar.
14 Edi Suharto, Ph.D., Modal Sosial dan Kebijakan Publik, STKS, Bandung, Social Policy Expert, Galway Development Services International (GDSI) Irlandia, pemimpin proyek Strengthening Social Protection System in ASEAN, Sekretariat ASEAN dan Uni Eropa.
198
Modal Sosial dan Urban Policy
3. Mengembangkan kohesifitas dan altruisme, melalui: Pengurangan pajak bagi perorangan atau perusahaan yang melakukan kegiatan sosial atau tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Registrasi dan pengorganisasian kegiatan-kegiatan kedermawanan sosial. 4. Memperluas partisipasi lokal, melalui: Pendanaan proyek-proyek kemasyarakatan. Dukungan bagi program pengembangan masyarakat (community development) guna meningkatkan kapasitas masyarakat dan kepemimpinan lokal. Inisiatif-inisiatif yang memperkuat keluarga. 5. Menciptakan jaringan dan kolaborasi, melalui: Kolaborasi di antara lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta lembaga usaha. Dukungan terhadap organisasi-organisasi sukarela untuk membangun jaringan dan aliansi. 6. Meningkatkan keterlibatan masyarakat warga dalam proses tata pemerintahan yang baik (good governance), melalui: Kampanye agar orang terlibat dalam proses pemilihan untuk tingkat pusat dan daerah secara demokratis. Konsultasi dan advokasi kebijakan bagi warga masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan penganalisisan implementasinya. Promosi dan sosialisasi konsep mengenai warga masyarakat yang aktif. Penyediaan sarana informasi pemerintah yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
199
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Beberapa langkah praktis di atas dapat dirintis dan dikembangkan, dari kegiatan sederhana. penerapan straetgi tersebut akan membantu setidaknya dalam hal-hal: • Peningkatan partisipasi masyarakat sehingga terdapat kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih baik dalam mencapai tujuan bersama. • Peningkatan partisipasi dalam proses-proses demokrasi sehingga pemerintah dapat lebih akuntabel dan terbuka dalam mendengarkan beragam suara dan aspirasi masyarakat. • Penguatan aksi bersama yang merefleksikan perasaan tanggungjawab bersama. • Tumbuhnya dukungan bagi, dan kepercayaan diri pada, individu dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasinya. • Menguatnya perasaan memiliki, identitas dan kebanggan bersama sebagai satu warga masyarakat. • Penurunan tingkat kejahatan, korupsi dan alienasi karena meningkatnya keterbukaan, kontrol sosial, kerjasama dan harmoni. • Peningkatan hubungan dan jaringan antara sektor pemerintah, swasta, lembaga sukarela dan keluarga. • Terjadinya tukar-menukar gagasan dan nilai di antara keragaman dan pluralitas warga masyarakat. • Rendahnya biaya-biaya transaksi karena adanya koordinasi dan kerjasama yang erat dan memudahkan penyelesaian konflik. • Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam merespons guncangan yang datang tiba-tiba
200
Modal Sosial dan Urban Policy
karena adanya jaringan kerjasama di seluruh komponen warga masyarakat. • Menguatnya kemampuan dan akses masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumbersumber yang ada di sekitar mereka15. Beberapa Catatan Untuk Kota Probolinggo Policy innovation, inovasi kebijakan, dapat merupakan best practices (praktik pengalaman terbaik) dari suatu implementasi kebijakan publik pada pengelolaan pembangunan perkotaan. Program inovasi tersebut merupakan suatu asset �soft skill� bagi institusi pemerintahan daerah. Sebagai sebuah produk kebijakan, best practices merupakan bukti jejak (traces) adanya suatu eksistensi dari upaya perbaikan dan perkembangan dari pemerintah daerah, yang tidak boleh hilang dari institutional memory pemerintahan daerah maupun public memory sebagai user pemerintah daerah. Aset intelektual institutional memory pemerintah daerah tersebut sangat bermanfaat bagi penguatan pemerintahan daerah ke depan, sebagai referensi ilmiah dan pembanding baik bagi para pemimpin pemerintahan daerah berikutnya, legislatif, maupun para pemerhati pemerintahan dan masyarakat luas sebagai user pemerintah daerah. Inovasi, bagi suatu pemerintah daerah, merupakan suatu keharusan bahkan keniscayaan terlebih pada era kompetisi ini. Daerah niscaya harus terus berbenah diri untuk menggapai kemakmuran bersama bagi warganya sekaligus menggapai keunggulan dan kemandirian daerah, menggapai eksistensi dan kekompetitifan daerah.
15
Ibid.
201
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Program inovasi Pemerintah Kota Probolinggo 2004 – 2009 merupakan aset intelektual pemerintah Kota Probolinggo dari perjalanan panjang pengalaman pemerintahan Kota Probolinggo, yang di dalamnya terekam bukti jejak (traces) tentang proses, latar belakang munculnya program inovasi tersebut, tujuan dan target, komitmen serta pelibatan masyarakat pada tiap-tiap tahapan perencanaan dan implementasi program inovasi tersebut. Dari seluruh program inovasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Probolinggo dari tahun 2004 hingga 2009, yang menjadi objek kajian buku ini, memunculkan beberapa pertanyaan mendasar tentang detil informasi yang berkaitan dengan proses dan implementasi kebijakan publik Pemerintah Kota Probolinggo pada program inovasinya selama kurun waktu 2004 – 2009. Yakni sejauh mana inovasi tersebut benar-benar dapat dikatakan sebuah inovasi yang telah memenuhi standard dan kriteria (indikator) tertentu dan menjadi best practices yang dapat dijadikan pelajaran (lesson-learned) bagi diri sendiri sebagai referensi pengembangan ke depan (self evaluation) bahkan mungkin bagi daerah lain serta interlink antar aktor dan hubungan sosial yang terjadi pada proses dan implementasi program inovasi tersebut. Hubungan sosial dimaksud, melibatkan institusi pemerintah beserta komponen internalnya yakni para satuan kerja, dan institusi pemerintah dengan sektor swasta termasuk masyarakat, yang dalam bahasan buku ini disebut �aktor lokal�. Hubungan sosial yang terjalin di antara aktor lokal dan dalam entitas lokal Kota Probolinggo dalam konteks implementasi kebijakan publik untuk memproduk beragam program inovasi dalam kurun waktu yang diteliti (2004 – 2009), dalam proses dan implementasinya, melibatkan segenap elemen kepemerintahan maupun kemasyarakatan melingkupi aspek formal, sosial maupun kultural. 202
Modal Sosial dan Urban Policy
Hubungan sosial ini mengandung unsur kekuatan yang dimiliki oleh suatu daerah dalam mempersepsi dirinya untuk keperluan pembangunan berkelanjutan berorientasi ke depan, yang lazim disebut �modal sosial� (social capital). Dalam konteks kebijakan publik, modal sosial pada intinya menunjuk pada political will dan penciptaan jaringanjaringan, kepercayaan, nilai-nilai bersama, norma-norma dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi manusia di dalam sebuah masyarakat. Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial dalam sebuah komunitas. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan saja karena adanya kesamaan tujuan dan kepentingan, melainkan juga karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi, terjadinya relasi yang berkelanjutan serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif. Sebagian upaya ini dapat dikembangkan dari adanya komunikasi yang terbuka antar aktor lokal termasuk pemerintah dan dapat pula dikembangkan oleh pemerintah melalui kebijakan publiknya. Analisis ini akan dibantu dengan pendekatan konsep urban policy yang memfokuskan diri pada studi keterkaitan elemen-elemen lokal. Dari sini dapat dianalisis bahwa strategi kebijakan publik dapat dirancang untuk menumbuhkembangkan modal sosial, dan lebih lanjut, modal sosial yang secara laten embedded dengan proses sosial suatu kebijakan publik dapat diinventarisasi untuk kepentingan lanjutan. Modal sosial dan pertukaran sosial akan memberikan jawaban pada lokalitas sosial dalam praktik pengalaman terbaik (best practices) Kota Probolinggo selama kurun waktu 2004 – 2009 yang termanifestasi dalam programprogram inovatifnya. Konsepsi tersebut sekaligus akan mengklarifikasi apakah “best practices� dalam program 203
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
inovasi pada kurun waktu tersebut telah benar-benar merupakan best practices, dengan indikator tertentu. Kajian modal sosial (social capital) dalam studi-studi kepemerintahan sangat diperlukan untuk merangkai dan mengaktifkan anasir laten yang mendasari hubungan antar aktor dalam ruang dan hubungan sosial kepemerintahan dalam lokalitas daerah sebagai alat analisis, dan penggunaan pendekatan urban policy untuk menjelaskan secara live interkoneksitas elemen-elemen lokal brikut otoritas lokal (local authority) yang beroperasi di wilayah kebijakan publik suatu daerah. Kajian ini merupakan jawaban konseptual bagi permasalahan di atas, dengan mendeskripsikan modal sosial dalam kebijakan publik Kota Probolinggo pada program inovasi selama 2004 – 2009, yang lebih lanjut untuk menjelaskan urban policy. Modal sosial merupakan sesuatu yang embedded dengan proses praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kota. Ia dapat ditumbuhkembangkan dan diperkuat melalui kebijakan publik yang telah dilakukan dalam apa yang disebut best practices itu maupun melalui rancangan strategi kebijakan publik lanjutan dalam rangka menuju best practices program inovasi jika program inovasi pemerintah kota selama 2004 – 2009 yang diteliti ternyata masih belum dapat dikategorikan sebagai best practices secara keseluruhan ataupun sebagian. Setidaknya, buku ini mengisyaratkan tentang perlunya studi dan dokumentasi untuk menganalisis modal sosial dan urban policy dalam implementasi kebijakan publik pada suatu pemerintahan daerah sebagai pengalaman terbaik (best practices) dan bahan evaluasi diri (self evaluation) bagi kebijakan lanjutan yang lebih baik. Isu sentral buku ini yakni modal sosial dan urban policy pada program inovasi 2004 – 2009 sebagaimana dijelaskan di atas, agar tidak bias 204
Modal Sosial dan Urban Policy
pembahasan, membatasi diri untuk tidak membahas tentang baik buruknya suatu program kebijakan atau pelayanan publik, tetapi lebih kepada proses sosial yang melingkupi suatu kebijakan atau program. Karenanya, beberapa konsepsi yang direkonstruksi oleh kajian ini adalah, pertama, upaya identifikasi dan inventarisasi terhadap berbagai program inovasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Probolinggo pada kurun waktu 2004 – 2009, yang kemudian dapat dianggap sebagai suatu bentuk pengalaman terbaik (best practices) Kota Probolinggo, ketika telah dapat membawa perubahan dan dampak yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Kedua, upaya eksplorasi dan analisis modal sosial dalam praktik dan kebijakan pengelolaan pembangunan perkotaan (urban policy) dalam konteks inovasi pemerintah Kota Probolinggo dalam kurun waktu 2004 – 2009, serta untuk merancang strategi kebijakan publik untuk menumbuhkembangkan modal sosial dalam konteks urban policy, memperkuat programprogram inovasi yang telah ada maupun yang baru serta sebagai referensi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam implementasi kebijakan publik pemerintah Kota Probolinggo ke depan. Khususnya pada konsepsi kedua, modal sosial dan urban policy, akan berperan baik pada keberadaan best practices maupun tidak adanya best practices pada beberapa program inovasi yang telah dijalankan. Dan secara umum kedua capaian tersebut diharapkan akan dapat memperkuat referensi bagi implementasi kebijakan publik oleh penyelenggara dan pengelola pemerintahan Kota Probolinggo berdasarkan pengalaman sendiri, mempermudah perencanaan dan penguatan kebijakan lanjutan pada masa yang akan datang berdasarkan hasil kajian modal sosial dan urban policy terhadap praktik pengalaman terbaik inovasi yang telah dilakukan. Dalam hal lesson learned (pelajaran yang dapat 205
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
diambil), sebagai bahan saling tukar informasi, pengalaman dan referensi antar pengelola pemerintahan kota di lingkup regional dan nasional dalam rangka menguatkan kembali implementasi kebijakan program inovatif pemerintahan Kota Probolinggo. Lebih lanjut, untuk membuka jejaring kerjasama dengan pemerintahan daerah lain bahkan dengan masyarakat internasional, jika temuan best practices di suatu daerah dianggap unik dan baru. Implementasi program-program inovasi oleh pemerintah kota Probolinggo dalam kurun waktu tahun 2004 – 2009, pada satu sisi merupakan keberhasilan pemerintah kota beserta segenap warga kotanya, dan dapat dicatat sebagai suatu pengalaman terbaik (best practices) bagi referensi diri kota Probolinggo. Beberapa capaian berarti dari implementasi inovasi kebijakan publik pemerintah kota Probolinggo dapat merupakan investasi modal sosial jangka panjang jika kota ini yakni pemegang otoritas lokal (direpresentasi pemerintah) bersama warga (stakeholders), memelihara modal sosial yang ada atau yang sedang terbangun bersama implementasi kebijakan publik tersebut. Beberapa bentuk modal sosial yang telah terbentuk bersama pertumbuhan masyarakat Kota Probolinggo dapat diidentifikasi sebagai berikut: • Kepercayaan publik terhadap figur pemimpin lokal, yang terpilih melalui pemilihan lokal secara langsung (pilwali), menunjukkan akseptabilitas publik dan legitimasi pemimpin lokal. Ini relatif mempermudah pemimpin lokal untuk menggalang koneksitas dengan simpul-simpul kekuatan dan aktor lokal16.
16 Legitimasi public pemimpin lokal melalui pemilihan lokal dapat dilihat pada perolehan suara pada pilwali Kota Probolinggo tahun 2008, dalam Kuswandoro, Wawan E., Demokrasi Lokal: Belajar Dari 72,6% Suara Kemenangan Dalam Pilwali Kota Probolinggo2008, Penerbit InSECSPublishing, Surabaya, 2008.
206
Modal Sosial dan Urban Policy
• Organisasi lokal yaitu LSM dan organisasi nonpemerintah lainnya, semisal ormas, organisasi profesi, keagamaan, pemuda, dsb. • Institusi tradisional yang terpelihara secara alamiah. • Hubungan antar lembaga dan institusi tradisional. • Hubungan antar tokoh dan aktor lokal. • Hubungan antara tokoh dan aktor lokal dengan pemerintah lokal. • Hubungan antar partai politik17. • Koordinasi dan jaringan kerja antar LSM lokal. • Jalinan antar aktor lokal melalui media massa. • Interkoneksitas kultur melalui media tradisional. • Ikatan sosial lintas komunitas. • Religiusitas warga masyarakat yang berasal dari penyebaran kultur, nilai-nilai, kepercayaan dan pranata sosial agama (Islam) ke dalam masyarakat pribumi. • Ikatan primordial local genuine dalam satu simbol, yakni adanya perasaan satu ‘komunitas besar’, yang berasal dari proses difusi kultural yang halus (smooth) yang telah berlangsung lama, mendorong kohesi sosial. • Lokalitas teritorial terbatas, yakni kewilayahan yang tidak terlalu luas mendorong tumbuhnya sifat homogenitas kultur di beberapa komunitas. • Diferensiasi sosial yang cenderung sama di beberapa komunitas pinggiran kota. Beberapa program inovasi yang dicontohkan seperti misalnya, pemberdayaan ekonomi lokal, partisipasi publik, akuntabilitas publik, pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi dasar dan pengelolaan lingkungan hidup. Program-program ini mengantarkan kota Probolinggo memperoleh beberapa penghargaan di beberapa kompetisi 17
Ibid.p. 198-199.
207
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
tingkat nasional dan provinsi. Hal yang penting dicatat, bukanlah macam penghargaan yang diperoleh, -walaupun itu bisa menjadi tambahan semangat, namun lebih kepada keberhasilan kota, yakni usaha bersama “The Probolinggo Inc.�, yang dimotori oleh pemerintah lokal yang mengorganisasi warganya. Ada sebuah spirit bersama (esprit de corp) yang dapat menjadi pupuk bagi modal sosial. Program inovasi pemberdayaan ekonomi lokal yakni melalui pemberdayaan PKL dengan penataan dan pendataan melalui kartu kendali PKL dapat diterima dengan baik (winwin solution) dengan kalangan PKL. Adanya trust terhadap kegiatan pemerintah ini patut dicatat tersendiri, mengingat sulitnya solusi atas problema PKL di beberapa daerah. Penguatan partisipasi masyarakat, melalui dialog langsung tatap muka antara warga masyarakat dengan penyelenggara pemerintahan, melalui media radio, SMS gateway dan media internet semisal kampung cyber maupun melalui dialog warga secara langsung tatap muka semisal kegiatan yang dikemas dengan tajuk Cangkru’an, Rembug KAHBI (Kampung Hijau Bersih dan Indah), Odik (Obrolan Pendidikan), dsb, dapat memelihara ikatan sosial antar warga masyarakat dan dengan pemerintah. Demikian juga komunikasi publik melalui radio seperti kegiatan Walikota Menjawab, Kuliah Subuh, Laporo Rek, dsb, dapat meningkatkan partisipasi dan kepedulian warga. Setidaknya, saluran komunikasi warga dengan pemerintah telah terbuka lebar. Terbukanya ruang publik dan forumforum dialog dengan masyarakat dapat memupuk modal sosial melalui penguatan social ties (ikatan sosial). Namun perlu berhati-hati dalam mengelola komunikasi publik agar hubungan antara pemerintah dan masyarakat tidak mengeras menjadi ketergantungan masyarakat kepada figur atau personal. Lambat laun orang akan merasa lebih sreg jika merasa punya cantolan pemegang kunci pada suatu 208
Modal Sosial dan Urban Policy
persoalan yang menyangkut hajat hidupnya dan kurang memperhatikan bekerjanya sistem (birokrasi) yang sebenarnya sedang dibangun bersama komunikasi publik tersebut. Ini berpotensi mengalienasi (untuk tidak menyebut ‘memacetkan’) masyarakat pada mekanisme operasional pada struktur birokrasi pemerintah dan berpotensi pula mematikan modal sosial. Jangan sampai terjadi misalnya, seorang kepala daerah terjebak pada arus pemikiran pragmatis masyarakat umum bahwa ia harus “ready for use” dalam pengertian personal dan teknis. Personalitas sebagaimana konsep personality and politics dalam logika demokrasi langsung kerap membawa elit politik terseret ke politik pencitraan yang tak selamanya menguntungkan. Juga, jangan sampai terjadi misalnya seorang kepala daerah harus “pontang-panting” terlibat urusan teknis yang sebenarnya dapat diselesaikan di tingkat birokrasi teknis. Hal ini dapat terjadi karena hirarkhi birokrasi pada level bawah tidak dapat menerjemahkan instruksi hirarkhi birokrasi di atasnya. Lack of information atau bias of communication kerap terjadi pada sistem apapun seolah menjadi cacat bawaan sistem. Maka, gap ini harus diperkecil dengan mengefektifkan sistem organisasi dan proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, Peter F. Drucker menganjurkan resep mujarab untuk mengefektifkan kepemerintahan. Ia meringkas pokok-pokok pikirannya tentang effective executive” dalam 5 pointer18: • Effective executive tahu bahwa waktu terus mengalir, dan mereka bekerja mengatur dan mengontrol tiap penggalan kecil waktu tersebut.
18 Drucker, Peter F., 2002, The Effective Executive, Harper Business Essentials, Perfect Bound, Harper Collins Publisher, Inc., New York, p. 23-24.
209
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
• Effective executive memfokuskan diri pada kontribusi keluar. Mereka memulai dengan pertanyaan kecil” “hasil apakah yang diharapkan dariku?”. • Effective executive membangun kekuatan diri, yakni kekuatan ke atas, sejawat, ke bawah dan kekuatan terhadap situasi yakni pada isu apa yang harus dikerjakan. Mereka tidak pernah memulai untuk hal-hal yang tidak dapat atau tidak mampu mereka kerjakan. • Effective executive mengonsentrasikan diri pada beberapa bidang utama yang dapat melahirkan hasil konkret dengan performansi yang kuat. • Effective executive, -pada akhirnya-, melahirkan keputusan yang efektif, yakni yang didasarkan pada bekerjanya sistem. Membuat banyak keputusan dengan cepat-cepat, berarti membuat banyak kesalahan keputusan. Yang diperlukan adalah, membuat beberapa (a few) keputusan, tetapi fundamental. Dan yang diperlukan adalah strategi yang jitu, bukannya taktik yang dilambari dengan “ketergesa-gesaan dan panas” (razzle-dazzle tactics). Kelemahan lain institusi pemerintah tampak pada masih lemahnya ketertiban dokumen arsip, yang lebih cenderung mengikuti orang daripada mengikuti institusi. Jika sang pegawai kena mutasi, maka berkas yang menjadi tanggungjawabnya akan mengikuti sang pegawai, dan tak jarang institusi tidak memiliki dan pegawai lain tidak tahumenahu. Lemahnya institutional memory ini sering menyulitkan pelayanan publik. Sebaiknya dilakukan penyediaan dokumen yang bisa diakses publik dengan penyajian yang apik dan informatif. Ini akan sangat membantu baik bagi pegawai yang bertugas, bagi instansi maupun bagi masyarakat. Tiap-tiap satuan kerja menyediakan satu unit penugasan yang khusus 210
Modal Sosial dan Urban Policy
menyediakan dokumen publik ini. Fungsi ini kemudian dapat dikoordinasi oleh suatu organ informasi kota (semacam humas kota), untuk mengintegrasikan informasi lintas sektoral. Dengan model ini, setiap orang yang ada di suatu instansi akan dapat memberikan informasi yang bersifat umum kepada setiap orang anggota masyarakat yang datang atau meminta informasi tersebut tanpa harus menunggu pegawai lain. Karena di mata masyarakat, siapapun yang ada di suatu instansi dianggap representasi pemerintah sehingga ketidakpahaman seorang pegawai atas suatu persoalan akan dipersepsi negatif oleh masyarakat. Juga, dengan model penyajian informasi terpadu, disamping memudahkan pihak-pihak luar yang berkepentingan dengan kota Probolinggo, hanya akan dikenal sistem penyajian informasi satu pintu sehingga setiap satker tidak harus membuat materi publikasi yang sama-sama mengatasnamakan pemerintah kota. Di sisi lain, ini akan dapat menghemat anggaran pula. Kelemahan institusi juga tampak ketika seseorang berurusan dengan sebuah instansi (pemerintah) pelayanan publik, maka kalimat pertama yang terlontar dari pegawai yang ada di sana adalah, “hendak bertemu siapa?”, bukannya “ada keperluan apa?”. Seseorang akan terlongong-longong ketika mendapati keadaan ini karena boleh jadi ia tidak mengenal seorangpun di sana. Layanan seperti ini mencerminkan bekerjanya paradigma “person-centered” (bukan system centered), dan dapat bermakna sama dengan mewajibkan setiap orang anggota masyarakat untuk punya “cantolan” di dalam. Perlu perubahan budaya birokrasi sehingga upaya reformasi birokrasi tidak terhenti di permukaan, yang tampak mewah di luar tetapi lemah di dalam. Dalam konteks penguatan internal institusi pemerintah dari aspek pendukung antara lain tampak dalam implementasi eGovernment akan dapat mendukung kinerja pelayanan, 211
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
yang baik jika dipadu dengan peningkatan profesionalitas aparatur dan reformasi birokrasi. Penerapan e-Government dalam administrasi pemerintah, disamping mempercepat layanan pada masyarakat, juga akan dapat mengurangi perilaku terobosan dengan mengandalkan akses jalur khusus untuk mem-by-pass kebijakan pemerintah, dengan catatan, e-Government harus dijalankan dengan konsekuen dan didukung database yang akurat dan updated. Ini bisa meningkatkan trust (kepercayaan) kepada pemerintah. Pemercepat komunikasi teknikal akan baik jika dibarengi dengan pemercepat komunikasi budaya, penguatan organisasi dan lembaga-lembaga sosial, dengan melibatkan mereka dalam program-program pemerintah dan dukungan pemerintah terhadap inisiatif lokal, dapat merangsang dinamisasi proses sosial. Dalam konteks hubungan dengan civil society, pemerintah tidak boleh memposisikan diri sebagai pemain tunggal, namun sebagai salah satu pilar penyangga bekerjanya demokratisasi, yang mana pilar yang lain adalah warga masyarakat, melalui representasi organisasi lokal. Jika pemerintah menyatakan diri sebagai single player dalam konteks hubungan sosial (urban policy), maka ia sedang merobohkan pilar-pilar bangunan sosial yang menyangga implementasi kebijakan publiknya. Justru penguatan terhadap intitusi sosial sebagai hasil kebijakannya maupun produk hukum regulasi lokal, dan melembagakannya, akan memperkuat dan melanggengkan struktur dan bangunan sosial. Namun, perlu diingat bahwa peluang pemeliharaan modal sosial melalui kebijakan publik dan urban policy akan senantiasa berhadapan dengan tantangan kecenderungan hegemonisme pemerintah dalam mengelola masyarakat.
212
Penutup
BAB 5
Penutup
Kesimpulan Kajian tentang modal sosial masih berlanjut, apa yang ada dalam buku ini masih pada tahap awal. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mendesain instrumen-instrumen yang cocok untuk pengukuran dan implementasinya. Tak pelak lagi, penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa modal sosial memiliki dua ciri khas utama: ia memiliki kapasitas untuk membantu menjelaskan pertumbuhan ekonomi (khususnya di negaranegara maju) dan membantu melihat faktor-faktor determinan bagi keberhasilan hidup (khususnya pada masyarakat yang sedang bertransformasi). Inilah sebabnya mengapa, khususnya untuk masyarakat yang sedang bertransformasi, penting untuk mengkaji terus strategistrategi dan memperbaiki alat ukur dari bentuk-bentuk modal sosial. Juga, penumbuhkembangan modal sosial sekaligus memeliharanya dari abrasi sosial. Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community yang dapat meningkatkan
213
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
pembangunan partisipatif, dengan demikian basis modal sosial adalah trust, ideologi dan religi. Modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk kerelaan individu untuk mengutamakan keputusan komunitas. Dampak dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi kumulatif yang menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial. Modal sosial dapat merekatkan kehidupan sosial, yang mewujud dalam bentuk kebersamaan dan kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Terdapat titik temu antara institusi lokal dan modal sosial. Institusi lokal merupakan salah satu modal sosial sehingga institusi lokal di mana saja keberadaannya tetap mempunyai nilai positif bagi komunitas yang bersangkutan. Ternyata institusi lokal dijadikan dasar berpijak masyarakat lokal oleh karenanya modal sosial dapat berkembang dan mengalami erosi dan melemah serta menguatnya modal sosial pada masyarakat dapat dipotret melalui institusi lokal. Modal sosial bisa muncul dalam wajah yang positif, dengan gambaran adanya formulasi kepercayaan (trust) yang meliputi kohesi sosial, empati, transparansi, militansi, yang kesemuanya itu akan berdampak pada kemunculan kontrol sosial baru, revitalisasi modal sosial baru, membangun kerjasama dengan pihak luar, demokrasi dan desentralisasi. Norma harus diwujudkan dalam bentuk kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul perbedaan perlakuan antarwarga, yang dalam alokasi ini akan muncul kendala kebudayaan luar, anomali primordialisme dan vested interest sehingga perlu dipersiapkan jawaban ke depan guna membentengi tantangan yang akan muncul.
214
Penutup
Modal sosial dapat pula memunculkan wajah negatif dengan gambaran adanya indikasi melemahnya modal sosial, sehingga modal sosial mengalami erosi dalam bentuk: interaksi sosial, ditandai dengan pelanggaran norma, pelemahan kepemimpinan akibat person-centered, mesin birokrasi yang juga person-centered (bukan systemcentered), kerenggangan hubungan sosial dan dehumanisasi. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial, sentimen kelompok, meningkatnya semangat individualisme dan merebahnya nilai budaya material. Bila kondisi ini dibiarkan maka akan berakibat pada anomalisme, pembangkangan, konflik dan perilaku menyimpang, -yang seringkali bersifat laten-, muncul sikap baru dari komunitas dalam bentuk apatis, pragmatis, pengingkaran dan budaya potong kompas (menerobos). Sikap ini muncul karena tidak adanya kepercayaan, rendahnya rasa memiliki, egoisme dan ego-sentrisme dalam pelayanan birokrasi. Jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka yang muncul adalah stagnansi (kemandegan) atau setidaknya memiskinkan inovasi, menurunkan partisipasi, pelanggaran nilai sosial dan dimungkinkan terjadi KKN. Apabila erosi modal sosial dalam interaksi sosial dan komunitas benar-benar terjadi, maka institusi lokal akan kehilangan social trust yang ditandai dengan rasa kecurigaan, rasa tidak aman, menurunnya rasa kebersamaan, pembangkangan, dan akan menyebabkan rendahnya keterbukaan sehingga intensitas komunikasi rendah, tingginya manipulasi publik dan dampak yang paling parah adalah disintegrasi sosial. Institusi lokal dan modal sosial ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap komunitas lokal oleh karena itu perlu ada penguatan terhadap institusi lokal. Pemupukan institusi
215
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
lokal dan modal sosial dapat dilakukan melalui beberapa alternatif berikut: • Pengorganisasian institusi diarahkan dalam rangka memfasilitasi dan memperkuat komunitas lokal. Model commune seperti di Italia dan Kamboja dapat menjadi inspirasi positif. • Mengembangkan kerangka pikir re-linking (menyambung kembali), yang mengarah pada upaya linking (menyambungkan) dimensi formal dengan dimensi nonformal yang ada di dalam masyarakat. • Perbaikan infrastruktur sosial berbasis cultural dan seirama dengan corak religiusitas warga masyarakat. Urban policy, sebuah konsep yang lebih dinamis dan practical dari public policy, terutama untuk menjelaskan tata hubungan pengelolaan kota bersama stakeholders kota, adalah interlink antar jaringan. Dan modal sosial, pada prinsipnya merujuk pada political will, penciptaan jaringanjaringan, kepercayaan, nilai-nilai bersama, norma-norma dan kebersamaan yang timbul dari adanya interaksi sosial para aktor di dalam suatu masyarakat. Pemerintah dapat mempengaruhi secara positif, kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial, dalam sebuah komunitas, untuk kajian urban policy ini. Modal sosial pada umumnya akan tumbuh dan berkembang bukan karena adanya kesamaan tujuan dan kepentingan, melainkan juga karena adanya kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi, terjalinnya relasi yang berkelanjutan serta terpeliharanya komunikasi dan dialog yang efektif. Praktik pengalaman terbaik (best practices) implementasi program inovatif Kota Probolinggo dalam kurun waktu 2004 – 2009 dapat merupakan investasi modal sosial berdaya jangkau jangka panjang jika kota ini 216
Penutup
yakni pemegang otoritas lokal (direpresentasi pemerintah) bersama warga (stakeholders), memelihara modal sosial yang ada atau yang sedang terbangun bersama implementasi kebijakan publik tersebut. Rekomendasi 1. Ide dasar kajian ini merekomendasikan akan adanya pengembangan pemikiran baru tentang penguatan modal sosial untuk tujuan-tujuan pengembangan masyarakat, dalam konteks hubungan masyarakat (civil society) dan negara, namun tidak melepaskan diri dari prinsipprinsip hak-hak publik dan keadilan. Patut direnungkan (dan dijawab): implementasi kebijakan publik pemerintah daerah yang dijalankan, memperkuat modal sosial ataukah justru menghancurkannya? 2. Evaluasi terhadap tugas dan fungsi pemerintah dalam memberikan layanan publik bagi warga lokalnya dengan indikator modal sosial, yakni implementasi kebijakan pemerintah menyebabkan menguatnya modal sosial ataukah melemahkan modal sosial. Dalam konteks hubungan masyarakat dan negara, perlu ada pemeliharaan penyadaran baru bahwa negara bukanlah suprastruktur melainkan salah satu institusi, di antara institusi lainnya seperti masyarakat sipil (civil society), media massa, pasar, dll, yang bisa berdiri sejajar dalam dialog demi kebaikan seluruh warga (konsepsi urban policy). Dalam semangat ini birokrasi hanyalah instansi yang mencatat dan mendokumentasikan semua status dan kegiatan pemerintah dan warga lokal agar seluruh sumber-sumber ekonomi dan kesejahteraan bisa terdistribusi secara merata tanpa seorang pun yang terabaikan. Program layanan publik kepada warga
217
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
negara harus didesain dalam bentuk blue print yang berjangka pendek, menengah dan panjang dengan memperhatikan skala prioritas mengenai hal-hal yang paling dibutuhkan warga, demi mewujudkan suatu masyarakat yang benar-benar sejahtera, manusiawi dan berdaya (self-help). Salah satu prasyaratnya adalah profesionalitas birokrasi baik personel maupun sistem, termasuk efektivitas kinerja mesin birokrasi yang bergerak atas dasar teknologi sistem, bukan “teknologi orang”. Termasuk dalam bagian ini adalah mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, misalnya dengan mendesentralisasi urusan. Bentuk yang sederhana adalah pelimpahan sebagian kewenangan kepala daerah (pemegang otoritas pada level kota) kepada organ di sub wilayahnya (camat, lurah, pemegang otoritas pada level sub kota: kecamatan, kelurahan). 3. Peningkatan institusionalisasi interkoneksitas antara organ otoritas lokal (local authorities) dengan organ-organ lain dalam jaringan kerja agensi lokal (network of agencies in the locality). Pengembangan konsepsi urban policy dalam proses berikutnya menuju penguatan urban regime dan community government. Konsep baru ini menjawab problem klasik kesulitan keberlanjutan hasil program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh banyak pemerintah daerah ketika program tersebut seringkali dimaknai sebagai ‘proyek milik pemerintah’. Masyarakatpun berpartisipasi dalam batas ‘selama ada dana proyek’. Urban regime (rezim perkotaan), dalam konteks pemerintahan lokal, merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan aktor negara dengan aktor non negara (non-state actors) yang berfokus pada kerjasama antara pemerintah dengan organisasiorganisasi non-pemerintah dengan membangun institusi-
218
Penutup
institusi untuk menangani problem lokal karena tak mungkin diatasi satu organisasi pemerintah sendirian. Pendekatan ini menekankan saling ketergantungan antara pemerintah tidak hanya dengan sektor swasta dan masyarakat, namun semua kelompok kepentingan secara keseluruhan. Secara teknis berorientasi kepada penjelasan politik perkotaan (urban politics) yang berfokus kepada bagaimana cara keputusan kolektif (collective decision) tentang pembangunan perkotaan itu muncul, siapakah yang paling menentukan (dominan) dalam proses pengambilan keputusan kolektif tersebut, apakah basis pengaruhnya, apakah koalisi-koalisi yang muncul di seputar suatu kebijakan, dan bagaimana serta dalam kondisi apa koalisi-koalisi itu mensolidkan diri untuk mendukung stabilitas sosial. Menurut teori ini, sebagaimana C. Stone, yang membuat kepemerintahan (governance) efektif bukanlah mesin pemerintahan formal (the formal machinery of government), melainkan lebih pada kemitraan informal antara pusat pemerintahan lokal (City Hall) dengan tokoh-tokoh kunci pelaku pada level di bawahnya. Kemitraan informal dan cara bekerjanya ini merupakan “rezim kota� (the city’s regime); ini berarti dari sinilah keputusan kepala daerah bersumber.
219
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
220
Daftar Rujukan
Daftar Rujukan Buku Blackman, Tim, 1995, Urban Policy in Practice, Routledge, New York. Borins, Sandford (Ed.), 2008, Innovations in Government: Research, Recognition and Replication, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, Harvard University, USA. Bryman, Alan, 2004, Social Research Method, Oxford University Press, New York. Boyne, George A., 2006, Public Service Performance: Perspectives on Measurement and Management, Cambridge University Press, UK. Butcher, Hugh, et.al., 1993, Community and Public Policy, Pluto Press, London. Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli (Editor)., 2007, Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, Harvard University. Coser, Lewis A, 1982, Sociological Theory: A Book of Readings, MacMillan Publishing Co., Inc., USA. Dasgupta, Partha dan Ismail Serageldin, 2000, Social Capital: Multifaceted Perspective, The World Bank, Washington DC.
221
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Drucker, Peter F., 2002, The Effective Executive, Harper Business Essentials, Perfect Bound, Harper Collins Publisher, Inc., New York. Dwiyanto, Agus, dkk., 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Elms, Alan C., 2000, Personality in Politics, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, Washington DC. Fukuyama, Francis, 1999, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, terj., oleh Masri Maris, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hambleton, Robin dan Jill Simone Gross (Ed.), 2007, Governing Cities in A Global Era: Urban Innovation, Competition and Democratic Reform, Palgrave Macmillan, New York. Hartley, Jane, 2008, Managing to Improve Public Services, Cambridge University Press, New York, USA. Haynes, Philip, 2003, Managing Complexity in The Public Services, Open University Press, McGraw-Hill Education, UK. Howlett, Michael dan M. Ramesh, 1995, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, Ontario, Canada. Kuswandoro, Wawan E., 2009, Demokrasi Lokal: Belajar Dari 72,6% Kemenangan dalam Pilwali Kota Probolinggo 2008, penerbit InSECS Publishing, Surabaya. Logan, John R. dan Todd Swanstrom, 1999, Beyond The City Limits: Urban Policy and Economic Restructuring in Comparative Perspective, Temple University Press, Philadelphia, USA. 222
Daftar Rujukan
Marsh, David dan Gerry Stokker, 2002, Theory and Methods in Political Science, Palgrave Macmillan. Osborne, Stephen P. dan Kerry Brown, 2005, Managing Change and Innovation in Public Service Organizations, Routledge, New York, USA. Putnam, Robert D., 2002, Democracies in Flux: The Evolution of Social Capital in Contemporary Society, Oxford University Press. Ritzer, George, 1996, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc. Soekarwo, dkk, 2006, Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi, Airlangga University Press, Surabaya. Soenarko, 2005, Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah, Airlangga University Press, Surabaya. Artikel dalam Jurnal, e-Book dan Makalah Seminar Burt, Ronald S., 2000, “The Network Structure of Social Capital”, Research in Organizational Behaviour, Volume 22, 2000. Cheung, 2005, “The Politics of Administrative Reform in Asia, Paradigms and Legacies, Paths and Diversities”. Coleman, J 1988, “Social Capital in The Creation of Human Capital”, American Journal of Sociology, 94, Supplement, p. 95-120 Dharmawan, Arya Hadi, 2002, Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial, Makalah Seminar dan Kongres Nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) bertemakan “Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkemanusiaan”, Bogor 27-29 Agustus 2002. 223
Modal Sosial & Urban Policy: Kajian Best Practices Program Inovasi Pemerintah Daerah
Edi Suharto, Modal Sosial dan Kebijakan Publik, STKS, Bandung, Social Policy Expert, Galway Development Services International (GDSI) Irlandia, pemimpin proyek Strengthening Social Protection System in ASEAN, Sekretariat ASEAN dan Uni Eropa. Eko, Sutoro, 2003, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Makalah Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003. Gregory, Robert J., 1999, Social Capital Theory and Administrative Reform: Maintaining Ethical Probity in Public Service, Victoria University of Wellington, Public Administration Review, January-February 1999, Vol. 59, No.1. Kamarck, Elaine C., 2003, Government Innovation Around The World, Ash Institute for Democratic Governance and Innovation, John F. Kennedy School of Governance, November 2003. Marshall, Garry, 1998, “In Search of Commensurability: Writings in Public Management in an Era of Governmental Reform”, 1998. Painter, Martin, 2004, The Politics of Administrative Reform in East and Southeast Asia: From Grid-lock to Continuous Self Improvement” in Governance. Peter Noordholt, 2005, Beyond New Public Management: Answering the Claims of Both Politics and Society, Public Organization Review: A Global Journal 5: 35 – 53. Pratchet, Lawrence, 2004, Local Autonomy, Local Democracy and The ‘New Localism’, Political Studies Association, Blackwell Publishing, Vol. 52. 224
Daftar Rujukan
Stoker, Gerry, 2004, New Localism, Progressive Politics and Democracy, The Political Quarterly Publishing Co., Ltd. Tayeb, Monier 1995," The Competitive Advantage of Nations: The Role of HRM and Its Socio-Cultural Context. The International Journal of Human Resource Management, Vol.6. Dokumen Lain Anonymous, 2006, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2009, Pemerintah Kota Probolinggo, Probolinggo. Anonymous, 2009, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Tahun 2008, tahun penyusunan 2009, Pemerintah Kota Probolinggo. Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 10 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Probolinggo Tahun 2006 – 2025 dan lampirannya. Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pedagang Kaki Lima. Beberapa dokumen satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah Kota Probolinggo, 2004 – 2009. Surat Kabar Berita Jatim Radar Bromo (Jawa Pos Group). Kompas. Suara Kota, Tabloid. Surya.
225
Biodata Penulis WAWAN E. KUSWANDORO. KUSWANDORO Alumnus FISIP-HI HI Universitas Jember dan S2 Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Airlangga ini aktif di berbagai bagai kegiatan kemasyarakatan, penelitian dan penulisan. Berminat pada bidang ang kepemerintahan, politik, birokrasi, pendidikan dan community development. Tugas yang pernah dan sedang diemban antara lain: Ketua dan Anggota KPU Kota Probolinggo (2003–2009), (2003 Ketua Dewan Pendidikan Kota Probolinggo (2005 – sekarang), Ketua Forum Komunikasi Dewan Pendidikan se-Wilayah Tapal Kuda Jawa Timur (2005––sekarang), peneliti pada Institute for Social Education ion and Cultural Studies (InSECS) CS) Jawa Timur, di Surabaya (2007(2007 sekarang), Pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi ”Bayuangga” Probolinggo (2007-sekarang), (2007 Jaringan Penelitian dan Pengembangan Kota Probolinggo (2009-sekarang). Beberapa karyanya antara lain: Anti Klimaks Politisasi Demokrasi Lokal: Kajian Konflik dan Politik Lokal Dalam Perspektif Pelembagaan Politik Di Balik Fenomena Calon Tunggal Jelang Pilkada Sampang (terbit 2008), Demokrasi Lokal: Belajar Dari 72,6% Suara Kemenangan menangan Pilwali Kota Probolinggo 2008 (terbit 2009), Modal Sosial dan Urban Policy:: Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah (terbit 2010), Seraut Asa Sebening Kristal (editor, 2010), 2010) Oase Tidak Pernah Menunggu Kafilah (2010). Saat ini sedang mengembangkan konsep social entrepreneurship melalui CV Asa Baru, social enterprise yang concern pada penguatan jaringan sosial dengan pendekatan ekonomi ek dan teknologi kerakyatan. Penulis berada dan dapat dihubungi di http://www.wkuswandoro http://www.wkuswandoro.com, http://www.insecs.co.id, http://www.asabaru.com, Email: wkuswandoro@gmail.com.
227
228