Strategi Penguatan Perencanaan dan Pelayanan Pemerintah Desa Wawan E. Kuswandoro wkuswandoro@ub.ac.id
Abstraks Dua aspek penting dalam penyusunan perencanaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa yang masih menjadi masalah dan kelemahan dalam implementasi di lapangan, adalah aspek input perencanaan dan aspek pelayanan. Aktivitas perencanaan yang menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa seringkali menyimpan masalah dalam proses perumusannya sejak di tingkat RT, RW dan dusun. Tulisan ini bertujuan membongkar kelemahan tersebut dan memperkuat perencanaan dan pelayanan pemerintahan desa dengan menyajikan dua aspek penguat agar perencanaan (dan penyusunan program) benar-benar mengakar pada masyarakat, yaitu input perencanaan dan penguatan pelayanan yang berdasarkan pada prinsip aksi kolektif (collective action) masyarakat desa. Kedua aspek ini disajikan dengan mengemukakan metode survey dan etnografi disertai beberapa contoh pengalaman penulis, untuk memunculkan program yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Keterampilan metodik (dalam aplikasi yang dapat diterima di desa) ini sebaiknya dimiliki oleh tim perencana atau penyusun program di desa agar dapat menerjemahkan aspirasi masyarakat sejak pertemuan di tingkat RT, RW, dusun dan desa yang seringkali mengalami bias dan penyederhanaan. Keterampilan metodik ini disamping menjangkau kedua aspek teersebut, juga membantu dalam penyusunan program penting seperti BUM Desa dan Kerjasama Antar Desa. Untuk mempermudah penyajian, tulisan ini dibuat dalam sistematika: Pendahuluan: Kelemahan Input dan Pelayanan; Input Perencanaan: Pemetaan Sosial; Pemetaan Sosial Dalam Penyusunan Program; Beberapa Langkah Praktis; Pelayanan Prima Dalam Pemerintahan Desa yang memuat Perumusan Indikator Pelayanan Prima, Inovasi dan Best Practices Pelayanan Prima, Inovasi dan Best Practices Pelayanan Prima, dan Pengukuran Pelayanan Prima Untuk Kepuasan Masyarakat: Metode Report Card System; Kesimpulan, dan Rekomendasi. Kata kunci: input perencanaan, pemetaan sosial, pelayanan prima, modal sosial.
Pendahuluan: Kelemahan Input Perencanaan dan Pelayanan Kehadiran Undang Undang Nomer 6 tahun 2014 tentang Desa berimplikasi pada penyesuaian-penyesuaian
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
desa.
Substansi
kewenangan desa dan prinsip-prinsip otonomi desa beserta muatan amanat kemandirian dan demokratisasi desa dalam undang undang tersebut membawa beberapa konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan segenap stakeholders desa. Perubahan dan penyesuaian ini secara nyata terjadi pada aspek perencanaan, penyusunan program dan penyelenggaraan pemerintahan desa secara keseluruhan, sambil memperbaiki kelemahan1
kelemahan yang terjadi. Kelemahan-kelemahan pada aspek perencanaan, sebelum kehadiran undang-undang ini berkaitan dengan prinsip dan prosedur perumusan dokumen perencanaan desa yakni dokumen perencanaan desa enam tahunan atau yang disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan dokumen perencanaan desa tahunan atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa, yang lebih sering dilakukan sebatas memenuhi aspek administratif kelengkapan sebuah program yang terselenggara di desa. Bahkan beberapa desa juga belum memiliki dokumen RPJM Desa. Dan setelah kehadiran undang-undang ini, meskipun pemerintah desa telah mengetahui prinsip, prosedur dan mekanisme penyusunan perencanaan desa sesuai undang-undang ini, masih terdapat kelemahan dalam melaksanakannya, terkait dengan keterbatasan para pelaku yang terlibat dalam proses penyusunan dokumen perencanaan yakni musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Dan ini terjadi mulai dari titik awal yakni pada penjaringan aspirasi masyarakat atau musyawarah di tingkat RT, RW dan dusun. Terdapat praktik formalisme pada musyawarah pembangunan di desa yang terjadi karena ketidaktahuan para pelaku terkait dengan agenda pembangunan di desa. Sebagai contoh, dalam observasi penulis pada kegiatan musrenbangdes, input musrenbangdes dari usulanusulan pada tingkat RT yang dikoordinasi oleh RW banyak terjadi ketidakjelasan, karena belum jelasnya kegiatan yang akan dilaksanakan di tingkat RT dan RW. Keterbatasan pemahaman pelaku menjadi kendala utama, sehingga kemudian yang terjadi adalah usulan dari tingkat RT dan RW lebih banyak didominasi oleh elit dusun pada musyawarah dusun. Yang terjadi adalah munculnya usulan-usulan yang bersifat personalistik dan lokal, yakni usulan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang dirasakan pada saat itu yang bersifat spontan. Usulan yang diajukan belum mencerminkan suatu kebutuhan kolektif warga RT, RW dalam skala dusun sehingga mudah dipetakan. Kelemahan kedua adalah kurang terakomodasinya usulan dari RT, RW dalam musyawarah di tingkat desa. Kemudian dalam mengatasi keterbatasan pelaku ini, elit dusun dan elit desa biasanya membuat usulan-usulan atas dasar referensi pribadi para elit yang cenderung abai pada usulan pada tingkat di bawahnya. Kelemahan ketiga, berkaitan dengan budaya masyarakat desa. Masyarakat desa ketika diundang ke balai desa untuk rapat pada umumnya sulit mengungkapkan aspirasinya yang berupa keluhan, masalah, curhatan atau pendapatnya. Terdapat kendala-kendala kultural yang membatasi mereka dalam forum pertemuan resmi. Berbagai kelemahan tersebut menandakan lemahnya input perencanaan yang berimplikasi pada lemahnya dokumen perencanaan yang dihasilkan oleh forum musrenbang 2
desa tersebut. Dokumen perencanaan, yakni RPJM Desa merupakan dokumen induk yang merupakan pedoman bagi pembangunan di desa, bukanlah sekedar dokumen yang asal ada atau formalitas sebagai kelengkapan administrasi dalam pemerintahan desa, yang kemudian tidak terlalu diacu dalam penyelenggaraan pembangunan oleh pemerintah desa. Dari observasi di lapangan, kesalah kaprahan yang sering terjadi adalah bahwa terjadi praktik penyederhanaan dalam mempersepsi dan menyusun RPJM Desa. Dokumen RPJM Desa tidak benar-benar mencerminkan panduan pembangunan yang didasarkan pada analisis kebutuhan dan analisis potensi di desa, namun dalam praktik lebih merupakan dokumen kelengkapan administratif. Hal ini tampak pada beberapa kasus peniruan dokumen RPJM Desa maupun pembuatan dokumen RPJM Desa secara instant oleh pihak ketiga. Secara dokumen memang bagus karena disusun oleh pihak yang cukup cakap dalam penyusunan dokumen legal semacam RPJM Desa, akan tetapi dokumen “panjaitan� semacam ini jelas tidak memiliki pijakan sosial-kultural dengan masyarakat desa, dan pihak pemerintah desa pun tidak memahami makna dan substansi dokumen RPJM Desa yang seharusnya menjadi landasan. Salah satu efeknya adalah penyelenggaraan pembangunan di desa hanyalah bergantung pada kemampuan personal dalam hirarki pemerintahan desa, bukan pada kecakapan institusional pemerintahan desa. Temuan-temuan kelemahan ini juga penulis temukan dalam forum sosialisasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan pelatihan pengembangan kapasitas SDM bagi kepala desa, dari hasil curah gagas dengan para kepala desa se-Jawa Timur pada tahun 2014 dan 2015. Dan implikasi dari kelemahan tersebut dalam tahapan implementasi undang-undang ini adalah bahwa pembangunan desa terselenggara tidak secara sistemik, namun personal dan berorientasi administratif belaka. Jika pembangunan desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa terselenggara dalam pola semacam ini, maka Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan kemandirian desa dan pembangunan desa berbasis sosial – kultural dan kelokalan akan menemui kendala serius. Dari fakta ini, masih sangat dimungkinkan untuk memperbaiki RPJM Desa baik secara substansial maupun prosedural, sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan-peraturan terkait. Terkait kelemahan input perencanaan, karena itu sangat mendesak untuk menciptakan musyawarah di desa yang efektif. Mengambil pelajaran dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) sejak dari tingkat RT, RW, dusun hingga desa, maka perlu langkah mendesak untuk dipahaminya metode rekayasa sosial sederhana yang 3
dapat diterima oleh pelaku pembangunan desa untuk menciptakan input perencanaan yang mengakar pada masyarakat dalam rencana program yang sedang disusun. Selain input perencanaan, kelemahan aspek kedua pada penyelenggaraan pemerintah desa adalah pelayanan pemerintahannya kepada masyarakat. Sebagaimana juga diakui oleh para kepala desa dalam forum pelatihan peningkatan kapasitas SDM kepala desa se-Jawa Timur pada tahun 2014 dan 2015, bahwa mereka rata-rata mengalami masalah pada keterbatasan kemampuan aparatur (perangkat) desa disamping fasilitas. Keterbatasan ini berimplikasi pada kualitas pelayanan pemerintahnya. Permasalahan krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, dan ini adalah kelemahan dalam implementasi lapangan, adalah pertama, pada aspek bagaimana menyiapkan input utama untuk penyusunan perencanaan pembangunan desa; dan kedua, pada aspek pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah desa. Tulisan ini hendak menyajikan dua isu penting dalam rangka penguatan kedua aspek tersebut, yaitu pertama, penguatan input perencanaan, dengan menyiapkan piranti pemetaan sosial, yang memuat pemetaan dan analisis potensi/ aset desa, masalah dan kebutuhan sebagai input utama bagi perencanaan desa, (termasuk input bagi pembentukan BUM Desa dan Kerjasama Antar Desa); dan kedua, membangun pelayanan yang baik (pelayanan prima). Input Perencanaan: Pemetaan Sosial Aspek pertama, yakni pemetaan dan analisis masalah, potensi desa dan kebutuhan, meliputi upaya-upaya penggalian masalah dan kebutuhan warga desa dan potensi desa yang menjadi acuan isi dokumen perencanaan desa, rujukan dalam pembentukan BUM Desa dan kerja sama antar desa. Dalam upaya ini termasuk menerjemahkan ide, pemikiran dan aspirasi (keluhan, curhatan, uneg-uneg, permintaan, harapan, dsb) dari warga masyarakat desa hingga menjadi program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa sebagai program prioritas dan tertulis dalam dokumen perencanaan desa. Input perencanaan merupakan aktivitas untuk memperoleh data yang memadai untuk keperluan penyusunan dokumen perencanaan dan penyusunan program penting semisal BUM Desa dan Kerjasama Antar Desa. Aktivitas ini adalah pemetaan aset dan potensi desa, masalah dan kebutuhan masyarakat desa, yang menjadi langkah awal bagi penyusunan
4
perencanaan 1 . Pemetaan aset dan potensi, pemetaan masalah dan kebutuhan dilakukan dengan memperhatikan pola sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, dilakukan dengan pendekatan pemetaan sosial (social mapping), yang dalam istilah pembangunan desa kadang disebut juga dengan ‘pemetaan apresiatif desa’2. Pemetaan sosial berbasis potensi atau aset ini memposisikan masyarakat sebagai aktor utama penggerak partisipasi, aksi kolektif dan modal sosial untuk merencanakan, mengambil keputusan, melaksanakan dan mengawasi program-program pembangunan desa 3 . Data aset dan potensi yang dilakukan berbasis survey, meliputi potensi dan aset sumber daya manusia, sumber daya alam, sosial, finansial, fisik dan sarana – prasarana, kelembagaan, budaya dan spiritual 4 , dijadikan dokumen data potensi dan aset desa atau merujuk pada terminologi pembangunan desa, dapat disebut sebagai ‘dokumen apresiatif desa’. Aktivitas pemetaan sosial yang meliputi potensi, aset, masalah dan kebutuhan desa ini pada hakikatnya adalah upaya menempatkan rencana program desa pada posisi masyarakat, selaras dengan kebutuhan masyarakat. Karenanya, input perencanaan ini didasarkan pada prinsip “bersumber dari masyarakat, berbasis kekuatan desa, dilakukan secara partisipatif, demokratis, berkelanjutan, terbuka dan bertanggungjawab, belajar dari pengalaman, berorientasi pada tujuan praktis dan strategis, untuk pemberdayaan dan keswadayaan masyarakat” 5 . Pada aspek ini juga didapat manfaat lain yakni mengurangi klaim dan intervensi program lain. Aspek pertama ini menghasilkan rumusan hasil analisis masalah, potensi dan kebutuhan desa yang kemudian dipadukan dengan sinkronisasi dengan program pemerintahan di atasnya yakni pemerintah kabupaten. Lebih lanjut, pemetaan dan analisis masalah, kebutuhan dan potensi desa menjadi input bagi pengembangan potensi ekonomi lokal melalui pembentukan usaha ekonomi masyarakat desa, dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Termasuk dalam upaya ini adalah pemetaan potensi kelompok-kelompok masyarakat (pokmas) yang membentuk usaha ekonomi produktif maupun pokmas yang berorientasi non-ekonomi namun bisa digeser untuk melakukan usaha produktif bernilai ekonomi. Salah satu contoh
1
Yusuf Murtiono dan Wulandari. Perencanaan dan Penganggaran Desa. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014, 18 – 19. 2 Ibid. 3 Ibid., 20. 4 Sutaryono et al. Pengelolaan Aset Desa. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014, 7 – 17. 5 Yusuf Murtiono, op cit., 8 – 11.
5
adalah kelompok masyarakat (pokmas) yang membentuk bank sampah di kota dan kabupaten Probolinggo yang melakukan usaha produktif di bidang pembuatan kerajinan daur ulang, pembuatan kompos6 dan pertanian lahan sempit di halaman rumah. Para pokmas ini yang awalnya tidak berorientasi ekonomi, kemudian melakukan usaha produktif dan telah berhasil mengajak warga masyarakat sekitarnya untuk ikut melakukan usaha bersama. Dengan pemodelan yang sama pengembangan bank sampah sebagai model partisipasi masyarakat di tingkat mikro ada pada kelompok bank sampah di desa Pabean, kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo. Kelompok lainnya dengan karakter berbeda yakni kelompok masyarakat yang berada di sekitar bibir pantai di kelurahan Ketapang, kota Probolinggo, yang awalnya mereka hidup dari mencari kerang di pinggir pantai dan menjualnya di pasar ikan, kemudian bertambah dengan bertanam mangrove di bibir pantai di sekitar mereka dan membuat kelompok usaha pengolahan tepung mangrove7. Pola ini dapat diadopsi untuk dilakukan di masyarakat desa untuk menambah pendapatan keluarga (pendekatan ekonomi) dan dapat diadopsi dan dikembangkan menjadi usaha berskala desa yang difasilitasi dan dikembangkan oleh pemerintah desa melalui BUMDes sebagaimana yang sedang dikembangkan di desa Dringu, kecamatan Dringu, kabupaten Probolinggo 8 . Jika dalam masyarakat belum terdapat bibit-bibit kelompok usaha seperti di atas, dapat diciptakan dengan pendekatan rekayasa sosial tertentu, yang juga diawali dengan pemetaan dan analisis masalah, kebutuhan dan potensi, sebagaimana penulis lakukan pemetaan dan analisis sosial di desa Alas Sumur Lor, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo pada tahun 2011 dan 20129. Pemetaan Sosial Dalam Penyusunan Program Pembangunan Desa Pemetaan sosial, disamping penting dalam input perencanaan, juga bermanfaat bagi penyusunan dan pengembangan program-program pembangunan desa, yang dalam tulisan ini dibatasi pada program pengembangan potensi ekonomi lokal. Potensi ekonomi lokal di desa berkemungkinan untuk dikembangkan dalam bentuk yang lebih formal semacam Badan
6
Hilmy Mochtar et al. Policy Environment in Urban Area: Public Participation in Waste Management in Probolinggo. International Journal of Technical Research and Application. Special Issue 33, September 2015, 12 – 16. 7 Wawan E. Kuswandoro. Strategi Efisiensi Pembangunan Sosial Melalui Pemanfaatan Ekonomi Modal Sosial: Pengalaman Kelompok Masyarakat Petani Laut di Probolinggo. 8 Sedang dikembangkan oleh pemerintah desa Dringu, dengan pendampingan oleh penulis. 9 Pelatihan Pemetaan dan Analisis Sosial Untuk Merancang Kewirausahaan Masyarakat. PNPM Mandiri Perkotaan, di Kabupaten Probolinggo, 24 November 2011.
6
usaha Milik Desa (BUM Desa), yang jika dikembangkan dapat menjadi keunggulan desa untuk melakukan Kerjasama Antar Desa. Bentuk BUM Desa dianggap sesuai bagi pengembangan ekonomi berskala desa dalam semangat dan koridor Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, karena prinsip-prinsip otonomi desa, demokrasi dan partisipasi terdapat dalam model BUM Desa. BUM Desa dibentuk oleh pemerintah desa dengan kepemilikan modal dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat, dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Sedangkan hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha dan pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, memberi bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial dan kegiatan dana bergulir (Pasal 89). Jelaslah, bahwa potensi ekonomi desa mendapat perlakuan yang semestinya bagi sebesar-besar kepentingan masyarakat melalui bentuk BUM Desa, juga dengan jaminan undang-undang. Pemerintah desa tinggal memfasilitasi saja, bahkan dapat dilakukan tanpa menunggu modal finansial secara khusus. Berikut langkah-langkah pragmatis yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa untuk menginiasi pembentukan dan pengembangan BUM Desa. Langkah awal atau pertama dan utama, adalah pemetaan sosial atas potensi ekonomi, potensi sumberdaya alam, potensi sosial, sumberdaya manusia, termasuk keahlian anggota masyarakat, orang kaya yang bisa menanam modal, usaha-usaha ekonomi produktif skala kecil, yang sedang berkembang, mungkin bisa berkembang ataupun tidak berkembang bahkan sudah mati. Semua data tentang potensi-potensi ekonomi produktif dikumpulkan. Analisis dilakukan untuk pertama, memilah berdasarkan kategori telah berkembang, sedang berkembang, kembang-kempis, pernah berkembang alias hampir mati, dan sudah mati. Kedua, mencari penyebab mengapa telah berkembang, sedang berkembang, kembang-kempis, pernah berkembang alias hampir mati dan sudah mati. Penyebab meliputi kondisi pelaku (karakter, tipe, keseharian), kondisi usaha (kesehatan usaha, cash-flow keuangan, pemasaran), dan lingkungan usaha. Dibuatkan daftar inventarisasi khusus ‘potensi ekonomi desa X’ dengan matriks yang sesuai, sebut saja “data potensi ekonomi”. “Data potensi ekonomi” ini memungkinkan tim perencana desa atau tim pembangunan desa ataupun “tim khusus pembentukan BUM Desa” dapat memilah dengan mudah sektor usaha mana yang layak dikembangkan dalam format BUM Desa, termasuk kesediaan oleh pelaku atau pemilik usahanya. Strategi ini bersifat penguatan dan perluasan fungsi dari usaha yang sudah ada, untuk BUM Desa berjenis produktif berbasis bahan lokal. Pemerintah desa dapat pula mengembangkan BUM Desa berjenis usaha lain, 7
misalnya eksplorasi ekstraktif sumber daya alam, toko yang menjual hasil produksi warga, delivery, leveransir, perantara, jasa pelayanan, wisata, dsb tergantung potensi yang memungkinkan di desa (fungsi pemetaan sosial sangat penting). Opsi penulis adalah mengembangkan usaha ekonomi produktif yang sudah berkembang atau dirintis di masyarakat desa sendiri untuk memperkuat usaha milik masyarakat. Penulis membayangkan sebuah “korporasi” skala desa yang mengoordinir seluruh elemen usaha milik masyarakat di desa ybs dalam sebuah “holding company” BUM Desa. BUM Desa dan usaha milik masyarakat terjalin dalam jejaring kerja yang saling menguatkan, sehingga keluar desa, BUM Desa berperan sentral dalam kerjasama ekonomi antar desa yang difasilitasi oleh pemerintah desanya. Dalam pola ini, fokus BUM Desa dapat mengambil peran sebagai “holding company” atau semacam “inti” yang berfungsi mengkoordinasi semua usaha produktif milik masyarakat tersebut sebagai “unit usaha” atau “plasma” yang tetap berproduksi seperti biasa (untuk usaha yang telah atau sedang berkembang), BUM Desa berperan sebagai “agen pemasaran” atau “penyedia bahan baku”, dsb, yang intinya kemitraan saling menguntungkan. Model ini diambil oleh BUM Desa karena ada kemungkinan keengganan dari pemilik usaha untuk dikoordinasi atau diadopsi oleh BUM Desa. Untuk usaha produktif dengan kategori selain ini, bisa diadopsi sebagai “anak asuh” atau pola apapun yang memungkinkan, sepanjang berpegang pada prinsip saling menghidupi, menghidupkan dan saling menguntungkan. Tim bisa menyesuaikan pola atau model kerja BUM Desa dan dalam peran-fungsinya serta tata hubungan kerja dengan para usaha produktif milik masyarakat yang boleh diperankan sebagai “mitra”, “plasma”, “unit kerja” sesuai dengan keadaan dan kesepakatan. Berbagai karakter dan kondisi usaha produktif ini terdata secara baik dengan pemetaan yang operasional pada dokumen “data potensi ekonomi” tadi itu. Setelah langkah pertama yang merupakan modal awal yakni “data potensi ekonomi” tersebut, maka langkah pragmatis berikutnya adalah: 1. Melakukan pendekatan personal dengan pemilik usaha hingga ada hasil (sepakat atau tidak). 2. Menginventarisasi hasil angka 1 untuk meng-update “data potensi ekonomi” dengan kategori: terekomendasi dan tidak terekomendasi untuk BUM Desa. Pada langkah 1 dan 2 ini (gerak aktif), tim dapat pula menampung aspirasi masyarakat (gerak pasif). 8
3. Tim mengundang rapat para pelaku usaha yang berkategori “terekomendasi” untuk menentukan spesifikasi usaha dan analisis kondisi (update “data potensi ekonomi” untuk menentukan jenis usaha BUM Desa dan tata kerja antar unit usaha). 4. Sampai langkah 3 telah ada embrio, Pada langkah 4 ini tim melakukan musyawarah desa dengan mempresentasikan hasil kerjanya (draft BUM Desa). Ketiga langkah di atas mengurangi risiko kegagalan pada pasca musyawarah desa. Musyawarah ini sekaligus menentukan model kerja BUM Desa. 5. Menyiapkan aspek legal kelembagaan BUM Desa (AD, ART, dsb). 6. Membentuk kepengurusan BUM Desa. 7. Menerbitkan Peraturan Desa tentang BUM Desa. 8. Melakukan legalitas kelembagaan secara publik (pelantikan pengurus BUM Desa). 9. Pengurus menyiapkan sistem kerja BUM Desa dan tata kerja internal serta tata kerja eksternal dengan unit kerja, peraturan kelembagaan (usaha, keuntungan, dan aspek teknis lainnya), kerjasama BUM Desa dengan lembaga lain, dsb. 10. Pengurus BUM Desa melakukan tugas-tugas kelembagaan BUM Desa (menjalankan usaha, pengembangan usaha, membuat administrasi, laporan, dll). Kesepuluh langkah pragmatis ini merupakan langkah pembentukan, walaupun mengandung aspek operasional, namun belum menjangkau pengembangan. Pengembangan dilakukan oleh pengurus BUM Desa, termasuk laporan kemajuan yang dilaporkan dalam forum musayawarah desa. BUM Desa ini merupakan aset berharga bagi desa untuk melakukan kerjasama antar desa. Kerjasama bisa berbentuk kemitraan dan membentuk jejaring kerjasama antar BUM Desa di desa lain. Pola ini lebih efektif dilakukan dibanding jika tanpa badan usaha berskala desa seperti BUM Desa ini. Jika tanpa BUM Desa, maka kerjasama di bidang ekonomi antar desa dengan sendirinya akan merangsang desa untuk membentuk BUM Desa sebagai pelaku ekonomi antar desa dalam kerjasama antar desa. Dan ini menentukan corak kerja BUM Desa, apakah sebagai pemasok barang ke desa lain, sebagai agen penyedia barang, dsb. Jika kerjasama antar desa dilakukan pada bidang selain ekonomi produktif, misalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam bersama oleh desa-desa yang secara geografis berdekatan, atau kerjasama dalam bidang lain, pemerintah desa sebagai pelaku kerjasama ini tetap memerlukan “organ khusus” yang menjalankan fungsi kerjasama antar desa ini, dalam arti, bukan oleh institusi pemerintah desa. Organ khusus ini 9
bisa merupakan badan usaha atau institusi ekstra birokrasi yang bertugas mengurusi kerjasama antar desa. Dan ketika kerjasama antar desa ini berimplikasi pada profit, institusi ekstra birokrasi tersebut tetap akan beralih fungsi menjadi BUM Desa. Jadi peran dan fungsi BUM Desa berkaitan langsung dengan kerjasama antar desa. Kuncinya adalah pemetaan sosial yang akurat, dipadu dengan kesiapan para agen pelaksana yang menjadi penguat bagi pemerintah desa. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai ketua tim penyiap kemitraan pembangunan perkotaan di Kota Probolinggo pada program Breakthrough Urban Innitiatives for Local Development (BUILD) yang difasilitasi oleh UNDP, kemitraan atau kerjasama antar daerah (atau antar desa) dimulai dari pemetaan potensi internal. Pemetaan sosial tetap sangat penting dalam konteks kerjasama antar desa ini. Langkah-langkah yang diperlukan untuk menjalin kerjasama antar desa mirip langkah-langkah pembentukan BUM Desa di atas, yang tetap didahului dengan pemetaan sosial untuk potensi internal desa, dan seterusnya namun ditujukan untuk tujuan eksternal, sehingga ada beberapa penyesuaian seperti lobbying ke desa tujuan, dst hingga ada kesepakatan kerjasama, pembuatan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) antar pemerintah desa yang disaksikan oleh camat dsb. Intinya tetap membutuhkan kemampuan yang memadai dalam: 1. Pemetaan sosial. 2. Modal dasar kerjasama berupa potensi (ekonomi, alam, jasa, dsb). 3. Kecakapan pelaku utama merepresentasi desa (BUM Desa, organ khusus, dsb.). 4. Kapasitas pemerintahan desa Beberapa Langkah Praktis Memperhatikan kelemahan-kelemahan pada aspek perencanaan di atas, perlu langkah praktis untuk memperkuat fungsi tim perencana desa, atau tim penyusun RPJM Desa atau tim pelaksana musrenbang desa atau apapun sebutannya, tim yang disamping melakukan fungsi utama terkait penyusunan dokumen RPJM Desa, juga melakukan fungsi-fungsi: 1. Pemetaan
sosial
dengan
pendekatan
metodik
agar
tim
lebih
mampu
menginventarisasi dan menerjemahkan aspirasi, kemauan dan ekspresi kebutuhan masyarakat yang seringkali menyampaikan pendapat secara sederhana dan bersifat personal bahkan kadang simbolik. 2. Penguatan dan pemberian penjelasan kepada ketua-ketua RT, RW, kepala dusun / lingkungan dan atau tokoh yang berpengaruh di masing-masing tingkatan tersebut, tentang prioritas program desa, refleksi kebutuhan warga RT, RW dan dusun akan 10
apa yang seyogyanya mereka lakukan terkait masalah komunal mereka. Penjelasan ini sifatnya sebatas memberi gambaran “pencerahan”, membangun kesiapan dalam memberikan masukan atau usulan program, bukan mengarahkan. Pelayanan Prima Dalam Pemerintahan Desa Aspek kedua, adalah pelayanan prima dalam pemerintah desa. Seperti pada pelayanan publik pada umumnya, pelayanan pemerintahan desa tak lepas dari pengertian bahwa pelayanan publik adalah pemberian layanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pernyataan layanan prima perlu digarisbawahi karena ini menyangkut standar kualitas layanan yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan publik haruslah berkategori “prima”. Karena pada dasarnya masyarakat adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah. Dengan demikian kata “prima” ini haruslah menjadi misi yang akan menjiwai setiap unit layanan publik10. Undang Undang Nomer 6 tahun 2014 tentang Desa, telah menjadikan desa sebagai daerah otonom ketiga setelah provinsi dan kabupaten/ kota. Sebagai daerah otonom, desa memiliki kewenangan untuk menentukan perencanaan dan prioritas program, serta bentuk pelayanan publik kepada masyarakat. Sesungguhnya pelayanan publik diselenggarakan sebagai bagian dari upaya-upaya mewujudkan good governance, dapat dilihat melalui 3 langkah strategis: Pertama, interaksi antara negara (yang diwakili pemerintah) dengan warganya, termasuk berbagai kelompok atau lembaga di luar pemerintah dalam pelayanan publik. Idealnya, interaksi tersebut memaksa pemerintah sebagai penyedia layanan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Perubahan kualitas pelayanan, menjadi lebih baik atau lebih buruk, akan berdampak secara langsung kepada masyarakat dimana kehidupannya sehari-hari tergantung dari apa yang diberikan oleh pemerintah kepada warganya. Kedua, pelayanan publik merupakan ranah dimana prinsip-prinsip good governance dapat diartikulasikan dengan lebih baik. Sebagai contoh, aspek kelembagaan kualitas pelayanan publik dari prinsip-prinsip good governance adalah bagaimana interaksi antara pemerintah dengan warga negara atau dengan pasar, yaitu bagaimana keterlibatan aktor di 10
Wawan E. Kuswandoro. Menata Pelayanan Publik Berbasis Kebutuhan Masyarakat. Makalah sebagai bahan diskusi penyempurnaan Ranperda Pelayanan Publik Kota Malang, bersama DPRD Kota Malang, pada tanggal 27 Juni 2011 di Hotel Pelangi, Malang.
11
luar pemerintah (non-government actors) dapat memberi masukan, kritik atau respon terhadap bentuk pelayanan yang diberikan. Sementara, nilai-nilai good governance seperti efektifitas, efisiensi, non-diskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi dan akuntabilitas yang tinggi dapat direalisasikan dalam penyelenggaraaan pelayanan publik. Nilai-nilai tersebut menjadi mudah terlihat dan teraplikasikan pada pelayanan publik dalam kerangka good governance. Ketiga, pelayanan publik melibatkan semua kepentingan yang berada di dalam negara. Pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan terhadap pelayanan public yang lebih baik. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, tergantung dari pelayanan publik yang dibangun. Kepercayaan dan legitimasi kekuasaan mereka berasal dari pengguna layanan publik, yaitu masyarakat. Dalam iklim keterbukaan politik dan sistem pemilihan pemimpin secara langsung saat ini, masyarakat dapat menentukan pilihan dan dukungan kepada rezim yang mampu atau tidak mampu dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Legitimasi kekuasaan saat ini ditentukan pada keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya secara langsung. Bentuk pelayanan yang buruk menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas sebuah rezim pemerintahan.
Perumusan Indikator Pelayanan Prima
Dalam pengertian ini, pelayanan publik yang baik, atau lazim disebut sebagai pelayanan prima, merupakan pelayanan publik yang menempatkan ‘kepuasan masyarakat’ atau ‘pengguna layanan publik’ sebagai misi utama pelayanan. Pelayanan prima dalam pandangan Fitzsimmon yang dikutip oleh Kuswandoro, berkorelasi positif dengan derajat pelayanan yang mereka peroleh. Suatu layanan akan dianggap bernilai jika konsumen merasakan kepuasan. Tingkat kepuasan ini dipengaruhi oleh 5 variabel, yakni (1) service quality (kualitas pelayanan), (2) product quality (kualitas produk), (3) price (harga), (4) situation (situasi), dan (5) personality (sikap personil pelayanan)11. Pelayanan prima dapat dilakukan oleh pemerintah desa dengan memperhatikan indikator-indikator Fitszimmon di atas, atau menentukan indikator sendiri berdasarkan kondisi lokal desanya. Rumusan indikator yang dijadikan acuan keberhasilan pelayanan prima, yang jika merujuk pada pengertian Denhardt tentang gagasan new public service-nya, 11
Ibid.
12
bahwa pelayanan publik yang baik (prima) didasarkan pada prinsip demokrasi, yakni pelayanan untuk kepentingan semua pihak, diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan dalam paradigma ‘mencapai kebaikan dan kebutuhan bersama’. Karenanya, dalam pelayanan prima, kuncinya adalah memperjelas hak dan kewajiban masyarakat (pengguna layanan) dan pemerintah (penyedia layanan) 12 .
Maka, menurut penulis, pemerintah desa dapat pula
merumuskan indikator pelayanan prima yang sesuai bagi kebutuhan dan kondisi desanya, dengan memperhatikan prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan memperhatikan kepentingan warga atau masyarakat desanya. Perumusan ini diperoleh dari penjaringan gagasan dari masyarakat, yang menjadi tugas dan fungsi tim perencana pembangunan desa atau apapun sebutannya (lihat aspek pertama). Sebagai referensi, upaya perumusan indikator pelayanan prima yang dapat dikembangkan oleh pemerintah desa adalah bahwa pelayanan prima terselenggara dengan memenuhi keberadaan unsur-unsur: •
Penyelenggaraan pelayanan, yang meliputi sumber daya manusia, standard perilaku dan disiplin, standard investigasi, dan reward & punishment.
•
Complaint Handling Management (pengelolaan keluhan).
•
Manajemen informasi bagi pengguna layanan.
•
Sistem monitoring & evaluasi.
•
Pengawasan internal.
•
Penyuluhan kepada masyarakat.
•
Pelayanan konsultasi dan interaksi dengan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut dapat melekat pada urusan-urusan yang ada di pemerintahan
desa. Adapun pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut berikut aspek implementatif pelayanan prima itu sendiri oleh pemerintah desa tetap memperhatikan aspek nilai budaya lokal dari masyarakat desanya serta modal sosial. Di Jawa Timur terdapat nilai budaya lokal dalam sistem budaya Jawa (Mataraman dan Arek), Madura dan pendhalungan. Makna budaya dalam sistem budaya masyarakat Jawa yakni “desa mawa cara, negara mawa tata” (desa 12
Wawan E. Kuswandoro, Handout “Pelayanan Publik Perspektif Masyarakat”. Disampaikan dalam diskusi penyempurnaan Ranperda Pelayanan Publik Kota Malang, bersama DPRD Kota Malang, pada tanggal 27 Juni 2011 di Hotel Pelangi, Malang.
13
memiliki cara, negara memiliki aturan), sedangkan dalam sistem budaya masyarakat Madura termasuk area kultural pendhalungan di daerah “tapal kuda” yang terdiri dari campuran orang Madura dan Jawa, bahkan di beberapa tempat, orang Madura lebih dominan, sama-sama memiliki “cara” yakni “bappa, bebbu, guru, rato” (bapak, ibu, guru, ratu) sebagai tata urut kepada siapa mereka harus taat. Dalam beberapa tafsir, ungkapan budaya ini dinilai mempermudah mengajak masyarakat dalam budaya ini untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintah (rato, raja atau penguasa). Dalam konteks pelayanan publik, modal kultural ini dapat didayagunakan dalam mendukung pemerintahan dan pembangunan desa. Memahami struktur pengalaman masyarakat desa dalam perspektif masyarakat menjadi penting dalam implementasi pelayanan prima yang bertumpu pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Inovasi dan Best Practices Pelayanan Prima Pemerintah desa dapat menginisiasi adanya inovasi sebagai best practices dalam menyelenggarakan pelayanan prima yang sesuai dengan budaya lokal desanya dan dapat memberikan manfaat dengan menjangkau aspek-aspek sebagaimana dirumuskan oleh UN Habitat yang dikutip Wawan E. Kuswandoro dalam “Modal Sosial dan Urban Policy: Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah13: Dampak (impact); yakni bahwa sebuah inovasi dan best practices harus menunjukkan dampak positif dan dapat dilihat (tangible) dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan tidak beruntung. Kemitraan (partnership); sebuah inovasi dan best practices harus didasarkan pada sebuah kemitraan antara aktor-aktor yang terlibat. Keberlanjutan (sustainability); sebuah inovasi dan best practices harus dapat membawa perubahan dasar dalam lingkup permasalahan legislasi, yang meliputi perangkat peraturan / standard formal terhadap isu dan masalah yang dihadapi, kebijakan sosial dan atau kebijakan sektoral di daerah yang memiliki potensi bagi adanya replikasi, kerangka institusional dan proses pembuatan kebijakan yang memiliki peran dan tanggungjawab bagi beragam tingkatan dan kelompok aktor seperti pemerintah kabupaten, kecamatan, desa, dusun dan daerah, LSM, dan organisasi masyarakat setempat; efisiensi, transparansi dan sistem manajemen yang akuntabel yang dapat lebih 13
Wawan E. Kuswandoro. Modal Sosial dan Urban Policy: Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah. Surabaya: Insecs Publishing, 2010, 28 – 30.
14
mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia, teknik dan keuangan; dan kepemimpinan
dan
pemberdayaan
masyarakat
(leadership
and
community
empowerment) yang meliputi kepemimpinan yang menginspirasi bagi adanya tindakan dan perubahan, termasuk perubahan kebijakan publik, pemberdayaan masyarakat, rukun tetangga dan komunitas lainnya serta inisiatif masyarakat. Kemudian menyangkut juga penerimaan dan tanggungjawab terhadap perbedaan sosial dan budaya serta kemungkinan bagi adanya transfer (transferability), pengembangan lebih lanjut dan replikasi berikut kesesuaian dengan kondisi lokal. Kesetaraan jender dan inklusi sosial (gender equality and social inclusion); yakni inisiatif harus dapat diterima secara sosial dan budaya dan merupakan respons terhadap perbedaan sosial dan budaya, mempromosikan kesetaraan dan keadilan sosial. Inovasi dalam konteks lokal dan dapat ditransfer (innovation within local context and transferability); yakni bagaimana pihak lain dapat belajar atau memperoleh keuntungan dari
inisiatif serta cara yang digunakan untuk berbagi informasi dan mentransfer
pengetahuan dan keahlian untuk dapat dipelajari. Maka, berdasarkan kriteria di atas, program inovasi dapat dinilai sebagai best practices akan diilustrasikan dengan mengacu pada sejumlah parameter berikut ini: Situasi sebelum program inisiatif dimulai. Motivasi di balik pelaksanaan program tersebut. Apa yang dianggap inovasi dalam program tersebut. Pengukuran hasil-hasil yang telah dicapai (dampak). Keberlanjutan (sustainability). Pengalaman yang dapat dipelajari (lesson learned). Potensi pengembangan atau penerapan program untuk daerah lain (transferability).
Aspek dan parameter pelayanan prima di atas dapat diadopsi oleh pemerintah desa dengan cara dan pendekatan yang mudah, dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat desa. Aspek teknis dapat disesuaikan dengan kondisi dan budaya lokal masyarakatnya, namun secara prinsip harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip good governance dan demokrasi. Bahwa pelayanan prima terselenggara secara terbuka/ transparan, jelas, efisien, akuntabel, partisipatif. Pelibatan masyarakat menjadi penting, sebagaimana azas deliberatif dalam 15
pelayanan publik, bahwa pelayanan harus didialogkan dengan masyarakat pengguna pelayanan tersebut. Dalam konteks ini baik untuk mempertimbangkan suatu ‘kontrak sosial’ pelayanan prima antara pemerintah desa dengan masyarakat, dengan suatu “janji layanan”. Model citizen charter 14 bisa dijadikan pertimbangan rujukan, tentu saja boleh dilakukan beberapa modifikasi sesuai dengan kelokalan desa. Pengukuran Pelayanan Prima Untuk Kepuasan Masyarakat: Metode Report Card System Pelayanan prima yang hendak digagas sebagai upaya inovasi dan best practices pemerintah
desa
hendaklah
dapat
diukur
sehingga
mudah
dievaluasi
dan
dipertanggungjawabkan. Pengukuran implementasi pelayanan prima ini sekaligus untuk mengukur kepuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah desa. Langkah sederhana namun cukup efektif serta mudah dan berbiaya murah, yang dapat dikembangkan oleh pemerintah desa, adalah pengukuran implementasi pelayanan prima dengan menggunakan metode Report Card System (RCS), yang pernah penulis perkenalkan melalui workshop Report Card System (RCS) bagi komite sekolah di kota Probolinggo untuk mengukur pelayanan prima di sekolah dalam pandangan masyarakat pengguna layanan sekolah (wali murid). Dengan metode yang sama, metode RCS ini dapat diaplikasikan di desa untuk mengukur kepuasan pengguna layanan pemerintahan desa. Hanya saja, ada sedikit perbedaan dalam pendekatan dan teknis penyelenggaraannya, disesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakatnya. Metode RCS ini mirip penggunaan kartu pelanggan (customer card) di hotel dan taksi, berisi sejumlah pertanyaan singkat yang diharapkan dapat dijawab oleh pengguna layanan. Metode RCS ini mirip metode survey atau polling namun lebih sederhana. Pengumpulan data dilakukan dengan kartu RCS atau kuesioner dalam metode survey atau polling. Namun jika menggunakan lembar kuesioner, disamping terlalu lebar dan kurang akrab dengan kondisi, karakter dan budaya masyarakat desa, penggunaan kuesioner mengesankan “terlalu serius” sehingga mengganggu kenyamanan dalam pemberian input oleh masyarakat. Karenanya, instrumen pengumpul data dalam RCS ini menggunakan kartu berukuran kecil, dan dalam aplikasinya dapat diselenggarakan bersamaan dengan pemberian pelayanan di pemerintah desa. Teknik penyampaian pada masyarakat dapat disediakan di bagian depan kantor pemerintah desa sehingga masyarakat dapat mengambil dan mengisi 14
Wawan E. Kuswandoro. Inovasi Pelayanan Publik: Citizen Charter Contoh Pelayanan Publik Berintegritas. http://wkwk.lecture.ub.ac.id/2015/10/inovasi-pelayanan-publik-citizen-charter-contoh-pelayanan-publikberintegritas/. Diakses pada tanggal 5 Februari 2015 pukul 05.20 WIB.
16
sendiri. Atau, dibantu oleh perangkat desa yang sedang bertugas. Teknik analisis data, dapat dilakukan secara sederhana, karena input data tergolong sederhana. Analisis ini dapat memanfaatkan SPSS, atau program Microsoft Excell maupun memanfaatkan aplikasi google form yang dilekatkan pada website atau blog pemerintah desa. Jika menggunakan google form, setiap ada input dari kartu RCS, maka petugas dapat meng-entry data tersebut pada kolom isian google form di website atau blog pemerintah desa. Hasil analisis akan tertampil berupa grafik yang mudah dibaca dan dipahami bahkan oleh pengguna awam sekalipun. Tampilan hasil ini dapat pula di-setting “hidden” artinya “tersembunyi”, hanya admin website atau blog yang dapat melihat hasilnya. Penggunaan google form sekaligus memudahkan masyarakat pengguna layanan pemerintah desa yang sudah mengenal internet atau “melek internet” (internet literacy). Mereka dapat mengisi kolom google form yang telah di-setting sebagai kartu RCS secara online. Ini memudahkan petugas sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah desa. Model “RCS online” dapat juga digunakan untuk mengukur aspek lain selain kepuasan masyarakat, seperti misalnya penjaringan masukan dari masyarakat terkait penyelenggaraan pelayanan pemerintah desa maupun terkait program dan aneka urusan pemerintahan desa yang memerlukan masukan masyarakat. Walaupun mungkin di desa-desa tertentu cara-cara online seperti ini kurang optimal karena keterbatasan tertentu, tetapi tetap memiliki manfaat sosial dan politik yakni itikad baik pemerintah desa untuk membuka informasi, membuka diri pada publik luas, sehingga dapat pula menjangkau tujuan-tujuan lain semisal menjaring usulan pihak lain atau desa lain, yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan kerjasama antar desa dan menginkubasi usaha-usaha ekonomi produktif serta perluasan pasar bagi komoditas desa. Sebagai contoh ilustrasi, aplikasi RCS sederhana secara online penulis gunakan untuk menerima input dari publik dapat dilihat di link http://wkwk.lecture.ub.ac.id, pada fitur “Mini Polling” (mohon masukan anda). Varian lain, penulis aplikasikan di http://miracleways.com pada direktori “distance therapy”, berupa formulir online untuk mengumpulkan masukan dari pengguna layanan dalam blog tersebut. Sedangkan contoh aplikasi RCS online untuk program
pemerintahan
desa
dapat
dilihat
pada
bagian
akhir
artikel
ini:
http://wkwk.lecture.ub.ac.id/2015/10/strategi-pemberdayaan-masyarakat-desa-berbasispartisipasi/. Sederhana, mudah dan murah, namun cukup efektif dan membantu jika diaplikasikan pada urusan penyelenggaraan pelayanan dalam pemerintah desa maupun dalam perencanaan dan membantu implementasi program lain semisal usaha ekonomi produktif (yang diimplementasikan melalui BUM Desa) dan men-support Kerjasama Antar Desa. 17
Kesimpulan 1. Kelemahan aspek perencanaan karena kelemahan input perencanaan, diperbaiki dengan
memperkuat input perencanaan berupa pemetaan sosial yang mengiringi
langkah formal (standard) dalam penyusunan dokumen perencanaan (RPJM Desa dan RKP Desa). 2. Pemetaan sosial yang menjangkau potensi desa, masalah dan kebutuhan masyarakat sangat dibutuhkan tidak hanya pada aspek penyusunan perencanaan, tetapi juga pada penyusunan program pembangunan desa, khususnya pembentukan BUM Desa dan kerjasama antar desa. 3. Kemampuan pemetaan sosial amat diperlukan oleh tim penyusun RPJM Desa atau tim penyelenggara musrenbang desa atau tim perencana desa atau dengan sebutan lain yang berfungsi menyusun perencanaan dan program pembangunan desa. 4. Wawasan yang bersumber pada pemahaman akan pemetaan sosial dan aspek metodik yang sederhana, juga diperlukan oleh para aktor utama atau elit di tingkat RT, RW dan dusun untuk menghindari atau setidaknya mengurangi minim dan lemahnya usulan dari tingkat RT, RW dan dusun. 5. Pemberian wawasan kepada para aktor utama atau elit di tingkat RT, RW dan dusun dilakukan oleh tim perencana desa atau sebutan lain, untuk memberi gambaran umum agar mereka lebih mampu memahami dan melakukan usulan program dengan lebih baik, tanpa bermuatan pengarahan atau penggiringan pemikiran. 6. Pelayanan prima dilakukan pada pemerintahan desa dan diperkuat dengan memberikan kontrol oleh masyarakat pengguna dengan mengukur kinerja pemerintah desa dan kepuasan masyarakat pengguna pelayanan dengan metode sederhana berupa Report Card System (RCS). 7. Pelayanan prima pada pemerintahan desa diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi, otonomi, dengan memperhatikan juga analisis input – output dari metode RCS untuk mewujudkan pelayanan publik pemerintah desa yang baik, demokratis dan berintegritas, serta bertumpu pada kepentingan masyarakat. Rekomendasi 1. Penguatan kapasitas tim perencana desa atau sebutan lain, mengenai pemahaman dan kemampuan melakukan pemetaan sosial dan aspek metodik lain yang diperlukan dalam menjalankan fungsinya. 18
2. Pemberian pemahaman tentang prioritas program pembangunan desa dan wawasan metodik sederhana pada para aktor utama di tingkat RT, RW dan dusun untuk menghindari atau setidaknya mengurangi minim dan lemahnya usulan dari tingkat RT, RW dan dusun. 3. Melakukan fungsi pemetaan sosial yang terdokumentasi baik dan sistematis dalam dokumen hasil pemetaan dan analisis sosial yang memuat data inventarisasi potensi / aset desa secara sistematis dan update, atau yang disebut “dokumen apresiatif desa”. 4. Memperbarui dokumen perencanaan desa, yakni RPJM Desa atau RKP Desa, bertumpu pada dokumen apresiatif desa. 5. Membentuk dan mengembangkan BUM Desa yang berbasis data pada “dokumen apresiatif desa”. 6. Memulai inisiasi kerjasama antar desa dengan memperhatikan data “dokumen apresiatif desa” dan modal kerjasama yang setidaknya berupa potensi, fasilitas dan sumberdaya (BUM Desa menjadi alternatif potensi, fasilitas dan sumberdaya representatif desa). 7. Memulai pelayanan prima meskipun dalam skala kecil namun jelas dan dapat dirasakan secara positif oleh masyarakat, dengan memperhatikan prinsip-prinsip good governance. 8. Melakukan pengukuran pada penyelenggaraan pelayanan publik pada pemerintah desa sebagai alat kontrol kinerja pemerintah desa di bidang pelayanan publik dan alat ukur kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik pemerintah desa. Referensi: Anonimous. Membangun Kedaulatan Desa: Panduan Perencanaan Partisipatif. Ford Foundation – FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa), 2008. Mochtar, Hilmy, Darsono Wisadirana dan Wawan E. Kuswandoro. Policy Environment in Urban Area: Public Participation in Waste Management in Probolinggo, International Journal of Technical Research and Application, Special Issue 33, September 2015, 12 – 16. Murtiono, Yusuf dan Wulandari. Perencanaan dan Penganggaran Desa. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014. Sandi, Andi dan Widyo Hari Murdianto. Pengembangan Regulasi Desa. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014. 19
Suharyanto, Rossana Dewi dan M. Barori. Pengembangan dan Pengelolaan BUM Desa. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014. Sumpeno, Wahjudin. Perencanaan Desa Terpadu. Edisi II. Read (Reinforcement Action and Development). 2011. Sutaryono, Dyah Widuri dan Akhmad Murtajib. Pengelolaan Aset Desa. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) Tahap II. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014. Kuswandoro, Wawan E. Inovasi Pelayanan Publik: Citizen Charter Contoh Pelayanan Publik Berintegritas. http://wkwk.lecture.ub.ac.id/2015/10/inovasi-pelayanan-publik-citizencharter-contoh-pelayanan-publik-berintegritas/. Diakses pada tanggal 5 Februari 2015 pukul 05.20 WIB. Kuswandoro, Wawan E. Menata Pelayanan Publik Berbasis Kebutuhan Masyarakat. Makalah sebagai bahan diskusi penyempurnaan Ranperda Pelayanan Publik Kota Malang, bersama DPRD Kota Malang, pada tanggal 27 Juni 2011 di Hotel Pelangi, Malang. http://wkwk.lecture.ub.ac.id/2015/10/pelayanan-publik-berbasis-kebutuhanmasyarakat-2/ Kuswandoro, Wawan E. Modal Sosial dan Urban Policy: Kajian Best Practices Inovasi Pemerintah Daerah. Surabaya: Insecs Publishing, 2010. Kuswandoro, Wawan E. Social Capital in Public Service Operation”, dalam Modul Integritas Administrasi Publik. ISBN 978–602–1604–16–8. Tiri International, 2013. Kuswandoro, Wawan E. Strategi Pembangunan Sosial Melalui Pemanfaatan Ekonomi Modal Sosial: Pengalaman Kelompok Masyarakat Petani Laut di Probolinggo. Artikel. 2014. Kuswandoro, Wawan E. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Desa: Pendekatan Good Village Government Untuk Mendukung Terwujudnya Desa Mandiri di Jawa Timur. 2015. http://wkwk.lecture.ub.ac.id/2015/10/strategi-pemberdayaan-masyarakat-desaberbasis-partisipasi/ Kuswandoro, Wawan E. Utilisasi Local Knowledge dan Modal Sosial Untuk Penguatan Keswadayaan Masyarakat: Studi Pada Kelompok Masyarakat Petani Mangrove Probolinggo. 2014. Kuswandoro, Wawan E. Perspektif Sosial Dalam Mengatasi Kemiskinan. 2015. http://wkwk.lecture.ub.ac.id/2015/10/perspektif-sosial-dalam-mengatasi-kemiskinan/ Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media, 2012.
20
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. Social Mapping: Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung: Rekayasa Sains, 2013. Dokumen Peraturan Perundang-undangan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2015 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomer 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomer 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomer 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
21