Samantabadra Cemara dengan pohon Ek, Anggrek dan Rumput. Bila cemara meranggas, pohon Ek pun turut
kering pula; jika Anggrek layu, rumput pun menjadi layu juga. Kemajuan dan kemakmuran Hukum Raja merupakan kegembiraan Gunung Hiei, runtuhnya keluarga kaisar menjadi kesusahan hati Gunung Hiei. Demikian kuat hubungan antara keduanya. (Surat Perihal Doa)
SAMANTABADRA | NOPEMBER 2015 | NOMOR. 262
H
ubungan antara Gunung Hiei dengan keluarga kaisar menyerupai hubungan antara pohon
gosyo kensyu SURAT PERIHAL DOA (lanjutan) liputan KENSYU LANSIA 2015 liputan KENSYU JAWA TIMUR 2015
MEDIA INFORMASI, KOMUNIKASI, PENDIDIKAN, DAN PEMBINAAN UMAT
PARISADHA BUDDHA DHARMA NICIREN SYOSYU INDONESIA
Nopember
2 0 1 5
11 # 262
Ketua Umum NSI (ke dua dari kiri), bersama tokoh-tokoh agama nasional melakukan audiensi dengan Presiden RI di Istana Negara, Jakarta. Juli 2015.
Tiga orang peserta Kensyu Lansia NSI 2015 sedang menikmati pemandangan matahari terbenam. Anyer, September 2015.
Samantabadra Nopember 2015 Samantabadra H
ubungan antara Gunung Hiei dengan keluarga kaisar menyerupai hubungan antara pohon Cemara dengan pohon Ek, Anggrek dan Rumput. Bila cemara meranggas, pohon Ek pun turut
kering pula; jika Anggrek layu, rumput pun menjadi layu juga. Kemajuan dan kemakmuran Hukum Raja merupakan kegembiraan Gunung Hiei, runtuhnya keluarga kaisar menjadi kesusahan hati Gunung Hiei. Demikian kuat hubungan antara keduanya. (Surat Perihal Doa)
SAMANTABADRA | NOPEMBER 2015 | NOMOR. 262
daftar isi
CERAMAH GOSYO Ketua Umum NSI Ketua Dharma NSI Dharma Duta
LIPUTAN Kensyu Lansia 2015 Kensyu Jawa Timur 2015 Dokyo Syodai Peringatan 12 & 13 Oktober Audiensi KU NSI dengan Presiden RI Bakti Donor Darah NSI Jawa Tengah Debut Kesenian Teater NSI Kliping
2 6 13 18 22 24 25 26 26
MATERI AJARAN Gosyo Kensyu Surat Perihal Doa (lanjutan) 29 Gosyo Cabang 62 Surat Delapan Angin Forum Diskusi 72 Ini Saatnya Syakubuku Untuk saran, masukkan, dan informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami di : Alamat Jl. Minangkabau No. 23A-25 Jakarta Selatan 12970, Indonesia Telepon (+62 21) 8306059, 8311844 Fax (+62 21) 8314959 E-mail samantabadra.nsi@gmail.com Website http://www.nicirensyosyuindonesia.org/ Facebook page http://www.facebook.com/nicirensyosyuindonesia
F
oto bersama peserta Kensyu Lansia NSI, di Pantai Anyer. Simak berita selengkapnya di halaman 18.
SURAT PERIHAL DOA (lanjutan) KENSYU LANSIA 2015 KENSYU JAWA TIMUR 2015
gosyo kensyu liputan liputan
MEDIA INFORMASI, KOMUNIKASI, PENDIDIKAN, DAN PEMBINAAN UMAT
Halaman Muka
PARISADHA BUDDHA DHARMA NICIREN SYOSYU INDONESIA
Nopember
2 0 1 5
11 # 262
BAGI RASA Kosenrufu dan Syakubuku Melalui Kesenian Kesan Pesan Kensyu Lansia 2015 WAWASAN Menjadi Lansia Tangguh
76 78 81
RESEP Ngo Hiong
83
DUKA CITA
83
KIBA-KRUBU Malam Minggu
84
JADWAL KEGIATAN
85
VIHARA DAN CETYA NSI
86
18
22
25 PENERBIT Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI) PELINDUNG Dewan Pimpinan Pusat NSI PENASEHAT Suhadi Sendjaja PENANGGUNG JAWAB Sumitra Mulyadi PEMIMPIN REDAKSI Minto WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Samanta KONTRIBUTOR Arya, Kyanne Virya, Mayasari, Wantie Bellina, Megahria, Jessie Juwita, Asep, Ananda STT No.: 2578/SK/DITJEN PPG/STT/1999
Nopember 2015 | Samantabadra
1
ceramah gosyo
Rangkuman Ceramah Ketua Umum NSI Maha Pdt. Utama Suhadi Sendjaja Surat Perihal Doa (1/2) Disampaikan pada Kensyu Gosyo Umum, Mahavihara Saddharma NSI 26-27 September 2015
Nammyohorengekyo, Sebagaimana disebutkan dalam Gosyo perihal doa ini, kita adalah orangorang yang berjanji untuk menjadi pelaksana Saddharmapundarika-sutra. Disebutkan juga bahwa apabila doa kita berdasarkan Saddharmapundarikasutra, maka doa kita pasti terkabul. Mengapa demikian? karena seluruh dewa-dewi (metafora untuk menggambarkan segala jodoh baik di sekitar kita), pada saat pasamuan di Gridakuta (pesamuan Menara Pusaka), berprasetya untuk menjaga dan melindungi pelaksana Saddharmapundarika-sutra. Pada waktu itu Buddha Sakyamuni bertanya di hadapan para muridnya, “Suatu saat nanti, ketika Saya sudah moksya, siapa di antara kalian yang akan meneruskan hukum yang sedemikian agung yang dapat membuat semua umat manusia bisa mencapai Kesadaran Buddha ini?� Buddha mengatakan, “Sepertinya Saya tidak lama lagi (akan moksya). Ketika 2
Samantabadra | Nopember 2015
itu semua murid Buddha terkejut, mereka tampak kebingunan. Oleh karena itu mereka berpikir bagaimana agar Buddha Sakyamuni tidak moksya dalam waktu dekat. Salah satu usaha mereka adalah membuat Buddha tidak gelisah atau tidak khawatir. Maka mereka mengatakan, bahwa nanti merekalah yang menyebarluaskan Saddharmapundarikasutra. Dengan berprasetya demikian mereka pikir Buddha Sakyamuni akan lebih tenang, sehingga umurnya bisa diperpanjang, semua berlomba-lomba untuk mengatakan hal itu. Bodhisattva, berasal dari kata Boddhi yang artinya adalah sadar, dan Sattva yang artinya adalah makhluk. Jadi Bodhisattva artinya adalah makhluk yang sadar. Para Bodhisattva adalah orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi Buddha. Dulu sebelum Saddharmapundarika-sutra dibabarkan, dijelaskan bahwa untuk mencapai Kesadaran Buddha para Bodhisattva mengikuti atau menjalankan pertapaan sampai tingkat
paling atas, yaitu tingkat ke52. Mereka sudah mencapai tingkat ke 51(Tokaku), tetapi waktu itu belum berkesempatan mendengar Saddharmapundarika-sutra karena belum dijelaskan pada waktu itu. Sebenarnya pada tingkatan ini juga sudah hebat, namun pada tingkat Tokaku belum bisa memecahkan kesesatan pokok jiwa (Gampon no mumyo), ini adalah salah satu dari tiga kesesatan pokok jiwa, kesesatan yang paling berat untuk dipecahkan. Mereka sebenarnya ingin sekali dapat memecahkan kesesatan pokok jiwa, mereka juga memohon kepada Buddha, tetapi Buddha mengatakan Saya baru menjelaskan sebab-sebabnya, belum menjelaskan akibat yang akan diperoleh, sekarang saya baru akan memulai. Jadi betapa beruntungnya kita. Para Bodhisattva memerlukan waktu puluhan tahun menjalankan pertapaan demi pertapaan sampai pada tingkat ke-51, juga memohon supaya dijalaskan ajaran yang
Ketua Umum
dapat memecahkan kesatan pokok jiwa, tetapi tidak mendapatkan penjelasan. Sedangkan kita tidak usah memohon, sudah tersedia. Mungkin karena kemudahan akses yang kita miliki saat ini terhadap ajaran yang begitu agung, sehingga kita kurang merasa bahwa ajaran ini adalah yang paling berharga dan telah ditunggu-tunggu sampai ribuan kalpa oleh para Bodhisattava yang sudah mencapai tingkat 51. Betapa beruntungnya kita, bisa langsung mendapatkan ajaran, bukan hanya mendengar, malah dibimbing, dan diberi kuncinya oleh Niciren Daisyonin untuk dapat memecahkan kesesatan pokok jiwa dan dalam hidup kali ini juga dapat menjadi Buddha. Mengenai doa, kamis 24 September 2015 yang lalu, saya diundang mewakili umat Buddha, bersama-sama dengan tokoh-tokoh agama dari NU, Muhamaddiyah, Kristen, Katolik Hindhu, Konghucu, mengadakan doa bersama terkait perubahan iklim. Pada kesempatan tersebut doa saya adalah, saya berparasetya untuk membawa umat Buddha agar bisa sungguh-sungguh memahami dharma dengan baik dan melaksanakan-Nya dengan baik dalam kehidupan seharihari, sehingga umat Buddha bisa menjaga alam dan melestarikan lingkungan dan lingkunganpun akan menjaga umat manusia. Kemudian saya juga mengatakan bahwa saya berprasetya agar umat
Buddha dengan landasan dharma dapat memunculkan kesadaran Budddha-nya, sehingga dapat mewujudkan kerukunan baik dikalangan internal maupun dengan umat agama lain juga dengan pemerintah dan membawa kebaikan untuk umat manusia yang lain. Pada kutipan keempat disebutkan, “Tiga bulan mendatang Saya (Buddha) benar-benar akan meninggalkan dunia dan mencapai parinirvana.� Pernyataan ini benar-benar mengejutkan dan membuat suasana mencekam. Ketika itu Buddha betulbetul menjadi panutan, pegangan, junjungan, sehingga umat begitu mendengar Buddha akan moksya semua tercekam, sama seperti orang tua kita akan meninggal. Dan ternyata ucapan Buddha ternyata benar, tiga bulan kemudian Buddha Sakyamuni moksya. Oleh karena itu seluruh umat bersedih hati, karena sukar sekali membalas budi agung sang Buddha yang telah mewujudkan jalan untuk mencapai Kesadaran Buddha. Hal ini yang harus kita dengarkan baik-baik. Mereka begitu sedihnya ketika Buddha Sakyamuni moksya bukan karena takut tidak ada yang melindungi, tetapi ternyata mereka sedih karena mereka semua bisa menjadi Buddha karena budi agung-Nya. Sekarang orangnya sudah tidak ada dan tidak bisa lagi membalas budi kepada Buddha Sakyamuni.
Hal ini merupakan perbedaan pemahaman yang nantinya akan membedakan perilaku kita. Hal ini kurang tepat. Buddha sendiri berpesan empat hal, salah satunya harus patuh kepada hukumnya bukan kepada manusia, karena manusia bisa meninggal, tetapi ajrannya tidak akan mati, oleh karena itu masih bisakah saat ini para muridnya untuk berbalas budi? Tentu saja masih bisa, yaitu dengan menyebarluaskan ajaran dari Buddha. Jadi sebagai balas budi kepada Buddha kita harus sungguh-sungguh melaksanakan ajaran Buddha dalam hidup kita sehari-hari sekaligus menyebarluaskan, karena dharma tidak pernah mati dan tidak akan musnah. Di dalam salah satu kutipan gosyo, terdapat penggalan kalimat berikut. Buddha Sakyamuni yang mendengar hal ini memujinya, “Baik sekali, baik sekali. Anda sekarang benar-benar menjaga Hukum Sakti. Penjagaan hukum seperti ini tidak akan membohongi orang. Karena memiliki jodoh karma baik tidak membohongi orang, maka berumur panjang dan benar-benar mengetahui nasib sendiri.� Dari hal-hal tersebut di atas, para Bodhisattva, para dewa, dan lainnya merenungkan dan mengetahui keinginan Sang Buddha. Maka, setiap dari mereka berprasetya akan menghantam musuh Saddharmapundarika-sutra, agar meskipun sedikit dapat Nopember 2015 | Samantabadra
3
ceramah gosyo memperpanjang umur Sang Buddha.� Ini adalah dialog ketika Buddha Sakyamuni belum moksya, tetapi yang hendak saya kemukakan di sini adalah, bahwa apabila kita menjaga Hukum Saddharmapundarika-sutra dan Nammyohorengekyo, hal ini dapat membuat umur kita panjang, karena apabila kita menjaga hukum ini, kita akan terhindar dari tindakan membohongi orang. Dengan Saddharmapundarika-sutra akan memiliki jodoh karma baik tidak membohongi orang. Oleh karena itu dengan melaksanakan ajaran Niciren Daisyonin dan menyebarluaskan-Nya, dengan sendirinya kita tidak akan berjodoh untuk melakukan membohongi orang. Dengan syakubuku tahu-tahunya kita semakin lama semakin tidak berjodoh dengan orang-orang seperti itu. Terkabulnya doa tergantung dari apakah kita menjalankan tugas sebagai pelaksana Saddharmapundarikasutra atau tidak. Jika ya, maka doanya akan terkabul. Pelaksana Saddharmapundarikasutra tidak hanya sebatas menganut, tetapi harus mampu menghayati dan mengamalkan ajaran Buddha Niciren sebagai sikap hidup sehari-hari. Jangan berpikir yang penting di rumah ada Gohonzon, gongyo-daimoku tiap hari, baca majalah tiap bulan. Kalau hanya seperti 4
Samantabadra | Nopember 2015
itu belum menjadi pelaksana Saddharmapundarikasutra. Pelaksana yang sesungguhnya adalah orangorang yang menerima dan mempertahankan Gohonzon dan sungguh-sungguh Namu (bertekad dan berkeinginan mendalam untuk manunggal dengan Saddharmapundarikasutra/Nammyohorengekyo), belajar Gosyo, memahami Gosyo dan melaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksana Saddharmapundarika-sutra juga berarti orang yang menjadikan penyebarluasan dharma sebagai tujuan utama hidupnya. Doa dari pelaksana Saddharmapundarikasutra adalah ingin agar Nammyohorengekyo semakin bisa dipahami orang dan semakin tersebarluas. Kalau doanya seperti ini, dewa-dewi seluruh alam semesta pasti akan menunjang kehidupan kita, diminta atau tidak pasti akan ada perlindungan dan hikmah baik dari segala peristiwa. Buddha Sakyamuni mengungkapkan empat kesunyataan mulia, yaitu adanya penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan dan cara untuk mengakhiri penderitaan. Buddha tahu apa yang membuat manusia menderita, yaitu keserakahan, kemarahan dan kebodohan. Ketiga hal tersebut adalah sumber penderitaan. Untuk mengatasi sumber penderitaan, kita harus melaksanakan
pertapaan kebodhisattvaan, karena ketika kita ingin membahagiakan orang lain, kita akan melawan keserakahan, kemarahan dan kebodohan, dan Jiwa Buddha kita akan keluar, tumbuh, dan terbuka sehingga keserakan, kemarahan, dan kebodohan akan tertutup oleh jiwa Buddha, sehingga sebabakibat di dalam jiwa kita berubah, dari sebab-akibat keserakahan, kemarahan dan kebodohan yang terusmenerus membuat kita menderita. Misalnya tidak punya TV, cicil TV. Belum lunas cicilan TV, sudah mulai kredit kulkas, dan kredit lain-lain lagi. Buddha selalu mengajarkan untuk mengatasi masalah dari sumbernya. Permasalahan selalu muncul dari kesesatan jiwa, maka harus dilawan, dengan berusaha memunculkan Kesadaran Buddha, dengan begitu, sebab akibatnya akan berubah, nasibnya akan berubah. Upaya penyebarluasan dharma tidak tergantung kepada rupa. “Pada bagian terdahulu telah diterangkan bahwa pelaksana Saddharmapundarika-sutra pasti dijaga dan dilindungi oleh para Buddha, para dewa dan lain-lainnya. Lebih dari itu, mengenai rupa pelaksana Saddharmapundarika-Sutra sama sekali tidak berkaitan dengan ada tidaknya prajna, wibawa dan kebajikan, pokoknya bila menyebut Nammyohorengekyo dengan sungguh hati doa dan
Ketua Umum
keinginannya akan tercapai. Hal ini disebabkan karena bila para Bodhisattva dan para dewa tidak menjaga atau tidak menyukai pelaksana Saddharmapundarika-sutra, mereka mengingkari janji yang diucapkan sendiri dihadapan Sang Buddha�. (kutipan gosyo kelima). Kesungguhan hati di dalam penyebarluasan dharma tidak diukur dari kepintaran atau kekayaan harta seseorang. Yang terpenting adalah sungguh-sungguh percaya kepada Nammyohorengekyo. Apalagi sekarang, telah berlalu Masa Saddharma dan Masa Pratirupadharma dan memasuki Masa Akhir Dharma, Mahaguru Dengyo menerangkan di dalam Catatan Mappo Tomyo, “Di Masa Akhir Dharma, orang yang memertahankan sila merupakan hal yang aneh, bagaikan harimau di tengah kota. Siapakah yang akan memercayai hal tersebut? Oleh karena itu, di Masa Akhir Dharma sama sekali tidak ada orang yang mempertahankan sila, dan sukar bertemu dengan orang berprajna, bagaikan mendambakan Tanduk Jerapah. Ini berarti pelaksana Saddharmapundarika-sutra di Masa Akhir Dharma tidak berwujud sebagai orang yang memertahankan sila atau orang yang berprajna, sebagaimana yang dikatakan oleh Niciren Daisyonin, “Buddha Masa Akhir Dharma adalah manusia biasa, bhikku manusia biasa. Dharma adalah Daimoku, Sangha adalah kita
yang melaksanakan-Nya. Meskipun dikatakan sebagai Buddha, tetap adalah bhikku manusia biasa. Pelaksana Saddharmapundarika-sutra pada khususnya adalah Niciren Daisyonin. Dalam rupa bhikku biasa, Niciren Daisyonin adalah Buddha. Hal ini menerangkan bahwa tidak boleh merendahkan pelaksana Saddharmapundarikasutra hanya dengan melihat rupanya. Di masa Akhir Dharma, sukar bertemu dengan orang yang berprajna, bagaikan mendambakan tanduk Jerapah. Pelaksana Saddharmapundarika-sutra di Masa Akhir Dharma tidak berwujud sebagai orang yang mempertahankan sila atau orang yang berprajna, tetapi adalah manusia biasa. Sebenarnya Buddha Sakyamuni juga manusia biasa, namun telah mampu memunculkan kebuddhaan. Bhiksu juga manusia biasa. Pengertian sangha sesungguhnya adalah pelaksana Saddharmapundarikasutra, termasuk kita sebagai umat, kita semua ini adalah sangha. Hal ini haruslah jelas untuk kita. Kita tidak boleh merendahkan pelaksana Saddharmapundarikasutra hanya dari rupanya atau penampilannya saja. Kita adalah pelaksana Saddharmapundarika-sutra dalam rupa/wujud manusia biasa. Dalam hal doa sangat berkaitan dengan kekuatan Buddha yang ada pada
Gohonzon dan kekuatan dharma yang ada pada Gohonzon, kita yang berdoa harus dapat memunculkan kekuatan Buddha dan kekuatan dharma, kekuatan Buddha dan kekuatan Dharma ini akan muncul tergantung dari kekuatan hati kepercayaan dan kekuatan pelaksanaan kita. Dalam keterangan kutipan Gosyo ke-6 dapat kita baca adanya bukti tertulis dan bukti kewajaran. Jadi agama itu harus punya tiga bukti; bukti teori, bukti tertulis dan bukti kewajaran. Dalam Gosyo ini menjelaskan bahwa doa dari pelaksana Saddharmapundarika-sutra pasti tercapai. Dijelaskan pula dengan bukti teori dan bukti kewajaran. Di sini dikatakan doa pelaksana Saddharmapundarikasutra pasti terkabul karena adanya perlindungan dari para Bodhisattva dan para Dewa. Yang percaya Saddharmapundarika-sutra pada masa sekarang seluruh keinginan dan doanya pasti tercapai dan pada masa akan datang akan terlahir di tempat yang baik. Hal ini penting untuk kita pahami. Agama kita ini betulbetul agama yang mencakup dua masa, Gento Nise, masa sekarang kita pasti mencapai Kesadaran Buddha dan masa akan datang pasti akan terlahir lagi di tempat yang baik dan menyenangkan, oleh karena itu percayalah pada hal ini. eee Nopember 2015 | Samantabadra
5
ceramah gosyo
Rangkuman Ceramah Ketua Dharma NSI Bapak Sumitra Mulyadi Surat Perihal Doa (1/2) Disampaikan pada Kensyu Gosyo Umum, Mahavihara Saddharma NSI 26-27 September 2015
Nammyohorengekyo, Bulan ini kita membahas Surat Perihal Doa, jadi di sini ingin menerangkan mengapa doa yang didasarkan Saddharmapundarika sutra/Gohonzon/ Nammyohorengekyo itu pasti terkabul. Surat ini ditulis di Pulau Sado pada tahun 1272 ketika Niciren Daisyonin dibuang ke Pulau Sado, diberikan kepada salah satu muridNya, yaitu Sairenbo yang juga seorang Bhikku sekte TienTai. Sairenbo ini juga terkenal, orang yang mengerti Ajaran Buddha oleh karena itu selalu bertanya mengenai Ajaran Buddha, sehingga ia mendapatkan Gosyo-Gosyo yang mendalam maknanya. Dikatakan dalam Gosyo, bahwa para Dwiyana, Manusia Surga telah mencapai Kesadaran Buddha melalui Saddharmapundarika sutra, sehingga demi membalas budi mereka melindungi orang yang mempertahankan Saddharmapundarika sutra. Oleh karena itu, doa 6
Samantabadra | Nopember 2015
atau keinginan pelaksana Saddharmapundarika sutra pasti terkabulkan. Kemudian juga disebutkan bahwa, terlebih lagi diajarkan dan dinyatakan bahwa doa berdasarkan Hukum sesat Syingon dan lainnya itu tidak ada buktinya, bahkan orang yang berdoa maupun orang yang menyuruh berdoa akan memusnahkan badannya sendiri. Karena Gosyo ini panjang, maka kita bagi menjadi dua bulan, bulan ini bagian yang pertama sebanyak 6 kutipan, nanti bulan depan sebanyak 5 kutipan. Pada kutipan Gosyo kesatu dikatakan bahwa “Para Bodhisatva sebanyak debu-debu bumi besar yang dihancurkan telah mencapai tingkat Tokaku, hanya tertinggal kesesatan dasar pokok jiwa.� Hal ini menjelaskan di dalamnya, bahwa pertama keinginan untuk menjalankan pertapaan Agama Buddha sampai tercapainya Kesadaran Buddha pada masa lalu dibutuhkan 52 tingkat. Pertapaan itu naik setingkat-
setingkat sampai 52 tingkat, yaitu tingkatan yang sama dengan Buddha Sakyamuni. Buddha Sakyamuni sebagaimana kita ketahui bahwa Beliau selama 50 tahun membabarkan sutra, terdiri dari 42 tahun pertama dan 8 tahun terakhir. Pada masa 42 tahun itu, muridmuridnya sudah dibimbing dan dibina sampai tingkat ke-51, yaitu tingkat Tokaku, mereka sudah bisa membuang kesesatan pandangan pikiran, membuang kesesatan seperti butir-butir pasir dan sebagainya, tetapi mereka belum bisa masuk ke tingkat Myokaku. Jadi belum bisa mencapai tingkat Kesadaran Buddha karena hal ini belum dijelaskan oleh Buddha Sakyamuni. Misalnya dalam Sutra Amitarta, Buddha Sakyamuni atas pertanyaan murid-muridnya mengatakan memang selama 42 tahun lebih Beliau belum mewujudkan yang
Ketua Dharma
sesungguhnya, jadi malah dijelaskan sehingga mereka tidak bisa mencapai tingkat seperti itu, tetapi ketika masuk Saddharmapundarika sutra, dalam Bab II, Buddha Sakyamuni menerangkan bahwa selama 42 tahun masih belum menerangkan mengenai suasana pencapaian Kesadaran Buddha karena belum waktunya, tetapi sekarang karena sudah waktunya maka akan membabarkan. Ketika memasuki Saddharmapundarika sutra di situ baru dibabarkan tingkat akibat pencapaian kesadaran Buddha, dahulu baru dibabarkan tingkat sebab. Oleh karena itu, setelah menerima bimbingan dari Buddha Sakyamuni mulai dari Bab II, Bab III, Bab Perumpaan dan sebagainya, dimana Buddha Sakyamuni mengatakan sutra ini bukan hanya untuk membawa umat ke Dunia Sravaka, Pratekya Buddha maupun Bodhisatva, tetapi kepada Dunia Buddha, membuka Triyana mewujudkan Ekayana. Perumpamaan rumah terbakar dengan anakanak yang sedang bermain dalm rumah. Kemudian juga menjelaskan kehadiran Buddha di dunia ini hanya satu yaitu ingin membuat semua orang menjadi Buddha, sama seperti Beliau, tidak ada perbedaan, maka itu kehadiran Buddha di dunia ini adalah untuk membuka, menerangkan, menjelaskan
dan memasukkan semua umat ke jalan keBuddhaan, Jiga Tomui seperti itu, membuka Kai Ji Go Niu, membuka membimbing ke jalan keBuddhaan. Dengan demikian para Bodhisatva yang seperti ini semua itu masuk ke tingkat Myokaku, mereka mencapai kesadaran, melalui ramalan Buddha Sakyamuni, Sariputra akan mencapai kesadaran Buddha dengan gelar ini dan lain sebagainya. Begitu juga teman-temannya yang lain seperti Subuti. Dengan demikian Niciren Daisyonin mengatakan mereka merasa sangat berhutang budi kepada Saddharmapundarika sutra yang telah membuat mereka mencapai kesadaran Buddha. Oleh karena itu, mereka berprasetya, berjanji untuk melindungi orangorang yang percaya kepada Gohonzon dan menyebut Nammyohorengekyo, Jadi kutipan pertama itu menerangkan hal ini. Karena sudah bisa mematahkan kesesatan pokok jiwa, mereka mencapai tingkat Myokaku. Kemudian kita lanjut dengan bahwa disini di dalam Bab Perumpaan sendiri di Bab Penegakkan itu juga mereka berprsetya bahwa mereka tidak menyayangi jiwa raga, hanya menyayangi jalan yang agung, yang tiada tara, oleh karena itu pasti akan menjaga orang-orang atau pelaksana Saddharmapundarika
sutra. Oleh karena itu, sekalipun Sang Buddha tidak menganjurkan mereka pasti akan menyebarluaskan Saddharmapundarika sutra, sutra yang memberi budi besar kepada mereka dan bersedia menggantikan penderitaan serta kesulitan yang diterima oleh pelaksana Saddharmapundarika sutra, tentu demikianlah yang mereka rasakan. Oleh karena itu, di dalam Bab XIII Penegakkan dikatakan bahwa para bodhisatva ini berprasetya tidak menyayangi jiwa raga, hanya menyayangi jalan yang tiada tara. Kemudian juga di Bab XVI Panjang Usia Sang Tathagata mereka juga berprasetya Isyin Yoken Butsu, Fuji Syaku Sim Myo, satu hati ingin melihat Sang Buddha tanpa menyayangi jiwa raga. Karena mereka merasa membalas budi, mereka bisa mencapai kesadaran lewat Saddharmapundarika sutra sehingga mereka tujuannya hanya satu ingin melihat Sang Buddha tanpa menyanyangi jiwa raga. Dan kutipan kalimat ini yang dijadikan oleh Niciren Daisyonin mulai Gosyo yang diberikan kepada Gijobo, Niciren Daisyonin sendiri mengatakan ketika pemenggalan di Tatsunokuci, kalimat sutra ini menjadi peganganNya, satu hati ingin melihat Sang Buddha dan tidak menyayangi jiwa raga. Kemudian juga di Bab XXI Kekuataan Gaib Sang Tathagata disini juga para Nopember 2015 | Samantabadra
7
ceramah gosyo bodhisatva ini juga berjanji. Para bodhsatva yang muncul dari bumi sejumlah debu dari seribu dunia, setelah kemosyakaan Sang Buddha akan menyebarkan sutra ini secara luas, seluas-luasnya ke seluruh alam. Kutipan di atas menunjukan bahwa mereka berjanji akan menjaga pelaksana Saddharmapundarika sutra, karena mereka mencapai kesadaran lewat Saddharmapundarika sutra sehingga walaupun mereka tidak dianjurkan oleh Buddha Sakyamuni mereka tetap akan menjaga orang yang percaya kepada Saddharmapundarika sutra. Kemudian kutipan yang kedua Buddha Sakyamuni adalah ayah yang maitri, Tathagata Prabutaratna adalah ibu yang karuna, jadi ini ingin menjelaskan mengenai Bab XI Munculnya Stupa Pusaka, jadi di dalam Bab Munculnya Stupa Pusaka dimana kedua Buddha Sakyamuni dan Prabutaratna duduk berdampingan, dan ketik aitu Buddha Sakyamuni mengatakan bahwa beliau akan memasuki nirwana atau meninggal, siapa diantara murid-muridnya yang akan menyebarluaskan nanti setelah kemosyakaan beliau, minta mereka maju ke depan mengucapkan prasetya, sebanyak tiga kali Buddha Sakyamuni meminta mereka berjanji, akhirnya murid-muridnya itu berjanji bahwa mereka akan menjaga 8
Samantabadra | Nopember 2015
dan mempertahankan Saddharmapundarika sutra. Sebelumnya disini juga dijelaskan bahwa karena selama 42 tahun lebih itu Buddha Sakyamuni itu selalu mengecam Sravaka, yang tidak bisa mencapai kesadaran Buddha untuk selama-lamanya seperti bibit yang sudah digoreng, juga Devadatta. Ketika memasuki Saddharmapundarika sutra ternyata mereka bisa mencapai kesadaran Buddha membuat mereka agak ragu-ragu, jangan-jangan Buddha ini kerasukan Iblis berbicaranya terbalik-terbalik, bukankah ini tujuan Iblis untuk mengacaukan mereka, itu ada keraguan walaupun tidak dikatakan dalam katakata, maka dari itu kenapa harus muncul Stupa Pusaka. Di dalam Stupa Pusaka ada Prabutaratna yang mengatakan apa yang dibabarkan Buddha Sakyamuni itu adalah benar supaya mereka tenang dan yakin. Ketika upacara di antariksa itu semua buddha kumpul, disitulah Buddha Sakyamuni meminta ingin mewariskan Saddharmapundarika sutra setelah beliau wafat dan ingin semua itu bisa menjaga, mempertahankan Saddharmapundarika sutra, walaupun sebelumnya Buddha Sakyamuni juga menerangkan betapa sulitnya menyebarluaskan Saddharmapundarika sutra, karena dengan
enam hal yang mudah dan sembilan hal yang sulit. Jadi diceritakan bahwa susah kita untuk bisa membabarkan Saddharmapundarika sutra, menyalin, membabarkan, menyebut dan sebagainya, tapi lebih mudah memikul rumput kering melewati api tanpa terbakar itu lebih gampang, atau mengikat antariksa, menendang bola dunia ke sebrang dan sebagainya itu gampang, tetapi menyebarkan Saddharmapundarika sutra itu sulit, sudah diberitahu demikian tetap ditanyakan siapa yang nanti mau mempertahankan dan menyebarluaskan. Muridmurid menyatakan sanggup sebanyak tiga kali. Disini pun, karena mereka merasa bahwa mereka telah mendapat budi dari sutra ini. Oleh karena itu, apapun yang terjadi mereka tidak lagi menyayangi jiwa raga dan hanya menyayangi jalan yang agung, apapun juga dapat dipertaruhkan demi untuk melindungi Saddharmapundarika sutra, maka itu doa dari pelaksana Saddharmapundarika sutra pasti terkabul. Lagipula budi sutra tersebut sangat besar karena memberi mereka pencapaian kesadaran Buddha, apalagi Sang Buddha selalu bersungguh hati menganjurkan serta memperingatkan untuk menyebarluaskan hukum ini sehingga dengan demikian sungguh-sungguh jalankan. Masuk pada kutipan
Ketua Dharma
yang ketiga disini ingin menerangkan bahwa dari seluruh Buddha hanya Buddha Sakyamuni yang memenuhi persyaratan sebagai Tiga Kebajikan sebagai Guru, Majikan, dan Orang Tua. Jadi disini dikatakan bahwa kekuataan Buddha Sakyamuni untuk menjaga dan melindungi umat merupakan kebajikan dari Majikan, jadi sebagai Majikan itu melindungi dan menjaga umat, kemudian Prajna untuk mengajar dan membimbing umat merupakan kebajikan Guru dan perilaku maitri karuna kepada umat itu merupakan Kebajikan dari ayah bunda. Jadi Ketiga kebajikan ini hanya dimiliki oleh Buddha Sakyamuni sedangkan Buddha Amitabha, Buddha yang lainnya itu tidak memiliki satu kebajikan pun karena mereka tidak pernah dilahirkan di dunia ini, mereka tidak berjodoh dengan umat manusia di dunia Saha, jadi yang memiliki Tiga Kebajikan ini hanya Buddha Sakyamuni. Oleh karena itu, ini adalah Buddha yang bisa membimbing dan membuat seluruh umat manusia mencapai kesadaran Buddha. Dimana Buddha Sakyamuni sendiri di Bab ini mengatakan bahwa sekarang dunia ini Triloka ini adalah milikku. Ini adalah kebajikan Majikan, kemudian seluruh umat di dalamnya anakanakku, yaitu kebajikan orang tua, kemudian bermacammacam penderitaan di
dunia hanya saya seorang diri yang dapat melindungi dan menyelamatkannya, ini perkataan dari Buddha Sakyamuni sehingga mencerminkan beliau adalah Buddha yang mempunyai Tiga Kebajikan sebagai Majikan, Guru, dan Orang tua. Niciren Daisyonin pun demikian memiliki Tiga Kebajikan, kalau Buddha Amitabha disini dikatakan tidak punya jodoh dengan umat manusia di dunia ini karena mereka tidak pernah dilahirkan. Maka itu dengan demikian, tidak lengkap dalam kebajikan Guru, sehingga tidak dapat dikatakan mempunyai Tiga Kebajikan. Jadi hanya Buddha Sakyamuni yang mempunyai Tiga Kebajikan. Kemudian disini dikatakan bahwa di dalam Bab XXII Akhir Pesamuan, itu Buddha mengusapkan tangannya di atas kepala bodhisatva tidak teritung jumlahnya, kalian semua benar-benar bersungguh hati untuk menyebarluaskan hukum dan semakin menambahkan dan meluaskan manfaatnya, demikianlah Sang Buddha menegaskan penyebarluaskan setelah kemoskayaannya. Jadi dari Saddharmapundarika sutra hampir setiap Bab menjelaskan mengenai keinginan Buddha dalam menyebarluaskan sutra ini (Syakubuku). Jadi Syakubuku itu bukan gayanya Niciren Daisyonin, bukan gayanya orang Gohonzon tetapi keinginan Buddha
Sakyamuni sejak awal tiga ribu tahun lalu, sutra ini harus tersebarluaskan, maka di Bab XXIII dikatakan kalau di dalam lima ratus tahun terakhir sutra ini tidak disebarluaskan maka sutra ini akan hilang dan nanti para manusia Mara, Yaksa, dan lain sebagainya akan mengambil kesempatan. Jadi peneyebarluasaan itu bukan karena Niciren Daisyonin yang menganjurkan, Buddha Sakyamuni sendiri menganjurkan, jadi semua Buddha tujuannya lahir di dunia ini adalah ingin membuat semua orang mencapai kesadaran Buddha. Oleh karena itu, sutra yang bisa membuat orang mencapai kesadaran Buddha harus disebarluaskan, logikanya seperti itu. Kalau kita mau sebagai murid atau pelaksana Saddharmapundarika sutra harus menjalankan tugas ini. Kalau jalankan tugas ini sebagai pelaksana Saddharmapundarika sutra pasti doa-doa, keinginan kita pasti akan tercapai, kalau tidak hanya sebagai penganut saja, tidak bisa tercapai, tidak ada perlindungan. Jadi tujuannya Issyo Jobutsu dan Kosenrufu. Kosenrufu penyebarluasaan dan Issyo Jobutsu adalah mencapai kesadararan Buddha. Seperti yang kita tahu empat sumpah prasetya Bodhisatva, bahwa seorang Bodhisatva itu mempunyai empat prasetya, pertama adalah ingin mencapai kesadaran yang setinggi-tingginya, kedua Nopember 2015 | Samantabadra
9
ceramah gosyo mereka itu ingin menggali, menguasai ajaran seluruh ajaran Sang Buddha, ketiga ingin memutuskan hawa nafsu, keempat adalah ingin menyelamatkan seluruh umat manusia. Memang sudah menjadi tekad prasetya bodhisatva seperti itu, makanya kita sebetulnya kalau sungguhsungguh saja menjalankan tidak usah pikir, perlindungan itu pasti. Kita tidak usah tanya cara doanya gimana supaya kita mendapat perlindungan tetapi sungguh-sungguh menyebarluaskan hukum ini , dan sungguh-sungguh menjalankan sesuai ajaran Niciren Daisyonin pasti dijaga dan dilindungi, kalau mereka tidak menjaga dan melindungi, mereka sendiri menentang Sang Buddha. Kemudian yang kutipan keempat saat itu Sang Buddha mengatakan tiga bulan mendatang benarbenar akan meninggal masuk parinirvana, pernyataan ini mengejutkan dan membuat suasana menjadi mencekam, jadi di dalam sutra hukum, pelaksanaan Bodhisatva Samantabadra mengenai keadaan Buddha Sakyamuni setelah selesai membabarkan Saddharmapundarika sutra, ketika Sang Buddha berada di negeri Vaisali, Vihara Mahavana, Aula Jugatsu, beliau mengatakan di muka para Bhikku bahwa Tiga bulan lagi beliau akan memasuki Nirvana, artinya Buddha Sakyamuni akan meninggal dunia. Dan ternyata Tiga 10
Samantabadra | Nopember 2015
Bulan kemudian pada tanggal 15 bulan 2 pada usia 80 tahun, Buddha Sakyamuni meninggal dunia, itu membuat seluruh umat, muridmuridnya bersusah hati, sedih sekali, karena belum sempat membalas budi kepada guru tapi Beliau sudah moksya. Dengan demikian, mereka bertekad untuk menjalankan dan menyerang musuhmusuh Saddharmapundarika sutra dan sebagainya. Antara lain Bodhisatva Kasyapa mengatakan bahwa beliau akan mengubah dirinya menjadi hujan es dan salju di Negeri dimana terjadi pemfitnahan dharma untuk menghukum orang-orang yang memfitnah dharma. Jadi memang jaman berubah, ketika Buddha Sakyamuni wafat seperti itu perilaku murid-muridnya sangat sedih, karena merasa belum balas budi kepada Sang Buddha tapi dua ribu tahun kemudian ketika Niciren Daisyonin wafat murid-muridnya tidak seperti itu, nanti dijelaskan. Perilaku manusianya berubah, bahkan setelah Buddha Niciren Daisyonin meninggal kelima Bhikku menentang, dan membuat ajaran Niciren Syu, benar-benar jaman begitu berubah, manusianya berubah begitu banyak setelah dua ribu tahun. Untuk menyenangkan hati Buddha Sakyamuni mereka semua berjanji akan menghantam para musuhmusuh Saddharmapundarika Sutra, sebagai pernyataan
ingin mempertahankan Saddharmapundarika Sutra. Di dalam kuitpan Gosyo ke 5 dikatakan seandainya luput memanah bumi besar, meskipun seseorang dapat mengikat awan dengan awan, sekalipun tidak terjadi arus pasang surut atau matahari terbit dari arah barat, tidak mungkin ada doa pelaksana Saddharmapundarika-sutra yang tidak terkabulkan, jadi ini merupakan penegasan bahwa tidak mungkin doa dari pelaksana Saddharmapundarika Sutra tidak terwujud. Maka Nicikan Syonin, bhiksu tertingi ke 26 mengatakan, bahwa kalau saja percaya Hukum Ini kurnia kebajikannya sangat luas dan mendalam, maka tidak ada doa yang tidak terkabulkan, tidak ada dosa yang tidak terhapuskan, tidak ada kurnia yang tidak kunjung datang, tidak ada kewajaran yang tidak diwujudnyatakan. Kadang kita tidak menyakini hal ini. Memang tidak otomatis, tentu ada kesungguhan hati, jadi kita sebagai pelaksana Saddharmapundarika Sutra, sungguh-sungguh menyebarkan sutra ini dengan demikian pasti segala keingina akan tercapai, tetapi kalau kita main-main saja tidak akan tercapai. Di dalam bagian ini dikatakan melaui perumpamaan diterangkan bahwa doa dan keinginan pelaksana SPDS pasti tercapai,
Ketua Dharma
tidak pernah meleset. Pengungkapan ini lebih mempertegas bahwa doa dan keinginan pelaksana Saddharmapundarika Sutra pasti tercapai, jadi di bagian tedahulu yang mengatakan bahwa telah diterangkan bahwa pelaksana Saddharmapundarika Sutra itu pasti dijaga dan di lindungi oleh ara para Buddha, Dewa dsb. Lebih dari itu mengenai rupa pelaksana Saddharmapundarika Sutra sama sekali tidak berkaitan. Jadi tidak dilihat dari luarnya, misalnya kedududkan sosialnya, maka dikatakan dengan tidak adanya prajna, wibawa dan kebajikan mungkin badanya tidak suci dsb, tidak seperti itu yang penting menyebut Nammyohorengekyo, sungguh-sunguh melaksanakan pasti akan dijaga dan dilindungi. Maha guru Dengyo menerangkan di dalam catatan Mappo Tomyo di Masa Akhir Dharma dikatakan, orang yang mempertahankan sila merupakan hal yang aneh, bagaikan harimau ditengah kota, siapakah yang akan mempercayai hal tersebut. Oleh karena itu dikatakan dimasa akhir dharma sama sekali tidak ada orang yang mempertahankan sila dan sukar bertemu dengan orang berprajna, bagaikan mendambakan tanduk jerapah. Setelah memasuki masa saddharma dan pratirupa
dharma, 2000 tahun di masa akhir dharma ini mencari bhiksu yang mempertahankan sila seperti mencari macan di tengah kota, tidak ada. Maha guru Dengyo mengatkan demikian. Maka tidak heran ketika ND meninggal muridmuridnya menentang semua, mereka adalah para bhiksu dan penganut. Berbeda pada waktu jaman Buddha Sakyamuni, tidak seorangpun yang menentang, mereka semua bersedih hati, bertekad untuk menjaga ajaran Buddha. Jadi jauh sekali ketika lewat 2000 tahun kemudian sulit menjadi seperti begitu karena tidak mempertahankan sila, yang penting kepentingan masing-masing, keuntungan di depan mata, maka dari itu Maha Guru mengatakan seperti itu. Berarti pelaksana Saddharmapundarika Sutra di masa Akhir Dharma tidak berwujud sebagai orang yang mempertahankan sila atau orang yang berprajna, sebagaimana yang dikatakan oleh Niciren Daisyonin bahwa Buddha Masa akhir dharma adalah bhiksu manusia biasa, dharma adalah Nammyohorengekyo dan sangha adalah kita semua yang melaksanakan, karena itu meskipun dikatakan sebagai Buddha, tetap adalah bhiksu manusia biasa. Jadi Buddha sediri mengatakan bahwa beliau adalah bhiksu manusia biasa. Jadi disini juga dikutip mengenai Nicikan Syonin mengatakan di dalam Kanjin
No Honzon Sho, tidak ada doa yang tidak terkabul, dan seterusnya, kalau percaya kepada Gohonzon pasti semua akan terkabul, dan sebagainya. Namun demikian Niciren Daisyonin sendiri mengatakan bahwa terkabul tidak nya doa anda tergantung kepada kekuatan hati kepercayaan anda sendiri, sama sekali bukan kesalahan Niciren. Jadi terkabul tidaknya bukan otomatis, tergantung sampai dimana kekuatan hati, kesungguhan kepercayaan kita. Dan juga ada kalimat yang mengatakan bahwa dalam Gosyo kepada Syijo Kingo, bagaimanapun saya berdoa kalau anda tidak percaya sama seperti membakar sumbu yang basah, jadi tidak akan berhasil, yang penting adalah keyakinan dari kita. Pasti segala masalah bisa teratasi. Kalau hanya mengharapkan perlindungan tetepi tidak ada pelaksanaan tidak mungkin, karena di sini diterangkan mengenai 4 kekuatan. Kita memiliki kekuatan kepercayaan, dan pelaksanaan. Buddha mempunyai kekeuatan Buddha dan Kekuatan Hukum. Bagaimana kekuatan kepercayaan dan kekuatan pelaksanaan bisa mendapat kekuatan Buddha dan kekuatan Hukum. Jadi Gohonzon memiliki kekuatan Buddha dan kekuatan Hukum. Jadi kita diharapkan bisa membangkitkan Nopember 2015 | Samantabadra
11
ceramah gosyo keberanian kita di dalam menyebarluaskan dan menjaga kemurinian ajaran. Bagian ke 6 di sini lebih jelasnya lagi dibulan depan, tetapi disini selintas dikatakan bahwa kalau melihat kalimat bukti tentang teori kewajaran yang tertulis di atas, bahwa jika matahari dan bulan memang ada di langit. Pohon dan rumput tumbuh di bumi kalau ada siang dan malam di tanah negeri ini bumi besar tidak terbalik dan tenggelam atau air pasang dan surut terjadi di samudera luas, maka doa dan keinginan orang yang percaya Saddharmapundarika
Catatan
12
Samantabadra | Nopember 2015
Sutra pada masa ini pasti terkabulkan dan tidak diragukan lagi pasti di masa akan datang akan lahir di tempat yang lebih baik. tetapi dalam kenyataannya katanya selama 20 tahun ini Niciren Daisyonin mengatakan, bahwa ada keraguan jadi waktu di jepang itu begitu banyak musibah, penyakit menular, musim kemarau yang panjang, paceklik, kelaparan gempa bumi dsb. Itu mereka berdoa beberapa kali tetapi berdoa tidak berdasarkan Saddharmapundarika Sutra sehingga tidak ada buktinya. Jadi kalau doa kita belum terkabulkan lihatlah
kesungguhan hati kita sampai di mana, ada penegasan berkali-kali, bahwa orang yang percaya Gohonzon sungguhsungguh melaksanakan pasti dijaga, dikabulkan, dilindungi, tidak mungkin para Bodhisattava mengingkari janji di hadapan Buddha. Jadi kalau keinginan kita belum terwujud, artinya kita masih ada kekurangan, jadi saya harap kita baca lagi Gosyonya supaya lebih menyerap di dalam jiwa, dan kita dapat melaksanakan sikap hidup yang berdasarkan ajaran Buddha Niciren tersebut. eee
Dharma Duta
Rangkuman Ceramah Dharma Duta Ibu Irawati Lukman Surat Perihal Doa (1/2) Disampaikan pada Kensyu Gosyo Umum, Mahavihara Saddharma NSI 26-27 September 2015
Nammyohorengekyo, Buddha mengajarkan bahwa kita harus mematahkan tiga kesesatan jiwa. Pertama, mematahkan kesesatan pandangan dan pikiran jadi kalau berarti kita harus melihat yang baikbaik, tidak boleh melirik-lirik. Apalagi pikiran yang buruk. Hal ini diajarkan pada jaman dulu. Kedua mematahkan kesesatan hawa nafsu seperti butir-butir pasir yang banyak. Hal ini menjelaskan kepada kita pada jaman dulu menjalankan pertapaan untuk bisa mematahkan kesesatan ini pergi bertapa menjauhkan diri dari keramaian, di tempat yang sepi, lihatnya gunung saja, kemudian mematahkan hawa nafsu dengan vegetarian. Tetapi sampai kedua kesesatan ini pun baru mencapai tingkat Bodhisattva, belum mencapai tingkat Buddha. Jadi begitu sulitnya pertapaan yang dilakukan melalui dalam hidup mati berkali-kali. Tetapi Buddha Sakyamuni mengatakan, semuanya itu akan teratasi hanya dengan
hukum tunggal Ekayana, hanya satu Kendaraan Buddha. Artinya Buddha Sakyamuni ingin mengajak seluruh umat untuk mencapai kesadaran Buddha atau dunia Buddha. Mencapai dunia Buddha pada masa ajaran sementara akan sulit bila tidak ada jodoh, dimana contoh teladannya hanya Buddha Sakyamuni, maka dari itu kita beruntung dan berejeki sekali karena ada Buddha Niciren Daisyonin yang dengan penuh maitri karuna mewujudkan Gohonzon, sebagai jodoh untuk kita munculkan dunia Buddha. Dengan munculnya dunia Buddha ini, kita bisa mematahkan kesesatan pokok jiwa kita, yang penuh dengan Tiga Racun. Kemudian ada hawa nafsu juga, karena ada Gohonzon kita bisa memunculkan Dunia Buddha, kita bisa mengatasi segala masalah, karena munculnya dunia Buddha sehingga jiwa kita bisa menjadi kuat, bebas, suci dan tenang. Jadi kita harus ingat, keinginan Buddha mengajak semua umat mencapai kesadaran Buddha, bukan hanya dunia
Surga saja. Dulu kita sebelum belajar Agama Buddha kita mendengarkan dari orang tua kita, teman-teman kita, yang paling bahagia itu adalah dunia Surga, maka kita ingin mencapai dunia Surga karena dunia surga adalah suatu kebahagiaan. Setelah kita mempelajari Ajaran Buddha, ternyata dunia Surga hanya memberikan kebahagiaan sementara, suatu waktu dapat hilang. Makanya kita begitu beruntungnya dapat berjodoh dengan Gohonzon. Dalam Kongress PBB yang mencanangkan perlawanan terhadap kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan perubahan iklim, kalau lihat sebenarnya tiga permasalahan tersebut tanpa memunculkan dunia Buddha akan sangan sulit untuk mengatasinya. Melawan kemiskinan adalah bagaimana kita bisa membuat karma-karma baik, dasarnya dunia Buddha, ingin membahagiakan orang lain, Nopember 2015 | Samantabadra
13
ceramah gosyo sehingga karma tersebut dapat memanggil jodohjodoh yang baik. Kalau tanpa kesadaran kita akan boros dan miskin. Ketidaksetaraan gender disini setara karena adanya Nammyohorengekyo dan munculnya dunia Buddha. Iklim yang buruk di dalam agama Buddha tidak ada Esyo Funi, dimana kita dan lingkungan tidak terpisahkan, itu pun dasarnya adalah munculnya jiwa Buddha kita sehingga kita menjadi satu dengan lingkungan, dan ingin menjaga alam, mengetahui tidak menebang pohon sembarangan agar tidak terjadi bajir, timbulnya prajna Buddha. Tetapi sayangnya kita yang sudah berjodoh dengan Gohonzon yang begitu agung, hebat, dan tidak terjangkau oleh pikiran manusia, kita justru mulai meremehkan. Dari berbagai peristiwa yang terjadi di dunia itu sebenarnya menyadarkan bahwa katakata Buddha tidak ada yang bohong, misalnya saat ajal adalah sekarang, kapanpun dan dimanapun kita berada ketika karma tetapnya sudah sampai dimanapun dan kapanpun bisa meninggal. Maka dari itu, kita yang sudah berjodoh dengan Nammyohorengekyo, tanpa kita sadari sekarang ini banyak umat yang mulai melalaikan pelaksanaan Gongyo Daimoku, sudah tidak bersemangat, mungkin dipengaruhi faktor bahwa sudah tercapainya keinginankeinginan pribadi, lupa 14
Samantabadra | Nopember 2015
bahwa keinginan Buddha adalah mencapai kesadaran Buddha. Bisa juga banyak dari umat yang merasa bahwa lalai tersebut sudah menjadi kebiasaan. Hal ini harus kita bangkitkan kembali semangat kita bahwa Gongyo Daimoku adalah pelaksanaan yang utama. Begitu susah payahnya Niciren Daiyonin mewujudkan Dai Gohonzon untuk kebahagiaan seluruh umat manusia agar dapat memunculkan dunia Buddha, sehingga seluruh umat manusia dapat mencapai kesadaran Buddha. Pada waktu Kensyu Lanjut Usia, semua sudah bertekad untuk Syakubuku terhadap anak dan cucu, karena kita ingin menjalankan hati kepercayaan ini sampai akhir hayat kita, seperti yang sudah diterangkan seperti matahari terbenam yang terbit kembali, dan kita juga ingin terlahir kembali dan berjodoh dengan Nammyohorengekyo, jadi senantiasa mempertahankan kepercayaan kita sehingga tidak kalah terhadap suasana. Kita mengajak para lanjut usia untuk melakukan Syakubuku terhadap anak dan cucu, supaya bisa melestarikan Gohonzon, tetapi kita juga tidak boleh lupa bahwa anak-anak juga dapat melakukan Syakubuku terhadap orang tua, itupun harus diperjuangkan. Inginnya semua dapat mempertahankan hati kepercayaan sampai akhir hayatnya, beberapa peristiwa
yang pada akhir hayat tidak bisa Gonyo Daimoku, ada juga yang pada usia lanjut dan tinggal bersama anaknya dilarang untuk pasang Gohonzon. Ada juga yang pada saat orang tuanya meninggal karena anaknya tidak Syakubuku, tidak sampai akhir hayatnya menyebut Nammyohorengekyo. Kita harus mengingat kembali dan bersemangat untuk senantiasa merasakan bahwa kita sendiri membutuhkan Gohonzon, membutuhkan Gongyo Daimoku, sebagai jodoh untuk memunculkan dunia Buddha kita sehingga doa apapun kalau kita jalankan sesuai dengan keinginan Sang Buddha pasti itu akan terwujud. Tetapi tanpa Gongyo Daimoku dan tidak ada jodoh untuk memunculkan jiwa Buddha, pasti yang kita jalankan sesuai dengan keinginan kita sendiri. Kemudian disini dikatakan bahwa Buddha memiliki Tiga Kebajikan, Kebajikan Majikan, Kebajikan Guru, dan Kebajikan Orang Tua. Pada Gohonzon pun ada Tiga Kebajikan ini. Sandang, pangan, dan papan pasti ada, yang merupakan Kebajikan dari Majikan. Sebenarnya kita semua sudah mendapatkan itu, dari yang susah dalam mata pencaharian sekarang sudah bisa mengatasi itu. Gohonzon tidak pernah pilih kasih, semua umat adalah anak-anaknya, semua disayang dan mendapatkan
Dharma Duta
kurnia kebajikan. Kemudian sebagai kebajikan Guru waktu kita menderita ataupun mendapatkan kesulitan, terus kita Daimoku kita mendapatkan prajna untuk jalan keluarnya, itu bimbingannya sebagai guru, hal ini sudah kita dapat semuanya, jadi kekuataan Gohonzon itu bukan main. Tapi sayangnya kita umumnya masih ragu-ragu akan kekuataan Buddha. Dahulu dikatakan bahwa, Sravaka tidak dapat mencapai kesadaran Buddha, setelah Saddharmapundarika sutra dikatakan bisa mencapai kesadaran Buddha. Kadang kita meragukan seperti itu bahwa terkadang perkataan manusia biasa lebih dipercaya dibangingkan perkataan Buddha atau Gosyo. Seperti ketika ada orang lain yang mengatakan bahwa anak kita sedang dalam bahaya, padahal bahaya atau tidak bahaya itu kan pada dasarnya merupakan sebab akibat. Semua kita lakukan untuk bisa menolong keluarga kita ketika sedang dalam bahaya, sampai mencari orang yang dikatakan sebagai orang pintar yang bisa menolong walaupun harus mengeluarkan biaya berapapun besarnya agar keluarga mendapat keselamatan. Itulah kita sebagai manusia biasa, lebih mempercayai perkataan orang lain dibandingkan dengan perkataan Buddha maupun Gosyo. Buddha mengatakan segala
apapun tergantung pada Hukum Sebab Akibat, dan tidak ada yang lain, hukum tunggal Nammyohorengekyo yang dapat membahagiakan semua makhluk. Kita masih ragu dan berpikir apakah benar perkataan tersebut, akhirnya mencari kepada hal-hal lain dan merusak kehidupan kita sendiri. Maka dari itu kita harus mempercayai perkataan Buddha. Kemudian dalam Gosyo dikatakan bahwa Bodhisattva mengenal balas budi atau budi bakti. Ketika Buddha Sakyamuni membabarkan hukum tunggal sehingga mereka bisa mencapai kesadaran Buddha, begitu gembiranya dan pikir untuk membalas budi. Waktu Sang Buddha mengatakan bahwa Tiga Bulan lagi Buddha akan wafat, murid-murid Buddha semuanya ingin mewariskan tugas menjalankan penyebarluasan Ajaran karena ingin membalas budi kepada Sang Buddha karena tanpa Ajaran Buddha mereka semua tidak dapat mencapai kesadaran Buddha. Maka dari itu mereka semua berprasetya ingin menyelamatkan seluruh umat manusia, maka itu dijaga dan dilindungi, kemudian juga mengajak semua umat untuk mencapai Issyo Jobutsu (pencapaian kesadaran Buddha), tidak ada pilih kasih, semua diajak untuk mencapai kesadaran Buddha. Itu adalah prasetya dari Bodhisattva. Kita sebagai Bodhisattva
Muncul dari Bumi memiliki hakekat yang sama, untuk menyelamatkan seluruh umat, menyebarluaskan dharma yang sesungguhnya. Kita memang dapat berjodoh dengan Nammyohorengekyo sebagai suatu hukum tunggal yang agung, yang membuat kita jadi berubah dari yang jahat menjadi lebih baik, menjadi suami yang lebih baik, istri yang lebih baik. Tetapi kita harus mengingat bahwa kita dapat berjodoh dengan hukum Nammyohorengekyo tanpa adanya susunan. Maka dari itu kita harus selalu menjaga susunan, sebagai salah satu bentuk dari balas budi. Hanya kita yang dapat menjaga, karena susunan ini mempunyai tugas Kosenrufu dan Issyo Jobutsu untuk menyebarluaskan dharma demi kebahagiaan umat. Sebagai umat kita harus dapat mencintai susunan ini, dan tidak terpikirkan yang lain, hal ini sebagai balas budi kita. Kita bisa merasakan kebahagiaan sampai hari ini karena kita berada di susunan. Hal yang dapat merusak susunan bukan dari luar, tetapi dari dalam ketika kita tidak percaya dan penuh rasa khawatir sehingga menjadi bikin suasana yang tidak nyaman. Kita harus mengingat hal ini, mulai dari sekarang kita harus mengingat awal pertama kita dapat berjodoh dengan Nammyohorengekyo di susunan NSI, sampai sekarang pun di susunan NSI yang menyebarkan Nopember 2015 | Samantabadra
15
ceramah gosyo Nammyohorengekyo. Kegiataan susunan NSI ada pelajaran dan kensyu, dan kita harus yakin akan hal itu. Kita tidak pernah diajarkan untuk berbuat hal yang tidak baik di susunan NSI, generasi muda juga dimana semua umat diajarkan untuk selalu jalankan tujuan untuk mencapai kesadaran Buddha. Kemudian disini dikatakan yang namanya doa dari pelaksana Saddharmapundarikasutra pasti terkabul, bukan sebagai penganut tetapi sebagai pelaksana. Kalau kita sebagai penganut hanya mengikuti saja tanpa Syi Gyo Gaku dengan sungguh hati itu tidak dapat dikatakan sebagai pelaksana. Dikatakan hal tersebut seperti perumpaaan jika kita memanah bumi, pasti tidak meleset. Yakinkan diri kita bahwa doa kita pasti tembus, tetapi dikatakan semua itu tergantung dari kekuataan kepercayaan dan kekuataan pelaksanaan kita. Kekuataan kepercayaan kita sampai dimana. Kita hanya percaya kepada Nammyohorengekyo, Gohonzon dari Tiga Hukum Rahasia Agung, tidak ada campur aduk dengan yang lain. Sampai sekarang coba kita lihat bahwa masih banyak umat yang rumahnya masih memiliki patung-patung besar baik itu di dapur maupun di ruang tamu, jadi tidak murni percaya kepada Nammyohorengekyo. Belum lagi kepercayaan terhadap 16
Samantabadra | Nopember 2015
pantangan-pantangan tertentu, dimana ada hari yang baik dan hari yang tidak baik. Dikatakan bahwa kita harus sampai akhir hayat percaya hanya kepada Nammyohorengekyo. Halhal seperti ini bagaimana kita mulai dari kita sendiri untuk percaya hanya kepada Nammyohorengekyo, itulah yang dinamakan kekuataan kepercayaan kita, tanpa ada embel-embel atau tambahan yang lainnya. Kekuataan pelaksanaan sesuai dengan ajaran Buddha Niciren Daisyonin atau hanya menggunakan pikiran-pikiran kita sendiri. Ketika kita dalam kondisi senang kita mengikuti segala kegiatan di susunan, sedangkan saat kita sedang dalam kondisi kesal dengan seseorang kita tidak mengikuti, sangat merugikan diri kita sendiri. Pelaksanaan kita ini benarbenar dasarnya hanyalah ingin menyebarluaskan dharma dan Issyo Jobutsu, jadi kalau benar-benar kita menjalankan dengann sungguh hati dengan dasar hati kepercayaan ingin menjalankan Kosenrufu, untuk Issyo Jobutsu pada seluruh umat, tidak perlu meminta, pasti kita mendapatkan. Dalam Gosyo dikatakan bahwa Bodhisattva karena ingin membalas budi telah mencapai kesadaran Buddha maka berprasetya ingin menjaga dan melindungi. Sebenarnya kalau kita menjalankan dengan sungguh-sungguh, tanpa kita
menunggu perlindungan, kita pasti mendapatkan, sebab pelaksanaan akibat kebajikan. Sebab pelaksanaan kita sesuai dengan kata-kata Buddha, akibat kebajikan juga sesuai dengan yang kita inginkan. Disini kita harus merasakan bahwa jangan kita sendiri yang merasakan dan membandingkan ajaran di susunan, kita harus yakin bahwa kita menjalankan sesuai dengan ajaran Buddha Niciren Daisyonin dan melaksanakan serta memperbaiki kekurangankekurangan, sehingga sesuai dengan ajaran Buddha. Kekuataan pelaksanaan kita terutamanya dalam Gongyo Daimoku dan menyebarluaskan dharma. Pada saat kensyu ingin merangkul umat yang lain. Dengan kekuataan ini pasti apa yang dikatakan oleh Sang Buddha bahwa doa akan tercapai, itu merupakan suatu kepastian, kita tidak perlu meragukan. Karena kita tidak percaya akhirnya kita mencari dan membanding-bandingan dengan susunan lain, sama seperti dalam berumah tangga, seperti perumpaaan rumput tetangga lebih indah daripada rumput di rumah sendiri. Seharusnya rumput di rumah adalah rumput yang paling indah, kita harus seperti itu dan meyakini bahwa ajaran yang diajarkan dalam susunan adalah ajaran yang baik. Kalau kita sendiri tidak yakin bagaimana kita ingin dapat mempertahankan
Dharma Duta
ajaran dan doanya dapat tercapai. Kebenaran itu ada bukti nyatanya. Kalau susunan NSI dapat lebih maju seharusnya kita sebagai umat harus maju juga. Kalau kita bandingkan doa kita sebelum mempelajari ajaran Buddha Niciren Daisyonin, pasti hanya sebatas untuk kepentingan pribadi diri sendiri dan masih mengharapkan. Doa kita pada waktu itu salah, karena kita hanya meminta dan hanya percaya ketika terkabulnya doa tersebut, jika tidak sesuai dengan keinginan kita menjadi tidak percaya dan meragukan. Kita hanya mengetahui bahwa doa itu terkabul dan tidak terkabul tergantung dari pelaksanaan diri kita sendiri, bukan salah dari Buddha Niciren. Niciren Daisyonin begitu
maitri karuna memikirkan kebahagiaan seluruh umat kita harus seirama dengan keinginan Buddha Niciren Daisyonin. Orang yang tidak percaya Nammyohorengekyo saja dapat membuat buku dengan konsep alam semesta mendukung. Walaupun tidak mengenal Nammyohorengekyo, tetapi dia mengetahui hukum alam yang maitri karuna sedemikian rupa. Kalau kita dapat seirama dengan alam semesta yang dasarnya maitri karuna, alam semesta pun akan mendukung kita. Di alam semesta ini bukan hanya angin dan udara, di alam semesta ini seluruhnya ada. Jadi kita harus seirama dengan alam semesta, untuk menyebarkan dharma dan membahagiakan orang lain,
itu merupakan tugas kejiwaan kita yang sebenarnya. Mulai dari sekarang bersamasama kita harus bangkit. Ketika kita diajarkan untuk dapat berguna bagi nusa dan bangsa di sekolah kita belum menyadari seperti apa dan bagaimana bentuknya. Tetapi sekarang kita menyadari bahwa artinya kita ingin cinta tanah air, dapat membahagiakan bangsa dan negara kita dengan ilmu yang kita miliki, dengan perilaku kita, dengan hati kepercayaan kita kepada Nammyohorengekyo, itu dapat membuat getarangetaran baik bagi bangsa. Kita sama sama semangat kembali dan maju kembali, dapat Itai Dosyin untuk jalankan tugas kejiwaan penyebarluasaan dharma Nammyohorengekyo.
eee
Nopember 2015 | Samantabadra
17
liputan
Kensyu Lansia 2015
Mengarungi Kehidupan dengan Penuh Kebahagiaan, Sampai Akhir
P
ada tanggal 18-20 September 2015, ratusan umat NSI mengikuti Kensyu Lansia tahun 2015 yang diadakan di daerah Anyer, Jawa Barat. Kegiatan dipusatkan di Hotel Patra Jasa. Kensyu Lansia tahun ini mengangkat tema “ Mengarungi Kehidupan dengan Penuh Kebahagiaan Sampai Akhir�. Gosyo yang dipelajari bersama adalah tentang Itai Dosyin. Kensyu Lansia tahun ini terasa berbeda selain dikarenakan jumlah peserta yang cukup banyak, juga karena mereka berasal dari setiap wilayah yang ada di susunan NSI.
18
Samantabadra | Nopember 2015
Pada hari pertama, setelah melaksanakan Gongyo Pagi bersama yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum NSI, MPU Suhadi Sendjaja, di Vihara Sadaparibhuta NSI, rombongan kensyu bersiap-siap naik ke bus dan berangkat sesuai jadwal menuju Anyer. Perjalanan yang relatif singkat sekitar 2,5 jam dengan satu kali pemberhentian nampaknya membuat antusias Lansia untuk segera tiba di lokasi menjadi semakin besar. Canda dan tawa menghiasi suasana di dalam bus. Setibanya di hotel, seluruh Lansia secara teratur
menuruni bus dan merasakan nikmatnya welcome drink berupa air kelapa kopyor dari pihak hotel seraya menunggu kedatangan peserta kensyu dari Banten, Bogor, Bandung, Sukabumi, Lampung dan Palembang dan beberapa daerah lainnya. Setelah seluruh peserta tiba, para Lansia dikumpulkan di pinggir pantai untuk menikmati makan siang bersama. Para Lansia mengantri secara teratur untuk menikmati makan siang dan menempati beberapa titik teduh untuk makan bersama teman-temannya. Setelah itu, peserta berkumpul di aula
Suasana kebersamaan umat bercengkrama di pinggir pantai selepas makan siang.
pertemuan untuk dibagikan kelompok dan mengikuti sesi Gosyo pertama yang disampaikan oleh Ketua Umum NSI, Bapak Suhadi dan Dharma Duta, Ibu Irawati. Dalam Gosyo Itai Dosyin yang dipelajari bersama oleh Lansia, ada beberapa penekanan penting yang disampaikan para pembabar dharma untuk memotivasi semangat Lansia menjalankan kehidupan dengan gembira dan dapat meneruskan Hati Kepercayaan kepada Gohonzon sampai ke anak-
cucu, dan yang terpenting adalah untuk tidak pernah melepaskan hati kepercayaan terhadap Gohonzon sehingga kelak meninggal dapat diupacarakan secara NSI. Para Lansia yang hanya Shinjin seorang diri diharapkan dapat menitipkan pesan kepada pihak keluarga, bahwa ketika meninggal nanti, ia ingin diupacarakan secara Gohonzon (NSI). Hal ini dapat didukung dengan mengadakan pertemuan antara pihak keluarga dan susunan NSI untuk
mempertegas hal ini. Hal ini perlu dilakukan mengingat pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi, ketika Lansia NSI meninggal tidak bisa diupacarakan secara Gohonzon (NSI) dikarenakan anggota keluarganya menghendaki upacara dengan cara lain, walaupun Lansia tersebut pernah mengatakan ingin diupacarakan secara NSI, namun tidak ada bukti/wasiat yang bisa menguatkan. Para Lansia semasa hidup diharapkan menunjukkan sikap hidup yang semakin
Rombongan NSI mengantri untuk check-in pada saat keberangkatan di bandara internasional Soekarno-Hatta, Banten.
Nopember 2015 | Samantabadra
19
liputan baik dan agung sehingga dapat menjadi teladan bagi keluarganya; anak cucunya. Setelah sesi Gosyo acara dilanjutkan dengan Gongyo Sore, MCK dan makan malam. Jam 19.00 WIB peserta kembali ke Aula Pertemuan untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) dan kesimpulan Sesi Gosyo 2. Diskusi berlangsung efektif, dan peserta menyampaikan pendapatnya dengan antusias terhadap topik Gosyo yang dibahas. Selain Gosyo, peserta juga diajak menyanyikan lagu berbahasa Inggris bersamasama dan mengikuti kegiatan ice-breaking yang menghibur dan mengundang tawa. Hari kedua diawali dengan Senam Tai Chi bersama. Para peserta dengan seksama mengikuti gerakan badan instruktur untuk ber-taichi ria di pagi hari di pinggir pantai. Jam 10.00 WIB , peserta kensyu diajak untuk mendengarkan pembekalan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang bagaimana menjadi Lansia yang tangguh. Diharapkan
20
Samantabadra | Nopember 2015
pembekalan ini dapat menambah pengetahuan peserta tentang bagaimana menjadi Lansia yang mandiri dan bahagia di hari tua. Siang harinya, peserta diajak untuk membuat kerajinan tangan dari bahan handuk kecil sederhana dan beberapa asesoris untuk dibentuk menjadi boneka kucing dan anjing. Nantinya mereka bisa praktikkan kembali di rumah bersama cucu. Pada sore hari, peserta diajak untuk menikmati pemandangan matahari terbenam sambil makan malam bersama. Selepas makan malam, acara dilanjutkan dengan malam keakraban. Ada
beberapa penampilan seperti Drama Spontanitas yang dimainkan oleh beberapa ibu muda untuk menghibur para Lansia. Cerita dalam drama berisi tentang potret kehidupan yang sering dihadapi Lansia. Ada pula tarian Lansia, tarian spontanitas ibu-ibu muda, fashion show dan Pemilihan Raja dan Ratu Lansia NSI 2015. Tahun ini terpilih pasangan suamiistri Bapak Harris Lamuda dan Ibu Sri Anggriani dari DKI Jakarta. Syinjin mereka dan kontribusinya terhadap perjalanan susunan NSI perlu diapresiasi dan kiranya dapat menjadi teladan bagi seluruh umat NSI.
Foto bersama DPP NSI, Ketua Wilayah DKI Jakarta, Koordinator Lansia NSI, dan pembicara dari BKKBN, DR. Sudibyo Alimoeso, MA. beserta tim.
Gongyo bersama peserta Kensyu Lansia.
Ibu-ibu peserta Kensyu Lansia asyik membuat kerajinan tangan boneka dari handuk.
Malam keakraban dipenuhi canda tawa juga haru dari seluruh peserta. Peserta yang berulang tahun pada bulan September diberikan kejutan dan menambah semarak malam keakraban Kensyu Lansia 2015. Penampilan paduan suara bapak-ibu dari wilayah DKI Jakarta turut menghangatkan suasana kensyu. Acara ditutup dengan penampilan organ tunggal umat NSI dari wilayah Banten yang mengajak seluruh peserta bernyanyi dan berjoget ria bersama. Begitu bersemangatnya peserta kensyu malam itu seolah tidak kenal lelah dan tidak menyadari hari semakin malam.
Setelah malam kesenian ditutup, acara berpindah ke pinggir pantai di mana para peserta diajak untuk menerbangkan Lampion bersama-sama. Benarbenar malam yang ditutup dengan manis di kala melihat terbangnya berbagai Lampion ke atas langit, diiringi suara deburan ombak. Pada hari ketiga, peserta mengikuti sesi kesan-pesan. Antusias yang membara muncul dari peserta yang begitu ingin menyampaikan kesannya dan menceritakan keagungan GohonzonNammyohorengekyo. Di dalam penutupnya, Ketua Umum NSI mengungkapkan bahwa kegiatan kensyu lansia NSI yang dilaksanakan setiap tahunnya ini dimaksudkan agar dapat memfasilitasi umat dalam meningkatkan kualitas syinjin dan berkehidupan yang baik dalam lingkup keluarga hingga dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Bapak dan Ibu Haris Lamuda dinobatkan sebagai Raja dan Ratu Lansia NSI 2015 berkat semangat syinjin yang berkelangsungan.
Trio Uban (Bapak Tanu, Bapak Heri, dan Bapak Edi), membacakan syair pada malam keakraban.
Tarian Ibu-Ibu Lansia.
(Wantie)
Paduan Suara Bapak-Ibu DKI Jakarta.
Peserta Kensyu Lansia yang berulang tahun di bulan September diberikan kejutan kue ulang tahun dan meniup lilin bersama.
Nopember 2015 | Samantabadra
21
liputan
Kensyu Jawa Timur 2015
I
tai Dosyin, berbeda badan tetapi satu hatinya. dengan dasar ini lah umat NSI jawa timur mengadakan kensyu di Hotel Ayanna Trawas Jawa Timur pada tanggal 12–13 September 2015. Kensyu ini diikuti oleh umat dari Surabaya, Banyuwangi, Kediri (desa Kepung Keling), dan Madura. Selain dari wilayah Jawa Timur juga ada umat dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan DKI Jakarta.
Peserta Kensyu Jawa Timur melaksanakan gongyo sore bersama sebelum acara pembabaran gosyo.
22
Samantabadra | Nopember 2015
Tema dalam kensyu ini adalah, “Dengan Itai Dosyin Kita Perkuat Susunan Jawa Timur,” sesuai dengan tema tersebut pada kensyu kali ini dibabarkan gosyo Surat Perihal Itai Dosyin. Pembabaran Gosyo di sampaikan oleh Ketua Umum NSI, Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja. Dalam pembabaran gosyo disampaikan tentang perlunya Itai Dosyin dalam kehidupan masing-masing umat, juga harus dilandasi dengan kebaikan. Pada sesi tanya jawab, banyak umat NSI Jawa Timur yang dengan antusias mengajukan pertanyaan seputar ajaran yang selanjutnya dijelaskan dengan sangat baik oleh Ketua Umum NSI.
Selain pembabaran Gosyo, acara kensyu juga diisi dengan sumbangan tarian dari anak-anak NSI Surabaya yaitu tarian “Gembala”, juga ada beberapa permainan yang dibawakan oleh Bapak Toni dari Madura untuk membuat kesatuan hari umat NSI jawa timur semakin kuat. Kensyu Jawa Timur terlaksana dengan sukses berkat kesatuan hati para pesertanya. (Asep) Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja membabarkan gosyo.
Suasana makan pagi pada kensyu Jawa Timur.
Tarian yang dibawakan oleh anak-anak NSI Surabaya untuk menghibur peserta kensyu.
Nopember 2015 | Samantabadra
23
Dokyo Syodai Peringatan 12 dan 13 Oktober
Sambutan Ketua Umum NSI Maha Pdt. Utama Suhadi Sendaja Dalam rangka peringatan perwujudan Dai Gohonzon dan Moksyanya Buddha Niciren Vihara Sadaparibhuta NSI 12 Oktober 2015
24
Samantabadra | Nopember 2015
H
ari ini ada dua hal yang kita peringati, hari di mana Buddha Niciren moksya (12 Oktober) dan perwujudan Dai-Gohonzon (13 Oktober). Kita sama-sama peringati dengan melakukan upacara dokyo syodai, membaca paritra bab 2 dan bab 16 dari Saddharmapundarika-sutra, serta menyebut Nammyohorengekyo secara berulang-ulang. Hal ini kita lakukan demi memunculkan kesadaran Buddha dari dalam diri kita, demi terwujudnya kebahagiaan kita masing-masing, dan demi tersebarluasnya hukum Nammyohorengekyo ke seluruh penjuru. Hal tersebut tentu merupakan niat mendalam dari Buddha Niciren ketika mewujudkan Dai Gohonzon pada tahun 1279 untuk kebahagiaan seluruh umat manusia. Harus kita pahami bahwa Niciren Daisyonin moksya dengan mewariskan Dai Gohonzon sebagai jodoh terbaik untuk memunculkan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Apabila kita memahami itu, berarti setiap saat kita harus sungguhsungguh menjalankan hati kepercayaan kita kepada Gohonzon dan mempraktikkan ajaran Buddha Niciren di dalam kehidupan seharihari. Dengan momen peringatan kali ini, diharapkan umat NSI bisa lebih bangga dan bahagia, serta yakin tanpa keraguan bahwa kita sudah menganut agama yang tepat; agama Buddha untuk masa akhir dharma menunjukkan kita jalan untuk mewujudkan kesadaran Buddha dan kebahagiaan dengan badan apa adanya. Pemutaran video singkat mengenai riwayat Buddha Niciren setelah dokyo syodai juga mengingatkan kita tentang siapa Buddha kita dan seperti apa sejarah kehidupannya, sehingga kita bisa lebih menghayati upaya-upaya kita dalam meningkatkan hati kepercayaan. Upacara dokyo syodai perlu dilaksanakan dengan sikap yang baik dan tata upacara yang tertib. Kiranya dokyo syodai yang berlangsung terpusat selama ini, bisa menjadi masukkan bagi para pimpinan wilayah dan daerah NSI untuk melaksanakan dokyo syodai yang semakin baik dan khidmat di daerahnya. NSI akan maju bila daerah-daerahnya maju. Kita ingin NSI di seluruh Indonesia semakin bersatu, itai dosyin, dan menjalankan kebijakan dan ajaran yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Buddha Niciren. Apabila kita bersatu, kita bisa melakukan banyak hal. Tetapi jika kita tidak itai dosyin, satu hal pun tidak bisa kita hasilkan. Oleh karena itu, saya gembira sekali semua umat NSI bisa memunculkan kekuatan dari kesungguhan hati, karena Niciren Daisyonin selalu membimbing agar kita semua bisa sungguh hati. Dengan kesungguhan hati, kita bisa mencapai hal-hal yang besar. Dokyo syodai pada peringatan kali ini bagus sekali, saya lihat ini menjadi puncak dari dua tahun terakhir kita mengadakan upacara dokyo syodai terpusat untuk daerah Jabotabekcul. Getaran dari penyebutan Nammyohorengekyo oleh umat sekalian sungguh luar biasa. eee
liputan
Audiensi Ketua Umum NSI dengan Presiden RI pada Diskusi Lintas Agama
K
etua Umum NSI hadir bersama para tokoh lintas agama nasional untuk menghadiri undangan Presiden RI, Joko Widodo, untuk berdialog dan mendengarkan langsung pengarahan Presiden RI terkait upaya-upaya toleransi, kerukunan, dan keberagaman antar umat beragama yang perlu dilakukan oleh tokoh agama, serta upaya mencegah terulangnya kembali konflik agama seperti yang terjadi di Tolikara, Papua, pada masa yang akan datang. Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutannya di Istana negara, Jakarta, pada hari Kamis, 23 Juli 2015. Di dalam sambutannya, beliau menjelaskan bahwa ulama dan tokoh agama memiliki peran penting dalam memberikan pembinaan kepada masyarakat (grassroot) agar suasana bermasyarakat menjadi sejuk. Beliau juga mengingatkan bahwa apa yang terjadi di Tolikara adalah hal yang tidak perlu terjadi apabila komunikasi kita baik. Namun tidak ada kata yang terlambat, yang terpenting adalah langkah ke depan untuk mengatasi gesekan-gesekan yang ada untuk diselesaikan dengan baik.
(Sumber: http://setkab.go.id/sambutan-presiden-joko-widodo-pada-silaturahmi-dengan-tokoh-lintas-agama-di-istana-negara-23-juli-2015/)
Nopember 2015 | Samantabadra
25
liputan
P
ada hari Minggu, 13 September 2015, umat NSI Solo dan Sukoharjo bekerjasama dengan PMI Solo melaksanakan bakti sosial donor darah di Vihara Vimalakirti NSI Solo Baru. Kerjasama NSI dan PMI Solo Baru telah terjalin cukup lama dan rutin mengadakan gerakan donor darah, dan kali ini adalah yang ke-62 kalinya. (Ananda)
Debut Kesenian Teater NSI Apakah Anda pernah menyaksikan keindahan pertunjukan Romeo and Juliet atau Hamlet karya Shakespeare? Bukan sekadar ber-acting biasa tetapi para pemain menampilkan aksi teatrikal yang menggugah emosi. Kini, umat NSI bisa merasakan pengalaman teatrikal tersebut dengan mengikuti kelas teater NSI.
S
ejak Agustus 2015 lalu kegiatan pelatihan teater di NSI telah dimulai. Latihan perdana dihadiri oleh 15 orang peserta yang kini secara rutin berlatih dan mendapat bimbingan dari Bapak Radhar Panca Dahana dan beberapa pelatih teater kenamaan berpengalaman di Indonesia. Sebagian orang mungkin berpikir bahwa belajar teater identik dengan mereka yang ingin jadi bintang film, se26
Samantabadra | Nopember 2015
Bakti Donor Darah Umat NSI Solo dan Sukoharjo
individu untuk memunculkan potensi dan kesadaran unggul. Teater adalah salah satu kesenian yang melatih kita untuk bisa bersatu hati dalam satu kelompok dan menerapkan ajaran Buddha Niciren. “Siapapun bisa memiliki kemampuan berteater asalkan memiliki tiga elemen: kesungguhan hati, kejujuran, dan mau berlatih,� ungkap Pak Radhar ketika melatih peserta teater. Peserta teater NSI menyaksikan festival teater bersama pelatih. Bagi umat NSI, khususnya kemampuan vokal, olah tubuh, generasi muda yang ingin berekspresi diri, dan juga kesatu- gabung dalam kesenian teater an hati antar pelakon. NSI dan merasakan manfaat Peserta diajarkan untuk men- kebaikannya, silahkan datang gasah kemampuan pernapaspada kelas latihan setiap hari an perut, melatih konsentrasi Sabtu jam 19.00-21.00 WIB dan kepekaan terhadap lingdan Minggu jam 13.00-15.00 kungan sekitar. Dengan konWIB. (Maya) sisten berlatih, setiap pemain teater akan mampu memiliki rasa percaya diri dan bahasa tubuh/ekspresi yang bagus dan terkendali. Keceriaan selama latihan teater menjadi salah satu target dari setiap latihan dan juga membangun diri setiap benarnya tidak demikian. Pelatihan teater terdiri dari pelatihan-pelatihan yang bisa meningkatkan kualitas diri kita dalam kehidupan seharihari. Di antaranya melatih
Suasana di salah satu sesi latihan teater NSI.
Kompas, 28 September 2015
Nopember 2015 | Samantabadra
27
Kompas, 22 September 2015
28
Samantabadra | Nopember 2015
materi ajaran | gosyo kensyu
Gosyo Kensyu
Surat Perihal Doa (lanjutan) Pilihan Niciren, Sramana Negeri Ini
LATAR BELAKANG|
S
urat ini ditulis di Pulau Sado pada tahun 1272 (Bun-ei ke-9), diberikan kepada Sairenbo yang juga tinggal di Pulau Sado dan merupakan surat balasan terhadap pertanyaan Sairenbo. Surat aslinya sekarang sudah tak ada lagi. Isi surat ini pertama-tama menjelaskan, bahwa doa dari berbagai sutra pada umumnya adalah doa, namun doa yang berdasarkan percaya kepada Saddharmapundarika-sutra pasti terkabulkan. Kemudian, karena seluruh Buddha, Bodhisattva, Dwiyana, Manusia, Surga, dan lainnya telah mencapai Jalan Kesadaran Buddha melalui Saddharmapundarika-sutra, maka demi membalas budi tersebut, mereka melindungi orang yang berdoa dengan menerima dan mempertahankan
Saddharmapundarika-sutra. Oleh karena itu, doa atau keinginan pelaksana Saddharmapundarika-sutra pasti terkabulkan. Demikian dikatakan oleh Niciren Daisyonin. Terlebih lagi, diajarkan dan dinyatakan bahwa doa berdasarkan Hukum Sesat Syingon dan lainnya tidak ada buktinya, bahkan orang yang berdoa maupun orang yang menyuruh berdoa akan memusnahkan badannya sendiri. Sebagai contoh nyata diambil peristiwa pemberontakan Syokyu, yang mengakibatkan kekalahan besar karena penguasa kerajaan berdoa berdasarkan Sekte Syingon.
Nopember 2015 | Samantabadra
29
materi ajaran | gosyo kensyu ISI GOSYO |
P
ermasalahan ini untuk sementara tidak dibahas. Benarkah Anda mempelajari Ajaran Gunung Hiei? Dikatakan, dosa sang ayah dapat mempengaruhi anak, dosa guru dapat mempengaruhi murid. Para bhikku Gunung Hiei telah membakar Kuil Onje dan juga pintu gunung, patung Buddha, stupa-stupa dan beribu-ribu jilid sutra milik mereka. Hal ini benar-benar membahayakan dan menjadi topik pembicaraan yang meresahkan masyarakat. Akhirnya para bhikku Gunung Hiei tidak disukai. Bagaimanakah pandangan mengenai hal ini? Memang dahulu hal ini telah didengar sekilas, tetapi sekarang ingin mendengar hingga hal yang rinci. Akan tetapi saya sendiri merasa ragu-ragu, mungkin karena para bhikku buruk dan lainnya tidak sesuai dengan makna keinginan Triratna; Buddha, Dharma, dan Sangha, dewa langit dan bumi tidak dapat menerima, sehingga keinginan doa tersebut tidak terkabulkan. Bagaimanakah tanggapan kita mengenai hal ini? Jawab: Dahulu hal ini telah diterangkan sedikit, tetapi sekarang ingin diperjelas secara keseluruhan. Hal ini benar-benar merupakan permasalahan yang penting bagi negeri Jepang, tetapi banyak orang yang tidak mengetahuinya, sehingga membuat bermacammacan dosa karma mulut. Sekarang, Kuil Enryaku di Gunung Hiei dibangun oleh Mahaguru Dengyo pada 200 tahun lebih setelah Hukum Buddha masuk ke negeri kita, yaitu pada masa pemerintahan Kaisar Kammu. Kota Kyoto dahulu diperkirakan akan dijadikan sebagai ibu kota kerajaan oleh Pangeran Syotoku, tetapi karena menanti datangnya sekte Tien-tai kota tersebut tidak dapat dibangun. Di dalam catatan mengenai Pangeran Syotoku tertera, “Setelah 200 tahun lebih berlalu semenjak saya meninggal, Hukum Buddha akan tersebar di Jepang.� Mahaguru Dengyo dalam tahun Enryaku bermaksud membangun Kuil Enryaku di Gunung Hiei, sedangkan Kaisar Kammu ingin membangun Kota Heian, sehingga catatan Pangeran Syotoku terbukti kebenarannya. Dengan demikian, hubungan antara Gunung Hiei dengan keluarga kaisar menyerupai hubungan antara pohon Cemara dengan pohon Ek, Anggrek dan Rumput. Bila cemara meranggas, pohon Ek pun turut kering pula; jika Anggrek layu, rumput pun menjadi layu juga. Kemajuan dan kemakmuran Hukum Raja merupakan kegembiraan Gunung Hiei, runtuhnya keluarga kaisar menjadi kesusahan hati Gunung Hiei. Demikian kuat hubungan antara keduanya. Akan tetapi, setelah zaman beralih ke Timur, Kanto, Hukum Raja menjadi merosot dan hal ini menjadi buah pikiran keluarga kaisar. Pada tanggal l9 bulan 4 tahun Syokyu ke-3 timbul kerusuhan antara Kyoto dengan daerah Timur, Kanto. Berdasarkan perintah Kaisar Oki, 41 orang yang melaksanakan Hukum Rahasia pertama-tama berdoa berdasarkan Hukum Rahasia 15 tingkat dengan tujuan untuk menundukkan Kanto. Dilaksanakanlah Hukum Cakra Emas Satu Aksara, Hukum Catur-maharaja-kayika, Hukum Arya Acalanatha, Hukum Agung dan Wibawa Kebajikan, Hukum Raja Cakravarti, Hukum Wibawa Kebajikan Agung 10 tingkat, Hukum Pemutaran Roda Cintamani, 30
Samantabadra | Nopember 2015
Hukum Vaisravana dan dengan membangun pusaka-pusaka pemujaan dalam satu hari dilaksanakanlah hukum-hukum doa untuk menaklukkan, yaitu Hukum Saddharma Ragaraja, Hukum Mata Buddha, Hukum Enam Aksara, Hukum Ragaraja, Hukum Acala, Hukum Wibawa Agung dan Kebajikan, Hukum Putra Vajra, hingga selesailah seluruh Hukum Rahasia 15 tingkat. Tanggal 15 bulan 5 Igataro Hankan Mitsukoki tertangkap di Kyoto. Pihak Kamakura mengetahui hal ini pada tanggal 19 bulan yang sama sehingga pada tanggal 21 terdengar berita bahwa sejumlah besar tentara akan menyerang Kyoto. Maka, Hukum pertapaan selebihnya yang belum dilaksanakan mulai dilaksanakan pada tanggal 8 bulan ke-6, yaitu Hukum Raja Bintang Agung, Hukum Tagen, Hukum Kelima tingkat, Hukum Sutra Syugo dan lainnya. Tanggal 21 bulan 5 Musashi-mori Dono datang dari arah timur laut, Tokaido. Pasukan keluarga Kahi Minamoto datang dari jurusan gunung timur, Shikibu-dono akan menyerbu dari arah utara. Tanggal 5 bulan 6 tentara Kyoto yang menjaga kota Ootsu sudah dikalahkan oleh keluarga Kahi Minamoto. Pada tanggal 13 dan 14 bulan 6 pihak Kyoto juga mengalami kekalahan pada pertempuran di Ujibasyi. Demikian pula, pada tanggal l5 bulan yang sama Musasyimori Dono beserta lain-lainnya menyerang dan menduduki daerah Rokujo. Tanggal 11 Bulan 7, mantan kaisar utama dibuang ke negeri Oki, yang ke dua dibuang ke negeri Awa, dan yang ke tiga dibuang ke negeri Sado. Selanjutnya, tujuh orang pejabat tinggi dibunuh. Dengan demikian, hukum keburukan besar tertumpuk dari tahun ke tahun dan lambat laun menyebar di daerah Timur, Kanto. Bhikku penanggung jawab berbagai kuil disumbang untuk melaksanakan hukum ini terus menerus. Pada dasarnya mereka tidak mengetahui sesat benarnya, unggul dan rendahnya ajaran hukum, hanya merasa telah menghormati Triratna, sehingga mereka terus menggunakan hukum buruk ini. Hal ini tidak terjadi di negeri Timur saja, bahkan para penanggung jawab Kuil To dan Kuil Onjo di Gunung Hiei sudah dikuasai oleh orang-orang dari Timur, sehingga semua turut menganut hukum tersebut. Pertanyaan : Mengapa ajaran Syingon dikatakan sebagai hukum sesat? Jawab : Mahaguru Kobo mengatakan bahwa yang pertama adalah Sutra Mahavairocana, kedua Sutra Avatamsaka, dan ketiga adalah Saddharmapundarika-sutra. Urutan semacam ini harus dipikirkan kembali secara lebih mendalam. Di sutra manakah Sang Buddha mengajarkan dan menentukan unggul rendahnya ketiga sutra tersebut? Seandainya ada sutra yang membabarkan bahwa yang pertama adalah Sutra Mahavairocana, kedua Sutra Avatamsaka, dan ketiga Saddharmapundarika-sutra, maka perkataan ini memang benar. Tetapi, jika tidak mengandung makna seperti itu, perkataan ini tidak dapat dipercaya. Di dalam Saddharmapundarika-sutra Sang Buddha mengatakan, “Wahai Baisyajaraja, sekarang Saya sampaikan kepada Anda, di antara seluruh sutra yang Saya babarkan, yang terunggul adalah Sadddharmapundarika-sutra.� Dengan demikian Sang Buddha menandaskan bahwa di antara seluruh sutra yang dibabarkan-Nya, Saddharmapundarikasutralah yang terunggul. Jelas bahwa antara, pembabaran Hukum Sang Buddha dengan tulisan Mahaguru Kobo terdapat perbedaan yang bagaikan air dengan api. Untuk menentukan yang mana yang benar, haruslah diselidiki dan diketahui hakikatnya. Nopember 2015 | Samantabadra
31
materi ajaran | gosyo kensyu Selama ratusan tahun catatan Mahaguru Kobo ini dipelajari baik oleh bhikku-bhikku biasa maupun bhikku yang berkedudukan tinggi, baik orang yang unggul maupun rendah, atas maupun bawah, semua percaya bahwa di antara seluruh sutra, Sutra Mahavairocanalah yang terunggul dan semua mementingkannya. Sebenamya hal ini tak sesuai dengan arti pokok Sang Buddha. Orang yang berperasaan akan merenungkan hal ini dengan sungguh-sungguh. Kalau catatan hal ini bukan arti Pokok Sang Buddha, bagaimana memercayainya, tidak mungkin dapat mencapai kesadaran Buddha. Bila berdoa demi negeri berdasarkan Hukum tersebut pasti timbul hal-hal yang membahayakan. Dan juga, Mahaguru Kobo mengatakan, “Seluruh guru-guru di Tiongkok berebut mencuri rasa sarpimanda�, Kalimat ini berarti, Mahaguru Tien-tai dan lainnya mencuri rasa sarpimanda ajaran Syingon dan menamakan sarpimanda itu sebagai ajaran Saddharmapundarika-sutra. Hal ini merupakan hal utama yang terpenting. Mengenai penamaan Sarpimanda kepada Saddharmapundarika-sutra, Mahaguru Tientai memikirkan kalimat Sutra Nirvana, kemudian menetapkan nama Sarpimanda kepada Saddharmapundarika-sutra. Ajaran Syingon masuk ke Tiongkok dari India setelah 200 tahun berlalu semenjak kelahiran Mahaguru Tien-tai. Dengan demikian, bagaimana mungkin Sarpimanda yang dinamakan pada Saddharmapundarika-sutra dicuri dari Syingon yang tersebar 200 tahun belakangan? Alangkah anehnya! Di manakah buktinya orang-orang pada 200 tahun sebelum ajaran Syingon tersebar dapat menjadi pencuri? Manakah yang harus dipercaya, catatan Mahaguru Kobo atau pembabaran Sarpimanda Saddharmapundarika-sutra oleh Sang Buddha sendiri di dalam Nirvana-sutra? Kalau Mahaguru Tien-tai menjadi pencuri, bagaimana memahami kalimat Nirvanasutra? Seandainya kalimat Nirvana-sutra benar, tentu catatan Kobo bermakna sesat. Bagaimanakah dengan orang yang mempercayai Hukum Makna Sesat tersebut? Hanya dengan merenungkan keduanya, catatan Mahaguru Kobo dan pembabaran Hukum Buddha, baru dapat mempercayai makna sakti. Hanya demikian yang dapat Saya terangkan. Dengan ragu-ragu berkata, Sutra Mahavairocana adalah hukum ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Mahavairocana. Dengan demikian, bila berdasarkan Hukum Pembabaran Buddha Sakyamuni memecahkan dan mematahkan Ajaran Buddha Mahavairocana, tentu tidak sesuai dengan teori kewajaran. Jawab: Siapakah yang menjadi ayah-bunda Buddha Mahavairocana? Di negeri manakah Beliau muncul ketika membabarkan Sutra Mahavairocana? Seandainya hadir di dunia tanpa ayah bunda, kalimat sutra manakah yang menerangkan bahwa setelah kemoksyaan Sang Buddha, pada pertengahan waktu 5 milyar 760 juta tahun sebelum munculnya Buddha Maitreya, ada Buddha yang hadir di dunia ini membabarkan Hukum Buddha. Jika tidak ada bukti, siapakah yang dapat memercayainya? Sungguh hal yang menyimpang, yang hanya dipikirkan selintas dan dadakan, sehingga dapat dikatakan sebagai ajaran sesat. Masih banyak lagi kesalahan yang bila diungkapkan tak akan ada habisnya, yang sekarang Saya kemukakan hanya satu-dua saja. Bukan hanya ajaran Syingon yang merupakan ajaran sesat, yang digunakan Oleh Sekte Zen, Sekte Nembuce dan lainnya. Tetapi semua ajaran tersebut masih dalam ajaran sementara yang belum mewujudkan yang sebenarnya, 32
Samantabadra | Nopember 2015
sehingga karma pelaksananya adalah terjatuh ke dalam neraka yang tak terputus-putus penderitaannya. Para pelaksana tersebut merupakan orang-orang yang menghina Hukum Sakti, sehingga bagaimana mungkin doa keinginannya dapat tercapai? Seseorang yang sekarang menjadi raja negeri disebabkan pada masa lampau memertahankan Hukum dan mengikuti Sang Buddha. Berdasarkan karunia kebajikan ini, dengan pengaturan Dewa Mahabrahma, Sakradevanam Indra, Dewa Surga, Dewa Candra, Raja Surga dan lainnya, ia menjadi Maharaja atau raja, mendapat daerah besar atau kecil. Mengenai hal ini dikatakan di dalam sutra, “Sekarang, dengan kelima mata Saya dapat melihat ketiga masa secara jelas. Seluruh raja negeri pada masa lampau menyumbang dan mengikuti 500 Buddha. Dari sini mereka mendapat karunia kebajikan sebagai penguasa negara atau raja.� Tetapi, karena sekarang mengikuti guru sesat Sekte Syingon, Zen, Nembuce, serta lainnya dan menentang Saddharmapundarika-sutra, meskipun menumpuk karma baik sebanyak apapun, sama sekali tidak sesuai dengan keinginan Sang Buddha serta menentang para dewa. Hendaknya hal ini dipikirkan secara sungguh-sungguh. Terlahir sebagai manusia merupakan kesempatan yang amat langkah. Sekarang setelah beruntung terlahir sebagai manusia, seseorang yang tidak ingin mengetahui benarsesatnya hukum dan tidak ingin menjalankan demi tercapainya kesadaran di masa akan datang, berulang kali dirasakan sebagai orang yang tidak mengikuti keinginan pokok. Mahaguru Jikaku pergi ke Tiongkok dan setelah kembali menentang guru pokok Mahaguru Dengyo dengan berdoa dan berkeinginan untuk menyebarkan Syingon di Gunung Hiei. Ia bermimpi memanah bulatan matahari dan melihatnya terputar balik. Hal ini dirasakan sebagai impian yang membahagiakan selama 400 tahun. Tetapi, di negeri Jepang impian ini paling tidak disukai. Raja Chu dari negeri Yin memusnahkan badan sendiri karena memanah matahari. Oleh karena itu, sekalipun impian dikatakan sebagai kebenaran sementara, haruslah dipikirkan dan direnungkan dengan sungguh-sungguh. Hal yang dicatat karena ditanyakan hanyalah sehelai bulu di antara sembilan ekor sapi. eee
Nopember 2015 | Samantabadra
33
materi ajaran | gosyo kensyu | KUTIPAN GOSYO
7
Benarkah Anda mempelajari ajaran Gunung Hiei, dikatakan dosa sang ayah dapat mempengaruhi anak, dosa guru dapat mempengaruhi murid.
bhikku dalam jumlah besar dan sering meminta bantuan keluarga kaisar bila terjadi masalah. Sering kali pihak yang satu menyerang kuil pihak lainnya sehingga lambat laun terbentuk pasukan tentara bhikku. Keterangan: Sebenarnya Gunung Hiei merupakan Ketika Niciren Daisyonin masih belajar pusat ajaran Buddha di Jepang, asal di Enryaku di Gunung Hiei, bhikku-bhikku mula tersebamya agama Buddha, tetapi Kuil Enryaku membakar Kuil Onjo, bahkan kenyataannya bertentangan dengan sikap membakar juga berjilid-jilid sutra, patung agama Buddha yang sebenarnya, sedikitpun Buddha dan tempat stupa dari Kuil Enryaku tak mencerminkan adanya kepercayaan di sendiri. Dengan mengungkapkan fakta ini sana. Di mata orang-orang pada waktu itu, timbul keragu-raguan besar dalam pikiran seakan-akan jelas terlihat datangnya wajah Niciren Daisyonin sendiri bahwa bhikku Masa Akhir Dharma, saat musnahnya kekuatan yang demikian buruk tidak dapat mencapai Hukum Buddha Sakyamuni. Di situ Niciren keinginan hati Triratna, tidak diterima bumi Daisyonin menerangkan jawaban-Nya dengan dan surga, sehingga doa pun pasti tidak menjelaskan hubungan antara Gunung Hiei, tercapai. Dengan demikian, bukankah karena Kuil Enryaku dan kekaisaran, yakni jaya pelaksanaan bhikku-bhikku buruk di Gunung atau runtutmya Buddha dengan Hukum Raja Hiei yang membakar tempat stupa Kuil mempunyai hubungan yang mendalam. Enryaku dan Onjo membuat keinginan dan Berpindahnya pusat kekuasaan politik dari doanya tak tercapai. istana kaisar di Kyoto ke daerah timur, Kanto, Pada tahun Bun-ei ke-1 (1264) tanggal disebabkan keruntuhan Hukum Buddha di 23 bulan 3, bhikku-bhikku Kuil Enryaku Gunung Hiei. Kuil Enryaku di Gunung Hiei membakar kuil mereka sendiri. Selanjutnya didirikan oleh Mahaguru Dengyo (Saico). pada tanggal 2-bulan 5 tahun yang sama Pada tahun Enryaku ke-4 (tahun 785) dalam menyerang Kuil Onjo dan membakar altarnya usia 19 tahun Beliau memasuki gunung untuk serta mengambil genta. Sejak saat itu, bhikkubertapa. Pada tahun Enryaku ke-7, Beliau bhikku Kuil Enryaku sering kali menyerang membangun gedung Icijo Syikan. Pada tahun Kuil Onjo dan telah tujuh kali membakarnya. Enryaku ke-13 (tahun 794) Kaisar Kammu Bhikku Tertinggi ke-5 Kuil Enryaku di Gunung memindahkan ibukota ke Hei-an (Kyoto). Hiei, Mahaguru Cisyo Enshin, membangun Gunung Hiei terletak di jurusan timur laut kembali Kuil-Onjo dan menjadikannya cabang dari kota tersebut. Jurusan tersebut dianggap dari Kuil Enryaku. Di kemudian hari, karena sebagai “pintu iblis�, sehingga adanya kuil di bertentangan dengan murid-murid Jikaku, jurusan tersebut sebagai tempat pertapaan murid-murid Cisyo meninggalkan Gunung Hiei, yang melindungi negara akan menjadikan pindah ke Kuil Onjo serta mendirikan aliran negeri aman dan tenang, sehingga dianut_ Jimon dan Sekte Tien-tai. kaisar secara turun temurun. Selanjutnya pihak Kuil Onjo ingin Pada tahun Enryaku ke-25 Mahaguru mendirikan altamya sendiri dengan meminta Dengyo kembali Tiongkok dan mendirikan izin langsung kepada kekaisaran. Pihak sekte Saddharmapundargika-sutra Tien-tai. Gunung Hiei menghalangi terwujudnya hal itu Selanjutnya didapatkan izin langsung dari sehingga terjadi berbagai benturan keras dan kaisar untuk mendirikan altar Mahayana. akhimya berulang kali terjadi pertempuran Semenjak itu Gunung Hiei menjadi pusat dengan mempergunakan senjata. Baik Kuil agama Buddha di Jepang. Akan tetap’i, setelah Enryaku maupun Kuil Onjo melatih tentara Mahaguru Dengyo meninggal, Mahagutu 34
Samantabadra | Nopember 2015
Kobo dari Kuil Timur, Toji berhasil mendekati sehingga Sekte Syingon berkembang dengan pesat. Kobo membuat Jujusyin Ron (Ulasan mengenai Sepuluh Tingkat Pikiran) yang isinya antara lain menempatkan Saddharmapundarika-sutra pada urutan ke-3, sedangkan ketiga bagian Sutra Sekte Syingon dijadikan Hukum Rahasia yang melindungi dan mengamankan negara. Jikaku, Bhikku Tertinggi ke-3 Kuil Enryaku, terpengaruh keadaan ini dan ingin menghantam Kuil To dengan memperkuat Gunung Hiei. Ia mempelajari dua ajaran: nyata dan rahasia di Tiongkok dan kemudian kembali. Dari Susiddhikara-sutra dan Vajrasekhara-sutra ia membuat kitab 14 jilid yang isinya menegakkan makna sesat bahwa Saddharmapundarika-sutra dan ketiga Sutra Syingon mempunyai teori yang sama, yaitu Icinen Sanzen, tetapi muara ajaran Syingon lebih terbukti kebenarannya (teorinya sama tetapi bukti nyatanya lebih unggul). Dengan demikian, akhirnya Sekte Tien-tai berubah menjadi Tien-tai-Syingon (Taimice). Dalam Surat Perihal Tri Maha Dharma Sakti, Niciren Daisyonin mengatakan, “Dimulai dari Bhikku Tertinggi ke-3 dan ke-4 Gunung Hiei, Jikaku dan Cisyo, guru pokok Mahaguru Dengyo dan Gisyin ditentang secara luar biasa dengan buku yang berisi perkataan gila, merendahkan hukum pantangan gunung sendiri dan menertawakan ketidakbenarannya. Pantangan Kuil Enryaku adalah sila gaib jalan tengah, suci dan bersih tak ternoda. Akan tetapi, para murid tersebut mengatakannya sebagai jalan yang berlumpur. Hal ini sungguh keterlaluan! Meskipun bersedih hati, tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan demikian berarti, aliran bersih Saddharma Mahaguru Tien-tai yang terunggul oleh lumpur Syingon sehingga menjadi aliran keruh�. Sejalan dengan keruhnya Hukum Buddha Gunung Hiei, Hukum Raja pun turut terpengaruh, Sehingga lambat laun rejeki kaisar terkikis habis. Setelah pertempuran antara pihak Genzi dan Minamoto Yoritomo mendirikan pemerintah Kamakura yaitu, pemerintahan Samurai di daerah Timur, Kanto. Selanjutnya terjadi peristiwa Syokyu yang
mengakibatkan kekalahan di pihak kaisar, sehingga kekuasaan beralih ke Kamakura.
8
Pada tanggal 19 bulan 4 tahun Syokyo ke-3 timbul kerusuhan antara Kyoto dengan daerah Timur; Kanto. Berdasarkan perintah Kaisar Oki, 41 orang yang melaksanakan Hukum Rahasia pertama-tama menjalankan Hukum Rahasia 15 tingkat dengan tujuan menundukkan Kanto. Keterangan: Pada bagian ini akan diterangkan proses dari peristiwa Syokyu, saat pihak kaisar memerintahkan diadakan upacara doa untuk mengusir pihak Kamakura dengan Hukum Rahasia 15 tingkat ajaran Syingon, tetapi pada akhirnya malahan kekalahan berada di pihak kaisar. Pada tahun Sokyu ke-1 (1219) tanggal 29 bulan 1, Sanetomo Minamoto, Syogun ke-3 pemerintah Kamakura, dibunuh oleh Kogyo, putra Yori-ie, Syogun sebelumnya secara gelap, sehingga pihak Genzi tidak mempunyai keturunan lebih lanjut, merupakan kesempatan yang baik bagi pihak kaisar. Tanggal 15 bulan 5 tahun Sokyo ke-3 (1221) Kaisar Gotoba bertekad untuk mengangkat senjata guna menghancurkan pemerintah Kamakura. Pertama-tama Miceki Iga, aparat pemerintah Kamakura yang bertugas menjaga Kyoto dibunuh. Selanjutnya dikeluarkan perintah rahasia kepada para kepala daerah berbagai propinsi untuk membunuh perdana menteri Yosyitoki Hojo. Juga Kaisar Gotoba memerintahkan 41 orang bhikku berkedudukan tinggi dari Sekte Tien-tai dan Syingon, yaitu dari Kuil Enryaku, Kuil Syoko, Kuil Jinwa, Kuil Onjo, Kuil To, Kuil Kansyu, dan lainnya untuk mendoakan kekalahan pemerintah Hojo di Kamakura, dengan melaksanakan Hukum Rahasia 15 tingkat menurut Sekte Syingon. Pemerintah ini langsung dijalankan sendiri oleh Ji-en, Bhikku Tertinggi Kuil Enryaku, Kakuco dari Kuil Onjo, Kangen dari Kuil To. Pada tanggal 19 bulan 5 pemerintah Kamakura mengetahui hal ini dan mengambil keputusan untuk mengadakan perlawanan. Nopember 2015 | Samantabadra
35
materi ajaran | gosyo kensyu Pada tanggal 21 bulan 5 anak sulung perdana menteri Hojo Yosyitoki, berangkat dari Kamakura menuju Kyoto, para samurai dari daerah timur menyokongnya dan bergabung sehingga pada akhirnya terbentuk pasukan sejumlah l9.0000 orang; demikian diterangkan di dalam Acemakyo. Hojo Yasutoki menyerbu dari arah pantai timur, Nobumice Takeda menyerang dari jurusan gunung di arah timur, Asatoki Hojo dan lainnya menyerang dari daratan di arah utara. Tanggal 13 dan 14 terjadi pertempuran di daerah Uji dan Seito yang merupakan garis pertahanan dari Kyoto. Pada akhirnya pihak kaisar hancur dan kalah secara total. Keadaan telah dijelaskan secara rinci di dalam Surat Balasan kepada Tomijo Nyudo, “Yasyutoki dan lainnya telah memasuki gedung Enam Paramita di Kyoto pada tanggal 16. Mereka mulai menangkap dan menuntut tentara pendukung pihak kaisar. Pada akhirnya 6 orang dihukum mati, yaitu Bommon Dainogon Tadanobu dan lainnya. Para Bangsawan lainnya turut membunuh tentara kaisar membantu pemerintah Kamakura. Selanjutnya, Pihak Kamakura membuang mantan Kaisar Gotoba ke Pulau Oki, mantan Kaisar Juntoku ke Pulau Sado, dan mantan Kaisar Cecimikado ke negeri Tosa, yang akhirnya ke negeri Awa. Pada waktu itu Kaisar Cukyo, diminta untuk mengundurkan diri dan kedudukannya digantikan dengan Kaisar Gohorikawa, anak kakak Kaisar Gotoba. Seharusnya pihak Kamakura mengabdi kepada kaisar, raja negara, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya. Pihak kaisar, penguasa negara,menderita kekalalahan dan ketiga mantan kaisar tersebut dibuang, kekuasaan politiknya dicabut dan sepenuhnya beralih ke tangan pemerintah Kamakura. Hal ini merupakan suatu fakta. Dalam berbagai surat Niciren Daisyonin menjelaskan bahwa salah satu terjadinya hal ini adalah karena mantan Kaisar Gotoba dan lainnya menyebarkan makna sesat Zen, Nembuce, dan lainnya, ditambah pula keinginan yang didoakan tergantung kepada Hukum Syingon yang sangat buruk sehingga rejeki sebagai raja negara menjadi habis. Selanjutnya, di dalam Surat Petisi Yorimoto, Nicinen Daisyonin mengatakan, “Pada masa 36
Samantabadra | Nopember 2015
pemerintahan Kaisar Oki, keturunan ke82 timbul Sekte Zen dan Sekte Nembuce, ditambah pula dengan hukumburuk Syingon yang disebarluaskan di tanah air. Oleh karena itu, prasetya Tensyo Daisyin, Syo Haciman akan adanya takhta 100 generasi menjadi rusak. Hukum Raja sekaligus habis. Atas pengaturan Tensyo Daijin dan Syo Haciman, Yosyitoki Gono Daiyu dari timur menduduki tingkat penguasa negeri itu.” (Gosyo, hal. 1161). Dan mengenai keinginan yang didoakan berdasarkan Syingon di dalam Surat Perihal Raja Negeri Dewa dikatakan, “Pada waktu peristiwa Syokyu, Jien, Bhikku Sekte Tien-tai yang berkedudukan tinggi dan Omuro dari Kuil Jinwa, Micui serta lainnya bersama-sama dengan para bhikku berkedudukan tinggi lainnya bersatu hati melaksanakan tanpa kurang satu pun hokum rahasia, hukum utama yang disebarkan ke seluruh negeri Jepang, yaitu pada tanggal 19 bulan 4 tahun Syokyu ke-3 melaksanakan, Hukum 15 tingkat ..... Ke-41 orang bhikku berkedudukan tinggi itu melaksanakan hukum utama 15 tingkat, dan di Jepang ini adalah yang kedua kali …. Meskipun dikatakan kekuatan Hukum Buddha maupun kekuatan dan wibawa Hukum Raja, Beliau adalah raja Negara yang akan dijaga dan dilindungi para raja Triloka, yaitu rakyat negeri Jepang. Generasi berikutnya mengikuti hal ini dan terbentuklah keluarga. Bagaimana mungkin tidak dapat diperpanjang selama satu bulan, satu tahun, dalam satu, dua hari musnah?” (Gosyo, hal. 1520). Dan di dalam Surat Misawa dikatakan, “Pada masa raja hukum Oki diambilnya kekuasaan pemerintahan oleh pihak timur semata-mata karena bhikku-bhikku yang berkedudukan tinggi dan ketiga mahaguru mendoakan keinginan sehingga terjadi genjaku o honin (kembali kepada si pengutuk)”. (Gosyo, hal. 1490), Dengan demikian, karena pihak kaisar mendoakan keinginannya berdasarkan hokum buruk Syingon, maka kekalahan lebih cepat terjadi sehingga bahkan akhirnya kekuasaan politik diambil alih oleh pihak Kamakura.
9
Pertanyaan: Mengapa Hukum Syingon dikatakan sebagai Hukum sesat?
GM
Keterangan: Mengenai mengapa Sekte Syingon dikatakan sebagai Hukum Sesat, Niciren Daisyonin memberi jawaban bahwa pendiri Sekte Syingon di Jepang, Kukai (Mahaguru Kobo) membagi unggul rendahnya ajaran suci seumur hidup Sang Buddha dan menetapkan yang terunggul adalah Sutra Mahavairocana, yang kedua Sutra Avatamsaka dan yang ketiga adalah Saddharmapundarika-sutra. Tulisan Kobo di dalam Jujusyin Ron menetapkan sepuluh macam perasaan hati (Jujusyin). Urutan yang kedelapan adalah hati yang menetap dalam satu Jalan yang asali, yaitu Sekte Tien-tai (Saddharmapundarika-sutra), kesembilan adalah hati yang menetap pada sifat yang sama sekali bukan sifat sendiri, yaitu Sekte Kegon (Sutra Avatamsaka); kesepuluh adalah hati yang menetap pada keagungan, berwibawa, dan rahasia, yakni Sekte Syingon (Sutra Mahavairocana). Demikianlah ditetapkan bahwa yang terunggul adalah Sutra Mahavairocana, kedua, Sutra Avatamsaka dan ketiga adalah Saddharmapundarika-sutra. Dengan demikian, Saddharmapundarika-sutra lebih rendah dari kedua sutra lainnya. Jadi, bila dipandang dari Sutra Mahavairocana, Saddharmapundarika-sutra direndahkan menjadi ajaran terendah yang ketiga. Akan tetapi, tingkatan unggul rendah yang ditentukan oleh Mahaguru Kobo tidak bersumber dari Sutra manapun, sama sekali hanya merupakan pandangannya sendiri. Terlebih1agi di dalam Bab-X Saddharmapundarika-sutra tertera, “Wahai Baisyajaraja, sekarang Saya sampaikan kepada Anda, diantara seluruh Sutra yang Saya babarkan, yang terunggul adalah Saddharmapundarika-sutra”. Dengan demikian jelas dibabarkan bahwa Saddhannapundarikasutra adalah sutra terunggul di antara seluruh sutra yang dibabarkan Buddha Sakyamuni. Yang manakah harus diikuti: pembabaran Sang Buddha atau pembabaran guru manusia biasa? Bila kedua pembabaran ini berbeda, tentu saja yang harus diikuti adalah perkataan Sang Buddha dengan menentukan pandangan sendiri bahwa Sutra Mahavairocana yang
terunggul dan Saddharmapundarika-sutra menempati urutan ketiga. Ini merupakan pandangan sesat yang dapat menjadi pemfitnah Dharma. Sekalipun demikian seluruh rakyat Jepang percaya kepada makna sesat Kobo dan menganggap bahwa Sutra Mahavairocana adalah sutra yang terunggul diantara seluruh sutra, sehingga mereka menghormati dan mengagungkan Tathagata Mahavairocana sebagai pusaka pujaan (honzon). Dengan demikian, mereka menentang keinginan Sang Buddha dan menjadi para pemfitnah Dharma, sehingga pasti tidak akan mencapai kesadaran Buddha dan bahkan membuat sebab karma untuk terjatuh ke dalam neraka. Diperingatkan bahwa bila mendoakan ketentraman negara berdasarkan makna sesat Sekte Syingon sebaliknya akan mendatangkan bahaya di negeri sendiri.
10
sarpimanda.”
Mahaguru Kobo mengatakan, “Seluruh guru di Tiongkok berebut mencuri rasa
GM
Keterangan: Kobo di dalam Sastra Membedakan Dua Ajaran: Nyata dan Rahasia mengatakan, “Berdasarkan lima rasa Buddha dapat dibagi menjadi lima gudang yang terunggul dari keseluruhannya dinamakan sarpimanda, sedang keempat rasa lainnya diperumpamakan 4 gudang. Para guru manusia di Tiongkok memperebutkan Sarpimanda, mencurinya, untuk dinamakan pada masing-masing sekte.” Mahaguru Tientai yang membuat perbandingan Delapan Ajaran memperumpamakan kelima kurun waktu sebagai lima rasa. Dan kurun waktu Saddharmapundarika-sutra dan Nirvana sebagai sarpimanda dijatuhkan sebagai hasil curian dari Syingon. Berdasarkan kalimat yang terdapat dalam Sutra Sad Paramita, “Yang disebut ke-84.000 Saddharma dibagi menjadi 5 yaitu, pertama Sutra, kedua Vinaya, ketiga Abidharma, keempat Prajnaparamita dan kelima Pintu Dharani. Berdasarkan kelima jenis gudang ini Nopember 2015 | Samantabadra
37
materi ajaran | gosyo kensyu mahluk berperasaan dibimbing dan dibina …. Kalau kelima gudang hukum diperumpamakan sama seperti kelima rasa: Ksira (susu), Dadhi (krim), Navanita (keju), Ghola (mentega) dan Sarpimanda. Di antara kelima rasa tersebut, Sarpimanda merupakan rasa yang utama. Istimewa, tergaib, terhalus serta dapat memusnahkan berbagai penyakit, memberikan ketenangan dan kegembiraan lahir batin kepada seluruh mahluk berperasaan.” Maka, Kobo menyatakan bahwa pintu dharani, yaitu ajaran Syingon Mikyo adalah Sarpimanda dan memfitnah Mahaguru Tien-tai bahwa penetapan Saddharmapundarika-sutra sebagai Sarpimanda merupakan hasil curian dari perbandingan ajaran Sutra Sad Paramita. Mahaguru Tien-tai menentukan hal itu berdasarkan kalimat yang ada di dalam Sutra Nirvana, “Putra-putra yang baik, seumpama seekor sapi menghasilkan susu, dari susu dihasilkan krim, dari krim dihasilkan keju, dari keju dihasilkan mentega dan dari mentega dihasilkan mentega murni, maka mentega murni itu merupakan rasa yang paling utama. Putra-putra yang baik, Sang Buddha pun seperti itu. Dari Buddha dikeluarkan Sutra 12 bagian, dari Sutra 12 bagian dikeluarkan Sutra-sutra, dari Sutra-sutra dikeluarkan Sutra Vaipulya, dari Sutra Vaipulya dikeluarkan Sutra Prajnaparamita, Sutra Prajnaparamita dikeluarkan Sutra Mahaparinirvana yang dapat dipersamakan dengan sarpimanda. Yang disebut sarpimanda ini dapat dipersamakan dengan sifat Buddha.” Dari pembabaran Bab IV Saddharmapundarika-’sutra, Bab Kepercayaan dan Pengertian, “dan lainnya dapat dibuktikan secara terang urutan kelima Waktu. Urutan kelima Waktu itu dapat diperumpamakan dengan kelima rasa dan dari sana dapat dibuat perbandingan Ajaran Lima Waktu Delapan Ajaran. Di samping itu, Sutra Sad Paramita baru masuk dari India ke Tiongkok pada zaman Tang, tahun Chen-yuan ke-4 (tahun 788), diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa oleh Bhikku Prajna. Di lain pihak, Mahaguru Tien-tai telah membabarkan Maka Syikan pada zaman Sui tahun Kaiwang ke- 14 (tahun 594) dan meninggal pada zaman yang sama, tahun 38
Samantabadra | Nopember 2015
Kaiwang ke-17 (tahun 597). Seperti dikatakan dalam kitab Syingon Kembun,“Guru manusia di Tiongkok dikatakan berebut mencuri sarpimanda. Mengapa terdapat perbedaan tahun dalam hal itu‘? Hal ini disebabkan karena dari tahun Kaiwang ke-17 sampai dengan tahun Chen-yuan ke4, masa pemerintahan Kaisar Tang Te chung dari Dinasti Tang telah berlalu 192 tahun. Mengapa Mahaguru Tien-tai dikatakan mencuri sarpimanda, padahal Sutra Sad Paramita masuk pada 192 tahun setelah kémoksyaan beliau? Jelas sekali terlihat kekeliruannya. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa orang yang dipastikan terjatuh ke dalam neraka karena menfitnah orang lain dan memfitnah hukum tak lain dan tak bukan adalah orang itu sendiri.” (Gosyo, hal. 148). Oleh karena itu, ketika Mahaguru Tien-tai hidup, di Tiongkok sama sekali tak ada Sutra Sad Paramita. Tentu tak mungkin Beliau mencuri kalimat sutra tersebut. Dengan demikian, tuduhan Kobov bahwa Mahaguru Tien-tai adalah seorang pencuri merupakan kritikan yang amat bertentangan dengan kewajaran, sungguh tak ada ketidakwajaran yang lebih dari itu. Di dalam Surat Membuka Mata hal ini dipatahkan secara tegas, “Sutra Sad Paramita menjelaskan pencapaian kesadaran dari mahluk berperasaan, tetapi tidak menjelaskan pencapaian kesadaran sesungguhnya dari yang tak bersifat (musyo), Bahkan tak menerangkan pencapaian kesadaran sesungguhnya semenjak masa lampau yang tak berawal dan tidak pula menandingi rasa kelima Nirvana-sutra. Apalagi tidak mungkin diperbandingkan dengan Ajaran Bayangan dan Ajaran Pokok dari Saddharmapundarika-sutra. Akan tetapi, Mahaguru Kobo mengacaukan kalimat sutra ini dan menggolongkan Saddharmapundarikasutra sebagai rasa yang keempat, yaitu Ghola. Bagaimana mungkin Pintu Dharani yang belum menandingi Nirvana-sutra dapat dijadikan Sarpimanda?”. (Gosyo, hal. 222). Dengan demikian, Sutra Sad Paramita, yang di dalamnya berisi Pintu Dharani yang dikatakan sebagai sarpimanda, tidak membabarkan pencapaian kesadaran Buddha yang sesungguhnya yang mencakup mahluk
berperasaan dan tidak berperasaan (ujo dan hijo). Dan tidak pula menerangkan mengenai masa lampau yang amat jauh (kuon ganja), maka tidak mungkin sederajat dengan Sutra Nirvana. Apalagi tidak dapat dibandingkan dengan Saddharmapundarika-sutra, sungguh ajaran yang masih rendah. Meskipun demikian, Kobo meletakkan Saddharmapundarikasutra lebih rendah daripada sarpimanda dan Ajaran Rahasia, yaitu direndahkan sampai rasa keempat, Ghola; hal ini merupakan kesalahan fatal yang amat besar. Di dalam Surat Perihal Memilih Waktu dikatakan, “Penamaan Saddharmapundarikasutra sebagai Sarpimanda bukan pendapat pribadi Mahaguru Tien-tai dan lainnya, melainkan Sang Buddha sendiri di dalam Nirvana-sutra membabarkan Saddharmapundarika-sutra sebagai Sarpimanda. Bodhisattva Vasubandhu menulis bahwa Saddharmapundarika-sutra dan Niwana-sutra adalah Sarpimanda. Bodhisattva Nagarjuna menamakan Saddharmapundarikasutra sebagai obat gaib. Seandainya orang yang mengatakan bahwa Saddharmapundarikasutra sebagai Sarpimanda adalah pencuri, maka Buddha Sakyamuni, Tathagata Prabhutaratna, para Buddha sepuluh penjuru, Nagarjuna, Vasubandhu dan lainnya, semuanya menjadi pencuri.� (Gosyo, hal. 278). Dengan demikian, bahwa Saddharmapundarika-sutra adalah Sarpimanda memang merupakan keinginan Sang Buddha yang sebenarnya, sehingga percaya makna sesat Kobo yang bertentangan dengan hal itu, yaitu Ajaran Rahasia adalah Sarpimanda menjadi sebab terjatuh ke dalam Neraka.
11
Dengan ragu-ragu berkata: Sutra Mahavairocana adalah hukum-ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Mahavairocana. Dengan demikian bila berdasarkan hukum pembabaran Buddha Sakyamuni memecahkan dan mematahkan ajaran Buddha Mahavairocana, tentu tak sesuai dengan teori kewajaran.
Keterangan: Bagian ini bermaksud memecahkan dan mematahkan makna sesat Kobo yang menjadikan sutra Mahavairocana sebagai sutra yang utama. Dari pihak Sekte Syingon keluar bantahan bahwa Sutra Mahavairocana adalah hukum ajaran yang dibabarkan oleh Tathagata Mahvavairocana, bukan ajaran Buddha Sakyamuni. Oleh karena itu, kalau memecahkan ajaran yang dibabarkan oleh Tathagata Mahavairocana dengan ajaran yang dibabarkan Buddha Sakyamuni, tidaklah sesuai dengan kewajaran. Menanggapi hal itu, Niciren Daisyonin memecahkan dan mematahkan bahwa bila demikian, harap diterangkan, siapa yang menjadi orang tua Buddha Mahavairocana, di negeri mana beliau lahir untuk menerangkan Sutra Mahavairocana. Tathagata Mahavairocana membabarkan Sutra-sutra Ajaran Rahasia, Sutra Vajra Sekhara, Hukum teori sesungguhnya segala gejala alam semesta diubah menjadi wujud Buddha, yakni Buddha Dharmakaya. Maka, di dalam Ajaran Rahasia, Buddha Dharmakaya menjadi akar pokok yang melahirkan semua Buddha dan Bodhisattva. Akan tetapi, bagaimanapun masih merupakan Buddha Dharmakaya, bukan Buddha yang memiliki orang tua dan terlahir di dunia secara nyata untuk membabarkan hokum, hanya Buddha yang terdapat ajaran yang dibabarkan Buddha Sakyamuni. Niciren Daisyonin mematahkan bahwa kalau Sutra Mahavairocana dibabarkan oleh Buddha Mahavairocana, maka pasti ada kalimat Sutra yang mengatakan bahwa diantara kurun waktu 5 milyar 670 juta tahun, yakni sejak Buddha Sakyamuni moksya hingga munculnya Bodhisattva Maitreya yang menggantikan kedudukan Buddha Sakyamuni, Buddha Mahavairocana akan muncul secara nyata untuk membabarkan hukum. Karena tidak terdapat buktinya, siapa yang percaya hal itu? Kemudian, karena Hukum Buddha merupakan suatu kewajaran, ajaran Syingon yang berisi makna sesat yang kenyataannya tidak sesuai dengan teori kewajaran Hukum Buddha, maka dapat ditentukan sebagai Nopember 2015 | Samantabadra
39
materi ajaran | gosyo kensyu ajaran yang sesat. Selanjutnya di dalam Surat Syingon Kembun dengan tegas makna sesat tersebut dipecahkan dengan dikatakan, “Dikatakan, Syingon yang dibabarkan oleh Tathagata Mahavairocana berada di luar Saddharmapundarika-sutra. Kalau begitu, apakah kelahiran di dunia, jalan pencapaian kesadaran, manfaat dan pembabaran hukum dari Buddha Mahavairocana sebelum atau setelah Buddha Sakyamuni? Buddha yang membabarkan hokum sesuai dengan bakat manusia harus melewati delapan wajah tahap keberadaan Buddha. Maka, siapa yang menjadi orang tuanya dan nama negerinya harus jelas. Kalau dikatakan tiada dua Buddha yang hadir bersamaan di dunia saha ini seperti tidak ada raja di dalam satu negeri, merupakan hal yang biasa di dalam ajaran suci …. Kalau dikatakan sebagai Buddha yang berasal dari tempat lain mengapa menggantikan kedudukan Buddha Sakyamuni sebagai majikan, guru dan orang tua kita? Bila menghormati Buddha yang tidak memiliki jodoh dekat dengan kita dan berasal dari tempat lain, sama artinya dengan tidak berbudi bakti.” (Gosyo, hal. 149). Semua yang dikatakan di atas hanya merupakan contoh sebagian untuk menunjukkan dan menentukan makna sesat dan kesalahan Syingon, tetapi selain dari itu, masih banyak lagi kesalahan lainnya. Sesungguhnyalah dari kesalahan Hukum ajaran Syingon ini keluar berbagai macam kesalahan. Disamping itu, keluarga kaisar dan kalangan pernerintah pada waktu itu percaya kepada makna sesat Syingon, sehingga dalam menghadapi kejadian apapun mereka meminta penolongan dengan doa secara Syingon. Selain itu mereka juga menggunakan hukum buruk pemfitnahan Dharma dari Sekte Zen dan Sekte Nembuce. Semua hukum di atas sebenarnya sudah dikatakan oleh Buddha Sakyamuni sebagai “belum mewujudkan yang sebenarnya”, sehingga merupakan ajaran upaya sementara, oleh karena itu merupakan hukum yang tidak dapat mencapai kesadaran. Apalagi sektesekte tersebut menegakkan makna sesat yang memfitnah Saddharmapundarika-sutra, tentu menjadi sebab karma untuk terjatuh ke dalam Neraka Avici karena melakukan pemfitnahan dharma yang besar. Orang yang melaksanakan 40
Samantabadra | Nopember 2015
hukum tersebut juga menjadi pemfitnah Dharma, sehingga doanya pasti tak akan terkabul.
12
Seseorang yang pada masa sekarang dapat menjadi raja negeri disebabkan pada masa lampau mempertahankan Hukum Sakti dan mengikuti Sang Buddha.
Anak Cabang
Keterangan: Dalam bagian ini akan dipecahkan dan dipatahkan masalah penguasa pada waktu itu yang biasa berdoa berdasarkan ajaran Sekte Syingon, Zen, Nembuce, dan lainnya. Seseorang dapat menjadi raja negara karena memiliki akar kebaikan dari masa lampau karena mempertahankan Hukum Sakti dan mengikuti Buddha. Karena itu, dengan pengaturan Dewa Mahabrahma, Sakradevanam Indra, dan lainnya dapat menguasai satu daerah. Dikutip kalimat Sutra Manusendra bagian paruhakhir, Bab Menerima dan Mempertahankan, “Seluruh raja negara yang pada masa lampau menyumbang dan mengikuti 500 Buddha dapat menjadi penguasa negara atau raja. Selanjutnya dikatakan, “Oleh karena itu seluruh orang arif dan arhat muncul di negeri itu sehingga memberi manfaat yang besar. Akan tetapi, kalau rejeki raja negara habis, seluruh orang arif akan membuang dan meninggalkan negeri. Bila seluruh orang arif meninggalkan tempat, pasti timbul tujuh musibah”. Namun, pada saat itu penguasa Jepang menentang Hukum Sakti Saddharmapundarika-sutra dan mengikuti guru jahat Syingon, Zen, Nembuce, dan lainnya serta percaya makna sesat mereka sehingga meskipun mereka melaksanakan Hukum Buddha dan akar kebaikan, karena tidak sesuai dengan keinginan Buddha, menjadi menentang keinginan para dewa. Bahkan sebaliknya berakibat akan mengundang malapetaka. Niciren Daisyonin selanjutnya berkata, “Terlahir sebagai manusia merupakan kesempatan yang amat langka. Sekarang setelah beruntung terlahir sebagai manusia, seseorang yang tidak mengetahui benarsesatnya hukum dan tidak ingin menjalankan
demi tercapainya kesadaran di masa akan datang, berulang kali dirasakan sebagai orang yang tidak mengikuti keinginan pokok.” Perkataan ini memperingatkan bahwa terlahir sebagai seorang manusia merupakan hal yang langka; oleh karena itu sungguh beruntung pada saat ini dapat dilahirkan sebagai manusia. Meskipun demikian, bila tidak sungguh-sungguh menuntut sesat atau benarnya hukum demi tujuan tercapainya jalan Kesadaran dengan percaya, menerima dan mempertahankan Hukum Sakti, apalah gunanya dilahirkan sebagai manusia. Yang dimaksud dengan raja negara oleh Niciren di sini tidak terbatas dalam pengertian kaisar, tetapi juga orang-orang yang memegang kekuasaan satu negara. Di dalam Surat Berita Syimoyama tcrtera, “Selama orang-orang Propinsi So tidak menjadi pemfitnah Dharma, dan juga terus menekuni kedua jalan, jalan sastra dan jalan ksatria, pasti mereka direstui para dewa sebagai raja negara”. (Gosyo, hal. 354). Kemudian, di dalam Surat Petisi Yorimoto dikatakan, “Daiyu Yositoki, penguasa Kanto, ditentukan oleh Tensyo Daijin dan Syo Haciman sebagai pemerintah Negara.” (Gosyo, hal. 1161). Dari kedua Kutipan ini, jelas yang dimaksud dengan orang-orang propinsi So di dalam Surat Berita Syimoyama adalah keluarga Hojo Yosyitoki.
13
Mahaguru Jikaku pergi ke Tiongkok dan setelah kembali menentang guru pokok Mahaguru Dengyo dengan berdoa dan berkeinginan untuk menyebarkan Syingon di Gunung Hiei.
Anak Cabang
Keterangan: Bhikku ke-3 tertinggi Kuil Enryaku di Gunung Hiei, Ennin (Jikaku) adalah penyebab utama yang menodai dan mengeruhkan Gunung Hiei dengan makna sesat Syingon. Jikaku pada usia 15 tahun masuk Gunung Hiei dan mengikuti gurunya, Mahaguru Dengyo. Pada tahun Showa ke-5 (838) ia pergi ke Tiongkok dan pada tahun Showa ke-14 (847) kembali ke Jepang. Pada tahun jinzu ke-4 (854) menjadi Bhlkku Tertinggi
Sekte Tien-tai. Akan tctapi, murid Mahaguru Dengyo cenderung menyeleweng mengikuti makna-sesat Syingon. Dengan berpegang pada Penjelasan Sutra Mahavairocana dari Subhakarasimha, mengarang tujuh Jilid Penjelasan Sutra Vajra Sekhara. Didalam buku tersebut dikatakan bahwa Sutra tiga bagian Saddharmapundarika-sutra dan sutra ketiga bagian Syingon mempunyai dasar pokok teori yang sama, yaitu Icinen Sanzen, tetapi Saddharmapundarika-sutra tidak membabarkan hukum pelaksanaan dari mudra dan mantra. Maka, Saddharmapundarika-sutra memiliki rahasia teoritis (ri himice) sedangkan sutra tiga bagian Syingon memiliki rahasia yang mencakupi teori dan kenyataan (jiriki mice), sehingga sutra tiga bagian Syingon lebih unggul daripada Saddharmapundarika-sutra. Disamping itu, dalam Riwayat Mahaguru Jikaku tertulis, “Mahaguru telah berhasil membuat uraian kedua sutra dan dalam hati merenungkan jasa telah menunaikan tugas. Apakah uraian ini sesuai dengan kehendak Buddha atau tidak; kalau tidak, tentu tidak dapat tersebar dalam masyarakat. Oleh karena itu telah meletakkannya di hadapan patung Buddha dan selama 7 hari 7 malam melaksanakan pertapaan merenung sesungguh hati, serta berdoa. Setelah 5 hari berlalu, pada waktu lima ko beliau bermimpi melihat bulatan matahari pukul 12.00 tepat. Beliau mengambil busur untuk memanahnya dan bidikannya tepat terkena sasaran sehingga bulatan matahari itu berputar. Setalah sadar dari mimpi, dia berpikir telah benar-benar, mencapai kesadaran yang menerbos jalan keinginan Buddha yang sangat mendalam, sehingga ingin mewariskan hal ini untuk generasi akan datang.” Bermimpi melihat dan memanah matahari diyakini bermakna bahwa dirinya sendiri telah menyamai kehendak Buddha. la menyampaikan hal ini kepada Kaisar Jimmu dan menerima amanat kaisar bahwa Bhikku Tertinggi Sekte Tien-tai menjadi majikan Syingon. Kemudian ia mengubah ketentuan Mahaguru Dengyo yang menentukan bahwa sutra tiga bagian untuk menentramkan dan melindungi Negara Nopember 2015 | Samantabadra
41
materi ajaran | gosyo kensyu adalah Saddharmapundarika-sutra, Sutra Svarnaprabhasa, dan Sutra Manusendra, menjadi sutra tiga bagian Syingon. Gunung Hiei mengubah ajaran menjadi ajaran rahasia Syingon. Sejak itu, ajaran Syingon yang disebarkan oleh Mahaguru Kobo dikatakan sebagai Tomice, sedangkan ajaran rahasia Syingon di Gunung Hiei dikatakan sebagai Taimice. Keduanya dinamakan sebagai ajaran rahasia Tien-tai. Akan tetapi, mimpi Jikaku yang melihat dan memanah matahari hingga terjatuh berputar bukan mimpi yang mengandung arti baik, melainkan membahayakan, pertanda akan musnahnya negeri dan diri sendiri melalui Hukum Syingon ini. Di dalam Surat Membalas Budi dikatakan, “Perkataan Mahaguru Jikaku mengenai dapat memanah matahari tidak pernah dikatakan sebagai impian yang baik di dalam 5.000-7.000 sutra dan 3.000 lebih jilid ajaran non-Buddhis. Asura membenci Dewa Indra, sehingga memanah matahari, tetapi panahnya berbalik menusuk matanya sendiri. Raja Chu dari negeri Yin memanah matahari, tetapi hasilnya memusnahkan diri sendiri. Ketika Kaisar Jimmu di Jepang berperang dengan Tomi no Osa dan Icegei no Mikoto, tangan Mikoto terpanah. Mikoto berkata, “Saya adalah cucu Dewa Matahari, sehingga memanah saya akan dianiaya oleh Dewa Matahari.” Raja Ajatasatru, yang sadar dari pandangan sesat dan mengikuti ajaran Buddha, kembali ke rumah dan kemudian tertidur. Tiba-tiba ia bangun dengan terkejut dan barkata kepada para pegawainya, “Matahari dari atas langit jatuh ke tanah”. Mendengar itu, salah seorang pegawainya berkata, “Dari mimpi itu dapatlah diketahui Sang Buddha akan moksya dan sebagainya.” Shubadra pun bermimpi seperti itu. Negeri kita paling tidak menyukai mimpi serupa itu, karena negeri Jepang dikatakan sebagai negeri Dewa Tansyo (matahari). Sang Buddha, menurut ajaran dikatakan sebagai bibit matahari. Putri Maya, setelah bermimpi mengandung matahari mendapatkan pangeran ini. Karena Mahaguru Jikaku menegakkan Buddha Mahavairocana di Gunung Hiei dan membuang Buddha Sakyamuni, mengagungkan sutra tiga bagian Syingon dan menentang sutra tiga bagian 42
Samantabadra | Nopember 2015
Saddharmapundarika-sutra, maka secara nyata menimbulkan mimpi serupa ini” (Gosyo, hal. 317). Dengan demikian Niciren Daisyonin memecahkan bahwa impian yang dilihat Jikaku mempunyai tafsir membahayakan. Di dalam Surat Perihal Memilih Waktu juga dikatakan, “Mimpi itu merupakan pertanda musnahnya negeri, lenyapnya rumah, dan di masa akan dating terjatuh ke Neraka Avici.” (Gosyo, hal. 282). Akan tetapi, dari makna sesat yang didirikan Jikaku ini, orang-orang di Jepang percaya bahwa Sutra tiga bagian Syingon lebih unggul daripada Saddharmapundarika-sutra. Aliran suci Mahaguru Dengyo dari Gunung Hiei tertutup aliran Syingon yang keruh, Saddharmapundarika-sutra direndahkan dan doa-doa menurut Syingon dipentingkan, sehingga doa-doa untuk menentramkan dan melindungi negara tak tercapai bahkan mendatangkan malapetaka. Di dalam Surat Perihal Tri Maha Dharma Sakti dikatakan, “Semenjak Bhikku Tertinggi ke-3 dan ke-4 Gunung Hiei, Jikaku dan Cisyo, Guru Pokok Dengyo dan Gisyin ditentang secara luar biasa. Mengeluarkan buku berisi katakata gila bahwa teorinya sama tetapi bukti nyatanya lebih unggul. Hukum pandangan gunung sendiri direndahkan dan diolok-olok. Pantangan Kuil Enryaku sungguh luar biasa suci bersih dan murni, pantangan Jalan Tengah Saddharma, tetapi dipandang seluruh manusia sebagai tanah yang berlumpur. Meskipun amat bersusah hati, tak ada kata-kata yang dapat memperbaiki. Gunung Mari menjadi tanah berbatu dan penuh kotoran, hutan cendana berubah menjadi onak”. (Gosyo, hal. 1023). Sairenbo yang merupakan bhikku pelajar dari Gunung Hiei berada di jalan jikaku ini, sehingga pada bagian akhir ditarangkan alasan-alasan mengapa dengan ajaran makna sesat jikaku doa-doa, Gunung Hiei tidak terkabul; sedangkan doa berdasarkan Hukum Sakti akan menentramkan dan mensejahterakan negara. Dan surat ini doa yang berdasarkan Hukum Saktilah yang merupakan jalan langsung untuk mencapai kesadaran. eee
Nopember 2015 | Samantabadra
43
materi ajaran | gosyo kensyu
44
Samantabadra | Nopember 2015
Nopember 2015 | Samantabadra
45
materi ajaran | gosyo kensyu
46
Samantabadra | Nopember 2015
Nopember 2015 | Samantabadra
47
materi ajaran | gosyo kensyu
48
Samantabadra | Nopember 2015
Nopember 2015 | Samantabadra
49
materi ajaran | gosyo kensyu
50
Samantabadra | Nopember 2015
On Prayer Question: Of the types of prayer that one offers based upon the teachings of the Flower Garland school, the Dharma Characteristics school, the Three Treatises school, the three Hinayanaschools, the True Word school, or the Tendai school, which type is effective? Answer: Since they represent the preaching of the Buddha, they can all in some sense be considered prayer. But prayer that is based upon the Lotus Sutra is a prayer that is certain to be fulfilled. Question: What is the reason for that? Answer: The persons of the two vehicles, though they spent kalpas numerous as the dust particles of the land practicing the sutras that correspond to the four flavors, could never attain Buddhahood. But, by listening to the Lotus Sutra for just an instant, they became Buddhas. For this reason, Shāriputra, Mahākāshyapa, and the others who make up the twelve hundred [arhats] and the twelve thousand [arhats], and all the others of the two vehicles who attained Buddhahood, will certainly respond to the prayers of those who practice the Lotus Sutra. And they will take upon themselves the pains of such practitioners. Therefore, it is stated in the “Belief and Understanding” chapter [of the Lotus Sutra]: “The World-Honored One in his great mercy makes use of a rare thing, in pity and compassion teaching and converting, bringing benefit to us. In numberless millions of kalpas who could ever repay him? Though we offer him our hands and feet, bow our heads in respectful obeisance, and present all manner of offerings, none of us could repay him. Though we lift him on the crown of our heads, bear him on our two shoulders, for kalpas numerous as Ganges sands reverence him with all our hearts; though we come with delicate foods, with countless jeweled robes, with articles of bedding, various kinds of potions and medicines; with ox-head sandalwood and all kinds of rare gems, construct memorial towers and spread the ground with jeweled robes; though we were to do all this by way of offering for kalpas numerous as Ganges sands, still we could not repay him.” In this passage from the sutra, the four great voice-hearers, having heard the message of the “Simile and Parable” chapter and learned how they can become Buddhas, are expounding on how difficult it is to repay one’s debt of gratitude to the Buddha and to the Lotus Sutra. Therefore, we can understand that, to persons of the two vehicles, the practitioners of this sutra are more important than a father or a mother, than a beloved child, than their own two eyes or their body and life itself. Though I do not think that the great voice-hearers such as Shāriputra and Maudgalyāyana would actually cast aside a practitioner who praised any of the teachings put forth by the Buddha in the course of his lifetime, still it is likely that they feel a small degree of resentment toward the various sutras that were preached previous to the Lotus Sutra. This is because in them a strong warning has been given that “within the Buddha’s teachings they [voice-hearers] are like seeds that have already been spoiled.” But now these voice-hearers have become Thus Come Ones such as Flower Glow, Rare Form, and Universal Brightness, a most unexpected stroke of good fortune. They must feel as though the K’un-lun Mountains had split open and they were able toenter those jewel-filled mountains. That is why the passage of appreciation says, “This cluster of unsurpassed jewels has come to us unsought.” So there can be no doubt that all persons of the two vehicles will protect the practitioner of the Lotus Sutra. Even lowly creatures know enough to repay a debt of gratitude. Thus the bird known as the wild goose will invariably carry out its filial duty to the mother bird when she is about to die. And the fox never forgets its old hillock. If even animals will do such things, then how much more so should this be true of human beings? A man named Wang Shou was traveling along a road when he became hungry and weary. Beside the road was a plum tree that was loaded with fruit. Wang Shou ate the fruit and thereby satisfied his hunger. But he said to himself, “I have eaten the fruit of this plum tree and thus restored my strength and spirits. It would not be right if I failed to repay this debt of gratitude.” So saying, he took off his robe and hung it on the plum tree before going on his way.
Nopember 2015 | Samantabadra
51
materi ajaran | gosyo kensyu A man named Wang Yin was traveling along a road when he became thirsty. Crossing a river, he drank some of the water, and then he tossed a coin into the river as payment for the water he had drunk. A dragon will invariably protect a monk who is wearing a Buddhist surplice. The reason is that a dragon once received a Buddhist surplice from the Buddha and, placing it around its beloved child in the dragon palace, was able to prevent the child from being eaten by garuda birds. A garuda bird will invariably protect one who acts with filial duty toward one’s parents. Dragons would shake Mount Sumeru and eat the beloved chicks of the garuda bird after they fell from their nests. But the Buddha instructed the garuda bird to take the offerings of rice that Buddhist monks set aside from the alms given them by filial persons and to place these offerings on top of Mount Sumeru. In this way, the garuda bird was able to prevent its chicks from being eaten by dragons. Heaven will invariably protect a person who observes the precepts and practices goodness. If people who are born into the human realm do not observe the precepts or practice goodness, then when they die, they will in most cases be reborn in the realm of the asura. And if those in the realm of the asura become very numerous, they will grow arrogant and will inevitably offend against heaven. However, if people who are born into the human realm observe the precepts and practice goodness, when they die, they will invariably be reborn in the realm of heavenly beings. And if those in the realm of heavenly beings become very numerous, the asuras will be frightened and will not dare to offend against heaven. That is the reason why heaven invariably protects people who observe the precepts and practice goodness. Persons of the two vehicles are more excellent in the virtue gained from their observance of the precepts and more astute in wisdom than ordinary people in the six paths. Therefore, how could they possibly ever abandon those who practice the Lotus Sutra, since the Lotus Sutra is the means that has enabled them to attain Buddhahood? Moreover, although the bodhisattvas and ordinary people had practiced the teachings of the various sutras preached in the forty and more years previous to the Lotus Sutra for a period of countless kalpas in order to become Buddhas, none ever succeeded in attaining Buddhahood. But they were able to attain Buddhahood by practicing the Lotus Sutra. And now these Buddhas of the worlds of the ten directions are endowed with the thirty-two features and eighty characteristics that distinguish a Buddha, and are looked up to by living beings in the other nine realms, just as stars cluster about the moon, as the eight mountains surround Mount Sumeru, as the people of the four continents look up to the sun, or as common people look up to a wheel-turning king. And is the fact that these Buddhas are looked up to in this manner not due to the benefit and blessing of the Lotus Sutra? Therefore, in the Lotus Sutra the Buddha gives this warning: “There is no need to enshrine the relics of the Buddha there.” And the Nirvana Sutra says, “What the Buddhas take as their teacher is the Law. Therefore, the Thus Come Ones honor, respect, and make offerings to it.” In the passage from the Lotus Sutra, the Buddha is saying that his relics need not be enshrined in the stupa alongside the Lotus Sutra. And the passage from the Nirvana Sutra indicates that the Buddhas should honor, respect, and make offerings to the Lotus Sutra. The Buddhas, because they were enlightened by the Lotus Sutra, were able to attain Buddhahood. Therefore, if they should fail to preach the sutra to others, they would be withholding from others the seeds of Buddhahood and would be committing a fault. For this reason, the Thus Come One Shakyamuni made his appearance in this sahā world and prepared to preach it. But the devil king of the sixth heaven, otherwise known as the fundamental darkness, took possession of the bodies of all the people and caused them to hate the Buddha and impede his preaching. Thus the king known as Virūdhaka killed five hundred people of the Shākya clan; Angulimāla chased after the Buddha; Devadatta rolled a huge stone down on him; and Chinchā, the daughter of a Brahman, tied a bowl to her belly and claimed to be pregnant with the Buddha’s child. The lord of a Brahman city proclaimed that a fine of five hundredryō of gold should be levied against anyone who invited the Buddha into the city. As a result, the people of the city blocked the road with thorns, threw filth into the wells, built a barricade of spikes at the gate, and put poison in the Buddha’s food, all because of their hatred of him.
52
Samantabadra | Nopember 2015
The nun Utpalavarnā was murdered, Maudgalyāyana was killed by Brahmans of the Bamboo Staff school, and Kālodāyin was buried in horse dung, all because of animosity toward the Buddha. Nevertheless, the Buddha managed to survive these various ordeals, and, at the age of seventy-two, forty-two years after he first began preaching the Buddhist teachings, at a mountain called Gridhrakūta northeast of the city of Rājagriha in central India, he began to preach the Lotus Sutra. He preached it for a period of eight years. Then, on the bank of the Ajitavatī River at the city of Kushinagara in eastern India, in the middle of the night on the fifteenth day of the second month, when he was eighty years of age, he entered nirvana. But before that, he had revealed his enlightenment in the form of the Lotus Sutra. Therefore, the words of this sutra are indeed the very soul of Shakyamuni Thus Come One. And since every single word constitutes the soul of the Buddha, Shakyamuni Thus Come One will protect those who practice this sutra as though he were protecting his very own eyes. He will accompany them just as a shadow accompanies a body. How then could the prayers of such persons not be answered? During the first forty and more years of the Buddha’s teaching life, the various bodhisattvas had tried to attain Buddhahood through the sutras beginning with the Flower Garland Sutra, but they were unable todo so. But when the “Expedient Means” chapter of the Lotus Sutra was preached, announcing the concise replacement of the three vehicles with the one vehicle, then “the bodhisattvas seeking to be Buddhas in a great force of eighty thousand, as well as the wheel-turning kings [who] come from ten thousands of millions of lands, all press their palms and with reverent minds wish to hear the teaching of perfect endowment.” And when, as a result, they heard the expanded replacement of the three vehicles with the one vehicle, then it was as the sutra states, “When the bodhisattvas hear this Law, they will be released from all entanglements of doubt.” After that, bodhisattvas from this world and from other regions assembled together like gathering clouds or so many stars. And when the “Treasure Tower” chapter was preached, the Buddhas of the ten directions gathered round, each accompanied by countless numbers of bodhisattvas. Manjushrī appeared from the sea accompanied by countless bodhisattvas, and in addition there were the eight hundred thousand million nayutas of bodhisattvas and the bodhisattvas more numerous than the sands of eight Ganges Rivers; the bodhisattvas as numerous as the dust particles of a thousand worlds, who emerged from the earth; the bodhisattvas as numerous as the sands of six hundred and eighty ten thousands, millions, nayutas of Ganges Rivers who appear in the “Distinctions in Benefits” chapter; the bodhisattvas multiplied a thousand times; the bodhisattvas as numerous as the dust particles of a world; the bodhisattvas as numerous as the dust particles of a major world system; the bodhisattvas as numerous as the dust particles of an intermediate world system; the bodhisattvas as numerous as the dust particles of a minor world system; the bodhisattvas as numerous as the dust particles of four four-continent worlds, or the dust particles of three four-continent worlds, two four-continent worlds, or one four-continent world; and the people as numerous as the dust particles of eight worlds. There were the eighty-four thousand bodhisattvas of the “Medicine King” chapter; the eighty-four thousand bodhisattvas and the forty-two thousand heavenly sons of the “Wonderful Sound” chapter; the eightyfour thousand people of the “Universal Gateway” chapter; the sixty-eight thousand people of the “Dhāranī” chapter; the eighty-four thousand people of the “King Wonderful Adornment” chapter; and the bodhisattvas as numerous as the Ganges sands and the bodhisattvas as numerous as the dust particles of a major world system of the “Encouragements” chapter. If we were to count up all these bodhisattvas, they would be as numerous as the dust particles of the worlds of the ten directions, as the plants and trees in the worlds of the ten directions, as the stars in the worlds of the ten directions, or as the raindrops in the worlds of the ten directions. All of these beings attained Buddhahood through the Lotus Sutra and are dwelling on the earth, under the earth, or in the sky of this present major world system. The Venerable Mahākāshyapa lives on Mount Kukkutapāda,Manjushrī lives on Mount Clear and Cool, Bodhisattva Earth Repositorylives on Mount Kharadīya, Perceiver of the World’s Sounds lives on Mount Potalaka, Bodhisattva Maitreya lives in the Tushita heaven, Nanda and the countless other dragon kings and asura kings live at the bottom of the sea or at the seaside, Shakra lives in the heaven of the thirty-three
Nopember 2015 | Samantabadra
53
materi ajaran | gosyo kensyu gods, Brahmā lives in the Summit of Being heaven, Maheshvara lives in the sixth heaven of Freely Enjoying Things Conjured by Others, the four heavenly kings live on the slopes of Mount Sumeru, and the sun, the moon, and the crowds of stars appear before our eyes and shine over our heads. The river gods, the stream gods, and the mountain gods were all among the honored ones present at the assembly when the Lotus Sutra was preached. It has now been over twenty-two hundred years since the Buddha preached the Lotus Sutra. Human beings have a short life span, and therefore there are no persons alive today who have seen the Buddha with their own eyes. But in the heavenly realm the span of a day is long, and the beings there have long lives; as a result, there are countless heavenly beings still alive who have seen the Buddha and listened to him preach the Lotus Sutra. Fifty years in the life of a human being is equivalent to no more than one day and one night in the lives of beings in the heaven of thefour heavenly kings. And these heavenly beings, passing such days and nights, with thirty such days to a month and twelve such months to a year, live to be five hundred years old. Therefore, twenty-two hundred or more years in the lives of human beings will be equivalent to only forty-four days in the lives of beings in the heaven of the four heavenly kings. Hence from the point of view of the deities of the sun and moon and the heavenly king Vaishravana, it has been only forty-four days, or less than two months, since the Buddha passed away. And from the point of view of Shakra and Brahmā, not even a month, not even an hour, has passed since the Buddha departed. In such a short time, how could these heavenly beings have forgotten the vow that they took in the presence of the Buddha, or the debt of gratitude they owe to the sutra that allowed them to attain Buddhahood, and thus abandon the practitioners of the Lotus Sutra? When we think of it in this way, we can feel greatly assured. Therefore, we know that the prayers offered by a practitioner of theLotus Sutra will be answered just as an echo answers a sound, as a shadow follows a form, as the reflection of the moon appears in clear water, as a mirror collects dewdrops, as a magnet attracts iron, as amber attracts particles of dust, or as a clear mirror reflects the color of an object. Concerning the ways of the ordinary world, though a man may not be inclined to a certain act, if he is urged to it by his parents, his sovereign, his teachers, his wife and children, or his close friends, and if he is a person of conscience, he will overlook his own inclinations and will sacrifice his name and profit, and even his life, to perform that act. How much more earnest will he be, then, if the act is something that springs from his own heart. In such a case, even the restraints of his parents, his sovereign, or his teachers cannot prevent him from carrying out the action. Thus it was that a worthy man named Fan Yü-ch’i cut off his own head so that it could be presented to Ching K’o, and Chi-cha, having pledged to present his sword to the lord of Hsü, hung it on the lord’s grave. Similarly, at the gathering on Eagle Peak, the dragon king’s daughter attained Buddhahood in her present form. In the Hinayanasutras, women were despised because they are hindered by the thick clouds of the five obstacles and bound by the strong cords of the three obediences; and in the Mahayana sutras expounded in the first forty and more years of the Buddha’s preaching, women were rejected, since they were thought to be incapable of carrying out religious practice over many kalpas. Or though it had been stated that “the first time they conceive the desire to do so, they can attain enlightenment,” this was indicated as a possibility in name only, with no actual examples tosupport it. So, in effect, the attainment of Buddhahood by women was denied. Thus, even a woman who was in the realm of human or heavenly beings had no hope of ever finding the way to become a Buddha. How much less hope was there for this woman [described in the Lotus Sutra], a humble being born among the creatures known as dragons, who had not yet reached maturity but was only eight years old. And yet, contrary to all expectations, through the instruction of Manjushrī, in the short space of time between the “Teacher of the Law” and “Devadatta” chapters when the Buddha was preaching the “Treasure Tower” chapter, she attained Buddhahood in the midst of the ocean. This was a most wonderful happening! If it had not been for the power of the Lotus Sutra, the foremost among all the teachings of the Buddha’s lifetime, how could such a thing have come about?
54
Samantabadra | Nopember 2015
Therefore, Miao-lo remarks of the event, “The sutra here demonstrates its power by revealing that practice is shallow but the benefit that results is profound indeed.” And because the dragon girl was able to attain Buddhahood through this sutra, how could she ever abandon someone who is a practitioner of the Lotus Sutra, even if she had not been admonished against it by the Buddha? Therefore, in the verse that she uttered in praise of the Buddha, she stated, “I unfold the doctrines of the great vehicle to rescue living beings from suffering.” Her oath was the oath taken by her retinue, or all the creatures known as dragons, whose number is so vast that “the mouth cannot express it, the mind cannot fathom it.” The dragon king Sāgara, though a lowly creature, cared profoundly for his daughter. Therefore, he took the finest treasure in all the great ocean, a wish-granting jewel, and had his daughter present it as alms to the Buddha, in recognition of the fact that she had attained Buddhahood in her present form. This jewel was equivalent in value to a major world system. Devadatta was the grandson of King Simhahanu, the son of Shakyamuni Buddha’s uncle, King Dronodana, and an elder brother of the Venerable Ānanda. His mother was a daughter of the rich man Suprabuddha. He was thus a member of the family of a wheel-turning king and held a high social position in the southern continent of Jambudvīpa. While he was still an ordinary member of society, the woman he had intended to marry, Yashodharā, was taken away by Prince Siddhārtha, and he thereafter looked upon Siddhārtha as he would an enemy from a past existence. Later, he broke his ties with his family and joined the Buddhist Order, but when there were large gatherings of human and heavenly beings, the Buddha would censure him, calling him a fool or one who eats the spit of others. In addition, being a man who cared deeply about fame and personal profit, he envied the attention that was paid to the Buddha. He then began observing the five ascetic practices in an attempt to appear more admirable than the Buddha. He pounded iron to make athousand-spoked wheel pattern [to imprint on the soles of his feet], gathered together fireflies to form a tuft of white hair between his eyebrows, and committed to memory sixty thousand and eighty thousand jeweled teachings. He erected an ordination platform on Mount Gayāshīrsha and lured many of the Buddha’s disciples over to his side. He smeared poison on his fingernails and thus attempted to poison the feet of the Buddha. He beat the nun Utpalavarnā to death and rolled a huge rock down on the Buddha, injuring the latter on the toe. He was guilty of committing three cardinal sins and, in the end, gathered about him all the evil men of the five regions of India and strove to harm the Buddha and his disciples and lay supporters. King Bimbisāra was the foremost of the Buddha’s lay supporters. Each day he dispatched five hundred carriages, day after day supplying alms to the Buddha and his disciples. But Devadatta, driven by his intense jealousy, talked to Prince Ajātashatru and in time persuaded himto attack his father, where upon he pinned the king down with seven foot-long spikes. In the end, the earth in front of the northern gate of the capital city of Rājagriha split open, and Devadatta fell into the great citadel of theAvīchi hell. There was not a single being in the entire major world system who did not witness the event. One would suppose that, as a result, Devadatta would never be able to escape from the great citadel of the hell of incessant suffering, even though as many kalpas should pass as there are the dust particles of the land. And yet, amazing as it is, and admirable as well, in the Lotus Sutrahe became a Thus Come One called Heavenly King. And if Devadattacould become a Buddha, then all the countless other evil people who were enticed by him, since they shared with him the same karmic cause and effect, must surely have been able to escape from the pains of the hell of incessant suffering. This is entirely due to the benefit and blessing of the Lotus Sutra. Thus Devadatta and all the countless persons who attended him can now dwell in the house of the practitioners of the Lotus Sutra [in orderto protect them]. What a comforting thought! The various bodhisattvas, who were as numerous as the dust particles of the land, had advanced to the level of near-perfect enlightenment, which means they had freed themselves of all but their fundamental darkness. When they were fortunate enough to encounter the Thus Come One Shakyamuni, they thought that they would be able to smash this great boulder of fundamental darkness. But in the first forty and
Nopember 2015 | Samantabadra
55
materi ajaran | gosyo kensyu more years of his preaching life, Shakyamuni, the lord of teachings, said that, while he could explain the causes of enlightenment, he could not explain its effects. Therefore, he did not make clear to them the benefits of perfect enlightenment. Hence not a single one of them could advance to the stage of perfect enlightenment. This was contrary to their expectations. But during the eight years when he preached at Eagle Peak, the Buddha revealed the effects of enlightenment, which are called the one vehicle of Buddhahood. All the bodhisattvas thus advanced to the stage of perfect enlightenment, so that their enlightenment was equal to that of Shakyamuni Thus Come One. It was as though they had climbed to the very top of Mount Sumeru and could see in all four directions. All became bright and clear, as though the sun had appeared in the midst of a long night. Even if the Buddha had not instructed them to do so, could they have failed to resolve to spread the teachings of the Lotus Sutra orto take upon themselves the sufferings of its practitioners? Therefore, they made a vow, saying, “We care nothing for our bodies or lives but are anxious only for the unsurpassed way,” “Never begrudging our bodies or lives,” or “We will preach this sutra far and wide.” Furthermore, Shakyamuni Buddha, who is like a kind father, Many Treasures Buddha, who is like a loving mother, and the Buddhas of the ten directions, who had appeared in order to add their testimony and who are like affectionate parents, were assembled together, so that it was as though two moons had come together, or two suns had appeared side by side. At that time the Buddha spoke three times in warning, saying: “So I say to the great assembly: After I have passed into extinction, who can guard and uphold, read and recite this sutra? Now in the presence of the Buddha let him come forward and speak his vow!” Then the great bodhisattvas who filled four hundred ten thousand million nayutas of lands in each of the eight directions bent their bodies, bowed their heads, and pressed their palms together, and all raised their voices in unison, saying, “We will respectfully carry out all these things just as the World-Honored One has commanded.” Three times they cried out, not sparing their voices. How then could they fail to take upon themselves the sufferings of the practitioner of the Lotus Sutra? Fan Yü-ch’i gave his head to Ching K’o, and Chi-cha hung his sword on the grave of the lord of Hsü; in both cases they acted so as not to go back on promises they had made. If even these persons of China, a land far from the birthplace of Buddhism, could, because of a promise made to a friend, sacrifice their own lives or hang on a grave a sword that meant more to them than life itself, then how much more can one expect from the great bodhisattvas, who from the first have been beings of great compassion and have taken profound vows to undergo suffering on behalf of others? How could they ever cast aside the practitioner of the Lotus Sutra, even if the Buddha had not admonished them against doing so? What is more, it was through the Lotus Sutra that these bodhisattvas attained Buddhahood, and because the Buddha fervently admonished them concerning it, they took solemn vows in the presence of the Buddha. There can be no doubt, therefore, that they will aid its practitioner. The Buddha is the sovereign of the human and heavenly realms and the parent of all living beings. Moreover, he is the teacher who leads and opens the way. Though one may be a parent, if of humble station, one cannot at the same time assume the role of sovereign. And though one may be a sovereign, if not also a parent, one may inspire fear. And though one may be both a parent and a sovereign, one cannot be a teacher as well. The various Buddhas [other than Shakyamuni], since they are known as World-Honored Ones, may be regarded as sovereigns. But since they do not make their appearance in this sahā world, they are not teachers. Nor do they declare that “the living beings in it [the threefold world] are all my children.” Thus Shakyamuni Buddha alone fulfills the three functions of sovereign, teacher, and parent. Nevertheless, during the first forty and more years of his preaching life, Shakyamuni cursed Devadatta, censured the various voice-hearers, and refused to teach the bodhisattvas the doctrines pertaining to the fruits of enlightenment. Though people did not actually say so to others, they sometimes wondered in their hearts whether this Buddha was not in fact Pāpīyas, the devil king of the sixth heaven, so greatly did he trouble them. They continued to harbor these doubts for forty and more years, until the preaching of the Lotus Sutra began. But then, during the eight years at Eagle Peak, the treasure tower appeared in the air, and the two
56
Samantabadra | Nopember 2015
Buddhas sat side by side in it like the sun and the moon. The various other Buddhas ranged themselves over the ground like so many great mountains gathered together, the bodhisattvas who had emerged from the earth, as numerous as the dust particles of a thousand worlds, ranged themselves in the air like so many stars, and the Buddha revealed the blessings that the various Buddhas enjoy as the result of their enlightenment. It was as though a storehouse of treasures had been unlocked and the contents presented to poor people, or as though the K’un-lun Mountains, with all their riches, had broken open. During these eight years, the people who were present at the assembly became profoundly aware of the rarity and wonder of these events; it was as if they were gathering up nothing but gems. The bodhisattvas, unbegrudging of their lives, unstinting with their words, vowed to do as the Buddha had encouraged them. Then, in the “Entrustment” chapter, the Thus Come One Shakyamuni emerged from the treasure tower and closed its doors. The various other Buddhas thereupon returned to their respective lands, and the bodhisattvas who had appeared with them followed along in company with the Buddhas. The people were feeling increasingly lonely, when the Buddha announced, “Three months from now I will enter nirvana.” The announcement astounded them and made them feel even more forlorn. Having heard the Lotus Sutra, the bodhisattvas, persons of the two vehicles, and the other human and heavenly beings were all imbued with a deep sense of gratitude for the Buddha’s compassion, and wanted toshow the Buddha how willing they were to sacrifice their bodies and lives for the sake of the Lotus Sutra. How terrible it would be, they thought, their hearts in a turmoil, if the Buddha were to really enternirvana as he said he would! At that time, on the fifteenth day of the second month, during the hour of the tiger and the hour of the hare (3:00 to 7:00 A.M.), when the Buddha was eighty years old, on the bank of the Ajitavatī River at the city of Kushinagara in the country of Shrāvastī in eastern India, the Buddha’s voice was heard announcing that he would pass into extinction. His voice radiated upward as far as the Summit of Being heaven and echoed abroad throughout the entire major world system. Eyes grew dim, and hearts sank. From throughout the five regions of India, its sixteen great states, its five hundred middle-sized states, its ten thousand small states, and its countless smaller states scattered about like grains of millet, the people gathered together, none having had time to prepare clothing or food, and without distinction as to class or status. Oxen and horses, wolves and dogs, eagles and vultures, gnats and gadflies, to the number of fiftytwo different species, also gathered together. Those of any one species were more numerous than the dust particles of the land, to say nothing of the number of all fifty-two species together. All these different species of beings brought flowers, incense, clothing, and food as their last offerings to the Buddha. Their voices resounded, crying out that the jeweled bridge for all living beings was about to collapse, that the eye of all living beings was about to be put out, that the parent, sovereign, and teacher of all living beings was about to pass away. Not only did their hair stand on end, but their tears flowed. Not only did their tears flow, but they beat their heads, pressed their hands to their chests, and cried aloud, not sparing their voices. The blood of their tears and the blood of their sweat fell upon Kushinagara more heavily than a torrential rain and flowed more abundantly than a mighty river. All this they did solely because the Lotus Sutra had opened for them the way to Buddhahood, and they could never repay the debt of gratitude they owed the Buddha. Even in this scene of grief, there were those who declared angrily that the enemies of the Lotus Sutra should have their tongues cut out, that they should never be allowed to sit with the others in the assembly. Bodhisattva Kāshyapa vowed that he would appear in the form of frost and hail in the lands of the enemies of the Lotus Sutra. At that time the Buddha raised himself slightly from his reclining position and praised him, saying happily, “Well spoken! Well spoken!” The other bodhisattvas, guessing where the Buddha’s wishes lay, supposed that if they declared their intention to attack the enemies of the Lotus Sutra this might prolong the Buddha’s life a little, and one by one they vowed to do so. In this way the bodhisattvas and the heavenly and human beings called upon the enemies of the Lotus Sutra to appear, hoping that if they could fulfill the oath they had taken in the presence of the Buddha then Shakyamuni Buddha as well as Many Treasures and the other Buddhas and Thus Come Ones would understand that, faithful to the vow they had made before the Buddha, they would begrudge neither their reputations nor their lives in defense of the Lotus Sutra.
Nopember 2015 | Samantabadra
57
materi ajaran | gosyo kensyu One may ask why the results of these vows should be so long in appearing. And yet, though one might point at the earth and miss it, though one might bind up the sky, though the tides might cease to ebb and flow and the sun rise in the west, it could never come about that the prayers of the practitioner of the Lotus Sutra would go unanswered. If the bodhisattvas, the human and heavenly beings, the eight kinds of nonhuman beings, the two sages, the two heavenly deities, and the ten demon daughters would by some unlikely chance fail to appear and protect the practitioner of the Lotus Sutra, then above them they would be showing disdain for Shakyamuni and the other Buddhas, and below they would be guilty of deceiving the beings of the nine realms. It makes no difference if the practitioner himself is lacking in worth, defective in wisdom, impure in his person, and lacking in virtue derived from observing the precepts. So long as he chants Nam-myoho-rengekyo, they will invariably protect him. One does not throw away gold because the bag that holds it is dirty; one does not ignore the sandalwood trees because of the foul odor of the eranda trees around them; and one does not refuse to gather lotuses because the pond in the valley where they grow is not clean. If they ignore the practitioner of theLotus Sutra, they will be going against their vow. Now that the Former and Middle Days of the Law are over, persons who observe the precepts are as rare as tigers in a marketplace, and persons of wisdom are harder to find than the horns of a ch’i-lin. While waiting for the moon to rise, one must rely upon a lantern, and when there are no true gems at hand, gold and silver must serve as jewels. The debt of gratitude one owes to a white crow may be repaid to a black crow, and the debt one owes to a sage priest may be repaid to an ordinary priest. So, if you earnestly pray that blessings be given to you without delay, how can your prayers fail to be answered? Question: When I examine the reasoning and the textual proofs you have presented above, I would have to say that, if there are a sun and a moon in the sky, if there are plants and trees on the earth, if there are day and night in this country of ours, then so long as the earth fails toturn upside down and the tides of the ocean continue to ebb and flow, there can be no doubt that the prayers of those who put faith in theLotus Sutra will be answered in this world, and that they will enjoy good circumstances in their next existence. Nevertheless, during the past twenty years and more, the eminent leaders of the Tendai and True Word schools have in many cases offered prayers regarding important matters of state, but such prayers have by no means proved effective. Indeed, the prayers of these priests would seem to be even less effective than those of persons who support the teachings of non-Buddhist scriptures. This sets me to wondering if the pronouncements of the [Lotus] sutra are in some way false, if the actions of the practitioners of the sutra are to blame, or if the time or the people’s capacity is not appropriate for such actions. And this puts me in doubt regarding my future existence. But leaving that point aside for the moment, I am told that you were a disciple of the priests of Mount Hiei. They say that the offenses of the fathers are visited upon the sons, and those of the teachers are visited upon the disciples. When the priests of Mount Hiei burned the halls and pagodas of Onjō-ji temple and of the mountain temple, along with thousands and tens of thousands of Buddhist images and sutras, those were terrible deeds! They threw the people of the time into turmoil and turned them against Mount Hiei. What is your opinion? I have heard a little about these events in the past, but I would like now tohear you speak in greater detail. I am full of questions. When priests behave in such an evil manner, it seems to me that they are no longer acting in accord with the spirit of the three treasures, and that heaven and earth should no longer lend them shelter. I would suppose, therefore, that their prayers would not be answered. What is your opinion? Answer: I have touched on this matter in the past, but this time I will summarize the issues. This is a matter of vital concern to the country of Japan, and because many people fail to understand it, they create negative karma through their words. First of all, as to the origin of the temple on Mount Hiei, it was founded by the Great Teacher Dengyō in the reign of Emperor Kammu, some two hundred years after Buddhism was introduced to this country. Earlier, Prince Shōtoku had declared that Kyoto, which was later to become the capital, appeared to be highly suitable for the royal residence. But the actual founding of the capital at that location was delayed until after the T’ien-t’ai, or Tendai, school had been introduced to Japan. According to the records of Prince Jōgū, or Shōtoku, the prince stated, “Two hundred or more years after my passing, the Buddhist Law will spread throughout Japan.” Later, in the Enryaku era (782–806), theGreat Teacher Dengyō founded the temple on
58
Samantabadra | Nopember 2015
Mount Hiei, and Emperor Kammu established the capital Heiankyō. Thus the prophecy of Prince Shōtoku was fulfilled. In this way the mountain temple and the royal house were like the pine and the cypress, and resembled the orchids and the grasses. When the pine withers, the cypress, too, is bound to wither, and when the orchids wilt, the grasses wilt as well. Thus it seemed that the prosperity of the royal reign brought joy to the mountain temple, and that the decline of royal power brought sadness to the mountain. And now that the world has changed, and power has passed to the government in theKanto region, what must be their thoughts? In the third year of the Jōkyū era (1221), the year with the cyclical sign kanoto-mi, on the nineteenth day of the fourth month—around the time of the disturbance between the court and the barbarian warriors—by command of the Retired Emperor of Oki, altars were set up, and fifteen secret ceremonies were carried out for the first time by forty-one practitioners of such secret ceremonies in an attempt to overcome the Kanto government through the power of incantation. These ceremonies included the one-character gold-wheel ceremony (carried out by the Administrator of Priests Jien, the Tendai chief priest, and twelve attendant priests at the command of Imperial Regent Motomichi); the ceremony of the four heavenly kings (carried out by the imperial administrator of priests of Jōkō-ji temple [Shinsho], with eight attendant priests at Hirose Palace, at the command of Lady Shumeimon’in); the ceremony of the wisdom king Immovable (carried out by the Administrator of Priests Jōhō and eight accompanying priests at the command of Lord Kazan’in Zemmon [Fujiwara Tadatsune]); the Great Awesome Virtue ceremony (carried out by the Administrator of Priests Kangon with eight accompanying priests at the command of Lady Shichijōin); the ceremony of the wheel-turning king (carried out by theAdministrator of Priests Jōken with eight accompanying priests at the command of the same person as above); the ten-altar Great Awesome Virtue ceremony (carried out by ten priests—the Administrator of Priests Kakuchō, the Dharma Seal Shunshō, the Dharma Seal Eishin, the Dharma Seal Gōen, the Supervisor of Priests Yūen, the Administrator of Priests Jiken, the Supervisor of Priests Kenjō, the Supervisor of Priests Senson, the Supervisor of Priests Gyōhen, and the Dharma Eye Jikkaku—along with six attendant priests each, carried out for the most part at the main temple-building); the ceremony of Wish-granting Wheel (carried out by the Administrator of Priests Myōkōin with eight accompanying priests at the command of Lady Gishūmon’in); and the ceremony of the heavenly king Vaishravana (carried out by the Administrator of Priests Jōjūin [Ryōson] of Mii with six accompanying priests at the command of Shichin). And there were also objects of devotion that were fashioned in a single day. The secret ceremonies based on them included the ceremony of the wisdom king Craving-Filled of the prescribed method (carried out by the head of Ninna-ji temple in Shishin-den Palace from the third day of the fifth month and for the following fourteen days); the ceremony of Buddha Eye (carried out by the Administrator of Priests Daijō for twenty-one days); the ceremony of the six characters (carried out by the Supervisor of Priests Kaiga); the ceremony of the wisdom king Craving-Filled (carried out by the Administrator of Priests Kangon for seven days); the ceremony of Immovable (carried out by Kanju-ji temple’s administrator of priests with eight accompanying priests, all holding supervisory posts in the priesthood); the Great Awesome Virtue ceremony (carried out by the Administrator of Priests Aki); and the ceremony of the boy Diamond Pounder (carried out by the same person). This completes the list of the fifteen ceremonies performed before altars. On the fifteenth day of the fifth month, Iga Tarō Hogan Mitsusue was attacked and defeated in the capital. On the nineteenth day of the same month, word of this reached Kamakura. When the news arrived in the capital that a large force of troops had been dispatched on the twenty-first day to attack the capital, the remainder of the ceremonies were performed, beginning on the eighth day of the sixth month. These consisted of the ceremony of the Honorable Star King (performed by the Administrator of Priests Kakuchō), the ceremony of the wisdom king Great Commander (performed by the Supervisor of Priests Zōu), the ceremony of the five altars (performed by the Administrator of Priests Daijō, the Dharma Seal Eishin, the Supervisor of Priests Zenson, theSupervisor of Priests Yuen, and the Supervisor of Priests Gyōhen), and the ceremony of the Protection Sutra (presided over by the head of Ninna-ji; it was the second time this ceremony was performed in our country).
Nopember 2015 | Samantabadra
59
materi ajaran | gosyo kensyu On the twenty-first day of the fifth month, the governor of Musashi started for the capital on the Tōkaidō road, while the leader of the Genji clan of Kai set out on the Tōsandō road, and Lord Shikibu advanced via the Hokuriku road. On the fifth day of the sixth month the defending forces at Ōtsu were defeated by the Genji of Kai, and on the thirteenth and fourteenth days of the sixth month the two sides engaged in battle at the Uji Bridge. On the fourteenth, the defenders of the capital suffered defeat, and on the fifteenth of the same month, the governor of Musashi entered the Rokujō headquarters along with his men. On the eleventh day of the seventh month the Retired Emperor Gotoba was banished to the island province of Oki, the Retired Emperor Tsuchimikado was banished to the province of Awa, and the Retired Emperor Juntoku was banished to the island province of Sado. In addition, seven members of the court were put to death. The great evil doctrine of these ceremonies over the years steadily made its way to the Kanto region, where it was embodied in the superintendents or attendant priests of various temples who repeatedly performed these ceremonies. The performers of these ceremonies from the beginning could not distinguish between correct and erroneous teachings, between superior and inferior doctrines, but assumed that it was sufficient merely to revere the three treasures. So, without a thought, they employed these ceremonies. And now not only the provinces of Kanto but the chief priests and superintendents of Mount Hiei, Tō-ji, and Onjō-ji have all come under the jurisdiction of the Kanto authorities, so that, as a result, the latter are in the position of supporting these ceremonies. Question: Why do you insist upon referring to the True Word teaching as an incorrect doctrine? Answer: The Great Teacher Kōbō has stated, “The Mahāvairochana Sutra is first, the Flower Garland Sutra is second, and the Lotus Sutra is third.” But one should examine this ranking carefully. In what sutra did the Buddha discuss the relative worth of these three sutras and deliver this judgment? If there is in fact a sutra that declares that the Mahāvairochana Sutra ranks first, the Flower Garland second, and the Lotus third, then we should accept that statement as true. But if there is no such passage, then it is not possible to accept this assertion. The Lotus Sutra states, “Medicine King, now I say to you, I have preached various sutras, and among those sutras the Lotus is the foremost!” Here the Buddha is referring to all the teachings that he has expounded and stating that among these the Lotus ranks in first place. The Buddha’s preaching and the writings of the Great Teacher Kōbō are as much at variance with each other as are fire and water. We should investigate and clarify this matter. Over a period of several hundred years, ordinary priests and high-ranking priests have studied the writings of Kōbō, and eminent and humble, high and low, have put their faith in them and honored the Mahāvairochana Sutra as the foremost among all the sutras. This does not accord with the intention of the Buddha. Thoughtful persons should examine the matter with great care. For if we put faith in writings that do not accord with the intention of the Buddha, how can we hope toattain Buddhahood? And if we follow such writings in offering prayers for the nation, how can we fail to bring about misfortune? Moreover, Kōbō writes, “The Buddhist teachers of China vied with one another to steal the ghee.” The meaning of this statement is that the Great Teacher T’ien-t’ai and others stole the ghee of the True Word teachings and called it the ghee of the Lotus Sutra. This statement is the most important point. When the Great Teacher T’ien-t’ai applied the simile of ghee to theLotus Sutra, basing himself on a passage in the Nirvana Sutra, he declared that among all the sutras the Lotus Sutra is worthy to be compared to ghee. The True Word teaching was introduced to China from India two hundred years or more after the time of T’ien-t’ai. How then could T’ien-t’ai possibly have stolen the ghee of the True Word teaching and called it the ghee of the Lotus Sutra? Of all strange events, this would be the strangest! What evidence is there then for calling persons who lived two hundred years or more before the True Word teaching was even introduced to China thieves? Are we to put faith in these writings of theGreat Teacher Kōbō? Or are we to put faith in the Nirvana Sutra where the Buddha likens the Lotus Sutra to ghee? If we are to regard the Great Teacher T’ien-t’ai as a thief, then how are we to interpret this passage in the Nirvana Sutra? And if we accept the passage in the Nirvana Sutra as reliable and conclude that the writings of Kōbō are incorrect, then what are we to think of people who put faith in such erroneous teach-
60
Samantabadra | Nopember 2015
ings? All I can say is that one should compare the writings of the Great Teacher Kōbō and the pronouncements of the Buddha, and then put one’s faith in the one that proves to be correct. Question: I am still in doubt. The Mahāvairochana Sutra represents the teaching expounded by the Thus Come One Mahāvairochana. And if that is so, then to use the teaching expounded by Shakyamuni Buddhato attempt to controvert the teaching expounded by the Thus Come OneMahāvairochana is surely not at all in accord with reason, is it? Answer: Who were the parents of the Thus Come One Mahāvairochana, and in what country did he appear when he expounded the Mahāvairochana Sutra? Even if he had simply appeared in the world without parents, then in what sutra is it mentioned that such a Buddha would appear in the world to expound his teaching during the 5,670 million years between the passing of Shakyamuni Buddha and the appearance of Maitreya, the Compassionate Honored One? If there are no passages of proof, then who would put faith in such an assertion? The True Word doctrines are full of mistaken assertions of this kind, which is why I spoke of them as an erroneous teaching. The list of errors is all but inexhaustible. I have done no more than give one or two examples. In addition to the True Word, the authorities rely on the Zen and Nembutsu schools. These doctrines all represent provisional teachings of the type set forth before the truth had been fully revealed. They are not the tenets that lead to the attainment of Buddhahood, but rather will create karma that condemns one to the hell of incessant suffering. Persons who practice them are guilty of slandering the Law, so how could their prayers possibly be answered? One who is a ruler of a nation has become so because in the past he upheld the correct teaching and served the Buddha. It is through the calculations of the heavenly kings Brahmā and Shakra, the gods of the sun and moon, the four heavenly kings, and others that all rulers, great and small, succeed in acquiring their districts and domains. Thus the sutra says, “Now when I use the five types of vision to clearly perceive the three existences, I see that in their past existences all the rulers served five hundred Buddhas, and that is the reason that they were able to become emperors and sovereigns.” But if one turns one’s back on the Lotus Sutra and follows the erroneous teachers of the True Word, Zen, and Nembutsu schools, then although one may carry out all kinds of good deeds, these will never accord with the will of the Buddha and will go against the intention of the gods. One should give very careful thought to this matter. It is a rare thing to be born as a human being. And if, having been born as such, you do not do your best to distinguish between the correct doctrine and the incorrect so that in the future you may attain Buddhahood, then you are certainly not fulfilling your true worth as a human being. Moreover, after the Great Teacher Jikaku had visited China, he turned against the doctrines of his original teacher, the Great Teacher Dengyō, and worked to spread the True Word doctrines on Mount Hiei. In order to do so, he offered up prayers and claimed that as a result he had had a dream in which he shot an arrow at the sun and caused the sun to roll over and over. For more than four hundred years now, the people have all looked upon this as an auspicious dream. But in a country such as Japan, it is in fact a dream of particularly ill omen. King Chou of the Yin dynasty shot an arrow at the sun, and as a result he perished. Even though this dream is a matter associated with the reincarnation [of a Buddha], you should ponder it very carefully. In response to your questions, what I have touched on here is like a mere hair from the hides of nine head of cattle. eee
Nopember 2015 | Samantabadra
61
materi ajaran | gosyo cabang
Gosyo Cabang
Surat Delapan Angin LATAR BELAKANG |
S
urat ini ditulis pada tahun 1277 (Kenji 3) ketika Niciren Daisyonin berusia 56 tahun di Gunung Minobu. Isi suratnya menjelaskan bahwa orang bijaksana adalah tidak terpengaruh oleh kedelapan angin, maka nama lain dari surat ini adalah Surat Delapan Angin. Syijo Kingo yang sejak dulu setia terhadap majikannya, Ema, telah memperoleh kepercayaan yang tebal dari majikannya. Oleh karenanya, di antara kawan sekerjanya banyak yang iri hati terhadap Syijo Kingo dan telah menghasut majikannya. Untuk itu pada bulan kesembilan tahun 1276 (Kenji 2) atas perintah dari majikannya, Syijo Kingo telah dikurangi gajinya dengan ketetapan menggantikan tanah miliknya ke daerah Ecigo. Terlebih lagi setelah memasuki tahun 1277 (Kenji 3) Syijo Kingo yang tidak menyetujui pergantian tanah miliknya maka kawan sekerjanya telah menghasut majikan mereka dengan berkata : “Kalau pegawai tidak menuruti perintah sang majikan, hendaknya tanah miliknya disita saja�, demikian keadaan Syijo Kingo yang semakin terdesak. Dalam keadaan demikian, Syijo Kingo telah melaporkan kejadian tersebut kepada Niciren Daisyonin yang berada di Gunung Minobu, bersamaan dengan itu pula ia rupanya bermaksud menuntut kawan-kawan sekerjanya. Dalam menanggapi hal ini Niciren Daisyonin memberikan bimbingan dan 62
Samantabadra | Nopember 2015
dorongan bahwa karena majikannya telah memberikan budi luhur sepanjang hidup kepadanya, maka betapapun jangan mudah terhasut hingga menimbulkan masalah dan bertengkar maupun membenci dengan tidak wajar terhadap majikannya. Juga jangan bergembira karena mencapai keberhasilan ataupun mengeluh ketika mengalami kegagalan. Terlebih dari itu, sebagai seorang bijaksana yang tidak terpengaruh oleh kedelapan angin, kalau berbakti kepada majikan dengan hati kepercayaan yang kuat, maka pasti akan memperoleh perlindungan dari para dewa. Sekaligus memberi dorongan semangat kepada Syijo Kingo bahwa demi terkabulnya suatu doa terhadap hal apapun, kebersatuan hati dari guru dan murid yakni meneruskan kepercayaan dari kesatuan antara guru dan murid yang tak terpisahkan (Syitei Funi) yang berkelangsungan merupakan hal yang penting sekali. Kalau berdoa dengan sikap demikian, pasti akan berhasil. Dengan memperhatikan secara seksama sikap penguasa Kamakura terhadap muridmurid dan diri Beliau pada waktu itu, serta memperhatikan sifat Syijo Kingo yang berkeras hati, di mana Niciren Daisyonin telah memberikan nasihat dan bimbingan yang terperinci serta penuh pengertian terhadap tugas dan pendirian seorang ksatria yang berbakti kepada penguasa Kamakura.
ISI GOSYO |
W
alau telah sekian lama tidak menerima surat dari Anda, namun tetap terkenang dalam hati, dan Saya sangat bergembira atas kiriman berbagai barang sumbangan melalui utusan Anda. Dan akan Saya sampaikan kepada Gohonzon. Mengenai masalah tuntutan tanah milik, setelah Saya membaca surat Anda dengan mencocokkan surat majikan Anda yang ditujukan kepada Anda, maka sehubungan dengan itu, sebelum menerima Surat Anda pun Saya telah memperkirakan bahwa majikan Anda kiranya sangat mementingkan hal tersebut. Dan diperkirakan orang-orang yang berdekatan dengan Beliau telah menghasut dengan berkata : “Syijo Kingo agaknya tidak dapat menerima tanah milik yang digantikan; dan mungkin akan memprotes majikan. Walau terdapat banyak orang yang mementingkan diri sendiri, namun terhadap orang yang mementingkan diri sendiri sedemikian rupa, hendaknya ditangguhkan sementara pemberian tanah di atas�. Mengenai hal ini, hendaknya Anda memiliki ketabahan hati dalam menghadapi hal tersebut di atas. Bagi diri Anda sendiri, orang tua, sanak saudara, dan segala sesuatunya dalam keluarga Anda, telah menerima budi luhur dari majikan yang berbudi luhur agung itu. Terlebih dari itu, ketika Niciren menghadapi penganiayaan di mana seluruh orang-orang di Jepang telah membenci, begitupun di antara para muridmurid Saya ada yang disita tanah miliknya oleh penguasa. Dan juga ada yang diberhentikan dari pekerjaan oleh majikannya; ada yang diusir dari tanah miliknya. Namun demikian, majikan Anda, Ema, yang sama sekali tidak pernah menyulitkan Anda, sungguh Anda telah menerima budi luhur agung yang tiada terhitung jumlahnya. Karena telah menerima budi luhur agung yang demikian, maka seandaikata mulai sekarang tidak menerima sedikit budinya pun, namun betapapun majikan Anda bukanlah yang harus Anda benci. Mungkin Anda masih menantikan pemberian budi luhur selanjutnya dari majikan Anda, sehingga bermaksud menolak penggantian tanah milik yang diberikan itu. Dikatakan terdapat perihal Kedelapan Angin. Justru orang bijaksana yang tidak terpengaruh oleh kedelapan macam angin sehingga dikatakan sebagai orang bijaksana. Kedelapan macam angin adalah : keberuntungan, kerugian, kehancuran, reputasi, pujian, ejekan, penderitaan dan kegembiraan. Seyogyanya tidak bergembira walau memperoleh keuntungan kemasyarakatan, sebaliknya juga tidak akan mengeluh terhadap hal yang merugikan. Orang yang tidak terpengaruh oleh kedelapan macam angin ini pasti akan dilindungi oleh para Dewa. Namun demikian, kalau menentang Hukum Kewajaran dengan membenci majikan Anda, maka walau berdoa dengan bagaimanapun tidak akan memperoleh perlindungan dari para Dewa. Tuntutan yang diajukan kepada penguasa, terdapat yang dikabulkan, juga terdapat pengabulan tanpa tuntutan; begitupun terdapat karena menuntut malah tidak dikabulkan. Tuntutan para penjaga malam, karena terlalu berkeluh kesah dalam upaya agar dikabulkannya tuntutan yang diajukan, di samping itu mereka adalah murid dari Niciren sehingga rumah dan tanah milik mereka telah disita, kiranya tak terlukiskan betapa kasihannya mereka itu. Bila sesuai dengan janji, mereka tidak akan mengajukan tuntutan, maka Saya telah berjanji untuk mendoakan tetapi malahan sebaliknya mereka telah Nopember 2015 | Samantabadra
63
materi ajaran | gosyo cabang menulis surat tuntutan resmi dan mendiskusikannya dengan orang-orang. Oleh karena itu tuntutan yang diajukan itu tidak akan dikabulkan, dan hingga sekarang keadaannya masih tetap begitu saja. Perihal Hiki Daigaku Saburo Yosyimoto dan Ikegami, karena menuruti nasihat yang diberikan Niciren, maka doa mereka telah dikabulkan. Sedangkan Hakiri agaknya telah memiliki kepercayaan terhadap Hukum agama Buddha, namun sehubungan dengan tuntutan ini, karena ia tidak menuruti nasihat yang diberikan oleh Niciren sehingga Saya meragukan keadaannya. Untuk itu Saya telah memberikan perhatian bahwa tuntutan yang diajukan itu tidak akan dikabulkan, oleh karenanya tidak berhasil. Namun demikian, karena tidak dapat mendengar apa yang sesuai dengan perasaan hati Saya, maka sebagai akibatnya perkara tuntutan itu tidak akan terkabulkan sesuai dengan yang dikehendaki. Dengan demikian, perbedaan doa antara guru dan murid sama seperti membakar sesuatu barang di atas air, yang tidak akan terkabulkan. Dan juga, walau doa antara guru dan murid sama, namun karena selama masa yang panjang orang yang telah berdoa dengan berdasarkan Hukum Sesat telah melanggar Hukum Sakti, sehingga bukan hanya tidak terkabulkan doanya bahkan guru dan murid bersama-sama akan musnah. Myoun, adalah Bhikku Tertinggi Sekte Tien-tai ke-50. Pada bulan kelima tahun 1176 (Koan 2), karena kemarahan dari kaisar telah dijatuhi hukuman. Tetapi ketika dibuang ke daerah Izu, para Bhikku Gunung Hiei telah menculiknya kembali dalam perjalanan di Oce. Dan selanjutnya, ia telah dikembalikan sebagai Bhikku Tertinggi. Namun kemudian, pada bulan kesebelas tahun 1183 (Juei-2) telah ditangkap dan dibunuh oleh Yosyinaka. Walau dikatakan demikian, namun kesalahan hingga dijatuhi hukuman pembuangan serta dipenggal kepalanya adalah bukan merupakan kesalahannya, betapapun, orang bijaksana dan orang arif bijaksana akan berhadapan dengan hal demikian. Akan tetapi, ketika Minamoto berperang dengan keluarga Kiyomori dari Heike, seluruh keluarga Kiyomori yang terdiri dari 20 orang lebih telah menandatangani surat sumpah bersama bahwa “Keluarga Heike sebagai penganut Gunung Hiei dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada Gunung Hiei, antara lain 3.000 orang Bhikku Gunung Hiei yang merupakan ayah bunda kami. Penderitaan Gunung Hiei adalah penderitaan kami; kegembiraan Gunung Hiei adalah kegembiraan kami�. Karena 24 daerah negeri Omi seluruhnya telah disumbangkan kepada Gunung Hiei, sehingga seluruh rakyat dan bhikku telah menjadi satu kesatuan, di mana di dalamnya telah berdoa dengan mencurahkan seluruh Hukum Syingon, sedangkan di luar telah menggerakkan tentara bhikku untuk menyerang Minamoto. Namun demikian, pengawal dari Kiso Yosyinaka yang bernama Hikuci Kanemice bersama-sama Yosyinaka beserta lima, enam orang telah menaiki Gedung Pusat Gunung Hiei dan telah menangkap Bhikku Tertinggi Myoun di atas altar persembahyangan dan mengikatkannya dengan tali dan digulingkan ke bawah bagaikan batu besar di tanjakan sebelah Barat Gunung Hiei, kemudian dipenggal kepalanya. Walau terdapat bukti nyata yang demikian, namun orang-orang di negeri Jepang tidak menjauhkan diri dari ajaran Syingon, malah tidak berkeinginan untuk mengetahui sebab musabab hingga terjadinya hal di atas. Selama tiga bulan dari bulan kelima, keenam, dan ketujuh tahun Jokyu ke-3 yang lalu, telah terjadi peperangan antara Kyo dan Ebisu. Pada waktu itu Kuil Gunung Hiei, Kuil Timur 64
Samantabadra | Nopember 2015
(Toji), ketujuh kuil besar dan Kuil Onjo dan lain-lainnya telah menyebarkan seluruh Hukum Rahasia dari Syingon yang utama di Jepang, dan telah melaksanakan doa satu persatu terhadap Dewa Tensyodaijin, Dewa Syohaciman, dan Raja Gunung demi mengalahkan penguasa di Kamakura. Dalam kesempatan itu telah dihadiri oleh 41 orang bhikku utama di Jepang. Seluruh Gunung Hiei dipimpin Bhikku Tertinggi yang terdahulu Bhikku Agung Jien, sedangkan pimpinan penghuni Kuil Timur (Toji) Kuil Ninna, dan Kuil Mi-i, seluruhnya telah berdoa demi mengalahkan Yosyitaka. Terlebih dari itu, Pangeran Dojo Hosyinno (kaisar yang lalu) di Istana Sisinden dimulai dari tanggal 8 bulan ke-6 telah mendoakan atas penaklukan tersebut. Namun demikian, yang dikatakan doa demi penaklukan yang akan dicapai selama tujuh hari, di mana pada hari ketujuh tanggal 14 telah mengalami kekalahan. Panglima yang sangat disayangi, Seitaka, telah dipenggal kepalanya, sedangkan Pangeran Dojo Hossyino telah meninggal secara tragis sekali. Walau terdapat hal-hal yang demikian, namun tiada seorangpun yang mengetahui letak kesalahannya adalah karena ajaran Syingon. Hingga sekarang ini, doa penaklukan dengan mencurahkan pada Hukum Syingon, telah terjadi pertama kali pada masa Myoun, kedua kalinya pada diri Jien dan pada waktu itu telah meruntuhkan Hukum Kerajaan Jepang dan kali ini adalah untuk yang ketiga kalinya. Jadi, doa demi penaklukan terhadap Mongolia sekarang ini, mungkin terdapat halhal yang serupa dengan contoh di atas. Hal ini sangat dirahasiakan sekali, harap jangan menyampaikannya kepada orang lain dan simpanlah di dalam hati Anda sendiri. Dengan demikian, mengenai penggantian tanah milik kali ini, hendaknya jangan mengajukan tuntutan serta jangan membenci majikan dan jangan sering keluar rumah. Harap tetap berada di Kamakura, dan kadang-kadang datang untuk bertugas ke tempat tugas. Dengan demikian kiranya keinginan Anda akan terkabulkan. Dan sama sekali tidak diperkenankan bersikap salah tingkah, dan janganlah sekali-kali menimbulkan hati kemarahan yang menuntut reputasi dan keuntungan.
KUTIPAN GOSYO |
1
Karena telah menerima budi luhur agung yang demikian, maka seandaikata mulai sekarang tidak menerima budinya pun, namun betapapun majikan Anda bukanlah yang harus Anda benci. Mungkin Anda masih menantikan pemberian budi luhur selanjutnya dari majikan Anda, sehingga bermaksud menolak penggantian tanah milik yang diberikan itu.
Keterangan: Pada bagian ini Niciren Daisyonin memberikan bimbingan yang tegas bahwa betapapun harus mengutamakan hati kepercayaan, disamping itu menandaskan bahwa walau terhadap majikan dan kawan sekerja yang menentang hati kepercayaan, namun harus berbakti dengan sungguhsungguh hingga menjadi seorang ksatria yang utama. Karena Hukum agama Buddha adalah sesuatu yang menyinari segi dalam dari jiwa manusia, dan menjelaskan dengan terperinci suatu Hukum yang tegas dan tak Nopember 2015 | Samantabadra
65
materi ajaran | gosyo cabang tergoyahkan yang berkelangsungan terus menerus, maka dengan memahami Hukum itu akan dapat memahami Hukum masyarakat yang dibentuk oleh manusia yang merupakan medan penggerak dari jiwa. Oleh karenanya kalau berjuang menuju perombakan sifat jiwa dengan mempertahankan kepercayaan yang murni dan tulus, maka dalam kehidupan kemasyarakatan sewajarnya menjadi suri tauladan dan harus menjalankan kehidupan yang sesuai dengan kewajaran agama Buddha. Justru, karena Syijo Kingo memperoleh bimbingan yang keras dari Niciren Daisyonin, sehingga pada akhirnya ia telah berhasil melaksanakan hati kepercayaan dan pekerjaannya dengan baik dan memperoleh pujian-pujian dari orangorang di Kamakura sebagai “Syijo Kingo dari sekte Saddharmapundarika-sutra”. (Gosyo, hal.1118). Dan “Sungguh ia benar-benar sebagai lelaki sejati”. Justru karena Syijo Kingo memiliki hati kepercayaan dan kekuatan pelaksanaan yang sedemikian rupa, sehingga Buddha Niciren Daisyonin telah memberikan bimbingan yang keras sekali terhadap Syijo Kingo.
2
Dikatakan terdapat perihal Kedelapan Angin. Justru orang bijaksana yang tidak terpengaruh oleh kedelapan macam angin sehingga dikatakan sebagai orang bijaksana.
Keterangan: Bagian ini menjelaskan dengan gamblang bagaimanakah sebenarnya yang dikatakan sebagai orang bijaksana yang sesungguhnya. Pada umumnya yang dikatakan orang bijaksana diperkirakan sebagai orang yang memahami Hukum Alam dan kemasyarakatan serta dapat memberikan penilaian yang tepat tanpa kekeliruan. Sebagai umpama, dalam bidang politik ataupun dalam bidang ekonomi terdapat berbagai orang-orang bijaksana, akan tetapi orang bijaksana yang dimaksud dalam Hukum agama Buddha sama sekali berlainan dengan 66
Samantabadra | Nopember 2015
orang bijaksana yang berhubungan dengan berbagai bidang dari lingkungan masyarakat luas. Orang bijaksana yang dimaksud adalah orang yang mengetahui dengan tepat dan tidak terpengaruh maupun disesatkan oleh jodoh lingkungan masyarakat luas. Seperti yang dikatakan Socrates “Ketahuilah diri Anda sendiri”, hal ini mempunyai maksud dan titik penting untuk tidak terpengaruh oleh kedelapan angin. Justru orang bijaksana itu bukan yang dimaksud dengan orang bijaksana yang berhubungan dengan bidang-bidang yang terbatas saja, melainkan orang bijaksana yang mencakupi keseluruhan dari kehidupan. Walau dikatakan tidak terpengaruh oleh kedelapan angin, namun jodoh demikian yang timbul dari lingkungan masyarakat luas merupakan sesuatu yang tidak dapat diputuskan dalam kehidupan sebagai seorang manusia. Dan juga kalau menutup diri dengan hati yang sedemikian keras, akan menutup dan membunuh sifat kemanusiaan di mana kehidupan tanpa perasaan bagaikan gersangnya padang pasir. Hal yang terpenting adalah sama sekali tidak bersikap pasif dan menutup diri, melainkan memiliki sikap yang penuh inisiatif, menegakkan dan mengetahui diri sendiri untuk menikmati perubahan dan gejolak kehidupan dengan penuh kegembiraan. Kutipan “Pasti para Dewa akan melindungi” berarti, seluruh gejala alam akan menjadi sesuatu fungsi yang menguntungkan bagi diri sendiri. Ketika seseorang menegakkan kepribadiannya yang kokoh, akan dapat menghidupkan dan merubah gejala lingkungan masyarakat luas yang menguntungkan dirinya, dan pada kenyataan memang seluruh aspek lingkungan masyarakat luas pun telah berubah.
3
Tuntutan yang diajukan kepada penguasa, terdapat yang dikabulkan, juga terdapat pengabulan tanpa tuntutan; begitupun terdapat karena menuntut malah tidak dikabulkan. Tuntutan para penjaga malam,
karena terlalu berkeluh kesah dalam upaya agar dikabulkannya tuntutan yang diajukan, di samping itu mereka adalah murid dari Niciren sehingga rumah dan tanah milik mereka telah disita, kiranya tak terlukiskan betapa kasihannya mereka itu. Bila sesuai dengan janji, mereka tidak akan mengajukan tuntutan, maka Saya telah berjanji untuk mendoakan, tetapi malahan sebaliknya mereka telah menulis surat tuntutan resmi dan mendiskusikannya dengan orang-orang. Oleh karena itu tuntutan yang diajukan itu tidak akan dikabulkan dan hingga sekarang keadaannya masih tetap begitu saja. Perihal Hiki Daigaku Saburo Yosyimoto dan Ikegami, karena menuruti nasihat yang diberikan Niciren maka doa mereka telah dikabulkan. Sedangkan Hakiri agaknya telah memiliki kepercayaan terhadap Hukum agama Buddha, namun sehubungan dengan tuntutan ini karena ia tidak menuruti nasihat yang diberikan oleh Niciren sehingga Saya meragukan terhadap keadaannya. Untuk itu Saya telah memberikan perhatian bahwa tuntutan yang diajukan itu tidak akan dikabulkan, oleh karenanya tidak berhasil. Namun demikian, karena tidak dapat mendengar apa yang sesuai dengan perasaan hati Saya, maka sebagai akibatnya perkara tuntutan itu tidak akan terkabulkan sesuai dengan yang dikehendaki. Dengan demikian, perbedaan doa antara guru dan murid sama seperti membakar sesuatu barang di atas air, yang tidak akan terkabulkan. Dan juga, walau doa antara guru dan murid sama namun karena selama masa yang panjang orang yang telah berdoa dengan berdasarkan Hukum Sesat telah melanggar Hukum Sakti sehingga bukan hanya tidak terkabulkan doanya, bahkan guru dan murid bersama-sama akan musnah. Keterangan : Bagian ini menjelaskan keinginan Syijo Kingo untuk mengajukan tuntutan atas hak
tanah miliknya. Mengenai masalah tuntutan, Niciren Daisyonin telah mengajukan contohcontoh nyata dari orang yang terkabulkan maupun orang yang tidak terkabulkan dalam hal tuntutan itu serta menunjukkan faktor apakah yang terpenting dalam mengatasi hal di atas. Akan tetapi yang dipermasalahkan Niciren Daisyonin di sini, semata-mata bukan hanya berupa perihal dalam peraturan saja. Bimbingan yang diberikan Buddha Niciren Daisyonin, pertama-tama adalah masalah sebelum terjadinya hal ini yakni bagaimanakah seharusnya bersikap sebagai seorang manusia yang wajar. Seperti yang dikatakan dalam kutipan kalimat “Kalau menentang kewajaran dengan membenci majikan Anda, maka walau berdoa dengan bagaimanapun, tidak akan memperoleh perlindungan dari para Dewa�, adalah menunjuk hal tersebut di atas. Walau suatu tuntutan berdasarkan peraturan hukum adalah wajar, namun kalau dipandang dari sudut eratnya hubungan maupun budi luhur yang diperoleh selama waktu yang lama, maka kiranya hal tersebut kurang tepat sebagai seorang manusia. Buddha Niciren Daisyonin memberikan bimbingan bahwa walau suatu masalah sesuai dengan kewajaran, namun kalau hal itu terlepas dari jalan sebagai seorang manusia, maka betapapun tidak akan memperoleh perlindungan dari para Dewa. Perihal tidak memperoleh perlindungan dari para Dewa Hukum agama Buddha, walau terdapat berbagai pandangan, sebagai umpama, sekalipun seseorang menang dalam perkara tuntutan namun bila ia tidak mengenal budi luhur kemanusiaan maka sering terjadi ia diasingkan oleh lingkungannya. Oleh karena itu, kita tidak dapat menilai sesuatu dengan pandangan yang demikian saja, namun yang terpenting adalah bertitik tolak pada kemanusiaan dalam arti yang luas, dan sikap pandangan demikianlah yang tepat untuk memandang kebenaran atau kesalahan dan memandang berbagai masalah. Satu hal lagi yang ditandaskan Buddha Niciren Daisyonin adalah perihal hubungan Nopember 2015 | Samantabadra
67
materi ajaran | gosyo cabang guru dan penganut. Bila hatinya satu maka segala doa pasti terkabulkan, demikianlah yang dimaksud dengan kesatuan guru dan murid yang tak terpisahkan (Syitei Funi). Buddha Niciren Daisyonin adalah guru dari Hukum agama Buddha, namun demikian karena Buddha Niciren Daisyonin telah menyadari sedalam-dalamnya Myoho (Saddharma) dengan “Makna yang tak terhingga dilahirkan dari satu Hukum�, maka mengenai Hukum apa pun Beliau dapat memberikan penilaian yang tepat tanpa kekeliruan sedikitpun. Hal mana sama seperti Hakiri yang walau dalam Hukum agama Buddha percaya terhadap Sang Buddha Niciren Daisyonin, namun karena dalam perkara tuntutan, yakni dalam kaitannya dengan Hukum kemasyarakatan tidak mau menuruti kata-kata Sang Buddha Niciren Daisyonin sehingga keinginannya tidak tercapai. Kalau
Catatan
68
Samantabadra | Nopember 2015
Hukum yang dianut adalah Hukum yang jahat dan menyesatkan, maka walau guru dan murid bersatu hati berdoa, namun tidak lain semuanya akan menjadi musnah. Perihal keharusan untuk senantiasa berdasarkan pada Hukum Sakti, justru merupakan syarat utama yang mendasar sekali. Dengan demikian, dalam usaha untuk keberhasilan sesuatu hal, hendaknya mengutamakan pada sesuatu yang sesuai dengan budi pekerti sebagai seorang manusia. Karena hal itu sendiri pun memang merupakan sesuatu yang wajar. Terlebih lagi, perihal keharusan dalam berdoa dengan berdasarkan pada kesatuan guru dan murid yang tak terpisahkan yang berlandaskan pada Hukum Sakti, kiranya harus kita tanggapi sebagai bimbingan penting dalam mengatasi berbagai masalah dalam kehidupan sebagai penganut dan masyarakat luas. eee
Nopember 2015 | Samantabadra
69
materi ajaran | gosyo cabang
70
Samantabadra | Nopember 2015
Nopember 2015 | Samantabadra
71
materi ajaran | forum diskusi
Forum Diskusi
Ini Saatnya Syakubuku
1
Memasuki tahapan baru dikatakan kita harus menggiatkan Syakubuku. Apakah yang dimaksud dengan Syakubuku dan mengapa kita harus melakukannya ? Jawab : Dalam pengertian luas, Syakubuku berarti mengajak orang-orang lain menuju kebahagiaan mutlak melalui kepercayaan kepada Gohonzon dari Sandaihiho. Syakubuku adalah suatu tindakan yang didasari oleh sikap maitri karuna, yakni keinginan untuk mengeluarkan orang lain dari penderitaannya dan sekaligus meraih kebahagiaan. Setelah melaksanakan hati kepercayaan dengan sungguh-sungguh kita pasti merasakan karunia kebajikan yang tak terhingga dari Gohonzon. Sudah sewajarnya setiap umat manusia mendambakan kehidupan yang berbahagia. Namun, jarang sekali orang yang dapat merasakan kebahagiaan sepenuhnya. Perhatikan saja orang-orang di sekitar kita. Ada yang kaya raya tetapi keluarganya tidak harmonis. Ada lagi yang sudah miskin, menderita bermacam-macam penyakit, dan sering bertengkar pula. Ada juga keluarga yang dari luar tampaknya rukun, namun di dalamnya penuh dengan berbagai kepalsuan. Bermacam-macam bentuk ketidakbahagiaan tersebut, darimanakah sebab pokok perasaan tidak bahagia itu ? Jika ditinjau secara mendalam, semua ketidakbahagiaan bersumber pada filsafat hidup yang diyakininya. 72
Samantabadra | Nopember 2015
Filsafat yang tidak mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab atas nasibnya sendiri membuat manusia menderita. Filsafat seperti itu menyebabkan orang mencari perlindungan kepada hal-hal yang berada di luar dirinya sendiri. Selain itu, orang juga akan menyalahkan hal-hal yang ada di sekitarnya. Sikap hidup seperti ini pada akhirnya hanya akan membuat orang berputar-putar dalam kesulitannya tanpa pernah mencari penyelesaian secara tuntas. Secara gamblang dapat kita ambil contoh sebagai berikut. Sebagian orang percaya bahwa ada harihari baik dan ada hari-hari buruk. Untuk mengetahui hari-hari yang buruk orang perlu mencari petunjuk, entah kepada manusia entah kepada buku. Bayangkan apa jadinya bila di abad modern ini banyak orang yang percaya akan hal ini. Mungkin transaksi bisnis tidak akan berjalan dengan lancar, jadwal keberangkatan kendaraan umum kacau balau, berbagai kegiatan dapat dibatalkan secara tiba-tiba. Alangkah kacaunya kehidupan ini ! Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang percaya kepada hal-hal yang tak masuk akal seperti ini. Orang seperti ini penuh dengan keragu-raguan. Ia tak pernah percaya kepada dirinya sendiri. Akhirnya, apapun yang dikerjakan akan menjadi berantakan. Dan pasti ia jatuh dari satu kesulitan menuju kesulitan yang lain. Semuanya itu bersumber pada filsafat sesat yang diyakininya. Kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh dengan bangkitnya jiwa Buddha yang terpendam di dalam jiwa setiap orang.
Jiwa Buddha ini hanya dapat dibangkitkan lewat penyebutan Nammyohorengekyo dari Sandaihiho di hadapan Gohonzon dan melaksanakan hati kepercayaan sesuai dengan ajaran Buddha Niciren Daisyonin. Ketika dianjurkan untuk percaya kepada Gohonzon, pada umumnya kita sedang berada dalam penderitaan. Setelah melaksanakan hati kepercayaan dengan tekun, kita pasti dapat menghadapi kesulitan yang ada dengan tabah dan bahkan dapat mengatasi semuanya serta mempunyai harapan yang cerah dalam hidup ini. Perubahan yang terjadi itu merupakan hasil dari bangkitnya jiwa Buddha yang ada dalam diri kita. Pada Masa Akhir Dharma sekarang ini adalah waktunya Hukum Agung Nammyohorengekyo tersebarluas di seluruh dunia. Hal ini telah dinyatakan oleh Buddha Sakyamuni dalam Bab 23 Saddharmapundarika-sutra, Bab Bodhisattva Baisyajaraja, “Dalam kurun waktu lima ratus tahun kelima setelah kemoksyaanKu, laksanakanlah penyebarluasan dan jangan biarkan terhenti arusnya�. Buddha Niciren Daisyonin juga telah meramalkan kepastian akan hal ini dalam Surat Syoho Jisso. “Pada mulanya hanya Niciren seorang diri menyebut Nammyohorengekyo. Tetapi kemudian dua, tiga dan ratusan ribu orang akan turut menyebut dan mengajarkan orangorang lainnya. Demikian pula di kemudian hari sama halnya. Pada waktu Kosenrufu seluruh negeri Jepang (dunia) akan menyebut Nammyohorengekyo. Sedemikian pastinya seperti memanah bumi yang tak akan meleset�. Dengan demikian sudah merupakan kepastian bahwa Hukum Nammyohorengekyo akan tersebarluas pada Masa Akhir Dharma sekarang ini. Hal ini tidak perlu diragukan sedikitpun. Ramalan para Buddha telah memastikan bahwa Hukum Nammyohorengekyo akan tersebarluas di Masa Akhir Dharma ini. Dengan demikian orang-orang di Masa Akhir Dharma mempunyai jodoh untuk percaya kepada Hukum Nammyohorengekyo. Kita
tidak perlu ragu-ragu memberitahu orang lain untuk percaya kepada ajaran Buddha Niciren Daisyonin ini, karena mereka pasti mempunyai jodoh untuk percaya. Memang, ada orang yang jodohnya dekat dengan Gohonzon sehingga dapat segera percaya ketika diberitahu. Sebaliknya, ada juga orang yang sukar untuk percaya, bahkan bersikap menentang ketika diberitahu keagungan Hukum Nammyohorengekyo. Apapun reaksi orang tersebut, jangan ragu-ragu untuk melakukan Syakubuku. Baik orang tersebut segera percaya maupun menentang, ia pasti berjodoh dengan Gohonzon. Meskipun sekarang ia belum percaya, suatu saat ia pasti percaya. Jiwa Buddha yang terpendam dalam dirinya telah bergetar ketika ia mendengar Hukum Nammyohorengekyo. Jika telah matang, orang tersebut pasti menyatakan kepercayaannya kepada Gohonzon. Dengan demikian, hendaknya kita tidak putus asa jika orang yang kita Syakubuku sulit sekali untuk percaya kepada Gohonzon. Karunia kebajikan memberitahu Hukum Nammyohorengekyo kepada orang lain tidaklah terkira. Baik orang yang kita Syakubuku mau menerima ataupun belum mau menerima Gohonzon, kita tetap memperoleh karunia kebajikan jika memberitahu Hukum Nammyohorengekyo. Zaman saat kita hidup sekarang ini adalah zaman yang penuh dengan kesulitan. Resesi ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun agaknya akan semakin berat. Penyakit-penyakit yang dulu tak pernah didengar sekarang harus dihadapi manusia. Peperangan atau kerusuhan yang terjadi di berbagai negara di dunia ini bukan tak mungkin terjadi di negara tercinta ini. Benarbenar zaman ini adalah zaman yang keruh, penuh dengan lima racun, yakni keserakahan, kemarahan, kebodohan, kesombongan dan keragu-raguan ! Pasti banyak orang yang menderita karena hanyut dalam kekejaman arus zaman yang keruh ini. Dalam keadaan zaman yang sekeruh apapun, orang yang dapat membuka jiwa Buddhanya pasti hidup Nopember 2015 | Samantabadra
73
materi ajaran | forum diskusi penuh dengan kebahagiaan. Semakin banyak orang yang dapat membuka jiwa Buddhanya akan semakin menggetarkan jiwa Buddha dari tempat tinggalnya. Tempat tinggalnya akan menjadi Tanah Buddha, yaitu tanah yang jauh dari malapetaka. Mengingat besarnya pengaruh getaran jiwa Buddha ini kepada tanah air tempat kita tinggal, tak diragukan lagi bahwa Syakubuku sudah seharusnya kita lakukan. Yakinlah kita kepada petuah emas Buddha Niciren Daisyonin, “Karena Hukumnya agung, manusianya menjadi luhur dan tanahnya menjadi Tanah Buddha�.
2
Ketika Syakubuku, seringkali ditemukan kesulitan dalam hal melepaskan filsafat sebelumnya. Bagaimanakah sikap kita agar orang tersebut dapat menerima Gohonzon tanpa kompromi?
Jawab : Masalah yang ditanyakan ini merupakan hal yang amat mendasar dalam hati kepercayaan Niciren Syosyu. Kepercayaan kita mutlak hanya kepada Gohonzon dari Sandaihiho, tidak lagi kepada bermacam-macam pusaka pemujaan lainnya. Inilah prinsip Ekabuddhayana. Prinsip ini bukan dibuat oleh Buddha Niciren Daisyonin. Jangan Anda salah mengira bahwa Buddha Niciren Daisyonin sedemikian fanatik tanpa dasar yang kokoh. Apapun yang dikemukakan Beliau pasti berdasarkan maitri karuna dan mempunyai dasar ajaran yang jelas. Prinsip Ekabuddhayana berasal dari Saddharmapundarika-sutra yang dibabarkan oleh Buddha Sakyamuni. Dalam sutra tersebut dijelaskan bahwa surat ini hanya dibabarkan kepada orang yang hanya mencari jalan Kebuddhaan dan membuang ajaran-ajaran sementara lainnya. Jadi, dalam sutra tersebut jelas bahwa kepercayaan kepada sutra tersebut adalah tunggal. Saddharmapundarika-sutra adalah sutra yang terunggul karena menjelaskan tentang pencapaian Kesadaran Buddha bagi 74
Samantabadra | Nopember 2015
manusia. Dalam sutra ini seluruh ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Sakyamuni telah tercakupi. Gohonzon adalah pusaka pemujaan yang bulat sempurna, dalam arti mencakupi seluruh karunia kebajikan para Buddha. Dengan demikian kita tidak perlu lagi memuja para Buddha lainnya, karena seluruh Buddha, Bodhisattva, maupun Dwiyana telah tercakup di dalam Gohonzon. Kepercayaan penuh kepada Gohonzon secara tunggal sajalah yang akan mendatangkan karunia kebajikan yang sesungguhnya. Sama halnya dengan meminum obat yang manjur. Obat yang mujarab tidak perlu ditambah dengan bermacam-macam obat lainnya, karena dalam obat tersebut telah terkandung semua unsur yang diperlukan. Jika tetap meminum bermacam-macam obat di samping obat manjur tersebut malahan akan menghasilkan efek samping yang tidak diharapkan. Yang jadi permasalahan adalah bagaimana menyampaikan hal ini kepada para calon anggota. Sebelum seseorang yakin kepada Gohonzon dari Sandaihiho ia pasti mempunyai filsafat lainnya. Kebanyakan orang tidak merasa berat untuk membuang kepercayaannya yang lama, melainkan berat kepada hal-hal sampingan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Misalnya, khawatir ikatan persaudaraan menjadi renggang, merasa sayang kepada benda warisan leluhur, tidak mendapat warisan dan lain sebagainya. Hendaknya hal-hal seperti ini dapat dipahami dengan baik terlebih dahulu. Namun demikian, tidak berarti kita menjadi kompromi karena memahami permasalahan orang tersebut. Justru dengan adanya pemahaman yang mendalam kita dapat memberi bimbingan yang penuh dengan kehangatan. Tanpa memahami keterikatan orang pada hal-hal seperti itu kita cenderung bersikap otoriter, memaksakan pendapat sendiri secara sembarangan. Untuk hal-hal yang mendasar seperti ini tak sedikitpun kita boleh kompromi. Bagaimanapun juga, kita harus menunjukkan secara tegas bahwa
hati kepercayaan seharusnya hanya kepada Gohonzon. Mungkin ada yang berpikir, “Untuk permulaan biarkan saja orang itu mempunyai dua kepercayaan. Lama kelamaan ia tentu dapat membandingkan bahwa Gohonzon lebih unggul�. Sikap seperti ini agaknya keliru. Jika semenjak permulaan kita tak dapat bersikap tegas, maka pada akhirnya orang tersebut tidak akan dapat merasakan kekuatan Gohonzon yang sebenarnya. Ada pula yang berpendapat, “Kita tak mungkin dapat mengajak orang lain percaya kepada Gohonzon jika kita bersikap terlalu keras�. Inipun pendapat yang kompromi. Kita harus yakin, pada zaman sekarang ini tak ada cara lain untuk menyelamatkan orang kecuali dengan percaya kepada Hukum Nammyohorengekyo. Sekarang adalah saatnya Hukum Nammyohorengekyo tersebarluas, sehingga siapapun pasti dapat percaya. Jika kita tidak bersikap tegas, orang itu tak akan terlepas dari kesulitan secara tuntas. Ia tak dapat mencabut penderitaan dari akarnya. Dalam membuat sesuatu, jika dari permulaan tidak diawali dengan baik maka akan sukar untuk mengerjakannya secara benar. Apalagi bila harus memperbaiki lebih sukar daripada membuat sesuatu yang baru. Oleh karena itu, hendaknya dari permulaan mengajak orang mengikuti hati kepercayan ini kita dapat menunjukkan sikap yang seharusnya secara tegas. Meskipun demikian dalam menyampaikan ketegasan ini diperlukan kebijaksanaan. Kita memerlukan prajna Buddha. Hendaknya dipertimbangkan secara mendalam mengenai keadaan orang tersebut serta keadaan kehidupannya. Kita tak boleh menyamaratakan perlakuan kepada semua orang. Pada intinya kita tetap berpegang teguh pada untuk tidak kompromi, tetapi penyampaiannya harus penuh toleransi. Dan hendaknya, membimbing secara berkesinambungan sampai orang tersebut dapat melaksanakan hati kepercayaan yang sebenarnya. Untuk bersikap tegas, pertama-tama
hati kepercayaan kita kepada Gohonzon juga harus tegas. Kita sendiri yakin bahwa kepercayaan kepada Gohonzon adalah Ekabuddhayana. Tanpa keyakinan seperti ini, kita tak dapat membimbing orang lain untuk menjalankan hati kepercayaan yang sebenarnya. Pelaksanaan hati kepercayaan kita sendiri hendaknya sesuai dengan kehendak Sang Buddha. Berbagai filsafat sesat yang masih memenuhi jiwa harus kita kikis habis. Kita terus berjuang untuk senentiasa memunculkan sifat maitri karuna yang ada dalam diri kita. Dalam setiap hari kita merasa gelora semangat hati kepercayaan kepada Gohonzon. Dari pelaksanaan hati kepercayaan yang mantap seperti ini kita dapat merasakan karunia kebajikan Gohonzon dari dasar hati. Rasa syukur dan terima kasih dapat percaya kepada Gohonzon dalam hidup kali ini ingin kita bagi kepada orang lain. Orang lain juga dapat merasa bahagia seperti yang kita rasakan, jika ia percaya kepada Gohonzon. Jika kita benar-benar menginginkan orang lain merasa bahagia yang sesungguhnya, pasti doa yang penuh dengan kesungguhan hati kita kirim kepada orang tersebut. Getaran maitri karuna ini pasti akan diterima oleh orang tersebut sehingga jiwa Buddhanya akan terbuka. Dengan adanya sikap maitri karuna yang tulus, tanpa dibuat-dibuat, kita pasti dapat menyampaikan bahwa kepercayaan kepada Gohonzon harus tunggal. Tanpa kepercayaan sepenuhnya kepada Gohonzon kita tak dapat merasa kebahagiaan yang sesungguhnya. Siapa yang tidak mau merasa bahagia secara sempurna ? Siapapun mau. Pasti orang tersebut rela melepaskan keterikatannya kepada hal-hal yang berkaitan denghan filsafat lama. eee
Nopember 2015 | Samantabadra
75
bagi rasa
Kosenrufu dan Syakubuku Melalui Kesenian
P
ada bulan Agustus 2015 yang lalu, sekitar 30 umat NSI yang tergabung dalam tim kesenian NSI mengunjungi Yangon, Myanmar untuk memenuhi undangan Duta Besar Indonesia untuk Myanmar dalam rangka peringatan hari kemerdekaan RI ke 70. Dalam acara ini, tim kesenian NSI diundang untuk mengisi rangkaian acara dengan menampilkan empat tarian yang dipersembahkan oleh umat NSI. Berikut ini bagi rasa dan pengalaman dari empat orang umat NSI yang mewakili masing-masing tarian.
S
aya gembira sekali diberikan kesempatan untuk menjadi bagian dari misi penyebarluasan dharma NSI ke Myanmar. Saat pertama kali saya mendengar rencana kunjungan ini, pada akhir tahun 2014, saya ingin sekali (icinen) untuk bisa turut serta dalam kegiatan tersebut. Baru pada bulan Pebruari 2015, saya berkesempatan untuk turut serta dalam perjalanan ini dengan bergabung di dalam grup tari “Shinta Obong�. Sebagai karyawan, tantangan saya adalah mengajukan cuti pekerjaan di tengah load pekerjaan yang tinggi. Saya juga harus membagi waktu antara menyelesaikan pekerjaan dan intensitas latian tari yang semakin sering. Tapi dengan icinen yang tulus untuk menyumbang kepada dharma, dan peningkatan pelaksanaan daimoku, akhirnya semua itu bisa terlaksana dengan baik. Sebelum keberangkatan, kami semua dibimbing oleh bapak Ketua Umum NSI, bahwa misi kunjungan ini adalah kosenrufu. Jadi kita harus menari dengan penuh kesungguhan hati agar bisa memberikan getaran kepada penonton. Tidak ada lagi identitas daerah. Semua penari adalah perwakilan dari NSI, dan lebih luas lagi kami semua mewakili negara Indonesia. Sebagai tim tari perwakilan Indonesia, kami pun satu hati (itai dosyin) untuk saling mendukung satu sama lain agar bisa memberikan penampilan terbaik demi mengharumkan nama bangsa, khususnya dalam rangka misi penyebarluasan dharma. Bisa berada di antara pejabat-pejabat tinggi kenegaraan sungguh merupakan hal yang tidak pernah terpikir oleh saya sebelumnya. Melihat Bapak Ketua Umum NSI dan Ibu Tristina duduk di meja VIP bersama dengan Menteri Negara Kebudayaan Myanmar dan duta besar RI untuk Myanmar, saya sebagai umat NSI merasa sangat bangga dan terharu. Selama di sana, kami bisa menunjukkan sikap yang baik dan memberikan kesan tersendiri bagi Duta Besar Indonesia untuk Myanmar. Kalau saya tidak ada di NSI, belum tentu saya bisa terlibat dalam misi yang begitu besar, demi penyebarluasan dharma dan kebahagiaan orang banyak. (Vinni, DKI Jakarta) 76
Samantabadra | Nopember 2015
S
aya merasa gembira dan bangga bisa menjadi bagian dari keluarga besar NSI, bisa ikut berpartisipasi menyukseskan acara kesenian di sana dan ikut menyebarluaskan hukum Nammyohorengekyo lewat tim kesenian NSI dan menarikan “Sancang Gugat.” Hal ini karena ada perasaan mau membalas budi kepada tanah air dengan turut melestarikan budaya Indonesia. Saya semakin menyadari pentingnya satu hati dan ketulusan hati dari kita semua dalam penyebarluasan hukum Nammyohorengekyo. (Fong-Fong, Banten)
M
enjalankan misi kebudayaan dalam rangka kosenrufu merupakan kebanggaan. Terpilih sebagai salah seorang anggota rombongan misi kebudayaan negara ke Myanmar dalam rangka HUT ke-70 RI merupakan jodoh kuat dan rejeki buat saya. Apalagi rombongan misi kebudayaan kali ini didukung dengan kehadiran Mas Didik Nini Thowok sang maestro tari nusantara. Perjalanan ke Myanmar sungguh merupakan pengalaman syinjin yang amat berharga, mulai dari doa hingga realisasinya pada tgl 20-23 Agustus yang lalu. Pertama kali didengungkan tentang misi ini, saya sudah menetapkan icinen untuk berangkat, karenanya mendapat dukungan dan restu suami serta anakanak. Saya pun semakin bulat bertekad untuk ikut serta dalam rombongan NSI untuk menyebarluaskan Dharma Nam-myoho-renge-kyo di negeri Buddhis, Myanmar. Membina kekompakan tari “Kamala Wijaya” di antara penari selalu menjadi perhatian kami bersama agar tetap itai dosyin. Tahapan praseleksi pun berhasil kami lewati. Saya bersyukur selama di Yangon hingga kembali ke Jakarta, kami semua selamat tanpa kekurangan apapun, begitupun keluarga yang di tinggal di tanah air dalam kondisi yang baik. Kegiatan akbar ini meningkatkan kualitas syinjin saya kepada Gohonzon dari Sandai Hiho dan meningkatkan motivasi saya untuk menari dan berkesenian di NSI dengan lebih giat. (Murni, Jawa Barat)
S
aya merasa sangat berejeki bersama NSI turut menyumbang tarian “Nyai Kembang” di acara peringatan HUT RI di Myanmar. Untuk mengikuti misi ini, selain kami giat berlatih dan menjaga kekompakan, kami pun giat mengisi jiwa dengan dharma melalui kensyu dan pertemuan-pertemuan di susunan NSI. Saya sendiri harus mengatur jatah cuti dan menabung. Saat di panggung, kami tampil dengan ketulusan hati. Kami bahagia sekali karena penampilan kami mendapat banyak apresiasi dari hadirin. Saya juga terkesan dengan seluruh anggota kontingen yang itai dosyin, saling menjaga suasana sampai kembali ke tanah air. Semoga seluruh anggota tim bisa membawa suasana baik tersebut ke dalam susunan daerahnya masing-masing. Dan semoga penari-penari yang lain jadi semakin semangat dan giat berlatih demi kosenrufu. (Sari, DKI Jakarta) Nopember 2015 | Samantabadra
77
bagi rasa
Kesan Pesan Kensyu Lansia 2015 S
aya merasakan kegembiraan yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata lewat kensyu lansia kali ini. Saya kenal dan percaya pada Nammyohorengekyo dari 1991 sampai sekarang. Waktu dulu saya menderita banyak penyakit, makanya saya jalani, dan semenjak saya menjalankan hati kepercayaan kepada Nammyohorengekyo sampai sekarang, saya sehat dan tidak pernah sakit parah. Saya lakukan daimoku setiap hari. (Ibu Sri Bintang, Jambi)
S
aya berterima kasih pada kensyu lansia kali ini saya dapat mengajak suami saya untuk ikut kensyu lansia sama-sama. Dan saya juga merasa senang karena bersama saudara-saudara sedharma semuanya bisa sehat dan sama-sama itai dosyin. Saya mau jalankan sungguh-sungguh hati kepercayaan ini sampai akhir hayat saya. Saya mau punya hati kepercayaan yang tunggal, yaitu hanya kepada Gohonzon. Saya juga ingin ketika meninggal nanti dapat menggunakan upacara kematian secara NSI dan mau berusaha supaya bisa ada yang meneruskan hati kepercayaan ini di dalam keluarga saya. (Ibu Anyun, Bogor-Jawa Barat)
S
aya merasa berterima kasih kali ini bisa mengikuti Kensyu Lansia. Saya jadi bisa lebih semangat lagi syinjinnya. Gosyonya juga sangat bagus, yaitu mengenai Itai Dosyin. Memang dalam hidup kita harus Itai Dosyin, walaupun berbeda-beda badan, namun hati kepercayaan kita hanya satu. Saya mau semakin menjalankan syinjin dengan sungguh-sungguh. Saya juga menghimbau supaya semuanya jangan seperti saya, harus tunggu sampai kena masalah dulu baru mau jalankan syinjin dengan sungguh-sungguh. Jangan sayang diri. Kita harus pakai sisa hidup kita, gunakan tenaga kita untuk jalankan hati kepercayaan dengan lebih sungguh-sungguh lagi. (Ibu Hong Nio, Cikupa-Banten)
H
ari demi hari yang berlalu kalau sudah lewat, tidak bisa kembali lagi. Waktu terus bergerak tanpa menunggu kita. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apa yang harus kita cari dan kerjakan dalam hidup kita? Kita harus membuat rejeki jiwa. Dalam menjalani hidup kita harus terus membuat rejeki jiwa. Dengan adanya rejeki jiwa, mau melakukan apa saja pasti bisa. Sebagai lansia NSI, kita harus bisa menjaga kesehatan kita masing-masing. Saya punya icinen setiap tahun saya harus hadir di kensyu lansia. Semua lansia harus lebih baik lagi setiap tahunnya dan senantiasa menjaga kesehatan. (Ibu Cu Ing, Kelapa Gading-DKI Jakarta)
78
Samantabadra | Nopember 2015
S
aya merasa kensyu lansia kali ini bagus. Kita diajarkan untuk bisa menjadi lansia yang mandiri, sehat dan produktif. Karena itu saya mau menceritakan pengalaman saya selama Kensyu Lansia kali ini kepada semua umat NSI di Medan, supaya para lansia di Medan pun bisa semakin semangat dan mau sama-sama ikut Kensyu Lansia tahun depan. Saya merasa bahwa kita semua berejeki dapat ikut di susunan NSI. (Ibu Yulia, Medan-Sumatera Utara)
S
aya tertarik dengan tema Kensyu Lansia tahun ini yang tertera pada spanduk: Mengarungi kehidupan dengan penuh kebahagiaan sampai akhir. Apa yang membawa kebahagiaan untuk saya? Saya merasa bahagia karena dapat bertemu dengan ajaran hukum Buddha Nichiren, Nammyohorengekyo ini. Saya selalu berusaha untuk dapat Namu (keinginan mendalam untuk manunggal dan selaras) kepada hukum ini dengan sungguh-sungguh. Lewat kesungguhan hati kita inilah, baru kita bisa menarik jodoh-jodoh baik dari luar. (Bapak Gun Har, Kudus-Jawa Tengah)
S
aya merasa kensyu Lansia itu selalu “hidup� dan saya betul-betul bahagia. Semoga kita sama-sama sehat dan panjang umur sehingga di setiap pertemuan lansia yang berikut-berikutnya, kita semuanya dapat sama-sama bertemu lagi untuk belajar dharma. Kita semua semangat dan bahagia bisa berada di susunan NSI. Bahagia, gembira, sehat, dan kita bertemu lagi di Kensyu Lansia tahun depan. (Ibu Merry, Banten)
I
ni pertama kalinya saya mengikuti kensyu lansia. Saya merasakan bahwa kesatuan hati itu penting sekali. Saya rasa hanya di susunan NSI saja yang nuansa itai dosyin-nya kental terasa. Kita bisa berkumpul sama-sama di sini juga karena kita ada itai dosyin. Kalau kita tidak itai dosyin, semua aspek kehidupan kita pasti tidak bisa berjalan dengan baik. Yang bisa membuat kita menjalankan perombakan sifat jiwa adalah hanya melalui hati kepercayaan yang sungguhsungguh kepada Nammyohorengekyo. Ditambah lagi, kita juga harus bisa menerapkan semua ajaran Buddha di dalam kehidupan kita sehari-hari. Jangan pernah ada keraguan di dalam hati kepercayaan kita. (Bapak Edi Susanto, Palembang-Sumatera Selatan)
S
yinjin itu jangan setengah-setengah. Kita harus berkesinambungan. Dalam keadaan susah maupun senang, jangan sampai berhenti di tengah jalan. Kalau berhenti di tengah jalan, pasti tidak aka nada hasilnya. Saya mau sisa hidup saya sekarang, terutama di keluarga, saya mau lebih Itai Dosyin lagi. Itai dosyin dalam keluarga dan aspek kehidupan yang lainnya juga. Kita juga harus konsisten gongyo daimoku, terutama daimoku, karena itu sumber kekuatan jiwa kita. (Bapak Lukman, DKI Jakarta)
D
ulu ketika awal saya kenal Nammyohorengekyo, saya bertekad, saya pasti bisa sukses dalam usaha saya, dan akhirnya saya berjuang dan berhasil. Setelah menjalankan, saya merasakan bahwa materi ternyata bukan segalanya. Saya merasa sedih karena anak saya belum bisa syinjin bersamasama saya. Aktif di dalam susunan NSI memberikan kegembiraan buat saya. Saya Nopember 2015 | Samantabadra
79
bagi rasa selalu ikut kensyu lansia. Saya merasa perasaan jiwa saya dan kualitas kensyu lansia NSI meningkat setiap tahunnya. Mulai sekarang saya mau jalankan hati kepercayaan kepada Gohonzon dengan semakin sungguh-sungguh dan tidak mau menunda-nunda lagi, karena saat ajal adalah sekarang, makanya setiap saat saya mau jalankan sepenuh hati. Berada di dalam susunan NSI adalah sebuah keberuntungan dan kegembiraan yang besar, biar bagaimanapun kita harus bertahan dan jangan mudah terpengaruh omongan orang yang bermaksud menjauhkan kita dari kegembiraan syinjin. Hati kepercayaan kita harus satu, hanya kepada Nammyohorengekyo dan jangan ragu-ragu lagi. (Ibu Sri Anggreini, DKI Jakarta)
S
aya baru kali ini ikut kensyu lansia. Biasanya saya selalu mendukung anak-anak untuk ikut TGM NSI, dan kali ini anak-anak saya yang gantian mendukung saya untuk ikut kensyu lansia NSI. Saya merasa gembira sekali bisa ikut kensyu lansia ini. Sebelumnya, saya pergi mengunjungi ibu-ibu Lampung yang sudah lama sekali tidak ikut kensyu, dan saya bertekad mengajak mereka untuk ikut kensyu lansia kali ini. Akhirnya mereka semua bisa dengan gembira ikut kensyu lansia, dan sayapun turut bergembira melihat mereka bisa bersemangat kembali. (Ibu Siu Ing, Lampung)
S
aya merasa bahagia kali ini bisa ikut kensyu lansia. Semuanya sangat menyenangkan. Saya selama ini selalu terikat dengan uang, sibuk mencari uang dan susah untuk dapat lepas dari keterikatan ini. Saya merasa begitu terharu kali ini bisa ikut kensyu lansia dan bisa sama-sama belajar mengenai gosyo itai dosyin. (Ibu Siu Lien, Baturaja-Sumatera Selatan)
I
ni pertama kali saya datang kembali ke NSI setelah 20 tahun lamanya. Di dalam perjalanan shinjin saya, saya merasa sudah seperti orang lumpuh, kalau bukan Ibu Chairani yang datang ke desa saya untuk mengajak saya terus, saya pasti tidak akan bisa datang ke sini hari ini. (Ibu Cukup, Pekalongan-Jawa Tengah)
S
aya merasakan di dalam hari-hari saya selama percaya Nammyohorengekyo, jiwa saya bisa bahagia melalui proses mengatasi kesulitan berdasarkan ajaran Buddha Niciren. Saya merasa kita semua percaya Nammyohorengekyo itu sudah tidak salah lagi, maka dari itu, kita semua tidak boleh ragu-ragu. Kita di susunan, umur boleh tua, tetapi jiwa kita selalu bersemangat karena kita mempunyai jiwa Buddha. Karena itulah, kita jangan kalah suasana, jangan ragu-ragu, dan tetap bersemangat dalam kehidupan dan syinjin. Bapak Soni (Bandung, Jawa Barat) eee
80
Samantabadra | Nopember 2015
wawasan
Menjadi Lansia Tangguh DR. Sudibyo Alimoeso, MA Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Disampaikan pada Kensyu Lansia 2015 19 September 2015
P
roses penuaan adalah alamiah. Proses ini biasanya disertai dengan penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling beririsan satu sama lain. Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Oleh karenanya, proses penuaan hendaknya disikapi secara bijak, sehingga lansia dapat menikmati hari tua dengan bahagia.
Lima Faktor yang berpengaruh ketika memasuki fase lansia adalah sebagai berikut : 1. Penurunan Kondisi Fisik a. Umumnya Lansia mengalami kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology). b. Tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. c. Hal ini dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial. d. Menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain. Nopember 2015 | Samantabadra
81
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual a. Umumnya berhubungan dengan berbagai gangguan fisik: gangguan jantung, gangguan metabolisme, dan lain-lain. b. Faktor psikologis yang menyertai: i. Rasa tabu, malu mempertahankan kehidupan seksualnya. ii. Sikap keluarga dan masyarakat kurang menunjang—termasuk tradisi dan budaya. iii. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupan. iv. Pasangan hidup telah meninggal. v. Perubahan hormonal masalah kesehatan jiwa, cemas, dan sebagainya.
3. Perubahan Aspek Psikososial a. Umumnya memasuki lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor b. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain c. Fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan
4. Perubahan berkaitan pada Pekerjaan a. Umumnya perubahan ini diawali ketika memasuki masa pensiun b. Tujuan pensiun adalah agar lansia dapat menikmati hari tua, jaminan hari tuanya c. Sering diartikan sebagai kehilangan “segalanya”; penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri d. Dampak positif lebih menenteramkan jiwa lansia, dampak negatif dapat mengganggu kesejahteraan hidup lansia 5. Perubahan dalam Peran Sosial di Masyarakat a. Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan dan gerak fisik dan sebagainya, muncul gangguan fungsional bahkan kecacatan pada lansia b. Dapat menimbulkan “perasaan” keterasingan c. Perlu dilakukan stimulasi, diajak melakukan aktivitas, selama masih sanggup sehingga tidak merasa terasing atau diasingkan
Sementara 7 Dimensi Lansia Tangguh adalah : 1. Dimensi fisik 2. Dimensi Sosial 3. Dimensi Spiritual 4. Dimensi Vokasional (Profesional) 5. Dimensi Emosional 6. Dimensi Lingkungan 7. Dimensi Intelektual Jadi, lansia tangguh adalah lansia yang sehat secara fisik, sosial, dan mental, mandiri, aktif, dan produktif. eee
82
Samantabadra | Nopember 2015
resep
Ngo Hiong
Bahan A: 500 gram Daging Ayam dicincang halus 2 buah Bawang Bombay 5 Sendok Makan Daun Bawang atau Kucay dipotong kecil-kecil 500 gram Udang dicincing halus 3 Sendok Makan Bawang Putih dicincang 2 Butir Telur Bawang Bombay dan Bawang Putih disangrai dulu agar lebih wangi Bahan B: 2 Sendok Teh Ngo Hiong Bubuk 2 Sendok Teh Garam Halus 1 Sendok Teh Gula Pasir 1 Sendok Teh Merica 1 Sendok Teh MSG 1 Sendok Makan Kecap Asin 1 Sendok Teh Minyak Wijen 2 Sendok Makan Tepung Sagu/Tapioka 2 Sendok Makan Maizena Bahan C: 2 lembar kulit tahu tipis
Oleh : Ibu Oking D, Bogor
2 Sendok Makan Minyak Goreng 200 Gram Taoco yang merah dihaluskan
Saus Tauco: 50 Gram Cabe Merah Halus 6 Sendok Makan Gula Pasir 5 Siung Bawang Putih 500 cc Air 1 Sendok Makan Tepung Kanji/Maizena
Cara Membuat : 1. Aduk bahan A sampai tercampur dan rata 2. Masukkan bahan B dan aduk lagi sampai rata 3. Potong kulit tahu kira-kira ukuran 8 x 12 cm, isi dengan bahan tersebut di atas dan gulung, ujungujungnya di press (menggunakan lap atau clemek) 4. Boleh di kukus dulu, baru digoreng sampai kering
Berita Duka Cita
Bapak Cen Sui Pin Meninggal pada usia 63 tahun 04 September 2015 Umat NSI Daerah Kebintik Kep. Bangka-Belitung
Bapak Dwi Tjondro Poernomo Widouri
Meninggal pada usia 40 tahun 27 September 2015 Umat NSI Daerah Cengkareng DKI Jakarta
Donor kornea mata yang dari almarhum Bapak Dwi Tjondro Poernomo Widouri.
Karma baik mendiang pasti akan menjadi akibat kebajikan dari Dunia Buddha. Nammyohorengekyo.
Nopember 2015 | Samantabadra
83
Malam Minggu Malam minggu, Kiba memilih untuk menghabiskan waktunya bersama ayah dan ibu di rumah. Mereka makan malam bersama sambil bercengkrama.
Sedangkan Krubu memilih untuk bermain sepeda di malam hari.
Setelah makan, mereka bertiga menonton acara TV sejenak. Ayah dan ibu memandu Kiba tentang tontonan yang mereka tonton agar Kiba mampu memahami tontonan dengan bijak.
Krubu menemui teman-temannya di komplek rumahnya.
Kiba sekeluarga lalu melakukan gongyo dan daimoku bersama dengan sikap yang baik.
Tidak puas hanya bermain sepeda, Krubu mengajak temannya untuk bermain video game di rumah temannya itu.
Selesai melaksanakan gongyo dan daimoku, Kiba, Ayah dan Ibu masih menyempatkan diri untuk mengobrol dan mengakrabkan diri. Semakin mengeratkan hubungan kekeluargaan di antara mereka.
Krubu bermain game tak ingat waktu, hingga larut malam. Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu Krubu sudah tidur, dan ia baru merasakan tubuhnya lelah dan pusing karena terlalu lama bermain.
84
Samantabadra | Nopember 2015
Jadwal Kegiatan Susunan NSI
Bulan Nopember 2015 TGL HARI JAM KEGIATAN 1 Minggu 2 Senin 13.00 Pendalaman Gosyo 3 Selasa 4 Rabu 19:00 Pendalaman Gosyo Penceramah 19:00 Pendalaman Gosyo Koord. GM Jabotabekcul 5 Kamis 19:00 Ceramah Gosyo 6 Jumat 7 Sabtu 8 Minggu 10:00 Pertemuan Generasi Muda Jabotabekcul 10:00 Pertemuan Anak‐anak 10:00 Daimoku Bersama 14:00 Rapat Koordinator Lansia 9 Senin 19:00 Pelajaran Pimpinan Daerah & Cabang 10 Selasa 14:00 Pertemuan Wanita Umum 11 Rabu 19:00 Pertemuan Ibu/Wanita Karier 19:00 Pertemuan Pria Umum 12 Kamis 19:00 Pertemuan Cabang 13 Jumat 14 Sabtu 15 Minggu 10:00 Pertemuan Anak‐Anak Daerah / Kelompok 16 Senin 19:00 Pelajaran Pimpinan Anak Cabang / Ranting 17 Selasa 18 Rabu 14:00 Pertemuan Wanita Daerah / Kelompok 19:00 Pertemuan Pria Daerah / Kelompok 19 Kamis 20 Jumat 19:00 Pertemuan Anak Cabang / Ranting 22 Minggu 10:00 Pertemuan Generasi Muda Daerah/Kelompok 14:00 Pertemuan Lansia Umum 23 Senin 19:00 Pertemuan Empat Bagian 24 Selasa 25 Rabu 13:00 Pendalaman Gosyo Untuk Dharmaduta 19:00 Musyawarah DPW & DPD 26 Kamis 19:00 Musyawarah DPD 27 Jumat 28 Sabtu Kensyu Gosyo Umum Nopember 2015 29 Minggu Kensyu Gosyo Umum Nopember 2015 30 Senin 13.00 Pendalaman Gosyo
TEMPAT Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Daerah Masing‐Masing
Mahavihara Saddharma Gedung STAB Samantabadra Lt. 3 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 4 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 1 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Gedung STAB Samantabadra Lt. 1 Daerah Masing‐Masing
Daerah Masing‐Masing Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Daerah Masing‐Masing Daerah Masing‐Masing
Daerah Masing‐Masing Daerah Masing‐Masing Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Daerah Masing‐Masing
Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2 Daerah Masing‐Masing Mahavihara Saddharma NSI Mahavihara Saddharma NSI Vihara Sadaparibhuta NSI Lt. 2
Nopember 2015 | Samantabadra
85
Vihara & Cetya
BALAI PUSAT NSI
Vihara Sadaparibhuta NSI Jl. Minangkabau No.25 Jakarta Selatan 12970 Telp : (021) 8311844, 8314959 PROVINSI SUMATERA UTARA Vihara Vimalakirti Medan Jl. Gandi No. 116 Kota Medan Telp : (061) 7343673 Vihara Vimalakirti Tebing Tinggi Jl. Persatuan Gang Toapekong No. 29 C Kota Tebing Tinggi Telp : (0621) 21900 PROVINSI SUMATERA SELATAN Cetya Batu Raja Jl. Dr. Setia Budi No. 20 A, Batu Raja Kabupaten Ogan Komering Ulu Telp. (0735) 320724 Cetya Palembang Jl. Mayor H.M. Rasjad Nawawi (Jl.Lingkaran 2 Dempo) Blok F 20 No. 564 RT. 08 / 02 Kec. Ilir Timur Kota Palembang Telp. (0711) 357541 PROVINSI KEP. BANGKABELITUNG Vihara Vimalakirti Pangkal Pinang Jl. Stasiun Induk XXI Semabung Lama Kota Pangkal Pinang Telp. (0717) 433456 PROVINSI JAMBI Vihara Vimalakirti Jambi Jln. Cendrawasih No. 32 Kel. Tanjung Pinang, Kec. Jambi Timur Kota Jambi Telp. (0741) 23782 PROVINSI LAMPUNG Vihara Vimalakirti Lampung Jl. Imam Bonjol No. 114 Kota Bandar Lampung Telp. (0721) 252660, 254728 PROVINSI BANTEN Vihara Vimalakirti Tangerang Jl. Imam Bonjol (Karawaci Bansin) Gg. Kavling Sawah No. 8 RT 002/07 Kel. Sukajadi - Tangerang 15113 Telp. (021) 5539903
86
Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia
Vihara Vimalakirti Muncul Diresmikan 3 Mei 1986 Dipugar 28 okt 2007 Jl. Platina II No. 50 Rt. 02/05 Desa Curug – Kec. Gunung Sindur Vihara Vimalakirti Cisauk Depan SMU 1 Serpong Desa Setu (Muncul) – Kec. Cisauk Kabupaten Tangerang Telp. (021) 75872730 Cetya Serang Jl. Lapang Indah Blok C Serang Telp : (0254) 202075, 201696 Vihara Vimalakirti Teluk Naga Kampung Melayu, Teluk Naga Kabupaten Tangerang PROVINSI DKI JAKARTA Vihara Sadaparibhuta NSI Jl. Minangkabau No. 23A Jakarta Selatan 12970 Telp : (021) 8307476 Vihara Vimalakirti Jl. Jembatan Gambang II No. I D RT 012/RW 001 Kel. Pejagalan, Kec. Penjaringan - Jakarta Utara Telp. (021) 6691622 Vihara Vimalakirti Perumahan Puri Kamal Blok B No. 6 Tangerang-Banten Telp. (021) 55951239 Vihara Vimalakirti Cengkareng Jl. Semboja No. 49 Cengkareng Jakarta Barat Telp. (021) 6192512 Cetya Senen Baru Jl. Bungur Besar VIII No. 105 Jakarta Pusat Cetya Fajar Jl. Gang U No. 16 RT 01/17 Fajar – Jakarta Utara Telp. (021) 6611953 Cetya Rajawali Jl. Ampera IV No. 12 RT 005/RW 09 Jakarta Utara Telp. (021) 64710728, 6401168 Cetya Tanjung Priok Jl. Deli No. 31, Tanjung Priok – Jakarta Utara Telp. (021) 4356309 Cetya Jatinegara Jl. Otista Raya No. 8 – Jakarta Timur Telp. (021) 8577969 PROVINSI JAWA BARAT Mahavihara Saddharma NSI Ds. Sukaluyu, Taman sari Kabupaten Bogor Telp. (0251) 8487033, 8487034
Samantabadra | Nopember 2015
Vihara Vimalakirti Bandung Jl. Suryani No.15 Kota Bandung Telp. (022) 6014319 Vihara Vimalakirti Bogor Jl. Merak No. 4 Kota Bogor Telp : (0251) 8332851 Vihara Vimalakirti Karawang Jl. Wirasaba Rt 03/20 Kabupaten Karawang Telp. (0267) 403821 Vihara Vimalakirti Sukabumi Jl. Lettu Sobri 25 Kota Sukabumi Telp. (0266) 225777 Vihara Vimalakirti Bekasi Jl. Semut Api-Api No. 10 RT. 03/011 Bekasi Timur Kota Bekasi Telp. (021) 98185477 Cetya Cirebon Jl. Merdeka, No. 57 RT 05/03 Kel. / Kec. Lemah Wungkuk Kabupaten Cirebon Telp. (0231) 202793 PROVINSI JAWA TENGAH Vihara Vimalakirti Solo Jl. Taman Seruni 1 Blok CG No. 6-7, Solo Baru Kota Surakarta Telp. (0271) 620298 Vihara Vimalakirti Sukoharjo Dusun Jetis, Desa Manang, Kabupaten Sukoharjo
Cetya Purwodadi Jl. Kapten Tendean No. 9, Purwodadi 58111 Telp. (0292) 421340 Cetya Semarang Jl. Ronggowarsito No.5 Kota Semarang 50127 Telp. (024) 3518682 Cetya Kebumen Jl. Pahlawan 147 Kabupaten Kebumen Telp. (0287) 381201 Cetya Cilacap Jl. Abimanyu 192 Kabupaten Cilacap Telp. (0282) 541941 PROVINSI JAWA TIMUR Vihara Vimalakirti Ngawi Dusun Kesongo, Desa Kedung Putri, Kec Paron Kabupaten Ngawi Cetya Surabaya Jl. Mayjend. Sungkono Komp. Wonokitri Indah S-48 Kota Surabaya Telp. (031) 5673148 Cetya Banyuwangi Jl. Kalasan No. 15 Telp. (0333) 423108 Cetya Ponorogo Jl. Ontorejo 93 Kabupaten Ponorogo Telp. (0352) 681241
Vihara Vimalakirti Sragen Jl. Muria No.5A Kabupaten Sragen
Cetya Magetan Dusun Bengkah Desa Plangkrongan, Kec Poncol Kabupaten Magetan
Vihara Vimalakirti Dusun Pendingan Desa Somogawe, Kec, Getasan Kabupaten Semarang
Cetya Wonomulyo Dusun Wonomulyo, Desa Genilangit, Kecamatan Poncol Kabupaten Magetan
Vihara Vimalakirti Boyolali Desa Pilang Rejo, Kec. Juwangi, Telawa Kabupaten Boyolali
Cetya Madura Jl. Trunojoyo No. 40 Kabupaten Sumenep
Vihara Vimalakirti Katong Dusun Kembangan Desa Katong, Kec. Toroh Kabupaten Grobogan Cetya Karanganyar Dusun Ngadirejo RT 02 / RW 03 Desa Ngunut Kec. Jumantono, Kabupaten Karang Anyar Cetya Semanggi Jl. Gang Apel, RT 06/12, Kel. Semanggi, Solo
PROVINSI BALI Vihara Vimalakirti Perum. Citra Nuansa Indah Jl. Nuansa Indah Utara 2 No. 1 Kota Denpasar PROVINSI KALIMANTAN BARAT Vihara Vimalakirti Jl. Waru (WR. Supratman) No. 4 Kota Pontianak Vihara Vimalakirti Jl. Setiabudi Gg. H. Abbas 2 No. 35 Kota Pontianak Telp : 0561 - 767510