Ekstrakurikulab november 2016 ebook

Page 1





KONTEN 6

- Sambutan - Pengantar

18

Pameran Mata Pelajaran Ke-15

8 10

Laboratorium Ekstrakurikulab

Pameran Sekolah 244x122 Demokratisasi

12

Pendidikan dalam Seni yang Demokratis

22 26

Pameran : Modul Sederhana <MODUS>

Focus Group Discussion {FGD}


Serrum merupakan perkumpulan studi seni rupa dan pendidikan yang berbasis di jakarta. Kata Serrum berasal dari kata share dan room yang berarti “ruang berbagi”. Didirikan pada 2006 oleh beberapa mahasiswa pendidikan seni rupa Universitas Negeri Jakarta. Serrum berfokus pada isu pendidikan, sosial-politik dan perkotaan. Kegiatan Serrum meliputi proyek seni, pameran, lokakarya, diskusi dan kampanye kreatif. Medium karya yang digunakan meliputi video,mural, grafis, komik dan seni instalasi.

PEMBINA

MANAJER PROGRAM

Ade Darmawan Haris Azhar Mohamad Gatot Pringgotono Arief Rachman Yohanes Daris Adibrata

Angga Wijaya MANAJER SDM

Arief Widiarso MANAJER OPERASIONAL

DIREKTUR

Wahyudi

M Sigit Budi S RISET DAN PENDATAAN MANAJER UMUM

Moch Hasrul

Kurnia Yunita Rahayu Rianto Haviz Maha

BENDAHARA

Tri Jayanti Putri

MANAJER KEWIRAUSAHAAN

RM Herwibowo

A P E IG T FB W

: Jl. Gurame No 3, Rawamangun, Jakarta Timur | Indonesia : +62 21 489 67 17 : info@serrum.id : @serrum_studio : @Serrum_ : Serrum ‘Share Room’ : www.serrum.id


SAMBUTAN Pada 2006, Serrum terbentuk sebagai sebuah komunitas. Serrum ada karena kondisi kampus yang sudah tidak kondusif sebagai tempat berkarya, berkegiatan, berkumpul, dan tempat tinggal sementara. Sebagai sebuah komunitas, langkah yang harus dipikirkan pertama adalah memiliki “ruang�, sebagai tempat untuk berkumpul, bekerja, dan berkarya. Berikutnya adalah dari segi program. Serrum meneruskan beberapa kegiatan yang pada awalnya lahir dan dilakukan di lingkungan kampus untuk diadopsi menjadi program utama. Seiring berjalannya waktu, program-program tersebut bertambah dan menghilang. Dan saat ini Serrum telah memilih program yang dirasa paling tepat. Pada 2014, kami mendapat kesempatan pertama kalinya untuk mengadakan pameran tunggal sebagai sebuah komunitas di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki. Kesempatan ini tentunya menjadi awal yang baik bagi kami dalam merangkum kegiatan Serrum selama ini. Pameran tunggal tersebut bernama Kurikulab, bentuk presentasi dari empat kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di dalam galeri yang kami rekam dan presentasikan. Selain itu, dokumentasi kegiatan atau karya-karya terdahulu juga ditampilkan agar dapat dipahami sebagai bentuk presentasi lain dari Serrum dalam berkegiatan dan berkarya. Tahun ini kami menampilkan Ekstrakurikulab, laboratorium Serrum yang membedah instrumen-instrumen pendidikan untuk dapat diolah kembali menjadi metode-metode yang berbeda. Ini adalah jawaban dari FGD yang sudah dilakukan Kurikulab sebelumnya, mengenai pertanyaan seperti, Apa itu Sekolah? Kurikulum seperti apa yang digunakan sekarang? Bagaimana kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah? Dan bagaimana peran ruang-ruang alternatif yang ada sekarang di dalam penyelenggaraan pendidikan ataupun transfer pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dijabarkan di presentasi Ekstrakurikulab. Serrum saat ini genap berusia 10 tahun. Sebuah komunitas yang pada awalnya dibentuk sebagai tempat untuk berbagi ilmu pengetahuan dan kecakapan berkarya di antara sesama anggotanya, ternyata bisa meneruskan eksistensinya sebagai sebuah komunitas. Terima kasih untuk semua yang telah memberi dukungan sampai saat ini, dan selamat menikmati keriaan kami di Festival EkstrakurikuLab. Salam Olahraga. M. Sigit Budi S. Direktur Serrum

6


PENGANTAR “What did you learn in school today, Dear little boy of mine?” What did you learn in school today Tom Paxton 1964

Selamat datang di EkstrakurikuLab! Sebuah festival kesenian yang mengamati fenomena pendidikan yang terjadi di masyarakat. Festival ini merupakan salah satu cara untuk memandang bagaimana sebuah sistem pendidikan bekerja di masyarakat. Dalam praktiknya, EkstrakurikuLab mencoba melakukan pendekatan yang artistik sebagai salah satu bentuk presentasi. Selain itu eksperimentasi, spekulasi, kolaborasi, dan partisipasi menjadi pola kerja yang dilakukan EkstrakurikuLab sebagai bentuk “Ekstra” yang di tawarkan kepada publik dalam memandang fenomena pendidikan. Sebagai sebuah Festival, EkstrakurikuLab merupakan festival yang baru dimulai. Posisi Ekstrakurikulab yang mencoba membuka ruang dialog tentang fenomena pendidikan kepada publik. Ruang dialog ini perlu dilakukan sebagai proses mengetahui fenomena pendidikan dan dialog ini menjadi penting agar kita terus membicarakan fenomena ini. Pada pelaksanaanya, EkstrakurikuLab terdiri dari berbagai kegiatan yang disusun dan ditawarkan sebagai ruang dialog. Beberapa kegiatan tersebut diantaranya adalah empat laboratorium, diantaranya Sekolah Idaman, Rumah Guru, Pasar Imu dan Kurikulab Masuk Desa. Proses pelaksanaan laboratorium-laboratorium tersebut berlangsung dari Mei hingga Oktober 2016. Empat laboratorium tersebut bekerja dengan pola kerja observasi dan eksplorasi beberapa fenomena yang ada pada ranah pendidikan. Semangat uji coba, kolaborasi dan partisipasi dilakukan dalam empat laboratorium ini. Empat laboratorium tersebut dikuratori oleh Kurnia Yunita Rahayu dan nantinya akan dihadirkan dalam pendekatan presentasi pameran dengan bentuk yang dokumentatif dan artistik dengan judul Sekolah 244x122. Selanjutnya pameran seni yang menampilkan karya-karya seni rupa. Pameran ini dikuratori oleh Grace Samboh dan Angga Wijaya. Pameran ini menghadirkan pola kerja pendidikan yang dianalisis melalui karya-karya seniman. Selain itu, terdapat diskusi sebagai bentuk ruang dialog dalam format Focus Group Discussion (FGD). Sebagaimana sebuah diskusi, FGD ini mencoba mempertemukan pembicara-pembicara yang berpenggalaman dalam bidangnya untuk berbagi gagasan dan praktiknya terkait wacana yang diangkat. Mulai dari kondisi kekinian pendidikan nasional, hingga keterkaitan kondisi kekinian tersebut dengan konteks sejarah. Sebagai program pendukung, Ekstrakurikulab menghadirkan pameran MODUS (Modul Sederhana), yaitu sebuah presentasi pola kerja yang dilakukan lembaga pendidikan yang diinisiasi oleh masyarakat baik secara formal maupun non formal yang dikuratori oleh Arief Rahman. Di samping itu, festival ini juga menghadirkan program Belajar di luar: Fisika dengan Street Art, sebuah kegiatan yang membuka ruang dialog baru antara teori fisika dengan pelaku street art, serta menciptakan kemungkinan untuk menghadirkan materi belajar di ruang publik. . Seluruh rangkaian kegiatan tersebut dirangkum dalam sebuah katalog, sebagai penanda wacana dan upaya distribusi pengetahuan secara lebih luas. Berkaca pada lirik Tom Paxton di atas, “Apa yang dipelajari di sekolah hari ini?” diasumsikan sebagai sebuah persoalan yang konkrit dan terus menerus diperbincangkan kemarin, hari ini, dan nanti. EkstrakurikuLab sebagai sebuah festival memang tidak mampu menjawab persoalan tersebut, namun festival ini mampu mengajak dan menghadirkan ruang dialog bagi kita untuk bersama-sama memperbincangkan fenomena pendidikan dengan hati yang “riang”. Festival EkstrakurikuLab pun tidak menghadirkan sesuatu yang baru, upaya ini merupakan refleksi dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya dan mencoba untuk diartikulasikan kembali secara dialektis. Penghargaan dan apresiasi setinggi-tingginya disampaikan kepada seluruh tim kerja yang telah bekerja secara maksimal dan penuh dedikasi. Serta seluruh rekan-rekan dan lembaga yang mendukung dan terlibat dalam festival ini. Akhir kata, Semoga di festival berikutnya EkstrakurikuLab mampu menghadirkan ruang dialog baru untuk sama-sama mewujudkan cita-cita pendidikan yang lebih baik. Selamat Berapresiasi!

Moch Hasrul Direktur Festival

7


8


EKSTRAKURIKULAB adalah laboratorium Serrum yang membedah instrumeninstrumen pendidikan untuk diolah menjadi metodemetode yang berbeda.

9


Deskripsi Empat Laboratorium Ekstrakurikulab 1.Sekolah Idaman

2.Rumah Guru

Sejak pertama kali didirikan, sekolah di Indonesia tidak pernah melibatkan pesertanya-khususnya murid-untuk menentukan bentuk serta aturan main yang akan dilaksanakan. Sekolah dengan berbagai konfigurasinya menjelma menjadi sebuah impian yang sudah tersedia di hadapan masyarakat. Laboratorium Sekolah Idaman mencoba untuk mengubah logika konstruksi sekolah, bukan menjejalkan serangkaian konsep kepada masyarakat, melainkan mengumpulkan imaji-imaji dari sudut pandang murid. Metode yang digunakan oleh Serrum adalah dengan cara diskusi dengan para siswa guna mengeskplorasi imajinasi mereka ihwal sekolah dalam tiga aspek yaitu, budaya, sistem, dan bentuk fisik sekolah. Laboratorium ini dilaksanakan untuk siswa dan siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam lingkup Jakarta, Tangerang, Depok. Pemilihan sekolah didasari beberapa pertimbangan yakni, latar belakang sosial dan ekonomi murid, kecenderungan kemampuan kognitif murid, serta kecenderungan sekolah dalam membangun budaya di dalam institusinya.

Beragamnya pengetahuan yang harus disampaikan guru kepada murid di sekolah kerap menimbulkan kebuntuan dalam mencari cara efektif untuk menyampaikannya. Guna menciptakan kemungkinankemungkinan baru dan memecah kebuntuan yang biasa dialami guru tersebut, Serrum menyelenggarakan laboratorium Rumah Guru, yang berusaha menghubungkan titik temu antara inti suatu materi belajar dengan metode seni rupa.

10

Laboratorium ini melibatkan guru bidang studi dan seniman yang akan berkolaborasi. Kedua pihak ini akan memilih materi belajar lalu mendiskusikan intisarinya, agar selanjutnya dapat ditentukan metode seni rupa yang tepat. Usai memilih kedua elemen dasar tersebut, guru dan seniman akan mempraktikkannya di dalam kelas, di mana aktivitas tersebut terbagi dalam lima tahap yaitu, 1) Memberikan pertanyaan kunci; 2) Memberikan jawaban yang memancing pertanyaan lain dari murid; 3) Melaksanakan kegiatan menyenangkan bagi murid, kegiatan ini harus sederhana dan dilaksanakan dalam durasi singkat; 4) Memberikan pernyataan serta argumentasi terkait materi belajar yang dibahas; 5) Memberi murid kesempatan menyampaikan pernyataan kesimpulan.


3.Pasar Ilmu

4.Kurikulab Masuk Desa

Laboratorium Pasar Ilmu merupakan sebuah eksperimentasi yang didasarkan pada kritik terhadap sistem transmisi pengetahuan yang dilaksanakan institusi pendidikan formal. Transmisi pengetahuan lazimnya dilakukan oleh guru atau orang-orang yang punya otoritas lebih untuk menginterpretasi sebuah ilmu atau pengetahuan. Tanpa disadari sistem seperti itu lambat laun menghasilkan proses pembodohan dan dominasi segelintir pihak karena membatasi pemahaman murid-murid. Adapun eksperimentasi yang dilakukan Serrum adalah dengan melaksanakan sebuah sistem transmisi ilmu pengetahuan yang bukan didasarkan pada atribut-atribut yang melekat pada diri seseorang yang menjadikannya lebih layak untuk memberi dan diberi pengetahuan, melainkan dengan mempertemukan kedua pihak berdasarkan kebutuhan (demand) dan kesediaan (supply) membahas sebuah pengetahuan yang sama. Teknis pengumpulan supply dan demand pengetahuan dilakukan dengan menyebar kuesioner secara acak. Kuesioner tersebut berisi dua pertanyaan:

Sebagai seperangkat pengetahuan resmi yang dirumus pemerintah, kurikulum pendidikan nasional kerap luput menyajikan materi-materi lokal yang memiliki keterkaitan dengan identitas masyarakat perdesaan. Dengan demikian bukan hal yang aneh jika para siswa harus bersedia menerima dan mempelajari wacana-wacana yang pada aras praktik amat jauh dari kehidupan mereka. Imbasnya, perlahan-lahan identitas lokal terkikis, keseragaman pola pikir siswa juga menjadi sebuah keniscayaan. Melalui laboratorium ini, Serrum berkolaborasi dengan masyarakat daerah untuk merumus kurikulum yang mengutamakan narasi lokal sebagai sumber pengetahuan. Kemudian membuat rancangan tertulis untuk sebuah mata pelajaran muatan lokal (Mulok) yang berjalan selama satu semester. Adapun lokalitas yang pertama kali dipilih adalah wilayah Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat yang memiliki ikatan kuat dengan budaya tanah. Sedangkan kolaborasi melibatkan komunitas Jatiwangi Art Factory (JAF), SDN Jatisura 01, dan masyarakat setempat. Berkat kerjasama dengan berbagai pihak ini, tercetus ide untuk menciptakan mata pelajaran Mulok mengenai Tanah.

1) Jika ada kesempatan belajar, subjek pengetahuan apa yang sedang ingin Anda pelajari? 2) Jika memiliki kesempatan untuk mengajar, subjek pengetahuan apa yang ingin Anda ajarkan? Hasil penyebaran kuesioner tersebut kemudian dipetakan berdasarkan kesamaan subjek pengetahuan yang sama-sama ingin dipelajari dan ingin diajarkan, selanjutnya mempertemukan pihak-pihak yang memiliki kesamaan tersebut. Dalam pertemuan itu, kedua pihak dapat menyetujui aturan main serta pembagian peran yang ingin mereka lakukan dalam aktivitas transmisi pengetahuan tersebut.

Proses perumusan mata pelajaran Mulok Tanah sendiri menggunakan metode sejarah lisan, sebuah studi tentang perjalanan sejarah kehidupan masyarakat di sebuah wilayah tanpa bertumpu pada dokumen tertulis sebagai sumber utama, melainkan pada wawancara lisan dengan masyarakat setempat. Sedangkan penetapan kurikulum, silabus, dan sumber belajar dilakukan secara kolaborasi antara Serrum dan guru-guru SDN Jatisura 01.

11


Pameran Sekolah

244 122

12

x


{x}

Kurator : KURNIA YUNITA RAHAYU GUDANG SARINAH EKOSISTEM 12 - 21 NOVEMBER 2016 PEMBUKAAN : 12 NOV 2016. PK.16.00 WIB Senin-Jumat. PK 12.00-20.00 WIB Sabtu-Minggu. PK 10.00-20.00 WIB

ACC Galeri ( Ruang A 2 )

13


Demokratisasi Pendidikan dalam Seni yang Demokratis

Catatan Kuratorial Kurnia Yunita Rahayu

Pendidikan Indonesia secara formal sesungguhnya memiliki usia yang lebih tua ketimbang negara ini. Ia sudah dimulai sejak awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda menerapkan Politik Etis sebagai upaya membalas budi atas peran Hindia Belanda dalam memperbaiki kondisi ekonomi negeri kincir angin itu. Politik Etis membuka peluang bagi sebagian masyarakat Hindia Belanda untuk menikmati pendidikan secara terlembaga. Kelak, peluang ini pula yang membawa faedah tersembunyi bagi bangsa ini. Beberapa orang mulai paham akan ide-ide kemerdekaan kemudian menyebarkannya melalui beragam cara, salah satu yang paling memiliki dampak signifikan adalah melalui organisasi pendidikan. Saat itu, pendidikan merupakan medium yang amat relevan untuk menyebarkan gagasan kemerdekaan. Sebab, selain terjajah secara ekonomi dan politik, masyarakat dapat merasakan langsung bagaimana sistem pendidikan dibangun di atas semangat penjajahan. Hal tersebut mewujud dalam bentuk segregasi rasial yang menentukan akses pendidikan, motif pelanggengan kekuasaan yang nampak jelas dalam corak persekolahan, serta penerbitan kebijakan dan tindak represif bagi pribumi yang memiliki inisiatif membangun pendidikan untuk kaumnya sendiri. Melalui sekolah, masyarakat mulai sadar akan identitasnya yang “berbeda� dan mendapatkan perlakuan yang juga “berbeda� dari pemerintah kolonial. Dengan demikian, proses penyadaran akan ketertindasan juga menjadi semakin strategis bila dilakukan di dalam sekolah. Strategi ini disadari betul oleh aktivis-aktivis pergerakan pribumi untuk memulai langkah perlawanan. Salah satu yang paling mengemuka adalah Taman Siswa, lembaga yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara tahun 1922 ini begitu paham bagaimana menggodok proses pendidikan sebagai gabungan dari upaya pencerdasan dan penumbuhan jiwa merdeka dalam kerangka identitas dan konteks riil kehidupan masyarakat pribumi. Mutakhirnya pandangan Taman Siswa membuat namanya melejit. Sekolah yang mulanya hanya berdiri di Yogyakarta, kemudian merambah

14

ke berbagai wilayah yang di kemudian hari diresmikan sebagai bagian dari Indonesia dalam waktu singkat. Hal ini tentu membuat pemerintah kolonial Belanda risau, alih-alih melanggenggkan kekuasaannya melalui pendidikan bercorak Barat, masyarakat pribumi justru dapat tercerahkan secara massif, jika semakin banyak lembaga sejenis Taman Siswa mampu dikenal masyarakat. Untuk mengantisipasi resiko tersebut, pemerintah kolonial menerapkan Wildeschoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar) guna menghentikan pertumbuhan sekolah hasil inisiatif pribumi. Taman Siswa pun jadi sasaran utama, sekaligus pihak terpenting yang mencatat sejarah perlawanan terhadap undang-undang ini. Meski demikian, ide-ide kemerdekaan sudah menyebar ke relung-relung jiwa rakyat. Berawal dari titik itulah, pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak mundur, justru semakin menunjukkan kekuatan untuk melawan. Kekuatan tersebut perlahan-lahan dibangun dengan bekal ketajaman pikiran serta kehalusan hati yang mereka pelajari dari sekolah. Memasuki dekade 1940-an, sistem pendidikan di Hindia Belanda yang bersifat konkordan dengan sistem pendidikan Barat berubah total seiring dengan berpindahnya penguasaan atas negeri ini dari Belanda kepada Jepang. Atas nama kepentingan untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya, Jepang mengubah seluruh dimensi kehidupan negeri bekas jajahan Belanda ini tidak terkecuali di sektor pendidikan. Perubahan utama yang terjadi adalah penghapusan segala hal yang berbau Barat seperti kurikulum, bahasa, serta sistem segregasi rasial. Meski memang ditujukan untuk bekal pemenangan perang, perubahan yang dilakukan pemerintah militer Jepang di Indonesia rupanya juga memberi beberapa faedah tersembunyi bagi masyarakat. Pertama, untuk pertama kalinya Bahasa Indonesia dapat berkembang dalam ranah pendidikan khususnya dan ranah kehidupan masyarakat umum. Kedua, penghapusan sistem segregasi rasial dalam akses persekolahan merupakan wujud demokratisasi paling awal, di mana seluruh masyarakat dari semua kalangan dipersilakan mengakses pendidikan. Ketiga, adanya sistem pendidikan yang lebih merakyat, jika sebelumnya di masa kolonial Belanda pendidikan bersifat elitis


dan tidak pernah menyentuh persoalan masyarakat, namun di masa pendudukan Jepang pendidikan justru diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan setempat. Namun, perubahan yang dibawa oleh pemerintah pendudukan militer Jepang itu dampaknya mungkin baru dapat disadari jauh hari setelah kedatangan mereka. Sebab, meski di masa itu muncul beragam kecendrungan positif, jumlah masyarakat yang mengikuti pendidikan justru semakin sedikit. Sebagian besar sekolah pun mesti ditutup lantaran guru dan murid-muridnya harus ikut serta dalam kegiatan peperangan. Dengan begitu, aktivitas pendidikan baru dapat dilakukan dengan leluasa jika perang telah berakhir.

USDEK sendiri merupakan keseluruhan dari isi pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959 yang merupakan penjelasan resmi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada tingkatan selanjutnya, isi pidato tersebut menjadi seperti garis-garis besar haluan negara yang mesti dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka, wajar jika terdapat usaha untuk memanipolkan pendidikan nasional. Hal ini tampak pada penetapan tujuan pendidikan yaitu melahirkan warga negara-warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila.

Belum tercapai cita-cita Jepang untuk menjadi pemimpin di seantero Asia, kekuatannya justru nampak mulai goyah. Pada 1945, Jepang mulai kalah dalam beberapa peperangan hingga akhirnya takluk di hadapan tentara sekutu. Kondisi ini memungkinkan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebuah wujud determinasi bangsa yang ingin memerdekakan diri, di mana pelopornya adalah orang-orang yang memperoleh kesadaran kemerdekaan melalui jalan pendidikan formal.

Kemudian, politik pendidikan nasional juga ditetapkan sebagai politik yang menentang imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Hal tersebut sejalan dengan semangat Manipol USDEK yang menentang segala bentuk penghisapan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Semangat itu selanjutnya juga berdampak langsung pada beberapa undang-undang terkait sistem pendidikan serta pembentukan kurikulum nasional.

Jalan panjang sejarah pendidikan Indonesia tentu saja tidak berhenti setelah meraih kemerdekaan secara politik. Ketika menjadi negara yang mampu menentukan nasibnya sendiri, corak pendidikan kembali menemui dinamikanya. Di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hatta, pendidikan nasional hadir sebagai perwujudan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Selain itu, pendidikan nasional di masa ini juga juga nampak jelas menjadi sarana pengobaran semangat nasionalisme. Menurut H.A.R. Tilaar, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pendidikan nasional memasuki suatu masa di mana ia benar-benar menjadi alat politik untuk mencapai tujuan tertentu. Dilihat dari sudut etis pendidikan, era ini merupakan suatu era di mana metode indoktrinasi merupakan suatu sarana untuk mewujudkan suatu cita-cita politik (Tilaar 1995, 92). Adapun rujukan politik pada masa ini adalah Manipol USDEK (Manifesto Politik – Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keribadian Indonesia). Manipol

Namun, sebagaimana sudah terjadi pada beberapa masa sebelumnya, pendidikan nasional Indonesia akan kembali berubah haluan ketika terjadi pergantian kepemimpinan. Pada 1966, ketika Soekarno lengser setelah adanya drama kudeta militer dan terbitnya sepucuk surat mandat yang keberadaannya secara fisik masih diperdebatkan, pendidikan nasional pun memasuki babak baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Langkah awal yang dilakukan Soeharto dalam memulai kepemimpinannya adalah menegasikan semua yang telah dilakukan pada era Soekarno. Indonesia mengalami perubahan fundamental dalam segala sisi kehidupan, sejalan dengan cita-cita pemerintahan Soeharto untuk mengembalikan seluruh tatanan kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, Orde Baru juga menyuratkan makna serta tujuan untuk melakukan koreksi dan introspeksi secara prinsipil dan menyeluruh atas politik ataupun praktik-praktik yang tidak dilandaskan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 oleh orde yang mendahuluinya.

15


Orde Baru memprioritaskan pembangunan negara pada sektor ekonomi, sedangkan sektor-sektor lain berposisi sebagai elemen pendukung yang pengembangannya akan dilaksanakan sesuai dengan capaian ekonomi. Dengan demikian, yang pertama kali dilakukan secara serius oleh pemerintah adalah stabilisasi ekonomi dengan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri, sedangkan stabilisasi pada ranah lain dianggap keniscayaan. Pada tingkatan tertentu, sektor-sektor lain pun harus bisa memberikan sumbangan untuk mencapai stabilitas ekonomi tersebut. Seiring dengan cita-cita mencapai titik puncak dalam ranah pembangunan ekonomi, pendidikan di masa Orde Baru jelas harus jadi sektor yang bertugas menyediakan segala kebutuhannya. Siswa dan siswi di sekolah merupakan faktor produksi terbesar yang akan menyokong laju pembangunan ekonomi. Oleh karenanya, ketersediaan mereka harus bisa dipastikan, konfigurasi diskursus yang mereka kuasai juga sudah harus diperhatikan sejak jauh-jauh hari. Pada masa Orde Baru atmosfer pendidikan lekat dengan suasana seragam. Lebih dari seragam dalam berbusana, tapi juga seragam sejak dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Hal ini dapat dilihat bukan hanya dari budaya sekolah yang serupa dari Sabang hingga Merauke menerapkan budaya militer, tapi juga melalui kurikulum nasional yang memang dibuat oleh pemerintah pusat untuk diterapkan di seluruh wilayah Indonesia tanpa memerhatikan perbedaan-perbedaan di tiap daerah. Imbasnya, hasil pendidikan formal Indonesia mulai menuai kritik dari segi kualitas. Padahal secara kuantitas, terjadi peningkatan jumlah peserta didik yang amat signifikan jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya dan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Situasi pendidikan nasional yang berlangsung selama 32 tahun ini bagi sebagian besar masyarakat akhirnya nampak menjadi sesuatu yang ideal. Masyarakat tidak memiliki gambaran lain atas bentuk penyelenggaraan pendidikan, pun tidak terbiasa untuk memberikan kritik kepada pemerintah. Meski demikian, bukan berarti tidak ada gagasan yang berkembang untuk bisa lepas dari kondisi tersebut. Upaya-upaya membebaskan masyarakat dari belenggu Orde Baru tumbuh perlahan walaupun rezim Soeharto selalu meresponnya secara represif. Hingga akhirnya kekuatan tersebut memuncak dan menemui momen yang tepat pada 1998, Soeharto lengser di hadapan gejolak gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut kehidupan yang lebih demokratis, serta pengembalian supremasi sipil dalam sebuah negara. Lalu, apa kabar sistem pendidikan nasional? Sebagai konsekuensi logis dari demokratisasi, sistem pendidikan nasional Indonesia pun menghasilkan kebijakan yang lebih beragam. Mulai dari pergantian kurikulum yang frekuensinya makin rapat, penggunaan standardisasi internasional di seluruh jenjang pendidikan, merebaknya berbagai jenis sekolah swasta yang bersedia mengakomodir kebutuhan murid dengan syarat biaya

16

mahal, hingga model otonomi pengelolaan institusi pendidikan yang memungkinkan tiap lembaga untuk berupaya menghidupi dirinya sendiri. Walaupun tidak pernah mengakui secara eksplisit, tampaknya sulit bagi pemerintah untuk mengelak dari tudingan bahwa seluruh kebijakan pendidikan pascareformasi merupakan kepanjangtanganan pemilik modal. Pada 1998, Bank Dunia memberikan rekomendasi kebijakan untuk menata kehidupan Indonesia setelah mengalami krisis multidimensi. Dalam ranah pendidikan, hal tersebut dimulai dengan rekomendasi efisiensi penyusunan anggaran, khususnya terkait proporsi guru. Saat itu, dunia pendidikan berada pada konteks kelebihan guru di beberapa lokasi karena prosedur distribusi yang tidak berjalan dengan rapi. Dampaknya, mesti dilakukan efisiensi dengan memunculkan pembedaan status guru, kemudian pemerintah juga mesti membatasi jumlah calon guru dengan cara melakukan pengubahan pada proses rekrutmennya. Hal ini lah yang kemudian menjadi latar belakang konversi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi Universitas. Pada tahun-tahun berikutnya, wujud intervensi ekonomi dalam kebijakan pendidikan makin kentara, khususnya pada pendidikan tinggi. Bank Dunia kembali merangsek dalam kebijakan pendidikan nasional melalui modus pinjaman dana kepada pemerintah guna melakukan reformasi pendidikan tinggi. Adapun beberapa proyek terkait program tersebut adalah Development Undergraduate Education (DUE), Higher Education for Relevance and Efficiency (HERE), dan Managing Higher Education for Relevance Efficiency (IMHERE) yang dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Dalam laporan pelaksanaan proyek HERE dan DUE per 2012 dijelaskan bahwa Bank Dunia memberi dukungan terhadap pembentukan Dewan Pendidikan Tinggi (Board of Higher Education) di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dewan tersebut bertugas memberikan saran kepada Direktorat guna diteruskan menjadi kebijakan yang mampu memenuhi tujuan penciptaan paradigma baru pendidikan. Selain itu, Dewan itu juga melakukan supervisi atas pelaksanaan rencana strategis jangka panjang pendidikan tinggi di Indonesia. Melalui proyek HERE, Bank Dunia juga mendukung reformasi perundang-undangan tentang perguruan tinggi yang mewujud dengan terbitnya Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT). Salah satu poin penting dari hadirnya UU PT ini adalah perihal otonomi pengelolaan keuangan yang memungkinkan kampus mentransformasikan kegiatan pendidikan menjadi aktivitas-aktivitas yang bernilai ekonomis.

x


Mendorong Demokratisasi Pendidikan

Paparan di muka setidaknya mampu membawa kita untuk melihat satu pola yang sama dari pendidikan Indonesia dari zaman ke zaman: pendidikan memiliki relasi yang kuat dengan kekuasaan yang sedang eksis dan justru hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan penguasa. Akibatnya, kebutuhan masyarakat tidak pernah terakomodasi. Masyarakat hanya menjadi sekrup-sekrup kecil dalam mesin besar yang dijalankan kelompok dominan. Konteks pendidikan nasional yang berkelindan dengan situasi ekonomi politik itulah yang direspon oleh Serrum sebagai sebuah komunitas studi seni rupa. Pendidikan merupakan isu yang memiliki kedekatan emosional dan kedekatan intelektual paling paripurna dengan pegiat Serrum yang sebagian besar merupakan lulusan dari kampus eks-IKIP Jakarta.

Menggunakan pendekatan seni, Serrum menggagas beberapa laboratorium yang melibatkan seniman, murid, guru, pembuat kebijakan, orang tua murid, serta masyarakat pada umumnya. Seluruh laboratorium diselenggarakan secara kolaboratif bersama beberapa elemen masyarakat tersebut, sebab gambaran yang komprehensif mengenai pendidikan nasional hanya akan didapat jika semua pemangku kepentingan diberi ruang untuk berpartisipasi. Melalui partisipasi masyarakat pula, muncul harapan akan kehadiran pendidikan yang demokratis. Istilah laboratorium sendiri digunakan guna mewadahi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dalam kebuntuan sistem pendidikan nasional. Baik dalam artian sebisa mungkin memanfaatkan celah dalam sistem yang masih dapat dieksplorasi potensinya, maupun mencipta gagasan baru yang jelas-jelas hanya dapat diterapkan di luar sistem yang sudah dibuat pemerintah. Laboratorium yang diselenggarakan Serrum terdiri dari empat, masing-masing mewakili satu simpul masalah. Pertama, Sekolah Idaman. Laboratorium ini berusaha mengurai imajinasi murid-murid Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah Jakarta, Tangerang, Depok, mengenai institusi pendidikan yang mereka idamkan. Sepanjang sejarah pendidikan nasional, Indonesia selalu memosisikan siswa-siswi sebagai pihak yang pasif menerima bentuk dan sistem lembaga pendidikan. Sekolah Idaman sudah dimulai sejak Maret 2016. Hingga saat ini, Serrum telah melakukan proses pengumpulan data mengenai imaji sekolah idaman pada empat institusi, yaitu SMA Negeri 7 Tangerang Selatan, SMA Master Depok, SMA Talenta Jakarta, dan SMK Diponegoro 1 Jakarta. Beberapa sekolah tersebut dipilih berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi, dan kecendrungan kognisi siswa-siswi sekolah yang tentu saja tidak terpisah dari latar belakang mereka sebagai anggota masyarakat, serta kecendrungan sekolah dalam membangun budaya di dalam institusinya. Kedua, Pasar Ilmu. Sistem pendidikan nasional yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kelompok dominan nyatanya membawa dampak pada pola transmisi pengetahuan yang berlangsung antara guru dan murid. Guna menjaga nilai dan norma yang terkait dengan kepentingan penguasa, selama ini guru menjelma sebagai sosok yang memiliki

otoritas tertinggi atas ilmu pengetahuan. Menurut Jacques Ranciere, tidak selamanya guru memiliki pengetahuan lebih banyak ketimbang muridnya. Seluruh manusia memiliki potensi belajar yang sama. Dengan demikian, kata Ranciere, penjelasanpenjelasan guru yang mencerminkan otoritasnya terhadap sebuah ilmu pengetahuan justru merupakan upaya pembodohan (stultification). Sebab, eksplanasi-eksplanasi tersebut memberi batasan terhadap pemahaman murid-murid. Laboratorium Pasar Ilmu kemudian merespon persoalan transmisi ilmu pengetahuan yang membuka potensi pembodohan itu dengan menciptakan sebuah sistem belajar yang baru. Yaitu dengan mempertemukan supply dan demand ilmu pengetahuan berdasarkan kesamaan subjek yang ingin didiskusikan. Kemudian kedua pihak tersebut dapat bertukar peran serta menyepakati aturan main dalam proses belajar yang akan mereka lakukan. Serrum pertama kali menguji coba laboratorium Pasar Ilmu pada acara Biennale Jogja 2015, namun untuk meluaskan pandangan mengenai kecendrungan masyarakat dalam memandang proses distribusi ilmu pengetahuan, kami melakukan perluasan wilayah uji coba. Pada Mei 2016, Serrum menggelar Pasar Ilmu di Koganecho, Jepang, selama satu bulan kemudian mencobanya juga di Copenhagen, Denmark, serta di Universitas Negeri Jakarta pada Juli 2016. Laboratorium ketiga, adalah Kurikulab Masuk Desa. Selama ini, pemerintah telah menyiapkan seperangkat pengetahuan resmi yang disusun sebagai kurikulum nasional, kemudian meramunya dalam buku teks yang didistribusikan ke sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke. Isi dari kurikulum dan buku teks tersebut sudah sakral, para pemangku kepentingan di sekolah-khususnya guru-tidak memiliki hak mengubahnya meski untuk menyesuaikan dengan kondisi-kondisi tak terduga. “Alih-alih meningkatkan otonominya, pada banyak negara kegiatan sehari-hari guru di dalam kelas justru menjadi lebih dikontrol, terlebih wacana untuk menanamkan logika administratif nampak terus

17


dilakukan untuk memperbesar celah antara mengajar dan kurikulum,� tulis Michael Apple dalam Ideology and Curriculum. “Pengembangan, kerjasama serta penguatan kapasitas guru mungkin jadi salah satu perbincangan. Namun, sentralisasi, standarisasi dan rasionalisasi merupakan tendensi terkuat, bahkan dengan meningkatkan fokus pada privatisasi, pemasaran dan desentralisasi,� lanjutnya. Di Indonesia, hal ini mewujud dengan adanya pembagian tugas antara Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) dan guru. Puskurbuk sebagai lembaga yang menyusun konten pembelajaran serta bagaimana standar prosedur yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, sementara guru merupakan pelaksana hasil rumusan mereka di lapangan. Dengan demikian, terdapat dikotomi antara kerja konseptual dan teknikal dalam praktik pendidikan. Pendidikan pun berlangsung serupa dengan mekanisme industri di mana pekerjaan yang kompleks dikelola oleh para ahli, sedangkan sisa pekerjaan sederhana yang membutuhkan ketelitian tinggi dikerjakan oleh para buruh yang digaji murah. Meminjam konsep Apple, mekanisme pendidikan yang berlangsung dengan logika tersebut merupakan sebuah proses deskilling teachers, di mana guru diposisikan bukan sebagai agen transformasi pengetahuan melainkan sekadar operator kurikulum. Dengan demikian, posisi guru serupa dengan buruh pabrik yang menjalankan rutinitas dalam mekanisme kontrol yang ketat. Oleh karenanya, Kurikulab Masuk Desa yang dilaksanakan di SDN 01 Jatisura, Jatiwangi, Majalengka berusaha untuk mengakomodasi kebutuhan wacana lokal, yaitu dengan melakukan eksplorasi pengetahuan yang dimiliki masyarakat, kemudian menyistematisasikannya sebagai bahan pembelajaran. Selain itu, laboratorium ini juga mencoba untuk menghilangkan tendensi pemisahan antara kerja teknikal dan konseptual dalam perumusan kurikulum, yaitu dengan merumuskan sebuah mata pelajaran baru (Muatan Lokal Tanah) melalui kolaborasi bersama guru dan masyarakat setempat. Keempat, laboratorium Rumah Guru, dilakukan untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dan memecah kebuntuan yang biasa dialami guru dalam mengajar materi pelajaran di dalam kelas. Adapun cara yang Serrum tempuh adalah menghubungkan titik temu antara berbagai mata pelajaran dengan metode seni rupa, yaitu dengan

18

mengkolaborasikan kerja guru dan seniman. Selain itu, dalam laboratorium ini guru juga diharapkan mampu mendiskusikan bagaimana strategi yang dapat dilaksanakan untuk membuat materi ajar “menjadi lebih bermakna� bagi para murid dan kehidupannya. Sebab, selain kerap menjadi wacana yang tidak kontekstual, kehadiran materi-materi belajar dari pemerintah juga cenderung mengarahkan guru untuk hanya mengejar target ketersampaian materi sementara dimensi pemaknaannya sering diabaikan. Hasil dari empat laboratorium tersebut dirasa cukup untuk mengkontruksi gagasan mengenai sebuah institusi pendidikan imajinatif bernama Sekolah 244 x 122. Ide dasar dan strategi yang digunakan pada masing-masing laboratorium pun merepresentasi ide-ide Serrum bahwa pendidikan, baik secara gagasan maupun dalam tataran praktis, haruslah bersifat demokratis, dilaksanakan secara dialogis sehingga tidak menimbulkan potensi dominasi satu pihak, diterapkan secara kontekstual, serta berpihak pada kepentingan masyarakat. Hanya dengan landasan itulah pendidikan dapat berjalan dalam kerangka yang memanusiakan manusia. Nama Sekolah 244 x 122 sendiri diambil dari standar internasional ukuran triplek/plywood. Ukuran ini juga merupakan standar perhitungan untuk mengonstruksi bangunan di seluruh dunia. Dengan demikian, nama Sekolah 244 x 122 adalah representasi dari sebuah platform universal namun dapat dibentuk atau disesuaikan dengan kebutuhannya, penjelmaan dari semangat membentuk kerangka berpikir dasar dalam institusi pendidikan namun tetap harus mengkontekstualisasikannya dengan kondisi riil masyarakat.


Strategi Seni Rupa yang Demokratis

Dalam aras praktik artistik, keempat laboratorium Serrum mengarah pada model estetika partisipatoris. Sebagaimana perkembangan yang telah terjadi pada diskursus seni rupa pasca 1960-an dengan mulai munculnya seni rupa konseptual dan praktik seni rupa komunitas, praktik seni menemui makna baru. Ia tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas kontemplatif yang berasal dari renungan seniman secara pribadi, melainkan sebuah kegiatan transformatif yang melibatkan berbagai pihak. Ragam laboratorium yang diselenggarakan Serrum memantik banyak pertanyaan terkait ada atau tidaknya unsur seni di dalamnya. Praktik-praktik tersebut lebih dekat dengan aktivitas advokasi sosial yang berupaya menemukan jawaban atas permasalahan yang timbul di masyarakat. Jauh dari pakem-pakem seni yang dikenal sebelumnya, menghasilkan benda seni dan tugasnya hanya memantik alternatif gagasan masyarakat dalam memandang dunia.

Dalam aras praktik artistik, keempat laboratorium Serrum mengarah pada model estetika partisipatoris. Sebagaimana perkembangan yang telah terjadi pada diskursus seni rupa pasca 1960-an dengan mulai munculnya seni rupa konseptual dan praktik seni rupa komunitas, praktik seni menemui makna baru. Ia tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas kontemplatif yang berasal dari renungan seniman secara pribadi, melainkan sebuah kegiatan transformatif yang melibatkan berbagai pihak. Ragam laboratorium yang diselenggarakan Serrum memantik banyak pertanyaan terkait ada atau tidaknya unsur seni di dalamnya. Praktik-praktik tersebut lebih dekat dengan aktivitas advokasi sosial yang berupaya menemukan jawaban atas permasalahan yang timbul di masyarakat. Jauh dari pakem-pakem seni yang dikenal sebelumnya, menghasilkan benda seni dan tugasnya hanya memantik alternatif gagasan masyarakat dalam memandang dunia. Namun dalam konsep estetika partisipatoris, menurut Martin Suryajaya, hal yang jadi perhatian bukan lagi ihwal keindahan semata, melainkan perubahan sensibilitas dalam memandang kenyataan dan penciptaan hubungan sosial yang baru (Suryajaya, 2015). Konsekuensinya, terjadi pula perubahan dalam memaknai karya seni dan seniman. Karya seni bermakna sebagai himpunan relasi sosial, sehingga semua orang yang terkait dengan hubungan sosial merupakan seniman. Dan Serrum, sebagai komunitas studi seni rupa yang di dalamnya terdiri dari banyak seniman professional kini menempati posisi sebagai organizer, yang mengoordinasikan masyarakat sebagai pencipta karya seni, sehingga menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang baru,

dan dengan cara itu pula akan menghasilkan kenyataan sosial yang baru (Suryajaya, 2015). Dalam prinsip praktik seni yang demikian, tentu saja akan terjadi proses produksi artistik yang lebih demokratis setidaknya jika ditinjau dari dua hal. Pertama, penciptaan karya seni tidak lagi didominasi oleh mereka yang mendapuk dirinya sebagai seniman professional, melainkan bisa menjadi ranah kreativitas bagi semua orang. Kedua, proses penciptaan karya seni dapat dilakukan dalam berbagai ruang sosial yang menjadi wadah interaksi sosial masyarakat sehari-hari, tidak terbatas pada ruang yang didominasi oleh relasi antara seniman, kurator, pemilik galeri, dan kolektor. Empat laboratorium yang diselenggarakan juga tidak diposisikan sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran di tengah masyarakat. Laboratorium justru hadir sebagai sarana bagi Serrum untuk ikut serta dalam musyawarah bersama, memberi saran, serta mengerjakan agenda kolektif masyarakat. Sehingga, hasil yang diharapkan bukan lagi terpatok pada kehadiran benda seni sebagai manifestasi aktivitas yang sudah dilakukan, melainkan jalinan hubungan sosial yang memiliki dampak bagi kehidupan masyarakat setelah laboratorium dilaksanakan. Akhirnya, Festival Ekstrakurikulab khususnya melalui empat laboratorium seninya merupakan sebuah tawaran mengenai wacana, cara pandang, serta metode di ranah seni rupa. Dalam perjalanan yang sudah mencapai 10 tahun, saya pun berharap agar inovasi dan gagasan yang selama ini dikembangkan oleh Serrum mampu menjadi inspirasi dan memberi pengaruh signifikan dalam kehidupan masyarakat. Tabik!

Daftar Bacaan Apple. Michael. Ideology and Curriculum. New York: Routledge Falmer. 2004. Ranciere, Jacques. The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intelectual Emancipation. Stanford: Stanford University Press. 1991.

Septiadi, Anggar. Dari Institut ke Universitas: Dinamika Sosial Konversi IKIP Jakarta Menjadi Universitas Negeri Jakarta. Skripsi. Universitas Negeri Jakarta. 2015. Suryajaya, Martin. Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris: Akar

Permasalahan, Dilema, dan Pergeserannya dalam Paririmbon Jatiwangi. Majalengka: Yayasan Daun Salambar. 2015. Tilaar, H.A.R. Pembangunan Pendidikan Nasional 1945 – 1995 Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: Grasindo. 1995.

Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. Gerakan Mahasiswa dan Politik Liberalisasi Pendidikan Pasca-2014. 8 Januari 2014. http:// indoprogress.com/2014/01/ gerakan-mahasiswa-danpolitik-liberalisasipendidikan-pasca-2014/

19


MATA PELAJARAN KE-15 Kurator : ANGGA WIJAYA dan GRACE SAMBOH

Hall A4 Gudang Sarinah Ekosistem 12 - 21 November 2016 Senin-Jumat. PK 12.00-20.00 WIB Sabtu-Minggu. PK 10.00-20.00 WIB

20


EXHIBITION

12112016

Ade Darmawan

Artist

Aditya Novali Andry Moch dan Videolab Anusapati Asmudjo Jono Irianto Bonyong Munni Ardhie Cecil Mariani Emiria Soenassa Hikaru Fujii Irene Agrivina Klinik Rupa Dokter Rudolfo Kokok P. Sancoko Loranitha Theo dan Ibu Entur Melati Suryodarmo Moelyono Rahman Seblat Tom Nicholson

21


Mata Pelajaran ke-15 Sebuah catatan kuratorial

Angga Wijaya dan Grace Samboh

Landasan berpikir Ada dua hal yang segera muncul saat memikirkan sebuah pameran sebagai bagian dari perayaan 10 tahun Serrum, Festival Ekstrakurikulab. Pertama, para seniman yang punya kecenderungan praktik pendidikan (baik formal maupun non formal). Mulai dari guru, dosen, sampai kepada mereka yang kerap mengadakan beragam bentuk lokakarya. Kedua, sejumlah karya yang yang membicarakan atau menyimulasikan gagasan serta laku pendidikan. Mulai dari yang hadir dalam bentuk kelas, tutorial, sampai dengan yang menghadirkan isu-isu seputar pendidikan. Dalam proses berpikir pameran ini, tidak ada batasan umur karya maupun seniman, demikian juga batasan geografis (di mana karya tsb dibuat atau di mana seniman tsb tinggal dan bekerja). Yang justru segera jadi batasan adalah kemungkinan publik pelihat pameran; publik Jakarta. Aplikasi dari batasan ini adalah nyaris tidak adanya karya yang baru dipamerkan di Jakarta dalam lima tahun terakhir. . Proses pemilihan Proses kerja kami dimulai dengan mengidentifikasi para seniman yang punya peran besar dalam perkembangan praktik artistik di lingkungan hidupnya masing-masing. Kami mulai dengan Mulyono dan (apa yang dikenal sebagai) seni rupa penyadaran—istilah yang sesungguhnya tidak lahir darinya, tetapi dari Siti Adiyati Subangun yang berupaya mengartikulasikan kerja artistik Pak Mul. Dalam sebuah diskusi di C20, Surabaya, Pak Mul menceritakan awal mula kepercayaan dirinya bahwa lingkungan sekitar (baik alam maupun orang-orangnya) bisa menjadi bagian dari sebuah karya, Proyek Joko Budheg (1983). Segera saja kami teringat pada karya Anusapati dalam Pameran Seni Lingkungan di Pantai Parangtritis, 1982. Selain menjadi dosen yang mendukung ragam eksperimentasi para mahasiswa Jurusan Patung dalam ruang lingkup kampus, Pak Ninus adalah seorang dosen yang praktik artistik pribadinya tidak ditinggalkan. Kami langsung mencari cara untuk menghadirkan semangat anti-formalisme 1970-an yang kental dengan ragam praktik artistik para perupa di masa Orde Baru. Bonyong Munni Ardhi yang menantang batasan formal patung melalui

karya Patung Suara (1979) menjadi pilihan kami. Seiring jalannya diskusi, sejumlah karya yang secara langsung menghadirkan ragam dimensi terkait pendidikan juga muncul seperti Aditya Novali dengan permutasi gambar dua gunung yang di tengahnya ada matahari dan jalanan, dengan kotak-kotak sawah yang menyimulasikan perspektif; Tom Nicholson yang mempelajari serta mengulang kembali moda produksi diorama Edhi Sunarso; Hikaru Fujii yang menabrakkan sistem pengajaran Amerika, Jepang, dan Korea pada awal 1940-an; Kokok P. Sancoko dengan lukisan pemandangan sebagai langkah awal pembelajaran praktik lukis; dan salah satu anggota Persagi yang memiliki pengalaman langsung melihat perkembangan seni lukis Barat Emiria Soenassa. Demikian juga dengan ragam karya yang menyimulasikan pendidikan seperti Lembar Kerja Seniman (2016) karya Cecil Mariani; Klinik Rupa dr. Rudolfo kelas gambar potret di bawah asuhan perupa RE Hartanto; Rahman Seblat yang membuat kelas seni di penjara. Secara tidak sadar, kami menghindari memilih kolektif. Misalnya, Video Lab dengan etos berkarya adalah Just Do It yang menjadi ruang belajar bersama para anggotanya; House of Natural Fiber yang sudah hampir 20 tahun dan sudah menguji coba entah berapa puluh model lokakarya; ruangrupa yang menjadikan Jakarta dan segala pranatanya sebagai ruang bermain sekaligus bekerja; Jatiwangi art Factory yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja dalam ruang lingkup desa, kecamatan, dan sekarang kabupaten; batasan ‘kuno’ antara seni dan kriya yang dileburkan oleh Jakarta Contemporary Ceramic Biennale dalam delapan tahun terakhir ini. Kami baru menyadarinya ketika mulai membicarakan festival seni rupa pertunjukan tahunan asuhan Melati Suryodarmo, Undisclosed Territory. Setiap kali nama kolektif muncul (karena pendidikan adalah ranah yang butuh lembaga, dilembagakan, atau pelembagaan), yang kami lakukan adalah berupaya mengidentifikasi sosok-sosok seniman di belakangnya. Kami memilih untuk menghadirkan karya-karya pribadi para seniman ini seturut dengan kesadaran pembuatan pameran seni rupa dalam rangkaian festival yang berfokus pada kelindan antara seni rupa dan pendidikan.

Membaca senarai pilihan karya Ketika kita berbicara tentang pendidikan dan penyebaran pengetahuan, kesenjangan adalah niscaya—dari zaman penjajahan sampai hari ini. Pilihan karya-karya dalam pameran ini bukan semata untuk menghapus jarak antar umur, wilayah atau ruang hidup. Kami sadar bahwa,keberagaman itu jelas perlu dan kesamaan tidak bisa menjadi landasan untuk kehidupan bermasyakarat yang dinamis. Pilihan karya-karya dalam pameran ini adalah sebuah pertaruhan bahwa pengetahuan bisa disasar oleh seniman saat mencipta sekaligus bisa diciptakan oleh siapapun yang kemudian membaca karya tsb. Agensi ada pada pencipta dan pelihat. Pengetahuan adalah milik semua orang yang membutuhkannya. Untuk berhasil dalam pertaruhan dibutuhkan kemampuan berhitung, mengukur, menakar, menimbang, dan membandingkan. Mental kebermainan, kecerdikan menakar, keberanian mengambil keputusan cerkas, serta kesiapan mengambil risiko adalah bekal utama untuk bertaruh. Jangan-jangan, mentalitas itu adalah pilihan melangkah yang paling masuk akal untuk berupaya membangun kesetaraan antar umat manusia. Sampai tingkat tertinggi pendidikan wajib—SekolahMenengah Atas—ada14 mata pelajaran wajib. Sejauh ini, rasanya kita semua akan sepakat kalau ke-14 mata pelajaran wajib itu selalu saja kekurangan sesuatu. Mata Pelajaran ke-15adalah mata pelajaran pilihan yang ingin kami tawarkan pada teman-teman semua. Kami percaya bahwa rasa penasaran, mental kebermainan, kecerdikan menakar, keberanian untuk bertindak dan bertanggung jawab adalah niscaya.

22


23


Pameran :

Modul Sederhana <MODUS> KURATOR ARIEF RACHMAN (ARMAN) di hall Galeri ACC

MODUS adalah penelitian dan pemetaan yang dilakukan Serrum terhadap praktik-praktik pendidikan yang dilakukan oleh pelbagai komunitas. Metode setiap komunitas tersebut akan dipresentasikan ulang pada Festival Ekstrakurikulab 2016 sebagai inspirasi bagi komunitas atau agen pendidikan lainnya. Kata Modus dalam KBBI artinya cara. Bentuk verba yang mengungkapkan suasana kejiwaan sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara tentang apa yang diucapkannya; nilai yang paling besar frekuensinya dalam suatu deretan nilai; angka statistik yang paling sering muncul dalam populasi atau sampel; cara atau metode yang digunakan untuk mendistribusikan pengetahuan/materi selalu diikuti dengan sebuah nilai yang dituju. SERRUM memilih beberapa komunitas pendidikan yang telah berpengalaman menggelar workshop, kelas-kelas, dan program edukasi yang diadakan secara berkala baik komersil maupun non komersil untuk melakukan pembacaan ulang atas pola pendidikan alternatif dengan menampilkan Modul Sederhana dari kegiatan masing - masing komunitas tersebut. Kemudian, Serrum juga mengolah modul - modul tersebut menjadi sebentuk materi presentasi visual.

24


Belajar di Luar :

Fisika dengan STREET ART Dinas Artistik Kota dan Dinas Pendidikan Lokal bekerja sama menggelar proyek “Belajar di Luar: Teori Fisika dalam Street Art” mengajak teman-teman street artist untuk berkarya di ruang publik dengan pilihan tema sebagai berikut : Gaya, Gravitasi, Momentum, Suhu dan Kalor, Gelombang Elektromagnetik, Usaha dan Energi. Karya mengambil inspirasi dari tema di atas, (misalnya: menampilkan rumusnya, bisa juga hanya berupa teks tentang konsep momentum, atau pengilustrasian dari konsep gravitasi atau sebuah imajinasi dari tema-tema diatas). Karya dapat dibuat di ruang publik mana saja dengan teknik apa saja (grafiti, mural, stencil, wheatpaste). “Belajar di Luar: Teori Fisika dalam Street Art” adalah salah satu program dari Festival Ekstrakurikulab 2016 yang diselenggarakan oleh SERRUM di Gudang Sarinah Ekosistem.

#fisikastreetart #belajardiluar

25




Focus Group Discussion :

Pendidikan di Zaman Jepang: Relasi dan Identitas Kedatangan Jepang di masa kolonial yang singkat dan cepat memuat kisah-kisah. Jepang hadir sebagai saudara tua dari timur. Ingatan mengenai Jepang dalam konteks pendidikan Indonesia begitu singkat lantas memuat ingatan tentang Jepang pun menuai ingatan pendek. Jepang dalam ingatan seniman-seniman kita berumur panjang: Chairil Anwar Agus Djaja, Usmar Ismail, Ibu Sud adalah salah satunya.

Kehadiran Hikaru Fujii sebagai seniman Jepang yang pernah membuat karya The Educational System of An Empire memuat kedigdayaan Jepang sebagai kerajaan. Respon dari karyanya yang berbicara pendidikan melalui obrolan murid-murid Korea Selatan menandakan adanya relasi dan identitas. Ia menyitir bagaimana pendidikan Jepang yang dipengaruhi Amerika yang kemudian diterapkan di Korea Selatan.

Mereka diajak berkumpul dan berkesenian mulai mengadakan pameran maupun kursus-kursus. Seniman-seniman kita mengenang Jepang sebagai pembentuk kebudayaan dengan menciptakan kebudayaan baru. Mereka sering berkumpul dan berdialog dalam wadah Keimin Bunka Shidoso.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Saling-silang kebudayaan Jepang dan Indonesia dalam relasi kuasa, identitas, memuat benang-benang pendidikan: propaganda ataukah dialog? Pencarian relasi itu pun penting untuk mengingat sejarah hari ini.

Pembicara

INFORMASI MATERI

Hikaru Fujii H.A.R. Tilaar Mahardika Yudha Kurnia Yunita Rahayu

Tema : Pendidikan di Zaman Jepang : Relasi dan Identitas Sasaran : Masyarakat Hari, Tanggal : Selasa, 8 November 2016 Pukul : 10:00 WIB

28


PAUD dan Media Lokal Seni Rupa

INFORMASI MATERI

Human Development Report melaporkan, berbagai aspek perkembangan seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan perdagangan internasional dan investasi, kemajuan dapat memperluas pilihan-pilihan manusia, membantu menciptakan lingkungan bagi manusia untuk mengembangkan potensinya secara secara penuh dan menjalani kehidupan yang produktif dan kreatif. Pilihan-pilihan manusia diperluas kalau kemampuan-kemampuan manusiawinya juga dikembangkan, yaitu kemampuan bertindak dan mewujudkan dirinya. Pendidikan, kesehatan, peningkatan standar hidup yang layak dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan komunitas, semuanya itu merupakan aspek-aspek yang menentukan perkembangan manusiawi yang dasariah.

Tema : PAUD dan Media Lokal Seni Rupa

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pendidikan yang penting bagi usia emas anak Indonesia. PAUD menjadi jalan dalam menciptakan dari sejak awal pendidikan anak kreatif. Dalam PAUD pembelajaran lebih dekat dengan makna bermain. PAUD dalam pembelajaran tumbuh kembang anak bisa memanfaatkan media lokal dalam pembelajaran anak. Setiap anak tumbuh dan berkembang di lingkungan ia berasal.

Pukul : 16:00 WIB

Penggalian ide dan pengelolan pendapat warga mengenai media lokal seni rupa yang dapat digunakan untuk PAUD membuat seniman peka dalam membaur menjadi satu dengan warga sebagai nuansa saling berbagi pengetahuan mengenai pendidikan. Inilah yang diperlukan agar aktivitas pendidikan anak usia dini merupakan kerja bersama. Menciptakan pendidikan anak yang ramah dan menyenangkan dengan memanfaatkan media lokal seni rupa. Sehingga pengembangan potensi anak usia dini melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Pembicara

Sasaran : Masyarakat Hari, Tanggal : Senin, 14 November 2016

Moelyono Daniella F. Praptono (ruru kids), Kelompok Sosial Pecinta Anak UNJ, Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau

H.A.R Tilaar (2000) seperti UNICEF telah menganjurkan community based education yaitu pendidikan yang diabadikan untuk bersama-sama, dan dari masyarakat sendiri. Khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, terutama dalam lingkungan masyarakat miskin, lembaga-lembaga pendidikan tidak dicintai. Community based education mengaktifkan kembali partisipasi masyarakat di dalam pendidikan.

29


INFORMASI MATERI

Pembicara

Tema Materi : Pedagogi dan Literasi Kritis untuk Guru-Guru

Bambang Wisudo Rahmat Hidayat Monika Irayati Agnisa Wisesa The Ayankz

Sasaran : Masyarakat Umum Hari, Tanggal : 17 November 2016 Pukul : 16:00 WIB

Pedagogi dan Literasi Kritis untuk Guru - Guru

Dalam pendidikan, guru bukan hanya pengajar. Guru juga sebagai aktivis dan pembuka jalan berfikir murid-murid. Guru mempunyai peran dalam mencipta kelas dengan penuh takjub akan buku-buku. Guru menjadi pembongkar ide mengenai jalan murid dalam dunia literasi. Guru juga mempunyai andil menciptakan pengetahuan bagi dirinya. Dalam hal ini ingatan akan guru adalah mereka yang kaku dan otoriter dalam pengetahuan. Guru hanya sebatas mempunyai pengetahuan mengenai mata pelajaran saja. Dalam pedagogi dan literasi kritis guru diaharapkan mempunyai inisiatif sebagai pengajar dan di luar itu sebagai aktivis. Guru sebagai pembongkar wacana pendidikan sekaligus orang-orang yang mengubah pola berpikir pendidikan sebagai tindakan membongkar cara mengajar yang memosisikan murid sebagai bejana kosong. Literasi kritis dalam bentuk novel, puisi, cerita pendek juga bisa menjadi bahan guru sebagai asupan pengetahuan. Pedagogi dan literasi kritis berupaya merefleksikan jalan tak hanya sebagai guru pemberi mata pelajaran tetapi pencipta pengetahuan dan tindakan aktivisme.

30


INFORMASI MATERI

Godaan Membaca Pendidikan melalui Visual Buku-Buku Lawas

Ada dugaan bahwa perkembangan seni rupa kita dalam dunia pendidikan termuat dalam buku-buku pelajaran. Dari masa ke masa buku-buku pelajaran memuat gambar, sketsa, pemandangan alam. Godaan membaca pendidikan melaui visual buku-buku lawas tak hanya memuat ingatan akan sejarah. Lebih dari itu yakni menggoda menelusuri lebih jauh bagaimana visual gambar itu memuat ingatan, mentalitas, imaji, kisah yang kuat membentuk ide dan sejarah.

Tema : Godaan Membaca Pendidikan melalui Visual Buku-Buku Lawas

Kita menduga pembuatan buku-buku pelajaran di masa silam merupakan proyek yang ambisus dan serius. Seniman-seniman diundang tak hanya mengisi berlembar-lembar ruang kosong dalam buku pelajaran. Mereka diajak memvisualisasikan sekaligus memperpanjang ingatan mengenai pesawat, motor, rumah, kebun, cangkul, sawah, binatangbinatang.

Pembicara

Sasaran : Masyarakat Hari, Tanggal : Minggu, 20 November 2016 Pukul : 16:00 WIB

Bandung Mawardi Hikmat Darmawan Irsyad Ridho Ardi Yunanto Angga Cipta

Kini ingatan mengenai buku pelajaran adalah tebar riuhnya fotografi menggantikan sketsa dan lukisan. Kita akan mengingat buku-buku lawas yang memuat gambar-gambar yang berisi perkembangan pendidikan dan seni rupa.

31


INFORMASI MATERI

Tema : Belajar Gambar melalui Media Online Sasaran : Masyarakat Hari, Tanggal : Selasa, 15 November 2016 Pukul : 16:00 WIB Pembicara

R.E Hartanto Leonhard Bartolomeus Najelaa Shihab Ramya Prajna Aga Rasyidi Adi Sundoro

BELAJAR GAMBAR MELALUI MEDIA ONLINE

Di era internet belajar menjadi semakin mudah. Informasi dan penyerapan pengetahuan tak harus bertemu atau bertatap muka dengan guru. Kegiatan belajar online ini menjadi sebuah terobosan baru dalam makna belajar-menagajar. Revolusi belajar inilah yang mendobrak gaya lama konvensional dalam belajar. Cohen dan Smith (2015) mengartikannya sebagai era baru digital. Dimana semua orang terkoneksi karena internet dan mengubah pelbagai pandangan, ide, persefektif mengenai apapun. Cohen dan Smith juga percaya akan kemajuan pendidikan dengan memanfaatkan internet. Dalam kegiatan seni rupa, era digital merupakan wahana baru dalam mencipta pengajaran dan gaya belajar tentang gambar, sketsa, lukis, dan pelbagai hal lainnya dalam penciptaan suatu karya seni. Gelombang internet dan era digital yang terbentuk memudahkan siswa pencarian lebih detail mengenai gambar suatu karya sang maestro. Buku cetak pelajaran seni perlahan mulai tak memadai dalam hal ringkasan pengetahuan karena internet lebih memberikan informasi detail mengenai gambar, sketsa, lukis. Di era digital, ini menjadi gerakan baru dalam revolusi belajarmenagajar. Belajar-mengajar gambar pun ditopang begitu banyak informasi yang dapat diakses lewat Facebook, Youtube, Instagram, Website. Sejauh mana gerakan belajar ini khususnya dalam bidang seni rupa di Indonesia? Akankah internet membawa kemajuan dalam hal belajar atau sebaliknya.

32


Jalan Pengetahuan melalui Obrolan Rianto

Tentu perjalanan 10 tahun Serrum bisa berumur panjang karena menemukan ide-ide baru meski hanya bermula dari obrolan ringan tak berbekas sekalipun. Obrolan kecil sekalipun bisa menjadi do’a akan keberlangsungan hidup dari sepinya ide dan kepungan kemalasan berpikir. Serrum selalu ingin memperbarui diri dengan bertemu dan mengobrol dengan siapa saja. Serrum ingin menjadi rumah bertemunya gagasan dan kerja kreatif. September lalu Serrum berkesempatan main ke rumah Bandung Mawardi salah satu pembicara di Focus Group Discussion (FGD) Kurikulab dua tahun yang lalu. Di Solo, rumah khas joglo itu merupakan rumah belajar/sinau. Mereka lebih menyebutnya sebagai Bilik Literasi. Rumah itu merupakan tempat di mana Mawardi sendiri penuhi dengan buku-buku dan ribuan majalah lawas. Seorang dari kami pun mulai membuka-buka, membolak-balik buku, majalah, dan memotret gambar dalam majalah tersebut. Ditemukan banyak sekali ide mengenai obrolan ringan mengenai seni rupa bermula dari sampul maupun gambar dari majalah dan buku lawas itu. Di rumah yang penuh buku dan majalah lawas tersebut Mawardi mencetuskan ide mengajak bersama-sama meneliti, menerjemahkan, gambar-gambar di buku dan majalah tersebut. Kerja meneliti, menafsir, menerjemahkan, dan membaca suatu karya terasa melelahkan kalau dikerjakan sendiri. Memang obrolan menjadi jurus mujarab meringankan beban dalam berbagi pengetahuan. Pembaca buku, filsuf, penulis, peneliti, seniman sekalipun terus bertambah dosa literasinya jika tak berbagi dalam obrolan ringan maupun diskusi penuh logika ketat nan rigid. Ini sebuah tantangan. Festival Ekstrakurikulab memang tak bisa lepas dari Kurikulab. Kurikulab merupakan pijakan dari langkah Ektsrakurikulab dalam pembacaan ide dan gerak seni rupa Serrum sendiri. FGD yang dilakukan dua tahun lalu lebih mengarah pada wacana sekolah. Kini FGD lebih ke arah yang populer: dimana Serrum mencoba mengangkat wacana yang memang mungkin sepi dibicarakan dalam perkembangan pendidikan dan seni kontemporer. Artinya, FGD coba mengemas wacana pendidikan yang menekankan konsep obrolan antar peneliti, seniman, penulis, guru, yang coba berbagi mengenai pengetahuan pendidikan, kebudayaan, dan medan seni rupa. FGD ini juga menjadi jalan setapak yang bisa dilalui Serrum menuju titik tolak perjumpaan pengetahuan dan kerja kreatif karya seni terus berlanjut dalam diskusi. Mengobrolkan karya, ide, dan pengetahuan sang seniman, juga menjadi kegiatan reflektif bagi siapapun: guru, murid, kurator, penulis, peneliti, publik. Tentunya sebagai Homo Ludens (baca: makhluk yang

bermain dan terus mencipta kebudayaan) Serrum coba menebar terus rasa haus akan dialog kebudayaan dan pendidikan. Sehingga perlu untuk menerjemahkan secara historis dan kekinian mengenai relasi keduanya. Serrum perlu mendiskusikan ini sebagai bahan yang menambah pengetahuan misalnya mengenai relasi pendidikan Jepang Indonesia dalam unsur kesenirupaan, pendidikan, maupun kebudayaan. Ketiganya saling berkelindan, saling silang budaya, pengaruh-mempengaruhi, isi-mengisi. Serrum tentunya ingin mengajak Hikaru Fujii seniman dari Jepang yang dikuratori oleh Angga Wijaya dan Grace Samboh ini tak hanya memajang karya seni sang seniman. Karya seni jadi begitu sunyi. Atau Moelyono yang banyak bergerak dalam menciptakan modul pembelajaran bagi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) agar dapat didiskusikan bersama. Wacana pedagogi dan literasi kritis untuk guru juga perlu sebagai penunjang pengetahuan guru. Serta di zaman digital serbaserbi belajar-mengajar seperti tak mengenal batas.Tercetus pula ide mengenai obrolan pelacakan membaca ‘sejarah’ pendidikan melalui visual gambar yang termuat dalam buku-buku pelajaran lawas. Melalui FGD, Serrum coba mencari bentuk mengemas pengetahuan. Obrolan-obrolan yang dirangkum dalam FGD memang diajukan sebagai agenda publik. Di mana relasi antar penulis, peneliti, seniman, kurator dapat menumbuhkan minat terhadap wacana pendidikan dan juga medan seni rupa yang dapat diakses publik. Serapan obrolan-obrolan ringan tersebut diharapkan mampu membuka jalan untuk ide-ide mencipta karya seni kedepannya. Pun relasinya dengan pendidikan hari ini. Katanya, ide itu berkaki. Ia akan melangkahkan kaki siapa pun ke tempat yang tak bertuan sekalipun. Andaikan dilempar ke tanah tak bertuan sekalipun Serrum mesti tetap mengokohkan kaki menopang ‘ruang berbagi’ pengetahuan terus bergema. Melaui obrolan inilah di Serrum ada selintas pikiran semacam kepercayaan bahwa mencipta karya terus dimulai melalui kegiatan bersama-sama : mencari, menerjemahkan, bahkan kegiatan itu didapatkan dalam perdebatan yang diskursif sekalipun. Tantangan kedepannya adalah bagaimana hasil FGD ini dapat dituliskan kembali dalam sebuah buku yang dapat disajikan secara publik ke depannya. 10 tahun Serrum dengan program publik FGD ini terus merajut kerja meneliti Serrum dalam bidang seni rupa dan pendidikan. Persis kerja Serrum ingin seperti mengkopi kerja seniman/kurator cum ilmuwan sosial yang menapakan kakinya di jalan meneliti dan mengembangkan pengetahuannya melalui sang maha laboratorium: masyarakat.

33


TIM KERJA DIREKTUR FESTIVAL

Moch. Hasrul MANAGER

M. Sigit Budi S. KOORDINATOR KEUANGAN

‘Arman’ Arief Rachman ADMINISTRASI

Tri Jayanti Putri DIREKTUR ARTISTIK

Mg Pringgotono KURATOR SEKOLAH 244X122

Kurnia Yunita Rahayu KOORDINATOR SEKOLAH IDAMAN

Amy Zahrawaan KOORDINATOR PASAR ILMU

JJ Adibrata KOORDINATOR RUMAH GURU

Angga Cipta KOORDINATOR KURIKULAB MASUK DESA

Wahyudi KURATOR MATA PELAJARAN KE-15

Angga Wijaya Grace Samboh ASISTEN

Syifa Hasani Putri KURATOR MODUS (Modul Sederhana)

‘Arman’ Arief Rachman ASISTEN

Hana Monika DESAIN & ILUSTRASI

Arvie Juvians Dhanny Sanjaya KOORDINATOR fgd

Rianto Irawan KOORDINATOR ACARA

Anita Bonit KOORDINATOR KOMUNIKASI

Endah Kashmir TIM KOMUNIKASI

M. Ridwan Septiyani

34

KOORDINATOR DOKUMENTASI

Haviz Maha TIM DOKUMENTASI

M. Reza Fikri Azhar Deyaho Adi Priyatna Daniel Ferryansyah KOORDINATOR PRODUKSI

Arief Widiarso TIM PRODUKSI

M. Luthfi Topan Darmawan Rahmat ‘Amak’ Hidayat Olik Mulatif Winanda Suciyadi Abas Arcoy M. Hamzah KOORDINATOR VOLUNTEER

Andri Hidayat VOLUNTEER

Nana, Endo, Linda, Almas, Donny, Nadia, Noey, Bayu, Boy, Litha, Adi, Diah, Itsa, Iva, Wita, Rifki, Monica KOORDINATOR BELAJAR DI LUAR

Robowobo LIASION OFFICER

Gesya Siregar, Amy Zahrawaan, M. Ridwan, Gema Septian, Ibrahim TIM MURAL

Adi Dhigel Setiawan PRODUK MERCHANDISE

The Ayankz


TERIMA KASIH SERRUM Mengucapkan Terima Kasih Kepada:

• Tuhan Yang Maha Esa • Gudang Sarinah Ekosistem • Keluarga Besar AAC (Art Collective Compound) - ruangrupa - Forum Lenteng - Jakarta 32 Derajat - OK Video - Grafis Huru Hara • Japan Foundation • Gardu House • inibudi.org • Keluarga Besar Universitas Negeri Jakarta • SMA 7 Tangerang Selatan dan Hilmi Fabeta • Sekolah MASTER dan Bu sri dan Pak Nurrohim • Sekolah TALENTA dan Pak Yuli Riban • SMK Diponegoro 1 • Yayasan Pasir Putih • Jatiwangi Art Factory • Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat • Mark Goh • Diaz Parzada • Nasirun • Udin Ae • Kiswinar • Seluruh pihak yang terlibat dan mendukung dalam terselenggaranya festival ini.

35


Didukung oleh


Mitra Lembaga :

Mitra Media :




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.