Produksi@2016 Kolong Rumah Foto Sampul Muh. Irfan Wowor Special Thanks Warung Kojo Unusually Toko Taco
Sebelum jadi Janda Badai belum juga reda, kanda! Bagaimana ini? Sudah berminggu-minggu kita susah, Sampai kapan kita harus terus berutang? Kemarin para tetangga berbisik-bisik, sampai juga ditelingaku. Aku orang sial katanya, bersuami nelayan, mencari ikan, nyawa jadi taruhan. Setiap hari aku terancam jadi janda, kanda.
Bagaimana ini? Malu sudah aku keluar rumah, wajahku serasa dicoreng bara menyala. Ingin rasa tebal muka, tapi sudah habis nyaliku dikikis pandang semua mata. Bagaimana ini?
Aku melaut pagi ini, Dinda! Tenang saja!
Ujung Malam Pojok Kota Sudahkah kau tidur adinda? Aku disini masih terjaga, diantara remang-remang lampu kota. Menanti pagi yang datangnya lama, Hari ini. Tak mau ku hiraukan suara jangkrik ataupun suhu dingin dini hari. Tak sabar menunggumu tersadar dan bercerita: “aku hadirkan kau dalam mimpiku malam tadi.�
Ah, Cinta!
Jika bukan cinta yang kau minta, tak ada lagi yang bisa ku berikan. Ah!
Merindu Telah ku goreskan pensil ku pada kertas putih, tak tau malu. Berharap kau akan segera merindu. Dengan telpon gengam atau selembar surat berisi kabar darimu. Tapi, sampai sajak ini kutulis, Tak kunjung jua kau merindu. Andai saja kau ada di sampingku, pensil dan kertas ini hanya akan jadi sampah yang tak bermutu. Tersimpan di rak-rak yang tak pernah ku sentuh. Sesekali aku memusuhi hatiku, yang mudahnya terserang rindu.
Jika kau berkenan, walaupun harus meredam malu, bergetar tubuh, menghapus harapku, yakinkan aku untuk berhenti bertahan atau tetap menunggu.
Ah, Tuhan! Katanya kita merdeka, tapi urusan kamar saja kau atur sedemikian rupa. Hilang bentuk, hilang pangkal, hilang rupa. Kami tersulap jadi produk baru bersegel, labelnya dari luar. Tak bisakah kita tahan perkembangan zaman yang membabi buta, yang katanya membawa arus modernitas. Yang lama tinggal budaya, yang budaya tinggal kolot, yang kolot tinggal di pinggiran jalan aspal, tak beralas kaki, sepatu juga sandal. Begini mungkin rasanya kedatangan tamu agung yang menyiksa. Ah, Tuhan memang tidak buta, kita dipilih dari yang banyak untuk terus diuji coba.
Kau? Hari ini senja masih tertawa. Kau? Belum juga tiba!
Sketsa
Bolehlah ku goreskan pensil pada kertas gambarku. Menarik garis-garis ragu membentuk wajahmu. Tak tahu aku membuat pola. Atau mencoba bermacam aturan gambar biar menarik, biar memenuhi nilai seni, biar mudah dipasarkan, biar mudah dibeli.
Aku tak tahu. Yang kutahu : Pensilku ini adalah rindu, kertas ini candu dan kau pengobat pilu.
Pesan Tersembunyi Ada pesan tersembunyi disini. Kusampaikan seperti dalam adat jawi. Lemah, lembut, sayu. Mari mikirkan kembali. Sesudah waktu-waktu yang kita lewati, Masihkah kau mau sendiri, atau melanjutkan hidup dengan aku yang mengimami.
Manusia
Diusia ini aku masih juga belajar memahami makhluk yang diberi nama manusia. Setua ini masih juga aku tak bisa memahami mereka.
Ah, Dunia! Diam-diam ada yang menikmati dirinya dibodohi prasangka. Menampung setiap sakit dari tipu daya. Dibiarkan dirinya sebagai tempat pelampiasan semua derita, ditampung untuk mungkin dikulak kembali dengan kebahagiaan.
Tuhan nanti akan menggantinya. Kalau tidak di dunia, mungkin surga mungkin juga neraka. Ah, Dunia ini tak menjamin apa-apa, tak menghasilkan apa-apa, tak memiliki apaapa.
Beginilah Rupaku Beginilah rupaku, jangan sungkan. Tapi takkan lama kau mampu. aku takkan sungkan.
Beginilah rupaku, kau ada dari seribu. Tapi akankah jadi yang satu. Aku ragu. Beginilah rupaku, lama sudah mengarungi waktu, kini pulang. Masih berasa tak bermutu.
Beginilah rupaku, diam-diam merindumu. Tapi tak juga kutahu siapa kau yang kurindu.
Beginilah rupaku, dibentuk oleh karang, gelombang, terik siang kotaku. Beginilah rupaku. Aku tak sedikitpun kan malu.
Di Ujung Pelabuhan Menghadap ke Barat Yang dia lihat kapal pesiar. Yang aku lihat kapal penjajah. Yang dia lihat pesta pora. Yang aku lihat penjajahan. Yang dia lihat hiburan. Yang aku lihat terjajah. Yang dia lihat kemewahan. Yang aku lihat dijajah.
Di ujung pelabuhan menghadap kebarat, penuh sesak kapal bermuka dua.
Akulah Manusia Akulah manusia, makhluk unggulan tak terbatas. Diciptakan dengan kehendak kebebasan. Diberi pilhan untuk tetap taat atau melawan. Jika memilih taat, aku ditugasi untuk bermanfaat bagi setiap umat. Jika melawan, berarti ingin menjadi Tuhan.
Akulah manusia, makhluk bodoh karena memilih bertahan. Padahal tugasku tak mudah, menjadi khalifah perlu kesabaran. Gunung saja tak mampu menahan. Aku manusia tapi congkaknya tak ketolongan. Akulah manusia, yang memilih jalan bodoh untuk mencapai keabadian.
Ah, Kita! Andai kau tahu, dunia ini pun tak banyak tahu. Merekam setiap peristiwa, dijadikan bukti, dipersembahkan pada para Dewa. Kita bisa apa? Mulut dikunci, mulut tak guna. Tangan bersaksi, kaki bicara. Tinggal malu yang membuncah bak cakrawala. Ah, kita memang munafik tak berTuhan.
Tata Karma Tak ada yang lebih tenang melebihi karma. Datangnya perlahan kadang mengejutkan. Merayap pelan bersiap mengagetkan.
Hati-hati jika bertemunya, nyawamu bisa jadi taruhan. Dia bersembunyi disetiap rumah, disetiap benda disekitar, kadang disetiap sahabat yang kau kenal. Hati-hati dengan karma.
Orang Malam Aku orang malam, penikmat sepi. Dalam kesadaran aku tetap bisa bermimpi. Biar gelap datang kapan saja, biar terang hanya lalu lalang, tetap bisa ku nikmati. Dalam cahaya redup lampu jalan, ku jamu apa saja yang datang. Jika pagi datang, Matahari dengan congkaknya mengusir malam, tak peduli. Biar sinarnya membakar kulitku, biarkan pekat menjadi panggilanku. Aku orang malam, peduli apa dengan sang surya.
Jika Sajakku Berbunga? Jika sajakku berbunga, maukah kau hirup wanginya? Untuk sekedar merasa bahwa aku menunggumu dalam waktu yang lama. Jika sajakku berbunga, kutanam disekitarmu, mengurungmu agar tak jauh. Maukah kau hirup wanginya?
Jika sajak ku berbunga, kau perlu menyiraminya dengan lembuh kasih sayang, tanpa setetes pun derita. Agar kelak tangis dan air mata hanya tinggal cerita. Mau kah kau hirup wanginya? Jika sajakku berbunga, Jika tidak?
Biru Aku biru, tubuhku luka hitam membiru. Sedang rokok dimejaku tak henti merayu. Sekitarku manusia-manusia ramai menggadai harga diri. Besok setelah mati, yasudah mati.
Banyak yang belum merasa hidup diujung tanduk. Menunggu detik-detik terakhir, menikmati tetes demi tetes air mata, bersiap dibuka semua rahasia. Wajah memerah, tunduk, takut, sisanya malu.
Akal, Benalu Aku perlu untuk membenturkan akal sehatku pada tembok itu. Saat ini aku tak membutuhkannya, akal sehat hanya benalu yang merusak. Dengan mudahnya menjelek-jelekanmu. Dia pikir dia siapa? Beraninya mengaturku. Padahal dia tahu, aku siap untuk segala peristiwa, siap tenggelam dalam luka; sambil tertawa. Karena sedih adalah juga bahagia.
Penanti Aku menunggu mu berbulan-bulan, bertahun-tahun, Dengan musim yang terus berganti. Dan kini, kau datang, tersenyum lalu pergi.
Ah, Tuhan sang penguasa hati, kapan Kau buat hati ini mengerti, di luar sana mungkin ada seseorang yang sedang menanti.
Berdiri dengan selendang putih, tersenyum dan berbisik : “Sudah lama aku disini, menunggu mu dengan ribuan puisi.�
Balada Mahasiswa Malam (“Aku” - Chairil Anwar)
Belajar tak pernah usai. jika boleh, ingin selamanya disini. Menanti matahari dari timur, menyapanya lalu tertidur. Ruang kelas sudah seperti hantu yang mendikte bermacam teori. Padahal tak satupun ada yang hakiki.
Kepastian tak pernah bertahan lama. Dia terus diuji, seperti hidup yang terus mencari. Kalau boleh bermimpi, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Perkenalan Aku mengenalMu dengan cara berbeda. Dengan ketiadaan syukur atas nikmat, dengan ketiadaann taat atas perintah, dengan ketiadaan tanggung jawab atas kewajiban. Aku mengenalMu dengan cara berbeda.
Malam Hei Malam, Apa kabar? Lama tak bersua. masih maukah kau meramu mimpiku, atau sekedar menemani menghabiskan sisa harapanku?
Aku dan Kamu Menuju-Nya Pagi, adinda. Apa kau sadar aku menanti mu diantara waktu dan ruang hampa? “Tidak!� jawab mu, “aku terlalu sibuk dengan duniaku� Apa lagi yang kau cari adinda? Aku ada, masih belum cukupkah? Dunia juga hanya sementara, mau kau bawa kemana kesibukanmu? Apa Tuhan nanti akan menagihnya? Sedang kita berleha-leha, seolah hanya dunia yang ada. Selaksa peristiwa tak cukupkah sebagai pelajaran? Ada yang mati ditimpa batu, ada yang tenggelam ditelan gelombang. Adinda, jika saja bersama mu tak ternilai sebagai tugas dari-Nya, maka sudah lama kau ku lepas. Biarlah aku bersama-Nya menuju dunia sejati yang tak berujung mati. Karena memang kita abadi.
Berhenti Menunggu Mungkin begini akhirnya. Satu lagi harap perlu ditutup rapat. Cukup sudah usaha di buat, tapi kalau begini adanya, mau apa?
Besok matahari terbit lagi, tak bosan dia menghangatkan bumi. Aku tak tahu bagaimana, dari lampau masih tetap setia. Tak seperti aku yang tak bisa memegang janji untuk terus berikhtiar, Padahal harapan selalu ada. Sayangnya mungkin itu bukan dia.