Ini hanyalah kata-kata terserak yang butuh dipelihara Agar tak sekedar larut dalam sungai maya Dalam sebangun rumah bernama “ITB Nyastra�
1
ITB Nyastra #5 Sampul: St. Togok Penyunting: Aditya phx Arsip : Firman Ihsan Publikasi Sunkencourt Copyleft ©2016 http://itbnyastra.zine.or.id
2
3
Selamat untuk
Wahyu Kuswantoro Sebagai
Imam Lingkar Sastra 2016-2017!
4
Prolog (Aku dan Mungkin dengan LS : Sebuah Catatan Curahan Hati)
Tahun 2011 adalah salah satu waktu paling bahagia dalam hidupku. Aku diterima di ITB, Fakultas Teknologi Industri. Waktu itu aku dalam bayanganku, setelah 4 tahun kuliah, aku akan diwisuda dan bekerja di perusahaan dengan gaji 60 juta (entah bagaiamana bayangan semacam itu muncul dalam pikiranku, tak tahu). Tentu akan bahagia sekali mendapatkan kebahagiaan yang berlipat gandja (baca : ganda). Waktu itu ada sebentuk pameran unit kegiatan mahasiswa, OHU kalau tidak salah namanya, Open House Unit. Waw, di ITB ada unit kegiatan yang keren-keren ternyata, dari catur sampai karate, dari unit drumband sampai dengan unit robotika, dari unit kebudayaan aceh sampai dengan unit kebudayaan jepang, dan masih banyak lagi yang lain-lain. Aku masih ingat mendaftar ke unit apa saja ketika itu. Ialah Percama, UKM, dan LS, dan tentu tidak lupa yang wajib, sesuai dengan tuntunan seniorku yang sudah masuk ITB lebih dulu setahun dan dua tahun : GAMAIS dan MATA’. Dari beberapa unit ini, tidak ada yang ‘berhasil’ aku ikuti, meskipun aku dilantik di GAMAIS dan MATA’ tetapi aku tidak aktif dan berkegiatan di sana. Aku lebih menghabiskan waktu menjadi mahasiswa kupu-kupu istilahnya waktu itu, kuliah pulang kuliah pulang. Dan aku jauh lebih senang menonton DVD bajakan (yang kuperoleh dari Pasar Simpang Dago) dan membaca novel-novel Tere Liye ( yang kubeli dari kios buku jalan gelap nyawang). Ada beberapa alasan yang membuatku tertarik mendaftarkan diri pada unitunit tersebut. Alasan yang setelah kutimbang sekarang, cukup egoistik. Aku masuk Percama supaya kemampuanku bermain catur meningkat (cliche), dan bisa menjadi juara catur dalam kompetisi antar mahasiswa se Indonesia (mimpi). Lalu masuk UKM (Unit Kesenian Minangkabau), aku ingin menjadi Keyboardist di UKM dan menjadi artis atau jagoan di sana. Aku masuk LS karena jujur ingin melatih kemampuan tulis menulisku dan ingin menjadi penulis kondang yang bukunya diburu dan dibeli banyak orang. Kemudian terakhir untuk GAMAIS dan MATA’ sepertinya aku ingin membentuk identitasku sebagai muslim yang tangguh dan relijius. Kemudian aku menemukan alasan dan kalau boleh disebut tujuan tersebut tidak hanya egois tetapi sekaligus narsis. Aku ingin eksis. Hari-hari berlalu, aku menemukan diriku sudah tak mampu menjadi apa yang kucita-citakan di awal. Aku gagal menjadi anggota percama, gagal menjadi anggota 5
LS, gagal menjadi anggota UKM dan pasif sekaligus menjadi kader yang terpinggirkan di GAMAIS dan MATA’. Di tahun kedua aku sempat mendaftar masuk Kabinet KM ITB namun hasilnya sama : gagal. Mungkin memang ada yang salah dengan atau pada diriku. Entah itu niat, entah itu tujuan atau apa. Aku tidak mengerti. Tiga tahun kemudian, 2014, aku memutuskan untuk kembali mendaftar di Lingkar Sastra. Waktu itu LS sudah mulai ‘kelihatan’ di kampus (entah sebelumnya tidak atau justru aku yang menutup mata, tak tahu, dan tak penting). Ikhsan dan Kartini (pengurus LS) beberapa kali ikut pementasan. Mereka membacakan puisi. Kalau tidak salah, aku pertama kali menonton mereka pada saat Malam Kebudayaan di Gedung FSRD, samping lapangan merah. Perlu kau tahu di masa itu aku begitu pusing dan lelah dengan segala macam kegiatan akademik di jurusanku. Apalagi masa itu adalah masa praktikum dan segala tetek bengekya, laporan akhir dan tugas awal dan lain sebagainya. Jadi menonton acara kesenian yang demikian cukup mengalihkan pikiranku kepada hal yang lain dan beda. Aku memutuskan akan masuk lagi. Mendaftar lewat OHU. Tahun 2011 lalu, entah aku yang tidak peduli atau memang tidak ada panggilan lagi dari panitia OHU LS untuk mengajak kumpul lagi, aku tak ingat persis. Yang jelas tak sekalipun aku ikut kumpul LS setelah mengisi formulir. Tetapi kini aku mulai yang baru. OHU 2014, aku serius ingin masuk LS. Mungkin didorong juga oleh hasrat keinginan punya unit, banyak alasan disamping ada juga kekhawatiranku CV-ku kosong saja begitu keluar dari ITB dan ada juga alasan lain. Sebab juga ada semacam perasaan iri kepada kawan-kawan yang bangga dengan identitas unit mereka masing masing ada yang memakai jaket UKM kemana-mana, ada yang tiap sebentar ke sekre unit, rapat dan lain-lain. Tetapi dibalik itu semua adalah sebuah kutipan yangkubaca pada fanspage facebook Tere Liye “ 20 Tahun mendatang engkau akan lebih menyesal atas apa yang tidak engkau lakukan daripada atas apa yang telah engkau lakukan.” Waw amat menarik, dan menjadi salah satu pendorongku masuk LS. Coba. Dan setelah beberapa tahun kemudian aku menemukan kawan yang mengungkap bahwa kutipan ini keluar dari Oscar Wilde. Aku mendapati diriku yang lumayan rajin membaca buku (selain buku teks) dan mengasumsikan akan berkembang di Lingkar Sastra ITB. Kalau aku tidak salah lihat, aku mempunyai setidaknya tiga motif yang lebih konkret. 1. Aku ingin menambah kawan, khususnya yang suka baca dan bersedia membagi dan membincangkan bacaan-bacaannya.
6
2. Aku ingin memperoleh ilmu-ilmu sastra, filsafat dan harapanku aku bisa berguru di Lingkar Sastra. 3. Aku ingin melihat-lihat khazanah baru, mengembangkan preferensi tentang mahasiswi berambut sebahu dan berpenampilan artistik. Dua kata : mencari pacar. Mungkin yang terakhir ini terdengar lucu namun tidak salah jika poin ke tiga ini adalah salah satu faktor yang tak kalah penting juga. Singkat cerita masuklah aku ke dalam LS. Waktu itu Kartini ketua dan Ikhsan kadiv puisi. Tidak ada kaderisasi tersistem seperti yang kualami di Ospek Himpunan Jurusan yang menguras waktu dan energi. Tidak ada sesi marah-marah, bahkan beberapa karya yang dikumpulkan tidak dibilang jelek malahan dipuji dan bagus semua. Kemudian satu puisiku langsung dimasukkan ke dalam Antologi Radius. Hari berganti, tempat berkumpul pun demikian, awal berkenalan di selasar labtek pindah ke kehidupan baru di Sekretariat di gedung MKOR, MKOR dirobohkan, pindah ke Gedung Mektan. Aku mulai paham bahwa ketiga motifku masuk LS tidaklah tercapai sepenuhnya. Aku ragu sebenarnya apakah memang aku ini yang berkeinginan aneh atau memang salah masuk. Eits tunggu dulu, aku mungkin harus mengubah cara pandangku terhadap poin yang nomor satu. Sempat terpikir olehku aku sebaiknya keluar saja dari LS. Tetapi setelah menimbang beberapa jenak, aku merasa kali ini aku tidak mesti keluar dari LS, sebab toh melihat sendiri LS itu ya begini. Melihat kenyataan. Seiring waktu, LS mulai mengadakan kajian-kajian mungil. Diskusi-diskusi remeh sampai nobar. Semangatnya waktu itu adalah untuk meramaikan dan menjadikan unit sebagai pertumbuhan gerakan mahasiswa (cie, bacot kosong). Waktu itu jugalah lahir yang namanya aliansi kebangkitan yang digawangi Tiben, MG, PSIK dan LS. Empat ini atau bolehlah disebut THE BIG FOUR ini merutinkan kegiatan diskusi dan nonton film. Lebih mirip arisan intelektual yang sok-sokan. Para anggotanya yang cuma belasan orang ini saling menghadiri acara tetangga masing-masing. Dari situ kemudian muncullah grup ITB Nyastra, yang sangat terbuka dengan anggota baru. Semacam wadah pamer karya, ada yang dari ITB sendiri bahkan dari Luar ITB juga sangat banyak. Kemudian seiring perkembangan aku merasakan ya memang beginilah LS adanya, dia ada dan begitu-begitu saja. Secara individu aku merasa bahwa di LS aku sudah mendapatkan cakrawala dan teman baru. Sebut saja kenal anggota-anggota LS, kemudian lalu mengenal 7
anggota-anggota unit Tiben, MG dan PSIK (yang dahulu pada tingkat I aku mengangap mereka musuh sebagai representasi politik depan vs belakang ‘sunken’) kemudian memang benar, aku kenal dengan beberapa komunitas sastra di bandung macam Asas Upi dan GSSTF Unpad, meskipun hanya beberapa orang. Lalu kenal dengan salah seorang pegiat sastra di Cianjur yang darinya aku belajar banyak tentang puisi dan penerjemahan puisi. Yang paling tidak kalah pentingnya adalah aku ada tempat nongkrong baru : Tiang Bendera yang sekrenya paling luas di Sunken Court itu. Selain itu aku bisa mengisi hari-hariku yang biasa menjadi lebih biasa dengan kajian diskusi serta nonton bareng, meskipun hal itu cuma untuk menghabiskan waktu (tetapi juga baragkali menyalakannya). Karena sebutlah ada teman, aku bisa pinjam proyektor ke MG dan gratis (disaat zaman kini semua serba bayar dan mengutip Iman Soleh, tidak ada yang gratis kecuali lapar). Di ujung masa studiku di ITB ini, sebab 5 tahun ternyata sudah hampir penghujung aku berharap Segala kebaikan dan hal-hal yang menimbulkan kebaikan tetap terjadi rutin dan konsisten. Memang mungkin LS belum punya sistem yang begitu ampuh untuk menggembleng para anggotanya menjadi mahasiswa yang bertingkat literasi tinggi namun aku berharap setidaknya ‘kekeluargaan’ menurut terminologi Kartini dan ‘brotherhood’ a ala Kukuh itu ada di LS. Dengan demikian LS tidak menjadi tiada. Merci Beacoup LS !
Asra Wijaya Sastrawan Muda
8
9
Akulah Kemenangan (Yulida R.)
Dalam gelap yang nyata, kamu masih sempat bertanya: "Apa itu kemenangan?" bukankah sangat sederhana jawabnya: "Saat kamu tidak direndahkan" "Aku tidak suka," katamu. Dan melanjutkan menonton. Kamu diam dan melihatku menghunus pedang dan senapan Apa kamu menikmatinya? Suara petir yang menggelegar dari mulut manusia manusia itu. Simfoni yang selaras dengan benteng kaca yang aku dirikan Dunia yang kau tonton ini kau menyukainya bukan? "Kamu jadikan mereka penjahat" katamu tanpa menatapku "Karena mereka kalah. Mereka pantas mendapatkannya! Kebenaran selalu menang!" Tawaku membelah dunia: duniaku, dunia kita! "Aku pamit. Sampai kamu benar tahu apa itu kemenangan." Kamu tahu kau tidak akan pergi kemana mana. Kamu hanya tidur, jauh di dalam, dalam kegelapan.
10
Berjalan Lebih Jauh (Roziyan Hidayat)
Tak ada yang berbeda dengan senja. Semuanya tetap sama dalam jarak pandang mata. Kaki-kaki yang bertebaran kesana kemari memukulkan telapaknya ke tanah kering berdebu yang cukup tebal. Para pemilik kaki-kaki ini seolah ingin mempertegas arti yang mereka hadirkan untuk taman bermain ini. Sejumlah lembaran nominal akan terus berputar malam ini, memutar roda kereta kuda berbahan bakar listrik yang ada di depan pintu gerbang. Sesekali, beberapa orang berlalu lalang tanpa tujuan. Mereka berjalan tanpa navigasi yang seharusnya mereka butuhkan kalau kalau seseorang datang menawarkan ideologi baru untuk mengambil sebagian atau bahkan seluruh langkah langkah mereka pada pagi hari yang sendu. Saat itu hampir senja, bulan Oktober. Ketika sepasang manusia berjalan tanpa berusaha menegaskan isyarat entitas mereka. Bahkan, lebih jauh, mereka berharap dunia tidak terlalu peduli dengan adanya mereka disana. Meskipun, kontras, pakaian mereka terlalu mencolok dengan warna langit saat itu. Seharusnya mereka datang lebih awal, yaitu saat warna pakaian yang mereka kenakan membentuk gradasi yang sempurna dengan warna angkasa, biru dan abu. Warnanya mungkin tidak seramah secangkir kopi dan selembar puisi, tetapi sudah lebih dari cukup untuk melengkapi drama senja itu. Sebuah drama yang sedang terdeklamasi, bianglala yang berputar dengan kelajuan statis yang seolah menganalogikan sebuah piringan yang sedang memainkan musik latar sekaligus tempo, dan hiruk pikuk anak-anak yang sedang menangis kepada ibunya seolah-olah sedang memainkan lakon setia yang rapi. Tidak perlu mengabaikan Abang-abangan yang sedang menjaga tuas. Mereka akan berjaga seharian, seakan tuas yang menjadi pengatur periode permainan bianglala itu adalah benda hidup yang siap kabur kapan saja. Si Laki-Laki mulai membuka pembicaraan mereka. “Aku ingin mengenalmu lewat ingatan malam yang berlalu diantara kita, jujur dan tanpa suara. Dimensi rasa tidak berakhir hanya dengan mengenalmu lewat jarak, dengan menunggu kepastian belaka.� “Ada yang lebih indah dari perkenalan kita hari ini, contohnya seperti berjalan lebih jauh denganku.� Si Perempuan hanya diam saja. Matanya melihat seorang anak kecil yang akan melewati satu kali putaran bianglalanya. Dia tidak menyangka akan berjalan 11
bersama dengan Si Laki-Laki dan membicarakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ingin ia bicarakan. Memikirkannya pun adalah perkara yang tidak mudah. “Suatu saat kau akan merindu, pikirku.” “Rindu hanyalah sebatas rasa pada lingkup mata, pada pejaman mata saja.” “Sayangnya, akan ada beberapa hal yang hanya bisa kau pahami dengan lebih baik jika kau membuka matamu.” “Tidak jika kau masih punya telinga.” “Perasaanku tumbuh dalam sepimu, dalam ingatan yang mendewasakanku.” “Aku ingin berkalung waktu, terbang bersama doa yang sama denganmu.” Mereka bukan sepasang kekasih, mereka hanya dua anak SMA yang akan segera menanggalkan status itu. Ada mimpi yang lebih penting dari mimpi satu orang manusia. Mimpi itu adalah mimpi yang bisa hidup damai dengan mimpi orang lain. Mimpi itu akan tumbuh dan bahagia dalam harapan orang lain karena akan selalu ada tawa yang menggantikan kesedihan. Senja mulai berganti malam, pasar malam menjadi lebih ramai. Tempat itu dipenuhi banyak orang, mulai dari yang hanya menghitung bintang sambil sesekali memilih sebuah karena pada akhirnya mereka hanya bisa memilih dan menunjuk tanpa bisa memilikinya. “Aku ingin kesana.” Si Perempuan menunjuk bianglala, jari-jarinya terlalu lemah untuk diangkat terlalu lama, terlalu melawan gravitasi. Si Laki-Laki tidak berbicara, ia berjalan terlebih dahulu sambil memunggungi Si Perempuan. Si Perempuan hanya mengikutinya patuh, seolah yang memiliki ide tadi adalah Si Laki-Laki. Tidak hanya mereka yang menuju wahana itu, ada beberapa pasang manusia yang juga ingin kesana. Di sepanjang jalan itu, ada memori yang mulai terekam patuh. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain melipat kenangan ini dengan rapi, seperti melipat kertas untuk membuatnya terlihat seperti perahu. Kemudian, Si Perempuan mempercepat langkahnya, dia tidak ingin tertinggal oleh Si Laki-Laki. Ia takut tersesat dan terpisah, tetapi ia lebih takut lagi bila harus tersesat dan berjalan lebih jauh dalam ingatannya. Mereka sampai di depan pagar wahana. Pagar itu berupa besi silinder yang disusun dengan bentuk yang lebih mirip kisi yang ada di penjara, tetapi dicat seperti pelangi agar Abang-abangan tadi tidak dianggap sebagai sipir penjara. Si Laki-Laki berbicara dengan Abang-abangan yang sedari tadi menjaga tuas. Si Perempuan tidak memperhatikan pembicaraan itu. Dia hanya menatap sekililingnya, terdiam menatap dunia yang sepertinya sudah tidak relevan dengan dunia yang sekarang,
12
ketika teknologi telah mengganti banyak porsi untuk desakan napas manusia. Dunia yang mulai ramai dan tidak seimbang karena ada banyak kebisuan di dalamnya. “Ayo!” Si Laki-Laki membuyarkan lamunan Si Perempuan. Si Perempuan terlihat senang mendengar dan menatap Si Laki-Laki ini. Ini adalah kali pertama mereka sedekat itu. Berjalan sedekat itu. Masing masing dari mereka masih berusaha menerjemahkan bahasa yang tidak pernah mereka ucapkan. “Aku belum pernah menaiki wahana ini, apakah aku harus takut?” Si Perempuan mengernyitkan dahinya. “Semuanya diawali dengan mencoba.” Seperti biasa Si Laki-Laki mencoba membuat Si Perempuan tidak berpikir terlalu jauh. Mereka berada diatas sana, di dalam rangkaian besi besi silinder yang tersusun tidak simetris. Bianglala mulai berputar menghabiskan periodenya dengan lelah, seolah gravitasi yang dulu dipostulatkan Newton adalah rajanya disini. Padahal, Si Abang-abangan yang sudah lelah menjaga tuas pada wahana ini, yang sedari tadi ternyata tidak melawan, itu. Pasar malam ini berada di Bukit Rindu sehingga dari posisi tertinggi bianglala mereka bisa melihat Kota Cinta. Kota yang berada tepat di bawah bukit ini. Sebuah kota kecil yang tidak terlalu ramai dengan napas-napas mekanis. Pada posisi itu, mereka tidak banyak berbicara, seolah langit malam telah menjadi penerjemah diantara tatapan mata mereka. Kebisuan telah menjadi teman yang akrab. Walaupun bulan Oktober mulai terasa lembap, tetapi tidak dengan percakapan malam itu. “Aku tidak ingin pergi.” Kata Si Perempuan. “Kau harus.” “Ada mimpi mimpi yang ingin kau bawa pulang.” Si Perempuan masih menatap langit, kemudian menatap Si Laki-Laki. “Andai aku mengenalmu lebih cepat dari sesuatu yang mereka sebut kemarin.” “Disini kita akan bertemu lagi, ku harap.” Si Laki-Laki berbicara seolah tidak ingin Si Perempuan mendura terlalu lama. “Ceritakan senja hari ini pada fajar esok hari.” “Aku ingin kau berjanji padaku.” “Aku tidak suka berjanji.” “Maka kau tidak benar benar hmmm padaku.” “hmmm?” “hmmm!” Si Perempuan hanya bersungut-sungut. Si Laki-Laki hanya tertawa. Sebuah pasangan serasi untuk sebuah kisah yang tidak dimengerti.
13
Setelah melewati lima putaran, bianglala itu mulai diperlambat oleh Si Abangabangan yang masih setia menggenggam tuas itu. Mereka kemudian turun sesaat setelah benda berbentuk menyerupai bola itu berada pada titik terendahnya dan tentu saja setelah kait penutup pintunya dibuka, tentu saja tanpa bantuan Si Abangabangan. Mereka ingin berbicara lagi, tetapi mereka ingin diam saja. Mereka hanya ingin berjalan lebih jauh, menghabiskan malam itu. Sesekali Si Perempuan tertawa sangat lepas, kemudian tersenyum dan terus berjalan. Si Laki-Laki ini berhasil membuatnya jatuh hmmm, meskipun mereka tidak sengaja bertemu. Tibalah waktunya mereka pulang, Si Laki-Laki mengantar Si Perempuan sampai ke depan rumahnya. Mereka tidak berbicara, seolah bagi mereka merindu adalah perkara yang mudah. Rindu tidak sesederhana kehilangan pesan masuk. Mereka berpisah malam itu, tanpa suara, berharap takdir memberikan mereka setangkai bunga. Si Laki-Laki hanya menunduk. Ia tidak pernah menyesal mengenal Si Perempuan, bahkan setelah 5 tahun berlalu. Dia mulai menyadari tentang do’a yang mungkin saja tidak sama. Dia pernah takut pada kenyamanan kemudian lupa untuk berjuang. Memperjuangkan yang seharusnya diperjuangkan. Mereka berpisah, pada malam itu, dengan cara yang elegan tanpa pernah benar benar bicara. Si Perempuan tidak pernah kembali ke tempat itu untuk benar benar berbicara. Membakar kesalahan satu-persatu, tetapi kemudian lupa melipatnya rapi. Si LakiLaki itu ingin mencinta. Si Perempuan berbeda, dia mungkin telah lupa. Mungkin dia telah selesai melipatnya, memasukkannya kedalam amplop seolah menegaskan bahwa manusia punya cara dan variabel yang berbeda-beda untuk menjadi bahagia. Ada rasa yang telah diberikan Si Laki-Laki itu, yang kemudian telah menjadi milik Si Perempuan. Akan tetapi, mungkin Si Perempuan lupa mencatatnya dan tanpa sengaja membawanya pergi bersama hilangnya napas pada wahana yang sempat hadir di bukit itu. Kemudian Si Laki-Laki mulai berjalan lebih jauh, meninggalkan sisa-sisa taman bermain itu, sambil sesekali menoleh tuas yang dulunya tak pernah dilepaskan Si Abang-abangan.
14
Jawaban (Aditya Firman Ihsan)
Semesta, 11 Agustus 2013 Dear Finiarel, in Bandung. Maaf. Sederhana, tapi betapa kuatnya kata itu. Salah satu dari keagungan kekuatan bahasa manusia. Toh manusia sendiri adalah simbol kekuatan tanpa batas. Ya kawan, maaf. Maaf telah membuatmu menanti. Aku tahu dunia ini penuh dengan kompleksitas. Cukup bertahanlah. Sama halnya yang ku lakukan selama ini. Walau betapa menyakitkannya siksaan dan penderitaan itu, hidup terasa lebih bermakna dengan semua kepahaman dan kesadaran ini. Entah musibah, entah anugrah. Lagipula ini adalah salah satu bukti nyata dari ketidakpastian hidup. Beruntunglah mereka yang tetap tertutup ilusi, tidak perlu sadar akan realita sesungguhnya dari dunia, kebenaran yang menyiksa, dari ribuan pertanyaan yang tercipta hingga perasaan yang meruntuhkan asa. Tapi, apa perlu aku menyebut betapa meruginya mereka? Entahlah, sekali lagi, betapa sulit menentukan kebenaran di dunia tanpa pijakan ini. Baik aku dan kau tahu, kita sendiri berdiri dalam pijakan yang rapuh, yang menyuburkan keragu-raguan yang meruntuhkan keyakinan. Apakah ada pijakan yang kuat itu? Tidak ada yang tahu. Yang penting kita akan terus mencari. Aku disini pun terlunta-lunta dalam lautan luas kerumitan jaringan semesta. Terbawa ombak keragu-raguan kesana kemari melintasi berbagai ilmu. Terkadang terdampar dalam suatu fakta buntu yang tak ku pahami, terkadang tertarik lagi menuju horizon pengetahuan yang tak bertepi. Dari manusia hingga agama, dari klasik hingga relativistik, dari kosmolog hingga dialog. Ya mungkin semua terlihat tiada akhir, tapi kau tahu, pohon yang tumbuh pun batangnya berkembang tiada akhir. Ribuan daun yang tercipta tetap bermula dari satu biji. Jangan pernah lelah mencari kawan. Karena jika kau ataupun aku lelah, siapa lagi yang bersedia menyiksa diri dan masa depannya hanya untuk kebenaran pengetahuan dan benang merah 15
realita semesta? Kita sadar bahwa status dan identitas adalah ilusi terbesar manusia, sumber dari segala kebanggaan dan kepercayaan diri, yang membuat orang sekedar melihat apa yang terlihat. Kita bukan segala sesuatu sekaligus adalah segala sesuatu. Hanya dengan menganggap diri itu realita dunia terlihat dengan jelas. Seperti halnya yin dan yang saling melengkapi dalam kesempurnaan. Selain itu, terima kasih atas semua surat yang kau kirimkan. Tenang saja kawan, aku menerima semua untaian kata-katamu, pada akhirnya walau jalan kita berbeda, yang kita cari dan tujuan kita sama. Tak ada yang perlu diungkapkan lagi, apa yang kita pahami dan sadari tidaklah berbeda. Aku hanya ingin mengingatkan padamu satu hal fin, apapun yang akan kita temukan nanti, entah kebenaran itu memang ada atau tidak, entah itu menyakitkan atau melegakan, tetaplah percaya bahwa tidak ada yang sia-sia. Dan berjanjilah kawan, pegang baik-baik semua yang kita temukan dan pahami. Sampaikan apabila perlu disampaikan, simpan apabila perlu disimpan. Terkadang beberapa kebenaran terlalu menyakitkan untuk ego rapuh manusia. Ya fin, terkadang aku iri, aku merasa tidak tahu apa-apa memang kebahagiaan terbesar. Sayang, kita sudah terlanjur tahu, sekali pintu dibuka, harus dimasuki bukan? Kesadaran langka intuitif seperti yang kita miliki sekarang adalah sebuah tanggung jawab besar untuk diemban. Perjalanan kita masih jauh panjang ke depan, masih banyak hal di luar sana yang masih belum kita pahami, masih banyak kerumitan yang belum kita urai, masih banyak realita yang belum kita ungkap. Pengabdian kita hanya untuk ilmu pengetahuan. Seberapa lelahnya engkau, kau tidak sendirian. Namun walaupun begitu wahai finiarel, jangan lupa akan negeri yang sering kau tatap dengan kesedihan di sana. Aku pun begitu kawan, aku takkan lupa, aku lakukan apa yang bisa ku lakukan. Sehingga jikalau kebenaran itu tidak kita temukan, Indonesia masih menunggu untuk dibangkitkan. Selagi engkau masih merasa manusia kawan, ubah apa yang bisa kau ubah. Mengenai keberadaanku, tak perlu kau tahu. Aku berada dalam sebuah posisi yang tak bisa ku ungkapkan secara sederhana. Tidak terlalu rumit, hanya saja terlalu abstrak. Ya, kabur. Aku bahkan bingung aku sedang berada di mana. Seperti sebuah kalimat dalam lirik lagu Coldplay : "I don't know which way I'm going, I don't know what I've become", sebuah kalimat yang sangat sekali kau resapi kawan. Ya, kita selalu bingung akan jalan kita. Lebih tepatnya ragu aku rasa. Dunia terlalu ilusif untuk memberi kita keyakinan akan makna sebuah perjalanan. Tapi kawan, tak usah pedulikan itu, tetap teruslah berjalan. Sekian finiarel, maaf aku tak bisa berpanjang kata. Tidak sepadan dengan suratmu yang berlembar-lembar. Tak usah kau kirimkan aku surat lagi, biarlah kita terkoneksikan melalui 16
pengetahuan yang kita gali, melalui tiap bimbang yang kita temui, dan semoga kita bertemu pada akhir yang sama. Biarkan aku mengucapkan satu lagi frase terkuat dalam hidup manusia fin. Terima Kasih. Cukup. Rasakan dua ungkapan itu. Maaf dan terima kasih lah yang telah menjaga keutuhan manusia selama berabad-abad.
Untuk Manusia dan Kebenaran. Temanmu, Rayya
17
Dearest creature in creation, Study English pronunciation. I will teach you in my verse Sounds like corpse, corps, horse, and worse. I will keep you busy, Make your head with heat grow dizzy. Tear in eye, your dress will tear. So shall I! Oh hear my prayer. Labuh lamun di ayunan buram raksi kembaraku hingga lebam teredam, asa swakarsa, hasrat berkasat
(Lazuardyas Ligardi)
tetap takluk rutukku lapuk
Berangan mengganas menangis terkikis antah sang serigala menyalak masih langit mengambang, enggan termakan
(Dhira Saraswati A.)
18
SAMA (Trio S.)
Tiga langkahmu Sama dengan dua langkahku Secepat apapun kau melangkah Jarak yang kita tempuh Adalah sama
Kau menuju utara Aku pun juga Hingga kau merasa terganggu Dan aku terus berjalan tanpa ragu
Kau pun akhirnya berputar Sementara aku sibuk mengembangkan layar Tidakkah kau sadar? Kemanapun kau akan pergi Arah yang kita tuju Adalah sama.
19
Bebaskan Saya! (Maria Paschalia Judith Justiari)
Saya terpenjara dalam barisan huruf Padahal Huruf selalu menyunggingkan senyum untukku Saya terkurung dalam balutan kata Padahal Kata selalu membuatku bebas Saya terikat dalam neraka frasa Padahal Frasa selalu membawaku ke khayalan Saya terjebak dalam naungan kalimat Padahal Kalimat selalu melayangkanku Saya terjepit di antara prosa dan puisi
20
21
The Subtle Art of Ignoring (Vinskatania Andrias)
She’s never a hater. It’s not because she’s so saint-like that she can’t dislike. Sure, there are bunch of souls in this world she considers asses, but she chooses not to give too many damn. Every time some ass strikes her some pain, her playful mind always tells her the concept: she’s not dealing with human-it is son of a demon on duty. They disguise themselves as a form of an ass, live in the real world of human and act like one, simply to do their job to distract. She’s no hater because, what’s the point of it anyway?
22
Dibalik Indeks Itu (Galih Norma Ramadhan) Abjad itu bukan segalanya, dan segalanya tanpa abjad itu juga tidak mengapa
yang mana, kamu? Ada yang terhura Mengentaskan gelak tawa Bersama sepercik Rasa bangga Akhirnya‌ Bukankah hasil tiada mengkhianati? Kantuk yang disapa mentari Peluh yang menetes bersama teguk kopi Langkah yang mengantar di kelas pagi Melawan bosan yang kerap tak tahu diri Apalagi? Ada yang terharu Menyimpan malu pilu Bersama sederet Rasa sesal Mengapa‌ Harap yang terlalu tiada bertemu? 23
Bersama gawai dan oa pemantik rindu Urusan duniawi kesana kesitu Urusan surgawi yang malah menjemu Malas yang mengangkang lobang ilmu Bagaimanalagi? Dan apa kau ucap? Yang berikutnya tiada begitu saja terlewat Yang berikutnya pasti lebih semangat Yang berikutnya senda gurau harus hemat Yang berikutnya galaw jangan hinggap Yang berikutnya.. Yang nyatanya begitu begini saja Ya? Dan sebelum menjadi Coba tarik lagi kemari Dan sebelum menghardik Coba dirimu kau didik Dan sebalum coba Lihat dan ingat Ada apa dibalik abjad? Dibalik indeks itu Tatapan sayu bapakibu Menghitung kalender sekolah adikmu Menghitung tebal kantong yang kau rongrong Karena dapur juga harus bergolak Menyambut hadirmu selepas jajan seblak Dan senyum adik yang harus lebar Disumpal buaian santapan enak di akhir pekan Belum lagi harga merangkak Belum lagi tagihan menunggak Belum lagi Belum lagi?
24
Dibalik indeks itu Gontai langkah pramusaji bermenu ilmu Pulang pergi beroda cicilan Berbalut sabar tiada berkesudahan Kadang proyek penyokong pokok bulanan Dan masih saja kita menghardik Tanpa adab sebagai terdidik Dan masih saja kita mencela Tanpa refleksi perilaku hina Dan masih saja Masih saja ha? Dibalik indeks itu Kau sadar atau iya Kawan yang berdiri tiada lelahnya Meski kau lupa Meski kau suka, eaa Yang ikhlas berselimut malam Menebus kepengecutan Silih berganti Menambal alasan demi alasan Kadang benar Kadang bual Siapa kamu tanpa mereka? Tanpa mereka Kamu? Dibalik indeks itu A-da perut-perut lapar di penjuru kota B-anyak tangan-tangan nakal yang siap menghadang C-ukup kah ilmu tanpa kau pupuk empati bagi negerimu D-alam sesal tiada guna tanpa usaha E-ntahlah, nikmat mana lagi yang coba-coba kau dustakan?
25
Ilusi (Vika Anggraeni)
Menulis adalah sebuah jalan menuju keabadian, katanya. Jadi, selamat menulis untuk keabadian bukan untuk kamu. Detik berganti detik, hari berganti hari dan tahun berganti tahun. Sudah menjadi ketentuan alam bahwa orang datang silih berganti layaknya ilusi. Menjadi sebuah ilusi yang indah atau buruk itu terserah, tergantung persepsi. Sebuah keindahan dari ilusi didapatkan ketika engkau ikut berputar dengannya, merasakannya hingga hilang arah karenanya. Ilusi datang dan pergi seenaknya. Tanpa meninggalkan jejak tapi meninggalkan bekas. Bekas yang ada lalu tersimpan sekian lama menjadi kenangan atau hilang begitu saja ketika pagi hari membuka mata. Seperti pagi ini, ketika aku membuka mata, aku melihat sebuat kertas yang berkata Makanya, jangan mau didatangi ilusi!
26
Sajak Kopi di Pagi Hari (Rizqi Ramadhan)
Canda tawamu masih hangat Alihkan pahit kopi yang legam lagi pekat Dan senyum indah disertai gigi yang berbaris rapi Membersamai terbitnya matahari Duhai yang pernah bertahta di hatiku Masih adakah aku dalam pagimu? Hadirkah diri ini dalam penantian semburat jingga? Ataukah aku bukan fajar yang kau harap? Semerbak aromamu masih ada Menyeruak mengisi ruangan Dan tercecernya serpihan memori Yang ku tak juga tahu, kini Akankah kuramgkai mozaik itu? Menjadi imaji mimpi dan harapan semu Atau kubiarkan tetap seperti sedia kala Terpendam di antara gelap malam
27
Surat Untuk Langit (Reynaldi Satrio Nugroho)
Kau adalah langit, aku adalah inti bumi. Bukan hanya lapisan ozon, oksigen, nitrogen ataupun karbondioksida yang memisahkan kita. Litosfer juga siap menanti untuk dibelah apabila lempeng bumi di atasku berhasil kugerakkan. Aku berpikir, sadarkah kau bahwa aku ada dibalik semua lapisan itu? Manusia saja hanya peduli akan bahan tambang dan minyak yang berada jauh di atasku. Bagaimana denganmu, wahai langit? Kalaupun kau sadar akan keberadaanku, mungkin hanya sebatas ketakutan saja. Temanku saja yang berhasil naik ke permukaan, lumpur panas, dicacimaki karena merusak kehidupan manusia. Apalagi aku yang keluar, kiamat sudah katanya apabila melihat kitab-kitab yang beredar di kalangan manusia. Aku tahu itu, maka biarkanlah aku tetap di inti bumi. Namun kumohon, izinkanlah aku untuk berimajinasi tentang hubungan yang mustahil ini. Sisihkanlah sedikit harapan untukku. Karena aku mengerti sekuat apapun aku bereaksi, hangatnya perasaanku tidak akan sampai kepadamu. Kau sepertinya lebih cocok dengan matahari yang jaraknya lebih jauh dari jarak kita, namun malah dia yang bisa memberikan kehangatan untukmu. Curang sekali pembatas antaramu dan dia hanyalah ruang hampa untuk ditembus. Tapi tak apalah, meskipun suhu kita tidak akan pernah sama, tapi setidaknya aku tahu bahwa suatu saat matahari akan berhenti menyinarimu. Sedangkan aku akan keluar dari penjara litosfer untuk bertemu denganmu, wahai langit. Walau peristiwa itu hanya berlangsung pada hari akhir dan tidak ada yang tahu pasti alam semesta yang hancur akan menjadi apa, aku akan sabar menanti hari itu. P.s: Kalau terkesan keras kepala, maaf aku terlalu banyak bergaul dengan litosfer. Lagipula menurut sejarah, harusnya kau dan aku pernah menyatu.
28
Bonafide (Meiya Narulita Suyasman)
Buk! Ia terjatuh. Telinganya berdenging. Pandangannya buram. Belum sempat berdiri, ia sudah diserang lagi. Pasti semua orang yang ada di sana sedang beramai-ramai memukulinya. Di saat-saat seperti itu, ia tak punya pilihan selain menggulung dirinya sendiri. Ia berharap ia tak sampai pingsan kali itu. Pikirannya melayang ke saat-saat ia masih SD. Saat itu, ia masih polos dan tak mengerti mengapa ia dijauhi teman-temannya. Ia baru sadar alasannya di hari yang sama ketika ia mengadukan teman-temannya ke wali kelasnya. Ia tengah berjalan pulang sambil membayangkan ikan asin kesukaannya. Di hari yang panas itu, mendadak kepalanya dipukul dari belakang dengan sebuah tongkat. Ia terjatuh. Ia diinjak-injak oleh teman-temannya. “Dasar bau!” “Ngapain kamu pake lapor ke ibu guru, hah?” “Mati aja sana!”
Ia berhasil berguling ke samping dan berdiri dengan cepat. Ia berkata, “Aku nggak lapor sama ibu guru. Aku cuma nanya kenapa sekelas ngejauhin aku.” Ketua kelasnya maju. Tangan kanannya masih memegang tongkat yang ternyata gagang sapu. Ia mendecakkan lidahnya. “Liat-liat dong kalau mau temenan!” Ketua kelasnya membuang ludahnya sambil menunjuknya dengan gagang sapu. “Kamu miskin! Bahkan, di sinetron sekalipun, nggak ada ceritanya orang kaya sama orang miskin bisa temenan!” Ia terkejut setengah mati.
29
Ia tak pernah berdoa agar menjadi orang miskin, tapi semua orang memperlakukannya seolah-olah ia pantas disalahkan akan keadaannya. Di saat ia masih kehabisan kata-kata, teman sekelasnya kembali menghajarnya. Pipinya ditampar, telinga kanan dan kirinya ditinju, perutnya ditendang, dan kakinya diinjak. Ia tak punya pilihan selain menggulung dirinya sendiri. Mirip seperti keadaannya sendiri saat terkenang kejadian itu. Tiba-tiba, teman-temannya berlari menjauhinya. Ia memanfaatkan momen itu untuk berdiri, tapi ia kembali terjatuh. Hal terakhir yang ia ingat sebelum ia pingsan adalah seseorang mengangkat tubuhnya. Satu jam setelahnya, ia siuman. Ia berada di rumah Bu Dania, wali kelas sebelah. Saat itu, Bu Dania sedang duduk di sofa sebelahnya. “Eh, kamu siuman. Tunggu sebentar, ya. Jangan bangun dulu.” Bu Dania pergi dan kembali dengan secangkir teh panas. Cangkir itu disodorkan kepadanya. “Minumlah.” Ia menatap ruang tamu rumah Bu Dania. Bagus sekali. Pasti Bu Dania orang kaya. Ia menggelengkan kepalanya ke Bu Dania. “Lo, kenapa?” Ia menggelengkan kepalanya. Bu Dania berkata, “Bohong itu nggak baik, Sayang. Mulai sekarang, jujur, ya. Sini cerita sama Ibu. Nanti Ibu bantu.” Pada saat itulah ia jatuh cinta pada Bu Dania. Bu Dania adalah satu-satunya orang yang berani menerimanya walaupun ia miskin. Bu Dania tak canggung dengan perbedaan latar belakang mereka. Sejak saat itu, ia tak pernah berbohong. Ia selalu jujur. Ia tak malu dengan kemiskinannya. Sayang pilihan hidupnya salah. Ketika ia melihat temannya mencontek, ia mengatakannya dengan keras saat ujian. Ketika ia melihat ada kawannya yang dijahili, ia mengadukannya pada kepala sekolah. Ketika ia melihat kawannya menonton video tak benar, ia mengumumkannya ke seluruh penjuru sekolah.
30
Dan lagi, nasibnya tak pernah bisa menyelamatkannya. Salah seorang anak terkaya di sekolah mengadukannya pada orangtuanya. Esoknya, ia dikeluarkan dari sekolah. Ia menangis sambil memanggil Bu Dania ketika diseret keluar oleh penjaga sekolah. Ekor matanya sempat menangkap sosok Bu Dania, tapi ia tak melakukan apapun. Ia tak membelanya. Ia tak menariknya kembali. Ia tak ada untuknya. Bu Dania tak mengusahakan agar ia kembali. Bu Dania tak mencintainya sebesar ia mencintainya. Ia patah hati. Sejak saat itu, kebiasaannya untuk jujur malah menjadi-jadi. Kala orangtuanya mencuri agar mereka bisa makan hari itu, ia omeli. Ketika adiknya menyembunyikan kertas ujiannya yang bernilai merah, ia permalukan. Saat kakaknya pulang sehabis main perempuan, ia meneriakinya agar cepat taubat. Lama-kelamaan, keluarganya jengah. Ia diusir dari rumah. Ia ingat ia memutar otak setelah dua hari tidur di sudut kota. Seingatnya, panti asuhan adalah tempat anak-anak terlantar. Akhirnya, ia berjalan mencari panti asuhan terdekat. Saat itu juga, ia langsung diterima. Sialnya, ia lupa berubah. Ia tak mengubah kebiasaan lamanya yang terlalu ceplas-ceplos. Lagi-lagi, ia membuat panti asuhannya jengah. Beberapa hari kemudian, ia juga diusir dari sana. Sudah beberapa kali ia pindah panti asuhan. Pada akhirnya, beberapa saat yang lalu, ada keluarga yang mengangkatnya menjadi anak. Keluarga yang mengangkatnya adalah keluarga kaya. Mobil mereka tiga. Rumah mereka mewah sekali dan sangat luas. Ada taman yang ditata mirip negeri dongeng di belakang rumah. Masakan kokinya sangat lezat. Lagi-lagi, ia menemukan kekurangan mereka. Ternyata, sang kepala keluarga adalah koruptor. Saat bapak itu dibawa pergi oleh kepolisian, mulutnya tak bisa ditahan lagi. “Kalau tahu Bapak koruptor, kenapa didiamkan saja? Kan aset kita diambil semua. Ga nyesel apa?� Dan di sinilah ia sekarang, dipukuli oleh anggota keluarga itu. Setahunya, ia tak salah.
31
Mereka yang salah. Mereka yang tak patuh pada hukum. Mereka yang menolak kebenaran yang pahitnya luar biasa! Ia tak sadarkan diri. *** Di koran hari berikutnya, berita utama memuat anak itu. Ia mati mengenaskan. Kepalanya hancur akibat terus-terusan dihantamkan ke dinding. Matanya ditusuk dengan sapu lidi. Seluruh badannya biru dan membengkak. Mungkin itulah harga kejujuran; luka, lebam, dan perih. Mungkin itulah akhir dari putih hati seseorang yang sayangnya dibalut dengan duri yang menusuk kalbu.
32
Waiting ... (Wahyu Kuswantoro)
Bolehkah aku menagih dan menuntut kembali waktuku yang telah kau lenyapkan ? Menunggu haruslah dijalani ditempat yang teduh dan rindang, karena nyatanya mengharap sesuatu yang akan terjadi atau yang akan tiba, haruslah disambut dengan damai tanpa satupun persoalan diantara penunggu dan sesuatu yang ditunggu. Ada dua peran, objek dan subjek, yang menunggu dan yang ditunggu. Semisal aku dan kau. Menunggu selalu butuh waktu, dan yang sering dilupakan, menunggu memiliki tenggat waktu. Entah sampai kapan, adalah hal yang lumrah ataupun dapat juga salah. Tujuan menunggu yaitu datangnya hal yang ditunggu, atau sia-sia. Sia-sia memiliki sejuta persoalan keraguan. Iya atau tidak. Terwujud atau tidak. Hal ini saling bertentangan diantara dua peran, yaitu logika dan setia. Setia adalah kesabaran untuk menunggu. Akan tiba seseorang yang aku harapkan dipertemukan. Aku sudah berada di jalan teduh tanpa terjal sekalipun. Menggelar karpet merah ternyata bukan sebuah pekerjaan ketika menunggu, tetapi pemikiran tentang siapa yang sedang aku tunggu sebenarnya. Sebut saja kau adalah Senja. Aku menunggu senja. Aku sedang menunggu. Senja sedang ditunggu olehku. Mana yang lebih berat, ternyata timpang. Penunggu adalah pemikir. Dan yang ditunggu adalah hadiahnya, walaupun terkadang hadiahnya bernama ‘sia-sia’. 33
Aku mencintai senja. Ia benar-benar datang. Aku telah berhasil menunggu datangnya Senja. Namun persoalan lain ialah, Senja sudah punya pacar, namanya Angkasa. Aku kembali menunggu, dengan hal yang berbeda. Semua berbeda ketika menunggu satu orang datang tanpa halangan, dengan menunggu satu orang lepas dari hubungan orang yang lain dan yang lebih berat ialah aku tak pernah benarbenar tahu apa yang terjadi dan sampai kapan tenggat waktu akan berakhir. Secara logika aku kalah, namun secara kesetiaan aku menang. Tinggal pilih. Aku mencoba memilih setia. Karena aku adalah sosok yang tak ingin kalah ketika permulaan. Lalu Senja menikah. Secara logika, aku kalah telak. Secara kesetiaan, aku tetap menang, namun memaksa. Sempit sekali waktu dan tempat serta kemungkinan aku untuk tetap menunggu, namun semakin megah kesetiaanku. Secara logika, bambu runcing tetap kalah dengan tembak. Apalagi satu lawan satu, dan harus menyelamatkan satu. Tentu susah. Tetapi memang ada kemungkinan Senja bercerai, entah apa yang terjadi dengan Angkasa. Aku bisa menyelesaikan pembangunanku terhadap hal yang disebut setia menunggu. Secara logika. Aku kalah pada babak penyisihan, namun menjadi juara karena lawan entah kenapa menyatakan untuk mengundurkan diri. Iya benar aku menang, tetapi menang tanpa melawan, bukan kemenangan namanya. Itu keberuntungan. Tak ada perjuangan apapun yang dilakukan selain menunggu. Dan menunggu bukanlah pekerjaan sampingan, apalagi pekerjaan utama. Tetapi yang aku tahu, ketika aku setia menunggu, akupun menunggu kesetiaan. Setia menunggu kesetiaan. Semoga beruntung, itu saja. Terkadang aneh mendengar lirik lagu dari Irwansyah : Kutunggu jandamu Maaf bila ku menyumpahi Saking aku cinta padamu Kau janda pun aku mau Haha . Hai, aku tak akan menjelaskan bagaimana bentuk hatiku saat ini.
34
35
kala denting menyesap pilu kala api menyisa abu kala hujan menyesap debu kala binar memercik ragu kala jarak memaksa mengalir meretas menampung mengiyakan rindu . . . (Audhina Nur Afifah)
(Aditya Firman Ihsan)
Kami adalah pengembara sepi Menapaki hampa demi artefak kebenaran Hutan sunyi, lautan tanya, padang absurd, karang luka, hingga gunung-gunung emosi direngkuh dalam harap penuh gejolak Lelah ditikam agar tak mengusik Bosan dibelenggu agar tak menghambat Ragu dibungkam agar tak menghasut Hingga hanya diri yang kami bawa Tanpa bantuan apapun Tanpa perbekalan apapun Menyingkir persepsi dari ganjalan kaki Tak peduli kami bersama siapa Entah apa yang kami tuju Yang kami tahu, inilah kehidupan
36
Haruskah Kusajikan Daun Mahoni? (Ozi Fahmi Putra)
Sinar terik mentari Semilir angin Daun mahoni yang berguguran Kau tahu apa artinya itu? Angin yang menyejukkan ditengah kemarau panjang yang membunuh Angin yang memanjakan dahaga Menyapu peluh Namun sayang angin ini tidak cukup menyejukkan raga anak kecil yang bersandar di bawah pohon mahoni sana Dia hanya merenung murung Ayahnya baru saja mati seminggu lalu Babak belur ditelan kerumunan manusia manusia kekar berseragam Dan anak kecil itu masih terlalu lugu untuk tahu kenapa ayahnya mati Dan anak kecil itu juga hampir mati sekarang Sekarat Kelaparan Sungguh ironi Padahal keluarganya adalah petani
37
Membacamu (Ummi Azizah)
senja itu apakah sisa cahya sang surya atau merah nyala api membara yang membakar dengan pertengkaran klasik rumah tangga:
kau adalah hitam gelap yang ada di cerobong asap pabrik yang menua di kawasan industri pinggir ibu kota. membacamu seperti mengeja istilah-istilah asing pada musim yang dingin di eropa dengan terbata-bata. patutkah kubicarakan apa yang menjadi makna antara ketiadaan titik atau koma? ketika engkau pergi di antara panah aksara, menghilang entah ke mana begitu saja.
tatkala mencerna takdir yang kukunyah saban hari kemarin, rasanya seperti dicekam kehampaan: gamang. sedangkan aku masih di ruang makan, menunggumu pulang dan menandaiku dengan sedikit kecupan. kenangan.
38
Menelan air liur sendiri Mendingan daripada tersedak air liur sendiri (Asra Wijaya) 1 Aku punya memori tentang air liur. Jika mendengar ini ada dua hal yang membayang pada pikiranku. Pertama ialah Ramos yang memberikan liur padat dan keras kepadaku. Kedua, cerita ini. Waktu aku kelas 3 Sekolah Dasar, Ramos menyodorkan suatu bongkahan, kala aku tengah berkunjung ke rumahnya di suatu minggu pagi penuh kartun. Dia bilang itu benda bisa dimakan. Aku lebih mengira itu adalah daging babi daripada semacam kue dari tepung yang digoreng hingga jadi keras. Aku tidak berani menggigitnya, aku cuma memegang. Ternyata itu adalah sarang walet. Sarang burung walet. Yang terbuat dari liur burung walet yang membuat sarang. Aku tidak perlu ‘namun’ untuk mengerti mengapa Ramos punya barang seperti ini. Tentu kedua orangtuanyalah yang mempunyainya untuk dijual. Katanya juga bisa dijadikan obat.
2 Pada saat bercukur di sebuah tempat yang di depan dindimg kaca beningnya tertulis ‘PANGKAS RAMBUT’ dengan sejenis cutting-sticker berwarna merah, dan bila aku tak salah, memakai jenis fot Times New Roman ukuran seratus delapan, aku duduk terdiam selama lebih kurang setengah jam. Aku membiarkan lelaki tua itu dengan pasangan gunting-sisirnya menjelajahi puncak tubuh, kepalaku. Entah mengapa waktu itu aku merasakan bahwa produksi air liurku meningkat tajam. Lebih tajam dari gunting yang memaksa rambut hitam itu berpisah dari bagianbagian dirinya yang lain. Meski demikian aku sedang tidak ingin mau menelan air liur yang otomatis dihasilkan oleh kelenjar badanku itu. Aku punya alasan, walaupun alasan itu akan terdengar tidak masuk akal, biarkan aku menjelaskan. Menurutku pada waktu itu, air liur yang encer mengandung penyakit. Kalau ditelan sama saja dengan memasukkan racun ke dalam sistem pencernaan sehingga mau tidak mau, rela tidak rela harus dibuang. Memang setelah dewasa beberapa keyakinanku di masa kecil masih ikut terbawa dan tidak dapat kuhindarkan. Salah satunya adalah tentang liur encer ini. Jika aku sedang demam, aku akan lebih sering meludah, karena liurku encer. Jangan kau tanyakan apa parameter encer itu. Hanya 39
bisa kurasakan ketika liur itu berada dalam mulutku. Tetapi kini aku sedang duduk berpangkas dan harus menunggunya selesai, mana pula ada pelanggan cukur yang menghentikan proses cukur hanya karena pasien cukur ingin buang ludah sebentar? Aku menungu sabar. Mematung.
3 Aku teringat semacam teka teki Ibu tentang apa profesi yang paling tinggi di dunia ini? Aku ingat menjawab presiden, karena menurut kumpulan pengetahuanku, presidenlah yang paling tinggi di negara ini. Dengan logika bahwa tidak ada yang memerintah presiden, aku sampai pada kesimpulan ini untuk menjawab pertanyaan Ibu. Tetapi kata Ibu, Tukang cukurlah yang paling tinggi, bahkan ia bisa mengacakacak kepala seorang persiden. Ibu mengatasi logikaku. Jikalau memang tidak ada yang memerintah presiden, siapa bilang? Tukang cukur bisa, dia bahkan bisa sedikt menowel-nowel kepala presiden dengan alasan sedang melakukan teknik cukur misalnya. 4 Semakin ke akhir aku memandang ternyata hidup ini tidak selinier dan sehirarkis tangga menuju lantai dua rumah Bibi. Maksudku begini dengan mengatasi yang lebih tinggi bukan berarti bahwa aku bisa mengambil simpulan bahwa aku sudah pada tingkat tertinggi. Hidup ini mungkin sirkular (melingkar) atau spiral, kalau tidak hiperdimensional tetapi yang jelas pasti tidak linier. Sebagai contoh untuk memudahkan apa yang kumaksud, ambil saja perumpamaan tim sepakbola, Barcelona Real Madrid dan Atletico Madrid, Barcelona Menang melawan Atletico madrid, Atletico Madrid menang melawan Real Madrid, tetapi apa yang terjadi dengan Barcelona berlawan dengan Real Madrid? Barcelona kalah. Lalu bagaimana jika pertandingan itu dilakukan serentak? Bertiga sekaligus? Hanya ada dua kata : tidak tahu. Beberapa tahun yang lalu aku juga membaca sekilas buku antologi puisi Joko Pinurbo berjudul Baju Bulan, ada tukang cukur di sana. Di buku antologi puisi Munajat Buaya Darat Mashuri juga. Kemudian pada majalah Ino milik Ramos, ada juga, tentang tukang cukur dan dokter adalah orang yang sama pada zaman dahulu. Tukang cukur adalah dokter juga yang bisa mengobati penyakit dan dokter adalah juga tukang cukur yang bisa memangkas rambut. Aku mendapat kabar dari Ibu tukang cukur yang mencukur rambutku itu meninggal lima tahun lalu saat aku berangkat ke Bandung. 5 40
Tersedak acapkali disebabkan oleh ada orang di luar sana yang sedang membicarakan keburukanmu di saat yang bersamaan. Atau semacam kontak batin atas peristiwa tidak mengenakkan kepada seseorang yang berikatan batin denganmu. Kedua hal itu kudapatkan dari cerita Ibu dan sinetron yang kutonton semasa kecil. Tetapi jelas aku tidak percaya. Aku merasa bahwa aku sering mendapati diri sebagai seorang yang peragu. Entah kritis atau skeptis, aku tak mau peduli. Aku hanya merasa ragu. Pada masa SMP dulu aku bisa menjelaskan tentang tersedak sebagai fenomena pada saat mempelajar sistem pernapasan dan pencernaan manusia. Akan tetapi paham mekanisme biologis tersedak tidak dapat membantah pengetahuan yang lain tentang ada orang yang sedang menggunjingkanmu ‘kan? Atau kontak batin tentang terjadinya peristiwa tidak mengenakkan atas orang terdekat? Teramat sulit dikonfirmasi bukan? Sebab menggunjingkan bisa saja diam di jeluk hati terdalam, atau peristiwa tidak mengenakkan adalah bisa amat personal dan tak tampak. Hanya saja mungkin sinetron menyederhanakan menjadi kejadian ditabrak mobil atau lainnya. 6 John Bonham, drummer yang terpuji itu kabarnya mati gara-gara tersedak. Sedikit kisahnya pada suatu malam setelah menenggak vodka (baca : air kesunyian) berkadar hampir setengah. Tentu kemudian ia tak sadar. Lalu tertelungkup, dan tersedak. Paginya mati. Mulutku sudah penuh liur, dan tak mampu lagi kutahan, ia muncrat, meluber ke kain putih yang dilitkan tukang cukur supaya rambutku yang dia potong tidak mengenai baju dan tubuhku. 0 Aku tidak pernah paham soal keterpisahan. Mengapa air liur di dalam mulutku tidak najis tetapi begitu ia keluar, misalnya ketika kubanting ke lantai ia menjadi sedemikian hina. Dan kabarnya bila aku meludah di tanah Singapura, aku akan kena denda. Air liur kabarnya dihasilkan oleh kelenjar parotis dalam mulut yang berfungsi untuk membantu menghancurkan makanan dalam mulut dan sistem pencernaan. Beberapa hewan bahkan hanya menggunakan liur ini untuk mencerna makanannya. Tanpa mengunakan gigi untuk mencabik cabik dan merobek. Semacam zat yang bisa melunakkan, menjadikan makanan itu siap olah oleh sistem pencernaan dalam perut. Bahkan bukan karena lantainya juga, jikapun aku kumpulkan dalam sebuah wadah. Misalnya tabung plastik bekas tempat rol film kamera zaman dulu. Itu tetap menjijikkan, mungkin.
41
Tetapi apa pula yang tidak menjijikkan di dunia ini selain diri sendiri. Aku pernah membaca Muhammad dan kekasihnya, Aisyah, liur mereka pernah tertukar dan bercampur. Aku juga pernah membaca Romeo dan Juliet Juliet menciumi mulut Romeo, mengisap liur Romeonya yang telah sekarat sehabis menenggak racun. Barangkali air liur adalah persatuan dan keterpisahan itu sendiri atau hanya sebatas agar tidak tersedak saja.
42
43
Aku Hanyalah Seorang Analis (Reynaldi Satrio Nugroho)
Aku hanyalah seorang analis, bukan artis. Aku bisa menyelesaikan masalah dengan taktis, tapi tidak bisa menyelesaikan peran dengan seorang gadis. Gadis yang entah kenapa membuat hidup ini luar biasa manis. Aku hanyalah seorang analis, bukan pelukis. Aku bisa membuat tulisan yang kritis, tapi tidak bisa membuat sebuah garis. Garis yang entah kenapa membatasi hubungan biasa dan hubungan romantis. Aku hanyalah seorang analis, bukan penulis. Aku bisa menyampaikan hasil kajian yang penuh analisis, tapi tidak bisa menyampaikan pesan yang penuh kalimat puitis. Kalimat yang entah kenapa saat disimpan membuat hati ini semakin miris. Sedangkan kamu adalah seorang artis. Artis yang bisa dengan mudah berperan sebagai gadis manis. Gadis yang membuat seorang analis lupa untuk berpikir logis. Sedangkan kamu adalah seorang pelukis. Pelukis yang bisa dengan mudah membuat sebuah garis. Garis yang membuat seorang analis yakin ini bukanlah hubungan yang romantis. Sedangkan kamu adalah seorang penulis. Penulis yang bisa dengan mudah membuat kalimat yang menghipnotis. Kalimat yang membuat seorang analis ingin memperjuangkan sebuah kisah utopis. Kisah yang melibatkan seorang analis dan seorang gadis.
44
Untuk Dia yang Ada di Sana (Dita Amallya) Halo kamu yang ada di sana ... Apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja Karena dalam setiap sholatku, Terdapat doa... Yang tersisip namamu, Agar kau selalu dalam dekapan-Nya.
Hai kamu yang ada di sana... Sedang apa? Semoga apapun yang sedang kau lakukan... Suatu hal baik yang mendapatkan ridho-Nya.
Tahukah kamu ... Kita belum bertemu Tapi aku sudah yakin Suatu saat yang tepat nanti Kita akan dipertemukan Karena aku selalu percaya Janji-Nya tak pernah dusta ...
Untuk kamu yang ada disana Kata-kata ini aku tujukan ...
45
Ulang Tahun Bagiku Hanya Sebuah Sandiwara (Ummi Azizah)
tahun kucari di mana, di sudut-sudut kamar: di atas rak baju, di balik pintu, di bawah ranjang tidurku
ulang tahun bagiku hanya sebuah sandiwara orang-orang bilang selamat padahal maut kian dekat orang-orang sibuk siapkan kejutan berharap si empunya kegirangan
dan kutemukan ia sesosok siapa berjubah kegelapan menggenggam balon-balon berwarna pucat pasi masih bernyanyi lirih, berbisik dengan amat tenang lantas aku ikut memucat setelah lirik letusan
ulang tahun bagiku cukup dengan bersahaja tidak pernah ada lilin-lilin yang menyala tidak pernah ada yang merayakan pesta lantas, suatu ketika aku mencoba lupa itu hari apa sayup-sayup kudengar suara bersenandung lagu balonku ada lima di hari ulang
DOR! aku pun fana
46
Dia (Muhammad Ghiffari Alfarisy)
Semua ini berawal ketika semesta memilih dia
semua tiba-tiba bertindak bak pembunuh
Dia menolak, melawan, dan tak yakin..
memaki, memaksa, dan menyuruh
tapi apa daya ini takdir bung
Dia pun diperlakukan bak buruh
takdir hakiki tak mungkin kau bantah
yang tak hentinya disuruh-suruh
cerita ini ‌
semua berlalu dengan tekad kami mendukungnya dengan bulat berada disampingnya, disisinya, sangat dekat!
semua bermula dari masa berpeluh masa dengan perjuangan tanpa mengeluh
Membantu membuat Dia selalu kuat
niat baja dan semangat yang tetap utuh menjadikan Dia sebagai sebuah suluh
Akhirnya‌
Entah kenapa‌
Semua berjalan dengan pekat Tetapi, dia selalu memegang erat Seluruhnya tanpa sedikitpun ada sekat Jadilah Dia seorang pahlawan dunia barat
47
CEMAS Trio S.
Mondar mandir Dari hulu ke hllir Sebentar-sebentar diam berpikir Sebentar-sebentar berisik menyindir
Tengok kanan tengok kiri Seolah hendak menyeberangi sebuah negeri Tanpa basa basi, mengambil keputusan sendiri Dengan basa basi, ingin menang sendiri
Bagaimana bisa, seorang pemimpin Menjadi orang yang paling tidak yakin Padahal rakyaktnya bukanlah sekumpulan manekin Melainkan manusia-manusia yang butuh banyak vitamin
Kemarin, pemimpin ini adalah orang yang rajin mandi Sekarang, ia hanyalah orang kumal yang selalu membawa belati Kemarin, ia mengatakan akan hidup abadi Sekarang, ia mengatakan bahwa besok akan mati
48
Air Mata (Maria Paschalia Judith Justiari)
Pengembara bahagia. Bahagia hingga langit sudi menangis haru terhanyut dalam kebahagiaan Pengembara. Sedetik kemudian, Pengembara ikut meneteskan air mata bersama langit. Langit mengira Pengembara mencucurkan air mata yang sama dengannya. Ternyata tidak. Pengembara sedih. Hatinya teriris pilu mengingat waktu dan tiga ratus enam puluh lebih makhluk. "Satu itu jauh ya?" Tanya Pengembara dalam hati seraya mengusap air matanya dengan tangannya sendiri. "Biar, biar saja. Akan kusyukuri semua. Akan kusyukuri," gumamnya dalam hati sambil melangkah berat untuk belajar bersyukur.
49
Sapa Kaki Lima (Galih Norma Ramadhan)
Demi masa yang dengannya lara beserta Dan malam yang dingin menyapa Menerobos kehangatan yg coba dibuat-buat Sementara nestapa kadang luput kalian sapa
50
Menyoal bebal yang tiada sebal Nangkring di benak siapa saja Yang tiada memastikan keadaan Dan melumat sabda serta gunjing Tanpa dikupingnya saringan Tanpa dilisannya kejujuran Tanpa dipikirnya kebenaran Siapa peduli kemudian?
Sedang disana Kakilima teraniaya Tiada berani pulang Takut-takut dibalik pintunya si bungsu menagih jajan Takut-takut dibalik buku si besar musam dihardik kawan sekolahan Takut-takut dibalik kepul dapur istrinya terisak ditagih hutang Tiada (lagi) kuasa mencetak uang Dan perlawanan belum jua sampai ke gerbang Yang diamanatkan perundangan Walau pukul, gelandang, penyitaan, kantuk, dan bosan menyerang Atau,,, Benar pula kata si erka Bahwa ia yang atur segala bukan warga yang lapar warga yang lapar yang lapar lapar! Sila berhadapan dengan sendirinya Saat nanti pagi menyapa Sila memeriksa Sudahkah logika mengasah jiwa Sila bertanya Adakah nurani di batin kita . . 51
. . mundur Ditindas atau maju melawan sebab diam adalah pengkhianatan pekael bersatu Takbisa Dikalahkan pekael pasti menang!
52
53
54