Literaksi #3

Page 1


Jurnal Kumpulan Tulisan

LITERAKSI #3/Mei 2016

Kementrian Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM-ITB 2016/2017 1


2


“Tidurlah jika kau yakin bahwa di atas bantal terdapat mimpi-mimpi tentang kemajuan Nusantara. Tapi jika tidak, bangkitlah untuk membaca dan berdialektika!�

3


Pengantar Edisi Ketiga

Mungkin terkadang memang butuh konsistensi dan militansi tersendiri untuk bisa menjaga dan mempertahankan suatu pola, seperti halnya juga semua aktivitas literasi. Berusahan untuk tetap konsiten membaca bukanlah hal yang mudah, apalagi konsisten menulis. Apabila memang tidak sedari awal diniatkan atau belum menjadi kebiasaan, maka perlu energi lebih untuk memaksakan diri agar gagasan-gagasan itu tetap tercipta dan tertuang dalam rangkaian kata-kata. Mei ini sebenarnya aku melihat tidak banyak tulisan yang bisa terambil dan terarsipkan. Periode Ujian Akhir Semester di ITB selama 3 minggu merupakan hal yang bisa membunuh aktivitas lain. Pola unik memang, tapi terkadang ku pikir merugikan. Apalagi karena memang budaya literasi mahasiswa ITB masih sangat minim, tentu hal-hal seperti ujian akan mudah menendang konsistensi literasi itu sendiri dari prioritas. Padahal, bulan Mei adalah bulan yang menarik. Hari Buruh, Hari Pendidikan, Hari Buku Nasional, Hari Kebangkitan, dan Hari Peringatan Reformasi semua jatuh pada bulan Mei. Sayang bila tidak dirayakan, sekedar dalam bentuk gagasan. Namun tak apalah, selama ada yang masih bisa dikumpulkan, maka itulah yang akan dikumpulkan. Selain aku sendiri justru malah produktif bulan ini, ya yang terpenting adalah menjaga agar konsitensi itu tetap ada. Maka apapun kondisinya, booklet kumpulan tulisan harus tetap ada. Ke depannya, bagi yang masih merasa ingin menulis, jangan buat pena atau keyboard laptopmu menunggu dalam ketidakpastian!

Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan PHX

4


Daftar Konten

Jurnal Aksi 19-20 Mei 2016 ......................................................................................... 6 Palu dan Arit .............................................................................................................. 14 Unveil ‘The Icebergs’ of Higher Education Problem(s) in Indonesia ................ 30 The Explanation of Digital Disruption in Indonesia ............................................ 40 Hari Buku Nasional Apanya? .................................................................................. 50 Bandung Selatan, Mengapa Dikau Banjir .............................................................. 52 Amdal yang Terabaikan Oleh Proyek Reklamasi Teluk Jakarta ........................ 66 World Tobacco Process and Machinery: Teknologi yang Tak Diharapkan ............ 70 PKI Bangkit, Lelucon Kah?....................................................................................... 74

5


Jurnal Aksi 19-20 Mei 2016 Mahardhika Zein

Kronologi dan konten KM ITB bersepakat untuk aksi di momentum kebangkitan Nasional dalam dua hari berturut2 dalam momentum menyambut hari kebangkitan nasional dan reformasi, 19 Mei - 20 Mei 2016. Aksi yang pertama dilaksanakan di depan gedung DPR RI, dengan tiga tuntutan yang didukung oleh perwakilan beberapa BEM lain seperti UPI, TELKOM - U, UI, UNJ, UNRAM, UNMUL, UNSRI, Universitas Brawijaya : 1.

2.

Menolak Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak sebelum adanya sistem dan mekanisme yang jelas mengenai tindakan paska pengampunan pajak, berlakunya kebijakan transfer data keuangan antar negara, serta reformasi perpajakan Indonesia yang kuat dan menyeluruh; Menuntut supaya DPR RI menggunakan Hak Angketnya untuk membentuk Pansus KCIC dalam rangka menyelidiki berbagai pelanggaran yang terjadi dalam pembangunan proyek kereta cepat 6


3.

melalui penggunaan hak interpelasi, atau penyelidikan berbagai kejanggalan yang terjadi pada proses pembangunan ini, yang apabila terbukti bermasalah, sebaiknya proyek pembangunan kereta cepat Indonesia-China dihentikan saja; Menuntut pembahasan Revisi Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba supaya tidak bertentangan dengan Hilirisasi dan Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas tidak bertentangan dengan semangat Nasionalisasi supaya terciptanya regulasi yang pasti, adil dan berkedaulatan dalam pengelolaan energi nasional. Dengan ini kami juga mendesak kepada pemerintah untuk segera mengatur proses alih teknologi dan operasi wilayah kerja pertambangan serta minyak dan gas yang habis kontrak untuk kemudian dikelola oleh BUMN pada bidangnya masing-masing, dan mendesak pemerintah untuk mempersiapkan upaya yang perlu dilakukan supaya BUMN tersebut dapat siap saat waktunya tiba.

Dalam kesempatan ini, KM ITB membawa tagar #bangkitbergerak dan #reformasiuntukrakyat. Aksi ini berlangsung di dalam dan di luar gedung DPR RI. Massa KM ITB datang berbondong-bondong dan melakukan short march dari parkiran timur senayan sampai gedung DPR RI. Setelah sampai di depan gedung DPR RI, massa aksi mengadakan mimbar bebas yang diisi dengan orasi dari kawan-kawan perwakilan KM ITB dan beberapa perwakilan kampus lain. Selain itu, disela-selanya terdapat teatrikal-teatrikal yang disuguhkan serta pembacaan puisi. Setelah bernegosiasi dengan Humas, delapan orang perwakilan yang terdiri dari senator, kahim, Kabinet, perwakilan UPI, dan satu orang entitas bebas dapat masuk ke dalam gedung DPR RI. Walaupun ternyata tidak jadi pembahasan di Sidang komisi XI terkait tax amnesty, perwakilan KM ITB melakukan roadshow ke fraksi-fraksi untuk memberikan aspirasi terkait tax amnesty dan menandatangani lembar komitmen agar menyampaikan aspirasi KM ITB ke sidang komisi XI. Fraksi yang dapat menerima kami dalam keadaan mendadak Jumat kemarin ada tiga, yaitu Nasdem, PKB, dan PKS. Di hari kedua, KM ITB bergabung dengan massa aksi BEM SI dengan kekuatan massa 40 kampus dari seluruh Indonesia yang hadir mewarnai ibukota. Mereka diantaranya berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali serta Nusa Tenggara. Dalam Aksi Kebangkitan Nasional 20 Mei itu, lebih dari 7


1700 mahasiswa turun ke jalan di depan istana. Tuntutan yang diberikan adalah : 1. 2. 3. 4.

Memperbaiki kualitas kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden dalam menghadirkan kebijakan yang pro terhadap rakyat Segera wujudkan pemerataan kesejahteraan rakyat Indonesia Wujudkan kedaulatan rakyat dengan menjunjung tinggi keadilan sosial dan tegas dalam penegakan hukum Menjamin perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan beraspirasi.

Tuntutan ini adalah rangkuman dari berbagai tuntutan hasil evaluasi BEM SI terhadap nawacita. Dengan tagar #kawalnawacita #resolusikebangkitan #tuntaskanreformasi, aksi BEM SI ini berjalan di luar istana dan di dalam istana. Di luar istana, tak henti-hentinya kawan-kawan dari BEM SI bergantian melakukan orasi dari masing-masing isu, melakukan agitasi massa, serta kegiatan-kegiatan teatrikal. Menjelang sore hari, massa aksi mulai tidak sabar untuk segera menunggu hasil dari audiensi dengan mensesneg, akhirnya massa aksi sempat menggoyang gabus pembatas jalan dan menginjak-injak duri border. Di dalam istana negara, 40 orang wakil dari masing-masing kampus diterima untuk beraudiensi dengan pihak sekretariat negara, yang diwakili oleh Pak Dadan selaku Deputi Kelembagaan. Namun, mahasiswa menolak untuk berdialog kecuali kepada wakil presiden, Kepala staf kepresidenan, atau menteri sekretaris negara, mengingat presiden masih berada di Russia. Akhirnya dalam waktu tunggu tersebut, Pak Pratikno selaku mensetneg bersedia menemui 15 orang perwakilan. Dalam dialog dengan menteri, BEM SI membeberkan sekian masalah eksekutif dalam rangka mengevaluasi nawacita. Permasalahan yang diangkat mencakup sembilan isu yang menjadi fokus BEM SI dalam satu tahun kepengurusan : pendidikan, energi, lingkungan, kesehatan, pertanian, ekonomi, korupsi, maritim, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semuanya tertuang dalam nawacita namun belum terproses dengan baik hingga sekarang. Menteri sepakat dengan tuntutan mahasiswa, namun ketika diminta menandatangani kesepahaman beliau menolak sampai beliau membacanya. 8


Sebagai pengganti sementara, menteri memberikan memo kepada perwakilan BEM SI yang berisi menteri akan menjamin keterbukaan kementerian terkait untuk bersama melakukan pembahasan terhadap masalah dan kebijakan, dengan jadwal yang ditetapkan kurang dari satu minggu. Menteri juga segera mengagendakan pertemuan mahasiswa dengan presiden sesegera mungkin. Dalam pertemuan tersebut BEM SI juga menyampaikan hasil kajian evaluasi nawacita setebal 300 halaman kepada menteri, untuk disampaikan kepada presiden dan kementerian terkait. Aksi ditutup dengan penyampaian kronologi audiensi oleh Pak Dadan di depan ribuan masa aksi. Dan jika belum ada progres yang signifikan hingga 2 tahun kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden, maka BEM SI akan menimpakan tuntutan yang lebih besar.

Mengetuk Pintu Dua aksi kemarin, 19-20 Mei 2016 adalah aksi awalan untuk mengawal isu-isu di atas. "Aksi memang tidak menjamin perubahan, tetapi perubahan dimulai dari aksi". Dengan aksi 19 Mei, KM ITB banyak mendapatkan akses ke fraksi2, anggota dewan lain dan stakeholder terkait seperti Humas DPR. Adanya pressure untuk bertemu dengan stakeholder terkait dalam dua hari itu memudahkan akses yang bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Solidaritas mahasiswa Tidak semua universitas yang datang langsung mengerti apa poin-poin yang akan diperjuangkan oleh masing-masing koordinator isu yang ada di BEM SI, tetapi atas dasar semangat dan kegelisahan yang dalam bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja mereka tetap datang dari berbagai belahan Indonesia meskipun dengan perwakilan. Walaupun mereka yang datang jauh-jauh tidak semuanya dapat kesempatan untuk masuk ke dalam ruang audiensi dan bisa menjadi orator di mobil komando, tapi tetap saja mereka telah datang dengan modal ketidakpastian yang sangat tinggi dari aksi kemarin bahwa mereka tidak mendapatkan 'panggung'. 9


Otokritik Saya sebut sebagai otokritik karena ini bagian berisi kritik buat diri saya sebagai koordinator gerakan yang ada di KM ITB, dan bagian dari aliansi strategis BEM SI. Sebagai penyampai opini alternatif di masyarakat (media dan pemberitaan) Aksi KM ITB kali ini memang jauh lebih ramai daripada aksi kereta cepat sebelumnya, tetapi peliputan di media masih lebih sedikit dibandingkan aksi kereta cepat kemarin. Hal ini saya rasa karena dalam aksi ini, tuntutan yang dibawa ada tiga tuntutan yang membuat kurang fokus. Peliputan aksi 19 Mei 2015 : http://www.rmoljabar.com/read/2016/05/19/20890/Hari-Ini,-KMITB-Tuntut-Tiga-Kejanggalan-Kebijakan-Pemerintah http://www.radarkotanews.com/nasional/km-itb-memintapertanggung-jawaban-dpr-ri-atas-berbagai-pelanggaran-yang-terjadi-dalampembangunan-proyek-kereta-cepat Dengan kurang fokus, maka tidak ada frame yang benar-benar ingin dibuat ke masyarakat umum untuk menjadi judul berita yang jelas. Seperti "KM ITB menolak pembangunan instan kereta cepat" atau "Bem sesuatu tolak WTPM". Karena bicara masuk media, seharusnya bukan hanya peliputan medianya, tapi konten yang ada dalam medianya pun akhirnya kurang relevan dengan isi tuntutan. Saya melihat ini sering ada pada aksi-aksi nasional BEM SI yang akhirnya untuk mengakomodir semua isu, BEM SI membawa konten yang gado-gado atau sembilan isu semua dibawa. Akhirnya, pemberitaan yang muncul adalah "mahasiswa pertanyakan nawacita" atau "mahasiswa mengevaluasi nawacita" dan berujung pada kecacatan logika ad hominem, seolah jokowi adalah presiden terburuk yang pernah ada. Padahal, fokus isu yang disasar terdapat pada sembilan isu BEM SI yang terus dikawal konsisten dan titik penting aksi 20 Mei adalah penjadwalan secara rutin audiensi koordinator isu dengan mentri terkait. Hal ini berdampak pada kebingunan masyarakat pada aksi massa yang dilaksanakan mahasiswa "ini mahasiswa ngapain rame-rame aksi ?" karena tujuan aksinya sendiri berbeda dengan penangkapan liputan media. Lebih

10


jauh lagi, peran aksi sebagai penyampai opini alternatif di masyarakat tidak dapat dicapai secara jelas. Berita-berita aksi BEM-SI 20 Mei 2016 di istana : • • • • • • • • •

http://edupost.id/poleksosbud/aksi-bem-si-39-presiden-mahasiswaaudiensi-di-istana-negara/ http://edupost.id/poleksosbud/harkitnas-bem-si-gelar-aksi-wisatakebangkitan-nasional/ http://news.detik.com/read/2016/05/20/113802/3214289/10/massabem-seluruh-indonesia-demo-di-depan-istana-tanyakan-nawacita-jokowi http://news.detik.com/read/2016/05/20/141632/3214367/10/massademo-di-depan-istana-bertambah-mahasiswa-ui-dan-itb-merapat http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/5b2MVXeN-peringatiharkitnas-ratusan-mahasiswa-demo-istana http://tariantinta.com/20-mei-2016-di-depan-istana-negara-massa-aksibem-si-kawal-nawacita/ http://nasional.kini.co.id/2016/05/20/15073/bem-se-indonesiakepung-istana http://nasional.kini.co.id/2016/05/20/15092/15092 http://detik.id/Vt4KHc

Momentum Momentum memang penting untuk menggerakkan massa, tetapi tentu yang lebih penting apa yang bisa dimanfaatkan dari momentum itu. Sungguh sangat disayangkan, karena kelalaian kami para pengurus inti yang menjadi core dari BEM SI, konten digodok dalam tempo yang cukup mendekati hari H aksi sehingga teman-teman dari berbagai belahan Indonesia tidak semuanya tahu akan isi kajiannya. Hal ini menyebabkan tidak semua bisa mengkonsolidasi massa kampusnya masing-masing secara maksimal. Terutama kampus yang memiliki budaya ilmiah yang cukup kuat untuk turun aksi. Terlebih lagi, untuk merangkum masalah-masalah yang ada menjadi poin-poin tuntutan tidak dapat dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya bermodalkan kesepakatan rakernas, solidaritas, kepercayaan kepada korsu yang mengkaji, dan pemahaman seadanya, mahasiswamahasiswa tetap berkumpul untuk berunjuk rasa bersama. 11


Kritik terhadap oknum KAMMI Di tengah-tengah aksi, terdapat oknum KAMMI yang nampaknya akan bergabung dengan massa aksi BEM SI. Saya tidak menampik bahwa banyak ketua BEM berasal dari organ ekstra KAMMI, tetapi dengan mencoba menggabungkan massa heterogen, itu kasus lain. Kejadian untuk memanfaatkan momen BEM SI berkumpul ini tidak hanya terjadi sekali, saat rakernas di lombok kemarin, oknum KAMMI yang lain menggalang dukungan untuk Fahri Hamzah yang saat itu baru dipecat oleh PKS dan sedang hangat-hangatnya diberitakan di media. Saya sarankan oknum-oknum tersebut harus melihat konteks agar dapat punya empati kepada teman-teman BEM lain yang hadir. KAMMI yang membawa sikap entah apa, tentu harus berkoordinasi dengan baik ketika ingin menyatukan massa. Bukan berarti saya menganggap BEM atau KM ITB eksklusif terhadap gerakan mahasiswa lain. Akan tetapi, coba bayangkan apa yang harus dipertanggung jawabkan oleh masing-masing ketua BEM atau presiden mahasiswa ke massanya ketika massa dari organisasi luar yang entah sikapnya apa dan memperjuangkan kepentingan apa bergabung. Hal ini sebenarnya bukan hal yang jarang terjadi. Di aksi 21 Mei 2015 lalu, dua organ ekstra tak henti-hentinya mengajak seluruh mahasiswa bergabung untuk turunkan Jokowi. Padahal, yang disepakati bukanlah turunkan Jokowi, tapi meminta bertemu dengan Jokowi. Jadi memang bukan hanya oknum KAMMI yang melakukan hal serupa untuk memanfaatkan massa lain, hanya saja untuk di periode ini, oknum KAMMI dua kali melakukan hal yang menjengkelkan bagi saya.

Terus bertanya dan harus Ada jawabnya

Tempat ini diberi nama PLAZA WIDYA NUSANTARA supaya kampus ini menjadi tempat anak bangsa menimba ilmu, belajar tentang sains,seni,dan teknologi; supaya kampus ini menjadi tempat bertanya ,dan harus ada jawabnya; 12


supaya kehidupan di kampus ini membentuk watak dan kepribadian; supaya lulusannya bukan saja menjadi pelopor pembangunan,tetapi juga pelopor persatuan dan kesatuan bangsa.

Prof. Wiranto Arismunandar 21 Januari 1996

Dari segala kekurangan yang ada dari aksi massa, lantas apakah kita berhenti aksi ? Meski belum jelas apa ujung hasilnya, apakah kita berhenti menjawab dengan sikap akan tanya-tanya dan keanehan-keanehan yang muncul di negeri ini ?

Dokumentasi dan reportase : Biro Kominfo ITB : https://www.youtube.com/watch?v=i6ay_BMD-3s Twitter KM ITB : @KM_ITB Twitter ganecapos : @ganecapos

13


Palu dan Arit Aditya Firman Ihsan

Palu dan arit sesungguhnya adalah perkakas dasar yang cukup sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari, bahkan keduanya merupakan bagian dari 5 perkakas dasar dalam permainan “Harvest Moon – Back to Nature”. Namun sayang, identitas suatu objek bukan sekedar ditentukan oleh dirinya sendiri, tapi dibentuk juga oleh sejarah dan paradigma yang melihatnya. Itu lah yang terjadi akhir-akhir ini dengan munculnya beragam kejadian, dari pembubaran hingga penangkapan, hanya disebabkan sebuah logo yang mengandung dua perkakas dasar tersebut. Sebenarnya ada apa dengan palu arit? Mengapa pandangan terhadapnya begitu buruk seakan keduanya merupakan senjata iblis?

Sekedar Simbolisasi Identitas dibentuk secara genealogis. Seperti apa kata Foucault, kita tidak mungkin membahas suatu objek diskursus tanpa meninjau konteks ruang dan waktu yang dilalui oleh objek terkait. Seperti halnya mengapa paradigma terhadap kemahasiswaan Indonesia begitu tinggi dan bahkan bercap “agent of change”, semuanya ditentukan oleh alur sejarah yang terjadi sehingga akhirnya muncullah cap tersebut dalam masyarakat. Itulah mengapa analisis identitas tidak bisa serta merta hanya berdasarkan keadaan masa kini, ataupun penerjemahan cuma-cuma dari asal mula atau etimologi istilahnya. Permasalahan terminologis adalah suatu hal yang lain, yang sebenarnya 14


hanya permukaan atau bungkus dari makna sesungguhnya identitas tersebut. Sudah banyak istilah yang mengalami pergeseran jauh dari etimologi katanya karena disebabkan mekanisme penciptaan makna yang disusun sedemikian rupa dalam ruang dan waktu yang dilaluinya. Konsep pembentukan sejarah ini kemudian yang menentukan gagasan utama yang dibentuk oleh setiap orang ketika mempersepsi sesuatu. Contoh sederhananya, orang yang sejak kecil hidup di wilayah kumuh akan memandang biasa sampah yang menumpuk ketimbang orang yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan lingkungan higienis. Gagasan lah yang sering mendasari paradigma seseorang yang kemudian menentukan bagaimana ia merespon terhadap sesuatu, baik tindakan maupun perkataan. Gagasan lalu terejawantahkan dalam bentuk tanda, yang mana bisa berupa bahasa ataupun simbol. Mau tidak mau, gagasan ini lah yang kemudian menentukan bagaimana suatu objek dipersepsikan. Hal ini bisa dilihat dalam bagan berikut

Suatu objek pun menjadi tidak pernah memiliki makna tunggal, karena ia selalu ditentukan oleh persepsi. Adanya bahasa pun tetap memunculkan relativitas karena bahasa itu sendiri ditentukan oleh masyarakat yang membentuknya. Kita tidak bisa serta merta dengan kaku mengatakan bahwa definisi atau pengertian dari A adalah bla bla bla tanpa memahami konteks budaya dan sejarah masyarakat tempat dimana kita berada. Dan itulah yang kemudian terjadi pada simbolisasi palu arit. Jika melihat sejarah sesungguhnya, palu dan arit mungkin bisa dikatakan tidak berhubungan langsung dengan komunisme. Palu dan arit adalah simbol yang digunakan persatuan buruh di rusia ketika melakukan revolusi bolshevik atau revolusi oktober pada 1917. Sejak terjadinya revolusi 15


industri di Eropa pada abad ke-18, berbagai mesin-mesin produksi bermunculan yang kemudian bisa secara efektif menggantikan tenaga manusia. Hal ini pun menyebabkan upah buruh menjadi sangat rendah dan kepemilikian faktor produksi menjadi modal yang sangat penting dalam berindustri. Terciptalah kesenjangan antara pemilik modal dengan yang tidak, sehingga kemudian menciptakan kelas di masyarakat, yang kemudian diistilahkan dalam dikotomi borjuis-proletar. Kesenjangan antar dikotomi kelas ini kemudian pun berkembang menjadi imperialisme baru yang kemudian terwujud dalam istilah kapitalisme modern. Modal yang disimbolkan dengan kepemilikian faktor produksi menjadi kuasa tertinggi. Dengan memiliki faktor produksi, kontrol terhadap industri pun berada di tangan, padahal dunia perekonomian dan politik Eropa pada kala itu sangat bergantung pada proses industri. Hal ini yang kemudian dikritik dan dibahas panjang lebar oleh Karl Marx dalam bukunya Das Kapital. Pada bukunya yang lain, Marx pun membahas lebih lanjut mengenai dikotomi kelas ini dalam Manifest der Kommunistischen (Manifesto Komunis). Beliau menyatakan bahwa kaum pekerja sebagai pihak yang tertindas dengan imperialisme baru ini, perlu melawan dan memperjuangkan hak-haknya. Namun hal ini hanya bisa dilakukan dengan perubahan struktur sosial melalui pengambil alihan faktor-faktor produksi oleh kaum pekerja. Apa yang diungkapkan Marx dalam manifesto ini lah yang kemudian dipakai oleh Vladimir Lenin untuk mengembangkan pemikirannya mengenai bagaimana seharusnya struktur masyarakat. Pemikiran Lenin pun membuatnya memecah Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia menjadi kelompok Bolshevik (berarti Mayoritas) dan kelompok Menshevik (berarti Minoritas). Lenin lah yang kemudian memperkenalkan simbol palu dan arit untuk menyatukan seluruh buruh dan petani di seluruh rusia dan dengannya memimpin revolusi besar pada 25 Oktober 1917. Revolusi yang dikenal sebagai Revolusi Bolshevik inilah yang menggulingkan kaisar Tsar Nikolas II dan menjadi hari lahirnya negara komunis Rusia. Revolusi itu pun mengundang perhatian seluruh dunia. Ternyata kalangan pekerja punya kekuatan! Paham Lenin pun meluas dan akhirnya mentransformasi ideologi-ideologi yang bertentangan dengan kapitalisme modern menjadi satu nama: komunisme. Para penganut sosialis pun merapat, membuat mereka yang awalnya hanya menjadikan warna merah sebagai 16


simbol, turut menggunakan palu-arit sebagai simbol. Berbagai partai komunis-sosialis pun bermunculan di berbagai negara dengan simbol yang sama, termasuk di Indonesia. Palu dan arit pun menjadi simbol internasional untuk komunisme. Walau sebenarnya komunisme yang dimaksud cenderung mengarah pada Leninisme. Perlu diketahui terdapat perbedaan antara paham komunisme, marxisme, dan leninisme, namun akhirnya dunia melihatnya sebagai satu hal yang sama.

Perjalanan Sejarah Seperti yang aku nyatakan sebelumnya. Identitas suatu objek tidak bisa diartikan begitu saja tanpa melihat konteks ruang dan waktu. Jika ada yang mengatakan, apa itu komunisme? Secara etimologis, sebenarnya komunisme berasal dari kata community atau komunitas, yang mana secara makna bisa kita artikan bahwa komunisme adalah paham yang menganggap struktur masyarakat harus berbasis komunitas. Struktur berlandaskan komunitas menentang keras adanya hegemoni berlebihan dan cenderung menganggap semua anggotanya adalah sama atau egaliter. Komunisme sebelum Marx sebenarnya sudah banyak karena sudah bukan hal baru pertentangan terhadap kuasa itu muncul. Revolusi di perancis pada abad ke-18 pun berlandaskan komunisme, yang mana rakyat menentang feodalisme yang menguasai perancis pada kala itu. Setelah revolusi industri semakin membuat imperialisme baru semakin merajalela. Kepemilikan terhadap faktor produksi sebagai modal/kapital pun menjadi kekuasaan baru yang menindas. Seperti yang diungkap Marx, hal ini menciptakan struktur kelas dengan hegemoni kapital yang berlebihan. Selayaknya makna komunisme pada awalnya, tentu ini hal yang sangat ditentang. Istilah ini pun bergeser menjadi ideologi anti-kapitalisme. Pada tahap lebih lanjutnya, pemahaman anti-kapitalisme ini pun diimplementasikan menjadi paham bahwa kaum pekerja harus memerjuangkan haknya dengan revolusi strutktur sosial. Karena kemudian yang berhasil mengimplementasikan itu adalah Lenin, ia pun menjadi acuan sebuah negara komunis. Padahal, pemahaman Lenin cukup berbeda dengan Marx karena Lenin menganggap untuk menciptakan kesetaraan, perlu adanya penguasaan terpusat. Ini lah juga yang membuat ia memecah partai sosialis pada kala itu. Faksi Menshevik yang dipimpin oleh Julius Martov 17


cenderung menganggap bahwa struktur harus tetap bebas dan otonom. Karena pengusaan terpusat ini cenderung mengarah pada diktatorisme, paradigma terhadap komunisme pun bergeser lagi menjadi sebuah konsep negara yang totaliter. Setelah Joseph Stalin mengambil alih kuasa setelah Lenin, paham komunisme pun semakin bergeser lagi menjadi apa yang mungkin lebih pantas disebut sebagai Stalinisme, bagaimana ia memegang kekuasan absolut terhadap negara dan benar-benar menghapus semua bentuk kebijakan pasar yang sebelumnya ketika Lenin masih diterapkan. Pergeseran lain dalam komunisme yang berkembang di Rusia adalah pemahaman bahwa komunisme itu atheis alias tidak menolak adanya agama. Hal ini disebabkan pernyataan Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Sayangnya, orang-orang terbiasa menjadikan sesuatu simbol tanpa memahami makna sesungguhnya, seperti apa yang aku jelaskan sebelumnya bagaimana simbol itu dipengaruhi konteks waktu dan ruang. Padahal apa yang dimaksud oleh Marx hanyalah bahwa agama dianggap menjatuhkan rasionalitas dan meruntuhkan semangat juang para pekerja. Generalisasi yang dilakukan oleh Marx sebenarnya disebabkan agama pada kala itu memang cenderung menghasilkan orang-orang yang menyerah pada keadaan. Padahal agama dalam beberapa hal justru menganjurkan untuk terus memperjuangkan hak juga. Pada akhirnya, pemahaman terhadap komunisme pun jadi gado-gado dengan ragam bumbu: pemberontak lah, atheis lah, diktator lah, dan lain sebagainya. (Pembahasan lebih detail mengenai pemikiran Marx bisa baca tulisan Okie Fauzi Rachman : Apa Itu Marxisme dan Relevansinya Dengan Atheisme) Setelah perang dunia ke-II, Uni Soviet sebagai salah satu pemenang perang semakin punya kuasa dan memperluas invansinya. Stalin yang begitu percaya diri dan meremehkan kekuatan kapitalisme yang mulai tumbuh subur pun memulai perang dingin dengan menyerang korea selatan. Amerika dan aliansinya pun mulai menyebar kemana-mana untuk mencegah komunisme menyebar dan memperluas kekuatan ekonominya melalui penguasan perdagangan. Indonesia yang baru saja merdeka dan masih tidak stabil pun tidak luput menjadi objek. Jika melihat secara ideologis, komunisme juga bukan hal yang baru di Indonesia. Walaupun secara umum nusantara menganut sistem kerajaan, sesungguhnya pandangan dan budaya gotong royong dan semacamnya 18


merupakan salah satu bentuk komunisme sederhana yang terkontrol karena tidak adanya penindasan seperti yang terjadi pada feodalisme kerajaankerajaan di Eropa. Ketika Indonesia terjajah, tentu saja yang bisa melawannya adalah konsep kesetaraan dan pertentangan terhadap hegemoni struktur sosial. Apa yang dilakukan VOC selama 3 abad di Indonesia adalah penindasan terhadap pekerja dengan penguasaan terhadap modal atau faktor produksi. Ketika terjadi perlawanan menjelang kemerdekaan pun, unsur komunisme tidak bisa dilepaskan dari paham yang digunakan untuk menggerakkan rakyat Indonesia kala itu. Memperjuangkan hak dan kelas adalah konsep utama dari komunisme. Secara intelektual, paham ini pun tumbuh oleh beragam tokoh, dari Tan Malaka, HOS Tjokroaminoto, bahkan Ir. Soekarno. Secara ideologis, unsur komunisme pun tetap masuk dalam konsep negara Indonesia. Kita tidak bisa menafikan bahwa pasal keempat dan pasal kelima Pancasila adalah konsep dasar komunisme. Penjajahan yang dialami Indonesia, baik oleh Belanda ataupun Jepang, pun merupakan penjajahan pekerja, dengan adanya kerja rodi, tanam paksa, dan semacamnya. Perjuangan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan pun merupakan bentuk lain dari perjuangan kelas. Jika dikupas lebih mendalam, konsep penolakan terhadap kekuasaan berlebihnya komunisme tidak berbeda banyak dengan Pancasila. Pancasila merupakan konsep gabungan 3 ideologi besar Indonesia: nasionalisme, agama, dan komunisme, yang kemudian diwujudkan dalam konsep Nasakomnya Soekarno. Negara baru punya banyak tantangan. Karena keadaannya yang tidak stabil, modal adalah yang sangat dibutuhkan untuk segera melakukan stabilisasi dan pembangunan yang cepat. Padahal, satu-satunya cara menyuntikkan modal dengan cepat adalah dengan membuka lebar-lebar pintu investasi, sedangkan itu sama saja dengan mempersilakan masuk penjajah-penjajah baru dalam bentuk yang berbeda. Itulah yang sangat ditentang oleh Ir. Soekarno, membuatnya sangat dibenci barat dan cenderung anti-kapitalis. Paham komunisme yang terbawa oleh Soekarno adalah konsep komunisme murni, bersama dengan nasionalisme dan islam, konsep yang mengedepankan hak-hak sosial, walau tentu implementasinya banyak penyimpangan, seperti dengan pengangkatan diri sebagai Presiden seumur hidup pada 1963. Sayangnya, di sisi lain ada komunisme bentuk ekstrim yang terbawa oleh Muso dalam bentuk Partai Komunis Indonesia (PKI). 19


PKI pada awalnya banyak membantu dalam memerangi kolonialisme. Bermula dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang dibentuk oleh sosialis Belanda, Henk Sneevliet, pada 1914. Ketika terjadi revolusi Bolshevik, orang-orang ISDV menganggap apa yang terjadi di Rusia harus diikuti oleh Hindia. Awalnya ISDV membentuk blok bersama Sarekat Islam untuk memerangi Belanda. Setelah mengalami berbagai perombakan, ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia pada 1924. Bisa dikatakan bahwa PKI memang menganut marxisme-leninisme agak ekstrim, karena apa yang mereka kemukakan selalu pemberontakan untuk kesetaraan pekerja.Memang sebelum kemerdekaan PKI sangat membantu dalam memerangi kolonialisme, namun setelah kemerdekaan, apalagi ketika Muso datang pada 1948 dan merombak total PKI dengan platform, �harusnya perjuangan anti-imperialis Indonesia bersatu dengan Soviet Unie yang memelopori perjuangan melawan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat.� Hal inilah yang memicu pemberontakan Madiun pada 1948, yang mana Muso memanfaatkan tidak stabilnya Indonesia untuk mengambil alih kuasa. Paradigma terhadap PKI pun kemudian menjadi negatif dan dianggap ancaman, namun paska pemberontakan 1948, PKI tidak sampai dibubarkan. Beberapa tahun kemudian di bawah pimpinan D.N. Aidit, PKI bangkit lagi namun dengan bentuk dan gerakan yang berbeda. PKI versi Aidit sangat mendukung pemerintah yang mana memang sangat anti-barat dan mendukung persatuan kelas. Apalagi dengan konsep nasakom dan demokirasi terpimpinnya Soekarno, PKI sangat mendukung penuh dan tidak memperlihatkan bahwa akan membawa kekacauan lagi seperti sebelumnya. Soekarno pun menjadi akrab dengan PKI dan membuat Soekarno semakin dibenci oleh pendukung barat. Entah kenyataan sesungguhnya seperti apa, memang PKI bukan lagi menjadi ancaman ketika dibawa Aidit. Namun, semua berubah ketika 30 September 1965. 7 Jenderal dibunuh pada satu malam. Entah kenyataannya seperti apa. Terlepas dari kontroversi kebenarannya, PKI kemudian dituduh menjadi dalang utama. Apa yang terjadi kemudian pun sudah menjadi hafalan mati orang-orang orde baru: Super Semar keluar, Soeharto mengambil alih, menyelamatkan bangsa, membubarkan PKI, dan seterusnya dan seterusnya. Selama 30 tahun berikutnya Soeharto tetap berada dalam kuasa dengan konsep pembangunannya yang begitu dipuja hingga akhirnya jatuh pada 1998. 20


Apa yang sangat terkenal dalam orde baru adalah doktrinasi yang dilakukan oleh Soeharto untuk membenci komunisme bersenjatakan pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila), propaganda-propaganda anti-PKI, dan juga pembungkaman jurnalistik. Pemerintahan orde baru memanfaatkan fakta kekejaman PKI untuk menciptakan rasa takut yang kemudian ditumbuhkan menjadi rasa benci untuk menutup semua rasionalitas terhadap paham tersebut. Semua hal yang dianggap berhubungan dengan PKI, termasuk simbol palu arit pun dianggap tabu dan harus disingkirkan. Keberhasilan propaganda pada masa Soeharto membuat mata rakyat Indonesia hanya satu terhadap komunisme: Lawan. Selama 30 tahun, satu generasi penuh, masyarakat Indonesia dicuci otak dengan pandangan bahwa PKI ataupun komunisme adalah musuh yang harus diberantas. Paradigma yang dibangun mengatasnamakan pancasila ini sudah sebegitunya menghakimi komunisme. Apa yang dipandang oleh masyarakat orde baru bisa dilihat secara sederhana dalam buku Sari Pendidikan Pancasila oleh Ir. Heru Santoso, M.Hum, yang meringkas perbandingan ideologi negara sebagai berikut:

Sekarang? Ketika kita bertanya mengenai PKI pada orang-orang berumur 30 tahun ke atas saat ini, apa yang diketahuinya adalah kengerian pemberontakan PKI 21


yang begitu kejam membunuh 7 jenderal dan mengancam Indonesia pada 1965. Ketika bertanya mengenai komunisme, apa yang dijawab mungkin akan seperti tabel perbandingan di atas. Kecuali tentu saja kalangan akademis atau jurnalistik yang akan secara rasional mencari fakta sesungguhnya dan membersihkan diri dari doktrin orde baru. Mengapa kemudian diskusidiskusi, acara-acara, tulisan, dan lain sebagainya tentang komunisme ataupun marxisme bermunculan dan cenderung diinisasi anak muda, karena anakanak 30 tahun ke bawah tidak terpapar banyak oleh doktrin orde baru. Mereka cenderung mengalami masa orde baru ketika masih anak-anak dan belum bisa berpikir banyak, apalagi sekitar 90an, orde baru berada diujung kejatuhan. Sayangnya, Indonesia saat ini tengah dipegang oleh generasi orde baru. Artinya apa, tokoh-tokoh maupun penggerak-penggeraknya merupakan orang-orang yang lahir pada awal atau pertengahan orde baru sehingga doktrin dan propaganda orde baru masih tertancam keras dalam lautan gagasan di pikiran masing-masing. Ketika generasi muda ataupun kalangan akademis memunculkan segala hal terkait PKI, sejarah telah membuat masyarkat akan memandang itu sebagai ancaman. Persepsi yang muncul pun bukan rasionalitas yang muncul dari pikiran, namun perasaan jijik, takut, benci, dan lainnya yang ditanamkan oleh propaganda orde baru. Propagnda yang menyerang perasaan dan alam bawah sadar memang mematikan rasionalitas itu sendiri. Hal ini terbukti pada propaganda Nazi yang sangat memuja Hitler dengan menumbuhkan rasa cinta dan harapan pada ras sendiri dan Hitler sebagai yang bisa memimpin mereka menuju kejayaan. Sekarang katanya adalah era reformasi, yang mana kebebasan berpendapat dibebaskan seluas-luasnya selama tidak mengancam negara. Namun, persepsi ‘mengancam negara’ saat ini masih mengarah tajam pada doktrin orde baru: komunisme dan semacamnya. Itulah yang aku anehkan ketika Soeharto jatuh, malah muncul UU Nomor 27 tahun 1999 yang menambahkan pasal 107 KUHP dengan ayat-ayat yang lebih spesifik. Salah satunya adalah, “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun�. Ayat tersebut, beserta 5 ayat lainnya yang serupa ditambahkan pada KUHP bahkan setahun setelah reformasi. 22


Sekarang katanya adalah era reformasi, tapi reformasi apa? Reformasi tatanan masyarakat? Sayangnya, tindakan dan pandangan masyarakat bukan ditentukan oleh tatanan yang mengaturnya, tapi oleh paradigma dan gagasan yang dimilikinya. Sedangkan paradigma itu sendiri sangat ditentukan oleh sejarah, yang mana cuci otak besar-besaran terjadi pada masa orde baru. Paradigma pun tidak bisa direformasi semudah itu, perlu penyelamatan satu generasi penuh agar stigma buruk komunisme bisa hilang sepenuhnya, ketika generasi-generasi orde baru sudah menyingkir dari tatanan masyarakat. Mau bersifat akademis atau tidak, ketika doktrin sudah menutup mata rasionalitas, segala bentuk atribut atau acara yang dianggap berhubungan dengan komunis langsung mengalami penghakiman sepihak. Hal ini bisa jadi juga disebabkan oleh adanya kesenjangan antara dunia akademis dengan masyarakat. Kenapa? Karena ketika dunia akademis dinetralkan sedemikian rupa melalui metodologi ilmiah sehingga membuat segala bentuk subjektivitas disingkirkan, kalangan akademisi tidak bisa mengomunikasikan itu kepada masyarakat. Ketika kalangan akademis cukup rasional memandang komunisme, masyarakat tidak. Terkait itu sendiri pun, belum tentu semudah itu dilakukan, karena apa yang tertancap di masyarkat bukanlah sekedar pengetahuan, tapi paradigma. Ketika berbicara tentang tatanan masyarakat pun, khusus untuk mengenai pandangan komunisme sendiri, tidak ada yang signifikan. TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 yang melarang paham komunis tetap diberlakukan, walau memang mengalami perubahan sedikit. Perubahan ini tertuang dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/MarxismeLeninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalarn Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sernentara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini. ke depan diberlakukan dengan beikeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

23


TAP ini seakan tidak pernah disosialisasikan, karena ketika melihat tren yang muncul di media, masyarakat masih menganggap TAP MPRS yang lama masih berlaku tanpa ada perubahan apapun, dan dijadikan senjata utama untuk bertindak seenaknya memerangi komunisme. Padahal, dalam pasal itu perlu kita garis bawahi, “...diberlakukan dengan beikeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.� Pertanyaannya, apakah selama ini dilakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia? Bisa ku beri beragam contoh betapa tidak menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia kejadian pembubaran atas stigma PKI yang terjadi akhirakhir ini: http://www.berdikarionline.com/kronologis-pelarangan-festivalbelok-kiri/ -https://nasional.tempo.co/read/news/2016/03/24/078756530/larangmonolog-tan-malaka-fpi-dia-tokoh-komunis https://beritagar.id/artikel/berita/perkara-pembubaran-acara-ladyfast-di-yogyakarta https://nasional.tempo.co/read/news/2016/04/03/058759345/fpibubarkan-diskusi-yang-digelar-hmi - http://sekilaskendari.blogspot.co.id/2016/05/kronologi-pembubaranacara-world-press.html -http://portalkbr.com/052016/panitia__dari_awal_polisi_menekan_kami_batalkan_acara_alf_2016/80 976.html atau daftar panjang lainnya (tidak hanya terkait komunisme) :

24


Logo palu dan arit memang tidak disebutkan dilarang sama sekali dalam pasal tersebut. Tapi seperti yang aku jelaskan sebelumnya, identitas tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Sejarah telah membuat logo palu dan arit merupakan simbolisasi mutlak dari kampanye PKI. Masyarakat pun tidak mau tahu apa makna sesungguhnya dari ajaran komunisme/leninisme/marxisme. Yang ada pada otak reptil mereka adalah satu: komunisme adalah haram (titik). Lantas sebagai generasi muda yang gelisah dan haus akan pengetahuan dan ekspresi, apa yang harus kita lakukan? Selama KUHP hasil revisi UU No. 27/1999 dan TAP MPRS No. 25/1966 (beserta perubahannya) tetap berlaku dan melarang keras paham komunisme/leninisme/marxisme, secara hukum kita tidak bisa berbuat banyak. Apalagi dengan kentalnya doktrin sejarah di kepala masyarakat, aku rasa kita yang harus mengalah. Revisi KUHP lagi yang diwacanakan DPR RI sejak tahun 2013 pun masih menganggap bahwa komunisme adalah ancaman negara. Seperti apa yang tertuang dalam naskah akademiknya yang dipublikasikan pada 2015 yang mana tertulis:

25


Mempertahankan larangan penyebaran ajaran komunisme dan marxisme dinilai tidak bertabrakan dengan hak asasi manusia, dengan beberapa alasan sebagaimana dimuat dalam konsideran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 sebagai berikut: 1. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia antara lain meliputi hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan ketentuan mcngenai kejahatan terhadap keamanan negara belum memberi landasan hukum yang kuat dalam usaha mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara; 3. bahwa paham dan ajaran komunisme/marxisme/Lenimisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang bertuhan dan beragama serta telah terbukti membahayakan kelangsungan hidup bangsa Indonesia;

Apakah benar komunisme itu mengancam atau tidak, tidak ada benar ataupun salah sebenarnya. Karena ideologi sangat bergantung pada yang membawa. Tidak hanya komunisme, ideologi lain seperti islam, liberal, ataupun sekular pun akan menjadi ancaman bila dibawa secara ekstrim dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Namun sayang, referensi gagasan yang menjadi fondasi berpikir alam bawah sadar masyarakat tidak bisa dilepaskan oleh sejarah. Tentu memang banyak faktafakta baru yang telah mengungkap kebenaran tragedi 1965, namun rasionalitas tidak semudah itu menyentuh dunia gagasan atau paradigma. Mau semua akademisi mengatakan dari A sampai Z apa sesungguhnya komunisme atau marxisme atau leninisme itu, di mata masyarakat tetap satu: Komunisme adalah ancaman. Kecuali. Kita lewatkan satu generasi penuh hingga semua bekas-bekas orde baru bersih dan generasi reformasi yang memegang Indonesia, mungkin aturanaturan yang mengancam kebebasan berpendapat di Indonesia bisa lebih diperbaiki dan disesuaikan. Sekarang? Aku rasa memang kurang bijak dan 26


tidak ada gunanya menentang budaya masyarakat, kecuali jika kita punya cara untuk mencuci otak ulang semua pandangan tentang komunisme ke pemahaman yang sebenarnya. Ah, tapi sepertinya itu mustahil. Jika kalian generasi muda yang haus akan pengetahuan, maka ciptakanlah diskusidiskusi itu sendiri, antar teman, komunitas, atau internal organisasi. Bukubuku atau tulisan-tulisan mengenai komunisme/marxisme/leninisme sudah banyak beredar dan bukanlah hal yang sulit untuk mencarinya. Memang adalah suatu ketidakadilan ketika kegiatan terbuka dibubarkan begitu saja secara sepihak tanpa ada proses demokratis di dalamnya, namun masyarakat bukanlah ditentukan oleh aturan atau kebenaran, tapi paradigma dan ideologi yang dipegangnya. Jika masyarkat masih menganggap komunis itu ancaman, maka itu lah yang akan berlaku. Jika pemerintah memang cukup netral untuk menyelesaikan hal ini, ku rasa usaha-usaha untuk menertibkan ormas-ormas yang bertindak sewenangwenang sudah dilakukan sedari dulu. Tapi sayang, sepertinya masalah pajak dan pembangunan jakarta lebih penting daripada kebebasan berpendapat. Dari pihak legislatif, jika memang revisi KUHP masuk prolegnas (program legislasi nasional) DPR RI 2015-2019, maka tinjaulah kembali pertimbangan mengenai apakah komunisme memang sebegitunya harus dilarang keras atau tidak. Tentu pemerintah harus bersikap netral, namun sudahlah, seperti yang aku bilang lagi, masyarkat tidak ditentukan oleh aturan atau kebenaran, tapi paradigma dan ideologi yang dipegangnya. Diadakannya Symposium 1965 pada pertengahan april lalu merupakan satu langkah besar untuk menyelesaikan kasus yang selama ini masih tertutupi paradigma, namun sayang, pemerintah seakan belum menunjukkan keberanian mengingat begitu banyaknya kecaman masyarakat. Jika benar-benar ingin memerangi komunisme, maka seharusnya serikatserikat buruh sudah dibubarkan sedari dulu. Tapi tentu masyarakat tidak mengerti, bahwa komunisme terkait erat dengan itu, bahwa palu dan arit itu sendiri adalah simbol dari buruh. Yang diketahui hanyalah, komunisme adalah ancaman. Sedih? Tentu. Tapi aku bisa apa? Aku hanya mahasiswa matematika yang senang bertanya. Salam pembebasan

27


Tambahan: Berbicara mengenai dunia akademik sendiri, sebenarnya kenyataannya tidak se-ideal itu. Aku teringat salah seorang kawan di ITB yang dipanggil oleh rektorat hanya karena ia memakai kaos palu-arit pada foto di buku osjur. Pada kasus lain, ketika pesta literasi 2016 yang diadakan ISH Tiben, pihak panitia diperingatkan oleh pihak kampus bahwa jika ada konten terkait PKI atau atheisme, komisi disiplin akan bertindak.

28


29


Unveil ‘The Icebergs’ of Higher Education Problem(s) in Indonesia Luthfi Muhammad Iqbal

Dengan Nama Tuhan, Yang Maha Pengasih, dan Maha Penyayang

“Selamat Hari Pendidikan!”

Belakangan ini, pendidikan dan seputarnya menjadi topik yang cukup ramai diperbincangkan. Sebagian rekan menjadi tertarik untuk membahas apa dan mengapa dari keberadaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), sebagian lainnya berdebat mengenai pro kontra Komersialisasi dan Privatisasi Pendidikan Tinggi, sebagian yang lain mempersoalkan kenaikan UKT, pemberhentian Beasiswa PPA, isu pemotongan kuota Program Bidik Misi, hingga isu mengenai kenaikan batas 30


atas UKT ITB menjadi kisaran 15 juta per semester mulai tahun ajaran 20172018. Semoga melalui tulisan ini, kita sebagai mahasiswa dapat memahami persoalan pendidikan yang terjadi di Indonesia, tidak hanya puncak gunung es yang terlihatnya saja, namun juga sebab dan akibatnya serta keterkaitannya dengan konteks lingkungan global yang lebih luas.

Prolog: Sebuah Rangkaian Revolusi Akademik Revolusi Akademik ke-I Terjadi pada paruh awal waktu abad ke 19, dimana generasi pengetahuan baru melalui kegiatan penelitian (research) terintegrasi, dan mulai menjadi bagian pada bidang misi akademia, yang sampai sekarang berpusat pada penyebaran atau diseminasi pengetahuan yang ada melalui pengajaran (teaching). Sebuah kontrak sosial baru hadir sebagai hasil dari proses jalan revolusioner menuju peningkatan hubungan antara sains, teknologi dan prospek peran “akademia� dalam kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, universitas diposisikan sebagai pusat dari pengajaran dan penelitian dalam konteks sosial negara kesejahteraan (welfare state) pascaperang. Demikian, persepsi yang dibangun dalam pengembangan peran “akademia� berasal dari tujuan demokratisasi akses kepada pembelajaran dan pendidikan tinggi, serta menempatkan gerakan linear dari proses inovasi yang diisi oleh produksi pengetahuan melalui penelitian dasar di universitas untuk ditransfer secara satu arah kepada industri.

Revolusi Akademik ke-II Persepsi dan ekspektasi yang melekat (inheren) pada akademia telah terguncang, dimulai dari tahun 1970 dan seterusnya, dimana giliran neoliberal menantang gagasan dan secara bertahap menggantikan gagasan mengenai ide masyarakat negara-kesejahteraan. Proses evolusi masyarakat dipercepat oleh konteks dorongan globalisasi dan transformasi yang kuat dalam kegiatan masyarakat. Cara baru produksi, regulasi, paradigma baru ekonomika teknik didukung oleh kemajuan di bidang teknologi informasi 31


dan komunikasi. Inovasi dalam kerangka pikir ini, telah terangkat setinggitingginya menjadi pandu utama bagi permainan daya saing ekonomi yang melibatkan perusahaan/firma, negara dan wilayah, dan digunakan sebagai tujuan dominan dari masyarakat. Pengetahuan dihargai sebagai sumber daya paling penting, dan pembelajaran sebagai proses yang paling strategis, terakuisisi dalam relevansi yang telah diperbaharui dengan rezim dunia yang penuh persaingan global yang kuat. Ide mengenai ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-driveneconomy) dan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-driven-society) menjadi sebuah Epitet atau judul bagi Ide baru mengenai masyarakat, menggantikan ide lama soal negara-kesejahteraan. Demikianlah pada Revolusi Akademik kedua, tujuan pembangunan ekonomi diintegerasikan dengan bidang misi akademia bersama-sama dengan pengajaran dan penelitian. Pada konteks ini, misi ketiga akademia telah ditetapkan, membawa sedemikian rupa hubungan yang semakin dekat antara Universitas dan para pengguna Pengetahuan serta menjadikan Universitas sebagai aktor ekonomi di dalam dirinya sendiri. Melipat fungsi lamanya sebagai mereproduksi dan memproduksi pengetahuan, menuju orientasi lebih jauh yakni menjalankan peran atas nama negara sebagai agen pembangunan ekonomi nasional. Sebuah transformasi revolusioner dari Universitas Riset menuju Universitas Entrepreneurial. Sehingga argumen selanjutnya adalah, asumsi penambahan misi ketiga ini membawa sebuah kontrak sosial yang baru antara Universitas dengan masyarakat sisanya, mengenai Kapitalisasi Pengetahuan yang diproduksi dari kegiatan penelitian akademis.

Revolusi Akademik ke-III Transformasi besar berikutnya ialah menciptakan Universitas Entrepreneurial yang disertai dengan pemupukan relasi kuat Triple Helix. Akademi akan menjadi semakin sentral dalam proses inovasi dan mungkin akan menggantikan banyak fungsi dari Perusahaan Industri. Keberadaan Universitas Entrepreneurial yang semakin kuat ini menggantikan konfigurasi klasik Universitas dengan model Menara Gading 32


atau Ivory Tower dimana Universitas menjadi tempat pusat pengkajian ideal yang berjarak dengan realitas (Universitas di Eropa sebelum Renaisans); Universitas dengan model Humboldtian dimana Universitas bertugas untuk memberikan dua Penerangan (Enlightment) yakni bagi Individu, dan juga Masyarakat Dunia, yang membebaskan mahasiswanya untuk menggali dan mempelajari ilmu secara mandiri dibawah naungan kebebasan akademik (cikal bakal Konsep Universitas Riset); Universitas dengan model Land-Grant, sebuah konsep universitas publik untuk mendorong penguasaan teknologi pertanian, mesineri dan militer (Model Amerika, menjalankan UU Morrill 1862 sebagai respon terhadap revolusi Industri), dan Politeknik, konsep yang mendorong ke pendidikan vokasi/terapan. Universitas Entrepreneurial, melengkapi fungsi tradisional universitas dengan kemampuannya dalam menciptakan organisasi Triple Helix seperti Perusahaan/Firma Spin-Off dan Organisasi Non-Pemerintah. Ia juga memiliki kemampuan untuk membentuk arah (misi) strategis secara mandiri yang relatif independen dari Pemerintah maupun Industri. Juga memiliki kapabilitas organisasi internal dalam mengadakan transfer teknologi dan menginisiasi kerjasama regional. Tidak bergantung pada bentuk birokrasi kekuasaan, dan memiliki budaya Entrepreneurship dari semua sivitas akademikaya.

Entrepreneurial University: American Model vs European Model Universitas Entrepreneurial dewasa ini telah berkembang dalam keadaan sosial dan suasana akademis yang berbeda di teritorial yang berbeda pula. Model Kewirausahaan Amerika Serikat dibangun dari semangat dinamika kewirausahaan yang terinsepsi kedalam Universitas Riset Amerika. Setiap profesor dari yang paling junior hingga yang paling senior, bertanggungjawab untuk mendapatkan dana risetnya masing-masing, secara berkompetisi, menghasilkan hasil riset yang terbaik. Kelompok keahlian bertumbuh dan berkembang menjadi “Setengah-Perusahaan� (Quasi-Firm) dengan karakteristik yang menyerupai firma atau perusahaan bisnis, yang tinggal sedikit lagi menuju terbentuknya Spin-Off Firm disaat kesempatan tersedia. Namun, berbeda dengan di Eropa, dimana kuasa negara telah menjadi tradisi yang kuat untuk memastikan keberjalanan sebuah Kewirausahaan 33


Akademik (Academic Entrepreneurship). Di Eropa, pembangunan Universitas Entrepreneurial digagas secara top down sebagai misi yang ditentukan oleh pemerintah. Mengingat, peran profesorial secara tradisional di Eropa ialah pelayan publik, sehingga jarang ditemukan profesor yang seorang wirausahawan. Demikian, pendekatan pembangunan start-up firm difokuskan kepada pemberdayaan mahasiswanya melalui perubahan budaya akademik. Dalam dua arus besar model Entrepreneurial-U yang ada diatas ini, Indonesia mengikuti dan berada pada mahzab yang pertama yakni American Model, dimana intervensi Pemerintah diminimalkan dan seluruh sivitas didorong untuk memiliki jiwa wirausaha.

Pertarungan Meraih Internasionalisasi

Reputasi:

Dampak

dari

Globalisasi

dan

Selain perubahan trend yang dijelaskan diatas, Universitas pada saat ini dalam keadaan ekonomi global yang saling terkait satu sama lain tidak bisa menolak kehadiran Globalisasi. Dengannya, banyak kebijakan yang harus dibuat untuk merespon keadaan tersebut. Juga, banyak upaya yang harus dilakukan seperti membangun kemitraan, pembelajaran dan penelitian lintas negara, sertifikasi/akreditasi internasional, supaya memiliki lulusan, penelitian, institusi dan skolar yang diakui dunia. Bahkan pembukaan cabang di Negara lain ditempuh oleh beberapa Universitas untuk meningkatkan partisipasi dan akses mahasiswa lokal meraih Universitas berkualitas Kelas Dunia. Dengan demikian, terciptalah ketimpangan kualitas sistem pendidikan tinggi. Ada Perguruan Tinggi yang menjadi pusat dan ada pula yang menjadi periferi atau tepian. Perguruan Tinggi yang terpandang sebagai pusat disebabkan seringkali karena kualitas penelitian dan reputasinya. Adapun karena hal ini, berbagai Universitas di negara berkembang, berlomba-lomba bersaing, bertarung meraih reputasi: Sebuah Peringkat Internasional, supaya dapat menjadi bagian dari sentralitas sistem akademik global. Inilah permulaan dilema yang dihadapi Negara Berkembang, seperti Indonesia. Di satu sisi berjuang untuk mendorong Universitas supaya memiliki reputasi global dalam hal produk penelitian dan pengetahuan, dan

34


disisi lain perlu berjuang untuk memperluas pendaftaran supaya semakin banyak pemuda yang mengakses pendidikan tinggi.

Fenomena Masifikasi Pendidikan Tinggi: Inisiasi Perdebatan Barang Publik-Privat pada Pembiayaan Pendidikan Tinggi Perluasan akses pendidikan tinggi menjadi konsekuensi bertransformasinya masyarakat dari ekonomi pasca-revolusi industri menuju kebangkitan industri jasa dan ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Namun perluasan akses ini biasanya menghadapi tantangan pemerataan akses. Struktur Ekonomi, Budaya, Sosial dan Sejarah mewarnai ketidakadilan sosial dalam hal kemampuan individu untuk berkompetisi mendapatkan akses Pendidikan Tinggi. Proyek ITB Multikampus adalah salah satu bentuk respon ITB terhadap tuntutan Masifikasi di Indonesia. Pembiayaan ialah hambatan paling besar pada Akses ke pendidikan tinggi. Meski biaya kuliah gratis pun, mahasiswa tetap harus menghadapi biaya tak langsung seperti pengeluaran kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Beasiswa, atau program pinjaman tidak secara otomatis menghilangkan hambatan ekonomi, meskipun beberapa kasus menunjukan keberhasilan. Akan tetapi, masifikasi pendidikan tinggi ini bertubrukan dengan kondisi pendapatan pajak pemerintah, yang tidak mampu mengikuti laju perkembangan beban biaya Universitas. Apalagi untuk sistem dimana secara tradisi terdapat subsidi yang besar pada pendidikan tersier. Dalam istilah finansial, model pembiayaan seperti ini bukanlah model yang berkelanjutan, sehingga menekan sistem untuk secara fundamental me-restrukturasi kontrak sosial antara Pendidikan Tinggi dengan Masyarakat secara umum. Peran tradisional universitas sebagai pusat pembelajaran, yang berkontribusi besar untuk masyarakat, mencerdaskan kehidupan masyarakat, meningkatkan kualitas modal manusia, mendorong partisipasi publik dan mendorong pengembangan ekonomi yang menjadikan alasan Universitas untuk dilabeli sebagai Barang Publik dan berhak atas Pembiayaan Publik dari Pajak Negara, bergeser menjadi Barang Privat, penyedia manfaat yang eksklusif, individual, sehingga Mahasiswa dan Institusi pendidikan harus menanggung sebagian besar biaya yang harus dibayar. 35


Masifikasi yang menyebabkan keterbatasan pendanaan juga menuntut sistem Pendidikan Tinggi dan Institusi Pendidikan Tinggi bertanggungjawab untuk menghasilkan pendapatan, penerimaan finansial secara mandiri, supaya tidak membebani negara. Dari sinilah debat bermunculan, tidak hanya menyoal tentang tantangan finansial dari masifikasi, namun juga kecenderungan politik untuk mem-privatisasi jasa pendidikan yang mulanya disediakan oleh Negara (praktik cost sharing mulai diperkenalkan dengan adanya pungutan biaya masuk di Negara yang sebelumnya menerapkan pendidikan tinggi gratis, diantaranya: China, 1997, UK 1998 dan Austria 2001), juga hubungan Industri-Universitas, yang mendistraksi peran sosialtradisional dari Universitas. Tekanan inilah yang menugaskan Universitas untuk mencari penerimaan tambahan selain daripada bantuan pajak dari Negara, dan pungutan biaya kuliah dari mahasiswa, seperti dari Dana Riset, Produk yang berkaitan dengan Universitas, Jasa Konsultasi, dan Jasa Penelitian serta keterkaitan antara Industri-Universitas. Yang pada beberapa kasus, sumber finansial seperti ini lagi lagi berkonflik dengan peran tradisional universitas dan berkontribusi pada Komersialisasi Institusi.

Restrukturasi Kontrak Sosial: Konteks Indonesia Pendidikan Tinggi Pasca Reformasi, mengalami jatuh bangun. Dimulai dari penetapan UI, UGM, IPB, ITB (PP 152-PP155 tahun 2000) sebagai 4 Universitas yang pertama-tama diberikan status sebagai Badan Hukum Milik Negara pada tahun 2000, sebagai awal pembuka restrukturasi kontrak sosial bagi otonomi akademik dan non akademik termasuk otonomi finansial. Diperkuat dengan adanya UU No 09 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan sempat digagalkan oleh MK karena bertentangan dengan Konstitusi, hingga hari ini, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi masih berlaku, dengan semangat yang tak jauh berbeda. Perubahan Undang-Undang menjadi versi terbaru ini merupakan bentuk Restrukturasi Kontrak Sosial, dimana Pendidikan Tinggi tidak sepenuhnya ditopang pajak, namun dimungkinkan untuk mencari sumber-sumber pendanaan lainnya melalui berbagai cara. Karena apabila tidak demikian, maka Perguruan Tinggi akan menjadi batasan yang signifikan pada kapasitas fiskal/anggaran pemerintah, dan apabila terjadi penghematan di tubuh Universitas, maka kualitasnya yang akan menurun, juga akan terjadi 36


kebekuan atau “Freezing� pada proses perekrutan tenaga kependidikan dan pegawai baru, pembangunan fasilitas baru, peningkatan teknologi informasi, pembelian buku dan jurnal baru yang dibutuhkan. Restrukturasi Kontrak Sosial juga terjadi pada proses penganggaran RAPBN 2016 pada tahun lalu, dimana terjadi pengurangan yang sangat signifikan untuk anggaran kementerian riset dan pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yakni: Tuntutan massifikasi (untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia) melalui perubahan status PTS menjadi PTN mengakibatkan jumlah pembaginya semakin banyak, sehingga besaran BOPTN yang diterima masing-masing Perguruan Tinggi menjadi lebih kecil. Selain itu, target penerimaan pajak 2015 yang jauh dari realisasi, menyebabkan ruang fiskal semakin sempit, apalagi 2016 dideklarasikan sebagai tahun pembangunan Infrastruktur, sehingga pengeluaran termasuk untuk Pendidikan Tinggi juga semakin terbatas. Belum lagi performa Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang kurang menggembirakan, apabila dilihat dari perencanaan pagu anggaran yang berimplikasi pada terpotongnya beberapa program seperti Beasiswa PPA, Beasiswa SM3T, Biaya SNMPTN dan SBMPTN. Sehingga tidak heran apabila banyak suara miring soal Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi yang dinyatakan tidak memiliki visi kedepan.

Epilog: Sikap Fundamental Jangan dulu maju pada apakah gagasan Entrepreneurial University ini baik atau buruk bagi masa depan pendidikan tinggi, mari kita coba tanya kembali, apakah kita berada pada jalan yang benar seperti ini? Mesti kita tegaskan bahwa: peran pendidikan tinggi sebagai barang publik terus dan akan tetap penting serta sangat fundamental, oleh karenanya harus tetap didukung. Karena aspek ini seringkali ditinggalkan dan dilupakan oleh Pendidikan Tinggi, yang sedang berada ditengah ketergesagesaan mengejar pendapatan (income) dan prestis dari pengakuan Nasional maupun Internasional. Kegamangan kita dalam bersikap akan memberatkan adik-adik kita nanti, yang siapa tahu isu 15 juta per semester dan pemotongan kuota bidik misi itu, benar adanya, kan? 37


Semoga nurani kita tetap menyala, Semoga niat baik tetap membersamai langkah kita, Semoga daya kritis selalu ada dalam pemikiran kita, untuk tetap menyadari bahwasanya, negeri ini, bangsa ini, pendidikan tinggi di tanah air republik ini, tidak sedang dalam keadaan yang baik-baik saja. Mari Bung, Tinjau Kembali UUPT!

Referensi 

  

Altbach, Philip G.; Reizberg, Liz; Rumbley, Laura E. 2009. Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution, A Report Prepared for the UNESCO 2009 World Conference on Higher Education. UNESCO - WCHE 2009 Rodrigues, Carlos. 2009. Universities, the Second Academic Revolution and Regional Development: A Tale (Solely) Made of Techvalley. Universidade de Aveiro Seccao Autonoma de Ciencas Sociais, Juridicas e Politicas Campus de Santiago - APDR. Cabo Verde, Portugal. Viale, Riccardo; Etzkowitz, Henry. 2007. Third Academic Revolution: Polyvalent Knowledge; the DNA of the Triple Helix. University of Milano Biccocca, Milano. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Undang Undang Nomor 09 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

38


39


The Explanation of Digital Disruption in Indonesia Marsya Chairuna

Introduction In the year of 2015, Jakarta received a status of the city with worst traffic in the world by British lubricant producer, Castrol. According to the survey conducted by Castrol, Jakarta is the city with the highest amount of starts and stops, with an average of 33,240 per driver per year. The traffic situation in Jakarta will always be a highlighted problem in Indonesia. Many people from different fields and industries, different level of education — in the range between professors and undergraduate college students — have tried to propose a solution to resolve the problem. Large variety of solutions have been proposed, including alternative transportations. The citizens of Jakarta were very excited to welcome ride-hailing services, including GO-JEK in 2011 and Uber in 2015. As predicted, ride-hailing services in Indonesia have been growing in highly rapid rate — during its first launch, GO-JEK only had 20 motorbike drivers and 100 users, while in 2015, the number of motorbike drivers have tremendously increased to 220,000 motorbikes with 10 million users. Uber is no different. Their presence has created an intensive, head-to-head competition with established taxis and corner-street ojek, which recently reached its peak last month in Jakarta as violence erupted in a protest against the ride-hailing applications, where employee of top taxis industry were blaming the modern service for their declining income. 40


As a undergraduate Industrial Engineering Management student, I see this phenomenon as a great symptom of Industrialist’ Dilemma in Indonesia. This writing will explain further through my perspective as Industrial Engineering student and McKinsey’s recent framework of digital strategies.

Disruptive Innovation Professor Clayton Christensen from Harvard Business School defines disruptive innovation as a process by which a product or service takes root initially in simple applications at the bottom of a market and then relentlessly moves up market, eventually displacing established competitors. The disruptor are disrupting the market by creating new demands and types of customers.

Professor Clayton Christensen also stated reasons for the collapse of sustaining companies. The incumbents or disruptee is over concentrating on improving the existing industry activities, but has lack of attempt to execute breakthrough innovation based on technology. GO-JEK and Uber are disruptors — they perform a disruptive innovation with modern business models. Thus, they establish a new market by giving access to latent demand and unutilized resources which previously excluded from the market dominated by disruptee with conventional business model. This is an event where the fittest survive. The product life cycle will explain how improving the existing process is never enough.

41


The Product Life Cycle

The product life cycle is an important concept to describe the stages of product. It goes through from when it was first thought of until it finally is removed from the market. Some continue to grow and reach the final stage, while others rise and fall because they cannot penetrate the market. The main stages of the product life cycle are: 

Concept Creation and Concept Development — researching, developing and then launching the product

Market Development — when sales are increasing at their fastest rate

Business Optimization — sales are near their highest, but the rate of growth is slowing down, e.g. new competitors in market or saturation

Harvesting — final stage of the cycle, when sales begin to fall

While the incumbents attempt to improve their already-vulnerable existing business process, they only lengthen the business optimization stage, it will eventually begin to fall because of market saturation. GO-JEK and Uber arere-inventing the business through breakthrough, disruptive innovationinitiate the stage of product life cycle with enhanced technology 42


and product platform, to actually bring sustainability to the product or business.

The Framework of Digital Strategies The framework of digital strategies is a framework of McKinsey & Company. Basically, it describes the changes within companies or business that result in modest and extreme impact on the whole industry through the change in supply and demand. By understanding the framework, we can understand how GO-JEK and uber win big, while the incumbents are failing behind in profitability.

43


Modest Degree of Change

For the past decade, customers had been compromising to the conventional service delivery and quality of taxi industry incumbents. To ride a taxi, customers usually did the following: (1) call to order a taxi, (2) hailing a taxi on the street, or (3) taking a taxi at taxi stand, in which three of them involving several intermediaries. There’s significant lag time between the point when customers purchase “product” or service and when they receive it. Back

44


then we wouldn’t complain since the practices are carried out everywhere, although sometimes we were all complaining deep inside. “I wish the taxi would just pick me up at my home/office.” “I wish I could know where the driver is and when he will arrive.” “The fare is too expensive, but I have no other choice.” These desires are latent demands: demand for a product or service that a consumer cannot satisfy because because the product or service is not available, or because they do not know that it is available.

Latent Demand and Underutilized Resources Latent demand exists when products being sold in the market is not available in small increments. This is a term called bundling. Example, if consumers want to read about beauty content in the newspaper, consumers still have to buy the whole newspaper since they cannot choose to buy particular article. Technology development can provide allowance for customers to find a product of exactly what they want, as well as where and when they want it —  even sometimes at the price they desire. Customers now have the ability to fulfill their previously unmet needs and wants. This will lead to escalation of expectation: consumers have the capability to fulfill their needs and wants consumers thus they have higher expectation. Example: Before using GO-JEK, customers were compromising about the quality of corner-street ojek. They were fine if they had to approach the ojekthemselves at the pangkalan (pool); they were fine with much higher fare than the fare charged by GO-JEK. As they are now able to reserve a GO-JEK where and when they want it, they are expecting more and more; they start to perceive these corner-street ojek’s service as dissatisfactory. In terms of supply, there is a term defined as underutilized resources. According to business dictionary, underutilized resource is defined by a condition wherein the resources available are not being used to their fullest potential. The example of firms that have taken advantage and facilitated the 45


use of these underutilized resources is Airbnb and Uber; Airbnb does not construct a new building to procure rooms available, instead, they bring together people’s spare bedrooms. Underutilized resources also offer new, large variety of choices available and allows a new demand to be unraveled and fulfilled.

Market Match New players in transportation industry, such as GO-JEK and Uber, have seen and taken advantage of both latent demand and underutilized supplies; which are previously excluded from the market by incumbents. By giving access to demand and supply through advance information technology application, a new type of market is established. Important thing to remember: The demand and supply forces remain the same. They didn’t just come out of nowhere; they have always been there all along. GO-JEK and Uber finds a new, cheaper, and easier way to connect supply and demand by implementing unconventional business model.

46


This new market is a kind of market that will NOT compromise incumbents’ services that are lack of choices and have low predictability; This is a new market whose unmet demands have been fulfilled and purified. Services that they once considered as attractive — such as application software — no longer excite them; in fact, they perceive those as basic. This purification of demand leads to escalating expectation: Consumers are no longerimpressed by receiving what they want. The phenomenon of escalating expectation also leads to the collapse of sustaining companies with conventional business model if they cannot offer predictability and convenience like new players such as GO-JEK and Uber can.

47


New Value Proposition

Escalating expectation gives rise to a new value propositions that give customers what they didn’t realize they wanted. Another value proposition is an offer of “connected” products and services. GO-JEK and Uber offers services with attached information and extension of digital features, therefore increases predictability of services. Customers are informed how many GOJEK or Uber drivers are available nearby, their names and contacts, type of cars, estimated time of arrival, and transparency of pricing — all using software application. Although incumbents in transportation industry have developed software application, it’s safe to say that they are late. GO-JEK and Uber has the first-mover advantage as the first companies to offer digital extension of their products and services. Moreover, they are also the current best-mover in the industry. While the best-mover advantage — not first-mover advantage —  has the most competitive advantage and determines the market leader, GOJEK and Uber are both.

References 

Dawson, Angus, Hirt, Martin, & Scanlan, Jay. (March 2016). “The economic essentials of digital strategy”. McKinsey Quarterly. Link: http://www.mckinsey.com/business-functions/strategy-and-corporatefinance/our-insights/the-economic-essentials-of-digital-strategy

48




Uber and GO-JEK just the start of disruptive innovation in Indonesia. Link: http://theconversation.com/uber-and-gojek-just-the-start-ofdisruptive-innovation-in-indonesia-43644



Slide Kuliah Manajemen Teknologi, Program Studi Manajemen Rekayasa Industri, Institut Teknologi Bandung

49


Hari Buku Nasional Apanya? Reynaldi S. N.

Sudah, tidak perlu disambut dengan gembira. Literasi di negeri ini masih jauh dari kata baik. Bagaimana tidak, buku yang diperbolehkan beredar saja masih dibatasi. Pembaca seakan-akan dipaksa menggunakan kacamata kuda, dibutakan dari buku yang ‘mengancam’ dan ‘tidak bermanfaat’. Hanya diperbolehkan membaca buku yang dipilihkan saja, dilarang tengok kanan kiri! Nanti ada hukuman dari pak kusir loh kuda, eh pembaca. Saya mencoba husnudzan, masudnya mungkin baik. Sepertinya memang kacamata kuda ini diperlukan supaya pembaca bisa berlari kencang menuju tujuan. Tujuan siapa? Ya yang penting tujuan lah pokoknya. Tujuan siapapun asal baik kan sah-sah saja. Jangan kebanyakan nanya deh. Tapi percuma jugasih kalau kita aja nggak baca. Tujuan yang ditetapkan itu tidak akan tercapai (atau malah tercapai?) Kesiasiaan kacamata kuda tadi dapat dilihat dari studi John Miller, Presiden Central Connecticut State University, yang membahas karakter perilaku literasi pada 61 negara. Indikatornya meliputi jumlah perpustakaan, koran sampai tahun pendidikan yang ditempuh serta ketersediaan komputer. Hasilnya mantap, Indonesia peringkat 60. Kamu kira penduduk Indonesia rajin membaca kayak negara-negara skandinavia? Ya nggaklah. Ranking 60 kok mau dibandingkan dengan ranking papan atas. Nggak heran apabila istilah-istilah yang masih dianggap tabu misal komunisme saja, masih banyak salah kaprah. Padahal kalau memang mau baca, tinggal ketik sedikit dan klik sana-sini di internet juga ketemu. Softcopy buku Das Kapital tersedia kok di internet, nggak perlu takut dikira antek PKI. Kalau takut, hapus aja riwayat di browsernya setelah mengerti apa itu komunisme. Sekalian cek di internet apa itu neo-liberalisme dan ekonomi pancasila, supaya nggak dicurigai. Barangkali istilah yang lebih diterima saja kamu masih harus belajar lagi kan. Semua hal ini mungkin terdengar memprihatinkan, tapi saya percaya bahwa harapan selalu ada. Hal itu makin saya yakini setelah dikirimi foto sebuah surat keputusan. Menurut surat itu sih ada kebijakan yang 50


mewajibkan siswa untuk membaca, minimal selama waktu yang ditentukan dalam kebijakan tersebut. Bagus nih apabila kita sendiri mulai memupuk budaya membaca, kalau bisa bahkan ditambah budaya menulis. Setelah berbagai usaha dilakukan, kita tinggal menanti hasilnya. Apakah anarkisme masih akan diartikan sebagai paham penuh kekerasan? Apakah komunisme masih akan diartikan sebagai ideologi seorang atheis? Apakah feminisme masih akan diartikan sebagai ideologi wanita yang malas menjadi seorang ibu? Mari berfantasi!

Catatan: Isu pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi yang disikapi oleh GEMA DEMOKRASI (Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi) jelas bukanlah peristiwa yang sebaiknya terjadi di negeri ini. Semoga buku apapun yang mengandung ilmu secepatnya memperoleh sambutan yang layak.

51


Bandung Selatan, Mengapa Dikau Banjir Aditya Firman Ihsan

Mungkin belum lepas dari ingatan kita bahwa bulan Maret lalu, daerah bandung selatan kembali tergenangi oleh banjir. Dari BNPB, sekitar 15 daerah di Kabupaten Bandung terendam banjir yang kedalamannya berkisar antara 0.8 hingga 3 meter. Berbagai instansi dan pihak berbondong-bondong memberikan bantuan pada masyarakat yang terkena dampak banjir, apalagi bisa dikatakan banjir di daerah bandung selatan pada tahun ini termasuk yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir. Perhatian masyarakat bandung pun cukup teralihkan dengan apa yang terjadi. Banjir yang terjadi di Bandung Selatan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang terjadi satu-dua kali saja. Ia terjadi tiap tahun. Bahkan secara ekstrim bisa dikatakan bahwa masyarakat bandung selatan begitu terbiasa dengan banjir yang terjadi sehingga sudah menjadi rutinitas yang tak harus dikhawatirkan lebih. Jika ditarik mundur pun, pola tahunan banjir yang terjadi sudah muncul sejak tahun 1980 atau dengan kata lain 3 dekade yang lalu. Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan sederhana, ada apa dengan Bandung Selatan sehingga banjir selalu menjadi rutinitas yang tak kunjung usai? 52


Mangkok yang Padat Apa yang biasa disebut sebagai ‘Bandung Selatan’ ketika terjadi permasalahan banjir sesungguhnya sebuah area di Kabupaten Bandung yang tergabung dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Sungai Citarum sendiri merupakan sungai terbesar dan terpanjang di wilayah Provinsi Jawa Barat yang mengalir lintas Kabupaten/Kota. Bersumber dari Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, sungai ini mengalir ke bagian tengah provinsi Jawa Barat, melwati waduk Cirata dan Jatiluhur hingga terus ke utara dan bermuara di Laut Jawa di daerah Muara Gembong. Aliran Citarum yang memanjang hingga total sekitar 269 km ini kemudian dapat dibagi menjadi 3 DAS besar, yakni DAS Hulu, DAS Tengah, dan Das Hilir. DAS Hulu meliputi mata air Gunung Wayang hingga ujung Sauguling, Das Tengah meliputi 3 waduk (Saguling, Cirata, Jatiluhur), dan DAS Hilir meliputi sisanya hingga muara. Pada dasarnya sungai Citarum merupakan komponen alam yang cukup penting untuk berbagai keperluan dan manfaat. Sungai ini mengairi ratusan ribu hektar sawah, terutama di sekitar Pantai Utara Jawa Barat melalui jaringan irigasi Jatiluhur, sumber air bagi penduduk Bandung dan Jakarta, serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menghasilkan daya 1.400 MW untuk pulau Jawa dan Bali. Namun, akibat kurang baiknya penataan dan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali, sungai Citarum menjadi sumber masalah, yang mana salah satunya adalah banjir. Banjir merupakan hal utama yang menjadi rutinitas DAS Citarum bagian hulu. Kondisi geografisnya membuat terciptanya genangan adalah suatu hal yang wajar. Secara geografis, DAS Citarum Hulu berada di 1070 15’ 46,27” 1070 57’ 1,99” Bujur Timur dan 60 43’ 8,65” – 70 14’ 32,09” Lintang Selatan dengan luas area 180,270 hektar. Elevasinya berkisar antara 600-2.300 m di atas permukaan laut yang mana elevasi terendah berada di tengah DAS dan elevasi tertinggi berada di daerah utara dan selatan. Hal ini membuat DAS Citarum Hulu berbentuk cekung seperti mangkok. Kawasan sekitar DAS ini pun sering disebut dengan cekungan Bandung. Sekitar 86 ribu hektar lahan di bagian tengah merupakan daerah daratan yang sangatlandai, yang mana kemiringan lereng kurang dari 8%.

53


Kondisi geografis seperti ini seharusnya memang membuat DAS Citarum bagian hulu dijadikan kawasan yang tidak seharusnya dipadati oleh pemukiman. Bahkan jika perlu pemanfaatan ruang pada DAS Citarum Hulu tidak diperuntukkan untuk kawasan pemukiman dan fungsi kawasan lindungnya lebih dimaksimalkan. Apa yang terjadi di DAS Citarum Hulu memang bisa dikatakan diakibatkan oleh memadatnya kawasan pemukiman di DAS tersebut sehingga pertumbuhan penduduknyatidak terkendali. Penduduk di cekungan bandung itu tumbuh pada kisaran 3% per tahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan pertumbuhan yang cepat. Apalagi mengingat cekungan ini berbatasan dengan kota Bandung sehingga 54


wilayah ini dijadikan wilayah pengembangan yang fasilitas umumnya berorientasi langsung ke Kota Bandung.

Dapat dilihat bahwa pertumbuhan penduduk di kawsasan cekungan bandung atau sekitar DAS Citarum Hulu diproyeksikan akan bertambah pesat dari waktu ke waktu. Berkembangnya pemukiman tanpa perencanaanyang baik pada zona citarum hulu pun membuat fungsi kawasan lindung baik hutan maupun non hutan jadi berkurang, budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi, perubahan tata guna lahan, pencemaran baik dari industri maupun rumah tangga, kadar erosi yang semakin tinggi, hingga berujung pada sedimentasi yang berlebihan. Melihat dari segi iklim pun, cekungan Bandung , beserta wilayah sekitar Bandung lainnya termasuk wilayah beriklim tropis dengan temeratur yang hangat dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Beberapa wilayah daaratan tinggi di sekitar Cekungan Bandung dengan ketinggian lebih dari 1500 m dari permukaan laut beriklim sedang dengan temperatur yang sejuk sepanjang tahun. Secara umum, pola hujan di Cekungan Bandung tergolong pola monsunal dengan musim hujan di awal dan akhir tahun serta musim kemarau di pertengahan tahun. Bahkan beberapa kali curah hujan yang terjadi di sekitar Bandung melebihi curah hujan normal bahkan hingga mencapai ambang batas ekstrim. Secara geografis sendiri, curah hujan tertinggi berada pada sekitar daerah Solokan Jeruk dan Majalaya.

55


Banjir, sebuah Kewajaran DAS Citarum Hulu, terutama kecamatan Dayeuhkolot, Bojongsoang dan Baleendah, merupakan daerah yang selalu menjadi langganan banjir dari 56


tahun ke tahun. Banjir ini pun selalu tepat terjadi sekitar maret atau desember. Dengan melihat kondisi daerah itu sendiri seperti yang terpaparkan sebelumnya, kita bisa melihat bahwa hal ini disebabkan oleh gabungan beberapa hal sekaligus. Melihat dari curah hujan, jelas bahwa curah hujan di sekitar Bandung relatif tinggi sekitar Maret dan Desember. Ketika air hujan turun, ada tiga kemungkinan kemana air hujan ini akan pergi, yaitu mengalir melalui sungai, meresap ke tanah, atau tergenang. Untuk kondisi yang pertama, sungai memiliki kapasitas aliran maksimal yang bisa dialirinya. Ketika jumlah air yang mengalir (debit) melebih kapasitas maksimal, maka air tersebut akan meluap ke daerah sekitarnya yang memiliki ketinggian rendah. Apabila ketinggian daratan sekitar sungai tidak terlalu jauh dengan permukaan tertinggi aliran sungai, maka jumlah daratan yang tergenang akan semakin luas. Terciptanya luapan air sungai sebenarnya juga dipengaruhi oleh struktur anak sungai terkait yang menjadi sumber aliran sungai utama. Anak-anak sungai tentu akan meningkatkan debit air sungai. Ketika anak sungai ini bergabung ke sungai utama di beberapa tempat berbeda yang cukup jauh, maka peningkatan jumlah debit air sungai utama tidak akan terlalu naik secara drastis, sebaliknya, hal itu akan mengakibatkan meningkat drastisnya debit air sungai utama pada satu lokasi.

Kondisi kedua sangat ditentukan oleh jumlah tutupan lahan yang dapat menyerap air. Tentu kapasitas serap lahan memiliki keterbatasan sehingga pada jumlah tertentu, air akan tetap menciptakan genangan, namun jumlah tutupan lahan ini akan menentukan runoff (air larian) atau limpasan air yang mengalir di permukaan. Air yang tidak terserap ke tanah tentu akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, yang secara ideal seharusnya tertampung oleh sungai. Ketika curah hujan cukup tinggi, di tambah dengan tutupan lahan resapan yang kecil, maka jumlah air larian akan semakin tinggi. Apabila air 57


larian ini bisa mengalir ke sungai dan kapasitasnya mencukupi, tentu tidak akan menjadi masalah, namun bila tidak, akan tercipta genangan, yang mana merupakan kondisi ketiga. Sekarang ketika melihat Citarum, khususnya bagian Hulu, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, kita ketahui bahwa curah hujan di sektiar Bandung memang relatif tinggi sekitar Maret dan Desember. Hal ini tentu akan mengakibatkan debit air citarum akan meninggi secara signifikan pada dua waktu tersebut. Apalagi ketika melihat struktur dari Citarum sekitar DAS Hulu, banyaknya anak sungai yang bertemu di satu lokasi yang berdekatan membuat peningkatan debit air di lokasi tersebut menjadi sangat tinggi ketika hujan.

Di sisi lain, padatnya kawasan pemukiman di sekitar DAS menimbulkan terjadinya degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis yang meningkat. Artinya, tutupan lahan resapan menjadi sangat kecil sehingga air hujan otomatis langsung menjadi air larian yang entah tergenang, atau mengalir ke sungai utama Citarum. Padahal, elevasi lahan lebih rendah dari elevasi muka air banjir sungai, sehingga air larian tidak bisa mengalir sehingga menjadi genangan. Selain itu, kapasitas sungai Citarum sendiri juga semakin mengecil karena pendangkalan akibat sedimentasi dari pencemaran limbah, baik dari pemukiman, industri, maupun pertanian, ataupun dari kadar erosi yang semakin tinggi karena gundulnya hutan yang 58


seharusnya bisa menjaga kekuatan tanah. Kedua hal ini, baik sedimentasi maupun erosi diakibatkan oleh banyaknya alih fungsi lahan sekitar hulu Citarum dari hutan menjadi sawah, perkebunan, atau pemukiman. Selain itu, sampah padat yang terbuang ke sungai pun mengakibatkan kapasitas sungai menurun karena ruang yang seharusnya bisa diisi oleh air jadi terpenuhi oleh sampah.

59


Semua keadaan itu lah yang kemudian menjadi penyebab wajar terjadinya banjir di sekitar Bandung Selatan. Paling tidak 3 kecamatan selalu tergenang air di tiap tahunnya. Terlepas dari padatnya pemukiman di sana saat ini, kondisi geografis dan iklim sudah menjadi rasionalisasi sederhana kenapa banjir selalu terjadi. Bahkan tercatat pada 1931 banjir sudah mulai menggenangi daerah Citarum Hulu ini. Berbagai cara mungkin sudah diupayakan, namun pada akhirnya kenyataannya banjir selalu menjadi langgaan. Bila tidak segera dicari penanganan atau solusi yang signifikan, banjir akan terus menghiasi hari-hari masyarakat Bandung Selatan tiap tahunnya.

Lantas Solusinya? Melihat pemaparan sebelumnya, kita paling tidak telah melihat ada beberapa akar sebab. Yang pertama adalah genangan yang tercipta karena rendahnya elevasi lahan ketimbang elevasi permukaan sungai, sehingga ketika air sungai meluap, air justru akan turun ke daratan dan menciptakan genangan yang tidak bisa langsung surut walaupun air sungai sudah tidak meluap. Selain itu, genangan tercipta karena tutupan lahan di sekitar DAS membuat air tidak bisa terserap ataupun teralirkan semestinya. Sebab kedua adalah luapan sungai citarum yang disebabkan kapasitas air sungai yang tidak sebanding dengan debit air yang mengalir ketika musim hujan. Terakhir, sebab yang paling ekstrim adalah ketidaksesuaian tata ruang DAS Citarum yang seharusnya tidak pantas dijadikan kawasan pemukiman. 60


Untuk permasalahan yang pertama, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah pembangunan kolam tampungan banjir dengan sistem pompa atau secara umum disebut dengan sistem polder. Dengan sistem polder ini, daerah dengan elevasi rendah akan dilindungi dengan dinding melingkar untuk menahan aliran air dari luar. Di dalam sistem tersebut, dibangun suatu kolam yang digunakan untuk menampung air larian akibat hujan lokal di daerah tersebut yang tidak bisa mengalir ke mana-mana. Air yang tertampung di kolam (biasa disebut kolam retensi) ini akan dikeluarkan ke sungai dengan menggunakan pompa.

Walaupun pemerintah Jawa Barat sudah terus mendesak pembangunan kolam retensi di daerah Cieunteung, hal ini juga tidak bisa sepenuhnya dijadikan solusi utama. Apalagi untuk membangun kolam retensi, dperlukan pembebasan lahan yang cukup luas. Kolam retensi bisa menjadi sebuah solusi, namun tidak bisa menjadi solusi satu-satunya. Karena sebagaimana yang dinyatakan oleh Walhi Jawa Barat, kemampuan kolam retensi menampung air tidak akan maksimal karena hanya 12 hektar, sedangkan debit air Citarum berada di atas itu. Maka diperlukan solusi tambahan untuk menunjang kolam retensi ini. Elevasi lahan di sekitar hulu yang lebih rendah ketimbang permukaan sungai ketika banjir sebenarnya juga tanpa sebab. Padatnya pemukiman beserta pabrik-pabrik industri di sekitar wilayah tersebut merupakan salah satu faktor yang memperparah hal tersebut. Bangunan di sana, terutama pabrik-pabrik besar, menyedotair dari dalam tanah dalam jumlah yang cukup banyak sehingga mengakibatkan land subsidence atau penurunan muka tanah. Hal ini terjadi karena ketika air tanah terus disedot keluar, lapisan air tanah 61


jadi berkurang sehingga lapisan batuan di atasnya turun. Daya serap tanah wilayah itu pun sangatlah minim sehingga air-air tanah tidak bisa kembali mengisi lapisan air tanah. Mengingat hal ini, dirasa memang sangat diperlukan untuk mengatur ulang tata guna lahan di sekitar DAS Citarum Hulu agar penurunan muka tanah yang terjadi dapat dikurangi sehingga tidak memperparah cekungan yang mengakibatkan genangan banjir. 60.000 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 0

Untuk yang sebab kedua, satu-satunya solusi adalah meningkatkan kapasitas sungai citarum. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yang sering dikenal dengan normalisasi sungai, yaitu pelebaran badan sungai, atau pengerukan untuk menambah kedalaman. Pelebaran badan sungai sudah mulai sukar dilakukan karena daerah tepi sungai sekitar Citarum hulu sudah dipadati penduduk sehingga pelebaran akan memakan biaya banyak untuk pembebasan lahan. Pengerukan sendiri membutuhkan biaya yang cukup besar karena memang bukan hal yang mudah dilakukan mengingat alat pengeruk harus bisa menggapai dasar sungai. Kecuali kita memiliki teknologi lain untuk pengerukan selain dengan eskavator sederhana, pengerukan dasar sungai akan menjadi kesulitan tersendiri. Sebenarnya normalisasi sungai tidak hanya sekedar melebarkan atau mengeruk sungai, tapi juga pembangunan tanggul dan sudetan (anak sungai baru), namun untuk pembangunan sudetan sendiri sama sulitnya dengan pelebaran. Peningkatan kapasitas sungai dengan pengerukan ataupun pelebaran sendiri tidak akan bisa menjadi solusi yang berpengaruh signifikan bila tidak diiringi dengan solusi-solusi lainnya. Apa yang menyebabkan kapasistas Citarum berkurang adalah pendangkalan akibat sedimentasi ataupun erosi. Kedua hal ini terjadi karena tata guna lahan yang kurang tepat di daerah 62


sekitar hulu Citarum ataupun anak-anak sungainya. Seperti misalnya limbah dari Cikapundung yang berasal dari pembangunan besar-besaran di Kawasan Bandung Utara (KBU) memberi sumbangan sedimentasi cukup besar ke hulu sungai Citarum. Kalaupun dasar sungai diusahakan untuk dikeruk pun, selama sedimentasi dan erosi ini terus terjadi, pendangkalan pun akan juga terus terjadi dan kembali menurunkan kapasitas sungai. Selain itu, sampah sebagai penyebab lain menurunnya kapasitas air Citarum juga memerlukan perubahan budaya dan mental dari masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai dan menjaga kebersihannya. Untuk sebab terakhir, sebenarnya ada satu solusi praktis yang bisa diberikan, yakni relokasi seluruh masyarakat di wilayah cekungan Bandung dan membiarkan tempat itu memang untuk tergenang air. Bahkan lebih lanjut, genangan air yang muncul bisa dimanfaatkan lebih dengan menyengajakan pembuatan waduk atau hal-hal lain yang mungkin lebih bermanfaat. Hal ini sebenarnya cukup logis mengingat baik secara geografis maupun iklim sendiri, wilayah cekungan Bandung adalah wilayah yang secara pasti akan tergenang air ketika musim hujan sehingga wilayah itu tidak pantas untuk dijadikan kawasan pemukiman. Namun tentu hal itu bukanlah solusi yang semudah itu bisa dilakukan. Banyak resiko dan hambatan yang muncul untuk melakukan tindakan seekstrim itu. Merelokasi masyarakat adalah hal lain lagi yang bisa menjadi polemik berkepanjangan. Sedangkan pembangunan ulang kawasan itu, yang mana sudah dipadati pemukiman, dengan waduk atau hal lainnya juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah mungkin sudah melakukan beragam upaya untuk masalah banjir ini. Gerakan Citarum Bestari (Bersih, Indah, Sehat, dan Lestari) yang digalakkan oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat sejak 2015 kemarin mungkin bisa menjadi satu usaha tersendiri yang perlu didukung bersama. Dengan beragam program yang dicanangkan, sungai Citarum memang perlu segera mendapatkan perhatian lebih mengingat ini sungai dengan memiliki banyak potensi namun sayang kenyataannya justru menjadi sungai terkotor. Kasus terbaru bahkan mengatkan bahwa terdapat tumpukan sampah padat hingga 500 ton yang menutupi aliran anak sungai Citarum di perbatasan wilayah Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung. Selain masalah sampah, sudah jelas bahwa tata guna lahan sekitar hulu Citarum perlu diperbaiki. Dari data tahun 2010 tercatat bahwa kawasan hutan pada DAS Citarum Hulu hanya 63


60,835 hektar dari total 227,446 hektar luas DAS. Hal ini berarti hanya sekitar 26,75% luas DAS yang menjdi kawasan hutan dan akan terus berkurang hingga tahun ini. Padahal dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jabar sendiri tertulis bahwa luas kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS. 107°20'

107°30'

107°40'

107°50'

Fungsi Kawasan : Kawasan Hutan Luar Kawasan Hutan Spilway Waduk Saguling Sungai Waduk Saguling

CikapundungCipamokolan

6°50'

6°50'

# Y

Cihaur Waduk Saguling Cikeruh

Ciminyak Citarik

Ciwidey

7°00'

7°00'

# Y

Cirasea

7°10'

7°10'

Cisangkuy

107°20'

107°30'

107°40'

107°50'

Terlihat bahwa masalah banjir di Bandung Selatan merupakan permasalahan yang tidak sederhana. Mulai dari kesadaran masyarakat dalam merawat sungai hingga tata ruang Jawa Barat sendiri perlu dibenahi. Bahkan masalah pembangunan di Bandung Utara pun ikut berkontribusi dalam permasalahan banjir ini. Solusi yang bisa diberikan sebenarnya bisa dibagi menjadi dua, yakni upaya struktural, seperti pembangunan kolam retensi ataupun pengerukan, dan upaya nonstruktural, seperti edukasi ke masyarakat ataupun pembersihan sungai. Namun, keduanya sama-sama membutuhkan dana yang tidak sedikit. Gerakan Citarum Bestari dalam format baru di 2016 pun memakan dana hingga 120 miliar rupiah. Itu pun belum menyelesaikan masalah utama secara permanen. Terkait upaya non struktural sendiri pun membutuhkan kolaborasi dari banyak pihak mengingat sungai Citarum merupakan milik bersama. Jika melihat kembali kondisi alamnya, tidak mudah benar-benar menyelesaikan permasalahan banjir bandung selatan hingga tuntas. Air 64


seakan sudah ditakdirkan untuk menggenang di sana. Kolam retensi ataupun upaya-upaya lainnya pun hanya membantu mengurangi resiko, bukan menyelesaikan permasalahan. Mungkin bisa saja relokasi masyarakat di cekungan Bandung bisa jadi pertimbangan, walaupun sangat jauh dari feasibilitas. Selama ini sendiri pun, seakan tidak ada komunikasi yang baik antar komponen-komponen utama yang mungkin berperan, seperti pemerintah, akademisi, LSM, maupun masyarakat. Yang masyarakat lain ketahui hanyalah berita tahunan bahwa bandung selatan kembali tergenang banjir, beragam bantuan pun dikirimkan, musim hujan selesai, masyarakat lupa lagi, dilanjutkan musim hujan berikutnya, dan seterusnya. Apakah mungkin kita bisa memutus rutinitas tahunan ini? Entahlah. Semua solusi yang dijelaskan sebelumnya juga bukanlah merupakan solusi utama, karena pada akhirnya banjir akan tetap ada dan tiap tahun tim SAR dan beragam relawan pun harus siap turun lagi. Di dunia akademis, banjir selatan mungkin pernah jadi topik bahasan, tapi entah jadi apa. Di wilayah pemerintah, beragam program pun disiapkan, tapi juga entah hasilnya seperti apa. Ya, sepertinya semua dunia sibuk sendiri ketika padahal masalahnya sama. Bingung? Iya, tapi aku bisa apa? Aku hanyalah mahasiswa matematika yang senang menulis.

65


Amdal yang Terabaikan Oleh Proyek Reklamasi Teluk Jakarta Gladyza Vanska

KPK menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi, dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk, Ariesman Widjaja, pada hari Kamis, 31 Maret 2016, atas dugaan praktik korupsi dalam pengerjaan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Kasus ini menambah keruh kontroversi proyek yang telah mendapat gugatan hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dari kelompok nelayan dan aktivis LSM. Gugatan muncul setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur DKI No. 2238 Tahun 2013 pada bulan Desember 2014 yang memberi izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro Group. Menurut para penggugat, proyek itu dianggap hanya berfokus pada pembangunan, tetapi tidak memberi perlindungan bagi nelayan kecil dan lingkungan hidup di sekitarnya. Namun, kuasa hukum PT Muara Wisesa Samudra menyatakan bahwa pihaknya telah memenuhi Amdal sebagai persyaratan untuk mendapat izin reklamasi dari Pemprov DKI Jakarta. Idealnya, Amdal disertai dengan kajian dampak sosial dan lingkungan dari rencana pembangunan. Apakah benar rencana reklamasi di Teluk Jakarta, termasuk di Pulau G, tidak mempertimbangkan nasib nelayan kecil dan kelestarian lingkungan hidup? Rencana reklamasi di Teluk Jakarta diawali dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang ditandatangani oleh Soeharto. Sejak saat itu, terjadi adu aturan antara Pemprov DKI dan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) RI yang sama-sama ingin klaim wewenang untuk memberikan izin reklamasi. Pemprov ingin tetap melakukan reklamasi, sedangkan Kementerian LH menganggap Pemprov tak mampu mengendalikan dampak lingkungan yang akan muncul. Pada tahun 2009, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Menteri LH terhadap enam pengembang yang terlibat dalam reklamasi dan menyatakan bahwa proyeknya menyalahi Amdal. Namun, pada tahun 2011, MA memutuskan bahwa reklamasi di Teluk Jakarta legal dengan syarat harus ada kajian Amdal baru. Rencana reklamasi pun kembali dikukuhkan oleh Fauzi Bowo sebagai kepala DKI Jakarta pada tahun 2014 dengan diberikannya izin reklamasi Pulau G pada Agung Podomoro Group. 66


Mengapa Amdal dijadikan “senjata� dalam adu gugat tentang izin reklamasi? Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan kajian menyeluruh tentang dampak besar dan penting suatu rencana pembangunan pada lingkungan hidup dengan turut mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspek sosial-ekonomi. Amdal diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Adanya Amdal merupakan pewujudan dari upaya sadar seluruh elemen dalam pemerintahan, termasuk rakyat, untuk mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup untuk meningkatkan kesejahteraan. Amdal diperlukan dalam proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dapat mengakibatkan perubahan lingkungan hidup secara mendasar. Hasil kajian dari Amdal dimaksudkan sebagai acuan dalam pengendalian dampak negatif yang mungkin timbul. Proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang membuat 17 buah pulau baru dengan total luas sekitar 5.200 hektar termasuk ke dalam jenis kegiatan yang membutuhkan Amdal karena banyaknya komponen lingkungan dan jumlah manusia yang mungkin terkena dampak proyek ini. Namun, baru terdapat 10 dari 17 buah pulau yang telah dilakukan Amdal terhadapnya oleh para pengembang sebagai prasyarat mendapatkan izin reklamasi. Dokumen Amdal tersebut dikeluarkan per pulau. Dari semua dokumen Amdal yang diperiksa oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diketahui bahwa tidak semua pengembang mengkaji masalah-masalah yang menjadi kriteria penting kelengkapan dokumen pulaunya, seperti masalah banjir, kebutuhan material urukan, dan ketersediaan air bersih. Tiap dokumen tidak dikeluarkan sekaligus, tetapi tiap kali akan ada pembangunan di atas pulau. Mengingat luasnya wilayah proyek reklamasi, dampak lingkungannya tidak bisa dilihat per pulau saja, tetapi juga secara menyeluruh karena pembuatan satu pulau mengubah lingkungan di sekitarnya, jarak antar pulau cukup dekat, dan ada pulau-pulau lain yang juga terkena berbagai dampak proyek. Menurut Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK, San Avri Awang, akan ada persoalan yang terlewatkan dari kajian jika tidak dilakukan analisis dampak secara komulatif, misalnya masalah sedimentasi sungai dan penurunan kualitas air di sekitar perairan pesisir. Dokumen Amdal yang kajian masalahnya tidak lengkap dan dikeluarkannya pun per bagian pulau akan menyulitkan pengkaji dan pembaca untuk melihat masalah yang dihadapi secara garis besar. Ketidaklengkapan dokumen Amdal ini dapat mengindikasikan pengembang 67


memang tidak menangani Amdal secara serius. Tidak heran banyak anggota masyarakat yang mencurigai proyek reklamasi di Teluk Jakarta sebagai ladang korupsi para pengembang. Adanya kasus korupsi antara seorang pejabat DPRD DKI Jakarta dan seorang pengusaha pengembang mengingatkan kita bahwa tidak mungkin ada sebuah aksi korupsi tanpa ada sistem yang memfasilitasi kejadiannya. Dokumen Amdal seharusnya selalu dinilai oleh komisi penilai sebelum izin pembangunan disetujui dan diberikan ke pengembang. Komisi penilai terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah yang mengelola berbagai aspek dampak suatu proyek pembangunan, ahli di bidang keilmuan yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan jenis proyek yang dikaji, wakil masyarakat yang terkena dampak, dan anggota lain yang dipandang perlu. Ketua Komisi D DPRD DKI yang menjadi tersangka kasus korupsi itu merupakan pejabat di instansi pemerintah yang membidangi pekerjaan umum, tata ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup. Tidak diketahui apakah pejabat yang disuap itu termasuk ke dalam jajaran anggota komisi penilai. Namun, kasus ini menambah kecurigaan masyarakat terhadap instansi pemerintah yang bertanggung jawab untuk menilai dokumen Amdal secara objektif. Dilakukannya Amdal dengan benar dapat menjamin sebuah proyek pembangunan tetap berkontribusi dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh proyek reklamasi yang sukses dan tetap berwawasan lingkungan adalah reklamasi di pantai-pantai negara Belanda. Untuk mencegah terjadinya banjir pada 50% wilayah Belanda yang berada di bawah permukaan laut, pemerintahnya melakukan reklamasi secara besar-besaran dan mengubah lahan di pantai menjadi lahan pemukiman dengan tetap menjaga ekosistem pesisir. Akan tetapi, ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, menjelaskan bahwa reklamasi di Belanda dikaji dengan sungguh-sungguh karena urgensinya menyangkut banjir yang mengancam keselamatan warganya. Menurutnya, proyek reklamasi di Teluk Jakarta tidak sama gentingnya karena tidak ada ancaman bencana alam yang serupa dan sebaiknya Pemda DKI Jakarta menangani sumber ancaman banjir yang lebih genting saja yaitu masalah penurunan permukaan tanah di Jakarta Utara. Motif dicanangkannya proyek reklamasi di Teluk Jakarta dibenarkan oleh Ahok dalam pernyataannya pada 18 April 2016 bahwa pulau-pulau reklamasi 68


dibangun bukan karena adanya ancaman banjir di Jakarta, melainkan karena adanya faktor keuntungan ekonomi. Dalam masa penghentian sementara proyek reklamasi Teluk Jakarta, tentu diharapkan bagi seluruh elemen dan pemegang kepentingan untuk selalu menjaga transparansi dalam tiap tahap pembangunan agar tidak lagi ada kecurigaan antarelemen. Sebaiknya, dokumen Amdal menjadi dokumen sakral yang harus ditangani secara serius dan dibagikan hasilnya ke publik karena, di dalamnya, terdapat kajian dampak pembangunan yang menyangkut persoalan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Walaupun akan lebih mulia jika proyek reklamasi sejak awal bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup di sekitar pesisir Teluk Jakarta, tujuan Pemda DKI Jakarta untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan ekonomi sebaiknya diiringi dengan yang tanggung jawab untuk menjaga ekosistem Teluk Jakarta dan bahkan meningkatkan kualitas lautnya sehingga nelayan kecil pun terkena dampak positif dari pembangunan.

69


World Tobacco Process and Machinery: Teknologi yang Tak Diharapkan Nurina Maretha Rianti

Teknologi hadir untuk memudahkan pekerjaan manusia. Manusia menciptakan teknologi, tanpa menyadari bahwa di masa depan teknologi akan memperbudak mereka sendiri. Berapa banyak lapangan pekerjaan yang punah diakibatkan oleh datangnya teknologi terbarukan? Pekerjaan yang dulunya dilakukan manusia, kini diambil alih dan dikerjakan oleh sebuah benda bernama teknologi.

World Tobacco Process and Machinery, atau sering disingkat menjadi WTPM, Asia Exhibition 2016, adalah pameran tembakau sedunia yang diselenggarakan 27-28 April tempo lalu di Indonesia. Acara ini mengangkat tema mengenai proses dan mesin-mesin tembakau. Acara tersebut mengenalkan alat-alat produksi rokok yang sangat canggih, salah satu yang paling canggih adalah sebuah mesin yang dapat memproduksi rokok kurang lebih 2400 batang setiap menitnya. Dalam menyambut kehadirannya, banyak masyarakat yang menentang, utamanya adalah mahasiswa, dan lebih utama lagi mahasiswa dengan jurusan-jurusan kesehatan yang sangat menyadari bahayanya tembakau dan rokok. Namun acara ini mengantongi izin dari pemerintah, yaitu dari Kementrian Perindustrian. Mengapa diizinkan? Jawabannya adalah jawaban dengan alasan-alasan politis. Pada hari pengadaannya, masih banyak mahasiswa yang berdemo di sekitar lokasi, Jalan Expo Kemayoran, meminta Gubernur DKI Jakarta untuk mencabut izin, namun acara tersebut tetap berjalan. Acara serupa pada tahun 2012 berhasil digagalkan, namun kali ini sukses menjamah pasar Indonesia. Seorang teman bercerita bahwa pameran ini berdalih pameran tekstil dan garmen, namun nyatanya memamerkan mesin-mesin pembuatan rokok. Bukan perihal rokok adalah suatu yang tabu, tentu saja tidak tabu, banyak masyarakat Indonesia yang merokok. Tetapi teknologi ini sungguh sangat tidak diharapkan untuk ada di Indonesia. Dalam suatu berita di Kompasiana pada 24 April 2016, mahasiswa yang berdemo meyakini tiga hal 70


mengenai buruknya dampak jika pameran ini tetap dilaksanakan. Tiga hal tersebut adalah memperluas target pasar rokok di Indonesia, kususnya remaja dan anak-anak, lalu memperlihatkan pada dunia bahwa Indonesia sangat terbuka dengan industri rokok. Dan pernyataan terakhir yang menurut saya paling penting adalah, mendukung peningkatan produksi rokok yang berakibat pada peningkatan jumlah konsumsi rokok. Hal ini berdampak besar pada kesehatan masyarakat dan membebani anggaran JKN. World Tobacco Process and Machinery, bukan soal menyatakan pada dunia bahwa Indonesia terbuka oleh industri rokok, bukan masalah penjajahan atau pembodohan yang dilakukan oleh orang-orang asing yang ingin mengincar pasar Indonesia. Jika hanya masalah itu, industri asing sudah banyak dan masih banyak bertebaran di Indonesia, yang terbaru adalah kereta cepat. Teknologi kereta cepat bukan bicara soal kebutuhan masyarakat Indonesia, bukan hanya sekedar mengatasi lelahnya manusia-manusia kota berkutat dengan kemacetan. Tapi soal penanaman modal asing di Indonesia, dan ini menandakan bahwa Indonesia masih dijajah. Mungkin kita sudah merdeka dan bebas dalam berbicara. Tapi apa gunanya bicara tanpa aksi atau tanpa kerja keras membangun teknologi sendiri, sedangkan nyatanya kita masih menjadi budak orang-orang asing. Tetapi World Tobacco Process and Machinery bicara soal dampaknya ke aspek kritis lain, yaitu kesehatan, seperti yang dijelaskan di poin tiga mengenai dampak World Tobacco Process and Machinery yang diyakini mahasiswa. Rokok adalah candu, perokok aktif sangat tahu mengenai penyakit-penyakit apa yang akan bersarang di dalam tubuh mereka jika mereka terus menerus mengkonsumsi. Namun karena rokok adalah candu, mereka sulit tak bisa berhenti. Mengapa tidak mengembangkan teknologi untuk menghilangkan kecanduan rokok dan membranding terapi-terapi untuk tidak adiktif lagi terhadap benda batangan tersebut. Rokok tidak hanya berbahaya bagi konsumennya, tetapi juga bagi orangorang disekitar si konsumen, mereka juga sering disebut dengan perokok pasif. Karena itu, Anda yang merokok tidak pantas marah saat ditegur oleh orang di sebelah Anda untuk mematikan rokok Anda, selama tempat tersebut tidak terdapat penanda “Area Merokok�. Jika Anda egois dan tak peduli dengan tubuh dan kesehatan Anda, para perokok pasif juga egois dengan peduli terhadap kesehatannya tanpa menghiraukan Anda terganggu karena 71


mereka tegur. Karena banyak artikel yang membicarakan bahwa perokok pasif berrisiko tiga kali lipat dibanding perokok aktif. Jika belum mampu mencipta teknologi untuk melindungi perokok pasif atau menghilangkan candu rokok. Pemerintah dapat mencoba untuk mendukung kegiatan-kegitan kampanye World No Tobacco Day pada setiap 16 Februari, bukannya mendukung kegiatan pameran dari industri-industri rokok. Kepentingan politik tersebut telah memperlihatkan bahwa pemerintah tak mampu berpikir jangka panjang atau melihat dampaknya pada aspek lainnya. Dan juga memperlihatkan bahwa pemerintah masih egois, egois mementingkan kepentingan aspeknya sendiri (industri, -red), tidak mementingkan masyarakat dan aspek lainnya (kesehatan, -red). Indonesia memiliki banyak kampus, juga banyak kampus yang bertitel ‘teknologi’, lalu mengapa masih banyak mengimpor teknologi-teknologi asing? Mungkin salah satu poin penyebabnya adalah poin apresiasi, Indonesia juga punya orang-orang hebat, tapi mereka pergi ke negara-negara yang sudah hebat. Membantu menciptakan teknologi disana, lalu menjualnya untuk Indonesia. Pemerintah belum mampu menjaga orang-orang hebat, atau mungkin belum cukup ‘kaya’ untuk memfasilitasi orang-orang hebat Indonesia yang tentunya ingin ‘dibayar mahal’. Selain karena belum mampu, media massa juga mendukung kemajuan teknologi-teknologi asing di Indonesia. Saat bangsa lain sudah menggunakan teknologi terbarukan, dengan mudahnya masyarakat Indonesia terprovokasi untuk mengikuti, bahkan pada saat belum dipikirkannya apa dampak jika diterapkan di Indonesia dengan kultur yang berjalan di bangsa ini. Mungkin dapat direnungkan, mengapa selama masih dijajah hingga hari merdeka, 17 Agustus 1945, hingga tahun 2016, orang-orang asing masih dapat menduduki pasar-pasar industri di Indonesia? Hanya sedikit ilmu yang dapat kita curi dari mereka hingga terbentuk industri-industri kecil milik anak Negeri, namun tetap saja masih kalah saing. Mengapa juga Jepang dapat cepat bangkit setiap setelah jatuh dari keterpurukan, baik bencana bom ataupun nuklir? Mengapa Kuba, negara miskin kini menjadi negara yang besar karena industri bioteknologi? Mengapa Indonesia, masih diam di tempat?

72


73


PKI Bangkit, Lelucon Kah? Aditya Firman Ihsan

2 hari yang lalu, 18 tahun reformasi menjadi refleksi bersama, 3 hari yang lalu 108 tahun lahirnya Boedi Oetomo menjadi tonggak momentum kebangkitan nasional. Dari dua hari bersejarah bulan Mei tersebut, keadaan yang terjadi justru malah anomali dalam kebebasan berekspresi. Bukannya memikirkan bagaimana Indonesia bangkit, yang beredar malah komunisme yang bangkit. Aku pun tergerak untuk sekedar menuliskan beberapa hasil obrolan dengan pegiat literasi, penjual buku, hingga dosen mengenai keadaan ini. -21 Mei 2016-----------------------------------------------------------------------------------------------

Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba isu mengenai bangkitnya komunisme muncul begitu saja entah darimana. Hal ini pun kemudian diikuti 74


serangkaian tindakan yang tidak masuk akal, dimulai dari menangkap orangorang yang berartribut palu arit hingga penyitaan buku-buku bernuansa kiri. Beragam respon pun tercipta menanggapi, seperti adanya Pernyataan Bandung yang menolak pemberangusan buku atas nama puluhan penggiat literasi, sastrawan, penulis, dan budayawan. Beberapa pihak memilih untuk diam dan mengambil wilayah aman, menganggap ini hanyalah permainan isu yang selalu terjadi di percaturan kepentingan di Indonesia. Spekulasispekulasi menghiasi. Berbagai pertanyaan secara wajar muncul menyikapi: Ada apa gerangan?

Asal Mula Untuk memahami keadaan, mungkin kita perlu menyelidiki sedikit mengenai rangkaian pola yang menghiasi fenomena yang menarik ini. Mulai munculnya buku-buku, tulisan-tulisan, maupun diskusi-diskusi mengenai paham kiri atau semacamnya sebenarnya sudah muncul sejak lama. Runtuhnya orde baru pada 1998 merupakan momen dimenangkannya kembali kebebasan berekspresi ke tangan rakyat. Diiringi penyeusaian aturan secara bertahap, masyarakat lebih bebas untuk mengeluarkan ekspresi masing-masing tanpa harus was-was ataupun khawatir akan represi aparat pemerintah yang dulunya menghantui. Beberapa contoh penyesuaian aturan itu adalah amandemen kedua UUD 1945 yang membubuhkan pasal 28F yang berisi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.� Selain itu, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia membuka ruang lebih pada tiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan media apapun. Beberapa tahun kemudian, pada 2003, aturan yang menjadi dasar dilarangnya paham komunisme yakni TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 pun disesuaikan dengan munculnya TAP MPR No. 1 Tahun 2003 yang lebih menghaluskan pelarangan tersebut agar sesuai dengan prinsip demokrasi dan HAM.

75


Mengenai komunisme atau PKI sendiri pun, beragam diskusi, tulisan, atau bahkan film bermunculan dengan semangat mencari kebenaran yang selama ini dipenjara doktrin dan kediktatoran orde baru. Kita sudah ketahui berbagai film dokumenter dirilis dalam rangka menyingkap fakta-fakta yang selama orde baru tertimbun dalam tekanan pemerintah, dari Shadow Play karya Chris Hilton yang mengungkap bagaimana tragedi 1965 direkayasa, hingga Senyap karya Joshua Oppenheimer yang bertemakan pembantaian massal 1965. Dalam wilayah literasi sendiri pun tidak sedikit buku-buku yang membahas beragam perspektif mengenai tragedi 30S, paham komunisme, ataupun PKI sendiri. Semua kebenaran muncul perlahan-lahan untuk menyembuhkan masyarakat dari kerancuan keyakinan terhadap sejarah. Epidemi buta sejarah yang akut melanda mayoritas masyarakat Indonesia paska orde baru menjadi hal wajib yang perlu segera ditangani. Mengingat sejarah menjadi sebuah gua gelap yang terjaga ketat selama orde baru, sebenarnya mencari kebenaran sejarah sudah menjadi hal yang sangat dinantikan bagi mereka yang masih punya kesadaran akademis atau minimal rasa untuk mempertanyakan. Apalagi bagi generasi-generasi muda yang tidak terlalu merasakan propaganda orde baru, tragedi 1965, komunisme, dan hal-hal semacamnya sudah secara wajar menjadi objek kehausan mereka akan pengetahuan dan wawasan baru. Namun, sayang merehabilitasi hasil cuci otak besar-besaran selama 30 tahun bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Seperti apa yang telah ku jelaskan pada tulisan lain (Palu dan Arit), 30 tahun orde baru adalah waktu yang cukup untuk membuat sejarah dan realita menjadi hal yang sukar dibedakan. Apa yang didoktrin dan dipropagandakan oleh pemerintahan orde baru menjadi kebenaran teryakini yang tak boleh dibantah atau sekedar dipertanyakan. Hal ini seperti apa yang dianalogikan oleh Plato dalam bukunya Politeia yang menjelaskan mengenai bagaimana persepsi mempengaruhi realitas manusia:

"Maka adalah sebuah gua, di mana ada beberapa tawanan yang diikat menghadap ke dinding belakang gua. Mereka sudah berada di sana seumur hidup dan tidak bisa melihat ke mana-mana, hanya bisa melihat ke depan saja. Akan tetapi mereka bisa melihat bayang-bayangan orang di dinding belakang gua. Bayangbayangan ini disebabkan oleh sebuah api yang berkobar di depan, di lubang masuk ke 76


gua ini dan orang-orang di luar gua yang berjalan berlalu lalang. Para tawanan bisa melihat bayang-bayangan orang ini dan suara-suara mereka yang menggema di dalam gua. Maka pada suatu hari, salah seorang tawanan dilepas dan dipaksa keluar. Ia disuruh melihat sumber dari bayangan ini semua. Akan tetapi api membuat matanya silau, ia lebih suka melihat bayangannya. Lama kelamaan ia bisa melihat api dan lalu ia mulai terbiasa dan melihat orang-orang yang lalu lalang. Kemudian ia keluar dan melihat matahari (simbol daripada kebenaran), yang sebelumnya hanya sedikit bayangannya yang terlihat, sungai, padang dan sebagainya. Lalu ia dipaksa kembali ke gua lagi dan hal pertama yang akan dilakukannya adalah membebaskan kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya akan marah karena hal ini akan mengganggu ilusi mereka. Akhirnya mereka bukannya terima kasih tetapi akan sangat marah dan membunuhnya."

Kebenaran yang diketahui masyarakat adalah kebenaran yang selama ini diberikan selama 30 tahun pemerintahan orde baru, ya bahwa komunisme terkait dengan pemberontak, musuh pancasila, ateis, dan stigma-stigma buruk lainnya. Kebenaran lain justru yang akan dianggap palsu dan salah. Pelanggaran Kebebasan Berekspresi Semangat reformasi 1998 sesungguhnya adalah semangat memperbaiki seluruh tatanan masyarakat, termasuk dalam hal pola berpikir dan kebebasan berekspresi. Banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan paska runtuhnya orde baru. Hal ini pun membuat isu komunisme tenggelam dalam berbagai permasalahan bangsa lainnya. Ketika muncul diskusi-diskusi atau buku-buku mengenai paham komunisme pun, hal tersebut tidak menjadi viral dan hanya menjadi konsumsi orang-orang tertentu saja. Namun mengingat betapa kuatnya tertanam, ketakutan terhadap komunisme tidak sepenuhnya hilang, namun menjadi dormant tersimpan dalam benak masyarakat, apalagi yang tidak bersentuhan dengan wilayah akademis. Dormant dalam hal ini berarti bahwa ide tersebut tertidur, namun suatu waktu akan mudah terpicu untuk aktif kembali. Selama bertahun-tahun sejak reformasi 1998, masyarakat hidup dengan ide anti-komunis yang dormant ini. Kalaupun ada tindakan-tindakan seperti pelarangan buku, itu hanya muncul sedikit dan tidak secara besar-besaran. 77


Tercatat oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), pada tahun 2006 ada 2 buku dilarang oleh kejaksaan, 2007 terdapat 14 buku dilarang di mana 13 diantaranya adalah buku teks pelajaran sekolah, hanya karena tidak mencantumkan kata ‘PKI’ di belakang 'G30S', dilanjutkan pada 2008 ada satu buku dilarang, dan 2009 terdapat 5 buku. Namun semua itu seharusnya terhenti setelah Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban Umum karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip negara hukum. Namun, entah kenapa, tetiba dalam setahun terakhir, gagasan antikomunisme yang selama ini Dormant aktif kembali dan merebak secara perlahan. Tercatat oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sejak Januari 2015 hingga Mei 2016 ini, terdapat 46 kasus pelanggaran atas kebebasan berekspresi, yang mana 40 diantaranya terkait dengan isu komunisme. Pelanggaran ini terdiri dari berbagai macam bentuk, mulai dari pelarangan acara (57, 9 persen), intimidasi (50 persen), pembubaran (21,1 persen), hingga perusakan (5,3 persen). Anehnya lagi, kuantitas kasus ini meningkat secara pesat di 2016. Hal ini terlihat dari 40 kasus yang tercatat sejak Januari tahun lalu itu, sekitar setengahnya (19 kasus) terjadi dalam rentang Februari-Mei 2016. (Data lengkap hasil rilis SAFENET ini dapat dilihat langsung di http://id.safenetvoice.org/pelanggaranekspresi/) Lantas, tidakkah kemudian kita berpikir, ada apa gerangan dengan 2 tahun terakhir?

Antara Spekulasi dan Fakta Memang, ketika berbagai tindakan pelanggaran kebebasan berekspresi bermunculan, terutama terkait dengan paham anti-komunisme, banyak yang mengatakan bahwa ini hanyalah pengalihan isu belaka. Seakan hal yang lumrah, pengalihan isu adalah gagasan yang selalu muncul dalam pikiran masyarakat ketika melihat fenomena di bangsa ini yang tidak bisa dijelaskan. Seakan-akan segala sesuatu di Indonesia ini adalah by design, dengan invisible hand, entah pemerintah atau bukan, yang mengontrol dan merancang segala kejadian yang ada. Spekulasi seperti itu wajar terjadi ketika selalu ada dark 78


side of the moon yang tidak pernah bisa diketahui publik mengenai apapun fenomena yang terjadi di negara ini. Tapi terlepas dari spekulasi tersebut, marilah coba kita mencari tahu. Tingkat kasus pelanggaran kebebasan berekspresi tercatat mulai muncul sejak awal 2015. Jika kita tarik mundur, apa yang cukup besar terjadi sebelum 2015, alias tahun 2014 adalah Pemilihan Umum, yang mana memenangkan pasangan Joko Widodo – Yusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk memimpin hingga 2019. Dari visi-misi dan beragam janji serta program yang dijanjikan Jokowi selama kampanye pada Pemilu 2014, salah satunya adalah bahwa beliau berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu. Hal tersebut tertulis jelas pada dokumen visi-misi beliau yang mana berbunyi:

“Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei (1998), Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998), Talangsari-Lampung (1989), Tanjung Priok (1984), Tragedi 1965-1966.�

Jelas tersebutkan bahwa tragedi 1965 yang selama ini masih menjadi kabut tebal dalam pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia termasuk dalam kasus yang harus diselesaikan, padahal kasus tersebut adalah kasus yang sangat sensitif. Bahkan karena janji tersebut, selama Pemilu 2014 kemarin beredar beragam kampanye hitam yang menuduh Jokowi sebagai pendukung PKI. Hingga akhirnya beliau menang pada pertarungan politik tersebut, mau tidak mau, janji pun harus dilaksanakan. Entah kenapa pada waktu yang cukup dekat, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer berjudul Senyap atau Look of Silence rilis dan mulai diputar pertama kali di Indonesia secara serentak pada 10 Desember 2014 dalam rangka memperingati hari HAM sedunia. Tentu saja hal ini tidak terjadi tanpa ada hambatan apapun. Beragam intimidasi terjadi terhadap pemutaran film ini di berbagai tempat yang mana salah satunya adalah Universitas Brawijaya, bahkan hingga berujung pada pembatalan pemutaran. Respon selanjutnya adalah pada 29 Desember 2014 Lembaga Sensor Film 79


(LSF) mengeluarkan surat yang menolak film Senyap seutuhnya, melarang pemutaran film Senyap untuk umum dan di bioskop. Walaupun begitu, beberapa pemutaran tetap lancar dilakukan, LSF sendiri pun memperbolehkan pemutaran selama dalam lingkungan terbatas. Pada awal 2015, dari sisi legislasi, pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pun mulai gerak dengan pengusulan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU ini pun menjadi salah satu dari 159 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR RI periode 20152019. Tentu, ini adalah langkah penting karena tanpa landasan perundangundangan, janji Jokowi di atas tidak akan bisa tercapai dengan maksimal. Beragam isu pun mulai menyebar mengenai bahwa usaha rekonsiliasi ini akan berujung pada permintaan maaf Jokowi pada korban kasus 1965. Bahkan sekitar Juli beredar kabar bahwa Jokowi akan meminta maaf pada keluarga PKI pada pidato kenegaraan 14 Agustus 2015 di hadapan DPR RI. Kabar yang sempat menjadi perbincangan di masyarakat itu pun akhirnya tidak terbukti dengan tidak disebutkan apapun mengenai PKI pada pidato tersebeut di kemudian hari. Seiring dengan isu yang menyebar, satu per satu kasus mengenai perlawanan terhadap paham komunisme pun muncul. Pada kurun waktu singkat, Januari hingga April 2015, tercatat ada 8 kasus intimidasi dan pelarangan kegiatan pemutaran film Senyap di berbagai tempat paska rilisnya pada 10 Desember. Selain itu merenteng berbagai kasus lain mewarnai 2015 diiringi dengan isu permintaan maaf pemerintah terhadap korban 1965 yang juga terus muncul. Di akhir 2015, tepatnya pada 10-13 November 2015, sekelompok aktivis HAM menggelar International Peoples’ Tribunal di Den Haag, Belanda, meminta pemerintah Indonesia bertanggungjawab atas tragedi 1965. Hal ini semakin menghangatkan pro-kontra mengenai apakah pemerintah harus meminta maaf atau tidak kepada korban 1965. Hingga akhirnya, frekuensi kasus-kasus tekanan terhadap apapun yang berbau komunisme, atau lebih luas lagi, berbau kiri, pun meningkat drastis setelah pemerintah melalui Kementrian Koordinator Polhukam memfasilitasi Simposium Nasional yang bertemakan “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan�. Simposium ini sesungguhnya digagas oleh Gubernur Lemhannas, Letjen (Purn) Agus Widjojo yang mana kemudian juga menjadi ketua panita pengarah acara yang dilaksanakan pada 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta tersebut. 80


Jelas, acara seperti ini langsung ditentang oleh beragam pihak, terutama yang sangat keras menyuarakan akan bahaya bangkitnya komunisme. Ketika simposium itu dibuka, massa yang tergabung dalam Front Pancasila, berunjuk rasa di depan lokasi. Front Pancasila sendiri merupakan himpunan dari beberapa organisasi, seperti Pelajar Islam Indonesia, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Laskar Sapu Jagat, Gerakan Nasional Patriot Indonesia, Center for Indonesian Community Studies, dan Front Pembela Islam. Penolakan juga terjadi dari beberapa purnawirawan Jendral, khususnya TNI AD. Beberapa menganggap simposium ini akan memicu kebangkitan PKI. Berbagai ormas pun merapat dan mengadakan beragam forum dan pertemuan untuk membahas hal ini. Yang akhirnya membuat kepala geleng-geleng adalah rencana pengadaan simposium ‘tandingan’ pada awal Juni bertemakan “Mengamankan NKRI dari Bahaya Komunisme” yang digagas oleh Gerakan Bela Negara bersama sekitar 200 purnawirawan tentara dan polisi beserta beragam ormas pada pertemuan 13 Mei 2016. Ditambah lagi, simposium itu akan diikuti dengan rencana peresmian organisasi bernama “Barisan Ganyang PKI”yang merupakan gugus tempur dan akan bermain fisik. Beragam perlawanan lainnya pun bermunculan dari berbagai penjuru sebagai respon terhadap isu bangkitnya komunisme. Kesimpulan Simposium 1965 sebenarnya menyatakan bahwa negara terlibat dalam peristiwa tersebut. Namun tentu hasil ini menuai respon yang bermacam-macam, beberapa pihak masih menyatakan diri menunggu hasil resmi, beberapa pihak lain menolak hasil tersebut. Simposium ini pun semakin memperpanas pro-kontra permintaan maaf pemerintah terhadap korban PKI. Hal ini ditambah dengan kuburan massal yang ditemukan oleh Kontras sebagai bukti terjadinya pelanggaran HAM 1965. Apakah pola itu cukup untuk menjelaskan keadaan? Ku rasa tidak.

Ideological State Apparatus Apa yang terjadi pada negara kita sekarang saat ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kuasa tidak lagi terpusat pada negara namun masih tetap menjaga masyarakat dalam kontrol, entah langsung ataupun tidak. Ketika terjadi pembubaran atau intimidasi kegiatan dari organisasi 81


kemasyarakatan, pemerintah sebagai yang seharusnya punya kuasa tidak melakukan banyak hal untuk benar-benar menindak dan menjaga agar masyarakat tetap berada dalam suasana demokratis. Kuasa terpusat menjadi terbagi-bagi dalam kuasa-kuasa kecil namun tetap dominan dalam kontrol masyarakat. Pangung pemerintah sekarang adalah panggung citra, sehingga kuasa terpusat bukan lagi hal yang pantas untuk dipakai selayaknya orde baru. Hal ini pun mengarah suatu konsep yang dikenalkan seorang Marxis Perancis bernama Louis Althusser mengenai bagaimana negara bertindak untuk menjaga kekuasaannya. Dalam sebuah esai yang diulis oleh Althusser pada 1970 berjudul Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation), Althusser mengemukakan teorinya mengenai ideologi dan bagaimana ideologi dijadikan senjata untuk mempertahankan kuasa. Teori ideologi yang dikemukakan oleh Althusser belandaskan dua tesis. Pertama, bahwa ideologi merupakan representasi hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensinya. Yang dimaksud dari relasi imajiner di sini lah yang dimaksud Marx sebagai false consciousness atau kesadaran palsu, yang mana menciptakan alienasi (keterasingan) manusia dengan realitas yang sesungguhnya. Secara sederhana hal ini dapat dilihat melalui analogi manusia gua plato yang mana manusia gua yang seumur hidupnya menghabiskan diri di gua akan terasingkan dari realitas sesungguhnya di luar gua. Ideologi yang mereka pegang pun hanyalah sekedar relasi mereka dengan dinding-dinding gua. Tesis kedua Althusser menyatakan bahwa representasi ide yang membentuk ideologi tidak hanya memiliki eksistensi spiritual, tapi juga eksistensi material. Artinya, ideologi pasti akan terejawantahkan dalam bentuk materi yang terwujud dan nyata, seperti tindakan ataupun benda. Selanjutnya, Althusser menjelaskan bahwa negara untuk mempertahankan kuasanya membutuhkan aparat-aparat negara, namun aparat ini tidak mesti dalam bentuk lembaga buatan pemerintah, tapi juga bisa terimplementasikan dalam kuasa-kuasa kecil seperti organisasi kemasyarakatan, media, atau sekolah. Dalam hal ini, ia pun membagi dua macam aparat negara (State Apparatus), yaitu Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA). RSA terdiri dari tentara, polisi, pengadilan, dan sebagainya, yang mana menjalankan fungsinya dengan kekerasan, baik fisik maupun non fisik, sedangkan ISA terdiri dari beragam macam institusi yang mana menjaga kekuasaan dengan ideologi. 82


Perbedaan mendasar antara dua bentuk aparatus ini adalah bahwa RSA cenderung merupakan satu kesatuan yang terdominasi oleh pemerintah, sedangkan ISA terbagi banyak dan plural, yang mana secara formal berada di luar kontrol pemerintah namun mengantarkan nilai-nilai yang sesuai dengan pemerintah untuk menjaga keteraturan dari dalam. ISA memiliki banyak bentuk, bisa agama, sekolah, maupun budaya. Ketika RSA secara jelas memperlihatkan kuasanya dengan tekanan/represi sehingga ia akan menjadikan ketakutan terhadap kekerasan sebagai senjata untuk menciptakan kepatuhan masyarakat, ISA cukup memanfaatkan ideologi dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. RSA dan ISA sebenarnya tidak pernah berbentuk terpisah. Sebuah aparat pasti memiliki fungsi ISA dan RSA sekaligus, tidak bisa murni represif atau murni ideologis. Semua bergantung pada dominansi fungsi yang terpakai. Indonesia masa orde baru sangat dominan menggunakan RSA melalui ABRI yang mana terus menerus mereproduksi kuasanya dengan represi. ISA digencarkan dengan propaganda-propaganda dan doktrin P4 melalui sekolah-sekolah, pelatihan-pelatihan, ataupun media-media lainnya. Ideologi anti-komunis ditanamkan secara perlahan melalui sektor-sektor privat ISA mengiringi tekanan RSA pada sektor publik.

Mencari Pola Setelah reformasi terjadi, pemerintah tidak lagi bisa menampilkan diri secara terbuka sebagai pihak yang menekan.Politik citra yang menjadi wajah utama demokrasi kita saat ini membuat pemerintah tidak bisa seenaknya menggerakkan institusi-institusi seperti polisi sebagai musuh masyarakat. Hal ini tentu membuat kekerasan tidak lagi bisa diandalkan secara langsung oleh pemerintah. Maka kemudian pemerintah pun mentransformasikan fungsi RSA dari aparat formal ke aparat informal seperti organisasi kemasyarakatan dengan tetap mempertahankan fungsi ideologis melalui pemanfaatan keyakinan masyarakat (dalam konteks Indonesia, paling utama adalah agama). Itulah kenapa dalam kasus-kasus mengenai pembubaran ataupun intimidasi kegiatan-kegiatan kiri, aparat formal pemerintah tidak pernah jadi garda terdepan, namun selalu ormas-ormas, yang mana ketika melakukan tindakan represif, aparat formal tidak akan berbuat banyak. Apalagi 83


sebenarnya muncul kabar mengenai bahwa salah satu ormas yang rajin melakukan tindakan represif, Front Pembela Islam, merupakan buatan TNI untuk jadi ‘tukang pukul’ atau ‘kambing hitam’ pemerintah agar aparat formal bisa cuci tangan dan terjaga citranya di mata masyarakat. Hal seperti ini memang masih sebatas teori ataupun spekulasi yang perlu diriset kembali lebih lanjut. Tapi melihat pola fenomena yang ada, seperti inkonsistensi dalam represi, imunitas terhadap aturan, maupun ketidakjelasan pemikiran, cukup sukar menafikan argumen bahwa ormas-ormas intoleran yang selama ini rajin menekan masyarakat bukanlah manipulasi pemerintah. Tentu akan sangat mudah mengontrol dan menekan masyarakat karena ormas-ormas ini punya dua fungsi dominan sekaligus, RSA dan ISA. Mereka akan punya banyak alasan untuk menekan dengan ideologi-ideologi yang ada, seperti atas nama agama atau pancasila, sekaligus bisa melakukan kekerasan namun tetap imun terhadap aturan. Kalaupun pemerintah tidak punya kontrol langsung terhadap ormas-ormas terkait, pemanfaatan ideologi dan keyakinan bisa dengan mudah dilakukan terhadap mereka. Sentilkan saja gagasan bahwa PKI akan bangkit, gelombang penolakan akan langsung muncul mengingat gagasan ini sudah dormant dalam pikiran masyarakat. Terkait pemberangusan buku-buku kiri yang akhir-akhir ini muncul, Majalah Tempo pada edisi 16-22 Mei ini menjelaskan bahwa hal ini bermula dari pertemuan Jokowi dengan empat kepala lembaga (mantan) RSA: Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, dan KASAD. Pertemuan ini didasari keluhan dari masyarakat dan sejumlah tokoh agama yang diterima oleh Jokowi mengenai maraknya atribut berbau komunis. Dijelaskan dalam laporan utama Tempo itu pun bahwa muncul dua laporan intelijen yang diterima Presiden: (1) Ada kelompok yang sengaja menciptakan berbagai atribut PKI untuk menciptkan keresahan, yang mana setelah menyebar, kelompok itu pula yang meributkan hal tersebut, dan (2) Ada kelompok yang memang berusaha menghidupkan kembali PKI. Yang dimintai Presiden Jokowi kemudian adalah menindak dua kelompok tersebut, yang dijadikan dasar instruksi bagi empat lembaga tersebut untuk menjadi RSA lagi. Akhirnya karena komentar-komentar bermunculan bahwa pemerintahan Jokowi menjadi bernuansa orde baru, Presiden kemudian meminta agar keempat lembaga tersebut, terutama TNI dan Polri, untuk tidak kebablasan.

84


Dari berita tersebut sebenarnya cukup aneh bila kita melihat bahwa semua ini hanyalah rekayasa pemerintah, mengingat Jokowi seperti plin plan. Maka tentu ada kuasa lain yang bermain. Di antara semua masyarakat yang terdoktrin oleh anti-komunisme ala orde baru, doktrin terkuat ada di tubuh TNI AD. Kenapa? Karena jelas, doktrin adalah landasan utama militerisme. Tanpa doktrin, prajurit hanya akan jadi pembangkang yang selalu bertanya. Apalagi dalam konteks sejarah, tragedi 1965 yang mana 7 jenderal terbunuh merupakan luka tersendiri. Sehingga paska reformasi sendiri pun, doktrin anti-komunisme akan terus kental ditanamkan dalam tubuh TNI AD. Jika muncul pertanyaan, kenapa angkatan darat? Karena yang berurusan dengan teritori masyarakat adalah angkatan darat ketika angkatan laut dan udara lebih sibuk mengurusi perbatasan ataupun pertahanan dari luar. Ketika Simposium 1965 dicetuskan oleh Agus Widjojo, beliau mengatakan bahwa kelompok yang paling kentara menolak simposium tersebut adalah tentara angkatan darat. Banyak purnawirawan TNI yang awalnya diundang pun secara terbuka menolak dengan tetap menganggap bahwa PKI itu pemberontak. Hal ini pun memecah internal TNI AD sendiri, terutama para purnawirawan. Bahkan internal pemerintah sendiri pun bisa beda pendapat. Ketika Luhut Binsar mendukung penuh Simposium 1965, Ramyzad Ryacudu justru sebaliknya, mendukung simposium tandingan yang diadakan gabungan Gerakan Bela Negara bersama ormas-ormas dan purnawirawan TNI-Polri. Apalagi ketika semakin menguatnya wacana mengenai bahwa pemerintah harus minta maaf pada korban 1965, isu kebangkitan PKI menguat dengan intensitas yang sama.

Lantas Bagaimana? Banyak spekulasi bisa muncul. Salah satunya adalah bahwa semua ini hanya implikasi dari konflik internal TNI AD mengenai rekonsiliasi 1965 dan permintaan maaf pemerintah terhadap korban, atau kemungkinan lain adalah semua ini hanya by design untuk kemudian kelak memunculkan kebutuhan akan kebenaran sehingga RUU KKR bisa ditekan untuk dipercepat dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Entah kuasa mana yang berperan, yang jelas ormas-ormas ataupun masyarakat umum hanyalah alat sekaligus objek, 85


aparat ideologis atau ISA yang menyusupkan nilai-nilai yang diinginkan pemerintah tanpa sadar. Terlepas dari kebenarannya seperti apa, toh semua masih hanya kirakira, ketika mempelajari semua fenomena yang terjadi sekarang ini, aku jadi hanya merasa korban yang bisa melihat dan mencari tahu seadanya. Mengapa? Karena ketika kepentingan memaninkan gagasan anti-komunis masyarakat yang dormant tapi kemudian aktif kembali, apa yang bisa kita lakukan? Bereaksi dengan kemudian membuat pernyataan sikap, diskusi, atau semacamnya? Mungkin itu perlu, tapi mungkin juga tidak. Karena apalah artinya jika hanya tindakan-tindakan responsif yang kemudian tidak berdampak apa-apa. Jika penyebab konflik selesai, pastilah isu ini akan dingin dengan sendirinya. Bisa saja memang perjuangan dilanjutkan dengan menuntut pemerintah ataupun DPR untuk memperbaiki semua aturan yang berhubungan dengan hal ini, seperti segera dibahasnya RUU KKR agar kebenaran bisa segera terungkap dan meluruskan seluruh doktrin mengenai PKI yang tertancap di masyarakat selama ini. Di tengah segala kemungkinan ini, hanya satu yang ku pikirkan, gerak apa adanya, tunggu semua generasi orde baru tersingkir dan generasi muda reformasi memegang Indonesia, maka pikiran-pikiran baru yang lebih segar dan bebas dari doktrin anti-komunisme ala orde baru bisa menghilangkan hantu-hantu ketakutan mengenai PKI dan semacamnya dari Indonesia. Ah sudahlah. Semua ini jadi terasa hanya permainan belaka.

86


87


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.