Aldy Istanzia Wiguna
Sesayat Rupa -manuskrip puisi-
Penerbit ____________
Aldy Istanzia Wiguna Sesayat Rupa Aldy Istanzia Wiguna Editor
: Aldy Istanzia Wiguna
Lay-out dan Tata Letak : Aldy Istanzia Wiguna Desain Sampul
: Aldy Istanzia Wiguna
Diterbitkan oleh ___________________________________ ___________________________________ ___________________________________ Cetakan Pertama, Juli 2017 12 hlm. ; 11 x 17 cm Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin penerbit
Isi di luar tanggung jawab percetakan
2
Sesayat Rupa Zaman : H. Zamzam
Mungkin, kita pernah hidup pada satu masa ketika gejolak menjadi alasan untuk tegak. Menuntun setiap gerak dimana perjalanan adalah catatan tentang kepayahan yang membaca beberapa amsal pada doa-doa panjang di ujung kemenangan. Menarasikan beragam gambar pada musimmusim pelengkap tentang jejak dan langkah dimana penghadapan masa tetap berjalan. Merenung pada setiap ayat hingga akhir pembahasan ketika zaman tetap bergelombang seperti biasa. Merekam tanda-tanda untuk pulang sembari mengulang setiap catatan emas tentang sebuah kebaikan. Merentang panjang pada sisa-sisa asa dimana kebangkitan menjadi alasan dari sekian banyak keniscayaan. Lalu setiap hati tetap merindu pada zaman dimana kemenangan adalah akhir dari sebuah keterasingan yang membuahkan manis.
2016
3
Aldy Istanzia Wiguna Ombak : A. Hassan
Ialah gemuruh ombak di lepas pantai yang tetap setia mendengarkan suara-suara beratmu. Merekam apa yang kemudian dicatatkan sejarah lewat alasan-alasan menang ketika perdebatan menjadi semacam garis tipis antara kebenaran dan kebatilan. Memperjuangkan setiap rindu untuk tetap bersatu pada satu naungan sederhana. Pulang menuju jejak-jejak emas masa silam. Sembari tekun menyimak, membaca atau tetap menulis ketika akhirnya perjalanan-perjalanan gelisah itu tetap hadir menemani kita. Lantas, kita butuh waktu-waktu paling sunyi. Merekam semesta kebaikan, menandai kepulangan atau kita akan tetap mengakrabi rindu, membacakan beberapa hikayat kemenangan. Berjalan dalam doa-doa yang tak pernah berjeda sembari mengingat ketika pada akhirnya kita pulang bersama riak dan ombak menang.
2016
4
Sesayat Rupa Pulang : Isa Anshary
Dia pernah mengutuk satu masa dimana benar dan batil hendak disandingkan. Meramu beragam rumusan ketika khianat menjadi semacam belati yang sengaja ingin ditikamkan kepada umat. Menulis kebencian dalam doadoa panjang yang mempertemukannya dengan akhir kebenaran. Lalu bertualang dan berpulang semenjak podium-podium itu menjadi rumahmu yang ke sekian. Merapikan beragam kata dan catatan dimana perjalanan adalah amsal yang mengabadikan kemenangan di ujung riak.
Sendiri
pada
sebagian
pertanyaan
tentang
menghimpun bahagia kemudian. Merapikan alasan-alasan tak biasa dimana renungan adalah catatan ringkas yang mengendapkan setiap aturan untuk tetap kita ikuti bersama. Menjawab segala kegelisahan ketika pada masingmasing ruang kita utuh mencatat namamu yang pulang membawa nasihat sederhana untuk gerak langkah dan kemenangan yang hampir purna hadir di depan mata kita sendiri.
2016
5
Aldy Istanzia Wiguna Sederhana : M. Natsir
Pada akhirnya, kita akan melawat baju lusuh itu. Mencatat sepeda
yang
membawamu
pulang
menuju
satu
kemenangan di ujung rindu. Menawar kepulangankepulangan tak biasa ketika serangkaian amanah usai dijalankan pada berkarib makna. Merapal doa agar mendung lekas usai mengakrabi langit negeri. Menulis dan merindu sebab-sebab kemenangan yang mudah dipatahkan tiran di kemudian hari. Bertutur tentang silang sengketa dan puisi-puisi panjang yang membawa semangat itu tetap menyala dalam dada. Memberi kabar pada generasi penerus tentang kedigjayaan mata, bibir, telinga juga hati agar dipergunakan untuk terus memperjuangkan apa-apa yang
kita
yakini
kebenarannya.
Menelusuri
makna
sederhana lewat surat cinta yang tak pernah selesai dituliskan hingga tualang mengakhiri kepulangan yang kemudian kian indah.
2016
6
Sesayat Rupa Angin : E. Abdurrahman
Pernah kubisikkan pada angin tentang riwayatmu yang tak kunjung selesai. Merekam lara dalam doa-doa panjang di kemudian hari. Melepas kemenangan ketika segala yang dirasa mewujud baik di depan sana. Lalu bertualang dan bersenandung indah melepas serangkaian kabar tentang perbaikan zaman yang takkan pernah usai kita lalui bersama. Merawat ikhlas di kedalaman rasa dimana jarak menjadi semacam hikayat tenang pada simpul-simpul keberanian yang mengabadikan kita nanti. Berjarak dalam beberapa tanda dan ingatan tentang kebahagiaan yang disimpulkan bersama. Menunjuk kebaikan-kebaikan lain dimana setiap kemenangan menjadi semacam rahasia yang tetap kita tandai lalu daras bersama dalam hikayat ta’dib yang mengembalikan kita pada kelopak kemenangan di sepanjang perjalanan yang kini sesak dengan keriuhan.
2016
7
Aldy Istanzia Wiguna Tualang : A. Latief Mukhtar
Di tapal batas, kita pernah merekam tanda. Menyelaraskan berkarib masa keitika doa-doa utuh kita rapalkan untuk tetap menyambut pengharapan. Menandai tualang baru dimana kita hendak duduk satu meja pada narasi dan serangkaian harap tanpa rupa. Meniti tangga kebaikan ketika doa-doa menjadi satu dari sekian banyak tanda untuk melengkapi apa itu kebaikan. Menanti pengharapan pada sebab-sebab yang tak biasa dimana doa-doa merindu kita untuk kembali pulang. Mengabarkan kebaikan pada setiap rumus ketika silang sengketa tak pernah melahirkan benci. Menggenapkan amsal-amsal membahagiakan di akhir perjalanan ketika gemuruh masa mendadak rindu untuk tetap pulang pada sebagian hikayat kebenaran yang tak boleh selesai kita perjuangkan. Lalu menafsir harap dalam perjuangan panjang tak kenal lelah itu.
2016
8
Sesayat Rupa Gemuruh : Shiddiq Amien
Di tengah gemuruh masa, kita pernah khusyuk mendengar nasihat-nasihatmu. Sendiri pada setiap potret perjalanan ketika akhirnya kemenangan menjadi perpanjangan tangan yang mengembalikan kita pada masa-masa riuh itu. Merapal pertanda di sepanjang ketakberhinggaan ketika akhir usia adalah makna yang selalu saja indah untuk diterangkan.
Mengendapkan
setiap
perjalanan
pada
hitungan kebaikan yang tak lagi berhingga. Menuntaskan masa tentang kegemilangan dan pengharapan yang tetap menyelesaikan sebagian amanah dimana ujung perjalanan adalah ajal yang membatasi pertemuan kita. Merekam setiap nasihat pada setiap gambar tentang perjalanan dan perjuangan yang tak kunjung selesai merekam kita dan kata. Lalu kembali mengarak sunyi, bertualang dalam doadoa panjang ketika gemuruh masa tetap merindumu pada satu jarak panjang yang utuh memisahkan kita dengan nasihat-nasihat bijakmu di kemudian hari.
2016
9
Aldy Istanzia Wiguna Tinggi : Maman Abdurrahman
Kita pernah melukis kabar, lalu pulang memuasalkan rasa. Mencatat setiap kebaikan pada gambaran sederhana atas amalan-amalan tak berhingga yang merekam rapinya setiap tutur dan ucap. Menggambar segala kemenangan di ujung barisan pertanda ketika hidup kita khidmatkan pada bakti yang tak pernah usai menandai kebaikan. Merumahkan apa itu kata dan makna. Menyatukan kalimat dengan tiap ucap juga perbuatan yang menghubungkan kemenangan lewat ta’dib yang mengabadikan perjuangan kita. Pulang untuk mencatat alasan-alasan utuh tentang memerdekakan rindu di kemudian hari. Menjadi semacam wasilah ketika setiap bentuk pemikiran menjadi semacam rahasia rasa yang kelak menyelamatkan umat dari godaan tiran tak berasa. Menguji pertanda dimana perjalanan adalah kehendak kata dan waktu yang sama-sama mengakrabi rindu bersama. Lalu bertualang sembari mengendapkan makna bahagia. Tetap mencatat benar dimana hidup merekam langkah.
2016
10
Sesayat Rupa Lengkap : Aceng Zakaria
Di sebalik kitab dan bukumu, aku pernah membaca rindu itu. Merekam ulang keberanian pada riwayat-riwayat asing tentang tekun dan giat yang tak kunjung usai kau ajarkan kepada kami. Menyelinap pada bahasa-bahasa terbaik saat terjemah dirimu akan hidup selalu menumbuhkan gelisah di dada agar lekas pulang menuju tempat segalanya dicipta. Menjadikan rindu ini tetap abadi dalam beberapa riak kata dimana perjalanan adalah rasa yang tetap berhitung. Saling mengeja dan membaca serangkaian tanda tanpa jarak. Lalu mengembalikan masa-masa berbahagia. Mendekat lewat doa di sepanjang perjalanan yang menyimpulkan keresahan hingga akhir perjalanan menjadi ketenangan yang selalu membuat senyum itu abadi pada ringkasnya hidup hingga akhir dari setiap catatan-catatan meneduhkan tentang apa dan siapa yang kemudian kita persiapkan untuk menjadi sang pemenang dan pengemban di kemudian hari.
2016
11
Aldy Istanzia Wiguna
Tentang Penulis Aldy Istanzia Wiguna, lahir di Bandung, 20 Maret 1991, baru saja menyelesaikan pendidikan akhirnya di Jurusan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Universitas Bale Bandung. Beralamatkan di Jln Moch Ramdhan RT 05/12 Desa Mekarsari Ciparay Kab. Bandung Jawa Barat 40381. Karyanya tergabung dalam 42 buku antologi dan 11 karya solo, diantaranya Sebenar Ayah, Di Saat Sempit dan Lapang (GP Publishing, 2013), Kepada Tuan Sapardi (Kaifa Publishing, 2013), Karena Kita Adalah Hujan (Nulisbuku, 2013), Perempuan Yang Berjuang (Camar Publishing, 2013), Pada Hujanlah (Pustaka Hamazah, 2014), Tembang Sebelum Pulang (Nulisbuku, 2014), Pada Sebuah Alamat (Nulisbuku, 2014), Sihir Hujan (Makna Publishing, 2014), Hikayat Pergantian Musim (Infinite Publisher, 2015), Surat Untuk Presiden (Nulisbuku, 2015) dan Hikayat Buah Apel (Reybook Publisher, 2016). Beberapa karya lainnya sedang dalam proses terbit. Penulis bisa dihubungi via facebook melalui akun Aldy Istanzia Wiguna, atau melalui akun twitter di@puisi21, atau melalui blog di huruftakselesai.wordpress.com
12