Aldy Istanzia Wiguna Aldy Istanzia Wiguna
Sihir Hujan -sehimpun puisi-
Penerbit Makna Publishing 2
Sihir Hujan Sihir Hujan Aldy Istanzia Wiguna Editor
: Aldy Istanzia Wiguna
Lay-out dan Tata Letak : Aldy Istanzia Wiguna Desain Sampul
: Aldy Istanzia Wiguna
Diterbitkan oleh Makna Publishing maknapublishing@yahoo.com rumahkedua.wordpress.com
Cetakan Pertama, November 2014 29 hlm. ; 11 x 17 cm Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin penerbit
Isi di luar tanggung jawab percetakan
3
Aldy Istanzia Wiguna
Waktu, kusalami engkau rindu sebelum akhirnya kota-kota merasa kehilangan atas hadirmu. Menceritakan detak dan detik yang kau mukimkan di setiap bayangan doa. Melepas aneka kabar dalam bayang-bayang isyarat dimana kehilangan seperti hendak menuntaskan kabar yang karib dari setiap penghujung doa di ujung mata tuamu -Surat Detak Detik-
4
Sihir Hujan Bola Matamu, Bola Waktuku -semacam hantaranHanya sebuah cerita sederhana tentang jarak yang tak pernah usai dimukimkan dalam doa-doa. Bercerita pada sebagian malam di tanah tempat kesepian dan keramaian bermula. Tanah dimana kata adalah waktu yang tak pernah tuntas diceritakan, meski pada beberapa halaman akhir, kita akan saling menghilangkan riwayat atas kota yang tak pernah tua. Di sini, kita akan saling mengeja tanda, menuliskan rupa, atau membayangkan kabar. Meriwayatkan musim pada setiap perayaan yang diulang-ulang atas nama kota dan juga semesta. Sebab pada akhirnya, waktu adalah catatan sederhana yang akan saling mengulang rindu di tepian matamu itu. Pada rahim kata-kata, kita akan lahirkan jarak yang menyimpan detak dan detik di ujung namamu. Menuliskan kabar dalam satu atau dua bilangan dimana kehilangan adalah semesta yang tak pernah usai meriwayatkan kabar. Menjelaskan pada sebagian malam dimana bahasa kehilangan begitu mudah kita tenun hingga pada suatu muasal doa, kita adalah jarak yang tak akan pernah selesai mengabadikan kabar. Meriwayatkan sepilihan jarak dalam doa-doa asing yang bersulang menuju kota sederhanamu yang tak pernah kehilangan detak detik waktunya sampai di hari ini.
Ciparay, 22 Oktober 2014 5
Aldy Istanzia Wiguna Surat Hujan Pada dedaunan gugur, aku kembali pulang menuliskan kabar. Berjalan pada semesta ingat dimana kenangan adalah kehilangan yang tak pernah tuntas kita riwayatkan. Menyendiri di sudut-sudut kota tempat segala perihal kita ulang dalam bayang-bayang masa. Menceritakan selisih musim dimana kenangan adalah kepergian yang tak akan pernah selesai mengaabdikan waktu untukmu. Aku datang mengirimimu surat ketika hujan tandang ke depan beranda rumah ini. Menceritakan musim-musim ilalang yang tak pernah tuntas mengkaribkan waktu atas nama kita dan kota. Lalu perlahan, kita akan kembali mengeja kesunyian yang tak pernah diam, merapal doa-doa dalam bayangan kata yang kembali dedah sebelum akhirnya air mata itu tumpah di sepanjang jalan tua. Menarasikan fragmen kehilangan atau kepergian yang lebih sering menyisakan luka pada seraut wajah itu. Dan di sini, pada tepian kata, aku kembali mewariskan banyak ingat. Menanggalkan masamasa yang kian karib hingga pada akhirnya engkau dan waktu akan tetap memetakan jarak. Memukimkan doa-doa, lalu menuliskan seluruh isyarat tua pada selembar surat ketika hujan turun dengan begitu indah di sepanjang narasi perjalanan yang memutar duka. 2014
6
Sihir Hujan Surat Angin Pemandangan malam adalah bias antara kehilangan dan ingatan yang tak pernah utuh meriwayatkan nama kita. Menyimpulkan satu hingga beberapa lara dalam setiap kamus dimana kehilangan adalah kata yang tak pernah tuntas kita ceritakan. Seperti sebuah kabar, kita adalah duka yang berjalan mengasingkan mata. Menuliskan lebih banyak riwayat dalam tanda-tanda dimana waktu tak hadir. Menyiratkan sejumlah keinginan hingga pada beberapa muasal, kita adalah tanah yang menetap dalam beragam perbincangan. Aku akan pulang menitipkan segala duka, meriwayatkan masing-masing amsal pada setiap jarak dimana keinginan hanyalah sederet kata yang tak pernah tuntas kau wasiatkan sampai ujung perjalaan. Di sini, kita hanya akan tetap menjadi sendiri dalam perjalanan. Atau waktu akan kembali menyusun ingatan-ingatan tua atas kota yang tak pernah selesai mengirimkan banyak jarak. Mengulang kata hingga dedah di ujung perjalanan sederhana. Lalu kita akan tetap kembali merumuskan separuh ingatan dimana perjalanan adalah kata yang menyebabkan kehilangan di matamu adalah rumus yang tak tentu untuk diselesaikan. Seperti sebuah kaca, kita adalah kota yang pernah kehilangan sebabnya di ujung masa-masa tiada itu. 2014
7
Aldy Istanzia Wiguna Surat Halilintar Bila kehilangan adalah rindu yang basah. Maka perjalanan umpama daun yang gugur di taman kota. Menyemai benih baru pada setiap perihal ketika akhirnya duka dan semesta luka saling silang dalam diam. Mengkaribkan sejumlah perihal dimana peperangan sering kau nisbatkan dalam umpama-umpama sederhana. Hingga pada suatu waktu, kita akan pulang merumuskan nyala rindu di dada. Aku adalah halilintar yang tak pernah tuntas menyampaikan kabar. Menuliskan alamat-alamat sederhana dimana perjalanan adalah kita yang tak pernah selesai mengirim balasan. Menuntun banyak kata yang kembali bersulang merayakan tanda-tanda silap di ujung sana. Seperti sebuah jarak, kita adalah rahim kehilangan yang tak akan pernah purna meriwayatkan gelap dan terang di ujung mata tua itu. Melisankan banyak kabar dalam sederet tanda dimana kata dan kehilangan hanyalah raut sederhana dari wajah kita yang berduka. Atau kita akan tetap mengeja ulang seluruh nama. Menepis diam dalam beban-beban yang tak utuh. Hingga kehilangan masih sering engkau karibkan dalam sejumlah perasaan sederhana. Di sana, kita akan pulang memukimkan banyak muasal. Berjalan pada setiap tanda atas nama duka yang takkan pernah selesai kita rayakan. 2014
8
Sihir Hujan Surat Guruh Aku adalah kata yang tak pernah gemetar. Membayangkan hujan yang tiba-tiba menderas di depan rumahmu. Membisikkan segala kabar lirih dimana perjalanan hanyalah doa yang tak sempat kita tuntaskan sebelum malam-malam panjang purna kita lewati hingga ujung kabar berikutnya, kita adalah kehilangan yang saling diam dalam sejumlah tanda perjalanan. Mengutus kehilangan sendiri. Seperti di tanahmu, kita adalah duka yang tak pernah dirayakan sebab hujan telah merestui banyak kabar. Mewariskan ingatan dalam setiap bilangan dimana perjalanan kita hanyalah kabar yang tak pernah tuntas meriwayatkan tanda. Menggembirakan perihalperihal asing atas nama kota yang kehilangan hidupnya ketika hujan tiba-tiba turun dan menderas di beranda rumah kita ini. Ada yang hendak kita ulang ketika musim berikutnya dedah di ujung sana. Merapalkan ingatan pada beberapa partitur sederhana yang kelak kau mainkan sebelum guruh datang melewati beranda rumah kita. Menemani hujan yang merayakan semesta kesedihan pada setiap labirin ingatan hingga kehilangan menjadi sebab atas kata-kata yang tak pernah paripurna menyelesaikan selusin tidak. Aku adalah kabar yang tak pernah sendiri melewati malam itu. 2014
9
Aldy Istanzia Wiguna Surat Detak-Detik Jam dinding itu masih berdetak. Merapal kabar dalam tiap-tiap bayangan. Merumuskan kehendak dimana kata adalah jarak yang tak pernah putus mengabarkan tiada. Aku adalah kehilangan yang tak pernah tuntas merapalkan kabar. Membayangkan setiap kota dimana waktu terus berdetak dalam detiknya. Menghimpun segala kenangan atas kabar yang mendadak basah di ujung kota tua. Di sini, kita akan pulang mewariskan rindu atas nama perjalanan. Pulang dalam diam-diam, lalu kita akan tetap menepikan jarak di ujung kabar. Mewariskan tanda-tanda yang tak pernah dedah, lalu pada musim ke sekian kita akan kembali merapal kehilangan. Di sini, kita akan tetap meriwayatkan kabar. Menyimpulkan semesta senyum dimana masa adalah tua yang tak pernah kita rekam. Aku pulang merapal semesta kehilangan. Berjalan dalam sehimpun kata dimana jarak adalah bilangan yang tak pernah tuntas. Saling menitipkan kabar yang kini berhimpun dalam layar-layar duka. Atau kau akan tetap menulis lebih banyak surat. Menitipkan tanda hingga musim ke sekian dimana kehilangan akan tetap memberi warna di sejumlah jarak yang tak dipetakan. Seperti sebuah kabar, kita adalah perjalanan yang tak pernah tuntas diriwayatkan kata. 2014
10
Sihir Hujan Surat Rindu Kutulis surat ini ketika hujan di beranda tiba-tiba menderas. Lalu pulang merapalkan semesta kabar dimana kehilangan adalah kita yang tak pernah tuntas merumuskan ingatan-ingatan. Berjalan dalam diam, memutar sehimpun luka dimana kata adalah kita yang kembali meriwayatkan banyak tanda. Menepikan kabar hingga pada akhirnya kita pulang seperti pada jam-jam biasa di sana. Kita memang pernah kehilangan banyak kabar. Menceritakan luka yang tiba-tiba dedah di ujung mata. Mewariskan kabar, lalu kita akan tetap pulang, merahasiakan sejumlah cerita sederhana atas kota yang kembali memukimkan doa-doa. Di sini, kita pernah satu kali kehilangan masa paling karib. Berjalan dalam diam, hingga pada suatu musim engkau dan waktu akan kembali dalam cerita. Kau pernah merindu pada jarak tanpa putaran. Merahasiakan masa dimana kenangan dan ingatan tak pernah kita lahirkan bersama. Lalu pada setiap simpul jarak, menuliskan banyak kenangan hingga kata adalah tanda yang tak pernah purna meriwayatkan kabar. Di sini, kita akan kembali mengembara dalam tenang. Menceritakan musim-musim ingatan dimana kehilangan adalah doa yang akan segera kita selesaikan sebelum musim berikutnya kau pulang. 2014
11
Aldy Istanzia Wiguna Surat Cinta Pada malam ke sekian, aku pernah menuliskan namamu tepat di bawah rembulan. Berbayang wajah bidadari yang seringkali datang, lalu mulai mengkaribkan kabar. Mengutus sejumlah kehilangan yang tiba-tiba dedah di mata itu. Atau kita pernah sama-sama diam, meriwayatkan sehimpun kabar dimana kota dan kehilangan adalah rumus yang tak pernah berjarak memetakan setiap kata-kata tua. Di sini, aku pulang meriwayatkan banyak kabar. Menghimpun doa yang kembali bersulang merayakan setiap pemberhentian kereta yang karib engkau sebut di stasiun berikutnya. Dan aku tak ingin kau kembali menjadi orang asing selepas perjalanan jauh itu. Atau kita akan kembali mendedah banyak masa, menghitung harap dalam bayang kata-kata dimana doa adalah isyarat yang diulang. Seperti sebuah perjalanan, kita adalah kata yang kian karib di ujung mata tua itu. Menarasikan rindu yang mendadak dedah di bawah pohon semesta yang melahirkan banyak bintang. Menafsirkan satu dua jeda dalam bilangan tanpa riwayat. Hingga pada musim ke sekian, kita akan sama-sama kehilangan. Menafsirkan tanda yang tak pernah gaib di ujung mata. Seperti sebuah kisah lalu, kita akan kembali menghimpun tanda-tanda biasa yang pulang di matamu. 2014
12
Sihir Hujan Surat Matahari Pada usia ke sekian, engkau datang melahirkan banyak cerita bahagia. Membedah rahim-rahim ingatan seperti sebab yang kian rajin engkau rapalkan di penghujung doa. Merawat sepilihan kata dimana rumus ingatan dan kehilangan adalah tua yang memberimu banyak jeda. Menuntun seluruh kehilangan dimana kata-kata adalah kita yang kembali menerangkan banyak muasal di sana. Aku adalah ingatan yang bercerita hingga musim-musim tua tetap berkelana di mata itu. Mendedah sekian ribu rumus kehilangan pada sejumlah riwayat di ujung masamu. Mengantarkan doa-doa tetap pulang menuju muasal segala tanda dimana kehilangan adalah ingat yang tak pernah tuntas memukimkan banyak tanda. Atau kita akan tetap pulang membayangkan seluruh perjalanan diam ini. Di kotamu, kita adalah isyarat yang pernah mengeja banyak kabar kehilangan. Mengutus kata-kata karib dimana kata dan bayangan adalah cerita yang tak pernah ingin kita tuntaskan. Seperti raut matahari yang bersulang menceritakan kegembiraan. Menerima pucuk-pucuk ingatan hingga kota adalah riwayat yang hendak kita tuntaskan sebelum akhirnya malam panjang ini masih dikirimkan seraut doa di pelataran rumah-rumah yang basah karena hujan. 2014
13
Aldy Istanzia Wiguna Surat Bulan Ada suara-suara asing yang kembali mengantarkan doa ini untuk dirimu. Bersulang merayakan malam paling panjang dimana kata adalah sebab yang tak pernah tuntas kita riwayatkan sebelum satu kabar kita karibkan dalam doa-doa. Aku akan kembali pulang dalam diam, membandingkan kabar-kabar karib dimana ingatan adalah cahaya yang tak pernah tuntas kita muasalkan dalam jeda. Aku akan pulang menitipkan kabar yang tak pernah tiada di ujung paragraf. Menghimpun semesta pengajaran dimana kata-kata ialah luka yang saling digambarkan. Mengurutkan perjalanan pada setiap jarak dimana kehilangan adalah doa yang tak pernah selesai untuk kita gambar di bawah bayangan ke sekian. Aku tahu, kita akan tetap memilih menjadi orang asing di sepanjang riwayat sendiri. Pada akhir musim, kita adalah pertanyaan yang saling digaibkan kata dan rindu. Mendaras sepilihan ayat dalam beberapa bilangan luka dimana waktu menuliskan rindu atas kotamu yang dedah. Atau kita akan sama-sama memetakan jarak, Berjalan merahasiakan setiap susunan ingat, lalu kembali memutar ingatan demi ingatan dalam beberapa perihal yang menyebut dirimu kukuh di bawah sana. Aku tahu, kita akan pulang seperti surat yang kau tulis sendiri. 2014
14
Sihir Hujan Kenangan Di beranda, hujan baru saja turun meninggalkan basah dalam katakata yang tak pernah tiada. Memburu harap dalam sejumlah kabar dimana catatan dan segala pinta adalah doa yang kau mukimkan dalam setiap duka. Meninggalkan masing-masing cerita, lalu kita akan pulang menitipkan separuh amsal dimana jarak dan segala kehilangan adalah kabar yang tak pernah usai menyusun ingat. Pada sebagian musim, kita adalah kata yang saling mengutuhkan kabar. Menitipkan jarak-jarak panjang dalam sehimpun kenangan tentang kota yang kembali kehilangan. Atau kita pernah bertanya dalam diam, mengembarakan jarak dalam jejak-jejak tanpa amsal. Memburu ingatan hingga pada beberapa bilangan, kita adalah luka yang sengaja dihilangkan dari beberapa urutan jarak di ujung sana. Aku masih berdiri sendiri, membayangkan wajah kota yang takkan pernah selesai menitipkan segala duka. Mengeja tanda-tanda yang paripurna di sepanjang cahaya dimana kita dan kata hanyalah satu riwayat hampa di sebalik ujar. Di sana, kita akan kembali menjadi catatan paling asing. Mengumandangkan hari dalam semesta harap ketika pada setiap muasal kita adalah kota yang berbayang hilang. Memburu segala rindu dalam desah paling sederhana di matamu. 2014
15
Aldy Istanzia Wiguna Semesta Aku adalah pengakuan yang kembali menitipkan kabar di setiap jarak penguasaan. Merapalkan setiap hampa pada musim kata-kata yang jatuh di seberang kota. Merahasiakan kabar hingga bilangan rindu yang kembali berpusar menjadi sehimpun tanya. Aku adalah kehilangan yang baru saja merumuskan semesta agar tetap lahir dalam sebagian doa yang bersulang merayakan gaib di matamu. Menjelaskan pada sebagian jawab dimana kabar dan kenangan adalah kita yang tak pernah runtut menyusun segala kebaikan. Di sana, kita baru saja mempertemukan banyak hati. Mengabadikan kata dalam beberapa bidak kabar hingga kehilangan purna dalam menyebut doa-doa panjang. Atau aku akan tetap pulang dalam diam, mempertahankan harap dalam bayang doa di ujung pagi. Menceritakan musim-musim kenangan pada sepilihan duka yang tak pernah usai mengajarkanmu tentang rindu. Meriwayatkan kata hingga beberapa bilangan yang mengajarkan kepadamu bahwa segala kisah sederhana adalah lautan doa yang mengalir menuju samudera. Menitipkan semesta harap pada beberapa bilangan hingga ingatan hanyalah kata yang tak sengaja engkau mukimkan dalam bayang-bayang paling indah menuju bahagia di tapal batas. 2014
16
Sihir Hujan Sihir Hujan : Zelfeni Wimra Aku menyebut matamu terluka. Selepas ingatan rapuh itu saling memukimkan doa di tapal batas. Berjalan dalam satu kesendirian, atau kita akan tetap masing-masing. Menjatuhkan ingatan dan segala bayang kesepian sampai pada waktunya. Kau dan aku akan sama-sama merindu, hingga ujar hanya sekumpulan rintik yang membuat tanah basah serta meruapkan aromanya pada sepilihan nama yang percakapannya sering kau dengar dari langit ke sekian. Mengutuhkan waktu pada sepilihan masa dimana ingatan adalah jarak yang tak pernah tertatih mengabadikan rindu atas nama kota yang baru saja kehilangan sekawanan isyarat di matamu. Berjalan dalam pelan, lalu kembali menitipkan amsal-amsal sederhana pada setiap jarak atas nama rindu yang tak pernah usai diabadikan. Di sini, kita akan kembali menerjemahkan ingatan. Bersulang dalam setiap buruan. Menceritakan musim-musim kehilangan yang tiba-tiba saja datang mengetuk pintu rumah kita untuk kali yang ke sekian. Meruapkan aroma tanah basah pada sepilihan nama yang katamu percakapannya masih sempat engkau dengar. Dan tetap kau lahirkan pada sepilihan sunyi yang menetap di kitab puisimu. 2014
17
Aldy Istanzia Wiguna Rumah Kedua Aku akan tetap pulang mewariskan ingatan atas nama kota yang tak pernah usai memberimu kabar. Menepikan jarak dalam setiap luka dimana babak demi babak adalah doa yang tak sempat kita rapalkan hingga jarak kehilangan tak ingin kita tempuh. Ada yang kembali merapalkan ujar pada semesta ingatan dimana doa lebih karib kita bayangkan dalam sepilihan nama yang pulang sendiri. Meriwayatkan aneka cerita dimana kenangan adalah kehilangan yang tak pernah paripurna membayangkan apa itu duka. Atau kata akan tetap berjalan. Membandingkan doa-doa pendek kita yang lebih jarang dirapalkan. Mengabadikan semesta pada sehimpun luka atau mungkin jarak yang kembali memetakan langkah. Kita adalah kehilangan yang baru saja tiba di depan rumah sederhana. Rumah tempatmu melahirkan lebih banyak keajaiban. Tempat dirimu menenun bayang-bayang duka. Menjelaskan serangkaian kabar dimana kenangan dan ingatan adalah luka yang dulu lebih sering kau karibkan pada rumah tempat duka kita lahirkan. Di sana, sembilu khianat telah menjadi tanda yang saling mengeja rupa. Membayangkan khilaf pada beberapa titian kata. Atau kita akan tetap menjadi asing sebelum kota ini tuntas dilahirkan. 2014
18
Sihir Hujan Malaikat Seperti sebuah ingatan, kita adalah kota yang tak pernah usai dihilangkan. Menepis sebagian jarak dimana perihal-perihal asing adalah doa yang dikaribkan dalam sejumlah catatan. Lalu waktu dan semua pertanyaan rindu adalah gulana yang berjalan dalam diam. Menyebut semesta seperti luka dalam bayang-bayang kata hingga pada musim ke sekian, kita akan menepi dalam duka. Subuh adalah kenangan yang tak pernah tuntas diriwayatkan. Atau waktu adalah duka yang kembali menyematkan lupa. Menitipkan kabar dalam sepilihan detak dimana kenangan dan kata adalah takdir yang tak pernah lupa diriwayatkan. Mengeja malam-malam panjang kita dalam setiap aroma sebab yang kembali bersulang hingga berhimpun di ujung kenangan penuh tanda berikutnya. Kita adalah kehilangan yang kembali dalam sebab tiada. Menukar musim-musim ingatan dimana perjalanan adalah jarak yang tak akan pernah menetap. Membariskan sepilihan tanda dalam gumam yang tak pernah ada. Atau kita akan kembali melangkah pergi. Pulang bersama isyarat-isyarat kehilangan seperti daun-daun gugur di belakang rumah. Ingat, kita hanyalah riwayat yang saling bertukar tempat, mengeja tanda, lalu pulang mengabadikan semesta muasal. 2014
19
Aldy Istanzia Wiguna Surat Pelangi Ceritamu adalah bahagia yang tak pernah berkesudahan. Diam dalam bayang kata-kata dimana duka adalah ingatan yang tak akan pernah purna memimpikan harapan. Berjalan di kamar-kamar kata, lalu saling memukimkan muasal. Menceritakan beragam jeda pada sejumlah kepulangan dimana kehilangan adalah kabar yang tak akan pernah tuntas mengabadikan rindu di seberang waktumu. Ada yang tak pernah tuntas kita ucapkan dibanding doa-doa pendek kita yang menua. Mengirimkan sepilihan tanya dimana kata dan kenangan hanyalah ingat yang memburumu malammu lebih pelan dari hari ini. Menitipkan sejarah dalam jejak hingga ingatan hanyalah tanda-tanda sederhana. Mengabadikan jarak dimana simpul pertanyaan hanyalah kepergian yang usai mengingatkan. Di sini, kita akan kembali mengingatkan jarak. Menciptakan segala kebaikan dimana kehilangan dan kegembiraan hanya semacam warna yang ditinggalkan pelangi untuk kita. Menitipkan sepilihan kabar dalam beberapa surat balasan yang kembali menjelaskan rupa atas kota kita yang tiba-tiba kehilangan. Lalu waktu dan segala tentangmu kembali menjelaskan riwayat masa depan. Menulis setiap kenangan dimana pelangi masih butuh hujan esok hari. 2014
20
Sihir Hujan Resital Hujan : Mashdar Zainal Di sini, hujan meninggalkan dingin yang begitu gigil. Mencipta aroma basah pada sejumlah dedaun gugur yang tiba-tiba jatuh dalam sepilihan kabar. Menepikan ingatan tentang kota yang tak pernah tuntas meriwayatkan kabar. Menuliskan sehimpun tanda dimana kesepian hanyalah ingatan yang berjalan menuliskan rupa. Aku kembali seperti sehampar senyum yang berulang kali tiba hingga malam-malam berikutnya engkau ciptakan doa panjang penuh kegembiraan. Melisankan waktu dalam setiap cerita yang pada akhirnya kita akan menyelesaikan seluruh kegembiraan ini di sana. Menepikan jarak dalam peta kepulangan yang tiba-tiba basah hingga air mata berjalan memenuhi jarak sebelum kota tua tiba. Pada sepilihan tanda, kita adalah kepulangan yang menang. Diam dan menepikan kabar dimana kalimat beserta alamat kita tuliskan dalam doa-doa panjang yang tak utuh. Meriwayatkan kabar hingga bilangan duka menjelaskan alamat kehilangan. Atau waktu akan tetap mengutuhkan rona bahagia itu. Menulis beberapa resital yang karib dimainkan para malaikat bersama bunyi beberapa tambur mainan. Seperti itulah, kita akan pulang mencipta segala jarak. 2014
21
Aldy Istanzia Wiguna Partitur Hujan : Faisal Syahreza Kota kita telah kehilangan nama semenjak puisi-puisimu kembali mencumbu hujan. Menceritakan musim paling panjang tentang kata dan sepilihan usia yang berjalan merundukkan kata. Lalu menghitung malam-malam panjang dimana kenangan dan setiap ingatan hanyalah akhir yang lindap sebelum hujan itu usai. Meluangkan sebagian malam pada setiap jarak dimana kenangan adalah puisi-puisi panjang yang tak sempat kau maktubkan dalam setiap kisah dimana ingatan hanyalah kenangan selintas yang tiba dan datang meruapkan aroma basah pada tanah yang seharian tadi diguyur hujan. Seperti sebuah isyarat, kita adalah kenangan yang kelak bersulang memainkan masa. Memburu kata yang tak tiada. Aku baru saja kehilangan duka yang menggigil di setiap dinding rumah. Menjelaskan pada malam-malam panjang dimana kabar adalah selaput dara yang sempat engkau robek ketika guruh dan halilintar masih saja karib mendekatkan kita dengan sejumlah perihal tentang rintik hujan atau daun-daun basah yang tak pernah usai meruapkan aroma basah hingga rindu di dadamu itu kembali buncah. Seperti sebuah kaca, kita adalah kehilangan yang karib. 2014
22
Sihir Hujan Rindu Hujan Ada daun-daun getas yang kembali merapalkan banyak harap. Pulang dalam diam dimana kenangan hanyalah isyarat yang tak pernah utuh menggambar duka di mata itu. Berjalan dalam diam, lalu kembali meruapkan banyak tanda. Menjelaskan pada setiap makna hingga bilangan kenangan hanyalah isyarat yang tak pernah selesai mengabadikan rupa dalam beberapa penjelasan kota. Membiru hingga pada muasal kita kembali memukimkan kata-kata dalam sepilihan tanda. Mengkaribkan ucapan dalam beberapa usia hingga ujar adalah kabar yang kerap kita selesaikan sebelum pada akhirnya waktu akan kembali menuntaskan sepilihan ingat atas tanah kita yang tak pernah selesai berduka. Seperti rintik hujan, kita hanyalah mainan sederhana yang dinyanyikan bila doa usai. Merangkap sejumlah perihal sederhana dalam beberapa bilangan kebaikan. Mengutus sehimpun masa dimana kenangan adalah kata yang saling menuntaskan tanda. Membaca sebagian keajaiban pada setiap langkah dimana kenangan hanyalah doa yang kembali dalam diam. Bersulang merayakan perjalanan-perjalanan yang tak akan pernah purna kita tuntaskan setiap perayaan bahagianya. Dan di sini, aku akan pulang mengetuk banyak pintu dalam satu rindu. 2014
23
Aldy Istanzia Wiguna Surat Kopi Di tubuhmu, ada riwayat kopi yang tak pernah tuntas menuliskan kabar perkabungan hingga semesta kembali berulang. Mencipta banyak perihal diantara dingin yang menggigil. Atau kata-kata yang tiba sembari menjelaskan beberapa perihal asing atas nama kota yang tak pernah tua. Menjelaskan rincian sederhana dimana peluk dan cium hanya sebatas jalan perpisahan menuju kota cahaya. Aku tetap sendiri membayangkan tua dalam beberapa alamat yang tak biasa. Menjelaskan sepilihan isyarat dimana gumam hanyalah kata yang tak pernah tuntas mengkaribkan alamat. Menitipkan kabar yang karib dimana kenangan hanyalah alamat yang tak pernah bosan mewariskan perjalanan. Lalu waktu akan kembali dalam senyum membahagiakan. Berjalan dalam diam di kotamu. Menuliskan sepilihan kabar dalam beberapa ingatan tentang kata dan kehilangan yang kembali kita tubuhkan pada semesta harap. Meninggalkan kenangan-kenangan asing atas nama kota yang tibatiba saja merendah dan melepaskan sebagian isyaratnya. Aku tahu, kita adalah kehilangan yang tak pernah sendiri dalam setiap sebab. Menjelaskan arti ketiadaan ketika secangkir kopi menuliskan banyak surat untuk kemudian kita balas pada malam berikutnya. 2014
24
Sihir Hujan Agitasi Waktu : Zidni Arfia Rahman Aku akan kembali melepaskan ingat pada beberapa perjalanan tanpa jarak. Mengasingkan tanda-tanda sederhana hingga pada setiap senyum kita adalah perjalanan yang saling menitipkan rupa. Mewasiatkan sebagian perjalanan menuju kehilangan pada setiap amsal dimana jarak tetap saling menepikan kabar yang tak usai. Kita hanyalah sepotong riwayat yang berjalan meninggalkan segala kesedihan. Merawat kenangan-kenangan kesepian dimana kata dan beberapa baris ingatan adalah perihal yang sempat kita alamatkan dalam segala jarak. Mengutus kepergian dan kehilangan pada setiap kalimat dimana alamat adalah kesendirian yang saling menancap dan meninggalkan duka hingga tanah tetap basah karena air mata. Berjalan meninggalkan muasal-muasal sederhana. Menghitung satu atau dua penanggalan dimana jarak adalah kehilangan yang tak akan pernah purna meriwayatkan kabar. Pada beberapa jarak yang saling menjelaskan, kita adalah rupa yang pernah dititipkan semesta agar tetap diingat atau di kemudian hari, engkau dan waktu akan kembali menepikannya. Memberitakan beberapa perihal kebaikan dalam satu jarak masa dimana doa adalah hal yang dilupakan. 2014
25
Aldy Istanzia Wiguna Surat Air Mata Di sisimu, kita akan kembali meriwayatkan banyak kabar dalam diam. Mengutus kesepian hingga aroma-aroma kebaikan hanyalah ingatan yang saling merentang zaman. Membiarkan batas demi batas tetap kita sebut dalam sebagian doa hingga bilangan ujian hanyalah kata yang saling mengkaribkan kita dengan setiap aroma kehilangan yang baunya lebih menyengat dari sajian terlezat. Kita hanyalah kata yang dikaribkan waktu dalam catatan yang diam. Mengutus beberapa nama dimana masa dan sejumlah tanda akan saling menetapkan rupa. Membayangkan perihal-perihal tiada dalam beberapa kehilangan yang tak pernah merumuskan jaraknya. Di sini, kita akan kembali merawat kehilangan itu. Menepikan kata dalam beberapa bilangan dimana doa adalah muasal segala ceria. Pada selembar surat, aku akan kembali mengulang tanda-tanda tak biasa itu. Menerjemahkan malam panjang dimana barisan ingat hanyalah kata yang lebih sering dikaribkan ujar. Meriwayatkan luka dalam sehimpun kenangan yang kembali bercerita di malam-malam panjang kita. Menciptakan tua pada sederet ingatan hingga lupa lebih sering kau karibkan pada sejumlah amsal dan muasal dimana perjalanan pernah kita tenun dalam beberapa jarak yang diam. 2014
26
Sihir Hujan Hujan Deras Seperti malam-malam tua yang berjalan meninggalkan segala luka. Mengkaribkan batas usia dimana kehilangan adalah cerita yang tak pernah tuntas kita riwayatkan. Menepi dalam beberapa jeda ingatan yang memburu setiap perihal kebaikan. Di luar, hujan masih deras dan tetap merapal bayangan doa. Menepikan jarak hingga pada beberapa putaran kita akan kembali melupakan sepilihan nama. Menceritakan pada musim yang belantara. Meruapkan kata paling bahagia dimana susunan ingatan hanyalah jarak yang kembali kekal dalam beberapa perihal. Mengabadikan semesta dalam beberapa bilangan hingga pada setiap muasal kita adalah jarak yang tetap pulang mengabadikan nama. Merumuskan selusin tindak yang akan kita karibkan pada sejumlah wajah tua yang tekun memandang. Inilah kisah tentang hujan paling deras di ujung hidupmu. Lalu berjalan meninggalkan basah dan meruapkan banyak nama hingga beberapa kenangan kembali mengetuk sepilihan hati kita. Di sana, kita akan kembali mengabadikan warna. Menciptakan malammalam panjang penuh rupa. Membiarkan obrolan kita kembali meriwayatkan segala dingin malam. Atau pada sehimpun kabar, kita adalah kehilangan yang diabadikan hujan sebelum genap. 2014
27
Aldy Istanzia Wiguna Tanah Perempuan : Helvy Tiana Rosa Kami adalah jarak yang diciptakan semesta atas nama cinta. Berjalan pada sehimpun kabar dimana luka adalah kenangan yang tak pernah tuntas mengalamatkan isyarat. Berjalan dalam diam ketika rahim-rahim tak berkesudahan itu tetap melahirkan para pejuang perkasa yang kelak pulang dengan surga di kepal tangan. Kami adalah ibu dari tanah yang tak pernah selesai melahirkan kabar bahagia. Menjemput cerita-cerita bahagia, menenun hikayat kepahlawanan dimana kepal keberanian adalah potret yang tak akan pernah purna kita susun dalam beberapa ingatan. Berjalan dalam diam, memutar sehimpun langkah hingga pada beberapa ingat dan bilangan, kita akan kembali menjadi seorang ibu. Di tanah ini, kami para perempuan akan menjemput syahid. Yang pulang membawa mahkota pualam, menceritakan tentang surga dalam beberapa baris riwayat serta hikayat dimana perang adalah jalan yang tak pernah selesai kita tempuh. Kami adalah para ibu yang tak pernah tuntas merapalkan doa demi anak-anak panah yang diluncurkan untuk membunuh para penjajah berotak licik. Kami adalah para ibu yang mengalirkan cinta di tanah pasir ini. 2014
28
Sihir Hujan Mengantar Duka Lihatlah, para lelaki yang berjalan pelan-pelan itu. Mengusung keranda dimana duka adalah perihal paling menyiksa sebelum pada akhirnya kita akan kembali menyebut kata-kata dalam tangis yang tak pernah tuntas membayangkan apa itu duka. Menyiratkan satu kabar dimana kehilangan adalah umpama atas perjalanan paling sederhana sebelum para perempuan itu selesai berhias di cermin. Atau para anak perempuan yang menangis menciptakan aroma segala kesedihan. Mendendangkan kaba hingga syair-syair maut yang tak pernah letih dilantunkan seiring tambur mainan dan rebana terus kita tabuh. Jelang malam ke sekian, kita akan tetap pulang mengabadikan semesta dalam satu jarak kesendirian. Lalu di sana, pada sebuah batu nisan kita akan kembali memahat duka. Menceritakan muasal-muasal panjang atas nama kepergian yang kembali berjalan meriwayatkan kabar panjang. Meneguhkan segala duka dimana kenangan dan ingatan hanyalah kata yang hendak kita antar menuju pekuburan paragraf, tempat segala cemburu kita kebumikan sebelum akhirnya duka datang dan kembali mengajak dirimu berbincang sampai malam menua. Aku tahu, kita akan tetap sendirian, berjalan mengantarkan duka menuju kamar tidurnya. 2014
29
Aldy Istanzia Wiguna
Tentang Penulis Aldy Istanzia Wiguna, lahir di Bandung, 20 Maret 1991, baru saja menyelesaikan pendidikan akhirnya di Jurusan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Universitas Bale Bandung. Beralamatkan di Jln Moch Ramdhan RT 05/12 Desa Mekarsari Ciparay Kab. Bandung Jawa Barat 40381. Karyanya tergabung dalam 31 buku antologi dan 7 karya solo, diantaranya Sebenar Ayah, Di Saat Sempit dan Lapang (GP Publishing, 2013), Kepada Tuan Sapardi (Kaifa Publishing, 2013), Karena Kita Adalah Hujan (Nulisbuku, 2013), Perempuan Yang Berjuang (Camar Publishing, 2013), Pada Hujanlah (Pustaka Hamazah, 2014) dan Tembang Sebelum Pulang (Nulisbuku, 2014), Pada Sebuah Alamat (Nulisbuku, 2014). Beberapa karya lainnya sedang dalam proses terbit. Penulis bisa dihubungi via facebook melalui akun Aldy Istanzia Wiguna, atau melalui akun twitter di @puisi21, atau melalui blog di huruftakselesai.wordpress.com
30
Sihir Hujan
31