4 minute read

LEGAL OPINION

Next Article
CYBER CRIME FACTS

CYBER CRIME FACTS

A. KASUS POSISI

Perkembangan teknologi komunikasi membebaskan siapa saja menampilkan dan mengambil informasi apa saja dari aplikasi dan juga media sosial tetapi situasi ini malah disalah gunkan oleh beberapa oknum kejahatan.Beberapa tahun belakangan ini sering terjadi Tindakan penyalah gunaan terhadap teknologi yang khusunya dimanfaatkan untuk Prostitusi Daring, kasus prostitusi daring ini tidak hanya melibatkan sejumlah selebritas tetapi juga banyak masyarakat yang terlibat dalam kasus prostitusi daring ini sendiri. Prostitusi online sendiri sudah terlalu besar untuk kita anggap sebagai masalah kecil di Indonesia, menurut riset infobank tahun 2012 bisa mencapai Rp.5,5 triliun per bulan dengan asumsi jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Indonesia menurut United Nationals Development Progamme (UNDP) pada tahun 2011 yaitu sekitar 193-272 ribu orang. Jika tarif jasa prostitusi di kisaran Rp 500 ribu dengan asumsi per PSK melayani dua pelanggan per hari dengan 20 hari masa kerja, total transaksi bisa mencapai Rp 5,5 triliun per bulan atau Rp 65 trilliun per tahun.

Advertisement

B. DASAR HUKUM

• Pasal 298 KUHP • Pasal 27 ayat (1) UU ITE • Pasal 66 ayat (1) UU Perlindungan

Anak • Pasal 1 Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang Lain tahun 1949 • Pasal 2 Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang Lain tahun 1949

C. LEGAL OPINION

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan “terhadap kesusilaan atau moral” dan melawan hukum, praktik prostitusi ini tersebar secara luas, ditoleransi dan diatur. Menurut James A. Incriardi sebagaimana yang dikutip oleh Topo Santoso, Prostitusi adalah penawaran hubungan seksual untuk mem“

peroleh uang atau keuntungan

lainnya.

Menurut Kartini Kartono jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisasi, dan yang tidak terdaftar : 1) Prostitusi yang terdaftar Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. 2) Prostitusi yang tidak terdaftar Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi, tempatnya pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Dengan berkembangnya Teknologi Informasi kondisi prostitusi di Indonesia semakin tidak beraturan dikarenakan semakin banyak orang-orang yang bertindak sebagai pengorganisir adanya prostitusi atau yang biasa disebut sebagai mucikari yang bermarkas di sosia media. Sebuah perbuatan prostitusi sebenarnya tidak dianggap sebagai sebuah tindakan melawan hukum sesuai yang diatur dalam Pasal 298 KUHP, pasal ini melarang siapa saja yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan dan mengambil keuntungan atas kegiatan cabul yang dilakukan oleh orang lain dan ancaman pidananya maksimum 1 tahun 4 bulan. Pasal ini ditafsirkan oleh ahli hukum pidana Indonesia sebagai pasal yang mengancam pidana para germo, mucikari atau pemilik dan atau pengelola rumah bordir. Kegiatan Prostitusi menjadi sebuah Tindakan melawan hukum apabila sang “pelacur” adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun, apabila hal ini terjadi maka pembeli jasa dan mucikari bisa dikenakan Pasal 66

ayat 1 UU Perlindungan Anak.

Sosial media merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa kita hindarkan dan jauhkan dari golongan dibawah umur atau anakanak, dikarenakan dewasa ini dan dengan kondisi pandemi ini anak-anak yang terpaksa melakukan segalanya dengan daring. Hal ini membuat kita tidak bisa mengontrol apa yang mereka lakukan di sosial media, terlebih lagi konten-konten yang berada di sosial media terkadang belum sesuai dengan umur penontonnya bahwwkan menjerumuskan para penontonnya, terlebih lagi dengan embel-embel bisa menghasilkan uang dengan cara yang cepat, hal ini bisa menjadi sebuah katalis adanya penyalahgunaan teknologi oleh oknum-oknum tertentu maupun sang anak itu sendiri. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yaitu UU No.11 tahun 2018 juga tidak memberikan ancaman pidana terhadap para pelaku PSK atas Tindakan pelacuran online yang mereka lakukan. Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya “

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Pasal ini hanya memberikan ancaman kepada orang yang mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang berisikan Tindakan yang melanggar asusila. Jadi apabila seorang Wanita melakukan Tindakan prostitusi maka Wanita itu tidak bisa di ancam pidana melainkan seseorang yang menjadi mucikari lah yang bisa diancam dengan pidana.

Meskipun tidak diancam pidana Tindakan prostitusi melanggar Hukum internasional tentang perdangangan manusia, Pasal 1 Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang Lain tahun 1949 diatur untuk menitik beratkan tentang perdagangan perempuan untuk tujuan prostitusi.

Selanjutnya pada Pasal 2 Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi terhadap Orang Lain tahun 1949 Selanjutnya pada pasal 2 konvensi menegaskan bahwa: Peserta konvensi saat ini setuju untuk menghukum siapapun yang: 1. Memiliki atau manejer, atau dengan sadar membiayai atau mengambil bagian dalam pembiayaan suatu rumah pelacuran. 2. Dengan sadar membiarkan atau menyewakan suatu bangunan atau tempat atau manapun bagian daripadanya untuk kepentingan pelacuran dari yang lain. Dengan perkembangan zaman yang cukup cepat ini teknologi bisa menjadi suatu hal yang buruk apabila tidak diawasi dan diatur oleh sebuah peraturan yang jelas dan mencakup seluruh Tindakan yang berhubungan dengan teknologi dan informasi agar tidak terjadi suatu hal yang merugikan bagi khalayak.

C. SIMPULAN

Perlindungan hukum nasional maupun internasional dalam hal penyalahgunaan teknologi dan informasi terhadap prostitusi online masih kurang mengikat karena penggunaan bahasa yang memiliki banyak arti sehingga kurang spesifik membahas tentang kasus prostitusi. Prostitusi online sendiri sudah seharusnya di tangani dengan serius oleh pemerintah karena kasus ini bisa menjadi awal dari kerusakan moral bangsa dan moral para penerus bangsa Indonesia. Perlindungan terhadap anak dan Wanita juga sudah seharusnya lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah dikarenakan kasus prostitusi lebih banyak terjadi kepada para perempuan. Kebijakan pemerintah terhadap penyalah gunaan teknologi dan informasi juga sebaiknya lebih di spesifik kepada masalah-masalah yang saat ini terjadi di kalangan masyarakat.

This article is from: