5 minute read

AIAC ARTICLE

Next Article
PEOPLE OPINION

PEOPLE OPINION

ARTIKEL AIAC Strategi Good Governance dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Selama Pandemi COVID-19 Ditinjau dari Segi Hukum

by Nabilla Fadia Syafa Pada penghujung tahun 2019, terjadi suatu kasus pneumonia misterius yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei. Awalnya, pneumonia ini dinamakan sebagai 2019 Novel Corona (2019.nCoV) yang kemudian oleh World Health Organization (WHO) diberi nama baru yaitu Coronavirus Disease (COVID-19) pada tanggal 11 Februari 2020.Pada 11 Maret 2020, WHO menyatakan wabah virus COVID-19 sebagai pandemi global, karena pada perkembanganya telah menyebar ke 215 negara di dunia.

Advertisement

Pandemi COVID-19 menyebabkan kekacauan aktivitas sosial, politik, Pendidikan, serta sektor ekonomi. Krisis ekonomi global akibat wabah virus COVID-19 juga telah mengancam kegiatan logistik, pariwisata dan perdagangan. Negara-negara yang terancam terkena dampak pandemi COVID-19 harus melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi wabah dari virus mematikan tersebut, termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendukung stabilitas nasional, dalam kebijakan tersebut tentunya dibutuhkan upaya Good Governance yang melibatkan seluruh komponen bangsa demi kepentingan bersama

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan tugas pemerintahan adalah melaksankan otoritas ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan suatu negara di semua tingkat dan sarana di mana negara mempromosikan kohesi sosial, integrasi, dan memastikan kesejahteraan penduduknya. UNDP mengklasifikan Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) terdiri dari: partisipasi, transparansi, responsif, akuntabilitas, legitimasi, kerjasama, peraturan hukum, orientasi konsensus. Kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, visi strategi, kebenaran sumber daya, kesehatan ekologis, pemberdayaan, dan landasan spasial dalam masyarakat. Good governance bersumber pada beberapa indikator sebagai berikut: 1) Menaruh seluruh aktivitas berdasarkan dorongan permintaan 2) Pengembangan aktivitas berorientasi masyarakat sentis dan mengusahakan partisipasi masyarakat 3) Memastikan transparansi dalam administrasi dan proses membuat keputusan, 4) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam layanan pokok 5) Memastikan kesetaraan dalam proses distribusi manfaat kepada yang membutuhkan.

Konsep transparansi pemerintah memainkan peran kunci dalam memberikan decision making yang efektif bagi output kebijakan publik dalam aksi cepat tanggap penanggulangan COVID-19.

Good governance di Indonesia pada hakikatnya sebagaimana telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Dalam melakukan strategi good governance perihal pengendalian ekonomi harus menegakan supremasi Hukum, yaitu hukum harus dilaksanakan secara adil dan diperlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Selain itu, adanya transparansi yang dibangun atas dasar arus informasi yang bebas sehingga seluruh proses pemerintahan dan informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Selanjutnya, pemerintah harus bisa bersikap adil dan menerapkan prinsip akuntabilitas atau bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pembangunan, pelaksanaan, dan penilaiannya, sehingga program tersebut dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang ditetapkan Good governance dapat membuka ruang yang luas terhadap keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.

Governance dianggap mendorong tumbuhnya active citizenship, yaitu warga negara yang aktif dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah, bukan hanya terkait dengan pengambilan keputusan, namun juga bagaimana keputusan itu dijalankan, kekuasan itu dikelola, dan bagaimana suara publik disalurkan dan menjadi bagian penting dalam penyelesauan masalah-masalah sosial.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tetap berjalan di tengah krisis ekonomi akibat wabah COVID-19, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan stimulus yang terangkum ke dalam 3 stimulus yaitu stimulus fiskal, non fiskal dan sektor ekonomi. Ketiga stimulus tersebut

Akan tetapi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 mengandung potensi-potensi yang dapat merusak praktik ketatanegaraan di Indonesia. Pertama, Perppu ini berpotensi mengarah kepada kekuasaan yang tidak terbatas (absolute power) dalam pembentukan suatu regulasi oleh Presiden. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1/2020 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara yang diatur dengan atau Peraturan Presiden. berkaitan dengan berkaitan dengan kebutuhan masyarakat dalam bidang usaha, bisnis, pajak dan sebagainya. Dalam penanganan COVID-19 Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan politik hukum dengan menerbitkan 3 (tiga) instrumen hukum sebagai langkah pencegahan terhadap penyebaran wabah COVID-19: (1) Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); (2) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, dan; (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Selain itu APBN yang ditetapkan berdasarkan Perppu tersebut bisa menjangkau hingga tahun 2023. Padahal sebagaimana yang diketahui, APBN adalah suatu Undang-Undang yang bersifat periodik karena setiap tahun Undang-Undang APBN direvisi (amandment) sesuai dengan kondisi dan dinamika ekonomi Indonesia. Kedua, norma Pasal 27 Perppu No. 1/2020 dicurigai memberikan kekebalan hukum kepada pembuat kebijakan yang diatur dalam Perppu No. 1/2020, salah satunya yaitu pengguna anggaran. Semua tindakan maupun keputusan yang dibuat tidak dapat dituntut baik secara perdata, pidana maupun tata usaha negara.

Tentunya norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, serta pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum. Ketiga, Perppu tersebut juga tidak menjelaskan secara spesifik politik hukum Pemerintah dalam bidang kesehatan berkaitan dengan tindakan-tindakan yang diambil dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Pemerintah juga melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). PEN di tahun 2021 berfokus mendukung sisi permintaan maupun dari sisi sektor produksi, seperti meningkatkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat, serta pelaksanaan berbagai kebijakan-kebijakan yang dapat membantu sektor usaha, seperti UMKM. Realisasi anggaran PEN mencapai Rp 305,5 triliun. Akan tetapi pada prakteknya pemerintah tidak dengan sungguh-sungguh menciptakan transparansi dalam menangani COVID-19, upaya penanggulangan yang erat kaitannya dengan dana penanggulangan juga masih belum dapat memuaskan harapan masyarakat karena akuntabilitas nominalnya yang masih diragukan. Seiring kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, kasus korupsi di era pandemi ini juga masih berlangsung. Kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Menteri sosial, Juliari Batubara merupakan salah satu contoh kasus korupsi anggaran untuk Covid-19 dan yang mana sampai saat ini Juliari Batubara tidak mengakui perbuatanya. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar, hal ini tentunya tidak berbanding lurus dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup yang digembor-gemborkan pemerintah sebelumnya. Hidup sosial-politik di Indonesia semakin kental diwarnai oleh kepentingan dan ketidakadilan. Melalui partisipasi seluruh komponen bangsa, pengelolaan negara secara transparan dan tegaknya hukum akan meningkatkan sikap komponen bangsa terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap kepedulian, kesetaraan dan kebersamaan akan menumbuhkan rasa persatuan dalam mewujudkan tujuan negara, termasuk pembangunan ekonomi pasca COVID-19.

Di samping itu apabila manajemen negara dilaksanakan dengan visi yang tepat, efektif dan efisien, serta secara bertanggung jawab akan tercipta suatu dorongan dalam mewujudkan negara yang kuat jauh dari kegagalan.

Hal pokok governance terletak pada relasi antar pihak yang dilandasi oleh kesetaraan agar sinergi antar mereka dapat dikembangkan. Oleh karena itu, governance membutuhkan willingness dari masing-masing untuk mengembangkan kerjasama, konsensus, dan akomodasi dalam melawan COVID-19. Harus ada dorongan dalam pendidikan politik untuk publik agar makin berdaya menyuarakan pentingnya kontrol (check and balances) praktik kekuasaan pemerintah, baik lewat parlemen maupun masyarakat sipil demi kepentingan bersama.”

This article is from: