Implikasi Hukum Kekosongan Pengaturan Upah Terhadap Hak Konstitusional Pekerja Akibat Covid-19

Page 1

POLICY BRIEF


Director Greetings Assalamualaikum wr. wb. Shaloom Om Swastiastu Namoo Buddhaya Salam sejahtera dan salam kebajikan bagi kita semua Greetings, ALSAians! Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmatNya kita masih diberikan keselamatan dan kesehatan hingga saat ini. Dengan bangga berikut merupakan Policy Brief dari ALSA Local Chapter Universitas Jember yang dipergunakan sebagai media Audiensi terharap masyarakat dalam program kerja ALSA EAST JAVA SUMMIT yang diselenggarakan bersama ALSA Local Chapter Universitas Airlangga dan ALSA Local Chapter Universitas Brawijaya. Policy Brief dari ALSA Local Chapter Universitas Jember mengangkat permasalahan mengenai “Implikasi Hukum Kekosongan Pengaturan Upah terhadap Hak Konstitusional Pekerja Akibat Pandemi COVID-19” yang pada saat ini menjadi permasalahan atau isu-isu hukum terkini mengenai pengupahan di masa pandemi. Produk hukum ini merupakan hasil dari penelitian research team dari ALSA Local Chapter Universitas Jember yang mana harapan kami dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait terhadap permasalahan yang ada. Untuk para pembaca selamat menikmati dan semoga bermanfaat. Wassalamualaikum wr. wb. Shaloom Om Shanti Shanti Om Namoo Buddhaya Salam Kebajikan bagi kita semua.

ALSA, Always be One!


Research Team & Mitra Bestari

Surya Galih

Alif Suryo F.

Yulvia Chandra

Kania Venisia

2019

2020

2020

Maulana Alief

2020

Dr. Aries Harianto, S.H., M.H

2020

Natasha S.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember

2020


IMPLIKASI HUKUM KEKOSONGAN PENGATURAN UPAH TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL PEKERJA AKIBAT COVID-19 I.

Ringkasan Eksekutif Permasalahan mengenai ketidakmampuan pengusaha dalam membayar upah pekerja sesuai ketentuan upah minimum kabupaten akibat pandemi COVID-19 berimplikasi pada hukum yang berlaku di Indonesia. Pasalnya, hak-hak pekerja dalam menerima upah telah diatur dalam konstitusi Negara Indonesia sehingga apabila hakhak tersebut dilanggar oleh pengusaha, dapat dikenakan sanksi pidana. Di sisi lain, pemotongan upah pekerja karena perusahaan mengalami keadaan memaksa (force majeur) juga memiliki legalitas tepatnya pada KUHPerdata Pasal 1244 dan Pasal 1245. Dalam hal ini, telah ada regulasi yang bertujuan dalam menengahi permasalahan ini, dengan menerapkan penangguhan yang telah diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003. Namun pada faktanya, UU ini tidak dapat mengakomodir permasalahan yang ada dan tidak memihak hak-hak pekerja. Banyaknya regulasi yang saling bertentangan mengakibatkan tumpang tindih antar undang-undang yang ada dan tidak menciptakan kepastian hukum di masyarakat. Regulasi yang tidak dapat menampung seluruh pihak dapat menimbulkan kesewenang-wenangan oleh pengusaha. Dibutuhkan regulasi baru yang mengatur secara komprehensif permasalahan ini yang melibatkan seluruh pihak dari pekerja dan pengusaha. Sehingga, hal ini juga dapat menjadi ius constituendum bagi seluruh masyarakat pasca pandemi COVID-19 yang bertujuan dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

II.

Pendahuluan Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan tentunya memiliki seperangkat hak yang melekat pada dirinya dan harus dijaga serta dilindungi. Termasuk dalam hak untuk mendapatkan pekerjaan yang merupakan bagian dari hak asasi.1 Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 yang menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum tentunya semua hakhak warga negara Indonesia dilindungi. Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang

1

Winsherly Tan; Dyah Putri Ramadhani, Pemenuhan Hak Bekerja Bagi Penyandang Disabilitas FIsik di Kota Batam, Jurnal HAM, Vol. 11, No. 1, April 2020, h.27


adil dan layak dalam hubungan kerja. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hak atas pekerjaan sebagai hak asasi manusia merupakan hak konstitusional setiap warga negara.2 Pada awal tahun 2020, Virus Corona mulai masuk ke Indonesia dan menjadi sebuah wabah baru yang mengakibatkan pandemi.3 Tentunya hal ini berdampak besar kepada kehidupan semua warga Indonesia, khususnya bagi pekerja. Semenjak terjadinya pandemi, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk membatasi ruang gerak masyarakat. Beberapa kebijakan pembatasan ruang gerak publik oleh pemerintah diantaranya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang didasari oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB.4 Kebijakan lainnya yaitu PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang didasari Inmendagri No. 1 Tahun 2021 tentang PPKM.5 Hal ini tentunya berdampak pada perekonomian banyak orang dikarenakan terbatasnya serta kurangnya mobilitas yang diizinkan oleh pemerintah. Sehingga semakin marak perusahaan yang merugi hingga maraknya PHK dikarenakan pengusaha tidak mampu membayar upah sesuai dengan UMK.6 Salah satu dampak dari pandemi covid-19 adalah maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data yang dipublikasikan dalam Tempo menunjukkan jumlah pekerja yang di PHK telah mencapai 3,05 juta.7 Bappenas sebelumnya memperkirakan pengangguran tahun ini mencapai 4,2 juta sementara menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk berpendapatan rendah dan pekerja di sektor informal adalah kelompok yang paling terdampak dari Covid-19. Kondisi agak berbeda di perkotaan yang terdampak adalah bisnis atau perdagangan. Gelombang PHK naik signifikan selama 9 bulan terakhir.8 Pada masa pandemi Covid-19 umumnya

2

Fithriatus Shalihah, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam Hubungan Kerja Menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dalam Perspektif HAM, UIR Law Review, Vol. 01, No. 02, Oktober 2017, h. 158 3 Syahrial, Dampak Covid-19 Terhadap Tenaga Kerja Di Indonesia, Jurnal Ners, Vol. 4, No. 2, 2020, h. 22 4 RR. Endang Sri Sulasih, Ketidakefektifan Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta, Binamulia Hukum, Vol. 9, No. 1, Juli 2020, h.68 5 Ahmad Gelora Mahardika; Rizky Saputra, Kedudukan Hukum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Legacy Jurnal Hukum dan Perundang-undangan, Vol. 1, No. 1, 2021, h. 2 6 Yusuf Randi, Pandemi Corona Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Oleh Perusahaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, h. 121 7 Moh. Muslim, PHK Pada Masa Pandemi Covid-19, Esensi : Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol.23, No. 3, h. 357 8 Ibid


pemutusan

hubungan

kerja

(PHK)

karena

alasan force

majeure (keadaan

memaksa) dan efisiensi. Dampak pandemi Covid-19,selain pekerja di-PHK, Sebagian pekerja “dirumahkan”, pemutusan kontrak kerja sebelum berakhir, pemotongan upah, hingga memberlakukan prinsipno work no pay(tidak bekerja, tidak dibayar).9 Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dinilai tidak mampu mengakomodir beberapa realitas yang disebabkan oleh pandemi.10 Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran kepada Gubernur Se Indonesia dengan Surat Edaran Nomor M/11/HK.04/2020 yang mengatur mengenai penetapan upah minimum tahun 2021 pada masa pandemi covid-19.11 Berdasarkan surat edaran tersebut memuat solusi pengupahan menurut pemerintah yaitu berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan tenaga kerja. Berdasarkan beberapa ketentuan perundangundangan Undang-Undang Nomo 30 Tahun 2014 Tentang Adminitrasi Pemerintahan Pasal 87 Huruf A dan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala Arsip Nasional RI Nomor 2 Tahun 2014, surat edaran digolongkan sebagai produk tata naskah dinas oleh karena itu idealnya surat edaran hanya sebatas alat komunikasi kedinasan berupa pembertahuan kepada kalangan internal dikarenakan sifatnya informatif maka surat edaran tidak boleh mengatur hal-hal yang melampaui kewenagan dan bertenatngan dengan peraturan perundang-undangan.12 Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tersebut bukanlah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan karena secara substantif hanya mengatur aspek teknis di lingkungan/instansi yang bersangkutan.13 Dengan demikian timbul sebuah ketidakpastian hukum soal pengupahan di kala pandemi yang tentunya ketidakpastian hukum tersebut kemungkinan besar menimbulkan ketidakadilan.14

9

Abd. Jalil ; Sri Kasnelly, Meningkatnya Angka Pengangguran di Tengah Pandemi Covid-19, Al Mizan : Jurnal Ekonomi Syariah, Vol.2, h. 48 10 Ibid 11 https://kemnaker.go.id/news/detail/menaker-ida-terbitkan-se-penetapan-upah-minimum-tahun-2021, diakses pada 26 Oktober 2021 Pukul 10.00 12 http://puskapsi.fh.unej.ac.id/kedudukan-surat-edaran-sebagai-produk-hukum-dalam-penanggulangancovid19/ diakses pada 3 November 2021 pukul 18.00 13 Yusuf Randi, op.cit , h. 121 14 Meirina Fajarwati, Upaya Hukum Untuk Melindungi Hak KOnstitusional Warga Negara Melalui Mahkamah Konstitusi, Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, h. 304


III.

Metodologi Dalam penelitian ini memakai metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian terhadap asas-asas hukum positif yang tertulis dalam perundang-undangan. Data yang kami pakai didalamnya menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang sudah diolah dan didokumentasikan sehingga sering disebut data kepustakaan, antara lain peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah dan buku-buku hukum. Dokumen dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu kejadian, Pendekatan yang dilakukan pendekatan kasus (case approach) atau pendekatan undang-undang (statue approach). Pendekatan kasus atau case approach adalah suatu pendekatan dalam penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Sedangkan pendekatan undang-undang atau statue approach adalah suatu pendekatan dalam penelitian yuridis normatif yang dapat digunakan sebagai aturan-aturan hukum.

IV.

Hasil Temuan

1. Ketidakmampuan Pengusaha Membayar Upah Pekerja Sesuai Ketentuan Upah Minimum Kabupaten Akibat Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Terjadinya pandemi Covid-19 yang menyebar secara cepat dan masif memiliki dampak di bidang non kesehatan yakni perekonomian. Hal ini merupakan suatu akibat dari pembatasan mobilitas dan interaksi yang dilakukan secara masif oleh pemerintah. Pekerja merupakan orang yang sangat rentan akan dampak pandemi Covid-19 ini baik dari segi kesehatan maupun pekerjaan. Dari segi pekerjaan, tidak sedikit pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tidak sedikit juga yang mengalami pemotongan upah dari yang seharusnya. Pemotongan upah pekerja dilakukan pengusaha atas dasar keadaan terpaksa (force majeur) yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Dalam KUHPerdata Pasal 1244 dan Pasal 1245 setidaknya terdapat tiga unsur yang memenuhi untuk dapat dikatakan keadaan terpaksa (force majeur) yakni yang pertama, tidak terpenuhinya prestasi. Kedua, terdapat sebab yang di luar kesalahan salah satu pihak dalam


perjanjian. Ketiga, faktor penyebabnya merupakan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya.15 Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai keadaan memaksa (force majeur) ketika memenuhi unsur tersebut, dengan syarat secara tegas dinyatakan di dalam perjanjian kerja, karena jika tidak yang harus diperhatikan adalah prestasinya.16 Di dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa upah merupakan hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja yang ditetapkan atas suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan dari pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juga mengatur mengenai pengupahan sebagaimana tertera pada Pasal 90 yang menyebutkan bahwa “Pengusaha dilarang untuk membayar upah pekerja lebih rendah dari dari upah minimum sebagaimana tertera di Pasal 8 9”. Hal ini, berarti bahwa pemotongan upah pekerja tidak dibenarkan di dalam perspektif undang-undang ketenagakerjaan.17 Tidak hanya itu, pemotongan upah pekerja secara sepihak juga tidak dibenarkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 mengenai Pengupahan. Pada Pasal 63 ayat 2 dijelaskan bahwa pemotongan upah harus dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak. Pemotongan upah hanya dapat dikenakan untuk memenuhi denda, ganti rugi, dan atau uang muka upah. Jadi, menurut Pasal 63 ayat 2 tersebut berarti bahwa pengusaha dapat melakukan pemotongan upah terhadap pekerja apabila pemotongan upah tersebut tertulis atau sudah diperjanjikan di dalam kontrak kerja. Selain itu, pemotongan upah juga dapat dilakukan jika terdapat aturan perusahaan mengenai pemotongan upah tersebut.18

Daryl John Rasuh, “KAJIAN HUKUM KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) MENURUT PASAL 1244 DAN PASAL 1245 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA,” No. 2. 16Tri Harnowo MA S. H. , MM , LL M., hukumonline.com, https://hukumonline.com/klinik/detail/lt5e81ae9a6fc45/wabah-corona-sebagai-alasan-iforce-majeur-i-dalamperjanjian, diakses 30 Oktober 2021. 17 Nanang Rudi Hartono dan Amalia Suci Ramadhani, “Tinjauan Yuridis Kebijakan Work From Home Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan,” Jurnal Supremasi, Vol. 10, No. 2, September, 2020. 18 Ibid. 15


2. Implikasi Hukum terhadap Hak Konstitusional Pekerja Atas Ketidakmampuan Pengusaha untuk Membayar Upah Sesuai Ketentuan Upah Minimum Kabupaten Sebagai Akibat Pandemi COVID-19 Dengan adanya Pandemi Covid-19 membuat sektor ketenagakerjaan sebagian besar tidak beroperasi. Akibatnya, tidak sedikit perusahaan yang memutuskan untuk merumahkan pekerja atau menjalankan pekerjaan dari rumah (work from home). Namun, meskipun terdapat kondisi force majore itu tidak membuat para pekerja tidak menjalankan pekerjaannya, maka upah dan tunjangan tetap dibayar oleh perusahaan. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam kondisi ini berpotensi banyak perselisihan mengenai ketenagakerjaan salah satunya seperti pemenuhan hak terhadap para pekerja yang berkaitan dengan ketentuan pemberian upah.19 Begitu pentingnya pemenuhan upah sebagai hak dari pekerja, mengingat para pekerja memperoleh upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana hal tersebut telah termaktub pada Pasal 28 D Ayat (2) Undang-Undang Dasar RI 1945 yang berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja “. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa negara terdapat kewajiban dan adanya perlindungan kepada tenaga kerja khususnya dalam pemberian upah.20 Selanjutnya, sebagaimana telah dipertegas kembali dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, yang merupakan turunan dan memperjelas amanah konstitusi pada Pasal 27 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Amanah tersebut menunjukkan bahwa para pekerja/buruh memiliki hak konstitusional yang harus dijamin kelayakannya terkait pengupahan yang diberikan kepada mereka. Namun dengan kondisi yang ada saat ini, pandemi COVID-19 menimbulkan kesengsaraan bagi para pekerja. Akibatnya banyak sekali pekerja yang dirumahkan, pemotongan gaji, PHK

Halida Zia, “Kajian Hukum Ketenagakerjaan Terhadap Pemotongan Gaji Karyawan Karena Perusahaan Terdampak Covid-19,” Datin Law Jurnal 1, No. 2 (November 28, 2020): 1–2, Accessed October 26, 2021, Https://Ojs.Umb-Bungo.Ac.Id/Index.Php/Datin/Article/View/450. 20 Dhitania Annisa And Andriyanto Adhi Nugroho, “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Dirumahkan Terkait Remunerasi Dalam Masa Pandemi Covid-19” (N.D.): 2–3. 19


besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan karena tidak mampu membayar upah sesuai Upah Minimum Kabupaten.21 Seperti data yang dipaparkan dari Badan Pusat Statistik yang release pada Februari 2021 dimana ada sebanyak 6,26% tingkat pengangguran terbuka, 19,10 juta orang (9,30 persen penduduk usia kerja) yang terdiri dari 1,62 juta orang pengangguran, tidak bekerja karena COVID-19 sebanyak 1,11 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID19 sebanyak 15,72 juta orang.22 Salah satunya, hal tersebut terjadi pada kasus PT. Panca Puji Bangun yang dimana sudah diputus oleh Hakim Mahkamah Agung karena memberikan upah terhadap pekerja dibawah upah minimum. Tidak hanya itu, terdapat beberapa pekerja dinonaktifkan secara sepihak oleh perusahaan tersebut bahkan tidak sedikit para pekerja yang sudah dirumahkan meminta pemberian upah disesuaikan dengan upah minimum tetapi perusahaan tersebut tidak memberikan dengan alasan keberatan. Oleh karena itu, sebagaimana dengan kasus tersebut tentu bertentangan dengan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana kejahatan dengan adanya ancaman pidana/atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) UU 13 Tahun 2003. Oleh karena itu, pembayaran upah minimum merupakan suatu keharusan dan tidak dapat diganggu gugat. Dengan kata lain, meskipun terdapat ketidakmampuan perusahaan dalam kondisi pandemi COVID-19 tidak terlepas dari kewajiban perusahaan untuk membayar selisih upah minimum tersebut selama masa penangguhan berlaku dan itu menjadi hutang untuk perusahaan yang harus dibayarkan terhadap para pekerja/buruh. Penangguhan terhadap perusahaan terkait pemberian upah telah diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa “Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk Henny Damaryanti, Sy. Abdullah Alkadrie, And Annurdi Annurdi, “Pemenuhan Upah Minimum Sebagai Upaya Perlindungan Hak Konstitusional,” Jurnal Hukum Media Bhakti 1, No. 2 (February 27, 2020): 11, Accessed October 26, 2021, Http://Journal.Fhupb.Ac.Id/Index.Php/Jhmb/Article/View/8. 22 “Februari 2021: Tingkat Pengangguran Terbuka (Tpt) Sebesar 6,26 Persen - Badan Pusat Statistik,” Accessed November 5, 2021, Https://Www.Bps.Go.Id/Pressrelease/2021/05/05/1815/Februari-2021--TingkatPengangguran-Terbuka--Tpt--Sebesar-6-26-Persen.Html. 21


membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan”.23 Meskipun terdapat solusi yaitu dengan memberikan penangguhan terhadap perusahaan kepada para pekerja/buruh. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan diatas sangat kontradiktif terhadap perlindungan yang diberikan oleh konstitusi terhadap pekerja yakni terlihat pada sepanjang frasa “ tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan”. Hal tersebut ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi yang menimbang dalam

Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor : 72/PUU-XIII/2015 bahwa sepanjang frasa dalam penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 Pada pasal 28 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” yang di mana menyebabkan buruh terancam mengenai hak nya untuk mendapatkan imbalan yang adil dan layak selama masih dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, Mahkamah konstitusi menegaskan kembali meskipun Pelaku perusahaan dapat memohon penangguhan atas pemenuhan upah minimum namun selisih kekurangan dari pemenuhan upah wajib dipenuhi.24 Sehingga bisa ditarik benang merah bahwa larangan pemberian upah dibawah upah minimum dapat dikategorikan sebagai upaya perlindungan terhadap pekerja/buruh.25 Hal tersebut dilakukan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para para pekerja/buruh agar para pengusaha tidak berlindung dibalik batu, bahwa perusahaan tidak berlindung dibalik kata ketidakmampuan. Dengan demikian pemenuhan selisih upah minimum itu merupakan kewajiban.

23

Ibid., 6–9.

24

Ibid., 10–13.

25

Ibid., 6–8.


Namun pemenuhan selisih upah minimum itu saja belum cukup untuk memenuhi hak-hak konstitusi para pekerja/buruh di masa pandemi. Karena terjadinya kerugian seperti ini pun merupakan hal yang tak dapat disangkal oleh perusahaan, perusahaan akan melakukan pergeseran orientasi yang lebih mengutamakan keberlangsungan usahanya daripada profit yang didapat.26 Di samping perusahaan yang tetap harus melakukan kewajibannya, pemerintah juga sudah berusaha untuk mengeluarkan Surat Edaran sebagai jalan keluar pengupahan di masa pandemi. Namun, hadirnya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang sangat banyak dan membahas hal-hal yang berbeda tentunya membuat hukum semakin tidak tertata. Apalagi Peraturan Menteri dan Surat Edaran ini tidak termasuk ke dalam kategori peraturan perundang-undangan, karena SE hanya mengatur secara internal di instansi yang bersangkutan. Tetapi Surat Edaran dan Peraturan Menteri ini dijadikan dasar untuk pengupahan sesuai dengan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan perusahaan. Yang mana pemberian subsidi gaji/upah diatur dalam Pasal 3, Pasal 3B, Pasal 4, dan Pasal 8 yang intinya subsidi upah/gaji akan diberikan oleh pemerintah kepada pekerja yang berhak dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu yang diatur dalam pasal-pasal tersebut. Kekosongan hukum di masa pandemi COVID-19 ini semakin melemahkan kemaslahatan

para

pekerja/buruh.

Pengupahan

sesuai

kesepakatan

sangat

mengenyampingkan hak konstitusional para pekerja/buruh. Hal ini dapat memicu kesewenangan perusahaan dalam memberikan upah yang tidak sepadan dengan pekerjaan yang dilakukan di masa yang sangat membahayakan keselamatan para pekerja. Begitu pula dengan pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaan yang banyak terjadi selama pandemi. Menurut Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003, Perusahaan wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang hubungan kerjanya diakhiri sebelum jangka waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau bukan termasuk ke dalam berakhirnya perjanjian kerja yang tercantum di dalam Pasal 61 ayat (1) UU tersebut. Maka dari itu, apabila upah yang disepakati berada dibawah batas yang sudah ditetapkan maka hal tersebut berbahaya dan dilarang karena akan menyebabkan menumpuknya hubungan industrial.

26

Kristianus Jimy Pratama, “Meninjau Politik Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dalam Keadaan Pandemi,” Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 10, no. 1 (April 28, 2021): 151–165.


V. Rekomendasi Rekomendasi solusi hukum yang dapat kami berikan untuk menyelesaikan permasalahan pengusaha yang tidak mampu membayar upah sesuai dengan ketentuan upah minimum kabupaten akibat pandemi COVID-19, yaitu: 1.

Pemerintah diharapkan membuat regulasi hukum atau Undang-Undang baru terkait pengupahan di masa pandemi. Regulasi ini nantinya dapat digunakan juga apabila terjadi pandemi yang tidak dapat diprediksi kedepannya, karena pada saat ini pengaturan pengupahan di masa pandemi tidak diatur secara jelas dan konkrit, pengaturan pengupahan di masa pandemi tidak diatur secara jelas dan spesifik dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dalam surat keputusan ayat 3 Bab Pelaksanaan Upah dan Hak-Hak Pekerja/ Buruh Lainnya tersebut hanya menyatakan, “Penyesuaian upah yang dilakukan oleh pengusaha dalam masa pandemi Covid-19 dilakukan dialog tersebut dilakukan secara musyawarah dengan dilandasi kekeluargaan, transparansi dan itikad baik” Terlihat dalam hal ini, pengaturan pengupahan di masa pandemi tidak mengedepankan aspek hak konstitusional pekerja yang jelas dan mengikat untuk mencapai sebuah keadilan jaminan pengupahan sesuai dengan ketentuan UMK di masa pandemi. Dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga tidak mengatur apabila hasil atau output apabila hasil kesepakatan upah di bawah UMK yang dapat menyebabkan ketidaksejahteraan buruh dalam menjalankan kebutuhan dalam kehidupannya. Apabila tidak terjadi sebuah kesepakatan dalam surat keputusan tersebut tidak mengatur jelas mekanisme untuk mencapai sebuah hasil atau output yang adil untuk perusahaan dan pekerja. Melihat dari realita di lapangan hal yang serupa sebagaimana disampaikan oleh Prof. H.R. Abdussalam, bahwa dari hasil pengamatan dan wawancara dengan para pekerja/buruh, mereka masih diperlakukan


secara sepihak baik oleh pengusaha maupun oleh pihak pemerintah.27 Sehingga urgensi sebuah Undang-undang pengaturan pengupahan pekerja di masa pandemi ini sangat dibutuhkan, karena sebuah ketidakpastian akan melahirkan sebuah ketidakadilan. 2. Penegasan dari Para Penegak Hukum untuk Para Pengusaha atau Perusahaan dalam Menerapkan Pedoman Pengupahan yang Sudah Ada Kekosongan hukum akibat tidak adanya Undang-undang yang mengatur secara jelas dan mengikat terkait dengan pengupahan di masa pandemi yang akan menimbulkan kesewenangan pihak perusahaan, serta dapat menyebabkan ketidakadilan dari pihak pekerja, perlunya penegasan dari para penegak hukum untuk para pengusaha atau perusahaan dalam menerapkan pedoman pengupahan yang sudah ada, dalam hal ini Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dalam surat keputusan ayat 3 Bab Pelaksanaan Upah dan Hak-Hak Pekerja/ Buruh Lainnya yang harus

diberikan

perhatian

dalam

pelaksanaannya,

untuk

meminimalisir

ketidakadilan yang dapat terjadi akibat kekosongan hukum serta ketidakpastian tentang peraturan pengupahan di masa pandemi, terlebih lagi untuk mencegah Pemutusan Hubungan Kerja untuk para pekerja di masa pandemi saat ini.

27

H.R. Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang Telah Direvisi, Cetakan III, (Jakarta: Restu Agung, 2009), hal. 345-346.


DAFTAR PUSTAKA Annisa, Dhitania, and Andriyanto Adhi Nugroho. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA YANG DIRUMAHKAN TERKAIT REMUNERASI DALAM MASA PANDEMI COVID-19” (n.d.): 13. Damaryanti, Henny, Sy. Abdullah Alkadrie, and Annurdi Annurdi. “PEMENUHAN UPAH MINIMUM SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL.” JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI 1, no. 2 (February 27, 2020). Accessed October 26, 2021. http://journal.fhupb.ac.id/index.php/jhmb/article/view/8. Hartono, N. R., & Ramadhani, A. S. (2020). TINJAUAN YURIDIS KEBIJAKAN WORK FROM HOME BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN. Jurnal Supremasi Vol.10 No.2 . Harnowo, T. (2020). Wabah Corona Sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjian. hukumonline.com, https://hukumonline.com/klinik/detail/lt5e81ae9a6fc45/wabahcorona-sebagai-alasan-iforce-majeur-i-dalam-perjanjian, diakses 30 Oktober 2021. Jimy Pratama, Kristianus. “Meninjau Politik Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dalam Keadaan Pandemi.” Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 10, no. 1 (April 28, 2021): 151–165. Rasuh , D. J. (2016). KAJIAN HUKUM KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEUR) MENURUT PASAL 1244 DAN 1245 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Lex Privatum, Vol. IV No.2 . Zia, Halida. “KAJIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN TERHADAP PEMOTONGAN GAJI KARYAWAN KARENA PERUSAHAAN TERDAMPAK COVID-19.” DATIN LAW JURNAL 1, no. 2 (November 28, 2020). Accessed October 26, 2021. https://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/DATIN/article/view/450.


ALSA, ALWAYS BE ONE!


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.