PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA KERJA LOKAL ATAS PENERBITAN RENCANA PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING

Page 1

Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja Lokal atas Penerbitan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Julienna Hartono, Annisa Amalia dan Indah Permatasari Kosuma Fakultas Hukum Universitas Airlangga hartonojulienna@yahoo.co.id

Abstrak Penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Tujuan dari penggunaan tenaga kerja asing adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja dengan keahlian dalam bidang tertentu yang belum dapat diduduki oleh tenaga kerja lokal. Namun, perlu adanya pembatasan penggunaan tenaga kerja asing serta perlindungan hukum bagi tenaga kerja lokal agar kesempatan kerja tidak didominasi oleh tenaga kerja asing. Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 mengatur bahwa pemberi kerja yang memperkerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), yang sekaligus merupakan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. Namun pada praktiknya, RPTKA tersebut sering mengundang permasalahan, seperti aksi penolakan tenaga kerja asing yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Aksi Penolakan terjadi dikarenakan tidak adanya transparansi mengenai RPTKA. Sehingga tidak menutup kemungkinan telah terjadi pelanggaran dalam penggunaan tenaga kerja asing. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja lokal atas penerbitan RPTKA tersebut. Perlindungan hukum terdiri atas perlindungan hukum preventif dan represif. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja lokal hanya perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bagi tenaga kerja lokal terhadap penerbitan RPTKA tidak tersedia dikarenakan masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dalam penerbitan RPTKA. Kata Kunci: Tenaga Kerja Lokal; Tenaga Kerja Asing; Perlindungan Hukum; Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

I.

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam menjalankan kegiatan usahanya, pemberi kerja dapat memperkerjakan tenaga kerja asing

(TKA). Tujuan penggunaan TKA adalah untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja dengan keahlian dalam bidang tertentu yang belum dapat diduduki oleh tenaga kerja lokal. Adapun pemberi kerja dapat berupa perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.1 Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

1

Undang-Udang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), Ps.1 angka 4.


untuk masyarakat.2 Dan pekerja adalah tiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentu lain.3 Penggunaan TKA diatur dalam pasal 42-49 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa ketentuan dalam mempekerjakan TKA adalah sebagai berikut: a. TKA yang dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja berdasarkan jabatan dan waktu tertentu.4 b. TKA dilarang menduduki jabatan personalia; penggunaan TKA hanya diperbolehkan untuk pekerjaan dengan keahlian khusus.5 c. Pemberi kerja TKA wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA dengan tujuan alih teknologi.6 d. Pemberi kerja TKA wajib membayar kompensasi untuk setiap TKA yang digunakannya.7 Dalam mempekerjakan TKA, banyak kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh pemberi kerja. Oleh karena itu, pemberi kerja yang memperkerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dan rencana penggunaan tenaga kerja asing atau RPTKA.8 RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.9 RPTKA sekaligus merupakan izin untuk mempekerjakan TKA.10 Sehingga, dari pemaparan diatas perlu diketahui antara RPTKA dan pengesahan RPTKA adalah dua dokumen yang berbeda. Adapun dalam penelitian ini walaupun istilah yang digunakan hanya RPTKA, namun antara RPTKA dan dokumen pengesahan RPTKA adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. RPTKA merupakan izin untuk mempekerjakan TKA. Izin (toestemming) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang dilarang.11 Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa karakter izin adalah mempengaruhi hak orang lain. Jika penggunaan TKA tidak diatur atau dibatasi, maka akan mengurangi kesempatan kerja yang dimiliki oleh tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, sebagaimana telah

2

Ibid.,ps.1 angka 2. Ibid.,ps.1 angka 3. 4 Ibid.,ps.42(4). 5 Ibid., ps.1 angka 2 6 Ibid.,ps.45. 7 Ibid., ps.47. 8 Ibid.,ps.42 jo. ps.43. 9 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 39), ps.1 angka 4 10 Ibid.,ps.9. 11 JJ.H.Bruggink, Refleksi tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Cet.IV (terjemahan Arief Sidharta),Citra Aditya Bakti, Bandung,2015, h.101 3


diuraikan dalam paragraf sebelumnya, pemerintah menentukan kriteria penggunaan TKA sedemikian rupa agar tetap melindungi tenaga kerja lokal, serta memastikan pemberi kerja tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam mempekerjakan TKA.12 Hukum perizinan mengenal konsep perlindungan hukum (rechtsbescherming). Hal ini merupakan konsekuensi dari karakter izin yang mempengaruhi hak orang lain. Philipus M. Hadjon mendefinisikan perlindungan hukum sebagai “perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak – hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan umum dari kesewangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal lainnya.”13 Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut juga ditegaskan dengan pasal 28D (1) UUD NRI 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Perlindungan hukum dibedakan menjadi dua, preventif dan represif.14 Perlindungan preventif (pencegahan) dilakukan sebelum pelanggaran terjadi, misalnya pengajuan keberatan atau dengar pendapat sebelum suatu keputusan diterbitkan oleh pejabat pemerintah. Adanya perlindungan hukum preventif mendorong penerbit keputusan untuk berhati-hati dalam membuat keputusan yang bersifat diskresi.15 Sedangkan, perlindungan hukum represif dilakukan setelah terjadi sengketa, misalnya fasilitas keluhan, mediasi, arbitrase, gugatan di pengadilan, dll. Adapun perlindungan hukum represif dilakukan melalui jalur non litigasi dan litigasi.16 Konsep perlindungan hukum adalah melindungi masyarakat dari kesewenangan penguasa. Oleh karena itu, berfungsinya perlindungan hukum secara maksimal sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat. Dengan kata lain, peran serta masyarakat merupakan tolak ukur dalam menilai perlindungan hukum. Peran serta masyarakat adalah proses yang memberikan masyarakat peluang untuk terlibat atau mempengaruhi keputusan penguasa.17 Wahyudi Kumorotomo menulis bahwa peran serta masyarakat adalah “Corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan

12

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,

13

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Jakarta,1989,

h.200 h.40. 14

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya,1987,h.4 Ibid. 16 Ibid., h.5. 17 Hesty Hastuti, Penelitian Hukum tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pengaturan Tata Ruang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011, h.38 15


timbal balik antara pemerintah dengan warganya.”18 Dalam perizinan, prinsip peran serta sangat penting mengingat izin adalah instrumen yang akan mempengaruhi hak warga lainnya. Pada kenyataanya, sering terjadi kericuhan saat kedatangan TKA ke tanah air. Misalnya, aksi penolakan TKA yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Penolakan ini terjadi diantaranya karena tidak ada transparansi mengenai RPTKA, sehingga banyak asumsi bahwa TKA yang dikirim bukan TKA tenaga ahli.19 Selain itu, tenaga kerja lokal juga meragukan alih teknologi oleh pemberi kerja TKA. 20 Bentuk penolakan terhadap TKA dilakukan melalui demo, atau aksi mogok kerja, yang sejatinya tidak menjamin ada hasil yang memuaskan. Oleh karena itu para penulis tertarik untuk membahas perlindungan hukum bagi tenaga kerja lokal atas penerbitan RPTKA

B. RUMUSAN MASALAH

II.

1.

Apa perlindungan hukum preventif bagi tenaga kerja lokal atas penerbitan RPTKA?

2.

Apa perlindungan hukum represif bagi tenaga kerja lokal atas penerbitan RPTKA?

PEMBAHASAN

1. Perlindungan Hukum Preventif bagi Tenaga Kerja Lokal atas Penerbitan RPTKA Tolak ukur yang digunakan untuk membahas perlindungan hukum preventif dalam penerbitan RPTKA adalah peran serta masyarakat dalam penerbitan RPTKA. Peran serta masyarakat diatur dalam pasal 39 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik jo. pasal 41 PP 96/2012 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dimana peran serta masyarakat dalam pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai evaluasi dan pemberian penghargaan. Sehingga dalam menerbitkan RPTKA, pihak yang berwenang mengeluarkan izin wajib melibatkan masyarakat sejak penyusunan standar pelayanan, penerbitan izin, sampai pelaksanaan atau penggunaan izin. Perlindungan hukum preventif dilakukan sebelum terjadi pelanggaran atau sengketa. Dengan demikian, perlindungan hukum preventif mengarah pada keterlibatan masyarakat dalam penerbitan izin. Keterlibatan dalam penerbitan izin dapat berupa upaya keberatan, dengar pendapat, dll. Adapun peran

18

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers, Depok, 1999,h.112-114. Sitti Harlina, “Tolak Kedatangan TKA China Gelombang3, Massa di Kendari Blokade Jalan”, Detik News (online), 7 Juli 2020, h.1, dalamhttps://news.detik.com/berita/d-5083726/tolak-kedatangan-tka-chinagelombang-3-massa-di-kendari-blokade-jalan, diakses pada 12 Agustus 2020. 20 Chandra Iswiwarno, “Aksi Penolakan TKA China Kembali Digelar di Konawe, Massa Lakukan Sweeping”, Suara.com (online), 30 Juni 2020, dalam https://www.suara.com/news/2020/06/30/220711/aksipenolakan-tka-china-kembali-digelar-di-konawe-massa-lakukan-sweeping, diakses pada 12 Agustus 2020. 19


serta masyarakat dalam penerbitan izin hanya memungkinkan bila ada transparansi dan publikasi dari pihak yang berwenang.21 Tujuan dari peran serta masyarakat dalam penerbitan izin adalah sebagai bahan pertimbangan pemberi izin dalam memutuskan pemberian izin, mengingat keputusan tersebut merupakan keputusan berdasarkan wewenang bebas atau diskresi.22 Perlu dicatat bahwa karena izin adalah keputusan bersifat diskresi, maka tidak ada kewajiban bagi pemberi izin untuk mempertimbangkan pendapat masyarakat. Dengan kata lain, apakah pendapat masyarakat dipertimbangan, keputusan itu berada di tangan pemberi izin. Dalam rangka penerbitan RPTKA, tidak terdapat publikasi maupun fasilitas pengajuan keberatan dan/atau dengar pendapat. Singkatnya, tidak terdapat peran serta masyarakat dalam rangka penerbitan RPTKA. Dilihat dari jangka waktu perolehan RPTKA, secara umum, hanya membutuhkan 2 (dua) hari sejak permohonan diterima secara lengkap untuk mengesahkan RPTKA.23 Tentu dalam jangka waktu yang sangat singkat tersebut, tidak memungkinkan adanya publikasi, apalagi upaya keberatan maupun dengar pendapat. Contoh dari peran serta masyarakat dalam penerbitan izin adalah dalam rangka penerbitan izin lingkungan. Menteri, gubernur, bupati/walikota wajib mengumumkan tiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.24 Pengumuman permohonan dan keputusan izin lingkungan memungkinkan peran serta masyarakat e.g. keberatan, dengar pendapat, dll dalam proses pengambilan keputusan izin. 25 Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum preventif bagi tenaga kerja lokal atas penerbitan RPTKA tidak tersedia. Standar penerbitan RPTKA yang hanya memakan waktu 2 hari membuat peran serta masyarakat tidak memungkinkan. Pemerintah hendaknya membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan serta dalam penerbitan RPTKA, mengingat tenaga kerja lokal lah yang paling terdampak dengan kedatangan TKA.

2. Perlindungan Hukum Represif bagi Tenaga Kerja Lokal atas Penerbitan RPTKA Perlindungan hukum represif dilakukan setelah terjadi pelanggaran dan/atau sengketa. Dengan kata lain, pada dasarnya perlindungan hukum represif merupakan upaya penyelesaian sengketa. KBBI mendefinisikan sengketa sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat atau pertengkaran. 21

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846), penjelasan umum. 22 Adrian Sutedi, Op.Cit., h.173. 23 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 39), ps.8. 24 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059), ps.39. 25 Ibid., penjelasan ps.39.


Dalam hal tenaga kerja lokal dirugikan oleh penerbitan RPTKA, penyelesaian sengketa dapat diajukan terhadap dua pihak; pemberi kerja sebagai pembuat RPTKA; Menteri Tenaga Kerja atau pihak yang ditunjuk sebagai pihak yang menerbitkan dokumen pengesahan RPTKA.26 Pihak yang ditunjuk untuk mengesahkan RPTKA adalah Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta & PKK) untuk mempekerjakan 50 atau lebih TKA, dan Direktur Pengendalian TKA untuk mempekerjakan kurang dari 50 TKA.27 Adapun penyelesaian sengketa antara tenaga kerja lokal dengan pemberi kerja disebut penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI).28 Perlindungan hukum represif dibagi lagi menjadi perlindungan hukum represif melalui jalur non litigasi dan litigasi. Macam-macam perlindungan hukum represif melalui jalur non litigasi yaitu: 2.1. Perlindungan hukum represif jalur non litigasi a. Sarana pengaduan Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara, Ombudsman, DPRD Provinsi, dan/atau DPRD Kabupaten/Kota.29 Pengaduan diajukan oleh orang yang dirugikan terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban/melanggar larangan, dan/atau memberi pelayanan yang tidak sesuai standar pelayanan.30 Dengan demikian sarana pengaduan merupakan perlindungan hukum represif yang diajukan terhadap pejabat penerbit dokumen pengesahan RPTKA Dalam rangka pelaksanaan RPTKA, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia menyediakan Layanan Pengaduan Tenaga Kerja Asing. Sehingga masyarakat yang mengetahui adanya tenaga kerja asing ilegal, maupun mengetahui adanya pelanggaran dalam penggunaan TKA, misal TKA mengisi jabatan personalia, masyarakat dapat melakukan pengaduan ke Kementrian Ketenagakerjaan RI melalui nomor dan email yang tertera di website (https://tka-online.kemnaker.go.id/faq.asp).

26

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 39), ps.8. 27 Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 882), ps.13. 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4356). Ps 1 angka 1. 29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038), ps. 40. 30 Ibid., ps.42.


b. Bipatrit/negosiasi Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat butuh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.31 Sebagai contoh apabila setelah penerbitan RPTKA terjadi perselisihan hak yang disebabkan karena TKA bekerja sebagai buruh kasar dan upahnya yang didapat lebih tinggi dari tenaga kerja lokal yang jabatannya sama, maka tenaga kerja lokal dapat menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara bipatrit/negosiasi terlebih dahulu. Apabila upaya tersebut berhasil maka dapat dibuat Perjanjian Bersama.32 Apabila upaya tersebut gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian bipartit telah dilakukan.33 c. Mediasi Mediasi merupakan penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.34 Mediator tersebut berkedudukan sebagai pihak ketiga yang bersifat pasif. Fungsi mediator adalah sebagai penyambung lidah dari pihak yang berselisih. Sebagai contoh dalam hal perselisihan hak tersebut di atas telah dilakukan penyelesaian secara bipartit dan tidak berhasil. Para pihak diberikan kebebasan untuk menyelesaikan dengan cara lainnya yaitu melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Namun apabila tenaga kerja lokal dan perusahaan pemberi kerja tidak menentukan pilihannya maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Apabila dalam penyelesaian melalui mediasi ini tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.35 Apabila upaya ini berhasil, maka selanjutnya akan dibuatkan Perjanjian Bersama yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. d. Konsiliasi Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah 31

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601), ps. 1 angka 10. 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4356). Ps 7. 33 Ibid., ps. 4. 34 Ibid., ps. 1 angka 11. 35 Ibid., ps. 5.


yang ditengahi oleh satu atau lebih konsiliator yang netral.36 Sebagai contoh apabila setelah penerbitan RPTKA terjadi perselisihan kepentingan antara tenaga kerja lokal dengan perusahaan karena TKA yang bekerja di perusahaan tersebut tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia,maka dapat dilakukan penyelesaian dengan cara konsiliasi setelah penyelesaian birpatit yang dilakukan tidak mencapai kesepakatan. Apabila penyelesaian melalui konsiliasi berhasil, maka akan dibuat Perjanjian Bersama yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Namun apabila penyelesaian melalui konsiliasi tidak berhasil, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. e. Arbitrase Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.37 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.38 Sebagai contoh apabila terjadi perselisihan kepentingan tersebut di atas, tenaga kerja lokal dan perusahaan pemberi kerja terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui penyelesaian secara bipatrit. Apabila penyelesaian secara bipatrit tidak berhasil, dan para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan melalui arbitrase, maka putusan yang dihasilkan terhadap perselisihan kepentingan tersebut bersifat final dan binding sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Perlu dicatat bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib secara non litigasi terlebih dahulu. Baru setelah upaya penyelesaian sengketa non litigasi tidak berhasil, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.39

2.2. Perlindungan hukum represif jalur litigasi Perlindungan hukum represif melalui jalur litigasi dilakukan melalui pengadilan, antara tenaga kerja lokal dengan pemberi kerja atau penerbit dokumen pengesahan RPTKA, sesuai kewenangan pengadilan yang bersangkutan. Adapun penyelesaian sengketa litigasi ini terdiri atas:

36

Ibid., ps. 1 angka 13. Ibid., ps. 1 angka 15. 38 Ibid., ps. 32 ayat (1). 39 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4356). Ps 5. 37


a. Gugatan ke PTUN Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dapat dilakukan apabila sengketa merupakan sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara didefinisikan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.40 Objek PTUN adalah keputusan tatausaha negara (KTUN). KTUN merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.41 Pemberi kerja yang hendak mempekerjakan TKA wajib memiliki RPTKA yang disahkan oleh menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Pengesahan menteri ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk itulah yang dapat digugat ke Pengadilan TUN karena pengesahan tersebut memenuhi syarat-syarat KTUN yaitu konkret, individual, dan final. Sehingga para pihak dalam gugatan ke PTUN adalah tenaga kerja lokal dengan pejabat yang mengesahkan dokumen RPTKA, dengan objek keputusan pengesahan RPTKA. b. Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.42 Sehingga dalam hal penerbitan RPTKA, para pihak dalam gugatan PHI adalah tenaga kerja lokal dengan pemberi kerja Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan pada pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja. Perselisihan hubungan industrial terdiri atas perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan.43 Putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan antar serikat pekerja merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sedangkan Putusan Pengadilan Hubungan

40

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5079), ps 1 angka 10. 41 Ibid., ps 1 angka 9. 42 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4356). Ps 1 angka 17. 43 Ibid., Ps 56.


Industrial mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.44 c. Gugatan Perwakilan Kelompok Para tenaga kerja lokal yang merasa dirugikan atas penerbitan RPTKA, dapat melakukan gugatan perwakilan kelompok terhadap pihak pemberi kerja. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Gugatan ini juga biasa disebut dengan gugatan class action.45 Kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, menghindari putusan berulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama. Gugatan class action dapat dilakukan apabila syarat-syarat formil dan materiil dalam pasal 2 dan pasal 3 PERMA 1/2002. Syarat-syarat tersebut yaitu antara lain: a.

Gugatan perwakilan harus menyangkut kepentingan banyak orang, sekurang-kurangnya 10 orang, agar proses gugatan menjadi efektif.

b.

Pihak perwakilan dan anggota kelas yang diwakilkan harus memiliki kesamaan dasar hukum (question of law) dan kesamaan fakta (question of fact) yang bersifat substansial

c.

Pihak penggugat dan anggota kelas yang diwakilkan harus memiliki kesamaan jenis tuntutan.

d.

Pihak yang akan menjadi perwakilan kelas harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk menentukan layak tidaknya ia dalam mengajukan gugatan ke pengadilan.

e.

Pihak perwakilan kelompok wajib menyerahkan surat gugatan perwakilan kelompok sesuai yang diatur pasal 3 PERMA 1/2002.46

III.

KESIMPULAN RPTKA merupakan izin yang harus dimiliki pemberi kerja untuk mempekerjakan tenaga kerja

asing. Mengingat izin memiliki karakter yang mempengaruhi hak orang lain, maka dikenal konsep perlindungan hukum dalam perizinan. Perlindungan hukum betujuan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa. Adapun peran serta masyarakat merupakan tolak ukur dalam menganalisa perlindungan hukum. 44 45

Ibid., h. 1137. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, ps 1

huruf a. 46

Smart Legal Id, “Syarat-Syarat Melakukan Class Action di Indonesia�, https://smartlegal.id/, diakses pada 1 September 2020.


Perlindungan hukum terdiri atas perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan sebelum terjadi pelanggaran atau sengketa. Dengan kata lain, perlindungan hukum preventif adalah keterlibatan masyarakat dalam menerbitkan RPTKA. Perlindungan hukum represif dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau sengketa. Dengan demikian, Perlindungan hukum represif merupakan upaya penyelesaian sengketa. Perlindungan hukum preventif bagi tenaga kerja lokal terhadap penerbitan RPTKA tidak tersedia. Tenaga kerja lokal tidak dilibatkan sama sekali dalam penerbitan RPTKA. Hal ini dibuktikan dengan jangka waktu pengesahan RPTKA yang hanya memakan waktu 2 hari sejak permohonan diterima. Dalam jangka waktu tersebut tentu tidak memungkinkan adanya publikasi dan peran serta masyarakat. Mengingat tenaga kerja lokal yang paling terdampak oleh kedatangan TKA, pemerintah hendaknya menyediakan sarana perlindungan hukum preventif karena pada dasarnya mencegah lebih baik daripada menangani. Perlindungan hukum represif bagi tenaga kerja lokal terhadap penerbitan RPTKA dilakukan melalui jalur non litigasi dan litigasi. Selain itu, perlindungan hukum represif dapat diajukan terhadap dua pihak, pemberi kerja dan/atau pejabat penerbit dokumen pengesahan RPTKA. Sarana perlindungan hukum represif jalur non litigasi terdiri atas sarana pengaduan, serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Perlindungan hukum represif jalur litigasi terdiri atas gugatan ke PTUN, guagatan ke PHI, dan gugatan class action. Adapun para pihak terlebih dahulu wajib menyelesaikan masalah melalui jalur non litigasi. Bila penyelesaian sengketa jalur non litigasi gagal, baru salah satu pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi.

DAFTAR BACAAN Buku Bruggink, JJ.H., Refleksi tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum, Cet.IV (terjemahan Arief Sidharta),Citra Aditya Bakti, Bandung,2015. Hadjon, Philipus M., Perlindungan Bagi Rakyat diIndonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya,1987. Hastuti, Hesty, Penelitian Hukum tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pengaturan Tata Ruang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011. Kansil, C.S.T , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Jakarta,1989. Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers, Depok, 1999. Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.


Artikel dalam Jurnal Anindita, Sisis Noer, „Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Lokal Atas Masuknya Tenaga Kerja Asing Pasca Berlakunya Perpres No. 20 Tahun 2018‟, Jurist-Diction, Vol. 2, No. 3, 2019. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Udang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4356). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5079). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601). Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 39). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 882). Internet Harlina, Sitti, “Tolak Kedatangan TKA China Gelombang3, Massa di Kendari Blokade Jalan”, Detik News (online), 7 Juli 2020, dalamhttps://news.detik.com/berita/d-5083726/tolak-kedatangan-tkachina-gelombang-3-massa-di-kendari-blokade-jalan, diakses pada 12 Agustus 2020. Iswiwarno, Chandra, “Aksi Penolakan TKA China Kembali Digelar di Konawe, Massa Lakukan Sweeping”, Suara.com (online), 30 Juni 2020, dalam https://www.suara.com/news/2020/06/30/220711/aksi-penolakan-tka-china-kembali-digelar-dikonawe-massa-lakukan-sweeping, diakses pada 12 Agustus 2020.


Pramesti, Tri Jata Ayu, “Masalah Pencabutan Keputusan TUN”, https://www.hukumonline.com/, diakses pada 31 Agustus 2020. Smart Legal Id, “Syarat-Syarat Melakukan Class Action di Indonesia”, https://smartlegal.id/, diakses pada 1 September 2020.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.