Problematika Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Analisa Tindakan Pemerintah Terhadap Konflik Lahan

Page 1

Problematika Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Analisa Tindakan Pemerintah Terhadap Konflik Lahan Laman Kinipan Angela Widi, Ika Putri Rahayu, Lailatul Komaria Universitas Airlangga apriska.widiangela-2019@fh.unair.ac.id ,ika.putri.rahayu-2019@fh.unair.ac.id, lailatul.komaria2019@fh.unair.ac.id

Abstrak Konflik antara masyarakat hukum adat Laman Kinipan dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) terkait pembukaan hutan adat Kinipan menjadi perkebunan kelapa sawit masih berkepanjangan hingga saat ini. Bahkan, akhir Agustus 2020, konflik mengeskalasi ketika ketua masyarakat hukum adat Kinipan, Effendi Buhing, ditangkap oleh pihak kepolisian dan terjadi banjir yang menerjang Kinipan yang diduga disebabkan penggundulan hutan Kinipan oleh PT SML. Tidak hanya berhenti di situ, pengakuan masyarakat hukum adat pun juga masih menjadi perdebatan, lantaran ketidakjelasan dan tumpang tindih sistem hukum nasional. Padahal, keberadaan masyarakat hukum adat telah jelas diatur dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2). Hal ini mengakibatkan rendahnya perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang berpotensi mencederai hak konstitusional masyarakat adat sebagai warga negara Indonesia, salah satunya konflik yang menimpa Masyarakat Hukum Adat (MHA) Laman Kinipan. Melihat dampak yang terjadi akibat konflik lahan Kinipan ini ternyata membawa penulis kepada akar permasalahan yang terletak pada ketidaktepatan tindakan yang diambil pemerintah atas kasus tersebut. Tindakan pemerintah dinilai tidak berorientasi dari segi good governance karena tidak terpenuhinya prinsip partisipasi serta tidak berorientasi pada hak masyarakat Kinipan sebagai masyarakat hukum adat maupun warga negara karena beberapa hak yang tercederai di dalamnya. Hak-hak yang tidak terpenuhi tersebut antara lain ialah hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak kepastian hukum.

Kata Kunci: Masyarakat Hukum Adat (MHA) Laman Kinipan, Sistem Hukum Nasional, Good Governance, dan Hak Asasi Manusia.

I.

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Semenjak PT Sawit Mandiri Lestari (yang selanjutnya disebut PT SML) telah berbadan

hukum dengan Akta Notaris Eko Sumarno Nomor 52 tanggal 31 Juli Tahun 2002 dengan pengesahan Menteri Hukum dan HAM Nomor : C/08612 HT.01.01.TH.2004, tanggal 8 April 20041 tersebar kabar bahwa akan terjadi pembukaan hutan di wilayah Adat Kinipan oleh perusahaan perkebunan sawit. tentu saja hal ini memunculkan penolakan dari warga khususnya Masyarakat Hukum Adat Laman

1

Redaksi Betahita,�Masyarakat Kinipan Lindungi Wilayah Adat dari Ekspansi https://betahita.id/news/lipsus/3127/masyarakat-kinipan-lindungi-wilayah-adat-dari-ekspansisawit.html?v=1591338637, diakses pada tanggal 29 September 2020

Sawit�

,


Kinipan (MHA Laman Kinipan), mereka berupaya untuk melindungi dan memperjuangkan hutan peninggalan leluhurnya dari perluasan pembukaan lahan perkebunan.2 Pada tahun 2005, Kinipan masih bagian dari Kecamatan Delang. Saat itu, baik pemerintah desa maupun tokoh masyarakat di kecamatan itu membuat pernyataan untuk menolak kehadiran investasi sawit di wilayah mereka.3 Namun hal tersebut tidak dihiraukan pemerintah. Bahkan, Bupati Lamandau menerbitkan izin lokasi No Ek.525.26/15/SK-IL/VI/2012 tanggal 30 Januari 2012 yang dalam diktum KEENAM Pada areal inti dan plasma yang statusnya Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) agar diproses melalui pelepasan Kawasan Hutan dan sebelum ada keputusan Pelepasan Hutan oleh Menteri Kehutanan dilarang melakukan kegiatan apapun di lapangan4. Kemudian, terbit SK Bupati Lamandau tentang Izin Lingkungan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Sawit PT SML. Lalu, terbit lagi SK Bupati

Lamandau

No.

188.45/479/XI/HUK/2014

tentang

Kelayakan

Lingkungan

Hidup

Pembangunan Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT SML, serta berbagai izin lainnya telah dikantongi perusahaan tersebut. Dikeluarkannya surat izin oleh pemerintah terhadap PT. SML, menggerakkan Environmental Investigation Agency (EIA) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan Kalimantan Tengah (JPIK Kalteng) untuk melakukan pengajuan gugatan kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atas keberatan penerbitan surat izin untuk PT.SML dengan dugaan berpotensi melanggar hukum sekaligus telah melanggar standar ketentuan RSPO.5 Padahal, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sebuah lembaga tempat pendaftaran (registrasi) wilayah adat6 juga telah menetapkan hutan tersebut menjadi milik MHA Laman Kinipan disertai pengeluaran sertifikat wilayah adat sebagai bukti kepemilikan. Di tengah perhelatan publik mengenai penerbitan surat izin yang dimiliki PT. SML tersebut, Bupati Lamandau kembali melanjutkan aksinya dengan mengeluarkan ijin Usaha Perkebunan (IUP) pada tanggal 27 April 2017.7 Kemudian, PT SML juga memperoleh izin Hak Guna Usaha (HGU) berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertananan Nasional Nomor 82/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama PT Sawit Mandiri Lestari Atas Tanah di Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah tertanggal 9 Agustus 2017.8 2

Ibid Save Our Borneo, “Wilayah Adat Terus Digarap, Kinipan Tetap Berjuang”, https://saveourborneo.org/wilayah-adat-terus-digarap-kinipan-tetap-berjuang/, diakses pada tanggal 28 September 2020. 4 Redaksi Betahita, Loc. Cit. 5 Ibid 6 Badan Registrasi Wilayah Adat, “Profil”, https://brwa.or.id/pages/about, diakses pada tanggal 28 September 2020. 7 Eka Hindrati, “KSP Undang Bupati Lamandau dan PT. SML Selesaikan Konflik dengan Masyarakat Adat Laman Kinipan Kalimantan Tengah:, http://www.aman.or.id/2018/10/ksp-undang-bupati-lamandau-dan-pt-smlselesaikan-konflik-dengan-masyarakat-adat-laman-kinipan/, diakses pada tanggal 28 September 2020. 8 Redaksi Betahita, Loc. Cit. 3


Berbagai upaya yang telah dilakukan MHA Laman Kinipan untuk menuntut penghentian operasi perusahaan PT SML yakni dengan melakukan pengaduan secara langsung dengan menyurati Bupati Lamandau, DPRD Lamandau, dan Gubernur Kalimantan Tengah mengenai konflik penggusuran hutan adat yang dilakukan PT. SML.9 Selain itu, aduan serupa juga disampaikan secara langsung kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), dan Kantor Staf Presiden (KSP) pada tanggal 5 Juni 2018, di tempat.10 Secara sigap, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai garda terdepan membela hak masyarakat adat juga turut melakukan pengaduan soal ihwal ini kepada Direktur Penanganan Konflik dan Hutan Adat KLHK dan pengiriman surat penolakan atas pemberian izin HGU terhadap PT SML kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang pada bulan Juni 2018.11 Sejatinya, Kantor Staf Kepresidenan sempat memfasilitasi rapat koordinasi antara Komunitas Adat Laman Kinipan dengan Gubernur Kalimantan Tengah, Bupati Lamandau, dinas-dinas terkait provinsi dan kabupaten, serta para direktorat jenderal dari kementerian pada 2 Agustus 2019 guna membahas masalah sengketa hutan adat ini.12 Sayangnya, Gubernur Kalimantan Tengah dan Bupati Lamandau tidak hadir dalam pertemuan tersebut.13 Sementara itu, aktivitas land clearing terhadap hutan Kinipan masih terus berjalan. Kemudian, pada Juni 2020, secara mengejutkan ditemukan banyak ikan-ikan yang berasal dari sungai di kawasan hutan adat Kinipan yang kini dikuasai PT SML mati.14 Warga menduga penyebab kematian ikan-ikan tersebut karena perusahaan mencemari sungai yang menjadi sumber air warga.15 Upaya untuk mempertemukan warga dan pihak perusahaan dalam satu meja terus dilakukan, tetapi tidak kunjung menemukan titik simpul dari permasalahan ini. Salah satu contohnya seperti yang terjadi pada tanggal 22 Juli 2020, kembali diagendakan pertemuan antara warga dan perusahaan, tetapi pihak perusahaan hanya mendelegasikan tim humas yang tak punya kewenangan memutuskan

9

Ibid. Budi Baskoro, “Perlindungan Hak Adat Kinipan Makin Sulit Kala Investasi Lebih Utama”, https://www.mongabay.co.id/2020/02/13/perlindungan-hak-adat-kinipan-makin-sulit-kala-investasi-lebihutama/ ,diakses pada tanggal 28 September 2020. 11 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara “Catatan Akhir Tahun 2018”, https://www.aman.or.id/wpcontent/uploads/2019/04/CATAHU_18-.pdf, diakses pada tanggal 28 September 2020. 12 Budi Baskoro, "Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka", https://www.mongabay.co.id/2019/08/16/sulitnya-masyarakat-laman-kinipan-mau-pertahankan-hutan-adatmereka/, 16 Agustus 2019, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. 13 Ibid. 14 Mohammad Bernie, "Kasus Effendi Buhing Terkait Pencaplokan Tanah Adat, Pak Mahfud", https://tirto.id/kasus-effendi-buhing-terkait-pencaplokan-tanah-adat-pak-mahfud-f3sg, 5 September 2019, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. 15 Ibid. 10


apa pun.16 Beberapa hari berselang, Camat Batangkawa berupaya mempertemukan pihak yang berselisih tapi pihak perusahaan tidak hadir.17 Lalu, secara mengejutkan, pada 26 Agustus 2020, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan ditangkap oleh aparat dengan tuduhan menjadi otak pencurian satu unit gergaji mesin dengan kekerasan kepada dua karyawan perusahaan.18 Penangkapan ini dilakukan tanpa terlebih dahulu Buhing dipanggil sebagai saksi.19 Kabar mengejutkan lainnya kembali terdengar baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 9 September 2020 ketika Kinipan dan sejumlah desa di Lamandau diterjang banjir akibat gundulnya hutan di wilayah tersebut.20 B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah pengaturan dalam sistem hukum di Indonesia sudah cukup mengakomodir persoalan pengakuan masyarakat hukum adat khususnya MHA Laman Kinipan? 2. Apakah tindakan pemerintah dalam menerbitkan surat izin bagi PT Sawit Mandiri Lestari (SML) telah berorientasi pada prinsip good governance dan hak Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan? II.

PEMBAHASAN 1. Problematika Pengakuan Eksistensi dan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia Eksistensi masyarakat adat dalam kenyataan sosiologis telah hidup dan berkembang jauh

sebelum sebuah negara dibentuk. Dibangunnya suatu negara bukan serta merta berarti bahwa eksistensi dan hak-hak masyarakat adat yang telah lama hidup dan berkembang dalam teritorial negara tersebut dianaktirikan. Bagaimanapun, jika menilik kembali pada teori kontrak sosial Thomas Hobbes, dibentuknya bangunan supra politik berupa negara ini harapannya dapat mencegah terjadinya pertikaian antar berbagai kelompok dalam masyarakat, termasuk pula entitas-entitas masyarakat adat, tetapi bukan berarti menafikan eksistensi masyarakat adat tersebut dalam kehidupan bernegara.21 Hal tersebut yang kemudian menjadi landasan berpikir akan pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat adat dalam konstitusi. Dalam doktrin kontrak sosial, konstitusi dipandang sebagai suatu dokumen hukum hasil dari kontrak sosial 16

Ibid. Ibid. 18 Adi Briantika, "Pemeriksaan Berlanjut, Ketua Adat Kinipan Effendi Buhing Ditahan", https://tirto.id/pemeriksaan-berlanjut-ketua-adat-kinipan-effendi-buhing-ditahan-f1GA, 27 Agustus 2020, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. 19 Dyah Dwi Astuti, "Polisi Penangkap Effendi Buhing Akan Diadukan ke Kompolnas", https://www.antaranews.com/berita/1708034/polisi-penangkap-effendi-buhing-akan-diadukan-ke-kompolnas, 4 September 2020, dikunjungi pada tanggal 29 September 2020. 20 Roni Sahala, "Bencana Banjir Lamandau Dampak Gundulnya Hutan", https://www.liputan6.com/regional/read/4351413/bencana-banjir-lamandau-dampak-gundulnya-hutan, 9 September 2020, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. 21 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Tim Pengkajian Konstitusi tentang Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat, Jakarta, 2014, h. 13-14. 17


semua komponen dalam suatu negara.22 Lebih jauh, John Locke menyatakan bahwa dokumen kontrak sosial yang diwujudkan dalam bentuk konstitusi merupakan suatu tolak ukur guna mengevaluasi jalannya pemerintahan.23 Artinya, apabila pemerintah wanprestasi terhadap apa yang sudah diperjanjikan, maka warga negara memiliki hak untuk menuntut negara agar memenuhi perjanjian tersebut. Jika dikaitkan dengan masyarakat adat, makna pentingnya pengakuan eksistensi dan hak tradisional masyarakat adat dalam konstitusi yakni agar ada jaminan dari pemerintah untuk menghormati, mengakui, dan melindungi hak-hak masyarakat adat dalam hukum positif di indonesia.24 Ketika hak tradisional tersebut diingkari dan bahkan dicerabut dari masyarakat adat, maka masyarakat adat memiliki legal standing untuk mengklaim kembali pemenuhan hak tersebut kepada negara. Konstitusi di Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) telah menuangkan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat dalam Pasal 18B ayat (2). Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 juga mengakui identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Oleh karena itu kemudian, selaras dengan apa yang dipaparkan sebelumnya, ketika pengakuan atas eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat adat telah tertuang dalam konstitusi, maka sebagai konsekuensinya, negara harus mengakui, menjamin, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang telah secara turun-temurun hidup dan menetap di bumi pertiwi. Amanat untuk mengakui dan melindungi eksistensi serta hak-hak tradisional masyarakat adat yang ada dalam konstitusi ini kemudian diejawantahkan dalam berbagai undang-undang sektoral, antara lain Undang-Undang sektoral (UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara; UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan UU terkait lainnya. Suatu masyarakat hukum adat akan diakui keberadaannya apabila memenuhi unsur yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat hukum adat yaitu : 1. kelompok masyarakat; 2. secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu; 3. adanya ikatan pada asal usul leluhur; 4. adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup; dan

22

Ibid. Ibid. 24 Ibid. 23


5. adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.25 Namun, tujuan negara dalam mengakui dan melindungi hak masyarakat hukum adat dalam beberapa kasus masih berupa impian semata. Dalam implementasinya, masih banyak masyarakat hukum adat yang sampai sekarang masih belum mendapatkan pengakuan dari negara. Salah satunya kasus MHA Laman Kinipan yang hingga kini belum dituntaskan. Masyarakat adat yang wilayahnya terletak di Laman Kinipan, kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah itu, belum juga mendapatkan pengakuan secara legal dari negara. Hal ini berdampak pada terancamnya hak MHA Laman Kinipan. Konflik ini memanas ketika terjadi dugaan kriminalisasi terhadap ketua adat beserta beberapa rekannya, yakni Effendy Buhing. Masyarakat Hukum Adat adalah (1) sekumpulan warga memiliki kesamaan leluhur (geneologis), (2) tinggal di suatu tempat (geografis), (3) memiliki kesamaan tujuan hidup untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai dan norma-norma, (4) diberlakukan sistem hukum adat yang dipatuhi dan mengikat (5) dipimpin oleh kepala-kepala adat (6) tersedianya tempat dimana administrasi kekuasaan dapat dikoordinasikan (7) tersedia lembaga-lembaga penyelesaian sengketa baik antara masyarakat hukum adat sesama suku maupun sesama suku berbeda kewarganegaraan. Masyarakat Hukum Adat, sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.(Thontowi dkk, 2008: 96) 26 Yang pertama, bahwa MHA Laman Kinipan merupakan sekelompok masyarakat yang sejak dahulu telah tercatat sejarahnya. Mereka memiliki pemimpin adat yang digantikan secara turuntemurun,dari yang pertama Koling hingga yang terakhir Effendy Buhing. Yang berarti dalam hal ini mereka memiliki kelembagaan adat. MHA Laman Kinipan juga tinggal pada wilayah tertentu yang luasnya sekitar 16.132 ha, memiliki sekitar 198 KK yang terdiri atas 331 laki-laki dan 312 perempuan. Untuk mengelola wilayah dan sumber daya alam mereka, mereka memiliki hukum adat tersendiri yang kemudian demi menegakkannya mereka membuat sanksi bagi yang melanggar. Berdasarkan hal-hal yang demikian, maka menurut kenyataannya, masyarakat Kinipan sudah memenuhi unsur sebagai masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang bertahan menjaga keutuhan wilayahnya dan menjalankan nilai-nilai dan norma-norma adatnya. Namun dalam implementasinya, MHA Laman Kinipan masih belum mendapat pengakuan sebagai masyarakat adat berdasarkan standarisasi hukum nasional di Indonesia. Menurut Abetnego Tarigan, Deputi II Kantor

25

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059), Ps. 1 angka 31. 26

Jawahir Tonthowi, “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya�, Pandecta, Vol 10, No 1, 2015, h. 4


Staf Kepresidenan (KSP) yang membidangi pembangunan manusia, bahwa dalam konflik ini, pemerintah daerah menjadi faktor penghambat pengakuan wilayah adat Kinipan.27 Hal ini dibuktikan dengan rendahnya perlindungan dan penegakan hukum bagi masyarakat adat tampak dalam regulasi pengaturan yang bersifat overlapping. Bermula pada hadirnya asas domeinverklaring dalam Staatsblad 1870 ini merupakan akar konflik hak konstitusional masyarakat hukum adat, khususnya penguasaan hak atas tanah. Domeinverklaring merupakan prinsip Agrarische Wet pada 1870 dalam menetapkan seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya menjadi domain negara.28 Berkaitan dengan tanah masyarakat adat, maka konsep tersebut menegaskan bahwa tanah yang tergolong milik masyarakat adat, perlu dibuktikan secara hukum sebagai justifikasi bahwa tanah tersebut benar adanya milik masyarakat adat. Tidak adanya bukti legitimasi yang sah atas kepemilikan tanah masyarakat hukum adat, secara otomatis berdasarkan asas domeinverklaring, maka kepemilikan tanah akan beralih menjadi eigendom negara sebagaimana tertera dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870. Pada tahun 1960, Pemerintah melakukan upaya dalam rangka mencabut Staatsblad 1870 guna melindungi kepentingan rakyat. Adapun langkah yang ditempuh pemerintah yakni membenahi tujuan dan sendi-sendi hukum agraria yang dikomandoi oleh pemerintahan jajahan pada saat itu, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).29 Melalui penyusunan dan pengesahan UUPA mengakibatkan kedudukan negara atas tanah berubah secara signifikan, yakni negara tidak lagi berkedudukan sebagai dominum, melainkan hanya memiliki hak penguasaan atas tanah.30 Disamping itu, secara substansial UUPA telah mengakomodir dan menjamin hak masyarakat hukum adat dengan dihapuskannya 5 asas domein verklaring sebagaimana tertulis dalam konsideran angka 2 UUPA. Kemudian, pada tahun 1967 pemerintah kembali melakukan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan (UU KKPK). Tujuannya, untuk menjamin kepentingan rakyat dan negara sekaligus dasar penyusunan Peraturan Perundangan dalam bidang kehutanan yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang Kehutanan yang bersifat nasional.31 Namun, kehadiran UU KKPK menjadi problematis serta menuai polemik di hadapan publik dikarenakan konsep domein verklaring

27

Raja Eben Lumbanrau, “Masyarakat adat: Penangkapan ketua adat Kinipan dan 'pelegalan negara atas perampokan di tanah adat di era Jokowi', tudingan aktivis lingkungan�, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53890151, diakses pada tanggal 29 September 2020 28

Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM, Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, KOMNAS HAM, Jakarta Pusat, 2016, h. xi. 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria), (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104), Konsiderans. 30 Undang-Undang Pokok Agraria, Op. Cit, Ps. 2. 31 Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823), Konsiderans.


yang meresahkan masyarakat adat kembali diberlakukan dengan mendistorsi kedudukan UUPA.32 Di mana, hal ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 18B ayat (2) dalam menghormati kesatuan dan hak tradisional masyarakat hukum adat. Untuk mengatasi persoalan regulasi yang berkaitan dengan hak masyarakat adat, maka dibentuklah Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) sebagai bentuk adaptasi prinsip hutan (penguasaan dan pengurusan hutan) dan tuntutan perkembangan a quo.33 Dengan begitu, asas domein verklaring yang diadopsi dalam Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927-1934 dan UU KKPK dinyatakan tidak berlaku sejak UU Kehutanan diundangankan.34 Alih-alih mensejahterakan masyarakat adat melalui pembentukan UU Kehutanan, negara justru semakin mengkerdilkan hak masyarakat adat. Pertama, sistem penunjukkan dan penetapan wilayah hutan adat oleh Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UU Kehutanan. Kedua, konsep Pasal 1 ayat (6) UU Kehutanan yang menegaskan bahwa hutan adat merupakan hutan negara. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Achmad Sodiki dalam Diskusi Kelompok Terbatas menegaskan bahwasannya kedudukan negara dalam UU Kehutanan seyogyanya hanya sebagai badan yang bertanggung jawab untuk melindungi hutan adat, bukan sebagai pemilik. 35 Ketiga, tidak adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat melalui pengekangan aturan atas segala tindakan masyarakat yang bersinggungan dengan hutan disertai sanksi pidana berupa hukuman denda dan hukuman penjara, sebagaimana tertera dalam Pasal 50 UU Kehutanan. Menilik

pada

kompleksitas

problematika

regulasi

yang

dipaparkan

sebelumnya,

membuktikan bahwasannya hukum di Indonesia belum sepenuhnya menjamin hak konstitusional masyarakat hukum adat. Disamping itu, ketidakbijakan pemerintah dalam pembuatan suatu regulasi ini berdampak pada konflik agraria, kriminalisasi, kekerasan, penyingkiran, perampasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat hukum adat, khususnya di kawasan hutan yang semakin masif, diantaranya di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua.36 Dimana, konsepsi peraturan perundang-undangan

tersebut tidak sejalan

dengan kultur masyarakat hukum adat yang dianut sejak zaman nenek moyang. Padahal, dalam bingkai hukum internasional hak masyarakat hukum adat sudah seharusnya menjadi atensi pemerintah, khususnya menyoal hak atas tanah masyarakat adat sebagaimana tertera dalam Pasal 17

32

Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, STPN Press, Sleman, 2014, h. 115. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kehutanan), (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 167), Konsiderans. 34 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kehutanan), (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 167), Ps. 83. 35 Panji Erawan, Achmad Sodiki: Hutan Adat Bukan Hutan Negara, https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=8595, diakses pada tanggal 26 September 2020. 36 Eko Cahyono, et all, Inkuiri Nasional Komnas HAM, Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, KOMNAS HAM, Jakarta Pusat, 2016, h. ix. 33


Universal Declaration Human Rights yang dirumuskan ke dalam hukum nasional melalui Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Problematika yang masih menghantui sistem hukum nasional Indonesia terkait mekanisme pengakuan masyarakat hukum adat menyebabkan kurangnya perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat. Akibatnya, banyak terjadi kasus-kasus persekusi terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, yang sejatinya tak cukup digambarkan melalui kasus MHA Laman Kinipan ini saja. Misalnya, kasus kriminalisasi kejahatan lingkungan terhadap masyarakat adat Suku Sakai yang bernama Pak Bongku akibat dituduh menebang Pohon Akasia dan Eucalyptus milik PT Arara Abadi.37 Padahal, pohon tersebut tumbuh di atas lahan yang selama ini telah dikelola secara turun temurun oleh masyarakat adat.38 Ada pula kasus Masyarakat Adat Marapu yang harus kehilangan situs upacara adatnya bernama Katuada Njara Yuara Ahu di kawasan Hutan Bulla akibat pembangunan embung PT Muria Sumba Manis, sebuah perusahaan tebu, dan beragam kasus lainnya yang tak bisa diuraikan satu persatu karena keterbatasan media penyampaian.39 Pada akhirnya, hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum nasional saat ini memang tidaklah telah dikatakan cukup dalam mengakomodir perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah diamanatkan dalam konstitusi. Sebagaimana yang secara konkrit ditunjukkan melalui kasus MHA Laman Kinipan yang mengalami kendala dalam melakukan klaim (legal standing) atas hutan yang telah dikelolanya secara turun temurun akibat proses pengakuan masyarakat adat yang masih sangat menekankan pada aspek legal formal yang sangat birokratis dan cenderung kurang memperhatikan kenyataan sosiologis. 2. Analisis Pengimplementasian Prinsip Good Governance dan Hak Asasi Manusia dalam Tindakan Pemerintah Menerbitkan Surat Izin bagi PT Sawit Mandiri Lestari (SML) a. Good Governance Konflik pelik antara komunitas MHA Laman Kinipan dengan PT SML jika ditilik lebih lanjut sejatinya merupakan ekses dari tindakan pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip penerapan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, in casu reforma agraria. Hal inilah yang kemudian berdampak pada pelanggaran hak-hak tradisional MHA Laman Kinipan, mulai dari kualitas lingkungan hidup yang menurun, hilangnya akses terhadap sumber daya alam dan ekonomi, serta berujung pada kriminalisasi tokoh MHA Laman Kinipan. Pada dasarnya, good governance sebagaimana yang dijelaskan oleh United Nations Development Program (UNDP) bahwa “that good governance system are participatory, implying that 37

LBH Pekanbaru, "Pak Bongku Bukan Pelaku Perusakan Hutan, Berikan Keadilan untuk Masyarakat Adat", https://www.lbhpekanbaru.or.id/pak-bongku-bukan-pelaku-perusakan-hutan-berikan-keadilan-untukmasyarakat-adat/, 29 April 2020, dikunjungi pada 27 September 2019. 38 Ibid. 39 Mustafa Silalahi, "Habis Manis Marapu Dibuang?", Majalah Temp (online), 26 September 2020, https://majalah.tempo.co/read/hukum/161528/begini-konflik-penghayat-marapu-dengan-perusahaan-milikorang-terkaya-di-indonesia.


all members of governance institution have a voice in influencing decision-making�.40 Artinya, good governance dimaknai sebagai sistem pemerintahan yang dilaksanakan secara partisipatif, yang menyatakan bahwa semua elemen dalam governance memiliki suara dan dapat mempengaruhi pembuatan keputusan. Penekanan pada adanya sistem yang partisipatif dalam konsep good governance inilah yang kemudian membuat penerapan good governance merupakan hal yang esensial dalam penyelenggaran pemerintahan di Indonesia yang mendapuk dirinya sebagai negara hukum yang demokratis. Menurut Sedarmayanti, pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan good governance adalah negara/pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society).41 Selanjutnya, Jimly Asshiddiqie berpandangan bahwa dalam sistem negara modern yang berdasarkan pada supremasi hukum dan konstitusi, negara, swasta, dan masyarakat madani harusnya berada dalam kedudukan yang setara, sinergis, dan saling menunjang satu sama lain.42 Menurut United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, terdapat 8 prinsip-prinsip good governance, yakni participatory (partisipatif), consensus oriented (berorientasi pada konsensus), accountable (akuntabel), transparent (transparan), responsive (responsive), effective and efficient (efektif dan efisien), equitable and inclusive (adil dan inklusif), dan rule of law.43 Prinsip-prinsip ini kemudian tertuang pula dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai hukum tidak tertulis yang mengikat organ-organ pemerintahan sebagai tolak ukur dalam pelaksanaan wewenangnya.44 AAUPB sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU AP) terdiri dari 8 asas, yakni kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.45 Dalam kaitannya dengan kasus konflik antara MHA Laman Kinipan dengan PT SML, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Bupati serta Kementerian KLHK telah mengabaikan beberapa prinsip good governance dan AAUPB dalam pemberian dokumen-dokumen perizinan bagi PT SML guna melakukan aktivitas pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Laman Kinipan. Pertama dan yang paling utama, pemerintah melanggar prinsip partisipasi dalam good governance. Padahal, prinsip ini merupakan prinsip yang paling fundamental dan merupakan ruh/jiwa dari konsep good governance itu sendiri, khususnya dalam bingkai negara hukum yang demokratis. Pengabaian terhadap prinsip partisipasi ini tercermin dalam tindakan Bupati Lamandau yang untuk 40

Muhammad Ilham Arisaputra, "Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Reforma Agraria di Indonesia", Jurnal Yuridika, Vol 28, No 2, 2013, h.6. 41 Ibid, h. 7. 42 Ibid. 43 United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, "What is Good Governance?", www.unescap.org, h. 1, dikunjungi pada tanggal 27 September 2020. 44 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 234. 45 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601), Ps. 10 ayat (1).


pertama kalinya mengeluarkan izin lokasi PT SML pada tanggal 26 Juni 2012. Padahal, tujuh tahun sebelumnya, sesaat setelah mendengar rencana akan dibukanya kawasan hutan adat Kinipan, MHA Laman Kinipan langsung mengajukan surat penolakan kepada Bupati. Artinya, penerbitan izin lokasi tersebut dilakukan tanpa memperhatikan dan memfasilitasi penyampaian aspirasi dari MHA Laman Kinipan terlebih dahulu. Pengabaian terhadap prinsip partisipasi ini berlanjut ketika dokumendokumen perizinan bagi PT SML tetap diterbitkan baik oleh Bupati, Kementerian KLHK, dan Kementerian ATR/BPN

meskipun warga terus menerus menyatakan penolakan. Bahkan,

sebagaimana fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang, forum-forum konsolidasi yang dibuat untuk mempertemukan pemerintah, pihak swasta, dan MHA Laman Kinipan, tak jarang dimangkiri oleh pemerintah maupun PT SML. Selain melanggar prinsip partisipasi dalam konsep good governance, sejatinya pengabaian ruang aspirasi MHA Laman Kinipan oleh Pemerintah Daerah, KLHK, dan Kementerian ATR/BPN tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan yang berbunyi, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.� Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 32/PUU-VIII/2010, mempertegas bahwa kata "memperhatikan" dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan harus dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945). Adapun selanjutnya, Pemerintah dalam menerbitkan berbagai dokumen perijinan bagi PT SML ini juga melalaikan asas kemanfaatan dan asas kecermatan dalam AAUPB. Meninjau penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Administrasi Pemerintahan, yang dimaksud dengan asas kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan seimbang antara (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dengan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dengan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita. Dalam kasus MHA Laman Kinipan dengan PT SML, Pemerintah mengeluarkan dokumen-dokumen perizinan bagi PT SML tanpa mempertimbangkan dengan matang-matang kepentingan Warga Masyarakat (MHA Laman Kinipan) dan kepentingan manusia dan ekosistemnya yang terciderai karena pembukaan hutan Kinipan menjadi perkebunan kelapa sawit.


Asas Kecermatan menurut Pasal 10 ayat (1) huruf d UU tentang Administrasi Pemerintahan selanjutnya didefinisikan sebagai asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaannya sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum ditetapkan atau dilakukan. Berdasarkan asas ini, Pemerintah dalam menerbitkan izin kepada PT SML seharusnya perlu meninjau kenyataan sosiologis secara komprehensif bahwa di kawasan hutan Kinipan terdapat komunitas masyarakat adat yang telah hidup, menetap, dan mengelola tanah serta hutan adat secara turun temurun di Laman Kinipan. Namun, hal ini tidak dilakukan. Pemerintah, dalam hal ini baik Bupati dan Kementerian ATR/BPN langsung saja menerbitkan dokumen-dokumen perizinan bagi PT SML tanpa memperhatikan eksistensi masyarakat adat yang menetap di daerah tersebut berdasarkan kenyataan sosiologisnya. Hal ini penting karena jika hanya bertumpu dan terpaku pada pengakuan secara legal formal yang sangat birokratis dan masih meninggalkan sejumlah problematika seperti yang diuraikan sebelumnya, MHA Laman Kinipan belum diakui eksistensinya dalam hukum positif meskipun telah tinggal dan menetap di wilayah tersebut secara turun-temurun dan memenuhi karakteristik masyarakat adat. Pada akhirnya, hal ini nantinya akan tetap menyebabkan terciderainya hak-hak MHA Laman Kinipan. Padahal, konstitusi dan UUPA mengamanatkan bahwa eksistensi hak-hak masyarakat adat haruslah diakui sepanjang dalam “kenyataannya” masih ada (vide Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 jis Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 3 UUPA). b. Hak Asasi Manusia Konflik lahan yang terjadi pada MHA Laman Kinipan ini sebenarnya kerap kali sudah menjadi pembahasan yang serius tak hanya di tingkat nasional, bahkan hingga tingkat internasional. Hal ini dikarenakan hubungan antara masyarakat dengan tanahnya sangatlah erat, terutama masyarakat adat. Dalam hukum adat, tanah sebagai benda yang diistimewakan sehingga sudah seharusnya mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini disebabkan karena peranan tanah yang primer, fungsi tanah bagi kehidupan manusia yaitu sebagai tempat di mana manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi manusia.46 Menurut Koesnoe, ada nilai filosofis yang berfungsi sebagai landasan kaidah-kaidah hukum adat tentang tanah, yakni adanya keyakinan bahwa semua makhluk hidup dan tinggal di atas bumi, dilahirkan dari hasil pekrawinan antara langis sebagai “bapak” dan bumi sebagai “ibu”.47 Hal yang demikian yang memunculkan rasa tanggung jawab terhadap manusia sebagai anak-anak untuk memelihara dan melestarikan tanah dan lingkungan mereka. Profesor Robert A. Williams pernah berpendapat pula bahwa masyarakat adat telah menekankan bahwa dasar spiritual dan material dan identitas kultural mereka dipertahankan oleh hubungan mereka yang unik dengan wilayah tradisional

46 47

Hajati, Sri, dkk. “Buku Ajar Hukum Adat”, Prenada Media Group,, Surabaya, 2018. h. 109 M. Koesnoe, “Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah”, Ubhara Pers, 2000, h. 6


mereka yang turun temurun.48 Hubungan yang demikianlah yang disebut dengan hak ulayat. Boedi Harsono berpendapat bahwa hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Begitu pula dalam peraturan perundang-undangan yakni Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.49 Masyarakat hukum adat dalam konsep hak ulayat dapat dilihat dalam hubungan antara masyarakat dengan tanah atau sumber daya alamnya. Menurut Maria Sumardjono, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan eksistensi masyarakat hukum adat, yaitu : 1. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat; 2. adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup/habitat) yang merupakan objek hak ulayat; 3. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain, serta perbuatan-perbuatan hukum.50 Berdasarkan hal tersebut maka kelompok masyarakat Kinipan yang menurut kenyataannya merupakan masyarakat hukum adat merupakan subjek hak ulayat, wilayah yang berluaskan 16.132 ha dengan batas-batas tertentu pula sebagai objek hak ulayat menjadi pemenuhan kriteria bahwa hak ulayat seharusnya berlaku pada MHA Laman Kinipan. Begitu pula penggunaan atas wilayah adatnya sebagai tempat berladang atau bercocok tanam, yakni hutan adat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada�. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataan masih ada,

48

Eddie Riyadi Terre , Menganyam Kiat Memperjuangkan Hak-Hak Masyarakat Adat di IndonesiaMasyarakat Adat di Indonesia (Sebuah Pendekatan Berperspektif Hukum Internasional Hak Asasi Manusia), http://www.academia.edu/1475460/Hak_Masyarakat_Adat_dalam_Perspektif_ Hkm_Intl, diakses pada tanggal 26 September 2020 49 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, Ps. 1. 50 Hajati, Sri, dkk., “Buku Ajar Hukum Adat�, Prenada Media Group, Surabaya, 2018, h. 86


misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan .51 Di samping hak ulayat tersebut, hak MHA Laman Kinipan sebagai manusia dalam hal ini merupakan hak asasi manusia juga patut untuk diperhatikan. Menurut data yang diambil pada laman web Badan Registrasi Wilayah Adat, bahwa MHA Laman Kinipan memperoleh sumber pangan dari padi, umbi-umbian seperti singkong/ubi dan ketela/kapila.52 Dengan demikian, apabila wilayah mereka yang seharusnya menjadi sumber penghidupan terutama pangan mereka dikuasai oleh Perusahaan Sawit, maka negara mencederai hak manusia atas pangan. Hak atas Pangan Berbicara pangan tidak bisa dilihat dari sisi ketersediaan dan keterjangkauan saja, menyerahkan persoalan pangan pada mekanisme pasar secara langsung ataupun tidak menyerahkan kedaulatan ke tangan pihak lain. Pada sisi lain produsen seperti petani, Nelayan, masyarakat adat, serta masyarakat desa, baik laki-laki dan perempuan sering kali tidak menjadi faktor penting yang dipertimbangkan, hal tersebut bisa terlihat bagaimana kebijakan menekan harga pangan lebih mendapatkan banyak perhatian daripada pemenuhan harga pangan yang layak untuk produsen. Memahami bagaimana kedaulatan pangan bisa dilihat dari sisi keadilan tata ruang, baik di darat dan di laut. Ancaman kedaulatan pangan terlihat dari alih fungsi lahan pertanian.53 Faktor-faktor yang menjadikan bahwa kebijakan negara atas izin usaha perkebunan PT SML mengabaikan hak atas pangan dalam kasus ini adalah, proyek perkebunan ini menimbulkan problem ketersediaan pangan bagi masyarakat Kinipan semakin sempit. Menurut kenyataannya, sumber pangan Masyarakat Kinipan ialah padi dan umbi-umbian, namun proyek perkebunan tersebut sebagian besar industrinya menghasilkan sawit yang bukan merupakan makanan pokok Masyarakat Kinipan . Padahal, di dalam konstitusi pasal 28 I ayat (4) telah diamanatkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.54 Dalam hal ini hak asasi manusia atas pangan.

Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Selain hak atas pangan yang terancam, hak atas lingkungan yang baik pun juga turut serta terdampak. Penghancuran hutan Kalimantan Tengah tidak pernah berhenti dan dihentikan. Paru-paru dunia ini sedang terserang penyakit perluasan lahan akut. Para pemangku kebijakan yang terkesan tutup mata dan penegakan hukum yang jauh dari ruang keadilan dan keberadaan komunitas serta 51

Mutiara Putri Artha, “Tanah Ulayat”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6522/tanahulayat/#:~:text=Hak%20penguasaan%20atas%20tanah%20masyarakat,UUPA)%20mengakui%20adanya%20Ha k%20Ulayat , diakses pada tanggal 27 September 2020. 52 BRWA, “Wilayah Adat Laman Kinipan”, https://brwa.or.id/wa/view/VDliNVdlWXIxd2M, diakses pada tanggal 29 September 2020 53 Walhi, “Hak atas Pangan sebagai Hak Asasi Manusia”, https://www.walhi.or.id/hak-atas-pangan-sebagaihak-asasi-manusia, diakses pada tanggal 27 September 2020. 54 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 I ayat (4).


lingkungan hidup justru semakin memperparah keadaan. Tidak ada kemerdekaan bagi masyarakat dalam mengelola wilayahnya yang tertindih izin-izin perusahaan industri ekstraktif. Seakan sudah tidak ada lagi jaminan hak komunitas atas tanah dan lingkungan yang sehat, apalagi keadilan. Kebijakan dan pelaksanaan yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam industri ekstraktif, seperti perkebunan kelapa sawit, di Kalimantan Tengah kontras dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di zaman milenial saat ini. Pendekatan yang dilakukan masih mengutamakan praktek-praktek penguasaan lahan tanpa kompromi (monopoli), tidak berbeda dari zaman penjajahan sebelum negeri ini merdeka. Dukungan terhadap industri penghancur ini justru semakin jelas terlihat dengan diterbitkannya izin-izin yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan oleh pemerintah.

Maraknya konflik lahan yang ditimbulkan tidak ditanggapi dengan serius oleh

pemerintah.55 Apalagi untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal yang dikhawatirkan MHA Laman Kinipan bahwa ketika hutan terus digerus, maka bencana akan datang telah terjadi pula beberapa kali. Banjir terjadi beberapa kali yaitu pada April 2019 lalu, bulan Juli 2020, dan bulan September 2020 kembali menggenangi pemukiman masyarakat Kinipan. Faktor penyebabnya antara lain tutupan hutan di daerah hulu Kalimantan Tengah ini terus tergerus.56 Bahkan hingga saat ini, per awal bulan September 2020, sudah sekitar 3.000-an hektar hutan adat sudah ditebang untuk jadi kebun sawit perusahaan. Alih-alih memperoleh kesejahteraan dari masuknya investasi perkebunan kelapa sawit di atas wilayah kelolanya, masyarakat justru dipaksa menghadapi kerusakan lingkungan.57 Hak Atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Kemudian hak atas pekerjaan juga berpotensi dilanggar, menurut kenyataannya sumber mata pencaharian utamanya adalah bertani tradisional dan berkebun yang mana dalam hal ini tentu memerlukan lahan mereka. Sumber pendapat mereka pula berasal dari Hasil Padi, hasil buah –

55

Walhi Kalteng, “Dia yang Sedang Sakit”, http://walhikalteng.org/2019/06/03/dia-yang-sedang-sakit/, diakses pada tanggal 28 September 2020. 56 Lusia Arumingtyas dan Sapariah, “Bencana Datang, Di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat”,://www.mongabay.co.id/2020/09/15/bencana-datang-di-tengah-orang-kinipan-terhalang-jaga-hutan-adat1/, diakses 28 September 2020. 57 Ibid.


buahan, pertambangan rakyat, hasil kayu serta hasil perikanan sungai dan darat.58 Masyarakat agraris itu kini kehilangan identitasnya karena harus menjadi buruh kasar di atas tanah leluhurnya sendiri.59 Tak sekedar itu, banyak hasil dari hutan wilayah Kinipan yang berperan bagi masyarakat Kinipan, contohnya sumber kesehatan dan kecantikan mereka antara lain berasal dari hasil hutan, contohnya Akar kuning Untuk Obat Ginjal, akar tantunggu biawak obat ambeien dan disentri, pasak bumi obat sakit pinggang, akar putar wali untuk obat kurap dan gatal-gatal dan malaria, akar banatu untuk bedak, sabun dan obat Gatal- gatal, sarang semut untuk obat tumor dan kanker.60 Serta sumber sandang dan papan mereka yang berasal dari hutan pula seperti Kayu Ulin untuk pondasi rumah, lantai rumah dan atap rumah - Kayu Bangkirai untuk dinding rumah, kasau rumah - Kayu Meranti untuk dinding lapis rumah dan plafon rumah, Kayu Kaboa, kayu torap dan kayu pudu untuk membuat pakaian, alat-alat rumah tangga seperti tanggui/payung, kampit dan tas - Raton dipergunakan untuk anyaman.61 Hak atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum Di samping itu, penangkapan Effendi Buhing secara prosedural kontradiktif dengan kode etik Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 14/2012) dan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pertama,, penangkapan Effendi Buhing

tidak mencerminkan ketentuan Pasal 36 Perkap 14/2012. Di mana, menurut Direktur

Advokasi dan HAM AMAN, Muhammad Arman menyampaikan bahwa penangkapan Effendi buhing tidak didahului dengan panggilan dari pihak kepolisian untuk memberikan keterangan sebagai saksi, melainkan langsung ditetapkan sebagai tersangka.62 Padahal secara materiil, tindakan penangkapan tersangka dapat dilaksanakan pasca pemanggilan 2 (dua) kali berturut-turut akibat ketidakhadiran tersangka dengan alasan yang tidak patut dan tak wajar.63 Kedua, dilepaskannya Effendi Buhing sebagai tersangka tidak diikuti pemberian surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3).64 Merujuk pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, SP3 merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Penyidik untuk memberitahukan bahwa terjadi penghentian penyidikan terhadap tersangka bukti yang dikarenakan tidak terdapat cukup atau peristiwa yang dilakukan tersangka tidak tergolong tindak

58

BRWA, loc.cit. Lusia Arumingtyas dan Sapariah, .loc. cit. 60 Ibid. 61 Ibid. 62 Ilham Tirta, AMAN akan Adukan Penangkapan Tokoh Kinipan ke Komponas, https://republika.co.id/berita/qg57my485/aman-akan-adukan-penangkapan-tokoh-kinipan-ke-komponas, diakses pada tanggal 27 September 2020. 63 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 36 huruf (b). 64 Ibid. 59


pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum yang diserahkan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Konflik masyarakat hukum adat yang berkelanjutan ini ditengarai tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat dalam pemenuhan hak asasi masyarakat. Padahal, secara yuridis, masyarakat hukum adat merupakan warga negara Indonesia, sehingga hak konstitusionalnya wajib untuk dilindungi dan dihormati oleh negara. Berdasarkan 28I UUD NRI 1945, negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi warga negaranya. Di samping itu, Undang-Undang

No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) juga

mengklasifikasikan tanggung jawab negara yang tertuang dalam

Pasal 8 dan Pasal 71. Oleh

karenanya, hal ini menjadi kewajiban negara dalam menjaga (to protect), menghargai (to respect), dan memenuhi (to fulfill) hak asasi warga negara dalam segala bidang, diantaranya bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.65 Berdasarkan hal tersebut, apabila pemerintah tetap abai terhadap hak masyarakat Kinipan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945�): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.66 Selain itu, amanat yang termaktub dalam pasal 28D ayat (1), bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 67Maka dalam hal ini, pemerintah dianggap tidak bertanggung jawab pula atas pemenuhan hak asasi warga negaranya sebagaimana pula diamanatkan dalam pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.68

III.

KESIMPULAN Kedudukan masyarakat adat di Indonesia belum sepenuhnya mendapat legitimasi dan

pengakuan oleh negara. MHA Laman Kinipan, merupakan satu diantara masyarakat adat yang tidak diakui keberadaannya oleh negara. Dimana, kepemilikan hutan masyarakat hukum adat lama kinipan tidak diindahkan oleh negara dengan dalih MHA Laman Kinipan tidak tergolong masyarakat adat. Padahal, secara materiil MHA Laman Kinipan telah memenuhi unsur-unsur sebagai masyarakat adat yang tertera dalam Pasal 1 angka 32 UU PPLH. Adapun faktor utama yang melatar belakangi kasus ini adalah regulasi pengaturan hukum adat di Indonesia yang tumpang tindih. Kasus ini bermula pada kehadiran Staatsblad 1870 di Indonesia yang menganut konsep domeinverklaring dalam menetapkan seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya

65

Pasal 72 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2). 67 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28D ayat (1) 68 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 I ayat (4). 66


menjadi domain negara. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, maka pemerintah mengundangkan UU KKPK dalam menjamin kepentingan rakyat dan negara sekaligus dasar penyusunan peran dalam bidang kehutanan yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang Kehutanan yang bersifat nasional. Namun, munculnya UU KKPK menjadi problematis hingga menuai polemik di hadapan publik dikarenakan muatan dalam UU KKPK kembali memberlakukan konsep domein verklaring yang secara sengaja mendistorsi kedudukan UUPA. Dimana, hal ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 18B ayat (2) dalam menghormati kesatuan dan hak tradisional masyarakat hukum adat. Kemudian, pemerintah kembali mengundangkan perundang-undangan berupa UU Kehutanan sebagai upaya untuk menghapus konsep domeinverklaring yang diatur dalam Staatsblad Tahun 19271934. Akan tetapi, fakta implementasi pembentukannya tidak sesuai dengan rencana pembentukan UU Kehutanan pada mulanya. Di mana, kehadiran UU Kehutanan ini semakin mengkerdilkkan kedudukan masyarakat adat. Pertama, adanya sistem penunjukkan dan penetapan wilayah hutan adat oleh Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UU Kehutanan. Kedua, penegasan bahwa hutan adat merupakan hutan negara (vide Pasal 1 ayat (6) UU Kehutanan). Ketiga, tidak adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat melalui pengekangan aturan atas segala tindakan masyarakat yang bersinggungan dengan hutan disertai sanksi pidana berupa hukuman denda dan hukuman penjara, sebagaimana tertera dalam Pasal 50 UU Kehutanan. Oleh karenanya, sistem regulasi yang bersifat overlapping lah yang menjadikan kedudukan MHA Laman Kinipan tidak mendapat perlindungan dan kepastian hukum di Indonesia. Dalam konflik antara MHA Laman Kinipan dengan PT SML, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Bupati serta Kementerian KLHK telah mengabaikan beberapa prinsip good governance dan AAUPB dalam pemberian dokumen-dokumen perizinan bagi PT SML guna melakukan aktivitas pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Laman Kinipan. Pertama dan yang paling utama, pemerintah melanggar prinsip partisipasi dalam good governance.

Pengabaian terhadap prinsip

partisipasi ini tercermin dalam tindakan Pemerintah yang tetap menerbitkan sejumlah surat izin pembukaan kawasan hutan dan HGU meskipun Masyarakat Hukum Adat Kinipan telah berulang kali melakukan penolakan. Bahkan, forum-forum konsolidasi yang dibuat untuk mempertemukan pemerintah, pihak swasta, dan MHA Laman Kinipan, tak jarang dimangkiri oleh pemerintah maupun PT SML. Selain itu, Pemerintah dalam menerbitkan berbagai dokumen perizinan bagi PT SML ini juga melalaikan asas kemanfaatan dan asas kecermatan dalam AAUPB. Dikatakan melalaikan asas kemanfaatan karena Pemerintah mengeluarkan dokumen-dokumen perizinan bagi PT SML tanpa mempertimbangkan dengan matang-matang kepentingan MHA Laman Kinipan yang terciderai karena pembukaan hutan Kinipan menjadi perkebunan kelapa sawit. Adapun dilanggarnya asas kecermatan tercermin ketika Pemerintah, menerbitkan dokumen-dokumen perizinan bagi PT SML tanpa memperhatikan eksistensi masyarakat adat yang menetap di daerah tersebut berdasarkan kenyataan sosiologisnya. Hal ini penting karena jika hanya bertumpu dan terpaku pada pengakuan secara legal


formal yang sangat birokratis masih meninggalkan sejumlah problematika yang menyebabkan MHA Laman Kinipan belum diakui eksistensinya dalam hukum positif meskipun telah tinggal dan menetap di wilayah tersebut secara turun-temurun dan memenuhi karakteristik masyarakat adat. Pada akhirnya, hal ini nantinya akan tetap menyebabkan terciderainya hak-hak MHA Laman Kinipan. Tindakan pemerintah dalam konflik Laman Kinipan ini juga dinilai tidak berorientasi pada Hak Masyarakat Kinipan sebagai masyarakat hukum adat dan warga negara. Hak-hak yang tercederai antara lain: 1. Hak atas Pangan Hal ini disebabkan karena hasil perkebunan sawit yang menyita lahan Kinipan bukan merupakan makanan pokok masyarakat hukum adat Kinipan. 2. Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Dampak perluasan perkebunan sawit adalah kerusakan lingkungan, hal ini dibuktikan telah terjadi beberapa kali banjir yang menggenangi wilayah adat Laman Kinipan karena sempitnya hutan untuk menyerap aliran air hujan. 3. Hak Atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Sumber mata pencaharian utamanya adalah bertani tradisional dan berkebun, namun semenjak lahan bertani dan berkebun mereka dialihkan menjadi wilayah perkebunan sawit, maka MHA Laman Kinipan harus beralih menjadi buruh kasar di atas tanah leluhurnya sendiri. Serta, mereka juga kehilangan hasil hutan yang sebelumnya menjadi sumber sandang, papan, pangan serta kesehatan. 4. Hak atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian hukum Pertama,, penangkapan Effendi Buhing Perkap 14/2012. diikuti

tidak mencerminkan ketentuan Pasal 36

Kedua, dilepaskannya Effendi Buhing sebagai tersangka tidak

pemberian surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Dengan

demikian, maka hak atas kepastian hukum dapat tercederai.

DAFTAR BACAAN Buku Arizona, Yance, Konstitusionalisme Agraria, STPN Press, Sleman, 2014. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Tim Pengkajian Konstitusi tentang Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat, Jakarta, 2014. Cahyono, Eko, dkk., Inkuiri Nasional Komnas HAM, Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Cetakan Pertama, KOMNAS HAM, Jakarta Pusat, 2016. Hajati, Sri, dkk., Buku Ajar Hukum Adat, Cetakan Pertama, Prenada Media Group, Surabaya, 2018. HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016. M. Koesnoe, Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Ubhara Pers, Surabaya, 2000.


Tim Inkuiri Nasional Komnas HAM, Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Cetakan Pertama, KOMNAS HAM, Jakarta Pusat, 2016.

Artikel Jurnal Arisaputra, Muhammad Ilham, "Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Reforma Agraria di Indonesia", Jurnal Yuridika, Vol 28, No 2, 2013. Lailatusysyukriah, “Indonesia dan Konsepsi Negara Agraris”, Langsa Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 2, No.1, Januari , 2015. Tonthowi, Jawahir, “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan Hak-hak Tradisionalnya” Pandecta. Volume 10. Nomor 1, June, 2015. Website Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, “Catatan Akhir Tahun 2018”, https://www.aman.or.id/wpcontent/uploads/2019/04/CATAHU_18-.pdf, diakses pada tanggal 28 September 2020. Arumingtyas, Lusia dan Sapariah, “Bencana Datang, Di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat”,https://www.mongabay.co.id/2020/09/15/bencana-datang-di-tengah-orangkinipan-terhalang-jaga-hutan-adat-1/, diakses 28 September 2020 Astuti, Dyah Dwi, "Polisi Penangkap Effendi Buhing Akan Diadukan ke Kompolnas", https://www.antaranews.com/berita/1708034/polisi-penangkap-effendi-buhing-akandiadukan-ke-kompolnas, 4 September 2020, dikunjungi pada tanggal 29 September 2020. Badan Registrasi Wilayah Adat, Profil. https://brwa.or.id/pages/about, diakses pada tanggal 28 September 2020. Badan Registrasi Wilayah Adat, “Wilayah Adat Laman Kinipan”, https://brwa.or.id/wa/view/VDliNVdlWXIxd2M, diakses pada tanggal 28 September 2020 Baskoro, Budi, “Perlindungan Hak Adat Kinipan Makin Sulit Kala Investasi Lebih Utama”, https://www.mongabay.co.id/2020/02/13/perlindungan-hak-adat-kinipan-makin-sulit-kalainvestasi-lebih-utama/ , diakses pada tanggal 28 September 2020. Baskoro, Budi,

"Sulitnya Masyarakat Laman Kinipan Mau Pertahankan Hutan Adat Mereka",

https://www.mongabay.co.id/2019/08/16/sulitnya-masyarakat-laman-kinipan-maupertahankan-hutan-adat-mereka/, 16 Agustus 2019, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. Bernie, Mohammad, "Kasus Effendi Buhing Terkait Pencaplokan Tanah Adat, Pak Mahfud", https://tirto.id/kasus-effendi-buhing-terkait-pencaplokan-tanah-adat-pak-mahfud-f3sg, September 2019, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020.

5


Briantika, Adi, "Pemeriksaan Berlanjut, Ketua Adat Kinipan Effendi Buhing Ditahan", https://tirto.id/pemeriksaan-berlanjut-ketua-adat-kinipan-effendi-buhing-ditahan-f1GA,

27

Agustus 2020, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. Erawan,

Panji,

“Achmad

Sodiki:

Hutan

Adat

Bukan

Hutan

Negara”,

https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=8595, diakses pada tanggal 26 September 2020 Hindrato, Eka, “KSP Undang Bupati Lamandau dan PT. SML Selesaikan Konflik dengan Masyarakat Adat Laman Kinipan Kalimantan Tengah.”, http://www.aman.or.id/2018/10/kspundang-bupati-lamandau-dan-pt-sml-selesaikan-konflik-dengan-masyarakat-adat-lamankinipan/, diakses pada tanggal 28 September 2020. LBH Pekanbaru, "Pak Bongku Bukan Pelaku Perusakan Hutan, Berikan Keadilan untuk Masyarakat

Adat",

https://www.lbhpekanbaru.or.id/pak-bongku-bukan-pelaku-perusakan-

hutan-berikan-keadilan-untuk-masyarakat-adat/, 29 April 2020, dikunjungi pada 27 September 2019. Mutiara, Putri Artha. “Tanah Ulayat”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6522/tanahulayat/#:~:text=Hak%20penguasaan%20atas%20tanah%20masyarakat,UUPA)%20mengakui %20adanya%20Hak%20Ulayat, diakses pada tanggal 27 September 2020 Raja Eben Lumbanrau, “Masyarakat adat: Penangkapan ketua adat Kinipan dan 'pelegalan negara atas perampokan di tanah adat di era Jokowi', tudingan aktivis lingkungan”., https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53890151, diakses pada tanggal 29 September 2020. Redaksi Betahita, “Masyarakat Kinipan Lindungi Wilayah Adat dari Ekspansi Sawit”, https://betahita.id/news/lipsus/3127/masyarakat-kinipan-lindungi-wilayah-adat-dari-ekspansisawit.html?v=1591338637, diakses pada tanggal 29 September 2020 Sahala, Roni, "Bencana Banjir Lamandau Dampak Gundulnya Hutan", https://www.liputan6.com/regional/read/4351413/bencana-banjir-lamandau-dampakgundulnya-hutan, 9 September 2020, dikunjungi pada tanggal 22 September 2020. Save

our

Borneo,

Wilayah

Adat

Terus

Digarap,

Kinipan

Tetap

Berjuang.,

https://saveourborneo.org/wilayah-adat-terus-digarap-kinipan-tetap-berjuang/, diakses pada tanggal 28 September 2020. Silalahi, Mustafa, "Habis Manis Marapu Dibuang?", Majalah Temp (online), 26 September 2020, https://majalah.tempo.co/read/hukum/161528/begini-konflik-penghayat-marapu-denganperusahaan-milik-orang-terkaya-di-indonesia. Tirta,

Ilham,

“AMAN

akan

Adukan

Penangkapan

Tokoh

Kinipan

ke

Kompolnas”,

https://republika.co.id/berita/qg57my485/aman-akan-adukan-penangkapan-tokoh-kinipan-kekomponas, diakses pada tanggal 27 September 2020.


United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific, "What is Good Governance?", www.unescap.org, h. 1, dikunjungi pada tanggal 27 September 2020. Walhi, “Hak atas Pangan sebagai Hak Asasi Manusia”, https://www.walhi.or.id/hak-atas-pangansebagai-hak-asasi-manusia, diakses pada tanggal 27 September 2020 Walhi Kalteng, “Dia yang Sedang Sakit”, http://walhikalteng.org/2019/06/03/dia-yang-sedang-sakit/, diakses pada tanggal 28 September 2020

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. (Lembaran Negara 1960 – 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043 ) Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2823) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 ) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5601). Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 32-PUU-VIII/2010.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.