ALSA Legal Sharing Compilation

Page 1


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION February 2021 Edition “POLEMIK KEWAJIBAN VAKSINASI COVID-19 DI INDONESIA” Written by Felicia Angela Prasetyo (2020)

A. Latar Belakang dan Isu Hukum Saat ini seluruh dunia termasuk Indonesia berupaya untuk menanggulangi semakin meluasnya penyebaran dari virus COVID-19. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu melalui vaksinasi. Indonesia telah menjalin kerjasama bilateral dengan tiga negara yaitu Tiongkok, Inggris, dan Amerika Serikat untuk mendapatkan suplai vaksin COVID-19. Vaksin yang didatangkan antara lain, Sinovac (Tiongkok), Novovax (Amerika Serikat), dan AstraZeneca (Inggris). Selain itu, Indonesia juga menjalin kerjasama multilateral dengan Global Alliance for Vaccine and Immunization (GAVI), lembaga bagian dari WHO untuk mendapatkan vaksin gratis melalui kerjasama tersebut. Kerja sama yang dilakukan Indonesia untuk mendatangkan vaksin dan melakukan vaksinasi

menunjukkan keseriusan pemerintah dalam

menangani

penyebaran COVID-19. Sehingga, dengan adanya pelaksaan vaksinasi diharapkan dapat mencegah dan mengurangi angka penyebaran virus COVID-19 yang tiap harinya semakin naik. Vaksinasi COVID-19 oleh pemerintah diwajibkan kepada seluruh warga negara Indonesia. Namun demikian, kewajiban vaksinasi menimbulkan perdebatan dan terdapat sebagian masyarakat yang menolak untuk menerima vaksin COVID-19. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat menolak untuk menerima vaksin, namun di sisi lain terdapat isu bahwa bagi masyarakat yang menolak maka dapat dikenakan denda ataupun sanksi pidana. Hal ini menimbulkan perdebatan serta protes dari kalangan masyarakat. Bahkan, para aktivis HAM juga mengatakan bahwa menolak untuk vaksin juga merupakan hak warga negara. Maka dari itu, alasan penulisan legal sharing ini adalah untuk membahas isu kewajiban vaksinasi COVID19 yang masih menjadi perdebatan. Perdebatan dan polemik dari kewajiban vaksinasi ini selanjutnya menimbulkan pertanyaan, “Apakah Vaksinasi COVID-19 merupakan sebuah kewajiban?”

B. Pembahasan Kebijakan pelaksaan vaksinasi sendiri oleh Presiden Jokowi telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Pengadaan Vaksin dan Pelaksaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).


Dalam peraturan tersebut telah diatur mengenai pengadaan, distribusi, hingga penyuntikan vaksin COVID-19. Pelaksaan vaksinasi selanjutnya telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 84 Tahun 2020 tentang Pelaksaaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 16 Perpres Nomor 99 Tahun 2020. Pengertian Vaksinasi menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 84 Tahun 2020 tentang Pelaksaaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menyebutkan bahwa, “Vaksinasi adalah pemberian Vaksin yang khusus diberikan dalam rangka menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan tidak menjadi sumber penularan.” Dengan adanya penetapan peraturan tersebut menunjukkan bahwa vaksinasi merupakan suatu langkah yang penting yang harus dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi transmisi atau penularan COVID-19, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19, mencapai kekebalan kelompok di masyarakat,dan menjaga masyarakat agar tetap produktif. Pelaksaan vaksinasi di Indonesia pertama kali telah dilakukan pada 13 Januari 2021 yang diawali oleh Presiden Negara Republik Indonesia yaitu Joko Widodo sebagai bukti serta meyakinkan rakyat Indonesia untuk tidak ragu di vaksin. Pemerintah telah mewajibkan masyarakat untuk menerima vaksin. Namun demikian, pelaksaan dari vaksinasi sendiri masih menjadi polemik dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan ada sebagian masyarakat yang menolak untuk menerima vaksin. Walaupun pemerintah telah melakukan sosialisasi dan meyakinkan masyarakat dengan melibatkan tokoh-tokoh penting, untuk menerima vaksin terlebih dahulu, nyata masih banyak masyarakat yang ragu-ragu dan bahkan menolak untuk menerima vaksin. Sebagian besar masyarakat menolak untuk divaksin dengan alasan bahwa menilai vaksin tersebut tidak efektif dan takut dengan efek samping ketika telah selesai di vaksin. Mesikpun vaksin Sinovac yang digunakan di tahap pertama program vaksinasi di Indonesia dipastikan aman karena telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan BPOM juga telah mengumumkan hasil efikasi berdasarkan uji klinik fase 3 di Indonesia yang mencapai 65,3%, tetap membuat masyarakat ragu dan menolak dengan adanya vaksinasi.


Polemik penolakan yang terjadi mengenai vaksinasi ini tentu menjadi hambatan pemerintah untuk melakukan program vaksinasi secara meluas. Penolakan terhadap vaksin menjadi lebih “panas” ketika adanya polemik lain yaitu vaksin merupakan kewajiban masyarakat dan bagi mereka yang melanggar dapat dijatuhi sanksi pidana jika tidak ada jalan keluar lainnya. Kewajiban vaksinasi ini diberikan pemerintah kepada warga negaranya sebagai hak untuk tetap sehat dan aman dari kemungkinan penularan virus COVID-19. Penjatuhan pidana ini disuarakan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej yang menyebut warga penolak vaksin bisa disanksi pidana maupun denda dengan merujuk Pasal 93 UndangUndang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini tentu menjadi perdebatan dalam kalangan masyarakat dikarenakan pada Pasal 93 UU Kekarantinaan tersebut tidak dapat diterapkan apabila negara tidak melakukan lockdown ataupun status karantina wilayah sehingga tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana berdasarkan UU tersebut. Hal tersebut juga dibantah dan di sisi lain terjadi perdebatan atas kewajiban dan hak warga untuk menerima dan menolak vaksin. Menurut mantan anggota KOMNAS HAM, Natalius Pigai menilai bahwa hak rakyat untuk menolak vaksin COVID-19, merupakan suatu hak asasi manusia yang diatur. Hal ini berdasarkan Pasal 5 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.” Sehingga menurut Natalius, sikap menolak untuk di vaksin juga merupakan bagian dari hak asasi manusia dan masyarakat tidak dapat dipidanakan berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, Kehadiran Perda DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease juga menjadi sorotan. Perda ini muncul dalam rangka mendukung percepatan dan kelancaran pelaksanaan pengadaan vaksinasi COVID-19 yang berdasarkan pada Pasal 21 Perpres Nomor 99 Tahun 2020. Perda ini menjadi sorotan karena berkaitan dengan kewajiban untuk di vaksin yang diatur dalam Pasal 30 yang juga menjadi perdebatan dalam kalangan masyarakat. Pasal 30 tersebut menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).” Secara tidak langsung pasal tersebut mewajibkan warga DKI Jakarta untuk melakukan vaksin, dan jika menolak akan dikenakan pidana denda. Sehingga, kehadiran Perda ini menjadi perbincangan di masyarakat dan mendapat gugatan dari masyarakat dengan menjukan judicial review ke Mahkamah Agung.


Kewajiban untuk menerima vaksin dapat dianggap sebagai sebuah pelanggar hak kebebasan dan penolakan terhadap vaksin merupakan hak warga negara. Namun disisi lain, setiap kebebasan harus memiliki batasan dan setiap warga negara dapat melakukan sesuai kehendaknya selama tidak merugikan orang lain. Dalam permasalahan ini, jika seseorang menolak untuk menerima vaksin, maka ia memiliki tanggung jawab kepada orang lain atas tindakan yang dipilihnya. Dalam artian bahwa orang lain berhak untuk membuat individu yang menolak vaksinasi bertanggung jawab karena ketidakpatuhan yang dilakukannya membahayakan orang lain. Dalam konteks ini, masyarakat yang enggan melakukan vaksinasi justru akan berpotensi untuk melanggar prinsip hak orang lain. Mereka yang menolak melakukan vaksinasi mampu memunculkan risiko dan mengancam kesehatan orang lain akibat tindakan yang dilakukannya. Sehingga, kewajiban dan hak terhadap vaksin menjadi dilema dan kebingungan dalam masyarakat. Di satu sisi pemerintah mewajibkan untuk vaksinasi tersebut merupakan tanggung jawab negara. Disamping itu, berdasarkan Pasal 9 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.” Dan Pasal 9 ayat 2 menyebutkan “Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.” Dengan demikian, masyarakat memiliki kewajiban untuk ikut membantu dalam penyelanggaraan kesehatan dalam rangka mewujudkan kesehatan masyarakat Indonesia juga termasuk penerimaan vaksin COVID-19. Maka dari itu, kewajiban vaksinasi masih menimbulkan pro dan kontra serta masih menjadi polemik antara pemerintah dan masyarakat.

C. Kesimpulan Polemik mengenai kewajiban vaksinasi yang ada menyebabkan ketidakjelasan dalam penyelenggaraan vaksinasi. Vaksinasi merupakan hal yang diwajibkan oleh pemerintah, namun terdapat penolakan terhadap vaksin yang termasuk hak warga negara apabila merujuk pada Pasal 5 UU Kesehatan. Selain itu, terdapat isu bahwa penolak vaksin dapat dijatuhkan sanksi pidana. Hal ini masih menimbulkan ketidakjelasan dan perdebatan dikarenakan saat ini vaksin merupakan salah satu cara yang saat ini dapat dilakukan untuk mencegah dan memutus rantai penyebaran virus COVID-19 demi keselamatan dan kesehatan bangsa, namun masih terdapat penolak. Dengan demikian, kewajiban masyarakat untuk menerima vaksin COVID-19 masih menjadi polemik di Indonesia.


D. Daftar Bacaan Laman Adi Mirsan, ‘Polemik Vaksin Covid-19, Natalius Pigai : Hak Asasi Rakyat Menolak, Tidak Bisa Dipidana.’ <https://fajar.co.id/2021/01/13/polemik-vaksin-covid19-natalius-pigai-hak-asasi-rakyat-menolak-tidak-bisa-dipidana/ > accessed 31 Januari 2021. Vitorio Mantalean, ‘4 Fakta soal Gugatan Atas Perda yang Larang Warga DKI Tolak Vaksinasi

Covid-19’

<https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/19/07045781/4-fakta-soalgugatan-atas-perda-yang-larang-warga-dki-tolak-vaksinasi?page=all> accessed 31 Januari 2021. ‘Vaksinasi,

Marjono,

Hak

atau

Kewajiban’

<https://kumparan.com/marjono-

1591148869369739290/vaksinasi-hak-atau-kewajiban-1v0D4Qdv90r> accessed 31 Januari 2021. Inayah

Putri

Wulandari,

‘Hak

Asasi

dan

Kewajiban

Vaksinasi’

<https://news.detik.com/kolom/d-5333408/hak-asasi-dan-kewajibanvaksinasi> accessed 31 Januari 2021. Christopher Valerio, ‘Masalah Vaksinasi Covid-19, Kewajiban atau Hak Warga Negara?’ <Masalah Vaksinasi Covid-19, Kewajiban atau Hak Warga Negara? Halaman 1 - Kompasiana.com> accessed 31 Januari 2021. CNN Indonesia, ‘Pakar soal Sanksi Pidana bagi Penolak Vaksin : Tafsir Lebay’ <https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210113160807-12-593246/pakarsoal-sanksi-pidana-bagi-penolak-vaksin-tafsir-lebay>

accessed

31

Januari

2021.

Perundang- Undangan : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Pengadaan Vaksin dan Pelaksaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID19). Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 84 Tahun 2020 tentang Pelaksaaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019.


What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing February 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION March 2021 Edition “PENYALURAN BANPRES BAGI UMKM MELALUI OSS” Written by Annida Fadilla Fikri (2020) A. Latar Belakang dan Isu Hukum Banpres (Bantuan Presiden) atau Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) adalah salah satu program bantuan sebesar 2,4 juta bagi para pelaku usaha mikro kecil untuk tetap bisa menjalankan usahanya walaupun ditengah pandemi seperti ini. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk memulihkan perekonomian Indonesia yang sedang surut karena pandemi COVID-19. Tercatat ada 12 juta pelaku UMKM yang menerima Banpres Usaha Mikro Kecil pada tahun 2020. Untuk bisa mendapatkan BPUM, pendaftar harus mendaftar terlebih dahulu melalui lembaga pengusul seperti bank penyalur, koperasi berbadan hukum ataupun dinas yang membidangi koperasi dan UKM untuk memverifikasi data calon penerima banpres, kemudian dilakukan penilaian kelayakan dari kementrian koperasi bersama OJK. Setelah dirasa layak, pendaftar kan menerima Banpres tersebut. Dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), penyaluran BANPPRES bagi pelaku UMKM masih akan berlanjut pada tahun 2021. B. Pembahasan Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pelaku UMKM untuk bisa mendapatkan BPUM, diantaranya : 1. Pendaftar merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dibuktikan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP); 2. Pendaftar memiliki usaha mikro; 3. Pendaftar bukan merupakan ASN (PNS, TNI/Polri, pegawai BUMN atu BUMD, dll) 4. Calon penerima Banpres harus memiliki saldo di bank penyalur kurang dari 2 juta rupiah dan tidak sedang menerima bantuan dari perbankan atau KUR (Kredit Usaha Rakyat); 5. Pelaku UMKM diwajibkan untuk membuat Surat Keterangan Usaha (SKU) Berdasarkan laman resmi BKPM pada tanggal 25 Februari 2021 pelaku UMKM dapat mendaftarkan usahanya secara online melalui Online Single Submission (OSS) untuk mendapatkan SKU ataupun Nomor Induk Berusaha (NIB) Berikut beberapa tahapan dalam mendaftarkan usaha melalui OSS :


1. Buka laman https://oss.go.id. Kemudian mengeklik pilihan daftar/masuk pada tombol menu. 2. Login dengan akun yang dimiliki. Bagi yang belum memiliki akun bisa melalukan pendaftaran dengan memilih pilihan “daftar” dengan mengisi bebrapa data pribadi seperti NIK, No. hp, tanggal lahir, dll. 3. Klik tombol perizinan berusaha yang terletak pada home 4. Setelah memilih klasifikasi Perseorangan | Mikro dan Kecil, maka dapat menekan tombol pendaftaran NIB Perseorangan dan Mikro Kecil 5. Isi form data profil, kemudian setelah selesai melakukan pengisian form klik simpan dan lanjutkan. Lakukan hal yang sama saat mengisi form data usaha 6. Halaman selanjutnya akan mengarah ke komitmen prasarana usaha yang akan menampilkan form izin lokasi dan lingkungan, setelah itu klik tombol lanjut. 7. Setelah itu apliikasi akan menampilkan Draft NIB dan Izin Usaha. Pendaftar dapat melakukan prievew NIB, Izin Usaha, SPPL, dan Izin Lokasi dengan menekan tombol cetak yang berisi draft 8. Selanjutnya pelaku usaha dapat memproses NIB dengan menekan tombol Proses NIB dan Izin Usaha. Selanjutya sistem akan menampilkan halaman output NIB Dan Izin Usaha. Selanjutnya pendaftar dapat mencetak NIB, Izin Usaha, SPPL, Izin Lokasi. Hasil cetakan berupa file asli (bukan berupa draft).


Kelebihan dan kekurangan pendaftaran usaha melalui OSS : Kelebihan Pendaftaran melalui sistem Online Single Submission (OSS) mendukung pencegahan atasa penyebaran Virus COVID-19 yaang merupakan salah satu dari 5M yakni membatasi mobilisasi dan interaksi karena sistemnya yang tidak perlu bertemu secara tatap muka, sehingga resiko untuk terpapar COVID-19 juga semakin kecil Selain itu, dengan adanya OSS ini pendaftaran usaha oleh para pelaku UMKM lebih efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha sehingga dapat mendorong perbaikan kinerja birokrasi dari pemerintah khususnya bidang pelayanan perisinan usaha yang sering kali mendapat pengaduan atas

pungutan liar, KKN,

ataupun praktik penyimpnagan lainnya. Kekurangan OSS yang seharusnya lebih efektif dan efisien ini justru menjadi tantangan berat bagi para pelaku UMKM khususnya yang sudah lanjut usia karena keluhan dari mereka yang GAPTEK (Gagap Teknologi). Bukan hanya itu, terkadang para pelaku UMKM yang masih muda pun kesulitan untuk melakukan pendaftaran melalui OSS, pasalnya banyak juga dari mereka yang tidak memiliki mobile phone sehingga sulit untuk mengoperasikan sistem pendaftaran secara online ini. Selain itu, karena yang terdampak COVID-19 bukan hanya pelaku UMKM yang berada di kota atau daerah yang mudah terjangkau oleh sinyal. Tetapi juga merekamereka yang berada di pedesaan yang mencari sinyal atau jaringan pun susah, apabila mengenal dunia online seperti ini. sehingga menyebabkan ketidakmerataan penyaluran BPUM ke seluruh pelaku UMKM yang terdampak COVID-19.


C. Kesimpulan Pendaftaran Usaha untuk menjadi penerima BPUM melalui Online Single Submission (OSS) yang dianggap lebih mudah, efektif, dan efisien. Justru menjadi pengahambat bagi banyak orang yang GAPTEK (Gagap Teknologi) sehingga kesulitan untuk mengakses dan mengoperasikan sistem pendaftaran online tersebut, menyebabkan ketidakmerataan penyaluran BPUM kepada para pelaku UMKM yang terdampak COVID-19. D. Daftar Bacaan -

CNN

Indonesia,

“Syarat

Daftar

UMKM

Online”,

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210225134228-92-610785/syarat-daftarumkm-online , h.1, dikunjungi pada tanggal 25 Februari 2021 -

Lembaga OSS BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL, “Petunjuk Teknis

Pengisian

Mikro

dan

kecil

Perseorangan”,

https://oss.go.id/portal/home/download/pdf/Petunjuk_Teknis_Pengisian_Mikro_Ke cil.pdf h.1-38, dikunjungi pada tanggal 25 Februari 2021 -

Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, “Program

Banpres

Produktif

Untuk

Usaha

Mikro”,

http://www.depkop.go.id/read/program-banpres-produktif-untuk-usaha-mikro

,

dikunjungi pada tanggal 26 Februari 2021 -

Sipuu.setkab.go.id, “Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan

Perizinan

Berusaha

Terintegrasi

Secara

Elektronik”,

https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175532/PP%20Nomor%2024%20Tahun%2020 18.pdf, diakses pada tanggal 27 Februari 2021


What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing March 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION APRIL 2021 Edition “Polemik Masa Jabatan Presiden 3 Periode” Written by Haikal Abrar (2020) A. Latar Belakang dan Isu Hukum Isu akhir-akhir ini mencuat kembali mengenai polemik masa jabatan presiden 3 periode. Hal ini berkaitan dengan konstitusi Negara Indonesia. Pada mulanya, ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden diatur dalam pasal 7 UUD 1945, namun pengaturan tersebut tidak diikuti oleh pengaturan batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Masa jabatan presiden dan wakil presiden merupakan materi muatan dalam konstitusi dan proses perubahan pengaturannya juga dilakukan melalui mekanisme amandemen konstitusi. Salah satu isu yang mendapat banyak perhatian publik adalah mengusung kembali pasangan Jokowi-Jusuf Kalla untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden pada periode 2019-2024.1 Namun, apabila Jusuf Kalla kembali menjadi wakil presiden, ini akan menjadi ketiga kalinya Jusuf Kalla menduduki jabatan yang sama. Ada sebagian kalangan pencalonan Jusuf Kalla untuk ketiga kalinya sebagai wakil presiden dianggap berbenturan dengan Pasal 169 huruf n Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 7 UUD NRI 19452. Selain itu, belakangan ini ada wacana perubahan ihwal masa jabatan presiden yang tertuang dalam UUD 1945 yaitu 3 periode. Hal ini menimbulkan pro-kontra di beberapa kalangan. Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa isu ini menyangkut dengan kepentingan golongan. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini akan mengulas satu isu hukum yaitu pandangan konstitusi Indonesia terhadap wacana masa jabatan presiden 3 periode.

B. Pembahasan Sejak UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali pada tanggal 5 Juli 1959, kedudukan dan peranan Presiden Republik Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan sangat dominan.3 Pengaturan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam perjalanan amandemen UUD NRI 1945 dapat dikatakan menjadi salah satu agenda utama. Proses

M. Ali Safa’at, ‘Batasan Masa Jabatan (Wakil) Presiden’, (pressreader, 2018) <www.pressreader.com> accessed 28 Maret 2020 2 Qonita Dina Latansa, “Konstitusionalitas Batasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia”, Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2, Maret 2019, h. 597 3 HRT Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, PT Remaja Rosdakarya, 2015, h. 53. 1


amandemen UUD 1945 lebih dahulu dilakukan terhadap Pasal 7 UUD 1945.4 Hal ini dikarenakan aturan yang termuat dalam Pasal 7 UUD 1945 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan.5 Saat Rapat Paripurna Sidang Umum MPR ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 rancangan rumusan Pasal 7 disahkan sebagai bagian dari perubahan pertama. Pada rumusan setelah amandemen terkait pengaturan masa jabatan presiden dan wakil presiden lebih tegas dinyatakan secara eksplisit bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Amandemen pasal 7 UUD NRI 1945 merupakan suatu wujud atau langkah tepat demi kejelasan dalam penafsirannya. Ahli hukum tata negara Dr. Bayu Dwi Anggono mengatakan kepada detikcom, pada Minggu (24/11/2019), bahwa setidaknya ada 3 alasan mengapa jabatan presiden dibatasi paling banyak 2 periode yaitu pertama, bangsa Indonesia pernah merasakan traumatik saat UUD 1945 asli. Di Pasal 7 tidak diatur secara jelas mengenai masa jabatan presiden; Kedua, salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya sirkulasi kepemimpinan yang terjaga. Yaitu bukan hanya pemilu melainkan aturan hukum harus membatasi jabatan publik tertentu tidak diisi orang yang sama dalam waktu yang terlalu lama; Ketiga, ciri sistem pemerintahan presidensial secara umum adalah jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden. Kemudian Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu yang bersifat tetap. Selain itu, Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya. Mengenai berapa periode masa jabatan presiden maka praktik negara yang menganut sistem presidensial adalah mayoritas mengatur paling banyak 2 periode.6 Dari pembahasan diatas, konstitusi Indonesia tidak memberikan ruang untuk diadakan amandemen UUD NRI 1945 untuk masa jabatan Presiden atau wakil Presiden 3 periode. Sebab bisa dijadikan alasan dalam melanggengkan kekuasaan. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan sejarah masa lalu Indonesia pada jaman orde lama dan orde baru. Pembatasan 2 periode juga merupakan salah satu dari hasil reformasi.

4

Ibid. h. 54 Yuswalina dan Kun Budianto, Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press, 2016, h. 91. 6 https://news.detik.com/berita/d-4796202/3-alasan-tegas-menolak-wacana-presiden-3-periode (diakses pada 31 Maret 2021, pukul 17.35) 5


C. Kesimpulan Isu tentang masa jabatan 3 periode ini menjadi pro-kontra dalam konstitualisme dan politik Indonesia. Hal ini banyak alasan-alasan yang dikemukan baik dari kalangan pro maupun kontra mengenai isu tersebut. Sesuai dengan pasal 7 UUD NRI 1945 Presiden dan Wakil Presiden hanya dibatasi 5 tahun dalam 1 periode dan bisa mencalonkan kembali untuk 1 periode lagi untuk terakhir kalinya. Selain itu, Negara Indonesia sebagai negara yang menganut sistem Presidensiil dalam praktiknya membatasi 2 periode saja. D. Daftar Bacaan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Buku Soemantri, HRT Sri. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan (PT Remaja Rosdakarya 2015). Yuswalina dan Kun Budianto, Hukum Tata Negara Indonesia (Setara Press 2016). Jurnal Latansa, Qonita Dina. 2019. “Konstitusionalitas Batasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia”. Jurist-Diction: Vol. 2 No. 2. Laman Safa’at,

M.

Ali.

2018.

“Batasan

Masa

Jabatan

(Wakil)

Presiden”.

www.pressreader.com (accessed 26 Maret 2021) Saputra, Andi. 2019. “3 Alasan Tegas Menolak Wacana Presiden 3 Periode. https://news.detik.com/berita/d-4796202/3-alasan-tegas-menolak-wacana-presiden3-periode (accessed 31 Maret 2021)


What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing April 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION May 2021 Edition “PENANGGULANGAN LIMBAH MEDIS COVID-19” Written by Amiliya Handayani (2019)

A. Latar Belakang dan Isu Hukum Di

setiap

negara,

salah

satu

masalah

yang

tersisa

adalah

pandemi Covid-19, yang berlanjut hingga saat ini. Aspek penting penanganan Covid-19 melibatkan penanganan limbah medis yang dihasilkan dari pasien maupun staf medis. Masalah limbah medis saat pandemi Covid-19 menjadi kendala b agi sejumlah rumah sakit. Fasilitas perawatan kesehatan dapat menghasilkan sekitar 10-25% limbh B3, yang dapat berdampak pada kesehatan dan lingkungan. banyak

Penyebaran

limbah

kesehatan

biomedis,

masyarakat

pengawasan

Covid -19

menghasilkan

menimbulkan

dan

Kementrian

akan

ancaman

lingkungan.

Lingkungan

terlalu

baru

Berdasarkan

Hidup

dan

bagi hasil

Kehutanan

(KLHK), terdapat beberapa kendala dalam pengelolaan limbah B3 yang tidak memenuhi standar dan tata cara pengelolaan limbah B3 yang tidak dilaksanakan den gan baik. Penanganan limbah rumah sakit yang tidak tepat dapat memperburuk penyebaran virus Covid 19 ke staf medis dan petugas pengelola limbah medis. Selain itu, wabah

ini

juga

menyebabkan

penumpukan

dan

peningkatan

substansial limbah medis. Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji situasi pembuangan limbah medis di era pandemi Covid -19, karena perlu

mewaspadai

penyalahgunaan

masker

daur

ulang

dan

peralatan medis lainnya. Selain itu, perlu dikaji ulang dengan kebijakan pemerintah pusat tentang pengelolaan

l imbah medis.

Bagaimana pengelolaan limb ah medis Covid-19 yang benar, dan kebijakan apa yang membantu implementasinya?

B. Pembahasan Sejak

Maret

Mengoptimalkan mengendalikan

2020,

Indonesia

layanan Covid-19.

dilanda

medis Peningkatan

pandemi

sangat jumlah

Covid -19.

penting kasus

untuk tersebut


menyebabkan peningkatan penggunaan limbah medis, khususnya penggunaan

limbah

infeksius

Covid -19.

Pembuangan

limbah

infeksius seperti APD, masker, sarung tangan medis dan alat suntik, jangan langsung dibuang ke TPA karena akan merusak lingkungan. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menjelaskan pengertian B3 dan limbah B3. Butir ke-21 Pasal 1 menjelaskan pengertian B3, yaitu “B3 yang merupakan zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung, dapat mencemarkan dan/atau membahayakan lingkungan hidup, dan/atau kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain” . Sedangkan definisi dari limbah B 3 diatur dalam Butir-22 Pasal 1, yaitu “Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3”. Jika pengelolaan limbah B3 dilaksanakan sesuai UU No. 32 Tahun

2009,

tata

diklasifikasikan.

cara

Dalam

pembuangan

PP

No.

101

limbah Tahun

B3

harus

2014,

dapat

diklasifikasikan sebagai limbah B3 setelah lolos uji sifat mudar terbakar, reaktif, eksplosif, infeksius, beracun, dan korosif. Pemerintah

secara

khsuus

telah

mengeluarkan

beberapa

kebijakan terkait pengelolaan limbah medis, khususnya dalam PP No. 101 Taun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang mengatur limbah medis infeksius Covid 19. Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

No.

P.56/Menlhk-Setjen/2015

tentang

Tata

Cara

Pengelolaan Limbah B3 Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Ada

beberapa

referensi

terkait

pengelolaan

limbah

medis

Covid-19. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, klinik

kesehatan,

dan

sejenisnya,

diatur

dalam

Surat

Edaran

MenLHK Nomor SE.2/MENLHK/PLSB3.3 /220. Sedangkan untuk pengelolaan

limbah

medis

pada

fasilitas

pelayanan

kesehatan

darurat Covid-19 seperti wisma atlet dan sejenisnya diatur dalam Surat

MenLHK

Nomor

S.167/MENLHK.PSLB3/PLB.3/3/2020.

Selain itu, ada peraturan yang mengatur sanksi tegas jika limbah infeksius

Covid-19

dibuang

langsung

tanpa

melalui

prosedur


pengelolaan limbah yang benar sebelumnya, yaitu dalam Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009 bahwa “Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana penjara paling

lama

3

(tiga)

tahun

dan

denda

paling

banyak

Rp.

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)” . Dalam hal ini, dumping berlaku dalam hal perlakuan pengelolaan limbah medis infeksius Covid-19.

C. Kesimpulan Limbah medis bekas Covid -19 merupakan limbah B3 yang jika dibuang langsung tanpa pelalui pengolahan terlebih dahulu dapat membahayakan lingkungan hidup. Limbah medis Covid -19 ini paling banyak dihasilkan dari fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah

sakit,

puskesmas,

klinik

pelayanan

kesehatan

dan

sejenisnya yang meliputi APD, masker, sarung tangan medis, jarum suntik, dan hal yang berkaitan tentang penggunaan untuk pencegahan Covid-19. Apabila dibuang tanpa pengelolaan terlebih dahulu maka akan menulark an virus Covid-19 kepada orang lain karena

limbah

diterapkannya

medis

bersifat

peraturan

reaktif.

Oleh

perundang -undangan

pengelolaan limbah medis Covid -19

karena yang

itu ada

perlu terkait

tersebut supaya mengurangi

dan memutus rantai penularan virus Cov id-19 tersebut.

D. Daftar Bacaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) . Peraturan Pemerintah Nomor 101 Taun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) . Peraturan

Menteri

Lingkungan

P.56/Menlhk-Setjen/2015

Hidup

dan

Kehutanan

tentang

Tata

Cara

Nomor

Pengelolaan

Limbah B3 Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Surat Edaran MenLHK Nomor SE.2/MENLHK/PLSB3.3/220. Surat MenLHK Nomor S.167/MENLHK.PSLB3/PLB.3/3/2020.


What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section , or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing May 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION June 2021 Edition “Kekuatan Hukum Tanda Tangan Elektronik Sebagai Solusi Administrasi Perkantoran di Masa Pandemi Covid-19” Written by Abetalita Candra Tri Rahayu (2020) A. Latar Belakang dan Isu Hukum Akibat adanya wabah virus Covid-19, perkembangan teknologi informasi pada era digitalisasi saat ini menjadi semakin pesat. Pandemi Covid-19 tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan yang melanda seluruh dunia, namun juga berdampak besar bagi kegiatan lainnya. Salah satu kegiatan yang berdampak adalah administrasi perkantoran. Kebiasaan baru membuat pegawai harus mengantisipasi penularan Covid19 dengan memberlakukan sistem Work From Home (WFH). Kendala yang dialami yaitu terhambatnya proses administrasi perkantoran terkait penandatanganan dokumen. Tanda tangan elektronik dapat menjadi solusi yang sangat inovatif, efisien, dan efektif. Akan tetapi, tanda tangan elektronik merupakan hal yang baru di tengah masyarakat, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum? B. Pembahasan Tanda tangan elektronik merupakan istilah hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya sebagai alat verifikasi dan autentikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berbicara mengenai tanda tangan elektronik sendiri telah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan dalam undang-undang. Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 11 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penandatangan; b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penandatangan;


c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; e. terdapat

cara

tertentu

yang

dipakai

untuk

mengidentifikasi

siapa

Penandatangannya; f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Oleh sebab itu, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan hukum yang terdapat dalam tanda tangan elektronik. Sehingga urgensi untuk menggunakan tanda tangan elektronik adalah sebagai solusi yang efisien dan efektif dalam kegiatan administrasi bidang perkantoran.

C. Kesimpulan Pengertian dari tanda tangan elektronik dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 12 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penggunaan tanda tangan elektronik sejatinya telah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sehingga penggunaan tanda tangan elektronik menjadi urgensi di masa pandemi dalam kegiatan administrasi di bidang perkantoran terutama untuk mendukung sistem Work From Home.


D. Daftar Bacaan Internet Pratiwi Agustini, “Tanda Tangan Elektronik Sebagai Solusi Inovatif”, https://aptika.kominfo.go.id/2019/09/tanda-tangan-elektronik-sebagai-solusiinovatif/ > accesed 20 May 2021. Dean Rizqullah Risdaryanto, “Digital Signature: Mengurangi Resiko Keamanan Dalam Day To Day Office Administration”, https://fh.unair.ac.id/digital-signaturemengurangi-resiko-keamanan-dalam-day-to-day-office-administration/ > accesed 20 May 2021. Akbar Evandio, “Tanda Tangan Digital Bisa Meminimalisir Fraud, Kok Bisa?”, https://teknologi.bisnis.com/read/20201120/84/1320161/tanda-tangan-digitalbisa-meminimalisir-fraud-kok-bisa > accesed 20 May 2021. Peraturan Perundang–undangan Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing June 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION July 2021 Edition

“EKSISTENSI TERHADAP PENGATURAN SERTIFIKASI PRODUK HALAL DI INDONESIA” Written by Poppy Hairunnisa (2020) A. Latar Belakang dan Isu Hukum Berdasarkan data Global Religius Future tahun 2019 serta melihat realitas yang ada, bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar dunia yang mencapai hingga 87 persen atau sama dengan 229,62 juta jiwa, hal tersebut-lah yang menjadi faktor pendukung dari kewajiban pemerintah dalam menjamin dan menyediakan produk-produk di dalam negeri dengan telah tersertifikasi halal. Penulisan Legal Sharing ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi dalam pengaturan sertifikasi halal yang meliputi pemberian jaminan, perlindungan, dan informasi dari kehalalan suatu produk khususnya bagi umat muslim. Selanjutnya Maka dari itu, dalam kajiannya terkait unsur kepastian hukumnya, dimana pengaturan sertifikasi halal sebenarnya menjadi isu yang mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat muslim, serta sangat berpengaruh dampaknya mengenai hubungan religius konsumen muslim dengan Tuhan. Isu hukum yang akan dibahas ialah menyangkut dasar hukum (landasan yuridis) pengaturan sertifikasi halal sebagai perwujudan adanya penerapan asas kepastian hukum untuk masyarakat khususnya umat muslim di Indonesia. B. Pembahasan Tuntutan masyarakat kepada negara dalam memberikan kepastian hukum sudah menjadi sangat urgensi, maka dibuatlah undang-undang dan peraturan lainnya mengenai sertifikasi halal tersebut. Setelah diresmikannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (atau sering dikenal dengan Omnibus law) berdasarkan asas preferensi telah mengubah beberapa ketentuan dari pengaturan sertifikasi halal yang sebelumnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.


Menurut ketentuan yang dimuat dalam Undang Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mendefinisikan Proses Produk Halal yang disingkat PPH tersebut merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.1 Pelaksanaan dan penetapan sertifikasi halal dibawah MUI2 sebagai organisasi Gerakan civil society mengambil peran serta tanggung jawab yang cukup besar dalam mengemban amanah sertifikasi halal.3 Urgensi Pengaturan Sertifikasi Halal pada dasarnya sangat berkaitan tujuan sertifikasi halal MUI dengan untuk melindungi setiap hak-hak konsumen dalam hal ini konsumen Muslim. Sertifikasi halal MUI bertujuan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu produk mendapat sertifikat halal, dimana penentuan sertifikasi halal dilakukan dalam rapat sidang MUI setelah dilakukannya audit oleh pihak terkait dalam hal ini LPPOM MUI, BPPOM, Dinas Kesehatan dan beberapa instansi terkait.4 Mengacu terhadap konstitusi negara, Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang secara substansi dalam pasal 29 ayat (1) ialah “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.5 Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja mengubah, dan menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diantaranya, terhadap Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan /penambahan satu pasal, yakni Pasal 4A yang mewajibkan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil dalam membuka

1

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295) 2 Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) 3 Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) 4 Yuli Agustina, dkk, “Pentingnya Penyuluhan Sertifikasi Jaminan Produk Halal Untuk Usaha Kecil Menengah(UKM)”, Jurnal Graha Pengabdian, Vol. 1, No.2, November 2019, Hal 139-150. < journal2.um.ac.id/ index.php/jgp/article/download/11090/4866> diakses 8 Desember 2020 5 Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945


usahanya harus bersertifikat halal yang telah ditetapkan oleh BPJPH, Kemudian ketentuan pasal 10 juga diikuti perubahan adanya kerja sama antara BPJPH dengan MUI dalam hal penetapan kehalalan Produk dan Penetapan kehalalan Produk berbentuk keputusan MUI tentang Penetapan Halal suatu Produknya, perubahan pasal 13 dalam hal ini membahas mengenai pendirian LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU JPH, dan beberapa pasal lainnya. C. Kesimpulan Bahwa kesimpulan yang diperoleh dari pengaturan sertifikasi halal dalam rangka penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian kepada konsumen, hakikatnya yaitu bertujuan untuk menjaga hak-hak konsumen terutama kebutuhan Muslim dalam pangan. Berdasarkan undang-undang yang berlaku pelaksanaan sertifikasi halal dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa. Adapun kegiatan Labelisasi Halal yang telah melekat dalam pembahasan, dikelola oleh Badan POM dengan eksistensinya demi menghilangkan keraguan konsumen yang secara otomatis menghadirkan asas kepastian hukum didalamnya terhadap kehalalan produk makanan tersebut. Perkembangan dan keberadaan kebutuhan produk halal di Indonesia yang semakin meningkat, Adanya pengembangan SDM dan industri halal yang kuat, Menjadikan sertifikasi halal sebagai bagian dari perwujudan kepastian hukumnya.


D. Daftar Bacaan 1. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295) Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 24 Tambahan Lembaran Negara Nomor 6573) Qanun Aceh No.8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal 2. Skripsi Nurul Misbah, Skripsi:“Sistem Jaminan Halal Dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal” (Undergraduate, UIN Ar-Raniry Darussalam - Banda Aceh) < https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/9464/1 >diakses 9 Desember 2020 3. Jurnal Online Yuli Agustina, dkk, “Pentingnya Penyuluhan Sertifikasi Jaminan Produk Halal Untuk Usaha Kecil Menengah(UKM)”, Jurnal Graha Pengabdian, Vol. 1, No.2, November 2019, Hal 139150 <journal2.um.ac.id/ index.php/jgp/article/download/11090/4866 > diakses 8 Desember 2020 Prof. Dr. H.Muhammad Djakfar, S.H.,M.Ag, “Peta Jalan Menuju Pengembangan Akademik Industri Halal”, UIN-Maliki jurnal, 2017<https://www.academia.edu/41141957/pariwisata Halal_Perspektif_Multidimensi> Diakses 8 Desember 2020 Warto, Syamsuri, “Sertifikasi Halal dan Implikasinya Bagi Bisnis Produk Halal di Indonesia”, Jurnal Al Maal, Vol. 2 No.1, Juli Tahun 2020, Hal 98-112<jurnal.umt.ac.id/index. php/jieb/ article/view/2803> diakses 8 Desember 2020 Rifyal Ka’bah, “Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), Vol. 1 Hal.10 < https://stai-binamadani.e-journal.id/Madanisyariah/> diakses 10 Desember 2020.


What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section,

or

if

you

have

any

questions

feel

free

to

send

them

through:

academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention! Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing July 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION Agustus 2021 Edition PREDATORY PRICING PADA E-COMMERCE Written by Hidayatul Sabrina (2019)

A. Latar Belakang dan Isu Hukum Tingginya transaksi e-commerce sangat berpengaruh dalam perekonomian Indonesia, hal ini terbukti dengan data transaksi e-commerce pada kuartal I 2021 sebanyak 548 juta transaksi yang nilainya mencapai Rp88.000.000.000.000,00 (delapan puluh delapan triliun rupiah). Peningkatan transaksi e-commerce ini disebabkan karena kemudahan yang ditawarkannya, mulai dari aksesbilitas 24 jam marketplace, biaya pemasaran yang efektif dan mudah dikelola, serta harga yang bersaing. Saat ini namanama e-commerce yang paling terkenal di Indonesia adalah Shopee, Tokopedia, JD ID, Blibli, Lazada, dan Bukalapak. Selain itu terdapat banyak promosi salah satunya adlaah flash sale. Flash sale banyak dilakukan ketika event-event besar seperti 7.7, 8.8, dan 9.9 pada setiap bulannya dengan penjualan produk yang sangat murah namun dengan kuantiti yang terbatas. Penjualan produk yang sangat murah dan cenderung merugi tersebut, diindikasi sebagai praktik predatory pricing. Dari permasalahan tersebut, penulis ingin membahas tentang dugaan flash sale sebagai predatory pricing pada ecommerce di Indonesia. B. Pembahasan Predatory pricing atau jual rugi merupakan penetapan harga jual suatu barang atau jasa yang sangat rendah dibandingkan dengan produk serupa pada pasar yang bersangkutan. Predatory pricing hanya dapat dirumuskan dalam Rule of Reason, pendekatan ini melarang bentuk pelanggaran persaingan usaha jika dapat dibuktikan ada efek negatifnya, bentuk pelanggaran baru dianggap bertentangan dengan hukum jika akibatnya dapat merugikan pesaing dan atau konsumen. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya predatory pricing maka harus dipenuhi unsur-unsur dari Pasal 20 UU 5/1999, yakni: 1. Unsur pelaku usaha 2. Unsur pemasokan 3. Unsur barang 4. Unsur jasa 5. Unsur jual rugi 6. Unsur harga yang sangat rendah 7. Dengan maksud


8. Untuk menyingkirkan atau mematikan 9. Unsur usaha pesaing 10. Unsur pasar 11. Unsur pasar bersangkutan 12. Unsur praktek monopoli 13. Unsur persaingan usaha tidak sehat Terdapat pula 5 test untuk mendeteksi predatory pricing, yaitu: 1. Price-cost test 2. Areeda-Turner Test 3. Average Total Cost Test (ATC Test) 4. Average Avoidable Cost Test (AAC Test) 5. Recoupment test Selain 2 tes tersebut, terdapat 2 indikasi lain penetapan harga yaitu: 1. Above-cost test 2. Limit pricing strategy Sedangkan flash sale sendiri merupakan sistem penjualan yang dilakukan oleh pelaku usaha pada e-commerce dengan memberikan harga suatu produk dengan sangat rendah, namun dengan jumlah atau kuantiti yang terbatas dan dalam periode singkat.1 Staff salah satu e-commerce mengatakan bahwa program flash sale merupakan sarana promosi bagi penjual, dan e-commerce selaku penyelenggara tidak mendapatkan keuntungan secara materi. Namun ada juga penjual yang menetapkan bottom price, karena dijual dengan harga rendah memang mengurangi keuntungan atau bahkan merugikan penjual. Namun, dengan kerugian tersebut ada keuntungannya, yakni tingginya exposure atau insight suatu produk sehingga lebih dikenal atau popular dalam pasar. C. Kesimpulan Bahwa program flash sale bukan merupakan predatory pricing karena tidak bertujuan menyingkirkan atau mematikan pelaku usaha pesaing. Namun apabila ada penjual pada ecommerce yang terbukti melakukan predatory pricing, maka akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 44 Tahun 2021:2 1. Denda dapat diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha terkait selama terjadi pelanggaran.

Aditya, Rifan, 2021, “Jangan Sembarangan! Kenali Apa Itu Flash sale” https://www.suara.com/bisnis/2020/11/11/185908/jangan-sembarangan-kenali-apa-itu-flash-sale?page=all diakses pada 7 Agustus 2021. 2 Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 1


2. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran. D. Daftar Bacaan E. Adrianus Octaviano, 2021, “Aku Transaksi Digital Di E-commerce Meningkat Pada Kuartal

I

2021”,

https://keuangan.kontan.co.id/news/laju-transaksi-digital-di-e-

commerce-meningkat-pada-kuartal-i-2021 diakses pada 20 Juli 2021. Dwamy Trezo Junansyah, “Praktik Promosi Flash sale Pelaku Usaha E-commerce Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” Skripsi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, http://media.unpad.ac.id/thesis/110110/2015/110110150222_l_7261.pdf

2019, diakses

pada 7 Agustus 2021. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 54).

What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing August 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION September 2021 Edition “Perlindungan Konsumen atau Penumpang Badan Usaha Angkutan Udara Apabila Penerbangan Dibatalkan” Written by Arinni Dewi (2018)

A. Latar Belakang dan Isu Hukum Hingga saat ini, pandemi COVID-19 masih berkelanjutan sejak merebaknya virus tersebut dari Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019 silam. Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang masif, tidak hanya sektor kesehatan yang terdampak, namun hingga sektor sosial ekonomi juga terdampak dari adanya pandemi COVID-19 ini. Sehubungan dengan pembatasan mobilitas masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah, maka sektor moda transportasi juga terkena ‘imbas’ dari

kebijakan-kebijakan

tersebut

antara

lain

berupa

dibatalkannya

jadwal

keberangkatan moda transportasi terkait. Oleh karena itu isu hukum yang dibahas pada penulisan ini adalah apa bentuk tanggung jawab badan usaha angkutan udara terhadap konsumen atau penumpang apabila terjadi pembatalan penerbangan? B. Pembahasan 1. Bentuk Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan terhadap Konsumen Apabila Terjadi Pembatalan Penerbangan Konsep pembatalan penerbangan sejatinya merupakan bagian dari konsep keterlambatan penerbangan yang mana telah diatur dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo. Pasal 2 huruf c dan Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Secara lex generalis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai hak konsumen serta kewajiban bagi pelaku usaha apabila konsumen mengalami kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan berupa pemberian kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian tersebut kepada konsumen dari pelaku usaha terkait (Vide Pasal 4 huruf h jo. Pasal 7 huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).


Konsep hak konsumen dan kewajiban bagi pelaku usaha tersebut apabila ditarik lebih jauh atau pengaturan secara lex specialis pada bidang usaha sektor penerbangan, jika suatu angkutan udara mengalami pembatalan penerbangan, maka dapat mengacu pada Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 7 ayat (3) huruf b dan Pasal 9 ayat (1) huruf f jo. Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan a quo, yaitu berupa: 1) Badan usaha angkutan udara atau maskapai penerbangan terkait wajib menyampaikan

informasi

keterlambatan

penerbangan

kepada

konsumen atau penumpang terkait adanya informasi yang benar dan jelas mengenai pembatalan penerbangan dan kepastian keberangkatan melalui telepon/pesan layanan singkat/media pengumuman, selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan; dan 2) Selain itu, badan usaha angkutan udara atau maskapai penerbangan terkait

wajib

mengalihkan

ke

penerbangan

berikutnya

atau

mengembalikan seluruh biaya tiket yang telah dibeli oleh masingmasing konsumen (refund ticket). C. Kesimpulan Apabila terjadi pembatalan penerbangan oleh maskapai penerbangan (Badan Usaha Angkutan Udara), maka konsumen atau penumpang berhak untuk menerima: 1) Informasi keterlambatan penerbangan yang benar dan jelas mengenai pembatalan penerbangan dan kepastian keberangkatan melalui telepon/pesan layanan singkat/media pengumuman, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan oleh badan usaha angkutan udara atau maskapai penerbangan terkait; dan 2) Pengalihan ke penerbangan berikutnya atau pengembalian seluruh biaya tiket yang telah dibeli (refund ticket) dari badan usaha angkutan udara atau maskapai penerbangan terkait. D. Daftar Bacaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956).


Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 716 Tahun 2015).

What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing September 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION October 2021 Edition PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMALSUAN HASIL TEST COVID-19 Written by Gd Arya Prameswara (2018)

A.

Latar Belakang dan Isu Hukum a.

Latar Belakang Pandemi COVID-19 memgharuskan manusia untuk melakukan pembatasan

kontak fisik dan situasi ini juga memunculkan standar-standar baru dalam berbagai aspek terutama dalam bidang kesehatan. Salah satunya adalah kewajiban untuk tes usap atau test swab berupa antigen dan PCR (Polymerase Chain Reaction) yang pada prinsipnya menjadi persyaratan wajib untuk dapat melakukan aktivitas tertentu misalnya berpergian dalam negeri atau sekedar bekerja dikantor. Berdasarkan ketentuan dalam Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 17 Tahun 2021 Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Standar Operasional Prosedur (SOP) berbagai Korporasi sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19, pada prinsipnya menyaratkan hasil swab COVID-19 negatif (antigen atau PCR). Seiring berjalannya waktu terjadi pergeseran kebutuhan dan standar yang berlaku dalam masyarakat, dengan memanfaatkan kemudahan akses pada pelayanan kesehatan melalui media elektronik seakan berjalan selaras dengan munculnya pelayanan kesehatan serba daring termasuk dalam pengiriman hasil test swab COVID-19 yang memanfaatkan digitalisasi melalui media sosial serta berbagai media lainnya. Berbagai bentuk penawaran layanan kesehatan termasuk test swab seperti antigen dan PCR baik di media sosial facebook, Instagram, WhatsApp bahkan yang berbasis video dari Youtube. Namun, kemudahan ini tidak hanya membawa dampak positif. Sering kali terjadi penyalahgunaan media sosial, salah satunya jual-beli surat hasil swab antigen dan PCR COVID-19 palsu yang pada prinsipnya bersifat melawan hukum.

b.

Isu Hukum

Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemalsuan Hasil Test COVID-19?


B.

Pembahasan Perbuatan pemalsuan surat hasil test swab COVID-19 (antigen dan PCR), merupakan suatu tindak pidana. Berdasarkan asas legalitas hukum pidana, yaitu Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali sebagaimana normanya terkandung dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Artinya suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila diatur dalam ketentuan undang-undang dan ketentuan tersebut telah ada sebelum perbuatan dilakukan.1 Berkaitan dengan pemalsuan surat sendiri telah diatur dalam ketentuan Pasal 263 Ayat (1) KUHP bagi barangsiapa yang membuat surat palsu dan Pasal 263 Ayat (2) bagi barangsiapa yang memakai surat palsu. Baik pembuat dan penggunanya dikenakan sanksi yang sama. Surat dalam hal ini adalah segala bentuk surat, baik yang ditulis tangan maupun yang dicetak. Secara general adapun unsurunsur pemalsuan surat yang diatur dalam KUHP, yaitu: 1) Suatu surat yang dapat menghasilkan sesuatu hak sesuatu perjanjian utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu kejadian; 2) Membuat surat palsu (surat itu sejak awal memang palsu) atau memalsukan surat (surat itu tadinya benar, tetapi kemudian dipalsukan); 3) Tujuannya untuk menggunakan atau digunakan oleh orang lain; 4) Dapat menimbulkan kerugian. Menurut R. Soesilo, surat yang dipalsukan haruslah surat yang: 1) Dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain); 2) Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya); 3) Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau 4) Surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).2 Sehingga, perbuatan memalsukan surat hasil test COVID-19 pada prinsipnya merupakan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana dimaksud Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHP. Namun, seiring berkembangnya zaman pemalsuan surat dan jual-beli surat palsu dilakukan secara daring atau merupakan suatu transaksi elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media

1

Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2014. h. 31. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991. h. 195. 2


elektronik lain. Mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 431/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL, berkaitan dengan pemalsuan surat hasil test COVID-19 yang dijual-belikan secara online di media sosial, Majelis Hakim menjatuhkan putusan berupa pemidanaan terhadap para terdakwa berdasarkan Dakwaan Alternatif Pertama Penuntut Umum, yaitu: Pasal 51 Ayat (1) jo. Pasal 35 UU ITE jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Sehingga, berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan surat hasil test COVID-19 yang dijual-belikan secara online di media sosial secara lex generalis diatur oleh KUHP dan UU ITE sebagai lex specialis. C.

Kesimpulan Perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi tidak hanya membawa dampak positif. Dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat khususnya berkaitan dengan test COVID-19, timbul juga tindakan tidak terpuji yang dilakukan oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Pemalsuan hasil test COVID-19 merupakan tindak pidana, karena melanggar ketentuan undang-undang, hak kesehatan orang lain, dan kepatutan dalam masyarakat. Selain itu, perbuatan tersebut menghalangi pemerintah untuk secara cepat menanggulangi pandemi COVID-19 di Indonesia. Sehingga, baik oknum yang membuat dan memperjual-belikan surat hasil COVID-19 palsu dan orang yang membeli serta menggunakan surat tersebut untuk kepentingan yang tidak terpuji, harus dipidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D.

Daftar Bacaan Buku Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2014. Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991.

Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Transaksi


Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952).

Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 431/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL

What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing October 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.


ALSA LEGAL SHARING – ACADEMIC DEVELOPMENT DIVISION November 2021 Edition “Imunitas Hukum Pejabat Pemerintah dalam Menyelenggarakan Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Pasca Putusan MK” Written by: Anita Maharani Tanusaputri (2019) A. Latar Belakang dan Isu Hukum Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) telah mengeluarkan putusan terkait pengujian Undang-Undang 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (selanjutnya disebut UU 2/2020) dengan nomor perkara 37/PUU-XVIII/2020. Dalam amar putusannya, MK menolak uji formil dan mengabulkan uji materiil menyangkut penambahan frasa pada Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) UU 2/2020. UU 2/2020 disahkan dengan petimbangan bahwa penyebaran COVID-19 yang menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu telah berimplikasi pada aspek ekonomi salah satunya adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional dan memburuknya sistem keuangan sehingga perlu kebijakan dengan tujuan penyelamatan perekonomian nasional. Adapun salah satu pasal krusial yang menjadi pokok bahasan dalam putusan MK ini adalah Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3) lampiran UU 2/2020. Pemohon berargumentasi bahwa norma hukum dalam ketiga ayat tersebut telah melegitimasi penyelewengan pengelolaan keuangan negara, membebaskan penyelenggara negara dari jeratan pasal tindak pidana korupsi, serta menutup acces to justice bagi masyarakat karena memberikan imunitas bagi penyelenggara negara agar terbebas dari tuntutan hukum. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan bagaimana implikasi putusan MK tersebut terhadap imunitas hukum pejabat pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi. B. Pembahasan Pasal 27 ayat (1) yang mengatur mengenai penggunaan keuangan negara tidak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan salah satu unsur esensial dalam membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi adalah unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Namun, frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian karena menutup


kemungkinan dilakukan penuntutan baik secara pidana dan/atau perdata walaupun penyalahgunaan kewenangan berkaitan dengan keuangan negara dengan ataupun tanpa itikad baik tidak akan dianggap sebagai kerugian negara. MK berpendapat bahwa Pasal 27 ayat (1) telah bertentangan dengan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama. Oleh karena itu pasal 27 ayat (1) dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pasal 27 ayat (3) mengatur bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini sebenarnya berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN) yang menentukan bahwa keputusan yang dikeluarkan saat keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan merupakan keputusan yang dikecualikan untuk dijadikan objek gugatan. Namun, UU 2/2020 menyangkut juga ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem

keuangan

sehingga

diperlukan

adanya

kontrol

untuk

menghindari

kesewenangan. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa sepanjang keputusan atau tindakan berkaitan dengan pandemi Covid-19 dan dilakukan dengan itikad baik maka keputusan ataupun tindakan tersebut tidak termasuk objek gugatan tetapi dalam hal sebaliknya maka keputusan atau tindakan tersebut dapat digugat pada PTUN Putusan MK terhadap pengujian pasal 27 tersebut membawa implikasi penegasan bahwa UU 2/2020 tidak memberikan kekebalan hukum absolut terhadap pejabat pelaksana UU 2/2020. Pejabat yang beritikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Namun, imunitas tersebut secara otomatis gugur dalam hal pejabat pelaksana tidak memenuhi salah satu dari 2 syarat kumulatif tersebut. C. Kesimpulan Putusan MK menegaskan adanya batasan kekebalan hukum terhadap pejabat pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi. Syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk menjadi tolak ukur apakah pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dipertanggungjawabkan secara pidana maupun perdata adalah itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, tindakan dan/atau keputusan dari pejabat pelaksana UU 2/2020 juga dapat digugat pada PTUN apabila tidak memenuhi syarat tersebut. D. Daftar Bacaan


Undang-Undang 2 Tahun 2020 tentang Penetapan tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 37/PUU-XVIII/2020

What do you think about our #ALSALEGALSHARING ? Share your opinion on the comment section, or if you have any questions feel free to send them through: academicdev.alsalcunair@gmail.com Thank you for your attention!

Disclaimer and Limitation: The foregoing material is the property of ALSA LC UNAIR and may not be used by any other party without prior written consent. This legal sharing was made specifically for ALSA Legal Sharing November 2021 Edition. We therefore do not take any responsibility if there is any form of disclosure of this article to the third party. Any links contained in this document are for informational purposes and are available and relevant at time this publication is made. We provide no liability whatsoever in respect of any information or content in such links. Copyright © 2021 ALSA LC UNAIR. All rights reserved.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.