Lex Scripta: Journal of Legal Research

Page 1


ISSN 2809-2120

Lex Scripta: Journal of Legal Research Volume 1, Desember 2021


INFO JURNAL Lex Scripta: Journal of Legal Research merupakan terbitan berkala ilmiah yang dikelola dan diterbitkan oleh Asian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Airlangga dengan frekuensi 1 (satu) kali setahun, yang dimulai pada tahun ini, dengan sasaran maupun tujuan: ➢ Menyediakan wadah terhadap hasil kajian atau penelitian ilmiah dari berbagai isu hukum, baik dalam lingkup hukum nasional maupun lingkup hukum internasional, dengan bertujuan pengembangan keilmuan hukum; dan ➢ Menjadi alat komunikasi antar berbagai elemen komunitas hukum, baik kepada anggota dan alumni ALSA, ataupun pihak lain untuk memajukan hukum Indonesia.

ALAMAT REDAKSI Fakultas Hukum Universitas Airlangga Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya, Jawa Timur, Indonesia 60286 Website: alsalcunair.com


DEWAN REDAKSI •

ISSN 2809-2120

Arinni Dewi Ambarningrum (Manager of Academic Development Division ALSA Local Chapter Universitas Airlangga 2020-2021)

Anita Maharani Tanusaputri (Chief of Editorial Board)

Poppy Hairunnisa (Content Editor)

Kirani Bararah (Content Editor)

Erlen Kusuma Emilia (Designer)

MITRA BESTARI •

Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H. (Departemen Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Dr. Lanny Ramli, S.H., M.Hum. (Departemen Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Dr. Bambang Sugeng Ariadi Subagyono, S.H., M.H. (Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Dr. Dina Sunyowati, S.H., M.Hum. (Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H. (Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Taufik Rachman, S.H., LL.M., Ph.D. (Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

A. Indah Camelia, S.H., M.H. (Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)

Hilda Yunita Sabrie, S.H., M.H. (Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Airlangga)


KATA SAMBUTAN Director Asian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Airlangga 2020/2021 Assalamualaikum Wr. Wb. Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan. Puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga kita selalu diberikan kesehatan dan kenikmatan yang tiada batas. Tak lupa atas rahmat-nya kita dapat berkumpul pada satu organisasi mahasiswa hukum yang sangat kita banggakan, Asian Law Students’ Association Local Chapter Universitas Airlangga (ALSA LC UNAIR), ALSA LC UNAIR merupakan Badan Semi Otonom dibawah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta ALSA LC UNAIR merupakan salah satu Local Chapter dibawah pengawasan dan kepengurusan ALSA National Chapter Indonesia. Dengan ini kami persembahkan Lex Scripta: Journal of Legal Research Volume 1, Desember 2021 dengan mengangkat tema “Hukum Transportasi dan Pengangkutan”. Lex Scripta: Journal of Legal Research merupakan publikasi penulisan hukum oleh ALSA LC UNAIR berupa jurnal ilmiah bidang hukum yang bertujuan memberikan manfaat bersama bagi seluruh pembaca yang dapat dijamin kredibilitasnya dengan dilaksanakannya review substansi artikel (peer-review) oleh Mitra Bestari dan jurnal ini telah terakreditasi dengan nomor ISSN. Semoga dengan adanya penulisan ini dapat memberikan manfaat bersama bagi seluruh pembaca, serta bagi seluruh pembaca dapat memiliki tambahan bahan bacaan untuk meningkatkan kualitas keilmuan hukum untuk seluruh masyarakat. Wassalamualaikum Wr. Wb., Shalom, Om Shanti Shanti Shanti Om, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan. Bring in all the best of ALSA, ALSA, Always Be One!


KATA SAMBUTAN Editorial Board Sarana pengangkutan dan transportasi merupakan sektor yang berperan penting dalam kegiatan usaha masyarakat terutama pada commodity of goods. Dewasa ini, telah berkembang berbagai macam sarana pengangkutan dan transportasi, manajemen yang dilakukan terhadap operasional tersebut, hingga penerbitan pengaturan ataupun regulasi hukum terbaru. Pengangkutan barang dan sarana transportasi memiliki pengaruh atau dampak yang besar terhadap peningkatan keseimbangan perekonomian nasional seperti mendukung aktivitas dari proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori Simpul Distribusi oleh Poernomo Sidik yang mengungkapkan bahwa semakin efektif distribusi sebuah barang, akan berakibat pada percepatan pertumbuhan ekonomi. Karena distribusi barang yang baik bergantung seberapa efektif barang telah diterima oleh setiap pelaku ekonomi, agar keperluan konsumsi, produksi dan lainnya terpenuhi. Apabila dalam praktiknya dapat berkembang sebagaimana tujuan awal, adapun konsekuensi yang diperoleh ialah pada peningkatan jumlah, perbaikan, dan perubahan fasilitas transportasi/angkutan baik regional maupun ruang lingkup secara nasional dan internasional. Melihat uraian permasalahan mengenai bidang pengangkutan dan transportasi, penyelenggaraan kajian atau penelitian ilmiah tentang hukum pengangkutan dan transportasi adalah topik pembahasan yang penting serta akan berdampak dalam penyusunan pedoman kebijakan dan diharapkan dapat mengoptimalkan keberlanjutan perlindungan dan penegakan hukum di bidang transportasi dan pengangkutan.

Selamat membaca!


DAFTAR ISI

ISSN 2809-2120

URGENSI ATURAN KEBIJAKAN TERKAIT LARANGAN PENGGUNAAN SCRUBBER TIPE OPEN LOOP, STUDI KOMPARATIF: INDONESIA DENGAN SINGAPURA ..........................1 - 25 TANGGUNG JAWAB KAPAL EVER GIVEN YANG MEMBLOKADE TERUSAN SUEZ ..26 - 43 SDGs 2045: OPTIMALISASI PERENCANAAN SISTEM TRANSPORTASI DARAT BERKELANJUTAN MELALUI IMPLEMENTASI AUPB DAN TEORI SISTEM HUKUM .44 - 66 LEGALITAS PENGOPERASIAN AUTONOMOUS CAR DI INDONESIA ............................... 67 - 88 PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP PENYINTAS KECELAKAAN PESAWAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1517 K/PDT/2009) ....................................................................................................................................89 - 107 PENINJAUAN SISTEM DESENTRALISASI DALAM KONSEP PENGANGKUTAN TOL LAUT SEBAGAI UPAYA PENEKANAN DISPARITAS HARGA KOMODITI .............................. 108 - 130 TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN DENDA ELECRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ETLE) BAGI PELANGGAR LALU LINTAS DIKAITKAN DENGAN PERAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA ............................................................................................................... 131 - 145 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGENDARA DAN PENGGUNA JASA TRANSPORTASI ONLINE DI MASA PANDEMI COVID-19................................................................................ 146 - 163 UPAYA HUKUM BAGI PENGIRIM DALAM KERUSAKAN DAN/ATAU KEHILANGAN BARANG DALAM PERJANJIAN EKSPEDISI........................................................................ 164 - 179 PENGENDALIAN OVER DIMENSION DAN OVERLOAD DALAM HUKUM PENGANGKUTAN INDONESIA .................................................................................................................................. 180 - 200 PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MITRA GO-JEK TERHADAP PESANAN FIKTIF .... 201 - 218


URGENSI ATURAN KEBIJAKAN TERKAIT LARANGAN PENGGUNAAN SCRUBBER TIPE OPEN LOOP, STUDI KOMPARATIF: INDONESIA DENGAN SINGAPURA Jennifer Moniq Sutanto, Robertus Derivio Sartono, dan Azzahra Nabila Nurfirdaus jennifer.moniq.sutanto-2019@fh.unair.ac.id Universitas Airlangga

ABSTRAK International Maritime Organization (IMO) memberlakukan kebijakan baru terkait batas kandungan sulfur oksida pada bahan bakar kapal laut. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak pencemaran laut akibat emisi gas sulfur oksida. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan scrubber. Terdapat tiga tipe scrubber yaitu open loop system, closed loop system, dan hybrid. Sebuah penelitian menyatakan bahwa air hasil pembuangan scrubber dengan tipe open loop dalam jumlah yang banyak dapat berdampak buruk bagi biota laut. Beberapa negara melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop ini, salah satunya adalah Singapura melalui Port Marine Circular No. 19 of 2019. Sementara itu, Indonesia sebagai negara dengan lautan yang sangat luas dan memiliki misi menjadi poros maritim dunia masih belum mengakomodir secara tegas terkait larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Surat Edaran Nomor 35 Tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut hanya menghimbau kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke negara lain agar menyesuaikan dan mematuhi regulasi di negara tersebut terkait larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Dengan demikian, pemerintah Indonesia belum dapat menjamin wilayah laut Indonesia bebas dari pencemaran. Oleh karena adanya kekosongan hukum terkait hal ini, diperlukan sebuah tindakan pemerintah yang berwenang untuk menerbitkan suatu aturan kebijakan terkait larangan penggunaan scrubber tipe open loop. Tulisan ini akan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual dan komparatif. Kata Kunci: Scrubber Tipe Open Loop; Aturan Kebijakan; Polusi Laut

ABSTRACT The International Maritime Organization (IMO) enforced a new policy regarding the limit of sulphur oxide content of fuel oil on board ships. The new policy objective is reducing the impact of marine pollution due to sulphur oxide gas emissions. One of the methods that can be implemented is using a scrubber. There are three types of scrubbers: open loop systems, closed loop systems, and hybrids. A research states that large amounts of open loop scrubber wash-water discharge can possibly have a negative impact on marine life. Several countries prohibit the use of scrubbers with this type, for example Singapore through the Port Marine Circular No. 19 of 2019. Meanwhile, Indonesia as a country which has a vast marine area and mission to become the marine axis of the world still has not explicitly accommodated the ban on the use of open loop type scrubber. The Directorate General of Marine Transportation Circular Number 35 of 2019 only urges Indonesian ships which will sail to other countries to adjust and comply with the regulations regarding the prohibition of using open loop scrubbers in destination country. Thus, the Indonesian government has not been able to guarantee Indonesia's marine areas are free from pollution. Due to this

1


legal vacuum, a government act is needed to issue a circular about prohibition the use of open loop type scrubber. This paper will use a normative juridical research method with a statute, conceptual and comparative approach. Keywords: Open Loop Scrubber; Policy; Marine Pollution

2


BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Negara sudah selayaknya mengupayakan pembangunannya secara efektif dan merata. Dalam sebuah negara maritim, karena sumber daya alam laut yang besar, pembangunan laut menjadi fokus yang utama. Dan upaya pembangunan nasional, dalam hal ini kelautan, harus selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).1 Baik yang telah ada maupun akan ada, pembangunan sektor laut diharapkan dapat melihat kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Di Indonesia, pembangunan kelautan merupakan perwujudan dalam usaha menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.2 Indonesia sendiri merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut melebihi daratan dengan perbandingan sebesar 2:3 dan telah diakui oleh dunia internasional. Luas wilayah kelautan Indonesia adalah 5,9 juta km2 yang terdiri atas 3,25 juta km2 wilayah perairan teritorial dan 2,7 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif.3 Hanya sekitar 2,01 juta km2 yang berupa daratan.4 Ini menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan lautan yang luas. Sebagaimana definisi dari negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.5 Berkaitan dengan pengertian ini perlu diperhatikan bahwa makna kepulauan mencakup gugusan pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya dimana

1

Goal 14: Life Below Water (www.undp.org) <https://www.undp.org/sustainable-developmentgoals?utm_source=EN&utm_medium=GSR&utm_content=US_UNDP_PaidSearch_Brand_English&utm _campaign=CENTRAL&c_src=CENTRAL&c_src2=GSR&gclid=Cj0KCQjwt6LBhDlARIsAIPRQcKsOnkDzAiQwx2RoV9rN2orPBXs4KBXiul8PFAjM25saZrMzFZLF6caAvSbEA Lw_wcB#below-watera>, accessed 6 Oktober 2021 2 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. 3 Ridwan Lasabuda, ‘Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia’ (2013) 1-2 Jurnal Ilmiah Platax 92, 93. 4 Ibid. 5 United Nation Convention on Law of The Sea 1982, Art 46.

3


kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat sebagai kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki.6 Fakta bahwa luas wilayah laut Indonesia yang juga tercatat melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 tersebut, menjadikan negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in the World).7 Melihat dari potensi wilayah kepulauan Indonesia yang sangat strategis sebagai pusat lalu lintas maritim antar benua membuat Indonesia memiliki berbagai kebijakan terkait pengelolaan maupun pemanfaatan potensi sumber daya yang ada. Salah satunya yaitu potensi dibidang industri dan jasa maritim. Sehubungan dengan letak Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah pesisir dan lautan yang luas, maka potensi yang dapat dikembangkan adalah galangan kapal dan dockyard, industri mesin dan peralatan kapal, offshore - coastal engineering and structures.8 Hal ini membuat Indonesia juga perlu memperhatikan kembali terkait aspek lain pada kapal, salah satunya aspek perancangan alat kapal yang tidak menimbulkan pencemaran air laut. Sehubungan dengan hal itu, Indonesia sebagai salah satu anggota International

Maritime

Organization

(Selanjutnya

disebut

IMO)

turut

berpartisipasi dalam menciptakan situasi pelayaran yang ramah lingkungan dan tidak mencemari air laut. Pada bulan Januari 2020 lalu, IMO memberlakukan ketentuan yang baru terkait Annex VI the International Convention for Prevention of Marine Pollution for Ships 73/78 (selanjutnya disebut MARPOL 73/78) mengenai batas kandungan sulfur dalam bahan bakar kapal. Ketentuan baru tersebut mengatur tentang pemangkasan kandungan sulfur dari penggunaan bahan bakar dari yang sebelumnya 3,5% menjadi 0,5%. Namun disediakan alternatif bagi kebijakan tersebut, yaitu dengan menggunakan scrubber bagi kapal yang bahan bakarnya mengandung sulfur tidak lebih dari 0,5%. Scrubber adalah suatu alat kendali polusi udara yang dapat digunakan untuk membuang partikel dan atau

6

Dina Sunyowati dan Enny Narwati, Buku Ajar Hukum Laut (Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, 2013). 7 Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia, <https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-danperikanan-indonesia>, accessed 6 Oktober 2021 8 Ibid.

4


gas dari arus gas keluaran industri.9 Terdapat 3 (tiga) jenis scrubber, yaitu scrubber dengan tipe open loop, close loop, dan hybrid (gabungan antara tipe open loop dan close loop). Scrubber dengan tipe open loop memiliki sistem pembuangan pembersihan gas dimana air cucian (wash water) dari proses ini, langsung dibuang ke laut. Padahal air hasil cucian tersebut mengandung bahanbahan kimia yang berbahaya bagi laut. Terdapat kurang lebih 30 negara di dunia telah melarang penggunaan dari scrubber tipe open loop.10 Salah satunya adalah Singapura melalui Port Marine Circular No. 11 of 2019. Bahkan negara tersebut telah mengkategorikan wash water yang dikeluarkan oleh scrubber dengan tipe open loop sebagai limbah industri yang beracun sebagaimana yang diatur dalam Section 1 Port Marine Circular No. 11 of 2019. Tujuan utama sebuah hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib. Dengan terciptanya ketertiban dalam masyarakat, niscaya kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan itu, hukum membagi hak dan kewajiban antar individu dalam suatu masyarakat, membagi kewenangan, mengatur mekanisme pemecahan masalah hukum, serta memelihara kepastian hukum.11 Negara Indonesia sendiri merupakan negara hukum.12 Maka dari itu dalam mengupayakan kehidupan manusia yang layak, pemerintah wajib mengupayakan lewat aturan kebijakan. Di Indonesia belum mengatur secara rinci terkait pelarangan scrubber tipe open loop. Terdapat beberapa alasan yang dimungkinkan menjadi penyebab belum adanya pelarangan scrubber tipe open loop, yaitu dari segi ekonomis dan belum adanya penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan kandungan air hasil pencucian scrubber dengan tipe open loop. Oleh karena adanya kompleksitas permasalahan sektor laut di Indonesia dan dunia, perlu adanya regulasi terkait pelarangan penggunaan scrubber tipe open loop. Dan sesuai arah pembangunan nasional yang tertulis di dalam Alinea Keempat Panji Kahirumizan, ‘Studi Eksperimental Implementasi Venturi Scrubber pada sistem gasifikasi batu bara’, (2008) Thesis. 10 Jacob Damgaard, List Of Jurisdictions Restricting Or Banning Scrubber Wash Water Discharges, <https://britanniapandi.com/2020/01/list-of-jurisdictions-restricting-or-banning-scrubber-wash-waterdischarges/>, accessed 10 Oktober 2021. 11 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty 1999) 71. 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3. 9

5


Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pembangunan nasional harus meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dan pembangunan ini berlangsung tanpa henti dari generasi ke generasi.13 Pembangunan, dalam hal ini sektor laut, harus dibangun secara sistematis. Pembangunan nasional juga harus mengindikasikan pembangunan yang berkelanjutan. Maka dari itu, dalam upaya perancangan regulasi terkait larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop, peneliti beranggapan perlu untuk

membandingkan

regulasi

Indonesia

dengan

negara

yang

telah

mengimplementasikan ketentuan IMO 2020 secara maksimal. Dalam hal, negara yang dimaksud adalah Singapura. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menemukan benang merah agar kebijakan yang dimiliki Indonesia nantinya, mampu menjamin laut Indonesia terbebas dari pencemaran.

1.2.

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan komparatif. Bahan hukum yang dikumpulkan berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan14, konvensi, dan perjanjian internasional yang terkait dengan penelitian ini. Sementara bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku hukum, skripsi, tesis, jurnal, dan internet.15

1.3.

Rumusan Masalah 1.

Bagaimanakah pengaturan yang telah dikeluarkan oleh IMO tentang scrubber dan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan?

2.

Bagaimanakah kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap penggunaan scrubber dengan tipe open loop?

Muhar Junef, ‘Penegakan Hukum Dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan’ (2017) 17 (4) Jurnal Penelitian Hukum DE JURE <ejournal.balitbangham.go.id> accessed 10 Oktober 2021. 14 Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Kencana, 2005) 182. 15 Ibid, 195. 13

6


3.

Bagaimana pengaturan penggunaan scrubber dengan tipe open loop di Singapura?

1.4.

Dasar Hukum 1.4.1. Peraturan Perundang-undangan Indonesia a.

Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia

1945

(selanjutnya disebut UUD NRI 1945). b.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (selanjutnya disebut UU 6/1996).

c.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (selanjutnya disebut UU 32/2014).

d.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (selanjutnya disebut PP 19/1999).

e.

Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan 1978 International Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1973 (MARPOL 73/78).

f.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim (selanjutnya disebut Permenhub 29/2014).

g.

Surat Edaran Nomor 35 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang Tidak Memenuhi Persyaratan serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal (selanjutnya disebut SE No 35/2019).

1.4.2. Peraturan Perundang-undangan Singapura a.

Prevention of Pollution of the Sea Act 1973 and Protocol 1978 (MARPOL 1973).

b.

Port Marine Circular No. 11 of 2019.

c.

Port Marine Circular No. 19 of 2019.

7


BAB II ANALISIS

2.1

Pengaturan Yang Telah Dikeluarkan oleh IMO tentang Scrubber dan Dampak yang Ditimbulkan Scrubber Tipe Open Loop Terhadap Lingkungan Sebagai negara yang menjadi anggota aktif sejak tahun 1961 dalam IMO, Indonesia memiliki peranan penting dalam memperkuat dedikasi negara keanggotaan IMO serta promosi yang diberikan dalam pengembangan kerjasama internasional dibidang keselamatan dan keamanan pelayaran laut. IMO merupakan badan khusus yang didirikan oleh Organisasi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan keamanan aktivitas pelayaran dan pencegahan polusi di laut oleh kapal.16 Organisasi ini memiliki beberapa tujuan yang salah satunya adalah menyediakan mekanisme kerjasama antar pemerintah di bidang regulasi dan praktik yang berkaitan dengan hal-hal teknis yang memengaruhi pelayaran dalam perdagangan internasional, dan mendorong negara-negara untuk mematuhi standar praktis tertinggi berkaitan dengan keselamatan maritim, efisiensi navigasi dan pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari kapal, serta untuk menangani masalah administrasi dan hukum.17 Meninjau dari kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki intensitas pelayaran yang tinggi, membuat pelayaran merupakan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan standarisasinya. Dalam hal ini, IMO berperan sebagai organisasi maritim yang memegang peranan untuk menciptakan stabilitas peraturan industri pelayanan yang adil dan efektif bagi Indonesia. Di sisi lain, karena pesatnya aktivitas pelayaran serta potensi negara Indonesia dibidang jasa dan industri, maka peraturan mengenai penggunaan alat yang ramah

Kementerian Luar Negeri, ‘International Maritime Organization (IMO)’ () <https://kemlu.go.id/london/id/pages/indonesia_dan_imo/2964/etcmenu#:~:text=International%20Maritime%20Organization%20(IMO)%20merupakan,polusi%20di%20la ut%20oleh%20kapal>, accessed 10 Oktober 2021. 17 Pasal 1 huruf a The International Maritime Organization Convention 1948 (amandemen). 16

8


lingkungan serta upaya kesehatan dan keselamatan pelayaran menjadi hal penting yang perlu diperhatikan dan dilakukan.18 IMO telah mengadopsi peraturan dari Konvensi Internasional yaitu The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) mengenai Pencegahan Polusi dari Kapal pada bulan Oktober 2008 lalu yang diadopsi dalam rangka mengendalikan pencemaran laut dari kapal. Konvensi ini terdiri dari 6 (enam) annex. Indonesia sendiri telah meratifikasi annex III (tentang Regulasi Pencegahan Pencemaran oleh Zat Berbahaya yang dibawa Melalui Laut dalam Bentuk Kemasan), annex IV (tentang Regulasi Pencegahan Pencemaran oleh Limbah dari Kapal), annex V (tentang Regulasi Pencegahan Pencemaran oleh Sampah dari Kapal), dan annex VI (tentang Regulasi Pencegahan Pencemaran Udara dari Kapal).19 Annex VI Konvensi MARPOL 73/78 mengatur mengenai pencegahan polusi udara yang dihasilkan dari kapal dan adanya larangan pembuangan gas emisi secara sengaja yang mengandung bahan berbahaya yang dapat berakibat untuk merusak ozon dan juga kesehatan manusia, seperti sulfur oksida dan nitrous oxides.20 Pada bulan Januari 2020, IMO telah menggalakkan dan menerapkan batasan baru mengenai penggunaan sulfur oksida yang memiliki tingkat lebih rendah bagi pelayaran internasional demi industri perkapalan yang bersih dan dari pengelolaan air limbah scrubber yang dihasilkan.21 Jumlah batas sulfur oksida dalam bahan bakar minyak yang biasa digunakan oleh kapal yang pada awalnya berjumlah 3,5% m/m dibatasi menjadi 0,50% m/m pada 1 Januari 2020.22 Dunia internasional memberikan respon yang baik dan antusias terkait hal peraturan batasan penggunaan jumlah emisi sulfur oksida. Dikarenakan adanya

Kementrian Luar Negeri ‘International Maritime Organization (IMO)’. Loc. Cit. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Indonesia Ratifies Two IMO Conventions, <http://dephub.go.id/post/read/indonesia-ratifikasi-dua-konvensi-imo-14091>, diakses tanggal 6 Oktober 2021. 20 The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, Annex VI, Regulation 14. 21 Arron N. Honniball. “Precautionary Uniteralism: Port State Prohibition on Open-loop Scrubben Discharges and the IMO 2020 Fuel Oil Sulphur Limit''. Asia-Pasific Journal of Ocean Law and Policy. 4 (2019) 270-276. 271 22 The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, Annex VI, Regulation 14.1.3 18 19

9


peraturan tersebut, dipandang sebagai langkah baru untuk menggalakan penggunaan scrubber sebagai alat untuk melakukan kendali terhadap gas buang suatu kapal. Pada dasarnya, scrubber dapat digunakan menggunakan berbagai macam cara. Scrubber dengan tipe close loop, dapat mengelola emisi sulfur oksida untuk tetap dipertahankan sampai kapal memasuki daerah pelabuhan, baru kemudian emisi sulfur oksida tersebut dibuang ke tempat pembuangan sekitar pelabuhan. Sedangkan pada scrubber dengan tipe open loop, pembuangan limbah emisi dinilai kurang aman dan kurang memperhatikan aspek lingkungan dikarenakan polutan akan dilepaskan kembali ke laut setelah mengubah sulfur oksida menjadi asam sulfat. Yang mana hal ini juga benar-benar mengancam kesehatan. Gas emisi limbah yang dikeluarkan oleh kapal melalui scrubber, yang kemudian terkatung-katung di udara dan terhirup oleh manusia dapat mengakibatkan adanya gangguan kesehatan berupa keluhan pada mata, radang saluran pernapasan, sembab paru, bronkitis, dan lainnya.23 Selain itu, senyawa yang dikeluarkan dari hasil pembuangan scrubber juga dapat menyebabkan luka di bagian parenkim pada saluran pernapasan dan dapat memberikan jalan yang luas bagi berbagai macam inflamasi dan virus yang masuk kedalam tubuh.24 Ini dapat terjadi apabila kadar sulfur oksida maupun gas lain yang dapat menimbulkan efek rumah kaca melebihi nilai baku mutu. Melansir dari data yang dimiliki oleh DNV GL (Det Norske Veritas Germanischer Lloyd) sebagai biro pendaftar akreditasi dan klasifikasi internasional menyatakan bahwa setidaknya untuk saat ini terdapat 3.756 kapal dengan scrubber yang sudah terpasang dan terus terjadi peningkatan dari tahun 2018 sebanyak 767 kapal.25 Namun sayangnya, hanya berjumlah 65 kapal yang memiliki loop dengan tipe tertutup. Angka ini diperkirakan akan melampaui 4.000 pada saat undang-undang ini telah diratifikasi dan diberlakukan. Beberapa pendapat ahli menyatakan bahwa mayoritas negara dan pemilik kapal lebih memilih untuk menggunakan scrubber dengan tipe open loop dikarenakan sangat Sabrina Gracela. “Analisis Kadar Gas Sulfur oksida di Udara Ambien pada Salah Satu Hotel di Parapat Dengan Metode Parararosanilin Secara Spektrofotometeri UV-Visible”. Tugas Akhir (2019). 24 Fachmi Al Farisi, Budiyono, Onny Setiani. “Pengaruh Sulfur oksida (SO2) Pada Udara Ambien Terhadap Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita”. Jurnal Kesehatan. Vol. 6 No. 4 (Agustus 2018). 447 25 Ship Technology. Debunking: The Problem of ships using open-loop scrubbers. <https://www.ship-technology.com/features/open-loop-scubbers/>, accessed 9 Oktober 2021. 23

10


mudah untuk dipasang dan membutuhkan perawatan yang jauh lebih sedikit serta tidak memerlukan penyimpanan untuk bahan limbah apabila dibandingkan dengan scrubber dengan tipe close loop. Mengutip berdasarkan paparan yang dikemukakan oleh Independen pada September 2019, mengungkapkan bahwa perusahaan pelayaran telah menginvestasikan lebih dari $12 pada scrubber dengan tipe open loop hanya agar kapal memenuhi standarisasi yang diberikan oleh IMO.26 Menurut International Council on Clean Transportation (ICCT) sebuah organisasi analisis regulator lingkungan. Pembuangan air limbah oleh scrubber dengan tipe open loop dinilai kurang ramah lingkungan dikarenakan scrubber ini membuang sebanyak 45 ton air cucian asam yang terkontaminasi kandungan karsinogen seperti Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan logam berat yang mempengaruhi kimia laut dan kehidupan laut, dan diperkirakan akan menyumbang sebanyak 180 juta ton cucian scrubber pada 2 tahun yang akan datang.27 Hal ini membuat beberapa negara dan pelabuhan menetapkan skala pembatasan penggunaan scrubber tipe open loop. Beberapa negara tersebut seperti UAE, Malaysia, India, Belgia, Jerman, Singapura, Lituania, Latvia, Irlandia, Norwegia, China, dan masih banyak yang lain.28 Mengenai alasan khusus mengapa negara Singapura menerapkan pembatasan tersebut akan dijelaskan dalam hasil analisa pada Bab II bagian 2.3 penulisan ini. Selain itu mengenai alasan umum dapat dilihat berdasarkan aspek lingkungan yang merupakan hal terpenting yang harus mereka perhatikan secara ketat, baik dalam regulasi, tindakan, maupun pengaturan larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop didalam wilayah kontrol emisinya. Negara Singapura sebagai salah satu negara yang sudah menerapkan suatu larangan mengenai penggunaan scrubber tipe open loop di negaranya sudah melakukan evaluasi lebih jauh serta melakukan pengklasifikasian residu berdasarkan operasi scrubber sebagai “Limbah Industri Beracun” di bawah

26

Ibid. Independent. Thousands of Ships Fitted With ‘Cheat Devices’ to Divert Poisonous Pollution into Sea. <https://www.independent.co.uk/climate-change/news/shipping-pollution-sea-open-loop-scrubbercarbon-dioxide-environment-a9123181.html>, accessed 9 Oktober 2021. 28 Ibid, Ships Technology. 27

11


pengawasan dan peraturan Kesehatan Masyarakat Negara Singapura. Sama hal nya mengenai limbah beracun hasil pembuangan scrubber pada kapal akan menghasilkan dampak yang mencemari lingkungan. Kumpulan gas buang yang terus menumpuk akan mencemari laut akan mengakibatkan biota laut yang ada di dasar laut seperti bayi kuda laut maupun ikan muda yang lain akan mati akibat terkontaminasi.29 MARPOL Annex VI yang membahas mengenai pencegahan polusi udara telah ditransmisikan ke dalam instrumen hukum nasional negara Singapura dalam G.N. No S 134/2005.

2.2

Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Penggunaan Scrubber dengan Tipe Open Loop Indonesia merupakan negara yang memiliki luas wilayah lautan sangat besar. Karena luasnya wilayah lautan tersebut, Indonesia menjadi negara maritim.30 Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo mencanangkan sebuah misi untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Untuk mencapai hal tersebut, terdapat 5 pilar yang dijadikan sebagai penyokong. Pilar yang pertama adalah pembangunan kembali budaya maritim Indonesia, yang kedua, komitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya yang ada di laut dengan berfokus membangun kedaulatan pangan laut dengan menjadikan nelayan sebagai pilar utama. Sementara pilar yang ketiga adalah komitmen mendorong pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim melalui pembangunan tol laut, pelabuhan laut, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim, pilar yang keempat adalah diplomasi maritim, dan pilar yang kelima adalah pembangunan kekuatan maritim.31 Berkaitan dengan pilar keempat yakni diplomasi maritim, merupakan pilar yang dimaksudkan untuk membangun kerjasama yang baik antara Indonesia dengan negara lain, dan meminimalisir penyebab-penyebab terjadinya konflik di

Mongabay. “Lautan Dunia adalah Ancaman Bahan Kimia Beracun” <https://www.mongabay.co.id/2018/11/07/lautan-dunia-dalam-ancaman-bahan-kimia-beracun/> accessed 11 Oktober 2021. 30 Wahyono Suroto Kusumoprojo, Indonesia Negara Maritim, (Teraju, 2009) 7. 31 Masitoh Indriani, ‘International Maritime Organization Guidelines on Maritime Cyber Risk Management: Isu dan Tantangan bagi Indonesia’ (2018) 10 Jurnal Majelis 1, 4. 29

12


laut, seperti illegal fishing, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah laut, perompakan, dan pencemaran laut.32 Guna mewujudkan pilar keempat ini, Indonesia berperan aktif sebagai anggota IMO sejak tahun 1960 setelah meratifikasi IMO Convention 1948 melalui Surat Pejabat Presiden kepada Sekretaris Jenderal IMO No. 9796/1960 tanggal 7 Mei 1960.33 Konsekuensi logis bagi Indonesia sebagai anggota organisasi internasional di bidang kelautan adalah turut melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi internasional yang berhubungan dengan laut. Salah satunya adalah ketentuan mengenai pencegahan pencemaran polusi laut yang diatur dalam konvensi MARPOL 73/78. Indonesia telah meratifikasi annex VI konvensi tersebut, yang mengatur tentang batasan kandungan sulfur pada bahan bakar kapal. Dalam rangka menindaklanjuti hal tersebut, Indonesia telah mengeluarkan Permenhub Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim, Pasal 36 Peraturan Menteri tersebut memuat ketentuan batas kandungan sulfur yang terdapat dalam bahan bakar sebagaimana yang ditentukan dalam MARPOL 73/78. Kemudian pada Tahun 2019, melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, diterbitkan SE 35/2019 tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang Tidak Memenuhi Persyaratan serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal. Berdasarkan surat edaran tersebut, kapal-kapal asing maupun kapal berbendera Indonesia sudah diwajibkan untuk menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur 0,50% m/m. Apabila bahan bakar kapal tersebut mengandung sulfur lebih besar dari batas yang telah ditentukan, peraturan masih memperbolehkannya dengan syarat kapal yang bersangkutan harus memiliki sistem pembersihan gas buang (scrubber). Berkaitan dengan scrubber, Indonesia tidak membatasi tipe scrubber yang digunakan. Pada angka 2 huruf f surat edaran tersebut, dituliskan bahwa:

Jerry Indrawan, ‘Poros Maritim Dunia Sebagai Arah Pembangunan Nasional: Upaya Perumusan Pokok-Pokok Haluan Negara di Bidang Maritim’ (2018) 10 Jurnal Majelis 71, 74. 33 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Daftar Konvensi Internasional Bidang Maritim, <https://ppid.dephub.go.id/fileupload/informasiberkala/20210710075534.Daftar_konvensi_internasional_bidang_maritim_tahun_2020.pdf>, accessed 8 Oktober 2021. 32

13


“kapal

berbendera

Indonesia

yang

berlayar

Internasional

yang

menggunakan Sistem Pembersihan Gas Buang tipe open loop untuk Resirkulasi Gas Buang agar memperhatikan ketentuan negara tujuan dikarenakan beberapa negara telah melarang penggunaan Sistem Pembersihan Gas Buang tipe open loop….”. Berdasarkan rumusan ketentuan tersebut, penggunaan scrubber dengan tipe open loop, baik bagi Indonesia maupun kapal asing tidak dilarang. Dalam hal ini, kapal Indonesia hanya diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan negara tujuan apakah melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop atau tidak. Implikasinya adalah baik kapal Indonesia yang berlayar dalam negeri maupun kapal-kapal asing yang berlayar atau berlabuh di perairan Indonesia karena memiliki hak lintas damai maupun hak lintas perairan kepulauan, berpotensi mencemari perairan Indonesia jika penggunaan scrubber dengan tipe open loop ini tidak dilarang. Terdapat 2 (dua) alasan mengapa Indonesia belum melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop untuk kapal Indonesia dan asing adalah sebagai berikut: a.

Harga scrubber dengan tipe closed loop maupun hybrid sangat mahal.34 Hal ini tentu akan memberatkan para pelaku usaha di bidang transportasi laut karena harus menambah biaya untuk membeli scrubber dengan tipe closed loop atau hybrid. Bertambahnya biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha di bidang transportasi laut, akan berimplikasi pada meningkatnya harga jasa yang dijual agar pelaku usaha tetap memperoleh keuntungan, mengingat prinsip ekonomi bahwa pelaku usaha cenderung menginginkan keuntungan yang maksimal dengan pengorbanan atau biaya yang dikeluarkan minimal.35 Secara filosofis menurut teori utilitarian, tujuan adanya hukum adalah untuk memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan yang

34

Bryan Comar, Scrubbers on Ships: Time to Close the Open Loop (Hole), <Scrubbers on ships: Time to close the open loop(hole) | International Council on Clean Transportation (theicct.org)>, accessed 29 Oktober 2021. 35 Bayu Teza Syahputra, et.al., ‘Maksimasi Keuntungan Layanan Jasa Be Clean Laundry dengan Menerapkan Metode Branch and Bound’, (2021) 6 Zeta-Math Journal 1, 2.

14


maksimal bagi masyarakat.36 Oleh karena itu, belum adanya larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop di Indonesia, berkaitan dengan kemanfaatan dan kebahagiaan yang akan diperoleh dari sisi pelaku usaha transportasi laut maupun pengguna jasa. b.

Belum adanya penelitian yang dilakukan Indonesia untuk meneliti kandungan air hasil pencucian scrubber tipe open loop.

Indonesia sampai saat ini belum melakukan penelitian terkait kandungan air hasil pencucian scrubber tipe open loop, sehingga Indonesia belum menganggapnya sebagai suatu zat yang dapat menimbulkan pencemaran. Padahal, beberapa penelitian telah menyatakan bahwa air hasil pencucian scrubber tipe open loop berbahaya. Contohnya penelitian yang dilakukan oleh International Council on Clean Transportation (ICCT), menyatakan bahwa kandungan Polycyclic aromatic Hydrocarbons (PaH) dan logam berat yang terdapat pada air hasil pencucian scrubber tipe open loop berbahaya bagi mamalia laut, bahkan dalam penelitian tersebut membahayakan habitat paus pembunuh di daerah British Columbia.37 Penelitian di Swedia pun menyatakan bahwa air hasil pencucian scrubber tipe open loop berbahaya bagi mikroorganisme di laut seperti zooplankton, yang merupakan bagian dari rantai makanan makhluk hidup di laut.38 Alasan-alasan tersebut menjadi penghambat bagi Indonesia untuk melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Akan tetapi, beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti UU 32/2014, PP 19/1999, Permenhub 29/2014 perlu dijadikan pedoman bahwa sejak awal Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencegah pencemaran laut. Berdasarkan Pasal 50 UU 32/2014, Pemerintah berperan untuk melakukan pelindungan laut melalui upaya konservasi laut, pengendalian pencemaran laut, penanggulangan bencana kelautan dan pencegahan serta penanggulangan kerusakan dan bencana.39 Kegiatan pengendalian pencemaran laut tersebut

meliputi

kegiatan pencegahan,

Atip Latipulhayat, ‘Khazanah Jeremy Bentham’, (2015) 2 Jurnal Ilmu Hukum 413, 418. Elise Georgreff, et.al., A Whale of a Problem? Heavy Fuel Oil, Exhaust Gas Cleaning Systems, and British Columbia’s Resident Killer Whales, <A whale of a problem? Heavy fuel oil, exhaust gas cleaning systems, and British Columbia’s resident killer whales (theicct.org)>, accessed 30 Oktober 2021. 38 Ibid. 39 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. 36 37

15


penanggulangan, serta pemulihannya (vide penjelasan pasal 50 huruf b). Selain itu, ketentuan Pasal 9 PP 19/1999 juga melarang setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut.40 Pencemaran laut merupakan suatu keadaan masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen ke dalam lingkungan laut karena kegiatan manusia yang menyebabkan terlampauinya baku mutu lingkungan laut yang sudah ditentukan.41 Guna mencegah terjadinya potensi pencemaran laut akibat penggunaan scrubber dengan tipe open loop, pemerintah dapat mengubah surat edaran yang telah dibuat sebelumnya, tepatnya pada bagian angka 2 huruf f yang mengatur tentang scrubber dengan tipe open loop. Hal ini perlu dilakukan, agar pemerintah tetap konsisten menjalankan komitmennya dalam pelindungan lingkungan laut sebagaimana diatur oleh UU Nomor 32/2014. Surat edaran merupakan salah satu contoh dari aturan kebijakan, yang dibentuk oleh badan atau pejabat tata usaha negara dengan tujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis.42 Suatu aturan kebijakan dibentuk berkaitan dengan penggunaan freies ermessen.43 Aturan kebijakan bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan, tidak memiliki kekuatan mengikat secara langsung tetapi memiliki relevansi hukum.44 Meskipun bukan merupakan peraturan perundang-undangan, aturan kebijakan tetap harus didasarkan atas asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan asas-asas umum pemerintahan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya.45 Indroharto, mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan aturan kebijakan adalah: a.

Tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang dijabarkan;

40

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. 41 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. 42 Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press, 2001) 152-155. 43 Ibid. 44 Ibid. 45 Cholida Hanum, ‘Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2020) 10 Humani 138, 147.

16


b.

Tidak boleh bertentangan dengan akal sehat;

c.

Harus dibuat dan direncanakan dengan cermat;

d.

Materi muatannya harus memberikan kejelasan hak dan kewajiban dari warga yang menjadi objeknya;

e.

Dasar pertimbangan dan tujuan harus jelas; dan

f.

Memenuhi syarat kepastian hukum.46

Bahwa hal-hal tersebut diatas dapat dijadikan acuan untuk membentuk suatu aturan kebijakan, yang memang ditujukan untuk mengatasi situasi di lapangan terkait dengan larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Konsep aturan kebijakan ini hampir sama dengan diskresi, yakni ditujukan agar pemerintah mempunyai andil dalam kehidupan masyarakat yang dinamis dan memerlukan adanya suatu kebijakan tertentu karena undang-undang tidak menjabarkan secara detail kemungkinan hal-hal yang terjadi secara konkrit.47 Dalam hal ini, beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pencegahan pencemaran laut seperti Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan, memang belum secara detail menjabarkan kemungkinan hal-hal yang terjadi secara konkrit akibat dari penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Menanggapi hal tersebut, diperlukan suatu tindakan dari pejabat tata usaha negara yang berwenang untuk mengeluarkan aturan kebijakan yang mengatur larangan penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Aturan kebijakan tersebut perlu dibuat sebagai upaya mencegah terjadinya pencemaran laut yang diakibatkan penggunaan scrubber dengan tipe open loop.

2.3

Pengaturan Penggunaan Scrubber dengan Tipe Open Loop di Singapura Singapura merupakan negara yang sedikit berbeda jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Negara ini tergolong negara baru, karena Singapura sendiri baru mendapatkan kemerdekaannya pada tanggal 9 Agustus 1965.48

46

Ibid, 148. Viktor Immanuel Nale, ‘Kedudukan Peraturan Kebijakan Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan’ (2016) 10 Refleksi Hukum 1, 5. 48 ‘About Singapore’ (VisitSingapore.com) <https://www.visitsingapore.com/id_id/travel-guidetips/about-singapore/> accessed 30 Oktober 2021. 47

17


Namun sejak memperoleh kemerdekaan, negara ini terus mengalami perkembangan di berbagai sektor. Selaras dengan Indonesia yang memiliki sumber daya alam laut yang melimpah, Singapura juga memperhatikan pembangunan lautnya. Sebagai kewajiban menjadi anggota IMO, Singapura akan menerapkan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh organisasi ini. Salah satunya ketentuan dalam Annex VI MARPOL 73/78. Dari pengadopsian regulasi terkait polusi udara yang disebabkan oleh kegiatan pelayaran, Singapura akan menerapkan beberapa aturan kebijakan. Ketentuan yang terkandung dalam Annex VI telah diamandemen oleh Singapura. Dalam ketentuan tersebut, diatur mengenai batasan kandungan sulfur dalam bahan bakar kapal yang beroperasi di luar area kontrol emisi yakni hanya sebesar 0.5% m/m.49 Lebih lanjut terkait penerapan aturan ini, tepatnya mulai tanggal 1 Januari 2020 pemerintah Singapura melalui The Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) akan mulai menerapkan ketentuan terkait batasan kandungan sulfur pada bahan bakar kapal.50 Singapura akan mewajibkan setiap kapal yang berada di pelabuhannya untuk menggunakan bahan bakar bersulfur tidak lebih dari ketentuan yang ditetapkan.51 Dan seperti yang disebutkan di awal, bahan bakar tidak diperkenankan jika mengandung sulfur lebih dari 0,5%. Namun Singapura telah memberikan alternatif implikasi ketentuan ini. Alternatif ini adalah dengan menggunakan scrubber dengan tipe close loop. Kapal-kapal ini juga diperbolehkan menggunakan hybrid scrubber atau sistem pembuangan campuran. Dengan hybrid scrubber, kapal yang memasuki pelabuhan Singapura dapat mematuhi regulasi tersebut dengan mengganti sistem pembuahan air hasil olahan bahan bakarnya. Dalam upaya mematuhi aturan IMO 2020 ini, banyak kapal yang terdaftar di pelabuhan Singapura telah memasang tipe scrubber yang diizinkan. Selain ketentuan tersebut, Singapura juga melarang kapal untuk membawa bahan bakar yang memiliki kandungan sulfur di atas 0,5% untuk pemakaian di

49

Pasal 2 Port Marine Circular No. 19 of 2019. IMO 2020 Sulphur Limit: A Guide for Ships Calling to Port of Singapore, <https://www.mpa.gov.sg/web/portal/home/singapore-registry-of-ships/about-srs-and-what-new/IMO2020-Fuel-Oil-Sulphur-Limit>, accessed 6 Oktober 2021. 51 Pasal 1 Port Marine Circular No. 19 of 2019. 50

18


atas kapal. Aturan ini sering juga disebut sebagai carriage prohibition. Larangan ini tidak berlaku untuk kapal yang melakukan transit di Traffic Separation Scheme (TSS) dan tanpa menghubungi pihak pelabuhan Singapura. Terdapat alasan penggunaan scrubber tipe open loop ini dilarang, yaitu karena mekanisme scrubber dengan tipe open loop akan menghasilkan limbah yang akan dibuang langsung ke laut.52 Limbah “air cucian” inilah yang akan mempengaruhi kondisi lingkungan laut.53 Dan terkait larangan ini, Singapura beranggapan bahwa hal ini merupakan usaha untuk menjaga kelangsungan ekosistem lautnya.54 Perlu diketahui bersama, sejak tahun 2019 Singapura telah mengatur dan mengkategorikan hasil buangan scrubber sebagai Toxic Industrial Waste (TIW).55 Toxic Industrial Waste (TIW) sendiri dimengerti sebagai limbah pembuangan industri. Di samping itu, implementasi kebijakan ini tidak dilakukan terburu-buru dan melalui pemberitahuan. Terbukti, negara ini juga menerbitkan surat edaran terkait pelarangan pembuangan limbah scrubber, yaitu melalui Port Marine Circular No. 11 tahun 2019 dan Port Marine Circular No. 19 tahun 2019. Kebijakan yang dibentuk negara Singapura ini sangat tepat bagi keberlangsungan lingkungan laut. Aturan kebijakan ini menjadikan pemakaian scrubber dengan tipe open loop tidak diperkenankan, dimana akan menimbulkan biaya yang besar bagi pemilik kapal untuk menginstalasi scrubber dengan tipe yang diizinkan, yaitu tipe close loop dan hybrid. Tetntu ini akan menimbulkan banyak penolakan dikalangan pemilik kapal, oleh karena besarnya biaya yang dikeluarkan serta penundaan pengiriman yang terjadi. Yang perlu diingat, bahwa ini merupakan upaya menjaga ekosistem laut Singapura itu sendiri. Namun lain halnya dengan Singapura, Indonesia tidak mengatur secara tegas pelarangan scrubber tipe open loop. Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut hanya mewajibkan pemakaian bahan bakar bersulfur rendah (tidak lebih dari

Xiaoli Mao, (theicct.org) ‘The Deadliest Catch: Scrubber washwater discharge in ASEAN fishing grounds’, <https://theicct.org/blog/staff/scrubber-washwater-ASEAN-aug2021>, accessed pada 30 Oktober 2021. 53 Ibid. 54 Singapore To Ban Use of Open-Loop Scrubbers In Port Waters, <https://euroshore.com/blog/news/2019-01-03/singapore-ban-use-of-open-loop-scrubbers-port-waters>, accessed 6 Oktober 2020. 55 Pasal 1 Port Marine Circular No. 11 of 2019. 52

19


0,5%) di perairannya. Namun limbah hasil pembuangan ini, masih dapat mengancam kondisi perairan negara ini. Meskipun karakteristik Sulfur oksida (SOx) sendiri akan mudah terlarut dalam air, dampak dari pembakaran bahan bakar mengandung sulfur adalah munculnya hujan asam.56

56 Fajardianto A., ‘Analisa Pengaruh Emisi Gas Buang Dalam Penggunaan Bahan Bakar LNG Pada Kapal-Kapal Yang Beroperasi di Jalur APBS Dengan Pemodelan Dinamika Sistem’ (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember) 2016, 19-23.

20


BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a.

Terkait penanggulangan emisi sulfur yang dihasilkan oleh kapal, IMO telah mengatur serta menerapkan batasannya dalam Konvensi Internasional yaitu The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL 73/78) mengenai Pencegahan Polusi dari Kapal pada bulan Oktober 2008 lalu. Adapun dampak yang dihasilkan dari emisi ini berupa masalah kesehatan dan masalah lingkungan, seperti adanya penyakit tenggorokan, bronkitis, dan permasalahan kesehatan lainnya. Oleh karena itu, akibat adanya dampak negatif dari persoalan yang ditimbulkan oleh scrubber tipe open loop, beberapa negara di dunia telah menetapkan skala pembatasannya sendiri terhadap scrubber dengan tipe ini, salah satunya ialah negara Singapura sebagaimana yang dituangkan dalam instrumen hukum negara Singapura G.N. No. S 134/2005.

b.

Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop. Terdapat 2 (dua) alasan mengapa hal tersebut belum dilarang, yaitu harga scrubber dengan tipe close loop maupun hybrid relatif mahal, sehingga akan memberatkan pelaku usaha jasa transportasi laut dan sebaliknya memberatkan konsumen juga, sehingga dari segi kemanfaatan dan kebahagiaan, baik pelaku usaha maupun konsumen tentu akan mencari harga yang lebih murah untuk mendapat kepuasan. Selain itu, alasan lainnya adalah belum adanya penelitian yang dilakukan oleh Indonesia untuk menguji kandungan air hasil pencucian scrubber dengan tipe openloop. Terlepas dari apapun alasannya, dengan berpegang pada komitmen pemerintah

untuk

melakukan

pelindungan

lingkungan

laut

sebagaimana tercantum dalam UU 32/2014 pemerintah dapat 21


mengambil langkah untuk menerbitkan surat edaran yang melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop sebagai suatu instrumen pencegahan pencemaran laut yang dibentuk atas dasar freies ermessen. c.

Singapura menerapkan batas sulfur pada bahan bakar kapal yang memasuki pelabuhannya, melalui Port Marine Circular No. 19 of 2019. Selain itu Singapura juga sudah mengkategorikan air hasil cucian dari scrubber dengan tipe open loop sebagai limbah buangan industri (Toxic Industrial Waste), sesuai ketentuan di dalam Port Marine Circular No. 11 of 2019. Hal ini dilakukan Singapura demi keberlangsungan kehidupan laut, dalam hal ini laut wilayahnya. Namun Singapura masih memberikan alternatif, seperti mengizinkan kapal untuk menggunakan scrubber dengan tipe close loop maupun tipe hybrid.

3.2

SARAN Berdasarkan analisis pada tulisan ini, penulis hendak menyarankan agar pemerintah Indonesia segera melakukan penelitian untuk menguji kandungan air hasil pencucian scrubber dengan tipe open loop untuk memvalidasi bahwasanya air hasil cucian scrubber dengan tipe open loop berbahaya bagi lingkungan laut. Selain itu, pemerintah perlu mengubah SE nomor 35/2019 poin 2 huruf f, untuk melarang penggunaan scrubber dengan tipe open loop sebagai salah satu wujud komitmen pemerintah melakukan pelindungan lingkungan laut sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32/2014.

22


DAFTAR BACAAN BUKU Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press, 2001). Kusumoprojo, Wahyono Suroto, Indonesia Negara Maritim, (Teraju, 2009). Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Kencana, 2005). Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Liberty, 1999).

JURNAL Hanum, Cholida, ‘Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Dalam Sistem Hukum Indonesia’ (2020) 10 Humani Indriani, Masitoh ‘International Maritime Organization Guidelines on Maritime Cyber Risk Management: Isu dan Tantangan bagi Indonesia’ (2018) 10 Jurnal Majelis. Indrawan, Jerry, ‘Poros Maritim Dunia Sebagai Arah Pembangunan Nasional: Upaya Perumusan Pokok-Pokok Haluan Negara di Bidang Maritim’ (2018) 10 Jurnal Majelis. Latipulhayat, Atip, ‘Khazanah Jeremy Bentham’ (2015) 2 Jurnal Ilmu Hukum. Nale, Viktor Immanuel, ‘Kedudukan Peraturan Kebijakan Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan’ (2016) 10 Refleksi Hukum. Syahputra, Bayu Teza, et.al., ‘Maksimasi Keuntungan Layanan Jasa Be Clean Laundry dengan Menerapkan Metode Branch and Bound’ (2021) 6 Zeta-Math Journal.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI Fajardianto, A. P. (2016). Analisa Pengaruh Emisi Gas Buang Dalam Penggunaan Bahan Bakar LNG Pada Kapalkapal Yang Beroperasi Di Jalur APBS Dengan Pemodelan Dinamika Sistem (Doctoral dissertation, Institut Technology Sepuluh Nopember) 120. Panji Kahirumizan, (2018). Studi Eksperimentasl Implementasi Venturi Scrubber pada Sistem Gasifikasi Batu Bara. (Bachelor thesis, Universitas Indonesia).

23


LAMAN Comar, Bryan Scrubbers on Ships: Time to Close the Open Loop (Hole), <Scrubbers on ships: Time to close the open loop (hole) International Council on Clean Transportation (theicct.org)>, accessed 29 Oktober 2021. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Indonesia Ratifies Two IMO Conventions, <http://dephub.go.id/post/read/indonesia-ratifikasi-dua-konvensi-imo-14091>, accessed 6 Oktober 2021. Georgreff, Elise, et.al., A Whale of a Problem? Heavy Fuel Oil, Exhaust Gas Cleaning Systems, and British Columbia’s Resident Killer Whales, <A whale of a problem? Heavy fuel oil, exhaust gas cleaning systems, and British Columbia’s resident killer whales (theicct.org)>, accessed 30 Oktober 2021. Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, Daftar Konvensi Internasional Bidang Maritim,

<https://ppid.dephub.go.id/fileupload/informasi-

berkala/20210710075534.Daftar_konvensi_internasional_bidang_maritim_tahun _2020.pdf>, accessed 8 Oktober 2021. International Maritime Organization, IMO 2020-Cutting Sulphur Oxide Emissions, <https://www.imo.org/en/MediaCentre/HotTopics/Pages/Sulphur-2020.aspx>, accessed 6 Oktober 2021. Pudjiastuti,

S.

(2016b).

“Surat

Badan

Reformasi

Geospasial

No:

B3.4/SESMA/IGD/07/2004 Direktorat Jendral PUM Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia”, dalam Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa di Bidang Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Semarang: Universitas Diponegoro. Mao, Xiaoli, The Deadliest Catch: Scrubber Washwater Discharge in ASEAN Fishing Grounds, <The Deadliest Catch: Scrubber washwater discharge in ASEAN fishing grounds (theicct.org)>, accessed 30 Oktober 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647).

24


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816). Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan 1978 International Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1973 (MARPOL 73/78) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 59). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1115). Surat Edaran Nomor 35 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang Tidak Memenuhi Persyaratan serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal.

25


TANGGUNG JAWAB KAPAL EVER GIVEN YANG MEMBLOKADE TERUSAN SUEZ Aulia Dwi Ramadhanti, Nadilla Mayang Chahyani, dan Quinta Nabila Xeonita aulia.dwi.ramadhanti-2018@fh.unair.ac.id Universitas Airlangga

ABSTRAK Kapal Ever Given merupakan kapal berbendera Panama milik Jepang yang disewa oleh perusahaan Evergreen Marine asal Taiwan. Pada 26 Maret 2021, kapal tersebut menghambat lalu lintas perairan laut di Terusan Suez. Kapal Ever Given tersangkut dan memblokade jalur pelayaran internasional akibat adanya badai pasir. Kejadian tersebut menyebabkan kemacetan lalu lintas perdagangan dan kerugian pada sektor ekonomi dunia karena terhambatnya aktivitas distribusi ekspor impor, mengingat Terusan Suez merupakan salah satu jalur maritim tersibuk di dunia. Hal ini tentunya membuat Kapal Ever Given harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab serta ketentuan hukum negara mana yang dapat diberlakukan atas kejadian tersebut. Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan penelitian ini, pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialami akibat terblokadenya Terusan Suez adalah ship owner atau pemilik kapal Ever Given dari Jepang, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selain itu, hukum negara yang dapat diberlakukan atas kejadian tersebut adalah hukum negara Panama. Kata Kunci: Ever Given Ship; Pengangkutan; Tanggung Jawab

ABSTRACT The Ever Given is a Japanese Panama-flagged ship chartered by Taiwan's Evergreen Marine. On March 26, 2021, the ship blocked sea traffic on the Suez Canal. Ever Given's ship was caught and blocked international shipping lanes due to a sandstorm. The incident caused trade traffic congestion and losses to the world economic sector due to the inhibition of import export distribution activities, considering the Suez Canal is one of the busiest maritime lines in the world. This certainly makes the Ever Given Ship must be responsible for the losses incurred. Therefore, this study aims to find out which parties are responsible and which provisions of the country's laws can be applied to the incident. The method used in this study is a normative juridical method using a conceptual approach and a statutory approach. Based on this research, the party responsible for the losses suffered due to the blockade of the Suez Canal is the ship owner or owner of ever given ship from Japan, unless it can be proven otherwise. In addition, the law of the country that can be applied to the incident is the law of the state of Panama. Keywords: Ever Given Ship; Transportation; Responsibility

26


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terselenggaranya pengangkutan laut menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting, tidak hanya sebagai sarana angkut namun juga dalam konteks lalu lintas pelayaran niaga atau yang biasa disebut dengan perdagangan. Dalam era globalisasi sebagaimana yang dialami sejak beberapa dekade silam, perdagangan dalam lingkup

perdagangan

internasional

merupakan

hal

yang

tidak

asing.

Ketergantungan antar negara dalam pemenuhan kebutuhan semakin meningkat tahun ke tahun akibat adanya perbedaan sumber daya alam maupun teknologi pada setiap negara. Hal tersebut yang kemudian mendorong perkembangan aktivitas perdagangan internasional. Keberhasilan perdagangan internasional tidak dapat dipisahkan dari proses pengangkutan barang. Pengangkutan memiliki peran yang penting dalam memperlancar distribusi barang pada perdagangan internasional. Tujuan diselenggarakannya pengangkutan pada dasarnya ialah untuk memindahkan suatu barang maupun orang dari tempat (negara) asal ke tempat (negara) tujuan. Sedangkan definisi perjanjian pengangkutan menurut Purwosutjipto yakni, suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim yang saling mengikatkan diri dalam penyelenggaraan pengangkutan baik orang maupun barang.1

Secara umum, terdapat beberapa klasifikasi pengangkutan yakni

pengangkutan darat, udara dan laut. Diantara ketiga jenis pengangkutan tersebut, pengangkutan barang melalui laut menjadi pilihan yang hingga saat ini banyak digunakan.2 Apabila didasarkan pada pengertian perjanjian pengangkutan sebagaimana dinyatakan sebelumnya, maka pengangkutan laut dapat diartikan sebagai suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim yang saling mengikatkan diri dalam penyelenggaraan pengangkutan baik orang maupun barang melalui laut dan dengan sarana transportasi laut. 1

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan (Djambatan

1991) 2. Muhamad Amin, Jufrin, “Peranan Pengangkutan Laut Sebagai Sarana Transportasi Masyarakat Indonesia”, h. 193 “Jurnal Fundamental Vol. 9 No. 2, Juli-Desember 2020. 2

27


Pada pendistribusian barang guna kelangsungan perdagangan internasional, terdapat beberapa jalur pelayaran yang kerap digunakan. Salah satu jalur pelayaran lalu lintas laut yang cukup strategis, penting dan ramai dilalui adalah Terusan Suez,3 yakni jalur yang merupakan penghubung antara Laut Tengah dengan Laut Merah. Kehadiran Terusan Suez menjadi alternatif baru yang menguntungkan dunia pengangkutan (pelayaran) laut karena memperpendek jarak antara barat dengan timur.4 Setiap tahunnya, kurang lebih 19.000 (sembilan belas ribu) kapal yang mengangkut hingga 12% dari perdagangan internasional melewati Terusan Suez.5 Beberapa waktu lalu terjadi kemacetan panjang pada Terusan Suez selama kurang lebih sepekan. Lebih dari 300 kapal terjebak dan mengakibatkan terhambatnya proses pendistribusian barang.6 Kemacetan pada Terusan Suez disebabkan oleh Kapal Ever Given yang tersangkut pada 23 Maret 2021. Kapal yang diketahui berbendera Panama milik Jepang yang disewa oleh perusahaan Evergreen Marine asal Taiwan tersebut tersangkut dengan posisi melintang atau diagonal dan memblokade seluruh bagian pada Terusan Suez. Kecelakaan yang dialami Kapal Ever Given di Terusan Suez tidak hanya mengakibatkan kemacetan lalu lintas pelayaran saja melainkan juga berdampak pada Perdagangan Internasional. Proses pendistribusian barang serta aktivitas ekspor impor menjadi terhambat. Dan menyebabkan kerugian pada Terusan Suez yang diperkirakan mencapai US$ 9,6 miliar (setara dengan Rp. 138 triliun).7

SCA News, ‘American Study: Suez Canal, The Most Important Maritime Route in Global Trade’, 28 Oktober 2021 <https://www.suezcanal.gov.eg/English/MediaCenter/News/Pages/sca_28-102021.aspx> accessed 17 November 2021. 4 Ismah Tita Ruslin, ‘Memetakan Konflik di Timur Tengah (Tinjauan Geografi Politik)’ (2013) 1 Jurnal Politik Profetik, 51. 5 Marsh, ‘Ever Given: A catastrophic incident or near miss’, <https://www.marsh.com/au/industries/marine/insights/ever-given-a-catastrophic-incident-or-nearmiss.html> accessed 08 Oktober 2021. 6 BBC, ‘Kapal raksasa tersangkut di Terusan Suez berhasil mengapung kembali’, 29 Maret 2021 <https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56519037> accessed 06 Oktober 2021. 7 Unggul Wirawan, ‘Akibat Kapal Kandas, Terusan Suez Merugi Rp. 138 Triliun Per Hari’ <https://www.beritasatu.com/dunia/750883/akibat-kapal-kandas-terusan-suez-merugi-rp-138-triliun-perhari> accessed 9 Oktober 2021. 3

28


1.2 Metode Pada penelitian ini, digunakan metode yuridis normatif, yang mana tersebut merupakan metode yang menggunakan pendekatan berdasarkan menelaah hal-hal yang bersifat teoritis yang mencakup asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan tidak lupa juga doktrin-doktrin hukum. Dengan menggunakan sistem data sekunder yaitu asas, kaidah, norma dan aturan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan aturan yang berkaitan dengan penelitian ilmiah ini. Dalam penelitian ini metode normatifnya ada pada United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982), Panama Merchant Shipping Law (Law 57 of 6 August 2008) dan Egyptian Marine Trade Law (Law 8 of 1990).

1.3 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diajukan, yakni: 1.

Pihak yang bertanggung jawab atas kerugian akibat terblokadenya Terusan Suez;

2.

Hukum Negara yang diberlakukan.

1.3 Dasar Hukum Adapun dasar hukum yang digunakan, yakni: a.

United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).

b.

Republican Decree Law on The Organization of the Suez Canal Authority (Law No. 30 of 1975).

c.

Egyptian Marine Trade Law (Law 8 of 1990).

d.

Panama Merchant Shipping Law (Law 57 of 6 August 2008).

29


BAB II ANALISIS

2.1 Pihak yang Bertanggungjawab atas Kerugian Akibat Terblokadenya Terusan Suez Terusan Suez merupakan jalur penting bagi pelayaran internasional. Tak mengherankan bila setiap hari dapat ditemukan kapal yang lalu-lalang melintas pada jalur tersebut. Pada 26 Maret 2021, lalu lintas kapal di Terusan Suez tersebut menjadi terhambat. Penyebab dari terhambatnya lalu lintas maritim di kawasan tersebut adalah karena tersangkutnya Kapal Ever Given. Kapal Ever Given merupakan kapal milik perusahaan Jepang bernama Shoei Kisen. 8 Kapal tersebut berlayar di bawah bendera Panama dan disewa oleh perusahaan asal Taiwan yang bernama Evergreen Marine. Dengan terblokadenya Terusan Suez, pelayaran internasional menjadi terhambat dan akibatnya, perusahaan-perusahaan yang mengangkut barang melalui jalur maritim, mengalami kerugian. Keadaan demikian tentunya menimbulkan permasalahan baru terkait siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh berbagai pihak akibat terblokadenya Terusan Suez. Kerugian tersebut disebabkan akibat terlambatnya pengiriman barang yang diangkut oleh kapal-kapal yang hendak melintasi Terusan Suez. Pertanggungjawaban atas keterlambatan pengiriman barang tersebut sebaiknya tidak hanya melihat dari sisi pemilik kapal Ever Given maupun pihak-pihak yang terlibat dalam penyewaan kapal tersebut seperti Evergreen Marine, namun juga melihat dari sisi kerugian yang dialami oleh kapal-kapal yang terjebak di Terusan Suez akibat adanya keterlambatan dalam pengiriman barang. Pihak Shoei Kisen selaku pemilik kapal terikat dalam sebuah perjanjian charterparty dengan Evergreen Marine. Charterparty merupakan perjanjian tertulis terkait dengan penyewaan, yang mana pemilik kapal sepakat untuk menyerahkan kapalnya kepada merchant atau pemilik kargo yang dikenal sebagai penyewa, untuk 8 Nadeen Ebrahem, ‘Ever Given container ship under way for departure from Suez Canal’ Japan Times (7 Juli 2021) <https://www.japantimes.co.jp/news/2021/07/07/world/ever-given-sets-sail/> accessed 30 September 2021.

30


pengangkutan barang melalui laut dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain.9 Kewajiban dari para pihak, termasuk jenis barang yang diangkut juga termuat dalam charterparty, yang mengikat secara hukum dan merupakan dokumen yang diakui secara internasional. Dengan terikatnya para pihak melalui charterparty, maka para pihak akan tunduk pada klausul-klausul yang ada dalam dokumen tersebut serta tunduk pada ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengangkutan barang di laut seperti The Hague-Visby Rules. Namun, tidak serta merta seluruh negara di dunia tunduk pada The Hague-Visby Rules melainkan hanya mengikat bagi negara yang meratifikasi ketentuan tersebut. Kapal tidak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh hukum internasional karena kapal bukan merupakan subjek hukum internasional, sehingga negara bendera kapal yang memikul kewajiban untuk mematuhi ketentuan yang ada pada hukum internasional.10 Oleh sebab itu, hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suatu kapal lahir dari negara bendera dari kapal tersebut. Pada dasarnya, yurisdiksi terkait kapal berkaitan erat dengan bendera yang dikibarkan pada kapal yang tengah berlayar, karena hal tersebut merupakan simbol dari nationality sebuah kapal. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang ada pada Article 91 (1) United Nations Convention on The Law of The Sea (selanjutnya disebut UNCLOS) yang menyatakan:11 “Every State shall fix the conditions for the grant of its nationality to ships, for the registration of ships in its territory, and for the right to fly its flag. Ships have the nationality of the State whose flag they are entitled to fly. There must exist a genuine link between the State and the ship.” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah kapal memiliki nasionalitas atau kebangsaan sesuai dengan bendera yang dikibarkan pada Evi Plomaritou, ‘A Review of Shipowner’s & Charterer’s Obligations in Various Types of Charter’, 2014 Vol. 4, Journal of Shipping and Ocean Engineering, 307 <http://www.davidpublisher.com/Public/uploads/Contribute/550a993f0831a.pdf>, accessed 30 September 2021. 10 Tamo Zwinge, ‘Duties of Flag States to Implement and Enforce International Standards and Regulations – And Measures to Counter Their Failure to Do So’, 2011 Vol. 10, No. 2 Journal of International Business and Law 5, 2 <https://scholarlycommons.law.hofstra.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1171&context=jibl> accessed 1 Oktober 2021. 11 Article 91 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). 9

31


kapal tersebut. Berkaitan dengan kasus Kapal Ever Given sebagaimana yang telah diuraikan, Kapal Ever Given telah terdaftar di Panama, oleh sebab itu Kapal Ever Given mengibarkan bendera Panama dalam pelayarannya dan memiliki nasionalitas atau kebangsaan Panama. Meskipun demikian, Panama sebagai flag-state atau negara bendera, tidak menerapkan Article 91 (1) UNCLOS secara penuh, karena Panama merupakan open-register state. Open registries bermakna bahwa di beberapa negara, termasuk Panama, menerapkan sistem pendaftaran dimana pemilik kapal dapat mendaftarkan kapalnya dibawah bendera negara yang bersangkutan, meskipun tidak terdapat genuine link antara pemilik kapal dan negara bendera kapal.12 Dalam hal ini, Kapal Ever Given milik perusahaan asal Jepang yang bernama Shoei Kisen, tidak memiliki genuine link dengan Panama selaku negara bendera kapal. Oleh sebab itu, Article 91 (1) UNCLOS tidak diterapkan secara penuh. Panama merupakan negara yang belum meratifikasi International Convention for the Unification of Certain Rules of Law Relating to Bills of Lading 1968 atau yang lebih dikenal dengan The Hague-Visby Rules. Meskipun demikian, dalam ketentuan hukum nasional Panama yang berkaitan dengan Law on Maritime Commerce yang disahkan pada tahun 2008, Panama mengadopsi beberapa ketentuan yang terdapat dalam The Hague-Visby Rules dengan sedikit tambahan. Salah satu ketentuan yang berkaitan dengan tanggung jawab atas kerugian pada kasus ini, terdapat dalam Article 59 dari ketentuan hukum nasional Panama yang berkaitan dengan Law on Maritime Commerce. Beberapa kargo atau barang yang diangkut kemungkinan besar akan rusak akibat kapal pengangkut kargo atau barang tersebut terlambat dalam mengangkut barang ke pelabuhan yang dituju karena terjebak selama beberapa hari di Terusan Suez. Bila hal demikian terjadi, pihak-pihak yang berkepentingan yang dirugikan akibat keterlambatan tersebut dapat meminta pertanggungjawaban kepada pemilik kapal, yang dalam hal ini adalah perusahaan Shohei Kisen asal Jepang selaku pemilik kapal Ever Given. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang terdapat

12 Frazer Hunt, Partner, Diana Lee, ‘Open Ship Registries and Implications for the Maritime Community’ <https://www.millsoakley.com.au/thinking/open-ship-registries-and-implications-for-themaritime-community/> accessed 6 Oktober 2021.

32


dalam Article 58 Rule 2 Panama Merchant Shipping Law (Law 57 of 6 August 2008) yang menyatakan: “The carrier will be responsible for any loss or damage to the goods caused by delays in delivery due to the fault or negligence of the carrier, except for those resulting from causes for which the carrier shall not be responsible under the relevant provisions of this chapter.”13 Dengan adanya ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa Shohei Kisen selaku shipowner Ever Given harus bertanggung jawab atas kerugian dan kerusakan yang timbul atas keterlambatan pengangkutan barang, kecuali Shohei Kisen dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut bukan karena kesalahannya, melainkan karena penyebab-penyebab yang diatur pada ketentuan lain. Pada prinsipnya, tanggung jawab atas kerugian yang timbul dalam pengangkutan barang merupakan kewajiban dari Shohei Kisen selaku shipowner. Namun, bila dicermati lebih lanjut, kesalahan tersebut bukan hanya pada Shohei Kisen selaku shipowner, tapi juga pada Suez Canal Authority (selanjutnya disebut SCA). Sebagai suatu badan publik yang keberadaannya dilegitimasi oleh Republican Decree Law on The Organization of the Suez Canal Authority (Law No. 30 of 1975), SCA memiliki tugas yang berkaitan dengan Terusan Suez. Tugas tersebut diatur dalam Article 8 Republican Decree Law on The Organization of the Suez Canal Authority (Law No. 30 of 1975), yang menyatakan: “The SCA shall impose and levy tolls on navigation and transit through the Canal, and on pilotage, towage, berthing and other similar actions according to the laws and regulations.” Berdasar ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa SCA juga memiliki tugas terkait dengan pilotage atau pemanduan terhadap kapal-kapal yang akan melintasi Terusan Suez. Sebagai bagian dari tugas atau wewenangnya, tentunya SCA memiliki kontrol untuk memberikan persetujuan bagi kapal yang akan melintas. Dalam kasus terblokadenya Terusan Suez ini, SCA dapat dikatakan bersalah karena ia turut andil dengan memberikan persetujuan bagi kapal Ever Given untuk melintas

13

Article 58 Panama Merchant Shipping Law (Law 57 of 6 August 2008).

33


meskipun cuaca pada saat itu sedang buruk. Pada persidangan juga dihadirkan bukti rekaman yang berisi perselisihan pendapat antara SCA dan control centre tentang apakah kapal Ever Given dapat melintas di Terusan Suez saat cuaca sedang buruk.14 Berkaca pada hal tersebut, selayaknya SCA juga bertanggung jawab atas kejadian yang terjadi di Terusan Suez. Sehingga, dalam kasus ini seharusnya pertanggungjawaban dan kompensasi yang harus diberikan terhadap kerugian yang timbul tidak sepenuhnya ada pada Shohei Kisen selaku shipowner, namun juga ada pada Suez Canal Authority atau SCA. 2.2 Hukum Dari Negara Mana yang Diberlakukan Dalam jasa pengangkutan melibatkan banyak pihak yang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam pelaksanaannya. Pada Pengangkutan laut melibatkan beberapa pihak, yaitu penyewa (charterer), pemilik kapal, pengirim (shipper), ekspeditur (forwarder), dan penerima barang (consignee).15 Hal ini tentunya melahirkan perjanjian pengangkutan, menurut Siti Utari perjanjian pengangkutan ialah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (dalam hal ini adalah pengirim, penerima, pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu.16 Pengangkutan laut menggunakan kapal milik perusahaan swasta atau nasional maupun perorangan, menurut United Nations Convention on Condition For Registration Of Ships 1986 yang dimaksud dengan kapal adalah17 “Ship means any self-propelled sea-going vessel used in international seaborne trade for the transport of goods, passengers, or both with the exception of vessels of less than 500 gross registered tons”.18 Hukum pelayaran dalam internasional disebut dengan hukum maritime atau shipping law.

The Guardian, ‘Ever Given owner says Suez canal authority at fault for grounding’, <https://www.theguardian.com/world/2021/may/22/ever-given-owner-says-suez-canal-authority-at-faultfor-grounding> accessed 15 November 2021. 15 Nur Afifah Sitti Maharani, Alma Rizkyta Asri, Fadia Fitriyanti, ‘Tanggung Jawab Pengangkut Barang Dalam Angkutan Laut’ (2021) 7 Jurnal Hukum : Hukum untuk mengatur dan melindungi masyarakat 187. 16 Siti Utari, Pengangkutan Laut (Balai Pustaka 1994) 9. 17 United Nations Convention on Conditions for Registration of Ships 1986. 18 Ibid. 14

34


Charter merupakan kesepakatan antara pihak yang memiliki kapal dengan pihak penyewa yang mana pihak yang memiliki kapal mengikatkan diri dalam rangka menyediakan sebuah kapal dan penyewa mengikatkan diri dalam rangka membayar sejumlah harga tertentu.19 Charter party merupakan perjanjian sewa-menyewa sebagaimana diatur pada Bab V buku kedua Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD).20 Charter party juga sebagai perjanjian yang mengatur terkait charter atau penyewaan kapal,21 yang mana dalam sewa-menyewa tersebut timbulah perjanjian antara pihak pemilik kapal dengan pihak yang akan meminjam atau menyewa kapal tersebut dan pihak yang menyewa mengikatkan diri dengan pembayaran yang telah disepakati sebelumnya.22 Charter party memiliki 3 jenis utama, yaitu:23 a.

Bareboat charter party Charter party yang didasarkan pada waktu, dalam charter party ini tidak menyediakan nahkoda maupun anak buah kapal. Yang bertanggung jawab atas pengangkutan ini adalah penyewa. Ada beberapa klausula menyebutkan bahwa kepala teknisi harus disetujui oleh pemilik kapal, sehingga kapal diperiksa terlebih dahulu oleh kedua belah pihak sebelum keberangkatannya.

b.

Voyage charter party Charter party yang didasarkan pada perjalanan tertentu. Yang mana perhitungan biayanya dihitung berdasarkan dari jumlah muatan atau secara borongan.

c.

Time charter party Berdasarkan Pasal 453 KUHD24 “Time charter party adalah persetujuan (si mencharterkan) mengikatkan diri dalam suatu periode tertentu, dalam rangka penyediaan kapal kepada penyewa (si

Razif Novwan & Putranto Law Firm, ‘Perjanjian Pengangkutan (Transportasi Laut)’ <https://www.rnplawfirm.com/perjanjian-pengangkutan-transportasi-laut/> accessed 23 September 2021. 20 Kitab Undang-undang Hukum Dagang 21 Razif Novwan,Op.Cit,. 22 Ibid., 188. 23 ShipsApp, ‘Seputar Industri Perkapalan, “Sistem Penyewaan Kapal’, <https://shipsapp.co.id/Artikel/sistem-penyewaan-kapal.html> accessed 23 September 2021. 24 Pasal 453 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. 19

35


pencharter) untuk menggunakan kapal tersebut, dan pembayarannya dihitung menurut lamanya waktu. Adapun konvensi-konvensi internasional yang mengatur terkait keselamatan kapal, yaitu:25 a.

Safety Of Life at Sea (selanjutnya disebut SOLAS tahun 1974), yaitu konvensi Internasional yang mengatur persyaratan-persyaratan kapal guna menjaga keselamatan jiwa yang meliputi kapal itu sendiri, anak buah kapal beserta muatan pada kapal tersebut. SOLAS 1974 ini mencakup desain kapal, mesin, dan instalasi kelistrikan, pencegahan akan bahaya kebakaran, alat-alat keselamatan serta alat komunikasi dan keselamatan navigasi.26

b.

Marine Pollution 1973/1978 (Selanjutnya disebut MARPOL tahun 1973/1978), yaitu mengatur terkait cara dalam mencegah dan menanggulangi pencemaran di laut yang berupa minyak, muatan berbahaya,

bahan

kimia,

sampah,

serta

kotoran.

Dalam

membuktikannya dengan menggunakan sertifikasi.27 c.

Load Line Convention 1966, yaitu berupa syarat-syarat yang dapat disebut sebagai sea-worthy. Persyaratan tersebut terdiri atas Certificate Load Line yang berpedoman pada aturan dalam Load Line Convention 1966.28

d.

Collision Regulation (Selanjutnya disebut Collreg 1972), yang paling penting dari konvensi ini adalah pengakuan terkait skema pemisah lalu lintas-Peraturan 10 yang memberi pedoman dalam menentukan batas kecepatan aman, risiko tabrakan dan kapal yang beroperasi di atau dekat skema pemisah lalu lintas.29

Hari Utomo, ‘Siapa yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan Kapal (Legally Responsible Parties in Ship Accident)’ (2017) 14 Jurnal Legislasi Indonesia 61. 26 Ibid. 27 Ibid. 28 Arron N. Honniball, ‘The Exclusive Jurisdiction of Flag States: A Limitation on Pro-active Port States?’ (2016) The International Journal of Marine and Coastal Law 31, 525. 29 Hari Utomo, Op.Cit.,61 25

36


e.

Tonnage Measurement 1966, konvensi ini mengatur tentang pengukuran suatu kapal dengan standar internasional.30

f.

STCW 1978 Amandemen 95, konvensi mengatur terkait persyaratan minimum dalam kaitan dengan pendidikan atau pelatihan yang harus dipenuhi oleh Anak Buah Kapal sehingga dapat bekerja sebagai pelaut di kapal.31

g.

ILO No. 147 Tahun 1976, konvensi ini tentang mengatur terkait bagaimana standar minimum kerja bagi Awak Kapal Niaga.32

h.

ILO Convention No. 185 Tahun 2008, konvensi ini tentang Seafarers Identification Document (Selanjutnya disebut SID).33

Flag State (selanjutnya disebut negara bendera) adalah bendera sebuah negara yang dikibarkan oleh sebuah kapal, yang menandakan adanya hubungan hukum antara kapal dan negara tersebut.34 Tugas dari negara bendera diatur dalam ketentuan UNCLOS. UNCLOS mengatur tugas negara bendera dalam keamanan dan juga pencegahan dan perlindungan lingkungan laut, sebagaimana disebutkan dalam Article 91 (1) UNCLOS yang mengatur35 “Every State fix the conditions for the grant of its nationality to ships, for the registration of ships in its territory, and for the right to fly its flag. Ships have the nationality of the State whose flag they are entitled to fly. There must exist a genuine link between the State and the ship”. Terlihat jelas bahwa negara bendera memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapalnya, ia juga harus menjalankan yurisdiksinya untuk menegakkan aturanaturan yang mengikat internasional itu tunduk, hal ini didasari Article 92 (1) UNCLOS, yaitu:36

30

Ibid. Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Aron N. Honniball, Op.Cit, 525. 35 Article 91 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). 36 Article 92 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). 31

37


“Ships shall sail under the flag of one State only and, save in exceptional cases expressly provided for in international treaties or in this Convention, shall be subject to its exclusive jurisdiction on the high seas. A ship may not change its flag during a voyage of while in a port of call, save in the case of a real transfer of ownership or change of registry.” Dalam hukum internasional suatu negara memiliki kapasitas hukum untuk bertindak demi kepentingan dalam melaksanakan yurisdiksi.37 Yurisdiksi dibagi menjadi tiga yaitu: a.

Yurisdiksi preskriptif, yaitu membuat hukum yang berlaku untuk kegiatan, hubungan, atau status orang, atau kepentingan orang dalam hal-hal, baik melalui Undang-undang, melalui tindakan eksekutif, atau aturan administratif atau pengakuan, atau dengan tekad oleh pengadilan.

b.

Yurisdiksi ajudikatif, yaitu untuk menundukkan orang-orang atau halhal ke dalam proses pengadilan atau pengadilan administratif baik dalam proses sipil atau dalam proses pidana apakah negara bagian merupakan pihak untuk proses.

c.

Yurisdiksi penegakan, yaitu untuk memberlakukan atau memaksa kepatuhan atau menghukum ketidakpatuhan terhadap hukum atau peraturannya, baik melalui pengadilan atau dengan menggunakan tindakan eksekutif, administratif, polisi, atau lembaga non-peradilan lainnya.38

Article 94 (1) juga mengatur akan hal tersebut39 “Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ships flying its flag.” Pada Article 94 selanjutnya berisikan kewajiban negara bendera untuk melakukan pemeriksaan secara teratur atas kelayakan laut kapal, dan memastikan

37 J Beale, ‘The creation of a legal right is an act of the law’, (1923) 36 The Jurisdiction of a Sovereign State Harvard Law Review 241-262, 241. 38 Ibid., at 401 (c). 39 Article 94 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).

38


bahwa awak kapal memiliki kualifikasi yang tepat untuk mengadakan penyelidikan menjadi korban kapal laut dalam mengambil tindakan untuk menjamin terkait keselamatan di laut Dalam Articlel 93 UNCLOS berbunyi:40 “The preceding articles do not prejudice the question of ships employed on the official service of the United Nations, its specialized agencies or the International Atomic Energy Agency, flying the flag of the organization” Pada Article 94 (4) UNCLOS berbunyi:41 “Such measures shall include those necessary to ensure: (a) that each ship, before registration and thereafter at appropriate intervals, is surveyed by a qualified surveyor of ships, and has on board such charts, nautical publications and navigational equipment and instruments as are appropriate for the safe navigation of the ship; (b) that each ship is in the charge of a master and officers who possess appropriate qualifications, in particular in seamanship, navigation, communications and marine engineering, and that the crew is appropriate in qualification and numbers for the type, size, machinery and equipment of the ship; (c) that the master, officers and, to the extent appropriate, the crew are fully conversant with and required to observe the applicable international regulations concerning the safety of life at sea, the prevention of collisions, the prevention, reduction and control of marine pollution, and the maintenance of communications by radio.” Kapal Ever Given merupakan moda transportasi berbendera Panama, oleh sebab itu hukum negara yang dapat diberlakukan adalah hukum negara Panama. Walaupun demikian, Mesir selaku Port Authority juga mempunyai yurisdiksi untuk menegakkan ketentuan yang tertuang dalam SOLAS maupun ketentuan hukum nasional Mesir lainnya. Hal itu dikarenakan secara geografis, Terusan Suez terletak 40 41

Article 93 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). Article 94 United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).

39


di kawasan teritorial negara Mesir yang kemudian digunakan sebagai jalur alternatif untuk memudahkan proses pelayaran perdagangan Internasional.42 Sehingga jelas Terusan Suez ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai wilayah Laut Teritorial. Pemerintah negara Mesir juga memperoleh pendapatan atas pengelolaan operasional Terusan Suez.43 Hal tersebut secara tidak langsung memperjelas bahwa negara Mesir memiliki otoritas terhadap Terusan Suez, termasuk terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada jalur tersebut. Sehingga dalam hal terjadi peristiwa seperti tersangkutnya Kapal Ever Given pada Terusan Suez, negara Mesir memiliki kewenangan atau Yurisdiksi untuk menegakkan SOLAS maupun hukum nasional negara Mesir.

Suez Canal Authority, ‘Canal History’ <https://www.suezcanal.gov.eg/English/About/SuezCanal/Pages/CanalHistory.aspx> accessed 17 November 2021. 43 Suez Canal Authority, ‘About Suez Canal’ <https://www.suezcanal.gov.eg/English/About/SuezCanal/Pages/AboutSuezCanal.aspx> accessed 17 November 2021. 42

40


BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Shohei Kisen selaku pemilik kapal Ever Given harus bertanggung jawab terhadap kerugian dan kerusakan yang timbul atas keterlambatan pengangkutan barang yang terjadi akibat terblokadenya Terusan Suez, kecuali pihak Shohei Kisen selaku pemilik kapal dapat membuktikan bahwa keterlambatan serta kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya secara pribadi. Namun mengingat SCA turut andil dalam peristiwa yang menimpa Kapal Ever Given di Terusan Suez, maka pertanggungjawaban dan kompensasi yang harus diberikan terhadap kerugian yang timbul tidak sepenuhnya ada pada Shohei Kisen selaku shipowner, melainkan juga ada pada SCA. Hukum negara yang digunakan adalah hukum negara Panama selaku bendera kapal Ever Given. Walaupun demikian, negara Mesir memiliki yurisdiksi untuk menegakkan ketentuan yang terkandung pada SOLAS maupun ketentuan hukum nasional Mesir, dikarenakan Terusan Suez berada di teritorial negara Mesir.

3.2 Saran a.

Pemilik kapal harus lebih kooperatif dalam mengikuti segala prosedur yang tercantum dalam rangka pertanggungjawaban.

b.

Pemilik kapal juga harus berkoordinasi dengan perusahaan pihak penyewa beserta awak kapal yang bertugas, guna mengetahui kronologi yang sebenarnya terjadi. Dengan tujuan pengumpulan bukti.

41


DAFTAR BACAAN BUKU Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3: Hukum Pengangkutan, (Djambatan 1991). Utari S, Pengangkutan Laut, (Balai Pustaka 1994).

JURNAL Maharani N, Rizkyta A, Fitriyanti F, ‘Tanggung Jawab Pengangkut Barang Dalam Angkutan Laut’ (2021) 7 Jurnal Hukum: Hukum untuk mengatur dan melindungi masyarakat. Plomaritou E, ‘A Review of Shipowner’s & Charterer’s Obligations in Various Types of Charter’, 2014 Vol. 4, Journal of Shipping and Ocean Engineering, 307 <http://www.davidpublisher.com/Public/uploads/Contribute/550a993f0831a.pdf >, accessed 30 September 2021. Ruslin I, ‘Memetakan Konflik di Timur Tengah (Tinjauan Geografi Politik)’ (2013) 1 Jurnal Politik Profetik. Utomo H, ‘Siapa yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan Kapal (Legally Responsible Parties In Ship Accident)’ (2017) 14 Jurnal Legislasi Indonesia. Zwinge T, ‘Duties of Flag States to Implement and Enforce International Standards and Regulations – And Measures to Counter Their Failure to Do So’, 2011 Vol. 10, No.

2

Journal

of

International

Business

and

Law

5,

2

<https://scholarlycommons.law.hofstra.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1171&c ontext=jibl> accessed 1 Oktober 2021.

LAMAN BBC, ‘Kapal Raksasa Tersangkut di Terusan Suez Berhasil Mengapung Kembali’ (2021) <https://www.bbc.com/indonesia/dunia-56519037> accessed 06 Oktober 2021. Frazer Hunt dan Diana Lee, ‘Open Ship Registries and Implications for the Maritime Community’

(2021)

<https://www.millsoakley.com.au/thinking/open-ship-

registries-and-implications-for-the-maritime-community/> accessed 6 Oktober 2021. 42


Marsh,

‘Ever

Given:

A

catastrophic

incident

or

near

miss’

(2021)

<https://www.marsh.com/au/industries/marine/insights/ever-given-acatastrophic-incident-or-near-miss.html> accessed 08 Oktober 2021. Nadeen Ebrahem, ‘Ever Given container ship under way for departure from Suez Canal’ Japan Times (2021) <https://www.japantimes.co.jp/news/2021/07/07/world/evergiven-sets-sail/> accessed 30 September 2021. Razif Novwan & Putranto Law Firm, ‘Perjanjian Pengangkutan (Transportasi Laut)’ (2010)

<https://www.rnplawfirm.com/perjanjian-pengangkutan-transportasi-

laut/> accessed 23 September 2021. ShipsApp, ‘Seputar Industri Perkapalan, “Sistem Penyewaan Kapal’, (2020) <https://shipsapp.co.id/Artikel/sistem-penyewaan-kapal.html>

accessed

23

September 2021. The Guardian, ‘Ever Given owner says Suez canal authority at fault for grounding’, (2021)

<https://www.theguardian.com/world/2021/may/22/ever-given-owner-

says-suez-canal-authority-at-fault-for-grounding> accessed 15 November 2021. Unggul Wirawan, ‘Akibat Kapal Kandas, Terusan Suez Merugi Rp. 138 Triliun Per Hari’ (2021) <https://www.beritasatu.com/dunia/750883/akibat-kapal-kandas-terusansuez-merugi-rp-138-triliun-per-hari> accessed 9 Oktober 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974. Panama Merchant Shipping Law (Law 57 of 6 August 2008). Republican Decree Law on The Organization of the Suez Canal Authority (Law No. 30 of 1975). United Nations Convention on Conditions for Registration of Ships 1986. United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

43


SDGs 2045: OPTIMALISASI PERENCANAAN SISTEM TRANSPORTASI DARAT BERKELANJUTAN MELALUI IMPLEMENTASI AUPB DAN TEORI SISTEM HUKUM Nurasyifah Khoirala nkhoirala12@gmail.com Universitas Airlangga

ABSTRAK Indonesia telah menyepakati komitmen bersama negara-negara di dunia untuk mewujudkan tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) 2015-2030. Namun, implementasinya belum optimal, salah satunya dibidang transportasi. Salah satu kota besar Indonesia, Jakarta, masuk dalam 10 kota paling macet di dunia dengan tingkat kemacetan sebesar 53% dari tahun 2018-2019. Problematika tersebut berkaitan dengan sistem transportasi yang belum memadai seperti banyaknya jumlah kendaraan pribadi, belum optimalnya penggunaan transportasi umum, infrastruktur yang kurang mendukung dan tidak merata, regulasi yang belum memberikan kepastian hukum secara menyeluruh, serta persoalan struktur hukum dan budaya hukum. Kegagalan sistem transportasi menganggu implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan terutama isu lingkungan. Penelitian yuridis normatif ini bertujuan memberikan rekomendasi upaya-upaya untuk mengoptimalkan perencanaan sistem transportasi yang mendukung pembangunan berkelanjutan melalui implementasi AUPB dan teori sistem hukum milik Lawrence M.Friedman. Hasil penelitian berupa implementasi asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas kepentingan umum, dan asas pelayanan publik yang baik berupa rekomendasi beberapa kebijakan terkait sistem transportasi, penggunaan transportasi rendah emisi, menilik perbandingan sistem transportasi dengan negara lain, revisi substansi dalam peraturan terkait transportasi salah satunya peraturan tentang transportasi umum online, serta menelaah melalui teori sistem hukum terkait optimalisasi peran para pihak dalam struktur hukum dan perbaikan budaya hukum. Perencanaan sistem transportasi darat yang baik akan membantu mengurai persoalan lingkungan pada khususnya dan mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan pada umumnya. Kata Kunci: AUPB; Perencanaan; Teori Sistem Hukum; Transportasi Berkelanjutan

ABSTRACT Indonesia has agreed on a global commitment to the 2015-2030 Sustainable Development Goals (TPB/SDGs). However, the implementation has not been optimal, one of which is in the field of transportation. One of Indonesia's major cities, Jakarta, is included in the 10 most congested cities in the world with a congestion rate of 53% from 2018-2019. These problems are related to an inadequate transportation system such as a large number of private vehicles, the non-optimal use of public transportation, inadequate and uneven infrastructure, regulations that do not provide comprehensive legal certainty, as well as problems with legal structures and legal culture. The failure of the transportation system interferes with the implementation of sustainable development goals, especially environmental issues. This normative juridical research aims to provide recommendations for efforts to optimize transportation system planning that supports sustainable development through the implementation of AUPB and Lawrence M. Friedman's theory of legal systems. The results of the research are the implementation of the principle of legal certainty, the principle of expediency, the principle of public interest, and the principle of good public service in the form of recommendations for several policies related

44


to the transportation system, the use of low-emission transportation, observing the comparison of transportation systems with other countries, revising the substance of regulations related to transportation, one of which is regulations on online public transportation, as well as examining through legal system theory related to optimizing the role of parties in the legal structure and improving legal culture. Good land transportation system planning will help to solve environmental problems in particular and support the implementation of sustainable development in general. Keywords: AUPB; Legal Systems Theory; Planning; Sustainable Transport

45


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Lahirnya Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang merupakan bentuk perubahan dari beberapa undang-undang mengenai lalu lintas dan angkutan jalan sebelumnya berangkat dari adanya peran strategis pada optimalisasi lalu lintas dan angkutan jalan dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana salah satu tujuan negara yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Pun sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, angkutan jalan yang dalam pengertiannya meliputi transportasi, perlu untuk dikembangkan potensi dan perannya dengan tepat dalam upaya mewujudkan keselamatan, ketertiban, keamanan, kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk meminimalisir timbulnya dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan sehingga dapat mendukung terbentuknya sistem transportasi berkelanjutan. Namun, Indonesia hingga saat ini masih memiliki persoalan terkait perencanaan dan pelaksanaan sistem transportasi. Berdasarkan survei dari TomTom Traffic Index, sebuah lembaga pemantau tingkat kemacetan lalu lintas dari Inggris, Jakarta sebagai salah satu kota besar Indonesia masuk sebagai peringkat 10 kota termacet di dunia dari 416 negara, yang memiliki tingkat kemacetan sebesar 53% pada tahun 2019.2 Namun, meskipun pada tahun 2020, bersamaan dengan dilaksanakannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tingkat kemacetan di Jakarta menurun, Jakarta tetap masuk sebagai peringkat 31 kota termacet di dunia.3 Adapun kota-kota lain seperti Bandung, Malang, Yogyakarta, dan Surabaya juga

1

Penjelasan Umum UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Nur Fitriatus Sholihah, Survei 2019, ‘Jakarta Masuk Peringkat 10 Kota Termacet di Dunia’ Kompas (2020) <https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/31/052816565/survei-2019-jakarta-masukperingkat-10-kota-termacet-di-dunia?page=all> accessed 17 September 2021. 3 Tim detikcom-detikOto, ‘Tak Termasuk Jakarta, Ini 15 Kota dengan Jalanan Paling Lancar’ Detik (2021), <https://oto.detik.com/berita/d-5355576/tak-termasuk-jakarta-ini-15-kota-dengan-jalanan-palinglancar>, accessed 17 September 2021. 2

46


memiliki tingkat kemacetan yang tinggi.4 Permasalahan mengenai tingkat macet yang tinggi di kota-kota besar Indonesia menunjukkan belum adanya pelaksanaan sistem transportasi yang optimal. Tingkat kemacetan yang tinggi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masalah managemen perpakiran dan tingginya tingkat kepemilikan kendaraan pribadi. Menilik dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa persoalanpersoalan yang ada sebagai penyebab tingginya tingkat kemacetan juga tidak terlepas dari tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi terhadap kendaraan pribadi yang bisa juga dipengaruhi akibat belum optimalnya penggunaan transportasi umum dan sarana prasarana yang kurang memadai. Maka, meningkatnya kebutuhan transportasi dalam masyarakat harus disertai dengan upaya meningkatkan pelayanan moda transportasi dan penyediaan infrastruktur yang mendukung terpenuhinya kebutuhan transportasi masyarakat.5 Tentu, persoalan tersebut juga berkaitan dengan pelayanan publik dalam bidang transportasi yang belum optimal sehingga diperlukan perbaikam sistem trasnportasi yang ada di Indonesia. Implikasi lainnya dari sistem transportasi yang tidak baik adalah memperburuk kondisi lingkungan. Adanya peningkatan mobilitas penumpang dan barang menyebabkan kenaikan tingkat motorisasi dan kemacetan. Kegiatan transportasi menghasilkan beberapa jenis gas emisi sebanyak jutaan ton yang berbahaya ke atmosfer setiap tahunnya, seperti karbon monoksida (CO), timbal (Pb), karbon dioksida (CO2; tidak polutan), chlorofluorocarbons (CFC), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), perfluorokarbon (PFC), tetraflouride silikon (SF6), nitrous oksida (N2O), logam berat (seng, krom, tembaga dan kadmium), benzena dan komponen yang mudah menguap (BTX), dan partikulat hal (abu, debu). Beberapa gas tersebut, terutama nitrous oxide, juga berkontribusi dalam depleting ozon stratosfer (O3) yang merupakan lapisan penyaring alami radiasi ultraviolet di permukaan bumi. Hal tersebut berdampak buruk pada perubahan iklim

Light news, ‘Selain Jakarta, Ini 5 Kota Termacet di Indonesia’ Kumparan (2020), <https://kumparan.com/light-news/selain-jakarta-ini-5-kota-termacet-di-indonesia-1szX7VUlt7F/full>, accessed 17 September 2021. 5 Prof. Ir. Ofyar Z Tamin, M.Sc.Eng., Ph.D., Bunga Rampai Pemikiran Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Lampung: Solusi Pembangunan dan Penataan Sistem Transportasi Terpadu di Wilayah Provinsi Lampung, (AURA 2017) 12. 4

47


dan kesehatan manusia.6 Selain itu, mengambil contoh kasus di Jakarta, kota dengan tingkat kemacetan transportasi tinggi, berdasarkan data inventarisasi milik Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, faktor-faktor penyumbang polusi udara Jakarta yaitu 75% transportasi darat, 9% pembangkit listrik dan pemanas, 8% industri, dan 8% pembakaran domestik.7 Transportasi darat sebagai penyumbang polusi udara terbesar di kota besar sangat berpotensi bahkan sudah memberikan dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Forum of International Respiratory Societies Environmental Committee, disebutkan bahwa polusi udara merusak sel-sel dalam tubuh mulai dari sel-sel yang berada di kepala hingga ujung kaki, menimbulkan penyakit jantung, diabetes, paru-paru, demensia, bahkan penyakit pada hati, janin, menyebabkan kulit rusak, memperburuk tingkat kesuburan, serta memengaruhi perkembangan anak-anak. Pun mengenai hal tersebut, organisasi kesehatan internasional, World Health Organization, menyatakan bahwa polusi udara merupakan “silent public health emergency” yang mana lebih dari 90% populasi di dunia mengonsumsi udara kotor yang beracun.8 Bahkan, dampak negatif dari sistem transportasi yang buruk juga meliputi pemborosan waktu, biaya, energi, serta penurunan produktivitas kerja penduduknya. Hal tersebut dapat menghambat terwujudnya pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2045 dan menghambat pemenuhan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28H UUD NRI 1945.9 Adapun persoalan lain mengenai substansi beberapa peraturan perundangundangan terkait transportasi darat seperti persoalan kekaburan atau ketidakjelasan hukum sehingga dapat menyebabkan misinterpretasi dan kekosongan hukum serta yang paling utama menyebabkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum

Trimo Pamudji Al Djono, ‘Transportasi dan Dampak Lingkungan (Referensi untuk Pembangunan Transportasi di Jakarta)’ Ipehijau (2020) <https://ipehijau.org/transportasi-dan-dampak-lingkunganreferensi-untuk-pembangunan-transportasi-di-jakarta/> accessed 20 September 2021. 7 Lusia Arumningtyas, Polusi Udara, ‘Pembunuh Senyap di Jabodetabek’ Mongabay (25 April 2020) <https://www.mongabay.co.id/2020/04/25/polusi-udara-pembunuh-senyap-di-jabodetabek/> accessed 20 September 2021. 8 Ibid. 9 Pasal 28H Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6

48


menghambat terwujudnya pelaksanaan sistemm transportasi yang optimal. Pun dalam hal ini juga diperlukan perbaikan peran pihak-pihak terkait seperti penyelenggara atau pejabat pemerintahan yang tugasnya berkaitan dengan transportasi ataupun pihak lainnya. Tak lupa, persoalan kesadaran masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam mewujudkan sistem transportasi yang optimal juga perlu ditingkatkan.

1.2

Rumusan Masalah 1.

Apakah pelaksanaan sistem transportasi darat di Indonesia sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan?

2.

Apa keterkaitan optimalisasi implementasi AUPB dan teori sistem hukum dengan perbaikan perencanaan sistem transportasi darat?

1.3

Dasar Hukum a.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b.

Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

c.

Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

49


BAB II ANALISIS 2.1

Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Transportasi Darat di Indonesia dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan suatu paradigma dalam bidang pembangunan yang muncul pada awal tahun 1970-an dan diharapkan bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah polusi hasil industri. Pada tahun 1972 diadakanlah Konferensi Stockholm sebagai bentuk tindak lanjut atas konsep pembangunan berkelanjutan terhadap persoalan lingkungan dan industri. Konferensi tersebut bertujuan menyelesaikan persoalan lingkungan secara global baik yang terjadi di negara maju maupun negara berkembang.10 Selain itu, pada tahun 2015, negara-negara anggota PBB mencetuskan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yang terdiri dari serangkaian agenda pembangunan berkelanjutan yang mengangkat 17 tujuan utama, yaitu: a.

Meniadakan kemiskinan

b.

Menghilangkan persoalan kelaparan

c.

Menciptakan kehidupan yang sehat dan sejahtera

d.

Menciptakan pendidikan yang berkualitas

e.

Mewujudkan penyetaraan gender

f.

Mewujudkan tersedianya air bersih dan sanitasi yang layak

g.

Menciptakan energi yang bersih dan mudah dijangkau

h.

Menciptakan pekerjaan yang layak dan menumbuhkan perekonomian

i.

Memajukan

industri,

menciptakan

inovasi,

dan

memperbaiki

infrastruktur j.

Mengurangi kesenjangan

k.

Menciptakan kondisi kota dan pemukiman yang berkelanjutan

Mira Rosana, ‘Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia’ (2018) Jurnal KELOLA: Jurnal Ilmu Sosial 148, 152. 10

50


l.

Mewujudkan konsumsi dan proses produksi yang bertanggung jawab

m.

Menangani isu perubahan iklim

n.

Menjaga kelestarian ekosistem laut

o.

Menjaga kelestarian ekosistem daratan

p.

Menciptakan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh

q.

Mengadakan proses kemitraan atau kolaborasi untuk mencapai tujuan

Mengenai konsep SGDs juga disebutkan dalam laporan WCED (World Commision on Environment and Development), komisi bentukan PBB yang bertugas merumuskan global agenda for change, bahwa SDGs menghendaki pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dilakukan tanpa mengurangi kemampuan dan kesempatan bagi generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya11. SDGs atau pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya keselarasan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri terdapat konsep pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia emas tahun 2045. Pada hakikatnya, Indonesia emas berkelanjutan 2045 merupakan bentuk ambisi untuk mencapai target pembangunan yang mengaitkan lima aspek, yaitu ekonomi, lingkungan, sosial, perdamaian, dan kerja sama yang saling disinergikan dalam merancang dan melaksanakan pembangunan.12 Konsep pembangunan berkelanjutan Indonesia 2045 mengandung empat pilar, yaitu membangun atau memberdayakan manusia dan menguasai IPTEK, membangun ekonomi yang berkelanjutan, memeratakan pembangunan, serta memantapkan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan. Dalam hal ini, sistem transportasi darat Indonesia saat ini masih belum sesuai secara optimal antara perencanaan dan pelaksanaannya dengan pilar pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK (terkait peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup rakyat), pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (terkait komitmen terhadap lingkungan hidup), dan pilar pemerataan pembangunan (terkait

11 Armida Salsiah Alisjahbana dan Endah Murniningtyas, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Konsep Target dan Strategi Implementasi (Unpad Press 2018) ii. 12 Radityo Pangestu dan Raisa Rifat, Indonesia Emas Berkelanjutan 2045: Kumpulan Pemikiran Pelajar Indonesia Sedunia Edisi 7: Lingkungan (LIPI Press 2021) 1.

51


pembangunan infrastruktur yang merata dan terintegrasi).13 Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya persoalan tingkat kemacetan tinggi, tingkat polusi udara tinggi, banyaknya kecelakaan lalu lintas, penggunaan transportasi umum yang kurang maksimal, kurangnya pemeliharaan transportasi, infrastruktur pendukung transportasi yang kurang memadai, dan sebagainya yang menunjukkan belum adanya sistem transportasi darat yang berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan evaluasi dan penyesuaian kembali konsep pembangunan berkelanjutan pada aspek transportasi darat. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, dalam Webinar “Civil In Action” yang bertema “Penggunaan Teknologi Transportasi Guna Menunjang Pembangunan Berkelanjutan pada Masa Pandemi yang Cepat, Optimal, dan Efektif” yang diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada, mengungkapkan bahwa transportasi yang berkelanjutan memiliki tingkat keselamatan yang tinggi, menyediakan tarif yang terjangkau bagi semua kalangan masyarakat, tingkat aksesibilitasnya tinggi, memiliki sistem yang terpadu, memiliki kapasitas yang mencukupi, teratur, tertib, dan rendah polusi.14 Hal tersebut dapat diwujudkan dengan penyatuan langkah-langkah kecil yang disertai dengan suatu perencanaan terpadu. Keterpaduan suatu sistem transportasi darat minimal ditinjau dari aspek rencana dan program, pendanaan, kebijakan, dan pelayanan.15

2.2

Keterkaitan Optimalisasi Implementasi AUPB dan Teori Sistem Hukum dengan Perbaikan Perencanaan Sistem Transportasi Darat Pejabat pemerintah merupakan salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam

mewujudkan

keberhasilan

pelaksanaan

pembangunan

berlanjutan,

khususnya dalam hal ini terkait dengan perbaikan perencanaan sistem transportasi darat yang berimplikasi pada peningkatan tingkat keberhasilan pelaksanaan sistem

13

Kementerian PPN / Bappenas, Indonesia 2045: Berdaulat, Adil, dan Makmur (Bappenas 2019) 4. Biro Komunikasi dan Informasi Publik, ‘Menhub : Penggunaan Teknologi di Transportasi Tunjang Pembangunan Berkelanjutan’ Departemen Perhubungan (2021) <http://dephub.go.id/post/read/menhub-penggunaan-teknologi-di-transportasi-tunjang-pembangunanberkelanjutan > accesed 25 September 2021. 15 Ade Sjafruddin, ‘Pembangunan Infrastruktur Transportasi untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ilmu Pengetahuan’ (2013) Kelompok Keahlian Rekayasa Transportasi Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, 6 accessed 3 Januari 2021. 14

52


transportasi darat yang berkelanjutan. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui optimalisasi implementasi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang diaplikasikan dalam membuat perencanaan dan pelaksanaan sistem transportasi darat. Pada hakikatnya, AUPB lahir untuk mencegah tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dalam membuat peraturan kebijaksanaan, yang mana peraturan kebijaksanaan merupakan bentuk dasar campur tangan pemerintah selain dasar peraturan perundang-undangan sebagai akibat diterapkannya konsep negara kesejahteraan. Dengan demikian, AUPB sangat penting untuk tetap menggiring pemerintah dalam menjaga dan mewujudkan kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum bagi masyarakat.16 Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa AUPB merupakan prinsip yang digunakan sebagai acuan bagi Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya untuk mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 1 angka 17). Lebih lanjut, dalam Pasal 10 disebutkan asas-asas yang termasuk dalam AUPB, yaitu asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahkan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.17 Adapun implementasi beberapa asas tersebut dalam perencanaan sistem transportasi di Indonesia sebagai berikut:18 1.

Asas kepastian hukum Asas ini merupakan salah satu asas dalam negara hukum yang mengutamakan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan sebagai dasar dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Persoalan dalam sistem transportasi terkait asas ini misalnya ketidakpastian hukum eksistensi ojek online sebagai transportasi umum. Ojek online tidak memenuhi kriteria

Feriardi, ‘Penerapan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst’ (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia) 35. 17 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 18 Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 16

53


sebagai angkutan umum berdasarkan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Dalam Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ disebutkan mengenai klasifikasi kendaraan bermotor berdasarkan fungsinya, yang mana sepeda motor tidak termasuk dalam kelompok kendaraan bermotor umum, yaitu kendaraan yang digunakan sebagai alat angkut orang dan/atau barang dengan dipungut suatu biaya.19 Namun, adanya fenomena ojek online dimana masyarakat banyak menggantungkan aktivitasnya mulai dari untuk keperluan antar jemput, membeli dan mengirim barang, hingga membeli dan mengirim makanan. Fungsi ojek online yang serba guna dan praktis lebih diminati masyarakat yang juga berimplikasi pada terdegradasinya penggunaan transportasi umum konvensional seperti bus dan angkot. Fenomena tersebut menimbulkan pandangan seakan jenis kendaraan sepeda motor sebagai ojek online termasuk dalam kelompok transportasi umum. Sehubungan dengan adanya fenomena tersebut, sebenarnya ketentuan mengenai eksistensi sepeda motor sebagai ojek online dalam UU LLAJ pernah diajukan judicial review yang menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 41/PUU-XVI/2008 tentang Pengujian UU LLAJ terhadap UUD NRI 1945. Putusan menyatakan bahwa sepeda motor tidak dapat dikategorikan sebagai jenis kendaraan bermotor umum karena berdasarkan landasan filosofisnya jenis kendaraan bermotor umum memiliki fungsi utama untuk mewujudkan keamanan dan keselamatan apalagi untuk angkutan orang.20 Belum adanya kepastian hukum dalam persoalan ini tentu menganggu kelancaran operasional transportasi umum baik untuk transportasi umum konvensional maupun untuk driver dan pengguna ojek online. Maka, diperlukan revisi atau pembentukan peraturan baru untuk mengatasi persoalan tersebut sehingga timbul kepastian hukum 19

Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ananda Amalia Tasya, ‘Legalitas Sepeda Motor dalam Ojek Online sebagai Kendaraan Bermotor Umum Ditinjau dari Hukum Pengangkutan’ (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Airlangga 2019) 6. 20

54


dalam sistem perencanaan dan pelaksanaan transportasi darat yang mendukung transportasi berkelanjutan karena juga sesuai dengan perkembangan jaman. 2.

Asas kemanfaatan Asas ini menghendaki bahwa manfaat dalam kepentingan antar individu, antara individu dengan masyarakat, antara masyarakat (WNI) dengan masyarakat asing (WNA), antara pemerintah dengan masyarakat (WNI), antara generasi sekarang dengan generasi mendatang, antara manusia dengan ekosistemnya, serta antara pria dan wanita haruslah seimbang. Artinya, tidak ada pihak yang lebih mendominasi dan mendagradasi kepentingan pihak lainnya. Asas ini juga dapat diimplementasikan pada persoalan pemenuhan kepentingan driver transportasi umum konvensional dengan ojek online. Selain itu, persoalan gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan berupa polusi udara serta kenaikan tingkat pembuangan gas emisi merupakan persoalan antar generasi yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan sistem transportasi. Untuk menanggapi persoalan tersebut, pemerintah perlu memperbaiki

infrastruktur.

Hal

ini

sejalan

dengan

rencana

pembangunan dalam Perpres No. 32/2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 20112025 yang menetapkan penguatan konektivitas nasional yang mengintegrasikan 4 elemen kebijakan nasional, yaitu Sistem Transportasi

Nasional

(Sistranas),

Teknologi

Informasi

dan

Komunikasi (TIK/ICT), Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Pengembangan wilayah (RPJMN/RTRWN).21 Untuk itu, saat ini telah ada ide dari Prof. Emir (Ketua Kelompok Keahlian Teknik Komputer di STEI ITB) dan Dr. Ivan (Postdoctoral Researcher di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST)) 21

yang

apabila diwujudkan memiliki

Ibid, Ade Sjafruddin, (n 9) 2.

55

potensi

untuk


menyelesaikan masalah transportasi melalui Intelligent Transportation System (ITS) yang memanfaatkan Artificial Intelligence (AI). Teknologi tersebut dirancang agar dapat menghubungkan kendaraan satu dengan kendaraan yang lain dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan isu kemacetan di kota-kota besar dengan melakukan penelusuran atau memelajari tren aktivitas kendaraan di jalan raya, yang mana data akan diambil dari smart CCTV yang terintegrasi sistem canggih. Pengambilan data dari CCTV kemudian dikirimkan di induk data cloud dan diteruskan pada pengguna. Setelah itu, sistem akan memberikan rekomendasi jalan yang bebas macet dengan rute tercepat dengan pertimbangan kemacetan, waktu, geospasial (sudut pandang dari dan mau ke mana), dan cuaca melalui aplikasi yang digunakan oleh pengguna. 22 3.

Asas kecermatan Asas ini menghendaki suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada dokumen dan informasi yang lengkap dan jelas sehingga memperkuat legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan, dengan demikian Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan telah dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan. Asas ini dapat diimplementasikan dalam perbaikan perencanaan sistem transportasi sebagai upaya preventif dalam menanggulangi potensipotensi dampak negatif yang timbul dari adanya penggunaan transportasi. Dalam membuat keputusan dan/atau tindakan, pejabat pemerintahan semestinya melakukan analisis dengan cermat terlebih dahulu yang didasarkan pada bukti-bukti serta analisis potensi yang ada.

22 Adi Permana, ‘Intelligent Transportation System Bisa Jadi Solusi untuk Pembangunan Moda Transportasi yang Berkelanjutan’ Institut Teknologi Bandung (2021) <https://www.itb.ac.id/news/read/58005/home/intelligent-transportation-system-bisa-jadi-solusi-untukpembangunan-moda-transportasi-yang-berkelanjutan>, accessed 3 Oktober 2021.

56


Adapun faktor-faktor yang perlu dicermati dalam membuat perencanaan sistem transportasi darat seperti penyusunan kebijakan transportasi yang memperhatikan efektivitas sistem pengadaan, mengetatkan standar lingkungan, mengefisiensikan sistem logistik, lalu mengevaluasi dan menata ulang struktur sektor transportasi seperti memperbaiki kelembagaan, mengefektifkan keterlibatan pihak swasta melalui kerjasama antara pihak swasta dengan pemerintah misalnya dalam hal penyediaan transportasi darat yang rendah emisi, memperbaiki

kualitas

moda-moda

yang

dioperasikan,

serta

memperbaiki aspek-aspek dalam mengoperasikan kegiatan transportasi darat mulai dari sistem manajemen, tingkat penggunaan, penerapan teknologi, dan sebagainya. Selain itu, pejabat pemerintahan juga perlu memperhatikan faktor lalu lintas lainnya seperti kebisingan, kerusakan fisik, perasaan tak aman, faktor badan jalan seperti pemisahan lahan, konsumsi lahan, nilai lahan, perubahan akses, pengaruhnya terhadap alam atau lingkungan, situs budaya, dan sejarah yang memberikan pengaruh pada kondisi lingkungan sekitarnya.23 4.

Asas keterbukaan Asas menghendaki masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan

pemerintahan

dengan

tetap

memperhatikan

perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Transparansi informasi terkait kondisi sistem transportasi darat di tiap kota termasuk informasi kelayakan transportasi umum, informasi lingkungan, dan kesehatan serta adanya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan dan regulasi berpengaruh pada peningkatan kesadaran yang membentuk budaya hukum masyarakat. Hal ini menjadi penting karena regulasi dan kebijakan yang tidak diimplementasikan dengan baik oleh masyarakatnya tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti.

23

Ibid, Ade Sjafruddin, (n 9) 6.

57


Selain menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai dasar dalam menyusun sistem perencanaan dan memantau pelaksanaan sistem transportasi darat, teori struktur hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman juga dapat digunakan sebagai dasar. Hal ini karena teori tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam reformasi penegakan hukum yang dapat mendukung ketepatan perencanaan sistem transportasi darat dari segi hukumnya. Sebagaimana diketahui masih banyak implementasi peraturan perundang-undangan terkait transportasi darat yang belum optimal, maka perlu dilakukan reformasi penegakan hukum yang ideal sehingga dapat mendukung perbaikan perencanaan sistem transportasi darat yang berkelanjutan melalui pendekatan sistem hukum. Menurut Sudikno Mertokusomo, sistem hukum merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berinteraksi satu sama lain dan melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.24 Adapun pembagian teori sistem hukum Lawrence M.Friedman kedalam tiga subsistem yang dikaitkan dengan perencanaan sistem transportasi darat di Indonesia sebagai berikut :25 1.

Substansi hukum (legal substance) Substansi hukum merupakan materi atau bahan hukum yang akan dituangkan menjadi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, penyusunan substansi hukum tentang transportasi darat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat diperlukan dalam rangka mewujudkan perencanaan sistem transportasi darat yang berkelanjutan. Persoalan ketidakpastian hukum mengenai eksistensi sepeda motor pada ojek online, ketidakpastian perlindungan hukum bagi driver ojek online, belum terakomodirnya kekhawatiran driver transportasi umum konvensional, masih banyaknya persoalan lalu lintas, kondisi jalan raya yang kurang layak, pembangunan dalam aspek transportasi yang belum merata, pemeliharaan transportasi yang kurang baik, serta

24

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Liberty 1991) 102. Lutfi Ansori, ‘Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif’ (2017) Vol. 4 No. 2 Jurnal Yuridis 148, 150 <https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/244/210> accessed 3 Oktober 2021. 25

58


banyaknya gas emisi yang dihasilkan dari penggunaan transportasi darat merupakan bentuk-bentuk persoalan yang menunjukkan belum adanya pengaturan substansi hukum dalam peraturan perundangundangan terkait transportasi darat yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan substansi hukum untuk mengatasi berbagai persoalan terkait sistem transportasi darat tersebut. Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan seperti (1) menganalisis apakah negara telah atau belum menyusun kebijakan atau prosedur yang berkaitan dengan persoalan tersebut, (2) melakukan monitor terhadap hal-hal penting yang berkaitan dengan persoalan dan dampaknya terhadap manusia, lingkungan, dan hal-hal lainnya, (3) mendata dan menilai sumber-sumber yang menimbulkan persoalan, (4) menyediakan informasi mengenai adanya persoalan yang dapat diakses publik termasuk nasihat dari para ahli sehingga dapat membantu masyarakat sembari menunggu terbentuknya peraturan baru, (5) membuat peraturan, standar, dan kebijakan yang mendukung terwujudnya sistem transportasi darat berkelanjutan yang menguraikan berbagai persoalan diatas.26 2.

Struktur hukum (legal structure) Struktur hukum merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kelembagaan atau institusi pelaksana hukum dan berkaitan dengan kewenangan lembaga serta personil atau aparat penegak hukum. Dalam hal ini, diperlukan koordinasi antar institusi penegak hukum dan optimalisasi kewenangan lembaga dan penegak hukum yang pekerjaannya berkaitan dengan aspek transportasi darat. Untuk mewujudkan sistem transportasi berkelanjutan diperlukan perencanaan yang terpadu. Melalui peran pihak-pihak dalam struktur hukum, keterpaduan sistem diarahkan untuk memberi kepastian hukum dalam bidang

26 Muhammad Yasin, ‘Menanti Ketuk Palu Hakim Atas Gugatan CLS Pencemaran Udara’ Hukum Online (13 Juni 2021) < https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60c4d6ad02b56/menanti-ketuk-paluhakim-atas-gugatan-cls-pencemaran-udara > accessed 3 Oktober 2021.

59


transportasi

darat

pada

masyarakat

sehingga

memudahkan

penggunaannya oleh masyarakat, melakukan penataan ruang dalam wilayah kota masing-masing yang mendukung peningkatan keamanan lalu lintas dan lebih ramah lingkungan guna menurunkan tingkat kecelakaan dan tingkat pencemaran lingkungan serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, meningkatkan efisiensi sumber daya yang digunakan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat.27 Untuk menindaklanjuti hal-hal yang harus dilakukan dalam memperbaiki substansi hukum terkait sistem transportasi darat berkelanjutan, perlu diperhatikan pula terhadap pejabat pemerintahan yang berada dalam rumpun eksekutif melalui peraturan dan kebijakannya, legislatif melalui undang-undangnya, dan yudisial melalui putusan hakimnya dapat mewujudkan keterpaduan sistem dengan merevisi dan menemukan hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Namun, hal tersebut harus disertai koordinasi antar para pihak yang efektif, terbukanya akses informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem transportasi darat di tiap kota termasuk informasi kondisi lingkungan dan dampak kesehatan akibat polusi udara, dan adanya partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, program, ataupun regulasi yang dibuat oleh pihakk berwenang. Pihak-pihak dalam struktur hukum juga dapat membuat rencana aksi perbaikan kualitas udara yang wajib dilakukan di tiap kota. Rencana aksi tersebut juga harus disertai standar-standar yang jelas dan dievaluasi setelah dilaksanakan agar ada perbaikan masalah yang tepat dan cepat sehingga ada kemajuan secara konsisten dalam mewujudkan sistem transportasi darat berkelanjutan. 3.

Budaya hukum (legal culture) Budaya hukum berkaitan dengan kesadaran hukum yang memengaruhi tingkat wawasan dan perilaku masyarakat. Apabila

27

Ibid., Ade Sjafruddin, (n 9) 10.

60


masyarakat tidak paham mengenai bahayanya hasrat untuk memiliki transportasi pribadi dalam jumlah besar yang menyebabkan kemacetan, masalah kesehatan, dan masalah lingkungan, ketidaktahuan akan pentingnya pemeliharaan transportasi untuk keselamatan, dan perlunya mengutamakan menggunakan jasa transportasi umum daripada pribadi, maka regulasi, program, dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pun tidak akan dapat terimplementasi dengan optimal. Padahal untuk mewujudkan sistem transportasi darat berkelanjutan diperlukan koordinasi dari setiap stakeholder termasuk masyarakat sebagai unsur yang paling besar. Hal ini dapat diakomodir dengan pemberian pengetahuan melalui penyebaran informasi yang tepat diberbagai media, pemberian pengetahuan dan penyadaran secara konsisten oleh kepala RT dan lembaga masyarakat terkait, pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan regulasi.

61


BAB III PENUTUP Mengenai keterkaitan antara pelaksanaan sistem transportasi darat di Indonesia dengan konsep pembangunan berkelanjutan ditemukan belum ada kesesuaian yang cukup. Sistem transportasi darat di Indonesia saat ini belum cukup untuk dapat dikatakan telah mewujudkan pilar dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia 2045 seperti pilar pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK (terkait peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup rakyat), pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (terkait komitmen terhadap lingkungan hidup), dan pilar pembangunan yang merata (terkait pembangunan pemerataan infrastruktur yang terintegrasi). Dikatakan demikian sebab masih ada berbagai persoalan pelaksanaan sistem transportasi darat di Indonesia seperti tingkat kemacetan tinggi, tingkat polusi udara tinggi, banyaknya kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya yang menunjukkan belum adanya sistem transportasi darat yang berkelanjutan. Adapun beberapa hal yang harus dipenuhi untuk membentuk sistem transportasi berkelanjutan seperti tingkat keselamatan yang tinggi, menyediakan tarif yang terjangkau bagi semua kalangan masyarakat, tingkat aksesibilitasnya tinggi, memiliki sistem yang terpadu, memiliki kapasitas yang mencukupi, teratur, tertib, dan rendah polusi. Sementara itu, mengenai keterkaitan antara optimalisasi implementasi AUPB dan teori sistem hukum dengan perbaikan perencanaan sistem transportasi darat diwujudkan dalam perlunya merevisi maupun membentuk peraturan perundangan baru untuk mengakomodir masalah kekosongan hukum sebagai perwujudan asas kepastian hukum. Misalnya mengenai masalah legalitas sepeda motor dalam ojek online dan perlindungan hukum driver ojek online dan transportasi umum konvensional. Lalu, perlunya perbaikan infrastruktur, penyelesaian dampak kesehatan dan lingkungan yang menganggu asas kemanfaatan antar generasi, dan perwujudan ide penggunaan Intelligent Transportation System (ITS) yang memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) mencerminkan asas kemanfaatan. Sementara itu, mengenai keterkaitan antara optimalisasi implementasi AUPB dan teori sistem hukum dengan perbaikan perencanaan sistem transportasi darat

62


diwujudkan dalam perlunya merevisi maupun membentuk peraturan perundangan baru untuk mengakomodir masalah kekosongan hukum sebagai perwujudan asas kepastian hukum. Misalnya mengenai masalah legalitas sepeda motor dalam ojek online dan perlindungan hukum driver ojek online dan transportasi umum konvensional. Lalu, perlunya perbaikan infrastruktur, penyelesaian dampak kesehatan dan lingkungan yang menganggu asas kemanfaatan antar generasi, dan perwujudan ide penggunaan Intelligent Transportation System (ITS) yang memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) mencerminkan asas kemanfaatan. Terkait asas kecermatan, dalam merencanakan sistem transportasi darat diperlukan analisis cermat yang berdasar disertai bukti dan analisis potensi. Adapun hal-hal yang perlu dicermati seperti penyusunan kebijakan transportasi (sistem pengadaan, standar lingkungan, sistem logistik), struktur sektor transportasi (kelembagaan, kerjasama pemerintah dengan pihak swasta, kualitas moda), operasional kegiatan transportasi darat (sistem manajemen, tingkat penggunaan, penerapan teknologi). Lalu, terkait asas keterbukaan dalam perencanaan sistem transportasi darat diperlukan transparansi informasi dan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan dan regulasi karena berpengaruh pada terbentuknya budaya hukum dan keberhasilan implementasi regulasi dan kebijakan terkait transportasi darat. Selain AUPB, untuk mengoptimalkan perencanaan sistem transportasi darat juga diperlukan reformasi penegakan hukum dengan pendekatan teori sistem hukum Lawrence M. Friedman yang terdiri dari tiga subsistem. Dalam subsistem substansi hukum, diperlukan penyesuaian kembali ketentuan hukum tentang transportasi darat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui analisis kebijakan yang ada, memonitor hal-hal penting yang berkaitan dengan dampaknya, melakukan pendataan dan penilaian faktor penyebab, menyediakan informasi, membuat peraturan dan standar yang mendukung transportasi darat berkelanjutan. Dalam struktur hukum diperlukan optimalisasi peran masing-masing pihak dan koordinasi antar sesamanya. Dalam budaya hukum diperlukan peningkatan kesadaran hukum melalui pemberian pengetahuan dan pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan regulasi.

63


DAFTAR BACAAN BUKU Alisjahbana A.S. dan Endah Murniningtyas, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Konsep Target dan Strategi Implementasi (Unpad Press 2018). Kementerian PPN / Bappenas, Indonesia 2045: Berdaulat, Adil, dan Makmur (Bappenas 2019). Mertokusumo, S, Mengenal Hukum (Liberty 1991). Pangestu R dan Raisa Rifat, Indonesia Emas Berkelanjutan 2045: Kumpulan Pemikiran Pelajar Indonesia Sedunia Edisi 7: Lingkungan (LIPI Press 2021). Tamin O Z, Bunga Rampai Pemikiran Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Lampung: Solusi Pembangunan dan Penataan Sistem Transportasi Terpadu di Wilayah Provinsi Lampung, (AURA 2017).

JURNAL Ansori, L ‘Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif’ (2017) Vol. 4 No. 2

Jurnal

Yuridis

148,

150

<https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/244/210 > accessed 3 Oktober 2021. Rosana M, ‘Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan di Indonesia’ (2018) Jurnal KELOLA: Jurnal Ilmu Sosial.

SKRIPSI Feriardi, ‘Penerapan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst’ (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia). Tasya A. A, ‘Legalitas Sepeda Motor dalam Ojek Online sebagai Kendaraan Bermotor Umum Ditinjau dari Hukum Pengangkutan’ (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Airlangga 2019).

64


MAKALAH Sjafruddin A, ‘Pembangunan Infrastruktur Transportasi untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ilmu Pengetahuan’ (2013) Kelompok Keahlian Rekayasa Transportasi Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung accessed 3 Januari 2021

LAMAN Arumningtyas Lusia, ‘Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Jabodetabek’ (25 April 2020) <https://www.mongabay.co.id/2020/04/25/polusi-udara-pembunuh-senyap-dijabodetabek/> accessed 20 September 2021. Biro Komunikasi dan Informasi Publik, ‘Menhub : Penggunaan Teknologi di Transportasi

Tunjang

Pembangunan

Berkelanjutan’

(2021)

<http://dephub.go.id/post/read/menhub-penggunaan-teknologi-di-transportasitunjang-pembangunan-berkelanjutan > accesed 25 September 2021. Fitriatus Sholihah Nur, ‘Survei 2019, Jakarta Masuk Peringkat 10 Kota Termacet di Dunia’ (2020) accessed 17 September 2021. Pamudji Al Djono Trimo, ‘Transportasi dan Dampak Lingkungan (Referensi untuk Pembangunan Transportasi di Jakarta)’ (2020) <https://ipehijau.org/transportasidan-dampak-lingkungan-referensi-untuk-pembangunan-transportasi-di-jakarta/> accessed 20 September 2021. Permana, A ‘Intelligent Transportation System Bisa Jadi Solusi untuk Pembangunan Moda Transportasi yang Berkelanjutan’ Institut Teknologi Bandung (2021) <https://www.itb.ac.id/news/read/58005/home/intelligent-transportation-systembisa-jadi-solusi-untuk-pembangunan-moda-transportasi-yang-berkelanjutan

>,

accessed 3 Oktober 2021. Tim detikcom-detikOto, ‘Tak Termasuk Jakarta, Ini 15 Kota dengan Jalanan Paling Lancar’ (2021), <https://oto.detik.com/berita/d-5355576/tak-termasuk-jakartaini-15-kota-dengan-jalanan-paling-lancar>, accessed 17 September 2021. Yasin M, ‘Menanti Ketuk Palu Hakim Atas Gugatan CLS Pencemaran Udara’ Hukum Online

(13

Juni

2021)

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60c4d6ad02b56/menanti-ketukpalu-hakim-atas-gugatan-cls-pencemaran-udara > accessed 3 Oktober 2021

65

<


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601).

66


LEGALITAS PENGOPERASIAN AUTONOMOUS CAR DI INDONESIA Arivigo Pranata, Puteri Ayu Lestari, dan Viena Andhani Riswari arivigo.pranata-2018@fh.unair.ac.id Universitas Airlangga

ABSTRAK Kemajuan teknologi pada dunia transportasi memunculkan adanya inovasi autonomous car atau yang lebih dikenal dengan mobil otonom. Pada sistem tersebut, kemudi atas kendaraan diambil alih sepenuhnya oleh sistem tanpa campur tangan orang di belakang kemudi. Dengan demikian, beriringan dengan perkembangan tersebut timbul juga permasalahan hukum mengenai legalitas dan lebih lanjut pertanggungjawaban yang timbul atas risiko kerugian yang diakibatkan oleh pengoperasian autonomous car. Siapa yang akhirnya bertanggung jawab jika sebuah autonomous car mengalami kecelakaan hingga menyebabkan kerugian bagi penumpang maupun pihak ketiga? Secara lazim, pertanggungjawaban dibebankan kepada pengemudi, kecuali terdapat cacat produk yang disebabkan oleh pabrikan pembuat produsen kendaraan. Namun, hal yang berbeda jika mobil tersebut menggunakan sistem driver-less. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan pendekatan pada peraturan perundang-undangan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui legalitas pengoperasian autonomous car di Indonesia dan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat kerugian yang diakibatkan oleh pengoperasian autonomous car. Hasil dari penelitian ini yaitu, sejauh ini belum ada aturan yang secara khusus mengatur mengenai legalitas pengoperasian mobil dengan sistem autonomous car atau mobil otonom di Indonesia. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum cukup untuk mewadahi legalitas pengoperasian autonomous car karena kondisi mobil yang sepenuhnya diambil alih kemudi oleh artificial intelligence (AI) tanpa campur tangan manusia di belakang setir. Selain itu, mengenai kerugian yang diderita oleh penumpang akibat pengoperasian autonomous car maka penumpang dapat dilindungi oleh UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena posisi penumpang autonomous car adalah sebagai konsumen. Kata Kunci: Legalitas; Kendaraan Otonom; Transportasi; Kerugian

ABSTRACT Technological advances in transportation have led to the emergence of autonomous car innovations. In this system, the steering of the vehicle is taken over completely by the system without the intervention of the person behind the steering wheel. Thus, along with these developments, legal problems arise regarding legality and further liability arising from the risk of losses caused by the operation of autonomous cars. Who is ultimately responsible if an autonomous car has an accident that causes harm to passengers or even third parties? In normal condition, the responsibility is borne by the driver, unless there is a product defect caused by the vehicle manufacturer. However, things are different if the car uses a driver-less system. The method used in this research is normative juridical by approaching the legislation. The purpose of this study is to determine the legality of operating an autonomous car in Indonesia and who can be held responsible if there are losses caused by the operation of an autonomous car. The results of this study are, so far there are no rules that specifically regulate the legality of operating cars with autonomous systems or autonomous cars in Indonesia. UU no. 22 of 2009 concerning Road Traffic and Transportation is not sufficient to accommodate the legality of operating an autonomous car because the condition of the car is completely taken over by an artificial intelligence (AI) without human intervention behind the wheel. In addition, regarding the losses suffered by passengers due to the operation of autonomous cars, passengers can be protected by Law no. 8 of 1999 concerning Consumer Protection because the position of autonomous car passengers is as a consumer. Keywords: Legality; Autonomous Vehicle; Transportation; Liability

67


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi adalah salah satu kebutuhan primer dan hal yang sangat penting dalam peradaban manusia saat ini. Kondisi medan jalan di Indonesia yang relatif tidak merata pada setiap daerah, rawan medan jalan yang buruk dan berkelok-kelok menyebabkan

sulitnya

menjangkau

dan

melakukan

kegiatan

logistik.

Perkembangan inovasi teknologi menjawab permasalahan tersebut dengan memunculkan konsep tema berkendara dengan sistem driver-less, yaitu dimana pengemudi tidak harus melakukan manuver yang sulit dilewati dan dapat melakukan kegiatan berkendara dalam segala bentuk jalan dan menghindari kecelakaan yang disebabkan karena human error. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan produsen mobil selalu mengeluarkan produk terbaru dengan sistem yang semakin canggih. Artificial Intelligence menjadi paradigma baru pada dunia otomotif. Sistem artificial intelligence menjadi sesuatu yang mutlak ada pada robot yang akan direkayasa untuk penggunaan. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan produsen mobil selalu mengeluarkan produk terbaru dengan sistem yang semakin canggih. Sistem artificial intelligence menjadi sesuatu yang mutlak ada pada robot yang akan direkayasa untuk penggunaan robot mobil. Autonomous car merupakan kendaraan yang dirancang untuk membuat keputusan terkait pengemudian. Artificial intelligence yang kemudian berperan mengambil alih kemudi secara menyeluruh. autonomous car sendiri banyak dipakai di dalam berbagai bidang, sehingga dalam penerapannya dibagi menjadi 3 sifat utama, diantaranya: a.

Line Following, merupakan sebuah Autonomous Car yang dirancang dapat berjalan sendiri dengan mengikuti jalur-jalur yang sudah ditentukan, biasanya digunakan Global Positioning Service (GPS) dalam pengaplikasiannya.

b.

Object Following, merupakan sebuah Autonomous Car yang dirancang dapat berjalan sendiri dengan mengikuti suatu objek yang bertindak

68


sebagai master atau leader, umumnya biasanya digunakan sensor posisi atau jarak dalam pengaplikasiannya. c.

Maneuver, merupakan sebuah Autonomous Car yang dirancang agar dapat melakukan manuver-manuver tertentu, seperti parkir paralel, sliding, dsb.1

Beberapa negara di dunia saat ini gencar mengembangkan autonomous car, seperti Amerika Serikat. Kini Alphabet Inc. yang merupakan parent company dari google telah mengantongi izin memperjual belikan Waymo, autonomous car yang telah mereka.2 Waymo berbeda dengan mobil auto-pilot milik Tesla. Jika mobil auto-pilot milik Tesla masih menggunakan sistem hybrid yang memungkinkan seseorang mengambil alih kemudi selain sistem self-drive, Waymo benar-benar menggunakan sistem driver-less dengan kendali kontrol kemudi sepenuhnya diambil oleh artificial intelligence. Autonomous car memiliki banyak sensor yang masing-masing berguna sebagai sarana navigasi mobil dan detektor keadaan lingkungan berkendara seperti lalu lintas, pejalan kaki, atau pengendara lainnya. Berikut adalah contoh sensor-sensor: a.

LIDAR, adalah suatu sensor yang terletak di atas atap mobil yang melakukan gerakan rotasi 360 derajat selama mobil berkendara secara otomatis. Bekerja dengan melakukan gerakan memutar untuk mendapatkan visualisasi lingkungan sekitar dalam radius 200 kaki. Dari hasil visualisasi tersebut, komputer yang di dalam mobil akan memproses data yang diperoleh untuk menghasilkan suatu peta 3d secara real time terhadap lingkungan sekitar. Dari sini komputer akan mengontrol arah gerak mobil dengan pertimbangan hasil visualisasi yang dihasilkan.

Andreas Parluhutan Bonor Sinaga dan Josaphat Pramudijanto, ‘Perancangan dan Implementasi Kontroler PID untuk Pengatuan Autonomous Car-Following Car’, (2014), Vol. 3, No. 1, Jurnal Teknik Pomits E-31, E-32, https://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/view/5572/1704, accessed 11 Oktober 2021. 2 Samantha Subin dan Michael Wayland, ‘Alphabet’s Waymo and GM’s Cruise Get California DMV Approval to Run Commercial Autonomous Car Services’ (CNBC, 30 September 2021), <https://www.cnbc.com/2021/09/30/waymo-and-cruise-get-california-dmv-approval-to-run-driverlesscars.html> accessed 11 Oktober 2021. 1

69


b.

Position Estimator, adalah sensor yang diletakan di sekitar ban kendaraan. Bekerja mendeteksi arah gerak ban, apakah telah sesuai dengan instruksi yang diberikan, yaitu destinasi yang telah ditentukan berdasarkan peta arah yang dibentuk oleh komputer.

c.

Video Camera adalah, sensor yang bekerja sebagai mata kendaraan tersebut, di mana fungsi utamanya adalah untuk mendeteksi objekobjek bergerak seperti pejalan kaki atau pengendara sepeda.

d.

RADAR, adalah sensor yang berfungsi untuk menentukan suatu objek yang mendekat atau menjauhi kendaraan. Ini merupakan suatu sensor yang lebih maju daripada sensor parkir mobil yang kita kenal selama ini.3

Pengembangan autonomous car di Indonesia diiringi dengan ketidakpastian hukum. Dengan kecanggihan yang dimiliki autonomous car dan manfaat yang diberikan, maka pertanyaan mengenai apabila terjadi insiden kecelakaan menggunakan autonomous car lalu siapakah yang harus bertanggung jawab secara hukum akibat kerugian yang ditimbulkan akan muncul. Apakah artificial intelligence pada autonomous car dapat bertanggung jawab jika terdapat kerugian yang disebabkan atas pengoperasian autonomous car?

1.2 Rumusan Masalah 1.

Apakah artificial intelligence (AI) dalam kaitannya dengan pengoperasian autonomous car merupakan subjek hukum di Indonesia?

2.

Apakah artificial intelligence (AI) pada autonomous car dapat dimintai Pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami oleh pengguna mobil?

1.3 Dasar Hukum a.

Burgerlijke Wetboek (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

b.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3 Andrew Wirjaputra, ‘Mengungkap Tekonologi Google Autonomous Car’, (2012) Binus University Computer of Engineering < https://comp-eng.binus.ac.id/2012/06/01/mengungkap-teknologi-googleautonomous-car> accessed 11 Oktober 2021.

70


c.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

d.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

e.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

f.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle Untuk Transportasi Jalan.

71


BAB II ANALISIS

2.1. Subjek hukum Artificial Intelligence (AI) dalam kaitannya dengan pengoperasian autonomous car di Indonesia Di dalam pembahasan rumusan masalah kesatu ini akan menggunakan istilah berikut dan dapat dipertukarkan seperti driverless car, fully autonomous car, atau self-driving car, yang merujuk pada arti ‘mobil yang beroperasi tanpa dibutuhkannya sopir atau pengemudi secara nyata di dalam mobil atau kendaraan’ atau merujuk definisi pada Tingkat Level 5 Driving Automation Systems for OnRoad Motor Vehicles menurut SAE International.4 Di Amerika Serikat terdapat perusahaan Alphabet Inc. yang mengembangkan teknologi self-driving car dengan nama Waymo yang menyediakan layanan transportasi taksi online, Waymo mengutilisasi layanannya menggunakan mobil tanpa pengemudi. Di Indonesia Implementasi autonomous vehicle atau mobil tanpa pengemudi di Indonesia belum akan dilakukan dalam waktu dekat, namun menarik untuk diteliti bagaimana kesiapan hukum yang berlaku di indonesia untuk mengakomodir perkembangan teknologi yang disruptif ini. Waymo meluncurkan Waymo One yang merupakan layanan ride-hailing pada tahun 2017.5 Pengguna layanan Waymo One cukup memesan taksi mobil otonom melalui aplikasi yang dapat diunduh melalui appstore, kemudian memasukkan tempat tujuan dan jumlah ongkos yang harus dibayar. Jika terdapat kendaraan otonom waymo disekitar calon pengendara maka akan muncul notifikasi pada ponsel pengguna dan pengguna cukup menunggu hingga mobil otonom waymo menjemput calon pengguna dan mengantarkan hingga ke tempat tujuan. Semua kendaraan otonom yang dioperasikan oleh waymo menggunakan Waymo Driver yaitu seperangkat teknologi otonom (termasuk perangkat keras dan perangkat lunak) yang disematkan pada mobil yang memungkinkan mobil

4 yaitu sistem yang melakukan tugas mengemudi dinamis lengkap dalam semua kondisi, tanpa campur tangan pengguna. SAE International, Taxonomy and Definitions for Terms Related to Driving Automation Systems for On-Road Motor Vehicles. Standard J3016 (revised September 2016). 5 ‘Waymo One’ (Waymo) <https://waymo.com/waymo-one/> accessed 16 October 2021.

72


mengenali lingkungan sekitar serta mengambil keputusan melalui komputer yang terpasang berdasarkan sensor seperti lidar, radar, dan kamera.6 Sebelum beroperasi, Wymo Driver memetakan wilayah sekitar dengan tingkat perincian yang tinggi dan mencatat segala sesuatu mulai dari rambu berhenti hingga tepi jalan kemudian Sistem penginderaan seperti lidar, kamera, dan radar yang ada mengambil data kompleks yang terakumulasi dari rangkaian sensor tersebut dan memahami segala sesuatu di sekitarnya baik itu kendaraan lain hingga pejalan kaki atau pengendara sepeda, menggunakan teknologi machine learning. Pada saat yang sama, juga memperhatikan sinyal dan rambu-rambu seperti rambu berhenti atau pergantian warna lampu lalu lintas. Disinilah Waymo Driver menggunakan artificial intelligence untuk mengukur bagaimana mobil beroperasi sebagai lawan jika ada sepeda, pejalan kaki, atau objek lain dan kemudian memprediksi jalur yang dapat diambil oleh pengguna jalan yang tersisa yang semuanya menggunakan ekosistem TensorFlow dan pusat data Google seperti TPU untuk melatih jaringan sarafnya dalam hitungan detik. AI pada Waymo Driver memungkinkan mobil untuk melakukan navigasi situasi yang kompleks dan rumit seperti beroperasi melalui zona konstruksi, mengalah untuk kendaraan darurat, dan menawarkan ruang untuk mobil untuk parkir paralel.7 dengan demikian, terlihat dengan jelas dan pentingnya fungsi AI dalam pengoperasaian mobil otonom tanpa pengemudi karena AI yang mengambil keputusan di setiap situasi dalam kondisi berkendara. berkaitan untuk menjawab apakah artificial intelligence (AI) dalam kaitannya dengan pengoperasian autonomous car merupakan subjek hukum di Indonesia, perlu diketahui kedudukan AI dalam Waymo Driver menurut hukum Amerika Serikat khususnya negara bagian California. Di Amerika Serikat, the House of Representatives mengesahkan the Safely Ensuring Lives Future Deployment and Research in Vehicle Evolution Act atau Undang-Undang ‘self-drive’ pada September 2017.8 Undang-undang ini bertujuan ‘Waymo Driver’ (Waymo) <https://waymo.com/waymo-driver/> accessed 16 October 2021. Rangaiah M, ‘How Waymo Is Using AI for Autonomous Driving? | Analytics Steps’ <https://www.analyticssteps.com/blogs/how-waymo-using-ai-autonomous-driving> accessed 16 October 2021. 8 Jan De Bruyne and Jarich Werbrouck, ‘Merging Self-Driving Cars with the Law’ (2018) 34 Computer Law & Security Review 1150, 2. <https://doi.org/10.1016/j.clsr.2018.02.008> accessed 16 October 2021. 6 7

73


menjamin keamanan serta mendorong pengujian dan penyebaran self-driving car. Undang-Undang Self Drive memberikan National Highway Traffic Safety Administration wewenang untuk mengatur desain, konstruksi, atau kinerja kendaraan otonom, sistem penggerak otomatis atau komponennya. UU tersebut juga mensyaratkan produsen untuk membuat rencana keamanan siber serta rencana privasi, yang harus menjelaskan bagaimana informasi dari pengguna kendaraan atau penghuninya dikumpulkan, digunakan, dibagikan, dan disimpan. Selain itu, Undang-Undang Self Drive memungkinkan produsen untuk mendapatkan pengecualian keselamatan untuk menguji coba 25.000 kendaraan otonom tanpa mematuhi standar keselamatan yang ada (the Federal Motor Vehicle Safety Standards) di tahun pertama. Pengecualian ini hanya dapat diperoleh jika produsen dapat menunjukkan bahwa kendaraan mereka memberikan keseluruhan tingkat keamanan, yang setidaknya sama dengan tingkat keamanan keseluruhan kendaraan yang mengikuti the Federal Motor Vehicle Safety Standards.9 Amerika Serikat merupakan negara dengan regulasi yang mengatur tentang autonomous vehicle terbanyak di dunia sebab 70 persen negara bagian telah memiliki aturan mengenai hal tersebut.10 Departemen Transportasi Amerika Serikat dengan National Highway Traffic Safety Administration telah mengembangkan Federal Automated Vehicles Policy atau Kebijakan Pemerintah Federal tentang Kendaraan Otonom.11 Kebijakan ini memberikan panduan kepada negara bagian untuk untuk membangun basis normatif di tingkat negara bagian. Kebijakan tersebut tidak hanya berisi rekomendasi untuk produsen mobil tetapi juga sebagai panduan bagi pembuat undang-undang negara bagian. Di

negara

bagian

California,

Kode

Kendaraan

California

38750

mendefinisikan Autonomous Vehicle sebagai setiap kendaraan yang dilengkapi 9

Congress.gov. "Text - H.R.3388 - 115th Congress (2017-2018): SELF DRIVE Act." September 7, 2017. <https://www.congress.gov/bill/115th-congress/house-bill/3388/text%3E> accessed 16 October 2021. 10 Roman Dremliuga and Mohd Hazmi bin Mohd Rusli, ‘The Development of the Legal Framework for Autonomous Shipping: Lessons Learned from a Regulation for a Driverless Car’ (2020) 13 Journal of Politics and Law p295, 297, <https://www.ccsenet.org/journal/index.php/jpl/article/view/0/43610> accessed 16 October 2021. 11 ‘Federal Automated Vehicles Policy - September 2016 | US Department of Transportation’ <https://www.transportation.gov/AV/federal-automated-vehicles-policy-september-2016> accessed 16 October 2021.

74


dengan teknologi otonom yang telah terintegrasi ke dalam kendaraan tersebut.12 sedangkan teknologi otonom adalah teknologi yang memiliki kemampuan untuk mengemudikan kendaraan tanpa kontrol fisik aktif atau pemantauan oleh operator manusia.13terdapat juga peristilahan operator yaitu orang yang duduk di kursi pengemudi, atau, jika tidak ada orang di kursi pengemudi, menyebabkan teknologi otonom diaktifkan.14 Walaupun tanpa adanya sopir atau pengemudi secara fisik di dalam mobil atau kendaraan tetap harus ada kontrol aktif atau pemantauan operator manusia secara jarak jauh atau remote.15 Di peraturan yang sama menetapkan dua fase pengoperasian kendaraan otonom yaitu pengujian oleh pabrikan, operasi non-pengujian, dan deployment. Pada tahap pengujian oleh pabrikan, kendaraan otonom dapat dioperasikan di jalan umum oleh pengemudi yang memiliki izin tertentu dan dioperasikan hanya oleh karyawan, kontraktor, atau orang yang ditunjuk oleh pabrikan serta yang melakukan uji coba berada di kursi pengemudi siap untuk segera mengendalikan kendaraan. Sebelum pengujian dimulai, pabrikan harus menyerahkan bukti asuransi sebesar 5 juta dolar.16 Pada operasi non-pengujian kendaraan terdapat ketentuan tambahan seperti harus dapat dengan mudah digunakan atau dilepaskan oleh pengemudi, kendaraan memiliki indikasi visual bahwa fitur kendali otonom sedang aktif digunakan, kendaraan dapat memperingatkan pengemudi ketika ada kegagalan teknologi otonom yang mengharuskan pengemudi untuk mengendalikan kendaraan atau memungkinkan kendaraan untuk berhenti total jika pengemudi tidak dapat mengambil kendali, pengemudi dapat mengendalikan kendaraan dengan berbagai cara, teknologi otonom memenuhi standar keselamatan yang disyaratkan oleh undang-undang dan peraturan negara bagian dan federal, kendaraan mampu menyimpan data sensor setidaknya 30 detik sebelum tabrakan, kendaraan telah diuji

12

Calif. Veh. Code §38750 (2) (A). Calif. Veh. Code §38750 (1). 14 Calif. Veh. Code §38750 (4). 15 38750 (a)(2)(B) merujuk pada batasan “autonomous vehicle” Kendaraan otonom tidak termasuk kendaraan yang dilengkapi dengan satu atau lebih sistem penghindaran tabrakan, termasuk, namun tidak terbatas pada, bantuan titik buta elektronik, sistem pengereman darurat otomatis, bantuan parkir, kendali jelajah adaptif, bantuan jalur tetap, peringatan keberangkatan jalur , bantuan kemacetan dan antrian, atau sistem serupa lainnya yang meningkatkan keselamatan atau memberikan bantuan pengemudi, tetapi tidak mampu, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, mengemudikan kendaraan tanpa kontrol atau pemantauan aktif dari operator manusia.. 16 Calif. Veh. Code §38750 (b). 13

75


sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Departemen; dan, pabrikan atau produsen harus menunjukkan bukti tanggung jawab keuangan bahwa dapat membayar kerugian yang ditimbulkan sebesar 5 juta dolar.17 Kemudian, Kode Kendaraan California 38750 (e)(2) mengharuskan Departemen untuk memberitahu Badan Legislatif California jika menerima permintaan dari produsen yang ingin menggunakan kendaraan otonom yang mampu beroperasi tanpa kehadiran pengemudi di dalam kendaraan untuk tujuan komersil. Peraturan ini merupakan dasar hukum pemberian izin oleh Department of Motor Vehicles California kepada Waymo untuk mengoperasikan layanannya. Terlihat bahwa pengaturan mengenai autonomous vehicle untuk dapat beroperasi di negara bagian California menentukan bahwa perusahaan atau produsen sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. hal ini juga sejalan dengan ketentuan department of motor vehicles tentang pemberian izin pengoperasian mobil otonom bahwa produsen memberikan bukti kepada departemen tentang kemampuan pabrikan untuk menanggapi penilaian atau penilaian atas kerusakan atas cedera pribadi, kematian, atau kerusakan properti yang timbul dari tabrakan atau kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan otonom yang diproduksi oleh pabrikan di pabrik. berupa instrumen asuransi, surety bond, atau bukti asuransi diri.18 Jika layanan sejenis Waymo One beroperasi di Indonesia maka masih belum terdapat kerangka hukum sebagai keabsahan pengoperasiannya. namun apabila dikaitkan dengan jenis kendaraan yaitu kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya disebut UULLAJ bahwa Kendaraan bermotor menurut pasal 1 angka 8 UULLAJ bahwa semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel. Namun dalam undang-undang ini mewajibkan adanya pengemudi yaitu orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Terdapat permasalahan terkait konsep driverless car dengan ketentuan 17

Calif. Veh. Code §38750 (c). ‘California Autonomous Vehicle Regulations’ (California DMV) 26 <https://www.dmv.ca.gov/portal/vehicle-industry-services/autonomous-vehicles/california-autonomousvehicle-regulations/> accessed 16 October 2021. 18

76


kewajiban pengemudi sebagaimana yang dimaksud dalam UULLAJ. Menurut Ketentuan pasal 77 UULLAJ bahwa semua orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. Ketentuan ini apabila ditafsirkan secara terbalik maka Kendaraan Bermotor wajib dikemudikan oleh orang yang memiliki surat izin mengemudi. Dari sini terlihat bahwa kedudukan AI mengenai driverless car di Indonesia masih belum dianggap sebagai subjek hukum di hukum positif Indonesia.

2.2. Pertanggungjawaban Artificial Intelligence (AI) pada autonomous car atas kerugian yang dialami oleh pengguna mobil Inovasi mobil autonomous merupakan salah satu bentuk perkembangan dalam teknologi transportasi dan informasi yang begitu pesat perkembangannya. Dengan perkembangan tersebut diharapkan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan dan mengatasi permasalahan-permasalahan terkait transportasi pada daerah tersebut. Sebagaimana yang telah dirangkum oleh Indozone, pada kurun waktu seminggu pertama pada bulan Maret 2021 telah terjadi sebanyak 1.239 insiden kecelakaan di Indonesia sebagaimana data yang dipaparkan oleh Brigjen Pol Rusdi Hartono selaku Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri.19 Dengan tingginya angka kecelakaan yang terjadi, diharapkan dengan adanya autonomous car dapat mengurangi angka kecelakaan dengan memanfaatkan teknologi. Dalam produksi mobil autonomous memiliki tujuan yang salah satunya untuk mengatasi dan menghindari adanya resiko kecelakaan yang terjadi di jalan. Dengan adanya autonomous car diharapkan dapat memudahkan manula, tunanetra, dan disabilitas untuk melakukan perjalanan jauh yang nyaman dan aman. Autonomous car memiliki fitur penunjang untuk dapat beroperasi secara otomatis dengan adanya GPS, kamera, computer vision, dan LIDAR.20 Pada mobil autonomous waymo yang dikembangkan oleh Alphabet Inc memanfaatkan artificial intelegent untuk mengendalikan sistem kemudi. Penggunaan sistem 19 Indozone, ‘Kecelakaan Lalu Lintas di Awal Maret 2021: Ada 1.239 Insiden dan 261 Korban Jiwa’, <https://www.indozone.id/news/jzsQjk9/kecelakaan-lalu-lintas-di-awal-maret-2021-ada-1-239-insidendan-261-korban-jiwa/read-all> 08 Maret 2021, accessed 10 Oktober 2021. 20 Ibid., 36.

77


tersebut sangat memudahkan pengemudi yang hanya perlu duduk selama perjalanan. Namun terdapat kasus adanya kerugian yang diderita konsumen dari penggunaan autonomous car. Salah satu mobil otonom atau tanpa sopir, Waymo terlibat dalam kecelakaan di Chandler, Arizona. Dikabarkan bahwa mobil ini tengah berjalan dalam mode autopilot dengan pengemudi di dalamnya. Mobil Waymo ini tertabrak sebuah sedan yang menghindari mobil lainnya. Sehingga kecelakaan anata kedua mobil itu pun tak terhindarkan. Sistem Artificial intelligence pada autonomous car tersebut tidak mampu atau gagal untuk menghindari kecelakaan. Disisi lain adanya berbagai kemudahan dan kenyamanan yang diberikan pada fitur autonomous car terdapat beberapa resiko yang bisa terjadi. Resiko yang berpotensi terjadi yaitu adanya technology error yang dapat berpotensi menyebabkan kecelakaan, kesulitan beroperasi pada wilayah-wilayah yang sulit terhubung ke internet, serta rentan terhadap serangan cybercrime yang dapat berupa cracker, hacker, dan lain-lain.21 Hingga saat ini belum terdapat negara manapun yang membuat pengaturan terkait Artificial intelligence (AI) mengingat AI memiliki resiko yang dapat membahayakan bagi manusia. Saat ini terdapat prinsip yang dapat menjadi dasar pengaturan terhadap AI yaitu terdapat dalam Asilomar AI Principles yang didalamnya termuat 23 prinsip pengaturan AI. Dalam prinsip ke-9 terdapat pengaturan desainer dan produsen sistem AI bertanggung jawab atas kerusakan moral dari pengguna AI. Ketentuan pada prinsip ke-9 merupakan bentuk konsekuensi dari adanya penggunaan, penyalahgunaan dan tindakan lainnya. Namun keberlakuan Asilomar AI Principles tidak memiliki kekuatan hukum, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Asilomar AI Principles dibuat dan hanya berlaku sebagai kode etik untuk perancangan dan pengembangan AI. Terdapat 3 pilihan dalam yang dapat mendistribusikan kesalahan AI dalam melakukan kejahatan. Pertama, AI digunakan oleh perancang atau orang lain untuk melakukan kejahatan dengan sengaja, sehingga pertanggungjawaban atas kerugian korban dibebankan pada perancang. Kedua, kejahatan dilakukan oleh AI tanpa adanya kesengajaan, namun bisa dicegah atau diprediksi sebelumnya. Jika hal tersebut Azani & Ivan, ‘Autonomous Car’, Article BINUS UNIVERSITY School of Computer Science, <https://socs.binus.ac.id/2018/12/06/autonomous-car/> accessed 10 Oktober 2021. 21

78


terjadi maka pembuat atau perancang AI yang bertanggung jawab atas kesalahan AI. Ketiga, kerugian yang murni disebabkan oleh sistem AI yang dapat berupa malfungsi sistem atau hal lain atau adanya virus yang ditanam oleh pihak lain.22 Dalam hal pertanggungjawaban berbasis kesalahan, terdapat beberapa skenario dalam mempertimbangkan kesalahan yang dapat menjadi dasar atas pertanggung jawaban. Pertama, apabila terdapat cacat produksi, pembuat robot menjadi penanggung beban terhadap pertanggungjawaban atas suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain. Kedua, terdapat tindakan AI yang merugikan yang disebabkan oleh kesalahan pengguna, baik dalam hal mengabaikan pedoman yang dianjurkan oleh pembuat dan lain-lain, maka beban pertanggungjawaban terdapat pada pengguna robot yang lalai tersebut. Ketiga, tindakan AI yang merugikan diakibatkan adanya pihak yang berniat untuk melakukan kejahatan dengan memanfaatkan AI, misalnya dengan menanam virus pada sistem AI, maka kerugian yang diderita oleh korban menjadi tanggungjawab pihak ketiga tersebut. Keempat, pembuat sistem AI memiliki tanggung jawab untuk memprediksi dampak apa saja yang

mungkin

akan

terjadi

sebagai

akibat

penggunaan

AI

dan

menginformasikannya kepada pengguna. Jika dalam hal tersebut membuat tidak memberi tahun pengguna tentang kemungkinan adanya potensi yang berbahaya maka tanggung jawab akan dibebankan kepada pembuat atau produsen.23 Artificial intelligence (AI) jika dikaitkan dengan pengaturan yang ada di Indonesia

memiliki

karakteristik

yang

otomatisasi

mengelola

informasi

membuatnya dapat disamakan seperti “agen elektronik” sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 UU ITE. Dalam Pasal 1 UU ITE mengatur bahwa agen elektronik merupakan perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang. adanya unsur otomatis dalam pendefinisian tersebut dijadikan dasar pengkonstruksian AI sebagai Agen Elektronik. Sehingga pengaturan terkait Agen Elektronik dapat diterapkan pada AI.

22 Viony Kresna Sumantri, ‘Legal Responsibility on Errors of the Artificial Intelligence based Robots’, 2019 Vol. 6 Issue 2 Lentera Hukum, 339. 23 Ibid, 348.

79


Dalam UU ITE penyelenggara agen elektronik pada dasarnya merupakan penyelenggara sistem elektronik, sebab agen elektronik merupakan bentuk penyelenggaraan sistem elektronik sehingga segala kewajiban penyelenggara sistem elektronik berlaku mutatis mutandis terhadap penyelenggara agen elektronik. Dalam Pasal 15 UU ITE mengatur setiap penyelenggara sistem elektronik harus memastikan sistem yang digunakannya telah diselenggarakan secara aman, andal serta bertanggung jawab. sehingga pertanggungjawaban atas semua akibat hukum yang dilakukan oleh agen elektronik dibebankan kepada penyelenggara agen elektronik. namun dengan catatan bahwa kesalahan atau kegagalan beroperasinya sistem elektronik tersebut bukan disebabkan oleh adanya kelalaian dari pengguna. Di Indonesia penyelenggara agen elektronik yang dalam penelitian ini merujuk pada AI hanya dapat dilakukan oleh orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat. sehingga pertanggungjawaban hukum akan ditanggung oleh penyelenggara sistem elektronik yang menyelenggarakan jasa dari AI.24 Dalam

konteks

hukum

perdata

di

Indonesia

apabila

mengkaji

pertanggungjawaban AI maka pengaturan paling mendekati terdapat dalam Pasal 1367 Ayat (1) dan Ayat (3) BW serta dalam Pasal 1368 BW. Dalam pengaturan tersebut apabila AI melakukan perbuatan melanggar hukum maka pemilik AI dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata, serta pertanggung jawaban atas beban kerugian pun melekat pada pemilik AI. Merujuk pada Pasal 1368 BW, pemilik seekor binatang atau individu yang memakainya, asalkan binatang yang dipakai, adalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh hewan tersebut. Tanggung jawab tersebut berlaku dalam hal hewan tersebut dibawah pengawasan orang tersebut serta hewan tersebut terlepas atau hilang dari kehadiran orang ini. kesamaan antara AI dan hewan adalah adanya pemilik yang tidak dapat memprediksi dengan kepastian bagaimana “kepemilikan” merek bertindak.25 Jika dilihat dalam hukum positif di Indonesia, perlindungan terhadap konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang 24 Zahrashafa P. Mahardika & Angga Priancha, ‘Pengaturan Hukum Artificial Intelligence Indonesia Saat ini’, <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt608b740fb22b7/pengaturan-hukum-artificalintelligence-indonesia-saat-ini/?page=all> accessed 12 Oktober 2021. 25 Opcit, 349.

80


Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur terkait hak-hak yang dimiliki konsumen. Jika dilihat dalam angka 1, konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; dalam angka 3 konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; dan pada angka 8 konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Pengaturan hak tersebut berpotensi dilanggar dengan adanya cacat produk, malfungsi, cacat informasi yang terjadi pada mobil autonomous yang bermasalah. Dalam Pasal 2 mengatur secara khusus terkait asas dari perlindungan konsumen yang harus dipenuhi yaitu Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dalam Pasal tersebut diharapkan perlindungan terhadap konsumen selaku pihak yang dirugikan dan memiliki kuasa yang lebih rendah akan lebih mudah.26 Mobil dengan sistem autonomous saat ini masih dalam tahap proses pengembangan dan penggunaan secara komersial di Amerika Serikat yang dapat dijumpai pada mobil Waymo yang dikembangkan dibawahi oleh Alphabet Inc. Alphabet Inc. bertanggungjawab untuk meneliti dan memproduksi mobil Waymo. Dengan melihat kedudukan Alphabet Inc. maka dapat dikatakan bahwa Alphabet Inc. merupakan produsen sebagaimana dikaitkan dengan pengertian produsen pada Pasal 1 angka 7 Peraturan menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 22/MDAG/PER/3/206 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang yaitu produsen adalah perusahaan yang berbentuk perseorangan atau badan hukum yang memproduksi barang. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Sehingga apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen

26 Almaas Isfadhilah, ‘Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Mobil Listrik dengan Fitur Kendali Otomatis di Indonesia’, (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya 2019), 41.

81


yang berupa namun tidak terbatas pada technology error, malfungsi, cybercrime, cacat fisik, kerugian properti ataupun kerugian immateriil produsen menjadi pihak yang dibebankan pertanggungjawaban dengan memberikan ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Namun produsen dapat tidak bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan kesalahan konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertanggungjawaban kepada konsumen diatur pula pengaturannya dalam Pasal 1365 BW dan 1366 BW yang mengatur terkait pertanggungjawaban produsen. Dalam Pasal 1365 BW mengatur apabila produsen melakukan tindakan melawan hukum yang menyebabkan kerugian bagi pihak konsumen, produsen memiliki tanggung jawab untuk memenuhi ganti kerugian pada konsumen. Sebagaimana pengaturan Pasal 1365 BW yaitu setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian iru, mengganti kerugian tersebut. sedangkan dalam Pasal 1366 BW mengatur bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Produk yang dihasilkan dapat didistribusikan secara langsung kepada konsumen atau melalui mitra distributor ataupun dapat melalui pihak importir dan eksportir yang memiliki hubungan Bussiness to Bussiness (B2B). Jika dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha adalah setiap orang atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, maka dapat dikatakan baik produsen dan importir merupakan pelaku usaha sebagaimana ketentuan tersebut.27

27

Ibid, 20.

82


Pertanggung jawaban terhadap produk yang di impor tergantung pada bagaimana perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh produsen dan importir. Apabila pemasaran produk dari produsen dengan bentuk Completely Built-Up kepada importir, maka importir memegang peran sebagai penanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Berdasarkan Pasal tersebut importir bertanggung gugat atas kerugian yang dirasakan oleh konsumen baik akibat adanya kesalahan dalam sistem atau kesalahan dalam perbaikan pada mobil yang telah ia beli.28 Menempatkan tindakan AI sama dengan tindakan manusia pun dapat memiliki konsekuensi yang negatif. Manusia akan dengan leluasa melakukan kejahatan dengan mewakilkan tindakannya pada AI dengan maksud menghindari hukuman. Jika menempatkan posisi AI sebagaimana posisi hewan peliharaan yang tanggung jawabnya dibebankan pada pemilik, maka akan ada kerugian yang cukup besar ditanggung oleh produsen maupun pengguna. Potensi adanya kejahatan yang dilakukan oleh pihak ketiga ataupun kelalaian produsen pun juga akan merugikan konsumen. Pembuktian dalam hal AI melakukan perbuatan yang merugikan pun sangat susah, mengingat banyaknya unsur yang harus dibuktikan terkait penyebab kesalahan dan siapa yang akan bertanggung jawab, meskipun cara tersebut merupakan cara yang tepat untuk saat ini. Sehingga diperlukan adanya regulasi terkait AI, serta pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh AI. Dengan adanya regulasi yang spesifik terkait AI akan meminimalkan adanya potensi kerugian dan resiko bahaya lain yang akan menyasar penggunaan AI.

28

Ibid, 24-25.

83


BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan a.

Indonesia hingga saat ini masih belum memiliki undang-undang yang mengatur mengenai legalitas pengoperasian autonomous car. Pada UULLAJ pun mewajibkan adanya pengemudi merupakan orang yang mengemudikan telah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diatur pada Pasal 77 yang menyebutkan bahwa, semua orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan konsep driverless car. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedudukan AI pada driverless car di Indonesia masih belum dianggap sebagai subjek hukum pada hukum positif Indonesia. Jika berkaca pada legalitas pengoperasian autonomous car di Amerika Serikat, the House of Representatives mengesahkan the Safely Ensuring Lives Future Deployment and Research in Vehicle Evolution Act atau Undang-Undang ‘self-drive’ pada September 2017. Namun Amerika Serikat juga belum menganggap AI pada autonomous car sebagai subjek hukum karena AI tetap bukan sebagai pihak yang bertanggung jawab apabila terdapat kerugian akibat pengoperasian autonomous car. Perusahaan atau produsen sebagai subjek hukum yang wajib bertanggung jawab apabila terjadi kerugian.

b.

Artificial intelligence (AI) dapat disamakan seperti “agen elektronik” yang dikelola oleh penyelenggara agen elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU ITE karena adanya unsur otomatis dalam pendefinisian tersebut dijadikan dasar pengkonstruksian AI sebagai Agen Elektronik. Dalam Pasal 15 UU ITE mewajibkan bagi penyelenggara sistem elektronik untuk memastikan sistem yang digunakan bagi penyelenggara sistem elektronik telah diselenggarakan secara aman, andal serta bertanggung jawab. Sehingga AI

tidak

dapat

bertanggung

jawab

apabila

terdapat

kerugian.

Pertanggungjawaban atas semua akibat hukum dibebankan kepada penyelenggara agen elektronik dengan catatan bahwa kesalahan atau

84


kegagalan beroperasinya sistem elektronik tersebut bukan disebabkan oleh adanya kelalaian dari pengguna. Perlindungan pengguna sebagai konsumen berdasarkan hukum positif di Indonesia terdapat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bagi pelaku usaha agar bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Namun produsen tidak bertanggung jawab jika dibuktikan bahwa kerugian yang dialami tersebut merupakan kesalahan konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Apabila produk tersebut adalah produk impor, pertanggungjawaban tergantung pada perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh produsen dan importir. Apabila pemasaran produk dari produsen dengan bentuk Completely Built-Up, maka importir bertanggung jawab atas segala kerugian konsumen baik akibat adanya kesalahan dalam sistem atau kesalahan dalam perbaikan pada mobil yang telah ia beli sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.

85


DAFTAR BACAAN JURNAL Sinaga B dan Josaphat Pramudijanto, ‘Perancangan dan Implementasi Kontroler PID untuk Pengaturan Autonomous Car-Following Car’, (2014), Vol. 3, No. 1, Jurnal Teknik Pomits, https://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/view/5572/1704, accessed 11 Oktober 2021. Sumantri V, Legal Responsibility on Errors of the Artificial Intelligence based Robots, Lentera Hukum Volume 6 Issue 2, 2019. Dremliuga R and Mohd Hazmi bin Mohd Rusli, ‘The Development of the Legal Framework for Autonomous Shipping: Lessons Learned from a Regulation for a Driverless

Car’

(2020)

13

Journal

of

Politics

and

Law,

<https://www.ccsenet.org/journal/index.php/jpl/article/view/0/43610> accessed 16 October 2021.

SKRIPSI Isfadhilah A, ‘Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Mobil Listrik dengan Fitur Kendali Otomatis di Indonesia’, (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya 2019).

LAMAN Subin S dan Michael Wayland, ‘Alphabet’s Waymo and GM’s Cruise Get California DMV Approval to Run Commercial Autonomous Car Services’ (CNBC, 30 September

2021),

<https://www.cnbc.com/2021/09/30/waymo-and-cruise-get-

california-dmv-approval-to-run-driverless-cars.html> accessed 11 Oktober 2021. Wirjaputra A, ‘Mengungkap Tekonologi Google Autonomous Car’, (2012) Binus University

Computer

of

Engineering

<https://comp-

eng.binus.ac.id/2012/06/01/mengungkap-teknologi-google-autonomous-car> accessed 11 Oktober 2021. Mahardika Z & Angga Priancha, ‘Pengaturan Hukum Airtificial Intellegent Indonesia Saat

ini’,

<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt608b740fb22b7/pengaturan-hukumartifical-intelligence-indonesia-saat-ini/?page=all> accessed 12 Oktober 2021.

86


Azani & Ivan, ‘Autonomous Car’, Article Binus University School of Computer Science, <https://socs.binus.ac.id/2018/12/06/autonomous-car/> accessed 10 Oktober 2021. Indozone, “Kecelakaan Lalu Lintas di Awal Maret 2021: Ada 1.239 Insiden dan 261 Korban Jiwa”, <https://www.indozone.id/news/jzsQjk9/kecelakaan-lalu-lintas-diawal-maret-2021-ada-1-239-insiden-dan-261-korban-jiwa/read-all>

08

Maret

2021. accessed 10 Oktober 2021. ‘California

Autonomous

Vehicle

Regulations’

(California

DMV)

26

<https://www.dmv.ca.gov/portal/vehicle-industry-services/autonomousvehicles/california-autonomous-vehicle-regulations/> accessed 16 October 2021. ‘Federal Automated Vehicles Policy - September 2016 | US Department of Transportation’ <https://www.transportation.gov/AV/federal-automated-vehiclespolicy-september-2016> accessed 16 October 2021. Congress.gov. "Text - H.R.3388 - 115th Congress (2017-2018): SELF DRIVE Act." September

7,

2017,

<https://www.congress.gov/bill/115th-congress/house-

bill/3388/text%3E> accessed 16 October 2021. Bruyne J and Jarich Werbrouck, ‘Merging Self-Driving Cars with the Law’ (2018) 34 Computer

Law

&

Security

Review

1150,

2,

<https://doi.org/10.1016/j.clsr.2018.02.008> accessed 16 October 2021. Rangaiah M, ‘How Waymo Is Using AI for Autonomous Driving? | Analytics Steps’ <https://www.analyticssteps.com/blogs/how-waymo-using-ai-autonomousdriving> accessed 16 October 2021. ‘Waymo One’ (Waymo) <https://waymo.com/waymo-one/> accessed 16 October 2021. ‘Waymo Driver’ (Waymo) <https://waymo.com/waymo-driver/> accessed 16 October 2021

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Burgerlijke Wetboek (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821).

87


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4843). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle Untuk Transportasi Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6373).

88


PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP PENYINTAS KECELAKAAN PESAWAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1517 K/PDT/2009)

Siti Nurul Fadhilla, Sheilla Aurell Zhafirah, dan Aulia Nabila Rachman siti.nurul.fadhilla-2019@fh.unair.ac.id Universitas Airlangga

ABSTRAK Transportasi udara merupakan moda transportasi yang berkembang pesat di era ini mengingat akan lajunya globalisasi. Angkutan udara tidak mengenal adanya batas wilayah negara, sehingga menimbulkan keterkaitan atau perjumpaan antara hukum beberapa negara. Hal ini mengakibatkan banyak hukum yang berlaku untuk transportasi udara, khususnya penerbangan internasional. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh penafsiran mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan pada Putusan Mahkamah Agung No. 1517 K/Pdt/2009 dalam menerapkan hukum nasional dan hukum internasional terhadap penumpang yang merupakan penyintas kecelakaan pesawat. Metode penelitian menggunakan penelitian normatif dengan mengkaji putusan tersebut terhadap produk hukum, yang dalam hal ini adalah peraturan perundangundangan. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum kepada penyintas kecelakaan pesawat dan para penyintas kecelakaan pesawat yang merasa tidak diberikan kompensasi pun dapat mengajukan gugatan ke pengadilan atas kerugian yang dialaminya atas dasar perbuatan melawan hukum yang tidak terbatas pada yurisdiksi negara asal maskapai yang meratifikasi Perjanjian Internasional dalam hal ini Konvensi Warsawa. Kata Kunci: Penerbangan Internasional; Penyintas Kecelakaan Pesawat; Tanggung Jawab Angkutan Udara

ABSTRACT Air transportation is a mode of transportation that is growing rapidly in this era considering the speed of globalization. Air transportation does not recognize the existence of state boundaries, thus creating a link or encounter between the laws of several countries. This resulted in many laws that apply to air transportation, especially international flights. This study aims to obtain an interpretation of the airline's responsibility in the Supreme Court's Decision No. 1517 K/Pdt/2009 in applying national law and international law to passengers who are plane crash survivors. The research method uses normative research by reviewing the decision on legal products, which in this case are statutory regulations. From the results of this study, it is hoped that it can provide legal certainty to plane crash survivors and plane crash survivors who feel that they are not being compensated can file a lawsuit to the court for the losses they have suffered on the basis of unlawful acts that are not limited to the jurisdiction of the country of origin of the airline that ratified the International Agreement in this case the Warsaw Convention. Keywords: International Flight; Air Carrier Responsibility/Liability; Plane Accident Survivor

89


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era modern ini dengan kecanggihan teknologi dan majunya peradaban manusia, membuat mobilisasi setiap orang antara satu tempat ke tempat yang lain lebih efisien yaitu melalui transportasi atau jasa angkutan. Transportasi merupakan suatu bentuk kemudahan yang dapat dirasakan oleh manusia dalam hal perpindahan tempat sehingga dalam hal ini erat kaitanya dengan pengangkutan baik barang maupun manusia. Transportasi atau jasa angkutan tidak hanya terdapat pada darat melainkan juga laut dan udara. Melihat perkembangan transportasi hingga saat ini tentu saja tidak terlepas dari keberadaan jasa angkutan udara. Menurut UndangUndang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 1 angka 13 Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.1 Angkutan udara sangat erat kaitanya dengan jasa pengangkutan udara untuk mengangkut penumpang, kargo dalam hal ini hewan, tumbuhan, dan barang dengan adanya angkutan udara dapat menghubungkan antar pulau dan negara sehingga memberikan kemudahan dalam hal transportasi. Beberapa manfaat dari layanan jasa angkutan udara meliputi cakupan wilayah yang luas, waktu tempuh yang relatif singkat, tarif yang terjangkau, serta keamanan dan kenyamanan yang ditawarkan. Tidak bisa dibantahkan bahwa, dengan banyaknya manfaat yang ditawarkan oleh jasa transportasi udara tidak bisa meniadakan permasalahan yang juga ditimbulkan. Dalam hal ini, masalah kecelakaan pesawat terbang sudah sering kita dengar di televisi dan itu bukanlah merupakan perkara yang sepele. Masalah kecelakaan pesawat dalam jasa pengangkutan adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi, dimana dapat terjadi pada penerbangan domestik maupun internasional. Kejadian angkutan udara menjadi faktor utamanya adalah karena ada hubungan antara pengangkutan udara bisa disebabkan karena adanya kesalahan pengoperasian pesawat sehingga

1

Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

90


dapat mengakibatkan kecelakaan pesawat karena, semutakhir apapun teknologi tersebut tidak akan menghapuskan resiko terjadinya kecelakaan pesawat terbang baik yang bersifat kecil maupun fatal. Kecelakaan pesawat terbang tidak hanya menyebabkan luka-luka seperti luka ringan maupun luka berat tapi bisa juga dapat menyebabkan kematian dan dalam hal ini juga terdapat kasus yang menyebabkan trauma bagi penumpang itu sendiri. Penyebab kecelakaan pesawat udara dapat ditemukan melaului pemeriksaan terhadap kotak hitam atau black box yang merekam semua pembicaraan di antara para pilot serta antara pilot dan menara kontrol sebelum pesawat jatuh. Ditinjau dari pesawat itu sendiri, pesawat udara dapat juga mengalami kerapuhan mesin dan badan pesawat. Oleh sebab itu dari awal desain sampai penerapan terkait perawatan, penyimpanan, dan pengoperasian pesawat udara harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah terjadi kecelakaan pesawat terbang sebanyak 126 kali dalam kurun waktu 9 tahun (mulai 2011 hingga 2020) dan juga data dari Aviation Safety Network (ASN) yang mencatat 104 kali kecelakaan pesawat terbang di Indonesia sejak tahun 1945.2 Tentu saja angka ini merupakan reputasi yang buruk dan menempatkan Indonesia menjadi salah satu tempat yang paling berbahaya untuk terbang di Asia. Banyak faktor yang mendasari hal tersebut baik dari sisi geografis maupun sumber daya manusianya. Menurut Komite Nasional Kecelakaan Transportasi sebanyak 51,4% dari kecelakaan tersebut didominasi oleh faktor manusia, sedangkan 14,1% merupakan kendala teknis pesawat. sedangkan faktor lainnya seperti masalah lingkungan dan fasilitas masing-masing menyumbang 7,3% dan 2,3% secara berturut-turut.3

Dimas Jarot Bayu, ‘Analisis Data: Catatan Terpanjang Kecelakaan Penerbangan di Indonesia’, <https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5ffd469e76e49/catatan-terpanjang-kecelakaanpenerbangan-diindonesia#:~:text=Komite%20Nasional%20Keselamatan%20Transportasi%20(KNKT,korban%20luk a%20mencapai%2091%20orang> accessed 10 September 2021. 3 Yosepha Pusparisa, ‘Investigasi KNKT Temukan Faktor Manusia Jadi Penyebab Kecelakaan Penerbangan’, <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/01/11/investigasi-knkt-temukan-faktormanusia-jadi-penyebab-kecelakaan-penerbangan> accessed 10 September 2021 2

91


Dengan masalah yang dihadapi tersebut sudah jelas eksistensi jasa angkutan udara memerlukan suatu peraturan hukum Internasional maupun nasional dari setiap negara guna mengatur kepentingan dalam penanganan jasa angkutan udara agar berjalan selaras. Secara nasional, transportasi udara di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Di dalamnya pun turut mengatur mengenai pesawat terbang, yang dalam hal ini juga termasuk pada maskapai penerbangan komersial. Mengenai tanggung jawab pengangkut secara nasional diatur oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara. Sedangkan di jenjang internasional pun juga menunjukan aksi nyatanya dengan dibentuknya Konvensi Warsawa 1929 untuk Unifikasi Peraturan-Peraturan Berkaitan dengan Maskapai Penerbangan. Pada perkembangannya Konvensi tersebut terus diperbarui oleh negara-negara di dunia sampai dengan terbentuklah Konvensi Montreal pada tahun 1999. Dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi Warsawa melalui Staatsblad 1939 dan Konvensi Montreal melalui Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2016. Salah satu peristiwa kecelakaan pesawat yang terjadi ialah kasus pesawat Singapore Airlines SQ-006. Kasus dari pesawat Singapore Airlines dengan kode terbang SQ-006 yang mengangkut 159 (Seratus Lima Puluh Sembilan) orang penumpang dan 20 (Dua Puluh) crews atau awak kabin ini disebabkan oleh kelalaian Pilot yang menggunakan landasan pacu yang ditutup karena dalam perbaikan untuk melakukan “take-off” di Bandara Chiang Kai Shek (CKS), Taipei, Taiwan pada waktu malam dalam cuaca hujan. Akibat salah menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga mengakibatkan 82 (Delapan Puluh Dua) korban jiwa yang termasuk 4 (Empat) crews atau yang biasa disebut awak kabin didalamnya. Kecelakaan ini tentunya mengundang cukup perhatian publik, mengingat persentase keselamatan dari kecelakaan pesawat yang cukup kecil jika dibandingkan dengan kecelakaan transportasi lainnya. Korban yang selamat pun menjadi seorang penyintas kecelakaan pesawat dan tentunya membutuhkan kompensasi dari maskapai yang bersangkutan. Kompensasi tersebut diharapkan dapat menutupi kerugian pada korban baik secara materil maupun moril. Penyintas berdasarkan Kamus Besar

92


Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan orang yang mampu bertahan hidup dalam hal ini bertahan hidup dan selamat setelah terjadi kecelakaan pesawat yang menimpanya. Dalam hal terjadinya kecelakaan pesawat udara pada penerbangan Singapore Airlines SQ-006 pada 31 Oktober 2000 dikarenakan kesalahan pada pilot (Pilot Error) yaitu salah dalam menggunakan landasan pacu yang sedang dalam perbaikan (under construction) yang sebelumnya pilot tersebut sudah dihimbau untuk tidak menggunakan landasan pacu yang masih dalam perbaikan. Akibatnya hal ini menyebabkan adanya kerugian yang dialami oleh para penumpang pesawat Singapore Airlines berupa luka-luka hingga cacat fisik maupun mental. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya tanggung jawab dari pihak maskapai penerbangan dalam menangani kerugian yang telah timbul tersebut dengan mengacu pada ketentuan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929 sebagaimana mengatur tentang tanggung jawab maskapai penerbangan internasional terhadap penumpang dan kargo, yang mana menyebutkan bahwa maskapai dapat bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang jika memenuhi syarat seperti: a. Jika kerugian disebabkan oleh kecelakaan; b. Kecelakaan terjadi selama penumpang di dalam pesawat; c. Kecelakaan terjadi pada waktu pemberangkatan atau saat mendarat. Bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan oleh pihak maskapai penerbangan Singapore Airlines atas kerugian yang telah timbul adalah dengan memberikan kompensasi. Terkait besaran kompensasi yang dapat diterima oleh para penyintas kecelakaan pesawat telah diatur pada Pasal 21 ayat (1) Konvensi Montreal 1999. Namun, kompensasi yang diberikan oleh pihak maskapai penerbangan Singapore Airlines masih dianggap tidak sesuai dibandingkan dengan kerugian dan penderitaan berkepanjangan yang dialami oleh para penyintas kecelakaan pesawat seperti cacat mental (trauma), cacat fisik (berkurangnya fungsi - fungsi organ tubuh yang mempengaruhi kualitas hidup penyintas kecelakaan) selain itu juga dapat merugikan kinerja dalam beraktivitas sehari-hari bagi penyintas kecelakaan pesawat akibat cacat fisik atau cacat mental yang dialaminya.

93


1.2 Rumusan Masalah 1.

Bagaimana Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan jika ditinjau dari Peraturan Menteri No.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara terhadap Putusan Mahkamah Agung No.1517 K/Pdt/2009?

2.

Bagaimana Ganti Rugi Penyintas Kecelakaan Pesawat Terbang jika ditinjau dari Perjanjian Internasional (Perjanjian Montreal 1999 dan Perjanjian Warsawa) Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.1517 K/Pdt/2009?

1.3 Dasar Hukum a.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

b.

Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara

c.

Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air (Warsaw Convention 1929)

d.

Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air (Montreal Convention 1999)

94


BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Maskapai Penerbangan Dalam Perspektif Peraturan Menteri No.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara Transportasi memiliki peranan penting dalam kegiatan manusia salah satunya dalam bidang pengangkutan baik berupa manusia ataupun barang. Dalam hukum nasional mengatur mengenai transportasi udara termasuk di dalamnya mengenai pertanggungjawaban angkutannya dalam hal ini Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara. Maskapai penerbangan komersial termasuk pada golongan angkutan udara karena, merupakan pesawat udara yang mengangkut penumpang dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya. Pertanggungjawaban maskapai penerbangan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 berbunyi: “Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atau kerugian terhadap: a) Penumpang yang meninggal dunia,cacat tetap atau luka-luka; b) Hilang atau rusaknya bagasi kabin; c) Hilang,musnah, atau rusaknya kargo; d) Keterlambatan angkutan udara; dan f) Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga”.4 Pengangkutan atas keselamatan penumpang dan kargo menjadi tanggung jawab dari maskapai penerbangan dan kargo. Tanggung Jawab yang dilakukan oleh maskapai penerbangan tidak hanya sebatas bertujuan untuk memastikan setiap penumpang dan kargo selamat hingga pada tujuan namun, maskapai penerbangan bertanggung jawab juga atas kerugian atas kecelakaan penerbangan berupa uang yang dibayarkan sebagai bentuk ganti rugi terhadap penumpang beserta barang bawaan dan kerugian pihak ketiga maskapai. Sehingga, dalam hal ini tentu penumpang pesawat memiliki hak ganti rugi sebagai hak dasar yang secara tegas dinyatakan di Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 4 huruf 9. Mengenai Keselamatan pengangkutan udara seringkali terganggu oleh beberapa sebab antara lain oleh : pilot error; manufacturing defects; equipment 4

Pasal 2 Peraturan Menteri No.77 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara

95


failure; structural or design problems; violation of Federal Aviation Administration (FAA) regulations; Negligence of Flight Service Station employees; Negligence of Federal Air Traffic Controllers; Negligence in a Third party’s selection of a carrier; Failure to maintain or repair the aircraft or its components, and Failure to fuel the aircraft.5 Sesuai dengan fakta hukum pada putusan MA NO. 1517 K/Pdt/2009, maka kecelakaan pesawat terjadi karena kesalahan pada pilot (Pilot Error) yaitu salah dalam pelaksanaan tugasnya pada waktu malam dan dalam keadaan hujan pilot maskapai salah dalam menggunakan landasan pacu yang tidak seharusnya digunakan, karena pada saati tu masih dalam perbaikan sehingga pesawat Singapore Airlines tersebut terjerembab, terbakar dan terpotong menjadi 3 bagian dan menyebabkan penumpang mengalami luka-luka dan cacat mental. Terhadap fakta hukum tersebut dinyatakan secara tegas sebagaimana Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan bahwa ketika terjadi kerugian karena kesalahan orang yang dipekerjakan pengangkut maka pengangkut bertanggung jawab penuh atas kerugian yang timbul. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang mengenai keselamatan dan keamanan pengangkutan udara yang dilakukan oleh maskapai penerbangan sebagai penyedia layanan jasa pengangkutan udara sebagaimana dijelaskan dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan adalah selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan.6 Mengenai aturan lebih lanjut tentang Tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap penumpang yang selamat pada kecelakaan pesawat telah diatur secara rinci pada Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara yang telah tertuang di pasal 3 karena mengalami luka-luka, maka penumpang tersebut berhak atas kompensasi sebesar 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah). Dari Ketentuan tersebut terhadap penyintas kecelakaan pesawat Singapore Airlines pada Putusan No.1517 K/Pdt/2009 Sigit Suciptoyono mengajukan gugatannya atas kerugian yang dialaminya sebagaimana

5 Tien Saefullah,’Status dan Tanggung Jawab Awak Pesawat Udara Dalam Hukum Nasional Indonesia’ (2010), Ejournal LPPM UNISBA, 283. 6 Pasal 55 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

96


bukti yang dilampirkan bahwa telah terjadi kerugian dan sebagai bukti yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal kecelakaan pesawat Singapore Airlines yang dilakukan oleh pihak yang bekerja di maskapai penerbangan tersebut (pilot) menyebabkan lahirnya kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap penumpang baik yang meninggal dunia maupun yang masih hidup dan dikategorikan sebagai penyintas kecelakaan pesawat terbang. Bahwa perusahaan jasa pengangkutan udara berkewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang karena terjadi kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas pesawat terbang tersebut yang menyebabkan korban jiwa atau luka serius. Dampak yang dirasakan oleh penyintas kecelakaan pesawat terbang Singapore Airlines sehingga menyebabkan penyintas kecelakaan kehilangan fungsi salah satu anggota tubuh dan juga menyebabkan trauma atau cacat mental yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari akibat pengalaman kecelakaan terbang yang dialaminya. Melalui Peraturan Menteri No. 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, pada kondisi lain penumpang yang mengalami kecelakaan pesawat terbang dimana kehilangan fungsi salah satu anggota badanya sehingga menyebabkan penumpang tersebut tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Maka dalam hal ini pihak Maskapai Penerbangan dapat bertanggung jawab atas kejadian yang dialami penumpang tersebut. Selain itu penumpang pesawat terbang yang mengalami kecelakaan hingga menyebabkan bagian tubuh salah satu anggota tidak berfungsi, namun tidak mengurangi fungsi anggota tubuh lainya dalam hal ini pihak Maskapai Penerbangan mempunyai kewajiban tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi .Oleh karena itu atas kejadian yang dialami penyintas kecelakaan pesawat terbang Singapore Airlines dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan dan sebagai perusahaan jasa pengangkutan udara untuk bertanggung jawab dan sebagai kewajiban yang harus dilakukan akibat kerugian yang ditimbulkan. Dalam Putusan Mahkamah Agung No.1517/ K/Pdt/2009, dalam hal ini Penggugat yang juga sebagai penyintas kecelakaan pesawat dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah merasa kurang puas

97


dengan tawaran dari Singapore Airlines terkait kompensasi yang hanya sebesar US$25.000 atau jika dikonversikan dengan kurs pada tahun 2006 yang sebesar Rp.9.200,00.- maka jumlah kompensasi yang didapatkan hanya sejumlah Rp. 230.000.000,00,- saja. Jika ditinjau dari Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 nominal tersebut tentu tidak sesuai dengan ketentuan pasal 3 bahwa penumpang yang mengalami luka-luka, maka penumpang tersebut berhak atas kompensasi sebesar 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah). Gugatan yang diajukan oleh penyintas kecelakaan pesawat adalah ketika pada saat itu dapat dibayarkan biaya ganti kerugian kepada Penggugat karena terjadinya kecelakaan SQ-006, sebesar US$ 31,935,47 (tiga puluh satu ribu sembilan ratus tiga puluh lima koma empat puluh tujuh dollar Amerika Serikat) dan Rp 1.483.746.334,- + Rp 10.000.000.000,- = Rp 11.483.746,334 (sebelas milyar empat ratus delapan puluh tiga juta tujuh ratus empat puluh enam ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah) ditambah bunga 2% (dua persen) per bulan terhitung sejak tanggal 1 November 2000. Namun, pada akhirnya majelis hakim pun memutus dengan mengabulkan sebagian gugatan dengan nominal Rp. 1.504.487.124,- yang harus dibayarkan sekaligus dan seketika pada tingkat banding dan menolak permohonan kasasi tergugat. Jumlah kompensasi dari putusan banding sudah memenuhi ketentuan pasal 3 dan implikasi dari putusan tersebut adalah penyintas kecelakaan pesawat dapat menerima kompensasi yang sepadan dengan apa yang telah dialaminya baik secara psikis maupun fisik. 2.2 Ganti Rugi Penyintas Kecelakaan Pesawat Terbang dalam Perspektif Konvensi Warsawa dan Montreal Perkembangan mengenai adanya prinsip tanggung jawab dapat diketahui melalui terimplementasinya prinsip tanggung jawab yang berdasar kesalahan atau memiliki unsur kesalahan (liability based on fault or negligence atau fault liability). Sebelum adanya penerapan prinsip tersebut, berlaku konsep “a man acts at his peril”, yaitu tindakan apapun yang dilakukan oleh seseorang dan berimbas pada kerugian bagi orang lain, maka orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban. Sehingga derita kerugian yang dialami orang lain harus mendapatkan santunan atau

98


kompensasi tanpa melihat motivasi atau tujuan dari orang yang menyebabkan kerugian tersebut.7 Bagian hukum internasional yang mengatur tentang tanggung jawab maskapai penerbangan mulanya terbentuk pada Warsaw Convention 1929 mengenai Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air. Penyelarasan hukum merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh para penyusun Konvensi Warsawa dikarenakan karena jasa udara biasanya beroperasi dengan yurisdiksi yang berbeda-beda.8 Perusahaan penerbangan sebagai perusahaan yang memberikan jasa berupa transportasi udara untuk sipil atau umum, bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang dan/atau pengirim barang. Pada transportasi udara sendiri mengenal 3 prinsip mengenai tanggung jawab (liability), yaitu based on fault liability, presumption of liability, dan strict liability. Sebelum dibentuknya Warsaw Convention, banyak sekali perbedaan secara materiil di berbagai negara mengenai yurisdiksi yang mengatur tentang transportasi udara sehingga melahirkan keragu-raguan di antara para penumpang dan juga maskapai. Maka dari itu, dibutuhkanlah penggabungan dari hukum yang mengelola mengenai penerbangan.Menurut ketentuan Konvensi Warsawa, maskapai bertanggung jawab sesuai dengan prinsip asumsi kesalahan.9 Konvensi Warsawa memiliki sistem tanggung jawab terbatas untuk kesalahan yang disangkakan yang dapat ditemukan baik di dalam Pasal 17 dan Pasal 22 Konvensi.10 Berdasarkan ketentuan Pasal 17 Warsaw Convention, dapat ditafsirkan bahwa maskapai dapat dikenai pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita penumpang jika memenuhi syarat seperti : (1) Jika kerugian disebabkan oleh kecelakaan (accident), (2) Kecelakaan terjadi selama penumpang berada di dalam 7

E. Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke Montreal 1999, Bandung, PT. Kiblat Buku Utama, 2008, 68-69. 8 Pablo Mendes De Leon, Introduction to Air Law (10th Edition), (Belanda: Wolters Kluwer, 2017) 149. 9 Slobodan Kastella, et al, A Contribution to Recognising Carrier’s Liability in International Carriage by Air and Sea, Promet-Traffic-Traffico, Vol. 15, No. 4, (2003) 284. 10 Konvensi Warsawa, 1929. Pasal 22 mengatakan bahwa “In the carriage of passengers the liability of the carrier for each passenger is limited to the sum of 125,000 francs. Where, in accordance with the law of theCourt seised of the case, damages may be awarded in the form of periodical payments, the equivalent capitalvalue of the said payments shall not exceed 125,000 francs. Nevertheless, by special contract, the carrier and thepassenger may agree to a higher limit of liability”.

99


pesawat (on board the aircraft), (3) Kecelakaan terjadi pada waktu take off (pemberangkatan) dan landing (penurunan) (in the course of any of the operations of embarking or disembarking). Sehingga dapat disimpulkan, dalam suatu penerbangan internasional, penumpang pesawat udara dapat mengklaim tanggung jawab dari pihak maskapai penerbangan apabila cedera yang yang dideritanya diakibatkan oleh kealpaan dari pihak maskapai penerbangan tersebut. Hal ini dikarenakan, bagi penumpang yang melakukan penerbangan internasional akan berlaku suatu perjanjian yang disebut dengan Warsaw Convention dan Montreal Convention.11 Warsaw Convention memberikan limitasi terhadap jumlah tanggung jawab yang dapat diberikan oleh perusahaan angkutan udara kepada para penumpang, tetapi juga bisa memberi tanggung jawab sesuai perjanjian dengan penumpang. Dengan adanya Warsaw Convention ini diharap tidak terjadi konflik hukum maupun konflik yurisdiksi. Selain itu, juga untuk melindungi industri penerbangan dari banyaknya klaim yang dapat timbul dari potensi-potensi kecelakaan di masa depan.12 Unifikasi dan pembatasan peraturan mengenai tanggung jawab hukum, menyebabkan maskapai menandatangani asuransi untuk melindungi diri dari klaim lainnya apabila terjadi kecelakaan dan menciptakan bentuk awal dari manajemen risiko di dunia penerbangan.13 Dalam hal pertanggungjawaban maskapai penerbangan atas klaim kecelakaan dan sekaligus ganti kerugian atas kecelakaan pesawat sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) Warsaw Convention “In the carriage of passengers the liability of the carrier for each passenger is limited to the sum of 125,000 francs. Where, in accordance with the law of the Court seised of the case, damages may be awarded in the form of periodical payments, the equivalent capital value of the said payments shall not exceed 125,000 francs. Nevertheless, by special contract, the carrier and

Mike Danko, An Airline’s Liability for In-flight Injuries to International Travelers, Aviation Law Monitor, posted on July 6, 2012,< www.aviationlawmonitor.com>, accessed 7 September 2021. 12 Christoffer Thallin, The Air Carrier’s Liability for Passenger Damages – Article 17 of the Warsaw System and the New Montreal Convention, (Swedia: University of Lund, Master Thesis, 2002) 10. 13 Michael Milde, “The Warsaw System of Liability in International Carriage by Air”, Journal Annals of Air and Space Law, Vol. XXIV, (1999) 159. 11

100


the passenger may agree to a higher limit of liability”14 hal

ini maskapai

penerbangan sebagai jasa pengangkutan udara wajib bertanggung jawab apabila terjadi kecelakaan bahwa penumpang pesawat mendapatkan ganti rugi sekitar 125.000 Franc namun besaran nilai ganti rugi tersebut dapat lebih dari 125.000 Franc apabila ada persetujuan besaran yang diberikan oleh maskapai penerbangan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 22 ayat (1) Warsaw Convention. Sama halnya dengan Warsaw Convention, dalam Montreal Convention juga diatur mengenai pertanggungjawaban maskapai penerbangan atas kerugian yang diderita penumpang yaitu pada Pasal 17 ayat (1) “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian dalam hal kematian atau cedera tubuh yang diderita penumpang dengan syarat apabila kecelakaan yang menyebabkan kematian atau cedera terjadi di dalam pesawat, atau dalam tiap kegiatan naik turunnya penumpang.” Kemudian, mengenai besaran ganti kerugian yang dapat diberikan oleh maskapai penerbangan kepada para penumpang juga telah diatur dalam Pasal 21 ayat (1) “Untuk kerugian yang terjadi berdasarkan pasal 17 ayat (1), tidak melebihi 100.000 SDR bagi setiap penumpang, pengangkut tidak dapat melepaskan atau membatasi tanggung jawabnya.” Untuk SDR sendiri merupakan singkatan dari Special Drawing Right yang juga telah termaktub pada Pasal 23 ayat (1) “Jumlah yang disebutkan terkait Special Drawing Right dalam Konvensi ini, harus dianggap mengacu pada Special Drawing Right sebagaimana yang didefinisikan oleh International Monetary Fund (IMF). Konversi jumlah tersebut dalam mata uang nasional dalam proses peradilan harus dilakukan sesuai dengan nilai mata uang nasional dimaksud terhadap Special Drawing Right yang berlaku pada saat keputusan pengadilan ditetapkan. Terkait pengoperasian dan transaksi Nilai mata uang nasional negara pihak yang menjadi anggota IMF terhadap Special Drawing Right harus dihitung sesuai metode penilaian yang diterapkan IMF yang berlaku pada tanggal putusan pengadilan. Nilai mata uang nasional negara pihak yang bukan anggota IMF terhadap Special Drawing Right harus dihitung sesuai cara yang ditentukan oleh negara tersebut.”

14

Pasal 22 ayat (1) Warsaw Convention, 1929.

101


Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan aturan mengenai besaran ganti kerugian yang diatur di Warsaw Convention dan Montreal Convention. Pada Warsaw Convention, besaran ganti kerugian hanya terbatas pada jumlah 125.000 franc yang dapat dibayarkan secara berkala. Selain itu, penumpang dan maskapai penerbangan dapat menyetujui limit yang lebih tinggi dari kewajiban tersebut apabila terdapat kontrak antara kedua belah pihak. Sedangkan, menurut Montreal Convention sendiri terkait besaran ganti rugi telah ditetapkan sebesar 100.000 SDR (Special Drawing Right) dan tidak dapat melebihi dari limit tersebut. Akan tetapi, terhadap gugatan dari Penggugat tertanggal 11 Juli 2007 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maka tidaklah berlaku ketentuan yang tertuang di Konvensi Montreal karena, Indonesia baru meratifikasinya di tahun 2016. Sehingga, ketentuan Internasional yang berlaku dalam penanganan gugatan tersebut adalah Konvensi Warsawa. Dalam hal ini, Penggugat atau yang bernama Sigit Suciptoyono dapat mengajukan gugatan terhadap maskapai penerbangan yaitu Singapore Airlines berdasarkan Article 28 (1) Konvensi Warsawa yang menyatakan “Sebuah tindakan untuk kerusakan harus dibawa, atas pilihan dari penggugat, di wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, baik sebelum Pengadilan yang memiliki yurisdiksi di mana pengangkut biasanya bertempat tinggal, atau memiliki tempat usaha utama, atau memiliki pendirian di mana kontrak telah dibuat atau di hadapan Pengadilan yang memiliki yurisdiksi di tempat tujuan.” Selain itu, terdapat aturan yang mengatur mengenai batas waktu gugatan dimana pada Konvensi Warsawa telah tertuang pada Article 29 (1) “Hak atas ganti rugi akan hilang jika suatu tindakan tidak dilakukan dibawa dalam waktu dua tahun, dihitung sejak tanggal kedatangan ditujuan, atau sejak tanggal seharusnya pesawat tiba, atau sejak tanggal pengangkutan berhenti.” Mengenai hal tersebut, gugatan yang diajukan Penggugat tidaklah daluwarsa. Dalam hal ini, telah disebutkan pada Putusan No. 1517/K/Pdt/2009 bahwa gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Amerika Serikat dan Singapura berada dalam satu "rentetan waktu" dengan gugatan yang dilakukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sehingga oleh karenanya pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak kadaluwarsa.

102


Pada

gugatan

penggugat

di

Pengadilan

Tinggi

Jakarta

No.

611/Pdt/2008/PT.DKI, Penggugat yang dalam hal ini perseorangan mengalami kerugian dan meminta Tergugat untuk secara sekaligus dan seketika membayar ganti rugi akibat kecelakaan SQ-006 sebesar Rp 1.483.746.334,- + Rp 10.000.000.000,- = 11.483.746.334,- (sebelas milyar empat ratus delapan puluh tiga juta tujuh ratus empat puluh enam ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah). Akan tetapi, dalam pokok perkara gugatan penggugat hanya dikabulkan untuk sebagian yaitu sebesar Rp 1.504.487.124,- (satu milyar lima ratus empat juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh empat rupiah). Kemudian, Penggugat yang merasa ganti kerugian yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Jakarta kurang adil dan juga Tergugat yang merasa kompensasi yang harus dia berikan sudah melebihi kewajiban yang seharusnya, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor Putusan No. 1517 K/Pdt/2009. Dalam hal ini, Mahkamah Agung memutus menolak permohonan kasasi dari kedua belah pihak.

103


BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan a.

Peraturan Menteri No. 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab

Pengangkutan Udara memiliki tanggung jawab sebagai jasa angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang yang mengalami

cacat

tetap,luka-luka,hilang

atau

rusaknya

bagasi

kabin,kerugian yang diderita oleh pihak ketiga,hilang, musnah, atau rusaknya kargo,keterlambatan angkutan udara,hingga

penumpang

yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat. selain itu juga mengatur mengenai kompensasi yang diberikan oleh Penggugat dalam Putusan MA No.1517 K/Pdt/2009 sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang yang mengalami cacat total. Sedangkan penumpang yang mengalami luka-luka akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang. Tergugat dalam hal ini ialah Singapore Airlines tidak menawarkan kompensasi yang memenuhi ketentuan tersebut, dan dengan diajukannya gugatan ke PN yang naik hingga banding dan kasasi, maka pihak Tergugat tetap harus membayar kompensasi sebesar Rp. 1.504.487.124,- yang dengan nominal tersebut tentu ketentuan pada Peraturan Menteri No.77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Angkutan Udara menjadi terpenuhi terpenuhi bagi penyintas kecelakaan pesawat terbang; b.

Berdasarkan Warsaw Convention dan Montreal Convention, bahwasanya tanggung jawab pengangkut atau maskapai penerbangan apabila mengalami kecelakaan pesawat sehingga mengakibatkan penumpang mengalami cacat, luka-luka, hingga kematian dan juga besaran ganti kerugian yang dapat diberikan telah diatur di dalamnya. Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 1517 K/Pdt/2009, Mahkamah Agung memutus menolak permohonan kasasi dari pihak Penggugat dan Tergugat. Sehingga, jumlah kompensasi yang telah diputus di tingkat bandinglah yang harus dibayarkan oleh pihak 104


Tergugat yaitu sebesar Rp 1.504.487.124,- (satu miliar lima ratus empat juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu seratus dua puluh empat rupiah). Dalam hal ini, besaran kompensasi bagi penyintas kecelakaan pesawat terbang tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang termaktub di Warsaw Convention dan Montreal Convention. 3.2 Saran a.

Diharapkan pemerintah dapat membentuk peraturan perundang-undangan baru untuk mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan terutama dalam mengkalkulasi jumlah pemberian ganti kerugian kepada penyintas kecelakaan pesawat, sehingga dapat mencerminkan perlindungan hukum dan sepadan dengan apa yang telah dialami oleh para korban mengenai pemberian kompensasi yang tidak dilakukan secara terus-menerus melainkan satu kali setelah kecelakaan terjadi;

b.

Diharapkan pemerintah Indonesia dalam ratifikasi Warsaw Convention dan Montreal Convention dapat mengimplementasikan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang telah diatur di Indonesia mengenai Tanggung Jawab Pengangkutan Udara dan juga agar para penumpang mendapatkan perlindungan hukum yang lebih adil lagi apabila terjadi kecelakaan pesawat terbang.

105


DAFTAR BACAAN BUKU E. Saefullah Wiradipradja, Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 ke Montreal 1999, Bandung, PT. Kiblat Buku Utama, 2008. Pablo Mendes De Leon, Introduction to Air Law (10th Edition), (Belanda: Wolters Kluwer, 2017).

JURNAL Michael Milde, “The Warsaw System of Liability in International Carriage by Air”, Journal Annals of Air and Space Law, Vol. XXIV, (1999). Slobodan Kastella, et al, A Contribution to Recognising Carrier’s Liability in International Carriage by Air and Sea, Promet-Traffic-Traffico, Vol. 15, No. 4, (2003). Tien Saefullah,’Status dan Tanggung Jawab Awak Pesawat Udara Dalam Hukum Nasional Indonesia’ (2010), Ejournal LPPM UNISBA.

TESIS Christoffer Thallin, The Air Carrier’s Liability for Passenger Damages – Article 17 of the Warsaw System and the New Montreal Convention, (Swedia: University of Lund, Master Thesis, 2002).

LAMAN Dimas Jarot Bayu, ‘Analisis Data: Catatan Terpanjang Kecelakaan Penerbangan di Indonesia’, <https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5ffd469e76e49/catatanterpanjang-kecelakaan-penerbangan-diindonesia#:~:text=Komite%20Nasional%20Keselamatan%20Transportasi%2 0(KNKT,korban%20luka%20mencapai%2091%20orang>

accessed

10

September 2021. Yosepha Pusparisa, ‘Investigasi KNKT Temukan Faktor Manusia Jadi Penyebab Kecelakaan

Penerbangan’,

<https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/01/11/investigasi-knkt-

106


temukan-faktor-manusia-jadi-penyebab-kecelakaan-penerbangan>

accessed

10 September 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan

KONVENSI INTERNATIONAL Warsaw Convention,1929 Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air. Montreal Convention,1999 Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air.

107


PENINJAUAN SISTEM DESENTRALISASI DALAM KONSEP PENGANGKUTAN TOL LAUT SEBAGAI UPAYA PENEKANAN DISPARITAS HARGA KOMODITI Hidayatul Sabrina, Nanda Alifia Widyadhana, dan Jazilah Astiti hiddaa12@gmail.com Universitas Airlangga

ABSTRAK Pada tahun 2014 konsep pengangkutan berupa Tol Laut yang pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo kini telah membawa banyak perubahan baik khususnya bagi masyarakat di daerah luar Jawa. Dalam sektor perekonomian, menjadi negara kepulauan memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk dapat menciptakan keseimbangan kuantitas, kualitas serta harga komoditas pada tiap daerah yang dipisahkan oleh luasnya daerah perairan. Dalam menghadapi tantangan tersebut, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021, yang diharapkan mampu menekan disparitas harga antar daerah. Perkembangan trayek Tol Laut yang semula pada tahun 2015 hanya berjumlah tiga trayek, hingga 2021 terhitung ada 26 trayek yang menunjukkan bahwa Tol Laut dapat berkembang dan menunjukkan dampak baik selaras dengan tujuan yang hendak dicapai. Penurunan biaya pengiriman antar pulau menjadi salah satu alasan adanya penambahan jumlah trayek tol laut. Meski begitu, tujuan disparitas harga belum dapat tercapai secara maksimal karena belum adanya standarisasi penganggaran dana daerah yang menyebabkan tidak meratanya pembangunan infrastruktur penunjang tol laut. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif berdasarkan sumber hukum yang terdiri atas hukum primer dan hukum sekunder. Sistem pengelolaan tol laut yang menerapkan sistem desentralisasi menyebabkan tidak meratanya pembangunan penunjang fasilitas tol laut. Hal tersebut disebabkan penganggaran dana pengoperasian tol laut yang berbeda tergantung dengan kebijakan masing-masing daerah. Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengakomodir secara rinci dan komprehensif sistem pengelolaan tol laut agar mewujudkan nawacita yaitu memperkuat jati diri bangsa sebagai negara maritim terbesar di dunia melalui program tol laut. Kata Kunci: Tol Laut; Desentralisasi; Disparitas Harga

ABSTRACT In 2014, Indonesia president, Joko Widodo, has revealed new transportation concept, named “Tol Laut” that has been brought several benefits for people outside Java Island. From economic perspective, being an archipelagic state is a challenge for Indonesia to create balance between quality, quantity, and commodity prices in each region. To encounter it, President Joko Widodo published Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021, which expected to reduce price disparity. From 2015 until 2021, there are 26 routes, and it shows significant progress consistent with the purposes of Tol Laut program. The decrease of shipment rates is the reason why the amount of Tol Laut routes is increased. However, the disparity in price objectives has not been maximally achieved due to no policy about local budget standardization which causes uneven development of Tol Laut supporting infrastructure. This research is using the normative law method based on primary law and secondary law. Tol Laut operation system that based on decentralisation system caused uneven construction of Tol Laut due to different budgeting regulation depends on each region. Therefore, Tol Laut operation system regulation is needed to accommodate more detailed and comprehensive, to realize the Nawa Cita, namely strengthening national identity as the largest maritime country in the world through the Tol Laut program. Keywords: Tol Laut; Decentralization; Price Disparity

108


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang memiliki luas wilayah sebesar 7,81 juta km2 menjadikannya sebagai negara terbesar di Asia Tenggara. Indonesia memiliki daratan seluas 2,01 juta km2 dan lautan seluas 5,75 juta km2.1 Berdasarkan luas lautan Indonesia yang hampir mencapai dua kali lipat luas daratannya, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu negara maritim yang kaya akan sumber daya alamnya. Akan tetapi, dengan menyandang gelar sebagai negara maritim juga merupakan salah satu tantangan bagi negara Indonesia untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang tersebar di berbagai pulau, dari Sabang hingga Merauke. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat, perbedaan harga dalam penggunaan sarana jasa pengiriman komoditi menimbulkan disparitas harga yang memberatkan perekonomian masyarakat. Seperti yang diketahui, struktur geografis merupakan alasan utama bagi suatu negara atau wilayah dalam menentukan sistem transportasi.2 Tidak hanya untuk menentukan sistem transportasi bagi manusia, sistem transportasi untuk pendistribusian komoditi kebutuhan bagi masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh struktur geografis masing-masing negara. Adanya permasalahan disparitas harga komoditi memperlihatkan bahwa masih kurang maksimalnya sistem transportasi pengiriman komoditi yang telah ada. Melihat kondisi wilayah daratan Indonesia yang saling terpisahkan oleh luasnya perairan, seyogyanya sarana dan prasarana transportasi laut dapat menjadi prioritas utama untuk terus dikembangkan dan diperbaiki. Timbulnya permasalahan transportasi laut tersebut melatarbelakangi Presiden Joko Widodo dalam mengeluarkan kebijakan program Tol Laut yang bertujuan untuk menekan disparitas harga serta pemenuhan kebutuhan pokok di setiap daerah, sebagaimana telah tertuang pada beberapa peraturan perundang-

Oki Pratama, ‘Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia’ <https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensikelautan-dan-perikanan-indonesia> accessed 25 September 2021. 2 Özpeynirci,dkk. Logistic Cost Management in Enterprises: The Example of Karaman, Aksaray and Kayseri Provinces, 2012, Asian Economic and Financial Review, 2(1), 1026-1050. 1

109


undangan, di antaranya adalah Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan dan Peraturan Menteri Perhubungan No. 4 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Permenhub No. PM 16 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang di laut. Sejak pertama kali diluncurkannya program tol laut pada tahun 2015, program tol laut ini memang diadakan dengan tujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia. Harapannya dengan adanya tol laut, biaya distribusi komoditi dapat menurun sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, kelancaran distribusi, serta terwujudnya pemerataan komoditi hingga ke pulau-pulau pedalaman. Adanya program tol laut sejak awal telah mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia, karena dengan program ini memberikan harapan baru bagi masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah Timur Indonesia yang tidak tersentuh oleh moda angkutan darat maupun udara untuk bisa merasakan pemenuhan komoditi dengan harga terjangkau. Pada saat perilisan Permendag Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antar Pulau, Suhanto, selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan menyampaikan bahwasannya dari laporan yang disampaikan oleh dinas-dinas dalam bidang perdagangan yang daerahnya dilewati tol laut, komoditi yang dapat diangkut ke daerah tersebut mengalami penurunan harga hingga 20 sampai 30% dari harga sebelumnya.3 Laporan tersebut menunjukkan bahwa program tol laut yang dijalankan telah menunjukkan perubahan baik terhadap harga komoditi berupa pengurangan disparitas harga yang selama ini menghantui masyarakat. Perubahan tersebut menjadi alasan bagi pemerintah untuk terus mengembangkan dan mengoptimalkan pembangunan tol laut. Tercatat hingga tahun 2021, dari data yang ada pada Sistem Informasi Gerai Maritim, pemerintah telah menambah jumlah

3

Pernyataan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto dalam Perilisan Permendag Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antar Pulau, 10 Desember 2020, yang dikutip kembali oleh Ratih Waseso, ‘Kemendag: Daerah Yang Dilewati Tol Laut Menikmati Penurunan Harga Barang Hingga 30%’ <https://nasional.kontan.co.id/news/kemendag-daerah-yang-dilewati-tol-laut-menikmati-penurunanharga-barang-hingga-30> accessed 26 September 2021.

110


trayek tol laut hingga kini mencapai 32 trayek.4 Penambahan jumlah trayek tol laut tersebut diikuti penambahan pelabuhan dan kapal, sejumlah 106 pelabuhan dan 293 unit kapal yang diantaranya sejumlah 138 unit kapal pelayaran rakyat telah dihibahkan kepada pemerintah daerah.5 Eksistensi tol laut memang dapat diakui bahwa sangat membantu pendistribusian komoditi ke berbagai wilayah di Indonesia terutama wilayah pelosok, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa hambatan pelaksanaan tol laut secara optimal. Hambatan tersebut di antaranya adalah permasalahan terkait pengiriman komoditi dari pelabuhan utama ke pelabuhan singgah dan pelabuhan tujuan. Kerap kali kapal yang datang mengangkut barang komoditi ke suatu wilayah kembali dalam keadaan kosong. Menurut Raden Edi Prio Pambudi, Staf Ahli Kemenko Bidang Perekonomian, hal ini dikarenakan adanya perbedaan waktu ketersediaan komoditas antar daerah.6 Selain itu, terdapat pula hambatan yang sangat mendasar mengenai anggaran daerah yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah. Perbedaan anggaran tersebut didasarkan pada asas desentralisasi yang diterapkan dalam pembangunan tol laut. Menurut RDH Koesoemahatmadja, desentralisasi berasal dari 2 kata latin yakni de (lepas), dan centrum (pusat), sehingga desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah.7 Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Desentralisasi inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan tol laut berbeda-beda di setiap daerah. Perbedaan itu tentunya berdampak pada tingkat efektivitas arus lalu lintas tol laut yang berpengaruh pada harga komoditas barang. Dalam pembangunan tol laut tentu 4

Sistem Informasi Gerai Maritim, Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, <http://geraimaritim.kemendag.go.id/trayek> accessed 29 Oktober 2021. 5 Immanuel Antonius, ‘Apa Kabar Program Tol Laut Jokowi?’ <https://www.liputan6.com/bisnis/read/4531328/apa-kabar-program-tol-laut-jokowi> accessed 26 September 2021. 6 Raden Edi Prio Pambudi, dalam Webinar ‘Prospek Ekonomi dan Bisnis Logistik 2021’, 24 Maret 2021, yang dikutip kembali oleh Rahmi Yati, ‘Ternyata, Ini Letak Kekurangan Program Tol Laut’ <https://ekonomi.bisnis.com/read/20210324/98/1372019/ternyata-ini-letak-kekurangan-program-tol-laut> accessed 26 September 2021. 7 RDH Koesoemahatmadja, ‘Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah Di Indonesia, (Bina Cipta, 1979) yang dikutip kembali oleh M. Laica Marzuki dalam Berjalan-Jalan Di Ranah Hukum Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI’, Jakarta. 2006. 151. Kemudian dikutip kembali Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit., 3.

111


penganggaran oleh pemerintah daerah sangatlah penting, sebab anggaran tersebut ditujukan untuk mendukung pembangunan program tol laut, seperti penyediaan fasilitas pendukung bongkar muat di pelabuhan. Perwakilan Ditjen Bina Marga Kementerian Dalam Negeri, T.B. Chaerul mengungkapkan bahwa masih banyak pemerintah daerah yang memberikan anggaran untuk mendukung program tol laut dalam jumlah yang sangat kecil, yakni hanya 0,5 persen, kecuali pemerintah daerah Kalimantan Utara yang mengalokasikan dana sebesar 60% untuk mendukung tol laut dari pagu pelayaran.8 Padahal, anggaran daerah tentu sangat diperlukan guna menunjang fasilitas pengangkutan komoditas di masing-masing daerahnya. Saat ini peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan program tol laut belum mengatur dengan rinci hal-hal seperti wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pemerintah daerah dan minimum pengalokasian anggaran untuk mendukung program tol laut. Terkait peran pemerintah daerah dalam pembangunan tol laut yang telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan yaitu sebatas berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Koordinasi tersebut di antaranya dalam hal pendataan, pemantauan dan evaluasi jenis, jumlah dan harga barang dari dan ke di masing-masing daerah tertinggal. Selain itu dalam peraturan perundang-undangan lain belum ada yang mengatur mengenai amanat yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan guna mendukung pelaksanaan program tol laut. Merujuk pada permasalahan tersebut, jurnal ini akan membahas urgensi adanya regulasi terkait pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penerapan asas desentralisasi guna menunjang keberhasilan program tol laut.

8 Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, ‘Deputi Ayodhia: Diperlukan Sinergi dan Koordinasi dalam Mengimplementasikan Perpres Tol Laut’, <https://maritim.go.id/deputiayodhia-diperlukan-sinergi-kolaborasi-dalam-mengimplementasikan-perpres/> accessed 2 September 2021.

112


1.2

1.3

Rumusan Masalah 1.

Perkembangan hukum dalam pelaksanaan program Tol Laut di Indonesia;

2.

Akibat penerapan sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kebijakan Tol Laut

Dasar Hukum 1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

4.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

5.

Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan;

6.

Peraturan

Menteri

Perhubungan

Nomor

4

Tahun

2018

tentang

Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang di Laut.

113


BAB II ANALISIS

2.1

Perkembangan Hukum dalam Pelaksanaan Program Tol Laut di Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sekaligus menjadi sumber hukum tertinggi dari segala produk hukum yang ada di Indonesia sejak awal memang telah diciptakan sebagai alat kontrol serta pengatur bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan. Tidak hanya itu, UUD 1945 juga ditujukan sebagai penentu hak dan kewajiban negara, aparat negara, dan warga negara. Salah satu perwujudan sebagai penentu hak warga negara, Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 memberikan amanat untuk menyelenggarakan perekonomian nasional yang didasarkan atas demokrasi ekonomi prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.9 Pasal tersebut tentu menjadi dasar bagi para pembuat kebijakan dalam menyelenggarakan perekonomian di Indonesia yang nantinya diharapkan dapat memajukan kesejahteraan umum yang dirasakan oleh segenap warga negara Indonesia, sebagaimana cita-cita bangsa yang telah tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945. Salah satu prinsip dalam penyelenggaraan ekonomi berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 adalah prinsip efisiensi berkeadilan, yang berarti bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan dengan sumber daya seminimal mungkin, akan tetapi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sehingga dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia.10 Mewujudkan cita-cita bangsa yang telah diatur dalam UUD NRI 1945 tentu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, baik bagi para pemangku kekuasaan maupun rakyat. Terlebih lagi dengan kondisi geografis Indonesia yang terpisahkan 9

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adhi Anugroho, ‘Analisis Yuridis Terhadap Asas Efisiensi Berkeadilan Berdasarkan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Ketenagalistrikan’, 2017 Vol. 47, No. 2 Jurnal Hukum & Pembangunan 183, 183 <http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1451/pdf> accessed 28 September 2021. 10

114


oleh luasnya perairan menjadikan negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Masing-masing kondisi geografis yang merupakan karunia Tuhan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kondisi geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan dengan luasnya wilayah perairan tentu memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal kekayaan sumber daya alamnya, khususnya sumber daya alam di lautnya. Akan tetapi, dengan wilayah di Indonesia yang banyak dipisahkan oleh lautan, menjadikan pembangunan antar wilayah tidak mudah merata, termasuk dalam upaya pemerataan ekonomi. Salah satu faktor tidak meratanya penyelenggaraan perekonomian di Indonesia yaitu ketimpangan fasilitas yang disediakan untuk warga dalam menikmati hasil bumi antar daerah. Perbedaan fasilitas tersebut kemudian menimbulkan masalah terkait disparitas harga yang dirasakan oleh masyarakat khususnya warga Indonesia di bagian Timur. Salah satu perbedaan fasilitas tersebut adalah pada bidang jasa layanan pengiriman komoditas barang, dimana dalam penggunaan jasa layanan pengiriman membutuhkan biaya yang lebih besar karena menggunakan kapal swasta, sehingga permasalahan disparitas harga komoditas di daerah belum dapat terselesaikan. Disparitas harga tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan ekonomi di Indonesia selama ini masih memiliki kekurangan, masih belum bisa menerapkan prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945. Beranjak dari amanat UUD NRI 1945 serta hambatan yang dirasakan dalam penyelenggara perekonomian bangsa, Presiden Joko Widodo di masa kampanyenya pada tahun 2014 memperkenalkan Nawa Cita. Pasca terpilihnya Presiden Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia, Nawa Cita untuk melakukan pembangunan Indonesia dalam bingkai negara kesatuan dilakukan dengan upaya penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang dari dan ke wilayah 3TP (tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan). Dimana, sarana transportasi laut memegang peranan vital melalui fungsi distribusi barang dan mobilitas penduduk antara wilayah. Meskipun disadari pentingnya peran transportasi dalam pembangunan, transportasi Indonesia masih diwarnai dengan kualitas pelayanan yang rendah, kuantitas dan cakupan pelayanan yang terbatas. Dalam sistem logistik nasional, transportasi memegang peranan yang dominan, yaitu sekitar dua per tiga biaya logistik. Mengenai upaya tersebut kemudian Presiden Joko Widodo 115


mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang di Laut yang kemudian peraturan tersebut dicabut dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2017 yang kemudian dicabut lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2018, kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut, diselenggarakan dengan menggunakan kapal barang.11 Salah satu perwujudan dari penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik tersebut adalah pembangunan konsep tol laut. Presiden Joko Widodo mengusulkan konsep tol laut yang merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di nusantara. Pasal 1 angka 13 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 memberikan definisi bahwa tol laut merupakan pelaksanaan pelayanan angkutan barang di laut dari pelabuhan ke pelabuhan lainnya dengan menggunakan mekanisme penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang.12 Harapan dari diadakannya tol laut adalah untuk menekan hingga menghilangkan disparitas harga antar daerah, terutama antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Dasar hukum kebijakan tol laut yang pertama kali diundangkan oleh Presiden Joko Widodo adalah Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2015. Akan tetapi peraturan presiden tersebut hanya berlaku kurang lebih hingga dua tahun, dan kemudian digantikan dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2017. Dalam kedua peraturan presiden tersebut diatur mengenai pengaturan anggaran penyelenggaraan layanan publik untuk angkutan laut yang dialokasikan dalam APBN dalam bagian anggaran Kementerian Perhubungan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 Perpres 106/2015 dan Pasal 16 Perpres 70/2017. Sama halnya dengan Perpres 106/2015, Perpres 70/2017 kini telah digantikan dan disempurnakan dengan Perpres 27/2021. Salah satu pertimbangan dicabut dan digantinya kedua peraturan presiden tersebut adalah dirasa peraturan tersebut masih 11 Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang di Laut. 12 Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan.

116


belum optimal untuk menurunkan disparitas harga barang guna menjamin kesinambungan pelayanan penyelenggaraan angkutan barang.13 Salah satu penyempurnaan Peraturan Presiden 27/2021 terletak pada penganggaran tol laut yang juga bersumber dari APBD sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Perpres 27/2021 dan pengaturan mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam keterlibatannya untuk pembangunan fasilitas penunjang tol laut yang terdapat pada Pasal 33 Perpres 27/2021. Adanya kebijakan tol laut ini berpengaruh pada harga ongkos kirim komoditas barang di luar pulau Jawa, khususnya penurunan harga barang pokok di daerah 3TP. Pada tahun 2013 hingga 2014, sebelum adanya kebijakan tol laut, biaya angkutan laut berkontribusi 20% - 25% terhadap harga komoditas. Sedangkan pada tahun 2016 sampai 2018 saat pelaksanaan tol laut biaya angkutan laut berkontribusi 15%-19% terhadap harga komoditas. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, program tol laut ini masih memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut yaitu terkait permasalahan waktu, dimana tol laut mengangkut komoditas menuju suatu daerah namun kembali dalam keadaan kosong. Menurut Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raden Edi Prio Pambudi untuk mengatasi hal tersebut seharusnya sistem tol laut ini diubah, terutama terkait dengan penjadwalan kapal. Menurutnya sistem penjadwalan tol laut seharusnya tidak menggunakan pola looping, dimana pengiriman cenderung berulang tanpa memperhatikan jadwal panen atau ketersediaan komoditas suatu daerah.14 Permasalahan selanjutnya yaitu pembangunan tol laut yang belum merata, hal ini dikarenakan pembangunan tol sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah daerah atas persetujuan atau pengawasan menteri. Pembangunan tol laut ini didasarkan atas asas desentralisasi dimana pemerintah daerah memiliki hak otonomi untuk mengatur anggaran dan pembelanjaan pemerintah daerah masing-masing, hal inilah yang menyebabkan kebijakan pada setiap daerah berbeda-beda seperti ada pemerintah daerah yang memprioritaskan pembangunan darat, pendidikan, ataupun peningkatan UMKM daerah. Perbedaan kebijakan inilah yang membuat tingkat pembangunan tol laut di 13 Konsideran Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan. 14 Raden Edi Prio Pambudi, Loc.Cit.

117


setiap daerah berbeda-beda, karena tidak semua pemerintah daerah yang daerahnya dijadikan rute tol laut menilai bahwa pembangunan tol laut merupakan prioritas bagi daerahnya. Tercatat hingga bulan Oktober 2021, terdapat 32 trayek tol laut yang terbentang dari daerah bagian barat Indonesia yaitu di Lhokseumawe hingga daerah timur Indonesia di Merauke.15 Dari 32 trayek tersebut, terdapat perubahan baru pada T-3 dan T-19, dimana kapal tol laut yang melewati trayek tersebut berlabuh dan singgah pada dua pelabuhan yang sebelumnya tidak masuk dalam rute tol laut. Trayek T-3 yang ada saat ini melewati pelabuhan Patimban dan trayek T-19 yang melewati Pelabuhan Pomako.16 Selain itu, terdapat aplikasi penunjang penggunaan jasa transportasi tol laut yang diluncurkan pertama kali pada tahun 2020, yaitu aplikasi Sitolaut Barang. Adanya aplikasi tersebut data para pengguna jasa tol laut dapat terintegrasi. Berbagai perkembangan tersebut membawa perubahan yang cukup signifikan bagi pemerataan distribusi komoditas menggunakan tol laut. 2.2

Akibat Penerapan Sistem Desentralisasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Tol Laut Negara Indonesia dalam menentukan sistem pemerintahannya telah melalui berbagai proses serta perubahan sejak masa kemerdekaan sampai dengan masa orde baru. Dalam menentukan sistem pemerintahan yang akan diterapkan pada suatu negara sebagaimana telah dituangkan pada pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik. Selain itu pada Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur dengan jelas bahwa: “Negara 15

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Loc. cit. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, ‘Tingkatkan Pelayanan Angkutan Barang di Laut, Kemenhub Optimalkan Dua Trayek Tol Laut’ <https://hubla.dephub.go.id/disnavsabang/page/news/read/9936/tingkatkan-pelayanan-angkutan-barangdi-laut-kemenhub-optimalkan-dua-trayek-tol-laut> accessed 29 Oktober 2021. 16

118


Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai Pemerintahan, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal tersebut menjadi landasan keberadaan Pemerintahan Daerah, yaitu pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam

menjalankan

pemerintahan,

Indonesia

menerapkan

sistem

desentralisasi yang artinya terdapat penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi daerah. Indonesia baru menerapkan sistem desentralisasi ini pada masa orde baru, sedangkan sebelumnya Indonesia menganut sistem sentralisasi. Perubahan tersebut disebabkan karena penerapan sistem sentralisasi yang dirasa menghambat jalannya pemerintahan di Indonesia. Sentralisasi merupakan sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan serta wewenang itu dipegang oleh pemerintah pusat, yang artinya pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangga pemerintah daerah, baik itu dalam kewenangan administrasi maupun kewenangan politik serta memegang kendali penuh terhadap pengeluaran kebijakan kepada seluruh daerah tanpa melibatkan peran serta dari daerah tersebut. Penerapan sistem sentralisasi tersebut nyatanya berdampak negatif pada berbagai daerah di Indonesia, seperti pembangunan yang tidak merata dan daerah yang tidak memiliki kewenangan secara utuh untuk mengembangkan potensi daerah yang dimilikinya. Sedangkan kata desentralisasi sendiri secara etimologis berasal dari bahasa latin yang berarti “de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat. Sehingga, desentralisasi dapat diartikan sebagai melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan, yang dimaksud desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonomi).17 Desentralisasi memiliki tujuan untuk meningkatkan ukuran-ukuran kinerja kelembagaan seperti efektivitas dan efisiensi dalam bentuk pendelegasian 17

Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, (Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press 2009), 64.

119


kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hulme dan Turne menyatakan bahwa “...decentralization within the state involves a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or agency in central government to some other individual or agency which is ‘closer’ to the public to be served.” Hulme dan Turner menekankan desentralisasi pada aspek penyerahan otoritas pada level pemerintahan yang berbeda dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik.18 Sehingga desentralisasi semata-mata dilaksanakan atas dasar pertimbangan peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya di tingkat lokal dimana masyarakat secara langsung bersentuhan dengan pemerintah sehingga pelayanan publik tersebut dapat benar-benar berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya sistem desentralisasi tersebut merupakan sebuah bentuk manifestasi sebagai salah satu perwujudan dari keharusan bagi adanya pembagian kekuasan. Sejalan dengan struktur pemerintahan yang ada, dalam pelaksanaanya dibentuklah suatu badan tersendiri yang dijamin oleh hukum dan terpisah dari pusat, yakni pemerintah daerah. Hadirnya pemerintah daerah memberikan jaminan kekuasaan kepada perwakilan daerah untuk dapat menyelesaikan permasalahan umum yang ada di daerahnya tanpa adanya campur tangan oleh pusat. Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki kewenangan dalam membuat keputusan terkait kepentingan daerahnya serta memiliki sumber dana yang terpisah dari pusat.19 Nyatanya

sistem

desentralisasi

membawa

dampak

positif

terhadap

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, antara lain yaitu memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola potensi daerah yang dimiliki sehingga akan meningkatkan efisiensi dalam penyediaan jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat setempat, mengurangi biaya, meningkatkan output, dan lebih efektif dalam penggunaan sumber daya manusia. Meski begitu, implementasi dari sistem desentralisasi tersebut memiliki efek negatif.

18

Turner, Mark and David Hulme, Governance, Administration and Development: Making The State Work, (London: MacMillan Press Ltd 1997), yang dikutip dari Kristian Widya Wicaksono, ‘Problematika dan Tantangan Desentralisasi Indonesia’, 2012 Vol. 4, No. 1 Bina Praja 22,22 <http://jurnal.kemendagri.go.id/index.php/jbp/article/download/58/55> accessed 2 Oktober 2021 19 Syarir Karim, Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal, (Alauddin University Press 2012), 2-4.

120


Kewenangan penuh yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan menimbulkan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), melemahnya sistem demokrasi serta pembangunan antar daerah yang tidak merata menyebabkan kesenjangan infrastruktur penunjang yang akan berdampak pada terhambatnya pelaksanaan program nasional seperti halnya pada program Tol Laut. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwasannya Indonesia dalam menjalankan pemerintahannya menggunakan sistem desentralisasi, dimana terdapat penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang didasarkan pada asas otonomi daerah. Penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah merupakan sumber kewenangan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan wewenangnya. Akan tetapi, sebagai negara hukum, menurut R.J.H.M Huisman, wewenang pemerintahan tersebut harus berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dalam hal ini pemerintah harus secara jelas menuangkan wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah ke dalam suatu peraturan perundang-undangan.20 Mengenai kewenangan, terdapat 3 (tiga) cara untuk memperoleh kewenangan tersebut yaitu melalui atribusi, delegasi, dan mandat sebagaimana diatur dalam Bagian Keempat Bab V Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurut H.D. van Wijk, sumber kewenangan yang pertama, yaitu atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan kepada organ pemerintahan oleh pembuat undang-undang. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh satu organ kepada organ pemerintahan lainnya. Sumber kewenangan ketiga yaitu mandat, menurut H.D van Wijk mandat terjadi saat organ pemerintahan memberikan izin untuk kewenangannya dijalankan oleh organ lain namun pertanggungjawaban tetap atas nama pemberi mandat.21 Untuk membedakan sumber kewenangan delegasi dan mandat, Philipus M Hadjon mengemukakan bahwa dalam delegasi, pemberian wewenang kepada organ pemerintahan lainnya

Ridwan HR, ‘Hukum Administrasi Negara’ (Jakarta: Rajawali Pers, 2006, hlm. 103), yang dikutip kembali oleh Ali Marwan dan Evlyn Martha J, ‘Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah’, 2018 Vol. 15, No.2 Jurnal Legislasi Indonesia 1, 4 <https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/164> accessed 4 Oktober 2021. 21 Ibid. 20

121


dengan peraturan perundang-undangan dan disertai adanya konsekuensi tanggung jawab serta tanggung gugat yang beralih kepada delegataris. Sehingga, pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang tersebut kecuali dengan adanya pencabutan yang selaras dengan asas contrario actus. Selain itu dalam delegasi tidak ada hubungan hierarki kepegawaian, sehingga bawahan pemberi delegasi tidak diperkenankan menerima delegasi. Pemberi delegasi juga berkewajiban untuk memberikan penjelasan terkait pelaksanaan wewenang serta memberikan peraturan kebijakan mengenai petunjuk terkait penggunaan wewenang tersebut. Sedangkan dalam mandat, pelimpahan tersebut dalam lingkup hubungan atasan bawahan yang sifatnya rutin dan tanggung jawab serta tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Oleh karenanya pemberi mandat masih tetap dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan tersebut.22 Berdasarkan 3 (tiga) sumber kewenangan, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat, dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah memperoleh kewenangannya melalui atribusi dan delegasi. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal ini menjadi sumber kewenangan bagi pemerintah daerah mengenai materi muatan Peraturan Daerah itu sendiri, yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan berdasar atribusi. Berdasarkan pasal tersebut, pemerintah daerah yang menjalankan tugas pembantuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa sumber kewenangan pemerintah daerah juga berasal dari delegasi. Mengenai urusan yang dapat menjadi wewenang pemerintah daerah, berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan tersebut termasuk 22

Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press 2008) 88.

122


ke dalam urusan pemerintahan konkuren, yang berarti urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.23 Lebih lanjut dalam Pasal 11, urusan pemerintahan konkuren terdiri dari urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib sendiri terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.24 Untuk menjalankan urusan pemerintahan tersebut yang kewenangannya didapatkan secara atribusi, pemerintah daerah berkewajiban untuk mengeluarkan peraturan pelaksanaan lebih lanjut atas kewenangan tersebut. Dalam upaya menekan disparitas harga, kebijakan tol laut diadakan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara, tidak hanya terbatas pada pulau Jawa namun mencakup daerah luar pulau Jawa hingga daerah Timur Indonesia. Pada dasarnya tujuan utama diadakannya tol laut seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah mengenai urusan perhubungan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan tol laut ini berada di bawah pengawasan dan pengaturan oleh Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Akan tetapi, sebab kebijakan tol laut ini berkenaan langsung dengan daerah-daerah di Indonesia, maka sudah seyogyanya pemerintah daerah mendapat kewenangan untuk berkontribusi secara langsung dalam mendukung program tol laut. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah secara atribusi, pemerintah daerah dapat membentuk suatu peraturan dalam rangka menampung kondisi khusus daerahnya tersebut. Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, urusan tol laut yang berkaitan dengan perhubungan ini merupakan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Maka sesuai dengan pasal-pasal tersebut pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam mengelola urusan perhubungan yang kewenangannya didapatkan secara atribusi. Berkaitan dengan urusan kebijakan tol laut yang merupakan salah satu upaya penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang, dalam Pasal

23 24

Pasal 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ibid, Pasal 11.

123


33 Perpres 27 Tahun 2021, diatur mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik tersebut, termasuk dalam penyelenggaran kebijakan tol laut. Pada pasal tersebut, salah satu poin yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah mengenai kewajiban untuk melakukan peningkatan perdagangan dengan mendorong pengusaha daerah melalui muatan balik penyelenggaraan tol laut. Akan tetapi, hingga kini perihal muatan balik tol laut masih menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi dalam mengoptimalkan penggunaan tol laut. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar mengatakan bahwa masalah muatan balik dari lokasi tujuan yang masih kosong merupakan kekurangan utama dari program tol laut yang telah dijalankan.25 Sejalan dengan Menko Marves, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga mengatakan bahwasannya yang perlu dioptimalkan dari tol laut adalah persiapan muatan balik dari wilayah 3TP, mengingat tujuan utama dari tol laut dapat tercapai dengan adanya keseimbangan terkait pengiriman antar pulau di Indonesia.26 Dalam mengatasi muatan balik yang kosong tentu pemerintah daerah memiliki andil besar sebab pemerintah daerah lah yang memiliki kewenangan untuk menampung kondisi khusus daerahnya. Sehingga dalam hal ini sudah sewajarnya bahwa pemerintah daerah membentuk sebuah aturan terkait pengoptimalan angkutan barang tol laut dari daerahnya. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasannya kewenangan ini telah tercantum dalam Pasal 33 Perpres 27/2021, namun nyatanya dengan penerapan sistem desentralisasi di Indonesia ini berdampak pada perbedaan kesadaran di tiap pemerintah daerah. Sebagai contoh, Kabupaten Morotai di Kepulauan Maluku telah melakukan peningkatan muatan balik angkutan tol laut dengan memanfaatkan stimulus biaya yang diberikan oleh pemerintah, akan tetapi masih banyak daerah yang belum dapat memanfaatkan stimulus tersebut sehingga muatan balik tol laut masih tetap

Oktiani Endarwati, ‘Soal Tol Laut, Menko Luhut Putar Otak agar Kapal Tak Kosong’ <https://economy.okezone.com/read/2021/06/10/320/2423023/soal-tol-laut-menko-luhut-putar-otak-agarkapal-tak-kosong> accessed 7 Oktober 2021. 26 Hari Darmawan, ‘Menhub: Muatan Balik Tol Laut Harus Terus Dioptimalkan’ <https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/06/10/menhub-muatan-balik-tol-laut-harus-terusdioptimalkan> accessed 7 Oktober 2021. 25

124


kosong.27 Contoh lain yaitu adanya penambahan pelabuhan singgah pada trayek T19 yang dilatarbelakangi atas usulan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua Nomor 552.1/974/PHB tertanggal 14 Juni 2021 tentang Usulan Penambahan Trayek Tetap Tol Laut Tahun Anggaran 2021 Provinsi Papua.28 Usulan tersebut menunjukkan adanya kesadaran dari Pemerintah Daerah Papua terkait pentingnya tol laut. Hal ini menunjukkan bahwa peran pemerintah daerah sangat berpengaruh terhadap tingkat pembangunan tol laut. Untuk meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam pembangunan tol laut, pemerintah pusat masih perlu mengadakan sebuah aturan lebih lanjut dalam mengupayakan masyarakat di daerahnya untuk mendukung kebijakan program tol laut. Akan tetapi, tidak cukup apabila hanya pengaturan wewenang saja seperti yang tertuang dalam Perpres 27/2021, namun juga terkait tolak ukur atau standar minimum yang sifatnya universal. Dengan adanya standar tersebut, nantinya diharapkan pemerintah daerah dapat memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama dalam menindaklanjuti upaya pengoptimalan program tol laut. Selain itu, kunci utama upaya pengoptimalan program tol laut lainnya adalah mengenai pengaturan APBD dengan baik. Hal ini dikarenakan pembangunan fasilitas penunjang tol laut dibiayai dari APBD. APBD tersebut digunakan untuk pembangunan fasilitas penunjang tol laut, pendistribusian komoditas di darat, yang mana harus diikuti dengan adanya subsidi bongkar muat komoditas yang diangkut oleh tol laut. Dalam APBD sendiri terdapat 4 jenis belanja, yakni belanja pegawai, belanja modal, belanja barang dan jasa, dan belanja lainnya.29 Pembangunan sarana penunjang tol laut oleh daerah termasuk dalam rasio belanja modal, hal ini karena pembangunan sarana penunjang tol laut merupakan jenis belanja yang memiliki nilai manfaat lebih dari 12 bulan dan digunakan untuk kegiatan pemerintahan. Mulai tahun 2017, pemerintah daerah harus mengalokasikan 25% anggaran dari Dana Transfer Umum (DTU) untuk belanja modal. Kebijakan tersebut bertujuan agar daerah tidak membelanjakan anggarannya hanya untuk belanja pegawai,

27

Ibid. Ibid. 29 Kementrian Keuangan Republik Indonesia, ‘Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah’ <http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2019/06/Ringkasan-APBD-TA2017.pdf> accessed 7 Oktober 2021. 28

125


namun juga untuk pembangunan daerah sehingga tercapai pemerataan infrastruktur pelayanan publik. Diterapkannya kebijakan tersebut mulai tahun 2017 nyatanya memberi dampak yang signifikan pada pembagian pembelanjaan daerah. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah daerah yang memenuhi

kriteria

pembelanjaan dari tahun 2018 sebanyak 248 daerah menjadi 254 daerah pada tahun 2019. Sejalan dengan hal tersebut, penetapan anggaran minimal juga diterapkan pada sistem pendidikan nasional. Hal ini didasarkan pada Amanat pasal 31 (4) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa dana pendidikan nasional dialokasikan sebesar minimal 20% dari APBN dan 20% dari APBD. Sama seperti kebijakan minimum belanja modal, penetapan anggaran dana pendidikan ini juga bertujuan untuk meratakan tingkat pendidikan di seluruh Indonesia. Kedua kebijakan tersebut merupakan mandatory spending, yang artinya pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Adanya mandatory spending ini menunjukkan bahwa untuk melakukan pemerataan kondisi di seluruh Indonesia diperlukan standar minimal yakni minimal anggaran baik APBN maupun APBD. Kebijakan mandatory spending ini sebenarnya juga dapat diterapkan pada program pembangunan tol laut, karena pembangunan infrastruktur tol laut saat ini merupakan hal yang sangat krusial dan berdampak langsung pada perekonomian masyarakat. Akan tetapi, penetapan persentase APBD minimal untuk pembangunan tol laut bagi daerah-daerah yang ditetapkan sebagai rute tol laut diharapkan dapat meratakan tingkat pembangunan tol laut di berbagai daerah. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa dengan penerapan sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kebijakan tol laut, pemerintah daerah dapat memiliki keleluasaan untuk membuat peraturan dalam rangka menampung kondisi khusus di daerahnya masing-masing. Akan tetapi keleluasan tersebut tidak serta merta menjadi satu-satunya faktor dalam pemerataan pembangunan tol laut. Hal ini dikarenakan dengan penerapan sistem desentralisasi tidak serta merta menyebabkan setiap daerah memiliki tingkat kesadaran yang sama. Padahal, tingkat kesadaran tersebut memiliki pengaruh bagi pengalokasian anggaran maupun prioritas pembangunan, termasuk dalam pemerataan pembangunan tol laut.

126


BAB III PENUTUP Kebijakan tol laut yang ada sejak tahun 2015 hingga kini terus menunjukkan perubahan baik bagi kehidupan perekonomian warga Indonesia khususnya bagi masyarakat di daerah 3TP. Pembaharuan dalam berbagai bidang terkait tol laut kian ditingkatkan, salah satunya mengenai dasar hukum dari kebijakan tol laut. Mulai dari kebijakan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang di laut, yang kemudian dicabut dan diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan yang belum memberikan definisi mengenai tol laut itu sendiri. Hingga pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo menambahkan definisi tol laut sebagai salah satu program pelayanan publik melalui Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan. Perpres tersebut juga mengatur mengenai pendanaan tol laut yang juga bersumberkan dari APBD dan kewenangan lembaga negara terkait yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan tol laut. Sebagai sebuah negara yang menganut sistem desentralisasi, tentu pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam mensukseskan program pemerintah khususnya melalui upaya peningkatan perekonomian masyarakat serta pemerataan pembangunan fasilitas umum. Dalam program tol laut, kebijakan mengenai muatan balik tol laut yang masih kosong serta belum adanya tingkat minimum APBD untuk pembangunan fasilitas penunjang tol laut masih menjadi hambatan utama dalam upaya pengoptimalan program ini. Meskipun pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur daerah serta masyarakat di daerahnya, pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan dalam hal memberikan standarisasi anggaran daerah dan aturan serta sosialisasi guna peningkatan muatan balik tol laut bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangannya untuk mendukung tercapainya tujuan dari tol laut itu sendiri. Harapannya, dengan adanya kebijakan tersebut, nantinya seluruh pemerintah daerah dapat memiliki pandangan yang sama terkait urgensi 127


penyelenggaraan tol laut. Dengan adanya kesepahaman antar daerah mengenai program tol laut ini, tujuan dari tol laut yaitu menghilangkan disparitas harga antar daerah dapat dijalankan dengan optimal dengan dukungan pemerintah daerah sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan di daerahnya.

128


DAFTAR BACAAN BUKU Hadjon, Philipus M., dkk. Pengantar Hukum Administrasi, (Gadjah Mada University 2008). Hendratno, Edie Toet. Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, (Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press 2009). Syarir, Karim, Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal, (Alauddin University Press 2012).

JURNAL ONLINE Anugroho, Adhi, ‘Analisa Yuridis Terhadap Asas Efisiensi Berkeadilan Berdasarkan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Ketenagalistrikan’, 2017 Vol. 47, No. 2 Jurnal Hukum & Pembangunan <http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/1451/pdf> diakses pada 28 September 2021. Kristian Widya Wicaksono, ‘Problematika dan Tantangan Desentralisasi Indonesia’, 2012

Vol.

4,

No.

1

Jurnal

Bina

<http://jurnal.kemendagri.go.id/index.php/jbp/article/download/58/55>

Praja diakses

pada 2 Oktober 2021. Marwan, Ali dan Evlyn Martha J, ‘Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah’, 2018 Vol. 15, No.2 Jurnal Legislasi Indonesia <https://ejurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/164> diakses pada 4 Oktober 2021. Puasa, Rafli Rilandi, dkk, ‘Kewenangan Pemerintah Desa Dalam Peningkatan Perekonomian di Desa Mahangiang Kecamatan Tagulandang Kabupaten Kepuauan Sitaro’, 2018 Vol. 1, No.1 Jurnal Jurusan Ilmu Pemerintahan <https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/view/21120/2083 1> diakses pada 4 Oktober 2021. Silow, Hendro Christian, ‘Kajian Hukum Penerapan Asas Desentralisasi Terhadap Pemerataan Pembangunan Daerah di Indonesia’, 2015 Vol. III No. 3 Lex Administratum

129


<https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/7636> diakses pada 25 September 2021.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI Lutvia Nur Vitasari,’Analisis Evaluasi Implementasi Kebijakan Tol Laut’, (Tesis, Institut Teknologi Sepuluh November 2017).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601). Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang dari dan ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 99). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang di Laut (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 172).

130


TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN DENDA ELECRONIC TRAFFIC LAW ENFORCEMENT (ETLE) BAGI PELANGGAR LALU LINTAS DIKAITKAN DENGAN PERAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA Arya Alfiansyah aryaalfiansyah123@gmail.com Universitas Airlangga

ABSTRAK Karya ilmiah ini dilatarbelakangi dari inovasi Kepolisian Republik Indonesia dalam upaya meningkatkan kepatuhan hukum di masyarakat berupa ETLE atau e-tilang, yang didasarkan pada ketentuan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012. Dalam penerapannya, pihak pelanggar diberikan sanksi denda yang harus dibayar sesuai pasal yang dilanggarnya, sehingga diharuskan untuk membayar denda secara maksimal dengan tetap berdasarkan penetapan Hakim pemeriksa perkara tilang tersebut. Kewenangan penentuan sanksi denda diberikan kepada hakim karena pihak kepolisian hanya menentukan denda maksimal. Penentuan sanksi denda oleh hakim tersebut didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim, sehingga penentuan denda tidak disamaratakan. Karya ilmiah ini disusun dengan tujuan supaya masyarakat pada umunya dapat mengetahui dan memahami bahwa penentuan denda pada ETLE diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu didasarkan pada bahan-bahan hukum dari beberapa literature yang merupakan proses mendapatkan prinsip hukum, aturan hukum begitu juga dengan doktrin-doktrin demi mengetahui isu-isu hukum yang sedang dihadapi, dengan diterapkan juga pendekatan perundang-undangan berkaitan dengan peraturan perundang-undangan khususnya pada pengaturan hukum mengenai penerapan denda ETLE. Kata Kunci: Denda; ETLE; Hakim

ABSTRACT This scientific work is motivated by the innovation of the Indonesian National Police in an effort to increase legal compliance in the community in the form of ETLE or e-tickets, which are based on the provisions of Law No. 11 of 2008, Law No. 22 of 2009, and Government Regulation No. 80 of 2012 In its application, the violator is given a fine that must be paid according to the article he violated, so that he is required to pay the maximum fine based on the determination of the Judge examining the ticketing case. The authority to determine fines is given to judges because the police only determine the maximum fine. The determination of the fine by the judge is based on the legislation and the judge's conviction, so that the determination of the fine is not generalized. This scientific work was prepared with the aim that the public in general can know and understand that the determination of fines for ETLE is left entirely to the judge. This scientific work uses a normative legal research method, which is based on legal materials from several literatures which is the process of obtaining legal principles, the rule of law as well as doctrines in order to find out the legal issues being faced, by applying a statutory approach. related to laws and regulations, especially on legal arrangements regarding the application of ETLE fines. Keywords: Fine Penalty; ETLE; Judge

131


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Salah satu negara yang yang berdasarkan hukum yaitu Indonesia yakni sebagaimana amanat dari konstitusi UUD 1945 yang termuat pada Pasal 1 ayat (3). Dengan dianutnya asas negara hukum tersebut, maka berkonsekwensi bagi Negara Indonesia bahwasanya dalam setiap mengatur segala aspek kehidupan di masyarakat harus didasarkan dengan hukum positif. Dengan kata lain, negara tersebut harus dilandaskan pada hukum dalam setiap penyelenggaraannya.1 Amanat dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pun dipertegas melalui Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yakni pada pokoknya menjelaskan mengenai perwujudan Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia, dalam hal ini penjaminan HAM yang dicantumkan pada hukum positif.2 Adanya era globalisasi ini kemudian berdampak pada perkembangan teknologi informasi yang mempermudah masyarakat dalam beraktifitas sehari-hari, sehingga lebih berjalan secara efektif dan efisien. Salah satu dampak tersebut berpengaruh pada aspek pelayanan publik, yang dewasa ini berorientasi pada teknologi informasi supaya dapat memberikan pelayanan masyarakat yang prima. Adapun strategi tersebut pun sesuai amanat dari Inpres No. 3 Tahun 2003, melalui pemanfaatan TIK pada penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan pelayanan publik itu sendiri mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat serta terciptanya keadilan sosial bagi semuanya tanpa terkecuali, dengan diwujudkan oleh pemerintah melalui fungsi-fungsi yang beraneka ragam3 dengan semata-mata mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Salah satu lembaga yang mengimplementasikannya yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka peningkatan kualitas layanan publik untuk

1

Ahmad Redi dan Ibnu Sina Chandranegara, Omnibus Law: Diskursus Pengadopsiannya Ke Dalam Sistem Perundang-Undangan Nasional (PT Raja Grafindo Persada 2020) 185. 2 A.H. As’ari Taufiqurrohman, Urgensi Penerapan Konsep Godly Constitution (Konstitusi Dengan Berdasar Nilai Ketuhanan) Dalam Pengujian Perkara Konstitusional di Mahkamah Konstitusi (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan Kepaniteraan dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi 2018) 2. 3 Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik (Pembaharuan 2005) 4.

132


mewujudkan pemerintahan yang dilandaskan elektronik supaya tercapai suatu pelayanan yang lebih transparan, adil, efektif, dan efisien, serta sejala dengan fungsi pelayanan dari kepolisian sebagaimana didasarkan pada UU No. 2 Tahun 2002. Pelanggaran hukum di Indonesia memang sering terjadi, salah satunya dalam hal berlalu-lintas. Semakin besar suatu daerah atau kota, maka akan tinggi pula tingkat pelanggaran lalu lintasnya karena berkaitan dengan jumlah penduduk, aktivitas penduduk, dan sarana mobilisasi penduduk yang bersinggungan dengan aktivitas di jalan raya. Sebagai pengguna jalan, manusia yang tidak patuh terhadap peraturan lalu lintas merupakan faktor utama tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas, meskipun terdapat beberapa faktor lain seperti kondisi jalan, kondisi kendaraan, dan sebagainya.4

Oleh

karena

itu,

Kepolisian

Negara

Republik

Indonesia

mengembangkan inovasi pelayanan publiknya melalui penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) yang kemudian sering disebut dengan istilah E-Tilang, sebagai wujud pemanfaatan TIK dalam tindakan preventif kepolisian untuk menanggulangi pungutan liar pada saat penindakan pelanggaran lalu lintas dengan tilang. Pemberlakuan E-Tilang maupun ETLE ini tentunya tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 22 Tahun 2009 (UU LLAJ) yang pada pokoknya dalam penegakan hukumnya dapat dipergunakan peralatan berbasis elektronik.5 Adapun produk elektronik tersebut nantinya bisa dijadikan alat bukti oleh pihak kepolisian untuk diajukan di persidangan. Pengertian dari peralatan elektronik yaitu alat perekam kejadian untuk menyimpan informasi, yang kebijakan tersebut diatur secara khusus melalui PP No. 80 Tahun 2012 yakni pada pokoknya terdapat 3 (tiga) hasil yang dapat didasarkan seperti temuan dalam proses pemeriksaan kendaraan, laporan, dan/atau rekaman peralatan elektronik6. Dalam menunjang pelaksanaan E-Tilang maupun ETLE ini, kemudian Mahkamah Agung bersinergi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang berkedudukan sebagai instansi yang mengelola penyelenggaraan lalu lintas. Upaya penindakan pelanggaran dalam berlalu lintas secara elektronik merupakan suatu hal Muhar Junef, ‘Perilaku Masyarakat Terhadap Operasi Bukti Pelanggaran (Tilang) Dalam Berlalu Lintas’, 2014 Vol. 1 No. 1 E-Journal Widya Yustisia, 53. 5 Pasal 275 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 6 Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 4

133


yang bersinergi dengan peradilan elektronik.7 Penerbitan kebijakan khusus oleh Mahkamah Agung dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang dilandaskan pada asas sederhana, cepat, dan biaya ringan untuk membuka akses yang luas bagi masyarakat dalam memperoleh keadilan. Oleh karena itu, meskipun penindakan pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh pihak kepolisian menggunakan sistem E-Tilang, namun Hakim pada Pengadilan Negeri tetap berperan penuh dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang diajukan terhadapnya.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 1.

Bagaimana implementasi Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) bagi pelanggar lalu lintas?

2.

Bagaimana peran Hakim pada Pengadilan Negeri untuk menetapkan denda dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang didasarkan pada Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE)?

1.3 Dasar Hukum Landasan hukum pada penyusunan karya ilmiah ini, Penulis mendasarkan pada beberapa peraturan / kebijakan yang relevan sebagai berikut:

1.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Caara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

4.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas.

7

Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas.

134


5.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemblokiran Regident Kendaraan Bermotor.

135


BAB II ANALISIS

2.1

Implementasi Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) bagi Pelanggar Lalu Lintas Cikal bakal E-Tilang atau ETLE ini pertama kali diluncurkan pada bulan Desember tahun 2016 oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni merupakan aplikasi tilang berbasis elektronik. Berdasarkan Lamp. Keputusan Ka. Korps. Lalu Lintas Polri Nomor: KEP/12/2016 menyatakan, “Aplikasi e-Tilang adalah sebuah program berbasis android yang digunakan petugas bersamasama dengan aplikasi web oleh Bagian Administrasi (Banim) Tilang untuk mencatat data penilangan secara digital dan memberikan non pembayaran online pada Bank yang ditunjuk”8. Aplikasi E-Tilang bertujuan pada prinsipnya guna peningkatan pelayanan masyarakat dan menindak lanjuti Program Prioritas Kepala Kepolisian Republik Indpnesia: “Peningkatan Pelayanan Publik yang lebih mudah dan berbasis TI” dengan target memberikan kemudahan dan kecepatan dalam pembayaran denda tilang serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk selalu mentaati peraturan lalu lintas di jalan. Penerapan E-Tilang sebagai inovasi penindakan pelanggaran lalu lintas yang saat ini sudah tidak secara konvensional dengan sistem tilang manual yang menggunakan blangko atau surat tilang9, namun berbasis elektronik. Tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan E-Tilang maupun ETLE ini yaitu: a.

Mengurangi tindakan pemerasan / penyuapan di lapangan;

b.

Pemberantasan calo-calo, baik dari masyarakat maupun petugas;

c.

Supaya pelanggar menjadi jera;

d.

Penunjang pemberian pelayanan prima kepada masyarakat;

e.

Bersifat transparan; dan

f.

Bentuk modernisasi berbasis elektronik.

Yoga Dwi Arjuna, ‘Implementasi Program E-Tilang Dalam Penegakan Hukum Pelanggaran Lalu Lintas di Wilayah Hukum Polres Banyumas’ (2020) 4 No. 1 Advances in Police Science Research Journal 28. 9 Uni Sabadina, ‘Penerapan E-Tilang Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas’, (2020) 1 No. 1 Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 61. 8

136


Mekanisme dalam penerapan ETLE yaitu: pertama, perangkat secara otomatis menangkap pelanggaran lalu lintas melalui kamera tilang yang telah dipasang pada titik tertentu dan mengirimkan barang bukti pelanggaran ke back office ETLE di Regional Traffic Management Centre (RTMC) Polda. Kedua, pengidentifikasian data kendaraan dilakukan petugas menggunakan Electronic Registration & Identifikasi (ERI). Ketiga, petugas mengirimkan surat konfirmasi ke alamat pelanggar sebagai permohonan konfirmasi atas pelanggaran yang terjadi. Keempat, pelanggar akan melakukan konfirmasi dan klarifikasi via website atau datang langsung ke kantor Subdirektorat Penegakan Hukum Polda sebagaimana jadwal yang telah ditetapkan dalam surat apabila terdapat sanggahan mengenai pelanggaran maka dapat disampaikan pada kesempatan ini. Tahap kelima, setelah dilakukan konfirmasi, petugas akan menerbitkan tilang dengan metode pembayaran dengan kode virtual account Briva (Bank BRI) untuk setiap pelanggaran yang telah terverifikasi untuk penegakan hukum. Selain kamera tilang elektronik yang sudah dipasang pada titik tertentu, untuk memperluas penindakan, petugas juga menggunakan kamera tilang elektonik mobile yang terpasang pada tubuh dan helm, serta dashboard mobil patroli. Nantinya petugas tidak lagi melakukan tilang manual. Tilang manual hanya dilakukan pada wilayah yang belum menerapkan ETLE yang belum menjangkau seluruh wilayah Indonesia.10 Jenis pelanggaran dan sanksi yang diterapkan dalam ETLE ini ada 6 (enam) jenis sebagai berikut: a.

Menerobos lampu lalu lintas (Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ) dengan sanksi kurungan 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

b.

Menggunakan HP (handphone) saat berkendara (Pasal 283 UU LLAJ) dengan sanksi kurungan 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah);

c.

Tidak mengenakan sabuk pengaman (Pasal 106 ayat 6 UU LLAJ) dengan sanksi kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah);

Noverdi Puja Saputra, ‘Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) dan Permasalahannya’ (2021) XIII No. 7 Jurnal Bidang Hukum Info Singkat, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 2. 10

137


d.

Tidak mengenakan helm SNI (Pasal 106 ayat 8 UU LLAJ) dengan sanksi kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah);

e.

Melanggar marka dan rambu lalu lintas (Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ) dengan sanksi kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan

f.

Berboncengan lebih dari satu (Pasal 292 jo. Pasal 106 ayat 9 UU LLAJ) dengan sanksi kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Berbagai jenis pelanggaran yang menjadi fokus dalam penerapan ETLE. Jika dilihat sebenarnya sanksi yang terdapat dalam UU LLAJ yang diterapkan dalam penegakan ETLE cukup untuk membuat seseorang berpikir dua kali untuk melanggar lalu lintas. Apalagi dalam penerapan ETLE ini denda yang dikenakan adalah denda maksimal dari setiap pelanggaran. Pengenaan denda tentunya telah diberitahukan terlebih dahulu oleh petugas pada saat pelanggar melakukan konfirmasi atas pelanggaran lalu lintas yang telah dilakukan. Apabila sanksi sebagaimana disebutkan tidak dilakukan oleh pelanggar, maka Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) akan diblokir11 sementara sampai dengan dilakukan pembayaran oleh pelanggar sebelum perpanjangan STNK. Apabila pelanggar tetap tidak membayar sampai perpanjangan STNK maka akan ditagihkan pada saat perpanjangan STNK tersebut.

2.2

Peran Hakim pada Pengadilan Negeri untuk menetapkan denda dalam penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas yang didasarkan pada Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) Tugas utama pengadilan termasuk di dalamnya Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni menerima, memeriksa, dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan sudah menjadi kelaziman dan keharusan apabila tugas pokok pengadilan tersebut dilakukan dan menjadi kewajiban para hakim

11

Pasal 115 ayat (5) Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemblokiran Regident Kendaraan Bermotor.

138


untuk menyelesaikan permasalahan yang selalu akan dihadapinya sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, bagi para hakim diperlukan segala rambu-rambu peraturan yang harus dipatuhinya dalam melaksanakan kewajibannya tersebut. Tuntutan bagi hakim tersebut, tidak lain adalah merupakan konsekuensi hukum dan profesionalitas hakim dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan melalui badan-badan peradilan. Adanya independensi hakim dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman melalui badan-badan peradilan negara, dimaksudkan agar hakim benar-benar dapat mandiri, bebas dan merdeka dari segala sesuatu campur tangan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam memeriksa, megadili dan memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat 3 (tiga) acara pemeriksaan pidana yaitu biasa, singkat, dan cepat, di mana penggolongan tersebut didasarkan pada bentuk corak perkaranya. Dengan kata lain, apabila jenis perkaranya biasa, maka harus diselesaikan dengan acara pemeriksaan biasa, apabila jenis perkaranya masuk kategori ketentuan Pasal 203 KUHAP, maka diperiksa menggunakan acara singkat. Dan apabila jenis perkaranya ada ancaman pidana penjara ataupun kurungan maksimal 3 (tiga) bulan dan/atau denda maksimal Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) serta terhadap penghinaan ringan maupun perkara lalu lintas, hal tersebut diadili menggunakan acara cepat.12 Adapun dalam hal upaya penindakan pelanggaran lalu lintas, dapat dilihat beberapa ketentuan yang mengaturnya yaitu:

a.

Paragraf 2 Bagian Keenam Bab XVI, Pasal 211-216 KUHAP.

b.

UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 22 tahun 2009.

12

c.

PP Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan.

d.

PP Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan di Jalan.

e.

PP Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu lintas Jalan.

f.

PP Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi.

Rusli Muhammad, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial (UII Press

2013) 63.

139


g.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 22 Tahun 1983 tentang pidana denda dalam perkara cepat harus segera dilunasi.

h.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1989 tentang pidana kurungan dalam perkara lalu lintas.

i.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan tata cara penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas jalan tertentu.

Dalam pemeriksaan pelanggar lalu lintas di persidangan, maka hal tersebut dapat dikatakan sederhana, tidak seperti acara pemeriksaan yang lainnya karena diterapkan tanpa adanya dakwaan maupun berita acara persidangan, bahkan putusan hakim pemeriksa perkaranya pun tidak dibuat dengan adanya kepala putusan seperti pada umumnya, atau dengan kata lain putusan dalam perkara lalu lintas mengecualikan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Kesederhanaan bentuk putusan tersebut:13 a.

Putusan dalam bentuk catatan saja yang dituliskan hakim pada formulir atau surat tilang yang diberikan oleh penyidik;

b.

Amar putusan hakim dalam perkara lalu lintas adalah berupa catatan saja, misalnya ada nominal denda, pasal yang dilanggar, tanda tangan / paraf hakim, biaya perkara, dan sebagainya.

c.

Panitera mencatat isi putusan ke dalam register. Isi putusan yang terdapat dalam catatan diambil alih oleh panitera ke dalam catatan buku register perkara pelanggaran lalu lintas.

Dalam KUHAP, tindak pidana pelanggaran lalu lintas dikategorikan sebagai tipiring (tindak pidana ringan) yang pemeriksaannya menggunakan acara cepat sebagaimana ketentuan BAB XVI KUHAP. Pelanggaran lalu lintas yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 211 KUHAP pada pokoknya adalah: a.

Menggunakan jalan dengan membahayakan pengguna jalan yang lain serta menimbulkan kerusakan jalan;

b.

Pada saat berkendara tidak dapat menunjukkan surat-surat resmi, misalnya SIM, STNK, tanda ijin kendaraan, dan sebagainya;

13

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Sinar Grafika 2005) 146

– 147.

140


c.

Melakukan pembiaran orang lain mengemudikan kendaraan bermotor tanpa adanya SIM; dan

d.

Tidak menggunakan sarana kendaraan bermotor dengan tepat dan benar,

misalnya

lampu

kendaraan,

kapasitas

penumpang,

peralatan/perlengkapan, dan sebagainya. Apabila pelanggar dikenakan sanksi tilang ETLE oleh pihak kepolisian, maka selanjutnya pelanggar tersebut harus menerima sanksi, baik berupa kurungan atau denda, meskipun apabila pelanggar lalu lintas yang mendapatkan “surat cinta” dari kepolisian tersebut ternyata diduga error in persona, penerima “surat cinta” dapat mengajukan keberatan ataupun konfirmasi terhadap sanksi tersebut. Tahapan persidangan pelanggaran lalu lintas dapat dilihat secara khusus pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016, yang menugaskan secara khusus pengadilan yang berwenang dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran lalu lintas adalah Pengadilan Negeri, dengan diperiksa oleh seorang Hakim tunggal berdasarkan penunjukan dari Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri untuk menangani perkara pelanggaran lalu lintas.14 Proses persidangan tersebut dilakukan tidak memerlukan kehadiran pelanggarnya, yang mana nantinya pengadilan negeri melalui hakim pemeriksa perkara akan menentukan besaran denda masing-masing pelanggar sesuai pasal yang dilanggarnya dengan dipublikasikan melalui website resmi maupun papan pengumuman, sehingga apabila ada pihak yang tidak menerima hasil yang ditetapkan hakim tersebut, khususnya dalam hal perampasan kemerdekaan, maka terhadapnya bisa mengajukan upaya hukum perlawanan pada hari diumumkannya tersebut, sebagaimana ketentuan pada Pasal 7 ayat (1), (2), (3), dan (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016. Seperti yang telah dijelaskan di atas, maka jenis pelanggaran yang dapat diterapkan pada ETLE yaitu ada 6 (enam) hal, yaitu menerobos lampu lalu lintas (Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ), menggunakan HP (handphone) saat berkendara (Pasal 283 UU LLAJ), tidak mengenakan sabuk pengaman (Pasal 106 ayat 6 UU LLAJ), tidak mengenakan helm SNI (Pasal 106 ayat 8 UU LLAJ), melanggar marka dan

14

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas.

141


rambu lalu lintas (Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ), dan berboncengan lebih dari satu (Pasal 292 jo. Pasal 106 ayat 9 UU LLAJ), dengan penerapan sanksi denda maksimal bagi tiap-tiap pasal tersebut. Penerapan sanksi denda maksimal tersebut dikarenakan pihak kepolisian tidak berwenang menentukan besaran denda yang akan dijatuhkan kepada pelanggar lalu lintas, sehingga pihak kepolisian hanya bisa menjatuhkan sanksi denda maksimal. Kewenangan hakim dalam menentukan besaran sanksi denda tersebut adalah mutlak karena hakim nantinya akan melihat dan menilai kasus per kasus pelanggaran lalu lintas, serta tidak disamaratakan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim tersebut.

142


BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan a.

Bahwa ETLE diluncurkan sebagai upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam meningkatkan pelayanan publik berbasis elektronik supaya pelaksanannya dapat berjalan transparan, efektif, dan efisien, dengan penerapan ETLE ini ditujukan pada 6 (enam) hal jenis pelanggaran lalu lintas, yaitu menerobos lampu lalu lintas (Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ), menggunakan HP (handphone) saat berkendara (Pasal 283 UU LLAJ), tidak mengenakan sabuk pengaman (Pasal 106 ayat 6 UU LLAJ), tidak mengenakan helm SNI (Pasal 106 ayat 8 UU LLAJ), melanggar marka dan rambu lalu lintas (Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ), dan berboncengan lebih dari satu (Pasal 292 jo. Pasal 106 ayat 9 UU LLAJ).

b.

Bahwa Hakim berwenang penuh menentukan besaran sanksi denda pada pelanggaran lalu lintas berbasis ETLE maupun E-Tilang yang didasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman dan PERMA No. 12 Tahun 2016.

3.2

Saran Diharapkan kepada pemerintah maupun Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk gencar melakukan sosialisasi ETLE kepada masyarakat serta meningkatkan sarana dan prasarana penunjang ETLE supaya dapat diwujudkan ketertiban berlalu lintas yang maksimal.

143


DAFTAR BACAAN BUKU Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Sinar Grafika 2005). Kurniawan A, Transformasi Pelayanan Publik, (Pembaharuan 2005). Muhammad R, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial, (UII Press 2013). Redi A. dan Ibnu Sina Chandranegara, Omnibus Law: Diskursus Pengadopsiannya Ke Dalam Sistem Perundang-Undangan Nasional, (PT Raja Grafindo Persada 2020). Taufiqurrohman A.H. As’ari, Urgensi Penerapan Konsep Godly Constitution (Konstitusi Dengan Berdasar Nilai Ketuhanan) Dalam Pengujian Perkara Konstitusional di Mahkamah Konstitusi, (Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan Kepaniteraan dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi 2018).

JURNAL Arjuna Y. D., ‘Implementasi Program E-Tilang Dalam Penegakan Hukum Pelanggaran Lalu Lintas di Wilayah Hukum Polres Banyumas’ (2020) 4 No. 1 Advances in Police Science Research Journal. Junef M, ‘Perilaku Masyarakat Terhadap Operasi Bukti Pelanggaran (Tilang) Dalam Berlalu Lintas’, (2014) 1 No. 1 E-Journal Widya Yustisia. Sabadina U, ‘Penerapan E-Tilang Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas’ (2020) 1 No. 1 Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), Pusat Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saputra N. P, ‘Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) dan Permasalahannya’ (2021) XIII No. 7 Jurnal Bidang Hukum Info Singkat, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara 5025).

144


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara 5076). Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Caara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara 5346). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemblokiran Regident Kendaraan Bermotor.

145


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGENDARA DAN PENGGUNA JASA TRANSPORTASI ONLINE DI MASA PANDEMI COVID-19 Alya Dwiputri Raniah alyadpr12@gmail.com Universitas Airlangga

ABSTRAK Transportasi adalah salah satu bentuk sarana yang memiliki peranan penting dalam memudahkan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari dan juga memiliki faktor penting dalam melancarkan perkembangan sektor kegiatan perekonomian. Indonesia sendiri telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Hukum Transportasi yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas Angkutan Jalan dimana dalam Undang-Undang ini mengatur mengenai tujuan dari transportasi itu sendiri. Akan tetapi, permasalahan mengenai bagaimanakah perlindungan hukum bagi pengendara dan pengguna jasa khususnya transportasi online pada saat ini mengundang berbagai polemik di kehidupan masyarakat. Pandangan pro dan kontra masih menghiasi dalam benak pikiran masyarakat Indonesia dan terutama pemerintah. Oleh karena itu, jurnal ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih lanjut terkait perlindungan hukum terhadap pengendara dan pengguna jasa transportasi online di masa pandemi Covid-19 dalam bentuk langkah pencegahan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yang merugikan pengendara dan pengguna jasa transportasi online. Kata Kunci: Perlindungan Hukum; Pengendara Jasa Transportasi Online; Pengguna Jasa Transportasi Online

ABSTRACT Transportation is one form of facility that has an important role in facilitating human activities in daily life and has an important factor in facilitating the development of the sector of economic activity. Indonesia itself already has laws and regulations governing Transportation Law, namely Law Number. 22 of 2009 concerning Road Transport Traffic which in this Law regulates the purpose of the transportation itself. However, the issue of how to provide legal protection for motorist and service users, especially online transportation that currently invites various polemics in people live. The views of the pros and cons still adorn the minds of the Indonesians people and especially the government. Therefore, this journal is intended to examine more deeply about legal protection for motorist and users of online transportation services during the pandemic in the form of preventive measures if something unwanted happens that harms drivers and user for online transportation services. Keywords: Legal Protection; Driver of Online Transportation Services; Users of Online Transportation Services

146


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Transportasi adalah satu dari beberapa bentuk sarana dimana mempunyai peran penting terhadap inisiasi aktivitas manusia dan juga memiliki faktor penting dalam melancarkan perkembangan sektor kegiatan perekonomian terutama di situasi pandemi Covid-19 yang tengah terjadi salah satunya Indonesia. Transportasi memiliki pengaruh yang sangat besar khususnya memperlancar aktivitas manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh beberapa faktor diantaranya, letak geografis Indonesia yang menghubungkan dari ribuan pulau kecil hingga pulau besar, sehingga transportasi sangat diperlukan untuk menjangkau seluruh wilayah di Indonesia.1 Indonesia sendiri juga telah mengatur mengenai hal tersebut yang terdapat pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dimana kita mengetahui jika lalu lintas dan angkutan jalan dalam hal ini mempunyai peran penting guna mendukung pembangunan nasional demi mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Tak hanya itu saja, dengan adanya ketentuan tersebut juga sebagai salah satu langkah yang diciptakan untuk tetap mewujudkan keamanan dan keselamatan dalam berlalu lintas. Undang-Undang ini sebenarnya merupakan bentuk revisi dari UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mana UU No. 14 Tahun 1992 ini dicabut, sehingga dinyatakan tidak berlaku lagi dengan maksud sudah tidak relevan dengan kondisi yang berkembang sekarang, maka Undang-Undang ini diubah peraturan perundang-undangan terbaru. UndangUndang ini juga menerapkan dalam beberapa asas salah satunya asas transparan. Dimana dalam hal ini penulis yakin dengan menerapkan prinsip asas transparansi ini akan meningkatkan keyakinan pada diri warga masyarakat untuk menerima informasi yang sebenar-benarnya, jujur, dan adil tanpa menyebabkan timbulnya diskriminatif dari berbagai pihak.

1 Bagus Raditya dan I Gede Putra, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Menggunakan Jasa Transportasi Online Uber Dan Grab di Indonesia' (2017) Vol. 5 No. 2, Kertha Semayatahal, 2, <https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/21027> accessed 27 september 2021.

147


Di era globalisasi yang semakin pesat ini, semua orang menuntut kemudahan. Sehingga, perkembangan transportasi online pun muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan transportasi berbasi online ini muncul ketika kondisi transportasi di Indonesia dapat dikatakan belum sistematis dan sempurna seperti masih adanya kemacetan berkepanjangan yang menyebabkan polusi udara.2 Munculnya beberapa perusahaan transportasi berbasis online seperti Gojek, Grab, Uber, Maxim, dan lainnya. menurut sebagain orang yang lebih mengutamakan kemudahan akan berdampak positif dari segi kemudahan, biaya yang terjangkau, dan kecepatan dalam bertransaksi. Akan tetapi, hal ini juga menimbulkan dampak negatif dimana jika semakin banyak oang yang beralih profesi untuk menjadi pengendara transportasi online dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat terutama bagi pengendara angkutan umum lainnya, serta dapat mengakibatkan kemacetan di jalan raya jika dalam hal ini pemerintah tidak segera menanganinya. Namun, dalam hal tersebut tidak serta merta dengan adanya ketentuan tersebut tidak berarti bahwa hal itu dapat berjalan mulus seperti yang inginkan. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari benak pikiran masyarakat mengenai apakah terdapat kepastian hukum bagi pengendara dan pengguna jasa transportasi terutama transportasi online yang tengah berkembang di dalam kehidupan masyarakat terutama di masa pandemi saat ini. Kepastian hukum dan penegakan hukum mengenai hal tersebut merupakan hal terpenting sebagai bentuk langkah preventif, sehingga tidak terjadi kasus kecelakaan atau kasus lainnya yang tidak diinginkan dalam ruang lingkup bertransportasi.

1.2

Rumusan Masalah 1.

Apa definisi mengenai pengendara jasa transportasi online dan pengguna jasa transportasi online?

2.

Bagaimana kaitan antara perlindungan hukum dan HAM, serta UU Perlindungan Konsumen terhadap pengendara dan pengguna jasa transportasi online?

2 Ayu Aziah dan Popon Rabia A., ‘Analisis Perkembangan Industri Transportasi Online di Era Inovasi Disruptif (Studi Kasus PT Gojek Indonesia)’ (2018) 18 Cakrawala Jurnal 149, 149.

148


3.

Apa langkah preventif yang dapat dilakukan untuk menghindari atau mengurangi insiden kecelakaan dalam berlalu lintas?

1.3

Dasar Hukum terkait Perlindungan Hukum bagi Pengendara dan Pengguna jasa Transportasi Online di Masa Pandemi Covid-19, antara lain: 1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

3.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Merujuk pada pembahasan kali ini mengenai “Perlindungan Hukum Bagi

Pengendara dan Pengguna Jasa Transportasi Online di Masa Pandemi Covid-19”. Oleh karena itu, penulis akan menelaah, mengkaji, dan membahas mengenai UU No. 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta menganalisis keterkaitannya dengan UU Perlindungan Konsumen yaitu UU No. 8 Tahun 1999.

149


BAB II ANALISIS

2.1

Definisi Pengendara dan Pengguna Jasa Transportasi Online Pengendara merupakan seseorang yang membawa Kendaraan Bermotor di jalanan dan memiliki Surat Izin saat Mengemudi sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 1 angka 23 UU LLAJ, hal ini dimaksudkan bagi semua warga negara yang mengendarai kendaraannya wajib memiliki Surat Izin Mengemudi berdasarkan ketentuan Pasal 77 UU No. 22 Tahun 2009.3 Pasal 81 juga menyebutkan mengenai syarat pembuatan SIM atau Surat Izin mengemudi yang mana digolongkan dari beberapa persyaratan antara lain persyaratan usia, adminstratif, tes kesehatan jasmani dan rohani, dan lulus ujian. Persyaratan usia yang dimaksud adalah SIM A, SIM C, dan SIM D, minimal usia 17 tahun (tujuh belas), untuk SIM B I minimal usia 20 tahun, dan untuk SIM B II minimal usia 21 tahun. Sedangkan, persyaratan administratif yang dimaksud adalah KTP, melengkapi lembar isian permohonan, serta sidik jari. Sebagaimana syarat kesehatan yang dimaksud adalah sehat jasmani dan sehat rohani dengan surat diterima tes psikologi, serta syarat lulus ujian yang dimaksud adalah ujian teori, praktik, dan keterampilan melalui simulator telah dinyatakan diterima.4 Kendaraan yang dimaksud berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan menyebutkan bahwasanya kendaraan terbagi atas 2 jenis yaitu : Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Dilanjutkan pula pada ayat berikutnya bahwa kendaraan motor yang dimaksud adalah sebagai berikut : sepeda motor roda dua, mobil penumpang, bus, mobil barang, dan juga kendaraan khusus. Kendaraan bermotor dalam hal ini diklasifikasikan pula dari fungsinya yaitu kendaraan bermotor pribadi & kendaraan bermotor umum. Sedangkan, jenis kedua adalah kendaraan tidak bermotor yang dapat dikelompokkan menjadi dua (2)

3

Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Widyananda Altriara M., ‘Bentuk Dan Jenis Sanksi Yang Bisa Dikenakan Terhadap Pengendara Mobil Tersebut Dan Tanggungjawab Pemerintah Dalam Menyelenggarakan Keselamatan Lalu Lintas’, Skripsi Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, hal.19. <http://repository.unair.ac.id/11062/8/8.%20Bab%202.pdf.> 4

150


jenis yaitu kendaraan tidak bermotor dijalankan oleh tenaga orang dan tenaga hewan.5 Dalam ketentuan berikutnya juga menjelaskan mengenai teknis persyaratan dan syarat laik jalan kendaraan bermotor sebagaimana disebutkan secara jelas pada ketentuan Pasal 48. Sebagaimana maksud dari Pasal ini adalah kendaraan bermotor harus memenuhi beberapa persyaratan teknis antara lain adalah penyusunan, kelengkapan, ukuran, karoseri, rancangan teknis kendaraan berdasarkan peruntukannya atau penggunaannya, pemuatan, penggunaan, penggandengan kendaraan bermotor, dan penempelan kendaraan bermotor. Selain itu, ketentuan Pasal 48 ayat (3) ini juga menyebutkan mengenai persyaratan kendaraan layak jalan antara lain emisi gas buang berfungsi dengan baik, kebisingan suara tidak mengganggu, keefesienan komposisi rem utama berjalan dengan baik, koordinasi rem, roda depan, klakson, lampu utama, kondisi ban, dan lainnya berfungsi baik.6 Dapat dikatakan bahwa pengguna jasa dalam hal ini adalah individu ataupun badan hukum yang memanfaatkan jasa Perusahaan transportasi terkait pembahasan kali ini adalah perusahaan transportasi online. Namun, permasalahan muncul terhadap Undang-Undang ini, bagaimana pengklasifikasian terhadap transportasi online yang telah muncul dibeberapa tahun belakangan ini? Apakah transportasi online dalam hal ini tergolong sebagai Transportasi Umum yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tersebut?. Mengutip perkataan dari Kementerian Perhubungan bahwa transportasi berbasis online dalam hal ini dapat dikatakan sebagai trasnportasi umum. Akan tetapi,

di

dalam

ketentuan

belum

terdapat

definisi

khusus

mengenai

pengklasifikasian terhadap transportasi online. Pada awal bulan Maret 2020 berdasarkan

7

berita di Tempo.com menyatakan bahwa Staf Khusus Menteri

Perhubungan Indonesia menanggapi hal terhadap pemisahan sepeda motor di Jalan Nasional dan halangan untuk dipergunakan layaknya angkutan umum seperti ojek. Dari hal tersebut, tentu memunculkan pro dan kontra bagi masyarakat terutama para pengendara dan pengguna jasa.

5

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 7 Fajar P., “Kemenhub: Selama Angkutan Umum Belum Memadai, Ojek Diizinkan ”, Tempo, 1 Maret 2020, h. I. 6

151


2.2

Kaitan Antara Perlindungan Hukum dan HAM, serta UU Perlindungan Konsumen Terhadap Pengendara dan Pengguna Jasa Transportasi Online Perlindungan hukum adalah segala cara yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin keadilan dan menciptakan sifat hukum yang pasti kepada warga negaranya. Perlindungan hukum dalam hal ini berkaitan erat dengan penegakan hukum, hal tersebut tidak dapat dilepaskan terhadap satu dengan yang lainnya. Suatu syarat agar terwujudnya suatu perlindungan hukum maka di haruskan untuk melakukan penegakan hukum. Perlindungan hukum yang diberikan pemerintahan negara kita yaitu : perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum secara represif.8 Hal tersebut berhubungan dengan HAM. Hak asasi manusia itu sendiri dapat dikatakan sebagai Human Rights dalam istilah. Secara etimologis, Hak Asasi Manusia ini terwujud atas 3 suku kata di dalamnya yaitu hak, asasi, dan manusia. Hak dan asasi adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang mana haqq dan asasiy. Kata hak sendiri dapat diartikan sebagai suatu kewenangan untuk dapat melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan, asasi data berarti sebagai asas atau dasar dari semua hal yang esensial dan pokok, serta menempel pada obyeknya.9 Maka dari itu, HAM dapat disimpulkan sebagai hak mendasar yang terdapat dalam jati diri manusia secara alamiah dari manusia tersebut dilahirkan dan jika tidak ada, maka manusia tidak berhasil untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang seutuhnya. Dengan adanya hak tersebut yang melekat pada diri manusia akan mengalokasikan pertanggungjawaban secara moral atau secara hukum terhadap setiap umat manusia agar terbebas atas kekerasan, ketidakadilan yang diperlakukan oleh kekuasaan yang semena-mena, penganiayaan dan perlakuan apapun yang menyebabkan manusia tidak dianggap layaknya manusia utuh. Perlindungan hukum berkaitan erat dengan HAM, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sudah banyak sekali komisi-komisi perlindungan yang berkaitan

8 Luthvi Febryka Nola, ‘Upaya Pelindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI)’, 2016, Vol. 7, No. 1, hal. 40, < https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/949>, accessed 26 september 2021. 9 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2015), hal.1-3.

152


dengan HAM yang ada di Indonesia. Lantas, apa kaitannya HAM dengan perlindungan pengendara dan pengguna jasa transportasi online?. Sebagaimana disebutkan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.”10 Dimana dalam hal ini pemerintah wajib untuk bertanggung jawab untuk menjunjung tinggi HAM dalam bidang apapun termasuk bidang ekonomi yang berkaitan dengan halnya transportasi online tersebut. Fakta yang terjadi di lapangan, banyak sekali kejadian-kejadian yang sangat menyedihkan terjadi di lalu lintas berkendara, seperti: pembegalan di jalan, perampokan dan pencurian, penyerangan, kecelakaan saat berkendara dan lain-lain. Maka dari itu, hukum mengatur terhadap hal tersebut terutama dalam perlindungan dalam berkendara dan pengguna jasa transportasi online yang sekarang sudah menjadi hal yang berhubungan dalam menjalankan aktivitas rutin. Situasi pandemi masa sekarang dimana kasus covid-19 di Indonesia pernah menginjak zona merah atau red zone. Sesuai data dari JHU CSSE COVID-19 Indonesia menginjak 4,2 juta kasus infeksi covid-19. Hal tersebut tentunya mengkhawatirkan semua warga masyarakat Indonesia terutama terhadap mobilitas perjalanan. Bagi pengendara dan pengguna jasa transportasi online tentunya menciptakan kekhawatiran yang cukup mendalam karena setiap saat di suatu kendaraan transportasi online pengguna jasa transportasi online bukan hanya satu maupun dua penumpang. Dengan demikian, pemerintah membuat dan mengeluarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 875/2021 dan SK Kadishub DKI Jakarta No. 259 Tahun 2021 yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli.11 Langkah tersebut adalah salah satu cara pemerintah untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 saat bertransportasi dengan mematuhi aturan protokol kesehatan yang di tetapkan oleh pemerintah. Hal ini juga merupakan suatu bentuk dari dukungan pemerintah agar perekonomian di Indonesia tidak surut yang diakibatkan oleh virus di hampir 2 tahun belakangan ini. dengan

10 11

Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Surat Keputusan Kepgub DKI Jakarta No. 875/2021 dan SK Kadishub DKI Jakarta No. 259/2021.

153


menerapkan kapasitas maksimal 3 orang dalam satu kendaraan beroda empat dimana (max 2 pengguna jasa online dan 1 orang pengemudi atau pengendara). Bagi para pengguna jasa transportasi online roda dua disarankan untuk menggunakan helm pribadi yang berstandar SNI, menggunakan masker dua lapis saat berkendara, menyiapkan hand sanitizer kemanapun, dan di sarankan pula untuk melakukan pembayaran via non tunai seperti Ovo, Dana, GoPay atau lainnya untuk meminimalisir kontak langsung antara satu dengan lainnya.

12

. Hal ini berkaitan

pula dengan hak untuk semua orang agar menerima hidup baik dan sehat yang tercantum pada Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.13 Sebagaimana yang dijelaskan mengenai HAM sebelumnya kesehatan juga termasuk dalam Hak Asasi Manusia. Kaitan mengenai perlindungan hukum terhadap HAM dalam permasalahan bertransportasi juga berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap konsumen transportasi berbasis online atau pengguna jasa transportasi (penumpang). Sebelum menjelaskan lebih lanjut maka kita harus mengetahui terlebih dahulu definsi dari konsumen. Berdasarkan undang-undang mengenai Perlindungan Konsumen bahwasanya definisi konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dimana berkaitan dengan jasa dari pelaku usaha terhadap konsumen. Jasa adalah pelayanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen terutama pada pengguna jasa transportasi online.14 Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen demikian bertujuan agar menciptakan ketetapan hukum yang inkracht dan memberi perlindungan kepadanya, serta bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, cakap, dan mandiri untuk bernanung dari segala gerbang negatif pemakaian barang atau jasa, untuk mewujudkan kepastian hukum yang berkekuatan hukum tetap dan transparansi informasi, mewujudkan kesadaran dari pihak produsen dalam konsekuensi terhadap perlindungan konsumen sehingga membangun kejujuran pula dari diri pelaku usaha. Pelanggan menyandang hak dan kewajiban antara lain : Anonim, “Tetap Bertanggung Jawab Saat Naik GoCar & Go-Ride: Yuk Cegah Penyebaran Virus Corona (Covid-19) Bersama” <https://www.gojek.com/blog/gojek/cegah-corona-saat-naik-gojek/> 13 Januari 2021, h. 1, dikunjungi tanggal 25 September 2021. 13 Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 14 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 12

154


konsumen memiliki berhak dapat merasakan rasa aman, nyaman dan selamat dalam menggunakan barang dan jasa, berhak terhadap keterangan yang terang, berwenang mendapatkan perlindungan dalam bersengketa, dan lain-lain. Sedangkan, kewajiban dari konsumen adalah wajib untuk melihat petunjuk dan prosedur pemanfaatan barang atau jasa agar keamanan dan keselamatan terjamin, wajib berbuat baik pada saat menjalankan negosiasi terhadap pemesanan barang atau jasa dan melunasi harga selaras dengan nilai yang disetujui, serta berperan dalam bersengketa demi melindungi konsumen.15 Selain itu, produsen pun menyandang hak dan kewajiban yang sebagaimana perlu kita ketahui antara lain : pelaku usaha punya hak untuk mengambil bayaran sesuai hasil negosiasi, berhak untuk dapat perlindungan hukum dari pihak pembeli yang beritikad buruk, berhak untuk membuat pleidoi jika bersengketa, berhak untuk pemulihan nama baik jika benar kemudaratan konsumen tidak diakibatkan oleh dirinya. Sedangkan, kewajiban dari pelaku usaha adalah wajib memiliki itikad baik, wajib menyebarkan informasi yang terang mengenai barang dan/atau jasa serta, dan wajib melayani konsumen secara benar, jujur, dan tidak mendiskriminasi antara konsumen satu dengan konsumen lain, dan lain-lain. Jika dalam hal ini konsumen transportasi online merasakan kerugian dalam menggunakan jasa online maka ia berhak mendapatkan ganti rugi sesuai ketentuan dari Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk mengganti kompensasi atas kehancuran, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen atas risiko pemakaian barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

16

Dimana

pemberian ini dibatasi dalam batas waktu 7 hari setelah bertransaksi. Ganti rugi tersebut berupa restitusi uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.17 Lalu, bagaimana dengan perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugikan jika terjadinya kecelakaan dalam berkendara yang disebabkan oleh pengendara

15

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 17 Bagus Raditya dan I Gede Putra, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Menggunakan Jasa Transportasi Online Uber Dan Grab di Indonesia', (2017), Vol.5 No.2, Kertha Semayatahal, hal. 2, < https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/21027>, accessed 27 september 2021. 16

155


transportasi online?. Apakah perusahaan transportasi online ingin bertanggung jawab? Apakah pengemudi transportasi online dalam hal ini mendapatkan perlindungan hukum dari perusahaan tempat ia bekerja?. Pertanyaan-pertanyaan demikian tentu muncul di benak pikiran masyarakat. Dengan perkembangan teknologi terutama dalam bertransportasi online permasalahan muncul terkait perlindungan hukum dan tanggung jawab. Dimana tanggung jawab berkaitan dengan individu ataupun benda yang diangkut dan perlindungan hukum bagi pengendara dalam melaksanakan pekerjaannya melalui aplikasi online. 18 Perusahaan yang menggerakan di bidang jasa transportasi online seringkali menyatakan bahwa perusahaan tersebut adalah perusaah teknologi yang menjalakan atau menggerakkan suatu

teknologi

berbasis

online untuk

menghubungkan atau sebagai jembatan penghubung antara penyedia usaha jasa dan pengguna. Jika terjadi suatu kecelakaan terhadap pengendara yang menyebabkan luka-luka baik luka ringan maupun berat bahkan menghilangkan nyawa seseorang, maka menuru ketentuan Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa individu bukan hanya bertanggung jawab terhadap kemudaratan yang diderita atas perilakunya sendiri, melainkan juga untuk kerugian yang disebabkan oleh orangorang yang menjadi tanggungannya.19 Berdasarkan Pasal ini, maka perusahaan tersebut wajib untuk mengganti ganti rugi atas apa yang menimpa pengendara dalam perusahaan transportasi online mereka. Akan tetapi, hal tersebut masih belum diketahui kebenarannya sebab terdapat perusahaan berdalih bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas hal apapun yang dialami pengendara dalam melakukan pekerjaannya baik mengalami kecelakaan ringan maupun berat yang menyebabkan nyawa hilang. Perusahaan menyebutkan bahwa perusahaan hanya sebagai penyedia jasa perdagangan bukan perusahaan transportasi layaknya angkutan umum. Sehingga, ketentuan Pasal 1367 BW tersebut tidak berlaku terhadap hal tersebut. Maka, terjadi kekosongan hukum terkait perlindungan hukum dan hukum yang pasti bagi pengendara jasa transportasi online terkait hal ini.

18 Elfrida Ratnawati, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Pengemudi Ojek OnLine Akibat Kecelakaan Dalam Mengoperasikan Kendaraannya’, hal. 81, hal .84, < https://trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/hpph/article/download/8533/6069 > , tanggal akses 25 september 2021. 19 Pasal 1367 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

156


2.3

Langkah Preventif untuk Menghindari Kecelakaan Saat Berkendara Pemerintah dalam hal ini harus menjamin keselamatan warga negaranya dalam berlalu lintas. Sebagaimana hal tersebut telah disebutkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 pada Alinea ke-4, dimana sebuah negara wajib melindungi segenap bangsanya demi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jelas bahwasanya negara memiliki kewajiban penuh dalam mencapai hal-hal yang tertuang dalam UUD NRI 1945. Hal demikian juga bertautan erat dengan kondisi Indonesia yang tengah dilanda virus Covid-19 yang membuat kekhawatiran masyarakat meningkat dari hal kesehatan dan juga perekonomian. Dalam hal berlalu lintas di jalan, pemerintah dalam hal ini juga wajib dalam mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di jalan. Banyak sekali hal-hal yang perlu diperhatikan, misalnya sarana dan prasarana ada di jalanan harus dibenahi dengan sebaik mungkin untuk menghindari terjadinya kecelakaan sewaktu-waktu dengan menguji kelayakan jalan berdasarkan dengan standardisasi keamanan dan keselamatan lalu lintas yang tertuang dalam Pasal 8 huruf F UU No. 22 Tahun 2009.

20

Selanjutnya, Pasal 200 Undang-Undang ini juga telah

menjelaskan di dalam BAB XI tentang Keamanan dan Keselamatan yang menjelaskan

bahwa

Kepolisisan

NRI

memiliki

tanggung

jawab

atas

penyelenggaraan aksi dalam malahirkan keamanan lalu lintas dan angkutan jalan.21 Dari ketentuan Pasal 105 UU No. 22 Tahun 2009 juga telah menyebutkan mengenai Ketertiban dan Keselamatan. Dimana bagi semua orang yang memakai akses jalan harus berperilaku tertib untuk membendung hal yang tidak diinginkan. Pasal selanjutnya juga menjelaskan bahwa kepada semua orang yang mengendarai kendaraannya harus mengendarai secara proporsional dan fokus, serta mematuhi ketentuan di jalan seperti rambu-rambu lalu lintas, pemberitahuan seperti bunyi dan sinar, maksimum dan minimum kecepatan berkendara, dan lainnya. Kecelakaan ketika berkendara adalah salah satu hal yang tentu tidak diinginkan oleh setiap

20 21

Pasal 8 huruf F Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 200 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

157


pengendara maupun penumpang kendaraan. Sehingga, perlunya langkah pencegahan untuk mencegah hal tersebut yang mana kita mengetahui bahwa bala adalah hal yang tidak terduga-duga akan terjadi. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan juga telah menyebutkan dalam ketentuan Pasal 57 mengenai perlengkapan apa yang diperlukan pada Kendaraan Bermotor antara lain : sabuk pengaman, cadangan ban serep, helm dan rompi, dan peralatan medis. Dijelaskan pula di pasal selanjutnya bahwa “Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.” Sehingga, sesama pengakses jalan alangkah baiknya kita menghindari hal itu agar dapat menjaga keselamatan bersama dengan pengguna jalan lainnya.22 Menurut informasi dari Kominfo setiap 60 menit lazimnya 3 (tiga) orang tewas dikarenakan kecelakaan maut di jalan. Terdapat faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu faktor manusia itu sendiri, faktor ini adalah faktor yang terbesar penyebab kecelakaan terjadi yang bisa disebabkan oleh kelalaian oleh manusia itu sendiri. Kedua, faktor kendaraan, faktor ini dapat terjadi karena terjadi kerusakan pada kendaraan pengemudi yang mana tergolong bahwa kendaraan tersebut tidak layak jalan. Ketiga, faktor prasarana dan lingkungan (faktor alami) misalnya pohon tumbang ataupun jalanan yang licin saat musim penghujan.23 Dengan demikian, terdapat beberapa langkah preventif yang dapat dilakukan untuk menghindari kecelakaan dalam berkendara. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah pastikan kendaraan anda dalam kondisi baik, tidak ada rusak mesin atau lainnya. Perlunya pengecekan berkala pada kondisi kendaraan dengan memeriksa sistem alat setir, sistem roda atau ban, bentuk keadaan rem, lampu dan pemantul cahaya, dan instrument pemberitahuan dengan bunyi sebagaimana tertuang dalam Pasal 61 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

24

Langkah

kedua adalah gunakan pelindung diri lengkap, bagi pengendara roda dua gunakanlah helm yang berstandar SNI, jaket berkendara, celana panjang. Sedangkan, bagi pengendara roda empat gunakanlah seat belt saat berkendara. 22

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Anonim, ‘Rata-Rata Tiga Orang Meninggal Setiap Jam Akibat Kecelakaan Jalan’<https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/10368/rata-rata-tiga-orang-meninggal-setiap-jamakibat-kecelakaan-jalan/0/artikel_gpr > 22 Agustus 2017, h. 1, dikunjungi tanggal 23 September 2021. 24 Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 23

158


Langkah ketiga pastikan saat berkendara kondisi badan anda prima dan sehat, jangan berkendara dalam keadaan mengantuk, tidak dalam keadaan berakohol, sehingga anda dapat berkonsentrasi dalam berkendara. Langkah selanjutnya adalah jika anda merasa kurang sehat dalam berkendara terutama di malam hari, jangan melanjutkan berkendara, berhentilah sejenak di suatu tempat yang aman yang tidak menghalangi kendaraan lain. Langkah terakhir adalah taati lah aturan dalam berkendara dan jangan melanggar ketentuan lalu lintas yang ada, serta yang perlu dihindari saat berkendara adalah hindari penggunaan telepon seluler ketika mengemudi karena sangat mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri dan juga sekitar.

159


BAB III PENUTUP 3.1

Penutup Dari pembahasan diatas, penutup bab terkahir, penulis akan menjelaskan kesimpulan dari inti permasalahan yang sudah dikupas lebih dahulu. Bahwa berdasarkan permasalahan mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Pengendara dan Pengguna Jasa Transportasi Online di Masa Pandemi Covid-19”, dapat ditarik kesimpulan bahwa belum terdapat aturan yang dikeluarkan dari pemerintah mengenai perlindungan hukum bagi pengendara jasa transportasi online yang mengalami kerugian baik kerugiaan fisik maupun materiil. Dimana pihak perusahaan mengklaim bahwa dirinya adalah sebagai penyedia jasa teknologi yang menjalakan atau menggerakkan suatu

teknologi

berbasis

online untuk

menghubungkan atau sebagai jembatan penghubung antara penyedia usaha atau jasa dan pengguna jasa. Jika sewaktu-waktu terjadi suatu kecelakaan terhadap pengendara yang menyebabkan luka-luka baik luka ringan maupun berat bahkan menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga, kerugian yang diterima oleh pengendara jasa transportasi online adalah hal yang ditanggung dirinya pribadi begitu pula dengan kerugian yang dirasakan oleh pengguna jasa transportasi online. Dengan demikian, belum terdapat aturan atau kepastian hukum yang pasti mengenai perlindungan hukum bagi jasa transportasi online tersebut.

3.2

Saran Dalam hal ini, maka pemerintah harus menciptakan kepastian hukum berupa peraturan perundang-undangan lebih jelas terkait “Perlindungan Hukum Bagi Pengendara dan Pengguna Jasa Transportasi Online di Masa Pandemi Covid-19”. Sehingga, masyarakat yang akan menggunakan jasa atau menjadi pengendara dalam jasa transportasi online ini dapat lebih dilindungi hak dan kewajibannya sesuai dengan yang tercantum dalam UUD NRI 1945. Dimana negara wajib untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum atas keamanan dan keselamatan warga negaranya dalam berlalu lintas. Terkait UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu

160


Lintas dan Angkutan Jalan dalam hal ini menurut saya tidak diperlukan adanya revisi, akan tetapi pemerintah harus lebih meningkatkan lagi terkiat pengaturan di tingkat operasional dengan melalui Peraturan Pemerintah Pusat dan juga dikuatkan dengan regulasi melaui PermenHub maupun Peraturan Kapolri, sehingga masyarakat menerima transparansi hukum, mendapatkan kepastian hukum, dan dapat mencapai kesentosaan dalam berlalu lintas di jalan.

161


DAFTAR BACAAN BUKU Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2015).

JURNAL ONLINE Nola Febryka L, ‘Upaya Pelindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja Indonesia

2016

(TKI)’,

Vol.

7,

No.

1,

<https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/949>

Jurnal

DPR

accessed

26

september 2021. Putra, Gede dan Raditnya B, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Menggunakan Jasa Transportasi Online Uber Dan Grab di Indonesia', (2017), Vol.5

No.2.

Kertha

Semayata,

<https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/21027> accessed 27 September 2021. Rabia P, dan Aziah A, ‘Analisis Perkembangan Industri Transportasi Online di Era Inovasi Disruptif (Studi Kasus PT Gojek Indonesia’, 2018, Vol.18, Cakrawala Jurnal. Ratnawati E, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Pengemudi Ojek Online Akibat Kecelakaan Dalam Mengoperasikan Kendaraannya’, 2019 Vol. 2 No. 1 Hukum Pidana

dan

Pembangunan

Hukum

<https://trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/hpph/article/download/8533/6069> accessed 25 September 2021.

SKRIPSI/TESIS/DISERTASI Altriara W, ‘Bentuk Dan Jenis Sanksi Yang Bisa Dikenakan Terhadap Pengendara Mobil Tersebut

Dan

Tanggungjawab

Pemerintah

Dalam

Menyelenggarakan

Keselamatan Lalu Lintas’ (Skripsi Ilmu Hukum, Universitas Airlangga) <http://repository.unair.ac.id/11062/8/8.%20Bab%202.pdf.>

LAMAN Anonim, ‘Rata-Rata Tiga Orang Meninggal Setiap Jam Akibat Kecelakaan Jalan’, 22 Agustus 2017 <https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/10368/rata-rata-

162


tiga-orang-meninggal-setiap-jam-akibat-kecelakaan-jalan/0/artikel_gpr> accessed 23 September 2021. Anonim, “Tetap Bertanggung Jawab Saat Naik Go Car & Go-Ride: Yuk Cegah Penyebaran

Virus

Corona

(Covid-19)

Bersama”,

13

Januari

<https://www.gojek.com/blog/gojek/cegah-corona-saat-naik-gojek/>

2021

accessed

tanggal 25 September 2021.

BERITA Fajar P., “Kemenhub: Selama Angkutan Umum Belum Memadai, Ojek Diizinkan”, Tempo, 1 Maret 2020 diakses tanggal 25 September 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025).

163


UPAYA HUKUM BAGI PENGIRIM DALAM KERUSAKAN DAN/ATAU KEHILANGAN BARANG DALAM PERJANJIAN EKSPEDISI Inez Nurina Adzani inezadznn@gmail.com Universitas Airlangga ABSTRAK Maraknya penjualan secara online mengakibatkan terjadinya peningkatan pada penggunaan jasa ekspedisi di Indonesia. Permasalahan mengenai rusak atau hilangnya barang yang dilakukan oleh Perusahaan Ekspedisi seringkali ditemukan dalam perjanjian ekspedisi yang menyebabkan baik pihak Pengirim maupun Perusahaan Ekspedisi mengalami kerugian. Tidak jarang juga pihak Pengirim yang telah mengajukan klaim atas kerusakan atau kehilangan barang terhadap Perusahaan Ekspedisi sulit mendapatkan proses tindaklanjut. Berdasarkan hal tersebut, penulis akan mengkaji langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pihak Pengirim dan bentuk perlidungan hukum bagi pihak Pengirim dalam perjanjian ekspedisi apabila terjadi kerusakan dan/atau kehilangan barang pada pelaksanaan pengiriman barang oleh Perusahaan Ekspedisi. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode analisis normatif, yaitu penulis akan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian dalam penulisan ini diantaranya pihak Pengirim dapat menggugat ganti kerugian terhadap Perusahaan Ekspedisi atas rusaknya dan/atau hilangnya barang. Nominal ganti kerugian yang wajib dipenuhi oleh Perusahaan Ekspedisi ialah berupa sejumlah uang bergantung pada jenis barang yang dikirimkan, hal ini juga mengacu pada kebijakan yang diberlakukan oleh Perusahaan Ekspedisi. Selain daripada itu, pihak Pengirim dapat mempertahankan haknya sebagai bentuk perlindungan hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang. Kata Kunci: Ekspedisi; Ganti Rugi; Kerusakan dan Kehilangan; Tanggung Jawab

ABSTRACT The rise of online selling has resulted an increase in the use of expedition services in Indonesia. Problems regarding damage or goods carried out by the Expeditionary Company are often found in the agreement which causes both the Sender and the Expeditionary Company to suffer losses. Often found that the Shipper who has filed a claim for damage or loss of goods against the Expeditionary Company is difficult to get a follow-up process. Based on this, the author will examine the steps that can be taken by the sender and the form of legal protection for the sender in the expedition agreement in the event of damage and/or loss of goods during the delivery of goods by the expedition company. This research will be carried out using a normative analysis method, namely the author will analyze the laws and regulations relating to the problems in this research. The results of the research in this paper include the sender being able to sue for compensation against the Expeditionary Company for damage and/or loss of goods. The amount of compensation that must be fulfilled by the Expeditionary Company is an amount of money that depends on the type of goods sent, this also refers to the policies imposed by the Expeditionary Company. In addition, the sender can defend their rights as a form of legal protection that has been regulated by the law. Keywords: Compensation; Damage and Loss; Expedition; Responsibility

164


BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Perkembangan industri perdagangan kian hari semakin meningkat sehingga memunculkan inovasi-inovasi terbaru di kalangan masyarakat. Salah satu inovasi yang berkembang di masyarakat ialah penjualan barang secara online dengan menggunakan teknologi internet. Hal ini dipengaruhi pula dengan adanya perkembangan yang pesat pada teknologi yang digunakan oleh masyarakat. Perdagangan barang secara online tersebut mengalami sebuah peningkatan yang cukup signifikan sejak Indonesia dilanda Pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19). Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dinamika belanja online masyarakat mengalami penginkatan hingga 400% sejak hadirnya pandemi Covid-19.1 Sebab setelah dilandanya Pandemi Covid-19, masyarakat menjadi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun kehadiran internet telah mempermudah urusan masyarakat yang salah satunya dalam hal jual-beli secara online, sehingga kegiatan jual-beli sudah tidak perlu lagi dilakukan secara tatap muka. Penjualan barang secara online tersebut kemudian melibatkan beberapa pihak dalam pelaksanaannya, dalam hal ini diketahui bahwa perusahaan ekspedisi memiliki peranan yang sangat penting guna menyelesaikan perjanjian jual beli yang terjadi di antara penjual dan pembeli. Kehadiran perusahaan ekspedisi telah mempermudah jalannya penjualan barang secara online, selain menghemat biaya, pengiriman barang jarak jauh juga terasa lebih efektif dan efisien dengan adanya campur tangan perusahaan ekspedisi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perusahaan ekspedisi berperan sebagai perantara bagi pihak penjual dan pembeli. Keterlibatan perusahaan ekspedisi dalam kegiatan jual beli online dituangkan ke dalam dua perjanjian, yaitu perjanjian ekspedisi dan perjanjian pengangkutan. Perjanjian ekspedisi maupun perjanjian pengangkutan merupakan satu kesatuan yang diatur dalam hukum pengangkutan. Pengertian hukum pengangkutan ialah hukum yang mengatur mengenai segala jenis bisnis pengangkutan.2 Pengertian lebih lanjut mengenai perjanjian

CNN Indonesia, ‘Belanja Online Naik 400 Persen Saat Musim Corona Belanja Online Naik 400 Persen Saat Musim Corona’ (CNN Indonesia, 7 Juli 2020) <https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200707172450-92-521925/belanja-online-naik-400-persensaat-musim-corona> acessed 17 September 2021. 2 Zainal Asikin, Hukum Dagang, (Rajawali Pers 2019) 163. 1

165


pengangkutan ialah perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak pengirim3, perjanjian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lainnya guna meningkatkan nilai guna barang itu sendiri. Sama halnya dengan perjanjian-perjanjian lainnya, baik perjanjian ekspedisi maupun perjanjian pengangkutan, syarat sah keduanya sama-sama berlandaskan pada Pasal 1320 BW.4 Pada dasarnya pihak pengirim dan pihak pengangkut (ekspeditur) saling mengikatkan diri untuk sama-sama memenuhi hak dan kewajiban yang dimilikinya, hal ini yang dimaksud dengan perjanjian timbal balik. Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengirim wajib untuk membayar biaya/ongkos pengiriman yang telah disepakati, sedangkan pihak pengangkut memiliki kewajiban untuk mengirimkan barang dengan aman sampai ke tujuan. Pihak pengirim dan pihak pengangkut memiliki kedudukan yang setara dalam perjanjian ekspedisi karena pihak pengangkut dalam hal ini bertindak sebagai kuasa dari pihak pengirim untuk mengantarkan barang milik pihak penerima. Sedangkan dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut bertindak atas nama dirinya sendiri dan bertanggung jawab penuh kepada pihak penerima atas barang tersebut, hal ini berlaku pula apabila terdapat kerusakan atau kehilangan atas barang yang dikirim.5 Maraknya penggunaan jasa yang diselenggarakan oleh perusahaan ekspedisi dalam pengiriman barang ialah bukan tanpa masalah. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kendala yang terjadi di dalam proses pengiriman barang milik pengirim. Dewasa ini seringkali ditemukan berbagai permasalahan mengenai kerusakan atau kehilangan barang dalam penyelenggaraan pengiriman barang, hal tersebut tentu menimbulkan kerugian bagi pihak pengirim dan penerima. Pada beberapa kasus mengenai kerusakan atau kehilangan barang dalam pengiriman barang, seringkali pihak pengirim ataupun penerima yang telah mengklaim atas kerugian yang dialaminya kepada perusahaan ekspedisi mengalami kesulitan untuk mendapat penindaklanjutan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pihak pengirim barang dan juga perlindungan hukum yang patut diperoleh bagi pihak pengirim apabila terjadi kerusakan ataupun kehilangan barang dalam pengiriman barang oleh perusahaan ekspedisi.

3

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, (Djambatan, 1987) 2. RED, ‘Sepakat dan Permasalahannya’ (Hukum Online, 2 Januari 2018) <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a4b3af6d1231/sepakat-dan-permasalahannya/> accessed 20 September 2020. 5 Pang Andreas Pangestu, ‘Tanggung Jawab Ekspeditur dalam Pengangkutan Barang di Laut’, (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Airlangga Surabaya 2000) 42. 4

166


1.2

Rumusan Masalah 1. Apa langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pihak pengirim atas terjadinya kerusakan dan/atau kehilangan barang dalam perjanjian ekspedisi? 2.

Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang dapat diperoleh bagi pihak pengirim dalam perjanjian ekspedisi?

1.3

Dasar Hukum 1.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

2.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie)

3.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

4.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

167


BAB II ANALISIS 2.1

Langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pihak pengirim atas terjadinya kerusakan dan/atau kehilangan barang dalam perjanjian ekspedisi Perjanjian pengangkutan telah diatur secara umum dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD) dan tersebar dalam beberapa pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW). Perjanjian pengangkutan dapat juga dikatakan sebagai perpindahan kuasa atas barang dari pihak pengirim kepada pihak pengangkut. Sesuai yang diatur dalam Pasal 1792 BW, pihak pengangkut dalam bertanggung jawab untuk mengirimkan barang milik pengirim dengan aman dan selamat sampai tujuan. Selain daripada itu, menurut Pasal 88 KUHD, dalam hal pihak pengangkut melaksanakan pengiriman barang kepada pihak penerima, ia bertanggung jawab penuh kepada pihak penerima, termasuk bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan dari barang yang dikirimnya. Membahas lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut, dalam dunia pengangkutan dikenal beberapa prinsip tanggung jawab atau liability principle. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu mengenai prinsip tanggung jawab yang berlaku dalam skala nasional maupun internasional, diantaranya yaitu prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan (fault of liability), prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya praduga (presumption of liability), dan prinsip tanggung jawab terbatas (limitation of liability). Namun, apabila ditelaah melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hanya terdapat dua prinsip tanggung jawab yang dianut, yaitu fault of liability dan presumption of liability.6 Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab mutlak, dalam hal ini dapat diartikan bahwa pihak pengangkut bertanggung jawab penuh atas pengiriman barang. Pemberlakuan prinsip tanggung jawab ini memiliki kelebihan dan kelemahan, hal tersebut disebabkan karena apabila terdapat kerugian yang

6 Ridwan Labatjo, ‘Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolut of Liability) dalam Penyelenggaraan Pengangkutan Barang dengan Kapal Laut di Indonesia’ (2019) 3 Jurnal Yustisiabel Fakultas Hukum, 1, 3.

168


ditimbulkan dari adanya penyelenggaraan pengangkutan, pihak pengangkut wajib mengganti kerugian tersebut tanpa mempertimbangkan apa-apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian. Kerugian yang dialami oleh baik pihak pengirim maupun pihak penerima barang tidak perlu dibuktikan sepanjang kerugian tersebut memang terjadi selama penyelenggaraan pengangkutan. Berdasarkan hal tersebut, pihak pengirim dan penerima berada pada posisi yang diuntungkan, sedangkan pihak pengangkut memikul risiko yang besar. Namun, sebelum disepakatinya perjanjian pengangkutan oleh para pihak, perusahaan ekspedisi berhak untuk menetapkan batas jumlah kerugian yang akan ditanggung, hal ini dilakukan supaya tercipta keadilan bagi masing-masing pihak. Kelemahan yang terdapat pada prinsip ini ialah bahwa apapun jenis kerugian yang terjadi, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur yang menyebabkan kerugian, pihak pengangkut akan selamanya dibebani oleh risiko untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, prinsip ini kian lama semakin ditinggalkan sehingga masyarakat beralih pada prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan (fault of liability) dan tanggung jawab berdasarkan adanya praduga (presumption of liability). Beralih pada prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan, pemberlakuan prinsip ini memerlukan pembuktian atas kesalahan yang terjadi. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan ini dianut dalam penyelenggaraan pengangkutan laut, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pada Pasal 41 Ayat (2) UU Pelayaran, dinyatakan bahwa pihak pengangkut dapat terbebas dari sebagian atau seluruh tanggung jawabnya apabila telah terbukti bahwa kerugian yang timbul bukan disebabkan oleh kesalahannya, sehingga beban pembuktian dalam prinsip ini ada pada pihak pengangkut. Kemudian perlu diketahui bahwa dalam prinsip ini terdapat beberapa cakupan yang menjadi tanggung jawab pihak pengangkut, yaitu sebagai berikut:7 a.

Pengangkut bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan atas barangbarang yang diangkut.

b.

Pengangkut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang disebabkan selama penyelenggaraan pengangkutan.

7

Ibid, 6.

169


c.

Pengangkut bertanggung jawab untuk seluruh benda dan peralatan yang digunakan dalam penyelenggaraan pengangkutan. Selanjutnya mengenai prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya praduga,

pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul.8 Prinsip tanggung jawab ini diatur pada Pasal 1365 BW tentang perbuatan melawan hukum dan pada Pasal 468 Ayat (2) KUHD yang berbunyi sebagai berikut: “Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim.” Sama halnya dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan, pada prinsip ini pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan selama penyelenggaraan pengangkutan untuk terbebas dari risiko tanggung jawab. Pembuktian atas kesalahan tersebut dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, diantaranya:9 a.

Pengangkut dapat tidak bertanggung jawab, apabila ia dapat membuktikan kerugian yang terjadi merupakan hal-hal yang berada diluar kekuasaannya.

b.

Pengangkut dapat tidak bertanggung jawab, apabila ia dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil segala tindakan yang dapat menghindari timbulnya kerugian.

c.

Pengangkut dapat tidak bertanggung jawab, apabila ia dapat membuktikan bahwa ia bukanlah seseorang yang menyebabkan kerugian tersebut timbul.

d.

Pengangkut dapat tidak bertanggung jawab, apabila ia dapat membuktikan bahwa kualitas atau barang tersebut tidak baik sehingga mudah mengalami kerusakan, hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 91 KUHD.

8 Amad Sudiro, ‘Tinjauan Hukum Terhadap Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Angkutan Udara’ 1998 Vol. 5, No. 3, Era Hukum 48, 52. 9 Ibid.

170


Beralih pada pembahasan selanjutnya, dalam perjanjian pengangkutan dikenal juga mengenai perjanjian asuransi pengangkutan. Perjanjian asuransi tersebut berfungsi sebagai pengalihan risiko dari pihak ekspeditur kepada pihak asuransi apabila terjadi kerusakan atau kehilangan barang dalam penyelenggaraan pengangkutan barang. Hal-hal mengenai asuransi ini telah diatur secara khusus ke dalam suatu peraturan perundang-undangan yaitu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Asuransi diartikan sebagai suatu perjanjian antara penanggung dengan tertanggung untuk mengganti rugi atas suatu kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh peristiwa yang tidak pasti.10 Apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak untuk mengadakan perjanjian asuransi, hal-hal pokok mengenai perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam suatu akta tertulis atau yang biasa disebut dengan polis. Polis merupakan alat bukti tertulis atas telah disepakatinya perjanjian asuransi.11 Menurut Pasal 19 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, hal-hal yang dituangkan ke dalam polis asuransi harus ditulis secara jelas, termasuk mengenai kewajiban penanggung dan tertanggung dalam perjanjian asuransi tersebut. Penggantian kerugian yang dilakukan oleh penanggung ialah merujuk pada yang tercantum di dalam polis, bentuk kerugian yang ditanggungnya pun tidak lebih besar daripada yang telah disepakati antara penanggung dan tertanggung. Berkaitan dengan perjanjian asuransi dalam perjanjian pengangkutan, yang menjadi obyek dalam asuransi ini ialah barang yang dikirimkan, sehingga apabila terjadi kerusakan atau kehilangan barang dalam penyelenggaraan pengangkutan maka perusahaan asuransi yang bertanggung jawab atas penggantian kerugian tersebut. Adapun yang menjadi cakupan dari penggantian kerugian yang dapat diberikan oleh perusahaan asuransi, antara lain:12 a.

Penggantian harga barang, hal ini meliputi seluruh biaya tambahan yang berkaitan atas barang tersebut.

10

Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Pustaka Yustisia, 2011) 30. Rifka Dameyanti Sinurat, ‘Aspek Hukum Asuransi Terhadap Produk dalam Pengiriman Barang oleh Perusahaan Produksi PT. Damai Abadi Aluminium Extrusion Industry’ (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara 2018). 12 Man Suparman Sastrawidjaja, Endang, ‘Hukum Asuransi (Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, dan Usaha Perasuransian)’ (P.T. Alumni 2010) 155-156. 11

171


b.

Laba yang diharapkan oleh perusahaan pengangkutan.

c.

Segala macam utang pengeluaran yang masuk akal untuk melindungi barang yang diasuransikan. Terlepas dari keterikatan pihak pengirim dengan perjanjian asuransi, terdapat

beberapa langkah hukum yang dilakukan untuk mengatasi kerugian yang dialami. Penyelenggaraan pengangkutan sudah sewajarnya dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan. Dalam perjanjian pengangkutan tersebut tentu juga mengatur mengenai hal-hal pokok seperti biaya, estimasi waktu kedatangan barang, dan lain-lain. Utamanya para pihak wajib untuk melaksanakan kewajiban yang dimilikinya mengingat bahwa perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik. Kewajiban pengangkut sebagaimana yang telah diketahui bersama ialah menyelenggarakan pengangkutan serta mengirim barang dengan aman dan selamat sampai tujuan. Namun apabila terjadi kerusakan atau kehilangan pada barang yang dikirim, tindakan yang dilakukan oleh pihak pengangkut tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan cidera janji atau wanprestasi dengan tidak menjamin keselamatan dari barang yang dikirim.13 Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan ketika debitur tidak memenuhi kewajiban yang terdapat dalam perikatan.14 Selain itu, terdapat beberapa tindakan yang dapat dianggap sebagai tindakan wanprestasi, antara lain:15 a.

Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

b.

Melakukan yang seharusnya dilakukan namun tidak sesuai.

c.

Melakukan yang seharusnya dilakukan namun tidak tepat waktu.

d.

Melakukan yang seharusnya tidak dilakukan. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1238 BW, pihak

pengirim dapat menyampaikan peringatan tertulis atau yang dikenal dengan somasi. Somasi tersebut berfungsi sebagai teguran bagi perusahaan ekspedisi untuk

Albert Aries, ‘Langkah Hukum Jika Barang Tidak Terkirim ke Tempat Tujuan’ (Hukum Online, 10 Februari 2015) <https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54c863c3db7fc/langkah-hukumjika-barang-tidak-terkirim-ke-tempat-tujuan> accessed 24 september 2021. 14 J. Satrio, ‘Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi’ (PT Citra Aditya Bakti 2012) 3. 15 Subekti, Hukum Perjanjian, (PT Intermasa 2008) 45. 13

172


melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan. Namun apabila setelah diterimanya somasi tersebut perusahaan ekspedisi tetap tidak memenuhi prestasinya atau lalai, maka pihak pengirim dapat mengajukan gugatan wanprestasi, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1243 BW. Gugatan atas wanprestasi tersebut pada hakikatnya hanya dapat dilakukan setelah pihak kreditur (pihak pengirim) memberikan somasi kepada pihak debitur (perusahaan ekspedisi).

2.2

Bentuk Perlindungan Hukum yang Dapat Diperoleh Bagi Pihak Pengirim dalam Perjanjian Ekspedisi Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon ialah perlindungan terhadap harkat dan martabat serta hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.16 Oleh karena itu, untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, negara membuat suatu peraturan perundang-undangan guna menjamin hak setiap individu sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Begitupun dengan perlindungan hukum bagi konsumen, yang dalam hal ini merupakan konsumen pada jasa ekspedisi, ketentuan mengenai hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen). Dalam hal penyelenggaraan pengangkutan barang, Undang-Undang yang dapat digunakan sebagai rujukan tidak hanya terbatas pada Undang-Undang yang mengatur mengenai pengangkutan, namun juga dapat menjadikan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai landasan dalam penegakkan hukum. Berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam jasa ekspedisi, pada Pasal 16 huruf b UU Perlindungan Konsumen telah dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk tidak menepati prestasi atas suatu pelayanan. Di sisi lain, prestasi yang dimiliki oleh perusahaan ekspedisi tersebut bahwasannya telah diatur dalam Pasal 468 KUHD, yaitu sebagai berikut:

16 Dinda Dinanti, Yuliana Yuli W, ‘Perlindungaan Hukum Atas Hak-Hak Tersangka pada Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’, 2016 Vol. 3, No. 2 Jurnal Yuridis 1, 3 < https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/181/152> accessed 25 September 2016.

173


“Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya. Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila Ia membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Ia bertanggung jawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu.” Berdasarkan hal diatas, maka dapat diketahui bahwa perusahaan ekspedisi bertanggung jawab secara mutlak atas keselamatan barang yang diangkut. Pada dasarnya, tanggung jawab tersebut lahir sejak saat barang diterima oleh perusahaan ekspedisi dan berakhir pada saat barang tersebut sampai di tangan penerima barang. Selama jangka waktu tersebut, pihak pengangkut wajib mengambil segala tindakan guna memenuhi kewajiban atau prestasinya. Dalam hal terjadi kehilangan atau kerusakan barang, sesungguhnya bentuk perlindungan hukum bagi konsumen perusahaan ekspedisi ialah dengan pemberian ganti rugi yang layak atas kerusakan atau kehilangan barang yang dialaminya. Pemberian ganti rugi tersebut bahwasannya merupakan hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen. Namun penggantian kerugian tersebut juga merujuk pada prinsip-prinsip tanggung jawab yang sebelumnya telah dipaparkan. Berkaitan dengan hal tersebut, apabila perusahaan ekspedisi terbukti telah melakukan kesalahan atau kelalaian dalam hal penyelenggaraan pengangkutan barang, maka pemberian ganti rugi tersebut wajib diberikan kepada konsumen. Pihak ekspedisi belum tentu berkewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada konsumennya, pihak ekspedisi berhak membuktikan bahwa kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang milik pengirim bukanlah disebabkan oleh kesalahannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan ekspedisi

174


untuk terhindar dari kesalahan tersebut ialah dengan secara langsung menanyakan kepada pihak pengirim mengenai kondisi barang yang akan dikirim saat penyerahan barang tersebut, sehingga perusahaan ekspedisi dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi barang. Namun apabila memang perusahaan ekspedisi telah lalai dalam memenuhi kewajibannya, dengan kata lain kerusakan atau kehilangan barang tersebut disebabkan karena ketidakhati-hatiannya, maka pihak ekspedisi wajib untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen.17 Berkaitan dengan pengajuan klaim kerugian kepada pihak ekspedisi, pada praktiknya setiap perusahaan memiliki kebijakannya masing-masing. Sebagai contoh, beberapa perusahaan ekspedisi menetapkan jangka waktu tertentu bagi konsumen yang mengalami kerugian. Selain itu, besaran ganti rugi yang diberikan oleh setiap perusahaan ekspedisi juga berbeda-beda, ada yang telah memiliki ketentuannya tersendiri ataupun akan diganti berdasarkan kesepakatan antara pihak ekspedisi dengan pihak konsumen. Bentuk perlindungan hukum lainnya yang dapat diterima oleh konsumen perusahaan ekspedisi ialah apabila dalam hal dalam perjanjian pengangkutan tersebut juga disepakati perjanjian asuransi, maka kerugian yang dialami oleh konsumen atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut dapat diambil alih oleh perusahaan asuransi. Perjanjian asuransi yang merupakan perjanjian tambahan dalam perjanjian pengangkutan ini pada umumnya digunakan dalam perjanjian pengangkutan laut, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pada perjanjian pengangkutan darat ataupun udara juga dipergunakan. Penggantian kerugian oleh perusahaan asuransi akan dilakukan dengan menyesuaikan ketentuan yang tertulis pada polis asuransi, karena hal tersebut merupakan dasar dalam kedua belah pihak untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing. Konsumen dapat mengajukan klaim atas asuransi tersebut dengan menjalankan prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan asuransi.

17 Hosea Irlano Mamuaya, Aminah, dan Suradi, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Ekspedisi Pengiriman Barang PT JNE di Semarang’, 2015 Vol. 4, No. 4, Diponegoro Law Review 1, 6 < https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/10780/10460> accessed 5 Oktober 2021.

175


BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan 1.

Dalam hal pihak pengirim mengalami kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang dalam perjanjian pengangkutan, maka pihak pengirim dapat mengirimkan somasi kepada pihak pengangkut sebagai bentuk teguran atas pemenuhan prestasinya. Tanggung jawab atas keselamatan barang merupakan sesuatu yang harus dijamin oleh pihak pengangkut, sehingga apabila terjadi kerusakan atau kehilangan barang maka dapat dikatakan bahwa pihak pengangkut telah lalai dalam menjalankan kewajibannya atau wansprestasi. Apabila setelah dikirimkannya somasi pihak pengangkut masih tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pihak pengirim dapat mengajukan gugatan wanprestasi sebagai mana yang diatur dalam Pasal 1243 BW untuk mendapatkan penggantian kerugian.

2.

Perlindungan hukum yang dapat diperoleh bagi konsumen jasa ekspedisi ialah merujuk pada UU Perlindungan Konsumen. Di dalamnya diatur mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk tidak memenuhi prestasi atas suatu pelayanan, sehingga dalam hal ini pihak pengangkut atau ekspeditur berkewajiban untuk menjaga keselamatan dari barang yang diangkut. Oleh karena itu, apabila terjadi kerusakan atau kehilangan barang dalam penyelenggaraan pengangkutan barang, maka pihak pengirim berhak untuk menerima ganti rugi yang layak dari pihak pengangkut.

3.2

Saran 1.

Apabila dalam hal kosumen mengalami kerugian atas kerusakan atau kehilangan barang dalam perjanjian pengangkutan, bahwasannya para pihak dapat mengatasi permasalahan tersebut dengan cara damai atau kekeluargaan dengan memperoleh kesepakatan secara bersama-sama. Kesepakatan tersebut dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan efisien bagi kedua belah pihak, misalnya dalam hal pemberian kompensasi dari pihak pengangkut kepada

176


pihak konsumen, hal tersebut dapat juga disepakati oleh masing-masing pihak. 2.

Selain merujuk pada UU Perlindungan Konsumen, sebaiknya perusahaan ekspedisi dapat memberikan informasi yang jelas kepada pihak konsumen mengenai kebijakan ganti rugi yang diterapkan di perusahaannya. Hal tersebut bertujuan supaya apabila dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh kesalahan perusahaan ekspedisi, pihak konsumen dapat memperoleh kepastian terhadap pemenuhan haknya. Selain itu, dengan diberikan informasi yang jelas oleh perusahaan ekspedisi kepada pihak konsumen, hal ini dapat menghindari kesulitan bagi pihak konsumen untuk memperoleh penindaklanjutan klaim kerugian yang diajukannya.

177


DAFTAR BACAAN BUKU Asikin Z, Hukum Dagang, (Rajawali Pers 2019). Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, (Djambatan, 1987). Rastuti T, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Pustaka Yustisia, 2011). Satrio J, ‘Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi’ (PT Citra Aditya Bakti 2012). Sastrawidjaja S, Endang, ‘Hukum Asuransi (Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, dan Usaha Perasuransian)’ (P.T. Alumni 2010). Subekti, Hukum Perjanjian, (PT Intermasa 2008).

JURNAL Pangestu P, ‘Tanggung Jawab Ekspeditur dalam Pengangkutan Barang di Laut’, (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Airlangga Surabaya 2000). Labatjo R, ‘Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolut of Liability) dalam Penyelenggaraan Pengangkutan Barang dengan Kapal Laut di Indonesia’ (2019) 3 Jurnal Yustisiabel Fakultas Hukum. Sudiro A, ‘Tinjauan Hukum Terhadap Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Angkutan Udara’ 1998 Vol. 5, No. 3, Era Hukum. Dinanti D, ‘Perlindungaan Hukum Atas Hak-Hak Tersangka pada Proses Penyidikan Perkara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’, 2016 Vol. 3, No. 2 Jurnal Yuridis

<https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/181/152>

accessed 25 September 2016. Mamuaya H, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Ekspedisi Pengiriman Barang PT JNE di Semarang’, 2015 Vol. 4, No. 4, Diponegoro Law Review <https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/10780/10460> accessed 5 Oktober 2021.

178


SKRIPSI Sinurat R, ‘Aspek Hukum Asuransi Terhadap Produk dalam Pengiriman Barang oleh Perusahaan Produksi PT. Damai Abadi Aluminium Extrusion Industry’ (Skripsi Ilmu Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara 2018).

INTERNET CNN Indonesia, ‘Belanja Online Naik 400 Persen Saat Musim Corona Belanja Online Naik 400 Persen Saat Musim Corona’ (CNN Indonesia, 7 Juli 2020) <https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200707172450-92-521925/belanjaonline-naik-400-persen-saat-musim-corona> accessed 17 September 2021. RED,

‘Sepakat

dan

Permasalahannya’

(Hukum

Online,

2

Januari

2018)

<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a4b3af6d1231/sepakat-danpermasalahannya/> accessed 20 September 2020. Albert Aries, ‘Langkah Hukum Jika Barang Tidak Terkirim ke Tempat Tujuan’ (Hukum Online,

10

Februari

2015)

<https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54c863c3db7fc/langkahhukum-jika-barang-tidak-terkirim-ke-tempat-tujuan> accessed 24 september 2021.

179


PENGENDALIAN OVER DIMENSION DAN OVERLOAD DALAM HUKUM PENGANGKUTAN INDONESIA Dea Safira Setiono, Felicia Tanalina Ylma, dan Gd Arya Prameswara deasetiono01@gmail.com Universitas Airlangga

ABSTRAK Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut tidak akan berjalan efektif jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan dalam bidang transportasi. Transportasi darat di Indonesia harus terus dikembangkan secara masif karena memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi nasional. Infrastruktur menjadi salah satu bagian penting dari perkembangan ekonomi sebuah negara sebab keberlangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakat akan lebih terjamin karena biaya lebih murah, efektif, efisien karena akses antar daerah menjadi lebih mudah. Namun, fenomena pelanggaran kendaraan angkutan jalan yang Over Dimension dan Overload (ODOL) menjadi permasalahan serius. Seiring dengan berkembangnya teknologi transportasi darat secara positif pada perekonomian Indonesia, transportasi darat juga memiliki dampak negatif terhadap kondisi infrastruktur jalan karena adanya praktik ODOL pada angkutan jalan. Kerusakan jalan akibat ODOL dapat merugikan negara sebab meningkatkan anggaran untuk pemeliharaan infrastruktur seperti jalan Nasional, Jalan Tol, dan Jalan Provinsi serta dapat memperbesar resiko kecelakaan di Jalan. Pemerintah telah mengambil tindakan dengan mengeluarkan banyak peraturan untuk mengontrol mengenai ketentuan batas maksimal muatan terhadap angkutan jalan di Indonesia, tetapi penegakannya lemah dan mengakibatkan banyaknya pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi para pengguna jalan lainnya. Sehingga, pemerintah disini harus mengambil tindakan untuk meningkatkan efektivitas dari penerapan peraturan terkait ODOL. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis empiris dengan conceptual approach dan statute approach. Atas permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menemukan penyebab kerusakan berkala terhadap infrastruktur jalan dan menganalisis bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi masalah pelanggaran kendaraan angkutan jalan ODOL. Kata Kunci: Kerusakan Jalan; Overload; Over Dimension

180


ABSTRACT Indonesian Economic growth will not run effectively if it is not accompanied by growth of transportation sector. Land transportation in Indonesia must continue to be massively developed because it has a very important role on development of the national economy. Infrastructure is an important part of a country's economic development because the sustainability and welfare of people's lives will be more guaranteed. After all, the cost is cheaper, effective, and efficient because access between regions becomes easier. However, the phenomenon of Over Dimension and Overload (ODOL) road transport vehicles is a serious problem. Along with the development of land transportation, it has a negative effect that harms the condition of road infrastructure due to the practice of ODOL on-road transportation. ODOL can be detrimental to the state because it increases the budget for the maintenance of national road infrastructure, toll roads, and provincial roads and can increase the risk of road accidents. The government has taken action by issuing many regulations to control the maximum load limit for road transport in Indonesia, but enforcement is weak and results in violations that cause harm to other road users. Thus, the government here must take action to increase the effectiveness of the implementation of regulations related to ODOL. The method used in this paper is empiric juridical with a conceptual approach and a law approach. For these problems, this study aims to find periodic improvements to road infrastructure and analyze the government's role in overcoming the problem of ODOL road transport vehicles. Keywords: Overload; Over Dimension; Road Damage

181


BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Jalan merupakan salah satu infrastruktur yang sangat penting. Karena, jalan memiliki fungsi untuk menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, baik untuk kepentingan transportasi orang maupun barang atau logistik. Infrastruktur jalan juga merupakan unsur yang penting dalam hal pengangkutan barang dengan angkutan darat. Dikarenakan oleh kegunaan dan dampak positifnya terhadap perekonomian negara, infrastruktur jalan dibangun dan dirawat dengan baik. Di Indonesia terdapat berbagai jenis peraturan perundang-undangan (law) dan regulasi-regulasi (regulation) yang mengatur tentang bagaimana proyek pengadaan jasa konstruksi jalan sampai dengan bagaimana merawat jalan itu agar tidak rusak. Rusaknya jalan dapat menyebabkan kerugian yang cukup fatal dan merugikan seluruh pengguna jalan yang melintas. Kerugian itu dapat berupa hambatan dari segi durasi dikarenakan jalan tidak rata atau berlubang sampai dengan terjadinya kecelakaan akibat rusaknya jalan. Rusaknya jalan dapat disebabkan oleh banyak faktor baik dikarenakan oleh dampak alami maupun dikarenakan kelalaian manusia. Salah satu contoh penyebab rusaknya jalan disebabkan oleh kelebihan muatan. Ketika perekonomian berkembang hal itu tentunya diikuti dengan pertumbuhan lalu lintas, baik dari segi jumlah kendaraannya maupun beban yang diangkut. Tiap-tiap jalan memiliki batas maksimal beban yang dapat diangkut melewati jalan tertentu. Di Provinsi Riau, menurut riset yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau sejumlah 45% kerusakan jalan di Riau disebabkan oleh kelebihan muatan.1 Walaupun telah banyak peraturan yang mengatur tentang batas maksimal muatan yang boleh diangkut, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, nyatanya peristiwa kelebihan muatan ini masih sering terjadi. Salah satu penyebabnya adalah

1 Leo Sentosa dan Asrri Awal Roza, ‘Analisis Dampak Beban Overloading Kendaraan pada Struktur Rigid Pavement Terhadap Umur Rencana Perkerasan (Studi Kasus Ruas Jalan Simp Lago – Sorek Km 77 S/D 78)’ (2012) Vol. 19, No. 2 Jurnal Teknik Sipil: Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil 161.

182


lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran muatan berlebih, sedangkan peningkatan kerusakan jalan yang terjadi lebih besar dari kemampuan pendanaan yang tersedia untuk penanganan jalan.2 Peristiwa muatan berlebih ini sering disebut Over Dimension dan Overload (ODOL). Pengertian dari Overload atau beban berlebih dalam aspek transportasi adalah terdapatnya jumlah berat muatan kendaraan angkutan penumpang, mobil barang, kendaraan khusus, truk gandengan dan truk trailer yang diangkut melebihi Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) atau Muatan Sumbu Terberat (MST) melebihi kemampuan kelas jalan yang ditetapkan.3 Sederhananya Overload merupakan suatu keadaan yang mana sebuah kendaraan pengankut yang mengangkut muatan terindikasi melebihi batas maksimal beban yang ditetapkan.4 Sedangkan Over Dimension adalah keadaan dimana dimensi pengangkut kendaraan tidak sesuai dengan standar produksi pabrik atau telah dimodifikasi secara melawan hukum.5 Pengaturan mengenai larangan Over Dimension dan Overload pada prinsipnya telah diatur dalam ketentuan Pasal 277 jo. Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Selain itu ketentuan tambahannya dapat ditemui dalam Penjelasan Tambahan Huruf e Pasal 131 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Pelarangan atas Over Dimension dan Overload didasarkan atas dampak negatifnya terhadap infrastruktur jalan dan keselamatan pengguna jalan lainnya. Adapun beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh ODOL, yaitu: 1.

Rusaknya infrastruktur jalan lebih cepat dari masa pelayanan yang direncanakan;

2.

Lambatnya laju kendaraan yang sering menyebabkan kemacetan;

2

Ibid., 162. G. Irwan Simanjuntak, ‘Analisis Pengaruh Muatan Lebih (Overloading) Terhadap Kinerja Jalan dan Umur Rencana Perkerasan Lentur (Studi Kasus Ruas Jalan Raya Pringsurat, Ambarawa-Magelang)’ (2014) Vol. 3, No. 3 Jurnal Karya Teknik Sipil 541. 4 Dinas Perhubungan Kabupaten Purworejo, ‘Pengertian Overload’, https://dinhub.purworejokab.go.id/berita/detail/pengertian-overload, accessed 25 September 2021. 5 Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara, ‘Larangan Overdimensi dan Overload Pada Kendaraan Bermotor’, Website Dishub Kutai Kartanegara, https://dishub.kukarkab.go.id/detailpost/larangan-overdimensi-dan-overload-pada-kendaraan-bermotor, accessed 25 September 2021. 3

183


3.

Waktu tempuh perjalanan yang lama (boros bahan bakar dan meningkatkan polusi udara); dan

4.

Terjadinya kecelakaan akibat underspeed, pecah ban, dan rem blong. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan

(Kemenhub) Budi Setiyadi, ODOL menimbulkan kerugian negara yang cukup besar karena kontribusinya pada kerusakan jalan dan kecelakan.6 Bahkan, dalam satu tahun kerugian negara yang disebabkan oleh peristiwa ODOL mencapai Rp43 Triliun.7 Selain itu, dilansir dari data Jasa Marga rata-rata kecelakaan ‘tabrak belakang’ mencapai 33% yang disebabkan oleh kendaraan yang berjalan lambat yang menimbulkan suatu gap kecepatan dengan kendaraan lain.8 Serta, berdasarkan data Korlantas Polri dari Integrated Road Safety Management System (IRSMS) dalam kecelakaan lalu lintas pada tahun 2018 sebagian besar disebabkan oleh ODOL.9 Berdasarkan pada uraian diatas, maka dalam penelitian ini penulis akan membahas terkait bagaimana praktik Overload dan Over Dimension di Indonesia dan peran pemerintah dalam menertibkan praktik tersebut. 1.2

Rumusan Masalah 1.

Bagaimana dampak dari Over Dimension dan Overload terhadap infrastruktur jalan dan pengguna jalan lainnya?

2.

Bagaimana Peran Pemerintah dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat praktek Over Dimension dan Overload?

1.3

Dasar Hukum 1.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan;

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan;

Insi Nantika Jelita, ‘Kerugian Negara Akibat Truk ODOL Capair Rp43 Triliun’, Media Indonesia, https://mediaindonesia.com/ekonomi/409487/kerugian-negara-akibat-truk-odol-capai-rp43-triliun, accessed 25 September 2021. 7 Ibid. 8 Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara, Op.Cit. 9 Ibid. 6

184


3.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 tahun 2020 tentang Statuta Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan;

4.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor;

5.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 134 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor;

6.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 Tahun 2016 tentang Pengaturan dan Pengendalian Yang Menggunakan Jasa Angkutan Penyeberangan;

7.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 30 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor;

8.

Peraturan Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.736/AJ.108/DRJD/2017 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Penumbangan Kendaraan Bermotor di Jalan.

185


BAB II ANALISIS 2.1

Dampak Dari Over Dimension Dan Overload Terhadap Infrastruktur Jalan dan Pengguna Jalan Over Dimension dan Overload (ODOL) adalah suatu permasalahan multidimensional secara sosial-ekonomi di Indonesia, tidak hanya menjadi suatu permasalahan yang meresahkan dalam bidang transportasi, tetapi juga pada pihak – pihak seperti Polri, Kementerian PUPR, Pemerintah Daerah, Organda, Industri hingga masyarakat. Menurut evaluasi dari Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian ODOL hingga 31 Desember 2020 sendiri masih terdapat 58,8% besar persentase status pelanggaran dalam ODOL. Permasalahan ini memancing dampak besar seperti kerusakan armada, kerusakan infrastruktur jalan, hingga kecelakaan. Menurut analisa pada tahun 2018, tujuh jembatan timbang yang ada di Indonesia atau sebanyak 75% perilaku operator yang menimbulkan pelanggaran overload dan 25% dari pelanggaran overload yang terjadi ada pada muatan yang melebihi berat hingga 100% kali lipat.10 Peningkatan daya rusak atau VDF (Vehicle Damage Factor) yang akan mengakitbatkan memendeknya umur pelayanan jalan disebabkan oleh adanya Overload kendaraan pengakut muatan yang memuat melebihi sebuah batas ketentuan yang ditetapkan. Dapat diketahui kerugian negara akibat memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak hasil dari kelebihan muatan nilainya mencapai sebesar Rp. 43 Triliun Rupiah.11 Salah satu jalan yang tidak dapat terhindar kerusakannya ada pada jalan laju cepat atau jalan tol, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) disini juga harus menanggung beban biaya perbaikan dan pemeliharaan jalan tol sekitar Rp. 11 Triliun per tahun untuk kerusakan jalan tol yang diakibatkan sebagian besar oleh truk yang melampaui batas dimensi dan muatan. Upaya dalam

10

Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat, Over Dimensi & Overloading pada Angkutan barang di Jawa Barat, https://www.appi.or.id/public/images/img/Bahan%20Odol%20Pupuk%20Cikampek.pdf accessed 7 Oktober 2021. 11 Stanly Ravel, ‘Kemenhub Bakal Galak Hadapi Truk ODOL’, Kompas.com, https://yogyakarta.kompas.com/read/2018/07/31/194200315/kemenhub-bakal-galak-hadapi-truk-odol, accessed 7 Oktober 2021.

186


menindak truk kelebihan muatan yang memasuki jalan laju cepat ini BPJT sudah melakukan dua cara yaitu, 1. Adanya pemasangan teknologi weight in motion atau biasa disebut WIM pada ruas jalan tol ditambah adanya penindakan langsung pada jalan tol; 2. Adanya penegakan hukum seperti penerapan tilang elektronik yang dapat mendeteksi secara langsung kendaraan dengan Over Dimension. Banyaknya pelanggaran Over Dimension dan Overload disini diakibatkan karena perusahaan berusaha memaksimalkan tambahan keuntungan dan logistic cost yang kompetitif dengan memberi tambahan beban barang pada truk hingga tidak memikirkan terkait kendaraan, infrastruktur jalan hingga keselamatan pengguna jalan lainnya. Pada saat Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang merupakan transisi menuju new normal mendorong pemerintah untuk menghadirkan sejumlah kebijakan di bidang transportasi yang salah satunya memuat terkait keberadaan truk yang masuk sebagai kategori Overload dan Over dimension. Sebab, disaat masa New Normal yang sedang berlangsung di Indonesia, Truk bermuatan Overload dan Over dimension sendiri marak terjadi dan jumlahnya meningkat secara signifikan melewati ruas – ruas jalan tol, hal ini terlihat karena pengurangannya volume kendaraan yang turun drastis ketika masa PSBB dan PPKM diberlakukan pemerintah, truk ODOL menjadi terlihat lebih jelas dibandingkan dengan volume kendaraan sebelum peraturan tersebut berlaku. ODOL sendiri disini tidak hanya ada pada Truk yang memiliki muatan berlebih, namun juga diterapkan oleh Bus Pariwisata antar daerah. Kendaraan ODOL ini tidak hanya membahayakan dari segi keselamatan, tetapi juga memiliki potensi besar membuat kerusakan jalan menjadi lebih cepat. Menurut Djoko Setijowarno,

Ketua

Bidang

Advokasi

dan

Kemasyarakatan

Masyarakat

Transportasi Indonesia (MTI), banyak sekali contoh infrastruktur jalan yang rusak akibat dari kendaraan berdimensi berat yang tidak sesuai, untuk perjalanan antar pulau sendiri kendaraan ODOL menjadi salah satu alasan meningkatnya kemungkinan tenggelamnya kapal. Berdasarkan data yang dihimpun pihak MTI sampai 2020 tercatat ada 272 atau 48% kecelakaan di jalan tol yang diakibatkan oleh truk yang sebagian merupakan truk terindikasi ODOL, sehingga tidak hanya

187


menyebabkan kerusakan infrastruktur tapi juga bertambahnya angka kecelakaan lalu lintas. Kerusakan – kerusakan jalan yang menjadi berkali lipat lebih cepat tentunya akan sangat menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sejatinya dapat dialokasikan pada program pembangunan infrastruktur yang lain. Kerusakan jalan disebabkan oleh muatan kendaraan angkutan berat dan pertumbuhan volume lalu lintas kendaraan. Perhitungan mengenai volume lalu lintas sendiri sudah diperhitungkan dengan menggunakan nilai maksimal pada saat perencanaan sehingga seharusnya mampu menampung beban maksimal volume lalu lintas hingga mencapai umur rencana perkerasan. Faktor beban muatan angkutan berat sendiri dapat dibuktikan dengan cara identifikasi berat muatan kendaraan pada ruas jalan yang dimana pengidentifikasian tersebut hanya dilakukan pada kendaraan berat yang memiliki nilai daya rusak tinggi yaitu golongan 6B, 7A dan 7B. Kendaraan golongan 6B merupakan jenis Truk 2 Sumbu 6 roda, yaitu kendaraan barang yang memiliki muatan sebesar 8 - 10 ton, Kendaraan 7A merupakan Truk 3 sumbu, yaitu kendaraan barang dengan 3 sumbu dengan sumbu tunggal roda tunggal dan sumbu ganda roda ganda, dan Kendaraan 7B merupakan truk gandengan yaitu kendaraan nomor 6 atau 7 yang diberi gandengan bak dan dihubungkan dengan batang besi atau disebut juga Full Trailer Truck. Untuk mendalami permasalahan mengenai kendaraan Over Dimension dan Overload, penulis melakukan wawancara dengan pengusaha ekspedisi peti kemas yang sudah lebih dari 20 tahun menjalankan usahanya. Dalam wawancara tersebut, beliau menegaskan bahwa di bidang ekspedisi peti kemas sendiri, over dimension jarang sekali terjadi, karena peti kemas yang diangkut sudah pasti masuk ke dalam ketentuan Pasal 7 Kemenhub No. 14 tahun 2007, yaitu memenuhi ketentuan ISO untuk peti kemas ukuran 20 kaki, 40 kaki, dan 45 kaki, sehingga untuk peti kemas hanya tersedia dalam tiga ukuran mutlak tersebut. Terkait dengan overload sendiri sayangnya masih terjadi, tergantung dari apa jenis muatan yang akan dimuat. Disini beliau mencontohkan, jika perusahaan mendapat muatan kapas atau makanan maka estimasi overload tidak akan terjadi, namun berbeda jika muatan yang harus dimuat adalah jenis besi, disini perusahaan 188


akan memaksimalkan ketersediaan tempat untuk mengisi penuh, walaupun total berat dari besi tersebut dapat terindikasi menjadi overload. Menjelaskan terkait adanya aturan berat maksimal pada suatu truk pengangkut sendiri tergantung dengan hasil Uji berkala kendaraan bermotor yang sudah dilakukan sebelum armada tersebut mengangkut barang. Hal tersebut merujuk pada Pasal 49 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Barang, ada padanya turun sebuah Kartu Uji berkala dan tertulis terkait jumlah berat kombinasi yang diperbolehkan dan jumlah berat kombinasi yang diizinkan. Selain itu, dasar mengenai beban maksimum kendaraan di jalan raya sendiri juga diatur pada Pasal 19 ayat (2) Undang Undang No. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan serta aturan teknis mengenai muatan kendaraan diatur pada Pasal 55 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2012 terkait Panjang lebar dan tinggi ukuran bak muatan, serta Pasal 57 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2012 terkait perhitungan Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) dan Jumlah Berat Kombinasi yang Diizinkan (JBKI). Dalam perusahaan ekspedisi tersebut terdapat contoh salah satu armada yang digunakan untuk memuat peti kemas, disitu tertulis untuk JBB/JBKB ada pada 25.000 kg, sedangkan pada JBI/JBKI ada pada maksimal 21.500 kg. Perbedaan JBB/JBKB dengan JBI/JBKI sendiri adalah pada JBI/JBKI berat yang dihitung adalah berat kendaraan bermotor beserta muatan yang diizinkan berdasarkan kelas jalan yang dilalui hal ini telah melalui pertimbangan kekuatan dan, kekuatan rancangan sumbu sebagai upaya dalam peningkatan usia jalan, kendaraan dan keselamatan di jalan. Sedangkan pada JBB/JBKB berat yang terhitung ditetapkan oleh pabrikan sesuai dengan rancangan sumbu yang sudah pasti JBI/JBKI tidak akan lebih tinggi daripada JBB/JBKB. Banyaknya kasus pelanggaran muatan berlebih (Over Dimension dan Overload) menyebabkan kerugian yang besar bagi masyarakat dan pemerintah. Salah satu kasus Over Dimension dan Overload yang berkaitan dengan keamanan pengemudi dan keselamatan pengguna jalan terjadi di Malinau Kalimantan Utara yaitu meninggalnya salah satu penumpang truk bermuatan ODOL. Kasus ini telah disidangkan dan telah diputus di Pengadilan Negeri Malinau. Meninggalnya korban disebabkan oleh malfungsi rem angin Dump Truk Hino Roda 10 dengan muatan

189


batu bara seberat 24.100 Kg, melaju dengan kecepatan +40 km/jam dijalanan tanah dengan medan yang cukup terjal. Berdasarkan hasil pengujian kendaraan bermotor pada balai pengujian otomatis dan berdasarkan keterangan ahli dari dinas perhubungan Kabupaten Malinau yang dalam persidangan menerangkan bahwa tidak ditemukan indikasi kerusakan pada mesin maupun indikasi kebocoran kompresor dan kampas rem dalam keadaan tebal, mekanisme truk pada saat melewati turunan menggunakan gigi tendak dan tidak bisa hanya mengandalkan rem angin dengan muatan yang banyak. Apabila tidak menggunakan gigi rendah maka akan membuat pompa kompresor akan menjadi lambat mengisi angin, kapasitas daya angkut mobil dump truk roda 10 Merk Hino tersebut adalah 19.000 kg, sedangkan pada waktu itu terdakwa memuat lebih dari 24.100 Kg batu bara atau dapat dikatakan sebagai kelebihan muatan (Overload). Sehingga, dapat disimpulkan tidak terjadi malfungsi dari rem truk yang dikendarai Terdakwa dan matinya korban dikarenakan oleh lalainya Terdakwa dalam mematuhi ketentuan batas maksimal muatan. Berdasarkan Dakwaan dan Tuntutan yang diajukan Penutut Umum, serta alat bukti lainnya dalam persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malinau menyatakan Pengemudi (Terdakwa) bersalah menurut ketentuan Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Pasal 310 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan sanksi pidana penjara selama 2 bulan. Kasus ini membuktikan bahwa ODOL dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan, bahkan dapat menyebabkan matinya seseorang. 2.2

Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan Akibat Praktek Over Dimension dan Overload Krisis moneter merupakan awal mula hadirnya truk dengan jumlah beban berat muatan melebihi batas maksimal (Overload) dan memiliki dimensi yang tidak sesuai standar Over Dimension. Pada tahun 1990-1998 hampir semua muatan truk sesuai dengan standar pabrik. Kemudian, pada tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis moneter gerbang impor dari jepang terbuka lebar. Untuk memangkas biaya, para pengusaha tertarik pada truk dengan panjang 12 meter (40 feet). Faktanya hadirnya truk ini justru mempermudah dan membantu biaya 190


pengusaha dalam menekan biaya logistik Industri walaupun saat itu Indonesia sedang dilanda krisis moneter. Seiring berjalannya waktu, Teknologi transportasi semakin maju, muncul banyak truk yang dapat mengangkut beban lebih berat. Pada tahun 2008, terjadi krisis moneter kedua yang memaksa para pengusaha menekan biaya logistik lebih besar daripada penekanan biaya krisis moneter pertama. Logistik sendiri disini menjadi masalah utama dalam faktor biaya, sehingga pengusaha mulai mencari cara untuk dapat menggunakan truk dengan efektif dan efisien yang kemudian lahirlah truk besar dengan dimensi luar biasa bahkan mulai bermunculan truk yang menyalahi aturan terkait batasan dimensi dan muatan. Pada saat itu, Kementerian Perhubungan terlambat dalam mengatasi terjadinya kemajuan teknologi ditambah pengawasan dari dinas perhubungan (dishub) tentu membutuhkan biaya.12 Setiap kendaraan bermotor baik mobil, motor, ataupun truk serta kendaraan bermotor lain memiliki potensi untuk mengalami sebuah kecelakaan lalu lintas. Sehingga, untuk meminimalisir potensi tersebut melalui pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pengemudi dan perusahaan angkutan wajib untuk mematuhi tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan dan kelas jalan dalam undang-undang ini. Pasal 106 ayat (3) UU LLAJ menyebutkan bahwa Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan. Dalam memastikan terpenuhinya persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, maka dilaksanakan pengujian kendaraan bermotor (Uji Tipe dan Uji Berkala) yang diatur dalam Pasal 49 UU LLAJ. Dipertegas dengan ketentuan Pasal 50 UU LLAJ yang menyatakan uji tipe wajib dilakukan bagi setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe. UU LLAJ juga mengatur terkait sanksi dari modifikasi kendaraan bermotor, Pasal 277 menyebutkan bahwa setiap orang yang memasukkan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta Kyatmaja Lukman, ‘Overdimension & Overload (ODOL)’, Supply Chain Indonesia, https://supplychainindonesia.com/overdimension-overload-odol/, accessed 27 September 2021. 12

191


tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia membuat, merakit, atau memodifikasi kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban mendapat pidana kurungan penjara paling lama 1 tahun atau denda Rp 24.000.000,-. Tidak hanya undang-undang, terkait ukuran dimensi kendaraan bermotor juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan sebagai pelengkap dari UU LLAJ yang mengatur terkait ‘ukuran kendaraan bermotor’. Lebih lanjut, aturan terkait pengujian tipe kendaraan bermotor diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor. Pemerintah telah mengatur sedemikian rupa dalam hal perlindungan bagi para pengendara, sehingga yang menjadi urgensi disini adalah pengawasannya agar penerapannya sesuai dengan tujuan pengaturannya. Secara konkrit berkaitan dengan pengawasan pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Nomor 134 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor; dan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.736/AJ.108/DRJD/2017 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan; serta Peraturan Menteri Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor tepatnya pada ketentuan Pasal 11 yang menyatakan bahwa Pemeriksaan

persyaratan

teknis

kendaraan

bermotor

meliputi

susunan,

perlengkapan, ukuran, rumah-rumah, rancangan teknis kendaraan bermotor sesuai dengan peruntukannya dan berat kendaraan. Kemudian, berkaitan dengan pengawasan di penyeberangan laut terdapat pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 Tahun 2016 tentang Pengaturan dan Pengendalian Yang Menggunakan Jasa Angkutan Penyeberangan. Keempat aturan tersebut menjadi aturan dasar dalam hal penerapan pengawasan operasional. Tahun 2017, Pemerintah mulai berupaya untuk menuntaskan pelanggaran terhadap ODOL dengan adanya kebijakan bebas ODOL atau lebih sering dikenal dengan “ZERO ODOL”. Meskipun pemerintah telah berupaya mengatur kendaraan bermotor dengan berbagai peraturan perundang-undangan, hal tersebut ternyata tidak cukup untuk menertibkan pengusaha atau masyarakat dalam pelanggaran terhadap truk ODOL.

192


Padahal, dampak yang ditimbulkan ODOL sangat merugikan, misalnya rusaknya infrastruktur jalan dan memperbesar resiko kecelakaan pengguna jalan lainnya. Kondisi infrastruktur yang buruk akan mempengaruhi dan menghambat berbagai kegiatan masyarakat, maka dalam hal ini penerapan aturan mengenai ODOL harus diawasi dengan baik agar sesuai dengan tujuan pembentukannya. Bahkan menurut data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan bahwa dampak kerusakan jalan mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 43 Triliun per Tahun.13 Praktik ODOL sangat merugikan operator jalan tol dan dapat meningkatkan risiko kecelakaan, serta inefisiensi akibat kerusakan yang ditimbulkan. Penyebab terjadinya beban muatan berlebih dari angkutan barang merupakan sumber dari berbagai permasalahan seperti diantaranya: jaringan lintas angkutan barang yang tidak optimal, lokasi simpul UPPKB (Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor) yang tidak strategis, SDM (Sumber Daya Manusia) UPPKB yang tidak kompeten dan lain-lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 134 Tahun 2015 tepatnya pada Pasal 1 angka 2 bahwa Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) adalah unit kerja dibawah kementerian perhubungan yang melaksanakan tugas pengawasan muatan barang dengan menggunakan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada setiap lokasi tertentu. Pada tanggal 24 Februari 2020 dalam rangka koordinasi terkait pengendalian kendaraan ODOL, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian akan memperketat penetapan jembatan timbang.14 Kementerian PUPR juga mendukung penghapusan kendaraan ODOL dengan menggunakan Weight in Motion (WIM) Bridge atau sensor pengukuran beban kendaraan bergerak yang dipasang di jembatan. Pemerintah menetapkan pemberlakuan ODOL mulai tanggal 1 Januari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), ‘Pengendalian ODOL Jaga Kemantapan Jalan dan Keselamatan Berkendara’, Website Kementerian PUPR, https://eppid.pu.go.id/page/kilas_berita/1652/Pengendalian-ODOL-Jaga-Kemantapan-Jalan-danKeselamatan-Berkendara, accessed 3 Oktober 2021. 14 Ibid. 13

193


2023, yang sebelumnya dari 2019 menjadi 2021 karena sektor industri belum siap.15 Sebelumnya kebijakan program Zero ODOL ini sudah melalui penundaan sebanyak lima kali sejak tahun 2017. Pandemi COVID-19 juga merupakan salah satu alasan penundaan program tersebut karena mengakibatkan kinerja sebagian besar produksi industri turun drastis, sehingga kebijakan ODOL nantinya akan membuat sebagian besar produksi industri turun drastis dan akan memperburuk kondisi finansial perusahaan yang nantinya akan berimbas pada perekonomian negara. Telah terbukti bahwa tilang sendiri tidak memberikan efek jera pada oknum pelanggar ketentuan ODOL sehingga Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat bertekad bulat akan menjadikan Indonesia terbebas dari kendaraan angkutan barang yang masuk dalam kategori Over Dimension Overloading (ODOL) yang telah terencana akan berjalan pada tahun 2023.16 Strategi pemerintah dalam penerapan Zero ODOL disini melalui berbagai cara, seperti pengadaan insentif bagi pengusaha angkutan barang yang melakukan normalisasi armada pada bengkel resmi antara lain berupa pembebasan denda (amnesti sertifikat lulus uji tipe/SRUT dan Sertifikat Uji Tipe/ SRUT) atau keringanan pajak untuk peremajaan armada truk yang sejatinya masih perlu dilakukan pembahasan dengan Ditjen Pajak. Selain itu juga penggunaan teknologi digital juga dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah dengan penerapan jembatan timbang online (JTO) yang didukung dengan penerapan sistem electronic traffic law enforcement (e-tilang), digitalisasi layanan registrasi uji tipe (e-SRUT), serta pengujian berkala kendaraan bermotor (BLUe) untuk memudahkan pendataan dan identifikasi kendaraan angkutan barang. 17 Tahun 2021 juga terdapat kegiatan lain dalam upaya merealisasikan perencanaan program bebas ODOL pada tahun 2023 yaitu dengan adanya Rinaldi Mohammad Azka, ‘Sah, Pemberantaan Truk ODOL Dimulai Januari 2023’, Bisnis.com, https://ekonomi.bisnis.com/read/20200224/98/1205006/sah-pemberantasan-truk-odol-dimulai-januari2023?utm_source=Desktop&utm_medium=Artikel&utm_campaign=BacaJuga_1, accessed 3 Oktober 2021. 16 Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, ‘Pemerintah Berkomitmen Indonesia Harus Bebas dari Kendaraan ODOL di 2023’, Website Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, http://dephub.go.id/post/read/pemerintah-berkomitmen-indonesia-harus-bebas-dari-kendaraan-odol-di2023 , accessed 7 Oktober 2021 17 Media Indonesia.com, ‘Kebijakan Zero ODOL Sudah Ditunda Lima Kali’, Media Indonesia, https://mediaindonesia.com/ekonomi/411182/xxxx, accessed 7 Oktober 2021 15

194


pengembangan

sistem

e-enforcement,

pengembangan

integrasi

sistem,

pembentukan database pengemudi, peningkatkan kualitas jalan dan jembatan, serta adanya MoU dengan pihak - pihak terkait seperti Kementerian PUPR dan Polri. Upaya - upaya yang telah berjalan tersebut merupakan suatu progress dan merupakan langkah - langkah strategis dalam mewujudkan program pemerintah “Bebas Over Dimension Overloading (ODOL)” yang penetapan aturannya akan direncanakan pada 2023.18

18 Ruly Kurniawan, ‘Kemenhub Siapkan Berbagai Langkah Strategis Menuju Bebas ODOL 2023’, Kompas.com, https://otomotif.kompas.com/read/2021/01/21/181109515/kemenhub-siapkan-berbagailangkah-strategis-menuju-bebas-odol-2023, accessed 7 Oktober 2021.

195


BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Saran Over Dimension dan Overload (ODOL) masih menjadi suatu permasalahan multidimensional secara sosial-ekonomi di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan oleh ODOL cukup serius, mulai dari rusaknya infrastruktur jalan, menghambat berbagai kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan penggunaan jalan, menyebabkan kecelakaan, dan bahkan tidak jarang merenggut nyawa seseorang. Atas

peristiwa tersebut,

negara telah rugi

43 Triliun

Rupiah untuk

menanggulanginya. Sebenarnya, di Indonesia pengaturan mengenai ODOL telah cukup banyak, belum lagi berbagai kebijakan Pemerintah yang secara teoritis telah cukup untuk menanggulangi masalah ODOL yang terjadi di Indonesia. Namun, secara faktual aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang ada belum secara efektif dapat menertibkan ODOL. Dalam hal ini masih banyak oknum-oknum baik pengusaha ekspedisi, supir, dan aparat penegak hukum yang tidak taat. Berbagai cara digunakan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecilkecilnya. Sehingga, mengenai ODOL sendiri yang menjadi urgensi adalah pengawasan dalam penerapan aturan dan kebijakan yang ada agar penerapannya dapat dilakukan dengan efisien serta sesuai dengan tujuan aturan dan kebijakan itu dibuat. Untuk itu pemerintah kedepannya telah berencana untuk menerapkan program bebas ODOL (Zero ODOL) pada tahun 2023 dengan memanfaatkan teknologi termutakhir dan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, sehingga dapat dikatakan pemerintah tidak tutup mata dan mengambil langkah penyelesaian mengenai ODOL dan dampak yang disebabkan. Untuk merealisasikan rencana pemerintah berkaitan dengan Zero ODOL selain pengaturannya yang harus disusun secara sistematis dan komprehensif, pengawasan dalam penerapannya juga sangat penting. Pemerintah harus memanfaatkan

berbagai

teknologi

untuk

mengawasi,

mencegah

dan

menanggulangi ODOL yang terjadi di Indonesia. Selain itu, harus ada lembaga yang mengawasi aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk mengawasi dan

196


menanggulangi praktik ODOL di Indonesia. Karena, penerapan hukum akan efisien apabila tidak terdapat celah untuk melanggar baik oleh masyarakat (pengusaha, sopir truk, dan pihak terkait), maupun aparat penegak hukum yang ingin memperoleh keuntungan secara melawan hukum. Selain itu penerapan sanksi yang tegas baik administratif maupun pidana bagi masyarakat yang melanggar dan aparat penegak hukum yang lalai menjalankan tugasnya atau dengan sengaja untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum, tidak melakukan sesuatu yang menjadi kewajibannya dalam mengawasi serta menanggulangi ODOL sesuai dengan aturan yang ada.

197


DAFTAR BACAAN JURNAL Sentosa, L. dan Asrri Awal Roza, ‘Analisis Dampak Beban Overloading Kendaraan pada Struktur Rigid Pavement Terhadap Umur Rencana Perkerasan (Studi Kasus Ruas Jalan Simp Lago – Sorek Km 77 S/D 78)’ (2012) Vol. 19, No. 2 Jurnal Teknik Sipil: Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil. Simanjuntak, G. Irwan, ‘Analisis Pengaruh Muatan Lebih (Overloading) Terhadap Kinerja Jalan dan Umur Rencana Perkerasan Lentur (Studi Kasus Ruas Jalan Raya Pringsurat, Ambarawa-Magelang)’ (2014) Vol. 3, No. 3 Jurnal Karya Teknik Sipil

LAMAN Azka, Rinaldi Mohammad, ‘Sah, Pemberantaan Truk ODOL Dimulai Januari 2023’, Bisnis.com,

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200224/98/1205006/sah-

pemberantasan-truk-odol-dimulai-januari2023?utm_source=Desktop&utm_medium=Artikel&utm_campaign=BacaJuga_ 1 , accessed 3 Oktober 2021. Dinas

Perhubungan

Kabupaten

Purworejo,

‘Pengertian

Overload’,

https://dinhub.purworejokab.go.id/berita/detail/pengertian-overload , accessed 25 September 2021. Dinas Perhubungan Kabupaten Kutai Kartanegara, ‘Larangan Overdimensi dan Overload Pada

Kendaraan

Bermotor’,

Website

Dishub

Kutai

Kartanegara,

https://dishub.kukarkab.go.id/detailpost/larangan-overdimensi-dan-overloadpada-kendaraan-bermotor , accessed 25 September 2021. Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat, Over Dimensi & Overloading pada Angkutan barang

di

Jawa

Barat,

https://www.appi.or.id/public/images/img/Bahan%20Odol%20Pupuk%20Cikam pek.pdf accessed 7 Oktober 2021. Jelita, Insi Nantika, ‘Kerugian Negara Akibat Truk ODOL Capair Rp43 Triliun’, Media Indonesia, https://mediaindonesia.com/ekonomi/409487/kerugian-negara-akibattruk-odol-capai-rp43-triliun , accessed 25 September 2021.

198


Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), ‘Pengendalian ODOL Jaga Kemantapan Jalan dan Keselamatan Berkendara’, Website Kementerian PUPR, https://eppid.pu.go.id/page/kilas_berita/1652/Pengendalian-ODOL-JagaKemantapan-Jalan-dan-Keselamatan-Berkendara, accessed 3 Oktober 2021. Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, ‘Pemerintah Berkomitmen Indonesia Harus Bebas dari Kendaraan ODOL di 2023’, Website Kementerian Perhubungan Republik

Indonesia,

http://dephub.go.id/post/read/pemerintah-berkomitmen-

indonesia-harus-bebas-dari-kendaraan-odol-di-2023, accessed 7 Oktober 2021. Kurniawan, Ruly, ‘Kemenhub Siapkan Berbagai Langkah Strategis Menuju Bebas 2023’,

ODOL

Kompas.com,

https://otomotif.kompas.com/read/2021/01/21/181109515/kemenhub-siapkanberbagai-langkah-strategis-menuju-bebas-odol-2023, accessed 7 Oktober 2021. Lukman, Kyatmaja, ‘Overdimension & Overload (ODOL)’, Supply Chain Indonesia, https://supplychainindonesia.com/overdimension-overload-odol/, accessed 27 September 2021. Media Indonesia.com, ‘Kebijakan Zero ODOL Sudah Ditunda Lima Kali’, Media Indonesia,

https://mediaindonesia.com/ekonomi/411182/xxxx,

accessed

7

Oktober 2021. Ravel, Stanly, ‘Kemenhub Bakal Galak Hadapi Truk ODOL’, Kompas.com, https://yogyakarta.kompas.com/read/2018/07/31/194200315/kemenhub-bakalgalak-hadapi-truk-odol, accessed 7 Oktober 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5317). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 tahun 2020 tentang Statuta Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1416).

199


Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1296). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 134 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1297). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 27 Tahun 2016 tentang Pengaturan dan Pengendalian Yang Menggunakan Jasa Angkutan Penyeberangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 430). Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 30 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 517). Peraturan Jenderal Perhubungan Darat Nomor SK.736/AJ.108/DRJD/2017 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Penumbangan Kendaraan Bermotor di Jalan.

200


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI MITRA GO-JEK TERHADAP PESANAN FIKTIF Helen Golden helengoldenn@gmail.com Universitas Airlangga

ABSTRAK Perkembangan yang sangat pesat telah terjadi dalam penggunaan teknologi. Melalui smartphone yang terkoneksi dengan jaringan internet, saat ini manusia dapat melakukan segala aktivitas dari telepon genggam, baik dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi. Perkembangan ini nyatanya juga berdampak pada bidang transportasi, sebagaimana PT. Gojek Indonesia memanfaatkan peluang tersebut dalam menyediakan jasa angkutan online yang berbasis e-commerce. Kenyataanya masih terdapat permasalahan yang kerap terjadi dalam penggunaan jasa, seperti pesanan fiktif. Peristiwa ini terjadi ketika mitra go-jek yang sudah membeli pesanan konsumen, tetapi konsumen tidak dapat dihubungi dan tidak membayar pesanan yang sudah dibeli oleh mitra. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap mitra Go-Jek atas pesanan fiktif dan pertanggungjawaban perusahaan PT. Gojek Indonesia terhadap peristiwa tersebut. Pesanan Fiktif dapat diidentifikasi melanggar Pasal 5 huruf b UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena hal ini dilakukan oleh konsumen yang tidak memiliki niat baik dalam melakukan transaksi. Meskipun dalam hal ini perusahaan telah menegaskan untuk tidak bertanggung jawab atas kerugian mitra, melalui perjanjian tersebut terjadinya pengalihan tanggung jawab/memberatkan dan tidak terdapatnya unsur itikad baik sebagaimana diatur pada Pasal 1338 ayat (3) Burgerlijk Wetboek (BW) sebagai asas dari suatu perjanjian. Oleh karena itu, melalui fenomena pesanan fiktif ini, PT Go-Jek Indonesia seharusnya membuat kesepakatan yang juga memberikan perlindungan hukum yang lebih baik kepada mitra mengalami kerugian akibat pesanan fiktif dan menyediakan solusi preventif agar kejadian ini tidak terus berulang terjadi. Kata Kunci: Go-Jek; Perlidungan Hukum; Pesanan Fiktif

ABSTRACT Very rapid development has occurred in the use of technology. Through smartphones connected to the internet network, today humans can do all activities from mobile phones, both in obtaining information and communicating. This development also has an impact on the field of transportation, as well as PT. Gojek Indonesia takes advantage of this opportunity in providing online transportation services based on ecommerce. There are still problems that often occur in the use of services, such as fictitious orders. This event occurs when Go-Jek partners have purchased consumer orders, but consumers cannot be contacted and do not pay for orders that have been purchased by partners. This article aims to find out the legal protection of Go-Jek partners for fictitious orders and corporate liability of PT. Gojek Indonesia against this event. Fictitious Orders may be identified in violation of Article 5 letter b of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection because this is done by consumers who do not have good intentions in making transactions. Although in this case, the company has asserted not to be liable for partner losses, through the agreement there is a transfer of responsibility / burdensome and the absence of an element of good faith

201


as stipulated in Article 1338 paragraph (3) Burgerlijk Wetboek (BW) as the basis of an agreement. Therefore, through this fictitious order phenomenon, PT Go-Jek Indonesia should make an agreement that also provides better legal protection to partners experiencing losses due to fictitious orders and provides preventive solutions so that these events do not continue to repeat themselves. Keywords: Go-Jek; Fictitious Orders; Legal Protections

202


BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Teknologi saat ini berkembang dengan sangat pesat, dalam hitungan sepersekian detik seseorang dapat mengakses informasi apapun melalui teknologi. Perkembangan yang begitu cepat di masa digital ini juga dikarenakan oleh hadirnya internet di tengah masyarakat. Melalui koneksi internet yang digunakan menggunakan media berbentuk teknologi digital, pengguna dapat mencari informasi apapun yang mereka ingin ketahui. Hadirnya internet di sekitar kita, saat ini juga mendorong berbagai inovasi yang muncul setiap saat, sampai terkadang sebagai pengguna kita tidak bisa selalu mengikuti perkembangan tersebut. Inovasi yang dihasilkan oleh eksistensi internet masa ini juga mendorong terjadinya fenomena digitalisasi, di mana segala sesuatu kegiatan manusia dapat dibantu dengan kehadiran teknologi. Kini teknologi diciptakan tidak hanya membantu atau meringankan pekerjaan manusia, bahkan teknologi saat ini dapat menggantikan peran manusia dalam melakukan pekerjaannya. Melalui perkembangan dan memasuki masa digitalisasi saat ini, tidak hanya dilakukan dalam mengakses informasi. Teknologi digital juga sudah masuk ke dalam bidang keuangan, kesehatan, pendidikan, bahkan transportasi. Melihat perkembangan teknologi digital yang saat ini dapat diakses kapanpun dan di manapun hanya melalui telepon genggam yang terhubung dengan koneksi internet, kemajuan ini dianggap sebagai salah satu peluang karena masif nya pengguna internet yang terus meningkat setiap saat. Peluang ini juga dimanfaatkan oleh salah satu perusahaan transportasi online karya anak bangsa yaitu PT Gojek Indonesia. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang transportasi, dimana fasilitas yang ditawarkan berupa jasa angkutan online. Kemudahan dalam penggunaan jasa ini dinilai terpercaya oleh masyarakat. Pada tahun 2020, tercatat 38 juta pengguna aktif Go-jek yang terdaftar dan turut berpartisipasi memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan perusahaan ini. Kontribusi Go-Jek pada tahun 2020

203


sebesar Rp104,6 triliun yang terbagi menjadi dua yaitu kontribusi langsung mitra dan luar ekosistem Go-Jek yang berhubungan dengan layanan GoFood.1 Dilihat dari dampak yang ditimbulkan Go-Jek membuat perusahaan juga berusaha untuk menjaga kepercayaan pengguna, dengan memperbanyak mitra, menyediakan fasilitas yang nyaman, bahkan sampai menjamin asuransi kecelakaan. Upaya perusahaan untuk tetap menjaga kualitas bisnis ini tidak luput dari permasalahan yang juga semakin kompleks, sejalan dengan beroperasinya perusahaan. Perlu diketahui bahwa Go-Jek tidak hanya menawarkan jasa angkutan online yang diperuntukkan oleh manusia, tetapi juga menawarkan jasa angkut makanan atau bahkan belanjaan. Melalui tulisan ini, akan dibahas secara terfokus pada salah satu jasa yang ditawarkan oleh PT. Gojek Indonesia yaitu GoFood. Go-Jek dalam hal ini menawarkan berbagai layanan, salah satunya pada menu aplikasi Go-Jek terdapat layanan pesan antar makanan yang disebut dengan GoFood. Layanan ini telah menjalin kerja sama dengan ribuan outlet restoran yang mendaftarkan diri untuk dapat diakses di Go-Jek. Cara penggunaanya juga sangat mudah, pengguna cukup memilih restoran yang tertera di aplikasi, kemudian memilih menu makanan yang ingin dipesan, dan membayar total harga yang telah tertera di aplikasi. Cara kerja Go-Jek dalam mengakses layanan Go-Food yaitu dengan menjangkau para pengemudi yang berada di sekitar restoran yang dipilih. Melalui kerja sama Go-Jek dengan pengemudi diatur pula perjanjian kemitraan dengan pengemudi yang berperan sebagai penyedia jasa. Kehadiran Go-Food di tengah-tengah kehidupan saat ini merupakan suatu inovasi yang kehadirannya sangat memudahkan msyarakat dalam melakukan aktivitas pesan-antar makanan. Kondisi masyrakat saat ini yang cenderung instan, membuat Go-Food menjadi solusi apabila konsumen tidak ingin atau tidak bisa keluar rumah untuk memesan makanan. Semakin berkembangnya bisnis ini, disadari pula semakin kompleks permasalahan yang harus dihadapi. Pada layanan Go-Food saat ini, terdapat salah satu permasalahan yang belum terselesaikan melalui eksistensi jasa ini, yaitu pesanan fiktif. Pesanan fiktif merupakan kegiatan dimana konsumen melakukan pemesanan makanan secara online melalui aplikasi, 1 Bianda Ludwianto, ‘10 Tahun Gojek: 38 Juta Pengguna Aktif Bulanan Hingga Cetak Laba’, Kumparan. <https://kumparan.com/kumparantech/10-tahun-gojek-38-juta-pengguna-aktif-bulananhingga-cetak-laba-1uZiKid82Mo/full> accessed 26 September 2021.

204


kemudian pesanan tersebut sudah dibelikan oleh mitra atau driver, tetapi saat driver mengantarkan pesanan tersebut, konsumen mendadak menghilang atau tidak bisa di hubungi, dan berakhir tidak membayar pesanan yang sudah dibelikan oleh driver. Tentu hal ini sangat merugikan bagi driver karena sistem pembayaran GoFood itu sendiri masih tersedia metode pembayaran tunai yang mengharuskan driver untuk membayarkan terlebih dahulu pesanan tersebut, kemudian konsumen akan mengganti uang driver melalui pembayaran saat makanan sudah sampai ke tempat tujuan. Ketika terjadinya pesanan fiktif, dinilai merugikan bagi para pengemudi karena konsumen tidak menjalankan kewajibannya untuk membayar sesuai nilai yang telah disepakati sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sangat disayangkan, hingga hari ini belum ada peraturan yang mengatur secara ksusus tetang permasalahan yang dialami, perusahaan PT. Gojek Indonesia sebenarnya mengatur dalam perjanjian kerja antara mitra dan perusahaan, tetapi perjanjian tersebut dapat disebut tidak diketahui apakah kedua pihak menyepakati tentang perjanjian tersebut sesuai dengan yang diatur pada Pasal 1320 BW. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dibahas tentang perlindungan hukum terhadap mitra atas orderan fiktif dan pertanggungjawaban perusahaan PT Gojek Indonesia dalam mengatasi permasalahan pemesanan fiktif yang masih kerap terjadi hingga saat ini.

1.2

Rumusan Masalah 1.

Apa perlindungan hukum yang dapat dilakukan guna melindungi mitra atas permasalahan pesanan fiktif?

2.

Apa bentuk pertanggungjawaban perusahaan PT Gojek Indonesia terhadap permasalahan pesanan fiktik yang dialami oleh mitra?

1.3

Dasar Hukum 1.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – Burgerlijk Wetboek (BW);

2.

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

205


BAB II ANALISIS

2.1

Apa perlindungan hukum yang dapat dilakukan guna melindungi mitra atas permasalahan pesanan fiktif? Perlidungan hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan dari kesewenangan. Menurut C.S.T. Kansil perlindungan hukum merupakan berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Pendapat tentang perlindungan hukum juga ditambahkan menurut Satjipto Rahardjo yaitu perlindungan hukum adalah pemberian pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.2 Dalam menjalin suatu hubungan hukum, para pihak harus mendapatkan perlindungan, dimana perlindungan hukum dibentuk untuk melindungi hak dan kewajiban para pihak yang berdasar pada hukum. Perlindungan hukum juga terdiri dari dua bentuk yaitu preventif maupun represif. Hadirnya perlidungan hukum bagi para pihak juga berfungsi agar tidak terjadinya kesewenang-wenangan pihak yang berkuasa, sehingga pihak-pihak yang berkaitan tidak mengalami terjadinya pengurangan hak dan kewajiban. Selain itu, perlidungan hukum yang bertujuan memberikan perlindungan kepada para pihak merupakan salah satu tujuan untuk mencapai suatu kepastian hukum. Go-Jek merupakan perusahaan hasil karya anak bangsa yang merupakan suatu layanan yang menawarkan jasa transportasi berbasis online yang dapat diakses dan digunakan melalui aplikasi yang dapat diunduh di smartphone. PT Gojek Indonesia merupakan perusahaan yang melakukan pengelolaan terkait kerja sama mitra dan penyediaan jasa manajemen operasional kepada mitra yang dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi Go-Jek. Sementara itu, mitra Go-Jek

2

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti 2000) 54.

206


adalah pengemudi ojek yang memiliki hubungan kemitraan sebagai pengemudi ojek dengan perusahaan PT Gojek Indonesia. Saat ini, menurut Co-CEO Gojek, Andre Soelistyo mengungkapkan selama 10 tahun beroprasi, Gojek telah memiliki lebih dari 2 juta mitra yang tersebar di Asia Tengara.3 Berbicara tentang perlindungan hukum terhadap transportasi ojek online pada perundang-undangan di Indonesia belum diatur secara khusus, sehingga dasar hukum yang berlaku pada hubungan mitra Go-Jek dan perusahaan hanya berlaku berdasarkan perjanjian elektronik Kerjasama Kemitraan antara mitra dan perusahaan. Dalam ketentuan umum perjanjian ini dijelaskan bahwa perjanjian ini mengatur hubungan antara perorangan (Mitra) dengan PT Paket Global Semesta, sehingga pada perjanjian ini tidak hanya berhubungan dengan satu pihak, tetapi beberapa pihak yaitu PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (AKAB) selaku pemilik aplikasi yang dimanfaatkan konsumen yang telah terdaftar untuk memperoleh jasa layanan antar-jemput barang dan/atau orang, layanan pesan antar barang ataupun jasa lainnya dengan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat atau jasa lainnya. Perjanjian ini juga mengatur tentang definisi Mitra yaitu pihak yang melaksanakan antar-jemput barang dan/atau orang, pesan-antar barang yang sebelumnya telah dipesan konsumen, atau jasa lainnya melalui Aplikasi dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua yang dimiliki oleh mitra sendiri. Melalui perjanjian ini pula, mitra diwajibkan untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya yang diterima melalui aplikasi Go-Jek yang dipesan oleh konsumen. Ini merupakan bentuk dari tanggung jawab yang harus dijalankan berdasar pada perjanjian kemitraan yang merupakan suatu hubungan pekerjaan. Mitra yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, tentu harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan dan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan sebelumnya. Namun, permasalahan yang semakin kompleks saat ini dimungkinkan ketika bukan mitra yang melakukan kelalaian atau tidak melaksanakannya dengan baik sesuai dengan apa yang perjanjian, tetapi juga dimungkinkan ketika konsumen yang tidak memiliki itikad baik dalam melakukan

3 Conney Stephanie, ‘Satu Dekade Beroperasi, Gojek Punya 2 Juta Mitra Pengemudi di Asia Tenggara’, Kompas. <https://tekno.kompas.com/read/2020/11/12/18090947/satu-dekade-beroperasigojek-punya-2-juta-mitra-pengemudi-di-asia-tenggara?page=all> accessed 5 Oktober 2021.

207


pemesanan yang berbentuk orderan fiktif. Tentu hal ini dinilai saat merugikan bagi mitra dimana mitra harus menanggung semua kerugian yang dari kejadian tersebut dan hal tersebut bukanlah merupakan kesalahan mitra. Hal ini disebut merugikan karena Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pada Pasal 5 huruf b diatur bahwa “beritikad baik dalam melakukan transaksi pembeli barang dan/atau jasa” dan huruf c “membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.” Dalam hal orderan fiktif, konsumen telah melanggar kewajibannya yang diatur pada undang-undang ini. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa sampai saat ini masih belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut, sehingga yang bisa menjadi dasar adalah perjanjian kemitraan yang dibentuk oleh para pihak. Dalam perjanjian elektronik kerja sama kemitraan yang dibentuk para pihak antara lain yaitu pihak PT AKAB, PT Gojek Indonesia, dan mitra. Melihat hal ini kita dapat mengetahui bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan layanan maupun aplikasi Go-Jek adalah PT Gojek Indonesia dan PT AKAB. Tidak hanya bertanggung jawab, tapi pihak-pihak tersebut juga memiliki tugas dalam melakukan monitor terhadap pelayanan yang diberikan oleh mitra dan memberikan umpan balik kepada konsumen tentang kualitas layanan yang telah diberikan oleh mitra ketika melakukan transaksi atau kegiatan. Perjanjian ini diatur dengan cukup jelas, di dalamnya juga terdapat ketentuan yang mengatur ketika adanya pertanggungjawaban pihak-pihak ketika terjadinya kesalahan yang disebabkan oleh konsumen. Pada poin 2 perjanjian Kerjasama Kemitraan ini mengatur “Dengan ini Mitra menyetujui bahwa PGS (GI) maupun setiap afilisiasinya tidak bertanggung jawab atas setiap kerugian, termasuk kerugian tidak langsung yang meliputi kerugian keuntungan, kehilangan data, cedera pribadi atau kerusakan properti hubungan dengan, atau diakibatkan oleh penggunaan aplikasi, maupun penyediaan jasa oleh Mitra kepada Konsumen. Mitra menyetujui bahwa PGS tidak bertanggung jawab atas kerusakan, kewajiban, atau kerugian yang timbul karena penggunaan atau ketergantungan Mitra terhadap aplikasi atau ketidakmampuan Mitra mengakses atau menggunakan aplikasi.” Sebagai mana telah diketahui, daya ikat perjanjian terdapat dalam asas Pacta Sun Servanda yang juga diatur dalam Pasal 1338 BW “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

208


sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” sehingga dalam hal ini meskipun tidak ada perundang-undangan yang mengatur tentang trasnsportasi ojek online, perjanjian kemitraan berlaku seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Di sisi yang lain, berbicara tentang pertanggungjawaban Kitab UndangUndang Hukum Perdata pada Pasal 1366 bahwa “setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Pada pasal 1367 ayat (1) juga ditambahkan “seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barangbarang yang berada di bawah pengawasannya.” Melalui pasal-pasal tersebut berhubungan dengan penyelenggarakan baik mitra, PT AKAB dan PT Gojek Indonesia memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukan dan tugasnya, tetapi ketika terjadinya suatu kesalahan atau kelalaian perlu adanya pertanggungjawaban karena telah terjadinya kerugian terhadap suatu pihak. Sebagaimana dalam perjanjian dicantumkan bahwa PT AKAB sebagai pemilik aplikasi yang dimanfaatkan konsumen yang telah terdaftar untuk memperoleh jasa layanan antar-jemput barang dan/atau orang, layanan pesan antar barang ataupun jasa lainnya dengan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat atau jasa lainnya. Perjanjian ini juga mengatur tentang definisi Mitra yaitu pihak yang melaksanakan antar-jemput barang dan/atau orang, pesan-antar barang yang sebelumnya telah dipesan konsumen, atau jasa lainnya melalui Aplikasi dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua yang dimiliki oleh Mitra sendiri; Gojek Indonesia sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan usaha sebagai pengelola penyedia jasa pihak kedua yang bekerja sama dengan PT AKAB. Dengan demikian, ketika adanya kasus seperti pesanan fiktif dan meskipun dalam perjanjian kerjasama kemitraan tersebut telah diaturnya tentang pengalihan kerugian yang terjadi kepada mitra untuk dipertanggungjawabkan sendiri oleh pihak mitra, PT AKAB dan PT Gojek Indonesia juga seharusnya bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami mitra di luar kesalahan mitra.

209


Dalam melakukan suatu perjanjian juga perlu diketahui terdapat asas-asas yang mendasari suatu perjanjian, salah satunya adalah asas itikad baik. Meskipun daya ikat perjanjian bagi para pihak sama seperti daya ikat undang-undang bagi para pihak, pada situasi tertentu juga daya berlakunya dibatasi yaitu dengan itikad baik. Hal ini juga diatur pada Pasal 1338 ayat (3) BW yang menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Mekipun dalam perundang-undangan tidak memberikan definisi yang jelas dan tegas tentang itikad baik, tetapi secara garis besar melalui asas ini dapat dimaksudkan bahwa perjanjian perlu untuk dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Sehingga ketika terjadinya kesalahan yang dilakukan diluar kelalaian atau kesalahan mitra, seperti halnya pesanan fiktif yang dilakukan oleh konsumen, sesuai bentuk tugas dan tanggung jawab yang dimiliki PT AKAB dan PT Gojek Indonesia yang memiliki tugas pengontrolan, pengawasan, dan pengevaluasian, permasalahan yang merugikan mita ini juga harus mendapatkan perlindungan dari pihak perusahaan kepada mitra yang merupakan pihak yang dirugikan bukan karena perbuatannya sendiri.

2.2

Apa bentuk pertanggungjawaban perusahaan PT. Gojek Indonesia terhadap permasalahan pesanan fiktif yang dialami oleh mitra? Go-Jek dalam aktivitasnya menyediakan pelayanan berbasis aplikasi, sistem kerjanya dilakukan oleh konsumen yang melakukan pesanan atas pilihan layanan yang diinginkan melalui aplikasi tersebut. Selanjutnya saat melakukan pemesanan, akan munculnya informasi-informasi yang disediakan pada aplikasi dan kemudian dalam hal ini Go-Jek berperan untuk melanjutkan melalui server tersebut untuk diteruskan kepada mitra. Dalam mengatur kerjasama antara mitra dan perusahaan, hubungan ini diatur dalam perjanjian elektronik (e-contract) yang disediakan perusahaan. PT Gojek Indonesia juga dalam perjanjiannya mencantumkan bahwa Gojek Indonesia melakukan kerjasama dengan PT AKAB yang memiliki peran dalam pengelolaan aplikasi, dan mitra yang berperan sebagai pemberi jasa atau pelaksana layanan. Karena perjanjian ini mengatur tentang kemitraan, sering kali pengguna atau konsumen mengetahui bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan

210


hanya berhubungan dengan PT Gojek Indonesia dan mitra yang memenuhi pesanan tersebut. Salah satu layanan Go-Jek yang menjadi andalan jasa yang sampai saat ini masih marak digunakan, yaitu Go-Food. Saat ini diketahui sudah terdapat kurang lebih 750.000 merchant yang telah terdaftar untuk melakukan kerjasama dengan Go-Jek melalui penawaran macam-macam minuman dan atau makanan yang dapat dipilih konsumen sesuai dengan restoran yang diinginkan. Maraknya penggunaan salah satu fitur Go-Jek yaitu Go-Food membuat terbentuk pula permasalahan yang kian kompleks sejalan dengan pelaksanaan layanan ini, salah satunya yaitu pesanan fiktif. Pesanan fiktif merupakan permasalahan yang dilakukan oleh konsumen dimana konsumen melakukan pesanan di tempat yang diinginkan sesuai dengan aplikasi, kemudian pesanan tersebut sudah dipenuhi atau dibeli dengan uang pribadi driver, tetapi ketika proses pengantaran atau saat telah sampai di tempat tujuan, konsumen menghilang atau tidak bisa di kontak sehingga driver tidak bisa menghubungi konsumen tersebut. Hal ini tentu merugikan bagi driver yang harus melakukan pembatalan pemesanan, padahal makanan tersebut sudah dibayarkan oleh mitra. Tidak hanya kerugian secara materiil yang berakibat pada mitra, mitra dalam hal ini juga rugi secara waktu, tenaga, dan bahan bakar dikarenakan mitra perlu melakukan waktu dalam perjalanan untuk pengantaran pesanan yang mengakibatkan kerugian bahan bakar karena harus melakukan pengiriman dari tempat pemesanan ke tujuan dan ditambah lagi harus menunggu kabar dari konsumen yang tidak kunjung dapat dihubungi. Mitra dalam hal ini juga dirugikan ketika mendapatkan rating/feedback yang rendah dari konsumen yang membuat performa mitra menurun (performa mitra dipertimbangkan dari jumlah pesanan dalam bentuk persen) yang nantinya juga dapat menjadi bahan pertimbangan perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan mitra. Melihat kerugian yang ditimbulkan, dapat diidentifikasi bahwa dalam hal ini konsumen telah melakukan pelanggaran, sehingga ketika terjadinya suatu peristiwa yang merugikan pihak yang bersalah atau menimbulkan kerugian harus memberi ganti rugi. Kesalahan tersebut bukanlah perbuatan mitra, melainkan konsumen. Oleh karena itu, seharusnya pihak yang

211


bertanggung jawab adalah PT Go-Jek Indonesia sebagai pengelola, PT AKAB yang bertanggung jawab atas aplikasi Go-Jek untuk memberikan pertanggungjawaban berupa ganti rugi. Subekti menyampaikan pendapatnya tentang unsur dari ganti rugi yang terbagi menjadi tiga yaitu biaya yang merupakan segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak; rugi yang merupakan kerugian sebab kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian kreditur; dan bunga yang merupakan kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung kreditur.4 BW juga dalam hal ini mengatur terkait ganti rugi yang diatur pada Pasal 1243 BW sampai Pasal 1252 BW. Namun, pada perjanjian elektronik (e-contract) terkait perjanjian kerjasama kemitraan antara perusahaan dengan mitra diaturnya bahwa “Dengan ini Mitra menyetujui bahwa PGS (GI) maupun setiap afilisiasinya tidak bertanggung jawab atas setiap kerugian, termasuk kerugian tidak langsung yang meliputi kerugian keuntungan, kehilangan data, cedera pribadi atau kerusakan properti hubungan dengan, atau diakibatkan oleh penggunaan aplikasi, maupun penyediaan jasa oleh Mitra kepada Konsumen. Mitra menyetujui bahwa PGS tidak bertanggung jawab atas kerusakan, kewajiban, atau kerugian yang timbul karena penggunaan atau ketergantungan Mitra terhadap aplikasi atau ketidakmampuan Mitra mengakses atau menggunakan aplikasi.” Pada perkembangannya, PT Go-Jek Indonesia berupaya untuk dapat mendengar suara mitra mengingat permasalahan ini kerap terjadi dan merugikan para mitra. Pada kasus tersebut, terdapat upaya yang dapat dilakukan mitra dalam meminta pertanggungjawaban kepda PT AKAB dan PT PGS terkait permasalahan pesanan fiktif pada pelayanan pemesanan makanan di jasa layanan Go-Jek yaitu Go-Food. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dalam hal ini pemberian ganti rugi didasarkan pada jumlah harga makanan yang dikeluarkan tanpa ganti rugi biaya pengiriman, dalam mengajukan pertanggungjawaban kepada perusahaan mitra

4 Hylda Myrandha. S, Tundjung Herning. S, ‘Tanggungjawab Perusahaan Penyedia Layanan Aplikasi Go-Jek Terkait Pesanan (Orderan) Fiktif Penggunan Layanan Aplikasi Go-Jek Terhadap Driver’ (2021) Vol. 4, No. 1 Jurnal Hukum Adigama, 779 <https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/view/11243/7026> accessed 1 Oktober 2021.

212


yang mengalami salah satu peristiwa pesanan fiktif seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diharuskan untuk langsung menghubungi call center Go-Jek untuk melaporkan hal tersebut. Setelah menghubungi call center perusahaan, mitra akan diarahkan untuk hadir ke kantor operasional Go-Jek setempat untuk melakukan penulisan kronologi dan wajib melampirkan beberapa bukti seperti screenshot pesanan yang mengalami permasalahan, nomor id konsumen yang melakukan pemesanan, nota pembelian makanan, dan produk makanan yang telah dibeli. Namun, pengembalian uang sebagai bentuk ganti rugi dari pesanan tersebut juga membutuhkan proses dan tidak bisa didapatkan di hari yang sama ketika melakukan pelaporan. Proses yang dibutuhkan untuk pengembalian uang tersebut bisa memakan waktu 3-7 hari atau bahkan lebih, ketika proses ini telah selesai uang untuk ganti rugi akan ditambahkan melalui saldo akun mitra tersebut. Go-Jek dalam hal ini juga berupaya untuk mencegah hal ini kembali terjadi, sehingga Go-Jek berinisiasi untuk melakukan pemblokiran terhadap akun konsumen yang tidak bertanggung jawab tersebut yang teridentifikasi telah melakukan pemesanan fiktif tersebut, sehingga risiko yang ditanggung oleh konsumen tersebut tidak lagi dapat melakukan pemesanan melalui aplikasi Go-Jek lagi. Di sisi yang lain, meskipun Go-Jek telah berupaya untuk melakukan ganti rugi terhadap kerugian yang dialami mitra karena pesanan fiktif ini, dalam pelaksanaannya proses pemberian ganti rugi oleh perusahaan ini memakan waktu yang sangat lama, sehingga terkadang membawa keresahan bagi mitra karena perputaran modalnya jadi terhambat ketika mereka harus tetap melakukan pelayanan Go-Food yang menggunakan uang mereka terlebih dahulu. Kemudian, upaya pemblokiran konsumen juga dinilai kurang efektif karena konsumen jail tersebut nantinya dapat kembali mendaftarkan akun baru dengan nama, e-mail, dan nomor telepon yang berbeda, sehingga diperlukannya proses atau sistem-sitem yang lebih akurat untuk mencegah hal ini kembali terjadi.

213


BAB III PENUTUP

3.1

Kesimpulan 3.1.1 Apa perlindungan hukum yang dapat dilakukan guna melindungi mitra atas permasalahan pesanan fiktif? Perkembangan yang sangat pesat terhadap teknologi membuka banyak perluang dalam segala bidang baik pendidikan, kesehatam, ekonomi, bahkan transportasi. Peluang ini juga dimanfaatkan oleh salah satu perusahaan transportasi online karya anak bangsa yaitu PT. Gojek Indonesia. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang transportasi, dimana fasilitas yang ditawarkan berupa jasa angkutan online. Go-Jek dalam perkembangannya juga tidak hanya menawarkan layanan jasa angkutan orang saja, tetapi juga barang. Melihat peluang pengguna transportasi online ini membuat Go-Jek terus melalukan ekspensasi terhadap jenis layanan yang ditawarkan salah satunya adalah Go-Food. Layanan Go-Food merupakan layanan dimana konsumen dapat melakukan pemesanan makanan dan atau minuman terhadap restoran yang telah terdaftar untuk melakukan kerjasama dengan Go-Jek Indonesia. Maraknya pengguna layanan Go-Food ini menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks juga dalam pelaksanaanya, salah satunya adalah orderan fiktif. Permasalahan orderan fiktif terjadi ketika mitra dalam hal ini telah membeli pemesanan yang dipesan oleh konsumen menggunakan uang pribadinya, tetapi saat melakukan pengantaran atau saat telah sampai di tempat tujuan, konsumen tidak dapat di hubungi. Terjadinya permasalahan ini tentu bukan merupakan kesalahan dari mitra, melainkan konsumen yang tidak beritikad baik dalam melakukan aktivitas tersebut. Dalam hal ini, konsumen telah melanggar Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pada Pasal 5 huruf b diatur bahwa “beritikad baik dalam melakukan transaksi pembeli barang dan/atau jasa” dan huruf c “membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.” Sehingga dalam mewujudkan perlidungan hukum bagi mitra, PT Go-Jek Indonesia sebagai pengelola, PT AKAB yang

214


bertanggung

jawab

atas

aplikasi

Go-Jek

untuk

memberikan

pertanggungjawaban berupa ganti rugi. Meskipun dalam perjanjian elektronik (e-contract) Kerjasama kemitraan antara perusahaan dan mitra tertulis bahwa perusahaan dalam hal ini tidak bertanggung jawab atas segala kerugian yang diterima oleh mitra. Namun, Pasal 1367 ayat (1) BW mengatur “seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.” serta pada Pasal 1338 ayat (3) BW yang menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Sehingga, sesuai bentuk tugas dan tanggung jawab yang dimiliki PT AKAB dan PT Gojek Indonesia yang memiliki tugas pengontrolan, pengawasan, dan pengevaluasian, permasalahan yang merugikan mita ini juga harus mendapatkan perlindungan dari pihak perusahaan kepada mitra yang merupakan pihak yang dirugikan bukan karena perbuatannya sendiri

3.1.2 Apa bentuk pertanggungjawaban perusahaan PT. Gojek Indonesia terhadap permasalahan pesanan fiktif yang dialami oleh mitra? Ketika terjadi pesanan fikfif yang dialami mitra tidak hanya menimbulkan kerugian secara materiil yang berakibat pada mitra, mitra dalam hal ini juga rugi secara waktu, tenaga, dan bahan bakar dikarenakan mitra perlu melakukan waktu dalam perjalanan untuk pengantaran pesanan yang mengakibatkan kerugian bahan bakar karena harus melakukan pengiriman dari tempat pemesanan ke tujuan dan ditambah lagi harus menunggu kabar dari konsumen yang tidak kunjung dapat dihubungi. Melihat kerugian yang ditimbulkan, dapat diidentifikasi bahwa dalam hal ini konsumen telah melakukan pelanggaran, sehingga ketika terjadinya suatu peristiwa yang merugikan pihak yang bersalah atau menimbulkan kerugian harus memberi ganti rugi. Oleh karena itu, PT Go-Jek Indonesia sebagai pengelola, PT AKAB yang bertanggung jawab atas aplikasi Go-Jek untuk memberikan pertanggungjawaban berupa ganti rugi.

215


BW juga dalam hal ini mengatur terkait ganti rugi yang diatur pada Pasal 1243 BW sampai Pasal 1252 BW. Upaya perusahaan untuk memberikan pertanggungjawaban kepada mitra, dalam hal ini mitra diharuskan untuk langsung menghubungi call center Go-Jek untuk melaporkan hal tersebut. Setelah menghubungi call center perusahaan, mitra akan diarahkan untuk hadir ke kantor operasional Go-Jek setempat untuk melakukan penulisan kronologi dan wajib melampirkan beberapa bukti seperti screenshot pesanan yang mengalami permasalahan, nomor id konsumen yang melakukan pemesanan, nota pembelian makanan, dan produk makanan yang telah dibeli. Namun, proses yang dibutuhkan untuk pengembalian uang tersebut bisa memakan waktu 3-7 hari atau bahkan lebih, ketika proses ini telah selesai uang untuk ganti rugi akan ditambahkan melalui saldo akun mitra tersebut. Go-Jek dalam hal ini juga berupaya untuk mencegah hal ini kembali terjadi, sehingga Go-Jek berinisiasi untuk melakukan pemblokiran terhadap akun konsumen yang tidak bertanggung jawab tersebut yang teridentifikasi telah melakukan pemesanan fiktif tersebut, sehingga risiko yang ditanggung oleh konsumen tersebut tidak lagi dapat melakukan pemesanan melalui aplikasi Go-Jek lagi.

3.2

Saran Permasalahan pesanan fiktif sampai saat ini masih kerap terjadi di masyarakat, hal ini tentu meresahkan karena menimbulkan pihak-pihak yang dirugikan karena ulah konsumen yang tidak bertanggung jawab. Sehingga dalam hal ini diperlukannya upaya dalam rangka meminimalisir kejadian ini terjadi dengan melakukan pengalihan metode pembayaran, misalnya pada pembelian dengan nominal di atas Rp100.000 Go-Jek dalam hal ini mewajibkan konsumen untuk melakukan pembayaran dengan uang elektronik, sehingga dalam hal ini mitra tidak perlu menggunakan uang pribadinya terlebih dahulu untuk membeli pesanan dengan nominal yang besar sebagai upaya pencegahan terjadinya pemesanan fiktif lagi. Selain itu, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mempercepat proses pengembalian uang ganti rugi mitra agar kiranya mitra dapat kembali memutarkan

216


modalnya untuk melakukan pelayanan lain, sehingga kiranya setelah melakukan pelaporan terhadap permasalahan ini, proses kerja pengembalian uang yang terjadi tidak memakan waktu yang terlalu lama. Upaya pemblokiran konsumen yang dilakukan oleh perusahaan sudah baik untuk tahapan awal, tetapi perlu diingat bahwa konsumen jail tersebut dapat kembali mendaftar dengan nama, nomor telepon, dan email yang berbeda, sehingga dalam hal ini PT AKAB sebagai pengelola aplikasi Go-Jek dapat memperbaharui dan meningkatkan sistem keamanan pada aplikasi ini untuk mencegah permasalahan serupa yang terus tejadi di masyarakat. Hal ini harus diperhatikan untuk mencegah kejadian serupa terus terulang yang merugikan banyak pihak dan meresahkan masyarakat khususnya bagi mitra.

217


DAFTAR BACAAN

BUKU Rahardjo S, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti 2000).

JURNAL Syaibai’ni. M. H, Sitabuana. H. T, ‘Tanggungjawab Perusahaan Penyedia Layanan Aplikasi Go-Jek Terkait Pesanan (Orderan) Fiktif Penggunan Layanan Aplikasi Go-Jek Terhadap Driver’, 2021, Vol. 4, No. 1, Jurnal Hukum Adigama, 779 <https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/view/11243/7026> accessed 1 Oktober 2021.

LAMAN Ludwianto B, ‘10 Tahun Gojek: 38 Juta Pengguna Aktif Bulanan Hingga Cetak Laba. Kumparan’,

<https://kumparan.com/kumparantech/10-tahun-gojek-38-juta-

pengguna-aktif-bulanan-hingga-cetak-laba-1uZiKid82Mo/full>

accessed

1

Oktober 2021. Stephanie C, ‘Satu Dekade Beroperasi, Gojek Punya 2 Juta Mitra Pengemudi di Asia Tenggara’ Kompas. <https://tekno.kompas.com/read/2020/11/12/18090947/satudekade-beroperasi-gojek-punya-2-juta-mitra-pengemudi-di-asiatenggara?page=all> accessed 1 Oktober 2021.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – Burgerlijk Wetboek (BW) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

218




------------Halaman sengaja dikosongkan-----------


------------Halaman sengaja dikosongkan-----------



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.