ALSA LEERBOEK

Page 1


ALSA LEERBOEK 2022 Project Officer: Novelia Ellianna Anwar Penulis: Aldila Syachfrilia Putri

Farah Tri Haras

Ara Annisa Almi

Khazanatul Huda

Fadhillah Arinny

Regina Putri

Fahri Nurachman

Thalia Salsadilla

Desain Cover: Popy Friday Afni


HUKUM AGRARIA

1


1. Istilah/Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Agraria A. Istilah Hukum Agraria Agraria secara etimologi berasal dari kata ager (bahasa latin) yang berarti tanah atau sebidang tanah, akker (bahasa Belanda) yang berarti pertanian, Agraria ( bahasa Inggris) yang berarti tanah untuk pertanian. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan kepemilikan tanah.1 Dengan demikian, istilah agraria selalu dihubungkan dengan urusan tanah / pertanian. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan diatasnya. Apa yang ada di dalam misalnya batu, kerikil, tambang, sedangkan yang ada di atas tanah bisa berupa tanam-tanaman dan bangunan.2 Istilah Agraria dalam UUPA mempunyai dua pengertian, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pengertian Agraria dalam arti luas meliputi Bumi, Air dan Ruang Angkasa (Pasal 1 Ayat (2) UUPA). Sedangkan pengertian Agraria dalam arti sempit hanya mengatur masalah tanah (Pasal 4 Ayat (1) UUPA). A.P. Parlindungan menyatak

an

bahwa

pengertian

Agraria

mempunyai ruang lingkup yaitu dalam arti sempit bisa berwujud hak-hak atas tanah, ataupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan 2 UUPA telah memberikan pengertian yang luas, yaitu bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.3 Di Indonesia , istilah agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun tanah non pertanian4. Hukum agraria di Lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara. Pemahaman ini sesuai pula dengan yang tertulis dalam Black law Dictionary disebutkan bahwa arti, agraria laws is relation to land, or to a division or distribution of land 5 (hukum berkaitan dengan tanah, atau dengan pembagian atau pembagian tanah).

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada 11 April 2022, pukul 08.25 WIB. 2 3 4 5

2


B. Pengertian Hukum Agraria Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang disebut dengan Hukum Agraria, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain: 1. E. Utrecht. Hukum Agraria (Hukum Tanah) merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara yang mengkaji hubunganhubungan hukum, terutama yang akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal agraria.6 2. Subekti & Tjitrosubroto. Hukum Agraria adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan orang yang lain, termauk Badan Hukum dengan Bumi, Air, dan Ruang Angkasa dalam seluruh wilayah Indonesia dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.7 3. Boedi Harsono, Pengertian Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas dalam UUPA. Kelompok bidang hukum tersebut meliputi: a) Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi; b) Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air; c) Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan; d) Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;

6 7

3


e) Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA. 8 Yang perlu ditegaskan bahwa semua bagian dari kelompok hukum agraria itu adalah hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas berbagai sumberdaya agraria, bukan yang mengatur tentang pengelolaan, termasuk penatagunaan atas sumberdaya agraria. Bagi penulis, kelompok hukum yang mengatur pengelolaan berbagai sumberdaya agraria itu tunduk pada pengaturan Hukum Lingkungan. 4. WLG. Lemeire. Hukum Agraria adalah hukum yang mengandung bagian dari Hukum Privat maupun Hukum Tata Negara dan Administrasi yang dibicarakan sebagai suatu kelompok yang bulat.9 5. SJ. Fockema Andrea. Hukum Agraria adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum mengenai usaha pertanian dan benda pertanian.10 6. Soedikno Mertokusumo. Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur Agraria.11 Bachsan Musthofa menjabarkan kaedah hukum Agraria yang tertulis dan kaedah hukum Agraria tidak tertulis. Hukum agraria tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk perundangundangan, dan peraturan-peraturan tertulis lainya yang dibuat oleh Negara, sedangkan kaidah hukum tidak tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum Agraria Adat yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.12

8 9 10 11 12

4


C. Ruang Lingkup Hukum Agraria Berbeda dengan pengertian agraria dalam administrasi pemerintahan dalam makna yang sempit yang berarti tanah, pengertian agraria didalam UUPA justru memiliki makna yang lebih luas. Dalam pengertian tersebut, agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang angkasa . Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria / sumber daya agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Ruang lingkup agraria dapat dijelaskan seperti berikut: a. Bumi (Pasal 1 Ayat 4 UUPA) Dalam pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Permukaan bumi menurut pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah. b. Air (pasal 1 ayat 5) Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam pasal 1 ayat (3) UU no 11 tahun 1974 tentang pengairan , disebutkan air meliputi air yang terdapat di dalam dan/atau berasal dari sumber

sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah

permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut. c. Ruang Angkasa (Pasal 1 Ayat 6) Pengertian ruang angkasa adalah ruang diatas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Menurut pasal 48 UUPA disebutkan ruang diatas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkitan dengan itu. (Pasal 48). d. Kekayaan alam Kekayaan alam terkandung di dalam bumi Disebut bahan, yaitu unsur

unsur kimia,

mineral-mineral, bijih-bijih, dan segala macam batuan, termasuk bahan-bahan mulia yang merupakan endapan alam (UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan). Kekayaan alam terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan 5


alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU no 9 Tahun 1985 tentang perikanan). 2. Periodisasi Perkembangan Hukum Agraria A. Sebelum berlakunya UUPA Tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia, dengan tanah manusia dapat berpijak dalam melakukan semua aktifitasnya sehari-hari, dan seperti kita ketahui bahwa pada kenyataannya tanah adalah benda mati akan tetapi mempunyai sumber nilai dan manfaat yang sangat signifikan bagi seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini. Tanah juga merupakan faktor terpenting bukan saja di saat manusia masih hidup tetapi disaat manusia meninggal dunia, membutuhkan tanah sebagai tempat peristirahatan yang terakhir. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia adalah bahwa kehidupan manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.13 Hal ini dapat di lihat dalam kehidupan masyarakt Indonesia pada masing-masing wilayah tempat tinggal dan selain pada masyarakat Indonesia, tanah juga berdampak pada pemerintah yang dalam hal ini pemerintah mempunyai kewenangan untuk menguasai tanah di pergunakan dan diperuntukan pada masyarakat tapi kenyataan yang terjadi masyarakat banyak di rugikan oleh pemerintah. 1. Masyarakat Hukum Adat Sebagaimana yang sudah di jelakan diatas, maka keberadaan kehidupan masyarakat dengan tanah merupakan suatu hubungan antara tanah dan penguasanya, dalam hal ini adalah masyarakat hukum adat, dalam kehidupan sehari-hari menjalankan aktifitas mereka berdasarkan aturan dan norma yang berbeda-beda sesuai dengan adat tradisi yang dianut oleh masing-masing masyarakt hukum adat yang terpencar pencar di seluruh belahan jiwa bangsa Indonesia. Menurut J.B.A.F. Polak, bahwa hubungan manusia dengan tanah sepanjang sejarah terjadi dalam 3 (tiga) tahap berikut ini. 14 Yaitu :

13 14

6


1. Tahap pertama, yaitu tahap di mana manusia memperoleh kehidupannya dengan cara memburu binatang, mencari buah-buahan hasil hutan, mecari ikan di sungai atau di danau. Mereka hidup tergantung dari persediaan hutan, mereka hidup mengembara dari tempat yang satu ke tempat yang lain. 2. Tahap kedua, yaitu bahwa pada tahap ini manusia sudah mulai mengenal cara bercocok tanam. Manusia mulai menetap di suatu tempat tertentu selama menunggu hasil tanaman. Ikatan terhadap tanahpun semakin erat oleh karena cara beternak yang dikenal manusia dan bersamaan dengan pengenalan cara bercocok tanam. 3. Tahap ketiga, yaitu tahap di mana manusia mulai menetap di tempat tertentu dan tidak ada lagi perpindahan peroidik. Manusia sudah mulai terikat pada penggunaan ternak untuk membantu usaha-usaha pertanian, untuk kelangsungan hidupnya sudah mulai dari hasil pertanian dan peternakan. Juga, pada tahap ini manusia mulai terjamin hidupnya dengan mengandalkan hasil - hasil pertanaian dan peternakan daripada hidup mengembara. Mulai juga merasakan adanya surplus hasilhasil produksi, corak pertanian, mengelola sendiri, menunggu hasil pertanian untuk jangka waktu yang lama, kemudian memungut hasilnya yang kemudian mendorong ke arah pemilikan tanah (individual), meskipun masih tunduk pada kehidupan persekutuan. Pada saat ini manusia mulai menetap dan mengenal pertukangan, terdapat surplus hasil pertanaian dan kerajinan pada kelompok hidup orangorang yang telah menetap. Keadaan ini mendorong lahirnya kelompok orang-orang yang mulai mengkhususkan dirinya sebagai penjaga keamanan dan melindungi masyarakat dari gangguan keamanan dari perampok. Berdasarkan tahap-tahap hubungan manusia dengan tanah yang dikemukakan oleh J.B.A.F. Polak tersebut, dapat dikemukan bahwa hubungan manusia dengan tanah pada awalnya adalah pendudukan sebagai dasar usaha untuk menjadi sumber Penghidupannya. Kemudian berkembang pengurusan yang berkaitan dengan pemanfaatannya, dan akhirnya berkembang kepada penguasaan atas tanah. Dengan berkembangnya penduduk, kebutuhan tanah semakin luas yang dikuasai.15

15

7


Berdasarkan uraian-uraian yang tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa tanah dan masyarakat hukum adat yang berlaku sebelum kemerdekaan dan sebelum berlakunya Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) adalah tanah adat yang dikuasai berdasarkan pada adat-istiadat masyarakat persekutuan hukum adat baik secara komunal maupun secara individualitis dengan cara membuka hutan, yang merupakan hak manusia sebagai mahkluk sosial. Persoalan tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat hukum adat selama mereka masih hidup dalam wilayah yang dihakinya tidak terlepas dari adat-istiadat, hukum adat, persekutuan dan anggota persekutuan. Dalam sistim hukum yang dianut oleh Indonesia yaitu hukum tertulis (statuta law), Indonesia juga menganut hukum yang tidak tertulis (unstatuta law), yaitu hukum adat, menurut Koesnoe. Adat adalah keseluruhan dari pada ajaran-ajaran dan amalannya yang mengatur cara hidup orang Indonesia didalam masyarakat, ajaran dan amalan mana langsung dilahirkan dari pada tanggapan rakyat, tentang manusia dan dunia, dalam hubungan ini adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia Indonesia yang bersumber pada pada rasa susilanya. 16

Selanjutnya pengertian hukum adat menurut Ter Haar Bzn, adalah bahwa hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan - keputusan, keputusan para warga masyarakat, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatanperbuatan hukum, atau dalam pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu, karena kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.17 Dari pandangan yang dikemukan oleh para sarjana tersebut diatas dapat dilihat bahwa adat, hukum adat dan masyarakat hukum adat yang diakui secara tidak tertulis tersebut mempunyai konsep yang hanya dipahami dan diakui oleh masyarakat-masyarakat hukum adat itu sendiri, berbeda pandangan dengan pemerintah selaku pemegang kekuasaan tertinggi yang secara tertulis mengakui adat dan masyarakat hukum adat yang termuat dalam sumber-sumber hukum negara.

16 17

8


2. Masa Kerajaan Di Indonesia sendiri, yang sebelumnya disebut sebagai Nusantara, reformasi hukum agraria juga memiliki sejarah yang panjang, dimulai sejak masa Pra Kolonial (pengembaraan, masa pertanian tetap sampai kepada masa kerajaan), masa Kolonial Hindia

Belanda dan pada

masa era kemerdekaan. Pada masa awal kerajaan kerajaan di Jawa, pola pembagian wilayah yang menonjol adalah berupa pembagian tanah kedalan beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat

pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana. Van

Setten Van Der Meer menulis :

sudah membuka tanah baru, maka dia diberi waktu tiga tahun untuk membangun dan mencetak sawah sebelum dikenakan sebagai wajib pajak. Pembukaan tanah dan pencetakan

sawah yang dilakukan oleh beberapa orang tani bersama

sama menjadikan tanah

tersebut maka tanah tersebut menjadi milik Pada masa akhir kerajaan Mataram, penguasaan tanah oleh para pejabat terutama dibagi atas dasar sistem appange yaitu suatu bentuk penguasaan di mana penguasaan atas tanah itu dihadiahkan pada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti pada penguasa pusat, dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpulkan dari para petani. 18 3. Masa Penjajahan Pembahasan pada masa penjajahan ini ditekankan pada politik hukum Agraria kolonial sebagamiana tercantum dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit dengan slogan/pernyataan domein (domein verklaring), dan dualisme hukum Agraria. Penjelasan Umum UUPA merumuskan bahwa hukum agraria kolonial itu dalam banyak hal tidak merupakan alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat pencapainya. Hal itu terutama disebabkan karena:

18

9


a. Hukum agraria kolonial itu sebagaian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan, dan sebagian lainya dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dakam melaksanakan pembangunan nasional. b. Sebagai akibat politik dari pemerintah jajahan itu, hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturanperaturan hukum adat disamping peraturan-peraturan yang didasarkan atas hukum barat. Hal demikian akan menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. c. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum. Dengan memperhatikan diktum UUPA (UU. No. 5 Th 1960) mengenai peraturan perundang-undangan yang dicabut, kita dapat mengetahui hukum agraria mana saja yang pernah berlaku di negara kita, antara lain: 1. Agrarische Wet (S. 1870-55), sebagimana yang termuat dalam Pasal 51 Wet op de Staats Inrichting Van Nederlandsch Indie (S. 1925-447) dan ketentuan-ketentuan dalam ayat-ayat lainya dari pasal itu; 2. Domein verklaring sebagaimana termuat dalam Pasal 1 Agrarische Besluit (S. 1870-118); Algemeine Domeinverklaring tersebut dalam S. 1875-119a; Domeinverklaring untuk Sumatra tersebut dalam Pasal 1 dari S. 1874-94f; Domeinverklaring untuk kariresidenan Manado tersebut dalam Pasal 1 dari S. 1877-55; Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Oosterafdelinfg van Borneo tersebut dala Pasal 1 dari S. 1888-58. 3. Koninlijke Besluit, tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872- 117) dan peraturan pelaksananya; 4. Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotik yang masih dipakai sejak mulai berlakunya Undang-undang ini. Dalam mempelajari sejarah hukum di Hindia Belanda, perlu diingat bahwa setelah kerajaan Belanda menjadi negara monarkhi konstitusional, maka aturan pemerintahan di Hindia Belanda dituangkan dalam bentuk Wet yang dikenal dengan RR (Regering Reglement) dalam tahun 1855 (S. 1855:2). Politik agraria yang tercantum dalam Pasal 62 RR terdiri dari 3 Ayat yang antara lain menggariskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah; dan bahwa gubernur jenderal 10


dapat menyewakan tanah berdasarkan ketentuan ordonansi. Pada Tahun 1870 diundangkan Agrarische Wet di negeri Belanda yang terdiri dari 5 Ayat dan kemudian ditambahkan pada Pasal 62 RR sehingga menjadi 8 ayat, kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) yang antara lain berbunyi bahwa berdasarkan peraturan-peraturan dalam ordonansi diberikan tanah dengan hak erfpacht selam waktu tidak lebih dari 75 tahun; dan bahwa gubernur jenderal menjaga jangan sampai ada pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat Indonesia asli. Tujuan Agrarische Wet ini adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama-pertama membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erfpacht yang waktu lama. Agrarische Wet ini lahir atas desakan masyarakat pemilik modal besar swasta, yang pada masa kultur stelsel (tanam paksa) sebelumnya, terbatas sekali kemungkinanya untuk berusaha dalam lapangan perkebunan besar. Kesempatan yang ada sebelumnya hanyalah melalui sewa tanah, yang pada masa tanam paksa kemungkinan itu sesuai dengan politik monopoli justru ditutup.19 Selain mengembangkan politik kolonial di bidang agraria, dikembangkan pula oleh Pemerintah Hindia asas domein dalam hukum pertanahan. Asas ini menyatakan bahwa semau tanah yang oleh pihak lain tidak dapat dibuktikan eigendomnya maka tanah tersebut adalah tanah negara. Pernyataan domein (domein verklaring) ini tercantum dalam Pasal 1 Agrarische Besluit. Pasal 51 IS menyebutkan: 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. 2. Dalam larangan ini tidak termasuk penjualan tanah kecil untuk keperluan perluasan kota dan desa dan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan. Pasal 51 IS menyebutkan: 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. 2. Dalam larangan ini tidak termasuk penjualan tanah kecil untuk keperluan perluasan kota dan desa dan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.

19

11


3. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah dengan peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat asli atau sebagai pengembalaan umum atau sebab-sebab lain untuk kepentingan desa. 4. Menurut peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan hak erfpacth selam waktu tidak lebih dari 75 tahun. 5. Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai ada pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat Indonesia asli. 6. Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempat penggembalaan umum berdasarkan Pasal 123 dan untuk keperluan perusahaan tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi yang layak. 7. Tanah yang dipunyai orang Indonesia asli dengan hak milik (hak pakai turun temurun) atas permintaan yang sah diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya agar ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan di dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli. 8. Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang-orang Indonesia asli dilakukan menurut Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan dengan ordonansi.20 Untuk mempertahankan landasan dasar berlakunya hukum agraria kolonial sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 IS maka dikeluarkan aturan pelaksananya yaitu Agrarische lakunya ketentuan di dalam ayat 2 dan ayat 3 AW, maka dipertahankan azas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat

Verklaring mempunyai dua fungsi, yaitu:

20

12


1. sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hakhak barat seperti yang diatur dalam KUH Perdata misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht. 2. untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.21 Sejak Indonesia resmi menjadi jajahan Belanda, praktis kondisi hukum khususnya perdata sudah bersifat dualistis. Disamping hukum adat yang merupakan hukum perdata bagi golongan penduduk pribumi, maka bagi golongan penduduk penjajah Belanda, berlaku hukum perdata barat/ hukum yang mereka bawa dari negara asalnya. Sifat dualisme hukum agraria tersebut meliputi bidang-bidang, yaitu: (1). Bidang Hukum, pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria, yaitu hukum agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria administratif, dan hukum agraria antar golongan; (2). Hak atas tanah, pada saat yang sama berlaku macam-macam hak atas tanah, misalnya hak atas tanah yang tunduk pada hokum agraria adat, misalnya tanah yasan, hak atas tanah yang tunduk pada hokum barat, misalnya hak eigendom, hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan dan hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah Hindia Belanda, misalnyah hak Agrarische Eigendom; (3). Hak jaminan atas tanah, pada masa berlakunya hukum agraria kolonial berlaku bermacammacam hak jaminan atas tanah, misalnya hipotyk untuk tanah yang tunduk pada hukum barat, credit verband untuk tanah yang tunduk pada hokum adat dan lain-lain; (4). Pendaftaran tanah, untuk tanah yang tunduk pada hukum barat pendaftaran dilakukan di kantor pendaftaran tanah dan menghasilkan sertifikat tanah sebagai bukti haknya, sedangkan untuk tanah yang tunduk pada hukum adat tidak dilakukan pendaftaran sehingga tidak mempunyai sertifikat sebagai bukti haknya dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum.22 B. Masa Kemerdekaan Setelah Berlakunya UUPA

21 22

13


Sebelum diterbitkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun 1960, yang membuka hak atas tanah yaitu terdapat pada pasal 51 ayat 7 IS, pada Stb 1872 No. 117 tentang Agraris Eigendom Recht yaitu memberi hak eigendem (hak milik) pada orang Indonesia. Hal tersebut juga disamakan dengan hak eigendom yang terdapat pada buku II BW, tetapi hak tersebut diberikan bukan untuk orang Indonesia. Maka dengan adanya dualisme aturan yang mengatur tentang hak-hak tanah untuk menyeragamkannya pada tanggal 24 september 1960 diterbitkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pada lembar Negara No. 104/1960. Undangundang No.5 tahun 1960 tersebut bersifat nasionalis, yaitu diberlakukan secara nasional dimana seluruh warga negara indonesia menggunakan Undanng-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tersebut. Dasar kenasionalan hukum agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA, adalah: 1. Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat indonesia yang bersatu sebagai bangsa indonesia (pasal 1 UUPA). 2. Bumi air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia tuhan yang maha esa kepada bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan digunakan untuksebesarbesarnya kemakmuran rakyat (pasal1,2,14, dan 15 UUPA). 3. Hubungan antara bangsa indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnyabersifat abadi, sehingga tidak dapat diputuskan oleh siapa pun (pasal 1 UUPA). 4. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat indonesia diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat (pasal 2 UUPA). 5. Hak ulayat sebagi hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya. Pengakutan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-uandangan yang lebih tinggi (pasal 3 UUPA). 6. Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah warga negara indonesia tanpa dibedakan asli

14


dan tidak asli. Badan hukum pada perinsipnya tidak mempunyai hubungan sepenuhnya alam yang terkandung didalamnya (pasal 9, 21,dan 49 UUPA). 7. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. UUPA merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UU 1945 sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar ketentuan dalam pasal 33 pasal ayat (3) undangundang dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik dan hukum agraria nasional, yang berisi perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya yang diletakan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat indonesia. UUPA mempunyai dua subtansi dari segi berlakunya, yaitu pertama,tidak memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonoial, dan kedua membangun hukum agraria nasional. Menurut boedi harsono , dengan berlakunya UUPA, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria diindonesia, terutama hukum dibidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.23 UUPA merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena didalamnya memuat program yang dikenal dengan panca program agraria reform indonesia, yang meliputi : a. Pembaruan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum. b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah. c. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur. d. Perombakan pemilikkan dan penguasaan ats tanah serta hubungan-hubungan hukum yang berhubungan dengan pengusahaan tanah mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal sebagai program landreform. 23

15


e. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaanya secara terncana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya. Dalam pembentukan UUPA disertai dengan pencabutan terhadap peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa pemerintahan hindia belanda sebagaimana yang tersebut dalam dictum UUPA yaitu : a. Agrarishe wet stb. 1870 no.55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS stb. 1925 no.447. b. Peraturan-peraturan tentang domein verklaring baik yang bersifat umum maupun khusus, yaitu: 1) Domein verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische besluit stb.1870 No.118. 2) Algemene domein verklaring tersebut dalam stb.1875 No. 119a. 3) Domein verklaring untuk sumatera tersebut dalam pasal 1 dari stb.1874 No 94f. 4) Domein verklaring untuk karesidenan manado tersebut dalam pasal 1 dari stb.1877 No 55. 5) Domein verklaring untuk residentie zuder en Osterafdeling van borneo tersebut dalam pasal 1 dari stb.1888. No.58. c. Koninklijk besluit (keputusan raja) tanggal 16 april 1872 No 29 (stb 1872 No. 29 ( stb.1872 No,117) dan peraturan pelaksanaannya. d. Buku II KUHperdata indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalam nya,kecuali ketentuan-ketentuan tentang Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA. 3. Pembentukan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional A. Fungsi dan Tujuan UUPA Pemahamanan dan pemaknaan terhadap hakekat hukum agraria tidak saja harus ditelaah dari aspek hukum saja, tetapi juga harus dilihat dari segi politik dan administrasinya yang nampak sebagai policy (kebijakan) dalam rangka menegakkan dan melaksanakan apa yang sudah ditentukan oleh konstitusi dan peraturan perundangan. Persoalan berkaitan agraria diatur dalam 16


konstitusi sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konstitusi ini dijabarkan pula dalam pasal 2 ayat 2 UUPA bahwa hak menguasai dari negara ini dalam tingkatan tertunggi adalah : 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan , persediaan dan pememiliharaannya 2) Menentukan dan mengatur hak hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; 3) Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antar orang

orang dan perbuatan

perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Konstitusi dan hukum agraria nasional telah memberikan kekuasaan tertinggi pada negara untuk mengatur dan mengontrol peruntukan, pemakaian , pembagian atas unsur-unsur agraria. Dengan demikian kebijakan pembangunan agraria nasional menjadi instrumen negara untuk menjalankan kekuasaannya dalam mengatur masalah yang timbul dari bidang agraria. Kebijakan pembangunan nasional bidang agraria harus mendasarkan pada tujuan UUPA adalah: 1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2) meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Tujuan pertama UUPA di atas menunjukkan bahwa UUPA secara sengaja disusun sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Rakyat tani merupakan perhatian pertama dari UUPA ini oleh karena lapisan masyarakat inilah yang dipandang paling banyak mengalami kemiskinan disebabkan oleh struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang sebagai warisan dari pemerintahan kolonial Belanda. Langkahlangkah untuk menjadikan UUPA sebagai alat pembawa kemakmuran bagi petani dapat dilihat prinsip-prinsip dan ketentuan17


ketentuan dasarnya pada Pasal 1-15 UUPA. Sehingga UUPA harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional bidang agraria demi terciptanya kemakmuran sebesarbesarnya untuk rakyat. B. Hubungan Fungsional UUPA dengan Hukum Adat Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya.24 Sehubungan dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi juga untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.25 Hukum adat sebagai dasar utama pembangunan hukum agraria nasional dapat disimpulkan ungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsurpernyataan mengenai hukum adat juga dijumpai dalam UUPA yaitu : 1. Penjelasan Umum angka III (1); 2. Pasal 5; 3. Penjelasan Pasal 5; 4. Penjelasan Pasal 16; 5. Pasal 56; dan 6. secara tidak langsung dalam Pasal 58.

24 25

18


Hukum adat yang oleh UUPA dijadikan dasar hukum tanah nasional adalah hukum aslinya golongan pribumi. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat yaitu hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. Konsepsi hukum adat mengenai pertanahan ini oleh Boedi Harsono dirumuskan dengan kata komunalistik religius. Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.26 Konsepsi hukum tanah yang berdasarkan hukum adat merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Norma-norma hukum adat dalam penggunaannya menurut Pasal 5 UUPA akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsur-unsurnya yang tidak asli. Hukum adat tersebut dibersihkan cela-celanya serta ditambal kekurangannya agar dapat berlaku umum diseluruh wilayah Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum adat yang diangkat menjadi hukum agraria nasional disaring melalui syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 5 UUPA adalah hukum adat yang : 1. tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara; 2. tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia; dan 3. tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri. Pembentukan hukum tanah nasional dengan dasar hukum adat yang digunakan adalah konsepsi dan asas-asasnya. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum tanah nasional antara lain : 1. asas religiusitas (Pasal 1 UUPA); 2. asas kebangsaan (Pasal 1, 2 dan 9 UUPA); 3. asas demokrasi (Pasal 9 UUPA); 26

19


4. asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13 UUPA); 5. asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan 15 UUPA); dan 6. asas pemisahan horisontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. UUPA juga mengambil lembaga-lembaga hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum agraria nasional. Lembaga hukum adat yang dimaksudkan di sini adalah susunan macam-macam hak atas tanah. Macam-macam hak atas tanah dalam hukum adat seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak menikmati hasil hutan ini kemudian diangkat dan dijadikan dasar dalam penyusunan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Namun demikian macam-macam hak atas tanah dalam hukum adat tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju masyarakat modern. Penyempurnaan tersebut dengan adanya tambahan hak baru yaitu hak guna usaha dan hak guna bangunan. Penyempurnaan terhadap hukum

tanah nasional dilakukan dengan tetap

mempertahankan nilai-nilai yang lahir dan digali dari akar budaya bangsa Indonesia tanpa menutup diri terhadap perubahan yang terjadi dewasa ini. UUPA juga mengharuskan adanya pendaftaran tanah terhadap macam-macam hak atas tanah tersebut.27 Menurut sistem hukum adat, tanah merupakan hak milik bersama masyarakat hukum adat yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan, artinya semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan dan unsur kewenangan, yaitu unsur untuk mengatur, merencanakan dan memimpin penggunaannya. Kewenangan pelaksanaan hak ulayat dapat dilimpahkan kepada kepala adat. Atas dasar kewenangan tersebut, kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah kepada perseorangan seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa dan sebagainya. Sistem ini diangkat sebagai sistem hukum agraria nasional dan dimuat dalam Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 16 UUPA. UUPA memberikan wewenang berlakunya ketentuan-ketentuan hukum adat selama peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA belum terbentuk. Hal itu menunjukkan agar tidak terjadi kekosongan hukum sehingga diperlukan normanorma hukum adat sebagai pelengkap hukum agraria nasional. Penunjukkan hukum adat sebagai hukum pelengkap dapat disimpulkan dari

27

20


ketentuan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Adanya persyaratan yang menyertai hukum adat tersebut menunjukkan bahwa hukum adat berkedudukan sebagai hukum pelengkap.28 4. Sejarah Penyusunan UUPA 1. Panitia Agraria Yogyakarta Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha konkret untuk menyusun dasar-dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah kolonial, dengan pembentukan panitia agraria yang berkedudukan di Ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei Tahun 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo (kepala bagian Agraria kementrian dalam Negeri) dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan, anggotaanggota badan Pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan Panitia Agraria Yogyakarta. Panitia bertugas memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang mengenai hukum tanah; merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara RI; merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktek; dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah. Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria baru, yaitu: 1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat. 2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.

28

21


3. Supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturanperaturan negara-negara lain, terutam negara-negara tetangga sebelum menentukan apakah orang asing dapat mempunyai

hak milikatas tanah.

4. Perlunya diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme di antara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut, sekalipun sederhana. Untuk Jawa diusulkan 2 hektar. 5. Perlunya adanya penetapan luas maksimum. Diusulkan untuk Jawa 10 hektar dengan tidak memandang tanahnya. Untuk luar Jawa dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut. 6. Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak atas tanah. Ada hak milik dan ada hak kosong dari negara dan daerahdaerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain yang disebut magersari. 7. Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster). Hak-hak yang bersandar atas hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa perlu diubah dahulu dengan hak-hak Indonesia yang diusulkan itu. 2. Panitia Agraria Jakarta Sesudah terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia, maka denga Keputusan Presiden tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36 panitia terdahulu dibubarkan dan dibentuk Panitia Agraria baru, yang berkedudukan di Jakarta. Panitia ini juga diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan serta wakil-wakil organisasi tani. Pada tahun 1953 berhubung dengan pengangkatan Sarimin menjadi Gubernur Nusa Tenggara, Sarimin diganti oleh Singgih Praptodiharjo, wakil kepala bagian Agraria kementrian Dalam Negeri. Panitia ini dikenal dengan Panitia Agraria Jakarta. Tugas panitia ini hampir sama dengan panitia terdahulu di Yogyakarta. Beberapa usul dari panitia ini adalah sebagai berikut: 1. mengadakan batas minimum sebagai ide. Luas minimun ditentukan 2 hektar. Mengenai hubungan pembatasan minimum tersebut dengan hukum adat, terutama hukum waris perlu diadakan tinjauan lebih lanjut.

22


2. Ditentukan pembatasan maksimum 15 hektar untuk satu keluarga. 3. Yang dapat memiliki tanah pertanian kecil hanya penduduk WNI, tidak dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum tidak diberi kesempatan untuk mengerjakan pertanian kecil. 4. Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum; hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai. 5. Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-pokok dasar negara. 3. Panitia Agraria Soewahjo Tugas utama dari panitia ini adalah mempersiapkan rancangan undang-undang Pokok Agraria yang nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1957 panitia ini telah berhasil menyelesaikan tugasnya itu menyusun rancangan Undang-undang Pokok Agraria. Adapun pokok-pokok yang penting dari rancangan Undang-undang pokok Agraria menurut panitia ini adalah: 1. Dihapuskanya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (negara). 2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 3. Dualisme hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan hukum yang akan memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum barat. 4. Hak-hak atas tanah; hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial, kemudian ada hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. 5. Hak milik boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga negara asli dan bukan asli. Badaan hukum pada dasarnya tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. 6. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki oleh seseorang atau badan hukum. 23


7. Tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan oleh pemiliknya sendiri. 8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah. 4. Rancangan Soenarjo Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematikan dan perumusan beberapa pasal, maka rancangan panitia Soewahjo oleh Menteri Agraria Soenarjo diajukan kepada Dwan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Dewan Menteri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958 dapat menyetujui rancangan Soenarjo dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui amanat presiden Soekarno tanggal 24 April 1958. Rancangan Soenarjo, menggunakan lembagalembaga dan unsur-unsur yang baik untuk hukum agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum barat maupun yang terdapat dalam hukum adat, yang disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam hubungan perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan Soenarjo dianggap merupakan suatu pengertian yang erat hubunganya dengan soal rumusan mengenai hak milik mempersatukan hak eigendom atas tanah menurut hukum barat dan

5. Rancangan Sadjarwo Pada tanggal 5 Juli 1959 terjadilah perubahan badan konstitusi di negara kita melalui dekrit presiden kita kembali kepada UUD 1945. Dengan berlakunya UUD 1945 maka rancangan Soenarjo yang masih mendasarkan pada UUDS dan materinya belum sesuai dengan yang diharapkan ditarik kembali.13 Setelah disempurnakan dan disesuaikan dengan UUD 1945 diajukanlah rancangan UUPA yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Itulah sebabnya rancangan ini disebut dengan Rancangan Sadjarwo. Rancangan ini kemudian disetujui oleh kabinet inti dalam sidangnya tanggal 1 Agustus 1960. Rancangan Sadjarwo berbeda prinsipil dengan rancangan Soenarjo, ia hanya menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum agraria yang baru dan ia tidak mengoper pengertianpengertian hak-hak kebeendaan dan hak perorangan yang tidak dikenal dalam hukum adat. Rumusan bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga

24


karena tidak berkehendak untuk memasukkan pengertianpengertian hak kebendaan dan hak perorangan ke dalam hukum agraria baru. 5. Prinsip-prinsip Dasar Agraria dalam UUPA UUPA memuat 8 (delapan) asas dari Hukum Agraria Nasional.29Asas-asas ini karena sebagai dasar, maka dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaanya. Delapan Asas itu adalah sebagai berikut: a. Asas Nasionalitas. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari bangsa Indonesia, jadi tidak sematamata menjadi hak dari pemiliknya saja. Demikian pula tanahtanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia adalah hubungan yang bersifat abadi. Artinya bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada suatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. 30Asas ini dimuat dalam Pasal 1 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA. b. Asas dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Perkataan dikuasai bukan berarti dimiliki akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan pemelihaan bumi, air dan ruang angkasa;

29 30

25


b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara tersebut di atas ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan Negara tersebut mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya. Atas dasar hak menguasai Negara tersebut, Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukan dan penggunaanya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan lainlainya. Dalam pelaksanaannya hak mengusai Negara tersebut dapat dilimpahkan kepada daerahdaerah swantara, dan masyarakat hokum adat sekedar diperlukan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Asas ini dimuat dalam Pasal 2 UUPA.31 c. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan negara daripada kepentingan perseorangan atau golongan. Hak ulayat masyarakat hukum adat diakui kebaradaanya sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan Negara. Ini artinya kepentingan masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas, tidak dibenarkan jika dalam bernegara suatau masyrarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksaaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan terlepas hubunganya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daearah lainnya dalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Asas ini dimuat dalam Pasal 3 UUPA. 32 d. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah yang dimiki oleh seseorang atau badan hokum tidak dapat dibenarkan jika tanahnya tersebut hanya digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika penggunaanya 31 32

26


itu merugikan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Hak atas tanah disamping untuk kepentingan pribadi, akan tetapi pada sisi lain juga untuk kepentingan umum, kepentingan pembangunan dan lain-lain. Jika ada kepentingan umum yang membutuhkan tanah hak, maka pemegang hak atas tanah harus melepaskanya untuk kepentingan umum tersebut dengan diberikan ganti rugi yang layak. Ketentuan dan tata cara pelepasan hak akan diatur oleh peraturanperundang-undangan. Asas semua hak atas tanah berfungsi sosial ini dimuat dalam Pasal 6 UUPA. e. Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik atas tanah tidak dapat dimliki orang asing, dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal demi hukum. orang asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah denga hak pakai yang luas dan jangka waktunya terbatas. Demikian pula Badan-badan hukum pada prinsipnya tidak dapat mempunyai hak milik, kecuali badan hukum tertentu yang diatur dalam peraturan perundangan. Badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik yaitu Bank-bank Pemerintah, Badan-badan keagamaan, dan Badanbadan sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. 33 Selain badan badan hukum tersebut, tidak dapat memiliki Hak Milik atas tanah, Badan hukum hanya mempunyai hak untuk menguasai tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai. Asas ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (1) jo Pasal 21 UUPA. f. Asas persamaan bagi setiap warga negara Indonesia. Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya. Asas ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) jo Pasal 11 jo Pasal 13 UUPA. g. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.

33

27


Pelaksanaan asas ini digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan land reform atau agrarian reform, yaitu tanah pertanian harus diusahakan atau dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Untuk mewujudkan asas ini diadakan ketentuan-ketentuan tentang batas maximum dan minimum penguasaan atau pemilikan tanah agar tidak terjadi penumpukan penguasaan atau pemilikan tanah pada golongan tertentu. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melalmpaui batas tidak diperkenankan karena hal demikian merugikan kepentingan umum. Asas ini diatur dalam Pasal 10 jo Pasaal 7 jo Pasal 17 UUPA. h. Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara berencana Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk kepentingan hidup rakyat dan negara. Rencana umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, kemudian diperinci menjadi rencanarencana khusus (Regional Planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan seara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat. Asas ini merupakan hal yang baru dengan tujuan setiap jengkal tanah dipergunakan seefesien mungkin dengan memperhatikan asas Lestari, Optimal, Serasi dan Seimbang (LOSS) untuk penggunaan tanah di pedesaan, sedangkan asas Aman, Tertib, Lancar dan Sehat (ATLAS) untuk penggunaan di perkotaan. 6. HAK-HAK DALAM HUKUM AGRARIA

28


34

35

34

35

29


36

37

36 37

30


38

39

40

38 39 40

31


41

42

43

44

45

46

41 42 43 44 45 46

32


47

48

47 48

33


49

50

51

52

49 50 51 52

34


53

c. Hak Erfpacth Hak Erfpacht diatur dalam Pasal 720 sd. Pasal 736 KHUPerdata/BW. Hak Erpacht adalah hak untuk mengambil kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain dan mengusahakanya dalam jangka waktu yang sangat lama dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiapHak Erfpacht ini banyak dipergunakan untuk perusahaan besar (cultures) atau pembukaan tanah yang masih belukar dan berhubung dengan itu diberikan waktu yang cukup lama biasanya sampai 75 tahun. Hak Erfpacht ini dapat dijadikan jaminan hutang (hypotek), hak erfpacht juga bisa beralih dan dialihkan. Hak Erfpact hapus karena hal-hal berikut: a. Karena percampuran. b. Karena musnahnya barang. c. Karena daluwarsa dengan tenggang waktu tiga puluh tahun. d. Karena lewatnya waktu yang diperjanijkan. d. Hak Gebruik/Vruchtgebruik Hak Gebruik adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula.54 Hak vruchgebruik ini biasanya dipergunakan untuk memberi penghasilan (tunjangan) pada seseorang selama hidupnya, misalnya dalam suatu testament seseorang menentukan bahwa harta bendanya diwariskan kepada anak-anaknya, tetapi istri selama hidupnya mendapat hak vruchgebruik itu. Hak vruchgebruik begitu juga hak erfpacht karena begitu luasnya sehingga

53 54

35


pemilik sendiri tinggal namanya saja sebagai pemilik, akan tetapi sama sekali tidak mendapatkan kenikmatan dari miliknya itu.55

56

7. Hak-hak atas Tanah yang Bersifat Tetap a. Hak Milik

55 56

36


57

58

57 58

37


59

60

61

59 60 61

38


62

b. Hak Guna Usaha

62

39


63

64

63 64

40


c. Hak Guna Bangunan (HGB) Hak Guna bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan atas tanah bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lam 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun (Pasal 35 ayat 1 dan 2 UUPA). Sebagai suatu hak atas tanah Hak Guna Bangunan memberi wewenang kepada yang mempunyai untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Tujuan dari penggunaan hak guna bangunan adalah

41


untuk mendirikan bangunan, dan dilarang digunakan untuk tujuan yang lain, misalnya untuk pertanian atau perkebunan. Hak Guna Bangunan dalam pengertian hukum Barat sebelum dikonversi berasal dari hak Opstal yang diatur dalam Pasal 711 KUH Perdata. Setelah berlakunya UUPA kemudian dikonversi menjad Hak Guna Bangunan. Dalam UUPA ketentuan mengenai pengaturan Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35-40. Sedangkan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pasal 19-38 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Subyek (yang dapat memiliki) Hak Guna Bangunan yaitu: a. Warga Negara Indonesia. b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 ayat 1 UUPA). Apabila subyek hukum HGB tidak memenuhi syarat-syarat di atas, maka dalam jangka waktu satu tahun mereka wajib melepaskan atau mengalihkan HGB tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat bila hal ini tidak dilakukan, maka HGB hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara (Pasal 36 ayat 2 UUPA). Hak Guna Bangunan sebagai hak atas tanah, memiliki ciriciri sebagai berikut: a. Hak Guna Bangunan tergolong hak yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, Hak Guna Bangunan termasuk salah satu hak yang wajib didaftar (Pasal 38 UUPA) b. Hak Guna Bangunan dapat beralih, artinya dapat diwaris oleh ahli waris yang empunya hak (Pasal 35 ayat 3 UUPA) c. Hak Guna Bangunan jangka waktu yang terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir. (Pasal 35 ayat 1 dan 2 UUPA). d. Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan hipotek dan Crediet Verband (Pasal 34 UUPA). e. Hak Guna Bangunan dapat dialihkan kepada pihak lain yaitu dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat (Pasal 35 ayat 3 UUPA) 42


f. Hak Guna Bangunan dapat juga dilepaskan oleh yang mempunyai hingga tanahnya menjadi tanah negara (Pasal 40 huruf c). g. Hak Guna Bangunan hanya dapat diberikan untuk keperluan pembangunan bangunan.18 Hak Guna Bangunan berdasarkan asal tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:

65

65

43


d. Hak Pakai Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwewenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan UUPA.66

Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.67 Pasal 41 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa asal tanah Hak Pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain, sedangkan menurut Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah hak milik.68 Pasal 42 UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah : 1. WNI 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. 3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, meliputi Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus

66 67 68

44


karena mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA.Supriadi menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah ini adalah hak atas tanah yang bersifat skunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, dikatakan bersifat sementara karena hak-hak tersebut dinikmati dalam jangka waktu terbatas, lagi pula pada dasarnya hak-hak itu dimiliki oleh orang lain, misalnya hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa atas tanah pertanian. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara secara berurutan adalah sebagai berikut: a. Hak gadai (Gadai Tanah). b. Hak Usaha Bagi Hasil. c. Hak Menumpang. d. Hak Sewa Pertanian. 8. LANDREFORM A. Pengertian Landreform Pengertian Land Reform dapat dibagi dalam dua arti, yaitu dalam arti luas (Agrarian Reform) dan dalam arti sempit. Pengertian Land Reform dalam arti sempit berarti serangkaian tindakan dalam rangka Agraria Reform, land reform meliputi perombakan kembali kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasahaan tanah.69 Sedangkan pengertian Land Reform dalam arti luas meliputi: 1. pembaharuan hukum agraria; 2. penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah; 3. mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;

69

45


4. peombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah; 5. perencanaan persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyasecara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuanya.70 Urip Santoso memberikan pengertian mengenai land reform yaitu perubahan secara mendasar mengenai penguasaan dan pemilikan tanah dari sistem yang lama sebelum berlakunya UUPA ke sistem yang baru menurut UUPA.71 Berbeda dengan pendapat sebelumnya Supriyadi memberikan pengertian land reform sebagai alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain itu juga merupakan manifestasi dari tujuan politik, kekuasaan, dan kemerdekaan suatu bangsa.72 Dari beberapa pengertian di atas penulis lebih sependapat dengan pendapat Boedi Harsono bahwa land reform merupakan upaya penataan kembali kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian. Sedangkan pengertian land reform dalam UUPA sendiri mencakup tiga masalah pokok, yaitu: 1. perombakan dan pembangunan kembali system pemilikan dan penguasaan atas tanah. Tujuanya adalah melarang groot grod bezit, pemilikan tanah yang melampaui batas, sebab hal yang demikian akan merugikan kepentingan umum. 2. Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan atas tanah atau disebut land use planning. 3. Penghapusan hukum agraria kolonial dan pembangunan hukum agraria nasional.73

74

70 71 72 73 74

46


75

75

47


76

76

48


77

4. Program Land Reform Untuk mencapai tujuan land reform sebagimana disebutkan di atas, maka dirumuskan program-progran land reform sebagai berikut:

2. larangan pemilikan tanah secara Absentee (pemilikan tanah yang berada di luar wilayah kecamatan). 3. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainya. 4. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. 5. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian. 6. penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

77

49


78

78

50


79

80

Pengaturan mengenai larangan pemilikan tanah absentee di atur dalam Pasal 10 UUPA. Absentee/guntai yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang punya.142 Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini dilarang karena akan menyebabkan tanah pertanian yang bersangkutan tidak dapat dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Tujuan pelarangan ini adalah agar hasil dari tanah yang diusahakan sebagian besar dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat tanah pertanian terletak. Berhubungan dengan itu, ditetapkan bahwa pemilik tanah absentee dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal 24 september 1961, wajib mengalihkan haknya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, atau pindah ke kecamatan tersebut. Namun dalam kenyataannya waktu 6 bulan belum cukup, untuk itu

79 80

51


berdasarkan keputusan Menteri Agraria No. SK VI/6/KA/1962 diperpanjang hingga tanggal 31 Desember 1962. Pengaturan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee dikecualikan, sebagai berikut : 1. Pemilikan tanah pertanian yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letah tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik tanah dan tanahnya menurut pertimbangan panitia land reform kabupaten/kota masih memungkinkan untuk mengrjakan tanah pertanian tersebut secra efisien. 2. Pegawai Negeri Sipil dan TNI atau yang dipersamakan dengan itu yaitu pensiunan janda Pegawai Negeri Sipil, janda pensiunan mereka tidak kawin lagi dengan bukan Pegawai Negeri Sipil atau pensiunan, istri dan anak-anak Pegawai Negeri sipil dan TNI yang masih menjadi tanggungan. 3. Mereka yang sedang menjalankan tugas negara atau menunaikan kewajiban agama. 4. Mereka yang memiliki alasan khusus lainnya yang dapat diterima oleh kepala Badan Pertahanan Nasional Republik Indonesia.81 Ada beberapa sebab terjadinya pemilikan tanah secara absentee yaitu: 1. Pemilik tanah pertanian meninggalkan kecamatan tempat letak tanahnya. 2. Seseorang yang menerima warisan tanah pertanian yang letaknya dikecamatan lain. 3. Seseorang yang membeli tanah pertanian yang tempat tinggalnya terletak diluar kecamatan yang berbatasn dimana tanah pertanian tersebut terletak. Perlu kiranya diperhatikan bahwa larangan pemilikan tanah secara Absentee tersebut hanya mengenai tanah pertanian. Larangan pemilikan tanah Absentee berlaku juga terhadap bekas pemilik tanah berlebihan, jika sisa tanah yang menurut ketentuan UU. No. 56 PRP Tahun 1960 boleh tetap dimilikinya, letaknya di kecamatan lain dari tempat tinggalnya.

81

52


c. Redistribusi Tanah-tanah yang Selebihnya dari Batas Maksimum dan Tanah yang Terkena Larangan Absentee Salah satu program yang memegang peranan penting dalam menyukseskan program land Reform adalah pelaksanaan Redistribusi tanah pertanian. Redistribusi tanah adalah pengambil alihan tanah-tanah pertanian yang melebihi batasbatas maksimum oleh pemerintah kemudian dibagikan kepada para petani yang tidak memiliki tanah. Landasan dari pelaksanaan Redistribusi tanah pertanian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemeberian ganti kerugian.17 Peraturan Pemerintah ini kemudian dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964, kedua peraturan pemerintah ini mengatur bahwa tanah yang diredistribusikan tidak hanya terbatas pada tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum yang diambil oleh pemerintah tetapi juga tana-tanah bekas swapraja. Tanah-tanah yang dibagi-bagikan itu diberikan kepada para petani dengan status hak milik. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penerima redistribusi tanah pertanian adalah sebagai berikut : a. Petani penggarap atau buruh tani tetap kewarganegaraan Indonesia. b. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanah pertanian yang bersangkutan atau tempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan letak tanah yang bersangkutan. c. Kuat bekerja dalam bidang pertanian.82 Oleh karena luas tanah pertaniana yang akan diredistribusikan sangant sedikit, tidak sebanding dengan jumlah petani yangmemerlukan tanah pertanian, maka menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 diadakan pembagian prioritas, yaitu : 1. Penggarap yang mengerjakan tanah bekas pemilik yang bersangkutan. 2. Buruh tani tetap pada bekas pemilik yang mengerjakan tanah yang bersangkutan. 3. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan.

82

53


4. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan. 5. Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik. 6. Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah di beri peruntukan lain. 7. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar. 8. Pemilik yang luas tanahnya klurang dari 0,5 Hektar. 9. Petani atau buruh tani lainnya.83 d. Pengaturan Soal Pengembalian dan Penebusan Tanah-tanah Pertanian yang Digadaikan Gadai tanah pertanian merupakan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunnyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya, selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu pula hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau lazimnya di sebut penebusan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.84Banyak gadai tanah yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.85 Gadai menggadai tanah menurut ketentuan hukum adat umumnya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang merupakan bunga layak dari uang gadai yang diterima oleh pemilik tanah umumnya kedudukan ekonomi pemegang gadai lebih kuat dibanding dengan pemilik tanah.86 Menurut Urip Santoso, sifat eksploitasi dan penerapan pada gadai tanah (hak gadai ) adalah sebagai berikut : 1. Lamanya gadai tidak terbatas. Berapa tahun saja tanah yang di gadaikan di kuasai oleh pemegang gadai, tanah tidak akan dikembalikan kepada pemilik tanah apabila tidak di tebus.

83 84 85 86

54


2. Tanah baru kembali kepada pemilik tanah jika sudah di tebus dengan mengusai atau menggarap tanah yang di gadaikan selama enam sampai dengan tujuh tahun saja, hasil yang di peroleh pemegang gadai sudah melebihi jumlah uang gadai dan bunga gadai.87 Untuk menghilangkan unsur-unsur penerapan dari gadai tanah, Pasal 53 UUPA menghendaki supaya gadai tanah pertanian diatur dalam peraturan perundang-undangan, kemudian gadai tanah pertanian diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960.

yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada

e. Pengaturan Kembali Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Perjanjian bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum (yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas kepunnyaan pihak lain ( yang disebut pemilik ) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pahak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya.88 Sedangkan menurut pasal 1 huruf C Undang-undang No.2/1960 tentang perjanjian bagi hasil, yang di maksud dengan perjanjian bagi hasil adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan hukum, yang disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagai antara kedua belah pihak menurut imbangan yang disetujui sebelumnya.89 Perjanjian bagi hasil pada awalnya tunduk pada ketentuan hukum adat, hak dan kewajiban masing -masing pihak, yaitu pemilik tanah maupun penggarap ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.

87 88 89

55


Perjanjian bagi hasil yang didasarkan pada hukum adat tersebut mengandung unsur-unsur eksploitasi/pemerasan. Unsur exploitasi/pemerasan tersebut nampak dari pembagian yang tidak seimbang antara pemilik tanah dan penggarap, bagian pemilik tanah jauh lebih besar daripada bagian dari penggarap. Kehadiran Undang-undang No. 2 Tahun1960 bertujuan untuk memperbaiki nasib para penggarap tanah milik pihak lain, dalam undang-undang itu juga disebutkan bahwa perjanjian bagi hasil harus dilakukan dalam bentuk tertulis. Tujuan adalah agar mudah mengawasi dan melakukan tindakan-tindakan terhadap perjanjian bagi hasil jika merugikan penggarapnya.90 kering. Ditetapkannya luas minimum itu, tidak berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari 2 hektar diwajibkan untuk melepaskan tanahnya. Dua hektar itu merupakan target minimum yang harus diusahakan tercapainya secara berangsur-angsur.91 Dalam rangka memenuhi batas minimum pemilikan tanah pertanian 2 hektar, setiap keluarga dilarang melakukan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dari 2 hektar, dengan mengadakan pembatasan terhadap pemidahan hak milik atas tanah pertanian. Tanpa adanya pembatasan-pembatasan tersebut dikhawatirkan, bukan saja usaha untuk mencapai batas minimum pemilikan tanah pertanian tersebut tidak tercapai, tetapai bahkan akan jauh dari tujuan itu. Untuk mewujudkan batas minimum pemilikan tanah pertanian oleh petani sekeluarga tidaklah mudah, sebagian besar keluarga petani di Indonesia memiliki tanah yang lebih kecil dari 2 hektar.29 Sehubungan dengan itu pelaksanaan dari ketentuan tentang batas minimum pemilikan tanah pertanian dilakukan secara berangsur-angsur. Pada tahap permulaan, penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian ditujukan untuk mencegah dilakukannya pemecahan tanah pertanian menjadi bagian yang kurang dari 2 hektar. Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 melarang pemindahan hak atas tanah pertanian, apabila pemindahan itu mengakibatkan timbulnya pemilikan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, akan tetapi larangan itu tidak berlaku jika penjual hanya memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang 2 hektar dan dijual sekaligus. Selanjutnya pasal 9 ayat 2 memerintahkan kepada 2 orang atau lebih yang memiliki tanah pertanian yang luasnya 90 91

56


kurang dari 2 hektar untuk menunjuk satu diantara mereka yang akan memiliki tanah atau mengalihkan tanahnya kepada orang lain. Namun demikian, larangan pemindahan hak atas tanah pertanian yang menyebabkan tanahnya kurang dari dua hektar tidak berlaku dalam hal warisan. Peralihan hak atas tanah karena warisan yang menyebabkan tanah pertanian kurang dari 2 hektar akan diatur oleh Peraturan pemerintah, namun hingga saat ini peraturan yang dimaksud belum dibentuk. 9. Pendaftaran Tanah Pengertian Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satua rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya.92 Menurut Boedi Harsono, Pendaftaran tanah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang tanah yang ada di suatu wilayah tertentu.93 Pemerintah dalam melakukan pendaftaran tanah didasarkan pada peraturan perundangundangan antara lain:

92 93

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undan-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya, (Jakarta: Djambatan, 2004), 405.

57


4. Pasal 38 UUPA menentukan:

58


Tujuan Pendaftaran Tanah Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, tetap dipertahankan tujuan diselenggaraan pendaftaran tanah yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA, yaitu dalam rangka menjamin kepastian hokum di bidang pertanahan (rechtskadaster atau legal cadastre), secara rinci tujuan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tujuan Pendaftaran Tanah yaitu:

Asas-asas Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dengan 5 (lima) Asas, yaitu:

59


94

Sedangkan bidang-bidang pendaftaran tanah menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 meliputi:

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dapat diberikan oleh Negara atas tanah-tanah yang dikuasai secara langsung oleh Negara, tetapi dimungkinkan juga Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diberikan oleh pemegang Hak Milik atas tanah. Berbeda dengan obyek pendaftaran tanah lainnya, pendaftaran tanah Negara dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah, hanya saja sertifikatnya tidak diterbitkan. Sementara itu untuk obyek pendaftaran tanah yang lain maka obyek tersebut didaftar dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta menerbitkana sertifikat tanah sebagai tanda bukti haknya. Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemrintah Nomor 24 Tahun 1997 tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatuhak atas tanah. Dalam hal ini Irawan Soerodjo berpendapat bahwa yang dimaksud obyek pendaftaran tanah tersebut bukan tanah Negara dalam arti yang luas melainkan terbatas pada jenis tanah Negara dalam arti sempit, yaitu atas tanah-tanah hak yang telah jatuh tempo misalnya Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.95

94

Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

95

60


Sistem Pendaftaran Tanah Sistem pendafataran tanah yang digunakan adalah system pendaftaran hak (registration of titles), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut nampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang di daftar.96 Menurut Effendi Perangin dalam melakukan pendaftaran tanah dikenal dua system pendaftaran, yaitu:

97

Sistem pendafataran yang dipakai menurut UUPA adalah sistem pendaftaran bertendensi positif positif sehingga kepastian hukum dapat dicapai. Dalam sistem negatif, jaminan perlindungan yang diberikan kepada pemegang sertifikat tidak mutlak seperti pada system positif. Dalam system negative pemegang sertifikat tanah masih dimungkinkan untuk digugat oleh pihak lain yang merasa memilik sebidang tanah tersebut. Artinya perlindungan hukum diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang sebenarnya bukan kepada pemegang sertifikat tanah. Pihak-pihak yang merasa mempunyai sesuatu hak atas tanah dapat melakukan gugatan terhadap pihak-pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah, hanya saja dalam Peraturan Pemerintah Nomor

96 97

61


24 Tahun 1997 ditentukan bahwa jangka waktu mengajukan gugatan dibatasi selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertifikat tanah.98 Sebagai perbandingan,terdapat beberapa sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh Negara-negara di dunia, yaitu Sistem Torrens, Sistem Positif, dan Sistem Negatif .99

Sistem Torrens atau yang lebih dikenal dengan nama The Real Property Act atau Torren Act mulai berlaku di Australia Selatan sejak Tanggal 1 Juli 1858. Sistem ini sekarang dianut di Kepulauan Fiji, Canada, Negara Bagian Lowa Amerika Serikat, Yamaika Trinidad, Brazilia, Aljazair, Tunisia, Kongo, Denmark, Norwegia dan Malaysia.100 Menurut sistem Torrens ini sertifikat merupakan alat bukti hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak dapat diganggu gugat. Ganti rugi terhadap pemilik sejati adalah melalui dana asuransi. Untuk memperoleh buku tanah adalah tidak mungkin kecuali jika memperoleh sertifikat tanah dengan cara pemalsuan dengan tulisan atau diperoleh dengan cara penipuan. Sistem Torrens ini mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sistem Negatif, yaitu :

101

98 99

100 101

62


Menurut sistem posistif sertifikat tanah merupakan tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Ciri pokok sistem ini adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah menjamin dengan sempurna nama yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah, walaupun misalnya ia bukan merupakan pemilik tanah tersebut. Sistem positif ini memberikan kepercayaan yang mutlak kepada buku tanah. Pejabat-pejabat balik nama dalam sistem ini memainkan peranan sangat aktif, mereka menyelidiki apakah hak atas tanah yang dialihkan itu dapat didaftarkan atau tidak, menyelidiki identitas para pihak, wewenangnya dan apakah formalitasnya sudah terpenuhi atau belum. Sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:

Sedangkan beberapa kelemahan system positif yaitu:

102

Menurut sistem negatif, bahwa segala apa yang tercantum dalam sertifikat tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya di muka sidang pengadilan. Adapun asas peralihan hak atas tanah menurut sistem negatif ini adalah Azas Nemo Plus Juris, yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Ciri pokok dari sistem ini adalah bahwa pendaftaran tanah/pendaftaran hak atas tanah tidaklah menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah jika nama yang terdaftar bukanlah pemilik sebenarnya. Hak dari nama yang

102

63


terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan mata rantai perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah sebelumnya.103 Disamping itu Pejabat Balik Nama Tanah berperan pasif, artinya pejabat yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran dari surat-surat yang diserahkan kepadanya. Jika hal ini kita kaitkan dengan Pasal 19 UUPA, maka akan nampak sistem apa yang dipakai oleh Undangundang No. 5 Tahun 1960 tersebut. Pasal 19 Ayat (1), dan Ayat (2) menyebutkan:

Dari ketentuan Pasal 19 Ayat (2) huruf C tersebut, dapat kita ketahui bahwa dengan didaftarkannya hak-hak atas tanah maka akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti yang mempunyai pembuktian kuat. Kata kuat disini berarti sertifikat yang diberikan itu kekuatan pembuktiannya tidaklah mutlak. Artinya segala apa yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya (yang menyatakan sertifikat itu tidak benar). Terkait dengan masalah tersebut Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftran Tanah menyebutkan:

103

64


Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin data yang disajikan, namun demikian tidak dimaksudkan menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 (2) huruf C UUPA, bahwa tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32 dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada pihak lain untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (vide Penjelasan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997). Ketentuan bahwa setelah 5 (lima) tahun sertifikat tanah tidak bisa digugat, di satu sisi memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, tetapi di sisi yang lain kebijakan tersebut juga riskan dan tidak memberikan perlindugan hukum kepada rakyat kecil yang selama ini belum sepenuhnya memahami hukum. Pengumuman penerbitan sertifikat tanah di kantor desa/kelurahan atau melalui media massa tidak menjamin masyarakat dapat mengetahui atas adanya pengumuman sehubungan dengan penerbitan sertifikat tersebut. Hal ini disebabkan masyarakat belum terbiasa membaca pengumuman di kelurahan atau media massa. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 memang lebih memberikan jaminan yang cukup kuat dibandingkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961. Sebab berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tidak ditentukan suatu jangka waktu tertentu untuk memberikan kepastian, sehingga sertifikat sebagai alat bukti pemilikan tanah masih dapat dibatalkanapabila ada 65


alat bukti data yang dipergunakan sebagai dasar penerbitannya cacat. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diterbitkan, maka sertifikat tanah tidak dapat diganggu gugat lagi, sehingga hal tersebut akan relatif lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum. Asas Nemo Plus Juris merupakan asas di mana seseorangtidak dapat melakukan tindakan hukum yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut adalah batal demi hukum (van rechtswegenietig).104 Batal demi hukum berakibat, perbuatan tersebut dianggap tidak pernah ada dan karenanya tidak mempunyai akibat hukum dan apabila tindakan hukum tersebut menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak-pihak yangmelakukan perbuatan hukum tersebut. Dalam melakukan perbuatan hukum hak atas tanah, asas Nemo Plus Juris dikenal disamping asas itikad baik, yaitu asas yang melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya. Asas ini dalam hukum pertanahan mempunyai daya kerja untuk memberikan kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar umum yang ada di Kantor Pertanahan. Penerapan asas ini berarti memberikan perlindungan kepada pemegang hak yang sebenarnya sehingga selalu terbuka kemungkinan untuk mengadakan gugatan bagi pihak yang merasa memiliki dan dapat membuktikan kepemilikannya kepada pihak lain yang meskipun namanya telah terdaftar dalam daftar umum yang terdapat di Kantor Pertanahan. Perbuatan hukum yang menyangkut peralihan hak atas tanah seperti jual beli meskipun dilakukan dengan dasar itikad baik dan telah dilakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan adalah batal demi hukum apabila terdapat pihak-pihak yang mempergunakan hak yang melampaui batas kewenangan dan hak-hak hukum yang dimilikinya.105 Dalam Peraturan PemerintahNo. 24 Tahun 1997 asas Nemo Plus Juris terefleksikan dalam stelsel negatif yang dinyatakan dalam Pasal 32 Ayat (2) yang dalam penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Sebagai upaya untuk mengatasi kelemahan stelsel negatif dalam pendaftaran tanah tersebut diterapkan prinsip rechverwerking yang mengatur bahwa pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah/dirugikan diberikan kesempatan untuk 104 105

66


menuntut haknya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tanah, sehingga apabila seseorang dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak mempergunakan haknya maka yang bersangkutan dianggap telah melepaskan haknya. Tujuan diterapkannya prinsip rechverwerking adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah dengan sertifikat tanah sebagai tanda bukti kepemilikannya. Namun demikian, prinsip rechverwerking tersebut akan menjadi tidak efektif atau tidak dapat memberikan perlindungan hukum serta dapat merugikan bagi pihak yang sesungguhnya memiliki tanah namun tidak dapat membuktikan dengan alat bukti berupa sertifikat tanah. Kelemahan sistem negatif adalah bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat tanah selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Sedangkan kelebihanya adalah adanya perlindungan kepada pemegang hak atas tanah yang sebenarnya.106 Berdasarkan hal tersebut di atas, sistem yang dipakai oleh UUPA adalah Sistem Negatif Bertendensi Posistif.107 Pengertian Negatif adalah bahwa keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan. Sedangkan pengertian tendensi positif adalah adanya peranan aktif dari petugas pelaksana pendaftaran tanah dalam hal penelitian terhadap hak-hak atas tanah yang didaftar tersebut. Kegiatan Pendaftaran Tanah Kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA meliputi:

Kegiatan pendaftaran tanah ini meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan pendaftaran tanah (maintenance). Pendaftarantanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah

106 107

Boedi Harsono, Op Cit., 302.

67


yang belum pernah didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.108 Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

109

Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan, kegiatannya meliputi:

Sedangkan kegiatan dalam pembuktian dan pembukuan hak, meliputi:

110

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara seporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, meliputi semua objek pendaftaran yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah 108 109 110

68


berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayahwilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pendaftaran tanah secara seporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara seporadik dilaksanakan atas prakarsa pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan.111 Kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran hak (maintenance) adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah didaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik dan data yuridis tersebut di kantor pendaftaran tanah Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.112 Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997, bahwa setiap peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hokum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Dengan demikian PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya suatu perbuatan hokum yang bersangkutan, antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertifikat dengan daftardaftar yang ada di kantor pertanahan.113

111 112 113

69


Kekuatan Pembuktian Sertifikat Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dikeluarkan sertifikat sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang kuat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf C UUPA untuk hak milik, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Sertifikat merupakan surat tanda bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang sertifikat, maka dalam pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa:

hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkanya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifkat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutanataupun tidak mengajukan gugatan pada pengadilan negeri atas penguasaan tanah 114

Dengan demikian, pemegang sertifikat yang telah melampaui masa 5 (lima) tahun mendapatkan perlindungan hukum penuh dari Pemerintah, dengan catatan ia memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya. Artinya berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut pemegang sertifikat tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain yang merasa memiliki sebidang tanah. Contoh Sertifikat Hak Milik seperti di bawah ini.

114

70


10. Pengadaan Tanah Pengertian Pengadaan Tanah Pengadaan tanah merupakan kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.115 Pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah.116 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Konsep dasar pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah berdasarkan kesepakatan para pihak, yaitu pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.117 Sebelum berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, istilah pengadaan tanah tidak dikenal. Istilah yang dipakai dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomo 15 Tahun 1975 adalah pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan yang semula di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.118 Menurut Soedaryo Soimin yang dimaksud

115

116 117 118

71


denga pembebasan tanah adalah setiap perbuatan yang bermaksud secara lansung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak /penguasa atas tanah itu.119 Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan melalui; pelepasan hak (istilah lain pembebasan tanah), pencabutan hak atas tanah, atau cara lain yang disepakati, misalnya jual beli tukar menukar. Dalam pelepasan hak atas tanah terlebih dahulu dilakukan dengan cara musyawarah untuk menentukan besarnya ganti kerugian. Pencabutan hak atas tanah dilakukan jika musyawarah mufakat untuk menentukan ganti kerugian tidak menemui titik temu, sehingga ada upaya paksa dari pemerintah (Presiden) untuk melakukan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati dilakukan dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang luas tanahnya kurang dari satu hektar.120 Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip:

119 120

72


121

Sejarah Pengaturan Pengadaan Tanah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), tidak mengatur secara tegas mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. UUPA hanya mengatur mengenai pencabutan hak atas tanah. P bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UndangDisam Kedua pasal tersebut yang dijadikan landasan Pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

121

73


Selain kedua pasal di atas, pengaturan me dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat ditafsirkan dari Pasal 27, 34, dan 40 UUPA. Pasal 27 UUPA menentukan bahwa hak milik hapus jika tanahnya jatuh pada negara, penyerahan secara suka rela,dan dicabut untuk kepentingan umum. Pasal 34 UUPA menentukan bahwa Hak Guna Usaha hapus jika dilepaskan secara suka rela, dan dicabut untuk kepentingan umum. Pasal 40 UUPA menentukan Hak Guna Bangunan hapus jika tanahnya dilepaskan sebelum jangka waktunya berakhir, dan dicabut untuk kepentingan umum. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUPA, kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Pengaturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana uraian di bawah ini:

74


122

Pasal 10 menentukan:

122

75


76


Mekanisme Pengadaan Tanah Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dislenggarakan oleh pemerintah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil.123 Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui musyawarah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Musyawarah dilakukan oleh pemegang hak atas tanah, dengan Lembaga Pertanahan untuk menentukan besarnya ganti kerugian. Ganti kerugian merupakan penggantian atas nilai tanah dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah. Musyawarah dilakukan paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan keepada Lembaga Pertanahan untuk menentukan bentuk dan atau besarnya ganti kerugian. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Apabila pihak yang berhak keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, ia diberikan hak untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu 14 hari sejak putusan Pengadilan Negeri. Putusan Mahkamah Agung/Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang berhak.124 Penggantian terhadap kerugian baik fisik maupun non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Sebagai imbalan pada prinsipnya pemberian ganti kerugian harus seimbang dengan nilai tanah, termasuk segala benda yang terdapat di atasnya yang dilepaskan atau diserahkan itu. Jadi idealnya jumlah ganti rugi yang diterima pemegang hak atas tanah harus sama dengan nilai tanah, termasuk benda-benda yang ada di atas tanah.

123 124

77


Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 hanya menentukan ganti kerugian yang bersifat fisik, sedangkan ganti kerugian yang bersifat non fisik tidak termasuk dalam bentuk kerugian. Sebagai sebuah catatan ganti kerugian non fisik meliputi hilangnya pekerjaan bidang usaha sebagi sumber penghasilan dan sumber pendapatan lain yang berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan seseorang. Oleh karena itu sebagai alternatif dalam memberikan ganti kerugian misalnya penyediaan lapangan kerja, bantuan pelatihan sebagai pengganti kerugian yang bersifat non fisik. Bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yaitu:

Dasar perhitungan besarnya ganti kerugian ditentukan berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan; nilai jual bangunan dan nilai jual tanaman. Namun seringkali ganti kerugian tidak dapat menggambarkan nilai sebenarnya dari tanah. Bentuk ganti kerugian yang diberikan terhadap bekas pemegang hak ulayat (hak masyarakat hukum adat) adalah dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Apabila musyawarah tidak tercapai kata sepakat mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, pemegang hak atas tanah diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Jika setelah diputuskan oleh Pengadilan Negeri pemegang hak atas tanah tidak menerima putasan itu, pemegang hak atas tanah diberikan hak untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Jika pemegang hak atas tanah masih tidak menerima dengan putusan Mahkamah Agung, Pemerintah dapat melakukan pengadaan tanah dengan cara menitipkan ganti kerugian di Pengadilan Negeri (Konsinyasi).125 125

78


Penitipan ganti kerugian juga dapat dilakukan dalam hal:

126

Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar dapat dilakukan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila ditempuh melalui cara jual beli, tukar menukar atau cara lain, maka ketentuan yang berlaku bagi kedua belah pihak adalah ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata. Oleh karena itu transaksi itu harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.127 Sementara itu ketentuan dan tata cara pembuatan perjanjian, pendaftaran, dan peralihan haknya mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.128 Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sedangkan pengadaan tanah untuk pembangunan yang dilakukan oleh pihak swasta dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua pihak. Pembangunan untuk kepentingan swasta tidak diperkenankan minta fasilitas pemerintah untuk membebaskan atau mencabut tanah masyarakat. Apabila upaya pengadaan tanah melalui musyawarah tidak berhasil, dalam arti tidak diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, maka dapat dilakukan melalui

126 127

128

79


pencabutan hak atas tanah. Upaya ini dilakukan jika lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain. Pengadaan tanah melalui pencabutan hak diajukan oleh Bupati/Wali Kota/Gubenur/Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenanganya kepada Presiden melalui kepala Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Makna Kepentingan Umum Sebelum Kepres No. 55 Tahun 1993 ditetapkan belum ada definisi mengenai kepentingan umum yang baku. UUPA, Undang-undang No. 20 Tahun 1961 dan Inpres No. 9 Tahun 1973 belum menegaskan esensi kriteria kepentingan umum. Di dalam UUPA dan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961, kepentingan umum dinyatakan dalam peruntukanya, yaitu kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan. Sedangkan dalam Inpres No. 9 Tahun 1973, kepentingan umum diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut 4 (empat) macam kepentingan, yaitu: kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat luas, kepentingan bersama, dan kepentingan pembangunan.129 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 memberikan klarifikasi mengenai pengertian kepentingan umum. Pasal 1 butir 3 menyebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh masyarakat. Selanjutnya Pasal 5 Keppres di atas menyatakan bahwa pembangunan untu kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 bahwa pembangunan untuk kepentingan umum mempunyai dua kriteria yaitu; (1) dilakukan serta dimiliki oleh Pemerinta dan; (2) tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Sedangkan menurut Perpres No.mor 36 Tahun 2005 jo Perpres Nomor 65 tahun 2006, bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat. Perpres inipun tidak mengatur mengenai dua kriteria seperti yang diatur oleh Keppres Nomor 55 tahun 1993. Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 jo Peraturan Peemerintah Nomor 71

129

80


Tahun 2012 kepentingan umum adalah kepentinga bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebasar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.130 Bidang-bidang Pembangunan untuk Kepentingan Umum berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yaitu:

131

Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Bidang-bidang pembangunan untuk kepentingan umum meliputi:

130 131

81


Menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Bidang-bidang pembangunan yang merupakan kepentingan umum meliputi:

82


Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 bidang-bidang pembangunan untuk kepentingan umum meliputi:

Mekanisme Pencabutan Hak Atas Tanah Pencabutan Hak Atas Tanah adalah pengambilan tanah kepunyaan suatu fihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjai hapus tanpa yang bersangkutan melakukan suatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum.132

132

83


Dasar hukum yang dipakai oleh pemerintah dalam melakukan pencabutan hak atas tanah bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UndangPasal ini pada satu fihak memberikan landasan hukum kepada penguasa (pemerintah) untuk dapat memperoleh tanah yang diperlukanya guna menyelenggarakan kepentingan umum. Pada pihak lain, ketentuan ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas tanah terhadap tindakan sewenang wenang dari penguasa. Pencabutan hak atas tanah dimungkinkan tetapi dengan syarat-syarat tertentu, syarat-syarat mana selain ditetapkan oleh Pasal 18 UUPA juga diatur dalam Undang-undang. ketentuan Pasal 18 UUPA itu pada hakekatnya merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPA bahwa pencabutan hak atas tanah harus dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh Undang-undang. Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah danBenda-benda yang ada di Atasnya yang mulai berlaku tanggal 26 September Tahun 1961. Sedangkan peraturan pelaksanaanlainya antara lain:

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 pencabutan hak atas tanah hanya boleh dilakukan apabila:

Syarat-syarat di atas, apabila digabung dengan ketentuan Pasal 18 UUPA, maka ada 5 syarat untuk pencabutan hak atas tanah, yaitu: 84


133

Pencabutan hak atas tanah dilakukan apabila dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum melalui pelepasan hak tidak tercapai kata sepakat mengenai ganti rugi. Usul pencabutan hak diajukan oleh Gubernur melalui Menteri Dalam Negeri cq Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan Menteri dari Instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (dulu Menteri Kehakiman). Presiden melakukan pencabutan hak atas tanah setelah mendengar pertimbangan dari Menteri dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri dari Instansi yang memerlukan tanah. Menteri dalam Negeri memberi pertimbangan dari segi agraria dan politik, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dari segi hukumnya, sedang Menteri dari Instansi yang memerlukan tanah memberikan pertimbangan mengenai fungsi dari usaha yang meminta dilakukan pencabutan hak atas tanah, apakah tanah yang diminta itu benar-benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh dari tempat lain.134 6. Upaya Hukum dalam Pencabutan Tanah Apabila pihak yang mempunyai tanah tidak menerima ganti kerugian yang ditetapkan, maka menurut Pasal 8 Undangundang Nomor 20 Tahun 1961 ia dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaanya meliputi tempat letak tanah yang dicabut tersebut. Pengadilan Tinggi akan memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir. Putusan Pengadilan Tinggi ini bersifat final dan mengikat. Mengenai prosedur untuk memeriksa dan mengadili gugatan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973.21 Adapun ketentuanya sebagai berikut:

133 134

85


11. Tanah Sebagai Jaminan Kredit Aturan Hukum Pelaksanaan Hak Tanggungan Terhadap Hak Atas Tanah Di Dalam Memperoleh Kredit Perbankan UU No. 4 Tahun 1996 mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU 86


No. 4 Tahun 1996, maka hipotik yang diatur oleh KUH Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang. Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 pada tanggal 9 April 1996, pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. Didalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal beberapa asas Hak Tanggungan. Asas-asas itu disajikan berikut ini:135

135

87


Sehubungan dengan ciri-ciri Hak Tanggungan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat dikemukakan pula beberapa ketentuan di antara 31 pasal yang terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1996 sebagai berikut :136

136

88


Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan.137 Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang. Biasanya dalam praktik pemberi Hak Tanggungan disebut dengan debitur, yaitu orang meminjamkan uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak Tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

137

89


138

Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :139

138 139

90


Objek hipotik dan credietverband hanya meliputi hak-hak atas tanah saja tidak meliputi benda-benda yang melekat dengan tanah, seperti bangunan, tanaman segala sesuatu di atas tanah. Namun, dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, tidak hanya pada ketiga hak atas tanah tersebut yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi telah ditambah dan dilengkapi dengan hak-hak lainnya. Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu :140

140

91


141

141

92


Prosedur Pelaksanaan Hak Tanggungan Terhadap Hak Atas Tanah Di Dalam Memperoleh Kredit Perbankan

Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata cara pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada penerima kuasa. Prosedur pemberian Hak Tanggungan, dengan cara langsung disajikan berikut ini:142

Prosedur pembebanan Hak Tanggungan yang menggunakan surat kuasa pembebanan Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 disajikan berikut ini :143

142 143

93


Ada 2 alasan pembuatan dan penggunan Surat Kuasa Memasang hak Tanggungan (SKMHT), yaitu:

144

144

94


2. Bentuk dan Substansi Akta Pemberian Hak Tanggungan Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dalam bentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan. Akta ini dibuat di muka dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996). Sedangkan isi akta pemberian tanggungan, telah diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Isi akta pemberian Hak Tanggungan dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu yang sifatnya wajib dan fakultatif. Yang dimaksud dengan isi yang sifatnya wajib adalah bahwa di dalam akta itu harus memuat substansi yang harus ada di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Hal-hal yang wajib dimuat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, meliputi :145

Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula akta itu dianggap tidak pernah ada. Ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tangungan, baik mengenai subjek, objek maupun hutang yang dijamin. Isi Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sifatnya fakultatif adalah bahwa isi yang dicantumkan dalam akta itu tidak diwajibkan atau bersifat pilihan dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya suatu akta. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janjijanji itu di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dengan dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan,

145

95


janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Janji-janji yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan antara lain :15

96


Janji yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Janji semacam ini batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada (Pasal 12 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996).146 Hal-hal yang dimuat dalam akta pemberian Hak Tanggungan, meliputi:147

Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996. Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan. Secara sistematis tata cara pendaftaran dikemukakan berikut ini:

146 147

97


98


Surat-surat/dokumen yang diperlukan bagi tanah sudah bersertifikat dan sudah ada akta peralihan haknya dan belum terdaftar ke atas nama Pemberi Hak Tanggungan :148

Surat-surat/dokumen yang diperlukan bagi sebagian tanah yang sudah bersertifikat yang perlu dilakukan pemisahan :149

148 149

99


Surat-surat/dokumen yang diperlukan bagi tanah bekas milik adat belum bersertifikat (melalui penegasan hak/konversi):150

Surat-surat/dokumen yang diperlukan bagi tanah bekas milik adat belum bersertifikat (melalui penegasan hak/konversi):151

150 151

100


152

152

101


Apabila diperhatikan prosedur pendaftaran di atas, tampaklah bahwa momentum lahirnya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah adalah pada saat hari buku tanah Hak Tanggungan dibuatkan di Kantor Pertanahan. Pada dasarnya Hak Tanggungan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Peralihan Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara

153

Cessi adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi harus dilakukan dengan akta autentik dan akta di bawah tangan. Secara lisan tidak sah. Subrogasi adalah penggantian kreditur oleh pihak ketiga yang melunasi hutang debitur. Ada dua cara terjadinya subrogasi, yaitu

154

153 154

102


Supaya subrogasi ini dianggap sah, maka harus diikuti dengan tata cara sebagai berikut : (1) pinjaman uang mesti ditetapkan dengan akta autentik, (2) dalam akta autentik mesti dijelaskan besarnya jumlah pinjaman dan diperuntukkan melunasi hutang debitur, dan (3) tanda pelunasan berisi pernyataan, bahwa uang pembayaran hutang diserahkan kepada kreditur, adalah uang yang berasal dari pihak ketiga. Sedangkan subrogasi karena undangundang terjadi karena adanya pembayaran yang dilakukan pihak ketiga untuk kepentingannya sendiri, seorang kreditur melunasi hutang kepada kreditur lain yang sifat hutangnya mendahului. Akibat adanya subrogasi adalah beralihnya hak tuntutan dari kreditur kepada pihak ketiga. Peralihan hak itu meliputi hak dan tuntutan (Pasal 1400 KUH Perdata).Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain adalah hal-hal lain selain yang dirinci dalam ayat ini, misalnya dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan baru. Peralihan hak tanggungan wajibdidaftarkan oleh kreditur yang baru kepada Kantor Pertanahan. Hal-hal yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan berkaitan dengan pendaftaran peralihan Hak Tanggungan adalah melakukan

Tanggal pencatatan pada buku tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika pada hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Sedangkan momentum berlakunya peralihan Hak

103


Tanggungan bagi pihak ketiga, yaitu pada hari tanggal pencatatan pada buku tanah oleh Kantor Pertanahan.155 Hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 19 Undnagundang Nomor 4 Tahun 1996. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak Tanggungan. Ada empat sebab hapusnya Hak Tanggungan, yaitu :

156

155 156

104


Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberi Hak Tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.

105


HUKUM ACARA PIDANA

106


107


B. Fungsi Hukum Acara Perdata

108


2. Subjek dan Objek Hukum Acara Perdata

3. Sumber Hukum Acara Perdata

109


4. Asas-Asas Hukum Acara Perdata

5. Ilmu Pembantu Hukum Acara Perdata

110


111


112


113


114


115


Benda yang dapat disita Berdasarkan kepustakaan, maka benda-benda yang dapat disita yaitu: 1. CORPORA DELICTIyaitu barang atau benda yang merupakan hasil suatu tindak pidana. Misalnya sepeda motor curian; 2. INSTRUMENTA DELICTIyailu barang atau benda yang merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Misalnya pisau yang dipergunakan untuk membunuh. 3. Bukan CORPORA DELICTI dan.juga bukan INSTRUMENTA DELICTI DELICTI, tetapi dapat dipakai sebagai alat bukti. Misalnya kaos yang ada bercak darah, gelas yang ada sidik jari. Pasal 39 KUHAP, jika dikaitkan dengan kepustakaan di atas dapat diielaskan di sini yaitu: 1. CORPORA DELICTI Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana (Pasal 39 ayat (1) huruf a) 2. INSTHUMENTA DELICTI a. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya (Pasal 39 ayat 0) huruf b)

116


b. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana (Pasal 39 ayat (1) huruf d). 3. Bukan CORPORA DELICTI dan juga bukan INSTRUMENTA DELICTI DELICTI a. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana (Pasal 39 ayat (1) hurul c); b. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (Pasal 39 ayat (1) huruf e) c. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan,penuntutan dan mengadili perkara pidana (Pasal 39 ayat (2) Beberapa catatan lain terkait dengan penyitaan di sini yaitu: 1. Dalam hal tertangkap tangan: a. Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. b. Menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal dan padanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi,jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. 2. Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undangundang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. 117


3. Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rubasan) dan Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga. 4. Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: a. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;

b. Apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya. c. Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. d. Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). e. Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan

5. Pengembalian benda sitaan (Pasal 46 KUHAP): a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; 118


b. Perkara Tidak jadi dituntut: 1) Tidak cukup bukti; 2) Bukan merupakan tindak pidana. c. Perkara dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara ditutup demi hukum. Kecuali benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.

Adapun hak-hak tersangka sebagaimana diatur di dalam KUHAP, adalah sebagai berikut: 1)

Hak untuk segera diperiksa perkaranya, sebagaimana menurut Pasal 50 KUHAP, yaitu: (1) Berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan

selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut

umum.

Bahkan tersangka yang ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik (Pasal 122 KUHAP). (2) Berhak perkaranya segeradimajukan atau dilanjutkan

ke pengadilan oleh penuntut umum. (3) Berhak segera diadili oleh pengadilan. (4) Hak untuk mempersiapkan pembelaan, sebagaimana

menurut Pasal 51 huruf a KUHAP, bahwa: 1.

Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang

disangkakan

kepadanya

pada

waktu

pemeriksaan dimulai; 2.

Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa 119


yang didakwakan kepadanya. 2) Hak untuk bebas memberikan keterangan, sebagaimana

menurut Pasal 52 KUHAP, bahwa

pemeriksaan

pada tingkat penyidikan: tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik. 3) Hak untuk mendapatkan juru bahasa, sebagaimana

menurut Pasal 53 ayat (1) KUHAP, bahwa pemeriksaan pada tingkat penyidikan tersangka berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4) Hak untuk mendapatkan penerjemah, sebagaimana

menurut Pasal 53 ayat (2) KUHAP, bahwa

hal

tersangka bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagaimana

pembelaan, tersangkaberhakmendapatbantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu

danpadasetiap

tingkatpemeriksaan,

menuruttatacarayang ditentukan dalam undang-undang

6) Hak

untuk

memilih

penasihat

hukum,

sebagaimanamenurut Pasal 55 KUHAP, yaitu untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, dan berhak memilih sendiri penasihat

7) Hak untuk didampingi penasihat hukum secara cuma-

cuma, sebagaimana menurut menurut Pasal 56 KUHAP, bahwa apabila: a.

Dalam hal tersangka disangka melakukan tindak 120


pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. b.

Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

8) Hak untuk

menghubungi penasihat hukumnya,

sebagaimana menurut Pasal 57 ayat bahwa

(1) KUHAP,

yang dikenakan penahanan, berhak

menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang9) Hak untuk menghubungi perwakilan negaranya,

sebagaimana menurut Pasal 57 ayat (2) KUHAP, bahwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan

negaranya

dalam

menghadapi

proses

perkaranya 10) Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan,

sebagaimana

menurut yang

Pasal

58

dikenakan

menghubungi dan

menerima

KUHAP,

penahanan kunjungan

bahwa berhak dokter

pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun

11) Hak

untuk

121

diberitahukanatau


menghubungikeluarganya, sebagaimana menurut Pasal yang

dikenakan

penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya. 12) Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan,

berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum. 13) Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan

keluarganya, sebagaimana menurut Pasal 61 KUHAP, bahwa penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan. 14) Hak untuk surat menyurat, sebagaimana menurut Pasal 62

ngka berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi, tersangka disediakan alat tulis menulis. 15) Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari

rohaniawan, sebagaimana menurut Pasal 63 KUHAP, bahwa 122


dari rohaniawan 16) Hak untuk mengajukan saksi yang meringankan,

berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (saksi A De

17) Hak

untuk

tidak

dibebani

kewajiban

pembuktian

sebagaimana menurut Pasal 66 KUHAP. Bahwa tidak dibebani kewajiban 18) Hak untuk menuntutgantikerugian, sebagaimana menurut: (1) Pasal 30 KUHAP, bahwa

waktu

penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal

29

ternyata tidak sah, tersangka berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal (2) Pasal 95 ayat (1) KUHAP, bahwa

berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain13, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang berhak

(3)

menuntut ganti kerugian karena yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan 19) Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi,

123


sebagaimana menurut: (4)

ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan (5) Pasal 81 KUHAP, bahwa

14

berhak untuk

mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut 20) Hak untuk diperiksa di tempat kediaman, sebagaimana

yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal

21) Hak untuk mendapat rehabilitasi, sebagaimana menurut Pasal

tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam

22) Hak untuk segera diperiksa, sebagaimana menurut Pasal 122

satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus

124


23) Hak untuk mengajukan keberatan, sebagaimana menurut Pasal

penasihat

hukum

dapat

mengajukan

keberatan atas

penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik

24) Hak

untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana

disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh

25) Hak

untuk

mendapatkan

saksi

yang

meringankan,

sebagaimana menurut Pasal 116 ayat (3) KUHAP, bahwa

26) Hak

untuk

memberikan

keterangan

tanpa

tekanan,

sebagaimana menurut Pasal 117 ayat (1) KUHAP, bahwa k memberikan keterangan kepada Tersangka yang sakit, maka tersangka yang sakit dan diharuskan dirawat di luar Rutan, yaitu dirawat di rumah sakit, maka berhak dirawat di luar Rutan demikian sebagaimana menurut Pasal 9 Keputusan Menkeh RI. No. M.04UM. 01.06/1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara

Terhadap orang yang dapat memberikan

kepada

tersangka/ terdakwa disebut penasihat hukum menurut Pasal 1 angka 13 KUHAP, yaitu seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan. Oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan 125


Demikian pula pengertian bantuan hukum menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak Jadi pengertian bantuan hukum menurut Pasal 1 angka 9 UndangUndang RI No. 18 Tahun 2003 di atas, bahwa bantuan hukum oleh seorang advokat yang diberikan kepada seseorang (klien) secara Cuma- cuma dalam hal penujukan hakim karena klien yang tidak mampu. Demikian pula menurut Keputusan Mahkamah Agung RI No. 5/ KMA/1972 tanggal 22 Juni 1972, di mana pemberi bantuan hukum itu dikategorikan ke dalam 3 golongan, yaitu: Pengacara (advokat/procureur), yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian menyediakan diri sebagai pembela dalam perkara pidana atau kuasa/wakil dari pihak-pihak dalam perkara perdata dan yang telah mendapat surat pengangkatan dari Departemen Kehakiman. Pengacara praktik, yaitu mereka yang sebagai mata pencaharian (beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak- pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan tersebut di atas. Mereka yang karena sebab-sebab tertentu secara insidentil membela atau mewakili pihak-pihak yang berperkara. Demikian pula setelah lahirnya Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka Pasal 1, yang berbunyi: 1.

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara Cuma-Cuma kepada Penerima Bantua Hukum.

2.

Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

3.

Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan 126


Hukum berdasarkan undang-undang ini. Menurut Pasal 24 Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2011 tentang

dang-

undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bantuan Hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang Dengan demikian, peraturan perundang-undangan lainnya yang mengaturtentang bantuan hukum masih tetapdianggap berlaku sepanjang tidakbertentangandengan

Undang-UndangRINo. 16

Tahun2011 tentang Bantuan, antara lain Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, peraturan pemerintah dan surat edaran Mahkamah Agung.

b.

Tujuan Pemberian Bantuan Hukum

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 02.UM.09.08 Tahun 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum, dalam konsiderannya, bahwa

pemberian bantuan hukum itu,

adalah dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh keadilan, perlu adanya pemerataan bantuan hukum khusus bagi mereka yang tidak atau kurang mampu, sehingga di dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang RI No. 8 Tahun 2003 tentang Advokat, ditegaskan bahwa

wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-

cuma kepada pencari keadilan yang tidak Jadi sasaran bantuan hukum ini, adalah mereka/anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu.Oleh karena itu, pemberian bantuan hukum ini diselenggarakan melalui badan peradilan umum (Pasal 1 ayat 127


(1) Keputusan Menkeh RI No. N.02. UM.09.08 Tahun 1980).

Bantuan hukum menurut Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menkeh RI No. N.02.UM.09.08 Tahun 1980, bahwa yang tidak/kurang mampu dalam perkara pidana, yang diancam dengan pidana: -

Lima tahun penjara atau lebih, seumur hidup atau pidana mati;

-

kurang dari lima tahun, tetapi perkara tersebut menarik perhatian masyarakat luas. Demikian pula dalam Undang-Undang RI No. 16 Tahun2011 tentang Bantuan Hukum, Pasal 3, yang berbunyi bahwa: Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk: 1.

Menjamin dan memenuhihak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

2.

Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

3.

Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia;

4.

Dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Jenis Berita Acara : (Pasal 75 KUHAP)

128


Proses pelimpahan perkara telah diatur dalam Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP: 1. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. 2. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. 3. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. 4. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Empat rangkaian kegiatan tersebut merupakan proses yang harus dilalui penyidik sebelum memberikan berkasnya kepada penuntut umum. Guna melanjutkan proses persidangan, kejaksaan harus menempuh beberapa proses lagi. 1. Menerima berkas perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Terhadap perkara yang terdakwanya ditahan dan masa tahanan hampir berakhir, petugas segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan. 129


2. Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang¬-barang bukti yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara maupun yang kemudian diajukan ke depan persidangan. Barang-barang bukti tersebut didaftarkan dalam register barang bukti. 3. Bagian penerimaan perkara memeriksa kelengkapan berkas. Kelengkapan dan kekurangan berkas dimaksud diberitahukan kepada Panitera Muda Pidana. 4. Dalam hal berkas perkara dimaksud belum lengkap, Panitera Muda Pidana meminta kepada Kejaksaan untuk melengkapi berkas dimaksud sebelum diregister. 5. Pendaftaran perkara pidana biasa dalam register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut. 6. Pendaftaran perkara pidana singkat, dilakukan setelah Hakim melaksanakan sidang pertama. 7. Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilakukan setelah perkara itu diputus oleh pengadilan. 8. Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait, semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara dan pelaksanaan putusan ke dalam register induk yang bersangkutan. Dengan diserahkannya semua berkas perkara yang disyaratkan, pelimpahan perkara berarti telah resmi dilakukan. Namun, guna melanjutkan ke persidangan, beberapa proses lain perlu ditempuh. Proses tersebut meliputi pemilihan hakim, pembagian perkara, dan lain sebagainya.

130


131


132


Ketika penuntut umum telah menentukan bahwa dari hasil pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan setiap penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan selalu disertai dengan surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim dipengadilan.(Pasal 140 ayat 1 KUHAP). Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tidak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil periksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan. Rumusan pengertian di atas telah disesuaikan dengan jiwa dan ketentuan KUHAP, dan dengan demikian pada definisi itu sudah dipergunakan istilah atau sebutan yang berasal dari KUHAP.Seperti istilah yang didakwakan dan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai hasil baru yang dibakukan dalam KUHAP untuk

menggantikan

istilah

tuduhan

dan

yang

dituduhkan.Demikian juga istilah pemeriksaan permulaan yang disebut dalam HIR.Dibakukan menjadi sebutan pemeriksaan penyidikan oleh KUHAP. KUHAP tidak menyebutkan pengertian surat dakwaan, KUHAP hanya menyebutkan ciri dan isi dari surat dakwaan itu seperti disebutkan dalam Pasal 143 ayat (2) yakni: dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: 133


a.

Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b.

Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu

Surat dakwaan dikenal dengan bentuk surat dakwaan tunggal, surat dakwaan Alternatif, Surat dakwaan Subsidier, Surat Dakwaan Komulatif dan surat dakwaan kombinasi.

134


135


136


137


9. Persidangan A. Surat penetapan penunjukan hakim yang akan memeriksa dan mengadili Contoh Surat penetapan penunjukan hakim yang akan memeriksa dan mengadili

138


https://www.scribd.com/document/368649096/Surat-Penunjukan-Majelis-Hakim

B. Proses pemeriksaan perkara

139


Setelah pemeriksaan identitas terdakwa sebagaimana dimaksud di atas yang masih dalam pemeriksaan sidang pertama, maka selanjutnya pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum, sebagaimana menurut ketentuan di bawah ini :

Pendahuluan Eksepsi atau tangkisan daam bahasa beanda di artikan exeptie, sedangkan exceptin dalam bahasa Ingrris, eksepsi dapat diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya pada saat selesai pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum, hal ini dimungkinkan oleh karena sebelum persidangan di mulai, maka pada saat penyampaian surat panggilan juga dilampirkan surat dakwaan penuntut umum. Namun demikian hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasihat hukunya untuk membuat dan menyusun eksepsi atau tangkisan atas surat dakwaan penuntut umum, dan segera dibacakan pada sidang berikutnya (sidang II). Pengertian

140


Adapun eksepsi atau tangkisan terdakwa atau penasihat hukum adalah suatu jawaban atau tanggapan terhadap dakwaan penuntut umum, demikian sebagaimana menurut Retnowulan Sutantio, 157 J.C.T. Simorangkir158 pengadilan tidak dapat menerima atau menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa perkara

Akibat suatu Eksepsi Oleh karena itu eksepsi atau tangkisan ini sangat penting artinya bagi terdakwa atau penasihat hukum, sebab dengan mengeksepsi suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat:

Jenis-Jenis dan Alasan atau Dasar Eksepsi KUHAP hanya mengatur tentang beberapa jenis dan alasan atau dasar eksepsi sebagiaman diatur dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan Pasal 148 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut:

157

158

141


1) Eksepsi Absolut Eksepsi absolut adalah suatu tangkisan mengenai kompetensi pengadilan, yaitu kompetensi relatif dan absolut. Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara itu, misalnya apakah merupakan kewenangan pradilan umum (pengadilan negeri), peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer. 2) Eksepsi Relatif Adapun kompetensi relatif adalah bukan merupakan tangkisan terhadap kopetensi dari pengadilan secara absolut, tetapi menyangkut kompoetensi relatif adalah menyangkut wewenang pengadilan mana (sejenis) untuk memeriksa perkara itu, misalnya apakah wewenang Pengadilan Negeri Pekanbaru atau wewenang Pengadilan Batam (Pasal 148 KUHAP). b. Masalah Surat Dakwaan Penuntut Umum 1) Syarat Formil Eksepsi atau tangkisan terdakwa/penasihat hukum adalah menyang-kut tentang surat dakwaan penuntut umum yang tidak memenuhi syarat formil, sebab ditandatangani serta tidak memuat secara lengkap, tentang : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal/alamat, agama dan pekerjaan tersangka; sebagaimana yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP. Dengan demikia surat dakwaan penuntut umum menimbulkan tidak dapat diterima. 2) Syarat Materiil Eksepsi atau tangkisan terdakwa/penasihat hukum adalah menyangkut surat dakwaan penuntut umum yang tidak memenuhi syarat Syarat materiil 142


sebagaimana yang dimaksud menurut ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, bahwa surat dakwaan:

Proses dan Pengajuan Eksepsi Untuk mengajukan eksepsi, terdakwa atau penasihat hukum hendaknya memperhitungkan untung ruginya, misalnya apakah dengan diajukan eksepsi akan mengutungkan atau merugikan bagi terdakwa (klien). Dalam pengajuan eksepsi pada prinsipnya diajukan di sidang pengadilan setelah penuntut umum membacakan dakwaannya, akan tetapi menurut Retnowulan Sutantio dan Oerip Kartawinata Iskandar159 selama belum pembacaan putusan hakim. Dalam pengajuan eksepsi atau tangkisan oleh terdakwa atau penasihat hukum atas dakwaan dakwaan penuntut umum dan/ atau ketidak adanya kewenangan pengadilan memeriksa perakara ini, sehingga hakim akan memberikan keputusan Untuk lebih lengkapnya masalah eksepsi atau tangkisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHAP, yang berbunyi bahwa:

159

143


b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kajaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.

144


145


146


160

160

147


148


149


Menurut Darwan Prints,161 umum setelah pemeriksaan selesai dan kemudian dibacakan dan diserahkan kepada hakim 162

dan terdakwa atau p

, bahwa

requisitoir atau surat tuntutan hukum itu tidak diatur dalam undang-undang (seperti surat dakwaan), tetapi biasanya memuat suatu kesimpulan oleh penuntut umum yang bersangkutan berdasarkan proses pembuktian, yaitu apakah ketentuan atau pasal-pasal yang didakwakan kepada terdakwa terbukti atau tidak, maka apabila terbukti, maka telah disebutkan berapa lama ancaman hukumannya yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, namun sebaliknya apabila tidak terbukti, maka penuntut umum dapat segera dimintakan,

Jadi requisitoir atau tuntutan hukum diajukan, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 182

161

162

J.C.T. Simorangkir, hlm. 149

150


tuntutan hukum pada umumnya, antara lain berisi hal-hal sebagai berikut:

151


Setelah pembacaan tuntutan oleh penuntut umum, maka proses selanjutnya (sidang keempat) segera terdakwa atau penasihat hukum dapa mengajukan pleidooi atau pembelaan atas tuntutan penuntut umum. Adapun pleidooi atau nota pembelaan diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya sebagai tangkisan atau tanggapan atas tuntutan penuntut umum Istilah oleh terdakwa maupun penasiha hukumnya yang berisikan tangkisan terhadap tuntutan/ tuduhan penuntu umum dan mengemukakan halhukum pembelaan (pleidooi) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b KUHAP, yang njutnya terdakwa da atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya tidak ada ketentuan atau diatur dalam KUHAP, namun demikian pada pokoknya suatu pembelaan (pleidooi) dapat berisikan antara lain: 1) Pendahuluan

2) Fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan:

3) Pembahasan atau uraian, tentang:

4) Kesimpulan, yaitu antara lain: a. Terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (bebas murni) atau vrispraak (karena tidak terbukti);

152


b. Terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslag van Rechtsvervolging) karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana; c. Terdakwa minta dihukum yang seringan-ringannya, karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 2. Nader Requisitoir (Tambahan Penuntutan) Setelah pembacaan pleidooi atau pembelaan oleh terdakwa atau penasiha hukum, maka proses selanjutnya (sidang kelima) diberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menanggapi atas pleidooi atau pembelaan terdakwa atau penasihat hukum, yaitu dengan nader requisitoir. Istilah nader quisitoir dalam praktek sering disebut repliek dengan mengikuti istilah dalam hukum aca menjawab. Namun istilah ini kurang tepat dipergunakan dalam hukum acara pidana, maka yang tan. Jadi nader requisitoir adalah tanggapan balik oleh penuntut umum atas pleidooi atau jawaban terdakwa atau penasihat hukumnya. Dasar hukum dari nader requisitoir sebagaimana diatur ya terdakwa dan

u replik baik di dalam HIR umum. Namun demikian istilah nader requisitoir dapat digunakan, sebagai tanggapan balik atau jawaban atas pembelaan (pleidooi) terdakwa/penasihat hukum dan hal-hal lainnya yang belum termuat dalam requisitoir atau surat tuntutan hukum. 3. Nader Pleidooi (Tambahan Pembelaan) Setelah pembacaan nader requisitoir oleh penuntut umum, maka proses selanjuntnya (sidang ketujuh) diberikan kesempatan kepada terdakwa atau penasihat hukum untuk menanggapi atas nader rquisitori penuntut umum, yaitu dengan nader pleidooi.

153


dalam hukum acara perdata, namun istilah ini kurang tepat dipergunakan dalam hukum acara pelengkap pembelaan. Jadi nader pleidooi adalah tanggapan balik atau jawaban terdakwa atau penasihat hukum atas nader requisitoir penuntut umum, sehingga isi daripada nader pleidooi tentang hal-hal yang belum tercakup dalam pleidooi. Dasar hukum dari nader pleidooi sama dengan dasar hukum dari nader requisitoir, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP, yang berbunyi bahwa: oleh penuntut umum, dengan ketentuan terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran

Hal-hal yang dikemukakan dalam nader requisitoir adalah tanggapan balik atau jawaban atas pembelaan (pleidooi) terdakwa/ penasihat hukum dan hal-hal lainnya yang belum termuat dalam requisitoir atau surat tuntutan hukum. C. Musyawarah Hakim Setelah proses tersebut di atas (sidang pertama sampai sidang ketujuh) oleh hakim berpendapat, bahwa pemeriksaan sidang sudah selesai, maka menurut Pasal 182 ayat (2) cara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan

Sesudah pemeriksaan dinyatakan tertutup dan tidak dibuka lagi sebagaimana menurut Pasal 182 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi bahwa: maka majelis hakim segera mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan, dan apabila perlu sebagaiaman menurut Pasal 182 untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, 154


Selanjutnya hakim majleis menagdakan musyawarah dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan tentang keputusan yang akan diambil atau dijatuhkan terhadap terdakwa dalam perkara pidana. Dalam musyawarah majelis hakim tersebut didasarkan atas surat dakwaan penuntut umum, pleidooi, nader requisitor, serta faktafakta yang terungkap dalam persidangan atau segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang (Pasal 182 ayat (4) KUHAP). Dalam musyawarah majelis hakim tersebut, sebagaimana menurut Pasal 182 ayat (5) pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Jadi pada asasnya putusan dalam musyawarah mejelis menurut Pasal 182 ayat (6) itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

Menurut Pasal 182 ayat (7) KUHAP, yang berbunyi bahwa: Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Selanjutnya dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau D. Putusan Hakim Setelah majelis hakim selesai musyawarah, maka sidang selanjutnya (sidang kedelapan) segera membacakan putusannya, dengan memanggil kembali terdakwa dan penasihat hukum serta penuntut umum. Adapun yang dimaksud dengan putusan pengadilan menurut Pasal 1 angka

155


terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangUntuk lebih jelasnya tentang putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP, sebagai berikut: 1. Menurut Pasal 191, yang berbunyi bahwa:

163

164

2. Menurut Pasal 192, bahwa:

163

164

156


3. Menurut Pasal 193, yang berbunyi bahwa:

b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu. 165 4. Menurut Pasal 194, yang berbunyi bahwa:

166

memp 6. Menurut Pasal 196, yang berbunyi bahwa:

165

166

157


167

168

7. Menurut Pasal 197, yang berbunyi bahwa: 1. Surat putusan pemidanaan memuat :

169

167

168 169

158


170

8. Menurut Pasal 198, yang berbunyi bahwa:

9. Menurut Pasal 199, yang berbunyi bahwa:

170

159


171

panitera seketika 11. Menurut Pasal 201,172yang berbunyi bahwa:

asli palsu atau yang dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan.

171

172

160


10. Upaya Hukum Upaya hukum adalah bagian dari mata rantai proses suatu perkara pidana. Upaya hukum lebih merupakan proses argumentasi melalui dokumentasi dari pada perdebatan. Sebab dalam upaya hukum pada dasarnya para pihak tidak hadir; dan dalam praktiknya hampir tidak pernah ada perkara dimana dalam tingkat upaya hukum para pihak di dengar. Sesungguhnya dalam tingkat banding dan kasasi kehadiran itu dimungkinkan. Pengertian Upaya hukum adalah hak yang diberikan hukum pada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan. Ketidaksetujuan ini harus dinyatakan secara tertulis (biasanya formulir telah tersedia) di kepaniteraan dan harus sudah diaktekan dalam tenggang waktu tertentu. Bila tidak dilakukan dengan cara yang sudah di tentukan, maka akibatnya akan dianggap telah menerima putusan. Menyatakan tidak menerima putusan dapat dilakukan Terdakwa sendiri atau Advokat yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 233 ayat (1) KUHAP). Sekalipun suatu upaya hukum tidak dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan, berkas perkara tetap akan dikirim pada tingkat berikutnya namun panitera telah membubuhi catatan dalam bentuk akte mengenai keterlambatan itu dan melekatkannya dalam berkas perkara. Putusan akan menyatakan upaya hukum (banding atau kasasi) tidak dapat diterima. Soal tenggang waktu dalam mengajukan upaya hukum adalah sangat penting tapi dalam praktik bisa lupa. Apalagi tiap perkara tidak sama dalam menghitung harinya. Bila terjadi keterlambatan akibatnya sangat fatal dan dari segi hukum profesi adalah merupakan malpraktik. Berbeda dengan banding dan kasasi, permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu(Pasal 264 ayat (3) KUHAP). Namun, dalam menghitung hari KUHAP lebih baik dari Undang-undang lainnya sebab dalam Pasal 228 dengan tegas ditentukan bahwa jangka atau tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum mulai diperhitungkan pada hari berikutnya. Perhitungan hari berikutnya itu adalah dari pada saat putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahu. Dalam tingkat banding, waktu untuk mengajukannya adalah tujuh hari (Pasal 233 ayat 1 KUHAP). Sementara untuk tingkat kasasi, waktu untuk mengajukannya adalah empat belas hari (Pasal 245 ayat 1 KUHAP). 161


Upaya hukum banding, diperiksa oleh Pengadilan Tinggi sebagai judex factie. Artinya, pemeriksaan diulang untuk semua aspek tapi tanpa kehadiran para pihak sekalipun kehadiran itu dimungkinkan. Upaya hukum banding harus dilakukan dalam tenggang waktu 7 hari (Pasal 233 ayat 2 KUHAP). Sebagai tindak lanjut pernyataan banding, diajukan satu Memori banding yang memuat alasan-alasan tidak diterimanya putusan, namun Memori Banding itu tidak wajib. Namun demikian, adalah aneh dan bisa merugikan mengajukan banding tanpa Memori Banding. Sebab Pengadilan Tinggi dapat menilai sebagai permohonan banding yang tidak serius sehingga kemungkinan besar akan ditolak. Pengadilan tinggi dalam praktiknya hanya memeriksa berkas perkara, sekalipun ada wewenang untuk mendengarkan para pihak dan saksi seperti di singgung diatas. Upaya hukum banding terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan cepat, tidak dapat dilakukan (Pasal 67 KUHAP). Tidak ada batasan dari KUHAP berapa lama pemeriksaan satu perkara dalam tingkat banding. Upaya hukum kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat Banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan dilakukan oleh MA (Pasal 244 KUHAP jo Pasal 30 UU 2004:5). Permintaan Kasasi harus dilakukan dalam tenggang waktu 14 hari (Pasal 245 KUHAP). Mahkamah Agung memeriksa Kasasi karena: Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; Salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku; Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturanperundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan (Pasal 30 UU 2004:5).

pemeriksaan kasasi, wajib membuat serta menyerahkan memori kasasi dalam waktu 14 hari, setelah mengajukan permohonan (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), apabila tidak punya Advokat dan tidak mengerti hukum dapat dibantu panitera. Terhadap jenis putusan (1) bebas, (2) lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum (Pasal 67 KUHAP) seketika harus dianggap telah 162


memperoleh kekuatan hukum tetap. Karena itu upaya hukum yang tersedia ialah dari Jaksa berkepentingan (Pasal 259 ayat (2) KUHAP). Sebab tujuan ketentuan ini adalah agar konsistensi hukum dapat dipertahankan dan tidak menjadi preseden buruk yang kemungkinan akan diikuti. Jadi, semuanya untuk hukum dan bukan hukuman untuk Terdakwa.

Upaya hukum Peninjauan Kembali, dapat diajukan k Mahkamah Agung. Upaya hukum peninjauan kembal dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terhada putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum Permintaan peninjauan kembali ini hak yang diberika hukum pada Terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263) Permintaan pemeriksaan Peninjauan Kembali tidak dibatas dengan suatu jangka waktu (Pasal 264 ayat 3). Perlawanan

oleh hakim mengenai eksepsi kewenangan mengadili. Hal ini tidak disebutkan secara eksplisit di dalam KUHAP, namun dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan di bawah ini:

Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, Pengadilan Tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan Negeri dan memerintahkan Pengadilan Negeri

Pasal 156 ayat (5) KUHAP: Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, Pengadilan Tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang. Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang dan kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan 163


dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya hukum perlawanan ditujukan berkenaan dengan eksepsi kewenangan mengadili suatu Pengadilan Negeri. Perlawanan diajukan dan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Namun demikian, ketentuan Pasal 156 tidak menyinggung tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan. Menurut M. Yahya Harahap tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan eksepsi adalah:

Pihak yang dapat mengajukan perlawanan adalah penuntut umum dalam hal putusan sela menerima eksepsi kewenangan mengadili dari terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dan terdakwa dan/atau penasihat hukumnya dalam hal eksepsi kewenangan mengadili yang diajukannya ditolak atau tidak diterima oleh hakim. Proses Pemeriksaan Perkara Perlawanan Berdasarkan ketentuan Pasal 156 KUHAP, proses pemeriksaan perkara perlawanan adalah sebagai berikut: Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perlawanan paling lambat 14 (empat belas) hari dari tanggal penerimaan berkas perlawanan untuk kemudian segera menyampaikan putusan ke Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh penuntut umum diterima, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri dan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri yang 164


bersangkutan berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Kemudian, Pengadilan Negeri akan melanjutkan proses pemeriksaan perkara. Jika perlawanan yang diajukan oleh Penuntut Umum di tolak, Pengadilan Negeri akan mengembalikan berkas perkara kepada penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan kepada pengadilan negeri yang berwenang. Mengenai hal ini, penuntut umum tidak dapat mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa dan/ atau penasihat hukumnya diterima, Pengadilan Tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan memerintahkan Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu, untuk selanjutnya mengembalikan berkas perkara kepada penuntut umum untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri yang berwenang. Mengenai hal ini, terdakwa dan/atau penasihat hukumnya tidak dapat mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada Pengadilan Tinggi, maka dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak menerima perkara dan mengabulkan perlawanan yang diajukan oleh terdakwa, Pengadilan Tinggi mengeluarkan keputusan yang membatalkan keputusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan Negeri yang berwenang. Kemudian, Pengadilan Tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada Pengadilan Negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan disertai dengan berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara tersebut.173

173

165


HUKUM ACARA PERDATA

166


1. A. Hukum acara dikenal juga sebagai hukum prosedur atau peraturan keadilan. Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil atau private materiil karena pada dasarnya hukum acara perdata adalah pelaksanaan dari hukum perdata materiil. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur sebagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan penataan hakim. Lebih konkret lagi, hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari putusan. 1174

B. Pada hakikatnya, fungsi dan tujuan dari Hukum Acara Perdata adalah untuk mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata materiil, artinya hukum perdata materiil dipertahankan oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan hukum acara perdata.2175

C. Hukum Acara Perdata Indonesia hingga saat ini masih tetap berpedoman pada hukum acara perdata kolonial. Sumber hukum acara perdata adalah tempat dimana dapat ditemukannya ketentuan-ketentuan hukum acara perdata. Pengaturannya masih tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu : 1. HIR sering diterjemahkan dengant RID ( Reglemen Indonesia yang Diperbaharui), S. 1848 nomor 16 jo. S.1941 nomor 44, yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura.

174 175

167


2. 3.

4. 5. 6. a. b. c. d.

/ 2004, jis UU Nomor 3 / 2009). e. f. g. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

168


2. Asas

Asas Hukum Acara Perdata

1. Asas ini dapat ditemukan pada pasal 10 ayat (1) UU No. 48 / 2009 dan pasal 142 RBg / pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya. Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan beasal dari penggugat, hakim (pengadilan)hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan (Sudikno Mertokusumo, 1993: 10). Apabila tidak diajukannya gugatan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Hakim baru bekerja setelah tuntutan diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka pengadilan / hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. 2. Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para piha yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan (Pasal 4 ayat (2) UU No.8 tahun 2009). 3. Pada asasnya sidang pemeriksaan pengadilan adalah bersifat terbuka oleh umum, yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih

169


menjamin objektivitas peradilan dengan putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 48 tahun 2009.

4. Di dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihan dan didengar sama. Dalam pasal 4 ayat (1) UU NO.48 tahun 2009, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama -s ama diperhatikan, berhak atas perlakukan yang sama dan adil serta masing-masing diperhatikan, berhak atas perlakukan yang sama dan adil serta masing masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. 5. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alsan putusan yang dijadikan dasar unyuk mengadili (Pasal 50 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adannya alasan-alsan itulah, putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakum tertentu yang menjatuhkannya.4176 6. Hal ini dengan jelas tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009, pasal 145 ayat (4), pasal 192, pasal 194 RBg, pasal 121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR. Biaya perkara ini dipakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seprti misalnya biaya pemeriksaan setempat.

berperkara secara cuma-cuma sebagaimana yang diatur dalam pasal 273 176

Scholten, Algemeen Deel, hal.114

170


RBg / 237 HIR, yang menentukan : penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya. 7. HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakilkan oleh kuasanya kalua dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 148 Rbg). Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seoran kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. 3. Jenis

jenis dan Susunan Badan Peradilan di Indonesia

Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung serta Mahkamah Konsitusi. Mahkamah Agung juga mempunyai beberapa fungsi dalam menjalankan tugas sebagai lembaga peradilan, fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasihat, fungsi administratif, dan fungsi lain-lain. Selain Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenangnya sendiri. Batasan wewenang tersebut diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 10 ayat 1 dan 2 tentang Mahkamah Konstitusi. Badan Peradilan yang tertinggi di Indonesia adalah Mahkamah Agung, sedangkan Badan Peradilan yang lebih rendah yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah: a)

171


b)

c)

d)

4. Kompentensi Pengadilan Dalam hukum acara dikenal dua macam kompetensi / kewenangan, yaitu: a) Kompentesi Absolut diartikan kewenangan pengadilan mengadili suatu terkait kompentensi absolut tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (saat ini telah diubah menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3.

172


4.

b) Kompetensi

relatif

menangani/mengadili

diartikan suatu

kewenangan

pengadilan

untuk

sengketa/perkara

didasarkan

pada

tempat/lokasi/domisili para pihak yang bersengketa atau didasarkan pada dimana objek yang disengketakan berada. Atau dengan kata lain, kompetenasi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, para pihak dalam mengajukan gugatan untuk memperhatikan dimana tempat/lokasi/domisili para pihak serta objek yang disengketakan, dengan tujuan kompentesi relatif dari gugatan yang diajukan dapat diterima, diperiksa serta diadili oleh hakim. 5. Tuntutan Hak Tuntutan hak adalah Tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan eigenrichting main hakim sendiri. Ada dua macam tuntutan hak, yaitu : a) Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja, yaitu pemohon. b) Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak yaitu penggugat dan tergugat. Gugatan dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. Apabila pihak yang berperkara mewakilkan kepentingannya kepada kuasa hukum, maka gugatan

173


tidak boleh diajukan secara lisan.

6 177

Sebuah gugatan hanya akan diperiksa

apabila memenuhi syarat-syarat berikut : 1. 2. 3. 4. 6. Tinjauan umum tentang surat kuasa Pengertian Pemberian Kuasa Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Ke16 (enambelas), Buku III KUHPerdata tentang perikatan, sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk pada Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan "Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan." Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata tersebut mengandung unsur: a. Persetujuan; b. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; c. Atas nama pemberi kuasa

177

174


Unsur persetujuan harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Sedangkan unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan harus sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas. Kemudian mengenai unsur atas nama pemberi kuasa, ini berarti bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Dalam hal ini, bentuk-bentuk kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan (Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata), dan sejumlah ketentuan Undang-Undang mewajibkan surat kuasa terikat pada bentuk tertentu, antara lain Pasal 1 171 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik. 7. Pengertian, bentuk, dan unsur gugatan dan jawaban A. PENGERTIAN GUGATAN Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana terjadinya gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat. Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang diminta oleh pihak penggugat, sehingga akan timbul sengketa antara penggugat dan tergugat. Sengketa yang dihadapi oleh pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk mendapatkan keadilan (Sarwono, 2011: 31). Gugatan dapat disimpulkan sebagai 175


suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam objek pembahasan ini adalah pengadilan negeri. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa (Sophar Maru Hutagalung, 2011: 1). B. BENTUK GUGATAN k surat gugatan yaitu; 1. Gugatan Tertulis Bentuk gugatan tertulis adalah yang paling diutamakan di hadapan pengadilan daripada bentuk lainnya. Gugatan tertulis diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR / Pasal 142 yang menyatakan bahwa gugatan perdata pada tingkat pertama harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Dengan demikian, yang berhak dan berwenang dalam mengajukan surat gugatan adalah; (i) penggugat dan atau (ii) kuasanya. 2. Gugatan Lisan Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata, karena bentuk gugatan lisan diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBg) yang berbunyi:

gugatan lisan yang diatur HIR ini, selain untuk mengakomodir kepentingan penggugat buta huruf yang jumlahnya masih sangat banyak di Indonesia pada masa pembentukan peraturan ini, juga membantu rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk jasa seorang advokat atau kuasa hukum karena dapat memperoleh bantuan dari Ketua Pengadilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara perdata untuk membuatkan gugatan yang diinginkannya. C. UNSUR GUGATAN Pasal 8 Nomor 3 Reglement Op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) menyebutkan suatu surat gugatan harus memuat setidaknya:

176


Identitas Para Pihak, meliputi nama lengkap, alamat tempat tinggal, tanggal lahir, pekerjaan, agama, kewarganegaraan (jika perlu). Penyebutan pihak-pihak terlibat juga harus disertai posisinya masing-masing, misalnya apakah bertindak sebagai Penggugat, Tergugat, Pemohon atau Termohon. Alasan-Alasan Gugatan (Fundamentum Petendi atau Posita), meliputi uraian fakta hukum (fetelijkegronden) dan uraian dasar hukum (rechtgronden). Tuntutan (Petitum), terdiri atas: Tuntutan Pokok, yaitu merupakan hal yang dituntutkan sebagaimana uraian pada posita. Tuntutan Tambahan, yaitu tuntutan yang tidak berhubungan langsung dengan pokok perkara misalnya berupa pembebanan biaya perkara kepada Tergugat, tuntutan untuk melaksanakan putusan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum lanjutan, tuntutan moratoir, dwangsom, dan sebagainya. Tuntutan Subsider/Pengganti, hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi apabila Tuntutan Pokok dan Tuntutan Tambahan tidak dikabulkan oleh Majelis Hakim. Biasa Bono

Ex Aequo Et

-

Berdasarkan pengalaman Ujian Profesi Advokat yang sudah ada, yang menjadi kasus posisi dalam ujian adalah lingkup Gugatan Biasa. Tips pengerjaan soal yang diujikan dalam Ujian Profesi Advokat adalah agar menganalisis terlebih dahulu jenis permasalahannya. Apakah termasuk kualifikasi Gugatan Wanprestasi atau Gugatan PMH. Barulah kemudian membuat kerangka para pihak terkait beserta alasan-alasan gugatan dengan menguraikan cerita kasus posisi dan menuliskan poin-poin fakta hukum yang ada disertai dasar hukumnya, kemudian ditutup dengan petitum atau

poin-poin

tuntutan.

Antara posita dan petitum haruslah

saling

berkesinambungan, karena fakta-fakta hukum dengan tuntutan yang tidak sesuai hanya akan berujung pada kaburnya gugatan (obscuur libel) yang berakibat pada Putusan Tidak Dapat Diterima atau niet ontvankelijk verklaard (NO). D. PENGERTIAN JAWABAN Jawaban atas gugatan adalah satu tahapan dalam proses pemeriksaan perkara perdata dan dilakukan setelah gugatan dibacakan penggugat dalam persidangan. Jawaban atas gugatan 177


penggugat merupakan upaya bagi tergugat untuk mempertahankan hakhaknya terhadap dalih dan dalil penggugat. Tidak jauh berbeda dengan membuat gugatan, bagaimana bentuk dan susunan dari jawaban gugatan dan eksepsi dalam perkara perdata tidak diatur oleh peraturan perundangundangan, kecuali hanya disebutkan bahwa gugatan harus memenuhi syarat formal dan materil E. BENTUK JAWABAN Biasanya jawaban diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan. Namun apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi pada sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut. Isi dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat. Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam hal jawaban sekaligus berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, yaitu: 1. Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban d

Dalam

Eksepsi 2.

Dalam Pokok

3. Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan bantahan pokok perkara F. UNSUR JAWABAN Jawaban tergugat dapat terdiri dan tiga macam yaitu: Eksepsi atau tangkisan yaitu jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara. 178


Jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principale). Rekonvensi yaitu gugat balik atau gugat balas yang diajukan tergugat kepada penggugat. Tentang eksepsi atau tangkisan HIR hanya mengenal satu macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanlya hakim, yaitu eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif dan eksepsi menyangkut kekuasaan absolut. Kedua macam eksepsi ini disebut eksepsi prosesual. Eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif atau kewenangan nisbi diatur dalam Pasal 133 H1R / 159 RBG yang berbunyi, jika tergugat dipanggil menghadap pengadilan negeri, sedangkan menurut ketentuan Pasal 142 RBG/ 118 HIR ia tidak perlu menghadap pengadilan negeri itu, maka ia dapat mengajukan tangkisan, supaya pengadilan negeri itu menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya, dengan ketentuan bahwa tangkisan itu harus diajukan segera pada permulaan persidangan, pernyataan itu tidak akan diperhatikan lagi, kalau tergugat telah mengemukakan jawaban atas pokok perkara. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 77 (2) UU No. 5/86 ditentukan, eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi

tersebut

harus

diputus

sebelum

pokok

sengketa

diperiksa.

Contoh eksepsi kekuasaan relatif atau kewenangan nisbi misalnya gugatan yang diajukan oleh penggugat salah alamat atau keliru karena yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Timur, bukan Pengadilan Negeri Bekasi. Eksepsi kekuasaan absolut diatur dalam Pasal 134 HIR/ 160 RBG yang berbunyi, apabila persengketaan itu adalah suatu perkara yang tidak termasuk wewenang pengadilan negeri untuk mengadilinya, maka pada setiap saat dalam pemeriksaan perkara itu tergugat dapat mengajukan tangkisan supaya pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili perkara itu dan pengadilan negeri karena jabatannya harus pula menyatakan bahwa tidak berwenang mengadili perkara itu. Pasal 77 (1) UU No. 5/86 menyatakan, eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. 179


Contoh eksepsi kekuasaan absolut misalnya perkara perceraian bagi orang yang beragama Islam bukan wewenang pengadilan negeri melainkan wewenang pengadilan agama. Sebaliknya perceraian antara seorang suami yang beragama Islam dengan istri yang beragama Kristen merupakan wewenang pengadilan negeri bukan pengadilan agama. Menyangkut perselisihan perburuhan merupakan wewenang Peradilan Hubungan Industrial bukan wewenang pengadilan negeri. Lain-lain eksepsi prosesual adalah eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. eksepsi bahwa persoalan yang sama sedang diperiksa oleh pengadilan negeri yang lain atau masih dalam taraf banding atau kasasi. eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kualifikasi/sifat untuk bertindak. eksepsi dilatoir yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran. eksepsi peremtoir adalah eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan karena gugatan telah diajukan lampau waktu atau kadaluwarsa, atau utang yang menjadi dasar gugatan telah dihapus. Apabila eksepsi ditolak oleh pengadilan negeri oleh karena tidak beralasan, maka dijatuhkan putusan sela dan dalam putusan tersebut sekalian diperintahkan agar supaya kedua belah pihak melanjutkan perkara tersebut. Selanjutnya pokok perkara diperiksa dan pada akhirnya dijatuhkan putusan akhir. 8). Pengertian, bentuk dan unsur replik dan duplik Replik adalah tanggapan Penggugat atas jawaban yang diajukan oleh Tergugat. Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas jawaban Tergugat. Oleh karena itu, replik adalah respon Penggugat atas jawaban yang diajukan Tergugat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada Penggugat untuk mengajukan Rereplik. Replik Penggugat ini dapat berisi pembenaran terhadap jawaban Tergugat atau boleh jadi Penggugat menambah keterangannya dengan tujuan untuk memperjelas dalil yang diajukan Penggugat dalam gugatannya.

180


Duplik adalah jawaban Tergugat atas replik yang diajukan Penggugat. Tergugat dalam dupliknya mungkin membenarkan dalil yang diajukan Penggugat dalam repliknya dan tidak pula tertutup kemungkinan Tergugat mengemukakan dalil baru yang dapat meneguhkan sanggahannya atas replik yang diajukan oleh Penggugat. Tahapan replik dan duplik dapat saja diulangi sampai terdapat titik temu antara Penggugat dengan Tergugat atau dapat disimpulkan titik sengketa antara Penggugat dengan Tergugat atau tidak tertutup kemungkinan

hakimlah yang menutup

kemungkinan dibukanya kembali proses jawab-menjawab ini, apabila mejelis hakim menilai, bahwa replik yang diajukan Penggugat dengan duplik yang diajukan oleh Tergugat hanya mengulang-ngulang dalil yang telah pernah dikemukakan di depan sidang. Replik merupakan pemberian hak kepada penggugat untuk menanggapi jawaban yang diajukan tergugat dan hal itu sejalan dengan asas audi alteram partern. Dalam bahasa sederhananya replik dapat diartikan sebagai jawaban Penggugat atas jawaban penggugat atas gugatan pengugat. Akan tetapi bagimana bentuk dan susunan replik tidak diatur sedemikian rupa. Oleh karena itu bentuk dan susunan Replik tergantung pada struktur dan isi jawaban tergugat, maka Penggugat selain harus tetap berpedoman pada gugatannya, maka hal lain yang harus dicermati dalam menyusun duplik adalah apabila, dalam jawaban tergugat selain memuat bantahan terhadap pokok perkara juga memuat eksepsi dan gugatan balik . Dalam konteks ini, maka ; 1. Penggugat dalam menyusun replik selayaknya harus menguasai hal-hal yang terkait dengan eksepsi,

2. Penggugat dalam menyusun replik harus mempertimbangkan dengan cermat isi gugatan balik dari tergugat. Pada tataran menanggapi gugatan balik, maka pennggugat mau tidak mau memuat juga jawaban atas gugatan balik dari Tergugat dan jawaban tersebut termuat dalam replik. 3. Penggugat dalam menyusun replik harus senantiasa mempertimbangkan ada atau tidak adanya alat bukti dari dalil-dalilnya dalam duplik sebagai peneguhan atas gugatanya dan dalil-dalil bantahan atas gugatan balik dari dari Tergugat. Hal ini menjadi penting artinya dalam menyusun replik karena apabla dalil-

-

maka replik yang disusun melemahkan gugatan sendiri. Demikain juga dengan dalil-dalil terkait 181


gugatan balik, selain selalu diperhatikan singkronisasinya dengan dalil gugatan, juga harus dipertimbangkan alat bukti yang akan memperkuat dalil-dalil jawaban atas bantahan terhadap gugatan balik. 4. Penggugat dalam menyusun replik lazimnya selalu memuat permintaan pada majelis hakim untuk mengabulkan tuntutan dalam gugatan. Dalam Replik biasanya akan dimasukkan dalil-dalil yang merupakan sanggahan atau penolakan atas sebagian atau seluruh dalil-dalil Tergugat dalam jawabannya. Sebenarnya replik tidak selalu terkoptasi dalam pandangan serupa itu, karena : Dalam replik tidak hanya berisi dalil-dalil sanggahan atau penolakan saja, tetapi bisa berupa penguraian lebih rinci dari dalil-dalil yang telah diuraikan dalam gugatan dan dalil-dalil dalam replik boleh saja menambahkan pendapat ahli (doktrin hukum) dan yurisprudensi, namun muara dari dalil-dalil tersebut adalah pada alat bukti, Sehingga dalil-dalil bantahan, penolakan yang diperkuat dengan doktrin dan yurisprudensi harus berujung pada ada alat bukti kelak yang dihadirkan dalam pemeriksaan pokok perkara. dalam menyusun dalil-dalil dalam replik haruslah dihindarkan minsed apa-apa yang dikemukakan tergugat dipengaruhi sikap penolakan mutlak. Karena ada kemungkinan dalil-dalil yang dikemukakan Tergugat dalam jawabannya justeru memberikan titik terang dari apa yang didalilkan Penggugat, Bisa jadi juga dalil-dalil yang dikemukakan Tergugat memberi penguatan bagi gugatan Penggugat. Artinya dalam menyusun replik pihak penggugat harus bersikap dan berfikir objektif , rasional dan tidak emosional . Sehingga uraian-uraian dalam replik tidak ditanggapi sebagai dalil yang mengada-ada. Kebiasaan -dalil Tergugat dalam jawabannya.lalu apabila pada jawaban tergugat termuat eksepsi, maka dalam menyusun replik pihak penggugat haruslah cermat, karena biasanya tergugat menggunakan dalil Karena itu dibutuhkan relevansi dan singkronisasi penyusunan dalil dalam menanggapi eksepsi dengan dalil pokok perkara. Demikian juga dalil-dalil replik, jika jawaban Tergugat memuat gugatan balik, sekalipun pada tahap replik pemeriksaan perkara baru sebatas jawab menjawab atau bantahan membantah, akan tetapi untuk beberapa dalil tertentu Penggugat bisa mengajukan buktibukti pendukung, seperti terkait dengan adanya permintaan sita jaminan dalam gugatan atau hal-

182


hal yang bisa menyebabkan pemeriksaan perkara dihentikan karena eksepsi kewenangan mengadili yang diajukan Tergugat diterima majelis hakim, misalnya karena daluarsa atau karena nebis amiden, dan lain sebagainya. duplik selain sebagai tanggapan tergugat atas replik penggugat, sekaligus meneguhkan kembali jawaban tergugat, Pada dasarnya penyusunan duplik adalah sama, namun dalam esensinya sesuai dengan kepentingan Tergugat. Dalama konteks ini penyusunan duplik tentu tidak selamanya dipahami sebagai kontra atau bantahan-bantahan dan peolakan terhadap dalil-dalil yang dikemukakan penggugat dalam repliknya, Duplik dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan sebagai jawaban kedua dari Tergugat atau diartikan sebagai jawaban balik dari tergugat atas replik penggugat. Meskipun keberadaan duplik masih dalam proses jawab-menjawab dalam peradilan perdata, namun demikian sama halnya dalam penyusunan replik, penyusunan replik dengan dalil-dalilnya juga harus berupa dalil-dalil yang pada gilirannya berujung pada proses pembuktian ketika pokok perkara diperiksa. 9). Tahapan dalam beracara perdata di pengadilan 1. Tahap Pertama, UPAYA DAMAI Majelis Hakim akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai. 2. Tahap Kedua, PEMBACAAN GUGATAN/PERMOHONAN Bila upaya damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai pemeriksaan perkara dengan membacakan gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon. 3. Tahap Ketiga, JAWABAN TERGUGAT/TERMOHON Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis. 4. Tahap Keempat, REPLIK

183


Kesempatan Penggugat/Pemohon untuk menanggapi jawaban Tergugat/Termohon, baik secara lisan maupun tertulis. 5. Tahap Kelima, DUPLIK Kesempatan

Tergugat/Termohon

untuk

menjawab

kembali

tanggapan

(replik)

Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis. 6. Tahap Keenam, PEMBUKTIAN Pada tahap ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan dalil-dalil gugatan/permohonannya dan Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan bantahannya. 7. Tahap Ketujuh, KESIMPULAN Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon menyampaikan kesimpulan akhir terhadap perkara yang sedang diperiksa. 8. Tahap Kedelapan, MUSYAWARAH MAJELIS Majelis Hakim akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan mengenai perkara yang sedang diperiksa. 9. Tahap Kesembilan, PEMBACAAN PUTUSAN Majelis Hakim akan membacakan putusan hasil musyawarah Majelis Hakim. 10. Pembuktian di pengadilan Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, pembuktian dipandang sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran Materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri. Untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara, pembuktian adalah cara paling utama yang digunakan hakim untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan atau memperoleh dasar - dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Sistem Peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun, seperti dikatakan oleh Andi Hamzah1 : Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masingmasing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. 184


Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon. Oleh karena itu, para Hakim dan para Jaksa Penuntut Umum harus hati - hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Berbeda dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan yakni penyelidikan dan penyidikan. Ketika Penyidik dalam hal ini Polri atau PPNS pada saat mulai mengayuhkan langkah pertamanya dalam melakukan penyidikan maka secara otomatis dan secara langsung sudah terikat dengan ketentuan - ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP. Bahkan yang menjadi target penting dalam kegiatan Penyidikan adalah adalah mengumpulakan buktibukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Demikian pula dalam hal penyidik menentukan seseorang berstatus sebagai tersangka, setidak -tidaknya penyidik harus menguasai alat pembuktian yang disebut sebagai bukti permulaan. Jadi, meskipun kegiatan upaya pembuktian yang paling penting dan menentukan itu adalah pada tingkat pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan, namun upaya pengumpulan sarana pembuktian itu sudah berperan dan berfungsi pada saat penyidikan. Penyidik yang melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak memperhatikan ketentuanketentuan yang dilakukan akan mengalami kegagalan dalam upaya untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya kegagalan dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, maka sebelum penyidik menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan seharusnya sejak awal sudah harus memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari setiap sarana pembuktian, seperti yang diatur dalam pasal 116 sampai dengan pasal 121 KUHAP tentang masalah -masalah yang berkaitan dengan pemeriksaan saksi dan tersangka dalam penyidikan. 11. Fungsi, Tujuan dan Jenis-Jenis Penyitaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyitaan berarti proses, cara, perbuatan menyita.178 Penyitaan dalam Hukum Acara Perdata pada dasarnya adalah tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan Pengadilan atas suatu sengketa Perdata. Penyitaan berarti menempatkan harta tersita dibawah penjagaan pengadilan untuk memenuhi kepentingan penggugat atau kreditur. Pendapat Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa penyitaan adalah suatu tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur (Penggugat) dibekukan

178

185


M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan179, menerangkan bahwa penyitaan berasal dari terminologi beslag (bahasa Belanda) dan istilah bahasa Indonesia yang istilah bakunya adalah sita atau penyitaan. M. Yahya Harahap menguraikan lebih lanjut pengertian penyitaan yaitu sebagai berikut: 1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan; 2. Tindakan paksa penjagaan yang dilakukan secara resmi berdasarkan perintah pengadilan atau hakim; 3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut berupa barang yang disengketakan dan bisa juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat dengan cara menjual lelang barang yang disita tersebut; 4. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan sampai dikeluarkannya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.

180

181

179

180 181

186


182

183

182 183

187


184

185

Oleh karena yang meminta dan mengajukan penyitaan adalah pemilik barang sendiri, maka lazim disebut penyitaan atas permintaan pemilik. Jadi, sita revindikasi merupakan upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang yang menguasai barang itu tanpa hak (hal. 326). Syarat atau alasan pokok sita revindikasi

184 185

188


merujuk pada Alinea Pertama Pasal 226 Herzien Inlandsch Reglement 714 Reglement op de Rechtsvordering

189

, yaitu:

dan Pasal


190


186

187

188

Perlu digarisbawahi bahwa dengan adanya sita jaminan yang telah dilaksanakan terlebih dahulu, maka tahap sita eksekusi menurut hukum dengan sendirinya dikecualikan dan dihapuskan. Hal ini dikarenakan pada saat diletakkan sita jaminan, 186 187 188

191


tidak diperlukan lagi tahap sita eksekusi sebab asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. 12. Putusan Hakim :

189

189

192


190

191

190 191

193


192

193

192

193

194


194

Selanjutnya diikuti dengan analisis, hukum apa yang diterapkan menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu, pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugat atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah Majelis Hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan. Apabila

putusan

tidak

lengkap

dan

saksama

mendeskripsikan

dan

mempertimbangkan alat bukti dan nilai kekuatan pembuktian, mengakibatkan putusan dianggap tidak cukup pertimbangan hukumnya atau onvoldoende gemotiveerd, dan putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 RBG dan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.195 Adapun Pasal 178 ayat (1) HIR, dan pasal 189 ayat (1) RBG berbunyi: Dalam rapat permusyawaratan, karena jabatannya hakim harus menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak Sedangkan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi:

Dalam sidang

permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan Dalam putusan tersebut juga diharuskan menyebut pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan yang diterapkan dalam putusan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) HIR yang menegaskan bahwa apabila putusan didasarkan pada aturan undangundang yang pasti maka aturan itu harus disebut. Demikian juga diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.196 Pasal 184

194 195 196

195


ayat (2) HIR berbunyi: Dalam putusan hakim yang berdasarkan peraturan undangundang yang pasti, peraturan itu harus disebutkan Sementara Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi: Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundangundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 13. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa

Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:

196


c. Kasasi Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir. Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:

Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:

197


197

Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:

197

198


14. Tiga Jenis Eksekusi yang Dikenal oleh Hukum Acara Perdata dan Tata Cara Sita Eksekusi

199


200


201


Jika putusan pengadilan yang memerintahkan pengosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka ketua akan memerintahkan dengan surat kepada jurusita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara, barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya. Perihal ini tidak diatur dalam HIR Pasal 200 ayat (11) yang mengatur lelang menyebut eksekusi riil.

Jika perlu dengan pertolongan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan

dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta olah sanak saudaranya Pasal ini memberi petunjuk sedikit tentang bagaimana eksekusi riil harus dijalankan. Pengosongan dilakukan oleh jurusita apabila perlu dibantu oleh beberapa anggota Polisi atau anggota Polisi Militer, apabila yang dihukum untuk melakukan pengosongan rumah itu, misalnya anggota ABRI. Meskipun eksekusi riil tidak diatur secara baik dalam HIR, eksekusi riil sudah lazim dilakukan, oleh karena dalam praktik sangat diperlukan. Dengan demikian, dapat dikatakan lebih detail berdasarkan ketentuan Pasal 1033 Rv bahwa yang harus meninggalkan barang tidak bergerak yang dikosongkan

202


itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena dalam sebuah rumah disita dan atasnya telah diletakkan perjanjian sewamenyewa sebelum rumah itu disita, maka pihak penyewa dilindungi oleh asas koop breekst geen huur yakni asas jual beli tidak menghapuskan hubungan sewa-menyewa sebagaimana ditentukan Pasal 1576 KUH Perdata. Dalam praktik ketiga macam eksekusi ini kerap dilaksanakan. Pada dasarnya suatu eksekusi itu dimulai adanya permohonan eksekusi dengan pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi kepada petugas urusan kepaniteraan perdata pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi (KI-A.8), lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi. Setelah Ketua Pengadilan Negeri mempelajari permohonan itu dan yakin tidak bertentangan dengan undangagar Jurusita Pengadilan memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau kedua belah pihak berperkara untuk diberi teguran (aanmaning) supaya pihak lawan yang dikalahkan melaksanakan putusan hakim. aanmaning yang dikalahkan diberi waktu 8 (delapan) hari sejak tanggal teguran tersebut memenuhi isi putusan. Setelah waktu tersebut terlampaui dan pihak termohon eksekusi belum memenuhi amar putusan hakim, maka dengan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya memerintahkan Panitera/Jurusita dengan disertai dua orang saksi yang dipandang mampu dan cakap untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan semua ini dibuat pula berita acaranya.

Beberapa syarat formal yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan penyitaan, yaitu:

203


204


205


15. Tahapan-Tahapan Penyelesaian Suatu Perkara Gugatan Sederhana Gugatan Sederhana atau Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Perbedaan gugatan sederhana dengan gugatan pada umumnya adalah nilai kerugian materiil yang lebih khusus ditentukan pada gugatan sederhana, yakni maksimal Rp 500 juta. Sedangkan pada gugatan pada perkara perdata biasa, nilai kerugian materiil tidak dibatasi besarnya. Di samping itu, gugatan sederhana ini diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal dalam lingkup kewenangan peradilan umum. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana diterbitkan bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat, biaya ringan. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 ini juga salah satu cara mengurangi volume perkara di Mahkamah Agung dan sebagai perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015, serta diadopsi dari sistem peradilan small claim court yang salah satunya diterapkan di London, Inggris. Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara:

Perkara yang tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah:

Syarat gugatan sederhana berdasarkan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 adalah sebagai berikut:

206


207


Alur Gugatan Sederhana Merujuk pada isi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019, maka Pemeriksaan Pendahuluan menjadi tahapan paling krusial karena di tahap ini, hakim berwenang menilai dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut adalah gugatan sederhana. Di dalam Pemeriksaan Pendahuluan, apabila dalam pemeriksaan Hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka Hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat. Terkait putusan akhir gugatan sederhana, para pihak dapat mengajukan keberatan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Keberatan ini diputus majelis hakim sebagai putusan akhir, sehingga tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Disebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 bahwa hakim wajib untuk berperan aktif dalam:

208


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.