Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa足 mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar足kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
i
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
TANPA OLAH TANAH (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Oleh
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Prof. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D.
PENERBIT LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2012
ii
Penerbit LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, No. 1 Bandar Lampung, 35143 Telp. (0721) 705173, 701609 ext. 138 Fax. 773798 e-mail: lemlit@unila.ac.id Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prof. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D. Tanpa Olah Tanah: Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Cetakan Pertama, Desember 2012 xii + 110 15,5 x 23 cm ISBN: 978-979-8510-39-7 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Isi di luar tanggung jawab percetakan
iii
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas rhido-Nya sehingga buku “TANPA OLAH TANAH -- Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering� dapat disusun. Buku singkat ini merupakan hasil penelitian jangka panjang yang dimulai sejak Februari 1987 sampai 2011. Temuan penelitian jangka panjang selama 23 tahun yang jarang sekali ditemukan di Indonesia ini diharapkan akan berdampak pada kemajuan pertanian tanaman pangan di lahan kering dan dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang pengelolaan lahan kering berkelanjutan. Isi buku ini meliputi kajian singkat tentang pengaruh TOT terhadap berbagai sifat tanah pertanian tanaman pangan lahan kering dengan pola rotasi serealia-legum. Sifat-sifat penting tanah meliputi sifat fisik tanah, kimia tanah dan biodiversitas tanah. Isu terkini tentang emisi gas CO2 dan karbon tersimpan dalam tanah dan tanaman pangan juga disajikan. Selain itu, kajian tentang ekonomi dan adopsi petani terhadap TOT juga dibahas. Ucapan terima kasih disampaikan kepada para mahasiwa yang sejak 1987 secara tekun dan sabar membantu dalam penelitian ini. Apresiasi yang tinggi juga disampaikan kepada Monsanto Indonesia dan pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih disampaikan dengan hormat kepada pimpinan Politeknik Negeri Lampung yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian TOT jangka panjang sejak 1987 di lokasi kebun percobaan Politeknik Negeri Lampung. Akhirnya, kepada para pimpinan Fakutlas Pertanian, Lembaga Penelitian Universitas Lampung dan DIKTI juga diucapkan terima kasih. Tiada gading yang tak retak. Amat disadari dalam buku ini masih banyak hal-hal yang belum sempurna baik isi, ejaan maupun hal lainnya. Untuk itu, dari lubuk hati yang amat dalam, ucapan permintaan
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
KATA PENGANTAR
iv
maaf perlu penulis sampaikan kepada semua pihak. Semoga buku ini dapat memberi konribusi pada pembangunan pertanian lahan kering dan pengembangan ilmu pengetahuan.
v
Bandar Lampung, 20 Mei 2012
Prof. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D. Soil Management Specialist, UKy alumnus
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang ........…………………………………………………….……. 1 Metodologi Penulisan ...……………………………………………..….…… 4 Metode Percobaan …….……………………………………………………... 5 LAHAN KERING SEBAGAI SUMBERDAYA PERTANIAN Potensi Lahan Kering ........…………………………………………………. 7 Batasan Lahan Kering …………..…………… ...…………………………... 8 Karakterisitk Agroekosistem Lahan Kering ...………………………..….... 9
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING Peningkatan Kualitas Tanah .………………… ………………………....... 20 Pengelolaan Lahan Berkelanjutan ……………………………………….. 24 Petani Sebagai Motor Penggerak …………………………………………. 23 Prasyarat Keberhasilan Skenario ………………………………………… 26 APA ITU TANPA OLAH TANAH? Mengapa Harus Membajak? ………………………………………………..29 Pengertian …………………………………………………………………... 33 Kelayakan Tanah dan Tanaman ………………………………………….. 35 Perkembangan Tanpa Olah Tanah ………………………………………... 36
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN Karakteristik dan Penyebab Degradasi Lahan .…………………....…… 11 Dampak Degradasi Lahan ………………………...……………………… 13
vi
PENGELOLAAN SUMBERDAYA Pengelolaan Residu Tanaman ………………………………………………. 40 Pengelolaan Tanah dan Hara Tanaman …………………………………… 42 Pengendalian Organisme Pengganngu Tanaman ………………………... 47 PEMUGARAN KESUBURAN TANAH Sifat Fisik Tanah ……………………………………………………………. .. 50 Sifat Kimia Tanah ………………………………………………………….... 53 PENINGKATAN BODIVERSITAS TANAH Degradasi Biodiversitas Tanah ……………………………………………... 56 Tanpa Olah Tanah dan Biodiversitas Tanah ……………………………… 38 PENINGKATAN KUALITAS TANAH ………………………………... 62 MITIGASI GAS RUMAH KACA Emisi Karbon Dioksida Pertanian Lahan Kering……………. ………….... 64 Proses Produksi dan Emisi Karbon Dioksida.. ……………………………. 65 Tanpa Olah Tanah untuk Pengurangan Emisi Karbon Dioksida……...… 72 Pemupukan Nitrogen dan Emisi Karbon Dioksida ..……………………... 75 Penyerapan Karbon (C-sequestration) …………………………………..... 78 Neraca Karbon (Carbon Budget) ………………………………………........ 79 PRODUKTIVITAS TANAH DAN KETAHANAN PANGAN Peningkatan Produktivitas Tanah ……………………………………....... 82 Penguatan Ketahanan Pangan …………………………………………....... 84 EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS Peningkatan Efisiensi ……………………………………………………....... 87 Potensi untuk Pengembangan Agribisnis ……………………………… ... 89 SEPULUH KEUNGGULAN TANPA OLAH TANAH …… …….....….. 93 IMPLIKASI PENGEMBANGAN ……………………………………........ 97 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 98
vii
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
DAFTAR TABEL
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Teks
Halaman
Indikator penting kualitas tanah pengelolaan lahan kering berkelanjutan ........…………………………………….. 20 Pengaruh teknologi pengelolaan lahan kering berkelanjutan terhadap indikator kualitas tanah, air dan udara .…………………................................................….21 Perubahan sifat kimia tanah setelah 14 tahun perlakuan sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang ..……….............................................................................44 Perubahan sifat kimia tanah setelah 23 tahun perlakuan sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang .…............................................................................……..45 Perilaku pupuk dalam tanah dan metode peningkatan efisiensi pemupukan pada budidaya TOT ...………………… 46 Sifat fisik tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 1994-1997 ……………..……………………………..... 51 Sifat fisik tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 2010 .............................................................…………. 51 Sifat kimia tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 1994-1997 .………...........………………… ………….. 54 Sifat kimia tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 2009-2010 …..………………………………..................55 Pengelolaan tanah yang mempengaruhi layanan ekosistem dan kelompok fungsional biota ...………………. 58 Sifat biologi tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 1990-1997 ………………….........………. …………… 60 Sifat biologi tanah pada tiga sistem olah tanah jangka
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel
viii
13. 14. 15. 16. 17. 18.
ix
panjang, 2010 ………….……….......……….......………… …........... 61 Nisbah tiga sistem olah tanah jangka panjang berbagai indikator kunci kualitas tanah …………....……………………….. 63 Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap neraca karbon pertanaman jagung per musim (2009) ........................................................................................80 Produktivitas lahan, efisiensi agronomi dan efisiensi pemupukan jagung tiga sistem olah tanah jangka panjang ......... 83 Penggunaan tenaga kerja berbagai komoditi ..............……………88 Revenue Cost Ratio berbagai komoditi ..............………………….88 Analisis usaha tani jagung tiga sistem olah tanah jangka panjang ................................................................................................. 90
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Teks
Halaman
Skenario pengelolaan lahan kering berkelanjutan (ISCO, 1996) … ……..................................................................… 19 Peran pengelolaan lahan kering berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan lingkungan .…. 25 Kekerasan tanah tiga sistem olah tanah setelah 23 tahun ...... 42 Pola emisi gas CO2 akibat sistem olah tanah jangka panjang selama musim tanam jagung tahun 2009 ...........….. 73 Pola emisi gas CO2 akibat sistem olah tanah jangka panjang selama musim tanam kedelai tahun 2010 ………... 74 Pola emisi gas CO2 akibat pemupukan Nitrogen jangka panjang selama musim tanam jagung tahun 2009 ………… 76 Pola emisi gas CO2 akibat pemupukan Nitrogen jangka panjang selama musim tanam kedelai tahun 2010 ………… 77 Penyimpanan C (C-storage) total (kedalaman tanah 0-20 cm dan di atas tanah) akibat sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang setelah 22 tahun ..................... 79
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Gambar
x
DAFTAR FOTO Foto 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
xi
Teks
Halaman
Alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman dan industri …………….....................................................…… 1 Olah tanah intensif manfaatnya sesaat, untuk jangka panjang tanah menjadi terdegradasi karena erosi dan emisi karbon …………………….........................….. 2 Agroekosistem lahan kering mempunyai potensi besar tetapi rentan terhadap degradasi ….....……………… 3 Gulma alang-alang sebelum percobaan TOT jangka panjang (1987) ..............................................................................5 Jenis tanah lokasi percobaan TOT jangka panjang (Latosol/Ultisol) ……...........................................................……5 Lokasi percobaan TOT janka panjang di Lampung, 1987-sekarang …..............................................................……….6 Agroekosistem lahan kering untuk masa depan pertanian modern Indonesia ………………………………... 8 Penduduk di wilayah lahan kering umumnya miskin ......... 9 Dampak degradasi lahan dan perubahan iklim terhadap pertanian lahan kering ......……………………….. 10 Aliran permukaan menggerus humus dan pertikel tanah ………… …...........................................................…….. 12 Degradasi lahan berdampak pada menurunnya kualitas tanah ……....................................................................................14 Pembakaran lahan memicu penurunan kualitas lingkungan ….....................................................……................ 16 Serasah merupakan sumberdaya penting dalam layanan ekosistem tanah …………..………………... ……….29 Di ekosistem hutan, biji bisa tumbuh subur walau tanahnya
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
tidak diolah ……….............……………………………. ……….31 Pada TOT tidak ada manipulasi tanah kecuali lubang benih di antara mulsa ………………………………..……....... 32 Jagung tanpa olah tanah tumbuh segar alami: Jika dengan tanpa mengolah tanah biji jagung bisa tumbuh dan berproduksi optimum, pertanyaannya mengapa kita harus membajak?................................................................... 32 Kontras tanpa olah tanah dan olah tanah intensif ………….. 33 Mulsa residu tanaman akan memugar kesehatan tanah TOT ………………….......................................................... 34 Bahan organik terlihat pada lapisan olah tanah TOT setelah 23 tahun …………………….. …………........................ 34 Contoh tanaman pangan yang respons terhadap TOT …...... 37 Berbagai model TOT yang berkembang di tingkat petani …. 39 Residu brangkasan jagung sebagai mulsa pada kedelai TOT ………....................................................................... 40 Walaupun tanpa pembubunan akar jagung TOT kokoh berjangkar di tanah …………………………………….. 43 Pemupukan dengan cara larikan di dekat barisan tanaman TOT ……………............................................................ 46 Pengendalian gulma pada pertanaman jagung TOT dengan Herbisida ……………………………............................. 47 Berbagai macam gulma pada pertanaman jagung dan kedelai TOT jangka panjang ……………………………... 48 Pengendalian hama tikus dominan di kedelai TOT ……........ 49 Proses genesis aggregasi tanah pada perlakuan TOT jangka panjang ……………………………….............................. 52 Biodiversitas tanah TOT meningkat karena perbaikan mikroklimat ...................................................................………… 60 Jagung TOT dengan pemupukan N optimum (belakang) dan tanpa pemupukan N (depan) .………………................... 85 Produksi jagung tanpa olah tanah dengan dosis N tinggi … 85 Produksi kedelai TOT setelah rotasi dengan tanaman jagung TOT……....................................................................…… 86
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Akhir-akhir ini sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat, sementara persediaan pangan nasional semakin berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, menurut data Kementrerian Pertanian, pemerintah pada tahun 2010 harus mengimpor 1,6 juta ton beras, 2,8 juta ton jagung dan 1,2 juta ton kedelai. Nilai impor pangan tersebut mencapai Rp. 50 trilyun, dan angka itu terus meningkat setiap tahun (Aristiarini, 2012). Namun demikian untuk mendapatkan lahan-lahan subur dan produktif saat ini tidak mudah, sementara lahan sawah yang menjadi tulang punggung pertanian tanaman pangan menghadapi tantangan yang semakin besar.
Foto 1. Alih fungsi lahan sawah menjadi permukiman dan industri
Utomo, 2009
1
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
PENDAHULUAN
Selain menghadapi masalah alih fungsi lahan sawah yang sukar diben足dung (Foto 1), biaya untuk membanguan lahan persawahan juga semakin mahal. Oleh karena itu, paradigma lahan sawah sebagai tulang punggung pertanian pada umumnya dan pemasok utama produksi pangan nasional harus ditinjau kembali. Dengan makin besarnya kebutuhan hidup bangsa dan makin meningkatnya persaingan global, tidak bisa tidak kebijakan pemerintah harus menjadikan sektor pertanian menjadi sektor yang startegis. Untuk itu, kebijakan pemerintah harus berpaling ke lahan kering yang mempunyai potensi dan peluang lebih besar (Foto 3).
Foto 2. Olah tanah intensif manfaatnya sesaat, untuk jangka panjang tanah menjadi terdegradasi karena erosi dan emisi karbon
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 2009
Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi wilayah lahan kering adalah tingginya laju degradasi tanah. Dampak degradasi tanah tersebut, bukan hanya terhadap makin menurunnya kualitas tanah in situ (di tempat terjadinya degradasi), tetapi juga terhadap makin menurunnya kualitas lingkungan ex situ (di daerah hilir dan udara). Meluasnya lahan-lahan kritis dan menurunnya kualitas perairan dan udara di Indonesia merupakan bukti dampak nasional degradasi tanah. Kemunduran kualitas lingkungan di agroekosistem lahan kering ini berkaitan erat dengan kemiskinan petani di wilayah lahan kering itu sendiri. Sampai saat ini, kemiskinan di perdesaan sebagian besar berada di wilayah lahan kering. Di Indonesia penyebab utama degradasi tanah adalah erosi oleh air, pencucian hara, dan pemadatan tanah oleh alat-alat berat, yang sebagian besar disebabkan oleh pengolahan tanah intensif (Foto 2). Dengan mengolah tanah diharapkan aerasi tanah meningkat dan pertumbuhan gulma menurun sehingga ketersediaan unsur hara meningkat, yang akhirnya tanaman akan tumbuh dan berproduksi dengan baik (Uto-
2
PENDAHULUAN
Muhajir Utomo
mo, 1994). Akan tetapi, di daerah tropika basah seperti Indonesia dampak positif tersebut hanya bersifat sementara. Curah hujan yang tinggi dengan suhu yang hangat sepanjang tahun menyebabkan sistem olah tanah intensif (OTI) di lahan kering justru memacu erosi, mempercepat pelapukan bahan organik tanah dan meningkat足kan polusi足 air sungai (Ardjasa, dkk., 1981). Adanya proses degradasi ini menyebabkan daya dukung dan produktivitas tanah munurun, sehingga dalam jangka panjang pertanian semacam ini tidak lagi terlanjutkan. Kurangnya tenaga kerja di sektor pertanian saat ini juga menjadi masalah karena sistem OTI memerlukan tenaga kerja dan waktu cukup besar. Selain itu, dengan banyaknya waktu yang digunakan dalam persiapan lahan, teknologi OTI secara langsung akan terkena dampak pergeseran musim akibat perubahan iklim. Dengan demikian masalah pertanian lahan kering yang dihadapi bukan hanya karena sumberdaya alamnya yang rentan terhadap degradasi tanah, tetapi juga rentan terhadap perubahan iklim (Foto 3). Agar wilayah lahan kering dapat diberdayakan bagi pembangunan pertanian berkelanjutan berwawasan lingkungan, diperlukan pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan produktivitas tanah, mengurangi degradasi tanah dan sekaligus dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja. Atas dasar ini perlu dipertimbangkan teknologi olah tanah alternatif yang bukan hanya mampu meningkatkan produktivitas dan meningkatkan mutu sumber daya lahan kering secara bersamaan, tetapi juga mampu mengurangi kebutuhan tenaga kerja dan waktu persiapan lahan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Foto 3. Agroekosistem lahan kering mempunyai potensi besar tetapi rentan terhadap degradasi Utomo, 2012
Dari hasil penelitian jangka panjang dan sosialisasi yang dilakukan sejak 1987, teknologi persiapan lahan tanpa olah tanah (TOT) terbukti layak untuk pengelolaan pertanian lahan kering.
3
Muhajir Utomo
PENDAHULUAN
Metodologi Penulisan Buku ini disusun berdasarkan data dan informasi dari berbagai sumber yaitu (1) penelitian TOT jangka panjang yang dimulai sejak 1987 sampai 2011 di kebun percobaan Polteknik Negeri Lampung, (2) penelitian TOT pendukung di Rawa Seragi, Rawa Jitu, Natar, Kota Gajah dan Ketibung dari tahun 1987-2002; (3) demo plot di Lampung Timur dan Lampung Selatan tahun 1995 dan 1999; (4) prosiding Seminar Nasional OTK ke-1 sampai ke-9 tahun 1987-2004, dan (5) studi pustaka yang berkaitan dengan pertanian TOT. Berikut adalah ringkasan metode penelitian jangka panjang di Polteknik Negeri Lampung:
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Karakteristik Lokasi Percobaan Jangka Panjang Penelitian ini merupakan penelitian sistem olah tanah jangka panjang yang dimulai pada bulan Februari 1987 (Utomo, dkk., 1989) dan dilakukan secara terus-menerus sampai sekarang dengan pola rotasi tanaman serealia (jagung/padi gogo)—legum (kedelai/kacang tinggak/kacang hijau)-bera. Vegetasi sebelum percobaan (1987) adalah alang-alang (Imperata cylindrica) yang tumbuh bera lebih dari 4 tahun, dengan berat biomassa alang-alang saat itu 15 ton/ha (Foto 4). Tanah percobaan yang digunakan adalah tanah berliat dengan tekstur pasir, debu dan liat berturut-turut 160, 320 dan 520 g/kg (Latosol /Udult), dan dengan kemiringan lereng 6-9% (Foto 5). Data sifat tanah awal lahan percobaan (1987) pada kedalaman 0-20 cm seperti berikut: kerapatan isi 0,90 g/cm3, porositas total 65,7%, kandungan N total 2,0 g/kg, C organik 16,0 g/kg dan pH H2O 6,2 (Utomo, dkk., 1989). Berdasarkan pengukuran dengan GPS, lokasi percobaan berada pada 105013’45,5”105013’48,0”BT dan 05021’19,6”-05021’19,7”LS, dengan elevasi 122 m dari permukaan laut (Foto 6). Dalam percobaan jangka panjang ini telah dilakukan pemugaran tanah yaitu dengan pengolahan tanah kembali, pengapuran dan pemberaan. Oleh karena pada tahun 1992 dan tahun 2000 permukaan tanah TOT dan OTM sudah terjadi pemadatan sehingga produksinya menurun, maka pada tahun 1997 dan 2002 semua plot OTK dilakukan pengolahan tanah kembali. Selain itu, pH tanah juga sudah menurun, yaitu dari pH H2O 6,2 pada awal percobaan menurun menjadi 4,7 pada tahun 2003, sehingga perlu pengapuran. Semua plot percobaan diberi kapur dengan dosis 4 ton CaCO3/ha. Dampak pengapuran baru tampak setelah dua musim tanam.
4
PENDAHULUAN
Muhajir Utomo
Foto 4. Gulma alang-alang sebelum percobaan TOT jangka panjang (1987)
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 1987
5
Metode Percobaan Percobaan jangka panjang yang dimulai sejak 1987 ini dilakukan secara fak-torial dengan Rancangan Kelompok Acak Lengkap dengan 4 ulangan. Faktor pertama sistem olah tanah yaitu olah tanah intensif (OTI), olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT), sedangkan faktor kedua adalah pemupukan N dengan tiga taraf yaitu 0 kg N/ha (N0), 100 kg N/ha (N1), dan 200 kg N/ha (N2). Dosis N tersebut diperuntukkan untuk tanaman jagung, Utomo, 2009 sedang untuk tanaman lainnya disesuaikan Foto 5. Jenis tanah lokasi perdengan kebutuhannya. Aplikasi pemupucobaan TOT jangka panjang kan N dilakukan sepertiga dosis seminggu (Latosol/Ultisol) setelah tanam dan sisanya diberikan menjelang jagung berbunga. Sebelum percobaan, jenis gulma yang mendominasi plot percobaan perlu diamati berat biomassa dan kandungan hara dan karbonnya. Jika gulmanya alang-alang, perlu disemprot dengan herbisida Roundup dengan dosis 6,0 L/ha. Tetapi jika gulmanya campuran biasanya disemprot dengan herbisida campuran antara Round-up dengan dosis separuh dan Rhodiamine 1,0 L/ha.
PENDAHULUAN
Muhajir Utomo
Utomo, 2009
Foto 6. Lokasi percobaan TOT jangka panjang di Lampung, 1987-sekarang
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Setelah disemprot, lahan pada OTM dikored dan semua serasah tanaman dan gulma dikembalikan ke petak percobaan sebagai mulsa; sedangkan pada petak TOT, lahan tidak dikored sama sekali, tetapi semua serasah alang-alang dan gulma yang mati langsung digunakan sebagai mulsa. Pada petak OTI, semua serasah tanaman dan gulma dibersihkan dan disingkirkan dari petak percobaan, kemudian lahan diolah dengan pencangkulan dua kali sedalam 0-20 cm. Pada percobaan jangka panjang ini, tanaman jagung yang digunakan adalah jagung hibrida varietas Pioneer (Pioneer 11-21), dengan jarak tanam 75 X 25 cm, dengan satu benih per lubang tanam. Untuk mengganti tanaman yang tidak tumbuh, penyulaman dilakukan 5 hari setelah tanam. Sebagai pupuk dasar, 150 kg SP18/ha dan 100 kg KCl/ ha diberikan seminggu setelah tanam secara larikan di sisi barisan tanaman jagung (banding). Agar tanaman jagung tumbuh optimum, pemeliharaan tanam seperti penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama-penyakit dilakukan secukupnya.
6
LAHAN KERING SEBAGAI SUMBERDAYA PERTANIAN Potensi Lahan Kering Lahan kering merupakan sumberdaya penting bagi pertanian masa depan. Pertanian lahan kering diharapkan bukan hanya dapat mendukung prog足ram ketahanan pangan dan biomassa (bio-energi), tetapi juga dapat menjadi motor perekonomian daerah dan nasional yang tangguh. Hal ini karena bagi pembangunan pertanian, lahan kering mempunyai posisi strategis mengi足 ngat wilayah ini (1) menempati luasan terbesar di antara kawasan budidaya pertanian, (2) memasok sebagian besar komoditi andalan dan (3) mempunyai keanekaragaman komoditi yang lebih besar (Utomo, dkk., 1993a). Dibanding lahan sawah, potensi luas lahan kering untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional jauh lebih besar (Foto 7). Menurut data Biro Pusat Statistik luas lahan kering di Indonesia terus meningkat. Luas pertanian lahan足 kering pada tahun 1995, 2000 dan 2004 berturut-turut mencapai 52 juta, 61 juta dan 66 juta ha, atau 87, 89 dan 91% dari luas total lahan pertanian. Sebaliknya, persentase luas lahan sawah pada periode yang sama terus menurun menjadi 13%, 11% dan 5% dari luas total lahan pertanian (Utomo, 2000b; Utomo, 2006). Penggunaan lahan kering tersebut meliputi pekarangan, tegalan/ kebun, ladang, penggembalaan, kolam, kayu-kayuan, perkebunan dan lahan bera/tidur; sedangkan lahan sawah meliputi sawah irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, pasang surut dan tadah hujan. Dibandingkan dengan lahan sawah, lahan kering mempunyai peluang yang lebih besar untuk (1) pengembangan berbagai komoditi andalan (pangan dan bio-energi); (2) mendukung program ketahanan pangan; (3) memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional; dan (4) mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja di perdesaan (Utomo, 2006).
7
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
LAHAN KERING SEBAGAI SUMBERDAYA PERTANIAN
Foto 7. Agroekosistem lahan kering untuk masa depan pertanian modern Indonesia
Utomo, 2011
Batasan Lahan Kering . Lahan kering (upland, rainfed) adalah sumberdaya lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Utomo, dkk., 1993a). Contoh lahan kering permanen adalah lahan kering untuk tanaman pangan, perkebunan dan pengembalaan, sedangkan lahan kering musiman adalah lahan sawah tadah hujan, irigasi sederhana dan irigasi setengah teknis. Lahan itu sendiri adalah hamparan tanah dengan berbagai fisiografi, iklim mikro, hidrologi permukaan, tanaman, ternak, dan penduduk dengan segala aktivitasnya (FAO, 2000). Atas dasar batasan tersebut, wilayah lahan kering mencakup semua komponen baik di wilayah hulu dengan fisiografi perbukitan sampai wilayah dataran di daerah hilir, dan bisa berupa tegalan (lahan kering permanen) maupun lahan sawah (lahan kering musiman, semi permanen). Berbeda dengan lahan sawah, pertanian lahan kering tidak memerlukan penggenangan dalam teknik budidayanya. Oleh karena pertanian lahan ke足 ring bertumpu pada air tersedia di dalam tanah (green water), maka kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman sangat tergantung dari curah hujan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
8
LAHAN KERING SEBAGAI SUMBERDAYA PERTANIAN
Muhajir Utomo
Jika kebutuhan airnya tidak bisa dipenuhi dari curah hujan, kekurangannya bisa diberikan melalui irigasi tetapi degan tanpa penggenangan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Karakteristik Agroekosistem Lahan Kering Walaupun potensi lahan kering cukup besar, tetapi lahan kering mempunyai agro-ekosistem yang secara in herent lebih rapuh, lebih tertinggal dan kurang berkembang serta kurang mendapat perhatian pemerintah dibandingkan dengan agro-ekosistem lahan sawah. Karakteristik wilayah lahan kering seperti berikut: (1) topografi umumnya tidak datar, (2) lapisan olah tanah dangkal, (3) rentan degradasi (erosi), (4) sistem usaha tani beragam, (5) pertanian ekstensif, (6) etnis beragam, (7) terpencil karena infrastruktur buruk, (8) penduduk umumnya relatif miskin (Foto 8), (9) status kepemilikan tanah rumit, (10) intervensi pemerintah dalam hal penyu-luhan dan kredit kurang, dan (11) ketergantungan lahan kering terhadap iklim sangat besar (Fithriadi, dkk.,1997; Utomo, dkk., 1993a). Dari karakteristik tersebut Utomo, 2007 dapat disimpulkan bahwa agroekosistem lahan kering secara in Foto 8. Penduduk di wilayah lahan ke herent lebih marjinal dan lebih ring umumnya miskin tertinggal dibandingkan deng an agro-ekosistem lahan sawah, sehingga wilayah ini umumnya kurang berkembang. Di samping kahat hara, lahan kering juga rentan terhadap ke keringan dan erosi tanah, dan ketercapaian (accessibility) dan keterlintasannya (trafficability) juga rendah. Selain itu, pertanian lahan kering juga lebih ren tan terhadap perubahan iklim karena adanya pemanasan global. Fenomena terjadinya banjir besar yang tidak menentu di berbagai daerah, kekeringan berkepanjangan dan pergeseran musim yang merupakan bukti adanya pemanasan global, berdampak terhadap pertanian lahan kering.
9
Muhajir Utomo
LAHAN KERING SEBAGAI SUMBERDAYA PERTANIAN
Foto 9. Dampak degradasi lahan dan perubahan iklim terhadap pertanian lahan kering
Utomo, 2007
Menurut Ball dan Pretty (2002), kehilangan karbon dari sektor pertanian tersebut terjadi melalui (a) penggunaan langsung energi fosil dalam proses produksi, (b) penggunaan tidak langsung dari input pertanian, dan (c) kehi足 langan bahan organik tanah melalui dekomposisi dan erosi. Dengan demikian masalah yang dihadapi lahan kering bukan hanya masalah degradasi sumberdaya tanah dan air saja, tetapi juga masalah perubahan iklim dan sosial-ekonomi (Foto 9).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Ironisnya, sebagai sektor yang paling banyak terkena dampak pemanas足 an global, pertanian justru sebagai penyumbang penting GRK global (IPCC 2001). Sektor pertanian menyumbang emisi GRK anthropogenik dalam pemanasan global sebesar 20% yang sebagian besar justru berasal dari pertanian di daerah tropik (Houghton, 1995; FAO, 2007).
10
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN Karakteristik dan Penyebab Degradasi Lahan Degradasi lahan adalah proses menurunnya kualitas lahan yang berakibat pada menurunnya kemampuan lahan dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Selain itu, degradasi lahan juga telah merusak sumberdaya lingkungan lainnya dan berkaitan erat dengan meningkatnya kemiskinan di perdesaan. Karakterisik dan dampak degradasi lahan berikut dikembangkan dari bahasan oleh Utomo (2000c). Degradasi lahan bukanlah isu baru, tetapi perhatian dunia terhadap isu ini kembali mencuat setelah tekanan terhadap lahan untuk pertanian makin meningkat, dan sejalan dengan itu kesadaran global akan lingkungan juga makin menguat. Degradasi lahan dimaksud adalah degradasi tanah, degradasi air, degradasi hutan, degradasi pengembalaan dan degradasi biodiversitas (Young, 1997). Sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1990, degradasi lahan akibat kegiatan pertanian untuk meningkatkan pangan dunia mencapai 1,2 milyar hektar (Engelman dan LeRoy, 1995). Pada tahun 2000, sekitar 70% lahan penggembalaan, 40% pertanian lahan kering dan 30% pertanian lahan irigasi di dunia telah mengalami degradasi. Ironisnya, sebagian besar degradasi lahan tersebut terjadi di daerah tropika termasuk Indonesia yang dihuni oleh lebih dari 80% penduduk dunia, sehingga dampaknya terhadap kemiskinan di daerah ini sangat signifikan (FAO, 2000). Tingginya degradasi lahan di daerah tropika disebabkan oleh curah hujannya cukup tinggi, suhu hangat sepanjang tahun, tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam sa足 ngat tinggi dan kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap kelestarian lingkungan rendah. Di antara penyebab degradasi tanah paling dominan di pertanian lahan kering tropika basah adalah erosi tanah oleh air (Foto 10). Erosi tanah di daerah tropika basah termasuk Indonesia sebagian besar disebabkan oleh pengolahan tanah intensif (OTI) yang menjadi pilar intensifikasi pertanian
11
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
sejak program Bimas dicanangkan, dan yang secara turun menurun masih dilakukan oleh petani. Dengan olah tanah intensif, tanah diolah minimal dua kali, permukaan tanah bersih dari rerumputan dan mulsa, dan lapisan olah tanah diusahakan cukup gembur agar perakaran tanaman dapat berkembang dengan baik. Permukaan lahan yang bersih dan gembur memang memudahkan penanaman benih, tetapi tidak mampu menahan laju aliran air permukaan yang mengalir deras, sehingga banyak partikel tanah yang mengandung humus dan hara tergerus dan terbawa oleh air ke hilir (Foto 10). Sebaliknya pada
Foto 10. Aliran permukaan menggerus humus dan pertikel tanah
musim kemarau, oleh karena laju evaporasi cukup tinggi maka lapisan olah tanah yang tanpa ditutupi mulsa tersebut tidak mampu menahan aliran uap air ke atas sehingga tanaman mengalami kekeringan dan produktivias lahan menurun. Selain itu, karena adanya pengolahan tanah aerasi meningkat se足hingga pelapukan bahan organik tanah yang menghasilkan gas CO2 pun meningkat. Dengan demikian, di daerah tropika basah seperti Indonesia, sistem olah tanah intensif di lahan kering justru memacu erosi, dan mempercepat pelapukan bahan organik tanah. Akibatnya, kesuburan tanah in situ dapat terkuras dan produktivitas lahan untuk jangka panjang dapat menurun (Utomo, 1994; Utomo, 1995) dan emisi gas rumah kaca (GRK) meningkat (Utomo dkk, 2009). Hal ini berarti, olah tanah intensif sebetulnya berperan sebagai kontributor utama degradasi lahan kering in situ dan degradasi lingkungan ex situ.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 2005
12
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
13
Muhajir Utomo
Selain olah tanah intensif, degradasi lahan disebabkan oleh penggundulan hutan, penggembalaan yang tidak berwawasan lingkungan dan persiapan lahan dengan pembakaran. Penggundulan (penebangan hutan tidak berwawasan lingkungan) menyebabkan lahan terbuka tanpa penutupan lahan sehingga air hujan langsung membentur permukaan tanah yang menyebabkan agregat tanah rusak terdispersi, akibatnya aliran permukaan dan erosi meningkat. Selain itu, penggundulan hutan juga menyebabkan kawasan di hilirnya terkena banjir pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau. Pada penggembalaan ternak yang berlebihan (over grazing), permuka足an tanah terbuka dan memadat akibat lalu lintas ternak sehingga infiltrasi menurun, aliran permukaan meningkat, dan konsekuensinya erosi meningkat pula. Untuk jangka panjang, tanah-tanah yang mengalami over grazing akan menjadi kurus dan rumput pakan ternak tidak akan tumbuh baik (Utomo, 2000a). Selain itu, teknologi yang menyebabkan degradasi lahan serius adalah pembakaran lahan. Persiapan lahan yang dapat menimbulkan kebakaran lahan antara lain teknik slash and burn (Sanchez, 1976) dan pembakaran sisa-sisa kayu, ranting dan serasah oleh sebagian pengusaha perkebunan dan kehutanan (Tomich dkk., 2004); sedangkan teknik pemanenan dengan pembakaran banyak dilakukan oleh perkebunan tebu. Data menunjukkan bahwa, kebakaran lahan paling banyak terjadi di musim kemarau, yaitu pada saat curah hujan dan kelembaban udara berada pada angka terendah, sementara suhu udara berada pada angka tertinggi (Sanchez, 1976). Pada saat itulah persiapan lahan dengan cara pembakaran paling banyak dilakukan. Persiapan lahan dengan pembakaran menyebabkan tanah menjadi padat, biota tanah punah, erosi air tinggi, dan emisi gas rumah kaca (GRK) meningkat. Dampak Degradasi Lahan Seperti di daerah tropik lainnya sistem pengelolaan lahan yang tidak berwawasan lingkungan akan berdampak terhadap degradasi lahan. Degradasi lahan akibat erosi tanah pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kualitas tanah, emisi gas CO2 dan ancaman terhadap ketahanan pangan. Penurunan Kualitas Tanah Erosi tanah akibat berbagai pengelolaan tanah tidak berwawasan lingkungan dapat mencapai 46-482 ton/ha/th, padahal laju erosi yang dapat di-
Muhajir Utomo
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
Utomo, 1995
Foto 11. Degradasi lahan berdampak pada menurunnya kualitas tanah Hal ini berarti erosi tanah mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah dalam menahan air tanah, berkurangnya ketersediaan hara, berkurangnya biodiversitas tanah, dan bertambahnya kehilangan pupuk sehingga akan mengurangi produktivitas tanah (Foto 11). Menurut Myers (1994) setiap sen-
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
tolerir diperkirakan hanya 5-15 ton/ha/th, tergantung dari kedalamannya, dimana makin dalam suatu tanah makin besar laju erosi yang dapat ditolerir (Fithriadi, dkk., 1997). Erosi akibat degradasi lahan di Jawa mencapai 61,2 ton sedimen per ha per tahun yang setara dengan kehilangan 349-415 juta dolar US per tahun (Conway dan Barber, 1990). Kehilangan hara tanaman akibat erosi di Bogor menurut Sinukaban (1990) mencapai 433 kg N/ha, 108 kg K/ ha dan 9 kg P tersedia/ha. Data dari lahan pertanian di Zimbagwe (Afrika) menunjukkan bahwa kehilangan tanah akibat erosi sebesar 50 ton/ha, yang menyebabkan kehilangan hara sebesar 105 kg N/ha dan 8 kg P/ha, serta 700 kg karbon organik/ha (Stocking, 1994). Kehilangan pupuk di lahan pertanian akibat erosi juga tinggi tergantung dari dosis dan cara pemupukannya.
14
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
15
Muhajir Utomo
timeter tanah yang tererosi sama dengan kehilangan produksi jagung sebesar 80 kg per hektar, dan untuk mengganti kehilangan pupuk diperlukan tambahan pupuk seharga 12,5 dolar US per hektar. Kehilangan hara melalui pencucian juga merupakan salah satu proses degradasi tanah penting di lahan kering. Besarnya pencucian hara tergantung dari curah hujan, sifat tanah dan pola tanam. Sebagai contoh, hara N yang tercuci di daerah penggembalaan pada tanah Andisol di Kolumbia yang mempunyai curah hujan tinggi mencapai 204 kg N /th, sedangkan di daerah pertanian tanaman pangan pada tanah Alfisol di Sinegal yang lebih kering hanya 6 kg N /ha. Secara umum, Ca, Mg, K dan N merupakan hara pa ling banyak tercuci, sedangkan fosfor termasuk paling sedikit kecuali pada tanah berpasir (Sanchez, 1976). Menurunnya kualitas tanah tersebut akan berdampak pada menurunnya produktivitas tanah, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya pendapatan petani. Meningkatnya erosi tanah in situ akibat pembakaran lahan yang berakhir pada menurunnya kualitas air ex situ (Tomich dkk., 2004) merupakan indikator penting dampak kebakaran lahan di lahan kering. Meningkatnya erosi tanah akibat kebakaran lahan disebabkan karena terhambatnya infiltrasi air akibat perubahan sifat fisik permukaan tanah. Suhu tanah yang tinggi me ngakibatkan lapisan atas tanah menjadi padat sehingga bobot isi tanah meningkat (Sanchez, 1976). Selain itu, suhu tanah yang tinggi juga memacu terbentuknya lapisan kedap seperti lilin hasil kondensasi uap karbon (Brady dan Weil, 2008). Perubahan kedua sifat fisik di permukaan tanah inilah yang menyebabkan laju infiltrasi air terhambat yang berakibat pada meningkatnya erosi tanah. Pembakaran lahan bervegetasi hutan, kebun dan tanaman pangan (Foto 12) akan menghilangkan keanekaragaman hayati (biodiversity lost) baik yang berada di atas tanah (vegetasi/flora dan fauna), maupun yang berasal dari dalam tanah (belowground biodiversity). Kehilangan keanekaragaman hayati akan berakibat pada menurunnya fungsi keanekaragaman hayati dan layanan suatu ekositem. Berbeda dengan keanekaragaman hayati dan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah pada awalnya menjadi lebih baik dengan adanya pembakaran. Abu biomassa hasil pembakaran akan mempercepat daur hara internal (Brady dan Weil, 2008). Kandungan abu setara dengan 70-14-45 kg N-P2O dan K2O/ha, 240 kg/ha dolomit dan sejumlah hara mikro. Data menunjukkan setelah kebakaran lahan kesuburan tanah dan pH tanah meningkat.
Muhajir Utomo
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
Utomo, 20012
Itulah alasan sederhana para peladang berpindah melakukan pembakaran lahan yaitu untuk memanen hara dan sekaligus melakukan pengapuran lahan. Akan tetapi, beberapa tahun setelah pembakaran, kandungan hara dan pH tanah akan menurun karena adanya pencucian hara dan erosi tanah. Setelah itu lahan tersebut harus dibelukarkan agar menjadi subur kembali (Sanchez, 1976). Emisi Gas Rumah Kaca Selain menurunnya kualitas tanah dan meningkatnya polusi perairan di hilir, degradasi lahan juga meningkatkan emisi gas rumah kaca sehingga akan meningkatkan pemanasan global (Afandi, 2000). Saat ini, sumberdaya tanah menyimpan karbon tiga kali lebih banyak dari pada yang ada di dalam tanaman di dunia. Akan tetapi cadangan karbon tersebut sudah menyusut karena hilang ke udara dalam bentuk gas rumah kaca (CO2) akibat pengolahan tanah intensif dan pembakaran lahan. Karbon yang hilang mencapai kurang lebih 60 milyar ton, atau setara dengan pembakaran fosil bahan bakar global selama satu dekade (Engelman dan LeRoy, 1995).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Foto 12. Pembakaran lahan memicu penurunan kualitas lingkungan
16
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Penelitian komprehensif yang dilakukan oleh Reicosky (2000) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pertanian olah tanah intensif (OTI) berperan dalam memasok gas CO2 ke atmosfir. Pengolahan tanah bukan hanya membalik tanah dan membuka tanah sehingga memacu oksidasi dan aliran gas CO2, tetapi juga membuat permukaan tanah porus sehingga mempercepat pelepasan gas CO2. Sebaliknya dengan TOT, residu tanaman dibiarkan menutupi permukaan tanah, dan hanya sedikit yang berkontak dengan tanah dan mikro-organisme tanah, sehingga menghambat laju kehilangan gas CO2. Itulah sebabnya, rerata kumulatif kehilangan CO2 dari OTI pada tanah berlempung Aeric Calciaquoll di Minnesota USA, mencapai 13,8 kali lebih besar daripada TOT. Penelitian lain di Arkansas, Amerika Serikat juga menunjukkan hasil serupa. Fluks gas CO2 pada pertanian OTI mencapai 37,6% lebih tinggi daripada TOT, dan pada perlakuan N rendah, emisi gas CO2 nya 6,1% lebih tinggi daripada perlakuan N tinggi (Brye, Longre dan Gbur, 2006). Dampak persiapan lahan dengan cara pembakaran bukan hanya bersifat lokal yaitu menurunnya kualitas tanah in situ, tetapi juga bersifat global yaitu tercemarnya udara ex situ oleh asap (Foto 12). Pembakaran lahan akan memproduksi asap tebal (haze) yang sebagian besar mengandung karbon berupa partikel-partikel karbon, CO2, CO dan partikel silica (Gardiner dan Miller, 2008; Tomich dkk., 2004). Berbeda dengan lahan gambut yang kehilangan karbonnya sebagian besar berasal dari bawah tanah (gambut), di lahan mi足 neral (lahan kering) justru sebagian besar berasal dari biomassa di atas tanah. Tingginya kehilangan karbon akibat kebakaran ini menguras cadangan karbon dalam tanah.
17
Ancaman terhadap Ketahanan Pangan Apabila kualitas sumberdaya pertanian terus menurun, maka pertanian (dalam arti luas) tersebut tidak dapat menjamin kehidupan generasi esok karena tidak mampu lagi berproduksi secara optimal dan tidak mampu meningkatkan pendapatan petani. Atau dengan perkataan lain, apabila kerusakan sumberdaya lahan dan sumberdaya alam dapat pulih lainnya terus berlangsung, dikhawatirkan ketersediaan pangan dan kebutuhan hidup manusia akan merosot tajam yang akhirnya akan berakibat pada meningkatnya kepanikan global (Japan Close Up, 2001). Hal ini berarti degradasi lahan akan mengancam ketahanan pangan dan kehidupan manusia.
Muhajir Utomo
PERTANIAN LAHAN KERING DAN DEGRADASI LINGKUNGAN
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Atas dasar ini perlu dipertimbangkan skenario pengelolaan pertanian lahan kering berkelanjutan, yang bukan hanya mampu meningkatkan kualitas tanah in situ, meningkatkan kualitas lingkungan ex situ dan meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagai best practices, tanam足 an pangan TOT diharapkan mampu meningkatkan produksi tanaman pang足 an, kualitas lingkungan dan kesejahteraan petani lahan kering sekaligus.
18
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING Sumberdaya lahan kering merupakan sumberdaya alam dapat pulih, tetapi pemulihannya memerlukan waktu lama dan biaya besar. Oleh karena itu, sebelum terjadi degradasi lahan perlu pengelolaan lahan secara berkelanjutan. Bahasan berikut dikembangkan dari skenario pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan seperti yang sudah dibahas oleh Utomo (2000), deng足an tahapan seperti pada Gambar 1. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan (sustainable upland management) adalah sistem pengelolaan lahan yang bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki kualitas lahan kering agar mampu mendukung pembangunan pertanian secara berkelanjutan. Dengan perkataan lain, pengelolaan lahan kering berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (misal足nya pangan, sandang dan kebutuhan hidup lainnya) secara berkelanjut足 an (untuk generasi kini dan esok) dengan tanpa menurunkan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri (tidak terdegradasi) dan tidak mencemari lingkung足 an (pencemaran air dan udara). Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Penggunaan Lahan Berkelanjutan
Kualitas Tanah
Gambar 1. Skenario pengelolaan lahan kering berkelanjutan (ISCO, 1996, dimodifikasi)
19
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Lebih lanjut, menurut Dumanski (2001) pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada dasarnya mempunyai lima tujuan pokok yaitu: (1) meningkatkan produktivitas lahan (productivity); (2) mengurangi resiko kegagalan (stability atau security); (3) melindungi potensi sumberdaya alam dan mencegah degradasi tanah dan air (protection atau conservation); (4) meningkatkan pendapatan (viability); dan (5) memenuhi kebutuhan sosial (acceptability). Peningkatan Kualitas Tanah Dalam pengelolaan lahan kering berkelanjutan tersebut, kegiatan awal yang harus dilakukan adalah bagaimana kualitas tanah (soil health atau soil quality) dapat diperbaiki, sehingga produktivitasnya dapat ditingkatkan. Kualitas tanah merupakan sifat tanah yang menggambarkan tanah tersebut sehat, mempunyai sifat tanah yang baik dan produktivitasnya tinggi. Indikator kualitas tanah disajikan pada Tabel 1. Tanah berkualitas tinggi berarti tanah tersebut mempunyai kemampuan tinggi dalam menyediakan hara, air dan udara tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan, dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap pengaruh degradasi tanah.
Sumber: Utomo (2000a)
Kegiatan penting dalam tahapan ini adalah pengelolaan tanah berkelanjutan yang meliputi kegiatan konservasi dan pemugaran tanah dan air dengan teknik-teknik konservasi dan ameliorasi tanah. Beberapa contoh teknologi pada tahapan ini antara lain olah tanah konservasi, teras gulud, pengapuran optimum, pemupukan berkelanjutan (organik dan anorganik), tanaman pe-
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel 1. Indikator penting kualitas tanah pengelolaan lahan kering berkelanjutan
20
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
nutup tanah dan teknik konservasi vegetatif. Indikator penting dalam tahapan ini adalah meningkatnya kesuburan dan produktivitas tanah akibat penerapan teknologi pengelolaan lahan berkelanjutan (Tabel 2). Sebagai indikator kualitas tanah (Tabel 1), bahan organik tanah dalam pengelolaan tanah berkelanjutan merupakan kunci, karena dapat meningkatkan ketersediaan hara dan air tanah. Oleh karena itu, strategi paling mudah dalam meningkatkan kualitas tanah adalah dengan meningkatkan bahan organik tanah (BOT). Walaupun tidak secara langsung dibutuhkan tanaman, tetapi BOT berperan penting dalam mengatur perilaku fisiko-kimia dan biologi tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Selain itu, bahan organik merupakan subtrat penting biota tanah dalam proses biologi tanah yang menghasilkan layanan ekosistem biodiversitas tanah (Woomer dan Swift, 1994; Coleman dkk., 2004; Paul, 2007). Peran aktivitas fauna tanah dalam proses mineralisasi BOT dan proses pembentukan agregasi tanah menjadi sangat penting, karena berkaitan dengan ketersediaan unsur hara dan pencegahan erosi oleh air. Walaupun mengganggu ketersediaan N, tetapi proses imobilisasi oleh mikroorganisme juga bermanfaat karena dapat menekan pencucian hara. Reaksi BOT dengan bahan kimia fitotoksik dapat mengurangi tingkat keracunan dalam tanah. Selain itu, proses transformasi dan dekomposisi pestisida dalam tanah oleh mikroorganisme tanah dapat juga mencegah akumulasi keracunan tanah (Woomer dan Swift, 1994). Peningkatan kualitas tanah akibat peningkatan BOT tersebut akan berdampak pada peningkatan produktivitas tanah, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan ketahanan pangan (Utomo, dkk., 2009).
21
Muhajir Utomo
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Sumber: Doran, dkk., (1999); Utomo (2000); OTK= olah tanah konservasi (ter masuk TOT); OTI = olah tanah intensif
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel 2. Pengaruh teknologi pengelolaan lahan kering berkelanjutan terhadap indikator kualitas tanah, air dan udara
22
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
23
Muhajir Utomo
Jika dikelola secara berkelanjutan, pertanian lahan kering juga mempunyai potensi besar dalam menyimpan karbon dalam tanah (sink), melebihi kehilangan karbon melalui emisi (Ball dan Pretty, 2002). Penyerapan karbon (C sequestration) oleh tanah merupakan hal penting karena berperan dalam peningkatan kesuburan tanah dan pengurangan akumulasi karbon di atmosfir (FAO, 2007). Secara akumulatif sumberdaya tanah merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan, yaitu sekitar 1500 Pg dan berperan penting dalam siklus karbon global (Melfi. 2005). Penyerapan karbon oleh tanah merupakan salah satu cara untuk mengurangi akumulasi karbon di atmosfir. Permukaan tanah bumi dengan kedalaman 30 cm saja mengandung sekitar 800 giga ton karbon, masih lebih tinggi dari karbon di atmosfir yaitu sebesar 730 gigaton, dan vegetasi di permukaan bumi sebesar 470-655 gigaton (Melfi, 2005). Dengan demikian peran sumberdaya tanah dalam menyimpan karbon di sektor pertanian tanaman pangan menjadi sangat strategis. Sektor pertanian yang mempunyai potensi dalam menyerap karbon (Csink) dalam tanah dan dapat mengurangi emisi karbon adalah sektor pertanian yang menerapkan manajemen lahan berkelanjutan. Beberapa contoh manajemen lahan berkelanjutan yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya lahan antara lain pemulsaan, OTK, wanatani, rotasi tanaman (serealia dan leguminosa) dan pembenaman hijauan penutup tanah (Tabel 2). Menurut Ball dan Pretty (2002), terdapat tiga mekanisme sistem pertanian dalam menyerap karbon, yaitu (a) meningkatkan penyerapan karbon dalam bahan organik tanah dan biomasa di atas tanah, (b) mengurangi penggunaan energi langsung maupun tidak langsung untuk menghindari emisi gas rumah kaca, dan (c) meningkatkan produksi energi tebarukan untuk menghindari emisi karbon. Sebagai salah satu praktek pengelolaan pertanian berkelanjutan, budidaya pertanian TOT dan OTK pada umumnya mempunyai potensi besar dalam peningkatan penyerapan karbon tersebut (Lal, 2006; USDE, 2005). Dalam dokumen Protokol Kyoto tahun 1997 juga menyebutkan bahwa, walaupun pertanian tanaman pangan mempunyai keterbatasan dalam menyerap karbon karena siklus panennya singkat dan produksi biomasanya lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan, tetapi sektor ini mempunyai peran besar dalam menyerap karbon jika diikuti dengan manajemen lahan yang dapat meningkatkan karbon dalam tanah seperti pada pertanian OTK (Sedjo, dkk., 1998).
Muhajir Utomo
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Setelah kualitas tanah ditingkatkan, kegiatan berikutnya adalah pengelola足 an lahan secara berkelanjutan (sustainable land management). Dalam tahapan ini, teknik pemugaran tanah sudah berinteraksi secara sinergis dengan teknik pengelolaan air, pengelolaan tanaman pengelolaan ternak, perilaku (sikap) petani dan kebijakan pemerintah. Pengelolaan air untuk pertanian lahan kering sangat penting, karena dapat meningkatkan produktivitas tanah secara signifikan dan berkelanjutan. Tujuan pengelolaan air di lahan kering bukan hanya mengawetkan air tanah saja, tetapi juga bagaimana memanen, meng足 airi dan mendistribusikannya ke lahan pertanian. Penge-lolaan tanaman dan ternak harus diawali dengan pemilihan komoditi yang mempunyai prospek pasar dan cocok untuk kawasan tertentu, serta dikelola dengan sistem pertanian berkelanjutan (SPB). Pola tanam berbasis SPB di lahan kering antara lain pergiliran tanaman, tanaman sela, tumpangsari (multiple cropping), dan wanatani (agroforestry). Pengelolaan lahan untuk peternakan berbasis pertanian berkelanjutan antara lain dengan sylvo-pastoral agroforestry. Sinergisme antara pola tanam berkelanjutan dengan teknik-teknik konservasi akan meningkatkan efisiensi proses produksi sekaligus melestarikan sumberdaya lingkungan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Walaupun pertanian tanaman pangan mempunyai keterbatasan dalam menyerap karbon karena siklus panennya singkat dan produksi biomassa足 nya lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem hutan, tetapi sektor ini jika diikuti dengan manajemen lahan berkelanjutan dapat meningkatkan karbon tersimpan dalam tanah (Rastogi dkk., 2002). Teknologi TOT adalah champion dalam meningkatkan karbon dalam tanah pertanian tanaman pangan, karena dalam persiapan lahannya TOT mensyaratkan penggunaan residu tanaman minimal 30% dan menghindari adanya manipulasi tanah permukaan. Residu tanaman merupakan prekusor utama bahan organik tanah (Utomo, 2004). Teknologi TOT mampu meningkatkan penyerapan karbon dengan cara (a) mengurangi manipulasi permukaan tanah sehingga dapat mengurangi emisi gas CO2, dan (b) menggunakan residu tanaman sebagai mulsa pada permukaan tanah sehingga dapat mengurangi erosi tanah dan menambah karbon tersimpan dalam tanah. Dalam jangka panjang, TOT tanaman pangan merupakan best practice yang dapat mengurangi emisi gas CO2 sekaligus meningkatkan bahan organik tanah (soil C sequestration).
24
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Muhajir Utomo
Batasan SPB sendiri sangat beragam dan dinamis, tetapi benang merah yang menjadi dasar adalah bahwa (1) pertanian (dalam arti luas: termasuk pertanian pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan) harus lebih produktif dan efisien, (2) proses biologi in situ harus lebih berperan, dan (3) daur ulang hara internal lebih diprioritaskan. Atas dasar ini, Technical Advisory Committee (TAC) dan FAO mendifinisikan Sistem Pertanian Berkelanjut足 an (SPB) sebagai sistem pertanian yang mengandalkan manajemen sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa menurunkan mutu lingkungan dan mutu sumberdaya alam. Atau dengan perkataan lain, SPB mampu menghasilkan produksi dan pendapatan petani saat ini, sementara mutu sumberdaya yang digunakan untuk berproduksi tersebut tetap dapat dilestarikan untuk diberdayakan oleh generasi berikutnya. Selain itu, SPB Produksi , pendapatan, pemerataan
Ekonomi
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Ketahanan pangan, kebutuhan lokal, lapangan kerja
25
Sosial
Lingkungan
Kelestarian SDA, stabilitas ekosistem
Gambar 2. Peran pengelolaan lahan kering berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan lingkungan (Altieri, 1995, dimodifikasi)
merupakan payung semua teknologi yang layak secara lingkungan, teknis, ekonomi dan sosial budaya (Gambar 2). Di tingkat wilayah, SPB berinteraksi dengan komponen pembangunan lainnya atau dengan sektor lainnya, sehingga SPB menjadi subsistem dari pembangunan pertanian berkelanjutan atau dalam sistem yang lebih luas lagi yaitu pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pada tahapan terakhir ini sudah terjadi interaksi kegiatan lintas sektor, lintas komoditi dan lintas wilayah yang saling mendukung, sehingga akan menghasilkan suatu pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan perbaikan lingkungan global. Visi setiap pembanguan suatu sektor, atau ko-
Muhajir Utomo
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Petani Sebagai Motor Penggerak Pada skenario di tingkat lapang, petani harus menjadi motor penggerak pengelolaan lahan berkelanjutan. Pandangan petani terhadap sumberdaya lahan harus berubah dari pandangan yang menganggap bahwa lahan merupakan sumberdaya yang dapat ditambang terus-menerus tanpa habis, menjadi sumberdaya yang kemampuannya dalam mendukung pertumbuhan tanaman sangat terbatas. Lahan dapat dianggap sebagai bank atau depositonya petani yang kalau uangnya diambil terus tanpa pernah menambahnya, maka depositonya akan habis. Sebaliknya kalau petani selalu menyimpan kembali uangnya ke bank, maka depositonya akan bertambah dan masa depan petani akan terjamin. Selain itu, tanah harus juga dianggap sebagai titipan anak-cucu yang harus dilindungi jangan sampai terdegradasi. Kebijakan pemerintah mengenai subsidi berupa infrastruktur yang menunjang SPB, insentif pajak tanah lebih rendah bagi lahan SPB dan insentif harga yang lebih tinggi bagi produk SPB merupakan contoh kebijakan yang dapat mendukung penerapan SPB. Teknologi pemugaran tanah yang mendukung SPB pada tahapan ini minimal harus mempunyai kinerja sosial ekonomi menguntungkan dan berwawasan lingkungan (Gambar 2). Program di lapang pada tahapan ini adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran petani untuk mengelola lahannya dalam rangka mening-katkan kesejahteraan mereka dan kelestarian lingkungan. Program Penglolaan Lahan Berkelanjutan (landcare, land husbandary) dapat menjadi kegiatan strategis di setiap kabupaten. Prasyarat Keberhasilan Skenario Agar pengelolaan lahan berkelanjutan dapat diterapkan oleh masyarakat dengan baik diperlukan prasyarat sebagai berikut (Bennet, 1994; dan Utomo, 2000a):
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
moditi atau wilayah (daerah aliran sungai atau wilayah administrasi) juga harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan sendiri diturunkan dari konsep dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu kebutuhan hidup manusia saat ini dapat dipenuhi dengan tanpa mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup generasi berikutnya. Artinya, sebagai subsistem, pembangunan pertanian berkelanjutan harus mampu memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara sinergis dengan subsistem pembangunan berkelanjutan lainnya.
26
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
Muhajir Utomo
1. Stabilitas Politik, Sosial dan Ekonomi Laju pertumbuhan penduduk dan tekanan ekonomi yang tinggi pada kondisi politik, sosial yang labil akan memacu degradasi lingkungan. Pada kondisi seperti ini pemerintah dan rakyat lebih memikirkan kebutuhan ekonomi dan politik dari pada kelestarian lingkungan. Makin meningkatnya degradasi lahan pada era otonomi daerah saat ini merupakan contoh faktual sulitnya penerapan sistem pengelolaan lahan berkelanjutan pada kondisi sosial, ekonomi dan politik yang labil. Tanpa adanya kedamaian dan stabilitas sosial politik akan sulit menerapkan sistem pengembangan lahan berkelanjutan di tingkat petani.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
2. Ketersediaan Teknologi Berkelanjutan Untuk memperoleh teknologi berkelanjutan, diperlukan pendekatan interdisplin untuk mengidentifikasi prioritas penelitian dan uji coba teknologi yang mampu menjawab permasalahan lahan kering secara komprehensif. Universitas dan Litbang perlu memfokuskan penelitiannya pada penemuan teknologi yang mempunyai kemampuan meningkatkan produktivitas lahan, pendapatan petani, melestarikan lingkungan dan diterima masyarakat. Penelitian untuk menghasilkan teknologi pengelolaan lahan kering berkelajutan harus dimulai dari keinginan dan permasalahan petani, bukan keinginan peneliti. Dukungan dana penelitian baik dari pemerintah maupun swasta perlu ditingkatkan.
27
3. Komitmen dan Dukungan Rakyat Partisipasi dan kesadaran semua pihak akan pentingnya pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan untuk mendukung kehidupan bersama generasi kini dan esok perlu terus ditingkatkan. Sumberdaya lahan merupakan aset petani yang perlu dijaga jangan sampai dieksploitasi sehingga daya dukungnya dapat dipertahankan. Komitmen petani terhadap terhadap konservasi lahan biasanya dimulai dari apakah usaha taninya produktif dan menguntungkan atau tidak. Keterlibatan semua stakesholders, para peneliti berbagai bidang, para politisi, pejabat pemerintah, pedagang, para petani sampai masyarakat lokal lainnya sangat diperlukan. 4. Dukungan Kebijakan Pembangunan Kebijakan pembangunan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus berpihak pada pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
Muhajir Utomo
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING
berkelanjutan harus berbasis ilmu pengetahuan, infrastruktur harus efisien, dan kelembagaan harus terkoordinasi dan kuat. Sampai saat ini masih sangat sedikit kebijakan pembangunan yang secara langsung mendukung penerapan pembangunan pertanian berkelanjutan. 5. Pengembangan Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia dalam hal ini petani dan pelaku pengelola lahan berkelanjutan lainnya merupakan modal paling penting dan menentukan keberhasilan penerapan sistem pengelolaan lahan berkelanjutan. Oleh karena itu peningkatan pengetahuan dan keterampilan mereka perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
6. Keadilan dan Pemerataan Interaksi antara kemiskinan dan degradasi lingkungan sangat rumit. Kemiskinan dapat sebagai penyebab maupun dampak dari degradasi lingkungan. Suatu sistem pengelolaan lahan berkelanjutan biasanya didasarkan pada terpenuhinya sasaran ekonomi, lingkungan dan sosial (Gambar 2). Pada tataran pelaksanaan, sistem ini dipengaruhi oleh sikap sosial, mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, adanya insentif bagi masyarakat yang menerapkan sistem ini dan sanksi bagi mereka yang tidak menerapkannya akan mentukan keberhasilan penerapan skenario pengelolaan lahan kering berkelanjutan.
28
APA ITU TANPA OLAH TANAH? Mengapa Harus Membajak? Bagi tanaman, sumberdaya tanah bukan hanya tempat untuk berjangkar, tetapi juga sebagai media untuk tumbuh, pensuplai air, pendaur hara, habitat mahluk hidup dalam tanah, dan pengendali kualitas atmosfer (Brady dan Weil, 2008). Bahasan berikut merupakan pengembangan bahan kuliah olah tanah konservasi (OTK) yang ditulis oleh Utomo (2006). Di kawasan ekosistem hutan tropis alami (yang tidak terganggu), walaupun tanahnya tidak pernah dipupuk, tidak pernah diberi air irigasi dan tidak pernah dibajak, tetapi ternyata biji-biji pepohonan hutan dan tumbuhan lainnya dapat berkecambah sendiri dan tumbuh subur menjadi hutan tropis sampai kini. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tanah hutan tropis alami ternyata mempunyai keseimbangan ekosistem ideal. Tanah hutan tropis menyimpan cukup air, udara dan hara yang seimbang untuk mendukung kehidupan di ekosistem hutan alam tropis secara berkelanjutan. Tanah hutan ternyata mengandung serasah sepanjang tahun yang mampu mengatur tata mikroklimat tanah untuk mendukung kehidupan biota tanah hutan.
Foto 13. Serasah merupakan sumberdaya penting dalam layanan ekosistem tanah
Utomo, 2010
29
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Cacing tanah dan biota tanah lainnya (soil biodiversity) bahu membahu mengolah tanah secara biologis (biological tillage), merombak serasah menjadi bahan organik tanah, mendaur hara secara berkelanjutan, mengatur tata air dan udara tanah hutan (Foto 14 dan 15). Dengan demikian walaupun tidak pernah dilakukan pengolahan tanah selama ratusan bahkan ribuan tahun, biji-biji pohon hutan, rerumputan dan semak bisa tumbuh dan bertahan sampai kini! Kata kuncinya adalah hutan tropik mempunyai kesimbangan ekosistem yang ideal. Akan tetapi ketika hutan dikonversi menjadi lahan pertanian tradisional, maka ketidak seimbangan lingkungan itu mulai terjadi. Pada awalnya nenek moyang kita dahulu dalam memanfaatkan hutan untuk pertanian tradisional biasanya dengan cara menebang hutan atau menebas belukar, kemudian sisa cabang dan dedaunan disingkirkan atau dibakar (slash and burn). Saat itu para petani ladang berpindah tidak pernah melakukan pembajakan. Setelah lahan relatif bersih tanpa serasah, lahan langsung ditugal dan benih tanaman pangan (padi gogo, jagung atau kacang-kacangan) bisa ditanam. Ternyata dengan cara tradisional benih-benih tersebut untuk beberapa tahun tetap tumbuh subur dan bisa berproduksi dengan baik. Sekali lagi walaupun tanahnya tidak diolah, tetapi karena bahan organik dan tanahnya masih subur, serta kelembaban tanahnya masih optimum, maka pertumbuhan benih dan produksi tanaman masih baik. Namun setelah beberapa tahun kemudian, produksi mulai menurun karena tanahnya tererosi sehingga tanahnya mulai memadat dan menjadi tidak subur, dan pertumbuhan gulma dan semak belukar makin meningkat. Walaupun kemudian sudah dilakukan pengolahan tanah minimum, namun tetap saja produksi tanaman menurun dan sulit untuk memenuhi pangan keluarga. Model pertanian tersebut sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan petani. Dengan makin meningkatnya kebutuhan pangan karena meningkatnya jumlah penduduk dan sulitnya dalam mendapatkan tenaga kerja untuk proses produksi, mulailah masuk paradigma olah tanah intensif (OTI). Pada sistem OTI permukaan tanah harus bersih dan gembur dengan cara dibajak beberapa kali baik dengan menggunakan alat tradisional cangkul maupun dengan bajak singkal. Bahkan demi efisiensi sisa-sisa tanaman pun perlu dibakar atau dibuang. Perkembangan OTI sangat pesat terjadi ketika era revolusi hijau melanda dunia. Memang pada mulanya dampak OTI sangat positif dalam meningkatkan produksi pertanian. Namun di daerah tropika seperti Indonesia, pengolahan tanah secara berlebihan dan terus menerus justru akan memacu erosi tanah dan emisi gas CO2 secara signifikan. Selain itu, OTI jangka panjang juga memacu pemadatan tanah (soil compaction) pada lapisan dalam tanah (sub soil). Pengalaman lapang di perkebunan besar
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
30
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Muhajir Utomo
Utomo, 2012
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Foto 14. Di ekosistem hutan, biji bisa tumbuh subur walau tanahnya tidak diolah
31
di Lampung menunjukkan bahwa setelah 20 tahun lebih ternyata pengolahan tanah intensif deng足an alat-alat berat telah menimbulkan permasalahan menurunnya produksi perkebun足an besar yang serius akibat pemadatan tanah pada lapisan sekitar 40 cm di bawah permukaan tanah. Meningkatnya lahan-lahan kritis di da足e足rah tropika basah juga merupakan bukti dahsyatnya dampak OTI terhadap degradasi lingkungan. Dari aspek sosial ekonomi, OTI juga menjadi beban yang semakin berat. Sistem OTI memerlukan tenaga kerja lebih besar dan memerlukan waktu persiapan lahan lebih lama. Kurang lebih sepertiga biaya produksi dan seperempat dari musim tanam habis untuk mengolah tanah. Membajak dan mencangkul adalah pekerjaan budidaya pertanian yang berat, melelahkan dan terkesan kotor. Inilah salah satu yang menyebabkan mengapa pada dekade terakhir ini pertanian di perdesaan banyak ditinggalkan kaum muda (Utomo, 2004). Dari sisnilah masuknya konsep tanpa olah tanah (TOT). Meningkatnya penerapan TOT dekade ini merupakan bentuk koreksi terhadap dampak negatif sistem OTI. Sistem TOT pada dasarnya merupakan modifikasi pengolahan tanah secara biologis dalam ekosistem hutan yang disesuaikan dengan ekosistem pertanian. Sistem TOT sejatinya tidak mengubah tujuan dasar penyiapan lahan pertanian itu sendiri, yang berubah hanya frekuensi pengolahan tanahnya. Dengan mengurangi frekuensi olah tanahnya, maka tujuan jangka panjang TOT bukan hanya menyiapkan lahan agar benih dapat tumbuh dengan baik, tetapi juga menyiapkan lahan agar berproduksi optimum dengan tanpa mengurangi kualitas sumberdaya lahannya (Foto 16 dan 17). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem TOT pada dasarnya merupakan bagian dari siklus evolusi sistem olah tanah menuju pembangunan pertanian berkelanjutan (Derpsch, R. 1999; Utomo, 2004; Triplett and Dick, 2008).
Muhajir Utomo
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Pengertian Pengertian sistem tanpa olah tanah (TOT) adalah suatu sistem olah tanah yang bertujuan untuk menyiapkan lahan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimum, dengan tetap memperhatikan konservasi tanah dan air. Teknologi tanpa olah tanah (TOT) merupakan rumpun teknologi olah tanah konservasi (OTK) paling eks足 trim. Seperti pada sistem OTK, di samping kelayakan fisik seperti persyaratan mulsa
Foto 15. Pada TOT tidak ada manipulasi tanah kecuali lubang benih di antara mulsa
Foto 16. Jagung tanpa olah tanah tumbuh segar alami: Jika dengan tanpa mengolah tanah biji jagung bisa tumbuh dan berproduksi optimum, pertanyaannya mengapa kita harus membajak?
Utomo, 2009
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 2010
32
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
di permukaan lahan lebih dari 30% (Lal, 1989), kelayakan sosial ekonomi juga harus dipertimbangkan (Utomo, 1990). Permukaan tanah pada sistem TOT dibiarkan tidak terganggu kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk penempatan benih. Sebelum tanam, gulma dikendalikan dengan herbisida layak lingkungan, yaitu yang mudah terdekomposisi dan tidak me足 nimbulkan kerusakan tanah dan sumberdaya lingkungan lainnya. Seperti teknologi OTK lainnya, sisa tanaman musim sebelumnya dan gulma yang mati digunakan sebagai mulsa untuk menutupi permukan lahan (Utomo,1990). Pada budidaya TOT, residu tanaman sebagai mulsa mempunyai fungsi ekosistem sangat penting. Dengan adanya mulsa in situ, (a) aliran permukaan dan erosi tanah dapat ditekan, (b) siklus hara dapat ditingkatkan, (c) keanekaragaman hayati tanah dapat ditingkatkan, (d) ketersediaan air dapat ditingkatkan, (e) agregasi tanah da-
33
Utomo, 2009
Foto 17. Kontras tanpa olah tanah dan olah tanah intensif pat ditingkatkan, (f) dan penyimpanan karbon tanah dapat ditingkatkan (Lal, 1997; Utomo, 2004). Dengan adanya fungsi ekosistem residu tanaman tersebut, kesehatan tanah TOT dapat ditingkatkan (Foto 18 dan 19). Di tingkat petani, konsep TOT berkembang sesuai dengan kemampuan dan kondisi lokal petani. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa TOT menurut pengertian petani pada dasarnya adalah olah tanah minimum (OTM). Pada teknologi olah tanah minimum (OTM), tanah diolah seperlunya (ringan) saja. Apabila partumbuhan
Muhajir Utomo
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
gulma tidak begitu banyak, pengendaliannya dilakukan secara manual (dibesik) saja, tetapi jika kurang berhasil, pengendaliannya dapat dilakukan dengan menggunakan herbisida layak lingkungan. Mulsa gulma atau tanaman sebelumnya juga diperlukan untuk menutupi permukaan lahan. Dengan memanfaatkan residu tanaman dan tanpa adanya manipulasi mekanis permukaan tanah yang berlebihan, pertanian TOT dapat meningkatkan bahan organik dan kesuburan tanahnya terutama pada permukaan lahan (Foto 19). Meningkatnya kesuburan tanah ini pada akhirnya akan me足ningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan
Foto 18. Mulsa residu tanaman akan memugar kesehatan tanah TOT
Foto 19. Bahan organik terlihat pada lapisan olah tanah TOT setelah 23 tahun
Utomo, 2010
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 2010
34
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Muhajir Utomo
petani. Selain itu, TOT juga dapat membantu mengurangi pemanasan global melalui penyimpanan C dalam tanah (Foto 20) dan pengurangan emisi CO2 (Tjitrosemito, 2005; Lal, 2006; Utomo, dkk., 2009; Utomo., dkk., 2010a).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Kelayakan Tanah dan Tanaman
35
Kelayakan tanah Seperti juga teknologi lainnya, tidak semua tanah dan tanaman cocok untuk pengembangan teknologi TOT. Tidak seperti OTK lainnya, TOT lebih sensitif terhadap sifat-sifat tanah tertentu. Sifat-sifat tanah penting yang menentukan keberhasilan teknologi ini antara lain adalah drainase tanah, topografi, ketebalan dan tekstur tanah seperti yang diuraikan berikut ini (Utomo, 1995; Lal,1989; Utomo, 2000b; Utomo, 2004): Kondisi drainase tanah merupakan sifat pertama yang harus diperhatikan karena sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman TOT lahan kering. Tidak seperti TOT lahan sawah yang justru memerlukan tanah yang berdrainase buruk, TOT pertanian lahan kering akan berhasil baik jika diterapkan pada tanah yang berdrainase baik. Pada tanah berdrainase kurang baik sampai buruk, produksi tanaman TOT pertanian lahan kering akan lebih rendah daripada produksi pertanian OTI. Hal ini karena dengan adanya mulsa dan sedikitnya manipulasi permukaan tanah kelembaban tanah akan meningkat sehingga akan memperburuk drainase tanah. Akibatnya respirasi akar tanaman akan terganggu. Jika akan menerapkan TOT pada tanah yang berdrainase buruk, sistem drainasenya harus diperbaiki dulu. Dengan memperbaiki sistem drainase tanahnya, kelebihan air akan berkurang dan peredaran udara tanah akan meningkat, sehingga perkembangan akar tanaman akan berkembang dengan baik. Sifat tanah penting berikutnya adalah topografi. Budidaya tanaman pangan TOT cocok pada tanah bergelombang sampai berbukit. Pada tanah datar TOT juga bisa berhasil asalkan tanahnya berdrainase baik. Pada lahan sawah musim gadu misalnya, TOT bisa berhasil baik jika drainasenya diperbaiki dahulu. Keunggulan TOT atas OTI pada tanah bergelombang sampai berbukit adalah kemampuannya dalam menekan erosi dibanding OTI. Seperti OTI, tanaman pangan OTK lahan kering akan berproduksi optimum pada tanah bersolum tebal (tidak bercadas/lapisan padat). Pada tanah bersolum tebal, akar tanaman TOT dengan tanpa hambatan mampu menyerap air dan hara dengan baik. Sifat tanah penting lainnya adalah tekstur tanah. Tekstur tanah ideal yang cocok untuk tanaman pangan TOT adalah tekstur lempung berpasir sampai lempung berliat. Pada
Muhajir Utomo
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Kelayakan tanaman Secara umum, tanaman yang ditanaman dengan biji dan bibit menunjukkan respons yang baik terhadap TOT. Dari hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa tanaman pangan yang cocok untuk budidaya TOT lahan kering adalah jagung, padi gogo, kedelai, kacang hijau dan kacang tunggak (Foto 20), sedangkan tanaman hortikultura antara lain semangka, cabai dan tomat. Hampir semua tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kopi, kapas dan tebu layak diterapkan dengan cara TOT. Sebaliknya karena memerlukan tanah yang gembur untuk perkembangan umbinya, tanaman umbi-umbian seperti kentang dan ubi jalar tidak responsif terhadap TOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ubi kayu masih bisa dibudidayakan dengan cara olah tanah minimum. Pada tanah bertekstur ringan beberapa penelitian menunjukkan respons yang baik untuk ubi kayu TOT (Lal,1989; Utomo, 1995; Utomo, 2000b; Utomo, 2004). Di samping kelayakan tanaman, TOT juga dapat bersinergi dengan pola tanam seperti pada pola tanaman sela, rotasi tanaman dan tumpang sari. Keuntungan TOT sebagai komponen dalam pola tanam tersebut antara lain kerusakan akar tanaman pokok dapat dikurangi, mulsa bisa dimanfaatkan dan efisiensi pemupukan dapat ditingkatkan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
tanah berliat, TOT kurang responsif dibanding jika diterapkan pada tanah bertekstur berpasir. Hal ini berkaitan dengan peredaran udara dan kemudahan cara penanaman benih sistem TOT. Pada tanah bertekstur liat di samping tanah akan mudah tergenang, juga sulit untuk penanaman benih karena permukaan tanahnya lebih padat. Oleh karena itu untuk tanah berliat lebih cocok untuk penerapan OTM daripada TOT. Dari hasil penelitian jangka panjang OTK pada tanah berliat di Lampung pada tahun ke-22 menunjukkan bahwa respons tanaman jagung OTM ternyata tertinggi dibandingkan sistem olah tanah lainnya. Permukaan tanah TOT setelah lebih 10 tahun umumnya memadat se足hingga produksinya biasanya menjadi lebih rendah daripada OTI, tetapi se足telah tanahnya diolah kembali maka produksi jagung TOT kembali akan lebih tinggi daripada OTI. Selain sifat-sifat tanah tersebut diatas, TOT juga dapat diterapkan pada tanah-tanah yang sudah terdegradasi (kurang subur), asalkan permukaan tanahnya tidak terlalu padat. Dengan kemampuannya dalam memugar kualitas tanah (sifat fisik, kimia dan biologi tanah), budidaya OTK dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan-lahan marjinal.
36
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Teknologi TOT yang merupakan bagian dari OTK ini, merupakan salah satu dari revolusi teknologi di sektor pertanian yang melanda dunia, dan dampaknya terhadap produktivitas, sosial-ekonomi dan lingkungan sa足ngat signifikan (Triplett dan Dick, 2008). Oleh karena kemampuannya dalam mengkonservasi tanah dan meningkatkan efisiensi, sejak 1990 OTK berkembang pesat di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Afrika. Sementara di Asia dan Eropa perkembangan OTK masih relatif lambat karena adanya sejarah panjang penerapan OTI. Akan tetapi, berdasarkan laporan Conference of the International Soil Tillage Research menunjukkan bahwa adopsi OTK di kawasan ini ternyata berkembang pesat (Derpsch, 1998; Triplett dan Dick, 2008).
37
Utomo, 1995, 2010
Foto 20. Contoh tanaman pangan yang respons terhadap TOT
Muhajir Utomo
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Di Indonesia sendiri, setelah sosialisi TOT melalui Seminar Nasional OTK secara periodik (sudah 8 kali), TOT mulai diadopsi petani dan diterima oleh para pengambil keputusan pada tahun 1990-an (Utomo, 2006). Teknologi TOT berkembang pesat terutama di wilayah-wilayah yang tenaga kerjanya masih kurang seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Di provinsi Lampung, TOT lahan kering berkembang pesat di kabupaten Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Pringsewu, Pesawaran, Mesuji, Tulang Bawabg Barat dan Tulang Bawang. Di pulau Jawa yang tenaga kerjanya cukup banyak, TOT justru berkembang untuk tanaman palawija pada ekosistem lahan sawah musim gadu (lahan kering semi permanen). Observasi lapang tahun 2010 di Lampung Timur menunjukkan bahwa saat ini sudah sangat sulit mencari pertanaman jagung yang masih dilakukan dengan cara olah tanah intensif. Dari hasil survey lapang menunjukkan bahwa ternyata sekarang sudah banyak model TOT yang dikembangkan petani pada berbagai komoditi tanaman pangan (Foto 22) dan perkebunan (karet dan kelapa sawit). Tetapi amat disayangkan, saat ini belum ada data resmi teantang luas dan sebaran TOT tanaman pangan di Indonesia.
38
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
APA ITU TANPA OLAH TANAH?
39
Muhajir Utomo
Utomo, 2009-2012
Foto 21. Berbagai model TOT yang berkembang di tingkat petani
Pengelolaan Residu Tanaman Berbeda dari sistem OTI yang tidak memerlukan residu tanaman, TOT justru menjadikan residu tanaman sebagai sumberdaya penting. Hal ini karena jika digunakan sebagai mulsa, residu tanaman mempunyai layanan ekosistem dalam meningkatkan kualitas tanah (Lal, 1997). Layanan ekosistem residu tanaman untuk pertanian lahan kering justru lebih luas dan berkelanjutan. Dari sinilah awal kegiatan yang menentukan berhasil atau tidaknya budidaya ini dalam meningkatkan konservasi tanah dan produktivitas lahan secara sekaligus. Sebagai mulsa, residu tanaman berperan penting dalam melindungi permukaan lahan dari benturan langsung butiran hujan dan sebagai prekusor bahan organik tanah. Secara umum residu tanaman dalam budidaya TOT berperan penting dalam pengurangan erosi, penyimpanan karbon tanah, peningkatan biodiversitas tanah, pendaur ulangan hara internal, penguatan agregasi tanah dan peningkatan konservasi air (Lal, 1997; Utomo, 2004). Kuantitas dan kualitas mulsa residu tanaman tersebut menentukan keberhasilan TOT. Untuk tujuan konservasi tanah dan air, persentase penutupan lahan minimal 30% dengan berat mulsa ideal 6-8 ton/ha. Jenis mulsa yang mempunyai nisbah C-N >30% lebih cocok karena dekomposisinya lebih lama (Foto 22). Sebaliknya, untuk tujuan penambahan karbon tanah tersimpan dan pendaur ulangan hara internal, kualitas mulsa ditentukan oleh nisbah C-N<30. Bahan residu tanaman dengan C-N tinggi dapat menekan erosi dan Foto 22. meningkatkan keterseResidu brangdiaan air tanah, tetapi kasan jagberpotensi dalam menung sebagai mulsa pada ingkatkan imobilsasi N kedelai TOT tanah. Sebaliknya residu tanam足an dengan C-N Utomo, 2010 rendah kurang berperan
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
40
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
41
Muhajir Utomo
dalam menekan erosi, tetapi dapat meningkatkan hara tanah khususnya N. Contoh mulsa ber C-N tinggi yang biasa digunakan untuk TOT adalah alang-alang, brangkasan jagung, berangkasan tebu dan jerami padi; sedangkan mulsa ber C-N rendah adalah kedelai, kacang hijau, kacang tunggak dan penutup tanah legum (Utomo, 2004). Data mulsa C-N tinggi yang dilaporkan oleh Winarno (1989) dan Utomo dkk. (2010a) adalah alang-alang (79), jerami padi (53) dan berangkasan jagung (80), sedang mulsa C-N rendah adalah Centrosema pubescences (15) dan kedelai (24). Dekomposisi alang-alang maupun berangkasan jagung setelah satu musim tanam rata-rata sebesar 65% (Utomo, dkk., 1989; Utomo dkk., 2011). Agar tidak terjadi persaingan dengan tanaman pokok dalam pemanfaatan hara dan air, maka gulma/ residu tanaman yang akan dijadikan mulsa harus sudah mati lebih dulu dan tidak boleh dibakar. Oleh karena itu, alang-alang dan rerumputan perlu disemprot dulu dengan herbisida layak lingkungan, tepat dosis dan tepat waktu, sedangkan untuk sisa-sisa tanaman seperti jerami padi, jagung dan kacang-kacang cukup direbahkan. Untuk pertanaman TOT pertama, mulsa yang biasanya digunakan gulma seperti alang-alang dan rerumputan, sedangkan untuk TOT tahun kedua dan seterusnya menggunakan mulsa tanaman sebelumnya seperti jerami padi, jagung, kacang-kacangan. Rotasi serealia-legum juga akan menghasilkan mulsa dengan kualitas yang baik dan sekaligus untuk mencegah hama penyakit yang terbawa mulsa tanaman sebelumnya. Untuk mempermudah penanaman benih, mulsa alang-alang dan jerami padi sebaiknya direbahkan dan mulsa jagung perlu dipotong-potong agar memudahkan penanaman. Setelah mulsa residu tanaman selesai dipersiapkan, penanaman benih bisa dilakukan. Penanaman benih dilakukan pada saat tanah agak lembab pada lubang tugalan atau alur kecil (slit) yang dilakukan dengan menggunakan tugal, bajak (kairan) maupun no-tillage planter. Jika mulsanya terlalu tebal, tugalan di buat di sela-sela mulsa, atau pada alur yang mulsanya sudah disibakkan lebih dahulu; sedangkan jika menggunakan no-tillage planter, mulsa tidak perlu disibakkan. Seperti pada olah tanah intensif, kedalaman benih lebih kurang 2-5 cm dengan jarak tanam sesuai dengan rekomendasi dan jenis tanaman. Jumlah benih perlubang tergantung dari jenis tanaman pangan dan varietasnya. Setelah penanaman, lubang tugalan yang sudah berisi benih segera ditutup kembali. Untuk penanaman bibit pada perkebunan/HTI, dilakukan dengan pembuatan lubang yang ukurannya sesuai dengan rekomendasi (Utomo, 2004; Utomo, 2006).
Muhajir Utomo
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Pengelolaan Tanah dan Hara Tanaman
Gambar 3 . Kekerasan tanah tiga sistem olah tanah setelah 23 tahun ; T1= Olah tanah intensif, T2=Olah tanah minimum, dan T3=Tanpa olah tanah (Utomo dkk., 201
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Pengelolaan Tanah Berdasarkan pengamatan penelitian jangka panjang ini, perubahan sifat-sifat tanah yang meningkat nyata dibanding data awal adalah kekerasan tanah dan keasaman tanah (Tabel 3 dan 4; Gambar 3). Peningkatan kekerasan permukaan tanah TOT ternyata lebih tinggi dibanding OTI. Hasil penelitian jangka panjang yang dilakukan sejak 1987 menunjukkan bahwa pada permukaan tanah 0-2,5 cm, kekerasan tanah TOT setelah 5-10 tahun lebih tinggi daripada OTI. Akan tetapi sebaliknya pada kedalaman lebih dari 50 cm, justru kekerasan tanah OTI lebih tinggi daripada TOT (Gambar 3).
42
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
43
Muhajir Utomo
Mengerasnya permukaan tanah TOT jangka panjang akan menyulitkan petani dalam menugal atau membuat kairan untuk penempatan benih. Namun demikian, akar tanaman jagung masih mampu menembus tanah tersebut dengan baik (Foto 23). Oleh karena itu, setelah permukaan tanah TOT mulai mengeras yang ditandai dengan mulai menurunnya produksi TOT, maka tanah TOT harus dibajak kembali. Siklus waktu pembajakan tergantung dari jenis tanah/tekstur tanah. Setelah tanah TOT diolah kembali, produksi TOT akan meningkat lebih tinggi dari biasanya (data tidak dipublikasikan). Hal ini karena pengolahan tanah kembali lahan TOT akan memacu mineralisasi bahan organik tanah dan akan melepas hara. Selain kekerasan tanah, pH tanah juga menjadi masalah untuk pertanian Foto 23. Walaulahan ke-ring di Indonesia. pun tanpa pemSeperti juga pada OTI, setbubunan akar elah 14 tahun perlakuan, jagung TOT kokoh pH tanah TOT apa lagi berjangkar di tanah yang dipupuk N menurun. Pada tahun 2001 (tahun keUtomo, 2009 14 percobaan), pH tanah menurun dari pHH2O 6,8 pada awal percobaan menurun menjadi pH 4,7 baik pada TOT maupun OTI yang dikombinasikan dengan perlakuan N tinggi (Tabel 3). Penurunan pH pada TOT dengan pemupukan N jangka panjang ternyata lebih tinggi dibanding tanpa pemu-pukan N. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemasaman tanah akibat pemberian Urea. Oleh karena itu, pada tahuun 2002 semua plot percobaan diberi kapur dengan dosis 4 ton ton CaCO3/ha. Rerata pH tanah TOT dengan N tinggi meningkat menjadi 6,2 setelah 2 tahun pengapuran (data tidak disajikan) tetapi turun kembali menjadi pH 5,8 setelah 9 tahun pengapuran (Utomo dkk.2010b; Tabel 4).
Muhajir Utomo
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Table 3. Perubahan sifat kimia tanah setelah 14 tahun perlakuan sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang
Kelembaban tanah merupakan sifat tanah penting pada pertanian lahan kering. Kebutuhan akan air bagi pertanian lahan kering ditentukan oleh air tersedia, yaitu kandungan air tanah antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Di sinilah peran mulsa dalam me足ningkatkan ketersedian air tanah, sehingga walaupun permukaan tanahnya mengeras, akar masih mampu menembus tanah. Mulsa berperan ganda, yaitu pada bulan-bulan kering mulsa berperan dalam meningkatkan air tersedia, sebaliknya pada bulan-bulan basah mulsa dapat mengurangi aliran permukaan/erosi tanah. Berbeda dari lahan kering, TOT di lahan sawah (lahan kering semi permanen) yang menjadi masalah justru kalau terjadi penggenangan. Oleh karena itu, untuk menghindari penggenangan perlu dibuat saluran drainase. Tidak seperti pada OTI, guludan untuk tanaman jagung tidak diperlukan, karena akar jagung TOT sudah cukup kuat berjangkar dalam tanah (Foto 23).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Sumber: Utomo dkk. (2010b)
44
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Muhajir Utomo
Table 4. Perubahan sifat kimia tanah setelah 23 tahun perlakuan sistem olah tanah dan pemupukan nitrogen jangka panjang
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Sumber Utomo dkk,. (2010a) *Pengapuran 4 ton CaCO3/ha pada tahun 2002
45
Pengelolaan Hara Karena adanya mulsa dan sediktinya manipulasi tanah, pengelolaan hara pada budidaya TOT berbeda dibanding budidaya OTI. Pada umumnya kesuburan tanah di lahan kering kahat hara terutama N, P dan K, dan mudah terdegradasi. Oleh karena itu, pengelolaan hara tanaman juga diperlukan khususnya hara N, P dan K. Adapun dosis dan cara pemupukan pada tanaman pangan atau tanaman perkebunan/HTI-TOT tergantung pada kondisi tanah setempat, jenis tanaman dan perilaku pupuknya (Tabel 5). Oleh karena pada budidaya TOT mulsa ditebar menutupi permuÂŹkaan tanah, maka potensi imobilisasi N akan relatif lebih tinggi, apalagi jika mulsanya bernisbah C-N tinggi (C/N>30). Imobilisasi N biasanya dimulai segera setelah pemupukan N (Utomo, dkk., 1989). Oleh karena itu, untuk mengurangi proses imobilisasi pupuk N, direkomendasikan agar pemberian pupuk N dilakukan dengan ditugal atau diberikan pada larikan di dekat larikan tanaman (Foto 25). Pemupukan N dengan cara disebar tidak dianjurkan dan sebaiknya diberikan minimal dua kali.
Muhajir Utomo
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Pengendalian organisme pengganggu tanaman meliputi upaya pengendalian gulma dan hama-penyakit. Seperti pada OTI, gulma pada budidaya TOT sebelum masa pematangan biji dapat menurunkan produksi tanaman, karena adanya per-saingan faktor tumbuh antara tanaman pokok dan gulma. Mulsa Utomo, 2010 sendiri bisa berperan sebagai pengendali gulma yang efek- Foto 25. Pengendalian gulma pada tif pada budidaya TOT. Makin pertanam足an jagung TOT dengan herbisida
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Untuk tanaman kedelai baru, inokulasi dengan Rhizobium (inokulan maupun tanah bekas kedelai) atau dengan pempukan 25 kg N/ha perlu dilakukan, sedangkan jika lahannya sudah pernah ditanami kedelai, inokulasi dan pemupukan N tidak diperlukan. Pengelolaan hara P dan K pada TOT sama dengan OTI, jadi tidak memerUtomo, 2009 lukan pengelolaan khusus, Foto 24. Pemupukan dengan cara larikan di dekat namun perlu memperhati- baris足an tanaman TOT kan perilaku dan sifat sifat pupuk P dan K (Tabel 5). Pada tanah-tanah asam yang kahat P, pemupukan P dengan batuan fosfat dianjurkan daripada memupuk dengan SP36 dan mengapur denga CaCO3 (Utomo, 2004).
46
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Muhajir Utomo
Tabel 5. Perilaku pupuk dalam tanah dan metode peningkatan efisiensi pemupukan pada budidaya TOT
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Sumber: Utomo (2004)
47
sempurna penutupan mulsa (100%), makin efektif pengendalian gulmanya. Namun demikian, jika masih ada gulma yang tumbuh maka perlu dikendalikan secara manual maupun dengan herbiÂŹsida selektif dan ramah lingkungan (Foto 25). Setelah fase pertumbuhan generatif, gulma yang masih tumbuh tidak perlu dikendalikan karena dapat diman-faatkan sebagai mulsa tanaman berikutnya. Dari pengamatan TOT jangka panjang selama 22 tahun, ternyata gulma yang dominan berubah dari alang-alang (1987, saat percobaan ini dimulai), berubah menjadi campuran gulma graminae dan daun lebar. Pada TOT jangka panjang (setelah 22 tahun) gulma yang dijumpai minimal ada 9 jenis gulma (Foto 26).
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Alang-alang (Imperata cylindrica)
Kentangan (Borreria alata)
King grass (Setaria spc)
Babandotan (Ageratum conyzoides)
Putri malu (Mimosa pudica)
Asistasia (Asystasia gangetica)
Mantangan (Ipomoea triloba)
Daun bergigi (Hyptis spc)
Kate mas (Euphorbia gemiculata)
Foto 26. Berbagai macam gulma pada pertanaman jagung dan kedelai TOT jangka panjang (Foto: Utomo, 2009-2011) Seperti gulma, hama dan penyakit pada budidaya TOT juga dapat menu-runkan produksi secara signifikan. Jenis hama dan penyakit pada TOT tidak banyak berbeda dari OTI. Oleh karena itu, pengendalian hama dan penyakit dilakukan seperti pada pertanaman OTI. Pebedaannya hanya pada makin banyaknya serangan hama tikus di
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
48
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
pertanian TOT. Hal ini karena adanya mulsa akan merangsang tikus untuk berkembang. Akan tetapi, dengan mengatur pola tanam tanaman biji-bijian dan leguminosa dan mengatur waktu tanam, serangan tikus dan hama-penyakit lainnya dapat ditekan. Sebagai contoh, untuk menghindari seranagan bulai, penanaman jagung sebaiknya pada awal musim hujan. Penanaman jagung yang terlambat biasanya sering terkena bulai. Jika dengan pola tanam dan waktu tanam, hama dan penyakit masih timbul, maka pengendaliannya dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida/fungisida yang ramah lingkungan. Dosis dan cara pengendaliannya harus memperhatikan aspek lingkungan. Sebagai contoh, dengan Zinc Phosphite hama tikus bisa ditekan (Foto 27).
49
Foto 27. Pengendalian hama tikus dominan di kedelai TOT Utomo, 2010
PEMUGARAN KESUBURAN TANAH
Sifat Fisik Tanah Keunggulan sistem olah tanah konservasi (OTK) khususnya tanpa olah tanah (TOT) atas olah tanah intensif (OTI) terutaÂŹma dalam hal konservasi air. Pengamatan tahun ke-8 menunjukkan bahwa kelembaban dan air tersedia tanah pada pertanaman pangan sistem TOT di lahan kering relatif lebih tinggi dibadingkan dengan olah tanah intensif (Table 6). Meningkatkan kelembaban tanah pada sistem TOT tidak lepas dari peranan mulsa. Mulsa mampu mengurangi pengaruh langsung sinar matahari dan angin, sehingga suhu tanah dan evaporasi air menurun. Hal ini dapat terjadi karena energi (dari sinar matahari) yang diperlukan untuk mengubah air menjadi uap air berkurang. Selain itu udara tipis antara mulsa dan permukaan tanah dapat mematahkan pergerakan uap air ke atas, sehingga kehilangan air melalui evaporasi menurun dan kelembaban tanah meningkat (Blevins, dkk., 1984; Utomo, 2004). Sementara itu, meningkatnya ketersediaan air tanah TOT disebabkan oleh meningkatnya karbon organik tanah (Tabel 8 dan 9) hasil dekomposisi mulsa in situ yang setiap musim dikembalikan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Masalah utama tanah di agroekosistem lahan kering tropika basah seperti Indonesia adalah kepekaannya terhadap erosi oleh air. Oleh karena itu, pemanfaatan mulsa dalam rangka untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan menekan erosi menjadi prioritas utama pengelolaan tanah tropika. Mulsa pada TOT berfungsi sebagai (1) insulator efektif dalam mencegah kerusakan tanah akibat banturan energi hujan dan mengurangi evaporasi air, (2) sebagai prekusor bahan organik tanah yang akan mempengaruhi transformasi hara dalam tanah, dan (3) sebagai pengendali gulma yang efektif (Utomo, 1990). Selain mulsa, pengurangan manipulasi permukaan tanah pada TOT juga berperan penting dalam mengurangi degradasi lahan. Di sinilah canggihnya strategi teknologi TOT dalam memugar kualitas tanah in situ terutama sifat fisik tanah, kimia tanah dan biodiversitas tanah. Bahasan berikut merupakan pengembangan makalah yang ditulis oleh Utomo (2000b) dan Utomo (2006).
50
PEMUGARAN KESUBURAN TANAH
Muhajir Utomo
Meningkatnya kelembaban tanah berpengaruh terhadap meningkatnya konduktivitas panas, yang berarti panas akan dihantarkan ke lapisan yang lebih dalam, sehingga suhu tanah pada sistem OTK lebih rendah daripada olah tanah intensif (Tabel 6). Tabel 6. Sifat fisik tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 19941997
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/ha
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel 7. Sifat fisik tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 2010
51
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/ha
Muhajir Utomo
PEMUGARAN KESUBURAN TANAH
Foto 28. Proses genesis aggregasi tanah pada perlakuan TOT jangka panjang
Berbeda dari daerah sub tropik, penurunan suhu tanah di daerah tropik berpengaruh positif terhadap aktivitas organisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Peranan mulsa dalam meningkatkan kelembaban tanah dan air tersedia dalam sistem TOT berhubungan erat dengan peningkatan produksi terutama pada musim tanam yang tidak terlalu basah. Pada musim tanam dengan curah hujan yang tinggi, peranan mulsa lebih dominan dalam menurunkan laju erosi tanah. Dalam hal ini penurunan erodibilitas tanah oleh teknologi TOT lebih banyak disebabkan oleh sedikitnya manipulasi tanah dan peran mulsa itu sendiri. Selain kelembaban dan air tersedia, sifat fisik tanah yang membaik dengan adanya sistem TOT adalah kemantapan agregat dan ketahanan struktur tanah. Tanpa olah tanah jangka panjang mampu meningkatkan biodiversitas tanah khususnya cacing tanah yang banyak menghasilkan cast, dan dari sinilah proses genesis agregasi tanah berlangsung (Foto 28). Pengamatan pada tahun ke-10 menunjukkan keman-tapan agregat dan ketahanan bongkahan rata-rata dua kali lebih tinggi daripada sistem OTI (Tabel 6). Kondisi ini sejalan dengan meningkatnya kandungan C tanah dan meningkatnya biota tanah karena sedikitnya manipulasi tanah pada sistem TOT. Meningkatnya agregasi tanah pada TOT jangka panjang merupakan petunjuk penting meningkatnya kualitas (kesehatan) tanahnya. Agregasi tanah penting dalam melindungi C tanah dari dekomosisi dan menurunkan kehilangan C dari emisi. Berbeda dari sifat fisik lainnya, TOT jangka panjang telah meningkatkan kekerasan tanah, seperti terlihat pada tahun ke-5 (Tabel 6 dan 7) sehingga telah menurunkan produksi jagung. Namun pada tahun ke-8, setelah semua tanah OTK, diolah kembali ternyata produksinya meningkat kembali (data tidak disajikan). Pada
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 2009
52
PEMUGARAN KESUBURAN TANAH
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
pengamatan 23 tahun kemudian (2010) ternyata keunggulan sifat fisik tanah TOT atas OTI konsisten seperti pada pengamatan sebelumnya, dengan pola yang hampir sama, kecuali suhu tanahnya. Lebih tingginya suhu tanah TOT dibanding OTI diduga karena pengamatannya pada kedalaman 0-2,5 cm pada saat kondisi yang lebih kering. Lapisan tipis yang kering di permukaan tanah menyebabkan suhu tanah meningkat. Berbeda dari suhu tanah, kelembaban tanah TOT secara konsisten lebih tinggi daripada OTI, sedangkan kerapatan isi dan ruang pori total relatif hampir sama (Tabel 7). Berbeda dari kerapatan isi, kekerasan tanah TOT pada kedalaman 0-2,5 cm setelah 22 tahun perlakuan ternyata lebih tinggi daripada OTI. Temuan ini konsisten seperti temuan tahun ke-10. Akan tetapi pada kedalaman lebih dari 50 cm, justru kekerasan tanah OTI lebih tinggi daripada TOT (Gambar 3). Dari penelitian jangka panjang ini menunjukkan bahwa variabel kekerasan tanah merupakan indikator yang lebih sensitif daripada kerapatan isi.
53
Sifat Kimia Tanah Dari hasil penelitian jangka panjang selama 10 tahun secara berturut-turut, ternyata sifat kimia tanah pada sistem TOT lebih baik daripada sistem olah tanah intensif (Tabel 8). Hasil pengamatan tahun ke-23 (2010) ternyata meyakinkan kembali superioritas TOT atas OTI dalam memugar kesuburan tanah TOT (Tabel 9). Bahan organik tanah (C organik), dan hara N, P, K, Ca dan Mg pada perlakuan TOT pada pengamatan tahun ke-5 dan ke-23 ternyata secara konsisten lebih tinggi daripada OTI, sedangkan pH tanahnya relatif sama (Tabel 8 dan 9). Lebih tingginya indikator penting kesuburan tanah pada TOT tersebut, berkaitan erat dengan pendaurulangan hara internal melalui pemanfaatan mulsa tanaman/gulma in situ, rendahnya erosi tanah dan rendahnya pencucian hara. Rerata mulsa yang dikembalikan setiap musim pada OTK rata-rata 6 ton/ha untuk jagung dan 2 ton untuk kacang-kacangan. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi TOT jangka panjang mempunyai residu hara cukup besar yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman musim berikutnya. Jika dibadingkan dengan data awal, ternyata pengembalian mulsa tanaman selama 8 tahun mampu mensubsidi N dan P masing-masing sekitar 53 kg N/ha/tahun dan 25 kg P/ha/tahun (Utomo, 1994). Selain sifat kimia tanah di atas, indikator kesuburan tanah penting lainnya adalah KTK tanah. Kapasitas tukar kation (KTK) TOT juga lebih tinggi dibanding OTI (Tabel 8). Meningkatnya bahan organik tanah TOT (Tabel 8 dan 9) mampu mening-katkan muatan negatif tanah percobaan (Ultisol) yang didominasi oleh mineral bermuatan tidak tetap (Sanchez, 1976). Peningkatan KTK tanah penting dalam pengelolaan ta-
Muhajir Utomo
PEMUGARAN KESUBURAN TANAH
Tabel 8. Sifat kimia tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 1994-1997
nah tropika karena dapat menjerab kation sehingga dapat mengurangi pencucian basabasa. Tabel 9 juga menunjukkan adanya pengaruh sistem olah tanah terhadap pemasaman tanah ketiga sistem olah tanah setelah 23 tahun ternyata relatif sama. Hal ini terjadi karena pengaruh dekomposisi BOT dan masih adanya pencucian basa-basa di lokasi percobaan. Informasi ini penting diketahui bagi petani dan pelaku pertanian untuk dilakukan upaya pengelolaan tanah agar dapat memperbaiki keasaman tanah tersebut. Dalam percobaan jangka panjang ini telah dilakukan pengapuran dengan dosis 4 ton/ CaCO3/ha. Setelah dilakukan pengapuran pada tahun 2002, pH tanah dan kandungan Ca-dd dapat meningkat kembali. Meningkatnya kesuburan tanah TOT tercermin juga pada lebih tingginya rerata produksi TOT dibanding OTI (Tabel 14).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/h
54
PEMUGARAN KESUBURAN TANAH
Muhajir Utomo
Tabel 9. Sifat kimia tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 2009-2010
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/ha
55
PENINGKATAN BIODIVERSITAS TANAH
Degradasi Biodiversitas Tanah Semua kebutuhan hidup manusia seperti pangan, bio-energi, serat, bahan konstruksi, air dan udara bersih pada dasarnya tergantung dari layanan ekosistem biodiversitas tanah. Secara khusus layanan ekosistem biodiversitas tanah dalam pertanian tropika meliputi proses dekomposisi serasah, siklus unsur hara dan air, pembentukan tanah, pengendalian hama-penyakit, keracunan tanah dan erosi, dan peningkatan kualitas udara (UNEP, 2001; Anonim, 2010). Dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia sebagai akibat meningkatnya pertumbuhan penduduk (UNEP, 2001; Widoyoko, 2009), ancaman terhadap biodiversitas tanah semakin meningkat. Hal ini mengingat untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, pende-katan yang dilakukan di daerah tropika sampai sekarang adalah dengan pertanian intensif (Giller dkk., 1997). Permasalahannya adalah teknologi pertanian intensif di tropika saat ini justru merupakan kontributor utama degradasi tanah yang mengancam biodiversitas tanah paling dominan (Utomo, 2005; Anonim, 2010). Jika keadaan ini terus berlangsung, dikhawatirkan peran vital biodiversitas tanah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia akan terancam. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bio-energi dengan tanpa menurunkan kapasitas karagaman hayati tanah dalam memberikan layanan ekosistem pertanian tropika, diperlukan pengelolaan tanah berkelanjutan. Di antara penyebab degradasi biodiversitas tanah paling dominan di pertanian lahan kering tropika basah adalah erosi tanah. Erosi tanah di daerah tropika basah
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Biodiversitas tanah (belowground-biodiversity) merupakan refleksi keragaman mahluk hidup di dalam tanah yang menggambarkan semua atribut fungsional suatu ekosistem (UNEP, 2001; Coleman dkk., 2004). Biodiversitas tanah berperan pen足ting dalam membangun kesehatan tanah, fungsi ekosistem dan produksi pertanian secara berkelanjutan. Bahasan berikut merupakan pengembangan makalah utama pada Seminar Nasional Biodiversitas Tanah tentang Pengelolaan Keragaman Hayati Tanah (Utomo, 2010c).
56
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PENINGKATAN BIODIVERSITAS TANAH
57
Muhajir Utomo
termasuk Indonesia sebagian besar disebabkan oleh pengelolaan tanah yang tidak berkelanjutan seperti pada sistem persiapan lahan dengan pengolahan tanah intensif dan tebas-bakar lahan (Giller dkk., 1997; Utomo, 2005). Giller dkk. (1997) mencatat berbagai manajemen lahan pertanian tropika yang secara signifikan dapat mempengaruhi kapasitas fungsional biota tanah seperti yang tertera pada Tabel 10. Pada olah tanah intensif (OTI), permukaan lahan yang bersih dan gembur memang memudahkan penanaman benih, tetapi tidak mampu menahan laju aliran air permukaan yang mengalir deras, sehingga bukan hanya partikel tanah yang mengandung humus dan hara yang hilang, tetapi juga banyak biota tanah tergerus dan terbawa oleh air ke hilir. Selain itu, karena adanya pengolahan tanah aerasi meningkat sehingga pelapukan bahan organik tanah (BOT) pun meningkat yang berakibat pada menurunnya kandungan BOT (Tabel 8 dan 9). Menurunnya BOT akibat OTI akan menurunkan komunitas dan aktivitas biota tanah. Di daerah tropika basah seperti Indonesia, sistem OTI di lahan kering justru mempercepat pelapukan bahan organik tanah dan menurunkan biodiversitas tanah (Giller dkk., 1997; Utomo, 2005; Paul, 2007). Seperti pada OTI, persiapan lahan dengan pembakaran (tebas-bakar) menyebabkan tanah menjadi padat, biota tanah punah, erosi air tinggi dan udara tercemar. Dampak persiapan lahan dengan cara pembakaran bukan hanya bersifat lokal, tetapi juga bersifat global yaitu tercemarnya udara oleh asap (Utomo, 2005). Pembakaran lahan juga dapat mengurangi kapasitas biota dalam proses dekomposisi bahan organik, penyerapan karbon dan agregasi tanah. Serlain itu, pembakaran lahan juga akan memodifikasi iklim mikro lahan bera sehingga akan menurunkan kapasitas menahan air tanah yang akhirnya akan mempengaruhi komunitas fauna tanah (Giller dkk., 1997). Manajemen lahan lainnya yang mempengaruhi biodiversitas tanah antara lain penggunaan pestisida, pemupukan dan pola tanam. Penggunaan pestisida berspektrum luas dalam pertanian intensif dapat berdampak terhadap komposisi dan keragaman biota target maupun non target. Biota non target yang terkena dampak aplikasi pestisida antara lain cacing tanah, mikro-arthropoda dan insek predator. Hal ini akan berimplikasi pada proses dekomposisi serasah, bioturbasi tanah dan siklus hara. Pengaruh pestisida terhadap mikro-organisme terutama terlihat pada mikroorganisme pemfiksasi N dan nitrifikasi. Fungisida berpengaruh negatif terhadap fungi dan aktinomicetes tanah, sehingga akan memperlambat proses pembentukan humus. Dosis, penempatan dan waktu pemupukan dapat mempengaruhi siklus hara
Muhajir Utomo
PENINGKATAN BIODIVERSITAS TANAH
Tabel 10. Pengelolaan tanah yang mempengaruhi layanan ekosistem dan kelompok fungsional biota
Sumber: Giller dkk., (1997; disesuaikan)
Tanpa Olah Tanah dan Biodiversitas Tanah Sumberdaya tanah adalah integrator utama alam semesta dan merupakan reservoir biodiversitas tanah (Coleman, dkk., 2004). Biodiversitas tanah itu sendiri berperan penting dalam meningkatkan kualitas tanah (soil quality, atau pengertian yang lebih luas: soil health) dan menjamin sustainability sumberdaya tanah (UNEP, 2001; Anonim, 2010). Proses dekomposisi serasah, siklus unsur hara, pembentukan tanah, dan siklus air merupakan contoh-contoh peran biodiversitas tanah dalam supporting services ekosistem pertanian (UNEP, 2001; Anonim, 2010). Lebih lanjut, kualitas tanah merupakan kapasitas sumberdaya tanah untuk meningkatkan fungsi ekosistem tanah dalam menyediakan hara, air dan udara agar mampu meningkatkan produksi pertanian secara berkelanjutan dan mendukung kehidupan manusia yang sehat (UNEP,
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
dan fiksasi biologis N. Pemupukan N bisa menekan kapasitas bakteri pemfiksasi N, sebaliknya pemupukan P jutsru memacu fiksasi N (Giller dkk., 1997; Brady dan Weil, 2008). Penelitian jangka panjang di Lampung selama 21 tahun menunjukkan bahwa pemupukan N dosis tinggi (200 kg N/ha) ternyata dapat menurunkan biomassa mikroba (Utomo dkk., 2010a).
58
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PENINGKATAN BIODIVERSITAS TANAH
59
Muhajir Utomo
2001). Oleh karena itu, pengelolaan biodiversitas tanah yang dapat meningkatkan kualitas tanah pada dasarnya merupakan akar pengelolaan tanah berkelanjutan. Bagi pertanian tropika, sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang rapuh walaupun dapat pulih, tetapi pemulihannya memerlukan waktu lama dan biaya besar. Atas dasar karakteristik tersebut, maka skenario pengelolaan tanah pertanian tropika harus mengikuti prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan yang dalam implementasinya harus mengintegrasikan prinsip-prinsip biologi tanah (Scholes dkk., 1994). Pengelolaan tanah berkelanjutan (sustainable soil management) bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki kualitas tanah agar mampu mendukung pembangunan pertanian tropika berkelanjutan. Dengan pengertian yang lebih luas, pengelolaan tanah berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan dengan tanpa menurunkan kualitas sumberdaya lahan itu sendiri dan tidak mencemari lingkungan ex situ (Utomo, 2005). Salah satu contoh teknologi pengelolaan tanah penting yang dapat meningkatkan biodiversitas tanah adalah tanpa olah tanah (TOT). Teknologi TOT mempunyai potensi dalam meningkatkan biodiversitas dan produktivitas tanah. Sebagai contoh, hasil penelitian jangka panjang menunjukkan biodiversitas tanah TOT yang lebih baik daripada OTI (Tabel 11 dan 12). Hasil temuan ini menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi TOT jangka panjang mampu memugar biodiversitas tanah (Foto 29). Data sampai musim ke-21 (tahun ke-10) menunjukkan bahwa TOT ternyata meningkatkan jumlah bakteri, mikoriza, meso fauna dan cacing tanah secara nyata (Tabel 11). Data tersebut diperkuat kembali pada pengamatan tahun ke-22 (Tabel 12). Selain itu, keanekaragaman biota tanah di bawah permukaan tanah (below ground) dan di atas permukaan tanah (above ground) juga lebih tinggi daripada OTI. Me-ningkatnya biota tanah pada perlakuan TOT berkaitan erat dengan membaiknya kondisi mikroklimat akibat penggunaan mulsa in situ, meningkatnya C organik tanah dan belum adanya dampak negatif dari herbisida yang digunakan dalam penelitian jangka panjang ini. Dalam penelitian jangka panjang ini herbisida yang digunakan terus menerus setiap musim adalah glifosat, suatu herbisida yang persistensinya rendah dan mudah terdegradasi. Hal ini menunjukkan bahwa kekhawatiran sementara pihak akan pengaruh negatif penggunaan herbisida glifosat pada TOT paling tidak sampai musim ke-38 (tahun ke-22) tidak terbukti.
Muhajir Utomo
PENINGKATAN BIODIVERSITAS TANAH
Tabel 11. Sifat biologi tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 1990-1997
Utomo, 2009
Foto 29. Biodiversitas tanah TOT meningkat karena perbaikan mikroklimat
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/ha
60
PENINGKATAN BIODIVERSITAS TANAH
Muhajir Utomo
Tabel 12. Sifat biologi tanah pada tiga sistem olah tanah jangka panjang, 2010
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/ha
61
Dampak TOT jangka panjang terhadap sifat-sifat fisik tanah, kimia tanah dan biodiversitas tanah (Tabel 6-12) merupakan bukti kemampuan teknologi ini dalam memperbaiki kualitas tanah (kesehatan tanah). Kualitas tanah me足rupakan sifat tanah yang menggambarkan tanah tersebut sehat, mempunyai sifat tanah yang baik dan mempunyai produktivitas tinggi. Tabel 13 menunjukkan pengaruh TOT jangka panjang terhadap nisbah TOT/OTI dari berbagai indikator kunci kualitas tanah. Dari sepuluh indikator kunci, perbedaan nisbah indikator antara TOT dan OTI yang paling mencolok adalah jumlah bakteri dan cacing tanah dengan nisbah 7,1 dan 3,6. Data ini menunjukkan bahwa jumlah bakteri TOT 7 kali lipat dan cacing tanah 4 kali lipat dari bakteri dan cacing tanah pada perlakuan OTI. Mikoriza VAM dan meso fauna tanah TOT juga lebih banyak, masing-masing 30% lebih banyak daripada OTI. Lebih banyaknya populasi biota tanah ini berkaitan erat dengan perbaikan mikroklimat dan peningkatan BOT-TOT. Perbaikan mikroklimat dan BOT di dalam tanah ini tidak lepas dari layanan ekosistem tanah dari residu tanaman (Lal, 1997). Hasil dekomposisi mulsa yang menutupi permukaan tanah TOT dapat menghasilkan BOT 20% lebih tinggi dari OTI, sekaligus dapat menyediakan keter-sediaan air tanah sebesar 10% lebih tinggi dari OTI. Meningkatnya kelembaban tanah tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya konduktivitas panas, yang berarti panas akan dihantarkan ke lapisan yang lebih dalam sehingga suhu tanah pada sistem TOT 10% lebih rendah daripada OTI. Kemantapan agregat tanah juga merupakan indikator penting sumberdaya tanah dalam melindungi tanah dari degradasi. Proses agregasi tanah sangat berkaitan dengan sedikitnya manipulasi tanah dan meningkatnya BOT tanah TOT. Kemantapan agregat tanah TOT ternyata juga superior, nilainya 90% lebih tinggi daripada OTI. Lebih tingginya agregat tanah TOT sangat penting untuk melindungi C dalam tanah dari oksidasi baik secara biologi (respirasi tanah) maupun secara kimia. Itulah sebabnya walaupun biodiversitas tanah TOT lebih tinggi daripada OTI, tetapi respirasi tanah TOT selalu lebih rendah dari OTI sehingga rerata emisi CO2-
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PENINGKATAN KUALITAS TANAH
62
PENINGKATAN KUALITAS TANAH
Muhajir Utomo
Tabel 13. Nisbah tiga sistem olah tanah jangka panjang berbagai indikator kunci kualitas tanah
Keterangan: OTI= Olah Tanah Intensif, OTM= Olah Tanah Minimum, TOT= Tanpa Olah Tanah (dikembangkan dari Utomo, 2010c)
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
TOT hanya 40% dari emisi CO2-OTI. Selain itu, C terserap total oleh TOT (dalam tanah dan biomassa jagung di atas tanah) 30% lebih tinggi dari pada OTI. Berdasarkan berbagai indikator kualitas tanah TOT di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi TOT jangka panjang lebih sustained dibanding OTI, sehingga perlu direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi salah satu best practices untuk pertanian lahan kering.
63
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Emisi gas Karbon Dioksida Pertanian Lahan Kering Gas CO2 di lahan pertanian merupakan hasil proses biologi tanah terutama proses dekomposisi sisa-sisa tanaman, bahan organik tanah dan respirasi akar (Rastogi dkk., 2002; Luo dan Zhou, 2006). Proses ini penting untuk mendapatkan energi bagi pertumbuhan mikroba dan sekaligus memasok karbon untuk pem-bentukan selnya. Atas dasar ini, maka besarnya emisi gas CO2 tergantung dari lingkungan ekologis tanah yang akan mempengaruhi aktivitas mikroba tanah (Alexander, 1976). Keberadaan gas CO2 ini akan menjadi bagian dari siklus karbon, yang selanjutnya bisa dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses fotosintesis (Luo dan Zhou, 2006). Akan tetapi jika gas CO2 lepas ke udara akan menjadi gas rumah kaca yang dapat menimbulkan pemanas足 an global. Emisi GRK anthropogenik dari pertanian dalam pemanasan global mencapai 20%, dan sebesar 90% berasal dari pertanian daerah tropik (FAO, 2007; Houghton, 1995). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, emisi GRK Indonesia pada tahun 2000 sebesar 1,35 Gt CO2e dan diprediksi akan meningkat menjadi 2,95 Gt CO2e pada tahun 2020. Pertanian (di luar sektor sektor perubahan penggunaan lahan dan kehutanan) pada tahun 2000 menyumbang emisi gas CO2e Indonesia sebesar 13,6%, sedangkan jika bersama-sama dengan sektor perubahan penggunaan lahan dan ke足 hutanan di Indonesia bahkan bisa menyumbang sebesar 53%. Untuk mengurangi GRK tersebut, program aksi berupa kebijakan menurunkan emisi gas CO2e sebesar 26% pada tahun 2020 telah dicanangkan pemerintah (Boer, 2010).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Pemanasan global yang kini menjadi isu penting dunia merupakan akibat dari makin meningkatnya kandungan gas rumah kaca (gas CO2, CH4, dan N2O) di atmosfir. Gas rumah kaca (GRK) tersebut berasal dari ekosistem alami maupun ekosistem buatan termasuk sektor pertanian (MAF, 2008). Bahasan berikut adalah tentang peran budidaya TOT dalam mitigasi GRK terutama gas CO2, dikembangkan dari hasil lapor足 an penelitian Utomo, dkk., (2009), Utomo, dkk., (2010a); dan Utomo (2011).
64
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Besarnya kehilangan gas CO2 dari sektor pertanian disebabkan oleh cara praktik budidaya pertanian yang tidak berkelanjutan. Pembajakan lapisan olah tanah pada pertanian konvensional merusak agregasi tanah sehingga partikel-partikel tanah menjadi lepas dan karbon tanah hilang terbawa erosi. Selain itu, pembajakan tanah memacu oksidasi bahan organik tanah yang berakibat pada meningkatnya emisi gas CO2 dan menurunnya cadangan karbon tanah (Utomo, 2004; Ball dan Pretty, 2002). Jika model pertanian intensif ini terus berlanjut, dikha-watirkan sektor pertanian bukan hanya akan terus berkontribusi dalam pemanasan global, tetapi juga akan menurunkan produktivitas tanah dan pada akhirnya akan mengancam ketahanan pangan nasional. Untuk itu, diperlukan langkah mitigasi emisi GRK berupa pengelolaan lahan berkelanjutan yang bukan hanya mampu mening-katkan produktivitas tanah, tetapi juga mampu mengurangi emisi GRK (Salim, 2010). Mitigasi dalam makalah ini adalah upaya untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian khususnya gas CO2 (source) dan meningkatkan karbon tersimpan dalam tanah (sink).
65
Proses Produksi dan Emisi Karbon Dioksida Proses produksi dan emisi gas CO2 dalam makalah ini sebagian besar dirujuk dari makalah yang disusun oleh Rastogi dkk., (2002), dari buku yang ditulis oleh Luo dan Zhou (2006) dan buku Utomo dkk. (2012b). Sebagian besar produksi gas CO2 dalam tanah berasal dari proses biologi tanah (respirasi tanah) dan sebagian kecil dari proses oksidasi kimiawi yang terjadi pada suhu tinggi (Rastogi dkk., 2002). Menurut sumber subtratnya, produksi gas CO2 dari dalam tanah diperoleh dari respirasi akar di rhizhosfer, proses dekomposisi serasah dan oksidasi bahan organik tanah (Rastogi dkk., 2002; Luo dan Zhou, 2006)., Sumber karbon respirasi akar adalah fotosintat yang dibawa ke akar, sedangkan sumber karbon untuk respirasi mikroba (dekomposisi serasah dan oksidasi BOT) adalah serasah, akar-akar tanaman yang mati, pupuk kandang dan bahan organik tanah (Rastogi dkk., 2002). Respirasi Akar Respirasi akar biasanya menyumbang separuh dari total respirasi, tetapi kisarannya 10-90%. Respirasi akar menggunakan 10-50% total karbon sebagai substrat yang dihasilkan oleh fotosintesis setiap harinya. Besarnya respirasi dari akar berkaitan dengan banyaknya bahan-bahan substrat berbasis karbon yang ada di rhizosfer. Contoh bahan-bahan kaya karbon di rhizosfer adalah (1) eksudat larut dalam air seperti gula, asam amino, hormon dan vitamin, (2) sekresi seperti karbohidrat polimer dan enzim,
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Dekomposisi Serasah Dekomposisi serasah (residu tanaman, biomass pool) merupakan sumber penting gas CO2 di permukaan dan di dalam tanah. Bahan yang terkandung dalam serasah mempunyai tingkat dekomposisi yang berbeda-beda tergantung dari senyawanya. Secara umum, serasah mengandung asam amino, gula, hemiselulosa, selulosa dan lignin. Serasah jagung mengandung 29,3% senyawa yang mudah terdekomposisi, 26,8% hemiselulosa, 28,4% selulosa, 5,6% lignin dan sisanya abu. Komposisi serasah yang berbeda tersebut mempunyai laju dekomposisi yang berbeda pula. Senyawa asam amino dan gula lebih mudah terdekomposisi daripada selulosa, lignin dan polifenol (Woomer dan Swift, 1994; Luo dan Zhou, 2006). Dekomposisi serasah melibatkan tiga proses penting, yaitu (1) pencucian, (2) fragmentasi dan (3) alterasi kimiawi. Air mencuci bahan-bahan mudah larut dari serasah tersebut masuk ke dalam matrik tanah. Bahan-bahan mudah larut tersebut merupakan substrat untuk aktivitas katabolik dan anabolik bakteri dan fungi. Proses berikutnya adalah fragmentasi yang dilakukan oleh fauna tanah. Fauna tanah yang terdiri dari mikrofauna seperti nematoda, protozoa dan semut, dan mesofauna seperti cacing tanah dan rayap, bertugas memotong-motong serasah menjadi lebih kecil, menyebarkannya dan membantu proses agregasi tanah. Mesofauna mampu menghasilkan kotoran yang mempunyai luas permukaan dan kapasitas menahan air lebih tinggi
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
dan (3) lisate. Secara umum, komunitas mikroba yang berperan dalam respirasi di rhizosfer berbeda dari mikroba tanah yang ada di non-rhizosfer. Tiga genera yang banyak dijumpai di rhizosfer adalah Pseudomonas, Achromobacter dan Agrobacterium. Banyaknya produksi gas CO2 hasil respirasi akar dalam suatu ekosistem ditentukan oleh biomassa akar dan laju respirasi akar spesifik. Biomassa akar sendiri tergantung dengan produksi suatu ekosistem, jenis tanaman dan musim. Sebagai contoh, biomassa akar hutan mempunyai biomassa akar sebesar 5 kg/m2, sedangkan tanaman pangan dan padang rumput mempunyai biomassa akar lebih rendah, yaitu sekitar 1,5 kg/m2. Besarnya karbon yang dipindahkan ke akar berupa eksudat sebesar 30-60% dari total karbon bersih hasil asimilasi. Sedangkan karbon hasil asimilasi yang dilepas selama fase pertumbuhan vegetatif mencapai 20%. Respirasi akar dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Respirasi akar mening足 kat secara linear dengan meningkatnya nitrogen, meningkat dengan meningkatnya suhu sampai pada batas tertentu, dan menurun dengan dengan adanya banjir, kekeringan dan kekurangan hara (Luo dan Zhou, 2006).
66
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
dari serasah. Proses dekomposisi serasah berikutnya adalah alterasi kimiawi dengan aktor utamanya bakteri dan fungi. Mereka heterotropik, yang mendapatkan sumber karbon dan energinya dengan cara mendekomposisi residu tanaman dan hewan. Mereka menghasilkan eksoenzim yang mampu mengubah molekul makro menjadi mudah larut dan dapat diserap dan dimetabolisasi oleh mikroba. Mikroba menghasilkan produk metabolisme seperti CO2 dan nitrogen anorganik, dan juga menghasilkan polisakarida yang bisa mengikat partikel tanah. Selain bakteria dan fungi, aktinomisetes juga berperan dalam proses ini. Mereka mempunyai struktur filamentus yang menyerupai hipe pada fungi. Seperti fungi, aktinomisetes juga menghasilkan enzim yang mampu menghancurkan subtrat yang tahan terhadap pelapukan seperti lignin (Luo dan Zhou, 2006). Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti iklim (suhu dan curah hujan), kualitas serasah (C/N ratio, kandungan lignin dan lignin/N rasio) dan jenis serasah (jenis tanaman).
67
Oksidasi Bahan Organik Tanah Selain serasah, dekomposisi bahan organik tanah (BOT) juga menyumbang gas CO2 ke udara. Bahan organik tanah mengandung bahan humik yang terdiri dari bahan humik dan vulvik, dan non-humik yang terdiri dari residu organik dari tanam-an, binatang dan mikroba. Biasanya BOT mengandung lebih dari 80% bahan humik (humus) dan sisanya adalah bahan non-humik. Kandungan karbon dalam humus sekitar 58% dan kandungan nitrogen antara 3-6%, sehingga nisbah C-Nnya sekitar 10-20 (Luo dan Zhou, 2006). Berdasarkan mudah tidaknya terdekomposisi, BOT dapat dikatagorikan sebagai BOT yang cepat terdekomposisi (active pool, 0,2-1,4 tahun), dan yang sukar terdekomposisi (lambat/slow pool, 8-50 tahun) dan sangat lambat (passive pool, 4002200 tahun). Contoh BOT yang cepat terdekomposisi adalah biomassa mikroba, karbohidrat mudah larut dan enzim; sedangkan BOT yang lambat terdekomposisi adalah partikulat BOT; dan BOT yang sangat lambat adalah asam humik dan asam vulvik dan mineral organo kompleks (Woomer dan Swift, 1994). Bahan organik yang mudah terdekomposisi (labile pool) cepat melapuk dan cepat tersimpan dalam tanah dibandingkan dengan yang sukar lapuk (non-labile pool). Oleh karena itu, bahan organik yang mudah terdekomposisi merupakan indikator penting dalam dinamika karbon dalam agroekosistem (Rastogi, dkk., 2002).
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emisi Gas CO2
2. Suhu Tanah Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi (evolusi) gas CO2 dari dalam tanah. Hasil review Rastogi dkk. (2002) menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara suhu harian di bawah serasah dengan evolusi gas CO2. Pada suhu 10oC evolusi gas CO2 tidak terjadi, sedangkan pada suhu 20-40oC gas CO2 meningkat secara logaritmik, tetapi pada suhu di atas 50oC menurun secara signi-fikan. Hal ini karena pada suhu di atas 50oC aktivitas mikroba perombak bahan organik menurun tajam. Penelitian lainnya menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu evolusi gas CO2 meningkat pada suhu di atas 50oC. Meningkatnya evolusi gas CO2 di atas suhu 50oC terutama disebabkan oleh adanya peran respirasi akar tanaman. Di wilayah yang suhu reratanya 30oC seperti di daerah tropik, penambahan suhu 1oC akan meningkatkan kehilangan karbon sebesar 3%.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
1. Substrat Respirasi tanah merupakan proses dekomposisi substrat berbasis karbon. Pada level reaksi biokimia, produksi gas CO2 mempunyai hubungan molar 1:1 dengan substrat dalam hal atom karbon. Pada level ekosistem, produksi gas CO2 merupakan komposit dari banyak proses yang menggunakan substrat dari beragam sumber. Sebagai contoh, respirasi akar menggunakan gula interseluler dan intraseluler, protein, lipid dan subtrat lainnya. Dalam respirasi, mikroorganisme tanah meng-konsumsi semua substrat, dari gula sederhana yang terkandung dalam serasah segar dan eksudat sampai humus dalam BOT. Walaupun produksi gas CO2 berbanding lurus dengan ketersediaan substrat-nya, tetapi waktu (residence time) yang diperlukan untuk mengkonversi substrat menjadi gas CO2 bervariasi. Subtrat gula sederhana dapat dengan mudah dan cepat dikonversi menjadi CO2 oleh akar dan mikroba, sebaliknya asam humik memerlukan waktu sampai ratusan dan ribuan tahun. Contoh substrat dengan residence time sedang adalah selulose, hemiselulose, lignin dan fenol (Luo dan Zhou, 2006). Respirasi tanah juga ditentukan oleh ada tidaknya tanaman dan pemupukan N. Rerata respirasi pada perlakuan tanpa tanaman dan tanpa pemupukan N meningkat dari 0 menjadi 4 g C/m2/hari dengan adanya tambahan tanaman, dan meningkat lagi menjadi 7 g C/m2/hari dengan adanya tambahan pupuk N. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh kuat dari tambahan substrat ke akar terhadap respirasi akar. Sebaliknya, meningkatnya kebutuhan karbohidrat (hasil fotosintesis) oleh akar tanaman juga akan memacu respirasi tanah dan akar (Luo dan Zhou, 2006).
68
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Berkaitan dengan dampak peningkatan suhu yang tinggi terhadap emisi gas CO2, Sanchez (1976) dan Tomich dkk., (2004) melaporkan dampak pembakaran lahan terhadap emisi gas CO2. Pada saat pembakaran, suhu udara pada ketinggian 2 cm di atas permukaan tanah bisa mencapai 450-650oC, sedangkan suhu tanah pada kedalaman tanah 5 cm menurun 100 oC/cm. Peningkatan suhu tanah dan suhu di atas permukaan tanah tergantung dari intensitas pembakaran (Sanchez, 1976; Sanders, 2009). Demikian panasnya suhu akibat pembakaran lahan bukan hanya akan membakar semua vegetasi/flora dan fauna yang ada, tetapi juga sekaligus akan memanggang sumberdaya tanah di bawahnya. Pembakaran lahan akan memproduksi asap tebal (haze) yang sebagian besar mengandung karbon berupa partikel-partikel karbon, CO2, CO dan partikel silica (Gardiner dan Miller, 2008; Tomich dkk., 2004).
69
3. Kelembaban Tanah dan Oksigen Hasil review Rastogi dkk. (2002) dan Luo dan Zhou (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kelembaban tanah dengan evolusi gas CO2. Secara umum produksi gas CO2 pada kondisi kering berada pada posisi terrendah, sedangkan pada kondisi mendekati kapasitas lapang pada posisi tertinggi, dan kembali rendah pada kondisi tergenang. Pada kondisi kapasitas lapang, pori makro sebagian besar terisi udara sehingga memacu difusi oksigen, dan pada pori mikro terisi air sehingga memacu difusi substrat terlarut. Kondisi ideal inilah yang memacu respirasi tanah. Di lahan sawah, pengeringan akan meningkatkan emisi gas CO2 sampai dua kali lipat. Kelembaban tanah mempengaruhi respirasi tanah secara lansung melalui proses fisiologis akar dan mikroba, dan secara tidak langsung melalui difusi oksigen dan substrat. Sebaliknya pada kondisi kering, mikroba menjadi dorman atau mikroba membentuk spora sehingga respirasi tanah menurun tajam. Fungi tanah masih aktif pada air potensial -15 Mpa, sedangkan di bawah -1 sampai -1,5 Mpa bakteri sudah tidak aktif lagi. Curah hujan juga dapat mempengaruhi respirasi tanah. Jika tanahnya masih kering sebelum turun hujan, respirasinya rendah. Tetapi segera setelah hujan turun, akan menghasilkan lonjakan emisi gas CO2 dari dalam tanah. Lonjakan CO2 ini bukan karena respirasi semata, tetapi karena dorongan gas CO2 keluar setelah air jatuh ke tanah. Kemudian setelah air tanahnya menurun karena evaporasi, laju emisi gas CO2 juga menurun (Luo dan Zhou, 2006). Walaupun ada interaksi antara kelembaban tanah dan suhu tanah dalam meningkatkan emisi gas CO2, tetapi dari dua variable ini, suhu tanahlah yang lebih dominan. Pada suhu 23OC emisi gas CO2 2,4 kali lebih besar daripada pada suhu 10oC, dan
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
4. Keasaman Tanah (pH) Keasaman tanah mempunyai pengaruh nyata dalam pertumbuhan dan pengembangbiakan mikroba tanah. Secara umum pada pH rendah, aktivitas mikroba terganggu sehingga produksi gas CO2 lebih rendah. Produksi gas CO2 baru meningkat dengan meningkatnya pH, tetapi kembali menurun pada pH di atas 7 (Rastogi dkk., 2002). Keasaman tanah mempengaruhi reaksi kimia dalam tanah dan enzim dalam sel mikroba. Enzim yang terkandung dalam sel bakteri umumnya peka terhadap perubahan pH tanah, sehingga akan mempengaruhi aktivitas mikroba dan respirasi tanah. Tanaman dapat mengasamkan rhizosfir tanah sampai dua unit pH. Hal ini disebabkan karena adanya asam organik dalam eksudat akar, dan tingginya ion H+ pada akar akibat dari lebih tingginya serapan kation pada akar daripada anion (Luo dan Zhou, 2006). Walaupun pH pada rhizosfir cenderung lebih rendah daripada pH tanah non-
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
emisi gas CO2 berkorelasi secara linear dengan kelembaban tanah. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa fluks gas CO2 sangat berkorelasi dengan suhu tanah dan suhu udara, tetapi tidak berkorelasi dengan kelembaban tanah. Selain itu, pada kondisi kering,respirasi tanah pada siang hari ternyata lebih tinggi daripada pada malam hari; sementara pada kondisi basah respirasi tanah pada siang dan malam hari tidak berbeda. Hal ini disebabkan pada kondisi basah, variabilitas suhu tanah lebih kecil dibanding pada kondisi kering (Rastogi dkk., 2002). Konsentrasi oksigen dalam tanah sangat mempengaruhi respirasi akar dan respirasi mikroba. Pada ekosistem lahan basah misalnya, oksigen dalam tanah menja-di faktor pembatas respirasi tanah. Ketika kelembaban tanah melewati batas optimum, respirasi tanah terhambat karena keterbatasan pasokan oksigen. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa laju respirasi tanah nol pada kondisi tanpa oksigen dan dengan pasokan 5%, laju respirasi menjadi maksimum pada fase pertumbuhan akar baru. Berkaitan dengan berkurangnya pasokan oksigen, adanya pemadatan pada permu-kaan tanah pada TOT juga dapat mengurangi aerasi tanah, sehingga dapat mengurangi respirasi akar dan respirasi mikroba. Tanggapan mikroorganisme tanah terhadap pasokan oksigen ternyata berbedabeda. Jika mikroorganisme aerob obligatorik dominan, penurunan drastis respirasi tanah terjadi pada konsentrasi O2 di bawah 0,01-0,02 m3/m3. Mikroorganisme anaerob fakultatif dapat mengunakan oksigen maupun asam organik sebagai elektron reseptor sehingga dapat melakukan respirasinya pada kondisi oksigen rendah. Sebaliknya, mikroorganisme anaerob obligatorik hanya dapat melakukan respirasi pada konsentrasi oksigen mendekati nol (Luo dan Zhou, 2006).
70
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
rhizosfir, tetapi kisarannya masih kondusif untuk perkembangan mikroba, sehingga dengan banyaknya eksudat/substrat respirasi akar akan meningkat.
71
5. Pemupukan Nitrogen merupakan salah satu unsur hara penting yang mempengaruhi produksi gas CO2. Pemberian nitrogen akan mempengaruhi produksi gas CO2 melalui mekanisme (1) secara langsung menyediakan N untuk tanaman dan mikroba, dan (2) secara tidak langsung mempengaruhi pH tanah yang akan mempengaruhi aktivitas mikroba (Rastogi dkk., 2002). Seperti diketahui, respirasi tanah diperlukan untuk mendapatkan enerÂgi agar dapat memacu serapan N pada akar dan asimilasi. Serapan satu unit NO3- mengeluarkan 0,4 unit CO2, dan setiap unit NO3- dalam akar yang direduksi menjadi NH3, CO2 yang dilepas sebesar lebih dari 2 unit. Fiksasi nitrogen dari N2 menjadi NH3 mengeluarkan 2,36 unit CO2 setiap NH3-nya, sedangkan perubahan NH3 menjadi asam amino tidak banyak mengeluarkan CO2. Dengan demikian nitrogen akan meningkatkan pertumbuhan tanaman dan dan konsekuensinya akan meningkatkan respirasi akar. Selain itu, nitrogen juga meningkatkan dekomposisi serasah (respirasi mikroba) terutama pada fase awal dekomposisi, kemudian berkurang pada saat dekomposisi lignin berlangsung (Luo dan Zhou, 2006). Namun demikian nitrogen dari jenis pupuk tertentu dan dosis berlebih dapat juga mengurangi respirasi tanah. Sebagai contoh, pemberian nitrogen dengan pupuk NH4NO3 dapat mengurangi 30-40% respirasi tanah. Hal ini disebabkan adanya peÂngaruh langsung meningkatnya keasaman tanah akibat pemupukan NH4NO3 terhadap aktivitas mikroba perombak substrat (Rastogi dkk., 2002). Selain itu, NH4+ dari pupuk NH4NO3 juga dapat menghambat aktivitas mikroba yang pada akhirnya dapat mengurangi respirasi tanah. Pada kondisi tanah dosis N tinggi, pemupukan N akan menciptakan kondisi â&#x20AC;&#x153;kejenuhan nitrogenâ&#x20AC;? sehingga akan meningkatkan pencucian N tetapi respirasi tanah tidak banyak berubah (Luo dan Zhou, 2006). Berbeda dari pemupukan N, pemupkan P tdak banyak pengaruhnya terhadap respirasi tanah, sedangkan pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan respirasi tanah 2-3 kali lebih besar daripada tanpa pupuk kandang (Rastogi dkk., 2002). 6. Pengolahan Tanah dan Pola Tanam Karena kondisi lingkungan mikro yang kondusif untuk dekomposisi mikroba, olah tanah intesif (OTI) mempunyai emisi gas CO2 lebih besar daripada kondisi alami. Pengolahan tanah intensif memecah bongkahan tanah dan mencampur tanah sehingga
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Tanpa Olah Tanah untuk Pengurangan Emisi Karbon Dioksida Hasil pengukuran emisi gas CO2 pada pertanaman jagung TOT (tahun 2009) dan pertanaman kedelai (2010) pada plot penelitian jangka panjang (1987-2010) menunjukkan pola emisi gas CO2 setiap sistem olah tanah (Utomo dkk., (2009) dan Utomo dkk., (2010a). Gambar 4 menunjukkan pola emisi gas CO2 rerata dari tiga sistem olah tanah sepan-jang musim tanam jagung tahun 2009. Emisi gas CO2 menjelang percobaan (sebelum pengolahan tanah) antar ketiga sistem olah tanah relatif sama yaitu sekitar 3,3 kg C-CO2/ha/hr. Kondisi lahan dan mikroklimat ketiga sistem olah tanah yang relatif sama akibat diberakan selama satu tahun merupakan salah satu penyebabnya. Sebelum percobaan (tahun 2008), kondisi lahan tiga sistem olah tanah diberakan dan semua plot ditumbuhi gulma yang didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrica). Kondisi ini berubah setelah ada perlakuan pengolahan tanah. Sehari setelah pengolahan tanah (1 HSPT), terjadi emisi gas CO2 ketiga sistem olah tanah yang berbeda. Dibandingkan dengan data sebelum pengolahan tanah, emisi gas CO2 OTI 1 HSPT meningkat tajam sebesar 342%, sedangkan emisi dari OTM hanya meningkat sebesar 67%, tetapi sebaliknya emisi gas CO2 dari TOT justru menurun sebesar 4%.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
memperluas permukaan kontak dan meningkatkan porositas tanah. Akibatnya, banyak O2 yang masuk dan memacu proses dekomposisi (respirasi) oleh mikroba tanah dan menghasilkan gas CO2 (Reicosky 2000; Rastogi dkk., 2002; Smith dan Collins 2007). Meningkatnya porositas tanah dan tidak adanya mulsa serasah juga akan mempermudah lepasnya gas CO2 hasil dekomposisi ke udara (Luo dan Zhou, 2006). Sebaliknya pada TOT, tanah tidak terganggu bahkan tidak diolah sama sekali sehingga porositas tanah dan difusi O2 rendah yang berakibat pada rendahnya emisi gas CO2 (Rastogi dkk., 2002). Selain itu, mulsa serasah juga meningkatkan resistensi difusi gas CO2 dari permukaan tanah ke atmosfer. Dengan membuang serasah dari permukaan tanah OTI, aliran gas CO2 akan meningkat akibat dari berkurangnya resistensi difusi gas CO2 pada permukaan tanah (Luo dan Zhou, 2006). Selain sistem olah tanah, pertanaman juga akan mempengaruhi produksi dan emisi gas CO2. Produksi gas CO2 pada lahan yang ditanamani 2-3 kali lebih besar daripada lahan bera. Lebih tingginya produksi gas CO2 pada lahan yang ditanami dibanding lahan bera disebabkan oleh adanya respirasi akar tanaman pada lahan yang ditanami sedangkan pada lahan bera hanya dari respirasi mikroba. Jenis tanaman yang ditanam juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya produksi gas CO2 (Rastogi et al. 2002).
72
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Gambar 4.
73
Muhajir Utomo
Pola emisi gas CO2 akibat sistem olah tanah jangka panjang selama musim tanam jagung tahun 2009; OTI= olah tanah intensif, OTM= olah tanah minimum, TOT= tanpa olah tanah; (dikembangkan dari Utomo dkk., 2012a)
Setelah itu, emisi gas CO2 pada OTI mulai hari ke-3 menurun tajam, kemudian sedikit meningkat pada 40 HSPT dan akhirnya menurun secara gradual sampai menjelang panen. Seperti OTI, emisi gas CO2 pada perlakuan OTM mulai 3 HSPT menurun, kemudian sedikit meningkat pada 20 HSPT dan menurun landai sampai panen. Berbeda dari kedua sistem olah tanah lainnya, emisi gas CO2 pada perlakuan TOT 3 HSPT tetap menurun, tetapi kemudian sedikit meningkat pada 20 HSPT dan akhirnya turun melandai sampai saat panen (Gambar 4). Emisi gas CO2 dari perlakuan OTI sepanjang musim secara konsisten lebih tinggi dibanding olah tanah lainnya, dan sebaliknya emisi gas CO2 dari TOT adalah yang terrendah. Berdasarkan pengukuran sepanjang musim tanam jagung, rerata emisi gas CO2-OTI, OTM dan TOT berturut-turut adalah 11,0, 4,2 dan 2,6 kg C-CO2/ha/hari, dengan nisbah IT/MT 2,6 dan IT/TOT 4,1 (Utomo dkk., 2012a).
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Gambar 5. Pola emisi gas CO2 akibat sistem olah tanah jangka panjang selama musim tanam kedelai tahun 2010; OTI= olah tanah intensif, OTM= olah tanah minimum, TOT= tanpa olah tanah (Utomo, dkk., 2012a)
Pada tahun berikutnya (2010) pengukuran emisi gas CO2 dilakukan pada tanaman kedelai. Berbeda dari pengukuran pada pertanaman jagung, pengukuran emisi gas CO2 dimulai pada 20 HSPT, yaitu setelah dilakukan pemupukan petama. Pola emisi gas CO2 pada pertanaman kedelai mempertegas kembali pola emisi gas CO2 pada pertanaman jagung dengan sedikit perbedaan. Pada pertanaman kedelai, emisi gas CO2 ketiga sistem olah tanah mempunyai puncak emisi dua kali, yaitu pada 20 HSPT dan 60 HSPT, sementara emisi paling rendah terjadi pada 40 HSPT dan 80 HSPT (Gambar 5). Namun demikian emisi gas CO2 pada perlakuan OTI secara konsisten selalu lebih tinggi dari OTM dan TOT. Berdasarkan pengukuran sepanjang musim kedelai, rerata emisi gas CO2-OTI, OTM dan TOT berturut-turut adalah 16,8, 11,7 dan 8,7 kg C-CO2/ ha/hari, dengan nisbah IT/MT 1,4 dan IT/TOT 1,9 (Utomo dkk., 2012a).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
74
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
MITIGASI GAS RUMAH KACA
75
Muhajir Utomo
Lebih tingginya emisi gas CO2 OTI dibanding dengan OTM dan TOT segera setelah pengolahan tanah terutama disebabkan oleh dampak dari pengolahan tanah itu sendiri. Pengolahan tanah memecah bongkahan tanah dan mencampur tanah sehingga memperluas permukaan kontak dan meningkatkan porositas tanah. Akibatnya, banyak O2 yang masuk dan memacu proses dekomposisi (respirasi) oleh mikroba tanah dan menghasilkan gas CO2 (Reicosky 2001; Rastogi dkk., 2002; Smith dan Collins 2007). Meningkatnya porositas tanah juga akan mempermudah lepasnya gas CO2 hasil dekomposisi ke udara. Sebaliknya, pada TOT tanah tidak terganggu bahkan tidak diolah sama sekali sehingga difusi O2 rendah yang berakibat pada rendahnya emisi gas CO2 (Rastogi dkk., 2002). Pada 20-40 HSAPT khususnya pada pertanaman kedelai, meningkatnya kembali emisi gas CO2 disamping dipengaruhi oleh pemupukan N juga karena respirasi akar tanaman. Selain itu, lebih tingginya rerata emisi gas CO2 tanaman kedelai dibanding tanman jagung diduga karena kuatnya pengaruh pemupukan N dan adanya N hasil tambatan Rhizobium spc. terahadap emisi gas CO2. Temuan dua tahun pengamatan ini mempertegas bahwa peran OTK dalam menekan emisi gas CO2 sangat penting dan akan berimplikasi pada kebijakan dalam mengurangi emisi GRK. Hasil penelitian Reicosky (2000) yang menunjukkan bahwa pertanian olah tanah intensif (OTI) berperan dalam memasok gas CO2 ke atmosfir mendukung temuan tersebut. Hasil serupa dijumpai pada penelitian pada tanah Aeric Calciaquoll di Minnesota USA, bahwa emisi gas CO2 dari OTI mencapai 13,8 kali lebih besar daripada TOT. Penelitian lain di Arkansas, Amerika Serikat juga menunjukkan hasil serupa. Aliran gas CO2 pada pertanian OTI mencapai 37,6% lebih tinggi daripada TOT, dan pada perlakuan N rendah gas CO2 nya 6,1% lebih tinggi daripada perlakuan N tinggi (Brye, dkk., 2006). Lebih tingginya emisi gas CO2 OTI dibandingkan dengan OTM dan TOT jangka panjang tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian dilakukan oleh para peneliti di daerah subtropis lain (Desjardins, dkk., 2002; La Scala dkk., 2005). Pemupukan Nitrogen dan Emisi Karbon Dioksida Pemupukan N pada pertanaman jagung tahun 2009 secara signifikan mening-katkan emisi gas CO2 sepanjang musim. Namun demikian, pola emisinya tidak setajam sistem olah tanah (Gambar 6). Pemupukan N meningkatkan emisi gas CO2 paling tinggi pada 1 HSPT dan 20 HSPT, dan setelah itu emisinya menurun secara stabil. Pola pengaruh pemupukan N terhadap emisi gas CO2 tersebut disebabkan oleh dua faktor utama. Faktor pertama karena pengaruh residu pemupukan N jangka panjang yang mempengaruhi peningkatan emisi gas CO2 pada 1 HSPT, dan faktor kedua karena pengaruh pempukan N aplikasi tahap pertama yang mempengaruhi emisi gas
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Gambar 6.
Pola emisi gas CO2 akibat pemupukan Nitrogen jangka panjang selama musim tanam jagung tahun 2009; N0= 0 kg N/ha, N1= 100 kg N N/ha dan N2= 200 kg N/kg (dikembangkan dari Utomo, dkk., 2012a)
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
CO2 pada 20 HSPT. Meningkatnya emisi gas CO2 pada 1 HSPT (sebelum pemupukan N) juga merupakan bukti adanya residu pemupukan N jangka panjang dalam bentuk N organik tanah (Tabel 8 dan 9). Nitrogen organik yang termineralisasi menjadi N tersedia akibat pengolahan tanah akan memacu partumbuhan mikroba perombak bahan organik. Meningkatnya kembali emisi gas CO2 pada 11 HSPT diduga karena pengaruh pemberian N tahap pertama pada 7 HSPT juga memacu per-tumbuhan mikroba perombak bahan organik.
76
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Gambar 7.
77
Muhajir Utomo
Pola emisi gas CO2 akibat pemupukan Nitrogen jangka panjang selama musim tanam kedelai tahun 2010; N0= 0 kg N/ha, N1= 100 kg N N/ha dan N2= 200 kg N/kg (dikembangkan dari Utomo, dkk., 2012a)
Berbeda dengan pemupukan N tahap pertama, pemupukan N tahap kedua pada tanggal 20 Oktober 2009 sudah tidak banyak meningkatkan emisis gas CO2. Pada pertanaman jagung, pengaruh pemupukan N dosis tinggi menghasilkan emisi gas CO2 lebih tinggi dibanding dosis N suboptimal. Rerata emisi gas CO2 tanaman jagung dari perlakuan N0, N1 dan N2 berturut-turut 5,4, 5,6 dan 6,4 kg CO2-C /ha/hari , dengan nisbah N0/N1 1,0 dan N0/N2 0,8 (Utomo, dkk., 2012a). Dibandingkan dengan pertanaman jagung, pola pengaruh pemupukan N terhadap emisi gas CO2 pada pertanaman kedelai kurang konsisten, tetapi mempunyai dua puncak emisi gas CO2 yang lebih jelas (Gambar 7). Puncak emisi gas CO2 pertama terjadi pada 20 HSPT akibat pengaruh pemupukan N tahap I, dan puncak kedua terjadi pada 60 HSPT akibat pemupukan N tahap kedua. Berbeda dari pertanaman jagung, emisi gas CO2 tertinggi pada pertanaman kedelai justru diperoleh dari pemupukan N dengan dosis 25 kg N/ha, sedangkan yang terendah terlihat pada dosis 50 kg N/ha. Pemupuk足 an N pada tanaman kedelai dengan dosis 50 kg N/ha ternayata dapat mengurangi 32%
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Penyerapan Karbon (C-sequestration) Hasil penelitian OTK jangka panjang yang dimulai sejak 1987 menunjukkan bahwa pada kedalaman 0-20 cm, C tersimpan (C storage) dalam tanah tertinggi (37,8 kg C/ha) diperoleh pada kombinasi perlakuan TOT dengan 100 kg N/ha, sedangkan karbon tersimpan terendah (25,8 kg C/ha) diperoleh pada kombinasi OTI dan 200 kg N/ha. Serapan C total dalam berangkasan, biji dan gulma tertinggi (13,1 kg C/ha) diperoleh pada kombinasi perlakuan OTM dengan tanpa N, sedang terendah (7,7 kg /ha) diperoleh pada kombinasi OTI dengan pemupukan 200 kg N/ha. Sedangkan penyimpanan C total (dari dalam tanah dan di atas tanah) tertinggi pada musim itu dicapai oleh kombinasi TOT dengan pemupukan 100 kg N/ha yaitu 50,7 ton C/ha, dan terendah dicapai oleh OTI dengan pemupukan 200 kg N/ha yaitu 33,1 ton C/ha (Gambar 8). Berbeda dengan sektor kehutanan yang karbon terserapnya lebih banyak tersimpan dalam biomasa di atas tanah, di sektor tanaman pangan sebagian besar karbon terserapnya justru disimpan dalam tanah (C-storage, C-sink)). Karbon tersimpan dalam tanah yang merupakan bagian dari siklus karbon, merupakan hasil bersih dari penambahan karbon tanah hasil dekomposisi residu tanaman dan pengu-rangan karbon dalam tanah akibat emisi gas CO2 akibat dekomposisi bahan organik tanah atau akibat erosi (Ball dan Pretty, 2002; FAO, 2007). Temuan di atas mendukung kesimpulan bahwa TOT merupakan teknologi efektif yang mampu menyerap karbon tersimpan (C-storage) dalam tanah melebihi kehilangan C melalui emisi CO2 (Novak, dkk., 2007).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
dan 37% dari emisi gas CO2 tanpa N dan 25 kg N/ha. Menurut Rastogi dkk. (2002), dan Smith and Collins (2007) pemupukan N berpengaruh secara langsung terhadap emisi gas CO2 melalui penyediaan N bagi pertumbuhan tanaman dan mikroba, dan pengaruh tidak langsung melalui perubahan pH tanah. Pemupukan N dapat menyediakan N tersedia yang dapat meningkatkan produksi gas CO2 baik dari respirasi akar tanaman maupun dari dekomposisi bahan organik. Sebaliknya, pemupukan N dosis tinggi dapat menurunkan pH tanah dan menigkatkan NH4+ secara signifikan, sehingga akan menghambat pertumbuhan mikroba perombak bahan organic. Jika ini terjadi maka akan terjadi penurunan emisi gas CO2 (Luo dan Zhao, 2006). Temuan ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Abro, dkk., (2011). Rerata emisi gas CO2 kedelai dari perlakuan N0, N1 dan N2 berturut-turut adalah 13,5, 12,6 dan 11,1 kg C-CO2/ha/hari, dengan nisbah N0/N1 1,1 dan N0/N2 1,2 (Utomo, dkk., 2012a).
78
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Gambar 8.
79
Muhajir Utomo
Penyimpanan C (C-storage) total (di kedalaman tanah 0-20 cm dan di atas tanah) akibat sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang setelah 22 tahun (2009); N0= 0 kg N ha-1, N1= 100 kg N ha-1, 200 kg N ha-1; T1= Olah tanah intensif, T2= Olah tanah minimum, T3= Tanpa olah tanah; (dikembangkan dari Utomo, dkk., 2009).
Neraca Karbon (Carbon Budget) Neraca karbon (C budget) adalah indikator karbon penting untuk melihat apakah suatu sistem pertanian itu sebagai a source atau sebagai a sink, atau sebagai net emitter atau net sinker karbon. Neraca karbon pertanaman jagung pada percobaan ini adalah penyerapan karbon (C sequestration) baik yang berada dalam tanah maupun pada tanaman dikurangi emisi karbon (CO2 emission) pada pertanaman jagung Hibrida selama satu musim tanam tahun 2009. Beberapa asumsi diambil dalam perhitungan neraca karbon yaitu kehilangan karbon langsung dari penggunaan bahan bakar dan penggunaan tidak langsung dari saprodi pertanian tidak diperhitungkan dalam analisis ini. Oleh karena C organik tanah tidak dipengaruhi oleh perlakuan (tidak ada pertam-
Muhajir Utomo
MITIGASI GAS RUMAH KACA
bahan C organik selama satu musim tidak nyata), maka penyerapan karbon dalam tanah tidak diperhitungkan, sedangkan penyerapan C di atas tanah adalah C dalam brangkasan jagung dan janggel, biji jagung, dan gulma. Sementara emisi karbon adalah emisi CO2 yang nilainya disetarakan dengan karbon dihitung selama satu musim tanam. Hasil perhitungan neraca karbon selama satu musim tanam disajikan pada Tabel 14.
Keterangan: N0= 0 kg N ha-1 , N1= 100 kg N ha-1, 200 kg N ha-1; T1= Olah tanah intensif, T2= Olah tanah minimum, T3= Tanpa olah tanah; satu musim=100 hari (Utomo, dkk., 2009); A= dengan C biji, B= tanpa C biji; *di atas tanah Serapan C total di atas permukaan tanah tertinggi dicapai oleh kombinasi OTM dan tanpa pemupukan N yaitu 13,9, atau 80,1% lebih tinggi dari serapan C pada kombinasi OTI dan pemupukan 200 kg N/ha, sedangkan jika dibandingkan dengan kombinasi TOT dengan pemupukan 100 kg N/ha hanya 7,8% lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemupukan N optimal, TOT mampu meningkatkan proses fotosintesis lebih tinggi dari OTI, sehingga C yang terserap pada biomassa di atas tanah lebih tinggi dari pada OTI. Sistem TOT ternyata bukan hanya mampu menurunkan emisi gas CO2, tetapi sekaligus mampu menyerap C secara signifikan. Temuan ini menunjukkan bahwa,
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel 14. Pengaruh sistem olah tanah dan pemupukan N jangka panjang terhadap neraca karbon pertanaman jagung per musim (2009)
80
MITIGASI GAS RUMAH KACA
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
dari pengukuran neraca karbon selama satu musim tanaman (100 hari) ternyata emisi gas C-CO2 pertanaman jagung masih lebih rendah dibanding dengan serapan C total bimassa di atas tanah. Dari neraca karbon selama satu musim juga menunjukkan bahwa sebagai net sinker, TOT lebih efektif daripada OTI (Tabel 14). Keunggulan TOT atas OTI dalam menyerap karbon dalam biomassa di atas tanah terutama dipasok secara nyata oleh karbon dalam brangkasan jagung yang kelak digunakan sebagai mulsa musim berikutnya.
81
Peningkatan Produktivitas Tanah Membaiknya kualitas tanah akibat TOT jangka panjang tercermin pada peningkatan produktivitas tanahnya. Bahasan berikut merupakan pengembangan penulisan oleh Utomo (2006). Sampai dengan musim ke-10 (tahun ke-5), produksi jagung TOT pada dosis N optimal ternyata secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan OTI, tetapi terjadi tanggap sebaliknya pada dosis suboptimal. Pengamatan produktivitas jagung sampai dengan musim ke-38 (tahun ke-22), memperkuat kesimpulan tersebut (Tabel 15). Rerata produksi jagung TOT selama 22 tahun adalah 5,7 ton/ha, atau 10% lebih tinggi daripada produksi jagung OTI. Pola tanggap ini menunjukkan bahwa serapan hara pada TOT dengan dosis N optimal lebih tinggi daripada OTI. Hal ini dapat terjadi karena kelembaban tanah yang lebih tinggi pada sistem TOT (Tabel 6 dan 7) dapat memacu peningkatan serapan pupuk N, sehingga efisiensi pemupukan N meningkat. Hasil perhitungan dua musim tanam tahun pertama menunjukkan rerata efisiensi pemupukan N tanaman jagung pada TOT mencapai 37,8%, sedangkan pada OTI hanya mencapai 16,6% (Utomo, 1995). Sebaliknya pada dosis suboptimal, kelembaban tanah yang lebih tinggi belum dapat mengimbangi pengaruh imobilisasi N pada TOT, sehingga ketersediaan N dalam tanah berkurang dan produksinya pun lebih rendah daripada OTI. Selain efisiensi pemupukan N meningkat, TOT juga dapat meningkatkan efisiensi agronomis tanaman jagung. Berdasarkan hasil perhitungan dua musim tahun pertama menunjukkan bahwa setiap kilogram pupuk N dari dosis 200 kg N/ ha, menghasilkan 17,4 kg jagung dari perlakuan TOT dan hanya 8,9 kg jagung dari perlakuan OTI (Utomo, 1995). Pola tanggap tanaman jagung terhadap sistem olah tanah pada musim ke-14 dan pada musim ke-16 ternyata mulai berubah. Berbeda dari pola tanggap sebe-lumnya, produksi jagung TOT pada dosis N optimal setelah musim ke-14 ternyata menjadi lebih rendah dari pada OTI. Pada olah tanah minimum (OTM) peruÂŹbahan pola tanggap ini bahkan dimulai sejak musim ke-12. Perubahan pola tanggap ini terutama
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
PRODUKTIVITAS TANAH DAN KETAHANAN PANGAN
82
PRODUKTIVITAS TANAH DAN KETAHANAN PANGAN
Muhajir Utomo
disebabkan pengaruh meningkatnya kepadatan tanah pada lapisan atas (0-10 cm), sehingga perakaran jagung sistem olah tanah konservasi (TOT dan OTM) berkurang (Utomo,1995). Walaupun secara umum kesuburan tanahnya membaik, namun ka rena perkembangan perakaran jagung pada permukaan lahan sistem TOT berkurang maka berdampak pada menurunnya serapan hara dan produksi jagung. Atas dasar pola tanggap tanaman jagung tersebut disarankan agar olah tanah minimum jangka panjang pada tanah Ultisol perlu diolah kembali setelah terjadi pemadatan permukaan lahan (sekitar musim ke-10 sampai musim ke-12). Ternyata, setelah semua plot TOT pada musim ke-17 diolah ternyata produksi jagungnya meningkat kembali, bahkan pada tanpa perlakuan pemupukan N pun produksinya lebih tinggi dari pada produksi jagung OTI. Hal ini menunjukkan bahwa akumulasi hara hasil dari dekomposisi serasah pada sistem TOT setelah tanah diolah termineralisasi dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman berikutnya.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel 15. Produktivitas lahan, efisiensi agronomi dan efisiensi pemupukan jagung tiga sistem olah tanah jangka panjang
83
*Setelah semua plot OTK diolah kembali
Muhajir Utomo
PRODUKTIVITAS TANAH DAN KETAHANAN PANGAN
Penguatan Ketahanan Pangan Dampak pertanian TOT terhadap produktivitas lahan yang akan dibahas berikut ini didasarkan pada hasil penelitian jangka panjang selama 21 tahun (1987-2009). Penelitian ini dilakukan pada tanah Udult Hajimena, Lampung dengan pola tanam rotasi serealia-legum (Utomo, dkk., 1989). Bahasan berikut merupakan pe-ngembangan makalah Utomo (2010d). Dari rerata selama 22 tahun berturut-turut (1987-2009) menunjukkan pola khas produksi jagung tiga sistem olah tanah dan pemupukan N. Rerata produksi jagung TOT pada dosis 200 kg N/ha mencapai 5,7 ton/ha, sedangkan OTI 5,3 ton/ha dan OTM 5,4 ton/ha. Sebaliknya pada tanpa N, produksi jagung TOT sama dengan OTI yaitu 3,6 ton/ha dan OTM 3,3 ton/ha. Pada perlakuan tanpa N, adanya mulsa dengan C/N tinggi (alang-alang bercampur dengan berangkasan jagung dan gulma) pada TOT memacu proses imobilisasi N sehingga akan mengurangi ketersediaan N bagi tanaman. Sebaliknya pada perlakuan N optimum, adanya tambahan N dari pupuk dapat meningkatkan ketersediaan N dan sekaligus mengurangi dampak imo-bilisasi N. Selain itu, meningkatnya kelembaban tanah TOT akibat adanya mulsa juga memacu serapan hara, sehingga dapat meningkatkan produksi jagung (Utomo, dkk., 1989). Penelitian jangka panjang di Nigeria selama 12 tahun (24 musim) juga menunjukkan pola tanggap yang sama. Keungguluan TOT dari sistem olah tanah lainnya pada penelitian jangka panjang selama 12 tahun di Nigeria, secara umum berkaitan erat dengan meningkatnya kesuburan tanah TOT. Dibandingkan dengan sistem OTI, bahan organik tanah, nitrogen total dan basa-basa tanah TOT meningkat, sementara kesuburan tanah OTI menurun. Selain itu, keragaman makro fauna, meso fauna, mikroorganisme tanah dan cacing tanah pada tanah TOT juga lebih tinggi daripada OTI (Lal, 1995). Dari penelitian jangka panjang selama 22 tahun di Lampung menunjukkan bahwa teknologi TOT berpeluang dalam mendukung program ketahanan pangan nasional terutama dari subsektor pertanian tanaman pangan di lahan kering. Apalagi potensi la-
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Seperti pada dua musim pertama, efisiensi pemupukan N TOT pada musim ke-17 setelah diolah kembali secara konsisten lebih tinggi daripada OTI, yaitu berturut-turut 22,5, 18,0 dan 2,6% untuk OTM, TOT dan OTI. Demikian juga efisiensi agronomi TOT selama 22 musim selalu lebih tinggi daripada OTI (Tabel 15). Hal yang menarik dari temuan ini adalah pada dosis optimum kemampuan tanaman jagung TOT dalam memanfaatkan N pupuk lebih tinggi (lebih efisien) daripada tanaman jagung OTI dan kemampuannya tetap dipertahankan secara berkelanjutan.
84
PRODUKTIVITAS TANAH DAN KETAHANAN PANGAN
Muhajir Utomo
han kering dan kebutuhan pangan Indonesia masih sangat tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2004 luas pertanian lahan kering mencapai 66 juta ha atau 91% dari luas total lahan pertanian (Utomo, 2006). Sementara pada tahun 2010 pemerintah
Foto 30. Jagung TOT dengan pemupukan N optimum (belakang) dan tanpa N (depan)
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, 2009
85
Utomo, 2009
Foto 31. Produksi jagung tanpa olah tanah dengan dosis N tinggi
masih harus mengimpor 1,6 juta ton beras, 2,8 juta ton jagung, dan 1,2 juta ton kedelai, dengan nilai impor pangan mencapai Rp. 50 trilyun (Aristiarini, 2012). Adanya kesenjangan ini merupakan peluang besar untuk memberdayakan wilayah lahan kering dengan teknologi yang bukan hanya dapat meningkatkan produktivitas lahan saja, tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan berwawasan lingkungan. Dengan mengadopsi pertanian lahan kering TOT dan memanfaatkan lahan tidur di wilayah lahan kering, tambahan produksi tanaman pangan nasional akan meningkat secara berkelanjutan. Dengan demikian, penerapan TOT untuk pertanian tanaman pa足
Muhajir Utomo
PRODUKTIVITAS TANAH DAN KETAHANAN PANGAN
Utomo, 2010
Foto 32. Produksi kedelai TOT setelah rotasi dengan tanaman jagung TOT
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
ngan di lahan kering, ketahanan pangan dan bio-energi yang sudah dicanangkan pemerintah dapat diwujudkan. Tambahan produksi ini tersebut diperoleh dari tambahan dari meningkatnya produktivitas lahan TOT (Foto 31 dan 32), dan tambahan luas pertanian TOT di lahan kering.
86
EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS Aspek ekonomi TOT penting karena sangat menentukan keberhasilan adopsi teknologi. Bahasan mengenai ekonomi TOT dan agribisnis berikut ini sebagian besar dikembangkan dari makalah Utomo (2006) dan Ismono (2004). Peningkatan Efisiensi Salah satu keunggulan TOT yang menonjol selain meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas tanah adalah dalam menghemat tenaga kerja yang diperlukan dalam persiapan lahan. Keunggulan TOT atas OTI dalam menghemat tanaga kerja tergantung dari jenis usaha tani, kondisi lahan dan manajemen petani. Pertanian tana-man pangan yang paling banyak menggunakan tenaga kerja adalah kedelai (88 HKP untuk TOT vs 118 HKP untuk OTI), sedangkan yang paling sedikit adalah jagung Hibrida (58 HKP untuk TOT dan 112 HKP untuk OTI). Dari analisis berbagai komoditi tanaman pangan tersebut Ismono (2004) menyimpulkan bahwa TOT memerlukan tenaga kerja 72 HKP dan OTI 137 HKP atau TOT dapat menghemat tenaga kerja sebesar 96% dibanding OTI (Tabel 16). Hal ini disebabkan TOT tidak memerlukan pengolahan tanah intensif dalam persiapan lahan dan penyiangan gulmanya. Untuk kegiatan tersebut TOT menggunakan cara kimiawi dengan menggunakan herbisida berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja secara signifikan. Sedangkan kebutuhan kerja kedua sistem olah tanah untuk kegiatan lainnya relatif sama. Jika dianalisis revenue cost ratio berbagai komoditi tanaman pangan (Ismono, 2004), ternyata TOT mampu meningkatkan 34% lebih tinggi daripada OTI (Tabel 17). Hal ini menunjukkan tanaman pangan TOT lebih menguntungkan dari pada OTI. Tingginya revenue cost ratio TOT tersebut terutama diperoleh dari penghematan te足 naga kerja dalam persiapan lahannya (Tabel 16).
87
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS
Tabel 16. Penggunaan tenaga kerja berbagai komoditi
*Sumber: Ismono, (2004), dimodifikasi
*Sumber: Ismono, (2004), dimodifikasi
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Tabel 17. Revenue Cost Ratio berbagai komoditi
88
EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Berdasarkan hasil analisis usaha tani jagung penelitian sistem olah tanah jangka panjang (Tabel 18) menunjukkan bahwa sistem TOT mampu menekan total biaya produksi sebesar 39% dan meningkatkan pendapatan usaha tani sebesar 44 sampai 61% dibanding OTI. Nisbah B-C usaha tani jagung TOT juga lebih tinggi dari pada OTI (Hendra, 1997). Penelitian yang dilakukan oleh Soelaiman, dkk., (1993) di tingkat petani juga menunjukkan tingkat penggunaan tenaga kerja TOT pada usaha tani jagung yang lebih rendah daripada OTI. Penghematan tenaga kerja TOT ini akan berdampak pada penurunan biaya produksi usaha tani dan peningkatan pendapatan usaha tani. Dari penelitian di tingkat petanitersebut dapat disimpulkan bahwa sistem TOT dapat meningkatkan pendapatan usaha tani jagung sebesar 17% lebih tinggi daripada OTI. Perbedaan pendapatan ini terutama disebabkan oleh penghemaÂŹtan biaya tenaga kerja pada sistem TOT. Dari kinerja ekonomi TOT yang lebih baik daripada OTI tersebut menya-kinkan petani untuk menerapkan usaha tani TOT ini. Penelitian yang dilakukan oleh Rusmialdi, dkk., (1993) menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap keuntungan relatif penerapan OTK pada usaha tani jagung baik ditinjau dari segi penggunaan tenaga kerja, produksi maupun pendapatan petani ternyata lebih baik dibandingkan dengan OTI. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa adopsi TOT oleh petani banyak ditentukan oleh pengalaman petani, kegiatan penyuluhan dan penghematan tenaga kerja (Effendi, 2004).
89
Potensi untuk Pengembangan Agribisnis Dari hasil analisis ekonomi TOT di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa TOT mempunyai kinerja ekonomi yang lebih unggul dari pada OTI. Kinerja TOT ini tentu akan mendukung upaya untuk meningkatkan keuntungan agribisnis lahan kering. Berkaitan dengan kegiatan agribisnis, TOT merupakan teknologi subsektor hulu (teknik budidaya) yang menentukan apakah usaha tani itu menguntungkan atau tidak. Bahasan berikut yang dikembangkan dari Utomo (2004) akan menunjukkan betapa besar peran TOT dalam memperbesar marjin keuntungan suatu usaha tani.
Muhajir Utomo
EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS
Tabel 18. Analisis usaha tani jagung tiga sistem olah tanah jangka panjang
Catatan: Dosis urea, TSP dan KCl masing-masing 435, 100 dan 50 kg/ha
1. Meningkatkan pendapatan petani Salah satu keunggulan TOT yang menonjol adalah dalam menghemat tenaga kerja terutama dalam menyiapkan lahan. Keunggulan TOT atas OTI dalam menghemat tenaga kerja tergantung dari jenis usaha tani, kondisi lahan dan manajemen petani. Di samping penghematan tenaga kerja, TOT juga dapat menghemat bahan bakar (energi), biaya suku cadang traktor dan kebutuhan pupuk. Penghematan variabel inilah yang menyebabkan biaya produksi TOT lebih rendah dari pada OTI. Dengan rendahnya biaya produksi, maka dengan produksi yang sama, pendapatan petani TOT akan lebih tinggi dari pada OTI. Rendahnya kebutuhan tenaga kerja dan bahan bakar pada sistem TOT disebabkan oleh makin berkurangnya frekuensi pembajakan, tidak adanya pembumbunan, dan makin berkurangnya penyiangan secara mekanis. 2. Meningkatkan indeks pertanaman Selain dapat menghemat tenaga kerja,TOT juga memberikan peluang lebih baik dalam memanfaatÂŹkan ruang dan waktu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Dari dimensi ruang TOT dapat meningkatkan luas areal tanam, sedangkan dari dimensi waktu, teknologi TOT dapat meningkatkan intensitas pertanaman (IP).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Lima peran TOT dalam mendukung agribisnis secara singkat dijelaskan seperti berikut:
90
EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS
Muhajir Utomo
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Hal ini karena waktu dan tenaga kerja yang diperlukan oleh TOT dalam per-siapan lahan sedikit daripada OTI. Luas lahan yang dapat digarap petani dengan teknik TOT di daerah transmigrasi bisa mencapai 2 ha, sedangkan petani OTI hanya mampu menggarap 0,7 ha. Intensitas tanam juga dapat ditingkatkan menjadi 2 atau 3 setiap tahunnya, sebab setiap musim waktu yang dihemat oleh sistem TOT rata-rata 3-4 ming足gu. Peningkatan IP menjadi 2-3 di samping akan meningkatkan pendapatan petani, juga akan membantu program intensifikasi pertanian dalam mewujudkan ke足 ta足hanan pangan nasional.
91
3. Mempunyai compatibility yang luas Teknik TOT lahir dan dikembangkan dari teknik babat-bakar, suatu local knowledge persiapan lahan nenek moyang kita, yang sudah diramu dengan Iptek modern. Oleh karena itu, TOT bukan hanya cepat berkembang di wilayah yang kekurangan tenaga kerja, tetapi juga compatible dengan teknologi lainnya. Saat ini TOT bukan hanya compatible dengan tanaman pangan saja (jagung, padi, dan kacang-kacangan), tetapi juga compatible dengan tanaman perkebunan (kakao, kopi, lada, kelapa sawit dan karet) dan tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (tomat, cabai dan semangka). Teknologi TOT juga compatible dengan teknologi lainnya se足 perti dengan pola tanam (wana tani, tanaman lorong, rotasi tanaman, tanaman sela, tumpang sari HTI dan tanaman perkebunan), dan dengan teknik konservasi tanah dan air (teras, rorak, dan teknologi konservasi lainnya). Kombinasi teknik TOT dengan teknologi lainnya mempunyai sinergisme tinggi yang menghasilkan keuntungan ganda. Keuntungan ganda pada kombinasi TOTpola tanam antara lain kebutuhan tenaga kerja dapat lebih dihemat, serangan hamapenyakit dapat lebih ditekan dan konservasi tanah dan air dapat lebih ditingkatkan. Makin luasnya spektrum compatibility TOT baik dengan komoditi maupun dengan teknologi lainnya, akan memperbesar peluang TOT dalam mendukung agribisnis subsektor hulu di perdesaan. 4. Mendorong pemuda di perdesaan untuk bertani Akhir-akhir ini, makin sulitnya mencari tenaga kerja muda di perdesaan untuk bertani merupakan tantangan program peningkatan ketahanan pangan. Hal ini dapat dimengerti, karena image yang berkembang di masyarakat adalah bertani itu identik dengan kemiskinan dan kekumuhan. Oleh karena itu, para pemuda desa tidak tertarik lagi untuk bertani, dan lebih baik mereka ke kota untuk menjadi buruh. Jika keadaan ini terus berlangsung, maka program ketahanan pangan nasional akan terancam gagal.
Muhajir Utomo
EKONOMI TANPA OLAH TANAH DAN AGRIBISNIS
Dengan adanya TOT yang tidak memerlukan pengolahan atau hanya mengolah tanah minimum saja akan merangsang para pemuda untuk kembali bertani. Bagi pemuda desa, dengan TOT berarti persiapan lahan tidak terlalu berat dan kaki tidak perlu berlumpur. Selain itu, akan lebih efisien lagi jika teknik TOT dilakukan dengan cara mekanisasi (dengan traktor) dalam penyemprotan dan penanamannya (no-till planter). Dengan demikian, TOT akan mengubah image bahwa pertanian itu kotor dan tidak menarik menjadi pertanian itu menyenangkan dan menguntungkan.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
5. Mendorong perdesaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru Waktu dan tenaga kerja yang dihemat dengan adanya TOT dapat diman-faatkan untuk kegiatan-kegiatan produktif lainnya (off farm) di perdesaan sehingga dapat menambah pendapatan keluarga. Selain itu, makin menariknya sektor pertanian bagi pemuda desa, berarti sektor pertanian akan kembali makin marak, dan pasokan produksi pangan akan makin meningkat. Dengan demikian, jika petani di suatu perdesaan sudah banyak yang bertani dengan teknik TOT, ini berarti bukan hanya agribisnis subsektor hulu saja yang berkembang, tetapi juga subsektor hilir (agroindustri dan industri lainnya) sehingga perdesaan akan cepat bertumbuh dan berkembang. De足足ng足 an demikian di masa depan perdesaan diharapkan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru (Utomo, 2000b).
92
SEPULUH KEUNGGULAN TANPA OLAH TANAH Berdasarkan bahasan di atas dan hasil penelitian TOT jangka panjang serta ber足 bagai hasil penelitian lainnya (Blevins dan Frye, 1994; CTIC, 1999; CTIC, 2000, CTIC, 2001, Utomo, 1999; Utomo, 2006), teknologi TOT khususnya dan OTK umum足nya mempunyai sepuluh keunggulan. Urutan sepuluh keunggulan berikut ini didasarkan pada preferensi petani terhadap TOT. 1. Mengurangi tenaga kerja dan menghemat waktu Oleh karena pada teknik OTK tidak banyak memerlukan pengolahan tanah (OTM) atau tidak memerlukan pengolahan tanah sama sekali kecuali untuk lubang tanam (TOT), maka kebutuhan tenaga kerjanya pun menjadi lebih sedikit. Teknik OTK dapat menghemat tenaga kerja sampai 30% dan mengurangi waktu pengolahan tanah sampai dua minggu. Pada OTK dengan mekanisasi, waktu yang dihemat dapat me足n足 capai 225 jam per tahun atau 60 jam per minggu. 2. Mengurangi kebutuhan energi dan peralatan pengolahan tanah Teknik OTK dapat diterapkan secara modern, yaitu menggunakan alat mekanisasi canggih seperti alat penyemprot, alat penanam (no-till planter) sekaligus dengan alat untuk penempatan pupuk, dan combine harvester. Pada OTK dengan mekanisasi, penggunaan traktor untuk pengolahan tanah semakin berkurang. Hal ini berarti OTK mampu menghemat bahan bakar (energi) dan mengurangi biaya perawatan traktor. Bahan bakar yang dapat dihemat mencapai 33 liter per hektar, sedangkan biaya perawatan mesin dapat ditekan sebesar 13 dolar per hektar. 3. Meningkatkan pendapatan petani Dengan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja, energi dan kebutuhan pupuk serta penghematan waktu, maka biaya produksi dapat dihemat sampai 39%. Hal ini berarti dengan produksi yang sama (pada kondisi optimum produksi OTK bahkan lebih tinggi dari OTI), maka pendapatan petani OTK akan lebih tinggi dari pada OTI. Selain itu,
93
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Muhajir Utomo
SEPULUH KEUNGGULAN TANPA OLAH TANAH
dengan makin luasnya garapan petani, peningkatan pendapatan petani bisa mecapai 44 sampai 61%. 4. Meningkatkan bahan organik tanah Penelitian terakhir menunjukkan bahwa makin banyak tanah diolah, makin ba足 nyak emisi karbon ke atmosfir sehingga makin sedikit karbon yang tersimpan dalam tanah (C storage). Sebaliknya makin sedikit lapisan olah tanah yang diolah (bahkan tidak ada sama sekali TOT), makin sedikit emisi karbon yang hilang ke atmosfir dan makin banyak bahan organik tanah TOT yang disimpan dalam tanah. Bahan organik tanah merupakan parameter kunci kualitas tanah yang akan mem-pengaruhi aktivitas biota tanah dan perilaku fisiko-kimia tanah. Rerata penambahan bahan organik tanah TOT mencapai 0,1 persen per tahun. Selain bahan organik tanah, unsur hara di dalam tanah OTK jangka panjang juga meningkat dibandingkan dengan OTI. Meningkatnya bahan oganik tanah dan hara TOT tersebut karena kontribusi dari mulsa serasah.
6. Meningkatkan konservasi air Adanya mulsa pada permukaan tanah TOT di lahan kering mampu menahan penguapan air tanah sehingga kelembaban dan ketersediaan air meningkat. Mening-katnya kelembaban tanah akan berpangaruh terhadap menurunnya suhu tanah yang berdampak positif terhadap meningkatnya aktivitas biota tanah dan partumbuhan tanam足 an. Peran TOT dalam konservasi air menjadi lebih penting terutama di lahan kering mengingat masalah kelangkaan sumberdaya air saat ini menjadi isu global. 7. Menekan aliran permukaan dan erosi Mulsa pada permukaan lahan TOT mampu meningkatkan infiltrasi dan menekan aliran permukaan sehingga dapat mengurangi erosi oleh air. Tergantung dari tipe tanah dan jumlah mulsanya, erosi tanah dapat ditekan sampai 90%. Pada dasarnya, pen-
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
5. Memperbaiki agregasi tanah Akibat berkurangnya manipulasi lapisan olah tanah dan meningkatnya bahan organik tanah pada tanah yang tidak diolah intensif, agregasi tanahnya akan menguat. Kemantapan agregat dan ketahanan struktur tanah (bongkahan) TOT jangka panjang rata-rata dua kali lebih tinggi dari OTI. Pori makro tanah dan cast hasil aktivitas ca足 cing tanah juga meningkat. Perbaikan agregasi tanah ini akan berpengaruh terhadap menurunnya erosi air dan emisi karbon, meningkatnya aerasi tanah, dan membaiknya daya penetrasi akar tanaman dalam menembus tanah.
94
SEPULUH KEUNGGULAN TANPA OLAH TANAH
Muhajir Utomo
garuh paling signifikan dengan adanya penerapan TOT adalah penurunan erosi. Akan tetapi, pengamatan di lapang menunjukkan bahwa petani lebih banyak memberi足kan apresiasi terhadap keuntungan ekonomis daripada keuntungan dalam menekan erosi ini. Peran TOT dalam menekan erosi yang sangat signifikan ini dapat mengerem laju meluasnya lahan-lahan kritis di dunia.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
8. Meningkatkan biodiversitas tanah Biodiversitas tanah merupakan indikator penting dalam pertanian berkelanjutan. Biodiversitas tanah menggambarkan sustainability suatu ekosistem. Makin meningkat indeks biodiversitas tanah, makin tinggi kemampuan tanah tersebut dalam mendukung suatu partumbuhan tanaman. Mulsa di permukaan lahan TOT mampu memperbaiki mikroklimat tanah dan memasok bahan makanan untuk biota tanah. Kondisi permukaan lahan TOT memang menyerupai lingkungan alami, membuat aktivitas biota tanah dapat meningkatkan dengan baik. Indeks biodiversitas makro fauna, miso fauna dan mikro organisma tanah pada lahan TOT meningkat diban-dingkan OTI. Meningkatnya biodiversitas tanah TOT akan meningkatkan sustain-ability usaha tani berbasis TOT.
95
9. Memperbaiki kualitas sumberdaya air Mulsa di permukaan lahan TOT akan menahan partikel tanah bersama-sama deng足an unsur hara, pupuk dan pestisida untuk tetap berada in situ, tidak terbawa oleh aliran permukaan ke sungai dan laut. Apa lagi permukaan tanah TOT tidak banyak dimanipulasi (tidak diolah), sehingga agregasi tanahnya tidak rusak. Bahkan mulsa dapat mengurangi herbisida dalam aliran permukaan sampai separuhnya. Selain itu, biota tanah yang hidup dalam tanah kaya bahan organik mampu mengurai pestisida dalam tanah sehingga dapat melindungi air tanah dari pencemaran. Dengan demikian mulsa di permukaan lahan OTK bertindak sebagai filter polutan yang efektif. 10. Memperbaiki kualitas udara Pada persiapan lahan teknik TOT, pembakaran residu tanaman tidak diperbolehkan, tetapi justru harus digunakan sebagai mulsa untuk melindungi tanah dari degradasi. Dengan tidak adanya pembakaran dan lambatnya dekomposisi mulsa karena tidak diolah berarti pasokan gas rumah kaca (CO2) ke atmosfer berkurang. Teknik TOT mampu mengurangi 70% emisi CO2 dan menyerap 24% karbon lebih tinggi dibanding business as usual, sehingga membantu mengurangi pemanasan global. Dampak positif ini bukan hanya akan memperbaiki kualitas udara in situ, tetapi juga
Muhajir Utomo
SEPULUH KEUNGGULAN TANPA OLAH TANAH
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
akan membantu memperbaiki efek rumah kaca dari sektor pertanian yang saat ini sudah menjadi isu global. Bahkan TOT bukan hanya mampu mengurangi emisi gas CO2 secara signifikan, tetapi juga mampu meningkatkan serapan karbon, sehingga dapat mengubah pertanian tanaman pangan dari net emitter menjadi net sinker.
96
IMPLIKASI PENGEMBANGAN Sistem olah tanah intensif (OTI) yang selama ini menjadi pilar persiapan pertanian lahan kering, ternyata untuk jangka panjang justru menyebabkan kemunduran kualitas sumberdaya lingkungan dan kemiskinan di perdesaan. Selain itu, teknologi OTI juga memerlukan energi, tenaga kerja dan waktu yang banyak dibanding TOT. Jika teknologi ini terus diterapkan di lahan ke足ring, maka dikhawatirkan program ketahanan pangan nasional akan terganggu dan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan akan menurun. Sebagai salah satu best practices yang sudah teruji, teknologi TOT pertanian lahan kering dapat (1) memugar kualitas tanah dan meningkatkan produktivitas lahan, (2) menghemat tenaga dan mengurangi biaya produksi secara signifikan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan, (3) mengurangi emisi gas CO2 sektor pertanian dan (4) mampu meningkatkan penyerapan karbon baik di dalam tanah maupun di atas tanah. Dengan demikian, teknologi TOT tanaman pangan sebetulnya merupakan C-net sinker. Dengan menerapkan dan mengembangkan teknologi TOT pada pertanian tanaman pangan dan biomassa di lahan kering, diharapkan ketahanan pangan dapat diperkuat dan program pengurangan emisi gas rumah kaca nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dapat diwujudkan. Atas dasar keunggulan tersebut, teknologi TOT layak untuk dikembangkan untuk mendukung program penguatan ketahanan pangan nasional. Untuk komoditi selain tanaman pangan, TOT berpotensi menjadi teknologi alternatif yang lebih efisien dan efektif dalam pengembangan tanaman bio-energi dan hutan tanaman industri. Untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional dan mitigasi GRK, diperlukan penelitian berkelanjutan lintas disiplin terutama bidang adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global.
97
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
DAFTAR PUSTAKA Abro, S.A, X.H. Tian, D.H. You and X.D. Wang. 2011. Emission of carbon dioxide influenced by nitrogen and water levels from soil incubated straw. Plant Soil Environ. 57, 2011 (6): 295â&#x20AC;&#x201C;300. Afandi. 2000. Konservasi tanah dan air di persimpangan jalan, antara mimpi dan kenyataan. Seminar Nasional FOKUSHIMITI. 5 Juni 2000. Bandar Lampung. Alexander, M. 1976. Introduction to soil microbiology. Second Edition. John Wiley & Sons. New York, USA. Altieri, M. A. 1995. Agroecology, the science of sustainable agriculture. The second Edition, IT Publication.
Ardjasa, W.S., I.G. Ismail dan S. Effendi. 1981. The application of dowpon M on alang-alang. APWSS Conferences. Bangalore, India. 22-29 November 1981. Aristiarini, A. 2012. Membangun kedaulatan petani demi pangan. Kompas. 15 Februari 2012. Laporan Iptek. Ball, A.S. and J.N. Pretty. 2002. Agricultural influences on carbon emissions dan seques-tration. University of Essex. Wivenpark, Colchester, UK. Bennet, A.J. 1994. Soil science and better land use. In: J.K. Syers and D.L. Rimmer (eds). Soil Science dan Sustainable Land Management in the Tropics. CAB International.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Anonim. 2010. Soil biodiversity: functions, threats dan tools for policy makers. European Commission DG ENV. Final Report February 2010. Bio Intelegence Service. 250p.
98
Blevins R.L, M.S Smith and G.W Thomas. 1984. Changes in soil properties under no-tillage. In: Phillips, R.E., dan S.H. Phillips (eds.). No-tillage Agriculture: Principles dan Practices. Van Nostrand Reinhold Company Inc. pp. 190-230. Blevins, R.L and W.W. Frye. 1994. Conservation tillage, an ecological approach to soil management. Advance in Agronomy, Vol. 51. Boer, R. 2010. Strategi Mitigasi Emisi GRK dari Lahan Gambut. Centre for Climate Risk and Opportunity Management in South East Asia and Pacific (CCROM SEAP), Bogor Agriculture University. Brady, N.C., and R.R. Weil. 2008. The Nature and properties of soil. Person Educational International, New Jersey. 965p. Brye, K.R., D.E. Longer and E.E. Gbur. 2006. Impact of tillage and residue burning on carbon dioxide flux in a wheat-soybean production system. Soil Sci.Soc.Am.J 70:1145-1154 (2006). SSSA. Madison, USA. Coleman, D.C., D.A. Crossley, Jr., and P.F. Hendrix. 2004. Fundamentals of soil ecology. Institute of Ecology, University of Georgia, Athens, Georgia. Elsevier Academic Press. Amsterdam. Second Edition.386p. Conway, G.R. and E.B. Barbier. 1990. After the green revolution: Sustainable for Agriculture. Earthscan Publications. Conservation Technology Information Center (CTIC). 1999. Conservation tillage. Core 4, Conservation for Agriculture. http.//www..ctic.purdue.edu. USA. Conservation Technology Information Center (CTIC). 2000. Agriculture can capture carbon. Partners. Vol. 18 No.2. USA Conservation Technology Information Center (CTIC). 2001. Conservation tillage checklist . Conservation Tillage (http://www.ctic.perdue.edu). Derpsch, R. 1999. New paradims in agricultural production. ISTRO-INFO EXTRA, Vol. 4. 1999 (http://www.soils.wisc.edu/istro). Desjardins RL, W Smith, B Grant, C Campbell, H Janzen and R Riznek. 2002. Management Strategies to Sequester Carbon in Agricultural Soils and to Mitigate
99
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Greenhouse Gas Emissions. International Workshop on Reducing Vulnerability of Agriculture and Forestry to Climate Variability and Climate Change. Ljubljanu, Slovenia, October 7th â&#x20AC;&#x201C; 9th, 2002. Doran, J.W.,A.J. Jones, M.A. Arsyad, and Gilley. 1999. Determinant of soil quality and health. In: R. Lal. (ed) Soil Quality and Soil Erosion. CRC Press, Soil and Water Conservation Society. Iowa. Dumanski, J. 2001. Sustainable land management. Eastern Cereal & Oilseed Research Centre. Canada. Effendi I. 2004. Adopsi teknologi olah tanah konservasi pada usahatani palawija di kabupaten Lampung Selatan. Prosiding Seminar BDP-OTK. Gorontalo, 6-7 Oktober, 2004. HIGI dan Pemda Provinsi Gorontalo. Engelman, R. and LeRoy, P. 1995. Conserving land: population and sustainable food production. Population Action International. Washington D.C.
Food and Agriculture Organization (FAO). 2000. Sustainable land use and management needed to prevent soil degradation. Press Release 00/27. Food and Agriculture Organization (FAO). 2007. Carbon sequestration in dry land soils. Natural Resources Management and Environment Department. Gardiner, D.T. and R.W. Miller. 2008. Soils in our environment. Eleven Edition. Pearson Prentice Hall. Columbus, Ohio. 600p. Hendra, D. 1997. Pengaruh perbaikan beberapa karakteristik lahan terhadap kesesuaian lahan tanaman jagung pada tanah Ultisol Gedungmeneng. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Houghton, R.A. 1995. Change in the strorage of terrestrial carbon since 1850. In: R. Lal, J. Kimbal, E. Levine dan B.A.Stewart (eds.). Soils dan Global Change. CRC Press. Boca Raton, FL. p. 45-65.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Fithriadi, R., A. Ng. Ginting, O.S. Hadiwisastra, T. Dierolf, dan H. Beukeboom. 1997. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia. Bogor.
100
International Soil Conservation Organitation (ISCO). 1996. Precious earth. From Soil dan Water Conservation to Sustainable Land Management. Swiss. IPCC. 2000. IPCC special report on land use, land use change dan forestry. In: R.T. Watson et al. (ed.). A Special Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. WMO, Geneva. Ismono, R. H. 2004. Kajian aspek sosial ekonomi penerapan olah tanah konservasi. Prosiding Seminar BDP-OTK. Gorontalo, 6-7 Oktober, 2004. HIGI dan Pemda Provinsi Gorontalo. Japan Close Up. 2001. The power of Japanese-style : Millenial Sustainability. Vol. 6 (32) No. 33 Issue 69 (372). La Scala, ND Bolonhezi and GT Pereira. 2005. Short-term soil CO2-C emission after conventional and reduced tillage of a no-till sugar cane area in southern Brazil. Soil and Tillage Research 91 (1-2):244-248. Lal, R. 1989. Conservation tillage for sustainable agriculture: tropics versus temperÂŹate environment. Advances in Agronomy, 42: 85-197. Lal, R. 1995. Tillage system in the tropics. Management Options and Sustainability Implications. FAO Bulletin 71. Lal, R. 1997. Crop residu dan soil carbon. Carbon Management and Sequestration Center. The Ohio State University Columbus, OH 43210 Lal, R. 2006. No-till farming offers a quick fix to help ward off host global problems. Ohio State Research News. USA. Lou, Y. and X. Zhou. 2006. Soil respiration and the environment. Academic Press. Burlington, MA, USA/Elsevier, Inc. 316p. MAF. 2006. Sustainable land management and climate change. Option for Plan of Action. New Zealand Gorvernment Initiative on Sustainability.
101
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Melfi, A. J. 2005. Soil, sugar and carbon sink. TWAS Newsletter. Vo. 17 No.4. Myers, P. 1994. Conservation tillage, a saving plan you can bank on. BASF, N.J. Niswati, A., S. Yusnaini, M. Utomo, I.A. Asnuri dan A.I. Wirawan. 1997. Longterm conservation tillage effect on meso fauna and mycorrhizae density in Lampung. Novak, J.M., P.J. Bauer and P.G. Hunt. 2007. Carbon dinamics under long-term conservation and disk tillage management in a Norfolk Loamy Sand. Soil Sci.Soc. Am.J 71:453-456 (2007). SSSA. Madison, USA. Paul, E. 2007. Soil microbiology, ecology and biochemistry. Elsevier. Amsterdam. Third Edition. Rastogi M, S. Singh, and H. Pathak. 2002. Emission of carbon dioxide from soil. Current Science 82 (5): 510-517.
Rusmialdi, S., M. Utomo, dan A. Hudoyo. 1993. Persepsi petani terhadap keuntunÂŹgan relatif penerapan sistem tanpa olah tanah usaha tani jagung pada musim kemarau di Rawa Sragi. Prosiding Seminar Nasional IV Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Bandar Lampung. 4-5 Mei 1993. Sanchez. P.A. 1976. Properties and management of soils in the tropics. JohnWiley and Sons. New York 618p. Salim, E. 2010. Ratusan bangsa merusak satu bumi. Kompas. Penerbit Buku. Jakarta. Scholes, R.J, R. Dalal, and S. Singer. 1994. Soil physics and fertility. In: P.L. Woomer dan M.J. Swift (Ed). The effect of water, temperature and texture. The Biological Management of Tropical Soil Fertility.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Reicosky, D.C. 2000. Conservation tillage and carbon cycling: soil as a source or sink for carbon. USDA-Agricultural Research Service, North Central Soil Conservation Research Laboratory. MN, USA.
102
Sedjo, R., B. Sohngen, and P. Jagger. 1998. Carbon sinks in post-Kyoto wolrd. Internet Edition. Resources for the Future. Washington DC. Sinukaban, N. 1990. Pengaruh pengolahan tanah konservasi dan pemberian mulsa jerami terhadap produksi tanaman pangan dan erosi hara. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Puslitanak. Bogor. Soelaiman, A., A. Hudoyo, M. Nur, I. Lihan dan M. Utomo. 1993. Keuntungan komparatif budidaya tanpa oplah tanah budidaya tanaman jagung dan kedelai di Rawa Sragi Lampung Selatan. Prosiding Seminar Nasional IV Budidaya Pertanian Olah tanah Konservasi. Bandar Lampung. 4-5 Mei 1993. Stocking, M. 1994. Soil erosion and conservation: A place for soil science? In: J.K. Syers dan D.L. Rimmer (eds). Soil Science dan Sustainable Land Management in the Tropics. CAB International. Subiantoro, R., M. Utomo, M. Idrus dan Y. Parapasan. 1995. Pengaruh sistem pengolahan tanah terhadap kadar air dan air tanah tersedia pada musim ke-16. Prosiding Seminar Nasional V Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Bandar Lampung. 8-9 Mei 1995. Tjitrosesemito, S. 2005. Olah tanah konservasi. Prospek dan Tantanagan Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. 35 Tahun PT Agricon. PT Agrocon. Tomich, T.P., M. van Noordwijk and D.E. Thomas. 2004. Agricultue ecosystems & environment. Environmental Services and Land Use Change. Bridging the Gap between Policy and Research in Southeast Asia. Elsevier. 244p. Triplett, G.B. and W.A. Dick. 2008. No-tillage crop production: a revolution in agriculture. Agro.J., 100: S-153-S-156. UNEP. 2001. Agricultural biological diversity. Convention on Biological Diversity. Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technical Advice. Seventh Meeting, Montreal, 12-16 November 2001. 25p.
103
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
USDE. 2005. Less is more: no-till agriculture helps mitigate global warming. US Department of Energy Research News. Office of Science of US Department of Energy. Utomo, M., H. Suprapto and Sunyoto. 1989. Influence of tillage dan nitrogen fertilization on soil nitrogen, decomposition of alang-alang (Imperata cylindrica) dan corn production of alang-alang ldan. In: J. van der Heide (ed.). Nutrient Management for Food Crop Production in Tropical Farming Systems. Institute for Soil Fertility (IB), Haren, The Nedtherldans, dan Universitas Brawijaya, Malang. Utomo, M. 1990. Budidaya pertanian tanpa olah tanah, teknologi untuk pertanian berkelanjutan. Direktorat Produksi Padi dan Palawija Departemen Pertanian. Jakarta. Utomo, M., W.A. Zakaria dan A.K. Mahi. 1993a. Pembangunan wilayah lahan kering di Propinsi Lampung untuk mempertangguh daya dukung pertanian. Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering. Bandar Lampung. 20-21 September 1993.
Utomo, M. 1994. Degradasi tanah dan pertanian konservasi. Kursus Amdal Tipe A. 22 Agustus - 3 September 1994. PSL Unila - Bappedal Pusat. Utomo, M. 1995. Sistem olah tanah konservasi dan pertanian berkelanjutan. Sarasehan tentang Kebijakan Pertanian Berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. 9 Maret 1995. Utomo, M. 1997. Teknologi olah tanah konservasi: teknologi pengelolaan lahan kering berkelanjutan.Bahan pidato Guru Besar Tetap Ilmu Pengelolaan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lamapung, 22 September 1997. Utomo, M., I.S. Banuwa, A. Niswati, S. Yusnani, I.A. Asnuri dan I.G. Suase. 1997. Long-term conservation tillage effect on earthworm and soil aggregate. International
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, M., P. Danriadi dan H. Buchori. 1993b. Pencucian hara pada budidaya pertanian olah tanah konservasi. Prosiding Seminar Nasional IV Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Bandar Lampung, 4-5 Mei 1994.
104
Workshop on Biologycal Management of Soil Fertility on Acid Upland Soils in The Humid Tropics. Malang, Indonesia. 28-31 Juli 1997. Utomo, M., 1999. Pertanian dan bimas baru di era tahun 2000. Diskusi Panel Bimas Baru di Era Tahun 2000. Departeman Pertanian, 4 Mei 1999. Jakarta Utomo, M. 2000a. Teknologi olah tanah konservasi untuk mendukung pertanian berkelanjutan berwawasan agribisnis. Seminar Nasional Olah Tanah Konservasi VII, 23-24 Agustus 2000. Samarinda. Utomo, M. 2000b. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan. Studi Kasus: Olah Tanah Konservasi. Disampaikan pada Seminar Nasional III Pengembangan Wilayah Lahan Kering, di Bandar Lampung, 3-4 Oktober 2000. Utomo, M. 2000c. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan. Disampaikan pada Seminar Nasional III Pengembangan Wilayah Lahan Kering, di Bandar Lampung, 3-4 Oktober 2000. Utomo, M. 2005. Pengelolaan lahan kering untuk pertanian berkelanjutan. Makalah Utama Seminar Pengembangan Wilayah Lahan Kering, 2005, di Bandar Lampung.30p. Utomo, M. 2004. Olah tanah konservasi untuk budijaya jagung berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional IX Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Gorontalo, 6-7 Oktober, 2004. Utomo, M. 2006. Teknologi olah tanah konservasi di lahan kering. Bahan kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB). 8 Juli 2006. Utomo, M., H. Buchari dan I. S. Banuwa. 2009. Peran olah tanah konservasi jangka panjang dalam mitigasi pemanasan global: penyerapan karbon, pengurangan gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas lahan. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Tahun Pertama. DP2M. Utomo, M., H. Buchari dan I. S. Banuwa. 2010a. Peran olah tanah konservasi jangka panjang dalam mitigasi pemanasan global: penyerapan karbon, pengurangan
105
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas lahan. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Tahun Kedua. DP2M. Utomo M, A Niswati, Dermiyati, M R Wati, AF Raguan and S. Syarif. 2010b. Earthworm and soil carbon sequestration after twenty one years of continuous notillage corn-legume rotation in Indonesia. JIFS 7:51-58. Utomo, M. 2010c. Peran pengelolaan tanah dalam meningkatkan biodiversitas tanah untuk mendukung pertanian tropika berkelanjutan. Makalah Utama pada Seminar Nasional Biodiversitas Tanah, 29-30 Juni 2010, di Bandar Lampung. Utomo, M. 2010d. Olah tanah konservasi untuk mitigasi gas rumah kaca dan ketahanan pangan. Makalah Utama dalam Seminar Nasional Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim. Rapat Tahunan Dekan antar Perguruan Tinggi Khususnya Fakul-tas Pertanian Negeri (BKS-PTN) Wilayah Barat. Palembang, 23-25 Mei 2011. Utomo, M., H. Buchari dan I. S. Banuwa. 2011. Peran olah tanah konservasi jangka panjang dalam mitigasi pemanasan global: penyerapan karbon, pengurangan gas rumah kaca dan peningkatan produktivitas lahan. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional. Tahun Ketiga. DP2M.
Utomo, M., H. Buchari dan I. S. Banuwa. 2012b. Olah tanah konservasi, teknologi mitigasi gas rumah kaca pertanian tanaman pangan. In Press. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Widoyoko, Y. 2009. Pertanian masa depan. Sinergi BUMN dalam BUMP (Badan Usaha Milik Petani). Gibon Books. 524p. Winarno. 1989. Pengaruh residu serasah tanaman terhadap bebrapa sifat kimia tanah pada musim ketiga pertanaman jagung olah tanah minimum. Skripsi. Universitas Lamapaung. 49 hal.
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Utomo, M.,H. Buchari, I. S. Banuwa, L. K. Fernando dan R. Saleh 2012a. Carbon storage dan carbon dioxide emission as influenced by long-term conservation tillage dan nitrogen fertilization in corn-soybean rotation. In Press. Paper submitted to JTS
106
Woomer, P.L. and M.J. Swief. The Biological management of tropical soil fertility. John Wiley& Sons. Chichester. Young, A. 1997. Agroforestry for soil management. Second Edition. ICRAF dan CAB International
107
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
Prof. Ir, Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D. lahir di Pringsewu, Lampung, 16 Juli 1950. Gelar insinyur (Ir.) di bidang ilmu tanah diraihnya pada tahun 1978 di Universitas Lampung berafiliasi dengan Institut Per-tanian Bogor. Dosen ilmu tanah ini kemu-dian melanjutkan pendidikannya di Univer-sity of Kentucky, Amerika Serikat pada tahun 1981. Gelar master (M.Sc.) diraihnya pada ta-hun 1983 dan philosophy of doctor (Ph.D.) tahun 1986 dalam bidang penge-lolaan tanah. Sejak mahasiswa, perhatiannya terhadap isu pentingnya sumberdaya lahan kering tidak diragukan. Itulah sebabnya segera setelah kembali dari pendidikannya di Amerika Serikat, penulis melakukan penelitian jangka panjang tentang Tanpa Olah Tanah Lahan Kering yang dilakukan sejak 1987 sampai sekarang. Sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Unila, fokus penelitian penulis tetap konsisten di bidang-nya: pengelolaan tanah di lahan kering. Publikasi dan sosialisai tentang TOT secara nasional dan internasional mampu menja-dikan TOT sebagai teknologi akternatif nasional. Dalam karir pimpinan universitas, penulis pernah menjabat sebagai kepala Balai Penelitian Unila (1993-1995), Ketua Lembaga Penelitian Unila (1995-1997), Dekan FT Unila (1997-1998), dan Rektor Unila 1998-2007. Di Kementerian Kehutanan RI, penulis sebagai Tim Pakar Kebijakan (2009), Tim Pakar Independen (2009-2010) dan Tim MRV HTI (2010-sekarang). Di Kemen-terian Lingkungan Hidup RI, penulis sebagai Dewan Nasional Kalpataru (2006-sekaranag).
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
BIODATA
110
Tanpa Olah Tanah (Teknologi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering)
SKENARIO PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING Muhajir Utomo