Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa足 mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar足kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Insektisida Pertanian
OLEH Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc.
PENERBIT LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2012
Penerbit LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, No. 1 Bandar Lampung, 35143 Telp. (0721) 705173, 701609 ext. 138 Fax. 773798 e-mail: lemlit@unila.ac.id Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc. Insektisida Pertanian Cetakan Pertama, Desember 2012 x + 151 hlm. 15,5 x 23 cm ISBN: 978-979-8510-35-9 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Isi di luar tanggung jawab percetakan
KATA PENGANTAR
Pada dasarnya, pestisida merupakan bahan racun yang bermanfaat apabila cara penggunaannya benar, tetapi akan berbahaya bagi manusia, hewan ternak, satwa liar, tanaman, maupun lingkungan apabila penggunaannya tidak benar dan tepat. Untuk menghindari dampak buruk akibat penggunaan pestisida yang tidak benar, maka pemahaman mengenai pestisida secara keseluruhan sangat diperlukan. Salah satu kelompok pestsisida yang banyak digunakan terutama di bidang pertanian adalah Insektisida. Buku INSEKTISIDA PERTANIAN merupakan hasil karya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi untuk mata kuliah berbasis teknik pengendalian kimiawi di lingkungan Fakultas Pertanian. Uraian dalam buku ini telah dilakukan secara mendasar dan komprehensif dilengkapi dengan beberapa gambar dan tabel. Informasi, gambar, dan tabel dalam buku ini diambil dari beberapa sumber untuk memperkaya dan memperjelas uraian topik bahasan. Mudah-mudahan dengan mempelajari buku ini, pembaca (khususnya mahasiswa) dapat lebih memahami pestisida, khususnya insektisida pertanian.
Bandar Lampung, Februari 2012
Prof. Dr. Ir. FX. Susilo, M.Sc.
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
vii viii
I
PENGENALAN PESTISIDA 1.1. Pengertian dan Peraturan Pestisida ........................... 1.2. Sejarah dan Peranan Pestisida...................................... 1.3. Jenis-jenis Pestisida ....................................................... 1.4. Keunggulan dan Kelemahan Pestisida ..................... 1.5. Batas Maksimum Residu Pestisida ........................... 1.6. Peranan Pestisida dalam Program PHT...................... 1.7. Daftar Pustaka ..............................................................
1 4 6 6 9 15 20
II
LABEL PESTISIDA 2.1. Peranan Label Pestisida ............................................. 2.2. Informasi dalam Label Pestisida ............................... 2.3. Petunjuk Penggunaan Pestisida .................................. 2.4. Petunjuk Keamanan dan Pertolongan Pertama ......... 2.5. Daftar Pustaka ..............................................................
24 29 35 37 40
III
FORMULASI PESTISIDA 3.1.Pengertian dan Peranan Formulasi Pestisida ........... 3.2. Jenis Formulasi Pestisida ............................................. 3.2.1. Formulasi Kering (Dry Formulations) .....................
41 42 44
iv
3.2.2. Formulasi Cair (Liquid Formulations) .................... 3.2.3. Formulasi Khusus (Miscellaneous Formulations) 3.3. Daftar Pustaka ................................................................
47 48 51
IV
DAYA RACUN (TOKSISITAS) INSEKTISIDA 4.1. Pengertian dan Peranan Insektisida............................. 4.2. Pengujian Daya Racun Insektisda .............................. 4.3. Penentuan Daya Racun Insektisida ............................ 4.4. Toksisitas Insektisida pada Mamalia ......................... 4.5. Daftar Pustaka ...............................................................
53 54 57 60 61
V
KLASIFIKASI INSEKTISIDA 5.1 Jenis dan Karakteristik Insektisida .............................. 5.2. Insektisida Anorganik..................................................... 5.3. Insektisida Botani .......................................................... 5.4. Insektisida Mikroba ....................................................... 5.5. Daftar Pustaka ...............................................................
63 65 66 77 89
INSEKTISIDA KLORHIDROKARBON (Organoklorin) 6.1. Karakteristik dan Jenisnya .......................................... 6.2. DDT dan Analognya....................................................... 6.3. Benzen Heksaklorida (BHC) ....................................... 6.4. Senyawa Sikolodien ...................................................... 6.5. Daftar Pustaka ...............................................................
94 95 98 99 102
VII
INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT 7.1 Sejarah dan Perkembangannya ..................................... 7.2. Cara Kerja insektisida Organofosfat ........................... 7.3 Rumus Umum dan Jenis insektisida Organofosfat 7.3.1. Orgonofosfat Alifatik ......................................... 7.3.2. Fenil Organofosfat .............................................. 7.3.3. Organofosfat Heterocyclic .................................. 7.4. Daftar Pustaka ................................................................
104 105 107 108 114 119 122
VIII
INSEKTISIDA KARBAMAT 8.1 Sejarah dan Perkembangannya ....................................
124
VI
v
IX
vi
8.2 Karakteristik Dan Jenisnya ........................................... 8.2.1 Golongan Naftil Metilkarbamat ......................... 8.2.2 Golongan benzofuranil metilkarbamat ............. 8.2.3. Golongan methylcarbamate ............................... 8.2.4. Golongan oxime carbamate ................................ 8.2.5. Golongan phenyl methylcarbamate ................... 8.4. Daftar Pustaka ...............................................................
125 126 127 130 132 135 139
INSEKTSIDA TERBARUKAN 9.1 Sejarah dan perkembangannnya .................................. 9.2.Karakteristik Dan Jenisnya ........................................... 9.2.1 Insektisida Piretroid sintetik ............................... 9.2.2. Insektisida Pengatur Pertumbuhan Serangga .. 9.2.3. Peniru Hormon (Hormon mimics) ....................... 9.3 Daftar Pustaka ................................................................
141 142 143 145 146 148
DAFTAR TABEL
1
2
Daftar batas maksimum residu (BMR) pestisida pada komoditas wortel dan tomat berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan ‌...... Daftar batas maksimum residu (BMR) pestisida pada komoditas bawang merah berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan, Nomor 881/MENKES/SKB/VIII/1996 tahun 1996,711/Kpts/ TP.270/8/96..................................................................................
11
13
3
Jumlah dan jenis informasi yang harus tertera pada setiap label pestisida ............................................................................
30
4
Kelompok dan jenis formulasi pestisida ...............................
43
5
Klasifikasi insektisida berdasarkan jenis bahan aktifnya.....
65
6
Beberapa nama produk insektisida mikroba yang berasal dari Metarhizium anisopliae .....................................................
79
7
Beberapa nama produk insektisida mikroba yang berasal dari Beauveria bassiana ...............................................................
81
Toksisitas insektisida organofosfat terhadap mamalia (mg/kg) .......................................................................................
107
8
8
vii
DAFTAR GAMBAR
1
Jenis dan bentuk kemasan pestisida yang tersedia di pasaran....................................................................................
24
2
Contoh spesimen label pestisida. Pesticide Management Education Program Psticide Applicator Training Manual Core Manual Northeastern Regional Pesticide ...................
31
3
Klasifikasi dan simbol bahaya yang tertera pada setiap label pestisida ......................................................................
34
4
Pengelompokan formulasi pestisida berdasarkan penggunaannya ...................................................................
43
5
Klasifikasi pestisida berdasarkan derajat bahayanya .....
61
6
Mekanisme kerja insektisida nikotin pada sistem syaraf ......................................................................................
69
7
Jenis tanaman yang menghasilkan pyrethrin (A) Tanacetum inerariaefolium cdan (B) Tanacetum coccineum ..
72
8
Mekanisme kerja insektisida pyretroid pada sistem syaraf ......................................................................................
9
Insektisida nimba: (a) salah satu bentuk kemasan yang diperjualbelikakan (b) biji tanaman nimba penghasil bahan aktif azadirachtin .....................................................
76
Konidia Metarhizium anisopliae var anisopliae ....................
79
10
viii
73
11
Gambar inang dan konidia cendawan Beauveria bassiana....................................................................................
80
12
Insektisida mikroba Bacillus thuringiensis (Bt): (A) spora yang menghasilkan endotoksin: (B) kristal endotoksin ..................................................................................................
82
13
Jenis insektisida mikroba yang diproduksi secara komersial dan dipasarkan secara global...........................
82
14
Partikel virus Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) di bawah mikroskop elektron ................................................
85
15
Skema proses infeksi Nuclear Polyhedrosis Viruses pada tubuh inang terutama di saluran pencernaan tengah (midgut) .................................................................................
86
16
17
18
19
20
Gejala serangga yang terinfeksi oleh Nuclear Polyhedrosis Virus yang ditandai dengan menempelnya tubuh inang pada bagian tanaman di atas permukaan tanah........................................................................................ Granulosis virus yang dimurnikan di bawah mikroskop elektronkumpulan partikel virus, (B) Sel GV; PM = matriks protein, E = amplop virus, dan N= sel nukleus.............................................................................. Siklus infeksi virus yang menginfeksi tubuh inang: (1) Larva yang memakan daun yang terkontaminasi partikel virus, (2) pembungkus partikel virus (occlusion bodies), (3) Saluran pencernan tubuh inang, (4) Virus dilepas dari selubungnya dan menempel di dinding saluran pencernaan, dan (5) Replikasi virus di dalam jaringan tubuh inang ........................................................... Contoh botol insektisida yang berisi dikloro-difeniltrikloroetana (DDT) .............................................................. Cara kerja insektsida organofosfat sebagai antikolinestrase ACh = acetylcholine; M = muscarinic; NM = Nicotinic, neuromuscular junction; NN = Nicotinic, ganglionic (Clark, 2006) .....................................
87
87
88
97
105
ix
21 22
x
Reaksi acetylcholine (AchE) menjadi asetat dan kolin yang diuraikan oleh enzim acetylcholinestrase (ACE) (Clark, 2006)........................................................................... Tanaman kacang kalabar: (A) Tanaman lengkap, (B) bagian bunga, (c) polong, (d) biji (Balfour, 1860)..............
106 124
TOPIK I PENGENALAN PESTISIDA
1.1. Pengertian dan Peraturan Pestisida Pada dasarnya, pestisida adalah bahan racun namun dapat bermanfaat apabila cara penggunaannya dilakukan secara tepat dan benar. Kata pestisida berasal dari Bahasa Inggris yaitu pesticides dengan asal suku kata pest berarti hama, sedangkan cide bermakna membunuh. Secara umum, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain yang mencakup jasad renik yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu yang dapat merugikan manusia. Selanjutnya menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 07/Permentan/ SR.140/2/2007 Pasal 1, pengertian pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk: (a) mengendalikan atau mencegah hama-hama dan penyakit yang menyerang dan merusak tanaman di lapangan dan hasil hasil pertanian di tempat penyimpanan; (b) memberantas tumbuhan pengganggu (gulma); (c) mematikan daun dan mencegah pertumbuhan bagian tanaman yang tidak diinginkan; (d) mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman yang tidak termasuk pupuk; (e) memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak; (f) memberantas atau mencegah hama-hama air; (g) memberantas atau mencegah binatangbinatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan (h) memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (vektor) atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air (Dir. Pupuk & Pestisida Dir. Jen. Prasarana & Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, 2011). Secara global, badan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
1
Pengenalan Pestisida
organisasi pangan dunia (Food and Agriculture Organization = FAO) memberi definisi pestisida sebagai berikut any substance or mixture of substances intended for preventing, destroying or controlling any pest, including vectors of human or animal disease, unwanted species of plants or animals causing harm during or otherwise interfering with the production, processing, storage, transport or marketing of food, agricultural commodities, wood and wood products or animal feedstuffs, or substances which may be administered to animals for the control of insects, arachnids or other pests in or on their bodies (Wikipedia, Free Encyclopedia; Pesticide). Sebelum diedarkan dan sampai ke tangan petani, pestisida harus terlebih dahulu dievaluasi oleh Komisi Pestisida. Komisi yang berada dalam naungan Depertemen Pertanian ini berfungsi untuk memberi izin dan mengawasi penggunaan pestisida di seluruh Indonesia (Komisi Pestisida, 2007). Untuk mengawasi penggunaan pestisida di seluruh wilayah Indonesia, pemerintah telah menjabarkannya dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 07/Permentan/SR.140/2/2007 Pasal 1 yaitu ikut mengatur pendistribusian dan penggunaan pestisida. Pengawasan pestisida bertujuan untuk: 1. melindungi kesehatan manusia, 2. melindungi kelestarian alam dan lingkungan hidup, 3. menjamin mutu dan efektitas pestisida, dan 4. memberikan perlindungan kepada produsen, pengedar dan pengguna pestisida Lebih lanjut, menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 07/ Permentan/SR.140/2/2007, pestisida merupakan  salah satu bahan yang digunakan secara luas oleh masyarakat dalam kehidupan seharihari untuk berbagai tujuan penggunaan, termasuk perlakuan yang bersifat pencegahan maupun untuk tujuan pengendalian organisme pengganggu. Bidang dan sektor pengguna pestisida meliputi kesehatan, pertanian, kehutanan, perikanan, perdagangan, perindustrian, ketenagakerjaan, perhubungan, dan lingkungan hidup. Namun pengguna pestisida yang cukup banyak adalah di bidang kesehatan dan bidang pertanian. Di bidang kesehatan, pestisida digunakan dalam rangka melindungi manusia dari berbagai ancaman penyakit, seperti malaria, demam berdarah, penyakit kaki gajah, tiphus, yang ditularkan oleh berbagai serangga vektor penyakit menular. Pada umumnya, pengendalian serangga vektor seperti nyamuk dan lalat masih mengandalkan penggunaan pestisida. Di bidang pertanian, 2
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
penggunaan pestisida untuk mengendalikan berbagai jenis hama masih tetap berkembang setiap tahunnya. Pada tahun 2002, jenis pestisida yang terdaftar sebanyak 813 nama dagang, meningkat menjadi 1082 nama dagang pada tahun 2004 dan lebih dari 1500 nama dagang pada tahun 2006 (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2007). Pembangunan pertanian yang pesat ditandai dengan perkembangan teknologi budidaya tanaman terutama penggunaan pestisida (Conway and Barbier, 1990; Copping and Hewitt, 1998; Harthley and West, 1969). Idealnya, teknologi pertanian yang baik adalah suatu teknik pengendalian tanpa menggunakan pestisida. Hal ini disebabkan karena pestisida adalah biosida yang tidak saja bersifat racun terhadap hama sebagai organisme sasaran, namun dapat juga bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan  target lainnya termasuk tanaman, ternak, dan organisme bermanfaat. Namun sampai saat ini belum ada teknologi pengendalian yang efektif untuk menggantikan peranan pestisida. Dalam kenyataannya, pestisida masih diperlukan, bahkan penggunaannya semakin meningkat (Conway and Barbier, 1990; Copping and Hewitt, 1998). Pada awalnya, penggunaan pestisida cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama (Metcalf, 1982). Namun, adanya ketergantungan petani hanya pada pestisida telah mengakibatkan penggunaan pestisida menjadi meningkat dan cenderung berlebihan. Akibatnya adalah bahwa hama yang dulunya dapat dikendalikan dengan pestisida tertentu menjadi kebal (resisten) sehingga muncul fenomena resistensi hama terhadap pestisida (Busvine, 1976; Georghiou and Saito, 1983). Selain itu, penggunaan pestisida secara berlebihan juga telah berakibat buruk terhadap musuh alami, sehingga hama-hama tertentu yang dulunya tertekan oleh musuh alami menjadi bebas dari tekanan sehingga hama tersebut dapat berkembang lebih pesat yang mengakibatkan terjadinya fenomena resurjensi. Selanjutnya, permasalahan hama juga semakin kompleks dengan adanya peledakan hama sekunder. Tekanan pestisida terhadap hama penting mengakibatkan hilangnya pesaing utama (hama penting) dari hamahama sekunder pada tanaman tersebut. Akibatnya adalah perubahan status hama dari hama sekunder menjadi hama penting (Copping and Hewitt, 1998; Metcalf and Luckman, 1982; Untung, 1993). Dengan demikian, penggunaan pestisida secara tunggal dalam waktu yang cukup lama, dapat mengakibatkan munculnya eksplosi hama baru. Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
3
Pengenalan Pestisida
Pestisida merupakan bahan racun yang ampuh untuk me ngendalikan berbagai jenis hama, namun penggunaannya harus tetap diawasi karena sifatnya yang berbahaya bagi manusia, hewan ternak, satwa liar, tanaman, maupun lingkungan apabila penggunaannya tidak tepat. Dalam kenyataannya, walaupun pestisida memiliki potensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, pestisida masih banyak digunakan karena mempunyai kelebihan antara lain: 1. tersedia di pasaran sehingga petani dapat mengaksesnya dengan mudah 2. alat aplikasi pestisida tersedia di pasaran sehingga petani dapat mengaplikasikannya dengan mudah pada hampir semua tempat dan waktu dalam areal yang luas 3. daya bunuh pestisida sangat tinggi sehingga petani yakin akan keefektifannya 4. daya kerja pestisida sangat cepat sehingga hasilnya dapat dilihat oleh petani dalam waktu yang relatif singkat 1.2. Sejarah dan Peranan Pestisida Gangguan dan serangan berbagai jenis hama yang mengganggu kesehatan dan merusak komoditi manusia telah terjadi sebelum ilmu pengetahuan berkembang. Dalam sejarah peradaban manusia tercatat bahwa penggunaan pestisida telah dilakukan manusia jauh sebelum mereka dapat belajar menulis. Sejarah penggunaan pestisida diawali pada tahun 2500 SM ketika orang Sumeria menggunakan belerang untuk melindungi tubuh mereka dari gangguan berbagai serangga dan tungau. Pada tahun 1200 SM, orang Cina menggunakan kapur dan debu kayu untuk mengusir serangga pengganggu. Pada saat yang bersamaan, orang Cina sudah mengenal juga penggunaan ekstrak tanaman sebagai insektisida botani untuk mengendalikan hama gudang. Hower (1000 SM) telah menerangkan penggunaan belerang untuk mengendalikan hama. Sedangkan, Cato (200 SM) menyarankan untuk merebus aspal agar asapnya dapat melalui daun-daun anggur untuk mengusir serangga hama yang menyerang tanaman tersebut. Pada periode yang sama, orang Romawi melumuri diri mereka dengan ramuan tanaman Helleborus viridis (berbahan aktif helleborin) untuk membunuh kutu manusia (Copping and Hewitt, 1998; Hassall, 1969; Matolcsy et al., 1988). Pada tahun 40 – 90, Dioscorides (dokter Romawi) mengetahui 4
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
sifat racun senyawa arsenik. Laporan pertama eksploitasi senyawa arsenik sebagai insektisida oleh dunia Barat dimulai pada tahun 1969. Selanjutnya, Marco Polo (1254 – 1323), dalam perjalannya ke Benua Asia, menyarankan untuk menyembuhkan penyakit kulit unta dengan minyak mineral. Sekitar tahun 1690, ramuan ekstrak daun tembakau telah diaplikasikan pada tanaman persik untuk mengendalikan hama kutu sisik. Sebelum tahun 1800, orang Persia telah menggunakan piretrum sebagai insektisida untuk mengendalikan hama yang menyerang manusia seperti kutu manusia (Copping and Hewitt, 1998; Hassall, 1969; Brown, 1961; Metcalf , 1955; Martin, 1957). Penemuan dan perkembangan pestisida modern diawali pada tahun 1867, ketika paris green (senyawa kompleks campuran antara tembaga meta-arsenite dengan tembaga asetat dengan perbandingan 3 : 1) diaplikasikan pada pertanaman kentang untuk mengendalikan hama kumbang Colorado (Leptinotarsa decemlineata; Coleoptera: Chrysomelidae). Sampai tahun 1929, kebanyakan pestisida yang tersedia di pasaran adalah dari golongan inorganik ditambah beberapa pestisida nabati. Penemuan insektisida DDT (Dicholro Diphenil Trichloroetana) oleh Paul Muller (Perusahaan J.R. Geigy) pada tahun 1939, telah mengakibatkan terjadinya perubahan besar tentang konsep insektisida dan juga tentang teknik pengendalian hama. Pada awalnya, insektisida DDT digunakan dalam rangka pembrantasan vektor penyakit malaria dan tifus yang menyerang tentara sekutu pada waktu Perang Dunia II. Namun dalam perkembangannya, penggunaan DDT sudah sangat luas dan digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama termasuk yang ada di bidang pertanian. Selanjutnya, pada tahun 1941 – 42, orang Inggris dan Perancis telah menemukan insektida benzene heksaklorida (BHS). Dalam waktu yang bersamaan, orang Jerman juga menemukan insektisida organofosfat yang mendorong penemuan beberapa jenis insektisida seperti: parathion, TEPP, coumaphos, demeton. Golongan insektisida yang berkembang setelah itu adalah: karbamat, oretan, sulfones, sulfonates, dan golongan lain (Matolcsy et al., 1988; Copping and Hewitt, 1998; Metcalf 1955; Martin, 1957). Perkembangan pestisida terbaru adalah penemuan insektisida yang bekerja secara biorational. Berbeda dengan insektisida konvensional, cara kerja insektisida ini sangat spesifik tergantung pada perilaku dan fisiologi hama. Salah satu golongan insektisida biorational adalah insektisida penghambat pertumbuhan (IGR= Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
5
Pengenalan Pestisida
insect growth regulator) yang cara kerjanya tidak langsung mematikan serangga hama tetapi menghambat pertumbuhan hama tersebut dan kemudian akan mati. Beberapa jenis insektisida yang masuk ke golongan IGR adalah: penghambat sintetis khitin, penyerupa hormon juvenil, penghambat hormon ecdysone. Jenis pestisida ini bekerja tidak seperti pestisida umumnya, sehingga kelompok ini kadang dikenal sebagai bioregulator atau bioregulan (Koul, 2004; Matolcsy et al., 1988; Copping and Hewitt, 1998). 1.3. Jenis-Jenis Pestisida Berdasarkan organisme target sasarannya, pestisida dapat dibagi menjadi beberapa jenis pestisida sebagai berikut ini: 1. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang dapat membunuh semua jenis serangga. 2. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan dapat digunakan untuk memberantas dan mencengah fungi atau cendawan. Selain untuk mengendalikan serangan cendawan di areal pertanaman, fungisida juga banyak diterapkan pada buah dan sayur pascapanen. 3. Bakterisida adalah senyawa yang mengandung bahan aktif beracun yang dapat membunuh bakteri. 4. Nematisida adalah racun yang dapat membunuh dan mengendalikan nematode. 5. Akarisida atau mitisida adalah bahan racun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba. 6. Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus. 7. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpit, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak. 8. Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan penggangu yang disebut gulma. 1.4. Keunggulan dan Kelemahan Pestisida Pada hakekatnya, pestisida adalah bahan beracun yang dapat membunuh semua mahluk hidup (biosida). Berkaitan dengan sifatnya yang meracuni, pestisida juga dapat menimbulkan dampak negatif 6
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Namun demikian, penggunaan pestisida masih tetap tinggi karena mempunyai kelebihankelebihan antara lain: (1) dapat diaplikasikan dengan mudah pada hampir semua tempat dan waktu, (2) hasilnya dapat dirasakan dalam waktu yang relatif singkat, dan (3) dapat diaplikasikan dalam areal yang luas. Oleh karena itu, penggunaan pestisida telah dilakukan secara luas dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai tujuan, seperti melindungi tubuh manusia, hewan ternak, dan tanaman dari gangguan serangga hama. Aplikasi pestisida dapat bersifat pencegahan maupun untuk tujuan pengendalian organisme pengganggu pada hampir semua bidang kehidupan manusia (Matolcsy et al., 1988; Copping and Hewitt, 1998; SK Men. Tan. Nomor: 07/Permentan/SR.140/2/2007). Dalam bidang proteksi tanaman, pestisida masih dianggap satu-satunya teknik atau cara pengendalian yang ampuh untuk menurunkan populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) secara cepat terutama pada saat terjadi eksplosi (ledakan) OPT. Menurut Metcalf (1982), pestisida memiliki beberapa keunggulan antara lain: 1. cara kerjanya efektif 2. dapat menurunkan OPT dengan cepat 3. cara aplikasinya relatif mudah 4. harganya relatif murah 5. dapat tersedia di pasaran 6. merupakan satu-satunya teknik pengendali OPT yang dapat diandalkan pada saat terjadi eksplosi PT. Keampuhan pestisida dalam mengendalikan berbagai jenis hama dalam waktu singkat menyebabkan petani semakin tergantung pada bahan kimia beracun tersebut. Di Indonesia, ketergantungan petani akan pestisida dapat dilihat dari peningkatan penggunaan pestisida dari 11.587, 2 ton pada tahun 1982 menjadi 17.977, 2 ton pada tahun 1987. Aplikasi pestisida yang paling banyak dilakukan adalah pada tanaman hortikultura terutama tanaman sayuran (Untung, 1993). Selain karena sifat keunggulan petisida di atas, faktor lain yang mendorong meningkatnya penggunaan pestisida adalah: 1. ketidakpahaman petani tentang dampak negatif pestisida; 2. tuntutan konsumen akan produk pertanian yang berkualitas tinggi; 3. ketidakpahaman petani tentang teknik pengendalian lain. Walaupun pestisida mempunyai beberapa keunggulan, namun Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
7
Pengenalan Pestisida
pestisida juga mempunyai beberapa kelemahan. Penggunaan pestisida dalam jangka waktu lama dapat berbahaya terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Bagi manusia (misalnya petani) yang terpapar pestisida dapat memperlihatkan lebih dari satu gejala penyakit (Barnes, 1976; Reigart and Roberts, 1999). Beberapa gangguan kesehatan dapat bersifat akut yaitu gejala timbul langsung setelah seseorang terpapar yang meliputi gangguan perut, pusing, muntahmuntah dan kehilangan kesadaran. Namun banyak kasus keracunan pestisida yang bersifat kronis yaitu munculnya gejala keracunan pada kesehatan membutuhkan waktu jangka panjang yaitu setelah berbulanbulan atau bahkan bertahun-tahun setelah terkena pestisida (Alavanja et al. 2004; Ecobichon, 1996). Selanjutnya, banyak laporan penelitian yang menunjukkan bahwa paparan pestisida pada manusia telah mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan jangka panjang seperti gangguan pernafasan, sakit ingatan, sakit kulit, depressi, keguguran, dan kanker (Daniels et al.,1997; Ecobichon, 1996; Mc Cauley et al, 2006; O’Malle, 1997). Oleh karena itu, setiap orang harus menyadari bahaya pestisida yang ada di sekitarnya dapat mengancam kesehatan manusia. Selain berbahaya terhadap kesehatan manusia, penggunaan pestisida yang berlebihan dapat juga mengakibatkan terganggunya stabilitas agroekosistem yang mengakibatkan timbulnya beberapa masalah antara lain: (a) pencemaran lingkungan karena pestisida dapat menjadi bahan pencemar (polutan) yang dapat mencemari lingkungan yang mencakup air, tanah, dan udara, (b) ancaman terhadap organisme non-target disebabkan pestisida yang dapat bersifat biosida (biocide) sehingga dapat membunuh semua mahluk hidup termasuk organisme bermanfaat (beneficial species) seperti: musuh alami, penyerbuk, pengurai, dan satwa liar, (c) permasalahan hama yang semakin rumit karena penggunaan pestisida yang tidak benar dan tepat dapat mengakibatkan munculnya fenomena: (1) resistensi hama (hama menjadi kebal setelah dikendalikan dengan pestisida, (2) resurjensi (ledakan hama setelah aplikasi pestisida), dan (3) ledakan hama sekunder (pergeseran dari hama tidak penting menjadi hama penting) (Dent, 1995; Metcalf and Luckman, 1982; Untung, 1993; Edwards, 1987; Daniels et al., 1997; Ecobichon, 1996).
8
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
1.5. Batas Maksimum Residu Pestisida Bahan pangan dapat menjadi tidak aman untuk dikonsumsi apabila tercemar oleh pestisida terutama dengan adanya residu pestisida pada komoditas pangan. Bahaya residu pestisida yang dapat membahayakan kesehatan konsumen meliputi: timbulnya reaksi alergis, keracunan, dan karsinogenik. Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga ikut mendorong perubahan perilaku konsumen. Secara global telah terjadi perubahan nilai dan konsep pada konsumen terhadap produk-produk pertanian yang mereka konsumsi yang mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku dan sikap dalam membeli suatu komoditas pertanian. Meningkatnya kesadaran konsumen terhadap kesehatan dan kebugaran mengakibatkan meningkatnya tuntutan konsumen akan nutrisi produk-produk yang sehat dan aman untuk dikonsumsi. Dengan demikian isu keamanan pangan (food safety) telah menjadi faktor penting dalam menentukan standar kualitas produk pangan (Atmawidjaja dkk., 1983; Komisi Pestisida, 1997; WHO, 1990). Ancaman bahaya pestisida terhadap manusia khususnya konsumen membuat penggunaan pestisida harus dilakukan dengan bijak dan hati-hati. Setiap aplikasi dalam proses produksi pertanian selalu berpotensi meninggalkan residu pestisida pada produk pertanian. Residu itu dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan masyarakat terutama konsumen. Oleh karena itu, untuk mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat dari kemungkinan terjadinya bahaya pestisida, maka perlu ditetapkan Batas Maksimum Residu (BMR) (MRL = Maximum Residue Limits) pada hasil pertanian. Batas Maksimum Residu Pestisida (BMRP) didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima dalam atau pada hasil pertanian, bahan pangan atau bahan pakan ternak. Konsentrasi tersebut dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian (Hamilton and Crossley, 2004; Kegley and Wise, 1998; Dit Jen Tan. Pangan dan Hortikultura, 1997; Komisi Pestisida, 1997). Komisi Codex (Codex Alimentarius Commission = CAC) adalah suatu badan yang menangani standarisasi semua produk termasuk produk pertanian. Komisi Codex khusus tentang residu pestisida atau CCPR (Codex Committee on Pesticide Residue) telah menetapkan prosedur ilmiah untuk memperoleh Batas Maksimum Residu Produk (BMRP) yang sesuai dengan kondisi setiap negara. Prosedur ilmiah Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
9
Pengenalan Pestisida
dan hasil kajian negara yang mengusulkan revisi BMRP dibahas dalam pertemuan tahunan CCPR yang diselenggarakan di negara Belanda. Standar Codex tentang residu pestisida menyatakan bahwa Batas Maksimum Residu Pestisida (BMR) adalah konsentrasi maksimum residu pestisida (dalam mg/kg) yang direkomendasikan oleh Codex Allimentarius Commission (CAC) untuk diijinkan pada komoditi pertanian termasuk pakan ternak. Penetapan BMR harus dilakukan secara ilmiah (scientific evidence) dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Join FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahun untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toksisitasnya. Pada era perdagangan bebas dan globalisasi, Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida sudah merupakan salah satu instrumen hambatan non tarif yang dimanfaatkan oleh banyak negara untuk memperlancar ekspor produk-produk pertanian dan menghambat impor produk-produk pertanian yang sama (Dit. Jen. Tan. Pangan dan Hortikultura, 1997; Komisi Pestisida, 1997; Kegley and Wise, 1998) Menurut JPMR, batas maksimum residu pestisida diestimasikan berdasarkan asesmen (kemungkinan) resiko residu pestisida (Matolcsy et al., 1988; Copping and Hewitt, 1998). Penilaian resiko residu pestisida harus dilakukan secara teliti dan komprehensif yang meliputi: 1. Penilaian (assesment) toksikologi terhadap pestisida dan residu pestisida dalam pangan yang berasal dari komoditas pertanian dengan tujuan menetapkan BMR yang dapat diterima berupa toksisitas kronik (asupan per hari yang dapat diterima (ADI = Acceptable Daily Intake) dan akut melalui dosis referensi (RID = Reference Intake Dose). 2. Penilaian paparan residu pestisida di lahan produksi komoditas pertanian melalui penelaahan (review) data residu pestisida yang berasal dari data percobaan residu. 3. Penilaian melalui percobaan residu pestisida terbimbing (supervised pesticide residue trial) dengan cara aplikasi pestisida yang sesuai dengan praktik budidaya tanaman yang baik (Good Agricultural Practices) berskala nasional.
Penentuan nilai BMR suatu komoditas harus didasarkan dari ketiga penilaiaan di atas. Data yang digunakan termasuk 10
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
data percobaan residu pestisida tersupervisi dengan dosis aplikasi tertinggi yang direkomendasikan secara nasional. Disamping itu, tingkat residu pestisida terestimasi dari berbagai bahan pangan penyusun pola diet pada tingkat internasional dibandingkan terhadap asupan per hari yang dapat diterima (ADI) atau dosis referensi (RID) juga merupakan beberapa data yang penting digunakan dalam menetapkan nilai BMR. Dengan demikian, angka BMR ditetapkan apabila perbandingan antara rekomendasi nasional dengan ADI/RID menunjukkan aman untuk dikonsumsi masyarakat (Dit Jen Tan Pangan dan Hortikultura, 1997; Komisi Pestisida, 1997). Seacara umum, Standar Nasional Indonesia (SNI) merumuskan tentang batas maksimum residu pestisida di Indonesia. Daftar batas maksimum residu (BMR) pestisida pada beberapa komoditas pertanian dimaksudkan untuk melindungi konsumen atas bahaya residu pestisida sepeti yang tertuang dalam keputusan bersama antara Menteri pertanian dan Menteri Kesehatan Nomor 881/MENKES/SKB/VIII/1996 tahun 1996, 711/ Kpts/TP.270/8/96 dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001. Nilai BMR sangat bervariasi tergantung pada jenis komoditas dan insektisida (Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 1. Daftar batas maksimum residu (BMR) pestisida pada komoditas wortel dan tomat berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan.
No
1 2 3 4 5 6
Jenis Pestisida dan BMR pada Jenis Pestisida dan BMR Tomat pada Wortel BMR No BMR (mg/ Jenis Pestisida Jenis Pestisida (mg/kg) kg) 0,1 1 Fenbulatin Oksida 1 Aldrin 0,1 2 Fenifetrion 0,5 Dieldrin 10 3 Fensulfotion 0,1 Dikloran 0,2 4 Fention 0,5 Endosulfan 0,2 5 Fenvalerat 1 Fenamifos 0,2 6 Flusitrinat 0,2 Fentrin Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
11
Pengenalan Pestisida
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
12
Fosfamidon Kaptafol Karbaril Karbofuran Klordan Klorfenvinfos Klorotalonil Klorpirifos Metil Lindan Mefinfos Metalaksil Monokrotofos Oksamil Ometoat Orto fenil Fenol Pirimifos Metil Pirimikarb Tiofanat Metil Tiometon Triazofos Triklorfon
0,2
7
Folpet
5
0,5
8
Forat
0,1
2
9
Fosalon
1
0,5
10 Fosfamidon
0,2
0,1
11 Heptaklor
0,02
0,05
12 Iprodion
5
1
13 Kaptafol
5
0,5
14 Kaptan
15
0,2
15 Karbaril
5
0,1
16 Karbofenotion
0,02
0,05
17 Karbofuran
0,1
0,05
18 Klordan
0,02
0,1
19 Klorfenvinpos
0,1
0,05
20 Klorobenzilat
0,2
20
21 Klorotalonil
1
22 Klorpirifos metil
0,05
5 0,5
23 Lindan
2
5
24 Malation
3
0,05
25 Mefinfos
0,2
0,1
26 Metalaksil
0,5
0,05
27 Metamidofos
0,01
28 Metidation
0,1
29 Metiokarb
0,2
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
Tabel 2. Daftar batas maksimum residu (BMR) pestisida pada komoditas bawang merah berdasarkan keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan, Nomor 881/MENKES/SKB/ VIII/1996 tahun 1996, 711/Kpts/TP.270/8/96 Jenis Pestisida dan BMR pada Bawang Merah BMR (mg/ No Jenis Pestisida No Jenis Pestisida BMR (mg/kg) kg) 1 Aldikarb 0,05 22 Karbendazim 2 2 Aldrin
0,1
23 Karbofuran
0,1
3 Benalaksil
0,2
24 klorfenvinpos
0,05
4 Benomil
2
25 Klorotalonil
5
5 Dieldrin
0,1
26 Klorpirifos
0,05
6 Diklorfluanid
0,1
27 Mefinfos
0,1
7 Dikloran
10
28 Metalaksil
0,05
8 Dikuat
0,1
29 Metomil
0,2
9 Dimetoat
0,2
30 Monokrotofos
0,1
10 Endosulfan
0,2
31 Oksamil
0,05
1
32 Ometoat
0,1
12 Etoprofos
0,2
33 Permetrin
5
13 Etrimfos
0,05
34 Pirimifos metil
1
14 Fenitrotion
0,05
35 Poksim
0,05
15 Fensulfotion
0,1
36 Pirimikarb
0,5
16 Fention
0,1
37 Sianofenfos
0,05
17 Folpet Hidrazit 18 meleat 19 Iprodion
2
38 Sipermetrin
0,1
15
39 Tiabendazol
0,1
0,1
40 Tiofanat Metil
0,1
20 Isofenfos
0,1
41 Triadimefon
0,1
21 Kaptafol
0,5
42 Triaofos
0,1
11 Etion
43 Vinklozolin
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
1
13
Pengenalan Pestisida
Berdasarkan surat keputusan tersebut, Batas Maksimum Residu Pestisida pada hasil pertanian meliputi: 1. Tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan baik yang dapat langsung dikonsumsi maupun tidak langsung dikonsumsi, 2. Hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas maksimum, 3. Hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi batas sebagaimana dimaksud diktum pertama harus ditolak. Analisis residu pestisida pada hasil pertanian dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan Bersama ini sesuai dengan tugas dan fungsinya (Komisi Pestisida, 2000). Upaya pengurangan residu pestisida dalam produk pertanian dapat dilakukan dengan menerapkan Good Farming Practices, Good Agricultural Practices, dan Sanitary and Phitosanitary System. Penerapan BMR pada beberapa komoditas pertanian diharapkan dapat melindungi konsumen dari bahaya residu pestisida. Namun dalam kenyataannya, penerapan BMR masih banyak menemui kendala termasuk kesiapan infrastruktur dan SDM. Analisis residu pestisida memerlukan peralatan laboratorium yang memadai dan tenaga ahli dan teknisi yang kompeten di bidang analisis residu. Permasalahan lain adalah bahwa BMR untuk berbagai jenis pestisida dan produk pertanian tertentu secara internasional ditetapkan oleh JMPR (Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues) yang mengadakan rapat sekali setiap tahun di Den Haag Belanda. Banyak data yang diperlukan untuk menetapkan BMRP termasuk hasil pemeriksaan tingkat residu pada percobaan lapangan terawasi berdasarkan pada, GAP (Good Agriculture Practices), perkiraan pemasukan harian residu pestisida melalui makanan (predicted daily intake of pesticide residues), toksikologi dan ekotoksikologi pestisida (Dit. Jen. Tan. Pangan dan Hortikultura, 1997; Komisi Pestisida, 1997; US EPA, 2007). 14
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
1.6. Peranan Pestisida dalam Program PHT Meningkatnya kesadaran konsumen akan produk pertanian yang aman terhadap kesehatan dan kebugaran, keselamatan dan kesehatan kerja, kualitas dan kelestarian lingkungan hidup mendorong dikembangkannya berbagai persyaratan teknis bahwa produk pertanian harus dihasilkan dengan teknologi yang ramah lingkungan. Penilaian terhadap aspek keselamatan kerja, kesehatan konsumen, dan kualitas lingkungan dilakukan pada keseluruhan proses agribisnis dari hulu sampai hilir (pemasaran). Gerakan Konsumen Hijau dan Petani Organik mendesak WTO agar perubahan sikap perilaku dan permintaan akan kualitas produk-produk pertanian diintegrasikan dalam kebijakan perdagangan internasional produk pertanian. Permintaan dan desakan konsumen kemudian ditampung dan diperhatikan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO). Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia telah meratifikasi kesepakatan perdagangan internasional yang diatur oleh WTO, juga persetujuan atau konvensi internasional lainnya (Untung, 1993; Dit Jen Tan. Pangan dan Hortikultura, 1997; Komisi Pestisida, 1997). Arus globalisasi perdagangan yang salah satunya adalah perdagangan komoditas pertanian juga berpengaruh di dalam negeri. Dalam era globalisasi, tuntutan pasar menentukan semua kegiatan pembangunan pertanian. Berhubungan dengan hal ini, strategi pengembangan agribisnis menjadi hal yang harus diperhatikan oleh semua pihak, termasuk dalam kegiatan bidang perlindungan tanaman (Oka, 1995; Oka, 1997; Untung, 1993). Secara spesifik, strategi pemgembangan agribisnis dalam era globalisasi adalah sebagai berikut: 1. Berdayasaing, produk yang dihasilkan harus mempunyai kualitas tinggi dan keunggulan komparatif sehingga dapat bersaing dengan produk lain di pasar global 2. Berkelanjutan, proses produksi (agribisnis) harus dapat berjalan secara terus menerus secara berkelanjutan untuk memenuhi permintaan pasar, 3. Berkerakyatan, kegiatan pengembangan agribisnis harus dapat melibatkan berbagai lapisan masyarakat terutama petani. 4. Terdesentralisasi, kegiatan agribisnis harus dilakukan di berbagai daerah, bukan terfokus di pusat. Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
15
Pengenalan Pestisida
Menjaga dan meningkatkan mutu produk pertanian merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Indonesia dalam memasarkan produk pertaniannya di pasar domestik dan pasar luar negeri. Mutu produk Indonesia belum dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh kesepakatan internasional dan permintaan konsumen global. Pemerintah telah berupaya menetapkan standar mutu produk pertanian nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 170/Kpts/ OT.210/3/2002 tentang Pelaksanaan Standardisasi Nasional di Bidang Pertanian. Sejalan dengan hal ini, beberapa persetujuan internasional yang berkaitan dengan perdagangan internasional produk-produk pertanian meliputi SPS (Sanitary and Phytosanitary) dan TBT (Technical Barrier to Trade) yang memungkinkan diterapkannya hambatan non tarip dalam perdagangan internasional mulai diterapkan. Pemerintah dan masyarakat Indonesia diharapkan sudah siap menghadapi penerapan persetujuan internasional tersebut. Ketiadaksiapan Indonesia dalam menerapkan peraturan tersebut mengakibatkan produk pertanian Indonesia sulit memasuki pasar di negara-negara lain. Organisisasi perdagangan internasional menetapkan standar, pedoman, dan rekomendasi teknis yang erat kaitannya dengan kegiatan perlindungan tanaman atau pengendalian hama. Beberapa contoh peraturan yang harus dipatuhi oleh semua pihak adalah peraturan tentang karantina tumbuhan dan Batas Maksimum Residu Pestisida. Dalam perkembangannya, berbagai persyaratan dan standar teknis telah diminta oleh konsumen global agar dilaksanakan petani apabila produk pertanian Indonesia dapat diterima di pasar global. Berkaitan dengan hal ini, petani harus didorong untuk mempelajari dan memahami persyaratan dan peraturan tersebut. Petani harus berupaya secara maksimal untuk meningkatkan kemampuannya untuk menghasilkan produk pertanian yang mampu memenuhi berbagai persyaratan teknis yang diminta oleh konsumen global terutama kualitas dan keamanan produk yang dihasilkan. Petani dapat meningkatkan daya saingnya di pasar global dan domestik dengan melakukan perubahan dan perbaikan dalam teknik perlindungan tanaman yang ramah terhadap lingkungan hidup dan aman bagi kesehatan manusia (Untung, 1993; Oka, 1997). Berkaitan dengan tuntutan konsumen global akan produk pangan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi, pemerintah telah melakukan reorientasi dalam program perlindungan tanaman dari teknik pengendalian tunggal (pestisida) ke penerapan program 16
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
Pengendalian Hama Terpadu (PHT: Integrated Pest Management, IPM) yang membatasi penggunaan pestisida dan lebih mengandalkan pengendalian alami (Horn, 1988; Luckman and Metcalf, 1982; Smith and Van den Bosh, 1967). Program PHT sebagai teknologi pengendalian hama telah diakui oleh berbagai badan dunia seperti FAO, WHO, UNEP. Hal ini disebabkan karena teknologi pengendalian dalam PHT dapat bekerja secara efektif dan efisien, namun ramah terhadap lingkungan dan tidak berbahaya terhadap kesehatan manusia. Dalam peraturan dan rekomendasi GAP (Good Agriculture Practice) dan Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture), program PHT telah dimasukkan sebagai standar wajib yang harus dilaksanakan oleh para produsen pertanian termasuk petani di Indonesia (Untung, 1993; Oka, 1997). Konsep dan paradigma Program PHT sebagai teknologi pengelolaan hama telah dikembangkan secara global dan diadopsi secara nasional di Indonesia. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan tentang pembangunan pertanian yang berkelanjutan yang dituangkan pada Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Kehadiran UU tersebut mempertegas sikap pemerintah tentang penerapan program PHT dalam sistem perlindungan tanaman di Indonesia. Uraian lebih lanjut tentang kebijakan UU tersebut adalah: 1. perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem PHT; 2. pelaksana PHT adalah tanggung jawab masyarakat dan pemerintah ; 3. penegasan hukuman pidana bagi semua pihak yang mengedarkan dan menggunakan pestisida terlarang Sasaran produk PHT adalah masyarakat konsumen yang dikenal dengan konsumen hijau. Masyarakat konsumen ini membutuhkan komoditas dan produk pertanian yang tidak mengadung bahan-bahan pencemar (misalnya residu pestisida dan bahan pengawet) yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Mereka memandang dan menilai suatu produk yang mereka konsumsi bukan dari penampakan luar dan harga tetapi mereka ingin mengetahui bagaimana cara dan proses produk tersebut dihasilkan sehingga aman untuk dikonsumsi. Salah satu persyaratan keamanan pangan (food safety) adalah terbebas dari bahan pencemar termasuk residu pestisida. Pengendalian Hama Terpadu (PHT; Integrated Pest Management, IPM) merupakan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
17
Pengenalan Pestisida
suatu program perlindungan tanaman yang membatasi penggunaan pestisida dan lebih mengandalkan pengendalian alami. Pembatasan pestisida tidak hanya terbatas pada frekuensi aplikasi di lapangan, namun meliputi pembatasan jenis-jenis pestisida yang berbahaya pada organisme non-target dan yang dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, pestisida dalam program PHT masih digunakan namun penggunaannya harus tepat dan benar agar dampak negatifnya dapat dihindari. Menurut Metcalf (1982) dan Pedigo (1989), penggunaan pestisida yang benar dalam program PHT adalah: 1. Pestisida digunakan hanya apabila diperlukan yaitu: apabila populasi OPT tinggi (di atas ambang ekonomi) dan apabila tidak ada cara lain yang dapat mengganti penggunaan pestisida 2. Pestisida yang spesifik yaitu aman terhadap organisme nontarget termasuk manusia, hewan peliharaan, musuh alami, satwa liar, dan juga lingkungan 3. Dalam pengaplikasiannya, gunakan pada areal tertentu yaitu tempat-tempat yang diperlukan (spot treatment), sedapat mungkin hindari perlakuan menyeluruh (blanket treatment) seperti fumigasi dan pengabutan (fogging) 4. Aplikasikan dalam waktu cuaca tenang (tidak ada angin) untuk menghindari drift pestisida Peranan PHT dan prospeknya dalam mempersiapkan petanipetani Indonesia memasuki era perdagangan bebas adalah dengan membekali mereka dengan pengetahuan yang diperlukan dalam proses produksi secara keseluruhan termasuk penerapan ke empat prinsip PHT antara lain: 1. penerapan budidaya tanaman sehat, 2. pemanfaatan dan pelestarian musuh alami, 3. pemantauan agroekosistem secara teratur. 4. upaya untuk memberdayakan petani sebagai ahli PHT Program PHT secara eksplisit telah mendorong kemandirian petani dalam mengambil keputusan sekaligus melaksanakan keputusannya tersebut di lahan sendiri. Oleh karena itu, petani merupakan ujung tombak pelaksana program PHT. Upaya pemberdayaan petani tersebut dapat tercapai dengan dilaksanakannya program pelatihan dan pendidikan PHT untuk petani. Melalui program capacity building 18
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pengenalan Pestisida
tersebut, petani dapat berkembang menjadi pengelola (manager) hingga mampu mengambil keputusan sendiri secara tepat (Untung, 1993; Oka, 1997; Wiratmadja, 1997). 1.7. Daftar Pustaka Alavanja MC. Hoppin J.A. Kamel F. 2004. Health effects of chronic pesticide exposure: cancer and neurotoxicity. Annu Rev Public Health 25: 155–197. Atmawidjaja, S., Satiadarma K., Kisman S., Firman K. dan Ibrahim S. 1983. Pemeriksaan Residu Pestisida dalam Bahan Makanan dan Komponen Lingkungan, Laporan Penelitian No. 6064282, Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1-11, 21-22, 25-31. Barnes, J.M. 1976. Hazards to people. In: Gunn, D.L. and Stevens, J.G.R. (eds) Pesticides and Human Welfare. Oxford University Press, pp. 181–192. Brown, A.W.A. 1951. New York.
Insect Control by Chemicals. Wiley and Sons.
Busvine, J.R. 1976. Pest resistance to pesticides. In: Gunn, D.L. and Stevens, J.G.R. (eds) Pesticides and Human Welfare. Oxford University Press, pp. 193–205. Conway, G.R. and Barbier, E.B. 1990. After the Green Revolution: Sustainable Agriculture for Development. Earthscan Publications Ltd, London, UK. Copping, L. G. and H. G. Hewitt. 1998. Chemistry and Mode of Action of Crop Protection Agents. The Royal Society of Chemistry. Daniels J.L., Olshan A.F., Savitz D.A. 1997. Pesticides and childhood
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
19
cancers. Environmental Health Perspectives, Volume 105, Issue 10, Pages 1068–1077. PMID 9349828
Dent, D.R. 1995. Integrated Pest Management. Chapman & Hall, London. Dir. Pupuk & Pestisida Dir.Jen. Prasarana & Sarana Pertanian Kementerian Pertanian. 2011. Petunjuk Teknis Pengawasan Pupuk Dan Pestisida Tahun 2011. Jakarta. 58 hal.
Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura Departemen Pertanian RI. 1997. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI, Jakarta, 60-90 Ecobichon D.J. 1996. Toxic effects of pesticides. In: Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons (Klaassen CD, Doull J, eds). 5th ed. New York: MacMillan, 643–689. Edwards, C.A. 1987. The environmental impact of pesticides. In: Delucchi, V. (ed.) Integrated Pest Management, Protection Integrée Quo vadis? An International Perspective. Parasitis 86, Geneva, Switzerland, pp. 309–329. Georghiou, G.P. and T. Saito. 1983. Pest Resistance to Pesticides. Plenum Press, New York Hamilton, D. and A. Crossley. 2004 . Pesticide residues in food and drinking water. J. Wiley st
Harthley, G.S. and West, T.F. 1969. Chemical for Pest Control, 1 ed., Pergamon Press, Oxford, 26-33. Hassall, K.A. 1969. Cleveland
Pesticides: World Crop Protection. CRC Press.
Horn D. J., 1988. Ecological Approach to Pest Management. The Guilford Press. New York. 285 pp.
20
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Mc Cauley LA, Anger WK, Keifer M, Langley R, Robson MG, and Rohlman D. 2006. “Studying Health Outcomes in Farmworker Populations Exposed to Pesticides”. Environmental Health Perspectives 114: 953–960. Retrieved on 2007-09-15. Kegley, S. E. and L.J. Wise. 1998. Pesticides in fruits and vegetables. University Science Books. Komisi Pestisida. 1997. Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI, Jakarta, 5-7, 93-100, 211-214. Komisi Pestisida. 2000. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Departemen Pertanian RI, Jakarta, 202-218.
Koul. O. 2004. Neem: A Global Perspective. In: O. Koul O. and S. Wahab (eds.). Neem: Today and in the New Millennium. Kluwer Academic Publishers. pp. 1-21. Luckman, W.H. and R.L. Metcalf. 1982. The Pest Management Concept. In: Introduction to Insect Pest Management (R.L. Metcalf & W.L. Luckman, eds.) p:1 - 32. A Wiley Interscience Publ, New York.
Matolcsy, C, M. Nadasy, and V. Andriska. 1988. Pesticide Chemistry. Elsevier Science Publishing Co., Inc. New York, N.Y Martin, H. 1957. Guide to the Chemicals Used in Crop Protection. Canada Dept. of Agr. Metcalf, R.L. 1955. Organic Insectides. Wiley Interscience. New York. Metcalf, R.L. 1982. Insecticides in Pest Management. In: Introduction to Insect Pest Management (R.L. Metcalf & W.L. Luckman, eds.) p:217 - 278. A Wiley Interscience Publ., New York.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
21
O’Malley MA. 1997. Skin reactions to pesticides. Occupational Medicine Volume 12, Issue 2, Pages 327–345. Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 254. Hlm Oka, I.N. 1997. Memberdayakan para Petani Melalui Program Pengendalian Hama Terpadu dalam Membangun Pertanian yang Berkelanjutan. Makalah pada Latihan PHT bagi PHP, Universitas Lampung Pedigo, l.P. 1989. Entomology and Pest Management. MacMillan Publ.,
New York. 645 pp.
Reigart, J. R. and J. R. Roberts. 1999. Recognition and Management of Pesticide Poisonings. U.S. Environmental Protection Agency, Washington, DC Smith, R.F. and R. Van den Bosch. 1967. Integrated Control. In: Pest Control (R. L. Doutt, ed.). p:295-337. Academic Press, New York. Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 273 hlm. US Environmental Protection Agency . 2007. Pesticides and food: What the pesticide residue limits are on food. epa.gov. Retrieved on September 15, 2007. Wiratmadja, R. 1997. Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Makalah bagi Pelatihan PHT bagi PHP, Universitas Lampung
World Health Organisation. 1990. ‘Public Health Impact of Pesticides Used in Agriculture’, WHO Geneva.
22
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
23
TOPIK II LABEL PESTISIDA
2.1. Peranan Label Pestisida Secara global, jenis dan merek pestisida telah berkembang pesat di berbagai negara. Hal ini disebabkan karena setiap perusahaan pestisida maupun formulator mempunyai merek (nama dagang) yang berbeda-beda untuk setiap produk yang dihasilkannya. Selain nama dagang yang berbeda, setiap perusahaan juga mengemas setiap produknya dalam dalam berbagai kemasan dan wadah yang berbeda antara lain kemasan dalam: kaleng, botol plastik, botol gelas, kantong plastik, dan kemasan lainnya (Gambar 1). Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penanganan, transportasi, dan penyimpanan.
Gambar 1. Jenis dan bentuk kemasan pestisida yang tersedia di pasaran
24
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
Pestisida adalah bahan beracun yang dapat membunuh semua mahluk hidup termasuk, manusia (operator), satwa liar maupun domestik, dan organisme bermanfaat (beneficial species) yang meliputi musuh alami, penyerbuk, dan organisme pengurai. Untuk melindungi keselamatan manusia dan menjaga sumber-sumber kekayaan alam khususnya kekayaan alam hayati, dan di lain pihak agar penggunaan pestisida dapat bekerja efektif dan efisien, maka peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida diatur dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu landasan hukum yang dipergunakan dalam pengelolaan pestisida antara lain adalah peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1973. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, maka setiap pestisida yang akan diedarkan, disimpan dan digunakan harus terlebih dahulu terdaftar dan memperoleh izin menteri pertanian. Mengacu pada peraturan pemerintah tersebut, menteri pertanian telah mengeluarkan beberapa keputusan yang bersifat kebijaksanaan dalam kaitannya dengan pengelolaan pestisida, antara lain keputusan menteri pertanian nomor 434.1 tahun 2001 tentang syarat dan tata cara pendaftaran pestisida, dan keputusan menteri pertanian nomor 517 tahun 2002 tentang pengawasan pestisida (Kom. Pes, 1997; Kom. Pes, 2000). Sejalan dengan perubahan dan perkembangan global, pemerintah telah merumuskan berbagai strategi yang berkaitan dengan pendaftaran dan peredaran pestisida di Indonesia. Kebijakan tersebut harus mampu menjawab tantangan global dan bersifat aspiratif, akomodatif, dan transparan. Sejalan dengan hal ini, maka arah kebijakan pengelolaan pestisida sepenuhnya akan mengikuti perkembangan global dalam rangka mewujudkan harmonisasi pengelolaan pestisida antarnegara, baik dalam satu kawasan (ASEAN, AFTA, NAFTA dan sebagainya) maupun di luar kawasan. Penggunaan dan peredaran pestisida perlu secara terus menerus ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek hukum, aspek kesehatan, dan aspek lingkungan. Salah satu upaya pemerintah dalam mengelola penggunaan pestisida, pemerintah telah menetapkan beberapa persyaratan tentang pestisida seperti yang diuraikan berikut ini: 1. setiap pestisida harus didaftarkan kepada Menteri Pertanian melalui Komisi Pestisida untuk dimintakan izin penggunaannya 2. hanya pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian boleh disimpan, diedarkan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
25
Label Pestisida
dan digunakan 3. pestisida yang penggunaannya terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian hanya boleh disimpan, diedarkan dan digunakan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam izin pestisida itu 4. setiap pestisida harus diberi label dalam bahasa Indonesia yang berisi keterangan-keterangan yang dimaksud dalam surat Keputusan Menteri Pertanian No. 429/Kpts/Mm/1/1973 dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam pendaftaran dan izin masing-masing pestisida. Mengacu pada Peraturan Pemerintah tersebut, setiap pestisida yang beredar di pasaran harus berlabel. Masyarakat pengguna terutama petani harus disadarkan betapa pentingnya untuk memahami dan mengerti keterangan yang tertera pada label pestisida. Setiap konsumen pestisida dan pekerja (operator) berhak mengetahui bahan kimia apa yang digunakan, bahaya dan resiko dalam pengaplikasian pestisida, dan cara perlindungan yang diperlukan. Semua kemasan pestisida harus mempunyai label agar masyarakat mengerti bagaimana cara menggunakannya secara benar dan aman. Dalam label pestisida tertera informasi penting antara lain: bahan dan jenis racun, prosedur mencampur dan ukuran pakai, upaya mengatasi jika terjadi keracunan, daya racun (toksisitas), dan waktu yang diperlukan agar aman bagi petani untuk dapat masuk ke lahan pertaniaannya (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Dalam beberapa kasus, banyak label pestisida yang sulit dibaca karena menggunakan bahasa yang tidak mudah dimengerti atau mungkin labelnya dicetak dalam bahasa asing (terutama bahasa Inggris) sehingga sulit dimengerti oleh petani. Oleh karena itu, agar pestisida dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan sekaligus menghindari bahaya terhadap kesehatan manusia, kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan hidup, maka penggunaan pestisida harus dilakukan dengan tepat dan bijak (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Dengan telah dikeluarkannya peraturan pemerintah melalui SK MenTan No 429/KPTS/Um/9/73, maka sejak tahun 1973, pemerintah telah memutuskan dan menetapkan setiap kemasan dan wadah pestisida yang diperjualbelikan harus berlabel. Selain itu, menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 949 Tahun 1998 label pestisida adalah 26
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
keterangan dan informasi penting yang ditempelkan secara kuat pada wadah pestisida sehingga tidak mudah lepas. Secara umum, semua keterangan yang tercantum dalam label harus ditulis dengan huruf yang mudah terbaca (Kom. Pes., 1997; Martin, 1957; Bailey, 1951). Lebih lanjut, persyaratan Label telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 434.1/ Kpts/TP.270/7/2001. Dalam uraian keputusan disebutkan bahwa: 1. Semua keterangan dalam label harus sesuai dengan data yang diberikan pada pemohonan pendaftaran dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan Menteri Pertanian mengenai pendaftaran dan pemberian izin untuk setiap pestisida. Setiap pemegang pendaftaran pestisida harus menyampaikan kepada Direktorat Pupuk dan Pestisida konsep label yang diusulkan untuk diperiksa lebih dahulu dan dimintakan persetujuan Direktorat Pupuk dan Pestisida sebelum dicetak dan digunakan pada tiap wadah seperti yang didaftarkan. 2. Untuk ukuran wadah kecil tidak memungkinkan semua keterangan dan kalimat peringatan dicantumkan. Untuk itu, pada wadah tersebut label lengkap harus tetap dicantumkan pada lembar terpisah yang menyertai wadah tersebut. Pada wadah tersebut harus dituliskan dengan jelas “Bacalah petunjuk yang lengkap pada lembar terpisah yang menyertai wadah ini�. Walaupun demikian sedapat mungkin hendaknya diusahakan supaya semua keterangan dapat dicantumkan pada label. 3. Terdapat tanda gambar dan kalimat bahaya pada label pestisida, yang didasarkan pada nilai LD50 dan Dermal formulasi. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai Tanda Gambar dan Kalimat Peringatan Bahaya, silakan lihat ke: Klasifikasi dan Simbol Bahaya Pestisida 4. Selain hal tersebut di atas dan sesuai dengan sifat bahayanya maka kalimat dan atau simbol peringatan bahaya lain yang perlu dicantumkan yaitu antara lain: Bahan Peledak, Bahan Oksidasi, Bahan Korosif, Bahan Iritasi, dan Bahan Mudah Terbakar. Apabila disimak lebih cermat dan teliti, informasi pada label pestisida akan bermanfaat bagi beberapa pihak seperti: Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
27
Label Pestisida
1. Pengusaha (manufacturer), karena produk yang dapat dipasarkan hanya pestisida yang berlabel dan label merupakan salah satu daya jual karena sudah mempunyai izin (license to sell); 2. Pemerintah (komisi pestisida), karena label menjadi jalan untuk mengontrol distribusi, penyimpanan, penjualan, penggunaan, dan pembuangan pestisida 3. Konsumen, karena pada label tersedia informasi tentang petunjuk penggunaan pestisida; 4. Para medis, karena pada label tersedia informasi petunjuk penanganan dan pengobatan pada kasus keracunan pestisida. Beberapa prosedur dan tahapan harus dilakukan oleh konsumen dalam membaca label. Tahapan tersebut mulai sebelum membeli sampai ke proses pembuangan yang diuraikan sebagai berikut: Sebelum membeli pestisida, baca keterangan pada label untuk menentukan: 1. apakah jenis pestisida yang akan dibeli sesuai dengan yang dibutuhkan 2. apakah pestisida tersebut dapat digunakan dengan aman pada kondisi setempat Sebelum mencampur, baca label pestisida untuk mengetahui: 1. alat pelindung yang harus digunakan oleh operator 2. jenis pestisida apa pestisida itu dapat dicampur (kompatibilitas) 3. berapa jumlah pestisida yang harus digunakan 4. bagaimana prosedur pencampuran Sebelum pengaplikasian, baca label untuk menentukan: 1. kapan pestisida diaplikasikan 2. petunjuk keamanan apa yang harus dipenuhi 3. bagaimana cara penggunaannya 4. apakah ada pembatasan penggunaannya Sebelum disimpan atau dibuang, baca label untuk mengetahui 1. dimana dan bagaimana penyimpanannya 28
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
2. bagaimana pembuangan agar tidak mencemari lingkungan 3. dimana tempat pembuangan 2.2. Informasi dalam Label Pestisida Selayaknya, berbagai informasi yang tertera pada label harus dapat dengan mudah dimengerti. Namun dalam kenyataannya, beberapa keterangan yang tertera dalam label pestisida sulit dimengerti, sehingga memerlukan pemahaman dan kehati-hatian dalam membacanya. Secara umum, semua label pestisida harus dapat menerangkan bagaimana cara menggunakan pestisida seacara benar dan tepat. Oleh karena itu, pemerintah mempertegas melalui Peraturan Pemerintah berupa Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 yang menjelaskan bahwa semua label pestisida harus mencantumkan semua informasi penting agar penggunaan pestisida dapat dilakukan secara benar dan tepat seperti beberapa contoh informasi yang tertulis pada Tabel 3 dan Gambar 2 (Kom. Pes., 2000).
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
29
Label Pestisida
Tabel 3. Beberapa jenis informasi yang harus tertera pada setiap label pestisida. Jenis Informasi
No
30
1
Nama dagang formulasi
2
Jenis Pestisida
3
Nama dan Kadar bahan aktif
4
Isi atau berat bersih dalam kemasan
5
Peringatan keamanan
6
Klasifikasi dan simbol bahaya
7
Petunjuk keamanan
8
Gejala keracunan
9
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
10
Perawatan medis
11
Petunjuk penyimpanan
12
Petunjuk penggunaan
13
Piktogram Pestisida)
14
Nomor pendaftaran
15
Nama dan alamat serta nomor telepon pemegang nomor pendaftaran
16
Nomor produksi, bulan, tahun produksi dan bulan kadaluwarsa.
17
Petunjuk pemusnahan
(lihat:
Klasifikasi
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
dan
Simbol
Bahaya
Label Pestisida
Gambar 2.
Contoh spesimen label pestisida. Pesticide Management EducationProgram. Pesticide Applicator Training Manual Core Manual Northeastern Regional Pesticide Coordinators. 2nd. Ed. Cornell University. Ithaca. New York. 2000
Nama dagang (brand or trade name). Setiap pabrik dan pengusaha pestisida mempunyai nama dagang untuk setiap produk yang dihasilkan. Pabrik yang berbeda dapat menggunakan nama dagang yang berbeda untuk jenis bahan aktif yang sama. Perusahaan akan mendaftarkan produknya untuk mendapatkan nama dagang sehingga perusahaan lain tidak menggunakan nama yang sama. Nama Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
31
Label Pestisida
dagang tertera di bagian depan label sehingga mudah terlihat oleh konsumen. Para konsumen harus berhati-hati untuk membaca secara teliti nama dagang yang menggunakan nama dasar yang sama dengan variasi yang sedikit (minim), padahal produk tersebut mengandung bahan aktif yang sangat berbeda. Sebagai contoh adalah: TersanR LSR = zinc dan maneb TersanR SP = chloroneb TersanR 1991 = benomyl TersanR = thiram Bahan Aktif. Setiap perusahaan pestisida harus mencantumkan nama bahan aktif di setiap label produknya. Nama bahan aktif ditulis setelah nama dagang, yang dikuti dengan keterangan tentang kadarnya (proporsinya). Selain itu, proporsi bahan tambahan (inert) juga harus tercantum secara jelas dan lengkap. Jenis dan Tipe Pestisida. Jenis pestisida biasanya tertera pada bagian atas dan depan setiap label pestisida. Keterangan singkat yang mengikuti jenis pestisida dimaksudkan agar konsumen dapat menemukan jenis pestisida yang mau dibeli, sebagai contoh: 1. Insektisida untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama pada tanaman sayuran. 2. Fungisida untuk mengendalikan jamur pada tanaman kentang 3. Algisida untuk mengendalikan tumbuhan ganggang yang menggagu Cara penggunaan pestisida. Petunjuk dan instruksi tentang bagaimana menggunakan pestisida adalah bagian terpenting dari label dan hanya melalui informasi pada label, seseorang dapat menggunakan pestisida secara benar dan tepat. Keterangan penting tentang petunjuk penggunaan pestisida mencakup: 1. Jenis tanaman, hewan, dan bagian produk yang harus dikendalikan 2. Jenis target OPT 3. Alat dan teknik aplikasi 4. Dosis atau konsentrasi anjuran 5. Volume larutan tiap hektar (volume semprot) 6. Waktu dan frekuensi aplikasi 32
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
7. Waktu aplikasi terakhir sebelum panen 8. Kompatibilitas dengan pestisida atau produk lain 9. Fitotoksisitas Nomor izin dan pendaftaran. Perdagangan dan distribusi pestisida diatur oleh Undang-Undang No 12 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1973. Pada peraturan ini tertuang juga pengawasan peredaran pestisida yang berbahaya terhadap organisme non-target dan lingkungan. Untuk mengawasi peraturan tersebut, Komisi Pestisida (Departemen Pertanian) memegang wewenang dalam memberikan nomor izin dan pelaksanaan (registration and establishment numbers) kepada beberapa perusahaan pestisida. Agar pemerintah dapat mengawasi peredaran pestisida, setiap perusahaan wajib menuliskan nama dan alamat pada setiap label kemasan yang diproduksinya (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Kalimat peringatan dan diagram gambar (piktogram) tanda bahaya. Pestisida adalah bahan racun yang berbahaya terhadap manusia, hewan peliharaan, dan satwa liar. Secara global, pernyataan berbahaya, warna, simbol kata, dan simbol bahaya telah disusun dalam bentuk borang (form) untuk mengingatkan akan bahaya penggunaan pestisida seperti yang terlihat pada Gambar 3. Pada umumnya, gambar berupa tanda bahaya selalu disertai dan diikuti oleh kalimat peringatan seperti berikut ini: 1. Bahan racun, peledak, berbahaya, iritasi, oksidasi, atau bahan yang mudah terbakar. 2. Kena kulit dapat menyebabkan keracunan berat 3. Melalui pernafasan (menghirup) pestisida berbentuk: gas, semprotan, uap, asap, aerosol, kabut, dan debu, menyebabkan keracunan berat 4. Melalui mulut menyebabkan keracunan 5. Dapat menyebabkan iritasi pada: kulit, hidung, mata, dan tenggorokan 6. Menyebabkan alergi atau luka 7. Menyebabkan penyakit pada: mata, kulit, dan pernafasan 8. Racun dan berbahaya untuk hewan piaraan, ternak, ikan, burung, binatang liar, lebah, dan satwa lainnya.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
33
Label Pestisida
Kelas Berbahaya Ia. Sangat berbahaya sekali
Keterangan yang perlu dicantumkan di dalam label Pernyataan Warna Simbol Bahaya Simbol Kata berbahaya
Sangat beracun
Coklat Tua Sangat Beracun
Ib. Berbahaya sekali
Beracun
Merah Tua Beracun
II. Berbahaya III. Cukup berbahaya IV. Tidak berbahaya pada pemakaian normal
Berbahaya
Kuning Tua Berbahaya
Perhatian
Biru Muda
Perhatian!!!
Hijau
Gambar 3. Klasifikasi dan symbol bahaya yang tertera pada setiap label Pestisida (Dir. Pupuk & Pestisida Dir. Jen. Prasarana & Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, 2011) Kalimat Peringatan untuk operator. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pekerja atau pemakai pestisida adalah: 1. Pada waktu menggunakan jangan makan, minum, atau merokok. 2. Pakailah alat pengamanan seperti: sarung tangan, sepatu 34
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
boot, apron (baju pelindung), alat pernafasan, topeng (masker) debu, tutup muka, dan kaca mata. Cucilah kulit yang terkena pestisida dengan sabun dan setelah bekerja. Jangan menggunakan dalam bentuk kabut/debu. Jangan mengisap gas, uap, asap, debu, atau kabut. Jangan terkena kulit, mata, atau mulut. Jangan tumpah atau menjiprat ke tubuh. Apabila tubuh terkena, siramlah segera dengan air banyak dan bukalah segera baju yang kena tumpahan. Setelah digunakan, semua alat aplikasi dan alat pelindung harus bersihkan. Gantilah udara dengan yang baik sebelum masuk ruangan yang telah difumigasi.
Petunjuk keamanan bagi operator. Kalimat peringatan dan petunjuk keamanan bagi konsumen adalah: 1. Jangan digunakan pada semua tanaman (makanan) hanya pada makanan tertentu (tertulis). 2. Jangan digunakan pada umur tanaman tertentu (aplikasi terakhir sebelum panen). 3. Jangan digunakan pada dosis lebih dari yang dianjurkan. Petunjuk apabila terjadi keracunan. Pertolongan darurat yang harus dilakukan apabila ada kasus keracunan pestisida adalah: 1. Apabila tubuh terkena tumpahan atau cipratan pestisida, segera basuh dan bersihkan bagian tubuh tersebut dengan air yang banyak dan cuci juga dengan sabun. 2. Apabila bagian mata yang terkena, segera basuh dengan air dan secepatnya dibawa ke dokter. 2.3. Petunjuk Penggunaan Pestisida Pemerintah dan formulator telah menetapkan dan memberi petunjuk umum keamanan dalam aplikasi pestisida agar aman digunakan dan tidak menimbulkan efek peracunan bagi operator. Petunjuk penggunaan pestisida yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan pedoman umum dalam penanganan senyawa kimia berbahaya mulai dari pemilihan jenis pestisida, tata cara penyimpanan, Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
35
Label Pestisida
penakaran, pengenceran, pencampuran sampai kepada prosedur kebersihannya (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Semua orang yang akan mengaplikasikan pestisida harus mengikuti petunjuk yang tercantum dalam label. Secara garis besar informasi yang dapat dibaca dari label pestisida dimaksudkan untuk melindungi manusia dan menekan dampak negatif yang akan timbul (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Beberapa hal yang yang harus diperhatikan dalam menggunakan pestisida adalah: 1. Pestisida digunakan apabila diperlukan. 2. Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum bekerja dengan pestisida. 3. Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan pestisida, demikian pula wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya. 4. Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut, karena pestisida dapat terserap melalui luka. 5. Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan panjang dan kaki, sarung tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan rambut dan atribut lain yang diperlukan. 6. Hati-hati bekerja dengan pestisida, lebih-lebih pestisida yang konsentrasinya pekat. 7. Tidak boleh melakukan kegiatan aplikasi pestisida sambil makan dan minum. 8. Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat berbahaya apabila tercium. 9. Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran pestisida dilakukan di tempat terbuka. 10. Gunakan selalu alat-alat yang bersih dan alat khusus dalam mencampur pestisida dan sesuaikan dengan takaran yang dianjurkan. Jangan menggunakan pestisida dengan jumlah yang berlebih atau kurang. 11. Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih dari satu macam, kecuali dianjurkan. 12. Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada waktu akan turun hujan, cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau sebaran berlawanan arah angin. 13. Apabila sedang sakit atau pada kondisi lemah, berhentilah bekerja dan istirahat secukupnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa wadah bekas 36
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
pestisida harus dirusak, dibenamkan, atau dibakar supaya tidak digunakan oleh orang lain untuk tempat makanan maupun minuman. Setiap melakukan aplikasi pestisida, tanda peringatan harus dipasang di tempat yang baru diperlakukan dengan pestisida. Selain tu, setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan harus dibersihkan, demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun sebersih mungkin (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Menyimpan pestisida secara aman merupakan salah satu tindakan keselamatan penggunaan pestisida, dan diantara beberapa cara tersebut adalah: 1. Simpanlah pestisida dalam wadah atau pembungkus asli yang tertutup rapat dan tidak bocor atau rusak, dengan label asli dan keterangan lengkap dan jelas. 2. Simpanlah pestisida dalam lemari atau peti khusus yang dapat dikunci, atau dalam ruangan khusus yang juga dapat dikunci, sehingga tidak dapat terjangkau oleh anakanak, hewan piaraan atau ternak, serta jauh dari makanan, minuman, atau sumber api. 3. Sediakan air dan bahan pembersih (sabun atau detergen dan lain-lain), bahan penyerap pestisida (pasir, kapur, serbuk gergaji atau tanah) sapu, sekop dan wadah untuk tempat membuang pestisida yang tumpah. Alat pemadam api harus diperiksa secara teratur untuk mengetahui kelayakan pakainya. 2.4. Petunjuk Keamanan dan Pertolongan Pertama Kasus bahaya keracunan pestisida seringkali terjadi karena ketidakcermatan operator dalam hal membaca dan memahami petunjuk keamanan penggunaan pestisida (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Beberapa Petunjuk Keamanan yang harus dipahami dan diataati oleh operator pestisida adalah: 1. Pakailah sarung tangan, pelindung tubuh, masker muka, pakaian berlengan panjang, dan celana panjang. Jauhkan dari nyala api pada waktu membuka wadah dan memindahkan pada waktu bekerja. 2. Jangan makan, minum , atau merokok pada waktu bekerja. 3. Sebelum makan, minum atau merokok dan setelah bekerja, cucilah tangan atau kulit yang terkena pestisida ini dengan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
37
Label Pestisida
air sabun, yang banyak, jangan menggunakan pestisida ini 10 hari sebelum tanaman dipanen untuk tanaman pangan. 4. Setelah digunakan cucilah dengan air semua peralatan semprot dan pakaian pelindung dan jangan mencemari kolam, perairan dan sumber air lainnya dengan pestisida yang dipakai atau wadah bekasnya. 5. Simpanlah pestisida tersebut secara tertutup rapat di tempat sejuk dan kering, jauh dari bahan makanan, api, sumber air dan jangkauan anak-anak. 6. Hancurkanlah wadah bekas pestisida (agar tidak dapat digunakan lagi), kemudian tanamlah sekurang-kurangnya 0,5 meter di dalam tanah dan jauh dari sumber air. Seseorang yang terpapar pestisida dapat memperlihatkan lebih dari satu gejala penyakit. Beberapa gejala dapat timbul secara langsung setelah terpapar, sementara gejala lainnya tidak terlihat sampai beberapa jam, beberapa hari, atau bahkan beberapa tahun kemudian. Kejadian fatal akibat bahaya keracunan pestisida dapat dihindari dengan mengenali gejala keracunan dini seperti: kulit atau mata terasa gatal atau terbakar, pusing, sakit kepala, menimbulkan banyak keringat, mual, mencret, badan gemetar, pingsan (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Gejala keracunan pestisida dapat terlihat dalam beberapa anggota tubuh seperti: 1. Hidung dan mulut: ingusan dan mengeluarkan liur 2. Kepala dan mata: sakit kepala, penglihatan kabur, dan biji mata mengecil 3. Dada dan paru-paru: sakit dada, sulit bernapas, dan batuk 4. Perut: sakit, diare, mual, dan muntah 5. Kaki dan tangan: kejang otot, terasa sakit, dan kedutan 6. Tangan:kuku-kuku tangan rusak, jari-jari mati rasa, dan terasa geli 7. Kulit: gatal, ruam, bengkak, memerah, melepuh, terbakar, dan banyak berkeringat Tanda-tanda lain keracunan pestisida antara lain: bingung, lemah, gangguan berjalan, sulit konsentrasi, otot kedutan, gelisah, mimpi buruk, dan sulit tidur. Apabila satu atau lebih gejala tersebut timbul, segera berhenti bekerja, lakukan tindakan pertolongan pertama dan
38
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Label Pestisida
pergilah ke Puskesmas atau dokter terdekat. Pada kasus keracunan yang parah akan menimbulkan gejala sebagai berikut: tidak sadar, tidak dapat menahan untuk buang air kecil dan buang air besar, bibir dan kuku biru, dan gemetar (Kom. Pes., 1997; Kom. Pes., 2000). Secara umum, pestisida dapat meracuni orang dengan beberapa cara: melalui kulit dan mata, melalui mulut (dengan menelan), atau melalui udara (dengan bernapas). Setiap kasus keracunan, tindakan yang diambil untuk orang yang terpapar berbeda tergantung cara pemaparan. Kebanyakan kasus keracunan pestisida terjadi akibat terserapnya pestisida melalui kulit. Hal ini terjadi ketika pestisida dituang dan tumpah, atau terciprat ketika campuran pestisida diaduk sebelum disemprotkan, atau ketika seseorang menyentuh tanaman yang baru saja disemprot. Pestisida juga dapat terkena kulit melalui pakaian atau ketika seseorang mencuci pakaian yang terkena pestisida. Namun apabila telah terjadi keracunan pestisida, Petunjuk Pertolongan Pertama pada Keracunan yang harus dilakukan adalah: 1. Tanggalkan pakaian yang terkena insektisida ini. 2. Apabila kulit terkena, segera cuci dengan sabun dan air yang banyak. 3. Apabila mata terkena, cucilah segera dengan air bersih selama sedikitnya 15 menit. 4. Apabila tertelan dan penderita masih sadar, segera usahakan permuntahan dengan memberikan segelas air hangat yang diberi satu sendok garam dapur atau dengan cara menggelitik tenggorokan penderita dengan jari tangan yang bersih sampai cairan muntahan menjadi jernih. 5. Jangan memberi sesuatu melalui mulut kepada penderita yang pingsan atau tidak sadar. 6. Apabila terhisap segera dibawa ke ruangan yang berudara sejuk dan segar, apabila perlu berikan pernafasan buatan melalui mulut atau dengan pemberian oksigen. 7. Apabila pasien yang terpapar pestisida tidak dapat diatasi dengan Pertolongan Pertama maka segeralah bawa dia ke dokter untuk dirawat.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
39
2.5. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Pesticide Management EducationProgram. Pesticide Applicator Training Manual Core Manual Northeastern Regional Pesticide Coordinators. 2nd. Ed. Cornell University. Ithaca. New York. 2000 Bayley, S.F. & L.M. Smith. 1951. Hand book of Agricultural Pest Control. Industry Publications. New York Brown, A.W.A. 1951. New York.
Insect Control by Chemicals. Wiley and Sons.
Dir. Pupuk & Pestisida Dir.Jen. Prasarana & Sarana Pertanian Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida Tahun 2011. Jakarta. 76 hal. Fronk, W. D. 1978. Chemical Control. In Fundamentals of Applied Entomology. (Pfadt, R.E . ed ). Macmilla Publs. New York Hassall, K.A. 1969. Cleveland
Pesticides: World Crop Protection. CRC Press.
Keputusan Menteri PertanianNo. 949 Tahun 1998 Tentang : Pestisida Terbatas Komisi Pestisida. 1997. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Kom. Pes. Jakarta. Komisi Pestisida. 1997. Metode Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, Departemen Pertanian RI, Jakarta, 5-7, 93-100, 211-214. Komisi Pestisida. 2000. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Departemen Pertanian RI, Jakarta, 202-218. Martin, H. 1957. Guide to the Chemicals Used in Crop Protection. Canada Dept. of Agr. Matolcsy, C, M. Nadasy, and V. Andriska. 1988. Pesticide Chemistry. Elsevier Science Publishing Co., Inc. New York, N.Y Martin, H. 1957. Guide to the Chemicals Used in Crop Protection. Canada Dept. of Agr.
40
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
TOPIK III FORMULASI PESTISIDA
3.1 Pengertian dan Peranan Formulasi Pestisida
Pestisida yang diperjulabelikan dan tersedia di pasaran adalah produk hasil campuran bahan racun (bahan aktif = active ingridient) dengan bahan yang tidak beracun dan reaktif (inert and non poisonous materials). Oleh karena itu, pestisida sebelum digunakan harus diformulasi terlebih dahulu. Pencampuran kedua bahan tersebut bertujuan agar aplikasi pestisida dapat bekerja secara efektif tetapi tetap aman terhadap lingkungan dan organisme non target. Selain itu, melalui proses formulasi, pestisida akan lebih aman dalam penyimpanan. Secara umum, formulasi pestisida adalah campuran bahan aktif dengan bahan tambahan tertentu (ajuvants) sehingga pestisida tersebut dapat dipergunakan secara: aman, efektif, dan ekonomis (Van vankelburg, 1973, Bailey and Smith, 1951; UNIDO, 1992). Adanya bahan tambahan dalam formulasi pestisida akan memperbaiki sifat pestisida tersebut sehingga memudahkan dalam: 1. Penanganan. Pestisida yang diformulasikan dapat aman diaplikasikan asalkan mengikuti semua anjuran - sedangkan bahan aktif murni sangat berbahaya digunakan secara langsung. 2. Pengemasan. Pestisida yang diformulasikan dapat dikemas dalam berbagai wadah sepeti: kaleng, plastik, atau gelas – bahan aktif murni hanya boleh dikemas dengan wadah khusus. Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
41
Formulasi Pestisida
3. Penyimpanan. Pestisida yang diformulasikan mempunyai sifat kimia dan fisik yang relatif stabil sehingga dapat disimpan dalam kondisi ruang - bahan aktif murni sangat reaktif sehingga memerlukan ruangan khusus untuk menyimpannya. Menurut Fronk (1978) dan Pyenson and Barke (1981), tipe dan jenis formulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang harus diperhatikan seperti : 1. Alat dan teknik aplikasi yang tersedia. Setiap jenis formulasi pestisida memerlukan alat aplikasi yang spesifik. Sebagai contoh, formulasi Emulsifiable Concentrate (EC) memerlukan alat semprot (sprayer) sedangkan formulasi Granule (G) memerlukan alat tabur (granule applicator). 2. Jenis target pengendalian. Hama yang menyerang tanaman secara terbuka misalnya permukaan daun dapat disemprot (seperti formulasi EC, S, WP) dengan alat penyemprot tetapi hama yang ada dalam tanah harus dikendalikan dengan formulasi G yang bersifat sistemik atau fumigasi. 3. Tipe lingkungan (habitat). Hama yang menyerang tanaman di lapangan (agricultural pest) akan berbeda formulasi yang digunakan (seperti EC, S, WP, G) dengan yang menyerang di perkotaan (urban pest) dan hama dalam gudang gudang harus difumigasi (misalnya formulasi D dan fumigan). 3.2. Jenis Formulasi Pestisida Berdasarkan bentuk fisik pestisida, formulasi pestisida dapat dikelompokkan menjadi tiga: formulasi cair (liquid formulations); formulasi kering (dry formulations); dan formulasi khusus (miscellaneous formulations) (US-DA and US-EPA, 1972; Pyenson and Barke, 1981). Formulasi cair adalah semua jenis formulasi pestisida yang dikemas dalam bentuk cair sedangkan formulasi padat adalah semua jenis formulasi yang dikemas dalam bentuk padat (seperti tepung dan butiran). Sedangkan formulasi khusus adalah semua jenis formulasi yang dikemas dalam bentuk bukan cair atau padat (penggunaan khusus) seperti dalam gas (aerosol) dalam makanan (Bait = umpan beracun) (Seaman, 1990). Pembagian jenis-jenis formulasi dari masingmasing kelompok tertera pada Tabel berikut ini: 42
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Formulasi Pestisida
Tabel 5. Kelompok dan Jenis Formulasi Pestisida Kelompok
Formulasi kering (Dry formulation)s
Formulasi cair (liquid formulations) Formulasi khusus (miscellaneous formulations)
Jenis Formulasi D, Dust G, Granule WP, Wetteble Powder SP, Soluble Powder S, Solution
F, Dry Flowables (Water-Dispersible granules Kapsul mikro (Microencapsulation) WG,Water Dispersible Granule EC, Emulsifiable Concentrate WSC. Water Soluble Concentrate SC, Soluble Concentrate F, Flowable Suspension Low Concentrate Solutions (LCS = S) ULV, Ultra Low Volume Aerosol Bait (umpan beracun)
Selain berdasarkan bentuk fisik pestisida, pengelompokkan formulasi pestisida juga dapat dilakukan berdasarkan penggunaannya. Kelompok utama formulasi pestisida berdasarkan aplikasinya dapat diilustrasikan seperti pada gambar berikut ini:
Gambar
4.
Pengelompokan formulasi pestisida berdasarkan penggunaannya (Wikipedia, the free encyclopedia). Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
43
Formulasi Pestisida
3.2.1 Formulasi Kering (Dry Formulations) Tepung embus (Dusts = D). Hampir semua pestisida yang diformulasikan sebagai tepung embus dapat diaplikasikan langsung karena kandungan bahan aktifnya cukup rendah (umumnya 1 – 10%). Pada umumnya, bahan aktif dicampurkan langsung dengan bahan pembawa yang kering dan halus (a very fine dry inert carrier) seperti: talk, kapur, tanah liat, tepung kulit biji-bian, dan debu vulkanik. Pemilihan bahan pembawa sangat penting, karena bahan tersebut akan mempengaruhi bentuk fisik pestisida dan pada akhirnya akan mempengaruhi daya bunuh pestisida tersebut. Ukuran partikel dapat bervarisi dan berkisar antara 1 sampai 40 micron. Secara umum, toksisitas pestisida akan meningkat apabila partikel tepung embus semakin kecil. Karena kebanyakan senyawa insektisida formulasi D menjadi tidak aktif pada kondisi basa (alkaline), maka sangat penting bagi perusahaan formulasi untuk menambahkan katalis pengaktif pada partikel D untuk mempertahankan stabilitasnya (Van Valkenburg, 1973). Formulasi D selalu diaplikasikan dalam bentuk kering yang mengakibatkan terjadinya drift (melayang dan tertiup angin ke area non-target) selama proses pengaplikasiannya. Oleh karena itu, formulasi D tidak dianjurkan penggunaannya di lapangan, melainkan terbatas di rumah tangga (tempat tertutup) seperti di celah-celah dan sudut ruangan untuk mengendalikan hamahama rumah tangga seperti kecoa dan lalat (US-DA and US-EPA, 1972 dan Pyenson and Barke, 1981). Butiran (Granule = G) Formulasi butiran hampir mirip dengan formulasi tepung embus, kecuali dengan ukuran partikelnya yang lebih besar dan lebih berat. Kandungan bahan aktif formulasi ini berkisar antara 5 sampai 20%. Bahan aktifnya ditutupi oleh bahan tambahan yang tidak toksik dan bahan yang mudah menyerap (absorptive materials) seperti: tanah liat dan bahan organik (tepung kulit kacang-kacangan dan tongkol jagung). Pada umunya, formulasi butiran diaplikasikan secara langsung ke dalam tanah untuk mengendalikan nematoda, gulma, dan juga hama yang hidup dalam tanah. Pada umumnya, formulasi G bekerja sebagai racun sistemik (formulasi yang diaplikasikan ke dalam tanah kemudian oleh tanaman diserap oleh tanaman dari akar dan dibawa 44
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Formulasi Pestisida
ke seluruh bagian tanaman). Formulasi ini juga sering diaplikasikan dalam habitat air untuk mengendalikan berbagai jenis hama perairan seperti nyamuk. Keunggulan formulasi G (dibandingkan dengan formulasi D) tidak menyebabkan drift (Van Valkenburg, 1973). Tepung terbasahkan (Wettable Powder = WP) Formulasi WP berbentuk tepung yang halus dan kering yang sangat mirip dengan formulasi D. Namun berbeda dengan formulasi D, formulasi WP harus dicampur dengan air terlebih dahulu sebelum diaplikasikan dan untuk penggunaannya dilakukan dengan penyemprotan. Formulasi WP apabila tercampur dengan air akan menghasilkan campuran berbentuk suspensi yang keruh. Untuk memudahkan formulasi WP tercampur merata dalam air, bahan pendispersi (dispersing agents) dan pembasah (wetting agents) harus ditambahkan ke dalam kemasan formulasi WP. Adanya bahan pembasah dalam formulasi WP memungkinkan terbentuknya campuran yang rata dan homogen pada saat pencampuran antara tepung insektisida dan air. Kandungan bahan aktif formulasi WP sangat beragam, berkisar mulai 5 sampai 95%, tetapi yang paling banyak dijual di pasaran adalah formulasi yang mengadung bahan aktif sekitar 50% atau lebih. Partikel formulasi WP tidak tercampur secara merata dalam air dan akan segera mengendap. Oleh karena itu, pengadukan yang teratur selama penyemprotan mutlak dilakukan agar campuran homogen dapat dipertahankan. WDG = WG Water dispersible granules Salah satu bentuk formulasi pestisida yang sedang dikembangkan pada saat ini di negara maju adalah WDG = WG Water dispersible granules. Formulasi jenis ini merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari formulasi WP. Bahan campuran pada formulasi WDG adalah bahan pembawa, bahan pembasah, dan bahan perekat. Formulasi WDG berbentuk butiran dan penggunaannya dapat dilakukan dengan mencampur dengan air. Dibandingkan dengan formulasi lain, WDG mempunyai keunggulan karena bebas debu sehingga dapat menjamin keselamatan operator. Selain itu, volume formulasi WDG lebih kecil sehingga memudahkan dalam penyimpanan ditambah lagi dengan sifatnya yang stabil dan tidak menyebabkan pemadatan (caking). Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
45
Formulasi Pestisida
Tepung terlarutkan (Soluble Powder = SP) Formulasi SP sangat mirip dengan formulasi WP, kecuali apabila dicampur dengan air, formulasi SP dapat terlarut dengan segera dan membentuk larutan sejati (bening). Setelah dikocok dengan baik, pengadukan selama penyemprotan tidak perlu. Kandungan bahan aktif berkisar antara 15 sampai 95%. Namun jenis ormulasi SP yang paling banyak tersedia di pasaran adalah pestsida yang kandungan bahan aktifnya 50% atau lebih. Larutan (Solutions = S) Hanya sedikit pestisida yang diformulasikan sebagai S, karena jenis bahan aktif pestisida yang dapat larut dalam air sangat sedikit. Pada umumnya bahan aktif dapat larut dengan mudah dengan pelarut organik. Formulasi S apabila dicampur dengan air akan membentuk larutan sejati yang bening. Formulasi S dapat diaplikasikan secara penyemprotan dan kompatibel dengan berbagai jenis alat semprot. Butiran teralirkan (Dry Flowables = F) Formulasi F ada dua dalam bentuk kering dan cair. Dalam bentuk kering, formulasi ini berupa butiran yang terdispersikan dalam air (water-dipersible granules). Formulasi ini sangat mirip dengan formulasi WP, kecuali partikelnya dikemas dalam bentuk butiran. Sama seperti WP, formulasi F harus diaduk secara merata sebelum dan selama penyemprotan. Campuran insektisida-pupuk (Insecticide–Fertilizer Mixtures = IF) Formulasi IF dibuat dengan cara mencampur insektisida dan pupuk dalam perbandingan tertentu. Dalam formulasi ini, sifat insektisida dan pupuk harus diperhatikan sehingga masing-masing dapat bekerja sesuai dengan fungsinya. Aplikasi formulasi ini dapat dilakukan pada waktu pemupukan, sehingga pada waktu yang bersamaan tanaman menerima pupuk dan terhindar dari serangan hama.
46
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Formulasi Pestisida
Kapsul mikro (Microencapsulation) Formulasi kapsul adalah formulasi yang partikel pestisidanya (dalam bentuk cair atau kering) terbungkus oleh plastik polivinil (kapsul) yang berbentuk tabung silindris berukuran kecil. Formulasi ini merupakan jenis yang relatif baru. Dalam penggunaanya, kapsul pestisida dicampur dengan air kemudian disemprotkan. Setelah tercampur rata dengan air, pestisida dilepas secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, adanya kapsul pestisida dapat memperpanjang waktu aktivitas (active live) dari pestisida tersebut. 3.2.2 Formulasi Cair (Liquid Formulations) Pekatan termusikan (Emulsifiable Concentrate = EC) Formulasi EC merupakan jenis formulasi yang paling banyak ditemukan di pasaran. Kandungan bahan aktif formulasi EC relatif lebih tinggi dibandingkan dengan formulasi lain. Formulasi EC apabila ditambah dengan air akan menghasilkan campuran homogen (emulsi) yang kental berbentuk seperti santan atau susu. Formulasi ini dapat diaplikasikan dengan berbagai jenis alat aplikasi (semprotan) mulai dari paling sederhana (hand sprayer) sampai ke alat semprot berat (mist blower). Formulasi EC mengandung bahan aktif, pelarut organik (berupa minyak mineral, petrolium, dan xylene), dan bahan pengemulsi (emulsifying agents = emulsifier). Bahan pengemulsi dapat berupa deterjen (alkaline soap), bahan organik amine, bahan organik seperti protein atau karet. Adanya bahan pengemulsi, memungkinkan formulasi EC tercampur rata dengan air Cairan/Pekatan terlarut dalam air (Water Soluble Concentrate (WSC) dan Soluble Concentrate (SC)) Sifat formulasi WSC dan SC sangat mirip dengan formulasi SP (tepung terlarutkan), kecuali pestisida WSC dan SC dikemas dalam bentuk cair, sedang SP adalah kering (tepung). Apabila pestisida Formulasi WSC dan SC dicampur dengan air akan membentuk larutan sejati yang jernih. Formulasi WSC dan SC diaplikasikan dengan cara penyemprotan.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
47
Formulasi Pestisida
Larutan Konsentrat Rendah (Low Concentrate Solution = LCS) Formulasi LCS adalah larutan yang berisi bahan aktif dengan kandungan sangat rendah (kurang dari satu persen) yang dilarutkan dalam pelarut minyak mineral. Formulasi ini dapat diaplikasikan langsung tanpa diencerkan terlebih dahulu. Pada umumnya, formulasi pestisida LCS diaplikasikan di berbagai tempat seperti: rumah (mengendalikan nyamuk); ruangan penyimpanan atau gudang; dan di kandang ternak. Pekatan volume sangat rendah (Ultra Low Volume Concentrate Solutions = ULV) Formulasi ULV mengandung bahan aktif dengan proporsi yang sangat tinggi (pelarut hanya sedikit), pada kasus tertentu kadangkadang mencapai 100%. Dalam penggunaanya, formulasi ULV tidak perlu diencerkan terlebih dahulu dan memerlukan alat aplikasi yang sangat khusus – kadang pesawat melalui udara. Penggunaan formulasi ULV hanya untuk pengendalian di luar rumah untuk mengendalikan hama pertanian, kehutanan, dan nyamuk di pemukiman dalam areal yang cukup luas. Formulasi ULV seringkali diaplikasikan dengan menggunakan pesawat udara. 3.2.3 Formulasi Khusus (Miscellaneous Formulations) Aerosols Formulasi ini mengandung partikel bahan aktif yang sangat kecil yang disuspensikan dalam udara seperti kabut dan embun. Aerosol dikemas khusus di dalam tabung kecil dan pestisida keluar melalui lubang yang sangat kecil yang didorong oleh tekanan gas yang dan menghasilkan partikel-partikel yang sangat halus melayang di udara. Formulasi ini penggunaannya sangat terbatas di dalam ruang (rumah atau di rumah kaca). Beberapa keunggulan formulasi aerosol adalah: penggunaannya sangat mudah dan praktis karena tidak memerlukan pencampuran, kemasannya lebih menarik, penyimpanannya lebih mudah, serta kekuatan toksisitasnya lebih bertahan lama dibandingkan formulasi lain. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa penggunaan aerosol hanya efektif di areal yang tidak luas, harganya relatif lebih mahal disebabkan karena bentuk kemasan yang lebih khusus dan 48
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Formulasi Pestisida
jumlah bahan aktifnya yang lebih sedikit di setiap kaleng kemasan, lebih berbahaya untuk anak-anak untuk dibuat mayanan karena bentuk kemasannya yang menarik, kaleng kemasan dapat meledak apabila tertusuk atau terbakar. Fumigan Formulasi fumigan adalah pestisida yang bekerja membunuh OPT dalam bentuk gas karena itu penggunaanya harus ditempat tertutup (gudang, bangunan, kapal, peti kemasan, dan juga tanah). Bahan aktif dapat berbentuk padat atau cairan, tetapi kedua bentuk tersebut akan berubah menjadi gas apabila diaplikasikan dalam ruang. Keunggulan dan kelemahan fumigan adalah sebagai berikut: Umpan Beracun (Baits = B) Formulasi umpan beracun adalah formulasi yang bahan aktifnya dicampur dengan pakan atau bahan lain yang menarik organisme target. Pemilihan umpan sangat perlu agar dapat menarik organisme target untuk memakannya. Pestisida hanya dapat membunuh apabila termakan (masuk ke dalam tubuh) organisme target. Pada umumnya, penggunaan B terbatas di dalam ruang untuk mengendalikan semut, kecoa, lalat, dan hewan pengerat lainnya 3.3. Bahan Tambahan (Adjuvants) Adjuvants adalah bahan tambahan yang tidak rekatif (inert material) yang dimasukkan ke dalam formulasi pestisida atau tanki alat semprot untuk meningkatkan efektivitas bahan aktif. Semua formulasi pestisida mengandung satu atau lebih jenis adjuvants. Seringkali, aplikator menambahkan adjuvant tambahan (selain yang ada di dalam kemasan) sebelum menggunakannya, namun perlu kehati-hatian untuk membaca label terlebih dahulu, karena penambahan adjuvant tertentu malah dapat berdampak buruk terhadap sifat pestisida itu sendiri (Van vankenburg, 1973; Bailey and Smith, 1951; USDA and USEPA, 1972; Fronk, 1978; Pyenson and Barke 1981). Jenis adjuvant yang umum digunakan adalah: Bahan pembasah (wetting agents). Bahan ini membuat formulasi WP dapat bercampur rata dengan air dan juga dapat menempel pada Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
49
Formulasi Pestisida
permukaan tanaman dan organisme target (treated area) Bahan pengemulsi (Emulsifying agents = emulsifiers). Bahan ini membuat bahan aktif terlarut dalam minyak mineral dapat bercampur secara homogen dengan air dalam formulasi EC. Bahan pengemulsi terbalik (Invert emulsifiers). Dengan adanya bahan ini, makapestisida terlarut dalam air dapat bercampur dengan bahan pembawa yang berbentuk minyak mineral. Bahan perata (Spreaders). Bahan ini dapat membuat larutan pestisida menjadi tersebar rata di permukaan tanaman dan organisme target. Bahan perekat (Stickers). Bahan ini membuat pestisida dapat menempel lebih lama pada permukaan substrat (tanaman atau organisme target). Bahan penetrasi (Penetrants). Bahan ini memungkinkan pestisida untuk dapat mempenetrasi permukaan luar tanaman atau organisme target dan masuk ke dalamnya. Bahan pembuat busa (Foaming agents). Bahan ini membuat partikel volume bahan aktif menjadi lebih besar untuk mengurangi drift Bahan penebal (Thickeners). Bahan ini menambah ukuran partikel bahan aktif untuk mengurangi drift. Bahan pengaman (Safeners). Bahan ini mengurangi dan menghilangkan sifat fitotoksisitas pestisida. Bahan kompatibilitas (Compatibity agents). Adanya bahan ini memungkinkan untuk mencampur dua atau lebih pestisida agar penggunaannya lebih efektif. Buffers. Adanya bahan ini memungkinkankan pestisida yang bersifat asam dapat dicampur dengan yang bersifat basa.
50
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
3.4. DAFTAR PUSTAKA Bayley, S.F. & L.M. Smith. 1951. Hand book of Agricultural Pest Control. Industry Publications. New York Brown, A.W.A. 1951. New York.
Insect Control by Chemicals. Wiley and Sons.
Fronk, W. D. 1978. Chemical Control. In Fundamentals of Applied Entomology. (Pfadt, R.E . ed ). Macmilla Publs. New York Hassall, K.A. 1969. Cleveland
Pesticides: World Crop Protection. CRC Press.
Horn D. J., 1988. Ecological Approach to Pest Management. The Guilford Press. New York . Komisi Pestisida. 1997. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Kom. Pes. Jakarta. Luckmann, W.H. & R.L. Metcalf. 1982. The Pest Management Concept. In: Introduction to Insect Pest Management (Metcalf R. L. And W. L. Luckman, eds). Martin, A., F. Whitford, and T. Jodan. 2011. Pesticides and Formulation Technology. Purdue Extension Publication PPP-31. www.ppp. purdue.edu/Pubs/PPP-31.pdf
Martin, H. 1957. Guide to the Chemicals Used in Crop Protection. Canada Dept. of Agr. Metcalf, R.L. 1955. Organic Insectides. Wiley Interscience. New York. Metcalf, R.L. 1982. Insecticides in Pest Management . In: Introduction to Insect Pest Management (Metcalf R. L. And W. L. Luckman, eds). Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
51
Pedigo, L.P. 1989. Entomology and Pest Management. Macmillan Publs. Co. New York
Pyenson, L. L. & H.E Barke. 1981. Laboratory Manual for Entomology and Plant Pathology. The Avi Publihing Comp. Connecticut Seaman, D. 1990. Trends in the Formulation of Pesticides: An Overview. Pesticide Science 29: 437–49. Smith, R.F. & R. Van den Bosch. 1967. Integrated Control. In: pest Control (R. L. Doutt, ed.) UNIDO (United Nations Industrial Development Organization).1992. International Safety Guidelines forPesticide Formulation in Developing Countries. Vienna Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. US-DA & US-EPA. 1972. Applying Pesticides Correctly: A Guide for Private and Commercials Applicators. U.S. Dept. of Agr. And U.S. Environt. Proct. Agency Van valkenburg. 1973. Pesticide Formulations. Marcel Dekker. New York
52
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
TOPIK IV DAYA RACUN (TOKSISITAS) INSEKTISIDA
4.1. Pengertian dan Peranan Insektisida Insektisida adalah bahan kimia beracun yang dapat digunakan untuk mengendalikan dan membasmi serangga hama yang menyerang tanaman dan yang membahayakan kesehatan manusia. Namun dalam kenyataannya, insektisida juga dapat meracuni dan membahayakan makhluk hidup lainnya, seperti: serangga bermanfaat (beneficial insects), hewan peliharaan, dan manusia. Sekalipun insektisida sebagai bahan beracun (biosida) yang memiliki potensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, namun penggunaan insektisida masih tetap tinggi. Hal ini disebabakan karena insektisida mempunyai kelebihan-kelebihan antara lain dapat diaplikasikan dengan mudah pada hampir semua tempat dan waktu, hasilnya dapat dirasakan dalam waktu yang relatif singkat, dan dapat diaplikasikan dalam areal yang luas. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan insektisida tersebut, maka pemahaman tentang daya racun (toksisitas) insektisida sangat diperlukan agar penggunaan insektisida dapat efektif dan sekaligus dampak negatifnya dapat ditekan (Horn 1988; Forbes and Forbes 1994; Luckmann and Metcalf, 1982; Kom. Pes., 2000; Kusno 1992; Ekha Isuasta, 1988; dan Martin, 1957). Salah satu faktor yang mempengaruhi daya racun insektisida adalah cara masuknya (route of entry) ke dalam tubuh serangga target mempengaruhi. Secara umum bahan racun insektisida dapat memasuki tubuh serangga melalui: 1. Kutikula (kulit) serangga. Racun yang bersentuhan dengan tubuh serangga dapat meracunninya langsung sehingga Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
53
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
insektisida ini disebut racun kontak Namun perlu diperhatikan bahwa kutikula serangga bersifat impermeable terhadap larutan polar sehingga larutan insektisida harus diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat menembus kulit serangga tersebut (insektisida yang bersifat apolar). Akhir-akhir ini, sebagian besar insektisida merupakan senyawa-senyawa apolar yang sangat mudah menembus kutikula serangga. Insektisida dapat mengenai dan meresap masuk ke dalam tubuh tubuh serangga pada saat aplikasi insektisida atau melalui sisa (residu) insektisida beberapa saat setelah aplikasi. 2. Mulut dan saluran pencernaan. Insektisida ini masuk melalui alat mulut dan diserap dan bekerja dalam saluran pencernaan sehingga insektisida ini dikenal dengan racun lambung. Namun sebagian besar bahan kimia ada yang bersifat menolak (repellent) sehingga serangga menghindar dan tidak mau memakannya, dan kadang kala walaupun sudah termakan racun tersebut dapat juga dimuntahkan (regurgitated). Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa adanya insektisida pada tanaman tidak mempengaruhi selera serangga untuk memakan tanaman yang berinsektisida tersebut. 3. Melaui saluran pernafasan (spirakel dan trakea). Bahan yang dapat masuk ke dalam sistem pernafasan harus bebentuk gas yang dikenal dengan bahan fumigan. Fumigan meracuni serangga setelah fase uapnya masuk ke dakam saluran pernafasan. 4.2. Pengujian Daya Racun Insektisda Berhasilnya insektisida membunuh organisme target tergantung pada banyaknya bahan racun (dosis) yang diaplikasikan. Takaran insektisida sangat perlu diketahui karena bahan kimia tersebut merupakan bahan beracun yang berbahaya terhadap organisme non-target termasuk manusia dan juga lingkungan. Sebelum mengaplikasikan insektisida, perlu dilakukan perhitungan banyaknya insektisida yang dibutuhkan agar penggunaan insektisida dapat bekerja secara efektif dan ekonomis. Banyaknya bahan racun yang akan diaplikasikan dapat 54
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
dinyatakan dalam dosis dan konsentrasi. Dosis adalah banyaknya bahan racun yang dapat membunuh organisme sasaran (target). Khusus di bidang pertanian, dosis dapat diartikan sebagai banyaknya bahan racun yang dibutuhkan untuk mengendalikan OPT per satuan areal pertanaman. Sedangkan konsentrasi adalah perbandingan antara banyaknya bahan racun/aktif dengan banyaknya bahan pelarut/ pengencer. Volume semprot adalah banyaknya cairan yang dibutuhkan untuk menyebarkan pestisida secara merata pada areal tertentu. Lebih lanjut, Djojosumarto (2008) menguraikan pengertian dosis dan konsentrasi insektisida. Pengertian dosis yang pertama adalah jumlah insektisida dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk mengendalikan hama tiap satuan luas tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Pengertian lain dari dosis insektisida adalah jumlah pestisida yang telah dicampur atau diencerkan dengan air yang digunakan untuk menyemprot hama dengan satuan luas tertentu. Dosis bahan aktif adalah jumlah bahan aktif insektisida yang dibutuhkan untuk keperluan satuan luas atau satuan volume larutan. Pada umumnya, besarnya suatu dosis insektisida tercantum dalam label insektisida. Sama halnya dengan dosis, konsentrasi insektisida juga mempunyai beberapa pengertian. Pengertian yang pertama adalah konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif suatu insektisida dalam larutan yang sudah dicampur dengan air. Pengertian kedua adalah konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya insektisida dalam cc atau gram setiap liter air. Sedangkan pengertian ketiga adalah konsentrasi larutan atau konsentrasi insektisida, yaitu persentase kandungan insektisida dalam suatu larutan jadi (Djojosumarto, 2008). Untuk menentukan banyaknya dosis yang dibutuhkan dilakukan dengan metode pengenceran. Penghitungan pengenceran insektisida dapat dilakukan dengan memakai rumus:
V1 x C1 = V2 x C2
Keterangan V= volume dan C = konsentrasi Pengujian insektisida secara hayati (bioasasay) dengan menggunakan seranggga uji merupakan salah satu metode penting dalam menentukan dan mengevaluasi dosis (takaran) efektif aau anjuran bagi suatu insektisida baru maupun yang sudah ada. Pengujian Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
55
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
daya bunuh insektisida dapat dilakukan dengan beberapa metode atau cara perlakuan seperti (Djoko Prijono, 1985): 1. Metode kontak (residu). Khusus di bidang pertanian, cara pengujian daya racun insektisida yang paling umum dilakukan adalah dengan metoda kontak (residu). Metode ini merupakan salah satu cara menguji insektisida yang bersifat racun kontak. Pada pengujian ini, insektisida dilarutkan dalam pelarut tertentu kemudian diaplikasikan secara merata pada permukaan wadah misalnya kertas saring. Kemudian serangga uji diletakkan di atas permukaan perlakuan dan dibiarkan berjalan-jalan atau berdiam diri pada tempat tersebut. Insektisida diharapkan masuk ke dalam tubuh serangga melalui tungkai atau alat tubuh lainnya dan akhirnya mencapai bagian sasaran misalnya sistem saraf pusat. 2. Metode pemberian pakan. Cara pengujian ini umumnya dilakukan untuk insektisida yang bekerja sebagai racun perut. Larutan insektisida disebarkan secara merata pada permukaan daun (tanaman inang dari serangga uji). Kemudian serangga uji yang telah dipuasakan selama beberapa jam (2-4 jam) diletakkan di atas daun tersebut. Serangga dibiarkan beberapa saat sampai semua daun habis dimakan oleh serangga uji. Insektisida dapat bekerja setelah masuk ke dalam saluran pencernaan serangga. 3. Metode perlakuan setempat (topical application). Metode ini merupakan salah satu metode menguji insektisida yang bersifat racun kontak. Dalam pengujian ini, insektisida dilarutkan dalam pelarut yang mudah menguap dan relatif tidak beracun, misalnya aseton. Kemudian bagian tertentu dari permukaan tubuh serangga uji diolesin (dikenai secara kontak) dengan larutan insektisida tersebut. 4. Metode injeksi. Metode ini hampir sama dengan perlakuan setempat karena insektisida mengenai tubuh serangga uji hanya pada tempat tertentu. Namun dengan metode injeksi, seseorang dapat mengetahui secara pasti jumlah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga uji. Pada cara ini, larutan insektisida (dilarutkan dengan bahan pembawa seperti glikol dan minyak kacang) dapat juga disuntikkan (metode injeksi) ke dalam tubuh serangga di bagian sternum 56
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
abdomen atau daerah antar segmen agar tidak merusak tali saraf abdomen (ganglion) 5. Metode celup. Metode celup digunakan untuk jenis-jenis serangga tertentu yang memiliki cara hidup dan ciri morfologi tertentu yang tidak dapat dilakukan secara injeksi misalnya larva Diptera yang memiliki integumen yang sangat lunak dan cepat rusak. Insektisida dapat disiapkan dalam bentuk suspensi dalam pelarut aseton atau dalam bentuk emulsi. Larva dipegang dengan forsep dan dicelupkan beberapa saat pada adukan jadi di atas. 4.3. Penentuan Daya Racun Insektisida Dalam penentuan daya racun insektisida diperlukan pemahaman dua istilah yaitu Konsentrasi dan Dosis. Ketepatan takaran baik konsentrasi maupun dosis dalam penggunaan insektisida adalah hal yang sangat penting untuk dipelajari dan diterapkan. Dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan insektisida dan berpotensi menjadi bahan pencemar terhadap lingkungan. Sebaliknya, dosis yang terlalu rendah menyebabkan hama sasaran tidak mati dan berpotensi mempercepat timbulnya resistensi hama terhadap insektisida. Pada umumnya, toksisitas suatu insektisida dapat ditentukan berdasarkan banyaknya (proporsi populasi umumnya 50%) serangga uji yang memberikan respon (terbunuh) akibat perlakuan suatu insektisida. Karena itu, toksisitas insektisida dinyatakan dengan nilai LD50 (Lethal Dose = LD). Nilai ini menunjukkan jumlah bahan racun per satuan berat yang dapat mematikan 50% populasi organisme uji. LD50 biasanya dinyatakan dengan satuan mg racun per kg berat hewan uji (mg/kg). Namun pada serangga hama (ukuran tubuh sangat kecil), penentuan dosis relatif sulit, sehingga toksisitas dinyakan dalam LC50 (Lethal Concentration = LC). Selain itu, daya racun insektisida dapat juga dievaluasi berdasarkan waktu bekerjanya insektisida untuk membunuh 50% populasi serangga uji yang sering dinyatakan dengan nilai LT50. Salah satu cara penghitungan dan pendugaan nilai LD50 adalah secara grafik yang dikembangkan oleh Finney pada tahun 1971. Dalam skala laboratorium, pendugaan nilai LD50 secara grafik dapat dianggap cukup memberikan hasil yang baik (Djoko Prijono, 1985; Tarumingkeng, 1989). Namun sebelum melakukan penghitungan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
57
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
selanjutnya, faktor kematian pada kontrol (yang disebabkan oleh faktor lain bukan karena insektisida) harus terlebih dahulu dikoreksi dengan rumus Abbot (1925) sebagai berikut ini, Keterangan: X = proporsi serangga uji yang hidup pada kontrol Y = proporsi serangga uji yang hidup pada perlakuan Dalam hal ini, konsentrasi insektisida ditransformasikan menjadi nilai logaritma dan masing-masing persentase kematian dikonversikan menjadi nilai probit (lihat Tabel Probit). Dengan menggunakan kertas grafik, setiap nilai log konsentrasi (log dosis) secagai sumbu-X diplotkan dengan nilai probit yang sesuai subagai sumbu-Y. Kemudian dengan menggunakan analisis regresi linier dapat ditarik garis lurus (regresi) yang paling sesuai melalui semua titik pengamatan yang diperoleh dari grafik tadi. Melalui garis lurus tadi akan diperoleh nilai LD50. Kesesuaian garis regresi yang diperoleh tadi dapat diuji secara statistik dengan menggunakan uji non-parametrik yaitu uji kesesuaian (goodness of fit) . dengan rumus:
X2 hitung = (∑ d) * (rata-rata serangga uji per dosis)
Nilai d dihitung untuk semua dosis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: O = Persentase kematian sebenarnya (observed mortality) yang terkoreksi E = Persentase kematian harapan (expected mortality)
Kematian harapan diperoleh dengan menggunakan garis lurus tadi dengan cara mencocokkan setiap dosis perlakuan dengan nilai probit. Dengan menggunakan Tabel Probit, setiap nilai probit tadi dikonversi-balik menjadi nilai persentase kematian harapan. Nilai χ2 hitung yang diperoleh dibandingkan dengan χ2 tabel (dengan derajat bebas = n – 2 (n = jumlah dosis perlakuan, tidak termasuk kontrol). Bila χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel maka garis 58
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
lurus tadi sesuai dengan data yang sebenarnya. Namun apabila χ2 hitung lebih besar dari χ2 tabel maka garis lurus tadi tidak sesuai dengan data pengamatan, maka perlu ditarik garis regresi baru dan tahapan penghitungan di atas diulangi. Langkah ini dulangi beberapa kali sampai nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel. Apabila garis yang sesuai telah diperoleh, nilai LD50 dapat diduga dan ditentukan dari garis regresi tersebut. Langkah berikutnya adalah penentuan selang kepercayaan 95% atau 99% (Taraf nyata, α = 5% atau 1%) dengan menetapkan batas atas dan bawah. Untuk itu diperlukan nilai LD16 dan LD84 dari garis regresi tadi kemudian nilai S dihitung sebagai berikut:
Setelah nilai S dihitung, nilai N dihitung dengancara menjumlahkan semua serangga uji yang digunakan pada dosis antara LD84 - LD16. Kemudian batas atas dan batas bawah untuk selang kepercayaan 95% dan 99% ditetapkan dengan menghitung nilai Log f95 dan Log f99 terlebih dahulu sebagai berikut:
Sebelum selang kepercayaan dihitung lebih lanjut nilai Log f95 dan Log f99 dikonversikan menjadi nilai f95 atau f99. Selang kepercayaan untuk nilai LD50 dapat ditentukan sebagai berikut:
Batas atas = LD50 * f Batas bawah = LD50 / f
Cara kedua penentuan nilai LD50 adalah dengan menggunakan komputer yaitu analisis probit dengan menggunakan perangkat SAS. Cara kerja analisis ini relatif sederhana dan proses kerja yang lebih cepat dan tepat.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
59
Daya Racun (Toksisitas) Insektisida
4.4. Toksisitas Insektisida pada Mamalia Penilaian toksisitas pada mamalia lebih sulit dibandingkan dengan pada OPT, misalnya serangga. Jumlah binatang (mamalia) uji yang dibutuhkan untuk pengujian relatif banyak dan harus homogen. Pengujian pada mamalia memerlukan ketelitian karena hasilnya sangat mempengaruhi sifat keamanan terhadap manusia dan satwa liar lainnya (Fronk, 1978, Matsumura, 1975; Ramulu, 1979 dan Tarumingkeng, 1989). Nilai toksisitas (LD50) pestisida pada mamalia dipengaruhi oleh cara masuknya toksikan (route of entry) ke dalam tubuh mamalia. Route of entry yang umum ada dua yaitu: melalui kulit (dermal) dan mulut (oral). Derajat toksisitas pestisida seringkali dinyatakan dengan racun akut. Berdasarkan daya racun akut, pestisida dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori seperti berikut: 1. Sangat toksik (Highly toxic). Nilai LD50 oral berkisar 0 – 50 mg/kg; LD50 dermal berkisar 0 – 200 mg/kg. Pada label diberi tanda bahaya (DANGER) dan gambar bahaya tengkorak (skull and crossbones) 2. Toksik sedang (Moderately toxic). Nilai LD50 oral berkisar 51– 500 mg/kg; LD50 dermal berkisar 201– 2000 mg/kg. Pada label diberi tanda peringatan (WARNING) 3. Sedikit toksik (Slightly toxic). Nilai LD50 oral berkisar 501 5000 mg/kg; LD50 dermal berkisar 2001- 20 000 mg/kg. Pada label diberi tanda berhati-hati (CAUTION) 4. Relatif tidak toksik (Relatively non-toxic). Nilai LD50 oral berkisar > 5000 mg/kg; LD50 dermal berkisar > 20 000 mg/kg. Pada label tidak ada tanda peringatan.
60
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Gambar 5. Klasifikasi pestisida berdasarkan derajat bahayanya (USDA and US-EPA. 1972) 4.5. DAFTAR PUSTAKA Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of incesticide. J.Econ. Entomol. 18:265-267. Djoko Prijono. 1985. Penuntun Praktikum: Pengujian Insektisida. Jurusan Ilmu HPT, Fak. Pertanian, IPB. Bogor. Ekha Isuasta, 1988.Dilema pestisida. Yogyakarta : Kanisius. Finney, D.J. 1971. Probit Analysis. 3rd. Cambrige Univ. Press. London Forbes, V.E. and Forbes, T.L. 1994. Ecotoxicology in Theory and Practice. Chapman & Hall, London Fronk, W. D. 1978. Chemical Control. In Fundamentals of Applied Entomology. (Pfadt, R.E . ed ). Macmilla Publs. New York Hassall, K.A. 1969. Cleveland
Pesticides: World Crop Protection. CRC Press.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
61
Horn D. J. 1988. Ecological Approach to Pest Management. The Guilford Press. New York . Komisi Pestisida. 2000. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan, Departemen Pertanian RI, Jakarta, 202-218. Kusno S. 1992. Pencegahan pencemaran pupuk dan pestida. Jakarta : Penerbit Swadaya. Luckmann, W.H. & R.L. Metcalf. 1982. The Pest Management Concept. In: Introduction to Insect Pest Management (Metcalf R. L. And W. L. Luckman, eds). Matsumura, F. 1975. Toxicology of Insecticides. Pelenum Press, New York Martin, H. 1957. Guide to the Chemicals Used in Crop Protection. Canada Dept. of Agr. Metcalf, R.L. 1955. Organic Insectides. Wiley Interscience. New York. Pyenson L. L.. and H.E Barke. 1981. Laboratory Manual for Entomology and Plant Pathology. The Avi Publihing Comp. Connecticut Ramulu, U.S. Sree. 1979. Chemistry of Insecticides and Fungicides. Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi. US-DA and US-EPA. 1972. Applying Pesticides Correctly: A Guide for Private and Commercials Applicators. U.S. Dept. of Agr. And U.S. Environt. Proct. Agency. Tarumingkeng, R.C. 1989. Pengantar Toksikologi Insektisida. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
62
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
TOPIK V KLASIFIKASI INSEKTISIDA
5.1. Jenis dan Karakteristik Insektisida
Jenis insektisida yang pertama ditemukan adalah insektisida belerang yang termasuk golongan insektisida anorganik untuk mengendalikan hama. Perkembangan insektisida baru dimulai pada abad ke-15 yang ditandai dengan ditemukannya beberapa senyawa atau bahan kimia beracun seperti arsenik, merkuri dan serbuk timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga (Sastroutomo, 1992). Pada akhir-akhir ini perkembangan insektisida terjadi cukup pesat, dengan ditemukannnya jenisjenis insektisida baru. Menurut Briggs (1992), di antara jenis atau pengelompokan pestisida, insektisida merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan di negara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan di negara yang sudah maju. Lebih lanjut Subiyakto (1992) mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang dan negara agraris merupakan salah satu negara yang penggunaan insektisidanya tergolong tinggi. Ada banyak metode penggolongan insektisida, salah satunya adalah berdasarkan cara masuknya insektisida (toksikan) ke dalam tubuh organisme target yang dikelompokkan menjadi tiga: 1. Racun perut 2. Racun kontak 3. Racun pernafasan (fumigan)
Selanjutnya, pengelompokan insektisida berdasarkan kerjanya dalam tubuh organisme target adalah: Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
cara
63
Klasifikasi Insektisida
(1) Racun saraf, (2) Racun pernafasan, (3) Racun fisik, (4) Racun protoplasma, (5) Penghambat metabolism, (6) Pengganggu fungsi hormon Klasifikasi insektisida didasarkan pada jenis bahan aktif (kimia) dapat digolongkan menjadi empat kelompok: 1. Insektisida anorganik, 2. Insektisida botani/nabati, 3. Insektisida mikroba, 4. Insektisida sintetik. Diantara ke-empat kelompok tersebut, insektisida organik sintetik merupakan jenis insektisida yang mengalami perkembangan yang paling pesat sejalan dengan perkembangan indutri insektisida. Insektisida organik sisntetik dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 14 kelas (golongan) yaitu: klor hidrokarbon = organoklor (organochlorine); (2) organofosfat (organophosphate), (3) karbamat (carbamate), (4) pengatur pertumbuhan serangga (insect growth regulators); (5) analog racun saraf (nereistoxin analogue); (6) piretroid (pyrethroid); (7) dinitrofenol (dinitrophenol); (8) formamidin (formamidine); (9) fumigan (fumigant); (10) oxadin (oxadine); (11) talimida (pthalimide); (12) fyrazol (pyrazole); (13) pirimidinamin (pyrimidinamine); (14) pirol (pyrrole); (15) asam tetronik (tetronic acid); (16) tiourea (thiourea); dan (17) urea (Tabel 5).
64
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
Tabel 5. Klasifikasi Insektisida Berdasarkan Jenis Bahan Aktifnya Kelompok Insektisida No
Anorganik
Botani
Mikroba
Sintetik
1
Senyawa arsenik
Anabasin
Allosamidin
Organoklor
2 3
Senyawa fluorida Boraks
Azadiractin Nicotin
Thuringiensin Spinosad
Organofosfat Karbamat
4
Kalsium polisulfida
Pyretrin (I&II)
Avermectin
Pyretroid sintetik
5
Tembaga oleate
Cinerin (I&II)
Milbemycin
Pengatur Tumbuh Serangga
6
Merkuri klorida
Jasmolin (I&II)
7
Kalium tiosianat
Quasia
Sodium tiosianat
Rotenon
9
Ryania
10
Sabadilla
11 12 14
Oxadiazine Phthali足mida Pyrazole Pyrimidinamine Pyrole Asam tetronic Thiourea Urea
5.2. Insektisida Anorganik Secara umum, insektisida anorganik adalah suatu insektisida yang tidak mengandung unsur karbon. Dalam bentuk alaminya, insektisida ini berbentuk kristal putih menyerupai garam. Insektisida anorganik bersifat stabil dan tidak mudah menguap, namun dapat terlarut dalam air. Dalam perkembangannya terdapat beberapa senyawa anorganik yang bersifat insektisida, namun demikian pembahasan dalam buku ini dibatasi hanya uraian tentang senyawa arsenik dan senyawa fluorida.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
65
Klasifikasi Insektisida
Senyawa arsenik. Semua insektisida senyawa arsenik bekerja sebagai racun perut. Di bawah ini adalah beberapa contoh senyawa arsenik yang bersifat racun serangga yaitu: 1. Pb-arsenat (PbHAsO4) yang mengadung arsenikal (insektisida) 20% 2. Ca-arsenat (Ca3AsO4) (nama dagang Kilmag) yang mengandung arsenikal 25% tetapi lebih fitotoksik 3. Na-arsenat (NaAsO2) arsenikal (44 – 57%) dengan LD50 = 10 mg/Kg tetapi memiliki masalah residu yang berat dan lebih fitotoksik. Senyawa fluorida Sama halnya insektisida arsenik, insektisida fluorida juga bekerja sebagai racun perut. Contoh senyawa fluorida yang bersifat insektisida adalah: 1. Natrium fluoroda (NaF) yang mengandung senywa flurida 45.2% dengan LD50 = 75 mg/kg 2. Natrium fluoroaluminat (Na3AlF6) yang dikenal dengan nama Kriolit mengandung senyawa fluorida sebesar 54% dan tidak bersifat fitotoksik 3. Natrium fluorosilikat (Na2SiF6) yang . mengandung senyawa fluorida sebesar 60% dan bersifat fitotoksik, LD50 = 125 mg/ kg Sejalan dengan perkembangan teknologi industri pertanian, perkembangan dan penggunaan insektisida anorganik sangat terlambat dan terbatas karena beberapa sifat insektisida ini yang kurang menguntungkan seperti: (1) tidak spesifik; (2) daya racun terhadap serangga rendah; (3) bersifat fitotoksik; dan (4) mempunyai bahaya residu yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan inseksida anorganik sangat terbatas sehingga perkembangannya juga menjadi terhambat dibandingkan dengan jenis insektisida lainnya. 5.3. Insektisida Botani
Insektisida botani adalah bahan kimia beracun yang secara alami diekstrak dari berbagai jenis tanaman. Karena insektisida ini berasal dari tanaman, insektisida ini juga dikenal sebagai 66
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
insektisida alami (natural occurring insecticides). Menurut Grainge and Ahmed (1988), secara global terdapat lebih dari 1500 jenis tumbuhan dan telah dilaporkan dapat mempunyai sifat beracun terhadap serangga. Sedangkan di Indonesia, tumbuhan penghasil racun mencapai 50 famili (Hamid dan Nuryani, 1992; Heyne, 1987). Dari semua famili tersebut, famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida botani (nabati) adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et al., 1993; Isman, 1995; Heyne, 1987). Penggunaan bahan tumbuhan sebagai bahan racun untuk mengendalikan hama sudah lama dilakukan. Pada abad ke17, nikotin sulfat yang diekstrak dari tanaman tembakau telah digunakan sebagai insektisida. Selanjutnya pada abad ke-19, dua jenis pestisida alami ditemukan dan diintroduksi yaitu, pyretrum yang diekstrak dari bunga Chrysanthemum sp. dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica. Namun, perkembangan insektisida botani tidak sepesat insektisida organik sintetik (Arnason et al., 1993; Grainge and Ahmed, 1988). Insektisida botani mempunyai beberapa keunggulan antara lain: (1) toksitasnya umumnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman pada manusia (lethal dosage (LD) >50 Oral), (2) memiliki spektrum cara kerja yang luas seperti racun lambung, racun syaraf, repellent, attractant, dan (3) sifat Phitotoksitas (meracuni tanaman) yang rendah (Grainge and Ahmed, 1988). Sedangkan kelemahan insektisida botani meliputi: (1) sifatnya yang tidak stabil karena mengalami degradasi/ penguraian yang cepat oleh sinar matahari, (2) daya racun cepat terurai sehingga aplikasinya harus dilakukan lebih sering, (3) dan kapasitas produksinya masih rendah dan belum dapat dilakukan dalam jumlah massal karena bahan tanaman untuk pestisida nabati belum banyak dibudidayakan secara khusus. Berbagai hasil metabolit sekunder tanaman yang bersifat insektisida adalah alkaloid seperti: nikotin, pyretrin, rotenon, anabasin, ryanida, azaridactin (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979).
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
67
Klasifikasi Insektisida
Nikotin Tanaman yang menghasilkan nikotin adalah tembakau Nicotiana tabacum dan N. rustica. Nikotin diisolasi untuk pertama kali oleh Posselt and Raimen pada tahun 1828. Namun struktur kimianya baru diketahui pada tahun 1893. Nikotin dapat diekstrak dari seluruh bagian tanaman, namun kandungan nikotin yang paling tinggi terdapat pada daun yang sudah tua. Nikotin mempunyai cara kerja yang luas dan telah digunakan sebagai insektisida racun kontak, racun perut, dan fumigan. Salah satu contoh nama dagang nikotin yang telah diformulasikan menjadi insektisida secara komersial dan telah beredar di pasaran adalah Black Leaf 40. Formulasi insektisida ini mengandung kadar bahan aktif yaitu nikotin sebesar 40%. Namun pada tahun 1992, peredaran formulasi insektisida ini telah dilarang (Arnason et al., 1993). Nikotin sangat berbahaya terhadap mamalia dengan nilai LD50 = 50-60 mg/kg. Rumus bangun dan nama kimia nikotin tertera sebagai gambar berikut ini (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999)
1,1-methyl-2(3-pyridil)-pyrrolidine (Bloomquist, 1999) Cara kerja nikotin adalah sebagai penyerupa kerja asetilkolin (acethylcholine mimics)). Asetilkolin (ACh) adalah penghantar rangsangan (excitatory neurotransmitter) pada sistem syaraf pusat (central nervous system = CNS) serangga. Setelah acethylcholine dilepas oleh sel presynaptic, acethylcholine mengikat postsynaptic acethylcholine receptors dan meningkatkan masuknya (influx) ion Na+ dan Ca++ yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi sel postsynaptik (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Mekanisme kerja insektisida nikotin di dalam tubuh serangga dapat dilihat lebih jelas pada gambar berikut ini.
68
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
Presynaptic
Postsynaptic
Gambar 6. Mekanisme cara kerja insektisida nikotin pada sistem syaraf (Matsumura, 1985; Bloomquist, 1999) Nornikotin Nornikotin adalah cairan alkaloid (C9H12N2) dari tanaman tembakau yang dihasilkan oleh N-demethylation nicotine. Tanaman yang menghasilkan nornikotin adalah Nicotiana sylvestris dan Dubosia hopwoodii yang tumbuh di Australia. Dibandingkan dengan nikotin, nornikotin bersifat lebih stabil dan lebih efektif untuk mengendalikan serangga hama. Namun daya racun nornikotin sama dengan nikotin (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979). Rumus dan nama kimia nornikotin dapat dilihat di bawah ini.
(2-pyridil)-pyrrolidine (Bloomquist, 1999) Anabasin Anabasin adalah alkaloid golongan pyridin yang ditemukan pada tanaman tembakau Nicotiana glauca yang berkerabat dengan tanaman tembakau biasa (Nicotiana tabacum). Tanaman ini tergolong tanaman perdu. Selain itu, anabasin dapat juga diekstrak dari biji Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
69
Klasifikasi Insektisida
tanaman Anabasis aphylla tanaman yang mirip dengan tanaman tembakau. Tanaman ini berupa jenis pohon-pohonan termasuk famili Chenopodiaceae dan dapat tumbuh di Asia Tengah dan Afrika Utara. Bentuk anabasin yang digunakan untuk pengendalian hama adalah anabasin sulfat (Arnason et al., 1993). Struktur kimia insektisida anabasin C10H14N2 mirip dengan nikotin seperti gambar berikut,
1-2-(3-pyridil)-pyrrolidine (Bloomquist, 1999) Rotenon Rotenon adalah jenis insektisida alami yang dapat diekstrak dari akar tanaman famili Leguminosae. Selain bekerja sebagai insektisida, rotenon dapat berfungsi sebagai acarisida (racun pembunuh tungau dan laba-laba) dan piscisida (racun pembunuh ikan). Genus tanaman yang menghasilkan rotenon adalah Derris, Lonchocarpus, and Tephrosia. Sedangkan jenis tanaman penting yang menghasilkan rotenon adalah Derris elliptica dan D. malacacensis yang tumbuh di berbagai negara di Asia dan tanaman Lonchocarpus urucu yang tumbuh di Amerika Selatan. Berbeda dengan nikotin, bagian tanaman yang banyak mengandung rotenon adalah akar dan oleh penduduk lokal di Indonesia sering dikenal dengan akar tuba (Arnason et al., 1993). Rotenoid telah digunakan sebagai insektisida untuk mengendalikan hama ulat sejak tahun 1848. Sedangkan bahan aktif rotenon baru diisolasi pertama kali oleh Emmanuel Geoffroy pada tahun 1895 dari tanaman Robinia nicou dan sekarang dikenal dengan nama Lonchocarpus nicou. Pada saat itu, Geoffr0y menamakan insektisida ini dengan nama nicoulene. Setelah dia meninggal, beberapa ahli menemukan bahawa nicoulene adalah rotenon. Nama rotenon diberikan oleh Nagai dan dipatenkan pada tahun 1902. Struktur kimia rotenon telah berhasil diidentifikasi oleh Takei dkk. pada tahun 1932 (McIndoo, 1947). Daya racun rotenon tergolong sedang dengan LD50 berkisar 132 - 1500 mg/kg. Rotenon bekerja sebagai racun syaraf dengan mengganggu rantai transport elektron di mitokondria. Secara khusus, 70
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
rotenon akan mengganggu metabolisme dalam pembentukan ATP (adenosine triphosphate = penghasil energi sel). Struktur kimia rotenon dapat dilihat pada gambar berikut,
Struktur kimia rotenon (Matsumura, 1985; Bloomquist, 1999) Piretroid Sifat insektisida piretroid telah diketahui dan termasuk jenis insektisida botani tertua. Pada awalnya, istilah piretrum merujuk ke tepung yang terbuat dari bunga bunga Chrysanthemum. Sedangkan, piretroid merupakan senyawa kimia yang menyerupai struktur kimia (analog) dari piretrin (pyrethrin). Piretrin sendiri merupakan zat kimia yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum yaitu kumpulan senyawa yang di ekstrak dari bunga krisan. Dengan demikian, piretrin adalah senyawa yang dimurnikan dari piretrum. Sekitar 200 tahun yang lalu, penduduk yang bermukim di Asia Tengah telah mengetahui bahwa beberapa bunga krisan dapat bersifat racun ke beberapa jenis serangga hama. Pada awalnya, piretrum dibuat dengan cara menumbuk bunga chrysanthemum yang telah dikeringkan menjadi tepung. Namun sekarang piretrum telah diekstrak dengan menggunakan beberapa pelarut sehingga dapat menghasilkan beberapa bentuk piretrum (Arnason et al., 1993; Jovetic, 1994). Kemampuan piretrum sebagai insektisida mulai dikenal pada pertengahan abad ke-19 ketika seorang warga Amerika bernama Jumticoff yang menemukan beberapa suku Caucuses (Persia Utara) menggunakan tepung bunga ini untuk mengendalikan kutu busuk. Budidaya tanaman piretrum dilakukan oleh suku Caucuses (Persia Utara) sehingga piretrum juga diberi istilah “Persian pyrethrum� atau “Persian powders�. Pada tahun 1820-an, tepung piretrum diproses secara masal dan dipasarkan untuk pertama kali di Benua Eropa. Namun dalam perkembangan budidaya tanaman ini, baru pada tahun Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
71
Klasifikasi Insektisida
1845 ditemukan jenis tanaman yang berpotensi menghasilkan piretrum dengan jumlah yang besar yaitu Chrysanthemum (= Tanacetum) cinerariaefolium and C. coccineum dari famili Compositae (Gambar 7). Sekarang tanaman ini telah dibudidayakan secara luas di berbagai negara yang meliputi: USA, Jepang, Kenya, Brazlia, Uganda dan India. Secara umum, ekstrak tanaman tersebut mengandung 50% insektisida yang dikenal dengan nama piretrin (pyrethrin) (Jovetic, 1994).
Gambar 7.
Bunga dari jenis tanaman yang menghasilkan pyrethrin (A) Chrysanthemum cinerariaefolium dan (B) Chrysanthe- mum coccineum (Jovetic, 1994; Wikipedia, Pyrethrum)
Insektisida piretroid telah digunakan di berbagai sektor, seperti pada tahun 1917, pada waktu itu tentara Amerika menggunakannya dengan cara mencampurkan tepung dengan minyak tanah untuk mengendalikan lalat rumah dan nyamuk. Insektisida ini disukai karena cara kerjanya yang cepat yang dikenal dengan istilah “knockdown” (rapid paralysis) effect. Secara umum, rumus kimia insektsida pyretrin dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Struktur kimia piretrin II C22H28O5 (Bloomquist, 1999) Hampir semua senyawa pyretrum bersifat racun kontak yang mengganggu pada sistem syaraf pusat (central nervous system = CNS) terutama proses pompanisasi ion dalam sel saraf pada sel presynaptik 72
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Pada kondisi normal, di bagian dalam sel saraf mempunyai tegangan sekitar -60 mV. Namun adanya rangsangan dalam sistem saraf mengakibatkan terjadinya lonjakan listrik (upstroke) dengan adanya pompanisasi ke dalam (influx) ion Na+ Ca++. Secara lebih jelas, cara kerja insektisida pyretroid dapat dilihat pada gambar berikut ini,
Gambar 8. Mekanisme cara kerja insektisida pyretroid pada sistem syaraf (Matsumura, 1985; Bloomquist, 1999) Insektisida piretroid alami memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah: (1) ramah lingkungan karena dapat diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, (2) spektrum pengendaliannya luas, (3) tidak persisten, dan (4) memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Namun insektisida ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain: tidak bersifat stabil pada lingkungan seperti pengaruh cahaya, kelembaban, dan udara, sehingga insektisida ini mudah terurai menjadi senyawa tidak beracun. Oleh karena itu, banyak piretroid yang tidak cocok untuk program pengendalian hama terpadu (Djojosumarto, 1998).
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
73
Klasifikasi Insektisida
Veratrum (Sabadilla) Alkaloid veratrum diekstrak dari bji tanaman Schoenocaulon officinale yang dikenal dengan nama sabadilla. Selain menghasilkan veratrum, ekstrak tanaman ini juga menghasilkan alkaloid lain veratridine dan cevadine. Sabadilla mempunyai daya toksik yang rendah terhadap mamalia yang ditunjukkan dengan nilai LD50 sebesar 5000 mg/kg. Selain itu, veratrum dapat terurai secara cepat oleh sinar matahari (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Insektisisida veratrum mempunyai cara kerja seperti piretroid yang menghambat cara kerja sistem saraf pusat. Rumus kimia veratrum dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Rumus kimia alkaloid veratridine, cevadine, dan sabadilla (Bloomquist, 1999) Ryanoid Insektisida ryanoid berasal dari ekstrak batang tanaman Ryania speciosa yang tumbuh secara alami di Amerika Selatan dan telah lama digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama. Insektisida ini biasanya diaplikasikan dalam bentuk tepung atau dicampurkan dengan pelarut organik untuk membentuk formulasi cairan. Ryania mempunyai daya residu yang lebih lama dibandingkan dengan beberapa jenis insektisida botani lainnya. Oleh karena itu, untuk kasus yang memerlukan daya persistensi tinggi, insektisida ini akan lebih baik (Jefferies et al., 1992). Cara kerja insektisida mirip 74
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
seperti piretroid yaitu mengganggu kerja sistem saraf pusat khususnya pompanisasi ion Na+ dan Ca++ dalam sel saraf (lihat gambar cara kerja insektisida pyretrum). Rumus kimia ryanoid dapat dilihat pada gambar berikut ini (Matsumura, 1985; Wiesner et al., 1967; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Struktur kimia insektisida ryanoid (Bloomquist, 1999) Nimba Salah satu insektisida botani yang aman terhadap manusia dan hewan adalah nimba. Tanaman ini telah lama dikenal dan mulai banyak digunakan sebagai insektisida nabati menggantikan insektisida kimia. Nimba tergolong dalam famili Meliaceae. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman nimba menghasilkan allelokimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan serangga hama. Lebih dari 140 senyawa yang dapat bersifat insektisida telah diketahui dan diidentifikasi dari berbagai bagian tanaman pohon nimba. Salah satu senyawa terpenting yang bersifat insektisida adalah golongan tetranortriterpenoids yaitu azadirachtin. Bagian tanaman yang banyak mengandung insekitisida adalah biji (Gambar 8b). Bahan aktif yang dapat diekstrak dan digunakan sebagai insektisida adalah azadirachtin. Bahan aktif azadirachtin memiliki sifat insektisida sebagai: antifeedant, penghambat pertumbuhan serangga (Scmutterer & Singh 1995), dan berpengaruh terhadap reproduksi berbagai serangga (Schmutterer & Rembold 1995). Rumus kimia azaridachtin sangat kompleks dan dapat dilihat pada gambar berikut ini, Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
75
Klasifikasi Insektisida
Rumus kimia Azadirachtin C35H44O16 (Bloomquist, 1999) Vikwood Industries merupakan perusahaan pertama yang memformulasikan azadirachtin dan didaftarkan sebagai paten mereka pada tahun 1985 di Amerika Serikat. Insektisida ini telah diformulasikan dan dikemas dalam berbagai bentuk seperti: kaleng, botol, dan jereken. Salah satu bentuk kemasan yang terdapat dipasarkan adalah seperti yang terlihat pada Gambar 8a. Insektisida botani ini telah dikomersialkan dan dipasarkan di berbagai negara (Wood et al., 1995, Parmer, 1995).
Gambar 9. Insektisida nimba: (a) salah bentuk kemasan yang diperjual足belikakan (b) biji tanaman nimba penghasil bahan aktif Azadirachtin (Wood et al., 1995, Parmer 1995). 76
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
5.4. Insektisida Mikroba Insektisida mikroba adalah insektisida yang bahan aktifnya berasal dari mikroorganisme yang meliputi: cendawan, virus, bakteria, fungi, protozoa, atau nematoda. Dalam perkembangannya, insektisida yang dikomersialkan adalah senyawa beracun yang dihasilkan mikroorganisme tersebut. Insektsida mikroba telah diformulasikan dan diaplikasikan dalam berbagai bentuk seperti: semprotan, tepung embus, dan granul (butiran) (Burges, 1980). Insektisida mikroba lebih dikenal dengan istilah biopestisida yang aman terhadap lingkungan dan cara kerjanya selektif. Karena sifatnya yang ramah terhadap lingkungan menyebabkan insektisida ini telah dianjurkan untuk digunakan dalam program Pengendalian Hama Terpadu untuk menggantikan insektisida organik sintetik. Berbeda dengan insektisida botani yang umumnya mengganggu sistem saraf pusat, insektisida mikroba mempunyai cara kerja yang spesifik, yaitu dengan danya proses sporulasi dan inkubasi (Burges, 1980). Cendawan entomopatogen Salah satu entomopatogen yang berpotensi dikembangkan sebagai alternatif pengendalian hama adalah cendawan. Lebih dari 700 spesies cendawan entomopatogen dilaporkan telah diisolasi dari berbagai spesies serangga hama, tetapi baru 10 spesies di antaranya yang berhasil dikembangkan untuk pengendalian hama. Secara umum, istilah cendawan entomopatogen adalah mikroorganisme yang dapat menginfeksi dan membunuh serangga hama (Doberski, 1979). Infeksi cendawan dapat terjadi secara kontak dengan penetrasi langsung melalui kutikula. Proses infeksi cendawan diawali dengan proses sporulasi yang menghasilkan inokulum yang dikenal dengan nama spora. Setelah spora cendawan melakukan kontak dengan kutikula inang yang didukung oleh kondisi lingkungan yanag tepat, spora akan berkecambah membentuk tabung kecambah. Kemudian tabung kecambah akan mempenetrasi tubuh inang dan masuk ke hemocoel. Di dalam hemocoel, cendawan akan berkembang membentuk hifa dan cendawan akan berkembang dan mengkonsumsi isi tubuh serangga hama dan seluruh tubuh serangga akan dipenuhi oleh jaringan cendawan. Setelah tubuh serangga inang dipenuhi Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
77
Klasifikasi Insektisida
miselia, inang akan berbentuk seperti mumy dan akhirnya cendawan akan memproduksi spora infektif. Lebih dari 700 spesies cendawan entomopatogen dilaporkan telah diisolasi dari berbagai spesies serangga hama, namun diantara spesies tersebt, baru 10 spesies yang baru dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pengendali hama (Hajek dan St Leger, 1994). Namun di antara cendawan entomopatogen yang banyak dimanfaatkan dan dipasarkan adalah: Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana. Metarhizium anisopliae var anisopliae Salah satu cendawan entomopatogen yang potensial untuk mengendalikan hama adalah Metarhizium spp. Cendawan Metarhizium spp. dilaporkan dapat menginfeksi beberapa serangga hama seperti S. litura Fabricus, Spodoptera exigua Hubner, dan Coptotermes gestroi Wasmann. Salah satu jenis cendawan yang telah lama digunakan sebagai insektisida mikroba adalah cendawan Metarhizium anisopliae. Cendawan ini pertama kali ditemukan oleh Metschikoff pada tahun 1879, dan telah diketahui dapat menginfeksi berbagai jenis serangga. Secara global, cendawan ini lebih dikenal dengan Green Muscardine Fungus karena tubuh inang yang terinfeksi ditutupi oleh konidiofor yang berwarna hijau (Zimmerman, 1993; Riba et al., 1985). Jamur M. anisopliae ini bersifat parasit pada serangga dan bersifat saprofit pada tanah atau bahan organik. Pada awal pertumbuhan, koloni jamur bewarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Miselium berdiameter 1,98 – 2,97 Οm, kemudian tersusun dengan tegak, berlapis dan bercorak yang dipenuhi dengan konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9 Οm (Zimmerman, 1993; Riba et al., 1985). Konidiofor tersusun rapat dalam struktur seperti spodokium (Gambar 10)
78
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
Gambar 10.
Konidia Metarhizium anisopliae (Zimmerman, 1993).
Cendawan Metarhizium anisopliae telah lama digunakan sebagai agen pengendali hayati untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Sejalan dengan perkembangan teknologi industri, insektisida yang menggunakan cendawan ini juga semakin berkembang dengan munculnya beberapa produk yang telah tersedia di pasaran seperti: Biogreen, Bio-path , dan Green Muscle (Tabel 6). Tabel 6. Beberapa nama produk insektisida mikroba yang berasal dari Metarhizium anisopliae No 1 2 3
Cendawan Metarhizium anisopliae Metarhizium anisopliae Metarhizium anisopliae
Hama Sasaran Kumbang Rayap dan kecoa Belalang kembara
Produk Biogreen Bio-path Green Muscle
Beauveria bassiana Sama halnya dengan Metarhizium anisopliae, cendawan entomopatogen yang potensial dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin. Cendawan B. bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh berbentuk benang-benang halus (hifa). Kemudian hifa-hifa tadi membentuk koloni yang disebut miselia. Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, sehingga bersifat parasit terhadap serangga inangnya. Konidia jamur B. bassiana bersel satu, berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat telur, berwarna hialin dengan diameter 2-3 Îźm. Konidiofor berbentuk zigzag merupakan cirri khas dari genus beauveria (Gambar 11B). Miselium jamur B. bassiana Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
79
Klasifikasi Insektisida
bersekat dan bewarna putih, didalam tubuh serangga yang terinfeksi terdiri atas banyak sel, dengan diameter 4 Îźm, sedang diluar tubuh serangga ukurannya lebih kecil, yaitu 2 Îźm. Hifa fertil terdapat pada cabang, tersusun melingkar dan biasanya menggelembung atau menebal. Konidia menempel pada ujung dan sisi konidiofor atau cabang-cabangnya (Broome et al, 1976; Alves and Pereira, 1989; Feng et al., 1994). Berbeda dengan cendawan Metarhizium anisopliae, cendawan ini dikenal dengan nama umum White Muscardine Fungus yang berhubungan dengan munculnya konidiofor berwarna putih yang menutupi tubuh inang (Gambar 11 A)
Gambar 11. Gambar cendawan Beauveria bassiana (A) inang dan (B) konidia (Broome et al, 1976; Alves and Pereira, 1989). Cendawan beauveria bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama. Pada umumnya, cendawan ini diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat menginfeksi serangga melelui kulit kutikula, mulut dan ruas-ruas yang terdapat pada tubuh serangga. Cendawan B. bassiana memiliki spektrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak spesies serangga sebagai hama tanaman. Hasil penelitian menunjukkan, B. bassiana efektif untuk mengendalikan semut api, aphid, belalang, dan ulat grayak (Broome et al, 1976; Alves and Pereira, 1989. Dalam perkembangannya, beberapa produk cendawan B. bassiana telah dikembangkan dalam skala industri telah dikomersialkan di pasaran dengan berbagai nama produk seperti yang terlihat pada Tabel 7.
80
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
Tabel 7. Beberapa nama produk insektisida mikroba yang berasal dari Beauveria bassiana No
Cendawan
Hama Sasaran
Produk
1
Beauveria bassiana
Penggerek jagung
ComGuard
2
Beauveria bassiana
Belalang
Mycotrol GH
3
Beauveria bassiana
Ulat grayak
Proecol
4
Beauveria bassiana
Kumbang colorado
Boverin
Bakteri entomopatogen Jenis insektisida mikroba yang paling banyak tersedia di pasaran adalah golongan bakteri. Hampir semua insektisida mikroba bakteri bekerja sebagai racun perut. Hampir semua insektisida mikroba mempunyai dampak negatif yang sangat kecil terhadap organisme nontarget terutama musuh alami (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Bacillus thuringiensis (Bt) Berdasarkan berbagai hasil penelitian, lebih dari 90 spesies bakteri entomopatogen (insect specific (Entomopathogenic) bacteria) telah dapat diisolasi dari alam terutama dari iangnya serangga dan tanah. Di antara spesies tersebut, Bacillus thuringiensis (Bt) merupakan insektisida mikroba yang sangat potensial. Bakteri ini telah ditemukan untuk pertama kali pada tahun 1901 di Jepang yang menginfeksi larva ulat sutra yang dikenal dengan penyakit sotto. Pada tahun 1927, Maltes orang Jerman mulai mengisolasi bakteri ini dan memberi nama Bacillus thuringiensis. Bacillus thuringiensis (Bt) terdapat secara alami di dalam tanah dan tanaman. Bakteri ini menghasilkan racun yang berupa protein kristal yang dikenal dengan δ endotoksin (deltaendotoxin) (Gambar12 b) (Gill et al., 1992).
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
81
Klasifikasi Insektisida
Gambar 12. Insektisida mikroba Bacillus thuringiensis (Bt): (A) spora yang menghasilkan endotoksin: (B) Kristal endotoksin (Gill et al., 1992).
Insektisida Bt ini telah diformulasikan dan diperjualbelikan secara komersial di pasaran sejak tahun 1960 dan telah dipasarkan dengan berbagai nama dagang (Burges dan Thompson, 1971). Sampai tahun 2000, jenis insektisida mikroba yang diperjualbelikan ada 7 jenis dan yang paling banyak dipasarkan adalah Bt yaitu sebesar 30,3% (Gambar 13)
Gambar 13. Jenis insektisida mikroba yang diproduksi secara komersial dan dipasarkan secara global (Gill et al., 1992). Avermectin Pada saat ini, di antara jenis cendawan entomopatogen, insektisida avermectin yang dihasilkan cendawan Steroptomyces 82
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
avermitilis merupakan jenis cendawan patogen yang banyak beredar di pasaran. Cendawan Steroptomyces avermitilis termasuk dalam golonga aktinomicetes yang hidup secara alami dalam tanah. Cendawan ini pertama kali diisolasi dari tanah di Institut Kitasato Jepang pada tahun 1978. Pada tahun 2002, Yoko Takahashi dan ilmuan lainnya dari Universitas Kitasato mengusulkan penggantian nama ilmiah cendawan ini dari Steroptomyces avermitilis menjadi Streptomyces avermectinius (Takahashi, et al., 2002). Jenis yang banyak digunakan sebagai insektisida adalah avermectin B1a yang menghasilkan insektisida abamectin. Modifikasi avermectin B1a adalah emamectin. Insektisida avermektin bekerja menyerang sistem saraf pusat, dan cara kerjanya mirip dengan insektisida botani pyretroid yang mengganggu sistem pompanisasi ion dalam sel saraf. Rumus kimia avermectin dapat dilihat pada gambar berikut,
Rumus kimia Avermectin, emamectin, dan abamectin (Bloomquist, 1999; Takahashi, et al., 2002). Spinosad Spinosad (spinosyn A and spinosyn D) merupakan jenis insektisida mikroba terbaru yang telah digunakan secara luas untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Mikroorganisme ini dikenal dengan nama Saccharopolyspora spinosa dan untuk pertama kali diisolasi pada tahun 1982 dari tanah dari kepulauan Karibia. Bakteri termasuk golongan aktinomisetes. Pada saat difermentasi, bakteri ini menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat insektisida. Pada tahun 1988, senyawa yang dihasilkan dari fermentasi mulai diformulasikan. Sejak itu, senyawa ini telah digunakan sebagai insektisida dan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
83
Klasifikasi Insektisida
diproduksi secara komersial. Merek dagang yang pertama spinosad adalah TracerÂŽ and ConserveÂŽ. Namun dalam perkembangannya, nama produk yang berbahan aktif spinosad telah semakin banyak (Crouse and Sparks, 1998; Thompson et al., 2009; Salgado, 1998). Rumus kimia spinosad tertera pada tabel berikut ini.
Rumus kimia spinosad spinosyns A and D (Thompson et al., 2009) Bakteri entomopatogen ini sangat efektif ntuk mengendalikan berbagai jenis hama termasuk: ulat, kutu daun, kutu dompolan, dan hama kumbang. Keunggulan insektisida ini adalah bersifat sangat efektif dan periode aktifnya juga pendek sehingga tidak mempunyai dampak negatif terhadap musuh alami (Thompson et al., 2009). Virus Entomopathogen Virus adalah organisme nonseluler yang mengandung DNA atau RNA. Viirus dapat memperbanyak diri dan berkembang hanya pada jaringan yang hidup yaitu inangnya sehingga semua virus merupakan patogen parasit interseluler obligat. Pada umumnya, virus masuk ke tubuh inang melalui alat mulut sampai ke saluran pencernaan. Pembungkus virus akan hancur dalam saluran pencernaan dan menghasilkan partikel yang dikenal sebagai virion. Struktur dasar virus adalah viral DNA atau RNA yang dikelilingi oleh kapsul protein dan ini dikenal sebagai virion. Kemudian dalam dinding saluran pencernaan, virion akan berkembang dan memperbanyak diri. Pertumbuhan virus dapat terjadi dalam waktu singkat dalam jumlah yang sangat banyak sehingga menutupi dan menyelimuti seluruh jaringan saluran pencernaan. Virus entomopatogen yang utama termasuk dalam famili Baculoviridae. Baculovirus ditandai dengan partikel virus yang berbentuk batang. Baculovirus mempunyai dua genus yaitu 84
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) dan Granulosis virus (GV). Virus ini memiliki DNA pita ganda (double-strand DNA virus= ds-DNA) dengan nucleocapsid yang berbentuk batang. Partikel virus (virions) terbungkus tubuh protein berbentuk polyhedra (NPV) atau granules (GV). Baculovirus mempunyai inang yang spesifik yaitu serangga. Pada umumnya, individual virus diberi nama sesuai dengan ditemukan pertama kali pada serangga inang seperti Spodoptera litura NPV, Helicoverpa armigera NPV, Oryctes rhinoceros GV. Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) Virus NPV merupakan jenis virus entomopatogen yang potensial digunakan sebagai bioinsektisda. Nama polyhedron merujuk ke partikel virus yang berbentuk polyhedron (Gambar 14). Virus ini membentuk polihedra yang tersusun dari protein polihedrin. Partikel infektif dari virus atau virion ini dapat terbungkus oleh single SNPV atau multiple MNPV. Polyhedra dari NPV mengandung beberapa sampai banyak virion (Arakawa, et al., 2000).
Gambar 14. Partikel virus Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) di bawah mikroskop electron (Arakawa, et al., 2000). NPV dapat menginfeksi serangga dan setiap jenis virus mempunyai spesies inang yang spesifik. NPV dapat menginfeksi lebih dari 500 spesies serangga hama dan ordo Lepidoptera merupakan inang penting dari NPV. Virus dapat menginfeksi serangga melalui Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
85
Klasifikasi Insektisida
alat mulut dan masuk ke saluran pencernaan dan akan larut pada saluran pencernaan larva bagian tengah (midgut). Setelah polihedra larut, virion akan lepas dan menembus membran peritrofik dari saluran pencernaan larva (Arakawa, et al., 2000). Selanjutnya, virion akan terus masuk ke dalam sel-sel saluran pencernaan larva untuk memperbanyak diri dan menghasilkan partikel virus yang akan menyebar untuk menginfeksi sel-sel lain dalam tubuh serangga (Gambar 15)
Gambar 15. Skema proses infeksi Nuclear Polyhedrosis Viruses pada tubuh Inang terutama di saluran pencernaan tengah (midgut) Inang yang terinfeksi oleh Nuclear Polyhedrosis Virus akan mengalami perubahan. Larva yang terinfeksi akan mengalami perubahan warna integumen menjadi lebih gelap, bergerak lebih lambat dan akan bergerak menuju arah sinar matahari. Pada tahap akhir infeksi virus, hasil replikasi dari virus akan membentuk polihedra dan menyebabkan sel-sel tubuh larva menjadi lisis. Serangga yang terinfeksi umumnya akan mati setelah 5-12 hari sesudah infeksi tergantung pada dosis virus, temperatur dan stadia larva instar ketika terjadi infeksi. Serangga yang akan mati akan naik ke atas tanaman dimana mereka mati. Larva yang mati terinfeksi akan terlihat dalam keadaan tergantung pada proleg belakang yang menempel pada ranting tanaman membentuk huruf V terbalik. Saat integumen larva robek, maka cairan hemolif yang mengandung jutaan polihedra akan 86
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Klasifikasi Insektisida
tersebar jatuh ke bawah dalam feeding zone (daun, sisa-sisa daun) yang mungkin akan termakan oleh ulat sehat yang lain.
Gambar 16.
Gejala serangga yang terinfeksi oleh Nuclear Polyhedrosis Virus yang ditandai dengan menempelnya tubuh inang pada bagian tanaman di atas permukaan tanah.
Granuloviruses (GV) Berbeda dengan NPV, GV hanya mengandung satu partikel virus dalam setiap kristal protein yang ditemukan sel nukleus tubuh inang (Gambar 17). Pada umumnya, virus ini menginfeksi larva dari Ordo Lepidoptera dan Coleoptera.
Gambar 17.
Granulosis virus yang dimurnikan di bawah elektron mikroskop (A) kumpulan partikel virus, (B) Sel GV; PM = matriks protein, E= enpelop virus, dan N= sel nukleus. Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
87
Klasifikasi Insektisida
Gambar 18. Siklus proses infeksi virus yang menginfeksi tubuh inang: (1) Larva yang memakan daun yang terkontaminasi partikel virus, (2) pembungkus partikel virus (occlusion bodies), (3) Saluran pencernan tubuh inang, (4) Virus dilepas dari selubungnya dan menempel di dingding saluran pencernaan , dan (5) Replikasi virus di dalam jaringan tubuh inang Sama halnya dengan bakteri, GV dapat menginfeksi serangga hama hanya melalui alat mulut yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Setelah di saluranb pencernaaan, pembungkus virus akan larut dan partikel virus akan menempel di dingding sel saluran percernaan dan memperbanyak diri. Setelah itu, seluruh tubuh ia akan dipenuhi oleh partikel virus dan mati (Gambar 18). Proses infeksi GV Secara makroskopik, gejala serangga yang terinfeksi oleh NPV sama dengan GV seperti yang terlihat pada Gambar 16.
88
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
5.5. DAFTAR PUSTAKA Alves SB, Pereira RM. 1989. Production of Metarhizium anisoplae (Metsch.) Sorok. and Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. in plastic trays. Ecossistema 14: 188-192. Arakawa, T., M. Kamimura, Y. Furuta, M. Miyazawa, and M. Kato. 2000. Peroral infection of nuclear polyhedrosis virus budded particles in the host, Bombyx mori L., enabled by an optical brightener, Tinopal UNPA-GX. J. Virol. Meth 88:145–152. Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene, C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N. Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides in Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of Tropical Plants. New York: Plenum Press. Batta, Y.A., 2003. Production and testing of novel formulation of the entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae (metschnikoff) Sorokin (deuteromycotina: Hyphomycetes). Crop Protect., 22: 415-422 Bentz, J., J.W. Neal. 1995. Effect of A Natural Insecticide from Nicotiana gossei on The Whitefly Parasitoid Encarsia formosa (Hymenoptera: Aphilenidae). J. Econ. Entomol. 88: 1611-1615. Bowers, W.S., T. Ohta, J.S. Cleere, P.A. Marsella. 1976. Discovery of Insect anijuvenile Hormones in Plants. Science 193: 542-547. Broome, J.R., Sikorowski P., Norment B.R.. 1976. A mechanism of pathogenicity of Beauveria bassiana on larvae of the imported fire ant. Solenopsis richteri. J. Invertebr. Pathol. 28:87-91. Burges, H.D. 1980. Safety, safety testing and quality control of microbial pesticides. In: Burges HD ed. Microbial control of pests and plant diseases 1970–1980. New York, London,Academic Press Inc., pp 738–767.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
89
Burges H.D. and Thompson E.M. (1971). Standardization and Assay of Microbial Insecticides. In: Microbial control on insects and mites, [Burges H.D. & Hussey N.W., eds], Academic Press, London Butt, T. M., C. Jackson, and N. Magan. 2001. Introduction: fungal biological control agents: progress, problems and potential, pp. 1-8. In T. M. Butt, C. W. Jackson, and N. Magan (eds.), Fungi as biological agents: progress, problems and potential. CAB International, New York. Crouse, G. D. and Sparks, T. C. 1998. “Naturally Derived Materials as Products and Leads for Insect Control: The Spinosyns.� Rev. Toxicol. 2:133-146. Doberski, J. W. 1979. Comparative laboratory studies on three fungal pathogens of the elm bark beetle Scolytus scolytus: effect of temperature and humidity on infection of Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, and Paecilomyces farinosus. J. Invertebr. Pathol. 37: 195-200. Feng, M.G., T. J. Poprawski, and G. G. Khachatourians. 1994. Production, formulation and application of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana for insect control: current status. Biocontr. Sci. Technol. 4: 3-34 Gill S.S., Cowles E.A. and Pietrantonio P.V. 1992. The mode of action of Bacillus thuringiensis endotoxins. Annu.Rev.Entomol. 37, 615-636. Jefferies, P. R.; Toia R. F.; Brannigan, B.; Pessah, I.; Casida, J. E.. 1992. Ryania insecticide: Analysis and biological activity of 10 natural ryanoids. J. Agric. Food Chem. 40, 142-146. Grainge, M., S. Ahmed. 1988. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York: Wiley. Hamid, A., Y. Nuryani. 1992. Kumpulan Abstrak Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani, Bogor. P.1. Dalam S. Riyadi, A. Kuncoro, dan A.D.P. Utami. Tumbuhan Beracun. Malang: Balittas.
90
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid II & III. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya Isman, M.B., J.T. Arnason, G.H.N. Towers. 1995. Chemistry and Biological Activity of Ingredients of Other Species of Meliaceae. p. 652-666. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree: Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purpose.Weinheim (Germany): VCH. James, R. R., B. A. Croft, B. T. Shaffer, and B. Lighthart. 1998. Impact of temperature and humidity on host-pathogen interactions between Beauveria bassiana and a Coccinellid. Environ. Entomol. 27: 1506-1513. Jovetic, S., 1994. Pyrethrins and production by ‘in vitro’ systems. DGIS, Min. of Foreign Affairs, The Hague, The Netherlands. Hajek, A.E. and R.J. St Leger, 1994. Interactyions between fungal pathogens and insect hosts. Annual Review of Entomol. 39:293322. Ludwig, S. W., and R. D. Oetting. 2001. Susceptibility of natural enemies to infection by Beauveria bassiana and impact of insecticides on Iphesius degenerans (Acari: Phytoseiidae). J. Agric. Urban Entomol. 18: 169-178. McIndoo, N. E. 1947. A Review of the Insecticidal Uses of RotenoneBearing Plants, 1938-1944. USDA Pub. E-713 Parmar , B. S. 1995. Results with commercial neem formulations produced in India. In H. Schmutterer (eds), The Neem Tree Azadirachta indica A.Juss. And Other Meliaceous Plants. Sources of Unique Natural Products for Integrate Pest Managemant, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 453-470. VCH Weinheim. New York, Basel, Cambridge, Tokyo.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
91
Riba G., De Azevedo J.L., Mesias C., Diaz D.W., TuvesonR. 1985. Studies on the inheritance of virulence in the entomopathogenic fungus Metarhizum anisopilae. Journal of Invertebrate Pathology, 46: 20–25. Ray, David. E. 1991. Pesticides derived from plants and other organisms. In Handbook of Pesticide Toxicology, Volume 2, Classes of Pesticides. Wayland J. Hayes and Edward R. Laws (eds.). Academic Press, NY. Salgado, V. L. 1998 “Studies on the Mode of Action of Spinosad: Insect Symptoms and Physiological Correlates.” Pestic. Biochem.Physiol. 60:91-102. Schmutterer, H. and R. P. Singh. 1995. List of insect pest susceptible to neem products. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree- Source of Unique Natural products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 326-365. VCH, Weinheim, New York, Basel, Cambridge, Tokyo. Schmutterer, H. and H. Rembold. 1995. List of insect pest susceptible to neem products. In H. Schmutterer (ed.), The Neem Tree-Source of Unique Natural products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 195-204. VCH. Weinheim, New York, Basel, Tokyo. Sivasankaran, P., S. Easwaramoorthy, and H. David. 1998. Influence of temperature and relative humidity on the growth, sporulation and pathogenicity of Beauveria nr. bassiana. J. Biol. Control 12: 7175. Takahashi, Y., Matsumoto, A., Seino, A., Ueno, J. Iwai, Y. Omura, S. 2002. “Streptomyces avermectinius sp. nov., an avermectin-producing strain”. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology 52: 2163–2168. Thompson, G. D. Thompson, S. H. Hutchins, and T. C. Sparks. 2009. Development of Spinosad and Attributes of A New Class of Insect Control Products. Radcliiffe’s IPM World Textbook. University of Minnesota 92
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Yoon, C. S., Sung, G. H., Park, H.S, Lee, S. G, Lee, J.O. 1999. Potential of the entomopathogenic fungus, Beauveria bassiana strain CS-1 as a biological control agent of Plutella xylostella Lepidoptera: Yponomeutidae) Journal of Applied Entomology, Volume 123, Number 7. Wiesner, K., Z. Valenta, and J.A. Findlay. 1967. The structure of ryanodine. Tetrahedron Lett, 3, 221-225. Wood, T., W. Ruggero, R. Nelson. 1995. Performance profile for the neem-based insecticide ALIGNTM . In The Neem Tree- Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes. pp. 445-453. VCH, Weinheim. New York, Basel, Cambridge, Tokyo Zimmerman, G., 1993. The entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae and its potential as a bio-control agent. Pestic. Sci., 37:
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
93
TOPIK 6 INSEKTISIDA KLOR HIDROKARBON (Organoklorin)
6.1. Karakteristik dan Jenisnya Insektisida klorhidrokarbon juga dikenal dengan istilah organoklorin (organochlorine) atau hidrokarbon terklorinasi (chlorinated hydrocarbon) merupakan insektisida generasi pertama insektisida organik sintetik yang diawali dengan penemuan DDT dan BHC. Karaktristik umum insektisida klor hidrokarbon adalah: (1) adanya unsur karbon, klor, hidrogen, dan kadang-kadang unsur oksigen; (2) adanya rantai karbon siklik, (3) tidak adanya bagian intra molekular yang aktif; (4) bersifat apolar dan lipolicity; (5) mempunyai senyawa kimia yang tidak reaktif sehingga insektisida ini dapat bertahan lama dalam lingkungan (mempunyai daya persistensi tinggi) (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Penggunaan insektisida sintetik pertama yaitu insektisida organoklorin dimulai pada tahun 1930-an. Pada tahun 1945 hingga 1965, insektisida golongan organoklorin dipakai secara luas baik untuk pertanian maupun kehutanan. Salah satu produk yang paling terkenal adalah insektisida DDT yang dikomersialkan sejak tahun 1946. Selanjutnya mulai bermunculan golongan insektisida sintetik lain seperti organofosfat, karbamat, dan pirethroid di tahun 1970-an (Nugraha, 2007, Tarumingkeng, 1993). Organoklorin termasuk ke dalam golongan insektisida yang bagus dan ampuh, namun memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Pada saat ini, penggunaan insektisida sudah sangat terbatas, karena beberapa sifatnya yang tidak ramah terhadap lingkungan yang meliputi: sifat yang sangat tahan atau persisiten baik dalam tubuh maupun dalam lingkungan, sifat kelarutan sangat 94
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
tinggi dalam lemak, dan kemampuan terdegradasi yang lambat. Sebagai pestisida, sifat persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol hama. Namun terdapat pula kemungkinan terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi. Dikarenakan karakteristiknya yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang tinggi dalam lemak, organoklorin dapat terakumulasi dalam jaringan hewan yang prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi dapat terjadi pada hewan yang terlibat dalam rantai makanan (Feng et al., 2003, Miglioranza et al., 2002, Saenong, 2007, Tarumingkeng, 1993). Penggunaan insektisida organoklorin telah mengakibatkan pencemaran terhadap udara, tanah, dan air. Namun, insektisida ini masih digunakan pada negara sedang berkembang terutama negara pada daerah ekuator karena murah, efektif dan persisten. Sebenarnya, pemerintah Indonesia melalui Komisi Pestisida telah melarang penggunaan insektisida organoklorin terutama DDT, Dieldrin, Endrin. Namun faktanya, beberapa contoh insektisida organoklorin yang meliputiDDT, aldrin, dieldrin, BHC, endrin, lindane, heptaklor, toksofin, pentaklorofenol masih digunakan oleh petani (Nugraha, 2007, Saenong, 2007, Tarumingkeng, 1993) Insektisida golongan organoklorin merupakan insektisida yang bekerja secara akut karena bekerja menyerang sistem syaraf pusat. Insektisida ini bekerja dengan cara mengganggu keseimbangan ion natrium / kalium dari serat saraf, yang mendorong sel saraf untuk menghantarkan pesan secara terus menerus. Tanda dan gejala keracunan pestisida organoklorin dapat berupa: sakit kepala, rasa pusing, mual, muntah-muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang dan kesadaran hilang (Bloomquist, 1996; Ecobichon, 1996.;Coats, 1982; Matsumura, 1985). Secara umum, insektisida klor hidrokarbon dapat dibagi lebih lanjut menjadi tiga kelompok: 1. DDT dan analognya 2. Benzen heksaklorida (BHC) 3. Senyawa siklodien 6.2 . DDT dan analognya Kelompok ini merupakan kelompok insektisida klor hidrokarbon yang pertama ditemukan contohnya adalah: DDT, Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
95
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
DDD (TDE), metoksiklor, dicofol, dan DMC. Cara kerja insektisida DDT mirip seperti cara kerja insektisida pyretroid yang mengganggu pompanisasi ion Na+ pada sistem saraf pusat (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). DDT dan DDE DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) disentesis untuk pertama kali Othmar Zeidler pada tahun 1874, namun fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939. Berkat penemuannya ini, Dr. Paul Muller dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau Medicine pada tahun 1948. Pada tahun 1940an mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998). Insektisida DDT dan DDE merupakan jenis insektisida yang bersifat sangat apolar dan bersifat sangat persisten. Insektisida ini sangat stabil kecuali pada kondisi basa yang beralkohol, karena pada kondisi ini DDT akan berubah menjadi DDE. LD50 oral DDT untuk tikus adalah 250 mg/kg. Insektisida DDT mempunyai kelemahan utama karenasifatnya yang dapat terikat dalam jaringan lemak yang mengakibatkan fenomena biomagnification dalam jaring-jaring makanan (food web) dalam agroekosistem. Berikut ini adalah rumus dan nama kimia DDT yang berubah menjadi DDE dalam kondisi alkali (basa) (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia DDT: 1,1,1-tricholoro-2-2-bis (p-chlorophenyl)ethane
96
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
Gambar 18. Contoh botol insektisida yang berisi dikloro-difenil- trikloroetana (DDT).
DDD (TDE) Secara umum DDD kurang efektif sebagai insektisida dibandingkan dengan DDT. Selain itu, DDD kurang beracun terhadap mamalia dibanding dengan DDT karena nilai LD50 oral DDD untuk tikus lebih tinggi yaitu, 3400 mg/kg (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia DDE:1,1,-dicholoro-2-2-bis(p-chlorophenyl)ethane Metoksiklor Metoksiklor merupakan insektisida klor hidrokarbon yang mempunyai daya racun terhadap mamalia yang cukup rendah (LD50 oral tikus adalah 6000 mg/kg) dan tidak terakumulasi pada jaringan lemak. Nama dan rumus kimia metoksiklor dapat dilihat pada gambar berikut ini (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia metoksiklor Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
97
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
Dicofol Dicofol pada dasarnya adalah akarisida (racun pembunuh tungau). Dicofol mempunyai daya racun sedang yaitu LD50 oral tikus adalah 575 mg/kg. Nama dan rumus kimia dicofol dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia dicofol DMC Insektisida DDT dan analognya yang efektif mengendalikan serangga hama pada fase tidak aktif (telur) dan aktif (larva/nimfa dan imago) adalah DMC. Insektisida ini mempunyai daya racun sedang yaitu LD50 oral tikus adalah 926 - 1391 mg/kg. Nama dan rumus kimia DMC dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
6.3. Benzen Heksaklorida (BHC) Benzene heksaklorida (BHC) ditemukan pertama kali oleh Michael Paraday pada tahun 1825 tetapi belum mengetahui bahwa senyawa ini mempunyai sifat insektisida. Baru pada tahun 1912, Van der Landen menemukan empat isomer (α, β, δ, γ – isomer) BHC, dari ke-empat isomer yang ditemukan yang lebih bersifat insektisida adalah γ-isomer. Pada tahun 1942, Dupire dan Raucourt dari Perasncis dan Slade dari Inggris menemukan bagian insektisida dari BHC. Pada dasarnya, BHC adalah stabil terhadap cahaya, temperatur tinggi, air, dan kondisi asam. Rumus bangun ke-empat isomer BHC dapat dilihat 98
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
6.4. Senyawa Sikolodien Kelompok insektisida organoklor yang paling penting dan masih banyak beredar di pasaran adalah dari kelompok senyawa siklodien. Beberapa contoh jenis insektisida dari kelompok ini akan diuraikan lebih lanjut. Klordan Klordan tidak dapat terurai dalam air tetapi terlarut dalam semua pelarut organik. Insektisida ini dapat cepat terurai dalam kondisi temperatur tinggi dan basa. Klordan mempunyai 2 isomer yaitu ι dan β-isomer yang dapat dilihat pada gambar di bawah. Nilai LD50 oral akut insektisida ini adalah 225 – 590 mg/kg (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia kklordan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
99
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
Aldrin Sama halnya sepertii klordan, aldrin tidak dapat terurai dalam air tetapi terlarut dalam semua pelarut organik. Tetapi berbeda dengan klordan, aldrin bersifat stabil dalam kondisi. basa. Nilai LD50 oral akut insektisida ini adalah 55 – 60 mg/kg. Nama dan rumus kimia aldrin dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia aldrin Dieldrin Insektisida dieldrin merupakan insektisida yang pernah ditemukan yang bersifat sangat persisten. LD50 oral akut insektisida ini adalah 60 mg/kg. Nama dan rumus kimia dieldrin dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia dieldrin 100
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Klorhidrokarbon (Organoklorin)
Endrin dan Isodrin Dibandingkan dengan aldrin dan dieldrin, endrin bersifat kurang stabil karena cepat terurai oleh panas dan cahaya sehingga daya persistensinya lebih rendah. Nilai LD50 oral akut insektisida ini adalah 11 mg/kg. Sedangkan, nama dan rumus kimia insektisida ini dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia Diendrin Endosulfan Selain bekerja sebagai insektisida, endosulfan juga bersifat akarisida. Satu-satunya insektisida klor hidrokarbon yang masih banyak beredar adalah sendosulfan. Salah satu nama dagang yang pertama dan terkenal adalah ThiodanR. LD50 oral akut insektisida ini adalah 95 mg/kg. Sedngakan, nama dan rumus kimia endosulfan dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia endosulfan Isobenzen Insektisida isobenzan dikenal juga dengan nama dagang TelodrinR yng digunakan mengendalikan berbagai serangga tanah. Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
101
LD50 oral akut insektisida ini adalah 248 - 257 mg/kg. Nama dan rumus kimia isobenzan dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Rumus kimia isobenzen: 1,3,4,5,5,7,8,8-octacholoro-3a,4,7,7atetrahydro-4,7-methanophthalin 6.5 DAFTAR PUSTAKA Abbott, W.S. 1925. A method of computing the effectiveness of incesticide. J.Econ. Entomol. 18:265-267. Djoko Prijono. 1985. Penuntun Praktikum: Pengujian Insektisida. Jurusan Ilmu HPT, Fak. Pertanian, IPB. Bogor. Bloomquist, J. R. 1999. Ion channels as targets for insecticides. Ann. Rev. Entomol. 41: 163-90. Coats, J. R. Ed. 1982. Insecticide Mode of Action. Academic Press, New York . Ecobichon DJ. 1996. Toxic effects of pesticides. In: Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons (Klaassen CD, Doull J, eds). 5th ed. New York:MacMillan, 643–689 Finney, D.J. 1971. Probit Analysis. 3rd. Cambrige Univ. Press. London Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H. 2003. Distribution of Organochlorine Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages 253–258
102
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Fronk, W. D. 1978. Chemical Control. In Fundamentals of Applied Entomology. (Pfadt, R.E . ed ). Macmilla Publs. New York Komisi Pestisida (Kom. Pes.). 1997. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Kom. Pes. Jakarta. Matsumura, F.1975. Toxicology of Insecticides. Pelenum Press, New York Miglioranza, Karina SB; de Moreno, Julia E. Aizpun; de Moreno, Victor J. 2002. Dynamics of Organochlorine Pesticides in Soils From a Southeastern Region of Argentina. Environmental Toxicology and Chemistry, Vol 22, pages 712-717 Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai Utara Jawa Pyenson L. L.. and H.E Barke. 1981. Laboratory Manual for Entomology and Plant Pathology. The Avi Publihing Comp. Connecticut Ramulu, U.S. Sree. 1979. Chemistry of Insecticides and Fungicides. Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi. Saenong. 2005. Kerusakan Lingkungan dan Gangguan Kesehatan Sebagai Dampak Penggunaan Pestisida Pertanian US-DA and US-EPA. 1972. Applying Pesticides Correctly: A Guide for Private and Commercials Applicators. U.S. Dept. of Agr. And U.S. Environt. Proct. Agency. Tarumingkeng, R.C. 1989. Pengantar Toksikologi Insektisida. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
103
TOPIK 7 INSEKTISIDA ORGANOFOSFAT
7.1 Sejarah dan perkembangannya Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Insektisida organofosfat (Organophosphates = OPs) adalah insektisida yang mengandung unsur fosfat. Insektisida organofosfat dihasilkan dari asam fosforik. Insektisida ini dikenal sebagai insektisida yang paling beracun terhadap mamalia. Dahulu insektisida organofosfat juga dikenal dengan nama: fosfat organik (organic phosphates), insektisida fosfat (phosphorus insecticides), kerabat gas racun (nerve gas relatives), dan ester asam fosfat (phosphoric acid esters) (Fishel, 2002; Thomson, 2001). Insektisida organofosfat (OPs) ditemukn untuk pertama kali oleh Jean Louis Lassaigne pada abad ke-19 dan Philip de Clermount pada tahun 1854. Namun baru pada tahun 1932, Willy Lange (ahli kimia Jerman) Gerde von Krueger (mahasiswa Pasca Sarjananya) yang menemukan sifat toksisitas organofosfat sebagai racun sistem syaraf. Penemuan ini mengilhami Gerhard Schrader (ahli kimia Jerman) dengan perusahaan IG Farben untuk mempelajari organofosfat sebagai insektisida. Penemuan organofosfat sebagai racun syaraf telah dimanfaatkan oleh Jerman (Nazi) untuk memproduksi senjata racun gas Sarin, Tabun, and Soman. Pada perang dunia II, Jerman memproduksi Tetraethyl pyrophosphate (TEPP) sebagai insektisida organofosfat pertama sebagai hasil sampingan dari pembentukan gas racun. Setelah perang Dunia II, perusahaan Amerika mendapatkan informasi dari Laboratorium Schrader dan mulai memproduksi
104
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
insektisida ini dalam jumlah besar (Clark, 2006; Fishel, 2002; Thomson, 2001). Lebih dari 100.000 komponen organofosfat telah disintesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi hanya 100 yang dikembangkan dan diproduksi secara komersial. Jenis insektisida organofosfat yang pertama dipasarkan adalah parathion yang diikuti dengan jenis lain yaitu malathion dan azinphosmethyl. Popularitas insektisida organofosfat semakin meningkat setelah beberapa insektisida organoklorin seperti DDT, dieldrin, and heptachlor dilarang peredarannya pada tahun 1970-an (Clark, 2006; Fishel, 2002).
7.2 Cara Kerja insektisida Organofosfat Insektisida organofosfat juga dikenal dengan istilah insektisida antikolinestrase, karena sifatnya yang dapat menghambat enzim cholinesterase (AChE) pada sel syaraf. Kholinesterase adalah enzim yang berfungsi agar asetilkholin terhidrolisis menjadi asetat dan kholin Penghambatan kerja enzim terjadi karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut menjadi bentuk komponen yang stabil, sehingga asetilkholin (Asetylcholin = Ach) tidak dapat terurai dalam postsinaptik. Sebenarnya, asetylkholin berfungsi sebagai neuro transmitter di celah synaps (Gambar 20). Pada kondisi normal, enzim AChE akan menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin (Gambar 20).
Gambar 20. Cara kerja insektsida organofosfat sebagai antikoline 足足strase ACh = acetylcholine; M = muscarinic; NM = Nicotinic, neuromuscular junction; NN = Nicotinic, ganglionic (Clark, 2006) Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
105
Insektisida Organofosfat
Pada saat enzim dihambat, jumlah asetilkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh dan berakumulasi pada persimpangan-persimpangan syaraf (neural inter junction) yang disebabkan oleh aktivitas kolinesterase sehingga menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Secara umum, gejala keracunan untuk insektisida golongan organofosfat adalah timbulnya gerakan-gerakan otot tertentu, penglihatan kabur, mulut berbusa dan berair liur banyak serta keringat banyak, detak jantung sangat cepat, dan kejang perut (Minton and Murray, 1988).
Gambar 21. Reaksi acetylcholine (ACh) menjadi aceteta dan choline yang diuraikan oleh enzim acetylcholinestrase (AChE) (Clark, 2006) Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis insektisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Indikator yang digunakan untuk menilai efek peracunan insektisida adalah nilai LD50 (lethal dose 50%) yang menunjukkan banyaknya bahan insektisida dalam miligram (mg) untuk tiap kilogram (kg) berat seekor binatang-uji, yang dapat membunuh 50 ekor binatang sejenis dari antara 100 ekor yang diberi dosis tersebut. Dalam aplikasinya, nilai LD50 dapat dibagi menjasi: LD50 akut oral (termakan) dan LD50 akut dermal (terserap kulit). Nilai-nilai LD50 diperoleh dari percobaan-percobaan dengan tikus putih. Nilai LD50 yang tinggi (di atas 1000) menunjukkan bahwa pestisida yang bersangkutan tidak begitu berbahaya bagi manusia. Namun sebaliknya, nilai LD50 yang rendah (di bawah 100) menunjukkan bahwa insektisida tersebut sangat beracun terhadap mamalia. Nilai LD50 akut oral (termakan) dan LD50 akut dermal (terserap kulit) insektisida organofosfat dapat dilihat pada Tabel 8 dan dari daftar ini dapat disimpulkan bahwa insektisida organofosfat tergolong yang mempunyai daya racun tinggi terhadap mamalia. 106
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Tabel 8. Toksisitas insektisida organofosfat terhadap (mg/kg of body weight).
Nama umum Acephate Azinphos-methyl Chlorpyrifos Diazinon Dimethoate Disulfoton Ethoprop Fenamiphos Malathion Methamidophos Methidathion Methyl parathion Naled Oxydemeton-methyl Phorate Phosmet Profenofos
Rat oral LD 50 (mg/kg of body weight) 1,030 – 1,447 4 96 – 270 1,250 235 2 -12 61.5 10.6 – 24.8 5,500 13 (female only) 25 – 44 6 191 50 2-4 147 – 316 358
Rabbit dermal LD 50 (mg/kg of body weight) >10,250 150 – 200 (rat) 2,000 2,020 400 3.6 – 15.9 2.4 71.5 – 75.7 >2,000 122 200 45 360 1,350 20 – 30 (guinea pig) >4,640 472
7.3 Rumus Umum dan Jenis insektisida Organofosfat Semua insektisida organofosfat adalah bentuk ester dari asam fosfat. Rumus umum organofosfat dapat dilihat pada Gambar 20. Gugus X (R3) lebih dikenal dengan istilah leaving group karena merupakan bagian yang paling reaktif dan dapat tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin, selain itu gugus ini juga paling sensitif terhidrolisis. Seperti terlihat pada rumusnya, organofosfat selalu mengadung gugus R (alkyl) yang menempati posisi salah satu alkoxy group (RO). Secara umum, gugus R1 dan R2 dapat berupa OCH3 (metil) atau OC2H5 (etil) (Clark, 2006; Corbett et al., 1984).
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
107
Insektisida Organofosfat
Rumus Umum Insektisida organofosfat Organofosfat dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan tergantung dari kombinasi unsur oksigen, karbon, sulfur, dan nitrogen. Secara umum, organofosfat dapat dgolongankan menjadi enam kelompok: 1. Fosfat (phosphates) 2. Fosfonat (phosphonates) 3. Fosforothioat (phosphorothioates) 4. Fosforodithioat (phosphorodithioates) 5. Fosfortiolat (phosphorothiolates) 6. Fosforamidat (phosphoramidates). Semua subkelompok ini dapat dikenal melalui nama kimianya. Namun dalam perkembangannya dan untuk lebih menyederhanakannya, insektisida organofosfat dikelompokkan hanya menjadi 3 grup yaitu: 1. Derivat alifatik (aliphatic derivatives) 2. Derivat fenil (phenyl derivatives) 3. Derivat heterosiklik (heterocyclic derivative) 7.3.1 Oraganofosfat Alifatik Insektisida alifatik adalah semua insektisida yang susunan dan struktur unsur-unsur kimianya berbentuk seperti rantai (chain-like in structure) seperti gambar berikut ini,
108
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Contoh Struktur Kimia Insektsida Organofosfat Alifatik Jenis pertama insektisida yang dipasarkan di bidang pertanian pada tahun 1946 adalah TEPP. Jenis insektisida lainnya yang tergolong alifatik adalah malathion, trichlorfon (Dylox®), monocrotophos (Azodrin®), dimethoate (Cygon®), oxydemetonmethyl (Meta Systox®), dicrotophos (Bidrin®), disulfoton (Di-Syston®), dichlorvos (Vapona®), mevinphos (Phosdrin®), methamidophos (Monitor®), and acephate (Orthene®). TEPP Insektisida TEPP berasal dari singkatan nama kimia insektisida ini yaitu tetraethylpyrophosphate. Insektisida ini merupakan insektisida satunya-satunya yang sangat beracun yang pernah diproduksi. Hal ini dapat terlihat dari nilai LD50 oral akut sekitar 1 mg/kg. Oleh karena itu, sejak insektisida ini ditemukan tidak pernah diperjualbelikan secara bebas, sehingga merek dagang insektisida ini tidak diketahui. Rumus kimia insektsida TEPP adalah seperti berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
TEPP: tetraethylpyrophosphate. Malathion Insektisida malathion merupakan salah satu yang paling aman karena nilai LD50 yang besar yaitu 900-5800 mg/kg secara oral akut. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan perut yang digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Karena sifatnya yang lebih aman, insektisida ini banyak digunakan di dalam rumah tangga. Insektisida malathion telah dipasarkan dengan nama dagang: Fyfanon® dan Malathion®. Nama dan rumus kimia insektsida malathion tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
109
Insektisida Organofosfat
Malathion: Diethyl (dimethoxythiophosphorylthio) succinate Trichlorfon Insektisida trichlorfon telah digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan perut dan dianggap cukup selektif. Nama dagang insektisida ini adalah Agroforotox; Anthon; L 13/59; Bilarcil; Cekufon; Danex; Dipterex; Ditriphon; Dylox; Dyrex; Dyvon; Masoten;Metrifonate; Neguvon; Proxol; Tugon; Wotex. Nilai LD50 oral akut insektisida adalah 500 mg/ kg. Rumus kimia triklorfon ini tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Triklorfon: dimethyl2,2,2-trichloro-1-hydroxyethyl- phosphonate Monocrotophos Selain bekerja sebagai insektisida, monocrotophos juga dapat bekerja sebagai akarisida. Insektisida monocrotophos mempunyai daya racun yang sangat tinggi yang ditunjukkan oleh nilai oral LD50 17 – 20 mg/kg. Insektisida ini bersifat racun kontak dan sistemik dan mempunyai spektrum yang luas. Insektisida ini telah dipasarkan dengan berbagai nama dagang: Apadrin, Azodrin, Biloborn, Crisodrin, Hazodrin, Monocron, Nuvacron, Plantdrin, Pilladrin. Rumus kimia monocrotophos ini tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979), 110
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Monocrotophos: dimethyl (E)-1-methyl-2-(methyl-carbamoyl) vinyl phosphate Dimethoate Dalam bentuk murninya, insektisida dimethoate berbentuk kristal putih. Insektisida ini bersifat stabil dalam air tetapi akan terhidrolisa dalam kondisi basa. Sama halnya dengan monocrotophos, insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan sistemik. Insektisida ini dapat mengendalikan berbagai jenis serangga hama. Insektisida dimethoate tergolong ke dalam kelompok yang sangat beracun, hal ini ditunjukkan dengan nilai LD50 sebesar 50-500 mg/kg. Insektisida ini telah diproduksi secara komersial dengan berbagai merek dagang antara lain: Cekuthoate, Chimigor 40, Cygon 400, Daphene, De-Fend, Demos NF, Devigon, Dicap, Dimate 267, Dimet, Dimethoat Tech 95%. Salah satu kelemahan dimethoate adalah bahwa insektisida ini bersifat korosif terhadap logam, sehingga sangat merusak alat-alat aplikasi yang terbuat dari logam. Khusus di Amerika Serikat, sejak tahun 1982, insektisida dimethoate tidak diproduksi lagi. Rumus kimia insektisida dimethoate tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Dimethoate: O,O-dimethyl S-[2-(methylamino)-2-oxoethyl] dithiophosphate Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
111
Insektisida Organofosfat
Dicrotophos Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan sistemik dan dapat mengendalikan berbagai jenis serangga hama tanaman pangan dan hortikultuta. Dicrotophos merupakan salah satu insektisida yang mempunyai daya racun tinggi dengan nilai LD50 oral akut yang rendah yaitu 22 mg/kg. Nama dagang insektisida ini antara lain: Apadrin, Azodrin, Biloborn, C1414, Crisodrin, Hazodrin, SO9129, Monocron, Nuvacron, Plantdrin, Pilladrin. Rumus kimia insektisida dicrotophos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Dicrotophos: (1E)-3-(dimethylamino)-1-methyl-3-oxo-1- propenyl dimethyl phosphate Dichlorvos Insektisida ini merupakan bahan kimia yang dapat mengendalikan berbagai jenis hama. Dalam aplikasinya, insektisida dichlorvos telah diformulasikan dalam berbagai bentuk seperti: emulsifiable concentrates (EC) dan soluble concentrate (SC), wettable powder (WP), kemasan siap pakai (ready-to-use sprays), aerosols, space sprays, resin strips. Insektisida ini juga tergolong yang mempunyai daya racun tinggi dengan nilai LD50 Dermal = 75 mg/kg dan LD50 Oral = 56 mg/kg. Nama dagang insektisida dichlorvos meliputi: OKO; DDVP; DDVF; Mafu; Nuva; Task; UDVF; NUVAN; PIRAN; dan Herka. Rumus kimia insektisida dichlorvos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Dichlorvos: 2,2-Dichlorovinyl dimethyl phosphate 112
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Mevinphos Insektisida mevinphos dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama sayur-sayuran. Insektisida ini untuk pertama kali didaftarkan sebagai insektisida komersial pada tahun 1954. Insektisida mevinphos tergolong insektisida yang sangat beracun dengan skala “Toxicity Category I�. Nilai LD50 secara oral adalah 3 to 12 mg/kg. Karena sifatnya yang sangat beracun, pada tahun 1994, penggunaan nsektisida sangat dibatasi. Insektisida ini telah dipasarkan dengan beberapa nama dagang seperti: Apavinphos, CMDP, ENT 22374, Fosdrin, Gesfid, Meniphos, Menite, Mevinox, Mevinphos, OS-2046, PD5, Phosdrin dan Phosfene. Rumus kimia insektisida mevinphos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Mevinphos: 2-methoxycarbonyl-1-methylvinyl dimethyl phosphate Methamidophos Insektisida methamidophos bekerja sebagai racun lambung dan sistemik. Selain bekerja sebagai insektisida, methamidophos juga bekerja sebagai akarisida dan avisida. Insektisida ini tergolong skala yang sangat beracun (Category 1 = highly toxic). Oleh karena itu, pemasaran dan penggunaan insektisida ini sangat diawasi dan dibatasi. Insektisida ini telah dipasarkan dengan berbagai nama dagang seperti: Monitor, Tamaron, Filitox, Tamanox, Tarn, Patrole, Metamidofos, Estrella,Methamidophos 60 WSC, Methedrin 60, Morithion, Red Star, Alloran, Nitofol, Tamaron, Swipe, Nuratron, dan Vetaron. Rumus kimia insektisida methamidophos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
113
Insektisida Organofosfat
Methamidophos: OS-dimethyl phosphoramidothioate Acephate Acephate mempunyai daya kerja sebagai racun lambung dan sistemik. Insektisida acephate diperuntukkan untuk penggunaan bebas dan telah diaplikasikan untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman pangan dan hortikultura. Daya racun acephate tergolong medium dengan nilai oral akut LD50= 945 mg/kg, dan akut dermal LD50 =714 mg/kg. Merek dagang acephate meliputi: Orthene,Asataf, Pillarthene, Kitron, Aimthane, Ortran, Ortho 12420,Ortril, Chrevron RE 12420, and Orthene 755. Rumus kimia insektisida acephate tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Acephate :O,S-dimethyl acetylphosphoramidothioate) 7.3.2 Organofosfat Fenil Insektisida yang termasuk golongan organofosfat fenil ditandai dengan cincin fenil. Selain itu, ikatan hidrogen seringkali digantikan oleh unsur Cl, NO2, CH3, CN, or S. Pada umunya organofosfat lebih stabil dibandingkan dengan organofosfat alifatik. Oleh karena itu, daya residu golongan ini jauh lebih panjang. Beberapa jenis insektisida dalam golongn ini meliputi: parathion, methyl parathion, profenofos (Curacron®), sulprofos (Bolstar®), isofenphos (Oftanol®, Pryfon®), fenitrothion (Sumithion®), fenthion (Dasanit®), dan famphur (Cyflee®. Warbex®) (Clark, 2006; Corbett et al., 1984).
114
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Parathion Insektisida parathion merupakan insektisida organofosfat fenil pertama. Insektisida ini dikembangkan oleh orang Jerman bernama Dr. Gerhard Schrader pada tahun 1940-an. Dalam perkembangannya, insektisida ini telah dikembangkan dan dipasarkan secara global. Namun dalam perkembangannya penggunaan insektisida parathion sangat dibatasi dan diawasi karena sifat daya racunnya yang sangat tinggi. Nilai LD50 oral akut adalah 4 -13 mg/kg. Beberapa nama dagang insektisida paration adalah: Bladan M, Metaphos, ME605, and E601. Rumus kimia insektisida parathion tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Parathion: O,O-Diethyl O-(4-nitrophenyl) phosphorothioate Profenofos Profenofos merupakan insektisida yang berspektrum luas sehingga dapat mengendalikan berbagai jenis hama. Profenofos merupakan insetiksida yang berdaya racun sedang dengan nilai LD50 oral akut 358502 mg/kg. Profenofos bersifat insektisida dan akarisida. Insektisida profenofos telah dikembangkan secara luas dan dipasarkan dengan berbagai nama dagang seperti: Prahar; Romifos; Sanofos; Polycron; Selecron; cga15324; Fornofos; Curacron. Rumus kimia insektisida profenofos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Profenfos: O-(4-bromo-2-chlorophenyl) O-ethyl S-propyl phosphorothioate Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
115
Insektisida Organofosfat
Sulprofos Insektisida sulprofos tergolong insektisida yang berspektrum sempit. Oleh karena itu, penggunaan insektisida ini hanya terbatas pada pertanaman yang ada di lapangan. Selain itu, insektisida sulprofos dapat berpotensi mencemari air tanah. Insektisida ini mempunyai nilai oral LD50 oral akut sebesar: 100 - 300 mg/kg. Insektisida ini telah dipasarkan secara luas dengan berbagai merek dagang seperti: Bolstar, Bolster, Merpafos, Helothion, Sulprofos, Sulprophos, Bolstar, Bay 123234, mercaprofos AY-NTN9306, Bayer NTN. Rumus kimia insektisida sulprofos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Sulprofos: [O-ethyl O-4-(methylthio)phenyl S-propyl phosphorodithioate] Isofenphos Insektisida isofenphos merupakan organofosfat yang digunakan untuk mengendalikan serangga tanah terutama di pertanaman sayuran. Pada umumnya, insektisida ini diaplikasikan sebelum tanam (preplant or preemergence soil treatment). Insektisida isofenphos termasuk yang bersifat selektif dan mempunyai cara kerja sebagai racun kontak dan racun lambung. Insektisida isofenphos tergolong yang berdaya racun tinggi dengan nilai oral akut LD50 28 - 38 mg/kg. Oleh karena itu, pada label kemasan isofenphos selalu ditempelken tanda DANGER-POISON. Insektisida isofenphos dapat dijumpai di pasaran dengan berbagai nama dagang antara lain: Amaze, discus, lemat, Pryfon, pyrfon, Oftanol, Amaze, Amidocid. Rumus kimia insektisida isofenphos tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
116
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Isofenphos: propan-2-yl 2-[ethoxy-(propan-2-lamino) phosphinothioyl] oxybenzoate Fenitrothion Insektisda fenitrothion merupakan insektisida kontak, akarisida selektif, dan juga memiliki sifat sebagai ovisida. Pada umumnya, insektisda ini digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Fenitrothion dikembangkan untuk peratama kali pada tahun 1959. Daya racun fenitrothion lebih rendah dibandingkan dengan parathion. Daya racun insektisida fenitrothion termasuk golongan menengah yaitu Toxicity Class III dengan gambar peringatan Caution. Nilai Dermal LD adalah 500 mg/kg. Merek dagang insektisida fenitrothion adalah: Nitrophos, Novathion, Nuvanol, Nuvanol/N-20, Sumithion, Metathionine, Agrothion, Arbogal, Bayer 41831, Cyfen, Cytel, Dybar, Fenitox, Kotion, MEP. Rumus kimia insektisida fenitrothion tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Fenitrothion : O,O-Dimethyl O-(3-methyl-4-nitrophenyl) phosphorothioate)
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
117
Insektisida Organofosfat
Fenthion Selain sebagai insektisida, fenthion juga bersifat avisida dan akarisida. Insektisida ini tergolong yang berdaya racun sedang (moderately toxic compound = toxicity class II) oleh organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO). Nilai oral akut LD50 adalah 180 - 298 mg/kg. Fenthion bekerja sebagai racun kontak dan lambung untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Insektisida fenthion telah dipasarkan secara luas dengan berbagai merek dagang antara lain: Bay29493, Baycid, Baytex, Dalf, DMTP, Entex, Lebaycid, Mercaptophos, Prentox, Fenthion 4E, Queletox, S 1752, Spotton, Talodex, dan Tiguvon. Rumus kimia insektisida fenthion tertera pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Fenthion : O,O-dimethyl O-4-methylthio-m-tolyl phosphorothioate Famphur Insektisida ini bersifat sebagai racun sistemik. Pada umumnya, insektisida famphur diaplikasikan untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari Ordo Coleoptera dan Diptera. Insektisida famphur mempunyai nilai oral akut LD50 = 36-62 mg/kg. Insektisida ini telah diproduksi secara komersial dengan merek dagang: Dovip, BO-NA, Cyflee, Famfos, Famfur, Fanfos, varbex, Warbex, Famphur. Rumus kimia famphur tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Famphur: O,O-Dimethyl O-[p-(dimethylsulfamoyl) phenyl] phosphorothioate 118
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
7.3.3 Organofosfat Heterosiklik Nama golongan ini merujuk ke struktur kimia dari kelompok yang mempunyai gugus heterosiklik yang mempunyai unsur kimia berbentuk cincin yang beragam. Variasi dari anggota golongan terletak pada komposisi unsur seperti oxygen, nitrogen, atau sulfur. Jenis pertama yang dikembangkan dari golongan ini adalah diazinon pada tahun 1952. Beberapa anggota golongan Organofosfat heterosiklik adalah: azinphos-methyl (Guthion®), azinphos-ethyl (Acifon®, Gusathion®), chlorpyrifos (Dursban®, Lorsban®, Lock-On®), methidathion (Supracide®), phosmet (Imidan®), isazophos (Brace®, Triumph®), dan chlorpyrifos-methyl (Reldan®). Azinphos-methyl Insektisida azinphos-methyl mempunyai daya persistensi yang kuat dan juga berspektrum luas. Azinphos-methyl dapat bersifat insektisida dan akarisida. Insektisida ini dapat bekerja sebagai racun perut dan racun lambung. Racun ini telah digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Nilai oral akut azinphos-methyl adalah 4,4 - 16 mg/kg. Berbagai merek dagang telah dikembangkan dan dipasarkan secara luas seperti: Azinphosmetile, Bay 9027, Bay 17 147, CarfeneR, CotneonR, CotnionR, Cotnion-methylR, CrysthionR, CrysthyonR, DBDR, Ent 23,233, GothnionR, GusathionR, GuthionR, Methyl, GusathionR, Methyl GuthionR, Metiltriazotion, NCI-CO0066, R 1582. Rumus kimia azinphos-methyl dapat dilihat pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Azinphos-methyl: S-(3,4-dihydro-4-oxobenzo (d)-(1,2,3)-triazin- 3-ylmethyl-O,O-dimethyl phosphorodithioate Chlorpyrifos Chlorpyrifos diproduksi secara komersial untuk pertama kali pada tahun 1965 oleh Dow Chemical Company dengan merek dagang Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
119
Insektisida Organofosfat
Dursban, Lorsban, dan Renoban. Nilai LD50 chlorpyrifos adalah 95 270 mg/kg. Chlorpyrifos adalah organofosfat yang berspektrum luas. Untuk memperluas penggunaannya, chlorpyrifos telah diformulasikan menjadi berbagai bentuk seperti: granules (G), wettable powder (WP), dustable powder (D), dan emulsifiable concentrate (EC). Nama dagang insektisida chlorpyrifos antara lain: Brodan, Detmol UA, Dowco 179, Dursban, Empire, Eradex, Lorsban, Paqeant, Piridane, Scout, dan Stipend. Rumus kimia insektisida chlorpyrifos tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Chlorpyrifos: O,O-diethyl O-3,5,6-trichloro-2-pyridyl phosphorothioate Methidathion Methidathion merupakan insektisida organofosfat yang berdaya racun tinggi (toxicity class: III) yang ditandai dengan istilah DANGER pada labelnya. Methidathion mempunyai nilai oral LD50 sebesar 44 mg/kg dan dermal LD50 = 640mg/kg. Insektisida methidathion telah dikomersialkan di pasaran dengan berbagai nama dagang seperti: Somonic, Somonil, Supracide, Suprathion and Ultracide. Racun ini bekerja sebagai insektisida dan akarisida yang dapat membunuh berbagai jenis serangga hama dan tungau. Rumus kimia methidathion tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Methidathion: O,O-dimethyl phosphorodithioate 120
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Organofosfat
Phosmet Phosmet adalah racun organofosfat yang bersifat non-sistemik, yang digunakan untuk membunuh berbagai jenis hama. Phosmet mempunyai daya racun sedang (moderate toxic = toxicity class II) degan nilai LD50 berkisar antara 113 sampai 160 mg/kg. Beberapa nama dagang phosmet adalah: Phthalofos, PMP, Appa, Imidan, Kemplate, Prolate, R-1504 Appa, Decemthion, Fesdan, Imidan, Kemolate, Prolate, PMC, dan Safidon. Rumus kimia insektisida phosmet tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Phosmet: N-(mercaptomethyl) phthalimide S-(O,O-dimethyl phosphorodithiote) Chlorpyrifos-methyl Chlorpyrifos-methyl merupakan salah satu jenis organofosfat dengan daya racun rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai LD50 chlorpyrifos-methyl yang besar yaitu 2000 mg/kg. Insektisida ini untuk pertama kali dipasarkan pada tahun 1965 oleh Dow Chemical Company. Beberapa merek dagang Chlorpyrifos-methyl adalah: Dursban, Lorsban, Renoban, dan Reldan. Rumus kimia chlorpyrifosmethyl tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Chlorpyrifos-methyl : O,O-dimethyl O-3,5,6-trichloro-2-pyridyl phosphorothioate Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
121
7.4 DAFTAR PUSTAKA Bloomquist, J. R. 1999. Ion channels as targets for insecticides. Ann. Rev. Entomol. 41: 163-90. Clark RF. 2006 . Insecticides: organic phosphorous compounds and carbamates. In: Flomenbaum NE, Goldfrank LR, Hoffman RS, et al, eds. Corbett, J.R. K. Wright and R.C. Baillie, 1984. The Biochemical Mode of Action of Pesticides, Academic Press, London. Coats, J. R. Ed. 1982. Insecticide Mode of Action. Academic Press, New York . Ecobichon DJ. 1996. Toxic effects of pesticides. In: Casarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons (Klaassen CD, Doull J, eds). 5th ed. New York:MacMillan, 643–689 Fishel, F.M. 2002. Pesticide Toxicity Profile: Organophosphate Pesticides. Document PI-50.http://edis.ifas.ufl.edu/PI008 Forbes, V.E. and Forbes, T.L. 1994. Ecotoxicology in Theory and Practice. Chapman & Hall, London Fronk, W. D. 1978. Chemical Control. In Fundamentals of Applied Entomology. (Pfadt, R.E . ed ). Macmilla Publs. New York Goldfrank’s Toxicological Emergencies. 8th ed. New York, NY: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2006:1497-1512. st
Harthley, G.S. and West, T.F.,1969, Chemical for Pest Control, 1 ed., Pergamon Press, Oxford, 26-33. Matsumura, F.1975. Toxicology of Insecticides. Pelenum Press, New York
122
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Marrs, T.C. 1993. Organophosphate poisoning, Pharmaceutical Therapy 58:51-66. Minton, N.A. and Murray, V.S.G., 1988. A review of Organophosphate Poisoning, Medical Toxicology 3: 350-375. Pyenson L. L.. and H.E Barke. 1981. Laboratory Manual for Entomology and Plant Pathology. The Avi Publihing Comp. Connecticut Ramulu, U.S. Sree. 1979. Chemistry of Insecticides and Fungicides. Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi. US-DA and US-EPA. 1972. Applying Pesticides Correctly: A Guide for Private and Commercials Applicators. U.S. Dept. of Agr. And U.S. Environt. Proct. Agency. Tarumingkeng, R.C. 1989. Pengantar Toksikologi Insektisida. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Thomson W.T. 2001. Agricultural Chemicals, Book I, Insecticides. Thomson Publications, Fresno, California Ware, G. W. And D.M. Whitacre. 2004. Pesticide Book. Meister Publishing Co.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
123
TOPIK 8 INSEKTISIDA KARBAMAT
8.1 Sejarah dan Perkembangannya Insektisida karbamat merupakan insektisida antikolinestrase yang ditemukan setelah organofosfat. Insektisida ini berasal dari derivat fisostigmin (physostigmine) yang merupakan alkaloid kolinergik (cholinergic alkaloid) utama dari biji kacang kalabar (Physostigma venenosu) dari famili Leguminoceae. Tanaman ini termasuk dalam kelompok kacang-kacang yang menghasilkan biji dalam polong (Gambar 22). Tanaman ini tumbuh di daerah hutan tropis Benua Afrika. Biji tanaman bersifat sangat beracun terhadap manusia, namun oleh orang Bangsa Afrika telah dimanfaatkan sebagai obat herbal (Balfour, 1860).
Gambar 22. Tanaman kacang kalabar: (A) Tanaman lengkap, (B) bagian polong, (c) bunga, (d) biji (Balfour, 1860) 124
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
Pada tahun 1863, Jobst Hesse berhasil mengisolasi bahan alkaloid fisostigmin (physostigmine) dari biji kacang kalabar. Namun rumus kimianya baru ditemukan oleh Hesse pada tahun 1867 (Balfour, 1860). Fisostigmin bekerja sebagai racun syaraf terutama penghambat kerja enzim antikolinestrase. Sehingga ditinjau dari cara kerjanya, fisostigmin mirip dengan insektisida organofosfat. Namun fisostigmin mempunyai kelemahan yaitu sifatnya yang sangat labil sehingga mudah terurai menjadi senyawa tidak beracun dan sulit mempenetrasi kutikel serangga. Oleh karena itu, penggunaan fisostigmin sebagai insektisida alami tidak berkembang. Rumus umum fisostigmin dapat dilihat pada gambar berikut ini (Ronald and Dorough, 1976; Thomson, 2001; dan Ware 7 Whitacre, 2004).
Fisostigmin : (3aR,8aS)- 1,3a,8-trimethyl-1H,2H,3H,3aH,8H,8aH- pyrrolo [2,3-b] indol-5-yl N-methylcarbamate 8.2 Kharakteristik dan Jenisnya Penemuan insektisida karbamat sintesis diawali dengan penemuan alkaloid fisostigmin. Insektisida karbamat merupakan ester dari asam karbamat (carbamic acid = NH2COOH). Mekanisme toksisitas dari insektisida karbamat adalah sama dengan organofosfat, yaitu penghambatan cara kerja enzim AChE sehingga mengalami karbamilasi. Sama halnya dengan insektsida organofosfat, karbamat bekerja dengan mengikat enzim asetilkolinesterase yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin. Dengan terikatnya enzim asetilkolinesterase mengakibatkan terjadinya penumpukan asetilkolin. Akibatnya adalah impuls saraf akan terstimulasi secara terus menerus yang mengakibatkan terjadinya gejala tremor atau gemetar dan gerakan tidak terkendali lainnya (Ronald and Dorough, 1976; Matolcsy et al. 1988; Ramulu, 1979). Karbamat diperkenalkan pada 1951 oleh Geology Chemical Company di Switzerland dan dipasarkan pada tahun 1965. Insektisida karbamat cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
125
Insektisida Karbamat
sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak. Rumus umum insektisida karbamat dapat dilihat pada gambar berikut ini, (Ramulu, 1979; Thomson, 2001; and Ware and Whitacre, 2004).
Rumus umum insektisida karbamat: R1 dan R2 = hidrogen, metil, etil, dan profil R3 = rantai hidrokarbon, fenol, dan naftalen Insektisida karbamat dapat digolongkan menjadi 5 golongan, tergantung dari struktur kimianya dan komposisi unsur yang menggantikan gugus R1, R2, dan R3 seperti yang tercantum pada rumus umum karbamat. Namun secara umum, karbamat hanya dikelompokkan menjadi 4 golongan karena, golongan naftil metil karbamat hanya mempunyai satu jenis yaitu karbaril. 1. Naphthyl methylcarbamate (carbaryl) 2. Benzofuranyl methylcarbamate (carbofuran, carbosulfan, benfuracarb) 3. Dimethylcarbamate (dimetan, dimetilan, pirimicarb) 4. Oxime carbamate (methomyl, oxamyl, thiodicarb) 5. Phenyl methylcarbamate (fenobucarb, isoprocarb, propoxur 8.2.1. Golongan Naftil Metilkarbamat Karbaril (carbaryl) Insektisida karbaril dikembangkan secara komersial pada tahun 1956 dengan nama dagang Sevin dan merupakan jenis insektisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Insektsida ini mempunyai daya racun yang relatif sedang dengan nilai LD50 oral akut sebesar 500-700 mg/kg. Nama dan rumus kimia insektisida karbaril tertera pada gambar berikut (Ronald and Dorough1976; Matolcsy et al. 1988; Ramulu, 1979; Thomson, 2001; and Ware and Whitacre, 2004).
126
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
Karbaril:1-naphthyl methylcarbamate 8.2.2. Golongan benzofuranil metilkarbamat Benfuracarb Cara kerja (mode of action) insektisida benfuracarb adalah sebagai racun kontak dan perut ( contact and stomach action). Insektisida ini efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama yang meliputi: Coleoptera, Diptera, Heteroptera, Homoptera, Lepidoptera dan Orthoptera. Insektisida ini telah diiformulasikan dengan berbagai bentuk seperti: EC, GR, SC, UL, dan WP. Nama dagang insektisida benfuracarb adalah Talstar. Nama dan rumus kimia insektisida benfuracarb tertera pada gambar berikut (Ronald & Dorough, 1976; Matolcsy et al. 1988; Ramulu, 1979; Thomson, 2001; dan Ware & Whitacre, 2004).
Benfuracarb: ethyl N-[2,3-dihydro-2,2-dimethylbenzofuran-7yloxycarbonyl(methyl)aminothio]-N-isopropyl-β-alaninate Carbofuran Insektisida carbofuran bersifat sistemik namun jangkauan racunnya cukup luas yang dikenal dengan istilah spektrum luas (broad spectrum). Insektsida ini banyak diaplikasikan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga tanah dan penggerek karena cara kerjanya yang sistemik. Insektsida carbofuran mempunyai daya racun yang sangat tinggi dengan nilai LD50 oral akut sebesar 5 mg/kg. Pada umumnya Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
127
Insektisida Karbamat
insektisida carbofuran diformulasikan sebagai butiran (granular form). Insektisida carbofuran telah dipasarkan dengan berbagai nama dagang seperti: Bay 70143, Carbofuran, CuraterrR, ENT 27 164, FMC 10242, FuradanR, Niagara 10242R, YaltoxiR . Nama dan rumus kimia insektisida carbofuran tertera pada gambar berikut (Ronald & Dorough, 1976; Matolcsy et al. 1988; Ramulu, 1979; Thomson, 2001; dan Ware & Whitacre, 2004).
Carbofuran:2,3-dihydro-2,2-dimethylbenzofuran-7-yl methylcarbamate Carbosulfan Insektisida carbosulfan merupakan senyawa kimia yang tidak terlalu stabil. Carbosulfan akan terurai dalam ruang temperatur. Insektisida memiliki daya larut rendah dalam air namun cepat terlarut dengan pelarut organik. Insektisida ini memiliki daya racun sedang dengan nilai LD50 90 - 250 mg/kg. Salah satu nama dagang yang dapat ditemukan di pasaran adalah Carbosulfan 48 SC. Nama dan rumus kimia insektisida carbosulfan tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Carbosulfan: 2,3-dihydro-2,2-dimethyl benzofuran-7-yl (dibutylaminothio) methylcarbamate 128
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
Decarbofuran Insektisida decarbofuran merupakan insektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Nama dan rumus kimia insektisida decarbofuran tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Decarbofuran: 2,3-dihydro-2-methyl-7-benzofuranyl N-methylcarbamate Furathiocarb Insektisida furathiocarb bekerja sebagai racun sistemik. Oleh karena itu, furathiocarb dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga tanah maupun hama penggerek. Insektisida furathiocarb dapat ditemukan di pasaran dengan beberapa nama dagang seperti: Apron Plus, Deltanet, Promet. Nama dan rumus kimia insektisida furathiocarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Furathiocarb: butyl 2,3-dihydro-2,2-dimethylbenzofuran-7-yl N,N′dimethyl-N,N′-thiodicarbamate
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
129
Insektisida Karbamat
8.2.3. Golongan methylcarbamate Dimetan Insektisida dimetan mempunyai daya racun tinggi dengan nilai LD50 20 mg/kg. Oleh karena itu, pengguna insektisida ini sangat dibatasi dan diawasi. Nama dan rumus kimia insektisida dimetan tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Dimetan: 5,5-dimethyl-3-oxocyclohex-1-enyl dimethylcarbamate Dimetilan Produk teknik (technical product) insektisida dimetilan berbentuk padatan yang berwarna coklat kemerahan. Insektisida ini digunakan untuk mengendalikan serangga hama yang menyerang ternak. Nama dan rumus kimia insektisida dimetilan tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Dimetilan: 1-dimethylcarbamoyl-5-methylpyrazol-3-yl dimethylcarbamate 130
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
Isolan Insektisida isolan dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama di pertanaman. Insektisida ini tergolong yang berdaya racun tinggi. Namun berbeda dengan jenis insektisida lainnya, insektisida isolan lebih beracun secara oral (LD50 oral = 23 mg/kg) dibandingkan dengan dermal (LD50 oral = 6,2). Nama dan rumus kimia insektisida isolan tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Isolan: 1-isopropyl-3-methylpyrazol-5-yl dimethylcarbamate Pirimicarb Insektisida pirimicarb dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Senyawa kimia ini juga telah diformulasikan ke berbagai bentuk yang meliputi: dispersible grains, dispersible powders, emulsifiable concentrates, aerosol, ULV spray, smoke generator. Insektisida pirimicarb bekerja sebagai racun kontak dan sistemik. Insektisida pirimicarb termasuk yang berdaya racun sedang dengan nilai LD50 dermal = >500 mg/kg dan LD50 oral = 147 mg/kg. Insektisida termasuk golongan karbamat beracun sedang (moderate toxicity). Insektisida pirimicarb dapat diperjualbelikan dengan berbagai nama dagang seperti: Pirimor, Abol, Aficida, Aphox, Fernos, Rapid. Nama dan rumus kimia insektisida pirimicarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
131
Insektisida Karbamat
Pirimicarb: 2-dimethylamino-5,6-dimethylpyrimidin-4-yl dimethylcarbamate Pyrolan Insektisid pyrolan dalam senyawa murninya berbentukseperti kristal putih. Insektisida pyrolan dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Pyrolan tergolong insektisida berdaya racun tinggi dengan nilai LD50 = 39Â mg/kg. Nama dan rumus kimia insektisida pyrolan tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Pyrolan: 3-methyl-1-phenylpyrazol-5-yl dimethylcarbamate 8.2.4. Golongan oxime carbamate Aldicarb Insektisida aldicarb dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama, terutama yang mepunyai tipe alat mulut menususuk dan mengisap. Pada tahun 1985, karena penggunaannya yang tidak mengikuti petunjuk, mengakibatkan banyak orang yang mengalami keracunan aldicarb di berbagai negara. Selain itu, 132
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
sifatnya yang berdaya racun sangat tinggi dengan LD50 hanya 7 mg/ kg mengakibatkan penggunaan insektisida aldicarb sangat dibatasi. Nama dan rumus kimia insektisida aldicarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Aldicarb: 2-methyl-2-(methylthio) propanal O-[(methylamino) carbonyl]oxime Butocarboxim Insektisida butocarboxim bekerja sebagai racun sistemik. Oleh karena itu, penggunaannya dapat untuk mengendalikan hama yang ada dalam jaringan tanaman seperti hama penggerek dan pengorok. Insektisida ini telah diperjualbelikan dengan berbagai nama dagang seperti: Drawin 755(R), Afilene(R), Afort(R), CO 755, Wac 755. Nama dan rumus kimia insektisida butocarboxim tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Butocarboxim: EZ)-3-(methylthio) butanone O-methylcarbamoyloxime
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
133
Insektisida Karbamat
Methomyl Insektisida metomil dikembangkan untuk pertama kali pada tahun 1966. Insektisida ini bekerja denganspektrum luas. Metomil digunakan melalui penyemprotan daun. Insektisida metomil tergolong karbamat yang beracun tinggi dengan LD50 17 - 24 mg/kg. Berhubung dengan sifatnya yang sangat berbahaya terhadap manusia, sehingga penggunaan metomil sangat dibatasi. Insektisida metomil telah dipasarkan dengan nama dagang sepeti: Acinate, Agrinate, DuPont 1179, Flytek, Kipsin, Lannate, Lanox, Memilene, Methavin, Methomex, Nudrin, NuBait, Pillarmate and SD 14999. Nama dan rumus kimia insektisida metomil tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Metomil : methyl N-[[(methylamino)carbonyl]oxy]ethanimidothioate Oxamyl Insektisida oxamil merupakan insektisida dengan daya acun tinggi yang digolongkan sebagai toxicity class I dengan Signal Words DANGER – POISON. Selain bersifat insektisida, oxamil juga dikenal sebagai akarisida dan nematisida. Nilai LD50 insektisida oxamil sangat rendah yaitu of 5.4 mg/kg yang menandakan bahwa insektisida ini sangat beracun. Karena sifatnya yang sangat beracun, aplikasi insektisida ini hanya boleh dibeli dan diaplikasikan oleh appikator bersertifikat (certified applicators). Insektisida oxamil ini telah diperjualbelikan dengan berbagai nama dagang seperti:Blade, DPX 1410, Oxamil, Oxamimidic Acid, Pratt, Thioxamil, and Vydate. Nama dan rumus kimia insektisida oxamil tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
134
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
Oxamyl: ethyl 2-(dimethylamino)-N-[[(methylamino) carbonyl]oxy]2-oxoethanimidothioate Thiodicarb Insektisida thiodicarb dalam produk tekniknya berbentuk tepung kristal putih (white crystalline powder) dan berbau agak seperti belerang (slight sulfurous odor). Insektisida thiodicarb kepada golongan karbamat beracun sedang (moderately toxic (Toxicity Category II). Nilai LD50 thiodicarb adalah 325. Insektisida thiodicarb telah diperjualbelikan di pasaran dengan berbagai nama dagang seperti: FuturÂŽ, SemevinÂŽ, Futur, Crop Star 600 , Blindage 600, Aeris 600, Amparo 600 Nama dan rumus kimia insektisida thiodicarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Thiodicarb: dimethyl N,N′-[thiobis [(methylimino) carbonyloxy]] bis[ethanimidothioate] 8.2.5. Golongan phenyl methylcarbamate Aminocarb Insektisida aminocarb merupakan jenis karbamat yang bersifat nonsistemik. Insektisida ini diaplikasikan pada berbagain jenis larva Lepidoptera. Selain bersifat insektisida, aminocarb juga dapat bekerja sebagai akarisida dan moluscisida. Nama dan rumus kimia insektisida Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
135
Insektisida Karbamat
aminocarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Aminocarb: 4-dimethylamino-m-tolyl methylcarbamate Isoprocarb Insektisida isoprocarb juga dikenal dengan nama. Isoprocarb merupakan insektisida bekerja sangat cepat (quickly knock-down) mirip seperti piretroid. Insektisida ini dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama perkebunan, dan pangan. Dosis umum yang dianjurkan untuk Insektisida isoprocarb adalah 0,5 -0,75 kg a.i./ha (a.i. = active ingridient = isoprocarb). Salah satu nama dagang insektisida isoprocarbadalah MIPC 50 WP. Nama dan rumus kimia insektisida isoprocarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Isoprocarb: 2-(1-methylethyl)phenyl N-methylcarbamate
136
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektisida Karbamat
Methiocarb Insektisida methiocarb mempunyai kisaran pengendalian yang luas (broad-range control ) yang meliputi berbagai hama dalam ordo: Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, dan Homoptera. Selain bersifat insektisida, methiocarb juga bersifat akarisida dan moluscisida. Nama dan rumus kimia insektisida methiocarb tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Methiocarb: 4-methylthio-3,5-xylyl methylcarbamate Mexacarbate Insektisida mexacarbate dikembangkan dan dipasarkan untuk pertama kali pada tahun 1961. Namun insketisida ini mempunyai daya racun yang sangat tinggi terhadap mamalia. Oleh karena itu, penggunaan mexacarbate sangat diawasi dan dibatasi. Nama dan rumus kimia insektisida mexacarbate tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Mexacarbate 4-dimethylamino-3,5-xylyl methylcarbamate Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
137
Insektisida Karbamat
Propoxur Propoxur diperkenalkan sebagai insektisida untuk pertama kali pada tahun 1959 dengan nama dagang Baygon. Propoxur bekerja sebagai racun nonsistemik dan mempunyai cara kerja cepat (fast knockdown effect) dan mempunyai waktu residu lama (long residual effect). Insektisda ini telah digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama dan juga keong karena propoxur juga dapat bekerja sebagai moluskisida. Insektisida propoxur telah diformulasikan ke berbagai bentuk seperti: cairan siap pakai (ready-to-use liquids), aerosols, emulsifiable concentrates (EC), wettable powders (WP), granular baits (G), dan dusts (D). Insektisida propoxur telah diperjualbelikan dengan berbagai nama dagang seperti: Baygon, Bayer 39007, arprocarb, UNDEN, Suncide, Sendran, Invisigard, Bay 9010, Bifex, Bolfo, Blattanex, Rhoden, Propogon, Propyon, Sendra, Tendex and Undene. Namun propoxur mepunyai kelemahan karena bersifat sangat beracun terhadap manusia (highly toxic to humans). Nama dan rumus kimia insektisida propoxur tertulis pada gambar berikut ini (Clark, 2006; Corbett et al., 1984; Matsumura, 1985; Ramulu, 1979),
Propoxur: 2-isopropoxyphenyl methylcarbamate
138
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
DAFTAR PUSTAKA Adridge, W.N. & L. Magos. 1978. Carbamates, thiocarbamates, and dithiocarbamates, Luxembourg, Commission of the European Communities. Balfour. 1860. Description of the Plant Which Produces the Ordeal Bean of Calabar,, Trans. Roy. Soc., Edinb., Vol. XXII, pp. 305312. Corbett, J.R. K. Wright and R.C. Baillie. 1984. The Biochemical Mode of Action of Pesticides, Academic Press, London. Coats, J. R. Ed. 1982. Insecticide Mode of Action. Academic Press, New York . st
Harthley, G.S. and West, T.F.,1969, Chemical for Pest Control, 1 ed., Pergamon Press, Oxford, 26-33. Matolcsy, G., M. Nadasy, V. Andriska. 1988. Pesticide Chemistry Elsevier Science Publishing Co., Inc.52 Vanderbilt AvenueNew York, N.Y Matsumura, F. 1975. Toxicology of Insecticides. Pelenum Press, New York Miller, D.B. 1982. Neurotoxicity of the pesticidal Neurobehav. Toxicol. Teratol., 4: 779-787.
carbamates.
Ramulu, U.S. Sree. 1979. Chemistry of Insecticides and Fungicides. Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi. Ronald. J.K and H.W. Dorough. 1976. Carbamate Insecticides: Chemistry, biochemistry, and toxicology. Tarumingkeng, R.C. 1989. Pengantar Toksikologi Insektisida. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
139
Thomson W.T. 2001. Agricultural Chemicals, Book I, Insecticides. Thomson Publications, Fresno, California Ware, G. W. and D.M. Whitacre. 2004. Publishing Co.
140
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Pesticide Book.
Meister
TOPIK 9 INSEKTISIDA TERBARUKAN
9.1 Sejarah dan perkembangannya Penggunaan insektisida sintetik di bidang pertanian maupun non pertanian telah menimbulkan berbagai permasalahan antara lain: (1) Pencemaran lingkungan karena; (2) bahaya residu karena; (3) ancaman terhadap organisme non-target; (4) ancaman terhadap organisme bermanfaat; dan (5) permasalahan hama yang semakin rumit (Copping and Hewitt, 1998. Fong, et al. 1999; Thienes and Haley 1972; Reissig et al., 1986; Metcalf and Luckman, 1982; Untung, 1993). Di antara berbagai dampak negatif penggunaan insektisida tersebut di atas, masalah residu insektisida pada hasil pertanian mendapat perhatian yang makin serius bagi kepentingan nasional maupun internasional. Perlu dicermati bahwa insektisida adalah biosida (bahan kimia pembunuh mahluk hidup, termasuk manusia dan hewan). Insektisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residui insektisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Residu insektisida berbahaya terhadap kesehatan manusia karena bahan aktif insektisida insektisida dapat bersifat karsinogen (penginduksi kanker); menurunkan usia harapan hidup, dan juga dapat menyebabkan kemandulan pada hewan mamalia (Thienes dan Haley, 1972). Penggunaan insektisida untuk membunuh hama seringkali juga membunuh organisme lain di dalam ekosistem. Bila organisme yang mati adalah organisme yang menguntungkan bagi pengendalian Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
141
Insektsida Terbarukan
hama, maka bisa terjadi serangan hama yang lebih hebat. Keadaan ini dapat terjadi karena terganggunya keseimbangan ekosistem yang ada. Penyemprotan pestisida pada ekosistem pertanian yang ditujukan untuk mengendalikan hama utama juga berdampak buruk pada makhluk lain yang bukan hama. Di ekosistem pertanian dapat ditemukan sejumlah organisme yang justru bermanfaat salah satunya adalah serangga penyerbuk. Penelitian telah dilakukan terhadap serangga penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus) pada perkebunan kelapa sawit. Organisme bermanfaat lainnya yang juga terancam keberadaannya karena penggunaan pestisida adalah musuh alami. Penyemprotan pestisida yang bertujuan mengendalikan hama seringkali juga dapat membahayakan kelestarian musuh alami yang justru bermanfaat mengendalikan hama. Hasil penelitian di pertanaman tebu menunjukkan bahwa aplikasi insektisida isoprocarb yang ditujukan untuk mengendalikan hama kutu perisai Aulacaspis tegalensis Zehntner (Homoptera: Diaspididae) juga berdampak buruk terhadap musuh alaminya yaitu predator Coccinellidae (Chilocorus melanophthalmus, Chilocorus sp., Scymnus sp, dan Telsimia sp) (Hasibuan dkk., 2004) Telah disadari bahwa pada umumnya pestisida merupakan bahan berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Namun kenyataannya penggunaan pestisida masih tetap tinggi. Oleh karena itu, dalamperkembangan industri insektisda telah dikembangkan beberapa insektisida yang digolongkan ke dalam Insektsida Terbarukan 9.2 Kharakteristik Dan Jenisnya Pada saat ini, berbagai jenis insektisida telah dikembangkan dan diproduksi dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatifnya seperti yang diuraikan sebelumnya. Beberapa sifat insektisida yang diinginkan adalah mudah terurai (degradable) dan berspektrum sempit (narrow spectrum). Beberapa jenis insektisida yang dikembangkan meliputi insektisida piretroid sintetik; insektisida pengatur pertumbuhan serangga (PPS) (= Insect growth regulator = IGR terutama penghambat sintetis kitin (chitin synthesis inhibitor) dan insektisida peniru hormon (hormone mimics)
142
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektsida Terbarukan
9.2.1 Insektisida piretroid sintetik Dibandingkan dengan insektisida piretroid alami, piretroid sintetik lebih stabil dalam lingkungan luar (outdoor) sehingga lebih efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama di pertanaman. Namun cara kerja serta cara membunuhnya terhadap serangga target hampir sama antara piretroid sintetik dan alami. Piretrin Salah satu jenis piretroid yang penting adalah piretrin yang dapat larut hanya pada pelarut organik. Insektisida ini bekerja sebagai racun kontak dan bekerja mengganggu sistem saraf dengan cepat. Rumus kimia alletrin dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Alletrin Insektisida ini banyak diaplikasikan dalam rumah tangga untuk mengendalikan lalat rumah. Insektisida ini lebih stabil terhadap cahaya matahari dan kondisi panas dibandingkan dengan piretroid alami. Alletrin mempunyai daya racun sedang terhadap mamalia dengan nilai LD50 oral akut sebesar 680 – 920 mg/kg. Rumus kimia alletrin dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Permetrin Salah satu insektisida piretroid yang banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama terutama tanaman keras seperti Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
143
Insektsida Terbarukan
pertanaman kakao dan kelapa sawit adalah permetrin. Insektisida ini mempunyai beberapa nama dagang antara lain, Ambush 2 EC, Ambush 5 ULV, Corsair 100 EC, Corsair 50 ULV, Dessin 50 EC, dan Pounce 20 EC (Kom. Pes, 1997). Rumus kimia permetrin dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Sipermetrin Sama halnya permetrin, sipermetrin juga termasuk insektisida yang banyak diperjualbelikan dengan berbagai nama dagang yang antara lain adalah: Arrivo 25 ULV, Arrivo 30 EC, Cymbush 30 ULV, Cymbush 50 EC, Fenom 30 Ec, Fenom 30 ULV, Demon 100 EC, Prevail 240 EC, Ripcord 5 EC, dan Sherpa 50 EC (Kom. Pes, 1997). Rumus kimia sipermetrin dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Deltametrin Delmaterin juga dikenal dengan nama bahan aktif dekametrin. Insektisida ini banyak diaplikasikan untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman terutama tanaman pangan dan sayuran. Bebrapa nama dagang deltametrin adalah: Decis 25 F, Decis 2.5 EC, Kobiol 25 FW, Delin 25 EC, Cislin 250 EC, Crackdown 10 SC, Phytex 10 SC, dan Delkis 25 EC (Kom. Pes, 1997). Rumus kimia deltametrin tertera pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). .
144
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektsida Terbarukan
Fenvalerat Salah satu jenis insektisida piretroid sintetik yang tidak memiliki sama sekali sifat piretroid alami adalah fenvalerat. Adanya modifikasi sifat kimia fenvalerat mengakibatkan insektisida ini lebih efisien dalam proses produksinya. Beberapa nama dagang fenvalerat adalah: Fenval 200 EC, Termitok 200 EC, Mestafen 200Ec, Sumicidin 50 ULV, Sumicidin 5 EC, Wazary 10 FW (Kom. Pes, 1997). Sedangkan rumus kimia fenvalerat dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). 9.2.2. Insektisida Pengatur Pertumbuhan Serangga Salah satu jenis insektisida yang mempunyai cara kerja yang sangat spesifik sehingga aman terhadap sasaran non-target adalah insektisida pengatur pertumbuhan serangga (PPS = insect growth regulator, IGR). Berbeda dengan insektisida lainnya yang pada umumnya mengganggu kerja sistem saraf, insektisida ini bekerja mengganggu sistem hormon serangga. Secara garis besar ada dua kelompok insektisida pengganggu sistem hormon yaitu: (1) penghambat sintetis kitin (chitin synthesis inhibitor) dan (2) penyerupa hormon juvenil (juvenile hormone mimics) (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Penghambat Sintetis Kitin (PSK) Insektisida ini bekerja sebagai penghambat proses pembentukan kitin dalam proses ganti kulit yang mengakibatkan pembentukan kutikula baru tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena kutikula terdiri dari hampir 50% kitin. Tidak adanya kitin pada kutikula serangga mengakibatkan kutikula menjadi tipis dan rapuh sehingga tidak dapat melindungi dan mendukung tubuh serangga. Dalam aplikasinya, insektisida ini dianjurkan digunakan sebelum terjadi proses ganti kulit (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Diflubenzuron Salah satu pengganggu sintetis kitin yang dapat ditemukan di pasaran dengan nama dagang Dimilin 25 WP adalah diflubenzuron (Kom. Pes, 1997). Insektisida ini relatif aman terhadap mamalia karena Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
145
Insektsida Terbarukan
nilai LD50 oral akut yang relatif besar yaitu 4640 mg/kg. Rumus kimia diflubenzuron dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Teflubenzuron Sama halnya diflubenzuron, teflubenzuron relatif aman terhadap mamalia karena nilai LD50 oral akut ang relatif besar yaitu 5000 mg/kg. Salah satu nama dagang teflubenzuron adalah Nomolt 50 EC (Kom. Pes, 1997). Rumus kimia teflubenzuron dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Flufenoxuron Dibandingkan dengan diflu足ben足足zuron dan teflubenzuron, flu足 fenoxuron memiliki nilai LD50 oral akut yang lebih rendah yaitu 3000 mg/kg. Salah satu nama dagang flufenoxuron adalah Cascade 50 EC, sedangkan rumus kimianya dapat dilihat pada gambar berikut (Kom. Pes, 1997).
9.2.3 Peniru Hormon (Hormon mimics) Insektisida ini mempunyai struktur kimia yang mirip dengan hormon juvenil. Insektisida ini bekerja mengganggu pertumbuhan 146
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Insektsida Terbarukan
serangga dalam proses ganti kulit maupun reproduksi. Aplikasi insektisida ini pada waktu proses ganti kulit akan mengakibatkan terjadinya campuran morfologi larva/pupa atau larva/imago. Untuk mendapatkan hasil yang efektif, sebaiknya insektisida ini diaplikasikan pada saat konsentrasi hormon juvenil serangga rendah yaitu pada akhir stadium larva atau awal stadium pupa. Selanjutnya, apabila insektisida ini diaplikasikan saat imago, insektisida ini akan mengganggu sistem reproduksi serangga karena insektisida ini bekerja selayaknya pengendali kelahiran (birth control). Metoprene Salah satu insektisida sintetik yang sangat mirip dengan hormon juvenil adalah metroprene (lihat dan bandingkan gambar di bawah antara juvenile hormone dan metoprene) (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999). Insektisida ini sangat aman terhadap mamalia karena memiliki nilai LD50 yang sangat besar yaitu 30000 mg/kg sehingga aman terhadap organisme non target. Salah satu nama dagang metoprene adalah Kabat 40 WSC (Kom. Pes, 1997)
Fenoxycarb Sama halnya metoprene, fenoxycarb juga aman terhadap mamalia dengan nilai LD50 oral akut yang relatif besar yaitu 16800 mg/kg. Rumus kimia fenoxycarb dapat dilihat pada gambar berikut (Matsumura, 1985; Ramulu, 1979; Bloomquist, 1999).
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
147
DAFTAR PUSTAKA Bohmont, B. L. 2003. The Standard Pesticide User’s Guide. Pearson Education, Inc. 557 pp. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. 1987. Pestisida untuk Pertanian dan kehutanan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan. Fong, G., H.A. Moye, J. N. Seiber, J. P. Toth. 1999. Pesticide Residues in Foods: Methods, Technique, and Regulation. John Wiley & Sons, Inc. New York .357 pp. Fronk, W. D. 1978. Chemical Control. In Fundamentals of Applied Entomology. (Pfadt, R.E . ed ). Macmilla Publs. New York Komisi Pestisida (Kom. Pes.). 1997. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Kom. Pes. Jakarta. Matsumura, F.1975. Toxicology of Insecticides. Pelenum Press, New York Oka
Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Pyenson L. L. and H.E Barke. 1981. Laboratory Manual for Entomology and Plant Pathology. The Avi Publihing Comp. Connecticut Ramulu, U.S. Sree. 1979. Chemistry of Insecticides and Fungicides. Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi. Reissig W.H., E.A. Heinrichs, J.A. Litsinger, K.Moody, L.Fiedder, T.W.Mew, and A.T.Barrion. 1986. Illustrated guide to integrated pest management in rice in tropicalAsia. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Philippines.
148
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
Subiyakto Sudarmo. 1992. Pestisida Untuk Tanaman. Kanisius. Yogyakarta US-DA and US-EPA. 1972. Applying Pesticides Correctly: A Guide for Private and Commercials Applicators. U.S. Dept. of Agr. And U.S. Environt. Proct. Agency. Tarumingkeng, R.C. 1989. Pengantar Toksikologi Insektisida. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Thienes , C.H. and T.J. Haley (1972). Clinical Toxicology. 5th. ed. Lea and Febiger. Philadelphia. 110 pp
Prof. Dr. Rosma Hasibuan, M.Sc
149
BIODATA PENULIS Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc. diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Hama Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung sejak 1 Juni 2006. Dia menjadi dosen di Jurusan Proteksi Tanaman sejak tahun 1983. Mata kuliah yang diasuh meliputi: (1) Pestisida dan Teknik Aplikasi (S1), (2) Hama Penting Tanaman (S1), (3) Ilmu Hama Tumbuhan (S1), Pengelolaan Pertanian Berkelanjutan (S1), (4) Pengendalian Hama Terpadu (S1 dan S2), dan (5) Komunitas Ekologi (S2) Dia dilahirkan di Laguboti (Sumut-Tobasa) pada tanggal 28 Agustus 1958 dan menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Laguboti. Pada tahun 1977, dia diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan dan lulus pada tahun 1982. Setelah diterima menjadi dosen di Universitas Lampung, dia mendapatkan beasiswa dari USAID untuk melanjutkan studi S2 di Department of Entomology, University of Kentucky, Amerika Serikat, dan mendapatkan gelar Master of Science (M.Sc.) pada tahun 1989. Lulus S2, dia langsung melanjutkan program S3 di Jururusan 150
yang sama dan menyelesaikan program Doctor of Phylosophy (Ph.D) pada tahun 1991. Sekembalinya dari tugas belajar, Rosma Hasibuan melanjutkan kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Untuk menunjang kegiatan pengajaran, pada tahun 2003, dia telah menulis buku Pengendalian Hama Terpadu. Dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat, dia telah melakukan penyuluhan kepada petani tentang hama pertanian dan strategi untuk mengendalikannya di beberapa lokasi pertanian di Provinsi Lampung Dalam penelitian, dia telah memperoleh beberapa hibah antara lain, (1) pada tahun 2002 yang berjudul Studi Pencemaran Residu Pestisida dan Kaitannya Dengan Kegiatan Proteksi Tanaman Sayuran di Kota Bandar Lampung yang didanai Pemkot Kota Bandar Lampung, sebagai ketua peneliti (2) pada tahun 2001 -2003 yang berjudul Studi Biologi, Dinamika Populasi, dan Pengendalian Belalang Kembara (Locusta migratoriamanilensis Meyen) yang didanai oleh Riset Unggulan Terpadu (RUT) VIII – Menristek, sebagai anggota peneliti, (3) pada tahun 2009-2010 yang berjudul Pengembangan Metode Pengelolaan Hama Terpadu Dengan Memanfaatkan Musuh Alami Dan Teknik Budidaya Tanaman Untuk Mengendalikan Hama Kutu Daun (Aphis sp.) pada Tanaman Kedelai , yang didanai oleh Hibah Strategis Unila, sebagai ketua peneliti, (4) tahun 2011-2013 yang berjudul Potensi dan Pendayagunaan Entomopathogen Fungi dan Predator Lokal untuk Mengendalikan Hama Kutu Daun (Aphis sp.) pada Tanaman Kedelai, yang didanai oleh Hibah Unggulan Unila, sebagai ketua peneliti. Dari hasil penelitian, dia telah menulis puluhan artikel ilmiah dan menginseminasikannya dalam forum ilmiah di tingkat nasional maupun internasioanal. Selain itu, dia juga telah mempublikasikan hasil penelitiannya di beberapa Jurnal Ilmiah bertaraf nasional maupun internasional. 151