Jihad abdus shamad

Page 1

“Jihad Otoritatif” Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani sebagai Teladan ProtoNasionalisme melawan Ekstrimisme Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd. Masalah terorisme yang telah lama muncul semakin menunjukkan gerak perkembangannya sebagai sebuah laten. Tak pelak lagi hal ini tidak hanya menjadi ancaman bagi otoritas maupun eksistensi Indonesia

sebagai bangsa

yang plural,

namun

konsekuensinya justru turut menjadi permasalahan di tengah kalangan Muslim sendiri. Akibat dari tindakan kaum ekstrimis yang kerap membawa label “Jihad” dalam serangannya, apalagi dengan gagasan maupun slogan denasionalisasi yang tendensinya ialah untuk mengubah atau bahkan menghapus sistem ideologi bangsa ini, maka kata “Jihad” seolah tidak terintegrasi dengan semangat nasionalisme. Hal ini patut dibenahi, apalagi dalam konteks sejarah nasionalisme bangsa ini, pada 22 Oktober 1945 Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan Resolusi Jihad yang memberi fatwa landasan keagamaan bagi perjuangan fisik melawan tentara Belanda (Misrawi, 2010 : xvi). Keputusan NU tersebut setidaknya memiliki dua substansi pokok, yakni sinergisitas antara Ulama dan Umara’, serta penerapan Jihad sebagai tindakan nyata bela negara. Benarkah pola sedemikian itu merupakan “hal baru” yang tidak memiliki akar historis lebih jauh dalam konteks keindonesiaan ? Kurang lebih dua abad sebelum resolusi itu dikumandangkan telah ada seorang Ulama Nusantara yang menerapkan gagasan mengenai Jihad dalam konteks kebangsaan. Ia bernama Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani. Dilahirkan pada tahun 1737 M, ia adalah seorang putra dari Ulama keturunan Arab bernama Syaikh Abdurrahman dan bangsawan wanita kesultanan Palembang. Memperoleh pendidikan keagamaan yang baik sejak dini, Abdus Shamad menuntut ilmu kepada setidaknya tiga Ulama terkenal Palembang. Melalui bimbingan Sayyid Hasan bin Umar Idrus, Syaikh Abdus Shamad mempelajari Al-Quran dan tajwidnya serta berhasil menghafalnya pada usia 10 tahun (Al-Palimbani & Syarifuddin (Ed.), 2013 : ix). Ia diperkirakan telah berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu pada era 1750-an. Di tanah Arab ia amat menggemari pelajaran Tauhid dan Tasawuf. Ia juga sangat terpengaruh oleh pemikiran Imam Al-Ghazali dan sangat mahir dalam kajian kitab Ihya’ Ulumuddin. Untuk masalah Tasawuf, Abdus Shamad belajar kepada sederet nama Ulama yang salah satunya adalah Syaikh Muhammad bin Abd Al-Karim Al-Samani Al-Madani. Dengan riwayat pengajaran yang sedemikian itu, Martin Van Bruinessen mengatakan bahwa Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani merupakan Ulama paling terpelajar di sepanjang sejarah Nusantara.


Sembari menuntut ilmu kepada beberapa Ulama kenamaan, Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani bahkan lebih dikenal sebagai ulama yang memiliki hasil-hasil karya pemikiran berupa kitab-kitab dalam jumlah yang begitu banyak dengan magnum opusnya berjudul Siyarus Salikin dan Hidayatus Salikin. Tema-tema kajiannya terutama ialah bidang Tasawuf, namun uniknya ia turut menulis sebuah kitab berjudul Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat alMu’minin fi Fadha’il Al-Jihad. Ketiga karyanya Syaikh Abdus Shamad secara linguistik menunjukkan betapa ia tidak melupakan daerah asalnya karena dituliskan dalam bahasa Melayu meskipun ia telah lama menuntut ilmu di Arab dan juga berasal dari keturunan Arab. Alasan penulisan karya itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perkumpulan pelajar Nusantara yang menuntut ilmu di Mekkah sebagai sebuah kelompok sosial tersendiri yang disebut “Komunitas Jawi.” Walaupun terbagi ke dalam berbagai etnis, komunitas ini mampu membawa orang-orang di dalamnya terlibat dalam interaksi intensif dan diskusi mengenai perkembangan Islam di ranah Melayu-Nusantara, salah satu isu yang banyak dibicarakan ialah mengenai penetrasi kolonial Barat ke wilayah Melayu-Nusantara. Selain menjadi forum untuk dapat bertukar informasi tentang perkembangan isu tersebut dari wilayah masingmasing pelajar, keberadaan Komunitas Jawi bahkan membuat bahasa Melayu menjadi bahasa kedua di Mekkah kala itu. Syaikh Abdus Shamad tidak hanya sekadar membahas mengenai Jihad dalam karya saja, iapun menerapkan ilmu yang dimiliki secara konkret untuk dapat berkontribusi pada daerah asalnya. Jauh berbeda dengan oknum-oknum yang mengaku “Ulama” sejenis Abu Bakar AlBaghdadi, yang tidak segan memprovokasi para pemuda di penjuru dunia untuk melancarkan “Jihad” melawan pemerintahnya sendiri, Syaikh Abdus Shamad sebagai Ulama – dalam arti sesungguhnya – justru memilih untuk merangkul otoritas politik dengan memberi spirit Jihad kepada para penguasa. Salah satunya ialah dengan mengirimkan surat pada Pangeran Pakunegara / Mangkunegara yang disertai dengan jimat berupa panji-panji. Substansi surat itu berisi persuasi maupun motivasi pada penguasa Jawa itu agar jangan takut bila harus gugur dalam Jihad karena ganjaran yang diterima ialah surga. Selain ganjaran surga, Syaikh Abdus Shamad turut mengibaratkan kebaikan bagi Pangeran Mangkunegara yang teguh melawan penjajahan seperti “sekuntum bunga yang menyebarkan wewangiannya sejak matahari terbit hingga tenggelam sehingga seluruh Mekkah dan Madinah serta negeri-negeri Melayu akan bertanya-tanya tentang keharuman ini” (Abdullah, 2015 : 60). Namun sayangnya, seruan jihad kepada para penguasa Jawa itu boleh dibilang gagal. Surat itu tidak pernah sampai kepada si alamat. Bersama dua surat lainnya yang disita Belanda, setelah


disalin – dan diterjemahkan – aslinya dihancurkan (Sudrajat, 2006 : 63). Ternyata, Syaikh Abdus Shamad tetap mengakui eksistensi politik seorang raja sebagai pemerintah yang sah. Tidak lupa, ia juga menekankan kesadaran akan kecintaan pada tanah air dengan menyebut “negeri-negeri Melayu” dalam suratnya. Meski surat kepada pemimpin Jawa itu tidak sampai kepada orang yang dituju, Syaikh Abdus Shamad tetap bersemangat dalam menerapkan ilmu yang ia miliki dengan tindakan yang semakin nyata. Karena maraknya lalu lintas hubungan laut antara Timur Tengah dan “Negeri Bawah Angin” yakni salah satu sebutan bagi Nusantara dan Asia Tenggara daratan (Utomo, 2007: 41), ia telah beberapa kali pulang-pergi ke daerah asalnya berikut juga dengan mengunjungi beberapa negeri Melayu seperti halnya ke Patani. Dari itulah Syaikh Abdus Shamad mengetahui masalah-masalah konkret yang dihadapi umat Muslim di Nusantara. Selain penetrasi bangsa Barat, wilayah Melayu seperti Patani dan Kedah mengalami ancaman kolonisasi dari wilayah tetangganya yakni Bangsa Siam. Syaikh Abdus Shamad menuliskan keprihatinannya pada Muslim Patani bagian akhir Nasihat alMuslimin. Sebagaimana dikutipkan oleh Mal An Abdullah (2015 : 74), tulisan Syaikh Abdus Shamad memang menyerukan agar para Ulama yang disebutnya “yang alim-alim dan orang yang shalih-shalih dan yang haji-haji” memberi nasihat bagi raja-raja, orang-orang besar dan kaya agar mendirikan ibadat yang setengahnya adalah “perang Sabilillah.” Redaksi dalam tulisan Syaikh Abdus Shamad bukanlah kebencian pada identitas agama lain, namun seruan Jihad itu ia kumandangkan dilandaskan oleh kondisi “...mendengar akan kesakitan sanak saudara Muslimin yang di negeri Jawi, yang disakitinya oleh kafir,...dan dibinasakan akan dia oleh orang kafir di bawah angin itu...” Seruan Syaikh Abdus Shamad beberapa abad silam ini bahkan lebih visioner dibandingkan dengan para ekstrimis yang tidak segan menumpahkan darah umat beragama lainnya karena merasa paling “shalih” dan “alim” di masa modern ini. Selain itu ia kembali lagi mengingatkan pentingnya sinergisitas antara Ulama dan Umara’. Syaikh Abdus Shamad tidak boleh dilupakan sebagai Ulama Tasawuf yang mumpuni dalam aktifitas intelektual Islam. Kini kita sering mendengar sekelompok orang yang merasa paling “puritan”, yang katanya pula “paling lurus” mengikuti Rasulullah dan generasi Sahabat Nabi, kelompok ini kerap melontarkan fitnah pada Tasawuf yang mereka anggap sebagai perbuatan “Bid’ah” dan akan membawa pada sikap menafikan dunia. Sebenarnya dengan membaca kisah Syaikh Abdus Shamad, kita memperoleh catatan historis betapa


Tasawuf Syaikh Abdus Shamad memiliki semangat keagaman serta aktivisme sosial yang tinggi. Penerapan konkret dalam gagasan Jihad Syaikh Abdus Shamad direalisasikan saat ia berhasil membawa 400 orang Haji dari Mekkah dan meminta izin Sultan Kedah dalam perjuangannya membantu Patani. Perlu diketahui juga bahwa kakek Syaikh Abdus Shamad yang bernama Syaikh Abdul Jalil pernah menjadi Mufti di Kedah, ayah Syaikh Abdus Shamad juga dipercaya pindah ke Kedah saat Abdus Shamad masih kecil. Awalnya Sultan Kedah merasa ragu untuk memberi bantuan persenjataan bagi barisan Abdus Shamad. Ketika pasukan para Haji pimpinan Abdus Shamad berbaris menuju Patani, ia mendapatkan dukungan spontan dari sekitar tiga sampai empat ribu rakyat Patani. Mereka berhasil merebut beberapa desa saat melewati Mardalong, Ligor, menjangkau Songkhla dan menaklukkan benteng pertahanan Siam. Kemenangan ini melampaui perkiraan Sultan Kedah sendiri. Francis Light, seorang kapala Koloni British East India Company di Pulau Pinang menuliskan itu dalam laporannya pada 1792, dikatakan bahwa Sultan Kedah menghadiahi kemenangan Abdus Shamad dengan sejumlah kecil persenjataan api bagi pasukannya (Abdullah, 2015 : 75). Setelah kesuksesannya itu, setahun kemudian Syaikh Abdus Shamad kembali ke Arab dan mengajar di Zabid. Aktifitas Syaikh Abdus Shamad ini ikut membuktikan bahwa ia tidak hanya melihat Qital (perang) sebagai satu-satunya jalan Jihad, maka ia pun melanjutkan kembali untuk mengabdi dalam kegiatan keilmuan. Abdus Shamad tidak “mencari untung” dari keberhasilannya mengalahkan Siam, tidak pula seperti militan Islamic State of Irak and Syria (ISIS) yang menduduki beberapa wilayah hanya untuk mendirikan kekuasaan politik yang mereka sebut sebagai “Khilafah”, mengeruk hasil minyak, dan memperkosa para wanita. Demikian itu sejarah dan kajian mengenai Jihad dalam pemikiran dan tindakan Syaikh Abdus Shamad. Ulama kelahiran Palembang ini kemudian gugur sebagai Syahid saat datang kembali membantu Kedah melawan bangsa Siam pada 19 April 1832 M.

Ada

beberapa pelajaran dan makna yang diperoleh dari kajian sederhana ini. Melalui kisah hidupnya dapat dilihat bagaimana Syaikh Abdus Shamad tidak menafikan asal tumpah darahnya di Nusantara, tidak seperti beberapa kelompok-kelompok gerakan Islam yang katanya memiliki cita-cita “Memurnikan Islam” namun sesungguhnya hanya merubah tampilan luar menjadi “Ke-Arab-an”, melihat dengan misjutifikasi bahwa identitas Islam itu mutlak harus mengimitasi “Arab” ; jika tidak Arab seolah bukan Islam. Selain itu tentu yang terpenting, telah sangat gamblang Syaikh Abdus Shamad menggambarkan tata cara melancarkan Jihad tanpa mengabaikan apalagi menentang otoritas politik, demikianlah ini


dapat disebut sebagai “Jihad Otoritatif” dengan izin dari Ulil Amri yang sah. Begitupun dengan perhatiannya yang amat besar pada tanah asalnya di Negeri Bawah Angin atau kepulauan Melayu, Syaikh mengajarkan pada kita tentang nilai “Proto-Nasionalisme” yakni sebentuk kecintaan pada tanah air meskipun di masa itu gagasan tentang nasionalisme keindonesiaan

modern belum terbentuk.

Syaikh Abdus Shamad

sangat

berhasil

mengaplikasikan ilmu yang ia dapat di Mekkah untuk kepentingan umat Islam di Nusantara serta menuliskan karya terbaiknya dalam bahasa Melayu. Pengabdian Syaikh Abdus Shamad dalam mengirimkan surat kepada penguasa Muslim dan bahkan rela pulang untuk datang langsung saat dibutuhkan tanah airnya harus diingat sebagai teladan serta menjadi antithesis dari tindakan para ekstrimis yang kembali ke negara asalnya hanya untuk menyebarkan kebencian serta malah ingin menumbangkan pemerintahan. Diharapkan dengan pengkajian yang semakin intensif pada pemikiran dan peran para Ulama Nusantara di masa depan, gerakan-gerakan ekstrimisme yang sering “membajak” keislaman akan dapat ditanggulangi melalui pendekatan keislaman berwawasan sejarah Indonesia. Daftar Pustaka Abdullah, Mal An, Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani : Biografi Dan Warisan Keilmuan, Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2015. Al-Palimbani, Syaikh Abdus Shamad, Kms. H. Andi Syarifuddin (Ed.), Hidayatus Shalikin, Surabaya : Pustaka Hikmah Persada, 2013. Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’Ari : Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010. Sudrajat, Suryana, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang : Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin, Jakarta : Erlangga, 2006. Utomo, Bambang Budi, Pandanglah Laut Sebagai Pemersatu Nusantara, Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2007.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.