Buku-buku digital PATTIRO free download silahkan disebarluaskan untuk dimanfaatkan oleh Masyarakat. Tersedia di APP Store dan Goggle Play dan Webstore distributor ebook. PATTIRO PUSAT ANALISIS DAN TELAAH REGIONAL
PATTIRO adalah sebuah Organisasi Non-Pemerintah yang didirikan 17 April 1999 di Jakarta, bergerak di isu-isu pemerintahan daerah dan keterbukaan informasi publik, dengan memanfaatkan pendekatan multistakeholder engagement. Misi yang diemban oleh PATTIRO antara lain memperkuat kapasitas warga untuk berperan dalam proses pembuatan keputusan publik. PATTIRO mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hubungi kami untuk Informasi dan kerjasama dibidang penelitian, fasilitator, Capacity Building, advokasi pelayanan publik, Perbaikan Pelayanan Publik, Reformasi Kebijakan Publik, dan Reformasi Manajemen Keuangan Publik
Jl. Intan No.81, Cilandak Barat, Jakarta Selatan T:+62-21 7591 5498 | F:+62-21 751 2503 info@pattiro.org | www.pattiro.org | Facebook page PATTIRO
Modul Pelatihan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Diterbitkan atas Dukungan Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) untuk Program Community Access to Information (CATI)
Penulis: Muhamad Yasin Muhamad Fahazza Patchurahman Agus Salim Wawanudin Ahmad Rofik Budi Rahardjo Layout: M. Arif Novianto
Daftar Singkatan UUD : Undang-Undang Dasar UU : Undang-Undang AIPD : Australia Indonesia Partnership for Decentralisation PP : Peraturan Pemerintah Keppres : Keputusan Presiden Perda : Peraturan Daerah Pergub : Peraturan Gubernur Perbup : Peraturan Bupati Kemkoinfo : Kementerian Komunikasi dan Informasi Kemendagri : Kementerian Dalam Negeri KIP : Komisi Informasi Pusat APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BUMN : Badan Usaha Milik Negara BUMD : Badan Usaha Milik Daerah PPID : Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional CSO /OMS : Civil Society Organization/OrganisasiMasyarakatSipil NTB : Nusa Tenggaran Barat NTT : Nusa Tenggara Timur PNS : Pegawai Negeri Sipil Perki : Peraturan Komisi Informasi SKPD : Satuan Kerja PerangkatDaerah SOP : Standar Operasional Prosedur Good Governance : Tata Pemerintahan yang Baik Open Government : Pemerintahan yang Terbuka SDA : Sumber Daya Alam SDM : Sumber Daya Manusia LPSE : Layanan Pengadaan Secara Elektronik LKPP : Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah DKI : Daerah Khusus Ibukota Jabar : Jawa Barat CPNS : Calon Pegawai Negeri Sipil RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah TKD : Tes Kompetensi Dasar SMA : Sekolah Menengah Umum LJK : Lembar Jawaban Komputer USU : Universitas Sumatera Utara
iii
KADIN : Kamar Dagang Indonesia BLU : Badan Layanan Umum Perjan : Perusahaan Jawatan BHMN : Badan Hukum Milik Negara FH UI : Fakultas Hukum Universitas Indonesia BP Migas : Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi PT : Perseroan Terbatas ESDM : Energi dan Sumber Daya Mineral TP2I : Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat UPT : Unit Pelaksana Teknis IRS : Information Retrieval System BNN : Badan Narkotika Nasional SP3 : Surat Perintah Penghentian Penyidikan SKP2 : Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan YLKI : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia DIP : Daftar Informasi Publik ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia ICW : Indonesia Coruption Watch SPM : Standar Pelayanan Minimal WTP : Wajar Tanpa Pengecualian BPKP : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan SAP : Standar Akuntansi Pemerintah SIMDA : Sistem InformasiManajemen Daerah MA : Mahkamah Agung PSI : Penyelesaian Sengketa Informasi SPIP : Sistem Pengendali Intern Pemerintah APIP : Aparat Pengawas Intern Pemerintah
Acknowledgement Modul Pelatihan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi ini diterbitkan melalui kerjasama PATTIRO dengan Pemerintah Australia melalui Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD). Disclaimer Pandangan dan pendapat dalam Modul Pelatihan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi ini bersumber dari PATTIRO, dan tidak menggambarkan pandangan Pemerintah Australia.
iv
Daftar Isi Kata Pengantar Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informatika RI ..................................................................................
vi
Kata Pengantar AIPD .................................................................................................
viii
Kata Pengantar PATTIRO ...........................................................................................
ix
Pendahuluan ...............................................................................................................
1
Sesi 1
Perkenalan dan Bina Suasana ..................................................................
11
Sesi 2
Good GovernanceTata Pemerintahan yang Baik:
Kegiatan versus Pelayanan ........................................................................
17
Sesi 3
Informasi Publik versus Informasi Privat ..................................................
33
Sesi 4
Badan Publik ...............................................................................................
47
Sesi 5
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) ..........................
59
Sesi 6
Mengelola Informasi Terbuka ...................................................................
73
Sesi 7
Mengelola Informasi yang Dikecualikan .................................................
89
Sesi 8
Pertimbangan Tertulis ................................................................................
113
Sesi 9
Mekanisme Memperoleh Informasi .........................................................
123
Sesi 10 Pelaporan Akses Informasi di Badan Publik ...........................................
137
Sesi 11 Hukum Acara Sengketa Informasi ............................................................
149
Sesi 12 Sanksi dalam Sengketa Informasi Publik .................................................
167
Sesi 13 Penutup ........................................................................................................
181
v
Kata Pengantar
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI Bangsa Indonesia telah memasuki era keterbukaan informasi sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Kehadiran UU KIP yang berlaku efektif sejak 30 April 2010 telah memberikan jaminan keterbukaan informasi publik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Setiap badan publik kini tidak lagi berwenang menyembunyikan beragam informasi publik kepada masyarakat kecuali kategori informasi yang dirahasiakan. Penerapan UU KIP diharapkan dapat mendorong perbaikan kerja dan aliran data serta informasi antar unit kerja dimasing-masing badan publik. Tanpa adanya koordinasi dan komunikasi dalam kerangka kerja mengelola data, informasi, dan dokumentasi, badan publik akan sulit memberikan pelayapnan informasi publik dengan baik. Penunjukkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) diberbagai Badan Publik Negara baik tingkat pusat maupun daerah menandakan keseriusan pemerintah untuk mengimplementasikan UU KIP. Namun, penunjukkan PPID tentunya bukan berarti permasalahan pelayanan informasi bagi masyarakat selesai karena masih banyak persoalan yang harus harus disiapkan oleh PPID yang telah ditunjuk tersebut. Hal itu menjadi perhatian juga bagi Direktorat Jenderal lnformasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan lnformatika (Ditjen IKP Kemenkominfo) untuk mendorong kehadiran PPID yang operasional di setiap badan publik. Kecakapan PPID dalam menghimpun, mengelola, dan mempersiapkan data menjadi kunci agar pelayanan informasi publik berlangsung cepat, tepat waktu, dan murah. Pelayanan lnformasi yang prima akan mendorong partisipasi masyarakat yang kemudian akan mendorong akuntabilitas pejabat publik maupun kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkannya. Hal itu tentunya akan berdampak semakin meningkatnya kualitas pelayanan publik sebagai salah satu tujuan bernegara yaitu mewujudkan-kesejahteraan masyarakat
vi
Modul Pelatlhan Pejabat Pengelola lnformasl dan Dokumentasl (PPID) ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam memberikan pemahaman yang sama bagi PPID dalam melaksanakan tugasnya. Kehadiran modul tersebut juga akan saling melengkapi dengan Buku Pedoman Pengelolaan lnformasi dan Dokumentasi Bagi PPID Pada Badan Publik Negara Tingkat Pusat dan Daerah yang diterbitkan Ditjen IKP Kemenkominfo, sehingga PPID dapat lebih cepat memahami peran dan fungsinya. Setiap PPID setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan dapat langsung bekerja dalam memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat dengan baik dan benar. Oleh karena itu, kami menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada PATTIRO sebagai mitra kerja Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) yang mendukung implementasi UU KIP melalui penyusunan buku Modul Pelatihan Pejabat Pengelola lnformasi dan Dokumentasi (PPID). Semoga buku ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan bersama dalam memberlkan penguatan kapasitas PPID di daerah.
Jakarta, Juni 2013 Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan informatika RI
Freddy H. Tulung
vii
Kata Pengantar
Direktur Program AIPD Australia Indonesia Parnership for Decentralisation (AIPD) merupakan program kerja sama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia untuk penguatan implementasi desentralisasi di Indonesia. Tujuan AIPD adalah untuk mendorong perbaikan layanan publik melalui pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik. Layanan informasi publik sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan aspek yang sangat penting untuk mendorong perbaikan layanan publik. Akses masyarakat terhadap informasi publik akan mendorong partisipasi aktif mereka dalam setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang bisa berdampak pada perbaikan layanan publik. Untuk memastikan layanan informasi publik yang cepat, tepat dan sederhana dari setiap Badan Publik, UU KIP (pasal 13) dan Peraturan Pemerintah No. 61/ 2010 tentang Pelaksanaan UU KIP (pasal 21) telah menegaskan perlunya penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Sampai saat ini sejumlah PPID telah terbentuk baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun, tantangan selanjutnya adalah bagaimana PPID yang telah terbentuk ini betul-betul berfungsi untuk penyediaan informasi publik kepada masyarakat sesuai peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Penyusunan Modul Pelatihan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) oleh PATTIRO ini sangat relevan dengan kebutuhan penguatan fungsi PPID di lapangan. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan penghargaan kepada PATTIRO dan Tim Penulis yang telah bekerja keras untuk terwujudnya modul pelatihan ini. Semoga buku ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya, khususnya oleh Badan Publik baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka penguatan PPID untuk penyediaan layanan informasi sesuai mandat UU KIP.
Richard Manning Direktur Program AIPD
viii
Kata Pengantar
PATTIRO Assalamualaikum wr wb. PATTIRO merupakan lembaga riset dan advokasi yang bergerak dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan daerah yang baik. Salah satu fokus PATTIRO adalah perbaikan kualitas pelayanan publik. Hadirnya UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) diharapkan dapat mendorong terwujudnya pelayanan publik yang lebih berkualitas melalui keterbukaan informasi. Salah satu mandat UU KIP itu adalah kewajiban badan publik di tingkat pusat maupun daerah untuk menyediakan, memberikan dan atau menerbitkan informasi publik dengan cara menunjuk dan menetapkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Tantangan utama bagi badan publik adalah mengefektifkan PPID agar dapat memberikan pelayanan informasi yang tepat, cepat dan sederhana bagi pemohon informasi. Dalam kaitan itulah, PATTIRO sebagai mitra kerja AIPD berupaya memberikan kontribusi agar PPID dapat bekerja secara efektif. Salah satu upaya itu adalah melalui peningkatan kapasitas dan pendampingan bagi PPID agar dapat mengelola dan memberikan pelayanan informasi publik secara optimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Modul Pelatihan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang ada di hadapan pembaca ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi PPID dalam meningkatkan kapasitasnya melalui pelatihan dan sekaligus sebagai pendukung dalam menjalankan tugasnya. Melalui modul ini, PPID diharapkan dapat mengubah cara berpikir (mindset) dan perilakunya terutama dalam memandang keterbukaan informasi sebagai bagian dari paradigma baru pelayanan publik; mampu mengidentifikasi masalah dan mencari solusi; menata pengelolaan informasi dan meningkatkan kemampuan dalam melayani informasi publik bagi pemohon informasi.
ix
Modul ini dapat terselesaikan atas dukungan dari AIPD melalui Program Community Acces to Information (CATI). Ucapan terima kasih, kami sampaikan kepada AIPD atas dukungannya sejak proses penulisan hingga terbitnya Modul Pelatihan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) ini.
Wassalamualaikum wr wb. Jakarta, Mei 2013
Sad Dian Utomo Direktur Eksekutif
x
Pengantar
Modul Pelatihan PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI (PPID) Pendahuluan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) merupakan ujung tombak pelayanan informasi Badan Publik. Mereka mengelola dan memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat. Dalam UU No. 14 Tahun 2008, terdapat 12 pasal yang mengatur mengenai mandat yang diemban PPID,yakni pasal 1 ayat 9, pasal 7, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal13, pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 19, dan pasal 22. Pasal-pasal itu menjelaskan apa saja yang harus disiapkan, dilakukan, dan dilaporkan oleh PPID Badan Publik. Selain itu, dalam bekerja PPID juga harus merujuk pada Peraturan Komisi Informasi (PERKI) No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Tentu saja, dalam mengelola dan melayani informasi untuk masyarakat, PPID memerlukan pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif. Buku ini disusun untuk kalangan PPID yang akan memulai tugas. Jika SOP (Standar Operasional Prosedur) PPID merupakan pedoman dan panduan kerja, maka pelatihan bagi PPID adalah salah satu cara atau alat menggunakan SOP itu.
Konsep dan Filosofi • Ruang lingkup. Modul ini disusun sebagai bagian dari upaya pemberdayaan kelompok-kelompok kepentingan dalam rezim keterbukaan informasi. Mereka adalah: (i) Kelompok pengelola dan penyedia informasi publik, dalam hal ini Badan Publik termasuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi; (ii) Kelompok pemohon dan pengguna informasi; dan (iii) Kelompok lembaga penyelesaian sengketa informasi publik, yakni Komisi Informasi dan pengadilan.
1
• Peserta pelatihan. Peserta pelatihan adalah semua pemangku kepentingan di setiap Badan Publik. Oleh karena modul ini secara spesifik membahas PPID, maka peserta pelatihan yang utama adalah PPID dari setiap Badan Publik di provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi target program. Namun modul ini tetap bisa dipergunakan di daerah lain. Seandainya di daerah itu belum ada PPID, maka peserta pelatihan utama adalah semua pejabat yang bekerja mengelola informasi dan dokumentasi. • Pendekatan partisipatif dan pembelajaran orang dewasa (adult learning). Penyusunan modul ini memperhatikan keragaman latar belakang peserta, baik dari bidangpekerjaan maupun pemahaman mengenai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Oleh karena itu, fasilitator harus tetap menghormati perbedaan tadi. Prinsipnya, penerapan modul ini harus memungkinkan pertukaran pengetahuan, informasi, dan gagasan antarpeserta. Perbedaan pendekatan dan penekanan materi di tiap daerah dimungkinkan oleh modul ini, sesuai dengan temuan fasilitator dan narasumber di lapangan. Peserta harus didorong sepenuhnya berpartisipasi selama pelatihan dan ini merupakan penerapan dari konsep adult learning. Ceramah yang merupakan komunikasi satu arah harus dihindari. Metode ceramah akan diperlukan untuk isu-isu yang memang membutuhkan penjelasan dari narasumber. • Pelatihan berjenjang. Jika tidak memungkinkan menghadirkan seluruh elemen keterbukaan informasi dalam satu proses pelatihan, pelatihan berjenjang bisa dilakukan. Misalnya, pelatihan pertama mengutamakan para pengambil keputusan seperti PPID Utama dan Atasan PPID, selanjutnya sasaran pelatihan kedua adalah tim teknis, dan berikutnya tim pendukung seperti tenaga fungsional arsiparis dan pustakawan.
Tujuan • Mengubah mindset dan perilaku. Modul ini dirancang sedemikian rupa agar lebih mudah memberikan pemahaman kepada peserta. Jika rancangan modul digabung dengan kapasitas fasilitator yang memadai, pelatihan dapat mengubah cara berpikir (mindset) dan perilaku peserta, terutama dalam memandang keterbukaan informasi sebagai bagian dari paradigma baru pelayanan publik. Peserta diharapkan bisa memahami perubahan paradigma pelaksanaan birokrasi dari berbasis pekerjaan menjadi berbasis pelayanan. Selama ini, keterbukaan informasi pun masih belum dilaksanakan karena mindset kerahasiaan masih tertanam kuat di kalangan birokrasi. Mereka enggan membuka informasi tertentu dengan alasan rahasia. Jika peserta memahami dengan baik prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas, diharapkan mereka mengubah mindset atau cara pandang terhadap informasi yang ada dalam lingkup tugas mereka.
2
Perubahan kesadaran dan sikap PPID diharapkan muncul sesaat setelah diberikan pelatihan. Mereka diharapkan lebih responsif dalam memberikan pelayanan informasi menyadari hal ini merupakan bagian dari pelaksanaan pelayanan publik yang lebih baik. Tumbuh juga kesadaran dalam diri mereka, bahwa kepentingan masyarakat merupakan tujuan utama pembangunan.
Secara umum, buku ini mengajak birokrat yang menjadi PPID untuk lebih responsif terhadap permintaan informasi dari masyarakat, memahami tugastugas yang harus dilaksanakan ketika menyampaikan informasi yang terbuka dan melayanai permintaan informasi dari masyarakat.
• Menata pengelolaan informasi dan penguatan kerjasama. Jika sudah terjadi perubahan mindset dan perilaku, diharapkan tumbuh motivasi dan dorongan bagi semua Badan Publik untuk menata dengan baik semua informasi yang berada di bawah penguasaannya. Kemudian, penataan itu perlu ditopang kerjasama antar lini atau lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) agar pengelolaan informasi terintegrasi. Kerjasama yang baik memudahkan Badan Publik lewat PPID menyediakan dan melayani permohonan informasi publik. • Mengidentifikasi masalah dan mencari solusi. Seringkali Badan Publik tidak menyadari ada masalah yang harus diselesaikan, atau ada kewajiban yuridis yang perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Duduk bersama dengan wakil-wakil yang beragam, peluang untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya lebih besar. • Memberikan pengetahuan dan pemahaman. Pelatihan ini juga bertujuan memberikan pengetahuan mengenai perkembangan baru dalam rezim keterbukaan informasi, sekaligus mendorong pemahaman yang sama seluruh Badan Publik. Peserta pelatihan mendapatkan hal-hal baru dan memahami seluruh proses yang harus ditempuh dalam rangka pengelolaan dan pelayanan informasi. • Meningkatkan kemampuan. Buku ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan peningkatan kapasitas yang diperlukan PPID.Selama ini pengelolaan informasi di Badan Publik masih belum tertib dan berserakan. Hal ini menyebabkan penyediaan data dan informasi menjadi tidak tertib dan tidak teratur, sehingga akan menyulitkan Badan Publik atau PPID sendiri dalam melayani permintaan informasi. Pelatihan ini diharapkan mampu menjawab kelemahan pengolahan data, informasi, dan dokumentasi yang dikelola oleh Badan Publik atau PPID, baik dokumentasi dan informasi yang bersifat terbuka maupun yang dikecualikan. Kemampuan yang diharapkan setelah pelatihan ini adalah PPID dapat menjalankan mandat yang diberikan UU No. 14 Tahun 2008.Mereka mulai
3
menerima, mengolah informasi, menyusun SOP PPID, memberikan pertimbangan tertulis, dan menyusun laporan permintaan informasi dari masyarakat.
Kelompok Sasaran • PPID Utama dan PPID Pembantu. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) adalah adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di Badan Publik. Dalam struktur organisasi yang gemuk, biasanya dikenal PPID Utama dan PPID Pembantu. PPID dibentuk di setiap SKPD. • Atasan PPID atau Pimpinan Badan Publik. Atasan PPID adalah pejabat yang merupakan atasan langsung pejabat yang bersangkutan. Biasanya Atasan PPID adalah juga pimpinan Badan Publik. • Kelompok pendukung. Dalam menyelenggarakan hak dan kewajiban pengelolaan dan pelayanan informasi, Badan Publik membutuhkan tenagatenaga profesional. Mereka adalah pegawai yang fungsi dan tugasnya secara langsung berhubungan dengan pengelolaan informasi. Termasuk ke dalam kelompok pendukung ini adalah arsiparis, pustakawan, kepala dan staf biro/ bagian hukum, pimpinan dan staf biro/bagian organisasi dan ketatalaksanaan, tenaga teknologi informasi.
Isi Sesi-1: Perkenalan dan Bina Suasana Tujuan sesi ini adalah untuk perkenalan diantara peserta pelatihan, dengan harapan suasana lebih cair dan mereka mengetahui latar belakang masing-masing. Peserta kemudian diajak bina suasana yang bertujuan membangun kekompakan dan komitmen mereka mengikuti pelatihan sampai selesai. Sesi-2: Tata Pemerintahan yang Baik: Kegiatan versus Pelayanan Berisi dasar-dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis keterbukaan informasi publik. Tujuan sesi ini adalah membuka cakrawala dan mengubah paradigma dari basis kegiatan ke arah pelayanan. Sesi-3: Informasi Publik versus Informasi Privat Tujuan sesi ini adalah mendorong peserta agar bisa membedakan antara informasi publik dan informasi pribadi dalam aktivitas mereka di Badan Publik.
4
Sesi-4: Badan Publik Tujuan umum sesi ini adalah memberikan pemahaman utuh kepada peserta tentang arti dan cakupan Badan Publik berdasarkan konsep keterbukaan informasi. Pelaksanaan keterbukaan informasi bukan hanya berlaku di instansi pemerintah, tetapi juga berlaku di lembaga-lembaga non-pemerintah yang masuk kategori Badan Publik. Sesi-5: Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Tujuan sesi ini adalah memberi bekal pengetahuan dan pemahaman peserta tentang urgensi penunjukan PPID, serta hak dan kewajiban PPID dalam pengelolaan dan pelayanan informasi. Sesi-6: Mengelola Informasi Terbuka Sesi ini membahas langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan ketika mengelola informasi terbuka. Tujuan utama sesi ini adalah mendorong peserta bisa menyusun daftar informasi publik. Sesi-7: Mengelola Informasi yang Dikecualikan Tujuan sesi ini adalah membekali pengetahuan kepada peserta tentang tata cara melakukan pengujian konsekuensi, klasifikasi informasi, dan uji kepentingan publik. Sesi-8: Pertimbangan Tertulis Dalam memutuskan kategorisasi suatu informasi penting bagi Badan Publik, PPID perlu membuat pertimbangan tertulis. Tujuan sesi ini adalah membekali peserta pengetahuan tata cara membuat pertimbangan tertulis. Sesi-9: Mekanisme Memperoleh Informasi Sesi ini membahas mekanisme yang harus ditempuh untuk memperoleh informasi, standar pelayanan, dan apa saja yang harus dipersiapkan Badan Publik.Tujuan sesi ini adalah mekanisme Badan Publik dalam memberikan pelayanan informasi terutama terkait waktu dan pada interaksi administratif antara pemohon dan Badan Publik. Sesi-10: Pelaporan Akses Informasi di Badan Publik Tujuan sesi ini adalah membekali peserta mengenai pentingnya membuat pelaporan akses informasi dan tata caranya.
5
Sesi-11: Hukum Acara Sengketa Informasi Bagian ini menyajikan alur penyelesaian sengketa informasi mulai dari Badan Publik dan Komisi Informasi hingga tahap kasasi di Mahkamah Agung. Tujuan sesi ini mendorong Badan Publik mempersiapkan diri dalam menghadapi dan menangani sengketa informasi publik. Sesi-12: Sanksi dalam Sengketa Informasi Publik Tujuan sesi ini adalah untuk membekali peserta mengenai tips/cara dan trik menghindari kemungkinan diancam pidana karena tidak menjalankan tugas mengelola dan menyediakan informasi. Sesi-13: Penutupan Sesi penutupan layak dijadikan bahan renungan bersama untuk melihat sejauh mana capaian yang telah diperoleh, kesan-kesan peserta, dan harapan mereka setelah kembali ke instansi asal. Demikian pula disampaikan juga seperti apa harapan panitia dan fasilitator kepada seluruh peserta.
Prakondisi yang Diperlukan Modul pelatihan ini disusun untuk digunakan di wilayah-wilayah yang memiliki banyak perbedaan. Ada daerah yang implementasi keterbukaan informasinya lebih maju dibanding daerah lain. Ada juga daerah yang cakupan wilayahnya lebih luas dibandingkan yang lain, sehingga mekanisme pelayanannya lebih sulit. Meskipun ada perbedaan-perbedaan dasar di lokasi pelatihan awal, modul ini disusun dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip dasar keterbukaan informasi, sehingga bisa disesuaikan dengan kondisi riil daerah lain. Untuk daerah-daerah yang lebih maju pelaksanaan keterbukaan informasi publik, contoh-contoh kasus riil perlu disampaikan sebagai bahan diskusi lanjutan. Sebaliknya, di daerah yang masih memasuki tahap awal pengembangan infrastruktur keterbukaan informasi, fokus pelatihan lebih pada pengenalan. Untuk itu, fasilitator perlu memahami daerah di mana pelatihan ini dilaksanakan, sehingga fasilitator mampu mengembangkan materi yang ada dalam modul.
Kualifikasi Fasilitator dan Narasumber Fasilitator • Percaya dan meyakini konsep serta filosofi yang mendasari lahirnya modul ini, terutama mempercayai keniscayaan keterbukaan informasi sebagai hak asasi manusia yang harus dipenuhi.
6
• Percaya pada proses dan teknik partisipatif dalam pelatihan sebagai cara untuk membantu peserta memahami masalah dan mampu menjalankan tugas-tugas pelayanan informasi dengan baik. • Percaya adanya kebutuhan untuk mengubah perilaku dan pandangan peserta mengenai manfaat keterbukaan informasi bagi tugas-tugas Badan Publik. • Mampu memahami isu-isu yang dibahas dalam modul, termasuk bahan bacaan. • Mampu bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan dalam sesi pelatihan. • Berpandangan luas sehingga mampu memberikan contoh-contoh pembanding yang sesuai dengan daerah tempat pelatihan. • Menguasai peraturan perundangan, terutama yang berkaitan dengan keterbukaan informasi dan juga termasuk peraturan perundangan yang punya korelasi kuat dengan keterbukaan informasi. • Memahami dan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi mengenai daerah tempat pelatihan. Narasumber • Mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman tentang UU KIP dan peraturan pelaksanaanya. • Memiliki kemampuan presentasi dan ceramah dalam suasana komunikatif dan partisipatif. • Memahami teknis hukum penyelesaian sengketa informasi. • Menguasai pola-pola umum pengelolaan dan pelayanan informasi. • Mempunyai semangat dan paradigma tentang keterbukaan informasi.
7
Sesi - 1
PERKENALAN dan BINA SUASANA
Sesi - 1
PERKENALAN dan BINA SUASANA Pengantar Pemahaman tentang keterbukaan informasi menjadi kunci keberhasilan pelayanan informasi semua pemangku kepentingan, terutama petugas kunci seperti Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan Atasan PPID. Pelatihan terintegrasi yang mengedepankan isu-isu sentral pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu upaya untuk memberikan pemahaman itu. Dalam pelatihan, penting bagi penyelenggara untuk memahami bahwa suasana cair, penuh persaudaraan dan kebersamaan, serta sokongan penuh peserta sangat diharapkan. Untuk itulah, perkenalan dan bina suasana menjadi awal dari pelatihan ini.
11
Tujuan
• Peserta bisa saling mengenal dan mampu membangun kebersamaan di antara mereka.
Metode
• Curah pendapat
Waktu
alat Bantu Belajar
30 menit
• Guntingan kertas • Bola kecil • Wadah untuk guntingan kertas
Catatan untuk Fasilitator
• Sebelum memulai sesi ini, fasilitator sudah menuliskan nama masing-masing peserta pada guntingan kertas kecil. Nama itu nanti akan dipilih oleh peserta. Jika peserta memilih nama sendiri, maka dia diminta memilih ulang sampai terpilih nama orang lain. • Setelah selesai sesi perkenalan, fasilitator mengantarkan peserta ke dalam sesi yang disebut ‘Sahabat Rahasia’. Peserta menyimpan satu nama lain yang ia rahasiakan sampai saat penutupan pelatihan. Jika jumlah peserta ganjil, maka seorang panitia harus ikut menjadi sahabat rahasia. • Fasilitator dapat mengembangkan metode perkenalan lain yang dirasakan sesuai dengan kebutuhan di tempat pelatihan.
12
Tahapan Proses • Pembukaan (5 menit). Fasilitator menjelaskan maksud dan tujuan sesi ini sekaligus memperkenalkan diri dan panitia. • Sesi perkenalan (15 menit). Sesi ini dilakukan secara melingkar, berdiri di depan kelas. Untuk tahap pertama, fasilitator melempar bola ke satu orang peserta secara acak. Peserta yang menerima bola diminta memperkenalkan diri (nama, asal instansi, latar belakang pendidikan, hobi, dan personifikasi diri lainnya). Selanjutnya, peserta dimaksud melempar bola secara acak ke peserta lain. Proses ini dilanjutkan hingga semua peserta memperkenalkan diri. Sebaiknya, nama peserta dituliskan dan ditaruh di bagian depan untuk memudahkan juga bagi fasilitator mengingat identitas peserta. • Sesi ‘Sahabat Rahasia’ (10 menit). Setelah selesai perkenalan, satu per satu peserta (secara bergiliran) diminta memilih salah satu guntingan kertas berisi nama-nama peserta. Fasilitator meminta peserta untuk merahasiakan nama yang dipilih sampai saat penutupan pelatihan. Selama masa pelatihan, peserta harus berusaha mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari sahabat rahasianya tanpa ketahuan. • Penutupan (5 menit). Fasilitator menutup acara perkenalan dan meminta peserta mempersiapkan diri mengikuti sesi berikutnya.
13
Sesi - 2
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK: KEGIATAN versus PELAYANAN
Sesi - 2
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK: KEGIATAN versus PELAYANAN Pengantar Rezim keterbukaan informasi menjadi bagian penting dan tidak bisa dilepaskan dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu prasyarat mencapaigood governance adalah keterbukaan. Hal ini berlaku untuk pemerintahan di tingkat pusat, daerah, dan bahkan hingga desa. Pemerintahan terbuka menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatoris. Oleh karena itu, semakin terbuka suatu pemerintahan, maka penyelenggaraannya semakin bisa dipertanggungjawabkan. Keterbukaan dituntut bukan hanya dari induk kelembagaan (di pemerintahan pusat), tetapi juga dari cabang-cabang kelembagaan di daerah (di pemerintahan daerah). Penyelenggara pemerintahan di daerah dituntut untuk lebih akuntabel dan transparan karena pada prinsipnya merekalah yang berhadapan langsung dengan rakyatdi era otonomi daerah saat ini. Menurut Mas Achmad Santosa (2001:22), pemerintahan mensyaratkan adanya jaminan atas lima hak, yaitu:
terbuka
a. Memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya. b. Memperoleh informasi. c. Terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik.
17
d. Kebebasan berekspresi yang antara lain diwujudkan dalam kebebasan pers. e. Mengajukan keberatan terhadap penolakan atas hak-hak terdahulu. Prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sudah dituangkan ke dalam format kebijakan di hampir semua Badan Publik. Program dan kegiatan Badan-Badan Publik selalu mendasarkan diri pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Di sisi lain, entitas bisnis sudah menjalankan prinsip itu menjadi good corporate governance. Namun, adopsi tata kelola pemerintahan yang baik dalam kebijakan lembaga ini, belum diimbangi pelayanan publik yang baik. Transparansi dan akuntabilitas masih sebatas kegiatan internal lembaga yang belum sepenuhnya diimplementasikan dalam bentuk-bentuk pelayanan publik. UU KIP justru lahir antara lain karena keinginan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Sesi ini akanlebih fokus untuk menjelaskan argumentasi filosofis, yuridis, dan sosilogis kehadiran UU KIP. Selain itu, akan juga menjelaskan bagaimana upaya mendorong UU KIP agar bisa dilaksanakan dalam pelayanan publik.
18
Tujuan
• Peserta memahami perubahan paradigma atau pemikirantentang penyelenggaraan pemerintahan dari yang semula hanya menjalankan kegiatan menjadi berbasis melayani. • Peserta memahami keuntungan yang mereka peroleh ketika menjalankan paradigma melayani dalam melaksanakan pekerjaannya. • Peserta memahami konsep dasar pelayanan publik.
Metode
• Pemutaran film pendek • Curah pendapat • Ceramah
Waktu
alat Bantu Belajar
90 menit
• Kertas • Plano • Spidol • Proyektor
Media
• Film pendek • Bahan presentasi • Bahan bacaan
Catatan untuk Fasilitator
• Sesi ini pada prinsipnya berusaha mengakrabkan antarpeserta dan peserta dengan fasilitator. • Pengantar dan presentasi fasilitator sangat berperan dalam mempengaruhi cara pandang peserta tentang pentingnya kelahiran UU KIP dan implikasinya pada pekerjaan mereka untuk melayani publik. • Fasilitator harus sudah mempersiapkan film, bahan bacaan, dan alat-alat yang dibutuhkan sebelum sesi dibuka.
19
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi ini dan menjelaskan secara singkat tema yang akandibahas. Pemutaran film pendek (20 menit) • Fasilitator menjelaskan maksud dan tujuan pemutaran film. • Fasilitator meminta semua peserta menyimak film secara seksama karena kemudianakan dimintai pendapatnya. • Film yang diputar berkaitan dengan konsep open government atau pemerintah yang terbuka, reformasi birokrasi, dan pelayanan publik yang baik. Mencatat resume film (10 menit) • Setelah film selesai diputar, fasilitator meminta masing-masing peserta memberikan pendapat. Seandainya jumlah peserta sangat banyak dan waktunya tidak memungkinkan untuk meminta pendapat setiap peserta, silakan curah pendapat dilakukan berdasarkan kelompok. Curah pendapat (30 menit) • Peserta diminta memberikan pendapat mengenai cerita film dikaitkan dengan kondisi riil birokrasi dan pelayanan. Fasilitator kemudian memberi kesempatankepada peserta satu per satu untuk mengemukakan pendapatnya. • Pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus dijawab oleh peserta berdasarkan film pendek adalah: 1. Apa pendapat peserta mengenai cerita film itu? 2. Apakah pernyataan dalam film itu mengandung kebenaran? 3. Mengapa kekhawatiran dalam film itu muncul? 4. Bagaimana seharusnya penyelenggara negara bersikap agar hal-hal yang dikhawatirkan tidak muncul? 5. Apa yang harus diperbaiki? • Fasilitator mencatatkan poin-poin curah pendapat di kertas plano. Presentasi (20 menit) • Fasilitator menayangkan dan menjelaskan secara singkat bahan Bahan Presentasi. Bahan Presentasi sebisa mungkin sangat relevan dengan tema yang dituangkan
20
dalam bahan bacaan. • Fasilitator mempersilakan satu dua orang peserta mengajukan pertanyaan atau pendapat tentang presentasi fasilitator. Penutup (5 menit) • Fasilitator menutup sesi dan meminta peserta untuk beristirahat sebelum lanjut ke sesi berikutnya.
Bahan Bacaan 2.1 Fenomena Youtube dan Transparansi Beberapa bulan memimpin Jakarta, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahya Purnama telah membuat sejumlah terobosan dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. Salah satunya mengunggah (upload) secara acak kegiatan rapat-rapat yangbiasanya tertutup ke dalam jejaring sosial youtube. Wakil Gubernur DKI Jakarta yang biasa dipanggil Ahok memulai hal baru itu sebagai bagian dari transparansi. Baginya, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dalam rapat yang membahas masalah rakyat. Apalagi kalau membahas anggaran yang sebagian besar diperoleh dari pajak rakyat. Rapat yang dipimpin Ahok kini bisa diakses oleh siapa saja melalui youtube. Rapat dengan Dinas Pekerjaan Umum misalnya. Penonton video berdurasi 45,59 menit itu terus bertambah. Hingga pukul 19.41 WIB pada 16 November 2012, penontonnya sudah lebih dari satu juta orang. Demikian pula rapat dengan Dinas Pendidikan. Sebagian besar penonton memuji diunggahnya rapat pejabat dengan jajarannya ke media sosial, dan hanya sebagian kecil yang menilai negatif. Kepala Bagian Humas Pemprov DKI Jakarta, Eko Hariadi, mengatakan video rapat sengaja diunggah ke youtube agar masyarakat luas tahu seperti apa sebenarnya rapat yang terjadi. Ini juga bagian dari upaya memberikan informasi mengenai kinerja Pemprov DKI ke masyarakat.1 Mengunggah rapat ke dalam youtube adalah bagian dari transparansi. Beberapa pemda sudah memanfaatkan jejaring sosial untuk menyampaikan beragam informasi kepada masyarakat. Tetapi masih sedikit yang menggunggah rapat ke dalam youtube karena pemikiran bahwa proses rapat adalah informasi tertutup. Ahok sudah membuktikan sebaliknya, dan berpendapat membuka proses rapat justru menghindari kongkalikong dan pembicaraan ‘di bawah meja’. Memanfaatkan jejaring sosial untuk menyebarkan informasi bukanlah sesuatu yang salah. Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan pemenuhan hak atas informasi itu bisa dilakukan dengan semua saluran yang tersedia. Senada dengan hal itu, pasal 7 ayat (6) UU KIP Kompas, (edisi cetak)17 November 2012, hal. 26.
1
21
menyebutkan Badan Publik dapat memanfaatkan sarana atau media elektronik dan nonelektronik dalam menjalankan tugas transparansi dan akuntabilitas.
Bahan Bacaan 2.2 Empat Persepsi Keliru tentang Keterbukaan Informasi Persepsi-1: Keterbukaan mendorong akulturasi negatif yang merugikan masyarakat. Argumentasi: •
Akses informasi sangat deras dari luar melalui media TV dan internet, terutama jejaring sosial. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak guncangan dan perubahan nilai-nilai budaya Indonesia yang santun.
Klarifikasi: •
UU KIP tidak dimaksudkan untuk meletakkan kewajiban pengelola sumberdaya publik untuk membuka akses informasi sebagai bagian dari akuntabilitas publik dan kontrol masyarakat. UU KIP tidak bertujuan mengesahkan informasi-informasi yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan dan moralitas yang berasal dari media elektronik. Aparat penegak hukum tetap dapat menggunakan hukum pidana (KUHP, UU ITE, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pornografi).
Persepsi-2: Keterbukaan mengancam kedaulatan bangsa dan negara. Argumentasi: •
Informasi-informasi penting dan strategis terutama mengenai pertahanan dan keamanan, sumber daya alam, dan kebijakan politik luar negeri kalau dibuka dapat mengancam kedaulatan negara.
Klarifikasi: •
Indonesia tidak mungkin menghindar dari globalisasi.
•
UU KIP justru mengenal dan mengatur pengecualian informasi (exemption) dan kerahasiaan informasi (secrecy), termasuk misalnya kategori informasi yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
Persepsi-3: Keterbukaan menyuburkan suasana ketidakamanan. Argumentasi: •
22
Keterbukaan informasi dapat menyuburkan konflik-konflik horizontal dan vertikal yang bersifat kekerasan sehingga mengganggu stabilitas sosial dan keamanan.
Sesi-2 : Tata Pemerintahan yang Baik: Kegiatan versus Pelayanan
•
Keterbukaan informasi bisa menimbulkan gesekan antarkelompok dalam masyarakat karena munculnya pernyataan-pernyataan rasial dan merendahkan kelompok lain.
Klarifikasi: •
Salah satu sumber konflik kekerasan adalah kesenjangan sosial dan ekonomi, misalnya ketidakadilan dalam pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah penghasil. Manajemen pemerintahan yang tertutup justru membuat mudah saling curiga dan ketidakjelasan mekanisme penyelesaian konflik berpotensi menjadi sumber konflik baru.
•
UU KIP justru mendorong semua Badan Publik untuk membuat pertimbangan tertulis atas suatu kebijakan dan ini bisa diakses publik.
Persepsi-4: Keterbukaan dapat menghambat penegakan hukum. Argumentasi: •
Proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana terhambat dan terganggu jika keterbukaan diberlakukan, misalnya akan mengalami kesulitan mengejar pelaku lain jika dibuka informasinya sejak awal.
Klarifikasi: •
Keterbukaan justru bisa dimanfaatkan untuk membantu upaya penegakan hukum, seperti menemukan korban penculikan, menemukan pelaku kejahatan, dan mengurai modus kejahatan.
•
Keterbukaan bisa mengurangi stigma negatif masyarakat terhadap aparat penegak hukum, bahwa mereka mempermainkan kasus demi kepentingan pribadi dan kelompok. Keterbukaan memberi ruang pengawasan terhadap perilaku menyimpang aparat.
Bahan Bacaan 2.3 Reinventing Government (Menciptakan Kembali Pemerintah) Salah satu gagasan yang dikembangkan dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik adalah konsep reinventing government. Konsep ini dicetuskan dan dikembangkan pertama kali oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Mereka terpengaruh pandangan Peter Drucker tentang kebangkrutan pemerintahan birokratis. Osborne dan Gaebler berpendapat, untuk menggantikan sistem birokrasi dengan sistem entrepreneurial (kewirausahaan), perlu diciptakan organisasi dan sistem pemerintahan yang kaya inovasi dan terus memperbaiki kualitasnya. Reinvention membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan yang belum dapat diantisipasi. Reinventing
23
menciptakan organisasi yang mampu memperbaiki efektivitas dalam setiap lingkungan yang berubah.2 Untuk menciptakan pemerintahan yang berkarakter baru reinvention, Osborne dan Gaebler menawarkan 10 prinsip, yaitu: 1. Pemerintahan katalis, dalam arti lebih mengarahkan daripada mengayuh. 2. Pemerintahanharus sungguh-sungguh menjadi milik rakyat. Aparat pemerintah menjadi katalisator dalam menyadarkan masyarakat untuk menyadarkan mereka sendiri. 3. Pemerintahan yang kompetitif, dalam arti menyuntikkan persaingan ke dalam pelayanan. 4.
Pemerintahan yang digerakkan oleh misi, mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
5. Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan. 6. Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan kebutuhan birokrasi. 7. Pemerintahan wirausaha:menghasilkan ketimbang membelanjakan. 8. Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. 9. Pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. 10. Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Dengan menggunakan 10 prinsip Osborne dan Gaebler, pemerintahan daerah manapun bisa melakukan cek ulang tentang kegiatan, program, dan pelayanan yang diberikan. Kesepuluh prinsip itu pada akhirnya memunculkan nilai akhir yang harus diperiksa, yaitu: kemampuan menciptakan cara berpikir dan bertindak yang baru bagi setiap penyelenggara pemerintahan. Inilah yang melahirkan penyelenggara pemerintahan yang terus berinovasi, bukan menyandarkan diri semata pada birokrasi.
Boks Bahan Bacaan 2.3 Kepala Daerah Pelayan Masyarakat Wali Kota Yogyakarta 2001-2011, H. Herry Zudianto, merupakan salah satu contoh kepala daerah yang dianggap berhasil melakukan inovasi-inovasi seperti disinggung Osborne dan Gaebler. Selama menjabat banyak kebijakan Herry yang mendapat pengakuan dan penghargaan. Ada sekitar 100 penghargaan yang dia terima selama dua periode menjabat. David Osborne dan Ted Gaebler. Mewirausahakan Birokrasi. Penerjemah Abdul Rosyid. Jakarta: Binaman Pressindo, 1995. 2
24
Untuk mengurangi hambatan birokratis, Herry lebih menyebut dirinya sebagai Kepala Pelayan Masyarakat Yogyakarta ketimbang walikota. Ia mengaku sangat senang melayani masyarakat. Melayani masyarakat bisa memberi keuntungan pribadi, karena berarti merasakan bagaimana dipercaya, mendengar, sensitif terhadap keluhan, dan mengerti apa yang diharapkan oleh warga masyarakat. Semakin banyak mendengar masyarakat semakin banyak inovasi yang bisa dihasilkan. Salah satu inovasi yang dikembangkan dari hasil mendengar langsung suara masyarakat adalah pembangunan Taman Pintar. Pembangunan Taman Pintar bukan saja memperlancar arus lalu lintas di sekitar Malioboro, tetapi juga memungkinkan Taman itu menjadi salah satu tujuan wisata karena dibangun tak jauh dari lokasi wisata utama di Yogyakarta. Herry menyadari peran masyarakat sangat menentukan keberhasilannya memimpin Yogyakarta. Untuk berinteraksi dengan masyarakat ia juga menyediakan waktu khusus dalam program ‘Wali Kota Menyapa’, berupa dialog interaktif dengan warga di empat radio lokal. Ada banyak contoh kepala daerah yang menjadikan pelayanan masyarakat sebagai basis kepemimpinan mereka sehingga mendapatkan penghargaan. Salah satu ciri khas pemimpin yang demikian adalah keterbukaan birokrasi yang dipimpinnya. Dinukil dari: Kardi, SH, et all., H. Herry Zudianto, Wagiman (Wali Kota Gila Taman) Kepala Pelayan Masyarakat Yogya 2001-2011), diterbitkan Pohon Cahaya, Desember 2011.
Bahan Bacaan 2.4 Pengadaan Barang/Jasa Salah satu sektor yang menjadi objek pengembangan dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik adalah pengadaan barang/jasa. Kongkalikong dalam pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintahan telah menjadi ‘penyakit’ birokrasi selama puluhan tahun. Hal ini telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Akses masyarakat menjadi terhambat karena persaingan yang tidak sehat. Dalam rangka itulah pemerintah mengembangkan Layanan Pengadaan Barang/ Jasa Secara Elektronik (LPSE) sebagai wujud pelayanan publik. Sebagai bagian dari pelayanan publik, pengadaan barang/jasa dituntut berlangsung secara transparan, terbuka, akuntabel, dan tidak diskriminatif. Layanan ini juga mengandalkan kecepatan, murah, efisien, dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Definisi • Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/
25
jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi (K/L/ D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. • LPSE adalah unit kerja K/L/D/I yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Tujuan Agar pelaksanaan pengadaanbarang/jasa dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Dasar hukum Dasar hukum pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah sudah berkalikali berganti. Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dibuat untuk menggantikan Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Keppres No. 80 Tahun 2003 bahkan sampai mengalami perubahan sampai tujuh kali. Terakhir, muncul Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pakta integritas • Setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pimpinan pengadaan barang/jasa wajib menandatangani Pakta Integritas; • Pakta Integritasadalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam pengadaan barang/jasa. LKPP • Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. • Dibentuk berdasarkan Perpres No. 106 Tahun 2007tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. • Fungsi LKPP adalah: a. Menyusun kebijakan, regulasi, norma, standar, prosedur, manual dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah termasuk pengadaan badan usaha dalam rangka kerjasama pemerintah dengan badan usaha. b. Menyusun strategi, kebijakan, rencana, program pembinaan SDM serta sistem pengujian kompetensi profesi di bidang pengadaan barang/jasa
26
pemerintah. c. Memberikan bimbingan teknis, advokasi, pendapat, rekomendasi dan tindakan koreksi, bantuan, nasehat, pendapat hukum dan kesaksian ahli terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. d. Menyusun kebijakan dan sistem pemantauan, penilaian dan evaluasi pelaksanaan proses pengadaan barang/jasa pemerintah, melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan pengembangan sistem electronic procurement. • LKPP diberikan akses informasi terhadap pengadaan barang/jasa secara elektronik di semua instansi pemerintah, termasuk pemerintahan daerah.
Boks Bahan Bacaan 2.4 LPSE Jabar Hasilkan Efisiensi Rp1,6 Triliun Bandung, Kompas –Pemerintah Provinsi Jawa Barat mewajibkan dinas dan lembaga di lingkungannya menggunakan Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik. Sejak layanan ini diterapkan hingga Oktober 2012, terbukti menghasilkan efisiensi Rp1,6 triliun melalui 11. 000 transaksi. Adapun nilai APBD Jabar tahun 2011/2012 sekitar Rp12 triliun. Hal itu ditegaskan Kepala Balai Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Jawa Barat Ika Mardiah di Bandung, Rabu (31/10). Pemprov Jabar juga mengajak bupati/walikota, instansi vertikal dan BUMD, serta perguruan tinggi menggunakan LPSE. Electronic procurement (e-proc) ini merupakan pengadaan barang/jasa dengan teknologi informasi dan komunikasi berbasis web sehingga dapat diakses penyedia barang/jasa melalui internet. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menjelaskan, penggunaan e-proc memungkinkan penyedia di mana pun untuk ikut dalam tender yang dilakukan pemerintah. Hal itu merupakan wujud keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang selama ini disinyalir berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). “LPSE Jabar merupakan bagian dari upaya reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,” ujarnya. Sejak 2009, atau setahun setelah menjabat gubernur Jabar, Heryawan menetapkan kebijakan penerapan e-proc dalam pengadaan barang/jasa. Dukungan yang kuat dalam penerapan e-proc menjadikan Balai LPSE Provinsi Jawa Barat sebagai yang terbesar di Indonesia, baik dari sisi pengguna maupun transaksi. “Sudah 100 instansi menggunakannya melalui 17. 000 penyedia layanan,” kata Ika Mardiah. LPSE Jabar terus meningkatkan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, sarana dan prasarana, serta kemampuan SDM pengelola. Didukung ISO 9001:2008.
27
Menurut Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Suhardjo, pihaknya menyediakan whistleblowing system (WBS) melalui situs www.lkpp.go.id untuk menekan penyelewengan ataupun KKN dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. “Kami mencontoh KPK yang terbukti berhasil dalam menyediakan pengadaan melalui website,� jelas Agus. Sumber: Kompas (edisi cetak), Kamis 1 November 2012, hal. 21
Bahan Presentasi Tujuan UU KIP Jaminan Perlindungan • UU KIP memberi jaminan yuridis bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mengetahui: 1. Rencana pembuatan kebijakan publik. 2. Proses pembuatan kebijakan publik. 3. Proses pengambilan keputusan publik. 4. Alasan pengambilan keputusan publik. Mendorong Partisipasi UU KIP mendorong agar masyarakat di semua tingkatan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik. Menaikkan Peran Aktif (Tingkat Partisipasi) UU KIP diharapkan meningkatkan atau menaikkan tingkat partisipasi masyarakat, terutama dalam dua hal, yaitu: 1. Pengambilan kebijakan publik. 2. Pengelolaan Badan Publik yang baik. Mewujudkan Akuntabilitas UU KIP berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan efisien, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan. Memberi Tahu Alasan Kebijakan Melalui UU KIP, kita dapat mengetahui alasan pilihan suatu kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pelayanan air, pertanahan, dan sumber daya alam.
28
Pengembangan Pengetahuan Masyarakat dan Badan Publik dapat mengembangkan pengetahuan mengenai banyak hal, setelah memperoleh informasi baik yang langsung disediakan maupun melalui mekanisme perolehan informasi publik. Meningkatkan Kualitas Pelayanan UU KIP memuat hak dan kewajiban Badan Publik, sehingga mereka terdorong terus meningkatkan kualitas pelayanan dan kualitas informasi.
29
Sesi - 3
INFORMASI PUBLIK versus INFORMASI PRIVAT
Sesi - 3
INFORMASI PUBLIK versus INFORMASI PRIVAT Pengantar Selama pemerintahan orde baru berkembang pemikiran bahwa semua informasi tertutup kecuali yang dinyatakan terbuka. Kemudian lahir era reformasi yang membalikkan paradigma tadi, yakni menjadi semua informasi bersifat terbuka kecuali yang dinyatakan tertutup. Perubahan paradigma itu tampak jelas dari sejumlah perundang-undangan yang lahir sejak era reformasi. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Program Pembangunan Nasional secara eksplisit mengamanatkan penyusunan Undang-Undang tentang kebebasan dan transparansi informasi. Setelah itu, terbit cukup banyak peraturan yang menganut prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas. Puncaknya adalah ketika lahir Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU KIP ini memberikan pengakuan dan jaminan atas mekanisme dan kepastian akses informasi. Jaminan ini penting untuk mendorong penyelenggara Badan Publik bersikap profesional dan beritikad baik memberikan informasi kepada masyarakat yang membutuhkan.1 Secara umum, informasi dapat dibedakan atas: informasi privat dan informasi publik. Karakteristik utama informasi privat adalah tidak boleh diakses dan digunakan orang lain kecuali diizinkan oleh si pemilik. Sebaliknya, informasi Koalisi untuk Kebebasan Informasi. Melawan Ketertutupan Informasi Menuju Pemerintahan Terbuka. Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2003, hal. 27. 2
33
publik bisa diakses dan dipergunakan semua orang kecuali segelintir orang yang dilarang. Kedua-duanya mengenal pelarangan akses, meskipun berbeda tujuan. Pada informasi privat, pelarangan akses dimaksudkan untuk melindungi hak-hak pribadi dan personal pemilik informasi. Sebaliknya, pada informasi publik, pelarangan akses dimaksudkan untuk melindungi kepentingan bersama. UU KIP menggunakan sebutan informasi publik dan informasi yang dikecualikan. Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya sesuai UU KIP serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Informasi publik meliputi semua informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, yang terdiri dari: a. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala. b. Informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta. c.
Informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Jumlah informasi rahasia lebih sedikit dibanding informasi publik. Bahkan informasi privat bisa berubah menjadi informasi publik jika terpenuhi kondisi tertentu. Pertama, ada persetujuan dari yang bersangkutan. Misalnya, membuka catatan medis seseorang artis yang sedang sakit dimungkinkan jika si artis memberi izin. Kedua, jika berkaitan dengan jabatan publik. Bahkan dalam beberapa peraturan sebelum menjadi pejabat publik (masih dalam tahap seleksi), sejumlah informasi privat terungkap ke publik sehingga sifat kerahasiaan informasi privat itu cenderung hilang.
34
Tujuan
• Peserta memahami makna informasi publik dan informasi privat. • Peserta mampu menjelaskan perbedaan informasi publik dan informasi privat di lingkungan kerja mereka. • Peserta memahami perlakuan yang harus dilakukan terhadap informasi publik dan informasi privat.
Metode
• Ceramah • Studi kasus (case study)
Waktu
alat Bantu Belajar
100 menit
• Kertas • Plano • Spidol
Media
• Bahan presentasi • Bahan bacaan
Catatan untuk Fasilitator
• Fasilitator diharapkan membangun suasana rileks dalam membuka presentasi di sesi ini. Kemudian mengajak peserta untuk menjawab pertanyaan: Apa pandangan Anda terhadap informasi daftar gaji pegawai? Apakah informasi itu boleh diketahui orang lain? • Fasilitator harus sudah menyiapkan contoh kasus yang sesuai dengan konteks lokasi/daerah pelatihan. Fasilitator diharapkan memberikan contoh kasus yang dekat dengan warga atau meminta peserta menceritakan langsung kasus yang mereka hadapi untuk kemudian dibahas bersama. Salah satu kasus yang bisa dibahas adalah penerimaan pegawai negeri sipil. • Fasilitator membagi peserta ke dalam empat kelompok. • Agar pembahasan tidak melebar terlalu jauh, fasilitator memberikan contoh konkret berupa daftar gaji pegawai dan formulir isian identitas diri.
35
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator memulai sesi dengan me-review atau mengulang kembali materi yang telah dibahas di sesi-1 secara singkat, lalu menjelaskan maksud dan tujuan sesi-2 ini. • Fasilitator meminta satu atau dua peserta menyampaikan ulasan materi dari sesi1dan harapan mereka untuk sesi berikutnya. Presentasi (15 menit) • Fasilitator mempresentasikan perubahan paradigma dari ketertutupan informasi ke rezim keterbukaan informasi beserta implikasinya sesuai amanat UU KIP. Termasuk di dalamnya asas-asas keterbukaan informasi yang kini mulai diterapkan, dan dampak positif pelaksanaan UU KIP bagi pelayanan publik. • Fasilitator mengulas dan menjelaskan sekilas jenis-jenis informasi yang dikenal dalam UU KIP. • Salah satu contoh yang bisa disinggung fasilitator adalah keterbukaan sistem penerimaan pegawai negeri sipil. Curah pendapat (30 menit) • Fasilitator meminta satu atau dua orang peserta untuk menjelaskan sistem penerimaan CPNS di daerah itu: Apakah sudah ada perubahan sekarang? Apa bentuk perubahannya? Apakah lebih terbuka? Sejak kapan? • Fasilitator meminta satu atau dua peserta menceritakan bidang apa saja yang paling berubah di daerah itu dalam hal penyediaan informasi dan apa saja alasan di balik perubahan itu. • Fasilitator memilih tema yang sesuai dengan daerah yang bersangkutan. Presentasi (15 menit) • Fasilitator memberikan presentasi atau ceramah mengenai informasi privat dan informasi publik yang ada dalam suatu Badan Publik. (Catatan: peserta sudah dibagi ke dalam kelompok) • Selanjutnya, fasilitator meminta setiap kelompok menuliskan di atas kertas apa saja informasi privat dan informasi publik di tempat kerja mereka. Curah pendapat (30 menit) • Fasilitator meminta peserta menjelaskan apa yang sudah ditulis di kertas plano.
36
• Dalam beberapa hal, fasilitator dapat menyela dan mengajukan pertanyaan tentang argumentasi peserta. • Fasilitator mencatat di kertas plano, informasi yang oleh sebagian besar peserta dianggap sebagai informasi privatdan informasi publik. Penutup (5 menit) • Fasilitator memberikan tanggapan umum atas curah pendapat peserta dan menutup sesi dengan mengingatkan pentingnya sesi berikutnya.
Bahan Bacaan 3.1 Membuka Kebijakan Penataan Ruang Kebijakan penataan ruang selama puluhan tahun menjadi teka-teki bagi sebagian anggota masyarakat.Apasaja yang akan dibangun di wilayah selatan kota, atau dimana rencana lokasi lapangan terbang dibuka, seolah berada di ruang tertutup yang diselimuti jendela-jendela tebal. Hanya segelintir orang yang tahu informasi tentang penataan ruang, sehingga membuka celah penyimpangan. Akibatnya, seringkali terjadi perubahan fungsi lahan atau ruang tanpa diketahui masyarakat sekitar. Misalnya, stadion diubah menjadi mal. Ombudsman Republik Indonesia, hingga Oktober 2012, telah menerima tidak kurang dari 62 pengaduan masyarakat terkait kebijakan penataan ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi dokumen penting dalam rangka penataan ruang yang harus dibuka. Penataan ruang adalah suatu sistem yang meliputi: a. Perencanaan tata ruang. b. Pemanfaatan ruang. c.
Pengendalian pemanfaatan ruang.
Kini, kebijakan penataan ruang yang tertutup tidak bisa dipertahankan lagi. Kebijakan penataan ruang harus bisa diakses publik. Pasal 1 huruf e Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memuat prinsip keterbukaan sebagai salah satu pegangan bagi pejabat pemerintah. Prinsip ini mengandung arti bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. Pemerintah pusat dan daerah juga dibebani kewajiban yuridis untuk membuka ‘jendela’ informasi tentang tata ruang. Kewajiban itu dibarengi dengan hak masyarakat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
37
Selain mengajukan gugatan ganti rugi, masyarakat mempunyai hak lain dalam kebijakan penataan ruang, yaitu: a. Mengetahui rencana tata ruang. b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. c. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang. Kewajiban Menyebarkan Informasi Tata Ruang Pem. Pusat Pem. Provinsi Pem. Kab/Kota • Menyebarluaskan • Menyebarluaskan • Menyebarluaskan informasi yang berkaitan informasi yang berkaitan informasi yang berkaitan dengan: (1) Rencana dengan: (i) Rencana dengan rencana umum dan rencana umum dan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rinci tata ruang dalam rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan rangka pelaksanaan rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah penataan ruang wilayah penataan ruang wilayah nasional; (ii) Arahan provinsi; (ii) Arahan kabupaten/kota. peraturan zonasi peraturan zonasi • Melaksanakan standar untuk sistem nasional untuk sistem provinsi pelayanan minimal yang disusun dalam yang disusun dalam bidang penataan ruang rangka pengendalian rangka pengendalian pemanfaatan ruang pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan wilayah provinsi; dan (iii) (iii) Pedoman bidang Petunjuk pelaksanaan penataan ruang. bidang penataan ruang. • Menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
• Melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Infrastruktur jalan sebagai salah satu sarana vital penghubung antardaerah juga bukan sesuatu yang perlu dirahasiakan. Penyelenggaraan jalan, sesuai amanat Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan bisa diketahui oleh masyarakat, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan penyelenggaraannya. Pasal 63 UUini secara tegas memuat hak masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan jalan.
38
Boks Bahan Bacaan 3.1 Ahok Undang LSM dan Akademisi Bahas RDTR Rencana tata ruang harus dibuka agar warga bisa mengetahui dan memberi masukan. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengundang sejumlah akademisi dan anggota LSM ke Balai Kota untuk membahas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Jakarta, Rabu (31/10) hari ini. Dalam pertemuan ini, Ahok didampingi sejumlah pejabat DKI, di antaranya Kepala Dinas Tata Ruang Agus Subardono. Dalam pertemuan itu, akademisi dan LSM mendesak Pemda DKI agar membuka ruang selebarlebarnya bagi aspirasi warga dalam pembahasan RDTR Jakarta. Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, RDTR harus transparan agar masyarakat mengetahui secara pasti peruntukan wilayah dan ruang di Jakarta. ”RDTR harus dibuka, tidak boleh ada yang ditutup-tutupi karena ini untuk kepentingan masyarakat. Harus disosialisasikan dari tingkat kelurahan hingga paling atas,” kata Yayat. Jika RDTR diketahui oleh publik secara terbuka, warga dapat ikut mengawasi pelaksanaan tata ruang, sehingga penyalahgunaan peruntukan untuk tujuan komersil misalnya, dapat dikurangi. ”Intinya,” kata Yayat, “seperti yang disampaikan wagub, tidak ada lagi ruang di Jakarta yang dimiliki oleh sekelompok tertentu atau orang per orang. Ini milik masyarakat dan semuanya diberikan kesempatan. “ Sementara itu Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Agus Subardono mengatakan, pemerintah DKI menyambut masukan dari semua pihak untuk pembahasan RDTR yang nantinya akan menjadi produk hukum peraturan daerah yang mengikat masyarakat. ”Kita ingin memperbaiki yang kemarin dianggap sangat kurang. Makanya jangkauan kita akan sampai ke kelurahan. Tidak hanya dengan menyebarkan dokumen, tapi juga melalui media massa dan dunia maya agar jangkauannya lebih jauh,” ujarnya. Pemda DKI semula menargetkan akan mengesahkan Raperda RDTR, sebagai kelanjutan dari Perda RTRW, akhir tahun 2012 ini. Namun, pihak eksekutif menarik kembali dokumen RDTR dari DPRD DKI untuk direvisi, disesuaikan dengan program kerja Gubernur Joko WidodoBasuki lima tahun ke depan. Pemerintah DKI menyiapkan sosialisasi RDTR lewat situs http://sosialisasirdtrdkijakarta. com. Selain melihat rencana peruntukan, warga juga bisa ikut memberikan masukan melalui situs tersebut. Sumber: www. beritasatu. com, dipublikasikan 31 Oktober 2012, pukul 16. 27 WIB. Desember 2011.
39
Bahan Bacaan 3.2 Penerimaan CPNS di Indonesia Salah satu program reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah penataan ulang sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Untuk melakukan seleksi, kementerian telah menggandeng sepuluh perguruan tinggi negeri di Tanah Air. Kerjasama dengan pihak ketiga ini dimaksudkan antara lain untuk menghindari kolusi, korupsi, dan nepotisme, sekaligus membuat parameter atau standar kelulusan yang jelas sesuai kebutuhan riil formasi kepegawaian. Sistem pengadaan PNS terus dikembangkan. Tahapan-tahapan yang diperbaiki meliputi: (a) perencanaan, (b) pengumuman, (c) persyaratan, (d) pelamaran, (e) penyaringan, dan (f) pengangkatan. Perencanaan meliputi analisis kebutuhan tenaga pegawai berdasarkan formasi yang tersedia, baik sesuai keahlian maupun kebutuhan riil organisasi. Pengumuman penerimaan CPNS, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipildan diubah dengan PP No. 11 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat. Sistem penerimaan melalui elektronik bisa menekan komunikasi peserta dan panitia pengadaan yang mengarah pada penyimpangan. Dalam ujian pun, peserta tinggal mengisi Lembar Jawaban Komputer (LJK) yang hasilnya bisa diperoleh dalam waktu singkat. Perubahan-perubahan pada sistem penerimaan CPNS telah dituangkan lebih teknis ke dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan CPNS.
Boks Bahan Bacaan 3.2 Mayoritas CPNS Gagal Tes Kepribadian Jakarta—Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) menyatakan mayoritas calon pegawai negeri sipil (CPNS) tak lolos tes kepribadian. Dari 44.216 calon yang lolos passing grade, hanya 9.821 yang lolos tes kepribadian. Menpan dan RB Azwar Abubakar mengatakan dari 166.080 peserta tes kompetensi dasar (TKD) hanya 44.216 peserta atau 28,9 persen yang lolos passing grade (ambang batas). Namun jumlah itu tidak otomatis memenuhi seluruh formasi yang telah ditetapkan sebanyak 11.669 CPNS. “Hanya terpenuhi 9.821 orang atau sekitar 84,2persen. Sebanyak 1.848 formasi yang telah ditetapkan tidak terpenuhi,” ungkapnya di Jakarta, Jum’at (19/10).
40
Dia mengungkapkan, nilai tinggi belum tentu lulus TKD CPNS 2012, sebab dalam penentuan passing grade kelulusan, ada tiga kelompok soal yang harus dipenuhi. Ketiga kelompok itu adalah karakteristik pribadi, inteligensia umum, dan wawasan kebangsaan. Dari ketiganya, karakteristik pribadi merupakan faktor paling menentukan dan hal inilah yang menyebabkan banyak peserta dinyatakan tidak lolos. Menurut dia, dengan penerapan sistem ambang batas kelulusan untuk pertama kalinya dalam sejarah, banyak pelajaran yang bisa dipetik. Masih banyak pihak yang belum paham, meskip metode ini mirip sistem rapor di sekolah. Sebagai contoh, ada siswa yang nilai kumulatifnya tinggi, tetapi tidak naik kelas karena nilai mata pelajaran agama merah. “Ada peserta dari kelompok SMA yang mengadu nilainya 59, tetapi tak lulus. Padahal temannya yang nilainya hanya 36 justru lulus. Setelah ditelusuri, yang nilainya 36 setelah diperinci karakteristik pribadinya 25, inteligensia umum 6, dan wawasan kebangsaan 5. Adapun yang nilainya 59 ternyata karakteristik pribadi 19, inteligensia umum 20, dan wawasan kebangsaan 20,� ungkapnya. Dia menambahkan, pelamar untuk instansi pusat sebanyak 148.259, yang mengikuti tes hanya 121.005 orang. Mereka memperebutkan 9.034 kursi CPNS di 20 instansi. Dari jumlah itu terdapat 6.947 Lembar Jawaban Komputer yang tidak valid. Adapun peserta yang memenuhi passing grade sebanyak 32.744 orang atau 28,70 persen. Namun formasi yang terpenuhi hanya 8. 053 atau 86,60 persen, sehingga sebanyak 1.251 formasi tidak terpenuhi. Untuk 21 pemerintah daerah, formasi yang ditawarkan sebanyak 2.365 orang, tetapi yang terpenuhi hanya 1.768 atau 74,80 persen. “Ada 59 formasi yang tidak terpenuhi,� katanya. Tercatat sebanyak 54.207 orang mengajukan lamaran untuk menjadi CPNS di 21 pemerintah daerah. Dari jumlah itu hanya 45.075 yang mengikuti tes tertulis. Sayangnya, ada 6.030 LJK yang tidak valid. Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja mengapresiasi sistem seleksi CPNS yang melibatkan konsorsium 10 perguruan tinggi negeri. Melalui sistem ini, untuk pertama kalinya CPNS memiliki standar kompetensi dasar atau umum. Meskipun demikian, Naja meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengevaluasi para rektor yang tergabung dalam konsorsium karena banyak anggota Komisi yang mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas mereka. Sumber: harian Seputar Indonesia, edisi Minggu 21 Oktober 2012, hal. 3.
Bahan Bacaan 3.3 (Studi Kasus) Kasus Sengketa Penerimaan CPNS di Medan Penerimaan CPNS di jajaran Pemerintah Kota Medan, Sumatera Utara, untuk Tahun Anggaran 2010 telah menimbulkan persoalan. Sejumlah peserta yang dinyatakan tidak
41
lulus ingin memperjelas sebab-sebab ketidaklulusan mereka. Persoalan menjadi rumit karena ada perbedaan nama yang lulus melalui situs resmi panitia dengan pengumuman melalui media cetak. Ada beberapa nama yang tercantum di website hilang dari pengumuman versi cetak. Sebanyak 17 orang peserta memberikan kuasa kepada LBH Medan. Pada Januari 20122, mereka meminta: a. Panitia (Pemko Medan dan USU Medan) mengumumkan secara terbuka nomor, nilai, dan ranking seluruh peserta ujian; b. LJK dan kunci jawaban soal ujian untuk perbandingan dengan nilai yang diperoleh ke-17 peserta. USU menolak memenuhi permintaan itu dengan dalih informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan. Hasil ujian penerimaan CPNS memuat informasi mengenai kapasitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang. Informasi jenis ini dilarang dibuka berdasarkan pasal 17 butir 4 UU KIP. USU juga berdalih ada perjanjian dengan Pemkot Medan yang menegaskan seluruh hasil ujian akan diserahkan kepada Pemkot, sehingga Pemkot yang menentukan dan mengumumkan kelulusan. Kasus ini akhirnya masuk ke sidang ajudikasi Komisi Informasi Pusat. Pertanyaan dasar yang muncul dalam persidangan adalah: a. Apakah sebagian atau seluruh informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan? Informasi apa saja yang bersifat terbuka dan mana yang privat? b. Apakah ada kewajiban mengumumkan informasi yang diminta pemohon? c.
Siapa yang punya kewajiban memberikan informasi publik kepada pemohon?
Dalam putusan yang dibacakan 22 Juli 2011, Komisi Informasi Pusat memutuskan bahwa: a. Nomor ujian peserta seleksi CPNS Kota Medan yang diterima pada masingmasing formasi yang diikuti ke-17 pemohon adalah informasi yang bersifat rahasia. b. Daftar ranking dan nilai peserta seleksi adalah informasi yang terbuka. c. Salinan LJK yang telah dihitamkan atau dikaburkan pada bagian identitas peserta adalah informasi terbuka. d. Salinan kunci jawaban dan naskah soal ujian pada masing-masing formasi adalah informasi terbuka.
42
Sesi-3 : Informasi Publik versus Informasi Privat
Bahan Presentasi Asas-Asas Keterbukaan Informasi Asas-1
Asas-2
Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi.
Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
Asas-3
Asas-4
Setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara yang sederhana.
Informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undangundang, kepatutan, dan kepentingan umum, didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul, serta setelah mempertimbangkan dengan seksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya, dan sebaliknya.
43
Sesi - 4
BADAN PUBLIK
Sesi - 4
BADAN PUBLIK Pengantar Upaya memahami Badan Publik diperlukan. Pertama, untuk mengetahui jenis-jenis Badan Publik. Kedua, untuk menempatkan Badan Publik dalam konteks relasiantara pemohon informasi dan termohon informasi. Dalam relasi ini Badan Publik berkedudukan sebagai termohon. Badan Publik adalah sebutan yang digunakan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Badan Publik merujuk pada lembaga-lembaga yang punya kewajiban mengelola dan menyampaikan informasi publik kepada masyarakat. Badan Publik bukan hanya terdiri dari penyelenggara pemerintahan eksekutif, tetapi juga lembaga-lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif dan yudikatif. Bahkan termasuk badan lain yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD. Organisasi non-pemerintah juga termasuk Badan Publik, asalkan sepanjang seluruh atau sebagian dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Badan Publik sebagai lembaga menjalankan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Sejak era reformasi, lembaga-lembaga negara semakin bertambah jumlahnya sebagai bentuk eksprimentasi kelembagaan yang dapat berupa dewan (council) komisi (commission), komite (committee),
47
badan (board), atau otorita (authority). Lembaga-lembaga baru itu biasa disebut state auxiliary organs. Ada 34 lembaga negara baru setelah amandemen UUD 1945. Dari sejumlah itu, 28 lembaga memiliki kewenangan yang ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD 1945. Lembaga-lembaga itu dapat dibedakan dari dua segi, yaitu fungsi dan hierarkinya. Hierarki antarlembaga negara penting diatur karena terkait pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orangyang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu.1
Lihat lebih lanjut Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006. 2
48
Tujuan
• Peserta memahami arti Badan Publik. • Peserta memahami pengertian hak dan kewajiban Badan Publik sesuai prinsip-prinsip keterbukaan informasi. • Peserta mampu menentukan kriteria Badan Publik, baik Badan Publik negara maupun Badan Publik non-negara.
Metode
• Ceramah • Diskusi kelompok • Studi kasus
Waktu
alat Bantu Belajar
Media
90 menit
• Plano • Kertas
• Bahan presentasi • Bahan bacaan • Contoh kasus untuk dibahas
Catatan untuk Fasilitator
• Fasilitator meminta setiap kelompok (yang telah dibentuk di sesi sebelumnya) membuat daftar lembaga yang ada di daerah mereka. • Untuk contoh kasus, fasilitator perlu menjelaskan masalah dasar dan pertanyaan kunci yang harus dijawab peserta. Kelompok diminta memberikan argumentasi masing-masing. Kalau memungkinkan, pilihlah dua kasus atau berikan satu tugas yang berbeda untuk setiap kelompok. Misalnya, semua kelompok mengerjakan kasus BP Migas dan kemudian mereka diberikan tugas tambahan yang berbeda.
49
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi ini, kemudian menjelaskan maksud dan tujuan sesi. Fasilitator membagikan bahan-bahan yang akan digunakan di sesi ini. • Peserta duduk berdasarkan kelompok yang sudah dibentuk sebelumnya. Ceramah (25 menit) • Fasilitator memberikan presentasi mengenai kriteria Badan Publik menurut UU KIP seperti tergambar dalam Bahan Bacaan 3. 1. Tanya jawab (15 menit) • Fasilitator membuka ruang tanya jawab selama 15 menit untuk menampung pertanyaan-pertanyaan dari peserta kepada narasumber. Curah pendapat (35 menit) • Setelah ceramah narasumber/fasilitator selesai, peserta berdasarkan kelompok diminta menyusun daftar Badan Publik yang ada di daerahnya dalam waktu 10 menit. • Setelah waktu yang diberikan habis, fasilitator mengumpulkan daftar yang disusun kelompok dan memeriksanya. • Kelompok yang mengumpulkan daftar Badan Publik terbanyak, sebaiknya mendapat hadiah. Studi kasus (25 menit) • Fasilitator menjelaskan kasus yang harus dijawab oleh peserta secara perorangan. Kasus yang dibahas di sesi ini berkaitan dengan kategorisasi Badan Publik. Contoh kasus yang bisa diajukan adalah status Badan Publik lembaga-lembaga berikut: BP Migas, BLU Transjakarta, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) sebagai kumpulan pedagang dan pelaku industri, Yayasan Panti Asuhan, dan Perhimpunan Pecinta Burung. • Pertanyaan kunci yang harus dijawab peserta: Apakah lembaga itu termasuk Badan Publik?Apakah lembaga itutermasuk Badan Publik negara atau Badan Publik non-negara?Jelaskan jawaban berdasarkan kriteria klasifikasi Badan Publik menurut pasal 1 angka 3 UU KIP!
50
Penutup (5 menit) • Fasilitator menutup sesi inidanmengajak peserta untuk mengikuti sesi selanjutnya.
Bahan Bacaan 4.1 Badan Publik dalam UU No. 14 Tahun 2008 Pengertian Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, atau organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri (Pasal 1 angka 3). Ruang Lingkup a. Lembaga Eksekutif b. Lembaga Legislatif c. Lembaga Yudikatif d. Badan lain sepanjang memenuhi syarat, yaitu (i) fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara; (ii) sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD. e. Organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari (i) APBN/APBD; (ii) sumbangan masyarakat; (iii) sumbangan luar negeri. f. Partai Politik g. BUMN/BUMD h. Badan Hukum Pendidikan i. Badan Hukum Milik Negara Hak a. Menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai ketentuan perundang-undangan. b. Menolak memberikan informasi publik apabila tidak sesuai ketentuan perundangundangan. c. Menyatakan tidak dapat memberikan informasi publik jika informasi yang diminta: c. 1. Dapat membahayakan negara. c. 2. Berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat. c. 3. Berkaitan dengan hak-hak pribadi. c. 4. Belum dikuasai atau didokumentasikan Badan Publik.
51
Kewajiban a. Menyediakan, memberikan b. Menyediakan c. Membangun dan mengembangkan sistem informasi d. Membuat pertimbangan tertulis e. Menunjuk dan mengangkat PPID f. Menetapkan SOP g. Membuat daftar h. Menyediakan sarana dan prasarana i. Membuat dan mengumumkan j. Menganggarkan pembiayaan k. Melakukan evaluasi dan pengawasan
Bahan Bacaan 4.2 Badan Layanan Umum Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah (daerah)yang mempunyai hak dan kewajiban mandiri, yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Kedudukan Kedudukan BLU adalah bagian dari pemerintah, khususnya instansi teknis pemerintahan tertentu. Kekayaan dan kepegawaiannya masuk ke dalam lingkup kekayaan dan kepegawaian negara. Tujuan Pembentukan Berdasarkan pasal 68 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, BLU dibentuk untuk: a. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum; dan
52
b. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan lebih lanjut disebut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Berikut petikannya: “Badan Layanan Umum merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijul tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip efisiensi dan produktivitas”. BLU di daerah BLU tidak hanya dibentuk oleh pemerintah pusat untuk menjalankan praktik usaha yang berkaitan dengan pelayanan publik Negara, tetapi juga dapat dibentuk pemerintah daerah untuk menjalankan usaha yang berkaitan dengan pelayanan publik di daerah. Pembentukan BLU di pusat dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, sedangkan di daerah dilakukan berdasarkan keputusan kepala daerah. Dalam menjalankan kegiatan, BLU menjalankan usaha yang menjadi kewenangan instansi pemerintah melalui pendelegasian. Itu sebabnya sangat wajar jika kegiatan usaha BLU berbasis pada melayani, bukan mencari keuntungan. Penentuan tarif Sesuai PP No. 23 Tahun 2005, BLU dapat menerima dan menetapkan tarif sebagai imbalan yang diperoleh atas barang/jasa yang diberikan kepada masyarakat. Namun mengingat BLU bukanlah badan usaha, penentuan tarif hanya bersandarkan pada (i) Perhitungan biaya per unit layanan; atau (ii) Hasil per investasi dana. Penentuan tarif dalam jasa layanan BLU harus pula mempertimbangkan (a) Kontinuitas dan pengembangan layanan; (b) Daya beli masyarakat; (c) Asas keadilan dan kepatutan; dan (d) Kompetisi yang sehat. Jadi, meskipun BLU tidak mengejar keuntungan, penetapan tarif yang ditetapkan BLU memiliki pengertian yang sama dalam suatu kegiatan usaha, yaknimemperoleh laba. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu batas etis dan batas maksimum tarif layanan. Sumber: Dikutip dari Dian Puji Simatupang. “Paradoks Rasionalitas: Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah”. Jakarta: Badan Penerbit FHUI 2011, hal. 280-282.
53
Bahan Bacaan 4.3 (Studi Kasus) Status Hukum BP Migas Latar Belakang Kasus Pada September 2011, Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik telah mengajukan permohonan sengketa informasi terhadap Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Yayasan yang berpusat di Bandung itu pada pokoknya meminta informasi tentang: a. Daftar kontrak karya pertambangan, minyak bumi, dan gas bumi yang ada di Indonesia saat ini. b. Salinan kontrak karya pemerintah RI dengan PT Freeport Indonesia, PT KPC, PT Newmont Mining Corporation, dan PT Chevron Pacific Indonesia. Merespons permintaan itu, BP Migas menerangkan bahwa daftar kontrak karya dapat dilihat di www.bpmigas.go.id., sedangkan daftar kontrak karya pertambangan umum bukan wilayah kerja BP Migas. Selain itu, BP Migas tidak dapat menyerahkan salinan kontrak kerjasama (KKS) migas PT Chevron Pacific Indonesia karena KKS tersebut dokumen rahasia yang bersifat perdata (privat), dan bukan informasi publik. Sedangkan kontrak kerja PT Freeport Indonesia, KPC dan Newmont adalah kontrak non-migas sehingga di luar tupoksi BP Migas. BP Migas juga beragumen bukan sebagai Badan Publik sebagaimana diamanatkan pasal 1 angka 3 UU KIP dengan alasan: a. Tidak ada wording dalam dasar hukum pembentukan yang menyebut BP Migas adalah Badan Publik; b. Anggaran BP Migas bukan dari APBN atau sumbangan masyarakat, melainkan dari fee. c. Kekayaan BP Migas adalah kekayaan negara yang dipisahkan. d. Isi kontrak kerjasama menjadi wewenang pemerintah (ESDM). Dasar Hukum. BP Migas didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2002 tentang BP Migas. Aturan lain yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas BP Migas adalah PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, dan SK Menteri Keuangan No. 333/KMK. 06/2008 tentang Penetapan Kekayaan Awal BP Migas. Fungsi: Melakukan pengawasan terhadap kegatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tugas BP Migas: a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaranWilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama. b. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama.
54
c. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. d. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c. e. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran. f. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. g. Menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungansebesar-besarnya bagi negara. Pada 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi membubarkan BP Migas karena menilai keberadaan lembaga ini bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah bertindak cepat, dengan membentuk lembaga sementara bernama Satuan Kerja Sementara Pelasana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP). Lembaga SKSP mengambil alih semua tugas-tugas dan wewenang BP Migas. Pertanyaan kunci yang perlu diajukan: •
Apakah BP Migas memenuhi kualifikasi sebagai Badan Publik menurut UU KIP?
•
Apa dasar argumentasi Anda?
•
Apakah warga negara di daerah bisa mengajukan permohonan informasi kepada BP Migas, meskipun di daerah itu tidak ada kawasan pertambangan?
•
Apakah semua kewajiban BP Migas, dalam hal ketika terjadi sengketa informasi publik beralih ke SKSP?
Bahan Bacaan 4.4 Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Kita sering mendengar organisasi bernama Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Organisasi ini mempunyai cabang-cabang hingga ke daerah. KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian. Pengusaha yang masuk ke dalam kelompok ini adalah orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu jenis perusahaan. KADIN sudah dibentuk sejak 1970-an. Tujuan KADIN adalah: a. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidangusaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonominasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertibberdasarkan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
55
b. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya secara efektif dalam pembangunan nasional. KADIN bersifat mandiri, bukan organisasi pemerintah dan bukan organisasi politik. Dalammelakukan kegiatannya, KADIN tidak mencari keuntungan. Berdasarkan tujuan dan sifat keorganisasian itu, apakah KADIN Indonesia layak disebut Badan Publik? Apakah KADIN masuk kategori Badan Publik negara?
56
Sesi - 5
PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI
Sesi - 5
PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI Pengantar Setiap Badan Publik diamanatkan oleh UU KIP untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di lembaganya. Setiap PPID mempunyai peran sentral di Badan Publik. Peran PPID untuk lingkungan internal Badan Publik, yakni bertugas mengelola informasi, sedangkan peran PPID untuk lingkungan eksternal, yakni bertugas melayani pemohon informasi. Melihat peran sentral itu, PPID bisa disebut sebagai ujung tombak Badan Publik. Berdasarkan pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008, PPID, baik di Badan Publik negara maupun non-negara, diangkat oleh pimpinan Badan Publik bersangkutan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.Pejabat yang ditunjuk sebagai PPID dinyatakan, sebaiknya adalah pejabat yang membidangi informasi publik. Kebijakan PP tadi juga mengatur bahwa PPID di semua Badan Publik sudah harus ditunjuk paling lambat satu tahun setelah PP No. 61 Tahun 2010 diundangkan atau terhitung sejak 23 Agustus 2010. Faktanya, belum semua Badan Publik memiliki PPID. Komisi Informasi Pusat mendata dua dari 34 kementerian belum menunjuk PPID (Lihat Bahan Bacaan 5.2) hingga September 2012 dan lebih banyak lagi Badan Publik di daerah belum menunjuk PPID di lembaganya. Namun begitu, kebijakan PP tadi memberi jalan keluar untuk mengatasi permasalahan belum ditunjuknya PPID di Badan Publik. Pasal 21 PP No. 61 Tahun 2010 menyebutkan: “Dalam hal PPID belum ditunjuk, tugas dan tanggung jawab PPID dapat dilakukan oleh unit atau dinas di bidang informasi, komunikasi, dan/atau kehumasan.
59
Tujuan
• Peserta memahami fungsi dan tugas PPID di suatuBadan Publik. • Peserta dapat memahamkan hak dan kewajiban PPIDkepada pimpinannyadi Badan Publik dan kepada pemohon informasi. • Peserta dapat berbagi pengalaman tentang PPID yang sudah maju.
Metode
• Ceramah • Curah pendapat • Praktik
Waktu
alat Bantu Belajar
120 menit
• Kertas metaplan • Papan plano • Spidol
Media
• Bahan bacaan • Bahan presentasi • Kutipan Perki No. 1 Tahun 2010
Catatan untuk Fasilitator
• Setelah membuka sesi ini, fasilitator terlebih dulu mengajukan pertanyaan kepada peserta mengenai ada tidaknya PPID di lembaga atau SKPD di tempat mereka bekerja. Pertanyaan berjenjang yang perlu diajukan fasilitator, yakni: a. Apakah sudah ada PPID di level provinsi ? b. Apakah sudah ada PPID di level kabupaten/kota? c. Apakah sudah ada PPID di level SKPD? d. Apa dasar hukum penunjukan PPID di lembaga/SKPD peserta? • Untuk lembaga yang belum mempunyai PPID, makafasilitator perlu membuat sesi khusus untuk menyusun draf surat keputusan/ dasar hukum penunjukan PPID. Poin-poin yang harus ada dalam SK adalah nama lembaga, nomor SK, judul SK, konsideran menimbang dan memperhatikan, isi (pejabat yang ditunjuk), pejabat yang mengangkat, tanggal terbit surat, dan lampiran kalau ada.
60
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi ini dengan me-reviewsesi sebelumnyadan menjelaskan relevansinya dengan tema sesi ini. Curah pendapat (15 menit) • Peserta diminta menceritakan perkembangan PPID di masing-masing lembaganya dan pandangan mereka tentang perlu tidaknya PPID ditunjuk di setiap Badan Publik. • Jika ada lebih dari satu orang peserta dari SKPD yang sama, sebaiknya satu orang saja yang menyampaikan pandangan. • Fasilitator menuliskan ringkasan cerita peserta di kertas plano. Catatan itu dibuat sebagai dasar memulai presentasi. • Fasilitator mencatat alasan-alasan mengapaPPID belum ditunjuk di lembaga peserta. Presentasi pertama (20menit) • Narasumber menyampaikan presentasi atau ceramah tentang PPID. Ada limahal penting yang perlu disampaikan, yaitu (i) Urgensi dan hakikat keberadaaan PPID di Badan Publik; (ii) Kualifikasi menjadi PPID; (iii) Hak dan kewajiban PPID; dan (iv) Pejabat fungsional pendukung kerja pengelolaan dan pelayanan informasi; (v) Pengalaman menjalankan fungsi PPID. Tanya jawab (10 menit) • Fasilitator mempersilakan peserta untuk mengajukan pertanyaan mengenai tema yang disampaikan. Presentasi kedua (20 menit) • Presentasi kedua dari narasumber secara khusus membahas struktur kelembagaan pengelolaan dan pelayanan informasi, termasuk pola sentralisasi dan pola desentralisasi (Lihat Bahan Bacaan 4.1). Tanya jawab dan kesimpulan (10 menit) • Fasilitator mempersilakan peserta untuk mengajukan pertanyaan mengenai topik yang dibahas.
61
Praktik (35 menit) • Fasilitator memfasilitasi penyusunan draf SK penunjukan PPID. Sesi ini dimaksudkan agar peserta bisa mempersiapkan draf SK yang akan dibawa ke pimpinan Badan Publik. • Sesi ini dilakukan berdasarkan kelompok. Setiap kelompok menyusun satu draf SK. Penutup (5 menit) • Fasilitator menutup sesi dengan mempersilakan peserta untuk beristirahat dan kemudian menjelaskan jadwal sesi berikutnya.
Bahan Bacaan 5.1 Organisasi Pengelola dan Pelayan Informasi di Badan Publik Pejabat yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengelola dan memberikan pelayanan informasi di Badan Publik adalah PPID. Namun dalam menjalankan wewenang, fungsi, hak, dan kewajibannya,PPID tidak bekerja sendirian. Hal ini karena diperlukan tindakan tertentu yang membutuhkan otoritas atasan Badan Publik dan terdapat juga kegiatan pengelolaan informasi yang mengandalkan pejabat fungsional. Berikutorganisasi/lembaga-lembaga pengelola dan pelayan informasi di suatu Badan Publik: 1. Atasan Langsung PPID
Atasan langsung PPID adalah pejabat yang menentukan suatu kebijakan pengelolaan dan pelayanan informasi terutama jika ada masalah.Permohonan keberatan atas pelayanan informasi di PPID disampaikan kepada Atasan Langsung PPID. Dalam sengketa informasi, ia juga berperan mewakili Badan Publik karena kedudukannya sebagai penentu kebijakan.
2. PPID Pejabat struktural yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan dan pelayanan informasi di Badan Publik. Tugas PPID meliputi: (i) Apa saja yang diamanatkan UU KIP, PP No. 61 Tahun 2010, dan Peraturan Komisi Informasi Pusat No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik; dan (ii) Peraturan perundang-undangan lain. 3. Pejabat Fungsional Pengelola Informasi dan Dokumentasi
62
Pejabat fungsional yang ditunjuk atau karena fungsi dan tugasnya diwajibkan
mengelola dan menyediakan pelayanan informasi. Mereka umumnya adalah pejabat yang memiliki kompetensi di bidang pengolahan data, pengelolaan dokumen, pelayanan informasi, dan humas. Misalnya pustakawan dan arsiparis. Dalam pengelolaan dan pelayanan informasi, pejabat/bagian taditidak berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dan membantu.Ketimpangan pada satu bagianakan berpengaruh pada kinerja bagian lainnya. Beban kerja PPID akan sangat berat jika tidak ada dukungan dari bagian lainnya. Semakin gemuk organisasi Badan Publik semakin rumit hubungan kerja antarbagian. Organisasi dengan struktur dan wilayah kerja sederhana seperti Badan Publik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih mudah menjalin hubungan. Bahkan kadang-kadang tidak perlu ditopang tim pertimbangan dan pejabat fungsional. Model organisasi yang sangat sederhana biasanya hanya terdiri dari pimpinan dan PPID. Kedua bagian inilah yang menjalankan fungsi pelayanan informasi di lembaga kecil. Selain pola yang sederhana, dikenal dua pola organisasi pengelolaan dan pelayanan informasi di Badan Publik, yaitu; a. Pola sentralisasi • PPID dijabat oleh pengelola bidang komunikasi, informasi atau humas yang ditunjuk pimpinan lembaga. Ini menjadi PPID Utama. • Satuan kerja di bawah lembaga dapat membentuk PPID yang bertugas membantu PPID Utama. • Khusus untuk penetapan informasi yang dikecualikan, tetap menjadi wewenang PPID Utama atas persetujuan pimpinan tertinggi Badan Publik. • Dapat diangkat pejabat fungsional di setiap satuan kerja untuk membantu pengelolaan dan pelayanan informasi. b. Pola desentralisasi. • Kementerian/LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian): PPID dapat dibentuk di setiap satuan kerja berdasarkan eselon yang ditetapkan menteri/ kepala LPNK dengan menimbang masukan kepala satuan kerja. Penetapan informasi yang dikecualikan tetap menjadi wewenang PPID Utama setelah mendapat persetujuan pimpinan Badan Publik. • Provinsi atau kabupaten/kota: PPID dapat dibentuk di setiap SKPD oleh pimpinan kepala daerah dengan menimbang masukan pimpinan SKPD. Wewenang penetapan informasi yang dikecualikan ada di tangan PPID provinsi atau kabupaten/kota atas persetujuan gubernur atau bupati/walikota. • Kecamatan dan desa: PPID dapat dibentuk hingga tingkat desa sesuai arahan kepala daerah. Pembentukan disesuaikan dengan kebutuhan. Penetapan
63
informasi yang dikecualikan menjadi wewenang PPID di tingkat kabupaten/ kota.
Bahan Bacaan 5.2 Keberadaan PPID Tidak Jamin Nihil Sengketa Meskipun Badan Publik sudah memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan Standar OperasionalProsedur (SOP) pelayanan informasi, bukan berarti tidak ada potensi sengketa informasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia misalnya, sudah memiliki PPID dan SOP yang jelas, tetapi masih ada saja masyarakat yang mengajukan sengketa informasikepada kementerian ini. Berbicara saat menerima tamu dari PT Kereta Api Indonesia, Ketua Komisi Informasi Pusat Abdul Rahman Ma’mun mengatakan, PPID di Badan Publik dibentuk untuk memudahkan pengelolaan dan pelayanan informasi kepada masyarakat. PPID menjadi ujung tombak pelayanan informasi serta sekaligus penyusunan daftar dan klasifikasi informasi di Badan Publik. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan kebijakan turunannya, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010 dan Peraturan Komisi Informasi Pusat No. 1 Tahun 2010, sudah memberikan tugas, fungsi, dan wewenang PPID dengan jelas. Namun dalam menjalankan tugasnya, PPID sangat mungkin mengalami kendala ketika melayani informasi. Kendala itu bukan saja berasal dari pemohon atau PPID, melainkan juga berasal dari isiinformasi yang diminta masih berada pada area abu-abu. Dalam arti, belum jelas apakah merupakan informasi publik yang dapat diakses atau informasi yang bersifat rahasia atau dikecualikan. Menurut Abdul Rahman Ma’mun, bisa saja permohonan informasi sengaja dibawa ke tahap sengketa agar wilayah abu-abu tadi menjadi jelas. “Tujuannya untuk memperjelas dan memperkuat payung hukum,” ujarnya. Perwakilan dari PT Kereta Api Indonesia datang ke Komisi Informasi untuk menyampaikan bahwa di Badan Usaha Milik Negara ini, sudah ada PPID dan SOP. Suyono Syam, PPID PT Kereta Api Indonesia, menjelaskan PPID sudah terbentuk sejak Juni 2010, sedangkan SOP pada Desember 2o1o yang dituangkan melalui SK Direksi PT Kereta Api Indonesia No. Kep.U/HK.003/XII/1/KA-2010. Dengan kehadiran PPID dan SOP itu, KAI akan semakin mudah memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat. Dalam pertemuan itu, Suyono juga mengundang Ketua Komisi Informasi Pusat untuk menjadi salah satu pembicara diskusi mengenai pelayanan informasi di lingkungan Kereta Api Indonesia. Diskusi yang akan digelar secara internal oleh KAI ini, diharapkan bisa semakin mendorong jajaran Kereta Api Indonesia menjadi BUMN pelayanan yang baik Sumber: www.komisiinformasi.go.id, dipublikasikan pada 11 November 2011. (Disunting kembali untuk keperluan penerbitan modul ini)
64
Bahan Bacaan 5.3 Wapres Instruksikan Pembentukan PPID Jakarta, (Analisa). Wakil Presiden Boediono menginstruksikan pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Hal ini dikatakan Boediono saat memberikan sambutan pada Hari Hak Untuk Tahu Internasional (International Right to Know Day) di Istana Wakil Presiden, Jumat, mengingat masih banyak Badan Publik yang belum mematuhi amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk membentuk PPID. Wapres mengatakan, berdasarkan data monitoring dan evaluasi Komisi Informasi Pusat per September 2012, diketahui bahwa dari 34 Kementerian, tercatat 32 yang telah membentuk PPID. Selanjutnya dari 129 lembaga, tercatat 33 lembaga yang sudah memiliki PPID.Di tingkat pemerintahan daerah, baru 21 Provinsi yang telah memiliki PPID. “Kami harus perbaiki keadaan ini.Kepada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah yang belum melaksanakan oleh yang diwajibkan undang-undang tadi, saya instruksikan untuk segera membentuk PPID.Ini adalah pelaksanaan perintah undang-undang,” kata wakil presiden. Sementara itu, bagi yang sudah terbentuk, Wapres mengingatkan untuk selalu bertindak secara profesional, transparan, dan menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dalam melayani hak asasi warga negara. “Hal ini sangat penting, karena dari waktu ke waktu muncul sengketa informasi yang terkait dengan permintaan informasi dari pemohon kepada Badan Publik,” katanya. Menurut Boediono, keterbukaan informasi dari seluruh Badan Publik dibutuhkan dalam rangka menuju kematangan demokrasi, dimana warga negara dapat berpartisipasi dalam pemerintahan dan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). “Dengan demikian diharapkan terbentuknya suatu pemerintahan dan pembangunan yang berdasarkan hak-hak asasi manusia,” katanya. Wapres menegaskan, Indonesia patut bangga, bahwa pada September 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dikukuhkan sebagai Ketua Bersama Open Government Partnership (Co-chair OGP) untuk periode 2012-2014. Gerakan OGP kini didukung oleh 55 negara. Indonesia merupakan salah satu inisiator sekaligus menjadi anggota steering committee dalam deklarasi OGP pada 20 September 2011, di sela-sela Sidang Umum PBB di New York. Sumber: Analisa, 29 September 2012. (Disunting kembali untuk keperluan penerbitan modul ini)
65
Bahan Presentasi 5.a Tugas dan Tanggung Jawab PPID Keberadaan PPID a. Bertugas dan bertanggung jawab melakukan pengelolaan dan pelayanan informasi yang meliputi proses penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan pelayanan informasi. b. Dalam rangka penyimpanan dan pendokumentasian informasi publik, PPID bertugas dan bertanggungjawab mengumpulkan seluruh informasi secara fisik dari setiap unit/satuan kerja. c. Bertugas dan bertanggungjawab menyimpan dan mendokumentasikan seluruh informasi yang berada di Badan Publik. d. Melakukan pendataan informasi yang dikuasai oleh setiap unit/satuan kerja di Badan Publik dalam rangka pembuatan dan pemutakhiran Daftar Informasi setelah dimutakhirkan oleh pimpinan setiap unit/satuan kerja sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan. e. Penyimpanan informasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang kearsipan. f. Bertugas dan bertanggung jawab menyediakan seluruh informasi di bawah penguasaan Badan Publik yang dapat diakses oleh publik. g. Menyediakan informasi melalui pengumuman dan/atau permintaan. h. Mengkoordinasikan pemberian informasi dengan petugas informasi di berbagai unit pelayanan informasi untuk memenuhi permintaan informasi. i. Melakukan uji konsekuensi dan uji kepentingan publik sebelum mengecualikan informasi dan/ atau membuka informasi yang dikecualikan: •
Menyertakan alasan pengecualian secara jelas, tegas, dan tertulis.
•
Menghitamkan atau mengaburkan informasi yang dikecualikan beserta alasannya.
j. Melayani, meneruskan, dan memastikan pengajuan keberatan diproses berdasarkan prosedur penyelesaian keberatan. k. Mengembangkan kapasitas pejabat fungsional dan/atau petugas informasi dalam rangka peningkatan kualitas pengelolaan dan pelayanan informasi. l. Menugaskan pejabat fungsional dan/atau petugas informasi di bawah wewenang dan koordinasinya untuk membuat, memelihara, dan/atau memutakhirkan daftar informasi secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan. m. Mengkoordinasikan setiap unit/satuan kerja di Badan Publik dalam melaksanakan pengelolaan dan pelayanan informasi publik. n. Memutuskan suatu informasi dapat diakses publik atau tidak. o. Menolak permintaan informasi secara tertulis apabila informasi yang dimohon termasuk informasi yang dikecualikan/rahasia dengan disertai alasan serta pemberitahuan tentang hak dan tata cara bagi pemohon untuk mengajukan keberatan atas penolakan itu.
66
p. Dalam hal menentukan informasi yang dikecualikan, PPID wajib melakukan uji konsekuensi dan uji kepentingan q. Dalam hal kewajiban mengumumkan informasi, PPID bertugas dan bertanggung jawab: •
Mengumumkan informasi secara berkala melalui media yang secara efektif dapat menjangkau seluruh pemangku kepentingan.
•
Menyampaikan informasi dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dipahami dan mempertimbangkan penggunaan bahasa lokal yang dipakai oleh penduduk setempat.
r. PPID bertanggungjawab terhadap penyimpanan dan pendokumentasian seluruh informasi dari setiap unit/satuan kerja yang telah diserahkan kepadanya dan memastikan pimpinan setiap unit/satuan kerja untuk menyimpan secara fisik seluruh informasi yang berada di bawah penguasaannya. s. PPID wajib membuat dan mengumumkan informasi di Papan Pengumuman di setiap kantor Badan Publik serta media lain yang dimiliki oleh Badan Publik. t. PPID wajib meletakkan Papan Pengumuman di dalam kantor Badan Publik yang memudahkan publik untuk membaca informasi yang terdapat di dalamnya. u. Dalam hal Badan Publik memiliki situs resmi, PPID wajib memasukkan informasi yang diumumkan di dalam situs resmi dengan cara yang mudah bagi masyarakat untuk menemukannya. v. Peletakan informasi di situs resmi Badan Publik tidak mengurangi kewajiban Badan Publik untuk meletakkan informasi di Papan Pengumuman. w. PPID wajib menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dipahami dalam mengumumkan informasi serta dapat mempertimbangkan menggunakan bahasa yang digunakan penduduk setempat. x. PPID menentukan format pengumuman informasi yang memudahkan bagi mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda untuk memahami informasi itu sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh Badan Publik.
67
Bahan Presentasi 5.b Contoh Bahan Struktur Pola Organisasi PPID Pola Struktur Umum di Kementerian/LPNK
= intruksional = koordinasi Pola Struktur PPID Kementerian/LPNK dengan UPT Diadopsi dari: Kemendikbud
68
Pola Struktur PPID Kementerian/LPNK Vertikal
Pola Struktur PPID Utama/ Kabupaten
69
Pola Struktur PPID Pembantu/ SKPD
70
Sesi - 6
MENGELOLA INFORMASI TERBUKA
Sesi - 6
MENGELOLA INFORMASI TERBUKA Pengantar Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 membagi informasi dalam dua kategori. Pertama, informasi publik yang bersifat terbuka dan bisa diakses. Kedua, informasi publik yang dikecualikan atau yang bersifat ketat dan terbatas. Terkait informasi kategori pertama, Badan Publik wajib berupaya agar informasi yang bersifat terbuka bisa diakses dengan mudah, cepat dan tepat waktu, serta sederhana. Mengelola informasi yang bersifat terbuka tidak semudah membalikkan telapak tangan.Berdasarkan praktik selama ini, manajemen waktu pelayanan informasi yang tidak jelas sering membuat Badan Publik kewalahan. Oleh karenanya, Badan Publik harus membuat dan mengumumkan jadwal pelayanan informasi kepada pemohon. Pengelolaan dan pelayanan informasi terbuka di Badan Publik membutuhkan kesigapan dan kemampuan untuk: a. Melakukan identifikasi dan klasifikasi informasi. b. Membuat daftar informasi publik yang bisa diakses setiap saat. Berdasarkan UU KIP, informasi publik yang bersifat terbuka meliputi kegiatan Badan Publik untuk: 1. Menghasilkan 2. Menyimpan 3. Mengelola 4. Mengirim
73
5. Menerima 6. Menyediakan 7. Mengumumkan 8. Memberikan informasi Kegiatan Badan Publik sendiri, secara umum menyangkutdua hal, yakni tugas internal untuk mengelola informasi dan tugas eksternal untuk melayani permintaan informasi. Dalam rangka kegiatan-kegiatan itulah muncul istilah informasi publik bersifat umum dan informasi publik bersifat khusus. Informasi publik bersifat umum merupakan informasi yang berada di bawah penguasaan Badan Publik, berkaitan dengan lembaga, bersifat menyeluruh, dan banyak ditemukan di Badan Publik.Informasi publik bersifat khusus merupakan informasi yang berada di bawah penguasaan Badan Publik, berkaitan dengan tugas dan fungsi lembaga di bawah koordinasi lembaga publik negara. Bagi Badan Publik, peran PPID sangat besar dalam penetapan suatu informasi bersifat terbuka atau tertutup. Oleh karena itu proses penyusunan Daftar Informasi Publik tidak bisa hanya dilakukan PPID. Satuan-satuan kerja di seluruh Badan Publik perlu dilibatkan, terutama untuk memberi pertimbangan rasional dalam penetapan apakah suatu informasi bersifat terbuka atau tidak.
74
Tujuan
• Peserta memahami jenis-jenis informasi terbuka. • Peserta dapat menyusun Daftar Informasi Publik.
Metode
• Ceramah • Simulasi praktik
Waktu
alat Bantu Belajar
Media
70 menit
• plano • Spidol
• Formulir Daftar Informasi Publik • Bahan bacaan
Catatan untuk Fasilitator
• Sesi ini akanberlangsung menggunakan mekanisme kelompok. • Fasilitator mendorong dan membangun suasana agar semua peserta ikut terlibat menyusun Daftar Informasi Publik. • Kelompok yang mewakili daerah-daerah yang sudah maju (advanced) dalam pengelolaan dan pelayanan informasi, sebaiknya mulai membahas sistem temu kembali informasi (information retrieval system/IRS) sebagai bagian dari pengelolaan informasi publik. • Studi kasus mengenai“dokumen terbuka informasi tertutup”, fasilitator perlu melihat tingkatan pemahaman peserta pelatihan.
75
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi dengan mengulasmateri yang sudah disampaikan di sesi sebelumnya serta menjelaskan maksud dan tujuan sesi ini. Presentasi (10 menit) • Fasilitator menyampaikan hal-hal dasar mengenai kategori informasi terbuka, yakni: wajib diumumkan dan disediakan secara berkala, wajib diumumkan setiap saat, dan wajib disediakan setiap saat. • Fasilitator menjelaskan formulir Daftar Informasi Publik. Simulasi praktik (50 menit) • Dalam 25 menit pertama,fasilitator mempersilakan masing-masing kelompok menyusun Daftar Informasi Publik di lembaga mereka atau salah satu lembaga yang mereka pilih sebagai contoh. Formulir Daftar Informasi Publik menjadi acuan bagi peserta. • Dalam 25 menit kedua, fasilitator mempersilakan peserta menjelaskan Daftar Informasi Publik yang telah mereka susun dilengkapi dengan alasannya. Penutup (5 menit) • Fasilitator menutup sesi dan mengingatkan peserta bahwa menetapkan informasi yang dikecualikan adalah paling krusial bagi Badan Publik.
Bahan Presentasi 6a Tahapan Penyusunan Informasi Terbuka Identifikasi dan Klasifikasi Informasi Buatlah Daftar Informasi Terbuka Penjelasan Tahap-1: Identifikasi dan Klasifikasi Informasi • Langkah pertama yang dilakukan adalah mendata informasi apa saja yang
76
berada di bawah penguasaan suatu Badan Publik. Tugas ini terutama dilakukan oleh PPID. • Untuk mendata,maka aspek kewenangan Badan Publik perlu dilihat agar informasi yang dicatat memang kewenangan Badan Publik bersangkutan. • Dalam proses inventarisasi itu, buatlah daftar berdasarkan (i) Jenis, (ii) Bentuk, (iii) Kategori,(iv) Lokasi penyimpanan, (v) pejabat yang menguasai atau yang berhak, dan (vi) Waktu pembuatan. • Sebagai pihak yang bertaggung jawab, PPID harus melakukan hal-hal berikut: a. Meminta secara resmi setiap unit kerja di Badan Publik membuat rincian informasi yang dikuasai, dikelola, disimpan, dan dihasilkan. b. Meminta setiap unit kerja memilah berdasarkan kategori informasi yang berkala, informasi yang wajib disediakan setiap saat, dan informasi yang wajib diumumkan serta-merta, atau informasi yang dikecualikan. c. Setelah ada laporan dari seluruh unit kerja, PPID membuat kategori informasi umum dan informasi khusus. d. PPID membuat rangkuman dan analisis untuk kemudian memasukkan seluruh informasi ke dalam Daftar Informasi Publik. Tahap-2: Buatlah Daftar Informasi Terbuka • Setelah mengumpulkan semua informasi terbuka dari unit kerja di Badan Publik, PPID membuat dan memasukkan hasil inventaris itu ke dalam Daftar Informasi Publik. • Format Daftar Informasi Publik bisa menggunakan format yang sudah dibakukan oleh Komisi Informasi atau format lain yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi Badan Publik dan aksesibilitas masyarakat. Sistem komputerisasi sangat memungkinkan format Daftar Informasi Publik lebih luasmencakup daftar kolom dan barisnyadan lebih mudah dimutakhirkan. • PPID membuat sistem dokumentasi untuk mempermudah pencarian kembali jika sewaku-waktu informasi yang sama diminta lagi. Bantuan arsiparis dan pustakawan sangat membantu PPID untuk melaksanakan tugas ini. • Agar lebih sistematis, pendokumentasian bisa menggunakan kode-kode tertentu, baik yang disusun berdasarkan alfabetis maupun kronologis.
77
Contoh Sederhana Daftar Informasi No.
Wajib Diumumkan dan Disediakan Secara Berkala
Wajib Disediakan Setiap Saat
Wajib Diumumkan Serta-merta
1 2 Contoh Formulir Daftar Informasi Publik
No.
Ringkasan Isi Informasi
Satker/ Unit Kerja/ Pejabat yang Menguasai
Penanggung Jawab Pembuatan atau Penerbitan Informasi
Waktu dan Tempat Pembuatan Informasi
Bentuk Informasi yang Tersedia
Masa Retensi
Catatan: Ini hanya contoh manual. Bisa disesuaikan dengan kebutuhan serta perangkat teknologi dan informasi Badan Publik yang bersangkutan.
Boks 6.1 Penyimpanan dan Sistem Temu Kembali Informasi Tugas Pertanyaan dasar yang sering diajukan dalam pengelolaan informasi adalah bagaimana cara menyimpan dan menemukan kembali informasi atau dokumen yang memuat informasi itu. Sistem penyimpanan (information storage system) dan sistem temu kembali informasi (information retrieval system/IRS) penting karena satu informasi mungkin diminta berkali-kali oleh pemohon yang berbeda. IRS lebih memungkinkan Badan Publik menjalankan kewajiban penyediaan informasi secara cepat dan tepat waktu. Pasal 7 ayat (3) UU KIP mengharuskan Badan Publik membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah. Di setiap Badan Publik, tugas dan tanggung jawab mendokumentasikan, menyimpan, dan mengamankan informasi ada di pundak PPID. Jika dokumen-dokumen terbuka disimpan di perpustakaan maka pengelolaannya disesuaikan dengan sistem perpustakaan nasional. Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyatakan koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan dan dikembangkan sesuai kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (pasal 12 ayat 1).
78
IRS merupakan sistem yang berfungsi untuk menemukan informasi yang relevan dengan kebutuhan pemakai. Sistem IRS bertujuan untuk menjembatani kebutuhan pemohon informasi dengan sumber informasi. Dengan kata lain, tujuannya mempertemukan ide yang dikemukakan penulis dalam dokumen dengan kebutuhan informasi yang dinyatakan pemohon dalam bentuk pertanyaan (query). Jika dokumen yang sesuai dengan permintaan dapat diketahui keberadaannya di perpustakaan, itu berarti ada kecocokan antara informasi yang diminta dengan informasi yang ditemukan. Dengan kata lain, informasi yang terdapat dalam dokumen pada batas tertentu cocok dengan informasi yang dikehendaki pemohon. Kecocokan inilah yang merupakan inti temu kembali informasi.1 Biasanya penyimpanan informasi menggunakan nama dokumen. Itu bukan informasi karena dalam satu dokumen ada beberapa informasi. Sebelum suatu dokumen yang relevan dapat ditemukan kembali, petugas Badan Publik harus melakukan penelusuran (search) di perpustakaan. Tentu tidak efisien jika petugas harus mencari satu per satu dokumen yang ada di perpustakaan. Cara ini memakan waktu yang banyak. Sarana temu kembali yang mempermudah pencarian adalah pengkatalogan. Ada katalog deskriptif yang berbasis pada bibliografi, ada pula yang berbasis pada subjek. Pada katalog deskriptif, proses identifikasi melihat ciri-ciri fisik dokumen seperti pengarang, jumlah halaman, judul, edisi, dan ukuran. Sementara itu pada katalog subjek, proses identifikasi melihat pada subjek umum materi dokumen seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan otonomi daerah. Sistem temu kembali informasi terdiri dari enam subsistem, yaitu (i) Dokumen, (ii) Pengindeksan, (iii) Kosa kata, (iv) Pencarian, (v) Antarmuka Pengguna system, dan (vi) Penyesuaian. Badan Publik yang sudah lebih maju dalam pengelolaan informasi publik seharusnya sudah mengembangkan IRS agar lebih mudah menjalankan fungsi pelayanan informasi kepada masyarakat. Purwono. Dokumentasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal 141.
1
Bahan Bacaan 6.1 Informasi yang Wajib Diumumkan Serta-merta Secara harfiah, serta-merta mengandung arti spontan, pada saat itu juga harus dilakukan. Kriteria utama informasi yang wajib diumumkan serta-merta adalah karena alasan mengancam hajat hidup orang banyak dan terkait kepentingan umum. Disampaikan dengan cara yang mudah diakses masyarakat dan dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Ada kewajiban membuat standar pengumuman.Siapa saja yang wajib membuat?Bukan hanya Badan Publik yang punya kewenangan atas suatu informasi yang mengancam
79
hajat hidup orang banyak dan terkait kepentingan umum, tetapi juga Badan Publik lain yang punya perjanjian dengan pihak ketiga yang kegiatannya berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan terkait kepentingan umum. Informasi-informasi itu antara lain mengenai: a. Bencana alam seperti kekeringan, kebakaran hutan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemik, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa atau benda-benda angkasa. b. Keadaan bencana non-alam seperti kegagalan industri atau teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, dan kegiatan keantariksaan. c. Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. d. Jenis, persebaran, dan daerah yang menjadi sumber penyakit yang berpotensi menular. e. Racun dalam bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat. f. Rencana gangguan terhadap utilitas publik. Standar minimal yang harus dipenuhi saat mengumumkan informasi yang bersifat sertamerta adalah: • Potensi bahaya dan/atau besaran dampak yang akan ditimbulkan. • Pihak yang berpotensi terkena dampak. • Prosedur dan tempat evakuasi jika terjadi keadaan darurat. • Cara menghindari bahaya dan/atau dampak. • Cara mendapatkan bantuan dari pihak berwenang. • Pihak-pihak yang wajib mengumumkan. • Tata cara pengumuman. • Upaya yang dilakukan Badan Publik untuk menanggulangi.
Boks 6.2 Surono Si ‘Juru Kunci’ Merapi “Saya lebih suka menonton pertandingan bola daripada baca berita,” kata Surono. VIVAnews - Hingga kini, Keraton Yogyakarta belum memilih juru kunci Gunung Merapi pengganti Mbah Maridjan yang meninggal dunia akibat awan panas ‘wedhus gembel’ pada 26
80
Oktober lalu. Kini, ada satu nama yang disebut-sebut sebagai ‘juru kunci’ Merapi, yakni Doktor Surono. Pria beruban dan berkacamata kelahiran 8 Juli 1955 itu, kini setiap hari muncul di layar kaca, media online, radio, hingga media cetak. Setiap pernyataannya selalu menjadi rujukan dan acuan detik demi detik perkembangan gunung di perbatasan Jawa Tengah-Yogyakarta yang kini masih berstatus Awas itu. Sekali waktu, Surono menyampaikan kepada VIVAnews.com betapa bimbangnya saat setiap kali membubuhkan tanda tangan penetapan status awas bagi gunung api. Seperti halnya saat menaikkan status Gunung Merapi. “Ketika saya tanda tangan, itu berarti artinya ribuan orang akan diungsikan,” kata Surono saat dihubungi lewat telepon, Selasa 2 November lalu. Gunung Merapi ditingkatkan statusnya dari Siaga menjadi Awas terhitung Senin 25 Oktober 2010 pukul 06.00 WIB. Ini adalah level tertinggi. Wakil Bupati Sleman, Yuni Satia Rahayu menerima surat pemberitahuan dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta kepada Pemerintah Kabupaten Sleman. Surat pemberitahuan status merapi dinaikkan dari siaga ke awas tertanda Nomor 2044/45/BGL.V/2010. “Untungnya informasi status awas itu disampaikan pemerintah daerah. Coba wartawan lebih awal mengetahui daripada saya, bisa kacau nantinya,” kata Surono sambil bercanda. Sudah sepekan Surono menjadi narasumber yang sangat penting bagi media dan masyarakat di Tanah Air. Peringatan demi peringatan yang disampaikan Surono menjadi rujukan bagi segala kegiatan di Merapi. Terutama untuk penanganan evakuasi pengungsi. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ‘tunduk’ atas rekomendasi dan imbauan yang dikeluarkan Surono. “Soal gunung, saya pun sebagai presiden, tetap tunduk pada Pak Rono. karena dia yang mengetahui geologinya,” kata SBY di pos utama Merapi di Pakem, Yogyakarta, Rabu 3 November 2010. ‘ Tingkah polah’ gunung api di seluruh Indonesia dapat diketahui dari satu pintu, Surono. SBY pun mengakui itu. “Waktu Kelud (pasca meletus), pengungsi bertanya, apakah kami boleh pulang, saya jawab yang memberikan pernyataan Pak Rono karena Badan Geologi yang mengetahui kondisi aman tidaknya. Mari kita tunggu pernyataan Pak Rono,” kata SBY di pos utama Merapi di Pakem, Yogyakarta, Rabu 3 November 2010. Demikian juga dengan di Sinabung. Saat itu, warga yang merasa kondisi sudah aman minta izin untuk pulang. Jawaban SBY tetap sama: “Tunggu, karena yang memberi keputusan Pak Rono.” Kutipan Surono menjadi informasi yang penting bagi masyarakat, terutama pengungsi. Tetapi, Surono rupanya tidak pernah membaca, melihat, atau mendengarkan lagi setiap pernyataan yang sudah diberikan kepada media. Alasannya sederhana. Dalam ritme kerja yang tinggi ini, Surono tidak ingin terganggu dengan segala hal pemberitaan dan interpretasi media. “Saya tidak baca koran, nonton berita, atau yang lainnya. Karena itu akan mempengaruhi emosi saya. Makanya, saya lebih suka nonton pertandingan bola. Wartawan itu, dijawab salah, tidak dijawab juga salah,” ujar Surono yang suaranya terdengar semakin parau. Dia mengakui, kondisi kesehatannya terus menurun seiring kondisi Merapi yang belum mereda. Bahkan, “Pita
81
suara saya semakin gawat. Banyak merokok, kurang tidur.” Siapa Surono? Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu lulus sarjana jurusan Fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1982. Lima tahun kemudian, pria yang tinggal di Parongpong Bandung ini, terbang ke Prancis untuk melanjutkan studi. Pada 1989, ‘sesepuh’ gunung berapi ini mendapat gelar DEA Mechanique Mileux Geophysique et Environment dari Grenoble University di Grenoble, Prancis. Seperti tidak ada jeda, pada tahun yang sama ayah dua putri ini kembali melanjutkan pendidikan. Gelar doktor geofisika sukses diraih dari Savoei University, Chambery, Prancis, pada 1993. Sebelum mencapai posisi puncak di dunia Vulkanologi. Surono sudah merintis karier di PVMBG. Surono mulai menjadi staf Divisi Pengamatan Gunung Api di PVMBG sejak 1982 hingga akhirnya dipercaya menjadi Kepala PVMBG mulai 2005. Berbagai keahlian tentang kegunungapian didapat Surono dari berbagai lembaga dunia. Seperti dari Unesco (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan BangsaBangsa) dan USGS (lembaga Survei Geologi AS). Puluhan publikasi tentang kegunungapian dari Surono sudah terbit. Mbah Maridjan memang juru kunci pilihan Keraton, tetapi bukan tidak mungkin Surono ‘Juru Kunci’ Merapi dari Istana Presiden. (umi) Sumber: www.vivanews.com. Kamis, 4 November 2010, 07:13. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
Bahan Bacaan 6.2 Informasi yang Wajib Diumumkan dan Disediakan Secara Berkala Badan Publik wajib mengumumkan dan menyediakan informasi secara berkala.Secara berkala mengandung arti diumumkan dan disediakan dalam periode waktu tertentu dan teratur.Misalnya, enam bulan sekali, satu tahun sekali, atau tiga bulan sekali.Periode berkala ini diatur UU KIP cenderung moderat karena hanya mewajibkan paling cepat enam bulan sekali (per semester). Tetapi Perki No. 1 Tahun 2010 memberi batasan lain, yakni paling lambat sekali dalam setahun. Informasi yang wajib diumumkan dan disediakan secara berkala adalah: a. Informasi yang berkaitan dengan profil Badan Publik. b. Ringkasan informasi mengenai program dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan. c. Ringkasan informasi tentang kinerja dalam lingkup Badan Publik berupa narasi kegiatan yang telah dan sedang dijalankan beserta capaiannya.
82
d. Ringkasan laporan keuangan. e. Ringkasan laporan akses informasi. f. Informasi laintentang peraturan, keputusan, dan/atau kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi publik. g. Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh informasi publik serta pengajuan keberatan dan penyelesaian sengketa beserta pihak-pihak yang bisa dihubungi. h. Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran oleh Badan Publik atau pihak yang mendapatkan izin atau perjanjian kerja dari Badan Publik bersangkutan. i. Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan jasa. j. Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur evakuasi dalam keadaan darurat di Badan Publik bersangkutan. k. Informasi lain yang diatur dalam perundang-undangan.
Bahan Bacaan 6.3 Informasi yang Wajib Tersedia Setiap Saat Badan Publik tidak pernah mengetahui kapan persisnya pemohon mengajukan permohonan informasi.Untuk jenis informasi tertentu, Badan Publik harus menyediakannya setiap saat.Langkah antisipasi dibutuhkan jika sewaktu-waktu ada permohonan.Agar informasi mudah diakses maka mekanisme pengelolaan dan penyimpanan menjadi penting. Berikut informasi yang wajib tersedia setiap saat: • Daftar Informasi Publik. • Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan Badan Publik. • Seluruh informasi lengkap yang wajib diumumkan dan disediakan secara berkala. • Informasi tentang organisasi, administrasi kepegawaian, dan keuangan Badan Publik. • Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga beserta dokumen pedukungnya. • Surat menyurat pimpinan atau pejabat publik dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. • Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan berikut dokumen pendukungnya, dan laporan penataan izin yang diberikan.
83
• Data inventaris kantor. • Rencana strategis dan rencana kerja Badan Publik. • Agenda kerja pimpinan satuan kerja. • Kegiatan pelayanan informasi publik. • Pelanggaran yang ditemukan dalam pengawasan internal beserta laporan penindakannya. • Daftar serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan. • Informasi yang sudah dinyatakan terbuka berdasarkan mekanisme penyelesaian sengketa. • Standar pengumuman informasi. • Kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum.
Bahan Bacaan 6.4 (Studi Kasus) Dokumen Terbuka, Informasi Dikecualikan (LBH Masyarakat versus BNN) Badan Publik tidak pernah mengetahui kapan persisnya pemohon mengajukan permohonan informasi.Untuk jenis informasi tertentu, Badan Publik harus menyediakannya setiap saat.Langkah antisipasi dibutuhkan jika sewaktu-waktu ada permohonan.Agar informasi mudah diakses maka mekanisme pengelolaan dan penyimpanan menjadi penting. Latar Belakang Pada 1 Mei 2012, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) yang berdomisili di Jakarta telah mendaftarkan permohonan sengketa informasi publik di Kepaniteraan Komisi Informasi Pusat.Permohonan sengketa diajukan karena Badan Narkotika Nasional (BNN) tidak memenuhi seluruh permintaan informasi yang diajukan LBHM pada 27 Februari 2012.Pemohon mengajukan permintaan informasi dengan alasan bahwa LBHM adalah lembaga yang selama ini banyak mendampingi korban kasus narkotika dan informasi ini akan menjadi bahan untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya narkoba. Adapun informasi yang diminta adalah tiga Peraturan Kepala BNN yang diterbitkan tahun 2011, yaitu No. 3 tentang Teknik Penyidikan dan Penyerahan di Bawah Tangan, No. 4 tentang Teknik Penyidikan Pembelian Terselubung, dan No. 5 tentang Petunjuk Teknis Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana dan Prekursor Narkoba.
84
Tanggapan Termohon BNN tidak memberikan informasi yang diminta karena peraturan itu bersifat internal dan tidak boleh diketahui publik.Informasi yang termuat dalam dokumen peraturan itu kalau diberikan dapat menghambat penyelidikan dan penyidikan serta menganggu pengungkapan kasus.Larangan memberikan itu sesuai pasal 17 huruf a UU KIP. Setelah melalui proses keberatan dan tetap tidak puas, LBHM mengajukan sengketa informasi ke KI Pusat. Oleh karena termohon beralasan yang diminta adalah informasi yang dikecualikan, maka tidak ada sidang mediasi. Pertimbangan Majelis komisioner mengatakan kalau suatu peraturan tidak diundangkan, maka sifatnya untuk internal dan tidak bisa dianggap sebagai peraturan perundang-undangan. Mengutip pendapat ahli, materi Peraturan Kepala BNN yang diminta tidak mengatur keluar sehingga tidak perlu diundangkan.Sifatnya hanya semacam juknis bagi penyelidik dan penyidik BNN. Pasal 18 UU KIP memang menegaskan bahwa peraturan adalah informasi terbuka, namun majelis berpendapat, dalam dokumen yang diminta ternyata ada informasi yang dikecualikan sesuai Pasal 17 huruf a angka 1 UU KIP. Putusan Ajudikasi KIP Pada 2 Oktober 2012, majelis komisioner KIP membacakan putusan yang pada intinya menyatakan dokumen yang diminta adalah dokumen terbuka yang di dalamnya terdapat informasi yang dikecualikan. Majelis memerintahkan BNN memberikan dokumen yang diminta setelah melakukan penghitaman pada bagian informasi yang dikecualikan. Misalnya, pasal 3 sampai pasal 27 Peraturan Kepala BNN No. 3 Tahun 2011 dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan. Pertanyaan kunci: 1. Apakah putusan itu sudah tepat dilihat dari pasal 17 huruf a UU KIP? 2. Apakah putusan itu sudah tepat dilihat dari pasal 18 ayat (1) huruf b UU KIP juncto Pasal 11 ayat (1) huruf f Perki No. 1 Tahun 2010? 3. Bagaimana melihat kasus ini dari perspektif UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
85
Sesi - 7
MENGELOLA INFORMASI YANG DIKECUALIKAN
Sesi - 7
MENGELOLA INFORMASI YANG DIKECUALIKAN Pengantar “Keputusan saya untuk menulis pengalaman selama menjadi anggota Wantimpres Bidang Hukum periode 2007-2009, pasti akan menimbulkan pertanyaan mengingat adanya ketentuan hukum pasal 6 ayat (1) UU Dewan Pertimbangan Presiden No. 19/2006, yang berbunyi: Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak manapun”.1 Nukilan di atas merupakan pernyataan pengacara senior Adnan Buyung Nasution dalam kata pengantar dalam bukunya ‘Nasihat untuk SBY’. Penerbitan buku ini pada Mei 2012 lalu telah menimbulkan pro dan kontra, terutama mengenai kelayakan dan etika berkaitan dengan materi buku. Buyung telah membuka kepada publik informasi yang oleh undang-undang harus ia rahasiakan dalam rangka jabatannya. Undang-Undang No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) telah tegas menyebutkan larangan bagi anggota Wantimpres membuka kepada publik mengenai nasihat-nasihat yang mereka sampaikan kepada Presiden. Larangan ini satu nafas dengan apa yang disebut pasal 17 huruf j UU KIP, yakni “informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang”. Faktanya, secara sadar Buyung telah membuka nasihat-nasihatnya melalui Adnan Buyung Nasution. Nasihat untuk SBY. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2012, bagian Pengantar. 2
89
buku yang bisa dibaca oleh siapapun dan dijual bebas.Komenter Buyung terhadap hal ini: “Menurut hemat saya, tidak ada kerahasiaan yang mutlak. Tidak semuanya harus dirahasiakan�. UU KIP sendiri menganut asas informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.Terbatas dari sisi jumlah dan ketat dari sisi mekanisme penetapan kerahasiaannya.Meskipun suatu informasi dinyatakan rahasia, penetapan kerahasiaan itu pada umumnya tidak permanen. Pasal 20 ayat (1) UU KIP sudah menegaskan seluruh materi pasal 17 huruf a sampai f tidak bersifat permanen.Ada jangka waktu atau masa retensi suatu informasi bersifat rahasia. Pengecualian-pengecualian dalam hak atas informasi diatur dalam beberapa pasal UU KIP yang harus dibaca menyeluruh dan komprehensif agar dapat dipahami secara utuh.Badan Publik perlu memahami bagaimana mengelola informasi yang dikecualikan sesuai prinsip-prinsip pengecualian yang diatur dalam UU KIP.Kesiapan Badan Publik melakukan uji konsekuensi secara layak dianggap sebagai tantangan implementasi UU KIP.2 Apalagi UU KIP tidak mengatur mekanisme baku mengenai pengujian atas konsekuensi.
Dessy Eko Prayitno dkk (penyusun). Penafsiran atas Pengecualian dalam Hak atas Informasi: Pengalaman di Indonesia dan Negara Lain. Jakarta: Center for Law and Democracy dan ICEL, 2012, hal. 2. 2
90
Tujuan
• Peserta mampu menjelaskan alasan-alasan suatu informasi dikecualikan. • Peserta mengetahui dan memahami cara melakukan uji konsekuensi.
Metode
• Diskusi kelompok • Presentasi/ceramah • Studi kasus
Waktu
alat Bantu Belajar
180 menit
• Kertas metaplan • Plano • Spidol
Media
• Bahan bacaan • Bahan simulasi • Bahan presentasi • Ringkasan kasus
Catatan untuk Fasilitator
• Di sesi ini, fasilitator perlu membangun kemampuan peserta membuat mekanisme pengujian atas suatu informasi yang dikecualikan. • Fasilitator perlu menyiapkansatu contoh kasus untuk dibahas dalam studi kasus. Peserta diminta menuliskan informasi apa saja yang tertutup dari kasus itu dan pembahasan kasus dilanjutkan di diskusi kelompok. Kemudian peserta diminta membuat dasar dan argumentasi penolakan berdasarkan UU KIP dan UU lainnya di bidang pendidikan, kesehatan, atau narkotika. • Di sesi diskusi kelompok, sebaiknya narasumber tetap berada di tempat untuk menyaksikan proses yang dilakukan peserta guna bahan evaluasi. • Fasilitator menggunakan panduan uji konsekuensi pada tahap evaluasi.
91
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator menjelaskan kaitan sesi ini dengan sesi sebelumnya yang membahas pengelolaan informasi terbuka. • Fasilitator menekankan betapa pentingnya sesi ini diikuti dengan saksama karena sangat krusial bagi Badan Publik. Presentasi fasilitator (10 menit) • Fasilitator menjelaskan sekilas tentang kategori informasi yang dikecualikan dalam UU KIP, meliputi makna, cakupan, dan asas-asasnya. Studi kasus (30 menit) • Fasilitator membagikan ringkasan kasus mengenai pendidikan, misalnya mengenai penerimaan siswa baru. • Peserta diminta menentukan hal-hal berikut dari kasus itu: 1. Apa nama Badan Publiknya? 2. Yang mana dari kasus itu merupakan informasi yang terbuka? 3. Apa saja yang termasuk informasi yang dikecualikan? 4. Mengapa informasi itu termasuk yang dikecualikan? 5. Siapa saja seharusnya yang boleh mengetahui informasi yang dikecualikan itu? 6. Apa yang dilakukan oleh Badan Publik agar informasi/dokumen rahasia itu tidak bocor? • Peserta mencatatkan pandangannya di kertas metaplan. Fasilitator memilih beberapa orang peserta untuk menyampaikan pandangannya mengenai kasus itu. Presentasi narasumber (45 menit) • Fasilitator memperkenalkan narasumber serta kapasitasnya sesuai bidang yang akan dibahas. Perkenalandapat dilakukan saat menyampaikan garis-garis besar pengecualian informasi. • Narasumber menyampaikan presentasi. • Presentasi fokus pada mekanisme pengujian konsekuensi. Diskusi kelompok (30 menit + 40 menit)
92
• Setelah mendengarkan ceramah dari narasumber, fasilitator membagikan kertas plano kepada setiap kelompok. Fasilitator juga mencatat di plano poin-poin pengujian konsekuensi yang telah disampaikan narasumber. • Masing-masing kelompok diberikan tugas membuat contoh-contoh informasi yang dikecualikan di lembaga mereka sekaligus menyiapkan alasan-alasan berdasarkan mekanisme pengecualian yang telah disampaikan narasumber. • Pada sesi kedua diskusi kelompok(45 menit), fasilitator mempersilakan masingmasing kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi mereka di depan forum. Pada sesi ini fasilitator juga mencatat di plano tentang kesesuaian hasil diskusi kelompok dengan mekanisme pengujian yang telah disampaikan fasilitator. Evaluasi fasilitator (15 menit) • Fasilitator melakukan evaluasi hasil diskusi secara umum. • Fasilitator menggunakan panduan uji konsekuensi dan menjelaskan tata caranya. Penutupan (5 menit) • Fasilitator menegaskan pentingnya menyusun argumentasi dan alasan dalam menentukan pengecualian informasi. • Sesi ini ditutup dan fasilitator menekankan kepada peserta untuk tetap mengingat dan memahami mekanisme pengecualian informasi.
Bahan Bacaan 7.1 Informasi yang Dikecualikan Rezim keterbukaan informasi di negara manapun mengenal prinsip kerahasiaan terbatas. UU KIP juga mengenal informasi yang dikecualikan atau jenis informasi yang sifatnya rahasia. Definisi Informasi yang dikecualikan adalah informasi yang tidak dapat diakses oleh pemohon informasi publik sebagaimana ditentukan dalam UU KIP.Jadi, semua informasi publik dapat diakses kecuali informasi yang dikecualikan. Dasar Pengecualian Pengecualian informasi publik didasarkan pada: (i) Pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan; serta (ii) Setelah dipertimbangkan dengan
93
saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya, atau sebaliknya. Konsekuensi Pasal 6 ayat (1) UU KIP memberikan hak kepada Badan Publik menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tiga Kerahasiaan Dasar dalam UU KIP Kepentingan yang ingin dilindungi dalam kerangka pengecualian informasi menurut UU KIP meliputi penegakan hukum, ketahanan ekonomi nasional, hak kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat, kekayaan alam Indonesia, pertahanan dan keamanan negara, informasi pribadi, surat-menyurat antar dan antara Badan Publik, serta informasi lain yang tidak boleh dibuka berdasarkan undang-undang. Namun secara umum informasi-informasi yang dikecualikan berdasarkan pasal 17 UU KIP dapat dikategorikan ke dalam tiga kerahasiaan dasar seperti terlihat pada bagan berikut:
Gambar 7.1 Tiga Kerahasiaan Dasar
Kerahasiaan Negara Penetapan kerahasiaan negara bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional yang direpresentasikan oleh lembaga-lembaga negara. Meliputi antara lain kerahasiaan bidang pertahanan dan keamanan negara, penegakan hukum, dan surat menyurat antar Badan Publik negara. Poin penting dari penetapan kerahasiaan negara adalah kejelasan rumusan dan kriteria agar dalam praktik tidak menimbulkan multitafsir. Kerahasiaan Bisnis Penetapan kerahasiaan bisnis bertujuan untuk menjamin agar persaingan usaha yang sehat tetap berlangsung. Jika rahasia bisnis tidak dilindungi, maka persaingan usaha tidak sehat akan terus terjadi serta tidak ada penghargaan pada inovasi dan karya intelektual seseorang. Kerahasiaan bisnis umumnya menyangkut rahasia dagang (trade secret) dan hak kekayaan intelektual (merek, hak cipta, desain industri, paten).
94
Kerahasiaan Pribadi Penetapan kerahasiaan pribadi bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan privat atau pribadi warga negara. Pasal 28 G UUD 1945 menyebutkan hak setiap orang mendapatkan perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda. Dalam UU KIP, kerahasiaan pribadi meliputi akta otentik yang bersifat pribadi dan wasiat, latar belakang pendidikan, jejak rekam kesehatan, kondisi keuangan, dan hasilhasil evaluasi psikologis. Indonesia belum memiliki aturan lengkap tentang perlindungan data pribadi atau kerahasiaan pribadi. Salah satu yang sering muncul adalah keluhan tentang nomor komunikasi pribadi warga negara yang tidak terlindungi (Lihat Kotak7.1). Pengecualian atas Pengecualian Informasi yang dikecualikan tidak bersifat permanen.Kerahasiaan suatu informasi sangat tergantung pada waktu (masa retensi) dan persyaratan publik. Kerahasiaan data pribadi misalnya, tidak lagi menjadi informasi yang dikecualikan jika memenuhi syarat: (i) Ada persetujuan dari yang bersangkutan; dan (ii) Pengungkapan berkaitan dengan jabatan publik. Catatan medis seseorang bisa diakses jika pasien menyetujui sendiri. Daftar kekayaan calon pejabat negara bukan saja bisa diakses tetapi wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan. Contoh informasi yang dikecualikan beserta pengecualian atas pengecualian dapat dilihat pada informasi mengenai penegakan hukum yang disebut dalam pasal 17 huruf a dan pasal 18 ayat (1) UU KIP. No.
Informasi yang Dikecualikan
Pengecualian atas Pengecualian
1
Menghambat proses penyelidikan dan Putusan badan peradilan. penyidikan suatu tindak pidana.
2
Mengungkapkan identitas informan pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui ada tindak pidana.
Ketetapan, keputusan, peraturan, surat edaran atau bentuk kebijakan lain, baik yang mengikat ke dalam maupun ke luar serta pertimbangan lembaga penegak hukum.
3
Mengungkapkan data intelijen kriminal, rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
4
Membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya.
Rencana pengeluaran tahunan dan laporan keuangan tahunan lembaga penegak hukum.
5
Membahayakan keamanan peralatan, sarana dan/atau prasarana penegak hukum.
Laporan hasil pengembalian uang korupsi.
95
Boks 7.1 Praktik Jual Beli Data Nasabah Kartu Kredit Marak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyayangkan maraknya penyalahgunaan data nasabah kartu kredit. Menurut YLKI, isi aplikasi kontrak yang biasa digunakan bank kepada nasabah perlu diperbaiki. Soalnya, ketentuan yang tercatat dalam klausul kontrak membuat konsumen tidak memiliki pilihan. Bila Anda membuka aplikasi kartu kredit, di situ ada klausul yang mengatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada bank untuk menggunakan data nasabah baik untuk kepentingan dirinya maupun untuk kepentingan lainnya. Menurut Ketua Harian YLKI, Sudaryatmo, hal demikian harus diwaspadai oleh nasabah. Dia mengatakan, adanya klausul kontrak semacam itu tidak menutup kemungkinan terjadinya kasus jual beli data nasabah oleh bank. Soalnya, konsumen tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengikuti aturan yang tertera. Atas dasar itu, ia mendesak Bank Indonesia (BI) agar melarang klausul kontrak semacam ini. Menurut Sudaryatmo, kasus semacam ini membuktikan bahwa konteks perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dan perbankan saat ini masih minim. “Isi kontraknya saja memang memberikan kuasa kepada bank. Jadi, kalau mau diperbaiki, ya isi kontraknya saja,� ujarnya. Untuk diketahui, pekan lalu, BI kembali menemukan maraknya penyalahgunaan data nasabah kartu kredit. Kepala Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Aribowo mengatakan data-data itu diperjualbelikan kepada sesama perusahaan outsourching yang disewa penerbit kartu kredit. Outsourcing sebuah bank itu menjual data para nasabah kepada outsourcing bank lain dan selanjutnya data tadi akan digunakan untuk mengisi formulir aplikasi pengajuan kartu kredit si nasabah. Oleh sebab itu, banyak keluhan dari warga masyarakat mengapa sering menerima telepon yang menawarkan kartu kredit ataupun surat yang datang ke rumah dimana berisi aplikasi kartu kredit yang telah lengkap bahkan bersama kartu kreditnya. Menurut Aribowo, negara sebetulnya telah berupaya melindungi para nasabah, di mana pemindahtanganan data nasabah adalah hal yang dilarang dan tidak sesuai dengan UndangUndang Kerahasiaan Bank. Berdasarkan aturan itu, bank dilarang untuk membuka apalagi memberikan data nasabahnya ke pihak lain. Sekadar catatan, yang dimaksud rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan dan simpanannya, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pihak terafiliasi. Ketentuan rahasia bank tidak berlaku untuk: a) Kepentingan perpajakan. b) Penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)/Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
96
c) d) e) f) g) h)
Kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya. Tukar-menukar informasi antarbank. Permintaan, persetujuan atau kuasa nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis. Permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah meninggal dunia. Dalam rangka pemeriksaan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
Pelaksanaan ketentuan dalam huruf a, b dan c wajib terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis dari pimpinan BI untuk membuka rahasia bank, sedangkan untuk pelaksanaan ketentuan huruf d, e, f , g dan h, perintah atau izin tidak diperlukan. Pasal 44 ayat (1) UU Perbankan Umum menyatakan, dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain. Ayat (2), ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh BI. Dalam hal ini, bank wajib menerapkan transparansi informasi mengenai produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah yang ditetapkan dalam kebijakan dan prosedur tertulis. Bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai karakteristik (termasuk risiko) setiap produk bank. Dalam hal bank akan memberikan dan atau menyebarluaskan data pribadi nasabah, bank wajib meminta persetujuan tertulis dari nasabah. Kabiro Humas BI, Difi A. Johansyah mengakui ada laporan dari masyarakat kepada bank sentral terkait praktik jual beli data nasabah kartu kredit. BI, sendiri, katanya, sedang menindaklanjuti laporan itu. Hanya, ia enggan bercerita lebih detail bagaimana praktik seperti ini bisa terjadi. “Yang pasti kami akan terus melakukan sosialisasi kepada pihak bank agar menjaga ketat seluruh data nasabah agar tidak sembarangan diberikan kepada outsourcing yang telah bekerjasama dengan bank itu,� tuturnya. Sementara itu, Board of Executive Asosiasi kartu Kredit Indonesia (AKKI), Dodit WProbojakti, mengatakan penyalahgunaan data selama ini lebih banyak di area personal loan (KTA), bukan kartu kredit. Ia menegaskan, jual beli data adalah sesuatu yang sangat sulit dibuktikan. “Kalau saya tidak salah, ada PBI yang melarang bank memberikan data pribadi nasabah untuk keperluan penawaran produk tanpa persetujuan dari nasabah,� katanya. Ia menambahkan, AKKI selalu bekerjasama dengan seluruh penerbit kartu kredit dan BI untuk memberikan consumer education, seperti jangan pernah memberikan data pribadi (terutama nomor kartu kredit, expired date, dll) kepada siapapun, menelepon bank jika kartu kredit hilang atau dicuri untuk menghindarkan penyalahgunaannya, selalu memeriksa lembar tagihan kartu kredit, dan menelepon bank jika ada tagihan yang tidak diakui. Sumber: www.hukumonline.com. Dipublikasikan pada Rabu, 03 November 2010. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
97
Bahan Bacaan 7.2 Mekanisme Uji Konsekuensi Pasal 19 UU KIP menyebutkan PPID di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi dengan saksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh setiap orang. Tugas dan tanggung jawab PPID itu juga disinggung dalam pasal 14 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2010tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomer 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menegaskan PPID bertugas dan bertanggung jawab dalam pengujian konsekuensi. Pengujian konsekuensi (consequential harm test) adalah pengujian mengenai konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan dengan saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya, atau sebaliknya. Pasal 2 ayat (4) UU KIP juga menyinggung kepentingan umum (publik) dalam rangka pengujian konsekuensi. Dengan demikian UU KIP menggunakan dua prinsip untuk memastikan pengecualian atas suatu informasi, yaitu: a. Uji konsekuensi. b. Uji kepentingan publik. Pelaksanaan uji konsekuensi merupakan tugas dan tanggung jawab yang bersifat prosedural.Tetapi berimplikasi yuridis pada ketentuan sanksi dalam pasal 52 dan pasal 54 UU KIP. Uji konsekuensi harus dilakukan sebelum PPID menolak permohonan informasi atas dasar substansinya masuk kategori informasi yang dikecualikan pengecualian (pasal 6 ayat 1 UU KIP). Uji konsekuensi dilakukan agar PPID bisa memastikan suatu informasi bersifat rahasia dan tidak bisa diakses dalam kurun waktu tertentu. Konsekuensi yang timbul adalah konsekuensi yang membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan UU KIP apabila suatu informasi dibuka. Suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik.Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu informasi, informasi tersebut harus dirahasiakan.Sebaliknya, jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan membuka suatu informasi, maka informasi harus dibuka. Tahap-Tahapan Uji Konsekuensi Klarifikasi informasi yang dimohon PPID melakukan identifikasi dan klarifikasi jenis informasi yang diminta pemohon.Jika dibutuhkan PPID perlu melakukan klarifikasi langsung kepada pemohon agar diketahui dokumen yang memuat informasi itu.
98
Identifikasi dasar hukum pengecualian Setelah spesifik dan akurat informasi yang diminta, PPID harus mencari pijakan hukum dalam UU KIP dan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur informasi yang diminta. Identifikasi tujuan pengecualian Tujuan permohonan informasi selalu diperlukan jika yang diminta adalah informasi yang dikecualikan. PPID harus memperjelas kesesuaian antara tujuan pemohon dengan jenis informasi yang diminta. Analisis konsekuensi yang dapat ditimbulkan Pada tahap ini PPID dan unit kerja lain di Badan Publik melakukan analisis terhadap konsekuensi yang mungkin ditimbulkan jika informasi itu diberikan. Badan Publik dapat memanfaatkan pendapat ahli pada tahap analisis konsekuensi ini. Hasil analisis perlu didalami lagi untuk memastikan ada tidaknya pernyataan kerahasiaan derivatif, yakni kerahasiaan yang harus diuraikan menjadi satu atau lebih kerahasiaan mendasar sebagaimana dinyatakan pasal 6 ayat (3) dan pasal 17 UU KIP. Sering terjadi, suatu informasi dikecualikan lebih dari satu alasan konsekuensi (multiple secrecy) dan lintas jenis kerahasiaan. Misalnya, rahasia rekening nasabah di bank plat merah bisa meliputi rahasia pribadi, rahasia penegakan hukum, bahkan mungkin rahasia negara (Lihat Kotak 7.2). Identifikasi pengecualian atas pengecualian PPID melakukan identifikasi dengan melihat aturan yang mungkin mengecualikan atas pengecualian itu.Sering kali suatu informasi masuk kategori dikecualikan tetapi mungkin ada aturan yang memberi perlakuan khusus untuk subjek atau kondisi tertentu. Merumuskan kesimpulan PPID menyusun kesimpulan dari semua tahapan sebelumnya. Kesimpulan tertulis minimal menjawab pertanyaan: a. Apakah informasi yang diminta benar-benar masuk kategori informasi yang dikecualikan? b. Seperti apakah alasan-alasan yuridis yang mendasari kesimpulan akhir? Uji Kepentingan Publik Selain uji konsekuensi yang sudah dibahas tadi, Badan Publik juga diharuskan melakukan uji kepentingan publik.Uji kepentingan publik adalah mekanisme yang lazim di berbagai negara.Prinsipnya, PPID di Badan Publik melakukan pengujian terhadap kepentingan publik.Jika kepentingan publik lebih besar menghendaki informasi ditutup, maka
99
PPID membuat pertimbangan untuk menyatakan suatu informasi dikecualikan.Tugas berat PPID adalah mendefinisikan kepentingan publik yang lebih luas dan ini termasuk parameter yang digunakan. Uji kepentingan publik dilakukan dengan mendalami beberapa faktor yang sesuai. Badan Publik harus memastikan bahwa faktor itu tetap terlindungi meskipun suatu informasi ditutup. Faktor-faktor yang sesuai untuk dipertimbangkan antara lain: a. Masyarakat tetap dapat berpartisipasi secara efektif dalam pembuatan keputusan yang memiliki sampak serius bagi public. b. Masyarakat tetap dapat memperoleh informasi mengenai kemungkinan bahaya bagi kesehatan dan keselamatan mereka serta upaya mencegah resiko itu. c. Pihak berwenang tetap bisa bersikap dan bertindak adil. d. Masyarakat tidak mengalami kerugian akibat penyalahgunaan wewenang. e. Akuntabilitas Badan Publik tetap terpelihara dan dapat diakses.
Boks 7.2 Terbitkan Daftar ‘Lagarde’, Jurnalis Yunani Diadili “Bukan sok pahlawan, tapi saya ingin menunjukkan ketidakadilan”. Athena—Costas Vaxevanis, wartawan sekaligus editor majalah Hot Doc, kemarin menjalani sidang perdana di Athena, Yunani. Pria 46 tahun itu didakwa melanggar kerahasiaan data privasi karena menerbitkan 2.059 nama warga Yunani yang diduga memiliki rekening di bank Swiss. Jika terbukti bersalah karena menerbitkan daftar “Lagarde”, mantan jurnalis televisi itu dapat dihukum maksimal tiga tahun penjara dan denda Rp465 juta. “Jika saya harus dipenjara, saya rela. Bukan sok pahlawan, tapi saya ingin menunjukkan ketidakadilan di Yunani,” kata Vaxevanis sebelum sidang dimulai. Daftar Lagarde sejatinya merupakan data curian seorang pegawai bank HSBC di Swiss pada 2007. Data itu kemudian digunakan badan pajak di seluruh Eropa untuk mengidentifikasi para pelaku penggelapan pajak. Pada 2010, Menteri Keuangan Prancis saat itu, Christine Lagarde, memberikan daftar ini kepada Menteri Ekonomi Yunani saat itu, George Papaconstantinou. Namun data itu tidak digunakan oleh pemerintah Yunani dengan alasan diperoleh melalui aksi kriminal. Selain itu, pejabat Yunani berdalih mereka yang masuk daftar “Lagarde” tidak terbukti melanggar hukum. Vaxevanis mengatakan dirinya memperoleh daftar itu dari pengirim tak dikenal yang mengaku
100
memperolehnya dari seorang politikus. Ia pun menuding pemerintah sengaja mendiamkan data itu karena beberapa nama di dalamnya merupakan karib sejumlah menteri, taipan, hingga penerbit terkenal. “Tiga kabinet terakhir sengaja membohongi dan menghina rakyat karena mendiamkan para pemilik rekening. Mereka berkewajiban memberikan daftar itu kepada parlemen atau aparat hukum. Karena lalai, pemerintahwajib dihukum,” ujarnya geram. Kasus ini menimbulkan kemarahan rakyat. Pasalnya, seluruh nama dalam daftar tersebut sama sekali tidak tersentuh hukum. Namun, saat Vaxevanis menerbitkan daftar nama itu dalam edisi Sabtu pekan lalu, ia kemudian ditangkap ketika melakukan siaran radio pada Minggu lalu waktu setempat. “Bukannya berfokus pada penyelidikan nama dalam daftar Lagarde, aparat hukum justru menangkap wartawan yang melakukan tugasnya membuka informasi kepada masyarakat,” Asosiasi Pengacara Athena –perkumpulan pengacara terkenal di Yunani—mengkritik. Sumber: Koran Tempo, edisi 2 November 2012 hal. A-16. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
Bahan Bacaan 7.3 Pengelolaan Arsip Dinamis dan Statis di Daerah Nyaris setiap hari Badan Publik mengelola informasi dengan merekam kegiatan atau peristiwa. Rekaman itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, seperti buku, brosur, VCD, mikrofilm. Bisa juga suatu Badan Publik tidak membuat langsung, melainkan menerima dokumen tertentu dari Badan Publik lain. Rekaman kegiatan itu disebut dengan arsip. Informasi yang dikecualikan termuat dalam rekaman yang harus disimpan oleh Badan Publik.Setiap Badan Publik pasti memiliki arsip.Keberhasilan mengelola informasi yang dikecualikan sangat ditentukan pola pengarsipan di suatu lembaga, termasuk akses terbatas ke arsip itu. Arsip dibedakan atas dua jenis: a. Arsip dinamis. b. Arsip statis. Arsip Dinamis • Arsip yang digunakan secara langsung dalam kegiatan pencipta arsip dan disimpan selama jangka waktu tertentu. • Dikelola dalam suatu sistem kearsipan nasional.
101
• Pengelolaan dilaksanakan guna menjamin ketersediaan arsip dalam penyelenggaraan kegiatan sebagai bahan akuntabilitas kinerja dan alat bukti yang sah. • Meliputi: (i) Penciptaan arsip, (ii) Penggunaan dan pemeliharaan arsip, dan (iii) Penyusutan arsip. • Pencipta arsip wajib menyediakan arsip dinamis bagi kepentingan arsip yang berhak. • Pencipta arsip dapat menutup akses atas arsip dengan alasan apabila arsip dibuka untuk umum dapat: a. Menghambat proses penegakan hukum. b. Mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. c. Membahayakan pertahanan dan keamanan negara. d. Mengungkap kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya. e. Merugikan ketahanan ekonomi nasional. f. Merugikan kepentingan politik dan hubungan luar negeri. g. Mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang kecuali kepada yang berhak secara hukum. h. Mengungkapkan rahasia dan data pribadi. i. Mengungkap memorandum atau surat-surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan. • Pemeliharaan arsip tertutup dilaksanakan oleh pencipta arsip untuk menjamin keamanan informasi dan fisik arsip. Arsip Statis • Arsip yang dihasilkan pencipta arsip karena memiliki nilai guna kesejarahan, telah habis masa retensinya, dan dipermanenkan berdasarkan verifikasi dari lembaga arsip. • Arsip statis pada dasarnya terbuka untuk umum dan lembaga arsip wajib menjamin kemudahan akses bagi masyarakat. • Jika hendak dinyatakan tertutup, harus dilakukan sesuai ketentuan perundangundangan. Arsip statis hanya bisa dinyatakan tertutup jika sudah memenuhi syarat yang diatur dalam perundang-undangan. • Penetapan arsip daerah menjadi tertutup dilakukan oleh kepala lembaga kearsipan sesuai tingkatan dan dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
102
• Jika sudah dinyatakan tertutup, Kepala ANRI atau kepala lembaga kearsipan berwenang menyatakan arsip- statis menjadi terbuka setelah lewat masa retensi 25 tahun. Pemerintah Daerah termasuk pihak yang diwajibkan mengelola arsip.Kebijakan mengenai arsip daerah diatur UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, yang menyatakan: Arsip daerah (provinsi dan kabupaten/kota) wajib melaksanakan pengelolaan arsip statis yang diterima dari SKPD, lembaga negara, perusahaan, organisasi politik, ormas, dan sumbangan perseorangan. Beberapa daerah yang tidak memiliki kemampuan mengelola arsip tertutup bekerjasama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) atau Lembaga Sandi Negara seperti yang dilakukan Badan Pengusahaan Batam (Lihat Kotak 7.3).
Boks 7.2 BP Batam–LSN Amankan Naskah Rahasia Negara BATAM (BisnisKepri.com): Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggandeng Lembaga Sandi Negara RI untuk mengamankan informasi dan Tata Naskah Rahasia Negara BP Batam. Untuk pengimplementasiannya, BP Batam dan Lembaga Sandi Negara mengadakan kegiatan pelatihan mengenai keamanan Sistem Informasi dan Tata Naskah Dinas Rahasia yang diselenggarakan di Gedung IT Centre BP Batam di Batam Center,pada 26-28 Juni 2012. Pelatihan ini diikuti sekitar 40 orang karyawan-karyawati BP Batam. Pelatihan dibuka oleh Kepala BP Batam Ir. Mustofa Widjaja, didampingi wakil kepala, para deputi, dan para direktur di lingkungan BP Batam. Pelatihan Keamanan Sistem Informasi dan Tata Naskah Dinas Rahasia dipandu langsung Kepala Sandi Negara Mayjend Dr. Joko Setiadi, Msi dari Jakarta. Mustofa Widjaja mengatakan, Lembaga Sandi Negara telah banyak memberikan asistensi terutama yang berkaitan dengan keamanan data. “Lembaga Sandi memberi asistensi dalam keamanan penggunaan IT yang sedang dikembangkan melalui program e-government maupun Data Centre,” ujarnya hari ini. Joko Setiadi mengatakan,bahwa dalam pengamanan informasi negara kuncinya adalah individu masing-masing dalam instansi BP Batam harus dapat membedakan informasi yang boleh disampaikan dan informasi yang tidak boleh disampaikan kepada publik. “Dengan mengikuti pelatihan ini diharapkan karyawan-karyawati BP Batam dapat membedakan informasi yang boleh disampaikan dan informasi yang tidak boleh disampaikan,” kata dia. Tujuan BP Batam mengadakan pelatihan adalah untuk menjaga IT sebagai asset BP Batam dari serangan luar dan dari dalam. Selain itu juga untuk menjaga perilaku yang memungkinkan terjadinya kebocoran keamanan informasi dan dokumen penting.
103
Materi yang diberikan dalam pelatihan berupa Infosec, Rahasia Negara dan Rahasia Instansi, Pengamanan Naskah Dinas, dan Pengamanan Personil (SDM Informasi dan Security Clearance). Sumber: www.bisnis-kepri.com, 27 Juni 2012. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
Bahan Bacaan 7.4 Masa Retensi Masa retensi adalah jangka waktu pengecualian suatu informasi sehingga tidak dapat diakses pemohon informasi.Jangka waktu pengecualian untuk setiap informasi berbedabeda. Dalam dunia kearsipan dikenal istilah Jadwal Retensi Arsip (JRA), yaitu daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan. JRA digunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip. Masa retensi informasi yang dikecualikan sebagaimana disebut dalam pasal 17 UU KIP, kemudian diatur secara umum dalam PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomer 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebagian besar masa retensinya disesuaikan dengan peraturan teknis yang mengatur informasi itu.Misalnya, masa retensi informasi mengenai kekayaan intelektual disesuaikan dengan UU tentang Hak Cipta, UU Merek, UU Desain Industri, dan UU Paten. Salah satu contoh masa retensi yang sudah diatur Badan Publik adalah jadwal retensi arsip substantif penelitian dan pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Arsip substantif dalam konteks ini adalah arsip yang tercipta dari suatu kegiatan penelitian dan pengembangan di lingkungan Kementerian ESDM.Di sini, setiap satuan organisasi diwajibkan berpedoman pada jadwal retensi saat melakukan kegiatan penyusutan arsip.
104
No. I
Jenis Arsip
Masa Retensi
Keterangan
Aktif
In Aktive
1tahun setelah diperbarui
3 tahun
Permanen
1 tahun
3 tahun
Musnah
1 tahun 1 tahun
3 tahun 3 tahun
Musnah Musnah
Rencana Penelitian dan Pengembangan 1
Masterplan/Rencana Strategis Litbang
2
Proposal penelitian Rencana Kerja Litbang antara lain: a. Proposal penelitian b. Persiapan, survei, rencana operasional termasuk jadwal kegiatan c. Presentasi kegiatan
II
Pelaksanaan Litbang 1
Administrasi Pelaksanaan Litbang
2
….
3
…. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ttd (…………………………………………)
Salinan Sesuai Aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas (……………………….)
Bahan Bacaan 7.5 (Studi Kasus) Ulat tomcat telah menyerang warga beberapa kecamatan, namun informasi mengenai korban masih simpang siur. Rumah sakit milik Pemda mengakui telah menangani beberapa orang korban.Menurut berita yang berkembang, ulat tomcat muncul karena kegagalan eksprimen suatu produk pembasmi serangga yang sedang dikembangkan perusahaan (PT AKBT). Direktur utama PT AKBT ternyata adalah anak bupati.Setelah ditelusuri lagi, ternyata salah satu pemegang saham perusahaan adalah BUMD setempat. Sekelompok lembaga swadaya masyarakat (SEJIWA) berinisiatif meminta informasi kepada Pemda tentang: (i) Salinan dokumen semua jenis izin yang diberikan Pemda kepada PT AKBT, (ii) Jumlah dan identitas korban; (iii) Anggaran Pemda untuk penanggulangan penyakit beserta daftar lengkap orang-orang atau lembaga yang pernah menerimanyaselama satu tahun terakhir; (iv) Notulensi rapat di Pemda yang membahas penanggulangan bahaya ulat tomcat. Pada saat yang sama SEJIWA meminta informasi kepada pihak rumah sakit Pemda dan PT AKBT. Informasi yang diminta kepada rumah sakit Pemda berupa: (i) Jumlah korban dan salinan catatan medis korban untuk membuktikan hubungan kematian dengan ulat tomcat, (ii) Jumlah biaya yang dikeluarkan korban beserta salinan bukti-buktinya, (iii) Biaya pengobatan yang ditanggung PT AKBT,dan (iv) Identitas lengkap (nama, alamat, dan kontak) dokter yang menangani korban.
105
Adapun informasi yang diminta kepada PT AKBT adalah: (i) Berbagai izin yang diperoleh dari pemerintah, (ii) Laporan keuangan perusahaan, (iii) Biaya pengobatan yang dikeluarkan untuk korban ulat tomcat, (iv) Komposisi pemegang saham perusahaan, minimal jumlah dan nilai saham yang ditanamkan BUMD, dan (v) profil lengkap direktur utama PT AKBT, jumlah kekayaannya, aliran rekening banknya sejak PT AKBT berdiri hingga eksprimen gagal. Tugas Analisislah contoh kasus ini dan tentukan informasi apa yang terbuka dan tertutup! Lakukan langkah-langkah pengelolaan informasi yang dikecualikan, kemudian buatlah daftar informasi apa saja dari kasus itu yang dikecualikan disertai alasanalasannya!
Bahan Bacaan 7.6 (Panduan Uji Konsekuensi) NO.
A. INDIKATOR: KONSEKUENSI MUTLAK
PENILAIAN*
1
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf a angka 1 (menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana)?
YA / TIDAK
2
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf a angka 2 (mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/ atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana)?
YA / TIDAK
3
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf a angka 3 (mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional)?
YA / TIDAK
4
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf a angka 4 (membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/ atau keluarganya)?
YA / TIDAK
5
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf a angka 5 (membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum)?
YA / TIDAK
6
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf b (informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat)?
YA / TIDAK
106
7
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 1 (informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan penilaian sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri)?
YA / TIDAK
8
Apakah informasiyang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 2 (dokumen yang memuat tentang strategi, intelejen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanaan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi)?
YA / TIDAK
9
Apakah informasiyang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 3 (jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya)?
YA / TIDAK
10
Apakah informasiyang diungkapkan merupakan informasiyang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 4 (gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan! atau instalasi militer)?
YA / TIDAK
NO.
A. INDIKATOR: KONSEKUENSI MUTLAK
PENILAIAN*
11
Apakah informasiyang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 5 (data perkiraan kemampuan militer danpertahanan negara lain terbatas pada segala tindakandan/atau indikasi negara itu yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/ atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian itu sebagai rahasia atau sangat rahasia)?
YA / TIDAK
12
Apakah informasiyang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 6 (sistem persandian negara)?
YA / TIDAK
13
Apakah informasiyang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf c angka 7 (sistem intelijen Negara)?
YA / TIDAK
14
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf d (informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia)?
YA / TIDAK
15
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 1 (rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham, dan aset vital milik negara)?
YA / TIDAK
16
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 2 (rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, model operasi institusi keuangan)?
YA / TIDAK
17
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 3 (rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya)?
YA / TIDAK
107
18
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 4 (rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti)?
YA / TIDAK
19
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 5 (rencana awal investasi asing)?
YA / TIDAK
20
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 6 (proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya)?
YA / TIDAK
21
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf e angka 7 (hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang)?
YA / TIDAK
22
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf f angka 1 (posisi, daya tawar, dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional)?
YA / TIDAK
23
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf f angka 2 (korespondensi diplomatik antarnegara)?
YA / TIDAK
NO.
A. INDIKATOR: KONSEKUENSI MUTLAK
PENILAIAN*
24
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf f angka 3 (sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan intemasional)?
YA / TIDAK
25
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf f angka 4 (perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri)?
YA / TIDAK
26
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf g (informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang)?
YA / TIDAK
27
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf h angka 1 (riwayat dan kondisi anggota keluarga)?
YA / TIDAK
28
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf h hangka 2 (riwayat , kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang)?
YA / TIDAK
29
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf h angka 3 (kondisi keuangan, aset , pendapatan, dan rekening bank seseorang)?
YA / TIDAK
30
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf h angka 4 (hasilhasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang)?
YA / TIDAK
31
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf h angka 5 (catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan non-formal)?
YA / TIDAK
108
32
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 17 huruf i (memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan)?
YA / TIDAK
33
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 6 ayat (3) huruf d (informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan)?
YA / TIDAK
34
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU KIP pasal 6 ayat (3) huruf e (informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan)?
YA / TIDAK
35
Apakah informasi yang diungkapkan merupakan informasi yang tidak dapat dipublikasikan menurut UU lainnya? Jika YA, sebutkan!
YA / TIDAK
Jika ada satu atau lebih jawaban YA, maka tidak perlu untuk melanjutkan uji konsekuensi. Dengan demikian informasi dimaksud merupakan informasi yang dikecualikan (TIDAK dapat dipublikasikan kepada publik) Jlka semua jawaban adalah Tidak, maka dilanjutkan dengan mengisi bagian B
(Panduan Uji Konsekuensi) FORM IV: PANDUAN UJI KEPENTINGAN PUBLIK NO.
INDIKATOR
PENILAIAN*
1
Apakah informasi dengan menutup informasi "Masyarakat tetap dapat berpartisipasi efektif dalam pembuatan keputusan yang memiliki dampak serius pada publik"?
YA / TIDAK
2
Apakah informasi dengan menutup informasi "Masyarakat tetap dapat memperoleh informasi mengenai kemungkinan bahaya bagi kesehatan dan keselamatannya serta upaya-upaya yang memadai untuk mencegahnya"?
YA / TIDAK
3
Apakah informasi dengan menutup informasi "Pihak yang berwenang tetap dapat bertindak secara adil terhadap masyarakat"?
YA / TIDAK
4
Apakah informasi dengan menutup informasi "Masyarakat tetap tidak akan mengalami kerugian akibat penyalahgunaan wewenang"?
YA / TIDAK
5
Apakah informasi dengan menutup informasi "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat tetap dapat diketahui oleh publik"?
YA / TIDAK
6
Apakah informasi dengan menutup informasi "Akuntabilitas Badan Publik tetap terjaga"?
YA / TIDAK
Jika ada satu atau lebih jawaban YA maka informasi dimaksud merupakan informasi yang dikecualikan (TIDAK dapat dipublikasikan kepada publik) KESIMPULAN UJI KEPENTINGAN PUBLIK
* (Diisi oleh PPID)
109
Sesi - 8
PERTIMBANGAN TERTULIS
Sesi - 8
PERTIMBANGAN TERTULIS Pengantar Hak atas informasi sebagaibagian dari hak asasi manusia mendapat jaminan konstitusional dalam pasal 28F UUD 1945.Upaya pemenuhan dan penyediaannya tunduk pada peraturan perundang-undangan. Bagi pemohon informasi, konsekuensi dari adanya pengakuan hak itu, yakni selainmereka memiliki hak untuk memperoleh dan mendapatkan informasi, mereka juga memiliki hak melakukan upaya hukum jika hak itu dihambat.Bagi Badan Publik termohon informasi dikenakan kewajiban menyediakan informasi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertimbangan sering dijadikan syarat penting untuk mengambil keputusan tertentu.Pertimbangan itu umumnya dibuat dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang. Pertimbangan itulah yang menjadi dasar bagi pejabat membuat keputusan. Ada beberapa contoh yang menunjukkan pentingnya suatu pertimbangan tertulis, yaitu: a. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (pasal 14 ayat 1 UUD 1945). b. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 14 ayat 2 UUD 1945). c. Nasihat atau pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden wajib diberikan baik diminta atau tidak diminta (pasal 4 ayat 2 UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden). Pertimbangan tertulis bertujuan agar keputusan yang diambil tepat dan cermat, sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi, hukum, dan demokrasi.Dalam membuat suatu pertimbangan tertulis perlu diperhatikan
113
antara lainaturan hukum yang tepat, kerugian ekonomis yang timbul, kemungkinan membuat resah masyarakat jika informasi dibuka, dan konflik sosial jika informasi ditutup. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula ketersediaan informasi yang diminta sesuai pasal 6 ayat (3) huruf e UU KIP.
114
Tujuan
• Peserta memahami apa yang dimaksud dengan pertimbangan tertulis, mengapa diperlukan, dan dapat menyusun materi pertimbangannya. • Peserta memahami pertimbangan tertulis atas permintaan informasi dan atas informasi yang dikecualikan.
Metode
• Ceramah • Analisis kasus permintaan • Simulasi
Waktu
alat Bantu Belajar
90 menit
• Kertas • Spidol • Papan plano
Media
• Bahan presentasi • Bahan bacaan • Salinan contoh kasus untuk simulasi • Form pertimbangan tertulis
Catatan untuk Fasilitator
• Sesi ini menekankan pada upaya menggali kemampuan peserta untuk membuat pertimbangan tertulis. Oleh karena itu, fasilitator harus sudah menyiapkan contoh kasus pemintaan untuk dibuatkan bahan simulasi per kelompok. • Fasilitator diharapkan menyesuaikan contoh kasus dengan alat bantu simulasi dan kondisi di lapangan terkait jumlah peserta misalnya. • Untuk contoh penyusunan pertimbangan tertulis atas uji konsekuensi, fasilitator bisa merujuk pada contoh-contoh yang dibahas di sesi sebelumnya ‘Mengelola Informasi yang Dikecualikan’.
115
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi dengan menjelaskan maksud dan tujuan sesi ini.Selain itu, fasilitator menjelaskan teknik simulasi yang akan digunakan di sesi ini secara singkat. Ceramah (15 menit) • Fasilitator menyampaikan pengantar untuk menjelaskan arti dan pentingnya pertimbangan tertulis disertai contoh-contoh dalam peraturan perundangundangan. • Tidak ada sesi tanya jawab karena yang ditekankan adalah kemampuan membuat pertimbangan tertulis. Studi kasus dan simulasi (60 menit) • Fasilitator membagikan salinan contoh kasus berupa bahan bacaan kepada peserta berdasarkan kelompok. Mereka diminta memilih salah satu tema untuk dibahas di kelompoknya. • Fasilitator menjelaskan aturan main simulasi dan tugas masing-masing kelompok. • Fasilitator mempersilakan peserta menunjuk wakil kelompok yang berperan sebagai pemohon; PPID;atasan PPID atau pimpinan Badan Publik); dan pejabat fungsional pendukung semisal kepala biro hukum, kepala biro organisasi, dan tata laksana. • Peserta diminta membuat pertimbangan dari berbagai aspek dalam menelaah kasusnya. • Peserta dari masing-masing kelompok melakukan simulasi dan menyampaikan pertimbangan yang telah disusun. • Fasilitator memberikan komentar setelah seluruh peserta selesai menyampaikan paparan. Kalau memungkinkan, fasilitator mencatat pertimbangan yang sama dan berbeda dari masing-masing kelompok di kertas plano. Penutupan (5 menit) • Fasilitator menutup sesi ini, meminta peserta istirahat, dan bersiap lagi mengikuti sesi berikutnya.
116
Bahan Presentasi • Kontekspasal 7 ayat 4 UU KIP jo Pasal 2 ayat 1 PP 61 Tahun 2010: Badan Publik wajib membuat pertimbangan tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.Pertimbangan tertulis dibuat dalam hal ada permintaan informasi publik dan informasi yang dikecualikan. • Aspek-aspek yang dipertimbangkan berdasarkan pasal 7 ayat 5 UU KIP: a. Politik b. Ekonomi c. Sosial d. Budaya e. Pertahanan dan keamanan negara • Pertimbangan aspek lain berdasarkan pasal 7 ayat 5 UU KIP: Dimungkinkan karena frasa yang dipakai pasal 7 ayat (5) adalah “antara lain” politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara. • Media penyampaian berdasarkan pasal 7 ayat 6 UU KIP jo pasal 2 ayat 3 PP 61: Pertimbangan tertulis bisa disampaikan kepada pemohon lewat media elektronik (email) atau non-elektronik (surat tercatat). Pertimbangan tertulis dapat diakses setiap pemohon informasi publik. • Membuat dan menetapkan berdasarkan pasal 2 PP 61 Tahun 2010: Pertimbangan disusun dan ditetapkan PPID.Penetapan dibuat setelah ada persetujuan pimpinan Badan Publik.
Bahan Bacaan 8.1 Berikut ini adalah bahan bacaan untuk studi kasus yang akan disimulasikan oleh peserta secara kelompok didampingi fasilitator. Kasus: Meminta Informasi tentang Dana Partai Politik Berbagai praktik korupsi yang menjerat politisi seperti kasus pembangunan wisma atlet Sea Games Palembang di Kemenpora, proyek di PMPTK Kemendiknas, alat kesehatan di Kemenkes, diduga merupakan bagian dari perburuan rente partai politik. Proyek-proyek dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan sasaran utama korupsi. Padahal partai telah mendapat subsidi dari APBN.
117
Dalam rangka mendorong keterbukaan dalam pengelolaan dana partai, pada Selasa (28/6), Indonesia Corruption Watch mengirimkan surat permintaan informasi kepada sembilan partai politik yang mendapatkan kursi di Legislatif, yaitu Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Surat ditujukan kepada sekretaris jenderal melalui sekretariat di Jakarta. Tujuan permintaan informasi adalah untuk menguji akses laporan keuangan partai politik. Selama ini keuangan partai politik sangat tertutup, tidak transparan, dan minim akuntabilitas. Padahal sesuai dengan pasal 15 huruf (d) UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari APBN merupakan informasi publik yang harus di sediakan oleh partai politik. Merujuk pada aturan itu, ICW meminta informasi laporan keuangan partai politik khusus sumbangan dari APBN. Selain itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dalam pasal 34 A menyebutkan, bahwa partai politik wajib menyampaikan hasil audit penerimaan dan pengeluaran partai politik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dengan permintaan informasi ini harapannya dapat membongkar ketertutupan partai politik, sehingga informasi laporan keuangannya bisa diakses oleh publik sebagai konstituen. Disisi lain, ini juga merupakan uji komitmen partai politik untuk terbuka dalam hal pendanaan keuangan partai. Hal ini penting karena selama ini pusat terjadinya korupsi politik bermula dari ketertutupan dana politik. Sumber: dikutip dari salah satu pernyataan pers ICW.(Disunting kembali untuk penerbitan modul ini) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam simulasi adalah: • Apa yang harus dilakukan oleh pemohon informasi untuk meminta informasi itu? Pemohon diminta menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan beserta tenggat waktunya. • Apakah Badan Publik akan memberikan seluruh informasi itu? • Langkah-langkah apasaja yang harus dilakukan Badan Publik untuk membuat pertimbangan tertulis sebelum memutuskan menolak atau memberikan informasi yang diminta? • Apa saja pertimbangan untuk memberikan atau menolak informasi itu? Tuangkan pertimbangan dimaksud secara tertulis!
118
Bahan Bacaan 8.2 Kasus: Meminta Rincian Biaya Pengamanan
KPK Perlu Awasi Biaya Pengamanan Objek Vital Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi perlu dilibatkan dalam pengawasan pembiayaan pengamanan objek vital oleh aparat kepolisian. Pembiayaan pengamanan objek vital dinilai tidak transparan dan berpotensi menjadi praktik pemberian gratifikasi kepada jajaran kepolisian. Hal itu mengemuka dalam diskusi bertema ”Keterlibatan Polri dalam Konflik Sumber Daya Alam dan Praktik Penyiksaan” yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), di Jakarta, Rabu (27/6). Tampil sebagai narasumber antara lain anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, dan Koordinator Resolusi Konflik Sawit Watch Edi Sutrisno. ”KPK bisa dilibatkan bekerja sama dengan Polri untuk pembenahan dan pengawasan biaya pengamanan objek vital,” kata Emerson. Biaya pengamanan objek vital, seperti PT Freeport Indonesia (PT FI), untuk aparat kepolisian, lanjut Emerson, sebesar 79,1 juta dolar Amerika Serikat pada periode 2001 hingga 2010. ”Tahun 2010, biaya yang dikeluarkan Freeport untuk pengamanan objek vital itu 14 juta dollar AS,” kata Emerson. Namun, tidak jelas rincian biaya-biaya untuk polisi. Bambang mengatakan, aparat kepolisian seharusnya netral dan tidak pilih-pilih, termasuk memilih melindungi kepentingan pemilik modal. ”Persoalannya ketika polisi dibayar dengan biaya pengamanan,” katanya. Menurut Bambang, biaya-biaya pengamanan seperti itu sudah terjadi sejak dahulu dan tidak pernah berhenti. Ia mengusulkan pemerintah menetapkan tarif biaya pengamanan sebagai penerimaan negara bukan pajak. Edi menilai, terkait pengamanan objek vital di area-area perkebunan atau konflik pertanahan, aparat kepolisian cenderung berpihak kepada pemilik modal. ”Contohnya, ada korban konflik area perkebunan yang melapor. Polisi justru bertanya apakah korban memiliki sertifikat. Orang mau melapor, kok ditanya sertifikat,” tuturnya. Terkait biaya dari PT FI itu, menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, anggota kepolisian hanya menerima Rp 1.250.000 untuk biaya makan. ”Rincian yang lain tanyakan ke Freeport,” katanya. (FER) Sumber: Harian Kompas tanggal 28 Juni 2012 halaman 3. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
119
Berikut ini beberapa pertanyaan seandainya ada pemohon informasi yang meminta rincian informasi kepada Polda Papua: a. Berapa total biaya pengamanan yang diberikan FI dalam lima tahun terakhir? b. Siapa yang menerima danaitu pada awalnya dan siapa yang menandatangani bukti penerimaan? c. Kemana saja dana itu dibagikan, siapa saja petugas keamanan lapangan yang menerima, adakah bukti rekeningpenerima dan jumlah yang diterima? d. Adakah perjanjian-perjanjian atau nota kesepahaman pengamanan antara FI dan Polri? Bagaimana seharusnya sikap Badan Publik menanggapi permintaan itu?Bagaimana pertimbangan tertulis yang harus disusun jika ingin menolak sebagian dan mengabulkan sebagian informasi yang diminta. Informasi apa saja yang diberikan dan apa saja yang harus ditolak? Untuk membuat pertimbangan tertulis terkait uji konsekuensi, bisa digunakan contohcontoh kasus pada sesi sebelumnya ‘Mengelola Informasi yang Dikecualikan’.
Alat Bantu Simulasi Komposisi Personil • Pemohon informasi • PPID • Atasan PPID • Fungsional pendukung Pelaksanaan Rapat • Pemimpin rapat • Penjelasan PPID • Pandangan atasan PPID • Tanggapan tenaga fungsional Penyusunan Pertimbangan • Mulai menyusun pertimbangan • Aspek-aspek yang dipertimbangkan • Mengoreksi pertimbangan • Tindak lanjut pertimbangan berupa menolak atau memberikan informasi • Menyiapkan langkah-langkah antisipasi
Sesi - 9
MEKANISME MEMPEROLEH INFORMASI
Sesi - 9
MEKANISME MEMPEROLEH INFORMASI Pengantar Mekanisme memperoleh informasi berfokus pada interaksi administratif antara pemohon dan Badan Publik. Mekanisme ini penting diketahui terutama berkaitan dengan manajemen waktu. Kesalahan perhitungan bisa berimplikasi luas pada kemungkinan munculnya sengketa informasi. Sebagian kasus yang muncul ke Komisi Informasi memperlihatkan dua karakter yang berseberangan tetapi sama-sama disebabkan kesalahan manajemen waktu. Pertama, ada pemohon yang mengajukan permohonan sengketa padahal belum melebihi waktu bagi atasan PPID menjawab keberatan. Kedua, Badan Publik tidak memberi respons apa pun kepada pemohon sampai melebihi batas waktu yang ditentukan. Penentuan batas waktu dalam prosedur permohonan informasi bertujuan memberikan kepastian hokum, baik kepada pemohon maupun Badan Publik. Karena itu, penting bagi Badan Publik untuk memahami setiap prosedur dan waktunya. Badan Publik tunduk pada standardisasi pelayanan yang sudah ditentukan.
123
Tujuan
Metode
• Peserta memahami prosedur merespons dan menjawab permohonan informasi dari pemohon secara tepat waktu.
• Simulasi • Praktik
Waktu
alat Bantu Belajar
90 menit
• Kartu metaplan • Plano • Kertas
Media
• Bahan presentasi • Bahan bacaan
Catatan untuk Fasilitator
• Sebelum sesi ini dimulai, fasilitator perlu mempersiapkan kertas metaplan yang berisi peran untuk simulasi. • Fasilitator memberikan waktu kepada setiap kelompok untuk melakukan simulasi peran maksimal 15 menit. Silakan sesuaikan dengan jumlah kelompok peserta. Juga perlu diperhatikan bahwa simulasi ini menekankan pada pemahaman dan pengelolaan waktu.
124
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi ini dan me-review materi sesi sebelumnya. Presentasi (20 menit) • Fasilitator menyampaikan intisari sesi ini, yakni mengenai bagaimanamekanisme memperoleh informasi yang mencakup: urgensi, asas, serta batasan-batasan waktu dan implikasi pelanggarannya, serta standar pelayanan minimal di bidang informasi (Perki No. 1 Tahun 2010). Simulasi peran (60 menit) • Peserta dibagi menjadi empat kelompok besar dan setiap kelompok beranggotakan minimal lima orang. Satu orang menjadi ketua kelompok yang akan menjelaskan tahapan-tahapanmekanisme dan waktu pelayanan. • Fasilitator membagikan kertas metaplan yang sudah berisi kartu peran dan kartu proses. Dalam mengerjakan simulasi kartu waktu, masing-masing kelompok diberi tugas menentukan batas waktu yang benar berdasarkan rumus 10+7+30. • Fasilitator diharapkan menentukan tanggal permohonan yang berbeda untuk setiap kelompok agar mereka tidak saling meniru. • Setelah selesai, berikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk menanggapi kelompok lain. Lalu, fasilitator menjelaskan bagian-bagian mana yang sudah benar dan mana yang salah. • Aturan simulasi ada di Bahan Bacaan 9.4. Penutupan (5 menit) • Fasilitator menutup sesi ini dan meminta peserta beristirahat, serta bersiap mengikuti sesi berikutnya.
Bahan Bacaan 9.1 Asas-asas Mekanisme Memperoleh Informasi Di suatu instansi pada pukul 17.45 WIB, terjadi dialog berikut: A: Pak, apakah dokumen yang saya minta sudah ada? B: Belum Pak, sudah tiga hari pimpinan berada di luar kantor. A: Kan hanya perpanjangan Pak, dokumen pendukungnya sudah saya lengkapi. B: Bapak bisa tanyakan lagi minggu depan. A: Biasanya juga selesai tiga hari, Pak. Ini sudah dua minggu lho, Pak. B: Bisa sih, tapi ada biaya tambahan untuk ongkos staf ke rumah pimpinan.
125
Dialog imajinatif ini mempertontonkan potret umum keseharian bagaimana pelayanan publik berlangsung. Kasus seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika masing-masing menyadari kewajiban dan tugasnya. Ini juga memperlihatkan ketidakjelasan batas waktu pelayanan. Masyarakat datang pada pukul 17.45 WIB, saat dimana pelayanan publik biasanya sudah tutup. Sebaliknya pelayan masyarakat juga tidak bisa memastikan kapan dokumen yang diminta selesai. Ketepatan waktu adalah salah satu asas yang harus diterapkan dalam pengelolaan dan pelayanan informasi. Pasal 2 ayat (3) UU KIP menyebutkan “Setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana�. Rumusan yang hampir sama tertuang dalam pasal 21 UU KIP, yang menyinggung mekanisme perolehan informasi. Mekanisme untuk memperoleh informasi publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya ringan. UU KIP tidak menjelaskan lebih jauh makna prinsip cepat yang disebut dalam pasal 21, namun biasanya dihubungkan dengan jangka waktu penyelesaian suatu jenis pelayanan. Asas tepat waktu mengandung arti pemenuhan atas permintaan informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Tentu saja, yang dimaksud adalah pengaturan waktu yang termuat dalam UU KIP, PP No. 61 Tahun 2010, Peraturan Komisi Informasi, dan Peraturan Mahkamah Agung. Asas cara sederhana berarti informasi yang diminta dapat diakses secara mudah dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami. Asas biaya ringan berarti biaya yang dikenakan secara proporsional berdasarkan standar biaya pada umumnya. Berkaitan dengan asas perolehan informasi, Kepolisian Republik Indonesia mengatur pula tambahan asas yaitu cermat dan akurat dan proporsionalitas. Cermat dan akurat berkaitan dengan kelengkapan berkas dan mekanisme koreksi. Proporsionalitas bermakna setiap kegiatan pemberian pelayanan informasi publik harus memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban.1 Asas-asas mekanisme memperoleh informasi membawa implikasi bagi pihak-pihak terkait seperti terlihat pada tabel berikut:
Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 1
126
Tabel 9.1 Asas
Pemohon
Badan Publik
Cepat
Ajukan permohonan informasi kapan saja. Bisa langsung mendatangi Badan Publik tanpa melalui perantara. Pengiriman lewat email juga dimungkinkan.
Bisa langsung saat itu juga merespons pemohon jika yang diminta sudah tersedia. Bisa juga mengirim lewat email.Petugas penerima surat harus bergerak cepat menyampaikan kepada PPID.
Tepat waktu
Tujuh hari setelah jawaban Badan Publik diterima dan dinilai tidak memuaskan, pemohon harus mengajukan keberatan.
Sepuluh hari kerja wajib menyampaikan jawaban.
Asas
Tujuh hari kerja,atasan PPID sudah harus menjawab keberatan.
Pemohon
Biaya Mengajukan permohonan ringan kepadaBadan Publik hanya mengeluarkan biaya pembelian kertas, biaya sewa internet, atau transportasi perjalanan.Gratis mendaftarkan permohonan sengketa informasi ke KI.
Badan Publik Biaya penggandaan dokumen atau foto kopi sesuai harga setempat. Bisa membuat daftar biaya resmi. Bisa menyiapkan format dokumen yang sudah berbentuk digital.
Permohonan langsung dan tidak langsung Apa yang harus dilakukan Badan Publik untuk menjalankan asas-asas itu dalam rangka permohonan informasi publik? Badan Publik perlu menyiapkan dua skenario berdasarkan: a. Permohonan informasi disampaikan langsung. b. Permohonan informasi disampaikan tidak langsung. Ketika permohonan informasi disampaikan secara langsung, dalam arti secara fisik pemohon langsung datang, petugas Badan Publik bisa meminta pemohon mengisi formulir yang sudah disediakan. Ketika pemohon menyampaikan permohonan secara lisanper telepon misalnya, petugas wajib mencatat hal ikhwal mengenai permohonan, yaitu nama dan alamat pemohon beserta buktinya, materi permohonan, termohon, dan cara penyampaian informasi yang diminta. Jika permohonan disampaikan melalui surat elektronik (email), nomor pendaftaran permohonan diberikan oleh petugas ketika menerima permintaan. Dalam hal permintaan dikirim melalui surat pos, nomor pendaftaran dapat diberikan bersamaan dengan pengiriman informasi. Pemberitahuan kepada pemohon Paling lambat 10 hari kerja sejak menerima permintaan, Badan Publik wajib menyampaikan
127
pemberitahuan tertulis yang berisi: a. Ada tidaknya informasi yang diminta di bawah penguasaan Badan Publik. b. Jika tidak dikuasai, Badan Publik wajib memberitahukan kepada pemohon Badan Publik lain yang menguasai informasi yang diminta. c. Pernyataan penolakan jika berkaitan dengan pasal 17 UU KIP. d. Jenis informasi yang akan diberikan jika permintaan dikabulkan sebagian atau seluruhnya. e. Penghitaman informasi yang dikecualikan dalam suatu dokumen terbuka. f. Alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan. g. Biaya dan cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta. Perpanjangan waktu Badan Publik dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan paling lambat tujuh hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis kepada pemohon. Dalam praktik, perpanjangan waktu lebih dari 7 hari tetap dimungkinkan jika kedua belah pihak bersepakat.
Bahan Bacaan 9.2 Standar Pelayanan Minimal Kesehatan di Kabupaten/Kota Kementerian Kesehatan termasuk salah satu Badan Publik yang telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kebijakannya terus diperbarui, antara lain dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 741/Menkes/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/ Kota.SPM Kesehatan adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan di setiap tingkatan pemerintahan, dalam hal ini di kabupaten/kota. Poin penting yang harus ditekankan adalah kabupaten/kota menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan SPM kesehatan. Pelayanannya meliputi jenis pelayanan beserta indikator kinerja dan target. Pada periode 2010-2015, target pelayanan kesehatan dasar meliputi antara lain cakupan kunjungan ibu hamil 95 persenpada akhir tahun target, kunjungan bayi dan pelayanan anak balita 90 persen pada 2010, dan cakupan pelayanan kesehatan masyarakat miskin 100 persen pada 2015. Pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan, karakteristik, dan potensi daerah. Sebagai pejabat yang bertanggung jawab di daerahnya, bupati/walikota menyampaikan laporan teknis tahunan kinerja penerapan dan pencapaian SPM kesehatan kepada
128
menteri kesehatan. Berdasarkan laporan teknis tahunan itu, menteri kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan teknis penerapan SPM kesehatan.Menteri kesehatan melaksanakan monitoring dan evaluasiatas penerapan SPM kesehatan oleh Pemerintah daerahdalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasarkepada masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPMkesehatan digunakansebagai: • Bahan masukan bagi pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam pencapaian SPM kesehatan. • Bahan pertimbangan dalam pembinaan dan pengawasan penerapan SPM kesehatan, termasuk pemberian penghargaan untuk pemerintah daerah yang berprestasi sangat baik. • Bahan pertimbangan dalam memberikan sanksi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang tidak berhasil mencapai SPM kesehatan dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerah yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan. Menteri kesehatan memfasilitasi pengembangan kapasitas melalui peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan,personal dan keuangan, baik di tingkat Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Fasilitasi dapat berupa pemberian orientasiumum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan, atau bantuan lainnya. Yang penting fasilitasi itu harus mempertimbangkan kemampuan kelembagaan, personaldan keuangan negara serta keuangan daerah. Pendanaan tergantung pada jenisnya. Berkaitan dengan kegiatan penyusunan, penetapan, pelaporan, monitoring dan evaluasi, pembinaan dan pengawasan, pembangunan sistem dan/atau subsistem informasi manajemen, serta pengembangan kapasitas untuk mendukung penyelenggaraan SPM kesehatan merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, dibebankan kepada APBN Kementerian Kesehatan. Pendanaan berkaitan dengan daerah, maka dibebankan kepada APBD.
129
Boks 9.2 “In Time”: Ketika Waktu Adalah Uang, Literally In Time adalah film yang dibintangi oleh Justin Timberlake dan Amanda Seyfried. Pertunjukan perdananya atau premiere-nya dilakukan kemarin, Jum’at 28 Oktober 2011. I was lucky to get to see it. Film ini secara garis besar menceritakan bahwa di suatu masa, manusia secara genetik direkayasa untuk berhenti menua di usia 25. Di sisi lain, mereka hanya memiliki waktu satu tahun untuk bertahan. Untuk tetap hidup, pekerjaan yang dilakukan dihargai dengan waktu (yang ditampilkan di lengan, semacam jam yang bergerak mundur). “You earn time, and you spend it. The rich live forever, while the poor are being let dying”. Waktu adalah hargamutlak, dimana semua hal dibayar dengan waktu, kopi misalnya, seharga 8 menit. Listrik, dua hari. Mobil mewah, 59 tahun. Film ini sangat unik, dengan dialog-dialog seperti “you got a minute?” Kalimat ini secara literal diucapkan seorang anak yang “menabung” waktu untuk kehidupannya setelah berusia 25 tahun. Atau istilah “time-keeper”, yang memang juga secara harfiah berarti “polisi waktu”. Meski saya memilih film ini tanpa alasan, saya merasa diingatkan oleh film ini: bagaimana rasanya mengetahui bahwa kita hanya punya waktu dua jam untuk hidup. Atau bagaimana rasanya memiliki “simpanan” waktu 9000 tahun dan tetap berpenampilan sama, 25 tahun. Atau bagaimana rasanya hidup tenang berumur panjang namun tidak pernah mengambil tantangan. Dan yang terpenting, how high we value our time? Film ini juga mengingatkan saya akan Steve Jobs, dengan ucapannya yang terkenal: Your time is limited, so don’t waste it living someone else’s life. Don’t be trapped by dogma — which is living with the results of other people’s thinking. Don’t let the noise of others’ opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary. Seringkali kita terlalu fokus dengan standar yang ditetapkan orang lain sampai kita lupa apa yang sebenarnya kita inginkan. Seringkali kita terlalu ingin punya Blackberry seperti yang lain dan lupa bahwa kita belum membayar uang kuliah. Sering juga kita lupa bahwa pencapaian hidup seperti menikah atau punya anak bukanlah lomba susul-susulan. Sudahkah kita menghargai waktu dengan segenap kemampuan kita? Apakah kita menghabiskan waktu untuk membicarakan orang lain dan tidak memperbaiki diri- sendiri? Atau sadarkah bahwa kita menghabiskan waktu memoles diri sesuai standar orang lain dan tidak belajar mengenal diri kita sendiri? Waktu tidak bisa dibeli dan tidak bisa diputar kembali. Kita hanya punya saat ini. Mari menghargainya, mari berkarya. Salam Sumpah Pemuda =) Sumber: Citra dalam kompasiana. http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/10/29/in-time-ketika-waktu-adalahuang-literally/ (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
130
Bahan Bacaan 9.3 (Salah satu contoh Standar Pelayanan Informasi Publik yang sudah diatur oleh Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Minimal) Pelayanan Informasi Publik di Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Tugas Pelayanan Informasi Publik Menyiapkan dan Menyusun data dan informasi sumber daya mineral untuk pelayanan serta menyeragamkan format/layout hardcopy peta-peta yang dikeluarkan Pusat Sumber Daya Geologi. Pelayanan kepada umum Melayani permintaan peta-peta potensi sumber daya mineral logam, non-logam, batubara dan panas bumi seluruh Indonesia dalam bentuk format A3 untuk kabupaten, format A0 untuk provinsi. Prosedur permintaan peta 1. Mengajukan permohonan surat kepada Kepala Pusat Sumber Daya Geologi, bisa melalui pos ke alamat Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) di Jl. Sukarno - Hatta No. 444 Bandung 40254 atau faksimili ke nomor (022) 5226263 atau email ke sismin@dim.esdm. go.id (contoh terlampir). 2. Disposisi kepala pusat diteruskan kepada kepala bidang informasi yang dilanjutkan ke subbidang pelayanan informasi public. 3. Pemrosesan pembuatan peta potensi sumber daya mineral oleh staf subbidang pelayanan informasi publik yang berkoordinasi dengan subbidang kerja sama untuk penyelesaian administrasi.
Contoh Permohonan Surat Kepada Yth. Kepala Pusat Sumber Daya Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) Jl. Sukarno Hatta No. 444 Bandung 40254 – Indonesia Perihal: Pemohonan Informasi Peta Penyebaran Potensi Mineral di Indonesia Dengan hormat, Isi surat (sesuai kebutuhan peta potensi sumber daya mineral dan lokasi yang diinginkan) Hormat kami, Nama Perusahaan Tanda Tangan dan Cap Perusahaan (Nama Pemohon)
131
Bahan Bacaan 9.4 Aturan Permainan Kartu Aturan-1
Setiap kelompok diberi satu set kartu tahapan penyelesaian sengketa informasi publik.
Satu set terdiri dari dua kartu yang sudah diisi, yakni kartu pelaku/ peran dan kartu proses. Satu kartu lainnya kosong, yaitu kartu waktu.
Kartu proses Pengajuan permohonan, staf menerima surat dan membuat tanda terima, staf menyampaikan kepada PPID, Jawaban PPID, keberatan, Jawaban atasan PPID. Kartu pelaku Pemohon, Staf Front Desk, PPID, Atasan PPID. Kartu waktu Aturan-2
10 Hari, 7 Hari, 30 Hari
Hitung berdasarkan tanggal permohonan.
Hasil penyusunan setiap kelompok akan disesuaikan dengan tahapan mekanisme perolehan informasi.
Bahan Presentasi 9a Maksimal 10 hari Kerja + Perpanjangan 7 Hari Kerja Pemohon
PPID
Pemberitahuan Tertulis
Â?
Â?
Â?
Â
Â
Â
€
‚  � �
132
133
Sesi - 10
PELAPORAN AKSES INFORMASI DI BADAN PUBLIK
Sesi - 10
PELAPORAN AKSES INFORMASI DI BADAN PUBLIK Pengantar Di lembaga manapun, setiap unit penyelenggara pelayanan wajib membuat laporan kepada atasan masing-masing atau untuk disampaikan kepada lembaga lain. Laporan dimaksud berisi pelaksanaan tugas-tugas, baik berdasarkan program kerja maupun hasil pengembangan inovasi dan kreativitas. Laporan pelayanan informasi yang harus dibuat Badan Publik, berdasarkan Peraturan Komisi Informasi Pusat (Perki) No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, disampaikan kepada Komisi Informasi Pusat. Sistem pelaporan menjadi bagian penting dari akuntabilitas pelaksanaan tugas dan fungsi PPID. Dalam konteks pengelolaan dan pelayanan informasi publik pun, sistem pelaporan menjadi penting. Dalam hal ini yang dilaporkan adalah rekapitulasi permintaan informasi publik yang masuk ke Badan Publik berdasarkan waktu tertentu. Semakin besar organisasi Badan Publik, semakin berjenjang dan semakin pelik mekanisme pelaporan. Oleh karena itu, Badan Publik perlu memahami nilai penting pelaporan dan mengetahui bagaimana pelaporan dibuat. Sistem pelaporan bisa dipergunakan untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan atasan kepada bawahan. Sebaliknya, bawahan pun bisa memanfaatkan laporan sebagai perwujudan tanggung jawab atas pekerjaan yang diamanahkan atasan. Jika laporan menunjukkan kinerja yang baik, atasan bisa memberikan penghargaan (reward). Sebaliknya, atasan akan memberikan hukuman (punishment) jika laporan bawahan memperlihatkan kinerja yang buruk.
137
Sesi ini secara khusus membahas dasar-dasar pelaporan atas permintaan informasi yang masuk ke Badan Publik. Tetapi tujuan esensialnya lebih ditekankan pada kemampuan peserta membuat dan mengisi formulir pelaporan.
Tujuan
• Peserta memahami fungsi dan urgensi pelaporan. • Peserta dapat membuat dan menyusun laporan harian, mingguan/ bulanan, dan laporan tahunan berdasarkan format baku.
Metode
• Ceramah • Praktik berkelompok
Waktu
alat Bantu Belajar
90 menit
• Kertas • Plano • Spidol
Media
• Bahan presentasi • Bahan bacaan
Catatan untuk Fasilitator
• Sesi ini menyajikan kegiatan dan materi yang akan membantu pesertamembangun kemampuan untuk membuat dan mengisi formulir pelaporan. Sebaiknya fasilitator punya pemahaman tata cara membuat dan mengisi formulir pelaporan di Badan Publik. • Peserta dibagi atas beberapa kelompok. Jika anggota kelompok berasal dari lembaga (SKPD) yang berbeda, maka saat pengisian formulir pelaporanmereka diminta memilih salah satu Badan Publik yang dijadikan contoh. Permintaan informasi di Badan Publik itulah yang dilaporkan. • Untuk penyusunan bahan presentasi yang sesuai (Lihat bahan bacaan 10.1).
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator menjelaskan maksud dan tujuan sesi ini. • Fasilitator meminta peserta bergabung kembali dengan kelompok masingmasing seperti di sesi sebelumnya. Ceramah (15 menit) • Fasilitator melakukan presentasi dan menjelaskan nilai penting, dasar hukum, dan manfaat membuat sistem pelaporan permintaan informasi. Praktik (45 menit) • Setiap kelompokdiminta membuat dan mengisi formulir pelaporan berdasarkan permintaan informasi yang masuk ke suatu Badan Publik. Mereka menuliskannya di kertas plano. • Setiap kelompokmemilih salah satu Badan Publik. Setiap kelompok diminta membuat laporan harian, laporan mingguan/bulanan, dan laporan tahunan. • Setiap kelompok diminta memberikan pendapat mengenai model pelaporan yang paling pas serta kebaikan dan keburukan model pelaporan yang dipilih. • Setiap kelompok diminta menjelaskan mekanisme pelaporan dan publikasinya agar diketahui masyarakat. Curah pendapat hasil praktik (20 menit) • Setelah selesai praktik kelompok, setiap kelompok diminta menjelaskan di depan peserta lain hasil pembuatan dan pengisian formulir pelaporan. • Jika waktu memungkinkan, masing-masing kelompok diperbolehkan memberikan tanggapan singkat terhadap presentasi kelompok lain. Penutup ( 5 menit) • Fasilitator menutup sesi ini dan meminta peserta beristirahat sebelum mengikuti sesi berikutnya.
Bahan Bacaan 10.1 Kewajiban Membuat Laporan Menurut UU KIP Agar tidak bertentangan satu sama lain, standardisasi pelayanan informasi di semua Badan Publik penting dibuat. Standardisasi menjadi pedoman bagi Badan Publik untuk menjalankan pelayanan publik, baik untuk kebutuhan internal dalam rangka menjalankan fungsi pengelolaan informasi, maupun penyediaan informasi bagi masyarakat luar (eksternal). Dalam rangka itulah Komisi Informasi Pusat telah menerbitkan Peraturan Komisi Informasi Pusat No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Peraturan ini mewajibkan setiap Badan Publik membuat laporan permintaan informasi dan mengumumkan laporan itu agar bisa diakses publik. Jenis Laporan Pasal 12 UU KIP menyebutkan, layanan informasi yang wajib dibuat dan dimumkan Badan Publik meliputi: a. Jumlah permintaan informasi yang diterima. b. Waktu yang diperlukan Badan Publik dalam memenuhi permintaan informasi. c. Jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi. d. Alasan penolakan permintaan informasi. Bentuk Laporan Bentuk laporan yang dipilih disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan Badan Publik. Namun akan lebih baik jika laporan merupakan gabungan dari analisis dan bagan atau formulir. Jadi, laporan bisa berbentuk: a. Bagan b. Matriks kegiatan c. Grafik d. Diagram e. Formulir f. Surat g. Naskah h. Buku Waktu Pelaporan Sebenarnya, UU KIP menghendaki laporan dibuat satu kali dalam setahun. Dalam praktik, laporan model ini sudah harus tersedia paling lambat tiga bulan sebelum
tahun anggaran berakhir sesuai kepentingan pertanggungjawaban keuangan. Tetapi di internal, waktu pelaporan bisa dibuat dalam bentuk harian (daily report), mingguan, bulanan,triwulan, kuartal, semester. Waktu pelaporan yang dipilih sangat ditentukan kemampuan SDM di Badan Publik dan intensitas kebutuhan penggunaan laporan. Prinsipnya, semakin lama jangka waktu pelaporan, semakin banyak data yang harus dihimpun dan dicari. Masalah ini bisa dihindari jika sistem pencatatan dan perekaman kegiatan Badan Publik berjalan dengan baik. Sistematika Laporan Sistematika laporan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang harus dilaporkan, mengapa dilaporkan, siapa yang membuat dan menerima laporan, kapan laporan dibuat, dan bagaimana laporan disusun. Tahapan penyusunan laporan bisa merujuk pada: (i) Pengumpulan data/fakta di lapangan atau (ii) Pemindahan data/fakta. PenanggungJawab Setiap laporan harus memuat siapa yang menyusun atau bertanggung jawab atas laporan itu. Termasuk tanggal laporan dibuat. Hal ini bertujuan agar kalau ada kesalahan, pejabat pemeriksa laporan bisa langsung mengkomunikasikan kesalahan itu, dan kalau perlu melakukan koreksi sebelum laporan diumumkan kepada publik. Penerima Laporan Pasal 36 ayat (2) jo pasal 4 huruf j Perki No. 1 Tahun 2010 menyebutkan laporan layanan informasi Badan Publik disampaikan kepada Komisi Informasi. Skema Laporan MEKANISME PENYAMPAIAN LAPORAN LAYANAN INFORMASI
Lembar Bantu: Contoh Formulir Laporan Laporan Harian Nama Badan Publik Laporan Harian Pelaksanaan Tugas Pelayanan Informasi Publik Hari/Tanggal: 1 Januari 2012 No.
Nama & Alamat
Permintaan Informasi
Berkala
Jenis Informasi Serta- Merta Setiap Saat
Dikecualikan
Tindak Lanjut
1 2 3 4 5 Mengetahui Koordinator Kabid Pelayanan Informasi Pelayanan Informasi ……………………………… …………………………. . NIP: NIP:
Laporan Mingguan/Bulanan Nama Badan Publik Laporan Mingguan/Bulanan Pelaksaan Tugas Pelayanan Informasi Minggu/Bulan…… 2012 No.
Tanggal & Waktu Jawab/ Waktu Minta Selesai (Hari)
Nama & Permintaan Alamat Informasi
Berkala
Jenis Informasi SertaSetiap Merta Saat
Dikecualikan
Status
1 2 3 4 5
Surabaya, 1 Januari 2013 Kabid Pelayanan Informasi …………………………………… NIP:
Laporan Tahunan Nama Badan Publik Laporan Tahunan Permintaan Informasi Publik Tahun Anggaran 2012 No.
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
Jumlah Pemohon Informasi
Jumlah Permintaan Informasi
Status Permohonan Dipenuhi Ditolak Proses
Jam
Waktu Menit
Alasan Penolakan
Penanggung Jawab Laporan ………………………. NIP:
Bahan Bacaan 10.2 Akuntabilitas Pelaporan Keuangan Sebagai aparat pengawas internalpemerintah, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)membantu mewujudkan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan negara dan daerah. Namun demikian, akuntabilitas pelaporan keuangan negara masih memerlukan perbaikan. Hal ini ditandai dengan masih belum diperolehnya opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2009, 34 Kementerian/Lembaga (K/L) atau 43,04 persen dari total K/L, serta hampir semua pemerintah daerah,yakni 430 dari 445 Pemda yang diaudit BPK atau 96,62 persen. Kegiatan yang dilakukan BPKP untuk mendukung terwujudnya akuntabilitas pelaporan keuangan meliputi antara lain: • Pendampingan penyusunan laporan keuangan K/L/Pemda.
• Reviewlaporan keuangan K/L/Pemda sebelum diaudit oleh BPK. • Menindaklanjuti hasil temuan BPK. • Pendampingan perbaikan sistem pelaporan. • Implementasi Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA). • Sosialisasi, pembentukan satgas, dan workshop SPIP(Sistem Pengendali Intern Pemerintah) • Peningkatan kapasitas SDM pengelolaan keuangan daerah dan APIP(Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) Secara umum, beberapa faktor yang menyebabkan laporan keuangan K/L dan Pemda belum memperoleh opini WTP adalah karena penyajian yang belum sepenuhnya sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), lemahnya sistem pengendalian internal, belum tertatanya barang milik negara/daerah dengan tertib, pengadaan barang yang belum mengikuti ketentuan yang berlaku, dan kurang memadainya kapasitas SDM pengelola keuangan. Sebagaimana tahun sebelumnya, pada 2010 BPKP secara prokatif telah bekerjasama, baik dengan K/L maupun Pemda, dalam upaya peningkatan kualitas laporan keuangan K/L dan Pemda menuju opini WTP dan mempertahankan kualitas laporan keuangan bagi K/L dan Pemda yang telah memperoleh opini WTP. Upaya itu merupakan tindak lanjut dari direktif presiden, yang pada intinya mendorong ditingkatkannya akuntabilitas pengelolaan keuangan negara melalui kerjasama antara K/L dan Pemda dengan BPKP. Kerjasama bertujuan terutama untuk mengatasi berbagai faktor penyebab tidak diperolehnya opini WTP, antara lain mencakup penguatan SPIP pada K/L dan Pemda, review atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, pendampingan penyusunan laporan keuangan dan pendampingan review laporan keuangan instansi bagi APIP K/L dan APIP Pemda untuk meningkatkan kualitas penyajian laporan keuangan agar sesuai dengan SAP, penerapan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Daerah yang dibangun oleh BPKP, pendampingan penataan barang milik negara/daerah, peningkatan kapasitas SDM pengelola keuangan, sosialisasi peraturan dan pedoman bidang keuangan, bimbingan teknis pengelolaan keuangan negara/daerah, serta penugasan pegawai BPKP ke berbagai K/L dan Pemda. Upaya perbaikan itu menunjukkan komitmen yang tinggi dan langkah nyata dari pimpinan K/L dan Pemda yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangannya. Sumber: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 2012. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
Bahan Bacaan 10.3 Selama 8 Tahun, KPK Tangani 285 Kasus MATARAM: Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Sapto mengatakan, komisi itu telah menangani sebanyak 285 kasus tindak pidana korupsi, dalam delapan tahun sejak 2004 hingga 2011. “Jumlah itu belum termasuk kasus yang ditangani dalam tahun ini,”kata Bambang pada seminar pencegahan korupsi melalui peningkatan kualitas pelayanan publik di Pemerintah Provinsi NTB, di Mataram, Rabu. Seminar itu diselenggarakan KPK dengan menampilkan narasumber dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi (RB), Ombudsman RI, Kementerian Hukum dan HAM, dan pegiat LSM dari Jakarta. Peserta seminar berasal dari pimpinan dan pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Kanwil Kemenkumham NTB, pejabat BPN, BPKP, serta pimpinan dan anggota DPRD. Bambang mengatakan, dari 285 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK itu, melibatkan tersangka dari kalangan anggota DPR dan DPRD, menteri/kepala lembaga, duta besar, komisioner/dosen, gubernur, wali kota/bupati dan wakilnya, pejabat eselon I, II dan III, hakim, jaksa, dan swasta, serta profesi lainnya. Kasus terbanyak melibatkan pejabat eselon I, II dan III sebanyak 91 perkara, disusul sektor swasta sebanyak 55 perkara, dan anggota DPR/DPRD yang mencapai 48 perkara, serta sektor lainnya sebanyak 31 perkara. Kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan wali kota/bupati dan wakilnya sebanyak 29 perkara, gubernur delapan perkara, komisioner/dosen tujuh perkara, menteri/kepala lembaga enam perkara, duta besar empat perkara, hakim empat perkara, dan jaksa dua perkara. Khusus di Provinsi NTB, total perkara yang ditangani KPK tercatat sebanyak tiga kasus dari total 233 kasus yang mencuat secara nasional. Sementara kasus gratifikasi yang diterima KPK sebanyak 26 perkara, namun hanya di 2010. Pengaduan masyarakat NTB yang diterima KPK tercatat sebanyak 953 kasus selama periode 2005-2011 atau1,85 persen dari total pengaduan tingkat nasional yang berjumlah 51. 592. Bambang menyebutkan, total aset atau kekayaan negara yang berhasil diselamatkan KPK pada 2011 secara nasional mencapai Rp 152,9 triliun. “Sebagian besar atau 99,65 persen dari sektor hulu migas (aset-aset migas milik negara yang tidak pernah dicatat oleh pemerintah) dan 0,35 persen dari pengalihan hak barang milik negara,” ujarnya. Sedangkan total kerugian negara yang berhasil diselamatkan KPK tahun 2011, mencapai Rp 134,7 miliar, yang berasal dari penanganan perkara tindak pidana korupsi, uang pengganti, uang rampasan, uang sitaan, penjualan hasil lelang tindak pidana korupsi, dan ongkos perkara. Sumber: Suara Karya, 18 Oktober 2012 (Disunting kembali untuk penerbitan buku ini)
Sesi - 11
HUKUM ACARA SENGKETA INFORMASI
Sesi - 11
HUKUM ACARA SENGKETA INFORMASI Pengantar Badan Publik harus selalu siap menghadapi kemungkinan sengketa informasi yang diajukan pemohon informasi.Sengketa ini timbulakibat ketidakpuasan pemohon dalam menggunakan haknya untuk memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Perjalanan sengketa informasi dimulai dengan pengajuan keberatan oleh pemohon kepada atasan PPID. Mekanisme penyelesaian sengketa, pada dasarnya akan diselesaikan dulu secara internal di Badan Publik. Namun, ketika pemohon masih merasa tidak puas, maka sengketa akan dilanjutkan ke ke Komisi Informasi (KI) sebagai lembaga khusus yang menyelesaikan sengketa informasi. Saat ini, Komisi Informasi sudah dibentuk di tingkat nasional dan provinsi. Di tingkat nasional, telah dibentuk KI Pusat berdasarkan perintah UU. Di tingkat provinsi, hampir semua provinsi sudah membentuk KI Provinsi yang memang diwajibkan UU juga. Sementara itu, ditingkat kabupaten/kota, UU hanya memerintahkan KI dapat dibentuk jika diperlukan. Mekanisme penanganan sengketa informasi setelah gagal diselesaikan Badan Publik, maka akan ditangani Komisi Informasi Provinsi. Namun, jika di suatu provinsi belum dibentuk Komisi Informasi, sengketa informasi ini akan ditangani Komisi Informasi Pusat. Proses penyelesaian sengketa di Komisi Informasi akan makan waktu maksimal 100 hari dan ini belum tentu menyelesaikan masalah. Jika merasa tidak puas atas putusan KI, salah satu atau kedua belah pihak masih bisa mengajukan keberatan ke peradilan TUN/ umum yang berwenang.Kalau
149
mereka masih merasa tidak puas juga, para pihak bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Panjangnya proses maksimal ini menjadi tantangan karena asas penyelesaian sengketa informasi seharusnya mengikuti nilai-nilai: (i) Cepat dan tepat waktu, (ii) Biaya ringan, dan (iii) cara sederhana. Penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi mengenal forum mediasi sebagai wujud penerapan asas penyelesaian sengketa. Putusan mediasi ini bersifat final dan mengikat.Akta perdamaian hasil mediasi ini akan lebih berkekuatan hukum jika didaftarkan ke pengadilan negeri. Sesi ini sangat penting bagi Badan Publik karena potensi sengketa informasi yang dihadapi Badan Publik kemungkinan berlangsung lama, sehingga akanmenguras sumber daya dan waktu mereka. Upaya yang harus dilakukan Badan Publik untuk menghindari kemungkinan itu, tidak lain dan tidak bukan, mereka perlu mengelola dan melayani permintaan informasi sebagaimana amanat UU KIP.
150
Tujuan
• Peserta memahami mekanisme penyelesaian sengketa informasi. • Peserta mengetahui objek-objek apa saja yang berpotensi memunculkan sengketa informasi. • Peserta mengetahui apa saja yang harus dipersiapkan untuk menghadapi sengketa informasi.
Metode
• Curah pendapat • Presentasi • Permainan kartu • Simulasi peran
Waktu
alat Bantu Belajar
120 menit
• Proyektor • Plano • Kartu • Spidol • Kartu metaplan
Media
• Bahan presentasi • Bahan bacaan • Bahan simulasi
Catatan untuk Fasilitator
• Sesi ini akan mengajak peserta memahami beberapa tahapan yang harus ditempuh ketika menghadapi proses penyelesaian sengketa informasi. • Di sesi presentasi, fasilitator memandu narasumber yang akan memaparkan bagaimana Badan Publik menghadapi proses penyelesaian sengketa informasi serta sekaligus menjelaskan tips dan trik aman dari sengketa.
151
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan maksud dan tujuannya. Presentasi narasumber (60 menit) • Fasilitator memperkenalkan narasumber. • Narasumber memberikan paparan mengenaitahapan penyelesaian sengketa informasi. • Fasilitator memandu tanya jawab dan membuat kesimpulan poin-poin penting selama diskusi. • Fasilitator menjelaskan kegiatan simulasi peran melalui permainan kartu metaplan (Lihat aturan main). Simulasi peran (45 menit) • Fasilitator membagi peserta menjadi empat kelompok. • Fasilitator memandu penyampaian pleno hasil kerja setiap kelompok, dengan mendorong forum memberikan umpan balik dengan pertanyaan: 1. Apakah semua tahapan proses sudah benar? 2. Apakah pelaku di masing-masing peran sudah benar tahapan, waktu, dan tindakannya? 3. Apakah hasil dan waktu masing-masing sudah benar tahapan, waktu, dan tindakannya? Penutupan (5 menit) • Fasilitator meninjau proses yang sudah dijalani dan hasil-hasil yang sudah diperoleh oleh peserta.
152
Aturan Permainan Kartu Setiap kelompok diberi satu set kartu tahapan penyelesaian sengketa informasi publik.
1 set terdiri dari empat kelompok kartu, yaitu kartu proses, kartu pelaku, kartu waktu, dan kartu hasil.
Kartu proses
Pengajuan keberatan, permohonan penyelesaian sengketa, sengketa di KI, mediasi, ajudikasi, pemeriksaan, pembuktian, pencatatan keberatan ke PTUN/Peradilan Umum, dan kasasi.
Sesuaikan dengan regulasi (Perki dan Perma).
Kartu pelaku
Atasan PPID, PPID, pemohon/ pengacaranya, Komisi Informasi, pimpinan Badan Publik, panitera pengadilan, hakim PTUN/peradilan umum, hakim kasasi
Sesuaikan dengan regulasi (Perki dan Perma).
14 hari, 100 hari, 60 hari, 30 hari
Bisa mengambil waktuwaktu lain yang ditetapkan.
Aturan-1
Kartu waktu Kartu hasil
Putusan, tanggapan atas keberatan,dan registrasi.
Aturan-2
Hasil penyusunan setiap kelompok akan disesuaikan dengan tahapan terbaru penyelesaian sengketa.
Bahan Bacaan 11.1 Empat Tahapan Sengketa PSI di Internal Badan Publik
PSI di Komisi Informasi
PSI di PTUN/Peradilan Umum
PSI di MA
PSI di Internal Badan Publik • Ada keberatan dari pemohon informasi kepada atasan PPID.
153
• Atasan PPID harus memberikan tanggapan/jawaban atas keberatan dalam waktu 30 hari kerja setelah keberatandiajukan. • Jika pemohon puas atas tanggapan atasan PPID, kasus selesai. • Jika tidak puas, lanjut ke sengketa informasi (14 hari kerja setelah tanggapan diterima). PSI di Komisi Informasi • Mengajukan permohonan sengketa dengan cara mendaftarkan permohonan ke Kepaniteraan KI yang berwenang. • Dalam waktu 14 hari setelah pendaftaran, forum mediasi dibuka untuk mengupayakan perdamaian. • Jika sepakat dalam mediasi, putusan atas kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat. • Jika tidak sepakat, perkara berlanjut ke ajudikasi non-litigasi. • PSI di KI, terakhir lewat putusan sidang ajudikasi, sudah harus selesai dalam waktu 100 hari kerja. PSI di PTUN/Peradilan Umum • Jika tidak puas atasputusan KI, pemohon atau Badan Publik bisa mengajukan banding ke pengadilan. Jika termohon Badan Publik negara diajukan ke PTUN dan jika Badan Publik non-negara diajukan ke peradilan umum. • Paling lambat 14 hari kerja setelah menerima salinan resmi putusan KI. • Paling lambat 14 hari setelah keberatan di-register, panitera meminta KI mengirimkan salinan putusan dilengkapi seluruh berkas. • Paling lambat 14 hari setelah menerima surat pengadilan, KI harus mengirim berkas yang diminta. • Termohon keberatan mengajukan tanggapan 30 hari sejak keberatan di-register. • Wajib diputus dalam waktu 60 hari sejak majelis hakim ditetapkan. PSI di MA • Tidak puas atas putusan PTUN/peradilan umum, para pihak bisa mengajukan kasasi ke MA. • Diajukan paling lambat 14 hari sejak putusan diberitahukan kepada para pihak. • MA wajib memutus perkara paling lambat 30 hari sejak majelis hakim ditetapkan.
154
Boks 11.1 Badan Publik Menghadapi Sengketa Badan Publik harus sudah mempersiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk menjalani proses penyelesaian sengketa informasi. Badan Publik juga mempersiapkan kelengkapan administrasi pemohon sebagai dasar untuk mengajukan pertanyaan, baik pada saat sidang mediasi maupun ajudikasi di KI dan Pengadilan. Beberapa hal yang harus disiapkan Badan Publik menghadapi sengketa informasi, antara lain: • Surat tugas yang ditandatangani pimpinan jika yang mewakili adalah PPID atau pegawai Badan Publik. Jika Badan Publik menggunakan pengacara profesional, maka harus ada surat kuasa khusus. • Salinan surat jawaban PPID atas permohonan. • Salinan surat penetapan/keputusan atasan PPID atas keberatan. • Pertimbangan tertulis kebijakan yang diambil. • Bukti-bukti lain yang menunjukkan kelemahan permohonan pemohon. • Formulir-formulir resmi yang digunakan untuk melayani permintaan informasi dan keberatan agarterdata lebih baik. Beberapa pertanyaan yang harus disampaikan Badan Publik kepada pemohon, antara lain: • Alasan permohonan. • Detail dan spesifikasi informasi yang diminta. • Surat kuasa khusus jika pemohon diwakili kuasa hukum. • AD/ART pemohon jika pemohon adalah badan hukum. • Identitas lengkap pemohon. • Bukti-bukti surat yang menunjukkan pemohon sudah menempuh prosedur sesuai undang-undang.
155
Bahan Bacaan 11.2 Mediasi di Komisi Informasi Pengertian Secara umum, mediasi adalah caramenyelesaikan sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.Mediasi telah menjadi pilihan penting penyelesaian sengketa di banyak organisasi, termasuk penyelesaian sengketa informasi dan sengketa hubungan industrial. Dasar Hukum • Pasal 40-41 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. • Pasal 29-41 Perki No. 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. • Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Tahapan • Pra-mediasi • Proses Mediasi • Pasca-mediasi Sifat • Mediasi adalah pilihan para pihak dan sukarela. • Pelaksanaan sidang mediasi dilakukan secara tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain. Mediator • Komisioner KI • Mediator non-KI jika dimungkinkan. • Naluri sebagai pendamai penting. • Menekankan hubungan baik kedua belah pihak. Lokasi • Salah satu ruangan KI
156
• Salah satu ruangan di kantor Badan Publik lain yang tidak terkait atau tempat netral • Tempat lain yang disepakati para pihak • Penentuan lokasi berimbas pada biaya. Mediasi yang dilaksanakan di tempat yang dipilih kedua belah pihak ditanggung renteng pihak yang bersengketa. Jangka Waktu • Harus sudah selesai 14 hari kerja setelah pelaksanaan mediasi pertama. Putusan • Mediator hanya membantu merumuskan apa yang disepakati. • Format putusan sudah baku (Lampiran Perki No. 2 Tahun 2010) • Bersifat final dan mengikat. • Akta perdamaian bisa didaftarkan ke PN agar lebih kuat untuk kebutuhan eksekusi.
Boks 11.2 Manfaat Mediasi Badan Publik harus sudah mempersiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk menjalani proses penyelesaian sengketa informasi. Badan Publik juga mempersiapkan kelengkapan administrasi pemohon sebagai dasar untuk mengajukan pertanyaan, baik pada saat sidang mediasi maupun ajudikasi di KI dan Pengadilan. Manfaat melakukan mediasi antara lain: a. Ditempuh dengan waktu singkat, sehingga menghemat waktu dan biaya dibandingkan penyelesaian melalui litigasi. b. Dilaksanakan secara tertutup dan rahasia. c. Prosedur dan proses bersifat informal. d. Fokus pada akar permasalahan dengan menghasilkan aspek-aspek komersial, psikologis, dan emosi para pihak. e. Bentuk penyelesaian merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa.
157
Bahan Bacaan 11.3 Memfungsikan Biro Hukum Dalam menghadapi sengketa informasi publik, sebaiknya Badan Publik tidak hanya mengandalkan PPID atau atasan PPID.Seperti dalam pengelolaan informasi, Biro Hukum lembaga perlu difungsikan. Dalam menghadapi sengketa, peran Biro Hukum justru akansangat penting dan bisa menjadi ujung tombak. Mari fungsikan Biro Hukum di lembaga Anda! Kajian yang dilaksanakan Komisi Hukum Nasional (KHN) pada 2002 menunjukkan Biro Hukum di instansi pemerintah belum dimanfaatkan secara maksimal. Penyebabnya banyak, antara lain karena SDM di Biro Hukum yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan kompetensi. Dalam proses rekrutmen, yang lebih ditekankan adalah pemenuhan syarat administratif bukan pada analisis kebutuhan riil Biro Hukum. Pelatihan yang dilakukan pun masih berorientasi pada kenaikan pangkat dan jabatan, bukan ditujukan pada peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Padahal, Biro hukum sangat penting bagi suatu lembaga.Itu sebabnya hampir semua badan publik memiliki biro khusus yang membidangi hukum. Di Kementerian Kesehatan misalnya, Biro Hukum digabung dengan organisasi, sehingga perannya lebih kuat.Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan perumusan peraturan perundang-undangan, pelayanan pertimbangan dan bantuan hukum, serta pembinaan organisasi dan tatalaksana.Biro ini berfungsi untuk: (a) Koordinasi dan pelaksanaan perumusan rancangan peraturan perundangundangan; (b) Pemberian pertimbangan hukum, bantuan hukum, danpenyusunan rumusan perjanjian; (c) Pembinaan kelembagaan, penyusunan laporan akuntabilitas kinerja, dan pelayanan publik; (d) Pelaksanaan analisis jabatan dan ketatalaksanaan; dan (e) Pelaksanaan urusan tata usaha Biro. Biro Hukum bukan hanya berperan pada saat sengketa, tetapi sejak awal mereka sudah terlibat dalam pengelolaan dan pelayanan informasi.Pijakan hukum yang harus dipersiapkan Badan Publik, misalnya penunjukan PPID, sebaiknya melibatkan Biro Hukum. Dalam rangka pelaksanaan keterbukaan informasi publik di Badan Publik, Biro Hukum terutama bertugas untuk: a. Memberikan pertimbangan hukum kepada PPID yang akan menolak untuk memberikan informasi publik karenatidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. b. Memberikan pertimbangan hukum kepada atasan PPID/Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi atas keberatan yang disampaikan pemohon.
158
c. Memberikan pertimbangan kepada Badan Publik mengenai sengketa informasi yang sedang dihadapi, baik diminta maupun tidak. d. Memberikan pendampingan dan bantuan hukum kepada PPID di setiap tahapan hingga selesai di Mahkamah Agung. e. Mendampingi PPID yang menghadapi persoalan hukum pidana/perdata terkait sengketa informasi di Badan Publik. f. Ikut menyusun regulasi yang dibutuhkan Badan Publik untuk memperkuat dasar hukum pengelolaan dan pelayanan informasi.
Bahan Bacaan 11.4 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ketidakpuasan atas putusan Komisi Informasi bisa ditindaklanjuti salah satu atau kedua pihak yang bersengketa untuk mengajukan keberatan. Jika termohon awal Badan Publik negara, maka keberatan diajukan ke PTUN, sedangkan jika Badan Publik non-negara, keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri.Salah satu beban nyata membawa kasus sengketa informasi ke PTUN atau Pengadilan Negeri adalah biaya. Seperti diketahui, beracara di Komisi Informasi tidak akan dikenakan biaya, namun sebaliknya beracara di PTUN/PN akan dikenakan biaya. Penyebutan PTUN dalam UU KIP bukan hanya dalam pengajuan keberatan atas putusan Komisi Informasi.Hal ini juga terkait pembayaran ganti rugi yang harus mengikuti mekanisme ganti rugi yang dikenal dalam peradilan Tata Usaha Negara. PTUN adalah salah satu peradilan di bawah Mahkamah Agung. Jenis peradilan lain adalah peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan agama. PTUN diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986, yang telah diubah dua kali, terakhir menjadi UU No. 51 Tahun 2009. Peradilan TUN memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian.Peradilan TUN juga berwenang menangani sengketa atas tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara bersangkutan. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) belum dibentuk di seluruh provinsi, sehingga penting bagi Badan Publik untuk mengetahu PTUN yang berwenang menangani. Keberatan diajukan ke PTUN tempat termohon keberatan berkedudukan.Apabila
159
termohonnya lebih dari satu, maka permohonan diajukan ke PTUN di tempat kedudukan salah satu termohon. Dalam praktik di PTUN dikenal apa yang disebut dismissal process. Pasal 62 UU TUN tidak mengatur secara lengkap masalah dismissal process, sehingga Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Surat Edaran No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Proses dismisal dilaksanakan oleh ketua pengadilan dan dapat menunjuk seorang hakim sebagai pelapor. Pasal 62 UU TUN menyebutkan dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidakditerima atau tidak berdasar, dalam hal: • Pokok gugatan itu nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan. • Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat, sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan. • Gugatan itu tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. • Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. • Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Salah satu asas yang dikenal dalam PTUN adalah praduga rechmatig yang berarti setiap tindakan pemerintah dianggap rechtmatig sampai ada pembatalan. Penyelesaian sengketa melalui jalur Peradilan TUN, pasal 49 UU KIP menyebutkan Putusan PTUN dalam penyelesaian sengketa informasi publik tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisi salah satu perintah berikut: a. Membatalkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik: 1. Memberikan sebagian atau seluruh informasi yang dimohonkan oleh Pemohon Informasi Publik; atau 2. Menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. b. Menguatkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik: 1. Memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik; atau 2. Menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik.
160
Putusan pengadilan TUN mengenai pokok keberatan yang disebut dalam pasal 35 ayat (1) huruf b sampai denganhuruf g berisi salah satu perintah berikut: • Memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannyasebagaimana ditentukan UU KIP dan/atau memerintahkan untuk memenuhi jangkawaktu pemberian informasi; • Menolak permohonan Pemohon Informasi Publik; atau • Memutuskan biaya penggandaan informasi. Jika para pihak menerima putusan PTUN, maka putusan itu berkekuatan hukum tetap. Putusan itu dikirimkan panitera pengadilan kepada para pihak. Jika tidak puas atas putusan PTUN, para pihak masih bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Contoh Surat Tugas Badan Publik
Gubernur Provinsi ….. Jl. ……....... Telp…… SURAT TUGAS Sehubungan dengan penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan oleh… dan telah didaftarkan di Komisi Informasi…., maka dengan ini Gubernur Provinsi….. memberikan tugas kepada yang namanya tersebut di bawah ini: Nama:
1. 2. 3. 4.
(Nama, NIP, dan Jabatan) (Nama, NIP, dan Jabatan) (Nama, NIP, dan Jabatan) ……..
Mewakili dan menjadi kuasa untuk menghadiri mediasi dan sidang ajudikasi non-litigasi di Komisi Informasi, sidang-sidang di PTUN/Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, menyusun dan menyampaikan jawaban, keberatan, dan kasasi atas permohonan sengketa dimaksud. Demikian surat tugas ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Gubernur Provinsi… Tanda tangan dan stempel Badan Publik (Nama………………)
161
Contoh Surat Keberatan FORMAT FORMULIR KEBERATAN
LOGO BADAN PUBLIK
FORMULIR KEBERATAN (RANGKAP DUA) [nama badan publik dan alamat, nomor telepon, faksimili, email, dst]
PERNYATAAN KEBERATAN ATAS PERMOHONAN INFORMASI
A. INFORMASI PENGAJU KEBERATAN Nomor Registrasi Keberatan : _______________________________________ (diisi petugas)* Nomor Permohonan Informasi : _____________________________________________________ Tujuan PenggunaanInformasi : _____________________________________________________ Identitas Pemohon Nama : _____________________________________________________ Alamat : _____________________________________________________ : _____________________________________________________ Nomor Telepon : _____________________________________________________ Pekerjaan : _____________________________________________________
Identitas Kuasa Pemohon ** Nama Alamat Nomor Telepon
: _____________________________________________________ : _____________________________________________________ : _____________________________________________________ : _____________________________________________________
B. ALASAN KEBERATAN*** a. Permohonan Informasi ditolak. b. Informasi berkala tidak disediakan. c. Permintaan informasi tidak ditanggapi. d. Permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta. e. Permintaan informasi tidak dipenuhi. f. Biaya yang dikenakan tidak wajar. g. Informasi disampaikan melebihi jangka waktu yang ditentukan. C. KASUS POSISI (tambahkan kertas bila perlu) ____________________________________________________________________________________ ____________________________________________________________________________________ D. HARI/TANGGAL TANGGAPAN ATAS KEBERATAN AKAN DIBERIKAN : [tanggal], [bulan], [tahun] [diisi oleh petugas]**** Demikian keberatan ini saya sampaikan, atas perhatian dan tanggapannya, saya ucapkan terimakasih. ____________(tempat),__________[tanggal], [bulan], [tahun] *****
mengetahui Petugas Informasi (Penerima Keberatan)
Petugas Keberatan
(.....................................) Nama & Tanda Tangan
(.....................................) Nama & Tanda Tangan
KETERANGAN * Nomor register pengajuan keberatan diisi berdasarkan buku register pengajuan keberatan. ** Identitas kuasa pemohon diisi jika ada kuasa pemohonnya dan melampirkan suratkuasa. *** Sesuai dengan pasal 35 UU KIP, dipilih oleh pengaju keberatan sesuai dengan alasan keberatan yang diajukan. **** Diisi sesuai dengan ketentuan jangka waktu dalam UU KIP. ***** Tanggal diisi dengan tanggal diterimanya pengajuan keberatan yaitu sejak keberatan dinyatakan lengkap sesuai dengan buku register pengajuan keberatan.
162
Tugas Buatlah format surat tanggapan atasan PPID (Badan Publik) atas permintaan informasi jika yang diminta menurut Anda termasuk pasal 17 UU KIP. Sebagai catatan, atasan PPID wajib memberi tanggapan dalam bentuk keputusan tertulis paling lambat 30 hari sejak dicatatnya pengajuan keberatan. Keputusan tertulis sekurang-kurangnya memuat: (i) Tanggal pembuatan tanggapan atas keberatan, (ii) Nomor surat, (iii) Materi tanggapan, (iv) Perintah kepada PPID untuk memberikan sebagian atau seluruh, atau menolak informasi, dan (v) Jangka waktu pelaksanaan perintah.
163
Sesi - 12
SANKSI DALAM SENGKETA INFORMASI PUBLIK
Sesi - 12
SANKSI DALAM SENGKETA INFORMASI PUBLIK Pengantar Dalam UU KIP telah diatur mengenai sanksi berupa ketentuan pidana bagi setiap pelaku pelanggaran UU ini. Sanksi pidana pada dasarnya bertujuan menghukum pihak-pihak yang melakukan kesalahan dan mengganggu ketertiban umum, sehingga dengan sanksi itu ketertiban sosial kembali terjaga. Pemidanaan ditujukan untuk menimbulkan efek jera (deterrent). Sanksi pada hakikatnya adalah alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma hukum yang berlaku. Ada sanksi atas pelanggaraan norma keagamaan, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun sanksi terhadap pelanggaran ketiga normaitusangat bergantung pada kesadaran perorangan, sehingga fungsi sanksi sebagai alat pemaksa banyak tergantungpada kata hati nurani seseorang.1 Selain ketiga sanksi tadi, saat ini terdapat sanksi pidanaatas pelanggaran norma hukum. Sanksi pidana memaksa orang untuk bertindak sesuai aturan, sekaligus mewanti-wanti orang untuk tidak melanggar larangan. Norma hukum dibuat untuk mengatur agar orang berbuat sesuai aturan itu. Jadi, hukum adalah sarana untuk melakukan kontrol sosial.2 Dengan demikian, pencantuman sanksi dalam suatu undang-undang dapat berfungsi sebagai alat pencegahan. Sanksi akanmenjadi alat represif jika sudah terjadi pelanggaran. S. R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996, hal. 28. 1
Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Penerbit Alumni, 1979, hal. 123. 2
167
Pengaturan ketentuan pidana dalam UU KIP dalam hal ini harus dibaca dalam konteks tujuan sanksi norma hukum. Tujuan pemidanaan sendiri terus mengalami perkembangan, di mana semakin mengarah ke sistem yang lebih manusiawi dan rasional.3 Membaca ketentuan pidana dalam UU KIP perlu dikaitkan dengan tujuan sanksi dan perubahan paradigma penjatuhan sanksi. Dalam Penjelasan Umum UU KIP juga disebutkan adanya tujuan agar Badan Publik “termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat�. Selain sanksi pidana, kemungkinan lain adalah gugatan perdata berupa ganti rugi, dan sanksi administrasi terhadap pejabat publik.
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 29
3
168
Tujuan
• Peserta mengetahui jenis dan kualifikasi sanksi dalam UU KIP • Peserta dapat mengantisipasi kemungkinan terkena ancaman sanksi.
Metode
• Ceramah • Tanya jawab
Waktu
alat Bantu Belajar
Media
60 menit
• Plano • Spidol
• Bahan presentasi • Bahan bacaan • Salinan tabulasi sanksi dalam UU KIP
Catatan untuk Fasilitator
• Di sesi ini, fasilitator perlu menegaskan dua hal: (i) Ancaman sanksi dalam UU KIP bukan untuk menakut-nakuti, dan (ii) Prosedur penerapan sanksi dalam UU KIP tidak mudah. • Fasilitator menjelaskan bahwa sanksi sejenis diatur juga dalamUU lain, antara lainUU No 1 Tahun 1946 tentang KUHP, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. • Fasilitator menjelaskan bahwa Komisi Informasi Pusat dan Polri sedang menjajaki nota kesepahaman mengenai penerapan sanksi yang diatur dalam UU KIP. • Jika tidak ada peserta yang bertanya pada sesi tanya jawab, fasilitator menanyakan kepada peserta tentang bagaimana pandangan mereka mengenai ancaman sanksi UU KIP. Berikut tiga pertanyaan yang bisa diajukan: 1. Apakah Anda takut dengan sanksi yang diatur dalam UU KIP? 2. Menurut penilaian Anda, apakah sanksi itu berat atau terlalu ringan? 3. Bagaimana Anda mengalokasikan anggaran untuk pembayaran ganti rugi yang harus diambil dari dana Badan Publik? • Sasaran pembacabahan bacaan 12. 2 lebih diutamakan bagi pesertayang sudah tahap advanced, yakni daerah-daerah yang sudah mempunyai KI dan PPID. Bahan bacaan itu penting didiskusikan untuk menjawab problematika yuridis yang muncul dalam pembayaran ganti rugi.
169
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator membuka sesi ini dengan menjelaskan bahwa semua langkah yang ditempuh dalam rangka menjalankan amanat UU KIP tidak akan berarti kalau tidak memahami konsekuensi hukumnya. • Kemudian fasilitator menjelaskan maksud dan tujuan sesi terakhir ini. Ceramah (20 menit) • Fasilitator menyampaikan presentasi mengenai topik sanksidisertai dengan contoh-contoh konkret langkah pidana yang ditempuh pemohon (Lihat bahan bacaan 12. 1). Tanya jawab (30 menit) • Fasilitator memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk bertanya mengenai topik yang dibahas. Penutup (5 menit) • Fasilitator menutup sesi ini dan menyampaikan terima kasih karena sudah mengikuti semua sesi. Fasilitator juga menyampaikan harapan-harapan dan tugas moral setiap peserta setelah mereka kembali ke lembaga masing-masing. • Fasilitator menjelaskan tugas setiap peserta untuk menuliskan puisi, surat, atau gambaran tentang sahabat rahasianya untuk dibacakan pada sesi penutupan.
Bahan Bacaan 12.1 Sanksi Pidana dalam UU KIP Pasal 51-55 UU KIP mengatur ancaman sanksi pidana yang dapat diberlakukan kepada subjek pelaku kejahatan. Pasal-pasal itu mengatur subjek yang bisa diminta tanggung jawab pidana, kualifikasi perbuatan pidana, dan ancaman sanksi maksimal. Subjek yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam UU KIP adalah dua pihak: (i) Setiap orang; dan (ii) Badan Publik. Makna setiap orang dalam rumusan UU KIP sudah diperluas, mencakup orang perorangan, kelompok orang, badan hukum, dan korporasi.
170
Kualifikasi tindak pidanayang dapat dihukum berdasarkan UU KIP beragam, mulai dari perbuatan aktif hingga perbuatan tidak berbuat (nalaten). Berikut bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Pasal
Subjek
51
Setiap orang
52
53
54 (1)
54 (2)
55
Perbuatan
Ancaman Sanksi Penjara
Denda Rp)
Dengan sengaja menggunakan informasi secara melawan hokum.
1 tahun
5 juta
Badan Publik
Dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik yang wajib diumumkan secara serta- merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas permintaan sesuai UU KIP.
1 tahun
5 juta
Setiap orang
Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan/atau menghilangkan dokumen informasi publik dalam bentuk media apapun yang dilindungi negara dan/atau yang berkaitan dengan kepentingan umum.
2 tahun
10 juta
Setiap orang
Dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam pasal 17 huruf a, b, d, f, g, h, i, dan j.
2 tahun
10 juta
Setiap orang
Dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan dalam pasal 17 huruf c dan huruf e.
3 tahun
20 juta
Setiap orang
Dengan sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
1 tahun
5 juta
Ada dua jenis sanksi pidana yang diatur dalam UU KIP, yaitu sanksi penjara dengan menghilangkan kemerdekaan dan sanksi denda berupa kewajiban membayar sejumlah uang. Sanksi penjara dan denda adalah pidana pokok yang diatur dalam pasal 10 KUHP, selain pidana mati dan pidana kurungan. Pidana denda lebih sedikit menimbulkan
171
penderitaan. Pidana denda juga memiliki keistimewaan lain, yaitu bisa dikenakan kepada orang dan korporasi.4 Terkait pidana denda, Pasal 19 PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan lebih lanjut: (1) Pembayaran pidana denda bagi Badan Publik dibebankan kepada keuangan Badan Publik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini penting diingat UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pertanggungjawaban Keuangan Negara. (2) Pidana denda daat menjadi tanggung jawab personal pimpinan Badan Publik jika dapat dibuktikan tindakan yang dilakukan di luar tugas pokok dan fungsinya dengan cara melampaui wewenang yang ditentukan peraturan perundangundangan. Pidana penjara tidak mungkin dijatuhkan kepada korporasi, kecuali kepada orang sebagai pengurusnya. Itu sebabnya, ketentuan pidana penjara bagi Badan Publik dalam Pasal 52 UU KIP dikritik banyak orang. Namun begiti, penjelasan pasal ini dalam UU ini memberikan sedikit penjelasan terhadap kritik itu. Berdasarkan penjelasan UU-nya, subjek yang dapat dikenakan sanksi pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan. b. Mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau c. Kedua-duanya. Penting juga diingat bahwa ancaman sanksi dalam UU KIP adalah sanksi maksimal (paling lama/paling banyak). Ini berarti hakim bisa saja menjatuhkan sanksi yang lebih rendah daripada hukuman itu. Namun dalam hal ini bukan berarti tidak ada sanksi yang lebih berat. Kemungkinan sanksi berat ada, jika aparat penegak hukum lebih memilih menggunakan UU lain, misalnya UU Telekomunikasi atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik) daripada UU KIP. Pasal 56 UU KIP menegaskan: Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam UU KIP dan juga diancam dengan sanksi pidana dalam UU lain yang bersifat khusus, yang berlaku adalah sanksi pidana dari UU yang lebih khusus tersebut. Badan Publik juga dihadapkan pada kemungkinan hukuman ganti rugi jika ada pemohon informasi yang dirugikan. Delik materiil dalam pasal 55 UU KIP membuka ruang bagi masyarakat yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi.
Suhariyono AR. Pembaruan Pidana Denda di Indonesia: Pidana Denda Sebagai Sanksi Alternatif. Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012, hal. 18. 4
172
Boks 12.1 Sekda dan Kabag Humas Pemkot Bekasi Dilaporkan ke Polisi Perang melawan ketertutupan informasi publik di Kota Bekasi terus berlanjut. Sekarang giliran Sekretaris Daerah Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji dan Kepala Bagian Humas Pemkot Bekasi Maria Ulfah yang dilaporkan ke Polresta Bekasi Kota karena diduga melanggar pasal 52 UUNomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “Sekda dan Kabag Humas kami laporkan ke Polisi karena telah bertindak secara sengaja tidak memberikan informasi publik, meskipun telah kalah dalam sidang sengketa informasi publik yang digelar oleh Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat pada bulan April 2012 yang lalu,” kata Muhammad HS Ketua Sahabat Muslim Indonesia, Minggu, (22/6). Menurut Muhammad, sesuai ketentuan pasal 52 UU KIP, BadanPublik yang tidak memberikan informasi publik kepada pemohon dapat dijerat pidana kurungan satu tahun. Dan yang harus bertanggung jawab adalah Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan atasan PPID (atasan langsungnya). “Dalam hal ini PPID dan atasan PPID Setda Pemkot Bekasi adalah Kabag Humas dan Sekda,” ujar pria yang akrab dipanggil MHS itu. Menurut Muhammad, pihaknya memperkarakan data-data kegiatan pengadaan barang/jasa di lingkungan Sekretariat Daerah Kota Bekasi lengkap beserta dokumen pencairan anggarannya. Putusan Majelis Komisioner KIP Jabar memutuskan agar Sekda dan Kabag Humas memberikan data-data itu. Namun, perintah putusan tersebut tidak dilaksanakan seluruhnya dan hanya dilaksanakan sebagian. “Sehingga, kami harus menggunakan upaya hukum lainnya yaitu melaporkan ke polisi dan juga akan mengajukan permohonan sita eksekusi kepada Pengadilan Negeri Bekasi, agar datadata yang belum diberikan dapat dilakukan penyitaan secara paksa oleh juru sita Pengadilan Negeri Bekasi,” tuturnya. Dikatakan Muhammad, jika pejabat setingkat Sekda juga harus berurusan dengan polisi garagara tidak memberikan informasi publik, ini menunjukkan tata kelola pemerintahan di Pemkot Bekasi memang buruk dan pasti di dalamnya banyak terjadi penyelewengan anggaran dan praktik korupsi. “Oleh karena itu, perang melawan ketertutupan informasi publik ini tidak akan berhenti sampai Pemkot Bekasi dapat menyediakan sistem penyelenggaraan pelayanan informasi publik yang baik sesuai standar pelayanan yang mengacu kepada Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik,” pungkas Muhammad. Sumber: www. bekasiraya. com. Dipublikasikan pada 24 Juni 2012 pukul 17. 44 WIB. (Disunting kembali untuk penerbitan modul ini)
173
Bahan Bacaan 12.1 Masalah Pembayaran Ganti Rugi Mekanisme pembayaran ganti rugi sebagai sanksi atas pelanggaran keterbukaan informasi publik dalam UU KIP masih belum detailkarena tidak jelas aturannya. Para pihak yang yang mengalami kerugian akibat pembuatan informasi yang tidak benar dan menyesatkan dapat menempuh langkah hukum, sesuai pasal 55 UU KIP. Undang-Undang KIP dalam hal ini tidak mengatur secara detail bagaimana tuntutan ganti rugi itu diajukan dan bagaimana mekanisme pembayaran ganti rugi. Lebih detail kedua hal tadi diatur dalam kebijakan turunan UU KIP, yakni PP No. 61 Tahun 2010 tentang tentang Pelaksanaan UU 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 16 PP No. 61 Tahun 2010 menjelaskan mengenai mekanisme pembayaran ganti rugi dan jumlah maksimal yang harus dibayar. Selengkapnya sebagai berikut:
(1) Ganti rugi atas perbuatan Badan Publik negara yang mengakibatkan adanya kerugian materiil yang diderita penggugat dilaksanakan berdasarkan tata cara ganti rugi pada peradilan TUN dengan jumlah maksimal 5 juta rupiah. (2) Ganti rugi ditetapkan melalui putusan PTUN jika terbukti terjadi kerugian materiil akibat adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Badan Publik negara. (3) Jumlah ganti rugi tetap dan tidak berubah sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkan putusan dengan waktu pembayaran ganti rugi. Sampai saat ini ketentuan mengenai pembayaran ganti rugi di lingkungan PTUN yang berlaku adalah PP No. 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara. Jika pada PP no 43 tahun 1991 dalam pasal 3 dijelaskan besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000 dan paling banyak Rp. 5.000.000; sedangkan pasal 2 dijelaskan jika Badan Tata Usaha Negara dibebankan ke APBN. Dalam rumusan pasal 16 PP No. 61 Tahun 2010, yang diatur adalah hanya Badan Publik negara. Bagaimana dengan Badan Publik non-negara seperti LSM?Apakah juga tunduk pada mekanisme yang diatur pasal 16 - 18 PPNo. 61 Tahun 2010. Merujuk pada pasal 47 ayat (2) UU KIP berarti sangat dimungkinkan menuntut ganti rugi ke peradilan umum jika ‘tergugatnya’ Badan Publik non-negara. Apakah mekanismenya bisa menggunakan pasal 1365 KUH Perdata? Jika demikian maka batasan ganti rugi hingga lima juta rupiah yang diatur dalam pasal 16 PP No. 61 Tahun 2010 menjadi tidak tepat. Dalam pasal 17 PP yang sama disebutkan bahwa pembayaran ganti rugi dilakukan sesuai
174
peraturan perundang-undangan. Asumsinya, pembayaran tunduk pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pertanyaannya, apakah Badan Publik non-negara tunduk pada ketentuan itu jika proses pengajuan ganti rugi itu tidak ada hubungannya dengan keuangan negara? Masalah ini juga berkaitan dengan pasal 18 PP 61 Tahun 2010 yang menyebutkan: “Dalam hal pembayaran ganti rugi tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Publik negara dalam tahun anggaran yang sedang berjalan, pembayaran ganti rugi dimasukkan dan dilaksanakan dalam tahun anggaran berikutnya”. Aturan ini sejalan dengan pasal 8 PP No. 43 Tahun 1991. Pasal 16 ayat (3) PP No. 61 Tahun 2010 tegas menganut prinsip ganti rugi tetap. Jumlah yang sudah diputuskan hakim tidak mungkin berubah hanya karena ada jeda waktu antara putusan dengan pembayaran. Masalahnya, dalam gugatan perdata dimungkinkan menuntut bunga dan uang paksa (dwangsom) kepada tergugat. Beberapa permasalahan berupa pertanyaan mengenai pembayaran ganti rugi itu patut didiskusikan oleh peserta pelatihan.
Bahan Bacaan 12a Aspek-aspek Penting Sanksi Pidana UU KIP Asas Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan • Dikenal sebagai asas geen straf zonder schuld. • Seseorang baru bisa dihukum kalau kesalahan terbukti. • Berhubungan dengan pasal 1 KUHP. Delik Aduan • Polisi baru bisa bertindak jika sudah ada pengaduan. • Yang berhak mengadu adalah korban, pengacara, dananggota keluarga. • Ingat jangka waktu pengaduan. Dengan Sengaja • Kesengajaan dalam hukum pidana biasa disebut opzet. • Prinsipnya: orang yang sengaja melakukan kejahatan layak dipidana.
175
• Ada niatan pelaku. • Perbuatan dan akibatnya dikehendaki dan diketahui. • Kesengajaan dibedakan atas: 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu (oogmerk). Contoh: menembak orang dengan sengaja agar yang ditembak luka atau meninggal. 2. Kesengajaan yang tidak mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan, bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan kepastian. Contoh: orang merokok saat mengisi bensin di SPBU. 3. Kesengajaan dalam kualifikasi nomor 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian), bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn), atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. Contoh: membawa muatan dan penumpang melebihi kapasitas kapal. Dengan Sengaja dan Melawan Hukum • Inti suatu delik adalah sifat melawan atau melanggar hukum (onrechtmatigheid). • Dibedakan atas: melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. • Formil berarti sudah diatur dalam UU tertulis atau hukum positif. Materiil berarti melawan hukum di luar UU tertulis seperti norma kesusilaan dan kesopanan. • Dengan sengaja dan melawan hukum: sengaja melakukan kejahatan baik yang melanggar hukum positif maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan Sengaja dan Tanpa Hak • Contoh: polisi punya hak untuk menahan, pegawai negeri punya hak untuk menyimpan dokumen tertentu, dan wartawan berhak mendapatkan berita. • Intinya, tidak ada hak bagi pelaku untuk melakukan perbuatan itu. • Dengan sengaja dan melawan hak: pelaku sengaja melakukan padahal ia sadar yang punya hak atas dokumen itu atau melakukan perbuatan itu adalah orang lain. Misal: menggunakan komputer milik orang lain tanpa izin, dengan tujuan yang tidak baik. Nalaten • Adalah tindak pidana berupa tidak berbuat.
176
• Lihat pasal 52 UU KIP • Contoh lain: pasal 531 KUHP yang menyebutkan tidak menolong orang dalam bahaya, padahal ia mampu menolong tanpa membahayakan diri sendiri; pasal 224 KUHP: tidak hadir sebagai saksi tanpa alasan yang jelas.
Bahan Bacaan 12.3 Tips dan Trik Menghindari Sanksi Pidana UU KIP membuat ancaman sanksi kepada Badan Publik, khususnya PPID, jika tidak memberikan informasi publik kepada pemohon sesuai mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Praktiknya, sudah ada beberapa PPID yang dilaporkan ke polisi. PPID perlu mempersiapkan diri agar terhindar dari kemungkinan sanksi pidana seperti berikut ini: • Buatlah kategori/klasifikasi informasi, sehingga jelas mana informasi publik yang bersifat terbuka dan mana yang dikecualikan. • Merespons dengan baik dan segera setiap permohonan informasi publik sesuai batas waktu. Pemohon yang tidak mendapat respons yang baik dari Badan Publik cenderung berusaha menempuh upaya hukum. • Jika memungkinkan, lakukan dialog dengan pemohon, guna menghindari salah paham. Siapa tahu pemohon bisa memahami kesulitan-kesulitan Badan Publik memenuhi permintaan informasi. • Patuhilah setiap putusan dalam semua proses penyelesaian sengketa, mulai dari putusan mediasi hingga putusan kasasi. • Jika tidak puas atas putusan sengketa, gunakan hak-hak sesuai mekanisme dan jangka waktu yang ditentukan. • Kembangkan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi yang baik agar peluang sengketa semakin minim.
177
Sesi - 13
PENUTUP
Sesi - 13
PENUTUP Pengantar Pelatihan ini merupakan upaya untuk lebih memperluas dan memperdalam pemahaman serta mengimplementasikan UU Keterbukaan Informasi Publik beserta kebijakan turunannya berupa PP dan Perki. Pelatihan yang terarah dan tepat sasaran menjadi tujuan utama seluruh sesi. Hal ini jelas-jelas akan sangat menentukan arah pelaksanaan keterbukaan informasi di semua daerah dan Badan Publik. Dalam sesi penutup ini, mari menundukkan kepala bersama untukmelihat sejauh mana capaian yang telah diperoleh, kesan-kesan, dan harapan peserta setelah kembali ke instansi tempatnya bekerja. Demikian pula, sejauh mana harapan panitia dan fasilitator kepada seluruh peserta tercapai. Jangan sampai semangat peserta berhenti begitu penutupan berakhir.
181
Tujuan
Waktu
Catatan untuk Fasilitator
• Memberikan pesan kepada peserta tentang pekerjaan rumah yang harus dikerjakan masing-masing di instansi asal dalam rangka mengembangkan akses informasi publik dan pentingnya kebersamaan dalam mengembangkan akses itu. 60 menit
• Di sesi ini, fasilitator mengingatkan kembali peserta untuk menuliskan kesan-kesan mereka tentang sahabat rahasia. • Fasilitator diharapkan memandu sesi penutup ini semenarik mungkin dan santai. • Fasilitator mengingatkan peserta tentang pentingnya membawa pengetahuan yang mereka peroleh ke instansi asalnya untuk dikembangkan. Fasilitator diharapkan membangun suasana segar dengan pesan-pesan yang menyemangati dan memotivasi peserta.
182
Tahapan Proses Pembukaan (5 menit) • Fasilitator meminta seluruh peserta berkumpul dan membentuk lingkaran. Kemudian fasilitator menjelaskan maksud dan tujuan penting sesi ini. Curah pendapat (50 menit) • Setiap peserta diminta mencurahkan kesan dan harapan mereka atas pelatihan dan sekaligus ‘membocorkan’ sahabat rahasia mereka. • Setiap peserta diminta membacakan surat, puisi, atau gambar yang mereka buat untuk sahabat rahasia. Setelah selesai, langsung menyerahkan kenang-kenangan itu kepada sahabat rahasianya. • Begitu seterusnya sampai semua peserta mendapatkan kesempatan curah pendapat. Penutupan (5 menit) • Fasilitator menutup sesi ini dengan menyanyikan lagu lokal atau lagu tematis bersama peserta dan seluruh panitia.
183
Pusat Telaah dan Informasi Regional Centre for Regional Information and Studies PATTIRO adalah sebuah Organisasi Non-Pemerintah yang didirikan 17 April 1999 di Jakarta PATTIRO bergerak dalam bidang penelitian, advokasi Kebijakan Publik, dan penguatan masyarakat sipil (civil society). Visi PATTIRO adalah terwujudnya tata pemerintahan lokal yang baik, transparan, dan adil bagi kesejahteraan sosial masyarakat. Jl. Intan No. 81 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430 Telp. : 62-21-7591 5498, Fax. : 62-21-7512 503, Email : info@pattiro.org