10 minute read

Jejak Arsitektur Kelompok Etnis di Kampung Pekojan

Jejak Arsitektur Kelompok Etnis di Kampung Pekojan

Ikrar Raksaperdana

Advertisement

Pendahuluan

Menelusuri jejak arsitektur di Kampung Pekojan memerlukan pengamatan mendalam pada latar belakang masing-masing kelompok etnis yang ada di Kampung Pekojan. Dari komunitas Koja (istilah “Koja” sering juga disebut "Moor"), Hadrami, Tionghoa, hingga komunitas pribumi, menciptakan keunikan masing-masing dalam pembentukan ruang di Kampung Pekojan. Setiap komunitas juga memiliki landmark masing-masing di Kampung Pekojan dalam bentuk formal seperti tempat ibadah hingga non-formal seperti ruang istirahat dan berkumpul. Melihat Kampung Pekojan yang kini lekat dengan suasana “kampung Arab”, penelusuran jejak arsitektur dari perspektif setiap komunitas akan menjadi hal yang menarik untuk dibahas, sebagai salah satu cara untuk memperlihatkan harmoni antar etnis yang ada di Kampung Pekojan. Bagaimana masing-masing komunitas di Kampung Pekojan menciptakan jejak arsitektural dan bagaimana integrasi antar komunitas dalam konteks arsitektur merupakan pertanyaan utama yang akan diangkat pada tulisan ini.

Dari Koja hingga Hadhrami

Pembahasan pertama akan mengulas tentang komunitas Koja. Sensus penduduk kota Batavia tahun 1673 menunjukan beberapa nama etnis yaitu, Eropa, Tionghoa, Sunda, Melayu, Jawa, Bali, dan Moor. Istilah Moor sering disebut sebagai “Koja”, yang diyakini merupakan penduduk pertama Kampung Pekojan sejak dilaksanakannya kebijakan pembagian wilayah [1]. Pada abad ke-17 Kampung Pekojan hanya dihuni oleh komunitas Koja dan keturunannya. Komunitas Koja adalah imigran muslim dari Gujarat dan Suraj di India Barat [2]. Komunitas Koja menapakkan sebuah landmark yang menandakan keberadaannya sebagai komunitas Muslim pertama di Pekojan pada tahun 1648, disaat komunitas Koja mendirikan masjid yang sekarang disebut sebagai Masjid Al-Anshor.

Gambar 1. Potret pedagang “Moor” atau Koja di Batavia Sumber: Mandal, 2017

Keberadaan komunitas Koja di Pekojan tidak berlangsung lama. Pada abad ke-18, kehadiran imigran Hadrami, yang datang dari wilayah Hadramaut, Yaman Selatan, mulai menggeser peran komunitas Koja di Batavia melalui perdagangan dan penyebaran agama. Pada tahun 1750, Sayyid Abdullah bin Husein Alaydrus, seorang pemuka Hadrami membangun Masjid Pekojan, yang kini disebut An-Nawier dan menciptakan peningkatan populasi Hadrami di Pekojan. Sekitar tahun 1812-1813, status etnis “Hadrami” dalam laporan sensus penduduk masih disamakan dengan komunitas Koja sebagai komunitas Arab karena jumlah komunitas Hadrami yang tinggal di Pekojan tidak sebanyak komunitas Koja, namun peran keagamaan yang tinggi pada komunitas Hadrami akhirnya menggeser peran komunitas Koja yang lambat laun hijrah dari kampung Pekojan ke kawasan sekitarnya. [3]

Gambar 2. Masjid Al Anshor komunitas Koja (foto: awal abad ke-20) Sumber: Collectie Tropenmuseum

Kendali penuh Hadrami terhadap komunitas Arab di kampung Pekojan menciptakan beberapa produk budaya, salah satunya festival keagamaan. Blackburn (2011), mengutip Pijper (1984), menjelaskan bahwa masyarakat muslim di Batavia selalu meramaikan festival keagamaan komunitas Hadrami. Pemaparan Blackburn memperlihatkan memori dari komunitas Hadrami yang telah berhasil melakukan tradisi keagamaan secara turun temurun sejak akhir abad ke-18 di Batavia. [4]

“Di samping kehidupan kampung, ada pula hiburan jalanan yang dapat dinikmati semua orang, serta berbagai festival yang hampir tidak berubah seperti pada masa lalu. Perayaan besar keagamaan selalu menarik massa dalam jumlah besar. Hari raya islam kerap menarik perhatian ribuan orang untuk ke masjid-masjid besar, terutama bila terdapat penceramah favorit, orang Batavia dan sekitarnya mendatangi Masjid Pekojan.” (Pijper, 1984)

Gambar 3. Masjid An Nawier komunitas Hadrami (foto: awal abad ke-20) Sumber : Usman, 2019

Komunitas Hadrami semakin hari kian membentuk gagasan kolektif – kesadaran kolektif bahwa mereka adalah penguasa otoritas keagamaan di Batavia. Komunitas Hadrami kemudian mendirikan majelis dan pusat dakwah seperti masjid dan langgar [5]. Kegiatan pendidikan keagamaan dilakukan pada lantai dasar Masjid Langgar Tinggi di Pekojan (Berg, 1989: 73). Masjid Langgar Tinggi lah yang kemudian menceritakan tentang negosiasi ruang, tradisi dan modernitas yang pertama terlihat pada Kampung pekojan. Vin Diessen (1989:203-12) dan Heuken (1982:107-9) menjelaskan bahwa langgar dalam langgar tinggi adalah bath house atau pemandian bagi masyarakat sekitar, kemudian berkembang menjadi sebuah masjid hingga ruang untuk transit bagi pedagang yang menyusuri kali Angke, yang menjadi salah satu bukti terbentuknya ruang informal komunitas Hadrami di kampung Pekojan. Kampung Pekojan yang menjadi pusat otoritas agama Islam di Batavia lambat laun mengalami lonjakan penduduk. Penghapusan sistem wilayah berdasarkan etnis pada tahun 1919 memicu penyebaran komunitas Arab ke wilayah seperti Tanah Abang, Krukut, Pertamburan [6]. Penyebaran ini berpengaruh pada tersebarnya otoritas keagamaan yang pada masa ini erat kaitannya dengan pergerakan kemerdekaan. Jamiat Khaer, sebuah institusi pendidikan swasta pertama di indonesia yang didirikan di Pekojan pada tahun 1905, mendirikan bangunan utama di Tanah Abang pada tahun 1923.

Gambar 4. Jamiat Khaer. Kantor Jamiat Khaer di Tanah Abang (kiri) Plakat pendirian Jamiat Khaer (kanan) Sumber: Collection Sven Verbeek Wolthuys

Munculnya Jamiat Khaer dengan perlawanannya yang bernafaskan Islam menjadikan kawasan Pekojan, Tanah Abang, Krukut, dan Pertamburan kian lekat dengan identitas Islam. Terlebih dengan elemen-elemen budaya yang semakin hari semakin melekat pada daerah tersebut. Ruang-ruang informal yang terbentuk pada kampung Pekojan setelah kemerdekaan makin lekat dengan ruang untuk memfasilitasi kegiatan keagamaan yang berbau Islam. Tidak aneh jika melekat identitas “kampung Arab” di Pekojan. Namun, identitas tersebut tidak lantas menghilangkan budaya selain “Arab” yang berkembang pada kampung Pekojan. Berdasarkan hasil wawancara pada beberapa penduduk serta pengurus Masjid Langgar Tinggi - Habib Ahmad Assegaf - mengutarakan bahwa tidak jarang pula komunitas Islam turut serta dalam perayaan festival komunitas Tionghoa. Keragaman dari kampung Pekojan tersebut memicu pertanyaan mengenai peran komunitas Tionghoa di Pekojan. Pembahasan berikutnya akan mengupas kehidupan komunitas Tionghoa di Pekojan untuk mengetahui bagaimana relasi antar komunitas terjadi di Pekojan.

Komunitas Tionghoa

Seperti seluruh komunitas orang asing - vreemde oosterlingen, yang termasuk orang-orang Arab, Moor dan Bengali - di Hindia Belanda, komunitas Tionghoa dikelola oleh seorang tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini ditunjuk oleh Belanda dan diberi gelar militer majoor (mayor), kapitan (kapten), atau luitenant (letnan) [7]. Komunitas Tionghoa secara resmi diberikan kebebasan administratif untuk mengelola komunitasnya sendiri. Kebebasan tersebut menciptakan peran besar komunitas Tionghoa terhadap ekonomi di Batavia (Lohanda, 1996). Sejatinya komunitas Tionghoa telah memenuhi peran penting pada sektor ekonomi sejak pendirian Batavia oleh Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619. Komunitas Tionghoa bertindak sebagai perantara antara petani lokal, pemerintahan kolonial dan pasar global. Kemudahan akses serta koneksi komunitas Tionghoa ke perdagangan antar pulau menjadi salah satu aspek yang sangat vital bagi pemerintah Hindia Belanda. Kerja sama antara komunitas Tionghoa dan pemerintah Hindia Belanda semakin erat pada abad ke - 19, ketika pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah Hindia Belanda - seperti pajak opium dan pegadaian - dikumpulkan oleh orang Tionghoa [8].

Pendapatan yang dikelola oleh komunitas Tionghoa menyumbang hingga 25% dari total pendapatan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1885 (Booth 1998: 308; Dick et al. 2002: 73–75; Knaap 1996: 176–177). Posisi komunitas Tionghoa yang dapat dikatakan memegang kendali akan aspek perdagangan, membuat komunitas Arab kerap bekerja sama. Kerja sama dalam bisnis tersebut yang kemudian menciptakan keserasian dalam kawasan tempat tinggal komunitas Tionghoa dan komunitas Arab yang letaknya berdampingan.

Gambar 5. Vihara Padi Lapa (kiri) Vihara Dewi Samudera (kanan) Sumber: Dokumentasi IJSS 2020

Komunitas Tionghoa meninggalkan sejumlah landmark pada Kampung Pekojan, berupa dua buah vihara. Kedua vihara tersebut adalah Vihara Padi Lapa dan Vihara Dewi Samudra. Vihara Padi Lapa didirikan pada tahun 1901, setelah dipindahkan dari kawasan Pintu Kecil. Vihara Padi Lapa awalnya berada di kawasan Toko Tiga, pada sekitar tahun 1823. Vihara ini memiliki nama asli “You Mi Hong”, didirikan oleh pengusaha asal Hakka, dan sekarang memiliki nama Vihara Padi Lapa yang dikelola oleh yayasan "You Mie Hong" [9]. Sedangkan Vihara Dewi Samudra merupakan vihara yang didirikan pada tahun 1784. Pada awal pendiriannya, vihara ini merupakan vihara pribadi milik keluarga “Lim”, seorang petinggi “Mazu” [10], hingga kemudian dibuka untuk umum dan diberikan nama Vihara Dewi Samudra. Keberadaan vihara sebagai landmark pada kampung komunitas Arab ini merupakan jembatan bagi komunitas Tionghoa untuk berbaur dengan komunitas Arab serta komunitas pribumi, hingga akhirnya menciptakan sebuah pluralitas dalam kawasan yang dirancang dengan tujuan homogenitas.

Komunitas Pribumi

Berdasarkan data dari volkstelling - sensus penduduk - tahun 1930, Batavia pada abad ke-20 mengalami lonjakan kedatangan pekerja pribumi - penduduk asli, di luar komunitas kelas satu dan kelas dua di Batavia. Lonjakan migrasi yang menambah jumlah penduduk di Batavia hingga 1.636.098 jiwa menciptakan wajah-wajah baru pada ruang kota di Batavia. Sebut saja Betawi, Sunda, Jawa, Melayu, Sulawesi Utara, Minangkabau, Sumatera Selatan, Maluku, Batak, Madura, hingga penduduk Depok mewarnai ragam etnis pribumi di Kota Batavia berdasarkan data volkstelling. Heukeun menjelaskan [11] , komunitas Eropa serta pemerintahan Hindia Belanda, memberikan definisi bahwa komunitas pribumi adalah orang-orang yang bermukim di tanah Jawa, dan kerap disebut “orang Jawa”. Islam adalah agama mayoritas orang jawa yang kemudian menjadi identitas pengikat antara komunitas pribumi dan komunitas di Kampung Pekojan. Agama Islam menjadi pengikat antara perkawinan antara komunitas pribumi dengan komunitas kelas dua di Batavia (Hadrami, Moor, hingga Tionghoa) serta komunitas pribumi lainnya (etnis Bali, Sunda, Melayu, Bugis). Ikatan ini kemudian menghasilkan sebuah identitas baru khususnya di kawasan Pekojan yaitu “Betawi”. Pada bagian ini, pembahasan mengenai “komunitas Pribumi” akan fokus pada etnis “Betawi” yang pada masa tersebut kerap menjalin kerjasama dengan komunitas Arab dan Tionghoa sebagai distributor kebutuhan pokok di Pekojan. Masyarakat “Betawi” meninggalkan sebuah bentuk baru pada wajah Kampung Pekojan. Rumah-rumah dengan langgam Betawi didirikan, seiring diangkatnya peran komunitas pribumi pada lingkar dagang komunitas Arab yang pada masa tersebut kerap mengalami perseteruan internal [12]. Hingga kini dapat ditemui beberapa rumah Betawi pada Kampung Pekojan yang masih berdiri, menandakan peran pribumi yang telah dilakukan oleh komunitas pribumi pada masa tersebut.

Gambar 6. Rumah Betawi di Jalan Bandengan Selatan Sumber: Dokumentasi IJSS 2020

Selain dalam bentuk rumah, aktivitas komunitas pribumi juga menghasilkan wajah baru pada kampung Pekojan, khususnya pada kali Angke yang menjadi batas selatan kampung Pekojan. Menyusuri kali Angke pada awal abad ke-20, akan terlihat getek-getek parkir pada beberapa bangunan yang memiliki orientasi menghadap ke sungai atau kali. Ruang-ruang di tepian kali menjadi tempat untuk aktivitas istirahat temporer bagi masyarakat yang melakukan distribusi barang (gambar 7) . Berdasarkan wawancara dari kepala pengurus Masjid Langgar Tinggi - Habib Ahmad Assegaf - dalam aspek ekonomi, kegiatan berdagang dan barter kerap dilakukan pada ruang-ruang di tepian kali. Pada Masjid Langgar Tinggi, aktivitas perdagangan dapat terlihat menciptakan sebuah ruang informal. Masjid yang sebelumnya berfungsi sebagai pemandian [13], kini menjadi semacam rest area bagi pedagang yang hilir mudik dari Tangerang ke Sunda Kelapa. Dapat terlihat pula hewan ternak hingga kayu-kayu gelondongan dibersihkan pada area ini (gambar 7).

Gambar 7. Ruang informal berupa parkir getek komunitas pribumi (awal abad ke-20) Sumber: KITLV

Kesimpulan

Kampung Pekojan menghadirkan keunikan masing-masing kelompok etnis dalam pembentukan ruang di kawasan tersebut. Keunikan yang terjadi adalah setiap kelompok etnis tetap menonjolkan karakternya sendiri dalam aspek arsitekturalnya seperti komunitas Koja dan Hadrami dengan pembangunan Masjid, komunitas Tionghoa dengan pembangunan Vihara, dan komunitas pribumi dengan pembangunan rumah-rumah adat mereka. Ruang informal yang terbentuk menjadi jembatan terhadap perbedaan karakter tersebut. Komunitas Arab dan Tionghoa yang bahu membahu dalam mengadakan festival kebudayaan dan komunitas pribumi yang turut serta dalam perayaan festival Arab dan Tionghoa memberikan warna yang unik dalam kebudayaan Kampung Pekojan. Setelah kemerdekaan, batas-batas antara karakter kelompok etnis semakin menghilang, komunitas di Kampung Pekojan menciptakan kesatuan dan akhirnya seluruh jejak arsitektur di Pekojan menjadi warna tersendiri bagi Kampung Pekojan. Masjid Al-Anshor, Masjid Kampung Baru, Masjid Jami An Nawier, Masjid Ar Raudha, Masjid Azzawiyah, Masjid Langgar Tinggi, Vihara Padi Lapa, Vihara Dewi Samudra dan beberapa rumah tradisional Betawi, menjadi satu dalam sebuah identitas, yaitu arsitektur "Kampung Pekojan".

Gambar 8. Jejak arsitektur seluruh kelompok etnis di Kampung Pekojan Sumber: Dokumentasi IJSS 2020

Referensi

[1] Blackburn, S., 2011. Jakarta: sejarah 400 tahun. Jakarta: Masup. pp 28-44 [2]Athoillah., 2018. Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia Abad XVIII-XX Lembaran Sejarah, 14 (2), pp 151-154. doi: https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.45437 [3]Komunitas Hadrami Di Batavia Abad XVIII-XX : - Athoillah., 2018. Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia Abad XVIII-XX Lembaran Sejarah, 14 (2), pp 151-154. doi: https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.45437 - Wolthuys, S.V. 2019. 250 Years in Old Jakarta: Tales of the Bik family and the rich history of Tanah Abang. [4]Athoillah., 2018. Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia Abad XVIII-XX Lembaran Sejarah, 14 (2), pp 151-154. doi: https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.45437 [5] Grijns, K. And Nas, P., 2000. Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays. Leiden: Kitlv Press. [6] Grijns, K. And Nas, P., 2000. Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays. Leiden: Kitlv Press. [7] Van den Berg, L., 1886. Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement [8] Grijns, K. and Nas, P., 2000. Jakarta-Batavia: socio-cultural essays. Leiden: KITLV Press. [9] Tentang komunitas Tionghoa di Batavia : - Prasetyo,Y., 2013. Meneer Baba: Perkembangan Modernisasi Dalam Gaya Hidup Dan Politik Elite Tionghoa Batavia 1900-1942. Surakarta: Yuma Pustaka. - Data Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Tentang awal mula pendirian Vihara Dewi Samudra: Sidharta, M ., 2015. “The Mazu Worship on the Island of Java." [10]Adi W., 2010. Batavia, 1740: menyisir jejak Betawi. Jakarta: Gramedia [11]Grijns, K. and Nas, P., 2000. Jakarta-Batavia: socio-cultural essays. Leiden: KITLV Press. [12] Grijns, K. and Nas, P., 2000. Jakarta-Batavia: socio-cultural essays. Leiden: KITLV Press. [13] Grijns, K. and Nas, P., 2000. Jakarta-Batavia: socio-cultural essays. Leiden: KITLV Press.

This article is from: